Converse.docx

  • Uploaded by: byorn liusnando
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Converse.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,388
  • Pages: 26
I. Batubara Batubara merupakan salah satu bahan galian strategis yang sekaligus menjadi sumber daya energi yang sangat besar. Indonesia memiliki cadangan batubara yang sangat besar dan menduduki posisi ke-4 di dunia sebagai negara pengekspor batubara. Di masa yang akan datang batubara menjadi salah satu sumber energi alternatif potensial untuk menggantikan potensi minyak dan gas bumi yang semakin menipis. Pengembangan pengusahaan pertambangan batubara secara ekonomis telah mendatangkan hasil yang cukup besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun sebagai sumber devisa. Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter). Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batu bara dan mengubahnya menjadi energis listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi. Batu bara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batu bara. Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya secara continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran yang maksimum, cara-cara pembakaran langsung seperti: fixed grate, chain grate, pulverized, dan lain-lain, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.

II. Pemanfaatan Batubara 1. Gasifikasi Batubara 1.1 Latar Belakang Gasifikasi Batubara : Gasifikasi adalah suatu proses perubahan bahan bakar padat secara termo kimia menjadi gas, dimana udara yang diperlukan lebih rendah dari udara yang digunakan untuk proses pembakaran. Selama proses gasifikasi reaksi kimia utama yang terjadi adalah endotermis (diperlukan panas dari luar selama proses berlangsung). Media yang paling umum digunakan pada proses gasifikasi ialah udara dan uap. Produk yang dihasilkan dapat dikategorikan menjadi tiga bagian utama, yaitu padatan, cairan (termasuk gas yang dapat dikondensasikan) dan gas permanen. Media yang paling umum digunakan dalam proses gasifikasi adalah udara dan uap. Gas yang dihasilkan dari gasifikasi dengan menggunakan udara mempunyai nilai kalor yang lebih rendah tetapi disisi lain proses operasi menjadi lebih sederhana. Proses gasifikasi batubara adalah proses yang mengubah batubara dari bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas. Dengan mengubah batubara menjadi gas, maka material yang tidak diinginkan yang terkandung dalam batubara seperti senyawa sulfur dan abu, dapat dihilangkan dari gas dengan menggunakan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan gas bersih dan dapat dialirkan sebagai sumber energi. Sebagaimana diketahui, saat bahan bakar dibakar, energi kimia akan dilepaskan dalam bentuk panas. Pembakaran terjadi saat Oksigen yang terkandung dalam udara bereaksi dengan karbon dan hidrogen yang terkandung dalam batubara dan menghasilkan CO2 dan air serta energi panas. Dalam kondisi normal, dengan pasokan udara yang tepat akan mengkonversi semua energi kimia menjadi energi panas. Namun kemudian, jika pasokan udara dikurangi, maka pelepasan energi kimia dari batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna ini (sebut saja pembakaran “setengah

matang”). Senyawa gas yang terbentuk ini terdiri atas H2, CO, dan CH4 (methana), yang masih memiliki potensi energi kimia yang belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi energi ini akan lebih mudah dialirkan dan digunakan untuk sumber energi pada proses lainnya, misalnya dibakar dalam boiler, mesin diesel, gas turbine, atau diproses untuk menjadi bahan sintetis lainnya (menggantikan bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa menggantikan gas alam, maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan syngas (syntetic gas). Dengan proses lanjutan, syngas ini dapat diproses menjadi cairan.

1.2 Sejarah Gasifikasi batu bara pertama kali diusulkan untuk dijadikan cara alternatif oleh presiden Amerika Serikat Jimmy Carter pada tahun 1970. Proyek tersebut termasuk dalam program Synthetic Fuels Corporation. Usulan itu muncul ketika itu karena pada tahun 1970 harga minyak yang diimpor terus-menerus mengalami peningkatan. Alasan lain adalah karena gasifikasi batu bara lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan pembakaran minyak. Namun pada tahun 1980an proyek itu mengalami kendala karena pada tahun 1980 harga bahan bakar minyak mengalami penurunan. Gasifikasi masih berkembang sampai dengan saat ini. Pada tahun 2009 pabrik gasifikasi batu bara dibangun di The Great Plains di kota Beulah, Amerika Serikat, dan berhasil memproduksi gas alam serta mengurangi emisi karbon. 1.3 Teknologi Gasifikasi Teknologi gasifikasi dapat dikelompokkan berdasarkan konfigurasi aliran dari unit gasifiernya. Konfigurasi yaitu : 1.

Fixed bed

2.

Fluidized bed

3.

Entrained flow

4.

