PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DENGAN SUMBER BELAJAR NOVEL REMAJA Yuni Pratiwi 1. Pendahuluan Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia telah puluhan tahun dilaksanakan di sekolah. Jika dilihat dari segi usianya, siapa pun tentu boleh berharap bahwa pembelajaran apresiasi sastra Indonesia seharusnya telah berkembang menjadi sosok dengan citra yang cukup dewasa. Pikiran dan tenaga beratus ribu guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia telah disumbangkan untuk mencapai target yang ditetapkan dalam kurikulum. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru masih menghadapi sejumlah masalah antara lain, minat siswa dalam belajar apresiasi sastra tidak sehebat minat belajar terhadap mata pelajaran lain seperti matematika, biologi, bahasa Inggris; sebagian guru menghadapi kesulitan memilih strategi pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar, tidak tersedia teks sastra yang memadai untuk mendukung kegiatan pembelajaraan apresiasi, alokasi waktu tidak jelas, pengukuran hasil belajar belum sesuai dengan hakikat pembelajaran apresiasi sastra, dan kurang ada kepedulian masyarakat untuk mendukung terselenggarakannya kegiatan pembelajaran apresiasi sastra yang benar. Kenyataan di atas, sangat kontras dengan hasil penelitian yang dilaporkan sejumlah guru dari negara lain. Penelitian berjudul “A Gay-Themed Lesson in an Ethnic Literature Curriculum: Tenth Graders’ Respones to “Dear Anita” yang dilakukan oleh Steven Z. Athanases (1995) memberikan gambaran tentang kegiatan kelas yang dilakukan siswa-guru dalam mengapresiasi karya sastra. Langkah-langkah apresiasi yang dirancang secara cermat dengan mempertimbangkan pengalaman dan kebutuhan hidup siswa dapat menumbuhkan motivasi belajar yang tinggi. Lebih dari itu, kegiatan kelas yang dikembangkan dengan diskusi dan penulisan tugas akhir juga memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan menggali pandangan yang jernih terhadap masalah dalam teks sastra. Penelitian lainnya, berjudul “Cultural
2
Identity and Response to Literature: Running Lessons from Maniac Magee” yang dilakukan oleh Patricia Enciso (1994) menjelaskan bahwa teks sastra dapat menjadi salah satu sumber vital yang dapat membantu menjadi penunjuk arah untuk memahami manusia sebagai anggota sosial yang berbeda-beda. Karya sastra diyakini dapat mengembangkan minat siswa untuk memahami dan merasakan empati terhadap perbedaan manusia, waktu, dan dilema. Phyllis E. Within (1996)
melakukan
penelitian dengan judul “Exploring Visual Response to Literature” memberikan alternatif bahwa untuk menyatakan hasil analisisnya siswa dapat memanfaatkan simbol-simbol non linguistik, misalnya gambar, sketsa, dan chart. Simbol-simbol tersebut dimanfaatkan sebagai bahan diskusi. Dalam diskusi siswa berlatih untuk mengorganisasikan pikiran-pikirannya dengan mengggunakan argumentasi yang runtut dan jelas. Untuk itu, guru perlu membuat persiapan secara menyeluruh dan teliti sehingga pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang berarti. Masalah
menumpuk
dalam
pembelajaran
apresiasi
sastra
Indonesia
mengakibatkan ketidakmampuan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia untuk memberikan sumbangan bagi pertumbuhan dan perkembangan mental-spritual siswa. Pembelajaran apresiasi sastra juga tidak siap mengantarkan siswa memasuki abad kemajuan teknologi informasi. Padahal, kemajauan teknologi informasi
telah
mengaburkan batas-batas geografis wilayah negara yang ditandai identitas budaya. Pada saat ini yang terjadi bukan hanya akulturasi budaya beserta tatanilai yang menyertainya, tetapi sudah merupakan peleburan budaya. Dalam kondisi tersebut, pembelajaran apresiasi satra memiliki tugas melakukan pemberdayaan anak didik agar tetap bertahan dalam perubahan tatanilai dalam masyarakat yang berlangsung amat cepat. Pada masa depan, untuk bertahan ditengah gelombang perubahan selain diperlukan power of reasoning, juga harus dilengkapi dengan power of culturing. Raka Joni (1991) juga menegaskan bahwa siswa pada masa yang akan datang diharapkan memiliki kemampuan answering questions,
