Cogito Ergo Huh

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cogito Ergo Huh as PDF for free.

More details

  • Words: 7,734
  • Pages: 42
COGITO ERGO HUH?: Awal Mula Filsafat Modern “Aku Berpikir, Maka Aku Ada (Cogito Ergo Sum) Aku memperhatikan bahwa saat aku sedang mencoba untuk berpikir bahwa segalanya adalah tidak benar, ia haruslah yang demikian itu, yang sedang memikirkan ini, adalah sesuatu. Dan mengobservasi kebenaran ini. Aku berpikir, maka aku ada [cogito ergo sum] adalah sedemikian solid dan dapat diandalkan (bebas dari keraguan) bahwa kebanyakan dari pengandaian-pengandaian yang berlebihan dari kelompok yang skeptis, tidak dapat menyangkalnya, aku berpendapat bahwa aku tidak perlu merasa segan (demi untuk memenuhi rasa sopan santun dan etika) untuk menerimanya sebagai prinsip pertama filsafat yang aku cari. Rene Descartes, Discourse on Method (1637) Ini mungkin tidak seperti pencapaian (prestasi) besar jika kita mengingat dan memahami kembali peristiwanya, tapi ketika Rene Descartes membuktikan eksistensinya sendiri, ini adalah sesuatu yang luar biasa. Salah satu dari pembuktian-pembuktian filsafat yang paling sederhana, paling elegan, dan paling terkenal adalah, “Aku berpikir, maka aku ada” telah menggoyahkan sendi-sendi skeptisisme dan menjadi ungkapan yang sangat ngetrend di masa Descartes. Para sahabat dan kolega-kolega Descartes yaitu para filosuf atau pakar matematika Perancis (1596-1650) telah menganut pandangan bahwa tak ada satupun yang pasti, kecuali kemungkinan-kemungkinan, karena pikiran (mind) itu begitu mudah diperdaya.

Tapi, setelah melakukan gebrakan pertamanya dengan menemukan sistem koordinat Cartesian, Descartes telah mempunyai ketertarikan pribadi untuk membuktikan bahwa, setidaknya, beberapa hal (seperti teori-teori Matematika) adalah sepenuhnya benar. Tanpa ada basis-basis kepastian, dia meyakini, tidak akan ada pengetahuan yang benar sama sekali, hanya sekadar probabilitas yang tidak berfungsi. Descartes menganggapnya sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi bahwa pengetahuan itu, pada akhirnya, harus didasarkan pada satu fakta yang tak terbantahkan. Untuk menemukannya, dia mulai dengan menerima argumen-argumen yang mengandung sikap-sikap skeptis yang telah diakrabi. Marilah kita berasumsi, sejalan dengan teori Descartes, bahwa indera-indera kita tidak dapat diandalkan dan seringkali mengarahkan kita pada kesimpulan-kesimpulan yang salah. (Misalnya, kita melihat matahari “terbit”, padahal ini adalah pergerakan bumi; kita kadang-kadang menyalah-artikan mimpi-mimpi dan bayangan-bayangan sebagai kenyataan-kenyataan). Oleh karena itu, ketika hal-hal ini bersifat tidak pasti dan yang mengandung ilusiilusi, kita harus menolak kesan-kesan (impressions) ini sebagai basis bagi pengetahuan. Yang tersisa adalah kemampuan untuk berpikir (reason), yang Descartes dan para “rasionalis” lain yakini sebagai pembimbing yang dapat diandalkan daripada pengalaman. Tapi, menganggap ini sebagai

benar adalah juga mengandung kesalahan, dan bahwa logika pun dapat melakukan kesalahan. Barangkali, gagasan-gagasan yang tampak membuktikan dirinya sendiri (self evident) seperti “2 + 2 = 4” dan “kebahagiaan adalah baik” sebenarnya adalah salah, dan telah ditanamkan ke dalam pikiran kita oleh setan jahat yang sangat kuat yang telah membengkokkan sepenuhnya dalam tipuan. Anggaplah juga bahwa seluruh dunia ini dan semua yang ada di dalamnya, termasuk pemikiran yang rasional, adalah sebuah mimpi dalam pikiran setan jahat ini. Kita tidak punya cara untuk membuktikan bahwa ini adalah benar atau salah; lalu, apa yang mungkin dapat tersisa sebagai sebuah kebenaran absolut? Jawaban Descartes adalah: fakta yang sama bahwa dia telah memikirkannya, seluruhnya, di tempat pertama. Yaitu, tidak peduli skenario apa tentang realitas yang anda upayakan, anda masih sedang memikirkan –nya, anda harus eksis. Atau---dalam versi Latin dalam buku Discourse on Method---cogito ergo sum: “aku berpikir, maka aku ada.” Kesimpulan Descartes ini, akhirnya, adalah pondasi dari pengetahuan yang benar---pemikiran itu sendiri, dan apapun pemikiran-pemikiran yang khusus (seperti “substansi”, “diri”, dan “Tuhan”) adalah bersifat bawaan dalam pikiran. Tapi, disini, kita harus berhenti untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada Descartes. Marilah kita pastikan bahwa cogito ergo sum adalah benar dan

mengabaikan kemungkinan bahwa pemikiran itu sendiri boleh jadi adalah sebuah bayangan. Meskipun demikian, ia bukanlah sebuah langkah segera untuk memastikan ide-ide seperti “Tuhan”--kandungan dari pemikiran kita ini, jika bukan merupakan fakta, masih dapat menjadi sebuah tipuan setan. Tapi bagi Descartes, kesimpulan-kesimpulan semacam ini adalah tak-terbayangkan. Dia merasa pasti dia telah eksis, bahwa dia telah berpikir, dan bahwa impresi-impresi yang jelas dan terpilah-pilah adalah esensi dari pemikiran: bahwa tanpa mereka, pemikiran tidak terjadi. Dan ketika Pencipta yang maha kuasa dan maha pemurah--Tuhan---adalah termasuk dalam impresi-impresi ini, Tuhan harus eksis. Dan, dengan menjadi maha kuasa dan maha pemurah ini, Tuhan mencegah eksistensi maha kuasa-Nya, dari tipuan setan jahat. Begitu kita menentukan sang setan ini, kita menentukan keraguan-keraguan kita tentang kebenaran-kebenaran matematis yang logis. Ini masih menyisakan masalah-masalah bagi kita tentang impresi-impresi yang tak pasti. Descartes telah memikirkan bahwa Tuhan tidak akan pernah mengizinkan kita untuk menjadi sepenuhnya tertipu, sehingga kita dapat, setidaknya, mempercayai bahwa dunia ini eksis dan bahwa substansinya adalah nyata. Pada sisi lain, substansi fisik adalah sangat berbeda dan terpisah dari pemikiran, yang mengarah pada “masalah tubuh/pikiran” Descartes yang terkenal

Jika pikiran eksis, ada dimana ia? Jika ia ada di suatu tempat, ia mempunyai lokasi fisik dan realitas, dan ia seharusnya menjadi sejenis substansi. Jika ia tidak mempunyai substansi, dengan cara apa ia eksis? Descartes tidak mampu untuk memecahkan teka-teki ini (dia menyatakan dengan dasar yang lemah bahwa pikiran itu terletak di pusat otak---pineal gland). Dalam kenyataan, tak seorangpun yang pernah berupaya mengajukan sebuah solusi yang benar-benar masuk akal. Terdapat kecenderungan dalam ilmu pengetahuan sekarang ini yang mengarah pada mendefinisikan pikiran hanya sebagai sekumpulan reaksi-reaksi kimiawi syaraf (neurochemical reactions); tapi, saya tidak akan menahan napas saya untuk menunggu pembuktian ini. Rasionalisme Descartes, sebuah produk dari abad pertengahan, menyatakan bahwa kebenaran mensyaratkan adanya kepastian, pada akhirnya, gugur di hadapan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan empiris, yang menyatakan bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu bersifat hipotetis, sementara, selalu memberi peluang adanya perkembangan yang lebih baik, dan terikat dengan proses trial and error sebagaimana yang terjadi pada proses berpikir yang logis. Namun demikian, cogito ergo sum masih tetap suatu ide yang hebat--sebuah prestasi puncak dari filsafat kuno dan sebuah stimulus bagi logika modern dan metafisika. Sistem koordinasi Descartes mungkin

dapat bertahan lebih lama, tapi, ini lebih banyak ditentukan oleh aspek cogito ini yang membuat kita mengingat Descartes.

