LAPORAN KASUS ANESTESI SEPSIS TB Diajukan sebagai salah satu persyaratan menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter (PPPD) Bagian Ilmu Anestesiologi RSI Sultan Agung Semarang
Disusun oleh: Camelia Nadifah Erma Handayani Laode Muhammad S.K Muhammad Nanda Prasetya
Pembimbing : dr. Wignyo Santosa Sp.An-KIC
BAGIAN ILMU ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2018
BAB I PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyerang segala usia maupun jenis kelamin. Gambaran penyakit ini di seluruh dunia menunjukkan angka morbiditas dan mortalitas yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada pasien berusia lanjut ditemukan bahwa laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Di Indonesia dilaporkan pada tahun 2002 bahwa dari 76.230 penderita TBC BTA (+) terdapat 43.294 laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan TB (43,21%). Angka kesembuhan dari seluruh penderita tersebut hanya mencapai 70,03% dari 85% yang ditargetkan6. Menurut Maunank Shah dan Caitlin Reed dalam review complication of tuberculosis (2014), Penyakit TB dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi akut maupun subakut, salah satunya sepsis. Sepsis pada TB biasanya terjadi bersamaan dengan insiden acute lung injury atau acute respiratory distress syndrome. Kondisi tersebut menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien sepsis TB menjadi tinggi akibat imunosupresi yang ditimbulkan. Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC); takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ. Pada konsensus ACCP / SCCM tersebut disepakati bahwa definisi dan tingkatan sepsis yaitu SIRS, sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) 8 Terjadinya resistensi kuman M. tuberculosis terhadap OAT merupakan masalah yang ditemui pada pengobatan TB. Resistensi ini merupakan keadaan dimana OAT tidak mampu untuk membunuh kuman M. Tuberculosis1. Salah satu jenis resistensi tersebut adalah TB Multi Drug Resistant atau resistensi obat ganda. Tuberculosis Multi Drug Resistant (TB MDR) merupakan TB yang disebabkan oleh bakteri TB yang telah resisten terhadap 2 jenis
OAT (obat antituberkulosis) yaitu INH dan Rifampisin. Resistensi bakteri TB terhadap OAT telah muncul sejak lama. Resistensi obat pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan sebelumnya adalah sebesar 4 kali lipat, sedangkan pada TB MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah melakukan pengobatan2 Menurut WHO jumlah kasus TB MDR di Indonesia menempati urutan ke delapan dari 27 negara. WHO juga memperkirakan angka kejadian TB MDR sekitar 2% pada pasien TB yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT dan sekitar 16% bagi pasien yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya2. Menurut Novizar et al (2010) faktor resiko terjadinya TB MDR adalah sebesar 92% pada pasien yang memiliki riwayat 2 pengobatan TB lebih dari satu kali sebelumnya. Sebagian besar merupakan kasus kronik/gagal pada pengobatan dengan OAT kategori dua. Lebih dari sebagian pasien tidak mendapatkan pengobatan dengan benar walaupun sudah mendapatkan komunikasi yang baik, informasi, dan edukasi tentang TB dari dokter. Faktor resiko yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien TB MDR adalah jenuh dengan lamanya pengobatan, biaya pengobatan dan efek samping yang disebabkan karena pengobatan TB MDR7.
BAB II TINJAUAN PUSAKA
2.1 Definisi sepsis Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC); takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ. 13,14 Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial ratarata ≥70 mmHg.13-15 2.2 Epidemiologi sepsis Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat. 13
Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut. 16 2.3 Etiologi sepsis Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang
paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab 9 infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.15 Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.13,14 Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.14 Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu: a
Infeksi paru-paru (pneumonia)
b Flu (influenza) c
Appendiksitis
d Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis) e
Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
f
Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
g Infeksi pasca operasi h Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.17 2.4 Patofisiologi sepsis Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons
imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.15 2.4.1. Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade) Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.