Molten bath

1. Fixed bed Pada konfigurasi ini, batubara diumpankan dari atas kemudian perlahan lahan tur un kebawah dan dipanaskan oleh gas panas dari arah bawah. Batubara melewati zona karbonisasi kemudian zona gasifikasi, akhirnya sampai pada zona pembakaran pada bagian bawah gasifier tempat reaktan gas diinjeksi. Sistem ini diilustrasikan pada Gambar 2.2. berikut ini :

Gambar 1.1. Fixed bed gasifier

Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier, yaitu :

Gambar 1.2. Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier

Pada proses gasifikasi dengan fixed bed gasifier Ada 4 zona reaksi yaitu : 1. Zona devolatilisasi Pada zona ini terjadi penguapan uap air dan zat-zat volatil yang terkandung dalam batubara. 2. Zona Gasifikasi Pada zona ini uap air yang dialirkan dan CO2 yang terbentuk dari pembakaran sempurna bereaksi dengan batubara pada suhu tinggi membentuk gas sintesis yang terdiri dari CO, H2 dan N2. 3. Zona Pembakaran Pada zona ini oksigen yang masuk bereaksi dengan sebagian batubara membentuk CO2 dan H2O yang diperlukan dalam reaksi gasifikasi. 4. Zona abu Zona ini adalah tempat penampungan abu yang dihasilkan, baik hasil reaksi pembakaran maupun reaksi gasifikasi.

2. Fluidized bed Dalam fluidized bed gasifier, reaktor gas digunakan untuk membuat fluidisasi material batubara. Untuk menghindari sintering dari abu, fluidized bed gasifier dibatasi beroperasi pada temperatur non-slagging.

Gambar 1.3. Fluidized bed gasifie Batubara dimasukkan dari bagian samping sedangkan oksidannya dari arah bawah. Oksidan (O2 dan uap) selain berperan sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat

maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya atau bersifat

komplementer.

3. Entrained flow Batubara dialirkan kedalam gasifier secara cocurrent atau bersama-sama dengan agen gasifikasi atau oksidan berupa uap air dan oksigen, bereaksi pada tekanan atmosfer. Pada entrained gasifier, batubara dihaluskan sampai ukuran kurang dari 0,1 mm diumpankan dengan reaktan gas ke dalam chamber dimana reaksi gasifikasi terjadi seperti halnya sistem pembakaran bahan bakar berbentuk serbuk. Residence time partikel padatan yang singkat dalam sistem fase entrained memerlukan kondisi operasi dibawah slagging untuk mencapai laju reaksi dan konversi karbon yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operasi non-slagging pada entrained gasifier baik sekali hanya untuk proses hidrogasifikasi.

Gambar 1.4. Entrained gasifier 4. Molten bath Molten bath mirip dengan sistem fluidized bed dimana reaksi terjadi dalam medium yang tercampur merata dari inersia panas tinggi. Temperatur operasi tergantung pada

tipe bath : untuk slag dan molten metal bath diperlukan

temperatur tinggi (1400–1700oC), tetapi temperatur 1000oC dapat digunakan molten salt. Reaktan gas dapat diinjeksi dari atas seperti jet kemudian berpenetrasi kedalam permukaan bath, seperti ditunjukkan pada gambar 2.6, atau dapat diumpankan ke bottom bath

Gambar 1.5. Molten bath gasifier

Fixed bed gasifier termasuk dalam kategori sistem aliran counter current, fluidized bed dan molten bath gasifier dapat dianggap sebagai reaktor tanki pengaduk kontinyu dan entrained gasifier sebagai sistem aliran co-current.

Aliran counter current dalam reaktor fixed bed, pemindahan volatile matter yang dihasilkan dari gasifier tanpa melewati zona gasifikasi temperatur tinggi atau zona pembakaran. Karakteristik komposisi produk gas pada fixed bed gasifier yaitu adanya uap tar (bila digunakan antrasit atau devolatilisasi char/coke sebagai bahan baku) dan yield metana yang tinggi. Residence time yang paling lama terdapat pada fixed bed gasifier dimana kecepatan gas dibatasi untuk menghindari semburan serbuk batubara ke dalam aliran produk gas. Sedangkan residence time terpendek terdapat dalam entrained gasifier. Perbedaan residence time padatan diantara tipe gasifier merupakan hal substansial. Pada fixed bed

residence time padatan biasanya beberapa jam.

Sedangkan pada fluidized bed atau molten bath pada umumnya sekitar 1 jam. Pada fluidized bed, char yang tidak terkonversi dikumpulkan dan diumpankan ke gasifier lainnya atau ke pembakar. Sedangkan pada entrained kecuali untuk hidrogasifikasi, umumnya beroperasi pada temperatur slagging untuk mencapai laju reaksi dan konversi karbon yang tinggi. Residence time yang pendek pada entrained membuat kontrol pada kondisi operasi gasifikasi lebih sulit dan perlu adanya kekonsistensian umpan batubara, merupakan hal yang harus diperhatikan.

d. Keunggulan Teknologi Gasifikasi Batubara • Dapat menghemat biaya pemakaian bahan bakar (dibanding solar) sekitar 70-80% • Pengembalian investasi sangat singkat (pemakaian 16 jam/hari) sekitar 34

bulan.