Garpu Hume Garpu Hume adalah sebuah alat filsafat untuk memisahkan masalahmasalah yang sangat menarik dari masalah-masalah yang sekadar tiruan belaka. Dikemukakan oleh orang Skotlandia, David Hume, (1711-1776), ide dasarnya adalah bahwa setiap pernyataan atau klaim akan terjatuh dalam salah satu dari tiga kategori berikut: 1) benar atau salah berdasarkan definisi, 2) bergantung pada pengalaman, atau 3) hal-hal yang tidak masuk akal. Inilah ketiga ujung runcing garpu. Sejauh yang dicermati oleh Hume, hanya pernyataan-pernyataan tipe 2 yang sangat menarik, sehingga dia disebut sebagai seorang “empirisis” (dari bahasa latin “pengalaman”). Namun, sebenarnya, Hume telah mencuri ide dasar ini dari apa yang disebut dengan “rasionalisme” Gottfried Leibniz (1646-1716), yang mengikuti jejak Descartes dalam meyakini bahwa proses berpikir logis adalah sebuah pedoman yang lebih pasti menuju kebenaran dibandingkan dengan pengalaman. Leibniz mempunyai garpunya sendiri, tapi ia hanya mempunyai dua ujung tajam: 1) pernyataanpernyataan positif [assertions] dan bersifat logis yang tak terhindarkan dan 2) pernyataan-pernyataan positif “yang mungkin” (kontingen =

tidak harus). Contoh-contoh dari pernyataan-pernyataan positif yang perlu adalah “2 + 2 = 4” dan “anjing spaniel adalah seekor anjing.” Bahwa kedua pernyataan positif ini harus berarti bahwa pernyataanpernyataan yang negatif dari keduanya adalah tidak benar. Contohcontoh dari pernyataan-pernyataan positif yang kontingen adalah “Caesar menyeberangi [sungai] Rubicon”1 dan “Bill Clinton adalah presiden amerika Serikat.” Kedua pernyataan ini mungkin saja benar, tapi pernyataan-pernyataan sebaliknya yang bertentangan, tidak harus salah. Kebenaran atau ketidakbenaran dalam hal ini adalah bersifat tidak logis, tapi bergantung pada peristiwa-peristiwa sejarah yang mungkin telah berlangsung secara berbeda. Tapi, Leibniz telah membuat pembedaan ini hanya untuk menghancurkannya. Apa yang dia yakini adalah bahwa proposisiproposisi kontingen adalah suatu keharusan jika anda melihat mereka dengan cara yang benar. Bill Clinton harus memenangkan pemilu tahun 1992, karena hasil pemilu ini telah ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Tidak ada “realitas alternatif” yang mungkin dimana dia dapat mengalami kekalahan. Segala sesuatunya adalah sebagaimana yang telah dimaksudkan, sehingga tidak ada pernyataan-pernyataan positif yang bersifat kontingen.

1

Rubicon adalah nama kuno untuk sungai di Italia Tengah yang mengalir menuju laut Adriatik, yang menjadi perbatasan antara wilayah Itali dengan wilayah Romawi dibawah Cisalpine Gaul. Pada tahun 49 SM Julius Caesar beserta pasukannya menyeberangi sungai ini meskipun dilarang oleh Senat. Tindakan Caesar ini mengawali perang sipil antara pasukan Caesar dengan pasukan Pompey yang agung. Ungkapan “menyeberangi sungai Rubicon” ini mengandung arti upaya yang sangat berani untuk menempuh bahaya. (Penerjemah)

Hume, bersama dengan rekan-rekan Inggris penganut empirisme, mengejek pada kebodohan-kebodohan orang-orang Eropa. Seperti Leibniz, Hume membedakan proposisi-proposisi yang bersifat harus (yang dia sebut sebagai “relasi-relasi dari ide-ide”) dari yang bersifat kontingen (“hal-hal yang berdasarkan pada fakta”), tapi dia mendesak bahwa mereka sungguh berbeda. Bukan hanya hal-hal yang berdasarkan fakta ini bersifat tidak harus, tapi proposisi-proposisi yang bersifat harus menjadi hampir tidak berguna. Sebagaimana yang dipahami oleh Hume, pernyataan apapun yang harus benar (atau “analitik”, untuk menggunakan terminologi Kant) hanyalah sebuah tautologi: ia adalah kosong dan tidak menjelaskan apapun kepada kita. Untuk mengatakan bahwa “seekor anjing spaniel adalah seekor anjing” hanyalah sekadar mengulang definisi dari “anjing spaniel”. Untuk mengatakan bahwa 2 + 2 = 4 adalah tidak mengatakan sesuatu yang baru, tapi hanya mengejar akibat-akibat dari bagaimana kita telah mendefinisikan istilah-istilah ini. Satu-satunya jenis pernyataan yang penting, bagi Hume, adalah pernyataan yang berkaitan dengan fakta, yang bersifat tidak harus benar dan, yang dengan demikian, menjelaskan kepada kita sesuatu yang baru tentang dunia ini. Untuk mengatakan bahwa “Julius Caesar telah menyeberangi sungai Rubicon” adalah bersifat informatif (memberi informasi) karena Julius Caesar boleh jadi tidak menyeberangi sungai Rubicon. Pengetahuan nyata apapun akan

muncul dalam sejenis bentuk, yang disebut Kant sebagai sebuah pernyataan “sintetis”, dan jenis pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada observasi daripada berdasarkan proses berpikir logis. Inilah esensi dari empirisme. Hume menyadari bahwa terdapat jenis pernyataan-pernyataan yang tidak bersifat tautologis (analitik) dan bukan pula bersifat informatif (sintetis). Misalnya, “Unicorn [kuda bertanduk] adalah buas” adalah sulit menjadi sebuah kebenaran yang logis, bahkan, pada sisi lain, ia tidak menjelaskan apapun tentang dunia ini, karena unicorn ini tidak eksis. Jenis pernyataan ini, yang disebut Hume sebagai pernyataan “omong kosong” (nonsense). Sebagaimana dia telah melihatnya, mayoritas buku-buku tentang teologi atau metafisika penuh dengan sekumpulan pernyataan-pernyataan omong kosong yang tidak mengandung kebenaran yang bersifat harus dan tidak juga menerangi fakta-fakta, dan perintahnya terhadap buku semacam ini adalah “membuangnya ke dalam bara api, karena ia tidak mengandung apapun kecuali ilusi dan hal-hal yang dapat diterima akal tapi dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang salah” (An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748). Menggunakan garpu filsafat sekarang ini tampaknya tidak lagi menjadi sesuatu yang penting, tapi di masa kemunculan gagasangagasan Hume ini, mempunyai akibat-akibat yang sangat mendasar. Misalnya, dia telah menunjukkan bahwa pernyataan “Tuhan eksis”

adalah pernyataan yang tidak mengandung kebenaran yang bersifat harus (ketika pengingkaran terhadapnya bukan merupakan kesalahan yang bersifat harus) tidak juga bersifat empiris (ketika kita tidak mengalami Tuhan dengan indera-indera kita). Berdasarkan pada “Garpu Hume”, pernyataan ini haruslah bersifat omong kosong [nonsense]---yaitu, melampaui batas-batas ilmu pengetahuan. Selanjutnya, empirisme Hume mereduksi semua pengalaman yang dinyatakan oleh pernyataan-pernyataan kontingen---yaitu, pada hal-hal yang mungkin benar atau mungkin tidak benar dan oleh karena itu tidak dapat diputuskan atau dipastikan. Diantara hal-hal jenis ini adalah pengalaman tentang sebab (cause). Kita mungkin melihat tongkat bilyar menyodok delapan bola bilyar, dan kemudian melihat kedelapan bola bilyar ini menggelinding menuju kantong, tapi bahwa satu hal ini “menyebabkan” yang lain hanyalah sebuah ide yang abstrak, cara kita menjelaskan urut-urutan peristiwa. Kesimpulankesimpulannya telah dibuktikan sebagai sangat bermasalah bagi ilmu pengetahuan (lihat entry selanjutnya). Hume telah mencoba untuk menggantikan kepastian-kepastian matematika dan kepastian-kepastian ilmu pengetahuan yang kosong dan tidak bermakna dengan sebuah model realitas yang lebih bermakna, yang didasarkan pada psikologi manusia, probabilitas, dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan. Atas upayanya ini, Hume sekarang disebut sebagai seorang skeptis, sebutan yang tepat

untuknya sejauh ini. Tapi, dia mungkin juga disebut sebagai seorang psikolog atau pakar statistik. Di era fisika kuantum kita dan jajak pendapat, ide-ide Hume ini praktis diterima begitu saja tanpa sikap kritis.

