Cek Plagiarism.docx

  • Uploaded by: alwan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cek Plagiarism.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,905
  • Pages: 50
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas epitel yang muncul dari mukosa rongga nasofaring (Khoo dan Pua, 2013). Tumor ganas atau kanker merupakan penyakit yang tidak dapat diperkirakan yang menyerang tanpa membedakan apakah seseorang kaya atau miskin, gemuk atau kurus, usia lanjut atau usia pertengahan (Martono dan Pranaka, 2011). Menurut Soepardi et al. (2012), karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Soepardi et al., 2012). Kanker nasofaring (KNF) adalah tumor yang relatif langka (87.000 kasus baru, 0,6% dari semua kanker), lebih sering terjadi pada laki-laki (rasio jenis kelamin 2.3: 1) dengan wilayah geografis yang sangat berbeda dari risiko tinggi. Angka tertinggi dalam populasi di Asia Tenggara (6,4 pada pria, 2,4 pada wanita), dan di Mikronesia atau Polinesia, Asia Timur dan Afrika Utara, di mana tingkat di atas 2 dan 1 pada pria dan perempuan masing-masing. Diperkirakan 51.000 kematian dari KNF pada tahun 2012, mewakili 0,6% dari semua kematian akibat kanker (Globocan, 2012). Berdasarkan hasil penelitian Salehiniya et al. (2018), karsinoma nasofaring umumnya terjadi di negara Asia Tenggara. Lima negara dengan insiden tertinggi kanker nasofaring di dunia adalah Cina, Indonesia, Vietnam, India dan Malaysia. Stadium kanker nasofaring di dunia adalah 1,2 per 100.000 (pada pria 1,7 per 100.000; pada wanita, 0,7 per 100.000) (Salehiniya, et al.2018). Lima negara dengan jumlah kematian tertinggi adalah Cina, Indonesia,

1

2

Vietnam, India dan Malaysia, masing-masing. Angka kematian standar untuk kanker nasofaring di dunia adalah 0,7 per 100.000 (pada pria 1,0 per 100.000; pada wanita 0,4 per 100.000) yang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya KNF, misalnya faktor lingkungan. Menurut Ma dan Cao (2010), faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya KNF adalah infeksi virus Epstein-Barr, memakan ikan asin, makan makanan yang diasinkan, merokok, meminum minuman beralkohol, efek kerentanan keturunan, mengkonsumsi obat tradisional cina, mengkonsumsi makanan yang mengandung formaldehide dan penyakit kronis pernapasan bagian atas. Diantara faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya KNF adalah merokok. Berdasarkan PP. RI. No. 109 (2012), rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. Menurut Hsu WL et al. (2009), merokok berhubungan dengan peningkatan risiko yang signifikan untuk karsinoma nasofaring, semakin lama dan semakin berat kebiasaan merokok, semakin tinggi risiko karsinoma nasofaring, perokok berat jangka panjang adalah penyebab risiko karsinoma nasofaring, perokok aktif dengan konsumsi rokok lebih dari 30 bungkus dalam setahun dapat meningkatkan stadium karsinoma nasofaring dibandingkan dengan perokok aktif yang menghabiskan kurang dari 30 bungkus dalam setahun. Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan antara merokok dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher menyatakan bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher, didapati mutasi gen p53 yang mempunyai hubungan kuat dengan merokok. Gen penekan

tumor

p53 dan regulasi apoptosis

memegang

peran

penting

pada patogenesis terjadinya tumor. Gen p 53 memegang

peranan

terhadap

kerusakan DNA sel dengan jalan menghambat progresi sel dan di

dalam memacu jalur apoptosis bila kerusakan DNA sel tidak dapat diperbaiki

3

lagi. Hilangnya fungsi gen p53 dan regulasi apoptosis akan menyebabkan hilangnya kontrol pada siklus sel, sehingga terjadi proliferasi sel-sel yang mempunyai kerusakan DNA yang sangat besar peluangnya menjadi sel kanker (Yusuf, 1999). Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa merokok merupakan major risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher. Penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan perokok, dimana kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat besar (Daly, 1993). Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

1.2. Rumusan Masalah Adakah hubungan kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

1.3.2. Tujuan Khusus 1.

Mengidentifikasi karakteristik sosiodemografi pasien karsinoma nasofaring yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

2.

Mengidentifikasi gambaran keluhan utama dan stadium pada pasien karsinoma nasofaring yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

3.