• Mudah dalam pengoperasian dan tidak menimbulkan resiko / bahaya • Tidak berbau dan ramah lingkungan e. Pemanfaatan Gas Batubara Gas batubara dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sebagai bahan bakar, gas batubara mempunyai pemanfaatan yang cukup luas, antara lain untuk memasak,

menggerakkan

turbin

gas,

menggerakkan

motor

bakar

dalam, sebagai bahan bakar pada ketel uap, serta untuk penerangan. Pada saat ini, pemanfaatan utama

gas

batubara

adalah

untuk

menjalankan

motor

stasioner pembangkit listrik. Dengan sedikit modifikasi, motor bensin biasa dapat dijalankan dengan bahan bakar gas batubara. Jika gasnya dibakar untuk menghas ilkan panas, sistem gasifikasi memiliki kelebihan dibanding pembakaran batubar a secara langsung. Karena berbentuk gas, pembakaran gas batubara jauh lebih m udah dikontrol dibanding pembakaran batubara secara langsung, sehingga hal tersebut menguntungkan dari segi konservasi energi serta penekanan polusi udara. Polutan dan abu sisa gasifikasi diserap oleh gas cleaning dan cooling subsystem yang terdiri dari cyclone untuk memfilter partikel padat yang terbawa gas dan wet scrubber untuk memfilter polutan dan partikel padat yang masih terbawa

gas.

Gas

cooling

subsystem

digunakan

untuk

mendinginkan gas sintetis untuk meningkatkan density gas. Gas sintetis yang dihasilkan selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pembak aran/pemanasan (heating/drying) maupun dapat juga digunakan sebagai bahan bakar pembangkit berbahan bakar gas atau bias juga pembangkit berbahan bakar diesel yang dimodifikasi. Penggunaan gas cleaning dan cooling subsystem akan membuat gas terbakar sempurna sedemikian rupa sehingga yang tersisa hanya gas karbon dioksida Batubara kualitas rendah sampai sekarang ini harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak atau gas. Keuntungan gasifikasi antara lain: lebih bersih, karena pembakaran lebih sempurna sehingga emisi polutan lebih rendah. Selain itu lebih mudah pengaturan laju pembakarannya. Namun ada beberapa kerugian yaitu, peralatan lebih rumit dan lebih mahal dibanding

pembakaran

langsung

serta

memerlukan

ketrampilan

yang

lebih tinggi. Selain itu juga memerlukan persiapan bahan (perlu dicacah menjadi serpih kecil).

Hasil gas dari proses gasifikasi dapat dimanfaatkan untuk beberapa proses salah satunya, system pambangkit listrik. Teknologi dari gasifikasi batubara dan tenaga pembangkitan adalah teknologi yang berkembang dan diwujudkan dalam peralatan yang canggih sejak teknologi tersebut menjadi proyek yang yang penting untuk dikembangkan pada sumber energy, gasifier batubara menggunakan proses fixed bed atau fluid bed yang telah digunkan pada berbagai skala. Pada umumnya, ada 3 cara untuk menghasilkan tenaga listrik dengan gas pruduser seperti turbin uap, turbin gas, dan mesin diesel. Aplikasi gas batubara sebagai Sumber panas atau bahan bakar dalam unit mesin : 1. BOILER,untuk menghasilkan air panas / uap pada industri perhotelan,pemban gkitlistrik,tekstil,kimia dll 2. OVEN, untuk proses pengeringandalam industri makanan, plastik, kendaraan, kimia, dll 3. FURNACE, untuk proses pembakaran dalam industri keramik, heat tratment i ncinerator dll 4. SMELTER, untuk proses pembakaran dalam industri aspal, timah, pengecoran logam/alumunium dll 5. DRYER ,untuk proses pengeringan hasil pertanian / perkebunan, produk2 ma kanan, kimia, tambang, dll 6. KILN, untuk proses pembakaran dalam industri semen, incinerator, dll 7. GENSET, penggerak engine untuk memutar generator f. Proses Gasifikasi Batubara Gasifikasi adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dari ba han bakar padat menjadi bahan bakar gas. Berbeda dengan pembakaran

batubara, gasifikasi

adalah

proses

pemecahan rantai karbon batubara ke bentuk unsur atau senyawa kimia lain.

Secara sederhana, batubara dimasukkan ke dalam reaktor dan sedikit dibakar hingga menghasilkan panas. Sejumlah udara atau oksigen dipompakan dan pembakaran dikontrol dengan uap agar sebagian besar batubara terpanaskan hingga molekul- molekul karbon pada batubara terpecah dan dirubah menjadi ”coal gas”. Coal Gas merupakan campuran gas-gas hidrogen, karbon monoksida, nitrogen serta unsur gas lainnya. Gasifikasi batubara merupakan teknologi terbaik serta paling bersih dalam mengkonversi batubara menjadi gas-gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik. Ada perbedaan antara gas batubara dan campuran gas yang terjadi dari gasifiksai batubara. Gas batubara dihasilakan dari destilasi destruktif batubara dan hasil sampingan proses karbonisasi batubara. Perolehan gas dan komposisinya tergantung pada peringkat batubara dan temperature karbonisasi. Proses gasifikasi mengubah semua material organic batubara menjadi bentuk gas, peringkat batubara dan temperature hanya mempengaruhi laju gasifikasi dan jika diinginkan bias diperoleh gas yang kesemuanya mengandung CO, CO2, dan H2. Disamping pengotor hydrogen sulfide. Perbedaan yang mencolok ini disebabkan pada proses gasifikasi terjadi raihan yang jauh dan interaksi lebih lanjut yang dapat dikendalikan antara volatile matter dan char atau kokas dengan oksigen. Teknologi gasifikasi batu bara sebagai energi alternatif da pat mengurangi emisi CO2 di Indonesia sehingga dapat mempengaruhi pasar