Skandal Induksi Metode ilmiah yang telah dirintis pada abad ke tujuh belas oleh Francis Bacon, Rene Descartes, dan filosuf-filosuf lain, pada intinya adalah sebuah proses induktif. Sebagaimana dipertentangkan dengan deduksi (yang meng-asal-kan atau menderivasikan kebenaran-kebenaran baru dari sesuatu yang telah dikukuhkan), induksi berlangsung dari ovservasi-observasi khusus menuju kesimpulan-kesimpulan umum. Bacon dan para pengikutnya mendesak bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah dapat menyandarkan diri pada kebenarankebenaran yang diterima begitu saja tanpa sikap kritis, apakah itu bersifat matematis atau metafisis, tapi harus membumikan dirinya sendiri dalam observasi dan eksperimen. Para ilmuwan sejati mengobservasi dunia yang alami ini, mempelajari pola-polanya, memunculkan hipotesa-hipotesa, dan kemudian menguji mereka melalui eksperimen. Sebuah hipotesa menjadi teori jika telah dikukuhkan melalui eksperimen yang berulang-ulang. Tapi, ia ditolak jika bertentangan (“di falsifikasi”) melalui uji coba.

Filosuf David Hume, meskipun bersikap setuju bahwa pengetahuan itu hanya dapat diperoleh melalui eksperimen, telah memikirkan metode ilmiah memiliki masalah-masalah besar. Persis seperti yang dimaksudkan, Hume mengajukan pertanyaan, untuk “mengetahui” sesuatu melalui observasi atau eksperimen---yaitu, dengan induksi? Yang anda tahu hanyalah bahwa kapan saja X muncul, Y juga akan muncul. Marilah kita katakan X muncul ratusan kali dan dalam setiap kali pemunculan itu, Y juga muncul. Anda melemparkan sebuah batu ke arah sebuah jendela, dan ia pecah menjadi beberapa keping. Anda melemparkan 99 batu ke arah 99 jendela, dan mereka semua hancur berkeping-keping, juga. Anda mengambil kesimpulan melalui induksi bahwa melemparkan bebatuan ke arah jendela-jendela itu mengakibatkan mereka menjadi rusak. Ini adalah teori ilmiah anda. Tapi, apakah ini kebenaran yang niscaya (bersifat harus)? Jika terdapat keraguan, ulangilah eksperimen ini. Ulangilah sejuta kali, sesuka anda. Tapi, siapa yang mengatakan bahwa pada kejadian yang sejuta dan yang pertama, batu itu akan masih merusak jendela itu? “Skandal” induksi ini, sebagaimana ini akan diketahui kemudian, adalah bahwa observasi-observasi itu, secara tak terhindarkan, bersifat terbatas---anda tidak dapat terus melempar batu-batu itu pada pada jendela-jendela untuk selamanya. Yang dimaksud adalah bahwa metode eksperimental itu bersifat “terbatas”: ia mendeduksi

kebenaran dari hanya sebuah keterbatasan dari sejumlah eksperimen atau observasi-observasi. Tapi, siapa yang mengatakan bahwa, jika dilangsungkan dalam jangka waktu yang lama, sebuah eksperimen tidak akan menghasilkan hasil-hasil yang negatif? Dan dengan berdasarkan asumsi bahwa jika sebuah eksperimen, bahkan, sekali saja ia bertentangan dengan sebuah hipotesa, maka hipotesa itu tidak dapat menjadi kebenaran yang niscaya---yaitu, ia tidak dapat diketahui secara pasti. Ini adalah kelebihan atau kekurangan dari intisari Hume tentang pengetahuan induktif: ini adalah sebuah gaya bahasa dimana katakata yang saling bertentangan digunakan secara bersamaan. Hal-hal yang kita pikir kita “tahu” dari pengalaman---bahwa matahari akan terbit dan bahwa burung-burung terbang dan sebagainya---sebenarnya hanyalah sesuatu yang kita yakini, karena kita telah terbiasa untuk mengalami semua itu. kita meyakini bahwa melemparkan bebatuan “menyebabkan” jendela-jendela hancur berantakan karena kita telah mengobservasi pola yang normal dan biasa ini; tapi adalah mustahil untuk mengobservasi yang menyebabkan itu sendiri. penyebab adalah di-inferensi-kan atau di-induksi-kan dari dua peristiwa yang saling terjadi (batu dilemparkan, jendela rusak). Namun, melihat dunia dengan cara ini---dalam konteks penyebab---adalah benar-benar merupakan kebiasaan mental. Tidak ada cara untuk membuktikan atau

mengetahui secara pasti tentang sesuatu sebagai “penyebab” atau bahwa apapun yang terjadi di dunia ini harus terjadi lagi. Namun, Hume melihat dengan perasaan putus asa bahwa tidak ada penyebab dalam skandal ini. Jika pengetahuan tertentu tentang dunia ini adalah tidak pasti secara filosofis, itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengetahui apapun. Ini hanya berarti bahwa kita mengetahui berbagai hal secara khusus dan terbatas. Paling tidak, kita dapat mengafirmasikan kemiripan yang sangat atau probabilitas bahwa matahari akan terbit esok hari dan bahwa sebuah batu akan menghancurkan sebuah jendela. Dan dalam kenyataannya, dalam ketiadaan alasan yang bagus untuk meragukan mereka, kita mungkin menyebut keyakinan-keyakinan seperti ini sebagai “kepastiankepastian” dalam makna yang praktis (jika bukan filosofis). Lebih jauh lagi, Hume meyakini bahwa jika ide-ide kita mengarahkan kita untuk meyakini hukum-hukum alam, yaitu karena alam ini sebenarnya adalah sesuai dan sejalan dengan hukum. Namun demikian, penerus Hume, yang berpikir bahwa pengetahuan itu harus bersifat pasti untuk benar-benar menjadi pengetahuan, tidak puas dengan “kepastian yang praktis”. Sebuah solusi yang jelas dan nyata atas dilema ini yang diajukan oleh Immanuel Kant, yang menolak klaim Hume bahwa hal-hal yang faktual diketahui hanya melalui pengalaman. Untuk menggunakan jargonnya,

konsep-konsep seperti kausalitas, ruang, dan waktu adalah gagasangagasan “a priori sintetis”, yang berarti bahwa mereka menggambarkan realitas tapi yang tidak di-induksi-kan dari pengalaman. Yang menarik dari solusi Kant adalah bahwa ia membuat hukumhukum alam dan kebenaran-kebenaran ilmiah lain menjadi bergantung pada kategori-kategori mental, lebih tepatnya, bergantung pada kesadaran manusia. Proses induksi secara ketat tidak pernah terjadi, ketika hanya penampakan-penampakan, bukan sesuatu di dalam dirinya sendiri, yang dapat diakses oleh pengetahuan manusia. Benar, bahwa kita mungkin merasa pasti tentang penampakan-penampakan itu, dan ini tidak dapat eksis kecuali didukung oleh sebuah realitas yang mendasari; tapi, Kant tetap menarik sebuah garis lurus di sekitar realitas tertinggi dan menyatakannya sebagai yang tak dapat diketahui (unknowable). Masih belum cukup. Ini membutuhkan seluruh halaman buku untuk memetakan pendekatan-pendekatan jenis-jenis yang beragam ini untuk memecahkan dan menyelesaikan problem induksi ini, berkisar dari penganut utilitarianisme sampai pragmatisme hingga ke fenomenologi. Tapi, seorang filosuf, secara khusus, layak untuk disebut, ketika namanya menjadi sangat identik dengan kritik metode keilmuan di abad ke dua puluh: seorang warga Austria, Karl Popper (lahir 1902).

