CKD (GAGAL GINJAL KRONIK)
1. Terapi Konservatif Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun. Tujuan terapi konservatif : a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi. b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia. c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal. d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Prinsip terapi konservatif : a) Mencegah memburuknya fungsi ginjal. 1) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik. 2) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi. 3) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit. 4) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani. 5) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi. 6) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat. 7) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis yang kuat. b) Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat 1) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular. 2) Kendalikan terapi ISK. 3) Diet protein yang proporsional. 4) Kendalikan hiperfosfatemia. 5) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%. 6) Terapi hIperfosfatemia. 7) Terapi keadaan asidosis metabolik. 8) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
c) Terapi alleviative gejala asotemia 1) Pembatasan konsumsi protein hewani. 2) Terapi keluhan gatal-gatal. 3) Terapi keluhan gastrointestinal. 4) Terapi keluhan neuromuskuler. 5) Terapi keluhan tulang dan sendi. 6) Terapi anemia. 7) Terapi setiap infeksi.
2. Terapi simtomatik a) Asidosis metabolik Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K+ (hiperkalemia ) : 1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari. 2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L. b) Anemia 1) Anemia Normokrom normositer Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per kg BB. 2) Anemia hemolisis Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis. 3) Anemia Defisiensi Besi Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal : a. HCT < atau sama dengan 20 % b. Hb < atau sama dengan 7 mg5 c. Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia
dan high
output heart failure. Komplikasi tranfusi darah : a). Hemosiderosis b). Supresi sumsum tulang c). Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia d). Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV e). Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana transplantasi ginjal.
TERAPI OBAT 1. HIDROKLOROTIAZID Hidroklorotiazid atau disingkat HCT adalah obat diuretik yang termasuk ke dalam kelas tiazid. Hidroklorotiazid sering digunakan sebagai obat anti hipertensi yang bekerja dengan cara mengurangi kemampuan ginjal untuk menyerap terlalu banyak natrium yang bisa menyebabkan retensi cairan. Selain itu obat ini juga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer sehingga terjadi penurunan tekanan darah.
INDIKASI HIDROKLOROTIAZID Hidroklorotiazid adalah anti hipertensi lini pertama baik terapi tunggal atau dikombinasikan dengan obat anti hipertensi lain untuk meningkatkan efektivitasnya. Hidroklorotiazid digunakan juga untuk pengobatan diabetes insipidus, dan mengurangi resiko batu ginjal pada pasien yang memiliki level kalsium yang tinggi dalam urin.
Obat ini juga digunakan untuk mengobati osteoporosis karena obat-obat kelas tiazid bisa menurunkan kehilangan mineral sekaligus merangsang pembentukan mineral tulang. Hidroklorotiazid penting dalam pengobatan edema yang disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, pemakaian kortikosteroid atau terapi estrogen, dan berbagai bentuk disfungsi ginjal seperti sindrom nefrotik, asidosis tubulus, glomerulonefritis akut, termasuk gagal ginjal kronis.
KONTRA INDIKASI Jangan menggunakan hidroklorotiazid pada pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap hidroklorotiazid atau obat-obat derivat sulfonamid.
EFEK SAMPING HIDROKLOROTIAZID Efek samping hidroklorotiazid pada saluran pencernaan misalnya mual, muntah, diare, kram pada perut, sembelit, iritasi lambung, dan Efek samping lain yang sering terjadi seperti pusing, sakit kepala, gelisah dan vertigo. Anemia
aplastik,
agranulositosis,
leukopenia,
anemia
hemolitik,
trombositopenia, efek pada kulit misalnya ruam, sindrom stevens-johnson, dermatitis eksfoliatif termasuk nekrolisis epidermal toksik, kadang terjadi terutama pada pemakaian melebihi dosis yang dianjurkan. Pengguna alkohol, barbiturat, dan narkotika bisa meningkatkan efek samping hidroklorotiazid berupa penurunan tekanan darah yang drastis. Gangguan sistem metabolisme akibat pemakaian hidroklorotiazid seperti peningkatan level asam urat, gula darah dan kolestrol.
