Cerpen Joko Prast 2

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cerpen Joko Prast 2 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,791
  • Pages: 6
Hatiku Mlempem Seperti Krupuk Cerpen Joko Prasetyo* Setiap kali aku melintasi rumah di pinggir jalan di dekat perbatasan desa itu, pasti dia sedang menyapu halaman rumahnya yang luas dengan sapu lidi. Aku selalu berangkat pagi-pagi sebelum matahari nampak di balik Gunung Merbabu. Melintasi kampung demi kampung lalu desa demi desa. Tujuanku tidak pasti setiap harinya. Tetapi pasti melewati rumah di dekat perbatasan desa itu. Dan dia pasti sedang menyapu halaman rumahnya setiap aku melintasi jalan di depan rumah itu. Aku hanyalah seorang penjual kerupuk keliling. Setiap sore aku membungkusi krupuk dengan plastik yang yang kuisi dengan limabelas buah krupuk. Setiap plastik kujual seribu rupiah. Lalu keesokan harinya, pagi-pagi benar, aku menjualnya keliling desa. Tiap pagi aku membawa sekitar seratus bungkus krupuk dengan mengendarai motor bututku. Mula-mula aku tak begitu memperhatikan dia. Lama-lama aku tertarik juga. Selalu kulihat dia menyapu halaman sambil sesekali membenahi letak rambutnya yang hitam dan terjurai melebihi sebahu. Suatu ketika mata kami bersitatap. Spontan aku menganggukkan kepala sambil mengucap “Mbak!”. Biasalah, kehidupan di desa. Setiap orang yang lewat walaupun tidak atau belum dikenalnya, pasti disapa atau cukup dengan anggukan kepala. Lalu dia pun membalas anggukan kepala plus seukir senyum yang tersungging dari bibirnya yang merah seraya mengucap “Monggo!”. Terlihat lesung pipinya yang menambah aura kecantikannya. Cantik? Gila! Aku telah bisa menilai seorang wanita rupanya. Sejak itulah kami saling berkomunikasi meski hanya lewat anggukan kepala. Lama-lama karena terbiasa menikmati anggukan kepala dan senyumannya serta lesung pipinya yang bagai mawar sedang mekar itu, aku jadi sering terbayang. Aku jadi ingin hari selalu pagi. Tak ada keluh kesah lagi dengan usaha bangun pagi yang sebelumnya begitu berat kujalani. Bahkan aku sangat bersemangat sekali kalau suara adzan shubuh perlahan telah menyusup dan menggetarkan gendang telingaku. Aku akan langsung bangun dan segera melaksanakan sholat subuh untuk kemudian berkemas-kemas berangkat dinas mendistribusikan krupuk. Tak ada lagi berat menanggalkan selimut karena dingin luar biasa di daerah pegunungan seperti ini. Bukan karena panggilan tugas untuk memberikan kepuasan masyarakat yang