questioning answer, dan
questioning questions. Fungsi imperatif itu diharapkan mampu memasuki wilayah cultural, education dan ideologi serta memberikan nilai-nilai etis di semua tingkatan masyarakat. Dilihat dari kacamata pendidikan nasional,
isu mutakhir yang perlu
mendapatkan perhatian serius adalah membangun kehidupan dengan semangat moral
3
yang dilandasi demokrasi, kebebasan berpendapat, kejujuran, mengembangkan sikap toleransi dalam hidup, hukum sebagai panglima, maupun semangat reformasi menuju masyarakat madani. Semiawan (2000: 4) menyatakan bahwa kekerasan dan benturanbenturan sosial dapat dicegah sejak dini dengan mengedepankan kebersamaan dan pluralitas, prinsip-prinsip toleransi, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Selaras dengan pendapat ini, melalui pembelajaran apresiasi sastra dapat dikembangkan pemikiran bahwa anak dilahirkan seperti sehelai kertas putih yang
siap ditulisi
pengalaman apresiasi yang membentuk pendidikan nilai moral. Pengalaman belajar apresiasi sastra dapat memberikan sumbangan bagi siswa untuk membentuk dirinya menjadi makhluk yang mengedepankan nilai moral, sehingga membantu siswa mencapai point of arrival-nya sebagai manusia Indonesia bermoral. 2. Pembahasan 2.1 Kedudukan Pendekatan Kontekstual dalam Sistem Pembelajaran Apresiasi Sastra Pendekatan kontekstual dapat dijelaskan sebagai suatu konsep mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan materi pembelajaran dengan situasi nyata yang dapat memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat di mana siswa
hidup (US
Departemen of Education, 2001). Ketika gagasan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) mulai mengemuka pada tahun1990-an, pandangan tokoh seperti Dewey (1918) dan Vygotsky (1968 ) yang menekankan perlunya pemberian kesempatan kepada siswa untuk menghubungkan kegiatan pembelajaran yang mereka alami dengan konteks kehidupan siswa yang sesungguhnya mulai dikaji kembali. Moll (1993: 1) mengutip pandangan Vygotsky yang menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya berfokus pada pengembangan aspek kogintif, tetapi juga sebagai aktivitas sosiokultural yang sangat esensial.
Mengikuti pendapat Vygotsky, Revière (1984) dalam Moll
(1990)
melakukan observasi, dan melaporkan bahwa sekolah (dan juga situasi pendidikan informal lainya) sebagai “laboratorium budaya” terbaik untuk belajar berpikir dengan latar sosial yang secara khusus didesain untuk mengembangkan mengubah cara berpikir. Misalnya,
pembelajaran menulis, merupakan bentuk organisasi sosial
4
pembelajaran yang unik, perwujudan kerja sama anak (siswa) dengan orang dewasa (guru). Kerja sama tersebut merupakan elemen sentral dalam proses pendidikan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami pengembangan kemampuan dalam sistem yang nyata. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pembelajaran memiliki kedudukan yang fundamental dalam aktivitas manusia. Kemampuan mengajar dan manfaat dari pembelajaran berpengaruh pada perkembangan proses psikologis siswa. Pada
kenyataannya,
banyak
siswa
di
sekolah
mengalami
kesulitan
menghubungkan pengetahuan yang telah dipelajarinya dalam kelas dengan cara-cara memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan yang nyata (Teacher Workshops Contextual Learning Resources, 2001). Kesulitan tersebut timbul karena cara-cara yang digunakan untuk memproses informasi dan motivasi belajar tidak mampu dijangkau dengan metode pengajaran tradisional. Dalam pengajaran dengan metode tradisional, siswa mengalami saat-saat yang sulit untuk memahami konsep akademik (misalnya memahami unsur intrinsik dalam fiksi), karena penjelasannya sangat abstrak. Meskipun demikian, di dalam kelas siswa tetap didorong untuk berusaha untuk memahami konsep tersebut meski tanpa menghubungkannya dengan tempat kerja atau lingkungan sosial yang luas tempat mereka tinggal. Dalam pengajaran tradisional, siswa diperkirakan telah menghubungkan sendiri sesuatu yang dipelajarinya dengan dengan apa yang dimilikinya di luar kelas. Pendekatan kontekstual