Mengidentifikasi jenis rokok pasien karsinoma nasofaring yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

4

4.

Mengidentifikasi usia mulai merokok pada pasien karsinoma nasofaring yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

5.

Mengidentifikasi jumlah rokok yang dikonsumsi pasien karsinoma nasofaring yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

6.

Menganalisis hubungan jenis rokok dengan stadium karsinoma nasofaring.

7.

Menganalisis hubungan jumlah konsumsi rokok dengan stadium karsinoma nasofaring.

8.

Menganalisis hubungan usia mulai merokok dengan stadium karsinoma nasofaring.

1.4. Hipotesis H0 : Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring. H1 : Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring.

1.5. Manfaat Penelitian 1.

Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi kepada semua orang baik masyarakat maupun tenaga medis mengenai hubungan kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring.

2.

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi para tenaga medis untuk melakukan penyuluhan mengenai deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan bahayanya penyakit karsinoma nasofaring.

3.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dan bahan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Nasofaring 2.1.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan organ berbentuk kuboid terletak di atas palatum molle (vellum palatinum) dan lanjutan cavitas nasi ke belakang yang dibagi menjadi beberapa regio, yaitu dinding anterior, posterosuperior, dan lateral. Pada dinding anterior, nasofaring berhubungan hidung melalui kedua choana (sepasang lubang antara cavitas nasi dan nasofaring) (Moore, K. L., 2014). Dinding posterosuperior nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring dan otot dinding faring. Terdapat massa jaringan limfoid yaitu tonsil faringeal pada regio tersebut. Dinding lateral nasofaring merupakan muara dari tuba eustachius dan fossa Rosenmuller (resesus faringeal) (Moore, K. L., 2014).

Gambar 1. Anatomi Nasofaring (Moore, K. L., 2014).

Fossa Rosenmuller merupakan area yang menjadi asal dari sebagian besar sel karsinoma nasofaring dan memiliki hubungan secara anatomis dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis serta prognosis (Moore, K. L., 2014). 2.1.2. Histologi Nasofaring 2.1.2.1. Mukosa Nasofaring Sekitar 60% dari total permukaan epitel, terutama bagian posterior dan

6

inferior nasofaring, dilapisi oleh epitel skuamosa stratified (epitel

berlapis

gepeng bertingkat). Pada bagian anterior dan kranial dari nasofaring dilapisi oleh epitel silindris pseudostratified bersilia dengan sel goblet (Regauer, 2010). Selama kehidupan janin terdapat perubahan epitel secara bertahap dari epitel silindris pseudostratified menjadi epitel skuamosa. Zona transisional ini yang dapat

menjadi

tempat

tumbuhnya

karsinoma. Mukosa dari

nasofaring

mengandung banyak jaringan limfoid yang terdiri dari limfosit, sel retikular, dan fibroblas. Epitel limfoid bersama gabungan dari jaringan limfoid dan tonsil membentuk cincin Waldeyer (Waldayer’s ring) (Mescher, A. L., 2011). 2.1.2.2. Submukosa Nasofaring Pada submukosa nasofaring terdapat kelenjar seromusinus dan agregat limfoid yang merupakan keadaan normal dan tidak boleh diinterpretasikan sebagai suatu proses peradangan (Regauer, 2010). 2.1.3. Perdarahan dan Persarafan Perdarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Arteri faringeal ascenden memperdarahi dinding lateral nasofaring. Arteri palatina ascenden memperdarahi tuba eustachius dan palatum mole. Arteri sfenopalatina memperdarahi bagian dasar nasofaring.

Drainase

vena melalui pleksus faring ke vena jugularis interna di bawah (Regauer, 2010). Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor faringeus medial. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus (IX) dan juga saraf maksilaris (V2). Saraf motoris berasal dari saraf vagus dan saraf mandibularis (V3) (Regauer, 2010).

7

Gambar 2. Vaskularisasi dan Inervasi Kepala dan Leher (Moore, K. L., 2014).

2.1.4. Sistem Limfatik Nasofaring Pada submukosa nasofaring terdapat banyak anyaman limfatik sehingga dapat mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis. Aliran limfe yang menuju bagian posterior-inferior nasofaring bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Aliran limfe yang menuju ke bagian lateral nasofaring bermuara di mastoid dan serabut saraf trigeminus (Regauer, 2010).

Gambar 3. Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher (Moore, K. L., 2014).