membutuhkan krupuk untuk sarapan melainkan ya karena gadis penyapu halaman itu. pendek kata, kini ada sesuatu yang lain yang mampu menenggelamkan kesuntukanku menjalani profesi sebagai penjual krupuk. Aku biasa pulang sekitar jam sebelas siang. Atau kalau sedang laris atau kalau sudah terasa capek, jam sepuluh sudah cabut dari tempat dinas. Tidak setiap hari krupukku habis. Kadang sisa lima sampai sepuluh bungkus. Kalau pulang aku tidak selalu melewati depan rumah si pemilik lesung pipi yang manis itu. Kadang aku melewati desa-desa sampai memutar dan kembali ke desaku lewat jalan lain. Suatu ketika aku pulang melewati depan rumah itu. Kebetulan masih belum terlalu siang. Namun matahari sudah berhasil mengucurkan butir-butir keringatku. Dan krupukku juga belum habis bis. Masih ada sisa beberapa bungkus. Tiba-tiba ada suara memanggilku. “Mas, Mas! Mas…Krupuk.” Suara itu terdengar lantang tapi merdu bagaikan setets embun yang menghilangkan dahagaku di siang yang begitu panas ini. Spontan aku menghentikan motorku. Oh, ternyata si dia. Lho, kok dia di rumah. Apa tidak sekolah, pikirku. “Mas, kalau pulang kok tidak lewat sini, to? Saya kan butuh krupuk untuk ngirim Bapak di sawah. Daripada beli di warung sana. Kan jauh.” Katanya setelah aku memarkir motorku di depan rumahnya. Memang rumah itu agak jauh dari tetanggatetangganya yang agak masuk ke dalam. Dan memang warung terdekat dengan rumah itu sekitar limapuluh meter. “Lho, saya kan harus keliling ke sana dan ke situ. Jadi pulangnya ya lewat jalan terdekat menuju rumah saya.” “Memang rumah Mas dimana?” “Di Desa Blimbing.” “O…” “Kok belinya tidak pagi saja. Kan saya pasti lewat sini.” “Wah nggak bisa, Mas. Uangnya kan Bapak yang pegang. Kalau sepagi itu, anu, Bapak belum bangun. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya jalani. Halaman ini kan cukup luas dan cukup melelahkan kalau disapu. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan rumah yang lain.” Jelasnya agak malu. Mungkin malu dan khawatir dicap bapaknya bukan orang yang rajin. Padahal banyak juga orang-orang desa yang bangun paling pagi jam tujuh. Itupun karena ada pekerjaan tertentu di sawah-sawah mereka yang memerlukan kerja pagi.

“O….begitu, to? Ya sudah kalau begitu saya usahakan kalau pulang lewat sini, oke?” “Eh, satunya berapa, Mas?” “Seribu, Mbak!” “Ini uangnya, makasih ya, Mas. Maaf, saya harus segera ke sawah. Kasihan Bapak di sana kalau terlambat ngirim-nya.” Sebenarnya aku masih ingin banyak bertanya tentang dia.Misalnya siapa namanya, dan yang membuatku penasaran apa dia tidak sekolah. Menurutku dia seusia anak SMA kelas dua. Tapi apa boleh buat. Dia harus ngirim alias mengantar makanan ke sawah untuk orang-orang yang bekerja di sana. Kalau terlambat kan dia pasti dimarahi. Siapa yang tidak marah kalau jatah makannya terlambat? Kubayangkan Bapaknya orangnya besar dan berwajah garang. Hii…Aku kan belum pernah melihat bapaknya. Namun aku senang sudah bisa bercakap-cakap dengannya. Ternyata dia enak diajak bicara. Tidak pemalu seperti putri malu. *** Pagi ini, seperti biasa aku menjalani hari-hari dengan motor butut dan membawa gunungan krupuk di kanan kiri jok belakang motorku. Jalanan masih basah. Bukan saja karena embun melainkan sisa genangan hujan yang turun dari siang kemarin sampai malam. Musim penghujan telah tiba. Suatu rahmat bagi para petani. Mereka bisa mulai menanami sawah mereka dengan padi. Mereka tak kesusahan mencari sumber air. Akan lain halnya denganku. Musim penghujan menjadi penghalang atau kalau boleh aku katakan menjadi petaka. Betapa tidak. Daganganku tidak selaris musim kemarau. Sebab, kata para pelanggan, krupukku tidak renyah lagi. Memang, kalau musim hujan, krupuk mentah tidak begitu kering dijemur karena tidak ada sinar matahari di siang hari. Karena tidak mau rugi, pengusaha krupuk menggoreng krupuk mentah walaupun masih basah. Walhasil, krupuk kehilangan kerenyahannya. Celaka pula bagi distributor seperti saya ini. Para pelanggan kehilangan seleranya. “Mas, krupuknya sekarang kok kecil-kecil dan kurang renyah, to?” Tak terkecuali sang pemilik lesung pipi berkomentar. “Iya. Karena njemurnya kurang tuntas. Ndak ada panas sih. Jadi kalau digoreng tidak melar. Hasilnya ya seperti ini.” Jawabku dengan nada agak lesu. “Mbok berhenti saja jadi penjual krupuk. Saya kasihan sama Mas. Sudah siang begini kok dagangan masih separo lebih.”