Seperti Kant, Popper berupaya untuk melenyapkan masalah ini dengan melenyapkan proses induksi secara menyeluruh. Dalam pandangannya, hipotesa-hipotesa ilmiah tidak muncul dari observasi, tapi muncul dari sebuah kreasi imajinasi yang bebas (individu atau kelompok). Kita mengobservasi dan melakukan eksperimen untuk proses uji-coba daripada menciptakan teori-teori. Dan alasan mendasar dari proses uji-coba ini (apakah diakui atau tidak) adalah, ironisnya, tidak untuk membuktikan teori-teori sebagai sesuatu yang pasti, tapi lebih untuk membuktikan bahwa teori-teori ini mengandung kesalahan. Menguji sebuah hipotesa akan menjadi tidak bermakna jika kegagalan tidak dimungkinkan. Dan jika bukti yang bertentangan telah ditemukan, maka teori ini harus ditolak dan teori lain harus diciptakan. Pada sisi lain, teori-teori yang lulus eksperimen, tidak terbukti sebagai “benar”; mereka hanya ditunjukkan untuk memberi kita penggambaran realitas yang bagus. Lebih jauh lagi---dan ini adalah poin paling penting dari Popper--semakin sulit untuk mem-falsifikasi sebuah teori, semakin kurang bermakna teori ini. Karena mudah dipahami bahwa semakin umum sebuah pernyataan, maka semakin sulit untuk menemukan pengecualian-pengecualian. (misalnya: “Angsa hitam eksis di suatu tempat di dunia ini” adalah sulit untuk difalsifikasi, sementara “Angsa hitam eksis di pulau Rhode” adalah pernyataan yang lebih mudah). Semakin banyak kandungan sebuah teori---semakin tepat dan akurat

ia dalam upaya untuk menjelaskan fenomena---semakin bermakna ia, tapi juga mengandung paradoks bahwa ia lebih mudah untuk ditolak. Tapi, penolakan ini bukanlah sebuah bencana; ini adalah, sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, esensi dari kegiatan keilmuan. (Jika sebuah klaim tidak mengandung sedikitpun potensi untuk difalsifikasi, maka ia tidak bersifat ilmiah, tapi mudah dipahami---atau, kembali pada istilah Hume, ia hanya menyatakan suatu “relasi ide-ide”). Penolakan mengarah pada penghalusan teori-teori lama dan penciptaan teori-teori baru, sehingga gambaran kita tentang dunia ini menjadi lebih terinci, tahan lama dan lengkap. Jika kita mengetahui berbagai hal secara pasti dan tak terbantahkan, maka ilmu pengetahuan akan tamat riwayatnya.

Sesuatu-dalam-Dirinya sendiri (Das Dingan-Sich) Dari sini, ia mengikuti secara tak terbantahkan, bahwa konsep-konsep murni tentang pemahaman tidak pernah mengizinkan sesuatu yang bersifat transendental, tapi hanya untuk suatu penggunaan empiris, dan bahwa prinsip-prinsip tentang pemahaman murni ini hanya dapat diacu, sebagaimana syarat-syarat umum tentang sebuah pengalaman yang mungkin, pada obyek-obyek indera, tidak pernah pada berbagai hal di dalam diri mereka sendiri.... Immanuel Kant, Critique of Pure Reason (1781)

Hal penting untuk diketahui tentang “sesuatu-dalam-dirinya sendiri” adalah bahwa tidak ada satupun yang diketahui. Anda bahkan tidak mempunyai peluang sedikitpun (untuk dapat mengetahui). Alasannya, menurut orang Jerman yang jenius, Immanuel Kant (1724-1804), ini adalah bahwa pikiran kita tidak pernah menjalin kontak langsung dengan realitas tertinggi. Karena cara kerja inderaindera kita, dan karena otak kita telah diciptakan secara sesuai dan cocok dengan konsep-konsep dan saringan-saringan yang beragam, realitas yang kita ketahui dan “pahami” setidaknya adalah satu atau dua langkah menjauh dari sesuatu dalam dirinya sendiri. Ide “sesuatu-dalam-dirinya sendiri” (thing-in-itself, Ding-an-sich) dari Kant, telah terkubur dalam-dalam dalam karya hebat (masterpiece)nya, Critique of Pure Reason, sebuah upaya untuk mengoreksi cacat mendasar dalam filsafat pengetahuan masa itu. Kant memperoleh inspirasi utamanya dari karya tokoh empirisme, David Hume, yang menurut Kant, telah membangunkan dia dari “tidur dogmatik” rasionalisme ortodoks (pandangan ini menyatakan bahwa akal adalah sumber pengetahuan kita yang utama). Kant kemudian meyakini, sejalan dengan Hume, bahwa pengetahuan itu berasal dari pengalaman daripada bersumber dari akal. Tapi, dia menolak posisi kaum empirisis bahwa pengalamanpengalaman ini secara langsung menanamkan kesan yang kuat pada otak, yang adalah sebuah “batu tulis kosong” pada saat kelahiran.

Menurut Hume, tidak ada konsep---bukan ruang, waktu, substansi, kausalitas, atau kategori mental lain---yang bersifat a priori (mendahului pengalaman). Kant tidak membeli argumen ini, sama sekali. Yang paling pertama, kata Kant, Hume pasti salah terkait konsep-konsep tentang ruang dan waktu. Karena Hume telah mengklaim bahwa kita mempelajari konsep “ruang” dengan mengobservasi relasi-relasi diantara obyek-obyek yang kita ketahui dan pahami. Kita melihat bahwa sesuatu itu ada di urutan selanjutnya dari sesuatu yang lain, atau berada di atasnya, atau di bawahnya, dan lain-lain., dan sampai pada pemahaman bahwa relasi-relasi semacam ini terjadi di dalam ruang. Demikian pula dengan konsep waktu, yang menurut Hume, dihasilkan dari proses meng-observasi bahwa peristiwa-peristiwa terjadi secara berurutan (sesuatu yang ini terjadi setelah sesuatu yang itu dan sebelum adanya sesuatu yang lain, dan lain-lain). Tapi, Kant telah menghancurkan logika Hume. Bagaimana mungkin kita dapat mengalami sesuatu yang itu “berurutan” (next to) dengan yang lain atau bahwa sesuatu itu terjadi “setelah” sesuatu yang lain kecuali kita sudah mempunyai konsep-konsep seperti “urut” dan “setelah”---yaitu, konsep-konsep tentang ruang dan waktu? Hal-hal semacam inilah, yang telah ditanamkan ke dalam pikiran, simpul Kant, atau kita bahkan tidak dapat memulai untuk sebuah makna yang dapat dipahami tentang chaos ini yang adalah persepsi.

Ruang, waktu, dan sejumlah “kategori-kategori” lain (seperti kuantitas, kualitas, relasi, dan sebab) harusnya muncul secara inheren dalam pemikiran; mereka adalah bentuk-bentuk (forms) yang kita paksakan pada pengalaman-pengalaman untuk mengorganisir dan memahami mereka. Dan bahwa setiap orang saling berbagi ide-ide yang sama tentang ruang, waktu, dan lain-lain., yang berarti bahwa sebagai tambahan untuk menjadi a priori (bawaan sejak lahir) mereka harus juga menjadi universal. Pada sisi lain, mereka tidak dapat dikatakan eksis dengan cara yang sama dengan obyek-obyek itu eksis, karena intuisi-intuisi dan kategori-kategori hanyalah konsep-konsep, bukan benda-benda (things). Kita memaksakan mereka di atas pengalaman, daripada menemukan mereka di dalam pengalaman. Pengalaman, juga, berbeda dengan realitas, karena ia terdiri dari kesan-kesan (impressions) atau persepsi-persepsi tentang benda-benda, bukan tentang benda-benda-di dalam-diri mereka sendiri. (Ini karena konsepkonsep diterapkan hanya pada pengalaman dimana kita tidak dapat menggunakan mereka untuk menggambarkan obyek-obyek transendental---Tuhan, misalnya.) apa yang kita pahami dalam ruang dan waktu, apa yang kita lihat sebagai wujud yang besar dan luas dan dengan warna tertentu, apa yang kita deduksikan sebagai sebabsebab dari peristiwa ini dan itu, semua ini hanyalah aspek-aspek dari sesuatu yang dipahami dan dapat dijangkau oleh indera-indera,

permukaan yang mereka tunjukkan kepada kita, disebut oleh Kant sebagai “fenomena.” Jika ruang dan waktu eksis hanya dalam pikiran---sebagaimana ditunjukkan secara tidak langsung oleh Kant---maka, dengan mengalami dunia ini sebagai yang eksis di dalam ruang dan waktu, kita hanya sedang mengalami bagaimana dunia ini menampak kepada kita, bukan bagaimana ia eksis. Tapi, pastinya, terdapat sebuah dunia nyata di luar sana yang mensuplai kita dengan penampilanpenampilan luar ini: Kant menyebutnya dunia “noumena” (yang dipertentangkan dengan “fenomena”). Ini adalah dunia dimana sesuatu itu eksis sebagaimana adanya ia, bukan apa yang ia tampakkan aspek luarnya saja; ini adalah dunia dari sesuatu-dalamdirinya sendiri. Berdasarkan definisi di atas, kita tidak pernah dapat mengalami dunia ini, lalu, apakah kita mengetahui bahwa ia benar-benar eksis? Kant tidak pernah mampu untuk melakukan hal yang lebih baik lagi selain dari menyatakan bahwa kita harus meyakini benda-bendadalam-diri mereka sendiri jika kita ingin meyakini pengetahuan yang benar, dan pada bagian ini dari teori Kant, dianggap membingungkan oleh para penerusnya. Setiap filosuf besar setelah Kant, berupaya untuk menjauh darinya, apakah itu dengan mengklaim bahwa penampilan-penampilan luar adalah (atau setidaknya dapat menjadi) sama dengan realitas, atau dengan mengklaim bahwa, sementara kita

hidup dalam sebuah dunia fenomena, filsafat dapat mengarahkan kita menuju noumena yang ada dibaliknya. Kita akan membahas kemudian, pemikiran dari dua filosuf yang menganut pandangan yang terakhir ini: G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl.