berpandangan bahwa pengetahuan menjadi lebih bermakna apabila pengetahuan tersebut dibangun melalui pengalaman belajar yang menunut kemampuan berpikir kritis dan berhubungan dengan konteks kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, materi yang dipelajari siswa dalam kelas hendaknya berhubungan kebutuhan yang nyata dalam konteks sehari-hari. Untuk mendukung maksud tersebut, sekolah perlu mengembangkan lingkungan atau situasi pembelajaran yang bersifat alamiah. Artinya, belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami dan membangun sendiri pengetahuan yang dipelejarinya dan dapat menggunakannya dalam kesempatan yang tepat. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Istilah-istilah yang digunakan pembahasan prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual
telah
dikenal
sebelumnya
melalui
studi
tentang
5
pendekatan,metode, atau teknik pembelajaran yang mempertimbangkan keterlibatan siswa dan konteks pembelajaran dalam pemrosesan informasi. Misalnya, pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa menekankan pada latihan berbahasa dengan memperhatikan fungsi dan konteks komunikasi dalam kehidupan yang nyata. Prinsipprinsip pokok dalam pendekatan kontektual yakni kontruktivisme, inquiry, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refeksi, dan penilaian autentik. Ketujuh prinsip tersebut bersifat saling mendukung dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Secara visual ketujuh prinsip tersebut dapat digambarkan seperti berikut.
INQUIRY
KONTRUKTIVISME
PENDEKATAN KONTEKSTUAL
MASYARAKAT BELAJAR
BERTANYA
REFLEKSI
PEMODELAN
PENILAIAN AUTENTIK
Gambar 1: Skema Prinsip-pinsip Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kotekstual dikembangkan berdasarkan paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan bersifat non-objektif, temporer, dan selalu berubah. Paradigma ini menyikapi belajar sebagai usaha untuk membangun pemahaman melalui aktivitas yang bersifat produktif dan kreatif. Belajar berlangsung dalam proses interaksi antara pembelajar dengan lingkungan kehidupan dan lingkungan sosial-budayanya. Kompetensi siswa terbentuk dari akumulasi pengalaman belajar yang melibatkan elemen pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Pengalaman belajar antara lain diperoleh dari kegiatan mendomenontrasikan pemahaman,
mendeskripsikan,
mengidentifikasikan,
menglasifikasikan,
menghubungkan, membandingkan, merencanakan, memilih tindakan, membuat prediksi, dan mengambil keputusan.. Kompetensi siswa terbentuk melalui kegiatan mandiri, kerja sama, partisipasi, dan pemberian bimbingan. Dalam proses pembelajaran
siswa
melakukan
pemahaman,
penyesuaian,
penghayataan,
6
pengembangan, penciptaan melalui proses berpikir berkenaan dengan kenyataankenyataan yang dipelajarinya. Salah satu konsekuensi paling awal yang dihadapi dalam penggunaan pendekatan kontekstual, yakni memikirkan pengembangan strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran selain menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi siswa untuk membangun sendiri pengetahuan baru juga harus menumbuhkan motivasi yang tinggi untuk memecahkan berbagai masalah. Lembaga penelitian pendidikan kejuruan dan pendidikan orang dewasa di Amerika (US Departement of Education Office of Vocational and Adult Education and National School-to-Work Office) mengusulkan beberapa pikiran dasar untuk mengembangkan strategi belajar-mengajar seperti berikut ini. (1) Pendekatan kontekstual menekankan pada pentingnya pemecahan masalah. (2) Kegiatan belajar dan mengajar dilakukan dalam berbagai konteks seperti di rumah, di masyarakat, di tempat kerja. (3) Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri. (4) Mendorong siswa agar dapat belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri. (5) Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda. (6) Menggunakan penilaian otentik. Apabila gagasan yang dicetuskan oleh US Departement of Education Office of Vocational and Adult Education and National School-to-Work Office dan Pearson (2001) melalui Centre for Occupational Reseach,
di atas diaplikasikan dalam