TOLERANSI TERHADAP KEHAMILAN penelitian pada reproduksi hewan tidak menunjukkan resiko pada janin dan tidak ada studi yang memadai dan terkendali dengan baik pada wanita hamil / Penelitian pada hewan telah menunjukkan efek buruk pada janin, tapi studi yang memadai dan terkendali dengan baik pada wanita hamil tidak menunjukkan resiko pada janin di trimester berapapun.
INTERAKSI OBAT hidroklorotiazid berinteraksi dengan obat-obat berikut : Jika digunakan bersamaan dengan barbiturat, atau anda pengguna alkohol dan narkotika, efek samping berupa hipotensi ortostatik dapat terjadi. Penyesuaian dosis obat anti diabetes baik oral maupun insulin mungkin perlu dilakukan jika diberikan bersamaan dengan hidroklorotiazid. Cholestyramine mengurangi penyerapan hidroklorotiazid di usus sehingga bisa mengurangi efektivitasnya. Pemberian bersama obat kortikosteroid bisa meningkatkan gangguan elektrolit terutama hipokalemia. Diuretik termasuk hidroklorotiazid mengurangi klirens lithium dari ginjal sehingga meningkatkan resiko toksisitasnya. Hidroklorotiazid dan NSAID jika digunakan bersamaan, efek diuresis kemungkinan menurun.
DOSIS HIDROKLOROTIAZID hidroklorotiazid diberikan dengan dosis :
Dosis lazim dewasa untuk edema Dosis umum : 25 mg – 100 mg 1-2 x sehari
Dosis lazim dewasa untuk hipertensi Dosis awal : 25 mg 1 x sehari Pemeliharaan : dapat ditingkatkan menjadi 50 mg / hari, sebagai dosis tunggal atau dibagi 2 x dosis.
Dosis lazim dewasa untuk nefrokalsinosis Awal : 25 mg 1 x sehari Pemeliharaan : dapat ditingkatkan menjadi 50 mg 2 x sehari.
Dosis lazim dewasa untuk osteoporosis Awal : 25 mg 1 x sehari Pemeliharaan : dapat ditingkatkan menjadi 50 mg / hari
Dosis lazim dewasa untuk diabetes insipidus Awal : 50 mg 1 x sehari Pemeliharaan : dapat ditingkatkan menjadi 100 mg / hari
2. FUROSEMID Furosemid adalah obat yang termasuk dalam golongan loop diuretik. obat yang dijual dengan salah satu merek dagang Lasix ini biasanya diresepkan oleh dokter sebagai bagian dari obat penatalakasanaan penderita gagal ginjal atau penderita gagal jantung.
Mengenal Obat Furosemid Obat furosemide adalah obat yang dibuat dari turunan asam antranilat. Obat Furosemid bekerja pada glomerulus ginjal untuk menghambat penyerapan kembali zat natrium oleh sel tubulus ginjal. Furosemid akan meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, dan kalium tanpa mempengaruhi tekanan darah normal. Setelah pemakaian oral furosemid akan diabsorpsi sebagian secara cepat dengan awal kerja obat terjadi dalam ½ sampai 1 jam, dengan lama kerja yang pendek berkisar 6 sampai 8 jam, kemudian akan diekskresikan bersama dengan urin dan feses. Dengan cara kerjanya tersebut obat furosemid dapat digunakan untuk membuang cairan yang berlebihan dari di dalam tubuh.
Indikasi Obat furosemid dapat digunakan pada keadaan berikut : Sebagai obat lini pertama pada keadaan edema yang disebabkan oleh penyakit gagal jantung kongestif, penyakit sirosis hati, dan penyakit ginjal serta sindrom nefrotik. Sebagai terapi tambahan pada keadaan edema serebral atau edema paru yang
memerlukan
diuresis
cepat
termasuk
juga
pengobatan
hiperkalsemia. Sebagai terapi hipertensi dapat digunakan secara tunggal maupun kombinasi dengan diuretik lain seperti spironolakton
Kontraindikasi Obat furosemid tidak boleh digunakan pada keaadan berikut : Penderita yang diketahui memiliki riwayat alergi atau hipersensitif terhadap furosemid.