Imperatif Kategoris Terdapat... hanya sebuah imperatif kategoris tunggal dan ia adalah yang berikut ini: Tindakan, hanya yang berdasarkan pada prinsip moral, melalui mana anda dapat, pada saat yang sama, menginginkan bahwa ia seharusnya menjadi sebuah hukum universal. Immanuel Kant, The Metaphysic of Morals (1797), chapter 11 Setelah memecahkan masalah pengetahuan, setidaknya berdasarkan pada ukuran kepuasannya sendiri, Immanuel Kant memasukkan etika ke dalam mesin filsafatnya, dan berupaya menampilkan versi modern dari Kaidah Kencana (Golden Rule)2. Versi aslinya menyatakan: “Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu menginginkan mereka untuk berbuat kepadamu.” Kant memodifikasi ungkapan ini menjadi “Berbuatlah kepada orang lain engkau menginginkan setiap orang untuk berbuat kepada setiap orang.” Dalam ungkapan yang lebih teknis, tindakan-tindakan anda seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip yang anda inginkan ini adalah hukum-hukum universal. Inilah yang membuat hukum ini

2

Kaidah Kencana (Golden Rule) adalah prinsip tentang perilaku altruistik yang bersumber dari perjanjian lama [Sepuluh Perintah Tuhan kepada Nabi Musa]. (Penerjemah).

bersifat “imperatif kategoris”, untuk menggunakan istilah Kant: bersifat kategoris karena ia mencakup setiap orang tanpa kecuali dan imperatif karena kewajiban moralnya. Apakah ini lebih baik daripada ungkapan aslinya? Karena di dalam teori, ia menghindari masalah ide-ide tentang perbedaan pendapat di kalangan masyarakat terkait dengan apa yang mereka suka untuk berbuat sesuatu kepada orang lain. Kant berharap untuk dapat menandingi apa yang sekarang ini kita sebut dengan “relativisme moral”, yaitu gagasan yang menyatakan bahwa apa yang benar atau baik, bergantung pada situasi atau konteks. Yang lebih salah lagi, pikir Kant, adalah doktrin utilitarianisme yang menyatakan bahwa tujuan menghalalkan segala cara. Bagaimana mungkin hasilhasil (akibat-akibat) menyediakan sebuah basis moral bagi tindakan, dia bertanya, bahkan ketika metode paling baik sekalipun dapat mengandung kesalahan? Hasil-hasil (akibat-akibat) dari apa yang kita lakukan, seringkali bukan apa yang kita niatkan semula, sehingga ini, secara moral, menyimpang dari untuk mendasarkan vonis-vonis kita pada hasil-hasil. Vonis-vonis yang dapat kita andalkan adalah yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang melandasi tindakan-tindakan kita, aturan-aturan yang kita gunakan dalam pembuatan keputusankeputusan. Dan bagaimana prinsip-prinsip semacam ini diputuskan? Jika kita ingin bersikap obyektif, kita harus melihat hal-hal yang universal. Tak

satupun dari situasi-situasi yang mengandung nilai-nilai moral; Kant sedang mencari hukum-hukum yang solid dan konsisten untuk melahirkan tatanan bahwa “Mencuri itu adalah salah.” Hukum-hukum ini harus diterapkan secara lintas batas. Demikianlah, bagaimana imperatif kategoris bekerja: diberikan sebuah pilihan, anda harus menjadi sadar akan hukum-hukum ini yang mendasari tindakan anda. Anggaplah seorang asing sedang menghampiri anda dan menghina ibu anda. Reaksi pertama anda mungkin mencekik lehernya, tapi berhentilah dan ujilah motif-motif anda. Jika anda mengatakan kepada diri anda: “Adala h benar untuk mencekik seseorang yang menyerang saya”---ini akan menjadi “prinsip” untuk melakukan tindakan itu---anda kemudian harus mempertanyakan apakah hukum semacam ini adalah rasional dan apakah anda akan mengharapkannya untuk diterapkan secara lintas batas. Dengan mempertimbangkan bahwa akibat yang timbul adalah terjadi pembunuhan massal dan chaos, anda harus menolaknya---ini adalah imperatif sehingga anda melakukan yang demikian ini. Penyesuaian rasionalistik Kant atas Kaidah Kencana (Golden Rule) menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan. Yang pertama, manusia yang normal, pada puncak peristiwa, jarang sekali dapat berhenti dari mempertimbangkan implikasi-implikasi dari prinsipprinsip mereka. Yang kedua, hukum-hukum ini baik, tapi tidak selalu

bersifat praktis---bahkan jika kita ingin melakukan hal yang benar, kita tidak selalu mampu mewujudkannya. Ketiga, adalah tidak selalu mudah untuk mengetahui apa “prinsip” atau hukum yang biasa dipraktekkan, kecuali dalam situasisituasi yang paling sederhana. Banyak hukum-hukum yang berbeda yang mungkin dapat diterapkan, sebagian hukum-hukum ini bertentangan dengan hukum-hukum lain. Setiap orang yang sedang berlinang air mata saat didekati oleh seorang pengemis, akan mengerti apa yang saya maksudkan.

“Dan Kehidupan Manusia itu, Sendirian, Miskin, Kotor, Brutal, dan Kasar” Oleh karena itu, apapun yang terjadi adalah akibat dari suasana Perang, dimana setiap manusia adalah Musuh bagi setiap manusia; hal yang sama sebagai akibat dari suasana perang ini adalah bahwa manusia hidup tanpa rasa aman, kemudian pada saat yang sama, apa yang menjadi kekuatan mereka dan skill untuk menemukan sesuatu akan muncul dalam diri mereka. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada tempat bagi Industri; karena buah dari situasi ini adalah tidak pasti: dan sebagai akibatnya, tidak ada Kebudayaan di Bumi ini; tidak ada Pelayaran, tidak juga ada pemanfaatan barang-barang komoditi yang diimpor melalui jalan laut; tidak ada Bangunan yang luas; tidak ada instrumen-instrumen untuk menggerakkan, dan memindahkan berbagai hal yang membutuhkan banyak tenaga; tidak ada Pengetahuan di permukaan Bumi ini; tidak ada penjelasan tetang Waktu; tidak ada Seni; tidak ada karya Sastra; tidak ada Masyarakat; dan yang terburuk adalah, rasa takut yang terus-menerus, dan bahaya kematian yang menghancurkan; Dan kehidupan manusia itu, sepisendiri, miskin, kotor, brutal, dan berlangsung singkat. Thomas Hobbes, Leviathan (1651), Part I, chapter 13

Anda sering mendengar baris-baris ini dari karya masterpiece Thomas Hobbes yang dikutip di atas, seolah-olah dia memaksudkan kehidupan sekarang ini atau kehidupan secara umum. Meskipun Leviathan adalah jenis sesuatu yang menimbulkan depresi, Hobbes tidaklah sesuram itu. Yang dia maksudkan adalah bahwa kehidupan itu tanpa adanya civil society, akan menjadi “terpencil, miskin”, dan lain-lain, bukan bahwa kehidupan itu seperti yang telah diungkap. Benar, Renaissans yang terjadi belakangan, bukanlah suatu hal yang remeh, di Inggris atau dimanapun. Orang-orang mengingat Shakespeare dan Galileo, tapi melupakan kemajuan-kemajuan itu dalam ilmu pengetahuan dan ilmu pelayaran (navigation), juga telah membantu perkembangan skeptisisme dan sikap ragu-ragu. Ilmu pengetahuan Aristoteles yang menghibur, telah menjadi puing-puing, sebagaimana halnya kepastian-kepastian dari sebuah Gereja yang dipersatukan (a Unified Church). Tuhan-lah yang menguasai dunia ini melalui raja-raja dan ratu-ratu, wilayah kedaulatan mereka dijamin oleh “hak ilahiah”, memberi jalan kepada Tuhan yang lebih akrab dan lebih pribadi, yang berfirman kepada sang manusia awam dan juga kepada sang raja. Pemberontakan-pemberontakan rakyat Inggris yang memenggal kepala Raja Charles I di pertengahan abad sembilan belas, jelas sekali,