Gambar 1. Gambaran klinis (dikutip dari kepustakaan 18)
Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini
menyebabkan produksi molekul adhesi pada Sepsis leads to organ failure and death via a cascade of inflammation and coagulation. Activated protein C (APC) blocks the cascade at several points. A formulation of recombinant human APC has been approved for treating sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-α, tumor necrosis factor α. 12 sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik. Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian. 15,18 2.5 Tahapan perkembangan sepsis Sepsis berkembang dalam tiga tahap: 1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit. 2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati. 3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian. 19
2.6 Faktor Risiko Faktor risiko sepsis meliputi : 2.6.1. Usia Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia tua.19 Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan
kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur. 16
Gambar 2. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras tertentu (dikutip dari kepustakaan 16) 2.6.2. Jenis kelamin Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%. 16
2.6.3. Ras Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di antara orang Asia. 16 2.6.4. Penyakit komorbid Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih berat.20
2.6.5. Genetik Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.22 2.6.6. Terapi kortikosteroid Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.23,24 2.6.7. Kemoterapi Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, selsel kulit. Orang yang menerima kemoterapi beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien kanker neutropenia. 25-27 2.6.8. Obesitas Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas
sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan diabetes. 28-29 2.7 Manifestasi klinis Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS).30 Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.15 Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurangkurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.15 Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis.15
2.8 Diagnosis Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output. 31 Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tandatanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis. 18 2.9 Laboratorium Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi.31
Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis (dikutip dari kepustakaan 18)
2.10 Surviving sepsis campaign care bundles
Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 :
Gambar 4. Tata cara pengelolaan pasien (dikutip dari kepustakaan 3) 2.11 Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy) Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut:
Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik). 13
2.12 Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis Kategori tersebut yaitu : 1) Terapi cairan Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse capillary leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn tindakan utama. 2) Terapi vasopressor Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor epinephrine, dopamine, epinephrine, phenylephrine.
3) Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine.32
2.13 Komplikasi Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin terjadi meliputi: 1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut (acute respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan. 2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem 25 diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. 3) Gagal jantung Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian
obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan. 4) Gangguan fungsi hati Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama. 26
5) Gagal ginjal Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan. 6) Sindroma disfungsi multiorgan Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan homeostasis. Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat. Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan urosepsis.15 TB PARU Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) 1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+) • Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis Paru BTA (-) • Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas • Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif • Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa 2. Berdasarkan Tipe Penderita Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : a. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan : • Infeksi sekunder • Infeksi jamur • TB paru kambuh c. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah d. Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. e. Kasus Gagal • Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
• Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan f. Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik g. Kasus bekas TB • Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung • Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik
Gejala klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. 1. Gejala respiratorik • batuk ≥ 3 minggu • batuk darah • sesak napas • nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat 2. Gejala sistemik • Demam • gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun Case Report Pada tanggal 09/04/18, Seorang wanita 60 tahun datang ke IGD RSISA melalui rujukan RS Tlogorejo Semarang dengan diagnosa VAP, Sepsis, Susp. TB, DM Tipe 2 dan NSTEMI. Sebelumnya pasien telah terpasang Tracheal Tube selama 38 hari dan Central Venous Catheter selama 35 hari. Keadaan umum pasien pada saat di IGD cukup, kesadaran somnolen, pada pemeriksaan fisik ditemukan Tekanan Darah: 150/80, Nadi: 170x/menit, Suhu: 36,9, RR: 20x/menit, SpO2: 100%; ditemukan pola nafas tidak efektif, Ronchi + pada kedua lapang paru. Dari hasil lab ditemukan TB-IGRA positif. Dari Alloanamnesa didapatkan bahwa sebelumnya pasien sudah batuk berdahak lebih dari 3 minggu, sesak, dan terjadi penurunan kesadaran. Pada tanggal 10/04/18, Pasien telah di pindah ke ruangan. Pasien sesak nafas, dan penurunan kesadaran dengan GCS E2M3V2; Sopor. Tekanan darah: 72/40, Nadi: 159, RR: 53, SpO2: 98% dengan VTP. Dari hasil lab Analisa Gas Darah, ditemukan Asidosis Metabolik. Pada tanggal 11/04/2018, Pasien di pindah ke ICU, kesadaran Pasien Sopor, Tekanan darah: 94/59, Nadi: 116x/menit, RR: 44x/menit. Dari hasil lab ditemukan Hb: 8.0 g/dl, Ht: 24.7 %, Leukosit 20.31 ribu/uL. Pasien lalu ditransfui PRC II kolf. Pada tanggal 12/04/2018, dari hasil Lab ditemukan Hb: 9.0 g/dl, Ht: 25.8%, Leukosit: 20.12 ribu/uL Pada tanggal 14/04/2018, dari hasil Lab ditemukan Hb: 10.2 g/dl, Ht: 29.6%, Leukosit: 18.96 ribu/uL Pada tanggal 16/04/2018, Dari pemeriksaan fisik ditemukan Oedem Ekstremitas +/+, Tantrum anggota gerak sinistra. Dari hasil Lab pemeriksaan Sputum ditemukan kuman: Cocobacil gram negatif (3+), Leukosit: >25/LP, jamur dan lain lain tidak ditemukan. Ureum: 126 mg/dl, Creatinin 1.40 mg/dl, Bilirubin Total 8.18 mg/dl. Dan pada pemeriksaan mikrobiologi klinik untuk Kultur dan Sensitivitas Sputum, Pengecatan Gram. Dengan Hasil Kultur: Acinebacter baumannii
Hasil Sensitivitas AMPICILIN AMOXICILLIN CLAVUNALAT CEFOTAXIME CEFTRIAXONE CEFTAZIDIME CEFEPIME AMPICILIN SULBACTAM PUPERCILLIN LEVOFLOXACIN GENTAMICIN AMIKACIN MEROPENEM FOSFOMYCIN SULPHAMETOXAZOLE TIGECYCLIN
R R R R R R R R S R R R R R R R S
PEMBAHASAN TB biasanya mempengaruhi paru-paru tetapi dapat hadir di hampir semua sistem organ . Seperti dalam penelitian lain [9-11, 20], Penyebab pasien mendapatkan perawatan di ICU adalah TB paru dan acute respiratory failure. Kebanyakan disajikan dengan perubahan radiografi yang parah (lebih dari dua-pertiga dengan keterlibatan tiga atau empat lobus paru), refleksi mungkin dari proses penyakit berlarut-larut; Namun, itu tidak secara signifikan berdampak pada tingkat kematian, tidak seperti pada penelitian [7,12]. Alasan yang paling sering terjadi pada pasien ini adalah severe septic/ septik shock, dengan pasien rawat inap yang menunjukkan MODS dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyebab lain perawatan di ICU9. Pada pasien ini pasien telah mengalami severe sepsis dimana pasien mengalami tachykardi, tachypneu, leukositosis, demam, dan sudah mengalami disfungsi organ pada hepar1. Pasien juga sudah memenuhi kriteria sepsis karena dari hasil pemeriksaan TB IGRA positif meskipun dari hasil TCM menunjukan hasil negatif. Pada pasien yang mengalami sepsis lama rawat inap di ICU dan mortalitas dapat dilihat menggunakan SOFA score2 [24]
Selain menggunakan SOFA score, durasi rawat inap dan mortalitas dapat ditentukan dengan menggunakan q-SOFA yang lebih sederhana. Jika total dari q-SOFA ≥2 menandakan sudah terdapat disfungsi dari organ2.
Kebutuhan untuk dukungan pernafasan dan / atau vasopressor dan adanya gagal ginjal akut dan beberapa organ disfungsi yang terkait dengan kejiwaan yang tinggi. Skor keparahan secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang tidak sembuh. Perkembangan pada rumah sakit dapat menyebabkan infeksi yang telah lama digambarkan sebagai prognosis negatif pada pasien. Dalam sampel ini, proporsi pasien yang mengembangkan setidaknya satu infeksi yang didapat di rumah sakit tidak tinggi (28,2%) dibandingkan dengan penelitian lain [9-11], tetapi pengembangan komplikasi tersebut dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi. Seperti pada pasien ini yang mengalami VAP yang disebabkan oleh penggunaan ventilator yang lama11. Penatalaksanaan pasien yang mengalami sepsis dengan menggunakan protokol EGDT memperluas lansekap pengelolaan sepsis di luar ICU dengan serangkaian langkah. Langkah pertama adalah deteksi dini pasien yang berisiko tinggi untuk infeksi sesuai dengan kriteria untuk diagnosis sindrom respons inflamasi sistemik, diikuti dengan kultur spesimen yang sesuai. dan inisiasi antibiotik. Langkah kedua adalah stratifikasi risiko berdasarkan tingkat laktat serum, respons terhadap tantangan cairan jika pasien mengalami hipotensi, atau keduanya, untuk disposisi yang sesuai26. Pasien yang bertingkat untuk risiko berdasarkan tingkat laktat dan tantangan cairan 30 ml per kilogram memiliki