Penderita yang sedang mengalami anuria atau tidak bisa buang air kecil Pederita yang sedang hamil karena dapat memberikan efek buruk pada janin
Dosis Obat furosemide tersedia dalam bentuk furosemide 40 mg tablet dan furosemide 20 mg injeksi. Adapun dosis furosemid yang dianjurkan adalah sebagai berikut: Dosis dewasa yang digunakan untuk pengobatan edema gagal jantung kongestif, gagal ginjal, asites, hipertensi, oliguria nonobstruktif, dan edema paru adalah furosemid tablet dengan dosis awal 20 mg hingga 80 mg, untuk dosis pemeliharaan dapat ditingkatkan secara bertahap 20 hingga 40 mg per dosis setiap 6 hingga 8 jam dengan dosis maksimum sehari 600 mg Untuk pengobatan secara suntikan Intravena atau intramuskular dosis yang digunakan adalah furosemid injeksi 10 mg hingga 20 mg yang dapat diulangi dalam waktu 2 jam apabila respon diuresis tidak memadai. Untuk pegobatan secara infus Intravena dosis yang digunakan adalah 0.1 mg per kg berat badan sebagai dosis awal, kemudian tingkatkan dua kali lipat setiap 2 jam sekali sampai dosis maksimal 0.4 mg per kg per jam. Untuk pengobatan hiperkalsemia dosis yang digunakan adalah furosemid tablet 10 mg hingga 40 mg yang diberikan sebanyak 4 kali dalam sehari dan furosemid Intravena dengan dosis 20 mg hingga 100 mg setiap 1 sampai 2 jam
Efek Samping Furosemid Obat furosemide dapat menimbulkan beberapa efek samping berikut : Sama seperti loop diuretik lain furosemide dapat menyebabkan hipokalemia, hal ini dapat diatasi dengan mengkombinasikan obat dengan produk kalium. Furosemide juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam urat dan kadar gula darah pada saluran pencernaan dapat menimbulkan mual, muntah, nafsu makan menurun, iritasi pada mulut dan lambung, dan diare. Efek samping lainnya yang juga dapat timbul antara lain gangguan pendengaran, sakit kepala, pusing dan penglihatan kabur. Efek samping yang berat antara lain anemia aplastik, anemia hemolitik, trombositopenia, leukopenia, agranulositosis,dan eosinofilia.
3. MANITOL Manitol merupakan salah satu diuretik, yaitu obat yang meningkatkan pembentukan urine oleh ginjal. Obat ini berfungsi membantu pengeluaran natrium dan air dari dalam tubuh sehingga kadar cairan yang beredar di pembuluh darah akan menurun. Obat ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai kondisi kesehatan. Contohnya adalah:
Mencegah dan/atau mengobati fase oliguria (produksi urine sedikit) pada gagal ginjal akut.
Menurunkan tekanan dalam tempurung kepala ketika meningkat akibat tumor otak, perdarahan di dalam tempurung kepala, dan lain-lain.
Memicu pembuangan substansi berbahaya dari ginjal akibat keracunan.
Menurunkan tekanan pada bola mata ketika obat lain gagal.
Manitol tersedia dalam bentuk infus dan hanya boleh digunakan berdasarkan resep dan anjuran dokter. Tentang Manitol Golongan
Diuretik
Kategori
Obat resep
Manfaat
Mencegah dan/atau mengobati fase oliguria.
Menurunkan tekanan dalam tempurung kepala
Dikonsumsi oleh
Dewasa dan anak-anak
Bentuk
Obat infus
Peringatan:
Wanita hamil atau menyusui sebaiknya berkonsultasi dengan dokter sebelum menggunakan manitol.