“Sulit cari kerja yang lain, Mbak.” Jawabku. Lagian kalau berhenti jadi penjual krupuk tidak bisa ketemu kamu lagi, batinku. “Kok panggil saya Mbak sih. Kan Mas lebih tua dari saya. Panggil saja saya ‘Dik’. Saya merasa lucu kalau dipanggil dengan sebutan Mbak.” Eh, dia kok malah jadi sok akrab gini, ya? “E…iya, ya, Mbak eh Dik…..siapa?” “Hi..hi..hi…” Dia malah ketawa eh ketiwi. Tuh kan lesung pipinya jadi tambah dalam. “Kok tertawa?” “Habis lucu. Kita kan sudah lama kenal, kok sampai belum tahu nama kita masing-masing. Oh, ya….panggil saja saya Dik Sri.” “O, Dik Sri. Saya Cipto.” Tanpa kesepakatan lebih dulu, kami bersalaman seperti layaknya orang kenalan. Baru kali ini kurasakan halus dan lembut kulitnya, meskipun dia sepengetahuanku seorang pekerja keras. “Eh, Dik Sri apa ndak sekolah? Kalau saya taksir umur Dik Sri baru umurumurnya anak SMA.” Akhirnya pertanyaan yang membuat aku penasaran berhasil terlontar kali ini. “Iya, Mas. Teman seumur saya memang sudah SMA. Kalau saya melanjutkan sekolah ya sudah kelas dua.” Tepat dugaanku. “Tapi kata Bapak, saya tidak usah sekolah. Cukup membantunya menggarap sawah yang hanya beberapa petak saja.Bapak tidak punya biaya untuk sekolah saya. Sekolah kan sekarang mahal.” “Kamu tidak punya saudara?” “Saya anak tunggal. Ibu saya meninggal ketika melahirkan saya. Bapak tidak mau menikah lagi.” Tidak mau menikah lagi atau tidak ada yang mau dinikahi? Sebuah pertanyaan yang tak pernah kulontarkan. Kalau sampai kutanyakan, bisa runyam perkenalan yang menyenangkan ini. Bisa-bisa perkenalan kami yang baru saja dijalin ini kandas di tengah jalan. Kan berabe. *** Sejak percakapan tempo hari, aku semakin simpatik kepadanya. Atau lebih tepatnya, jatuh cinta. Kok cepat benar? Kesimpulan ini kutarik sejak semalam setelah percakapan yang bagiku sangat menghibur kekecewaanku karena tidak lakunya daganganku. Biasanya, karena lelah mebungkusi krupuk, aku langsung tidur. Tetapi tidak malam itu. Walaupun capek bukan kepalang, apalagi terbayang esok harinya krupukku itu tidak akan laku, mata ini tidak mau terpejam barang sedetik pun. Yang