tidak melihat dia sebagai mediator Tuhan. Sementara Hobbes (15881679) telah bersetuju bahwa pemerintahan apapun adalah hasil dari konsensus sosial, dia dengan keras menentang pemberontakanpemberontakan yang didasari oleh tindakan-tindakan dan ajaran filsafat yang anti-Monarki. Hanya seorang penguasa dengan kekuasaan absolut, dia berargumen, yang dapat secara efektif menahan dan membatasi manusia-manusia dari saling berdebat dan saling mengeksploitasi. (Jadi, judul Leviathan, mengacu pada makhluk raksasa penakluk, yang terdapat dalam Bibel). Untuk mengukuhkan premis ini, Hobbes membangkitkan suatu skenario kehidupan tanpa adanya hukum. Hobbes menggambarkan manusia dalam keadaannya yang alami seperti berpusat pada diri (ego), lebih mementingkan diri sendiri, dan merasa tidak aman. Dia tidak mengetahui hukum dan tidak mempunyai konsep tentang keadilan; dia hanya mengikuti apa yang didiktekan oleh nafsu-nafsu dan hasrat-hasrat. Dimana tidak ada pemerintahan atau hukum, maka manusia akan secara alami jatuh ke dalam perbantahan, persaingan dan kontroversi. Ketika sumber-sumber daya alam itu terbatas jumlahnya, maka akan terdapat kompetisi, yang mengarah pada ketakutan, kekecewaan, dan perbantahan. Manusia juga secara alami mencari reputasi dengan menjatuhkan dan mengalahkan orang lain. Ketika dalam pandangan yang lebih luas, orang-orang itu setara dalam

kekuatan dan kecerdasan, tak satupun orang atau kelompok yang dapat memaksakan kekuatan mereka tanpa ada bahaya yang menghadang. Jadi, konflik ini berlangsung secara abadi, dan “setiap manusia adalah Musuh bagi setiap manusia.” Dalam situasi perang ini, tak satupun kebaikan yang dapat muncul. Sementara setiap orang berkonsentrase pada mempertahankan diri sendiri dan menaklukkan (orang lain), maka keberadaan buruh-buruh yang produktif adalah mustahil. Tidak ada waktu senggang untuk mengejar dan menuntut ilmu pengetahuan, tidak ada motivasi untuk membangun atau mengeksplorasi, tidak ada tempat bagi seni dan sastra, tidak ada pijakan yang kuat bagi masyarakat---yang ada hanya “rasa takut yang berlangsung secara terus-menerus, dan bahaya dari kematian yang menyakitkan.” Jadi, kehidupan manusia dalam situasi seperti ini, dalam ungkapan terkenal Hobbes, adalah “sepi-sendiri, miskin, kotor (menjijikkan), brutal, dan kasar.” Pandangan semacam ini, yang sangat diwarnai oleh rasa kurang percaya diri dan putus asa tentang masa tersebut, jelas sekali, tidak mempunyai acuan kepada Tuhan. Secara khusus, ia tidak mempunyai acuan pada peran Tuhan dalam pemerintahan, yang dilihat oleh Hobbes sebagai sebuah produk manusia. Pemerintahan-pemerintahan muncul ketika manusia, terilhami dan digerakkan oleh akalnya, mencari kebaikan untuk jangka panjang dengan menghindari keadaan

alamiahnya yaitu rasa putus asa akan adanya konflik dan rasa takut, demi mengharap tercapainya perdamaian dan rasa aman. Manusia memilih untuk mengenali sebuah kekuatan yang umum sepanjang tetangga-tetangga mereka melakukan hal yang sama, karena hanya yang semacam ini sajalah yang dapat memelihara keteraturan. Kekuatan ini kemudian mempunyai kewajiban untuk memelihara rasa aman masyarakat luas; sarananya adalah hukum, dan kendaraannya adalah kekuatan yang tak terbantahkan. Karena pada tingkatan kekuasaan itu dapat dibagi, konflik akan muncul. Inilah sebabnya mengapa Hobbes berpikir bahwa monarki adalah bentuk terbaik sistem pemerintahan: hanya suatu kekuatan yang seperti Leviathan yang ia sendiri melampaui hukum---dan dengan demikian tidak dapat dilangkahi oleh otoritas yang lebih tinggi--pastinya dapat dan mampu memelihara rakyat secara efektif. Tentu saja, sebagaimana diakui oleh Hobbes, raja-raja akan terjerumus pada situasi perbantahan dan perseteruan dengan raja-raja lain, tapi Hobbes tidak menganut suatu pemerintahan dunia yang terpusat. Selama segala sesuatunya stabil dan terkendali, baik-baik saja dalam pandangannya bahwa raja-raja itu mencari ketenarannya di luar negeri. Sangat disayangkan bahwa ide-ide Hobbes telah membuat tak seorang pun merasa bahagia. Dia juga terlalu bersikap pro kepada para bangsawan terkait dengan kontrak sosialdan terlalu banyak

memberi keuntungan kepada kaum bangsawan dalam pembuatan kontrak sosial ini; lebih dari itu, pandangan-pandangannya dinilai oleh berbagai pihak banyak mengandung unsur-unsur ateistik, meskipun Hobbes mengingkari hal ini. Faktanya adalah bahwa pemikirannya adalah terlalu rumit dan aneh bagi setiap orang untuk mencerna keseluruhannya, meskipun ia akan memberi pengaruh pada filsafat dan ilmu politik terhadap beberapa generasi. (Spinoza adalah salah satu dari murid Hobbes yang layak dicatat). Hobbes sendiri sudah merasa terlalu capek melayani perdebatan di masa tuanya dan dia memuaskan dirinya dengan menerjemahkan karya Homer.(Iliad dan Odyssey, pent.).

Tabula Rasa Marilah kita anggap pikiran (mind) itu menjadi, sebagaimana yang kita katakan, kertas putih, kosong dari semua karakter, tanpa satu ide pun. Bagaimana ia menjadi sangat berwarna? .... Tentang hal ini, saya menjawab, dalam satu kata, dari pengalaman. John Locke, Essay concerning Human Understanding (1690), Book II Jangan sampai bahasa Latin membuat anda takut, tabula rasa sebenarnya adalah salah satu dari ide-ide besar yang lebih sederhana. Ini hanya berarti “piringan kosong”, yang adalah keadaan orisinal dari pikiran manusia, menurut beberapa filosuf.

Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah pakar Fisika Inggris, John Locke (1632-1704), yang dalam karyanya Essay concerning Human Understanding telah mempelajari asal-usul ide-ide dan hubungan mereka dengan realitas. Dia mengemukakan bahwa semua ide ini berasal dari pengalaman dan bahwa pengetahuan itu hanyalah relasi-relasi antara ide-ide. Ini berarti kita tidak dapat mempunyai ide-ide apapun hingga kita mempunyai pengalamanpengalaman. Jadi, sebenarnya, pikiran dari anak yang baru lahir adalah kosong. Locke menyebutnya “kertas putih”; tabula rasa (secara harfiah berarti “tablet yang dihapus”) mendahului dia dan menyatakan, bertentangan dengan doktrinnya, bahwa sesuatu itu telah berada disana sebelum dihapus. Hasil akhir dari “kertas putih” Locke adalah bahwa bukan hanya kita dilahirkan dalam keadaan tanpa ide-ide konkret, kita juga tidak mempunyai konsep-konsep abstrak semacam moralitas, Tuhan, dan kebebasan. Konsep-konsep semacam ini harus dipelajari, sebagaimana bahasa, dan mereka ini dipelajari baik melalui pengalaman atau melalui perenungan dan nalar. Pandangan-pandangan ini membawa Locke untuk menolak idealisme dan seluruh gagasan dari ide-ide bawaan yang mewarnai bahasan filsafat sehari-hari. Meskipun, rasio mempunyai tempatnya sendiri dalam pemahaman manusia, Locke mengatakan, ia tidak mendominasi pengalaman. Pikiran adalah bukan di atas materi, karena materi,

