Connectivity - Hajat Hidup Masa Kini

  • Uploaded by: JUM'AN BASALIM
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Connectivity - Hajat Hidup Masa Kini as PDF for free.

More details

  • Words: 630
  • Pages: 3
CONNECTIVITY- HAJAT HIDUP MASA KINI Oleh: Jum’an Lima belas tahun yang lalu jika ada kerabat mau naik haji, kita antarkan dia ke Pondok Gede dan kita berpisah disana: selamat jalan. Kita tunggu empat puluh hari empat puluh malam, lalu kita jemput dia di asrama haji itu lagi. Selama itu kita benar-benar terpisah – disconnected- tidak saling berhubungan sama sekali. Sekarang seorang ibu yang sedang umroh, hampir tiap tengah malam waktu Mekah menilpun kerumahnya di Jakarta dan memberi instruksi kepada p.r.t-nya: bawang merahnya enam siung ya, cabe merah tiga, terasinya secuil. Awas jangan lupa gembok pintu pagar, matikan lampu ruang tamu. Sesudah itu dia masih membroadcast sms untuk sejumlah teman dekatnya: cateringnya payah, makanannya itu-itu melulu.... Semua yang remeh-remeh disampaikan dengan enteng dan lancar dari jarak ribuan mil. Dulu kalau kita menerima interlokal dari keluarga yang tinggal dilain propinsi atau pulau seberang rasanya berdebar-debar, takut kalaukalau ada yang sakit keras atau meninggal, karena interlokal adalah sesuatu yang jarang terjadi dan mahal bayarnya. Orang tidak akan sembarang interlokal kalau tidak ada yang benar-benar penting untuk dikabarkan. Mahasiswa Medan di Yogya hanya interlokal kalau sudah sebulan wesel tidak datang, atau kalau mereka sudah berhasil menjadi sarjana. Sekarang semua orang saling terhubung. Tuntutan akan connectivity atau ketersambungan telah meningkat dramatis dari tahun ketahun. Sebelum era internet, telepon genggam dan text messaging kita tidak bisa saling tersambung kecuali bertemu muka atau melalui tilpun kabel. Dulu disconected atau tak tersambung adalah normal.Tersambung hanyalah kadang-kadang dan kalau perlu saja. Sekarang default kita adalah connected, putus koneksi adalah aral dan kendala. Kalau internet terputus atau ketinggalan HP kita gelisah, serasa gagu, terabaikan dan terisolir dari dunia luar. Inilah yang disebut “disconection anxiety” – sebuah fenomena abad 21 yaitu perasaan gelisah dan kehilangan arah yang dialami orang apabila terputus dari internet atau hubungan nirkabel lainnya. Kegelisahan itu diantaranya timbul karena orang takut tidak dapat menghadapi keadaan darurat dengan cepat dan mudah, takut kehilangan informasi yang berbuntut kehilangan pekerjaan. Tanpa HP dikantong, takut kalau tersesat atau mobil mogok diluar kota, tidak

bisa menghubungi seseorang dengan cepat untuk bertanya atau minta pertolongan. Connectivity adalah hajat hidup kita-kita masa kini. Orang yang kesepian - job hunter - dunia pemasaran – dunia pers – para dai – politisi - mahaiswa dan kaum selebriti semua mendambakan connectivity seluas dan selancar mungkin. Menurut penelitian Solutions Research Group, 68% orang Amerika, tua dan muda mengalami disconnection anxiety. Kata mereka 83% dari 230 juta lebih pengguna HP di Amerika selalu mengantongi barang itu kemana saja mereka pergi. Sebagian dari kita juga kan? Kalau connectivity diatas kita samakan dengan hablum minannas, bagaimana dengan hablum minalloh kita? Saya menduga banyak diantara kita (contohnya saya) yang menempatkan connectivity horisontal kita hampir melebihi konekstivitas vertical kita dengan Sang Khalik. Buktinya, kalau saya terlewat jum’atan karena meeting, rasa gelisah dan penyesalannya tidak lebih dari sepuluh menit.

Selama ini dua terminologi itu diartikan sebagai hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Menurut Cak Nun, pengertian yang selama ini ada masih bersifat sekuler, yaitu ada dua tali yang satu bersifat vertikal dan satu lagi bersifat horisontal, dan tidak ketemu keduanya. Ia mencontohkan, orang rajin umroh, tetapi korupsi tetap jalan. Padahalhablum minallah itu berarti tali dari Allah (informasi, kasih sayang, dll. kepada manusia, begitu tiba pada manusia lantas dilanjutkan ke manusia lain, ke alam, ke binatang, bahkan kepada jin, maka disebut hablum minannas. Dan sesungguhnya tali itu tetap satu yaitu tali Allah yang oleh manusia disebarkan ke beberapa pihak. Itulah konsep Cak Nun mengenai hablum minallah dan

hablum minannas. Jadi tidak bisa ada sekularisme di situ. Lebih jauh Cak Nun menjelaskan, implikasi dua konsep itu bisa dilihat dalam kehidupan nyata kita. “Pas Ramadhan banyak band bikin album religi, sebelum Ramadhan tidak. Seolah Tuhan disembunyikan entah ke mana, itulah sekularisme,” ujar Cak Nun memberi contoh dampak salah paham terhadap konsep hablum minallah dan hablum minannas tersebut.

Related Documents


More Documents from "Zamzam"