2.2. Karsinoma Nasofaring 2.2.1. Definisi Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di belakang cavitas nasal dan di atas palatum molle dengan predileksi di fossa Rossenmuller merupakan

daerah

transisional

dimana

yang

epitel silindris pseudostratified

berubah menjadi epitel skuamosa (MD et al.,2009). Karsinoma nasofaring

8

merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah (Soepardi et al., 2012). 2.2.2. Epidemiologi Karsinoma nasofaring dapat ditemukan diseluruh negara dari 5 benua. Insiden tertinggi terdapat di Cina bagian selatan khususnya di provinsi Guangdong dan jarang ditemukan di Eropa dan Amerika Utara. Insiden di provinsi Guangdong pada pria mencapai 20-50/100.000 (Adham et al.,2012). KNF di Indonesia merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara, kanker serviks, dan kanker kulit.

Berdasarkan Globocan (Global

Burden Cancer) pada tahun 2012 terdapat 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan), 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada lakilaki, dan 15.000 pada perempuan) (Adham et al., 2012). Laki-laki memiliki risiko terkena KNF sebesar 2,18 kali lebih tinggi daripada perempuan. Pasien KNF berusia 25-60 tahun dengan puncak usia 40–49 tahun. Insidensi KNF meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan setelah umur 60 tahun (Adham et al., 2012). Di indonesia pasien KNF hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi (Soepardi et al., 2012). 2.2.3. Etiologi 2.2.3.1. Faktor Genetik Kerentanan genetik sebagai faktor predisposisi KNF didasarkan atas fakta banyaknya penderita dari bangsa atau ras Cina, ras mongoloid, bangsa-bangsa

di

Asia

terutama

termasuk

Asia Tenggara yang masih tergolong

9

rumpun Melayu. Secara umum didapatkan sekitar 10% dari penderita KNF mempunyai keluarga yang menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan 5% diantaranya sama-sama menderita KNF dalam keluarganya (Ren et al., 2010). Kelainan genetik pada metabolisme enzim seperti kelainan enzim sitokrom P450 2E1 (CYP2E1), sitokrom P450 2A6 (CYP2A6), dan tidak adanya enzim Glutathione S-transferase M1 (GSTM1) berkontribusi untuk terjadinya karsinoma nasofaring. Adanya reseptor immunoglobulin PIGR (Polymeric Immunoglobulin Receptor) pada sel epitel nasofaring dapat meningkatkan kejadian karsinoma nasofaring. PIGR merupakan reseptor permukaan pada sel epitel nasofaring yang berfungsi menghantarkan masuknya virus Epsteinn Barr kedalam epitel nasofaring (Ren et al., 2010). Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi daring titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun (Soepardi et al., 2012). 2.2.3.2. Virus Epsteinn Barr Virus Epsteinn Barr (EBV) merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Transmisi utama melalui saliva kemudian EBV dapat memasuki selsel epitel orofaring dan bereplikasi, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten), dan sepanjang masa (long life) (Yenita, 2012). Hampir semua individu dibawah 25 tahun sudah terinfeksi EBV karena mudah dan cepatnya terjadi penularan. Infeksi primer alamiah dimulai pada masa anak-anak, biasanya gejala klinik ringan atau bahkan tanpa gejala. Hampir semua (99,9 %) anak umur 3 tahun telah terinfeksi EBV di negara berkembang (Zhang et al., 2015). Bukti kuat adanya peran EBV sebagai penyebab KNF berdasarkan atas laporan hasil penelitian epidemiologi maupun laboratorium terutama serologi, virologi, patologi, dan biologi molekuler dengan ditemukannya (Tan, I., et al., 2016):

10

1.

Peningkatan antibodi IgG dan IgA.

2.

Antigen inti EBV di dalam sel karsinoma nasofaring.

3.

Genom EBV dalam bentuk plasmid di jaringan tumor nasofaring dan isolasi virus.

4.

DNA EBV pada jaringan karsinoma nasofaring.

5.

mRNA-EBV di sel karsinoma nasofaring.

2.2.3.3. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan seperti kebiasaan merokok, asap kayu bakar, infeksi saluran pernafasan atas berulang, serta konsumsi makanan berpengawet (ikan asin, ikan/daging asap, makanan berkaleng) berhubungan dengan kejadian karsinoma nasofaring. Berikut penjelasan dari masing-masing faktor (Afrika, 2013): 1.