di

Indonesia.

2. Batubara Tercairkan a. Latar Belakang Coal To Liquid Technology (CTL) merupakan salah satu bagian dari Coal Conversion Technology (CCT) yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai guna batubara sebagai bahan bakar. Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa batubara merupakan sumber bahan bakar selain minyak bumi dan gas alam yang tak dapat

terbarukan (non renewable resources). Namun, berbeda dengan minyak bumi dan gas alam, batubara tersebar merata di seluruh dunia dalam cadangan yang cukup besar. Sehingga batubara dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar fosil utama oleh beberapa negara yang miskin sumber daya minyak/gas tetapi memiliki cadangan batubara yang melimpah seperti China, Amerika Serikat, Jepang, bahkan Afrika Selatan. Permasalahan utama dalam penggunaan batubara adalah bahwa batubara merupakan bahan bakar padat, dan membutuhkan penyalaan awal agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi langsung. Selain itu, batubara juga memiliki masalah lain seperti membutuhkan tempat penyimpanan (stockpile) khusus setelah ditambang karena batubara memiliki sifat reaktif jika dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu yang lama, dan akan segera terbakar dengan sendirinya (dikarenakan adanya volatile matters), belum lagi permasalahan transportasi yang membutuhkan penanganan khusus. b. Sejarah Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batu bara pertama kali dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis FischerTropsch yang dikembangkan Franz Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode proses sintesis Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk memproduksi bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974 sebagai pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi. Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization), organisasi yang memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru juga berhasil mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system dan direct hydrogenation to liquefy bituminous coal.

Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous coal dan brown coal. Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh kandungan air. Peneliti Jepang kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini agar kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan. Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan namaBrown Coal Liquefaction Technology (BCL).

c. Proses Pencairan Batubara Indirect Coal Liquefaction (ICL) Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas terlebih dahulu untuk kemudian membentuk syngas (campuran gas CO dan H2). Syngas kemudian dikondensasikan oleh katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan produk ultra bersih yang memiliki kualitas tinggi. Proses Fisher Tropsch adalah sintesis CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut synthetic oil. Synthetic oil banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin industri /transportasi atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).

Gambar 2.1 Dua Konfigurasi Proses Dasar untuk Produksi Bahan Bakar Cair dengan Indirect Liquefaction Process

Syngas Production – Bagian ini terdiri dari coal handling, drying dan grinding yang kemudian diikuti dengan gasifikasi. Unit pemisahan udara menyediakan oksigen untuk gasifier. Syngas cleanup terdiri dari proses hydrolysis, cooling, sour-water stripping, acid gas removal, dan sulfur recovery. Gas dibersihkan dari komponen sulfur dan komponen lain yang tidak diinginkan sampai pada level yang terendah untuk melindunginya dari downstream catalysts. Panas yang dipindahkan pada gascooling step direcover sebagai steam, dan digunakan secara internal untuk mensuppli kebutuhan power plant. Proses sour-water stripping akan menghilangkan ammonia yang dihasilkan dari nitrogen yang ada pada batubara. Sulfur dalam batubara akan dikonversikan menjadi hydrogen sulfide (H2S) dan carbonyl sulfide (COS). Proses hidrolisis digunakan untuk mengkonversikan COS dalam syngas menjadi H2S, yang direcover pada acid-gas removal step dan dikonversikan menjadi elemental sulfur pada sebuah Claus sulfur plant. Sulfur yang diproduksi biasanya dijual sebagai lowvalue byproduct. Synthesis Gas Conversion – Bagian ini terdiri dari water-gas shift, a sulfur guard bed, synthesis-gas conversion reactors, CO2 removal, dehydration dan compression, hydrocarbon dan hydrogen recovery, autothermal reforming, dan syngas recycle. A sulfur guard bed dibutuhkan untuk melindungi katalis konversi gas sintesis yang dengan mudah diracuni oleh trace sulfur pada cleaned syngas. Clean synthesis gas dipindahkan untuk mendapatkan hydrogen/carbon monoxide ratio yang diinginkan, dan kemudian secara katalitik dikonversikan menjadi bahan bakar gas. Dua cara utama melibatkan konversi ke hight-quality diesel dan distillate menggunakan Fischer-Tropsch route, atau konversi ke high-octane gasoline menggunakan proses metanol menjadi gasoline (MTG) . Fischer-Trosch (F-T) syntesis menghasilkan spektrum dari hidrokarbon paraffin yang ideal untuk diesel dan bahan bakar Katalis yang digunakan dalam Fischer-Trops adalah besi atau cobalt. Keuntungan katalist besi dengan cobalt berlebih untuk mengkonversi coal-derived syngas yang mana besi memiliki kemampuan mengaktivasi reaksi water-gas shift dan secara internal mengatur low H2/CO ratio dari coal derived syngas yang diperlukan dalam