mortalitas lebih dari 19% lebih rendah daripada pasien yang tidak dikelompokkan dengan cara ini. Stratifikasi risiko dini juga mengurangi mortalitas dari kerusakan kardiopulmoner akut, yang dapat terjadi pada hingga 20% pasien dalam perjalanan awal syok septik. Langkah-langkah awal ini saja atau dalam kombinasi secara signifikan mempengaruhi mortalitas20. Langkah-langkah yang tersisa dari protokol EGDT termasuk manajemen hemodinamik yang efektif dari preload, afterload, dan kontraktilitas jantung dan penilaian perfusi untuk menyeimbangkan pengiriman oksigen sistemik dengan tuntutan dengan pengukuran Scvo2 dan tekanan vena sentral. Penempatan awal kateter vena sentral telah dikaitkan dengan hasil yang ditingkatkan.2 Sebuah Scvo2 rendah pada masuk ke ICU dikaitkan dengan kematian yang setidaknya 10% lebih tinggi dari itu dengan normal Scvo2.3 Normalisasi Scvo2 pada cedera paru akut terkait dengan penurunan durasi ventilasi mekanis dan mortalitas 15% lebih rendah.4 Jika Scvo2 rendah dan tekanan parsial oksigen arteri (Pao2) normal, dukungan hemodinamik yang efektif dimulai dengan transfusi satu unit sel merah yang dikemas untuk mencapai tingkat hemoglobin di atas 10 g per desiliter. Meskipun target hemoglobin dalam fenotip hemodinamik ini (rendah Scvo2 dan peningkatan tingkat laktat) tidak diketahui, transfusi belum dikaitkan dengan peningkatan komplikasi dan dapat menurunkan risiko kematian.5,6 Setelah koreksi kandungan oksigen arteri dengan transfusi, sisanya variabel yang harus diatasi untuk memperbaiki pengiriman oksigen adalah penurunan curah jantung (penekanan miokard, yang dapat terjadi pada hingga 15% pasien). Agen inotropik, seperti dobutamine, termasuk dalam algoritma EGDT untuk meningkatkan cardiac output19. Pada pasien ini pada pemeriksaan mikrobiologi sputum pada pasien ini mengalami multi drug resistance. Antibiotik yang tidak resisten adalah sulbactam dan tigeclin. Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis . Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap
salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik40. Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu41 : 1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis. 2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut. 3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya. 4. Fenomena “ addition syndrome ” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” ( addition ) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja. 5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. 6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulanbulan. Sehingga pada pengobatan terhadap bakteri M. Tuberkulosis menggunakan langkahlangkah sebagai berikut:
Langkah 1
Langkah terapi Keterangan Menggunakan OAT lini Memulai dengan OAT lini pertama yang pertama yang bisa digunakan masih sensitif atau hampir pasti efektif Kelompok 1:
Bila kemungkinan resisten sebaiknya tidak digunakan
tinggi,
Pirazinamid
Langkah 2
Etambutol Ditambah dengan kelompok 2 OAT injeksi Kanamisin (atau amikasin, kapreomisin, streptomisin)
Langkah 3
Ditambah dengan kelompok 3
Hati-hati menginterpretasikan uji kepekaan obat Penambahan dilakukan berdasarkan uji kepekaan dan riwayat pengobatan sebelumnya
Penggunaan streptomisin hendaknya dihindari walaupun uji kepekaan obat masih sensitif karena tingginya angka resisten pada berbagai galur TB-MDR dan toksisitas yang lebih tinggi Penambahan florokuinolon berdasarkan uji kepekaan obat dan riwayat pengobatan
Flourokuinolon Levofloksasin
sebelumnya
Pada kasus dengan resisten ofloksasin atau TB XDR dapat menggunakan florokuinolon generasi yang lebih baru tetapi bukan sebagai obat andalan
Tambahkan obat kelompok 4 sampai tercukupi kebutuhan minimal 4 macam obat yang efektif atau hampir pasti efektif
Pilihan obat berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, efek samping, dan biaya
Uji kepekaan obat bukan merupakan standar untuk pemilihan obat kelompok ini Penambahan obat kelompok 5 hendaknya berkonsultasi lebih dahulu dengan ahli TB-MDR dan dilakukan bila kebutuhan minimal 4 macam obat belum terpenuhi dari 4 langkah sebelumnya
Moksifloksasin Ofloksasin
Langkah 4
Langkah 5
Pilih salah satu atau lebih obat kelompok 4: bakteriostatik oral lini kedua asam para-aminosalisilat (PAS), sikloserin (atau terizadone) etionamid (atau protionamid)
Pertimbangkan penambahan obat kelompok 5: obat-obatan yang belum jelas diketahui efektivitasnya dalam terapi TB-MDR
Klofazimin
Penambahan obat kemompok 5 sebaiknya lebih dari 1, sekurang-kurangnya 2 macam
Uji kepekaan obat bukan merupakan standar pemilihan obat
Obat ini tidak diberikan pada terapi TBMDR
Linezolid Amoksisilin/klavulanat Tiosetazon Imipenem/silastatin Isoniazid dosis tinggi Klaritromisin
KESIMPULAN
Pasien Tuberkulosis yang memiliki indikasi untuk dirawat di ICU adalah pasien TB dengan severe sepsis/ syok sepsis. Penggunaan SOFA score maupun q-SOFA dapat digunakan untuk mengetahui seberapa berat keadaan pasien. Penatalaksanaan awal dari pasien syok sepsis menggunakan protokol EGDT. Terdapat beragam faktor yang bisa menyebabkan terjadinya MDR-TB seperti penggunaan antibiotik monoterapi dan penggunaan paduan obat yang tidak adekuat.