melalui pengalaman, menyediakan ide-ide untuk pikiran (mind). Konsep-konsep kita yang paling sederhana dan paling mendasar (seperti “suara nyaring”, “keras” , dan “manis”) yang didukung oleh indera, dan semua ide-ide yang lebih konkret yang dibangun di atas mereka. Ide-ide lain datang kepada kita melalui refleksi (perenungan), termasuk kesadaran tentang proses pemikiran kita sendiri; “pemikiran” itu sendiri sebagaimana halnya dengan “persepsi”, “keyakinan”, “kesadaran”, “keraguan”, dan lain-lain, semuanya didukung oleh pengalaman reflektif. Ide-ide seperti itu bersifat sederhana, namun, tidak berarti bahwa mereka adalah ide-ide bawaan. Doktrin Locke tentang tabula rasa, terutama, bersumber dari logika sederhana. Misalnya, jika kita semua lahir dengan sebuah ide bawaan tentang Tuhan, maka kita semua akan mempunyai ide yang sama tentang Tuhan. Tapi, tentu saja, kita tidak demikian. Demikian pula, jika kita terlahir dengan sebuah ide tentang kebenaran moral, kita semua akan bersetuju tentang apa yang benar dan apa yang salah. Tapi, kita tidak demikian. Akhirnya, kebenaran-kebenaran analitik seperti “Apapun ia, ia eksis” dan “2 + 2 = 4” adalah bukan ideide yang sudah jelas bagi setiap orang---misalnya, anak-anak dan orang-orang idiot. Locke juga memikirkan premis tentang rasionalisme---pikiran berada di atas materi---yang terlalu kompleks untuk digunakan atau untuk menjadi valid. Seperti Occam, dia memikirkan bahwa yang lebih sederhana itu lebih baik, dan penjelasan

apapun tentang pengetahuan yang tidak memerlukan ide-ide bawaan adalah lebih sederhana. Sebenarnya, ketika tabula rasa tampaknya merupakan sebuah ide yang sedrhana, argumen Locke berakhir dengan agak rumit. Dalam kenyataan, dia kadang-kadang bertentangan dengan dirinya sendiri dan yang pada akhirnya memaksa untuk mengakui bahwa “fakultasfakultas” (kemampuan-kemampuan tersembunyi) harusnya bersifat bawaan. Di antara ini adalah lima indera dan kemampuan bernalar, yang diperhitungkan sebagai “ide-ide” oleh beberapa kelangan. Apapun kesulitan-kesulitan yang terjadi tentang argumennya, argumen-argumen ini telah mengendalikan filsafat Inggris untuk terus memelihara karakter empirismenya. Namun, dia telah gagal untuk meyakinkan para filosuf Perancis, yang secara keseluruhan, masih tetap menjadi kaum rasionalis. Hanya merupakan salah satu alasan lain tentang mengapa banyak orang Inggris merasa khawatir terkait dengan penyatuan Eropa dan dengan akan dibangunnya terusanterusan (bawah laut dan permukaan) antar negara.

Kontrak Sosial Manusia terlahir bebas, dan dimana saja ia berada, ia dalam belenggu rantai. Seringkali, orang meyakini dirinya sendiri sebagai penguasa atas orang-orang lain, padahal dia adalah lebih budak daripada mereka. Bagaimana perubahan ini terjadi? Saya tidak tahu. Apa yang dapat membuatnya menjadi sah? Saya yakin bahwa saya dapat menyelesaikan pertanyaan ini....

Jika orang-orang memperoleh kembali kebebasannya yang berdasarkan pada kesamaan hak, baik mereka itu di-justifikasi (dibenarkan dan di legal-kan) dalam memperolehnya kembali, atau tidak ada justifikasi untuk menjauhkan mereka darinya. Tapi, keteraturan sosial adalah sebuah hak suci yang menyediakan sebuah pondasi bagi semua yang lain. Namun hak ini, tidak datang secara alami. Oleh karena ia didasarkan pada konvensi-konvensi. Pertanyaannya adalah untuk mengetahui apa saja konvensi-konvensi ini. Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (1762), Book I, chapter I “Manusia terlahir bebas, dan dimana saja ia berada, ia dalam belenggu.” Demikian awal prediksi Jean-Jacques Rousseau tentang borok-borok sosial pada masanya. Masyarakat modern disifatkan sebagai mementingkan diri sendiri, tidak setara (kesenjangan), tirani yang picik, dan ketidakotentikan, mengkhianati keadaan alami manusia, yang bebas, terbuka, dan bahagia. (Jelas sekali, Rousseau tidak menerima dan meyakini gambaran Hobbes tentang manusia alami sebagai tidak bahagia, kasar, dan mementingkan diri sendiri). Rousseau (1712-1778) tidak menghendaki penggulingan “sistem”. Targetnya yang terutama adalah suatu keyakinan, yang ditujukan kepada semua secara sama terhadap raja, kaum bangsawan, dan terhadap banyak orang di jalan: bahwa masyarakat mereka dan pemerintahan mereka harus sesuai dengan harapan mereka sendiri, karena Tuhan atau alam (atau keduanya) telah menciptakan mereka seperti itu. Au contraire, demikian argumen Rousseau; Tuhan telah menciptakan kita setara secara alami, baik secara alami, mampu memerintah diri sendiri, dan sendirian secara esensial. Jika masyarakat

eksis sepenuhnya, ini karena masyarakat, bukan Tuhan atau alam, telah menciptakannya untuk saling berbagi rasa aman dan keuntungan yang sama. Dan apa yang telah diciptakan oleh manusia, manusia juga mungkin untuk merusaknya. Namun, masyarakat ideal Rousseau ini tidaklah bersifat bebas sebebas-bebasnya, karena anarki bahkan lebih buruk daripada penindasan. Yang telah dia kemukakan adalah sebuah “kontrak sosial” (contrat social). Anugerah yang diberikan adalah bahwa semua manusia adalah setara secara alami, tapi, masyarakat ideal ini adalah sebuah rekayasa yang berdasarkan pada konsensus, pada sebuah persetujuan atau “kontrak” diantara seluruh warganya. Dan jika masyarakat semacam ini bersifat otentik dan baik, maka ia harus mempertahankan dan memelihara sebanyak mungkin kebebasan alami individu, untuk mengatakan, hak-nya untuk menentukan diri sendiri. Tapi, ini membutuhkan skill dan sikap waspada untuk mengupayakannya, ketika kontrak-kontrak ini, berdasarkan definisinya, melibatkan sebuah pertukaran, dalam hal ini adalah tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Gagasan Rousseau ini, dalam kenyataan, menuntut setiap anggota masyarakat “untuk menyerahkan hak individunya pada kewajiban kolektif dan menyerahkan seluruh kuasanya di bawah kontrol tertinggi dari kehendak umum” (“put in common his person and his whole power

under the supreme direction of the general will”). Hanya dengan cara inilah, suatu masyarakat akan terbentuk, yang menyediakan kesejahteraan umum daripada menyalurkan hasrat-hasrat dan kepentingan-kepentingan dari seseorang atau dari kelompok yang berkuasa. Tapi, bagaimana kriteria ini sesuai dengan persyaratan lain yang diajukan Rousseau---bahwa masyarakat itu tidak melanggar kebebasan alami individu? Jawaban dia adalah bahwa tidak ada konflik sama sekali. Karena kebebasan sejati adalah moral, dan kebaikan moral itu kandungan utamanya adalah mengharapkan kebaikan dari setiap orang. Ketika kepentingan-kepentingan pribadi bertentangan dengan kesejahteraan umum, yang merupakan sesuatu yang tidak bermoral, sehingjga kita kita tidak “bebas” secara alami, berdasarkan definisi dia, untuk mengejar mereka. “Kehendak umum” ini dikukuhkan ketika kita bersikap setuju pada kontrak sosial yang dia ajukan, yang bermakna sama dengan kebebasan moral, dimana setiap orang akan mengakui jika mereka telah mengetahui apa yang benar-benar baik bagi mereka. Apapun yang anda pikirkan tentang logika Rousseau, ini sungguh mempunyai implikasi-implikasi yang mendasar---yaitu, bahwa kita mempunyai hak-hak tertentu yang tidak bisa dialihkan pada orang lain dimana negara atau masyarakat tidak dapat membatasi dan melanggarnya. Dalam pelaksanaan kontrak sosial yang ideal,