Harap berhati-hati bagi lansia dan yang mengidap dehidrasi parah, anuria (tidak bisa buang air kecil), gagal jantung kongestif, pendarahan dalam tempurung kepala (terutama saat menjalani operasi), gangguan ginjal yang parah, edema paru atau penyakit paru kongestif, serta gagal ginjal.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Manitol Manitol hanya bisa diberikan melalui infus oleh dokter dan petugas medis. Dokter akan mempertimbangkan jenis kondisi yang diidap, riwayat kesehatan, usia, serta berat badan pasien sebelum memberikan obat ini. Secara umum, dosis infus manitol untuk pasien dewasa dan remaja adalah 500 hingga 2.000 ml per hari. Dosis maksimal dalam sekali pemberiannya adalah 500 ml. Bagi pasien yang mengalami oliguria atau gangguan ginjal, dokter akan memberikan dosis manitol sebanyak 2 ml per kg berat badan selama 3-5 menit. Dosis awal ini bertujuan untuk menguji reaksi tubuh pasien terhadap obat. Bila hasil tampungan urine setelah minum obat ini masih dengan volume normal, maka sisa obat akan diberikan. Untuk menurunkan tekanan dalam tempurung kepala dan bola mata, dosis umum manitol yang diberikan adalah 15-20 ml per kg berat badan pasien. Infus ini akan dijalani oleh pasien selama 30 menit hingga 1 jam. Sementara, pasien yang mengalami keracunan dan membutuhkan proses pembuangan senyawa berbahaya dari ginjalnya akan dianjurkan untuk menerima manitol sebanyak 250 ml pada pemberian infus awal. Mengonsumsi Manitol dengan Benar Manitol harus diberikan dengan dosis tepat sesuai kebutuhan pasien sehingga hanya bisa dilakukan oleh dokter dan petugas medis. Perhatikan isi kemasan infus manitol sebelum digunakan. Cairan manitol harus bening dan tanpa partikel. Jangan digunakan jika cairan telah berubah warna, berisi partikel, atau kemasannya bocor. Mintalah pada petugas medis untuk memberikan yang baru.
Kenali Efek Samping dan Bahaya Manitol Tiap pasien biasanya memiliki reaksi tubuh yang berbeda-beda terhadap obat. Ada yang mengalami efek samping dan ada juga yang tidak. Meski jarang, manitol berpotensi memicu beberapa efek samping yang meliputi:
Gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.
Gangguan pencernaan.
Merasa haus.
Sakit kepala.
Menggigil.
Demam.
Tromboflebitis.
Hipotensi.
4. TERAZOSIN Terazosin adalah obat yang digunakan secara tunggal atau dengan obat lain untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi). Menurunkan tekanan darah tinggi dapat membantu mencegah stroke, serangan jantung, dan masalah ginjal. Obat ini bekerja dengan merelaksasi pembuluh darah sehingga darah dapat mengalir lebih mudah. Terazosin juga digunakan pada pria untuk mengobati gejala pembesaran prostat (benign prostatic hyperplasia-BPH). Obat ini tidak mengecilkan prostat, tetapi bekerja dengan merelaksasi otot-otot di prostat dan bagian dari kandung kemih. Kondisi ini membantu untuk meringankan gejala BPH seperti kesulitan dalam
mengeluarkan urin, aliran urin lemah, dan kebutuhan untuk sering buang air kecil atau mendesak (termasuk saat tengah malam). Terazosin termasuk dalam kelas obat yang dikenal sebagai alpha blocker. Dosis Dosis Dewasa untuk Hipertensi: Dosis awal: 1 mg oral sekali sehari pada waktu tidur Dosis pemeliharaan: 1-5 mg oral sekali sehari. Dosis maksimum: 20 mg per hari.