reaksi Fischer-Trops. Jenis reactor yang digunakan dalam reaksi F-T adalah fixed-bed tubular reactor dan teknologi ini diaplikasikan di Shell’s Malaysian GTL. Sasol juga mengkomersialisasikan teknologi CTL di Afrika Selatan yang menggunakan Fixed bed reactor, circulating-fluidized bed dan fixed-fluidized bed reactor. Syngas dan produk F-T yang tidak terkonversi harus dipisahkan setelah langkah sintesis F-T. CO2 dapat dipisahkan dengan menggunakan teknik absorbsi. CO2 dengan kemurnian tinggi biasanya dibuang langsung ke udara bebas. Proses pendinginan digunakan untuk memisahkan air dan hidrokarbon ringan (terutama metana, etana, dan propane) dari produk liquid hydrocarbon yang dihasilkan pada proses sintesis F-T. Gas hidrokarbon ringan dan gas sintesis yang tidak terkonversi dikirim ke proses hydrogen recovery.Purge dari fuel gas digunakan untuk menyuplai bahan bakar pada proses CTL. Akhirnya sisa gas dialirkan ke autothermal reforming plant untuk mengkonversi hidrokarbon ringan menjadi syngas untuk direcycle ke reaktor F-T. Product Upgrading - FT liquid dapat dimurnikan menjadi LPG, gasoline, dan bahan bakar diesel. Pilihan lain adalah melalui partial upgrading seperti yang ditunjukkan dari gambar 2.4 untuk menghasilkan F-T syncrude. Kandungan wax yang tinggi di raw F-T liquid memerlukan hidroprosessing untuk membuat syncrude yang dapat dialirkan melalui pipa . Pilihan upgrading minimum termasuk hidrotreating dan hidrocracking dari F-T wax. Produk yang dihasilkan adalah F-T LPG dan F-T syncrude, yang dapat dikirim ke conventional petroleum refinery untuk difraksinasi menghasilkan produk yang dapat diolah lebih lanjut.

2.3.2 Direct Coal Liquefaction (DCL) DCL adalah proses hydro-cracking dengan bantuan katalisator. Prinsip dasar dari DCL adalah mengintroduksikan gas hidrogen kedalam struktur batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi 70% batubara (berat kering) menjadi sintetik cair. DCL juga dikenal dengan sebutan Bergius Proccess.

Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara, kemudian slurry dibuat dengan cara mencampur batubara ini dengan pelarut. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama-sama dengan hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurry kemudian diberi tekanan 100-300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai 400-480° C. Secara kimiawi, proses akan mengubah bentuk hidrokarbon batubara dari kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Dengan kata lain, batubara terkonversi menjadi liquid melalui pemutusan ikatan C-C dan C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and hydrolytic cleavage), sehingga melepaskan molekulmolekul CO2, H2S, NH3, dan H2O. Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan cara dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition). Setelah dipotong, masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi) membentuk material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh hidrogen, rearrangement terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan menggunakan katalis yang dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut). Faktor yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi :  Spesifikasi batubara yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem yang bisa optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.  Jenis batubara tertentu mempunyai kecenderungan membentuk lelehan (caking perform), sehingga menjadi bongkahan besar yang dapat membuat reaktor kehilangan tekanan dan gradient panas terlokalisasi (hotspot). Hal ini biasanya diatasi dengan mencampur komposisi batubara, sehingga pembentukan lelehan dapat dihindari.  Batubara dengan kadarash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi terlebih dahulu, sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.

d. Keuntungan Dampak Positif Batubara Cair Beberapa dampak positif batubara cair, yaitu :  Mengurangi ketergantungan pada impor minyak serta meningkatkan keamanan energy.  Batubara cair dapat digunakan untuk transportasi, memasak, pembangkit listrik stasioner, dan di industri kimia.  Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah partikulat, dan rendah oksida nitrogen.  Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra bersih, dapat mengurangi risiko kesehatan dari polusi udara dalam ruangan. 3. Upgrading Batubara 3.1 UBC (Upgrading Brown Coal) 3.1.1 Pengertian UBC UBC merupakan proses peningkatan nilai kalori batubara kalori rendah melalui penurunan kadar air lembab dalam batubara. air yang terkandung dalam batubara terdiri dari air bebas (free moisture) dan air lembab (inherent moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara mekanik dengan batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan uap normal. Adapun air lembab adalah air terikat secara fisik pada struktur pori-pori bagian dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah dari pada tekanan normal. Kandungan air dalam batubara baik air bebas maupun air lembab merupakan faktor yang merugikan karena memberikan memberikan pengaruh yang negatif terhadap proses pembakarannya. Penurunan kadar air lembab dalam batubara, dapat dilakukan dengan cara mekanik atau cara pemanasan. Pengeringan cara mekanik efektif untuk mengurangi kadar air bebas dalam batubara