pembelajaran apresiasi sastra, maka dapat dikembangkan pemikiran bahwa strategi pembelajaran apresiasi sastra dirancang dengan pendekatan kontekstual
harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih memecahkan masalah yang relevan dengan berbagai konteks seperti, di rumah, di masyarakat, di sekolah, dan kemungkinan kelak jika siswa telah berada di tempat kerja. Untuk itu, berbagai masalah kehidupan yang diketengahkan pengarang sastra dapat menjadi sumber pelajaran bagi siswa. Siswa belajar tentang manusia dan kehidupannya,
konflik-
konflik kehidupan, jalan pikiran, sikap, dan perilaku melalui tokoh dalam fiksi. Tokoh-tokoh, peristiwa, setting budaya dalam fiksi memberikan gambaran tentang bagaimana manusia membangun, mempertahankan, atau sebaliknya
7
mengahancurkan pilar-pilar hakiki dari kehidupan yang berupa
kebersamaan,
kepedulian dan empati, kerja sama, keteguhan hati, saling menolong, percaya diri, kejujuran, kesabaran, tanggung jawab, dan toleransi, dan sebagainya. Kegiatan membaca, diskusi, dan menulis tentang karya sastra yang dibacanya dapat menolong siswa memiliki pemahaman yang lebih baik bagaimana makna teks dan bagaimana teks sastra tersebut dimaknai (Beach dan Marshall, 1991: 17). Pembelajaran
apresiasi
sastra
dirancang
untuk
mengaktifkan
siswa
memecahkan suatu masalah melalui kegiatan eksplorasi dan penemuan. Sastra disikapi sebagai sumber data verbal yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Tugas guru adalah sebagai pembimbing dan pengalaman belajar apresiasi sastra yang telah diperoleh hendaknya dapat ditransfer untuk memecahkan masalah dalam situasi yang baru. Dengan demikian, siswa akan terus-menerus melakukan ekspansi pengetahuan melalui proses belajar yang dialaminya. Kedudukan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat digambarkan sebagai berikut.
Pendekatan Kontekstual: ⇒ Strategi ⇒ Skenario Pembelajaran
Kondisi Awal Siswa
Kompetensi Dasar
Konteks Sosial
Indikator Hasil Belajar
Pengalaman Belajar
Evaluasi
Materi Pembelajaran: Sumber ⇒ Naskah Sastra
Gambar 2: Kedudukuan Pendekatan Kontekstual dalam Sistem Pembelajaran Apresiasi Sastra
2.2 Memilih Profa Fiksi sebagai Sumber Pelajaran Apresiasi Sastra
8
Dalam konteks pembelajaran,
pertimbangan apakah yang perlu dipikirkan
dalam memilih prosa fiksi sebagai sumber pelajaran? Perrine (1983: 7) mengibaratkan fiksi seperti halnya makanan. Dalam makanan, terdapat
kandungan protein dan
vitamin, yang dapat membangun tulang dan daging. Di antara makanan tersebut, ada yang memiliki rasa yang cocok, tetapi tidak begitu penting. Bahkan di antaranya, ada yang mengandung bahan-bahan jelek, sehingga merusak kesehatan. Sudut pandang dalam membeda-bedakan kandungan makanan ini dapat juga digunakan untuk sebagai pertimbangan dalam fiksi sebagai sumber pelajaran. Fiksi hiburan (escape fiction) memiliki dua sifat sebagaimana makanan. Jenis yang pertama, terdapat fiksi hiburan yang sejak awal sudah jelas memperlihatkan diri sebagai fiksi hiburan. Fiksi ini tidak menuntut pembaca untuk berpikir serius terhadap kisah dan pesan-pesan yang ada di dalamnya.. Fiksi kelompok ini berisi kisah-kisah yang dikembangkan dari peristiwa kehidupan nyata yang seringkali diolah menjadi peristiwa yang lebih fantastik, menghibur,
dan kemungkinan bersifat temporer. Dengan membaca karya-karya
semacam ini seseorang seringkali dapat melupakan problema kehidupan yang sesungguhnya yang tengah dihadapi. Pengarang mengembangkan cerita sederhana, misalnya seorang pemuda miskin yang tampan, cerdas, jujur, dan berwatak ksatria tengah berjuang sebagai hero untuk menumpas kejahatan, ketamakan, kerakusan, penindasan, dan pada akhirnya ia pun beruntung karena dicintai dengan setulus hati oleh seorang putri jelita yang kaya raya. Tokoh tersebut seakan tak terkalahkan karena nasib baik dan pertolongan selalu berpihak padanya. Pembaca tidak perlu berpikir keras dalam membaca fiksi semacam ini dan lebih sering terlibat secara emosional dalam mengikuti kisah yang dikembangkan pengarang. Jenis yang kedua,
tergolong fiksi yang dapat menyesatkan pembacanya.
