Contoh Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Rizkygumay
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Contoh Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,043
  • Pages: 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Viktimologi 1.

Definisi Viktimologi Viktimologi berasala dari kata victim (korban) dan logi

(ilmu

pengetahuan), bahasa latin victima (korban) dan logos (ilmu pengetahuan). Secaara sederhana viktimologi/ vitctimology artinya ilmu pengetahuan tentang korban (kejahatan). Mrenurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010: 5) bahwa victim adalah “orang yang telah mendapat pendertiaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Selaras dengan pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1980:75) menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban. Secara yuridis pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat rumusan tersebut yang dimaksud dengan korban adalah : 1. Setiap orang 2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

3. Kerugian ekonomi 4. Akibat tindak pidana Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi-saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, korban adalah “Orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak mana pun.” Sedangkan korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.” Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah “Orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban atau ahli warisnya”.1 Sedangkan definisi viktimologi menurut para ahli adalah sebagai berikut: 1.

Menurut J.E.Sahetapy, pengertian Viktimologi adalah ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek, sedangkan menurut Arief Gosita Viktimologi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan korban dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupannya.2

2. 1

Menurut Zvonimir Paul-Separovic adalah “Victimology refers to science

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 8-11. Handar Subandhi Bakhtiar, “Pengertian Viktimologi”, http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/pengertianviktimologi.html, diakses 20 Maret 2019, pukul 20.55 WIB 2

dealing

eith

the

study

of

the

victim”,

artinya

Victimology mengacu pada ilmu yang berurusan dengan studi tentang korban. 3.

Menurut Arif Gosita definisi viktimologi adalah Viktimologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah pengorbanan kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.3 Berdasarkan beberapa definisi diatas terkait viktimologi maka dapat

disimpulkan bahwa viktimologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan denga korban dalam terjadinya suatu tindak pidana. Viktimologi juga membahas peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindakan kejahatan di masyarakat, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan. 2.

Ruang Lingkup Viktimologi Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. Menurut J. E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut : a.

Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik.

b.

Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.

c.

Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban, pelaku, pengamat,

Rani Hendriana, “Viktimologi”, http://www.slideshare.net/elsaref/victimology-rani-fix-2, diakses 20 Maret 2019, pukul 20.55 WIB. 3

pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya. d.

Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal.

e.

Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.

f.

Faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.4 Sedangkan menurut Arif Gosita bahwa ruang lingkup viktimologi adalah

sebagai berikut: a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik. b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal. c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat Undang-Undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya. d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal. e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan. f. Faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.5 Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk :

Handar Subandhi, “Ruang Lingkup Vikimologi”, http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/ruang-lingkupviktimologi.html, diakses 21 Maret 2019, pukul 17.33 WIB. 5 Hasbie Alkahfi, “Pengertian Tentang Viktimilogi, Ruang Lingkup Viktimologi, Pengertian Korban, Masalah Viktimisasi, Sejarah Viktimologi, Dan Hubungan Viktimologi Dan Bidang Ilmu Lainnya”, http://kumpulanmakalah123.blogspot.com/2014/03/pengertian-tentang-viktimologi-ruang.html, diakses 21 Maret 2019, pukul 19.10 WIB. 4

a.

Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

b.

Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;

c. 3.

Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.6

Manfaaat Viktimologi Dari pembahasan diatas dapat dilihat bahwa viktimologi merupakan cabang ilmu yang sangat penting eksistensinya dan urgensinya. Viktimologi bukan saja seabagai kaajian penting untuk pengembangan yang bersifat teoritis, tetapi urgen dalam praktik peradilan pidana, pencegahan dan pemberantasan kejahatan, pelayanan serta perlindungan hukum dan bahkan dalam rangka perwujudan kesejahateraan negara (wafare state). Sehubungan dengan itu, menurut pendapat ahli terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik dari viktimologi (Abdussalam, 2010:4), yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat prkatis untuk: a. Setiap korban akan memahami hak dan kewajibannya dalam rangka mengantisipasi semua ancaman yang akan dihadapinya; b. Dapat digunakan bagi para korban untuk meunutut hak-haknya atas penderitaan dan kerugian yang dihadapi sebagai akibat dampak kejahatan, dampak sosial, polusi industri, dampak ekonomi, dampak politik penyelenggaraan negara, dampak sosial budaya pemerintah, dan dampak penyalahgunaan penyelenggaraan negara; c. Dapat digunakan oleh penyelenggara negara untuk mengembalikan hakhak korban yang lebih baik dalam semua aspek kehidupan untuk mencegah korban mengalami penderitaan dan kerugian yang semakin berkepanjangan. 2. Manfaat teoritis untuk:

“Makalah Viktimologi”, https://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi/, diakses 21 Maret 2019, pukul 19.28 WIB. 6

a. Kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan tentang korban; b. Menambah

khasanah

kepustakaan

di

bidang

ilmu

pengetahuan

viktimologi.7 Manfaat viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut : a. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi; b. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial. Tujuannya tidaklah untuk menyanjung-nyanjung pihak korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan ini adalah sangat penting dalam rangka mengusahakan kegiatan pencegahan terhadap berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi; c. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui, mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau nonstruktural. Tujuannya untuk memberikan pengertian yang baik dan agar menjadi lebih waspada; d. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung misalnya, efek politik pada penduduk dunia ketiga akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akiba-akibat sosial pada setiap orang, akibat polusi industri terjadinya viktimisasi ekonomi, politik, dan

7

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 135-136.

sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan; e. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal. Pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia. Manfaat viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam mempelajari manfaat studi korban yaitu : a.

Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukum;

b.

Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana;

c.

Manfaat

yang

berkenaan

dengan

usaha

pencegahan

terjadinya

korban.Manfaat viktimologi ini dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran. Dalam usaha mencari kebenaran dan untuk mengerti akan permasalahan kejahatan, delikuensi dan deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya secara dimensional. Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Bagi aparat Kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi, akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya suatu kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta

aspek-aspek lainnya yang terkait. Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Bagi kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai organ pengadilan yang dianggap memahami hukum yang menjalankan tugas luhurnya, yaitu menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan adanya viktimologi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim. Viktimologi

dapat

dipergunakan

sebagai

pedoman

dalam

upaya

memperbaiki berbagai kebijakan/ perundang-undangan yang selama ini terkesan kurang memperhatikan aspek perlindungan korban.8 Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia.Uraian di atas pada dasarnya ada tiga hal pokok berkenaan dengan manfaat studi tentang korban yaitu: 1.

manfaat yang berkenaan dengan pemahaman batasan korban, pencipta korban proses terjadinya -hak korban

2.

manfaat yang berkenaan dengan penjelasan tentang peran korban dalam suatu tindak pidana, usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukumnya;

Handar Subandhi, “Manfaat Vikimologi”, http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/ruang-lingkupviktimologi.html, diakses 22 Maret 2019, pukul 07.03 WIB. 8

3. B.

manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.9

Perbuatan Cabul 1.

Definisi Perbuatan Cabul Cabul adalah keinginan atau perbuatan yang tidak senonoh menjurus ke arah perbuatan seksual yang dilakukan untuk meraih kepuasan diri di luar ikatan perkawinan. Cabul identik dengan tindakan pornografi. Pornografi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani

"porne"

yang dipakau untuk

menggambarkan tindakan pelacur. Dalam pengertian selanjutnya, pornografi yang sarat tindakan cabul berhubungan dengan benda-benda yang merangsang nafsu birahi atau rangsangan seksual, yang diekspos secara vulgar, dapat berupa gambar-gambar, telepon seks, dan film-film. Disebut cabul dan porno jika bendabenda tersebut tidak mengandung unsur seni, sastra, politik, atau kepentingan ilmu pengetahuan.10 Terdapat perbedaan definisi pencabulan pada berbagai Negara. Bila melihat definisi pencabulan yang diambil dari Amerika Serikat, maka definisi pencabulan yang diambil dari The National Center on Child Abuse and Neglect US, ’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Satrio Bangkit, “Manfaat Kriminologi dan Viktimologi Bagi Hukum Pidana”, https://satriobangkit.wordpress.com/2016/10/19/manfaat-kriminologi-viktimologi-bagi-hukum-pidana-3/, diakses 22 Maret 2019, pukul 07.03 WIB. 10 Wikipedia, “Cabul”, https://id.wikipedia.org/wiki/Cabul, diakses 23 Maret 2019, pukul 06.05 WIB. 9

Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan.11 Menurut para ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-beda seperti yang dikemukakan

oleh Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan

adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”. Dari pendapat tersebut,

berarti pencabulan tersebut di satu pihak

merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya terhadap seorang perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bermoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. R. Sughandhi dalam asumsi mengatakan tentang pencabulan ialah : “seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”. Dari pendapat R. Sughandhi di atas, bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita yang bukan isterinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi ada unsur lain yaitu unsur keluarnya air mani, yang artinya seorang pria tersebut telah menyelesaikan perbutannya hingga selesai, apabila seorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencabulan.