Dosis Dewasa untuk Benign Prostatic Hyperplasia: Dosis awal: 1 mg oral sekali sehari pada waktu tidur. Dosis pemeliharaan: Peningkatan secara bertahap hingga 2 mg, 5 mg, atau 10 mg sekali sehari untuk mencapai perbaikan gejala yang diinginkan. Dosis terazosin untuk anak-anak Keamanan dan efektivitas belum ditetapkan pada pasien anak (kurang dari 18 tahun). Tablet 1 mg; 2 mg; 5 mg; 10 mg Efek Samping Jika salah satu dari efek samping berikut terjadi saat menggunakan terazosin, periksakan dengan dokter atau perawat sesegera mungkin: Umum terjadi:
Pusing
Kurang umum terjadi:
sakit dada
pusing ringan ketika bangun dari posisi berbaring atau duduk
pingsan (tiba-tiba)
denyut jantung cepat atau tidak teratur
detak jantung berdebar
sesak napas
pembengkakan kaki atau kaki yang lebih rendah
langka
peningkatan berat badan Beberapa efek samping terazosin mungkin tidak memerlukan perhatian medis. Seiring tubuh Anda terbiasa dengan obat ini, efek samping mungkin hilang. dokter Anda mungkin dapat membantu Anda mencegah atau mengurangi efek samping ini, tetapi periksakan dengan mereka jika salah satu dari efek samping berikut berlanjut, atau jika Anda prihatin tentang efek samping ini: Umum terjadi
sakit kepala
kelelahan yang tidak biasa atau kelemahan Kurang umum terjadi:
nyeri punggung atau nyeri sendi
penglihatan kabur
kantuk
mual dan muntah
hidung tersumbat Tidak semua orang mengalami efek samping berikut ini. Mungkin ada beberapa efek samping yang tidak disebutkan di atas. Bila Anda memiliki kekhawatiran mengenai efek samping tertentu, konsultasikanlah pada dokter atau apoteker Anda. Pencegahan & Peringatan Dalam memutuskan untuk menggunakan obat, risiko penggunaan obat harus dipertimbangkan terhadap manfaatnya. Ini adalah keputusan Anda dan dokter Anda. Untuk obat ini, berikut yang harus dipertimbangkan:
Alergi Beri tahu dokter jika Anda pernah memiliki reaksi yang tidak biasa atau alergi terhadap obat ini atau obat-obatan lainnya. Selain itu beri tahu ahli kesehatan jika Anda memiliki jenis alergi lain, seperti pada makanan, pewarna, pengawet, atau hewan. Untuk produk non-resep, baca label atau paket bahan penyusun dengan hati-hati. Anak-anak Studi pada obat ini telah dilakukan hanya pada pasien dewasa, dan tidak ada informasi spesifik yang membandingkan penggunaan terazosin pada anak-anak dengan yang digunakan dalam kelompok usia lainnya. Lansia Pusing, ringan, atau pingsan (terutama ketika bangun dari posisi berbaring atau posisi duduk) lebih mungkin terjadi pada orang tua, yang lebih sensitif terhadap efek dari terazosin.
PENATALAKSAAN Tujuan penata laksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor yang dipulihkan (mis, obstruktif) diidentifikasi dan ditangani. Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup 1. Hiperkalemia
akibat
penurunan
ekskresi,
sidosis
metabolik,
katabolisme, dan masukan diet berlebih 2. Perikarditis, efusi perikardial dan temponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat 3. Hipertensi akibat rertensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensin-aldosteron 4. Anemia akibat penurunan eritropotein, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan darah selama hemodialisis 5. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar alumunium. Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif, eritropotein, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga perlu mendapat penanganan dialisis yang adekuat untuk mneurunkan kadar produk sampah uremik dalam darah. Intervensi diet juga perlu pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat terhadap masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang, dan pembatasan kalium. Pada saat yang sama, masukan kalori yang adekuat dan suplemen vitamin harus dianjurkan. Protein akan dibatasi karena urea, asam urat, dan asam organik-hasil pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus memiliki nilai biologis tinggi (produk susu, telur daging).