Penampilan fiksi ini dari permukaan tampak seakan-akan menjanjikan sebuah terapi terhadap hidup, tetapi sebenarnya tidak pernah berbicara tentang secara serius tentang hidup, dan hanya berbicara hal-hal yang serba menyenangkan. . Apabila fiksi ini tidak dibaca serius dan tanpa koreksi, justru dapat menimbulkan kesalahan pemahaman terhadap realitas, sebab pengalaman seperti yang dikisahkan dalam fiksi itu tidak pernah terjadi dalam kehidupan yang nyata. Selain fiksi hiburan, pengarang tertentu mengkhususkan diri menulis karya yang bersifat interpretatif
(interpretaitive literature). Karya interpretatif ditulis
9
dengan penghayatan dan kesadaran makna kehidupan yang luas dan mendalam. Karya interpretatif memberikan
penerangan tentang beberapa aspek kemanusiaan atau
tingkah laku manusia. Prosa fiksi interpretatif juga membukakan pandangan tentang alam, gejala kejiwaan,
dan kondisi kebedaraan manusia. Karya semacam ini
mengetengahkan kesadaran yang mendalam tentang kebiasaan-kebiasaan manusia yang satu saat menjadi amat ramah dan pada waktu yang lain saling bermusuhan. Kisah-kisah yang dikembangkan membantu pembaca memahami kehidupan manusia, perilaku, dan eksistensinya. 2.3 Memanfaatkan Novel Remaja sebagai Sumber Pelajaran Apresiasi Sastra Konsekuensi penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran apresiasi sastra, yakni pembelajaran harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk meningkatkan pengetahuan sambil mengembangkan kepribadian. Tugas guru yakni mengembangkan pembelajaran apresiasi yang mendukung terciptanya kesempatan belajar yang sebaik-baiknya. Pembelajaran apresiasi dikembangkan
untuk
menyediakan kesempatan bagi siswa mengakomodasi dan mengasimilasikan informasi, mengontruksi pengetahuan melalui proses interaksi, memecahkan masalah melalui proses inkuiri, menemukan model, melakukan refleksi atas proses belajar yang telah dan akan dilakukannya, dan merancang kegiatan lain untuk melakukan ekspansi dan transformasi pemahaman moral yang telah diperolehnya. Dalam pembelajaran apresiasi dengan pendekatan kontekstual,
karya sastra
berperan sebagai salah satu sumber pelajaran dalam pembentukan manusia yang mengedepankan semangat moral sebagai titik tolak dalam berpikir, bersikap dan betindak. Perspektif yang dikembangkan dalam pengajaran sastra adalah menjadikan siswa sebagai subjek pembelajaran. Siswa menjadi pelaku yang aktif mencari, memikirkan, merenungkan, menghayati, dan menilai nilai-nilai moral yang diperbincangkan oleh sastrawan dalam karyanya. Dengan demikian, siswa akan menjadi individu yang memiliki dan menghargai nilai-nilai moral. Pemahaman atas nilai moral mengantarkan siswa tumbuh menjadi manusia dewasa yang menjujung tinggi martabat kemanusiaannya.