basah, sedangkan penurunan kadar air lembab harus dilakukan dengan cara pemanasan atau penguapan. Kelebihan proses UBC bila dibandingkan dengan proses upgrading lainnya di seluruh dunia adalah proses UBC ini memiliki kondisi operasi yang jauh lebih ‘mild’ seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1, yaitu dioperasikan pada temperatur 140oC dan tekanan 350 kPa, sehingga selain tidak bersifat merusak struktur kimia batubara juga biaya yang dikeluarkan akan menjadi lebih rendah.

Gambar 3.1. Kondisi operasi dari beberapa proses upgrading batubara di seluruh dunia (Makino, 2006). Selama proses UBC berlangsung, perlu dilakukan penambahan sejumlah kecil minyak berat untuk memperlancar berlangsungnya proses slurry dewatering. Air yang terkandung di dalam batubara dikeluarkan, selanjutnya minyak tersebut diabsorpsi secara selektif ke permukaan batubara dengan maksud mengubah kualitas permukaan batubara muda dari hidrofilik menjadi hidrofobik, sehingga didapatkan produk yang stabil, dalam kondisi ini biasanya zat perekat (binder) tidak perlu ditambahkan lagi.

3.1.2 Mekanisme Kerja UBC Proses UBC merupakan salah satu cara penghilangan kadar air dalam batubara melalui proses penguapan (evaporation). Dibandingkan dengan teknologi upgrade lainnya, seperti hot water drying (HWD) atau steam drying (SD) yang dilakukan pada temperatur diatas 275oC dan tekanan yang cukup tinggi 5.500 kpa (Baker,dkk,1986),

proses UBC sangat sederhana temperatur dan tekanan 350 Kpa. Dengan rendahnya temperatur dan tekanan, pengeluaran tar dari batubara belum sempurna, karenanya perlu ditambah zat aditif sebagai penutup permukaan batubara seperti kanji, tetes tebu (mollase), slope pekat (fuse oil), minyak residu, dan lain-lain. Untuk proses UBC sebagai aditif digunakan low sulfur wax residu (LSWR) yang merupakan senyawa organik yang beberapa sifat kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. dengan kesamaan sifat kimia tersebut, residu yang masuk kedalam pori-pori batubara akan kering kemudian bersatu dengan batubara . Salah satu alternative batubara produk proses UBC adalah dalam bentuk slurry atau disebut juga dengan coal water miture (CWM) atau coal water fuel (CWF) yang mempunyai viscositas yang ekivalen dengan minyak berat. Proses UBC pada dasarnya dibagi menjadi 4 (empat) tahapan utama yaitu pembuatan bubur batubara (slurry making), pengeluaran kandungan air (slurry dewatering), pemisahan batubara dengan minyak (coal-oil separation), dan pengambilan minyak (oil recovery), (Deguchi, 1998).

Gambar 3.2. Diagram alir dari proses UBC (Deguchi, 1998)

3.2 Steam Fluidized Bed Drying 3.2.1 Pengertian Steam Fluidized Bed Drying Pengeringan adalah pemisahan sejumlah kecil air atau zat cair dari bahan sehingga mengurangi kandungan/sisa cairan di dalam zat padat itu sampai suatu nilai yang dikehendaki. Steam Fluidized Bed Drying adalah proses pengeringan dengan memanfaatkan aliran udara panas dengan kecepatan tertentu yang dilewatkan

menembus hamparan bahan sehingga hamparan bahan tersebut memiliki sifat seperti fluida. Metode pengeringan fluidisasi digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan mempertahankan mutu bahan kering. Proses pengeringan dipercepat dengan cara meningkatkan kecepatan aliran udara panas sampai bahan terfluidisasi. Teknologi pengeringan batubara Steam Fluidised-Bed Drying sangat penting mengingat batubara dengan kelembaban tinggi (High Moisture Content) rentan terhadap pembakaran spontan ketika dikeringkan. Batubara seperti ini sebaiknya dikeringkan dalam ketiadaan oksigen atau dengan level oksigen yang rendah pada suhu lebih rendah, yaitu kurang dari 50 ° C dalam inert medium seperti uap, yang sudah tersedia di pembangkit listrik.