ada hanya lesung pipi dan rekah senyum yang terukir di bibir yang merah. Dik Sri. Kata itu juga ikut andil mengantah-berantahkan kantuk dengan membisingkan telinga. Bergema berulang-ulang. Memantul-mantul di lembah, bukit, dan relung hatiku. Waduh?! Meski aku sudah tidak sesemangat dulu menjalani profesiku semenjak musim penghujan tiba, toh pagi ini aku tetap mruput menjual krupuk. Keberangkatanku tiap pagi makin hari makin dengan muka kusut. Sebab pendapatan makin hari makin surut. Ditambah sudah beberapa hari ini aku tidak dicegat oleh Sri yang biasa membeli krupuk untuk kiriman ayahnya. Bahkan pagi ini tak kudapati dia menyapu halaman rumahnya. Kemana dia? Dan seperti hari-hari kemarin, separo lebih daganganku harus kubawa pulang kembali. Sengaja aku pulang lewat depan rumahnya. Barangkali aku akan menemukan penghibur kesuntukanku hari ini. Sengaja pula kupelankan laju sepeda motorku. Lagi-lagi tak kutemui dia. Hanya saja ada yang berbeda dengan rumahnya. Biasanya rumah itu terlihat sepi. Kali ini banyak orang hilir mudik di sekitar rumahnya. Kemudian melintas mobil pick up mengangkut padi-padi seperti penghias kursi pelaminan pengantin. Hatiku bertanya-tanya yang berkembang menjadi berdebar-debar. Aku mampir di warung yang berjarak limapuluh meter dari rumah Sri itu. Alasanku membeli sebatang rokok. “Wah kok masih banyak krupuknya, Mas?” dan bla…bla…bla basa-basi penjaga warung tak begitu kuhiraukan dan kujawab sekenanya. “Bu, itu yang mau nikah siapa, to? Kok ada padi-padi segala macam.” Tibatiba aku bertanya karena sudah tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang menikah. Kuharap bapaknya Sri yang menikah, biar aku lega. Tapi jawaban penjaga warung meledakkan kepalaku. “O…itu. Besuk kan Sri pemilik rumah itu akan nikah dengan Pak Kamitua. Maklumlah Sri sudah dewasa. Dan Pak Kamitua kenalan baik bapaknya Sri. Tapi ada desas-desus kalau ada unsur paksaan. Tapi ndak tahulah, Mas…..” Aku pulang dengan sempoyongan. Tak ada semangat sama sekali seperti kerupuk yang kena air. Mlempem. Walaupun panas matahari sedikit tertutup mendung, aku merasakan panas luar biasa di dalam dada. Lalu kepalaku serasa melayanglayang. Motorku seperti berjalan sendiri lalu terbang menyibak gelapnya mendung di atas sana. Dan tiba-tiba seperti ada petir yang menyambar motor terbangku.

Setelah membuka mata baru aku sadar aku sudah tertelungkup di pinggir jalan. Motorku ngathang-athang tak jauh dariku. Dan jalanan sudah penuh dengan pecahan krupuk. Lalu tak jauh dari motorku, ada motor lain yang juga terkapar berikut seseorang yang nyungsep di parit pinggir jalan. Rupanya dia mengendarai motor dengan ngebut. Sedangkan aku mengendarai motor agak ke kanan jalan. Jadinya kami tabrakan. Keterangan ini kuperoleh setelah berada di Polsek setempat. Memang sesampainya di sana kesadaranku mulai pulih. Meski hati dan semangatku sudah terlanjur seperti krupukku yang bertebaran di jalanan dan sebagian mlempem di parit pinggir jalan.*** Grinjing, 6 April 2005 – 16.05

*Penulis: Joko Prasetyo. Lahir 28 Agustus 1982 di Temanggung. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY semester akhir. Beberapa karya puisi termuat dalam Jurnal Kreativa, antologi Mencari Tanda Sunyi (2002), Gandring (2003), dan Memoar Perjalanan (2004), serta di situs www.unstrat.net. Karya cerpennya pernah dimuat di citus sastra www.cybersastra.net Alamat rumah: Nerasi RT 01/RW IV, Morobongo, Jumo, Temanggung, Jawa Tengah. 56256. Alamat di Jogja: Jl. Grinjing Gang I No. 10 Papringan. Email: [email protected]

Related Documents

Cerpen Joko Prast 2
December 2019 13
Cerpen Joko Prast 4
December 2019 13
Cerpen Joko Prast 1
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 3
December 2019 10
Cerpen Joko Prast 6
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 7
December 2019 9