Hiperfosfatemia mengandung
dan
alumunium
hipokalemia yang
mengikat
ditangani fosfat
dengan
antasida
makanan
disaluran
gastrointestinal. Namun perhatian terhadap potensial toksisitas alumunium jangka panjang dan hubungan antara tingginya kadar alumunium denagn gejala neurologis dan osteomalasia. Medikasi ini juga mengikat fosfat diet dan saluran intestinal menyebabkan antasida yang digunakan cukup diberikan dalam dosis kecil. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif kontro volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan penanganan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretik agens, inotropik seperti digitalis atau dobutamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada gagl ginjal kronik biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian, suplemen natrium karbonat, atau dialisis dieprlukan untuk mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan gejala. Hiperkalemia, biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan menatauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral mupun irravena, pasien diharuskan diet rendah kalium. Abnormalitas naurologi, dapat terjadi dan memrlukan abservasi dini terhadap tanda-tanda seperti kedutanm sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropotein manusia rekombinan). Anemia pada pasien (hemotokrit kuarng dari 30%) muncul tanpa gejala spesifikseperti malase, keletihan umum, dan penurunana toleransi aktifitas. Terapi epogen diberikan untuk memeproleh nilai hemotokritsebesar 33% sampai 38% yang biasanya memulihkangejala anemia. Epogen diberikan biasanay melalui intravena atau subkutan 3 kali seminggu. Pasien yang menerima epogen biasanya menunjukan gejala mirip flu pada permulaan terapi cenderung menghilang setelah dosis diulang. Pasien yang mendapatkan epogen dilaporkan menurun kadar keletihannya, rasa sejahtera meningkat, dapat mentoleransi dialisis dengan lebih baik, memiliki kadar energi yang tinggi dan toleransi aktifitas yangbaik. Selain itu telah
mengurangi kebutuhan transfusi dan resiko yangberhubungan dengan tindakan ini (penyakit infeksus, pembentukan antibodi, dan muatan besi berlebih). Dialisis biasanay dimulai ketika pasien tidak mampu memeprtahankan gaya hidup normal dengan penanganan konservatif. a. Transplantasi Ginjal Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap akhir. Pasien memilih transplantasi ginjal dengan berbagai alasan, seperti keinginan untuk menghindari dialisis atau untuk memeperbaiki perasaan sejahtera, danharapan untuk hidup secara lebih normal. Selain itu, biaya transplantasi ginjalyang sukses diabndingkan dialisis adalah sepertiganya. Transplantasi ginjal melibatkan menanamkan ginjal dari donor hidup atau kadaver manusia ke resipen yang mengalami penyakit ginjal tahap-akhir. Ginjal transplan dari donor hidup yang sesuai dan cocok bagi pasien (mereka dengan antigen ABO dan HLA yang cocok) akan lebih baik dari pada transplan yangberasal dari donor kadaver. Nefrektomi terhadap ginjal asli pasien dilakuakn untuk transplantasi. Ginjal transplan diletakan difosa iliaka anterior sampai krista iliaka pasien. Ureter dari ginjal transplan ditanamkan ke kandung kemih di anostomosiskan ke ureter resipen. b. Hemodialisis Diperkirakan bahwa lebih dari 100.000 pasien yang akhir-akhir ini menjalani hemodialisis. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa ahri hingga beberapa minggu). Pasien denagn penyakit ginjal stadium terminal (ERSD; end-stage renal disease) yang emmebutuhkan terapi jangka oanjang atau terapi permanen.
Sehelai
membran
sintetik
yang
semipermeabel
menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Bagi penderita gagl ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terdapat kualitas hidup pasien. Pasienpasien ini harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam perkali terapi) atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasi;. Pasien memrluakn terpi dialisis yang kronis kalau terpi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksis dari dalam darah dan mengeluarkan air yangberlebihan. Pada hemodialisis aliran darah yang penuh denagn toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemusian diekmbaliakn lagi ketubuh pasien.
ALGORITMA
DAFTAR PUSTAKA Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart.Jakarta: EGC. Morton. P. G. & DKK. (2011). Keperawatan Kritis vol. 1. Edisi 8. Jakarta: EGC