10
Pembelajaran apresiasi sastra mengalami pemekaran makna, tidak sebatas pada upaya penguasaan aspek-apek literer, melainkan sebagai upaya pendidikan nilai moral. Pengalaman belajar memberikan pencerahan batin kepada siswa untuk memahami diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan. Nilai moral merupakan abstraksi metafisik berdasarkan filsafat atau etika tertentu untuk mengembangkan dan menjelaskan implikasi nilai moral tersebut secara empiris dalam berbagai situasi. Apresiasi nilai moral menumbuhkan kesadaran bahwa terdapat kewajiban moral (oughtness) pada tiap-tiap keputusan dalam kehidupan, dan pengingkaran terhadap kewajiban tersebut membawa sanksi secara langsung atau tidak langsung. Di sinilah pentingnya pendidikan untuk melakukan hibridasi terhadap local wishdom atau kearifan lokal yang telah lama dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu. Guru sejak awal bertugas mendeskripsikan, mengidentifikasi, menglasifikasi, memilih, dan memutuskan budaya dan nilai yang perlu dipelajari siswa. Dalam Garis-Garis Beasar Haluan Negara 1999-2004, Bab IV Arah Kebijakan, pada butir E tentang Pendidikan
dinyatakan,
bahwa pemerintah berusaha
memberdayakan lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan parasarana memadai. Pemerintah berusaha mewujudkan rencana tersebut antara lain dengan memberikan kedudukan pembelajaran apresiasi sastra sebagai sarana dalam pertumbuhan mental dan kepribadian siswa. Hal tersebut tercermin pada rumusan tujuan pengajaran sastra, yakni
siswa
mampu
menikmati
dan
memanfaatkan
karya
sastra
untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan ilmu pengetahuan, dan kemampuan berbahasa (GBPP BI, 1994:10). Dalam draft Kurikulum 2004 pada bagian pendahuluan dinyatakan secara tegas bahwa hakikat belajar sastra adalah belajar tentang manusia dan nilai-nilai nilai kemausiaannya. Pernyataan-pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa kegiatan pembelajaran, karya sastra disikapi sebagai wacana tentang manusia dan kehidupannya. Demikian pula sastra dipandang sebagai social stock of konowledge (Dhakidae dalam Sayuti, 1999: 38) sehingga memungkinkan siswa memahami dan menghayati berbagai masalah kehidupan.
11
Dalam pembelajaran apresiasi sastra, siswa bukanlah individu yang berada di luar dunia yang dibangun pengarang, melainkan terlibat dalam berbagai masalah yang dibicarakan pengarang. Siswa diberi kesempatan yang luas dan suasana yang menyenangkan untuk mengenal, memahami, menghayati nilai yang terkandung dalam karya sastra. Interaksi siswa dengan karya sastra memungkinkan terjadinya kontemplasi dan refleksi yang berlangsung secara kritis dan kreatif, sehingga terjadi proses internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam teks. Pada akhirnya, pemahaman terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam teks sastra tersebut dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang manusia dan kehidupannya, menentukan sikap dan pilihan niali untuk meningkatkan martabatnya. Sastra merupakan salah satu bentuk refleksi semangat moral suatu bangsa. Jika sebuah karya sastra mendapat tanggapan dan penghargaan yang mendalam dari suatu khalayak, maka tanggapan dan penghargaan itu tidak semata-mata tertuju pada karya tersebut, melainkan juga pada bangsanya. Kebermaknaan nilai-nilai moral yang ditawarkan bagi setiap individu mampu menembus batas-batas geografis, waktu, dan ciri-ciri pengenal yang bersifat formal. Karya-karya besar ditulis dari proses pencerapan dan kontemplasi moral yang matang. Masyarakat sendirilah yang akan yang akan mendokumentasikan muatan nilai moral pada karya fiksi semacam ini. Perhatikan gambar berikut.. Norma Moral l Norma hukum Norma Sopan santun