DAFTAR PUSTAKA 1. National health service United Kingdom. Sepsis [Internet]. [cited 2013 des]. Available from: http://www.nhs.uk/Conditions/bloodpoisoning/Pages/introduction.aspx 2. Ayudiatama SC. Uji diagnostik prokalsitonin dibanding kultur darah sebagai baku emas untuk diagnostis sepsis di RSUP dr. Kariadi. Semarang: Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro; 2011. 3. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. 2012. 4. Martin GS. Sepsis, severe sepsis and septic shock: changes in incidence, pathogens and outcomes. Expert review of anti-infective therapy [Internet]. 2012 [cited 2013 dec 8]; 10(6):701-6. Available from: National center for biotechnology information 5. Vincent JL, Sakr Y, Sprung CL, et al. Sepsis in European intensive care units: results of the SOAP study. Crit. Care Med. 2006;34(2):344-53. 6. Danai P, Martin GS. Epidemiology of sepsis: recent advances. Curr. Infect. Dis. Rep. 2005;7(5):329-34.54 7. Global sepsis alliance. Sepsis facts [internet].[updated 2013; cited 2013 Dec 9]. Available from:http://www.worldsepsisday.org/?MET=SHOWCONTAINER&vPRIMNAVISELECT=3&vSEKNAVISELEC T=1&vCONTAINERID= 8. Phua J, Koh YS, Du B, Tang YQ, Divatia JV, Gomersall CD, et al. Management of severe sepsis in patients admitted to Asian intensive care units: prospective cohort study. BMJ. 2011 [cited 2013 dec 9];342:d3245. Available from: British Medical Journal 9. Pradipta IS. Evaluation of antibiotic use in sepsis patients at ward of internal medicine Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta September-November 2008. M.Sc Thesis, Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. 2009 10. Machado RL, Bak R, Bicudo A, David CMN, Luiz RR, et al. Fifth international symposium on intensive care and emergency medicine for Latin America: Factors related to the mortality of patients with severe sepsis and septic shock. Crit. Care Med [internet]. 2009 [cited 2013 Dec 10]; 13(3):P18. Available from : Springerlink 11. Prayogo BW. Hubungan antara faktor risiko sepsis dengan kejadian sepsis berat dan septik syok di dept/ SMF obstetri dan ginekologi [Internet]. 2010 [updated 2012 Apr 17; cited 2013 Dec 10]. Available from: http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=55 4:hubungan-antara-faktor-risiko-sepsis-dengankejadian-sepsis-berat-dan-syok-sepsis-dideptsmf-obstetri-danginekologi&catid=57:abstrak-penelitian&Itemid=76
12. Yang H, Duling IT, Brown JS, Simonson SG. Respiratory organ dysfunction: a leading risk factor for hospital mortality in patients with severe sepsis or septic shock. 28th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; 2008 Mar 18-21; Brussels (Belgium). Crit. Care Med [internet]. 2008 [cited 2013 Dec 30]; 12(2):P485. Available from: Springerlink 13. Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. PhiladelphiaUSA: Saunders Elsevier; 2009. p. 644-9 14. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, et al. Harrison Manual Kedokteran. Indonesia:Karisma Publising Group; 2009. p. 99-104 15. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa Aksara Publisher; 2012 16. Melamed A, Sorvillo FJ. The burden of sepsis-associated mortality in the United States from 1999 to 2005: an analysis of multiple-cause-of-death data. Crit Care 2009, 13:R28 17. National health service United Kingdom. Sepsis [Internet]. [cited 2014 feb 7]. Available from: http://www.nhs.uk/Conditions/Bloodpoisoning/Pages/Causes.aspx 18. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet]. [updated 2013; cited 2014 Feb 7]. Available from: http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectiousdisease/sepsis/ 19. Burdette SD. Systemic inflammatory response syndrome [Internet]. [updated 2014; cited 2014 Feb 7]. Available from: Medscape 20. Esper AM, Moss M, Lewish CA, Nisbet R, Mannino DM, Martin GS. Therole of infection and comorbidity: Factors that influence disparities in sepsis. Crit Care Med 2006, 34:2576-82 21. James MT. Sepsis risk increased in chronic kidney disease without dialysis and treatment. Arch Intern Med. 2008;168:2333-39. Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/584134 22. Hubacek JA, Strüber F, Fröhlich D, Book M, Wetegrove S, Ritter M, Rothe G, Schmitz G. Gene variants of the bactericidal/permeability increasing protein and lipopolysacchraride binding protein in sepsis patients: gender-specific genetic predisposition to sepsis. Crit Care Med 2001, 29:557-61 23. Klein NC, Go CH, Cunha BA. Infections associated with steroid use. Infect Dis Clin North Am. 2001 Jun;15(2):423-32 24. Poll TVD. Immunotherapy of sepsis. The Lancet Infectious Diseases. 2001 Oct;1(3):16574 25. National health service United Kingdom. Chemotherapy [Internet]. [cited 2014 feb 18]. Available from: http://www.nhs.uk/conditions/chemotherapy/Pages/Definition.aspx
26. Centers for Disease Control and Prevention. Preventing infections in cancer patients [internet]. [cited 2014 Feb 18]. Available from: http://www.cdc.gov/cancer/preventinfections/ 27. Penack O, Buchheidt D, Christopeit M, et al. Management of sepsis in neutropenic patients: guidelines from the infectious diseases working party of the German Society of Hematology and Oncology. Ann Oncol. 2010. Available from : Oxford Journals 28. Henry W, Russell G, Suzanne J, et al. Obesity and risk of sepsis. Society of Critical Care Medicine and Lippincott Williams & Wilkins. 2012. Available from: http://journals.lww.com/ccmjournal/Abstract/2012/12001/735___Obesity_and_Risk_of_Seps is.697.aspx 29. Kuperman EF, Showalter JW, Lehman EB, et al. The impact of obesity onsepsis mortality: a retrospective review. BMC Infectious Diseases. 2013. 13:377. Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-2334/13/377 30. Prayogo et al. : Hubungan antara Faktor Risiko Sepsis Obstetri dengan Kejadian Sepsis Berat dan Syok Sepsis. Journal Unair [internet]. 2011 [cited 2014 Feb]; 19(3). Available from: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/1109%20Budhy%20%28P%29%20%20Format%20MOG. pdf 31. Garna HH. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis Universitas Padjajaran. Jakarta: Sagung Seto. 2012 32. Leksana E. SIRS, sepsis, keseimbangan asam-basa, shock, dan terapi cairan. Semarang: SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Kariadi/Fak. Kedokteran Universitas Diponegoro. 2006 33. Girard TD, Opal SM, Ely EW. Oxford Journals: Insights into Severe Sepsis in Older Patients: From Epidemiology to Evidence-Based Management. Clin Infect Dis. (2005) 40 (5): 719-727. doi: 10.1086/427876 34. Angele MK, Frantz MC, Chaudry IH. Gender and sex hormones influence the response to trauma and sepsis – potential therapeutic approaches. Clinics vol.61 no.5 São Paulo Oct. 2006. Available from: http://www.scielo.br/scielo.php?pid=s180759322006000500017&script=sci_arttext&tlng=en 35. Koh GCKW, Peacock SJ, Poll TVD, Wiersinga WJ. The impact of diabetes on the pathogenesis of sepsis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. Apr 2012; 31(4): 379–388. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3303037/
36. Annane D. Corticosteroids for severe sepsis: an evidence-based guide for physicians. Ann Intensive Care. 2011; 1: 7. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3224490/ 37. Nicholson JP, Wolmarans MR, Park GR. The role of albumin in critical illness. Br. J. Anaesth. (2000) 85 (4): 599-610. Available from: http://bja.oxfordjournals.org/content/85/4/599.full 38. A Train Education. Sepsis: Immune System Meltdown. [internet]. [cited 2014 July 11]. Available from: https://www.atrainceu.com/coursemodule/1884979-107_sepsis-module-05 39. Marik PE. Surviving sepsis: going beyond the guidelines. Annals of Intensive Care 2011, 1:17. Available from: http://www.annalsofintensivecare.com/content/1/1/17# 40. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.2000. 41. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006