3.2.2 Mekanisme Kerja Steam Fluidized Bed Drying Pada steam fluidized-bed dryer, batubara mentah difluidisasi oleh uap, dan panas diberikan melalui tabung yang direndam menggunakan uap dengan temperatur yang tinggi. Biasanya, gradien temperatur sekitar 50 °C antara uap panas dan dryer bed lebih disukai untuk memastikan tingkat optimal pengeringan dan waktu pengeringan. Ini berarti bahwa untuk pengeringan akan dicapai pada tekanan atmosfer (sekitar 100 °C suhu saturasi dibed), uap panas adalah sekitar 5 bar. Uap ini secara potensial dapat disuplai dari turbin tekanan rendah di PLTU batubara. Steam drying menjalani pengujian ekstensif dan pengembangan di Jerman, dan pada tingkat lebih rendah dilakukan Australia, antara tahun 1990 dan 2002 (von Bargen, 2007). Pengering yang berdiri sendiri telah didemonstrasikan dijerman dengan raw feedbatubara 170 ton / jam. RWE (Rheinisch-Westfälisches

Elektrizitätswerk),

Perusahaan

Listrik

Jerman, telah mengembangkan sistem pengeringan eksklusif, "WTA proses", yang pertama kali dikembangkan oleh Potter dari Universitas Monash (Australia) berupa Steam Fluidized Bed Drying (SFBD), dimana raw coal (sampai 80 mm) digiling menjadi butir halus (0 mm sampai 2 mm), yang kemudian dikeringkan di steam fluidized bed. Penggunaan batubara butir halus untuk pengeringan, akan mengurangi ukuran dryer dan selanjutnya akan menurunkan biaya. Hal ini juga dapat mengurangi uap yang diperlukan untuk mempertahankan fluidisasi dan membutuhkan

lebih sedikit uap dibanding dengan pengeringan batubara kasar.metode ini selanjutnya diwujudkan dalam produk peralatan oleh RWE. Plant dengan kapasitas proses batubara mentah sebesar 210 ton/jam telah dibangun di PLTU Niederraussem untuk uji coba alat ini. Upaya peningkatan efisiensi energi proses dilakukan dengan mengkompresi uap air yang dikeluarkan dari lignit, untuk dimanfaatkan sebagai sumber pemanas. Pemanfaatan lignit sebagai bahan bakar pada PLTU di Jerman mencapai sekitar 30%, sehingga upaya peningkatan efisiensi pembangkitan listrik pun dilakukan secara intensif. Dan melalui aplikasi pengeringan ini, efisiensi pembangkitan yang saat ini sebesar 45% ditargetkan dapat meningkat hingga mencapai lebih dari 50% (LHV).

Gambar 3.3. Skema umum steam fluidized-bed dryer

Variasi dari proses yang ditunjukkan pada gambar diatas dapat dilakukan jika kompresor

uap

(vapour) dapat

sepenuhnya

ditiadakan

dan

uap

(vapour) lainnya dilepaskan ke atmosfer atau digunakan untuk rekuperasi termal. Dalam kasus seperti itu, uap panas, yang dalam immersed coil, bisa bersumber dari siklus uap PLTU. Volume dryer dan tingkat pengeringan yang dapat dicapai didalam steam fluidized-bed dryer tergantung pada sejumlah faktor, termasuk : 1. Kondisi uap yang digunakan untuk pemanasan;

2. Ukuran partikel raw coal feed, yang pada gilirannya akan mempengaruhi waktu pengeringan; 3. Fluidisation velocity, yang penting untuk memastikan kontak yang optimal antara uap panas dan partikel.

3.2.3 Bagian Mesin Steam Fluidized Bed Drying 1. Kipas (Blower) Kipas (Blower) berfungsi untuk menghasilkan aliran udara, yang akan digunakan pada proses fluidisasi. Kipas juga berfungsi sebagai penghembus udara panas ke dalam ruang pengering juga untuk mengangkat bahan agar proses fluidisasi terjadi. 2. Elemen Pemanas (heater) Elemen Pemanas (heater) berfungsi untuk memanaskan udara sehingga kelembaban relatif udara pengering turun, dimana kalor yang dihasilkan dibawa oleh aliran udara yang melewati elemen pemanas sehingga proses penguapan air dari dalam bahan dapat berlangsung. 3. Plenum Plenum dalam mesin pengering tipe fluidisasi merupakan saluran pemasukan udara panas yang dihembuskan kipas ke ruang pengeringan. Bagian saluran udara ini dapat berpengaruh terhadap kecepatan aliran udara yang dialirkan, dimana arah aliran udara tersebut dibelokkan menuju ke ruang pengering dengan bantuan sekat-sekat yang juga berfungsi untuk membagi rata aliran udara tersebut. 4. Ruang Pengering Ruang pengering berfungsi sebagai tempat dimana bahan yang akan dikeringkan ditempatkan. Perpindahan kalor dan massa uap air yang paling optimal terjadi diruang ini. Menurut Mujumdar (2000), tinggi tumpukan bahan yang optimal untuk pengering dengan menggunakan fluidized bed dryer adalah 2/3 dari tinggi ruang pengering. 5. Hopper Hopper berfungsi sebagai tempat memasukkan bahan yang akan dikeringkan ke ruang pengering.