kehendak yang umum adalah kedaulatan dan pemerintahan dipegang oleh pihak-pihak yang memperoleh persetujuan dari yang diperintah. Kontrak sosial memberikan kekuasaan eksekutif secara bersyarat, dan masyarakat bisa saja memecat mereka kapan saja yang mereka kehendaki. Adalah merupakan sentimen-sentimen (lebih berdasarkan perasaan daripada rasio) bahwa Rousseau memperoleh ucapan selamat dan pujian dari Edmund Burke yang menyebut dia sebagai “Socrates gila” dari Revolusi Perancis. Berbicara tentang Socrates, acuan-acuan pertama yang melandasi kontrak-kontrak sosial ini telah ditemukan, bukan dalam karya tulis Rousseau, tapi dalam dialog-dialog Plato. Misalnya, dalam Republic, Glaucon mengacu pada “suatu kesepakatan yang bukan untuk melakukan dan tidak juga untuk mengalami ketidakadilan”; ini adalah “awal mula legislasi dan awal dari perjanjian formal yang mengikat diantara manusia-manusia” (Book II). Namun, pada akhirnya, Plato membuang teori ini dan teori demokrasi. Semakin mendekati penerapannya, teori kontrak sosial telah memperoleh perhatian dan penanganan yang serius pada abad tujuh belas oleh Hobbes dan John Locke. Hobbes, misalnya, berargumen bahwa pikiran logis dan rasa takut telah memaksa individu-individu untuk mencari perdamaian dengan bergabung dalam suatu “persetujuan formal”, dimana mereka menyerahkan berbagai hakhak individu kepada suatu otoritas yang terpusat. Sebagai imbalannya,

mereka akan dapat melangsungkan urusan-urusan mereka dengan aman, menyadari bahwa tindakan kriminal apapun yang ditujukan kepada mereka akan memperoleh hukuman setimpal. Dalam versi Hobbes, orang-orang tidak dapat mempertahankan kedaulatannya; dalam kenyataan, ini bersifat imperatif (perintah) bahwa mereka menyerahkan kedaulatannya kepada, misalnya, seorang raja, karena jika ini tidak dilakukan, maka pihak yang lebih kuat dan berkuasa akan berupaya untuk merampas kekuasaan secara tidak adil terhadap mereka yang lebih lemah. Tapi, jika seorang raja melakukan berbagai hal yang tidak disukai oleh rakyat, ini sangat buruk, karena sang raja tidak terikat oleh kontrak, yang hanya berlaku di kalangan mereka yang telah memberi dia otoritas. Pendekatan menyeluruh Hobbes terbukti sangat berpengaruh---setelah Machiavelli, dia adalah tokoh terbesar kedua dalam perkembangan ilmu politik---tapi, ide-idenya sendiri telah mendapat serangan dari seluruh aspek dan pada akhirnya tidak memperoleh perhatian dan tanggapan. Yang lebih berhasil adalah ide-ide dari John Locke, yang dalam karyanya Second Treatise of Government (1690), mengemukakan argumen bahwa sementara manusia membutuhkan pemerintahan, pemerintahan itu pada akhirnya adalah sang pelayan, bukan sang majikan, dari masyarakat. Kumpulan masyarakat sepenuhnya bebas untuk mendikte dan memodifikasi syarat-syarat perjanjian dari pemerintahannya, lebih disukai dengan menuliskan syarat-syarat itu secara tertulis. Inilah

persisnya yang telah dilakukan oleh para Founding Fathers ketika, pada tahun 1781, mereka menyusun dan meratifikasi kontrak-kontrak sosial yang paling termasyhur dari seluruh kontrak-kontrak sosial: Konstitusi Amerika Serikat.

Dialektika Dialektika dapat berarti sejumlah hal; misalnya, pengertian asalnya dalam bahasa Yunani mengandung arti “wacana”. Tapi, ia utamanya dimaksudkan sebagai satu hal khusus sejak filosuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), mulai membahas istilah ini. Dialektika Hegel, untuk mudahnya, dapat disarikan dalam tiga kata: tesa, anti-tesa, sintesa. (Tiga kata ini bukan berasal dari Hegel, tapi tak menjadi masalah). Setiap konsep atau urusan-urusan yang telah baku (“tesa”) pada akhirnya memunculkan sebuah konsep yang bertentangan (“anti-tesa”), dan ketika konsep anti-tesa ini menjadi baku dan mulai tumpul, maka konsep yang baru dan lebih baru (“sintesa”) akan muncul. Jadi, kemajuan manusia, menurut Hegel adalah suatu anugerah. Istilah dialektika ini juga menjelaskan kontinuitas, karena tesa dan anti-tesa tidak saling meniadakan satu sama lain; lebih akurat lagi, bahwa unsur terbaik dari masing-masing konsep, terpelihara dalam sebuah sintesa baru. Tapi, sintesa ini akan mempunyai celah-celah dan

cacatnya sendiri, yang akan memprovokasi suatu anti-tesa baru, dan demikian seterusnya. Dalam pandangan Hegel, gerak maju ini mustahil tanpa adanya konflik. Untuk menangani apa yang dimaksudkan oleh Hegel, marilah kita ambil salah satu contoh dari Hegel yang paling dikenal: “hubungan majikan/budak”. Bayangkan seorang majikan dan seorang budak, atau tuan dan pelayan, sebagai tesis dan anti-tesis kita. Sang majikan adalah seorang majikan atau tuan adalah seorang tuan, karena dia memiliki pelayan-pelayan: dia didefinisikan, dalam hal ini, berdasarkan pada apa yang bukan menjadi predikat dia (seorang budak atau pelayan). Tampaknya bahwa dalam setiap cara, sang majikan adalah lebih superior ketimbang sang budak, dan bahwa sang budak memiliki identitas dan kesejahteraan yang bergantung kepada majikannya. Tapi, semua ini adalah tidak seperti yang tampak di permukaan. karena, dalam kenyataan, sang majikan itu sendiri, bergantung pada sang budak---bukan hanya untuk jasa pelayanan yang menjadi tugas sang budak, tapi bahkan untuk mengukuhkan identitasnya (“Saya adalah seorang majikan karena budak saya menganggap saya sebagai majikannya”). Jadi, “tesis” majikan, bergantung pada “anti-tesis” budak sebanyak sang budak bergantung pada majikannya---dalam satu pengertian, sang majikan adalah budak dari budaknya, dan sang budak adalah majikan dari majikannya. Jika sang majikan

merenungkan situasi ini---sebagaimana dalam pandangan Hegel yang progresif, dia terikat untuk melakukan ini---dia harus menyadari sifat netral dan unsur ketidakadilan dari upaya menaklukkan sang budak tempat ia bergantung. Dan berdasarkan pada kesadaran ini akan muncul sebuah sintesis yang lebih adil---susunan sosial yang rasional dan humanis. Sejarah, filsafat, sains, agama, dan hal-hal keseharian yang lain juga bekerja dengan cara seperti ini, berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, sepanjang waktu! Tapi, darimana ini semula bermula? Menurut Hegel, dengan energi sangat kuat yang abadi, yang dia sebut “Roh” (Geist). Roh ini, yang selalu mendesak dan merangsek menuju kesempurnaan, menjadi Rasio itu sendiri. Menyerang balik kepada kaum skeptis dan mereka yang menolak, dia berupaya keras menyusun argumen yang panjang dan menjemukan guna membuktikan bahwa Rasio (=Pikiran= Roh) adalah yang meliputi semua dan selalu berupaya menuju kesadaran-diri yang menyeluruh, yang merupakan prestasi sempurna kemanusiaan. Dan sarana melalui mana Roh ini melakukan upaya kerasnya adalah dialektika, yang merupakan hamparan dari “Ide transendental” yang akan mencapai kesempurnaannya di Akhir Sejarah. Anda boleh menduga bahwa dibalik semua kata-kata yang tidak ada artinya ini, terdapat sebuah ide yang telah sangat familiar: Tuhan. Ini menjadi dapat dipahami di luar kontroversi tentang dia bahwa

dunia fenomena ini telah diciptakan oleh---faktanya, hanya sebuah ekstensi [perluasan] dari---Geist. Apa yang telah terjadi di awal, pikirnya, adalah bahwa Tuhan---yang adalah Pikiran Absolut---pada akhirnya mengarahkan pemikiran-pemikiran-Nya kepada Diri-Nya Sendiri. tapi, anda harus mengenyampingkan diri anda dari sesuatu untuk memikirkannya---bahkan ketika obyek pemikiran ini adalah diri seseorang, orang itu harusnya masih menjadi sebuah “obyek” dari “subyektivitas”-nya sendiri. namun, ketika Tuhan itu bersifat Maha Ada, maka tak ada satu-pun yang terpisah dari Tuhan. Jadi, apa yang Dia pikirkan adalah Ketiadaan (Nothingness). Ketiadaan ini, tentu saja, adalah anti-tesis dari Ada. Tapi, daripada membuat diri-Nya tidak berguna, Tuhan menggerakkan Ada dan Ketiadaan ini, yang adalah proses Menjadi---asal dan mekanisme sentral dari Sejarah. Dan tujuan dari Sejarah ini adalah untuk membimbing kembali menuju Pikiran Absolut, menuju Ada tanpa Ketiadaan. Dan itulah sebuah versi sederhana dari argumen dia.

Related Documents