Yuyanti lalata, “Tindak Pidana Pencabulan”, http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/tindak-pidanapencabulan.html, diakses 23 Maret 2019, pukul 06.16 WIB. 11

Asumsi

yang

tak

sependapat

dalam

hal

mendefinisikan

pencabulan tidak memperhitungkan perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”. Dari pendapat tersebut, ini membuktikan bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman kekerasan dengan cara dibunuh, dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan suatu bagian untuk mempermudah dilakukannya suatu persetubuhan.12 Pencabulan merupakan suatu tindakan kejahatan yang pada umumnya diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang isinya adalah sebagai berikut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun “13 2.

Unsur-unsur Perbuatan Cabul Pencabulan merupakan

suatu

tindakan

kejahatan

yang pada

umumnya diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang isinya adalah sebagai berikut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun “. Jika diperhatikan dar isi Pasal tersebut, terdapat unsur-unsur yang antara lain sebagai berikut :

a. “barangsiapa” merupakan suatu istilah orang yang melakukan; b.

“dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” yang artinya melakukan kekuatan badan, dalam Pasal 289 KUHP disamakan dengan menggunakan kekerasan yaitu

Ngawiardi, “Kajian Kriminologi Terhadap Kejahatan Pencabulan Anak Di Bawah Umur Di Parigi Moutong”, Jurnal Hukum Unsrat, hlm. 8. 13 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 12

membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya;

c.

“memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia “ yang artinya seorang wanita yang bukannya istrinya mendapatkan pemaksaan bersetubuh di luar ikatan perkawinan dari seorang laki-laki. Pencabulan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk

bersetubuh dengan anak dibawah umur diatur juga dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan :

a.

Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.60.000.00,- (enam puluh juta rupiah);

b.

Ketentuan pidana sebagaimana dimasud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain14. Jika diperhatikan isi Pasal tersebut di atas, maka unsur-unsur pencabulan ialah

sebagai berikut : a.

Setiap orang, yang berarti subjek atau pelaku;

b.

Dengan sengaja, yang berarti mengandung unsur kesengajaan (dolus);

c.

Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang berarti dalam prosesnya diperlukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang berarti ada suatu pemaksaan dari pelaku atau orang lain untuk bersetubuh dengan seorang anak (korban);

d.

14

Berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang berarti bahwa perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan cara menipu, merayu, membujuk, dan lain sebagainya untuk

menyetubuhi korbannya. 3.

Jenis-jenis Perbuatan Cabul Didalam mengklasifikasikan pencabulan menurut Abdul Wahid dapat terbagi melalui beberapa macam jenis pencabulan yang antara lain sebagai berikut :

a. Sadistic rape Pencabulan sadistic, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku pencabulan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat kelamin dan tubuh korban;

b. Angea rape Penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya;

c. Dononation rape Suatu pencabulan yang terjadi seketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuanya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keingginan berhubungan seksual;

d. Seduktive rape Suatu pencabulan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa

itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks;

e. Victim Precipitatied rape Pencabulan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya;

f.

Exploitation rape Pencabulan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang dicabuli suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.15

C.

Korban 1.

Definisi Korban Secara yuridis definisi korban menurut undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugiane konomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.16 Selain itu pengertian korban menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 pasal 1 angka 3 dan pasal 1 aagka 5 UUKR, yaitu: “orang perseorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan, baik fisi, mental, maupun

emosional,

kerugian

ekonomi,

atau

mengalami

pengabaian,

pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban dan ahli warisnya Secara luas menurut Soeharto, pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban tidak langsung disini seperti, istri kehilangan suami, anak yang 15

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokat Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung:refika Aditama, 2001), hlm.46. 16 Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya, dan lainnya. 17 Setalah mengetahui definisi korban, berikut adalah beberapa tipe korban (kejahatan): a.

Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap menjadi korban, untuk tipe ini kesalahan ada pada pihak si pelaku.

b.

Korban secara sadar atau tidak sadar melakukan suatu perbuatan yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dikatakan mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan, sehingga kesalahan terletak pada sipelaku dan korban.

c.

Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban, anakanak, orang tua, orang yang secara fisik/ mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya adalah orang-orang yang mudah menjadi korban

d.

Korban karena dia sendiri adalah pelaku. Inilah yang dikatakan seabagai kejahatan tanpa korban. Misalnya pelacur, perjudian, zinah.18

2.

Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Dalam terjadinya tindak pidana menurut persfektif viktimologi tidak selalu disebabkan oleh faktor pelaku melainkan didalamnya terdapat pula faktor korban sehingga terjadinya suatu tindak pidana. Adanya faktor keterlibatan korban dalam terjadinya tindak pidana dapt disebabkan oleh beberapa hal yaitu kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan atau mungkin kesalahan korban, bahkan bisa saja terjadi karena kelalaian negara untuk melindungi warganya.19 Menurut

Stephen

Schafer, ditinjau dari persfektif

tanggung

jawab korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut : a. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku 17

Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015), hlm. 243. 18 Ibid. Hlm.11. 19 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 19.

dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban; b. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama; c. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di Bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku; d. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan

potensial

korban

kejahatan.

Ditinjau

dari

aspek

pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya; e. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat; f. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung jawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan. g. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.20

20

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, (Denpasar: Djambatan, 2007), hlm 124.

Perkembangan global, faktor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun faktorfaktor negatif yang lain, memungkinkan adanya korban yang tidak “murni”. Disini korban teresngkut atau bahkan menjadi pelakunya. Lebih mendalam tentang masalah ini, Hentig seperti yang dikutip (Rena Yulia,2010:8) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah: a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi: b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoloeh keuntungan yang lebih besar: c. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku dan si korban: d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban.21 Sedangkan ditinjau dari Prespektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka Ezzat Abdel Fattah, menyebutkan beberapa bentuk, yakni sebagai berikut : a. Nonparticipating victims adalah mereka yang tidak menyangkal/ menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan; b. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu; c. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan; d. Participating victimsadalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban; e. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri;22 Selain dari prespektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai 21 22

Bambang Waluyo, Loc.Cit. Lilik Mulyadi, Loc.Cit.

suatu

perbandingan

perlu

pula

dikemukakan

beberapa

tipologi

yang

dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang, sebagai berikut : a. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok); b. Secondary victimization,yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan hukum; c. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas; d. Mutual victimization,yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri, misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika; e. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.23 Selanjutnya hubungan korban dan pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya . menurut Mendelsohn (ibid,:80) berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam, yaitu: a. Yang sama sekali tidak bersalah: b. Yang jadi korban karena kelalaiannya: c. Yang sama salahnya dengan pelaku: d. Yang lebih bersalah dari pelaku: e. Yang korban dalam hal iniadalah satu-satunya yang besalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).24 Memang banyak juga korban yang ikut andil dalam terajadinya kejahatan. Derajat kecilnya peran korban, misalnya korban lalai, sehingga muncul atau terjadinya tidnak pidana. Dapat terjadi pula dalam hal korban menarik perhatian pelaku, misalnya korban suka memperlihatkan kekayaanya, overacting, atau

23 24

Lilik Mulyadi, Ibid. Bambang Waluyo, Op.Cit., hlm 19-20

perilaku lain yang dapat menggugah pelaku melakukan tindak pidana.25 Kehidupan banyak dinamika antara korban dan kejahatan, akibat dorongan ekonomi, politis, dan psikis. Idealnya selalu berkurang jumlah korban dan pelaku. Jika terjadi smeakin bertambah korban, maka yang terpenting adlah pemberian hak dan perlindungan terhadap korban semaksimal mungkin. Demikian pula bila pelaku bertambah, hendaklah diperlakukan sesuai dengan hak-haknya. Selanjutnya apabila menjadi terpidana atau narapidana hendaknya diterapkan sistem pemasyarakatan. Juga tidak kalah pentignya bagi pelaku untuk dapat memberi ganti kerugian atau restitusi kepada korban.26

25 26

Ibid., hlm. 21 Ibid.

Related Documents

Contoh Makalah Bab 4
May 2020 23
Contoh Bab Ii.docx
December 2019 13
Contoh Bab 1.docx
December 2019 9
Contoh Bab 1.docx
December 2019 15
Contoh Makalah Bab 3
May 2020 15

More Documents from ""

Contoh Bab Ii.docx
December 2019 13
Bab 1 Dikri.docx
December 2019 4