3.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Steam Fluidized Bed Drying Kelebihan pengering sistem fluidisasi: 1. Aliran bahan yang menyerupai fluida mengakibatkan bahan mengalir secara kontinyu sehingga otomatis memudahkan operasinya. 2. Pencampuran atau pengadukan bahan menyebabkan kondisi bahan hampir mendekati isothermal. 3. Sirkulasi bahan diantara dua fluidized bed membuatnya memungkinkan untuk mengalirkan sejumlah besar kalor yang diperlukan ke dalam ruang pengering yang besar. 4. Pengering tipe fluidisasi cocok untuk skala besar. 5. Laju perpindahan kalor dan laju perpindahan massa uap air antara udara pengering dan bahan sangat tinggi dibandingkan dengan pengering metode kontak yang lain. 6. Pindah kalor dengan menggunakan pengering tipe fluidisasi membutuhkan area permukaan yang relatif kecil. 7. Sangat ideal untuk produk panas sensitif dan non-panas sensitif

Kekurangan pengering sistem fluidisasi: 1. Pori-pori yang terbuka yang belum tertutup tar menyebabkan batubara hasil dewatering dengan evaporasi akan mudah menyerap air kembali. 2. Sulit untuk menggambarkan aliran dari udara panas yang dihembuskan ke ruang pengering, dikarenakan simpangan yang besar dari aliran udara yang masuk dan bahan terlewati oleh gelembung udara, menjadikan sistem kontak/singgungan tidak efisien. 3. Tidak dapat mengolah bahan yang lengket atau berkadar air tinggi dan abrasive.

Berbagai teknologi upgrading batubara muda telah dikembangkan di dunia. Permasalahannya adalah hampir semua proses upgrading yang dikembangkan, harganya masih cukup mahal dan menghasilkan limbah cair/gas yang berbahaya bagi lingkungan, karena di dalam prosesnya melibatkan proses kimia. Akan tetapibila batubara tersebut hanya dikeringkan saja, maka akan dihasilkan produk yang tidak

stabil karena batubara yang telah kering tersebut. mengarbsobsi kembali uap air yang ada disekitarnya. Karena itu perlu terobosan proses baru yang sederhana tetapi dapat menyelesaikan permasalahan, dapat menghasilkan batubara sekelas bituminus serta bersih dan stabil.

4. Pemanfaatan Abu Batubara Fly ash batubara adalah limbah industri yang dihasilkan dari pembakaran batubara dan terdiri dari partikel yang halus. Gradasi dan kehalusan fly ash batubara dapat memenuhi persyaratan gradasi AASTHO M17 untuk mineral filler. Penggunaan mineral filler dalam campuran aspal beton adalah untuk mengisi rongga dalam campuran, untuk meningkatkan daya ikat aspal beton, dan untuk meningkatkan stabilitas dari campuran. Dari penelitian tentang penggunaan fly ash batubara sebagai mineral filler untuk menggantikan filler bubuk marmer pada campuran aspal beton menunjukkan kadar optimum lebih rendah dari pada filler bubuk marmer, yaitu 3.5 % untuk filler fly ash batubara dan 4.5 % untuk filler bubuk marmer. Fly-ash atau abu terbang yang merupakan sisa-sisa pembakaran batu bara, yang dialirkan dari ruang pembakaran melalui ketel berupa semburan asap, yang telah digunakan sebagai bahan campuran pada beton. Fly-ash atau abu terbang di kenal di Inggris sebagai serbuk abu pembakaran. Abu terbang sendiri tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen. Tetapi dengan kehadiran air dan ukuran partikelnya yang halus, oksida silika yang dikandung oleh abu terbang akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat. Limbah Padat Abu Terbang Batubara ( Fly Ash ) Abu batubara sebagai limbah tidak seperti gas hasil pembakaran, karena merupakan bahan padat yang tidak mudah larut dan tidak mudah menguap sehingga akan lebih merepotkan dalam penanganannya. Apabila jumlahnya banyak dan tidak ditangani dengan baik, maka abu batubara tersebut dapat mengotori lingkungan terutama yang disebabkan oleh abu yang

beterbangan di udara dan dapat terhisap oleh manusia dan hewan juga dapat mempengaruhi kondisi air dan tanah di sekitarnya sehingga dapat mematikan tanaman. Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam: 1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan 2. Penimbun lahan bekas pertambangan 3. Recovery magnetic, cenosphere, dan karbon 4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori 5. Bahan penggosok (polisher) 6. Filler aspal, plastik, dan kertas 7. Pengganti dan bahan baku semen 8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)

More Documents from "byorn liusnando"

Converse.docx
December 2019 22
210868_tugas Konvers.docx
December 2019 19
Tugas Ventilasi Tambang.docx
December 2019 31
Tugas Geotam.n Ew.docx
December 2019 25
Pola Pengeboran.docx
December 2019 16
Tugas Bagan Alur.docx
December 2019 21