ASPEK LITERER TEKS SASTRA PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Gambar 3: Penggunaan Pendekatan Kontekstual untuk Pendidikan Nilai Moral
12
Dalam novel remaja dapat ditemukan perikehidupan remaja yang tentu saja lebih akrab dengan pembaca kalangan remaja. Dalam “Eiffel, I’m in Love” (selanjutnya akan disingkat Eiffel), misalnya, dapat ditemukan dunia remaja ketika ia berada di sekolah, di jalan ketika pulang dari sekolah, percakapan di luar kelas ketika mereka membincangkan guru yang disukai/tidak disukai, keresahan mereka ketika dikungkung oleh orang tua yang menurut mereka “kolot” karena anaknya tidak boleh berpacaran, dan sebagainya. Aspek-aspek yang sangat sangat kontekstual bagi kalangan remaja ini merupakan “modal dasar” untuk mengakrabkan remaja dengan karya sastra yang dibacanya. Dalam pembelajaran apresiasi sastra pembahasan tentang tokoh, urutan peristiwa, latar cerita, tema yang dihubungkan dengan relatitas kehidupan remaja akan menjadi lebih bermakna. Pemanfaatan novel remaja sebagai sumber pelajaran dapat dirancang dalam dengan strategi dan skenario yang melibatkan siswa dalam bentuk aktivitas sosialkemasyarakatan misalnya, reportase, debat, sarasehan, representasi-visaul, penulisan dan pementasan fragmen drama, wawancara, dan lomba penulisan esai dan kritik sastra. Dengan demikian, analisis aspek-aspek literer hanyalah sebagai titian untuk mencapai tujuan pembelajaran yang lebih bermakna. Tugas-tugas yang variastif dan partisipatif menghindarkan siswa dari situasi rutin analisis teks sastra. 3. Penutup Pendekatan kontekstual dapat digunakan sebagai dasar pemilihan strategi dan skenario pembelajaran apresiasi sastra. Pendekatan kontekstual menyediakan kesempatan bagi siswa membangun
pengetahuan bermakna melalui kegiatan
pemecahan masalah, kerja sama, partisipasi, pemberian contoh, bimbingan, serta refleksi. Lebih dari itu, pengetahuan dibangun dengan mempertimbangkan relevansi dan fungsinya dengan kehidupan yang nyata. Sesuai dengan hakikat pembelajaran apresiasi sastra, pengetahaun yang dibangun dalam pembelajaran apresiasi sastra yakni untuk memahami kehidupan dan manusia. Dalam lingkup yang lebih khusus, pembelajaran apresiasi sastra dapat memanfaatkan novel remaja yang sekaligus dapat difungsikan sebagai media pendidikan nilai moral.
RUJUKAN
13
Beach,, R. dan Marshall, J. 1990. Teaching Literature in the Secondary School. San Diego: Harcourt Brace Javanovich, Publisher. Clymer, T. Tanpa tahun. “10 Ways to Recognize Great Childrens Literature”. Dalam Burdet, S. & Ginn (Ed.). Star-Walk. California: World of Reading. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SLTP. Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Garis-Garis Besar Program Pengajaran Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Enciso, Patricia. 1994.Cultural Identity and Response to Literature: Running Lessons from Maniac Magee. Language Art. Vol. 71, November 1994 Falikowski, A. 1990. Moral Philosophy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Harris, A. 1976. Teaching Morality and Religion. London: George Allen & Unwin Ltd. Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Joyce, B.; Weit, M.; Showers, B. 1992. Models of Teaching. Boston: Allyn and bacon. Mool, L.C (Ed.)., 1993. Vygotsky and Education. New York: Cambridge University Press.
Perrine, L.. 1983. Story and Structure. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Publisher Semiawan, C. 2000. Kebijakan Pendidikan Dasar Menengah Masyarakat Indonesia Baru. Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia. Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 19-22 September 2000. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Whitin. P.E. 1996. Exploring Visual Response to Literature. Research in the Teaching of English, Halaman 114-141.