Ikan Asin Konsumsi ikan asin merupakan salah satu penyebab karsinoma nasofaring

yang sering dilaporkan. Hal

ini berkaitan dengan substansi karsinogen yang

terdapat di dalamnya yaitu nitrosamin. Nitrosamin adalah suatu molekul yang terdiri dari nitrogen dan oksigen, molekul tersebut dapat berbentuk senyawa nitrit dan NOx (Nitrogen

Oxides) yang terdiri dari senyawa amino dan senyawa

campuran nitroso (Lau et al., 2013). Sumber

utama

nitrosamin

dapat

berasal

dari

eksogen

maupun

endogen. Nitrosamin endogen berasal dari sintesis di dalam lambung dari prekursor yang berasal dari makanan yang dicerna, sedangkan nitrosamin eksogen berasal dari makanan, rokok, emisi industri dan bahan kosmetik yang mengandung nitrosamin itu sendiri (Yong et al.,2017). Nitrosamin dapat berbagai bentuk senyawa kimia diantaranya Nnitrosodimethylamine

(NDMA),

N-nitrosodiethylamine

(NDEA),

dan

N-

nitromorpholine (NMOR). Selain itu nitrosamin dapat juga berupa senyawa industri seperti N-nitrosodiisopropylamine (NDiPA), N- nitrosodibutylamine (NDPA),

N-nitrosopiperidine

(NPip),

N-

nitrosopyrrolidine

(NPyr),

N-

nitrosomethylphenylamine (NEPhA). Sekitar 80% dari total nitrosamin terbanyak

11

dalam bentuk senyawa NDMA. NDMA terutama diabsorpsi di saluran pernafasan, saluran pencernaan dan terkadang pada kulit (Afrika, 2013). Proses keganasan dapat terjadi akibat metabolisme nitrosamin yang diaktivasi oleh mekanisme oksidasi sehingga terjadi mutasi DNA. Konsentrasi total NDMA pada kandungan nitrosamin yaitu 0,74-11,43 μg/m3. Berdasarkan penelitian dan sejumlah literatur bahwa ambang dasar paparan pada

manusia

antara

μg/m3

2-15

selama periode

waktu

nitrosamin 10

tahun

berhubungan dengan kejadian keganasan (Rahman et al., 2015). Dalam uji kasus kontrol menunjukkan bahwa konsumsi ikan asin yang berlebihan

selama

berkembangnya

10

tahun

karsinoma

berhubungan

dengan

peningkatan

risiko

nasofaring. Pada ikan asin selain mengandung

nitrosamin juga mengandung bakteri mutagen dan komponen yang dapat mengaktivasi virus Epstein Barr (Lin et al,.2015). Selain ikan asin, makanan yang diawetkan dengan cara diasinkan juga dapat meningkatkan

risiko

terjadinya

kanker

nasofaring

seperti sayuran yang

diasinkan, udang asin, dan telur asin. Konsumsi teh dan buah-buahan segar dapat menurunkan angka kejadian kanker nasofaring

karena

mengandung

zat

antioksidan dan zat antikanker yang dapat merubah struktur kimia nitrosamin (Rahman et al., 2015). 2.

Ikan/Daging Asap dan Makanan Berkaleng Makanan berkaleng mengandung garam nitrat yang dapat membentuk

nitrosamin Ikan/daging

sehingga asap

dapat

meningkatkan

merupakan

makanan

risiko

karsinoma

berpengawet

yang

nasofaring. mengandung

formaldehid. International Agency for Research on Cancer (IARC) memasukkan formaldehid menjadi kategori grup I sebagai bahan yang bersifat karsinogen dalam tubuh manusia (Lin et al,. 2015). Formaldehid yang dalam perdagangan larutannya dikenal sebagai formalin, sengaja dibuat dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan industri dan rumah tangga (Afrika, 2013). Formaldehid yang berbentuk debu, asap, dan uap biasanya digunakan antara lain sebagai bahan dasar perekat, bahan pengikat kayu, bahan campuran plastik, bahan pengawet, anti kusut tekstil, bahan penyamak kulit, bahan desinfektan,

12

insektisida, cairan pembalsam, serta bahan pengawet jaringan. Selain itu formaldehid secara alami terdapat di lingkungan manusia sebagai akibat dari proses pembakaran (Afrika,2013). Proses pembuatan ikan atau daging asap dengan

cara pembakaran yang memiliki efek pengawetan dari gas/asap

pembakaran yaitu senyawa kimia berupa formaldehid. Gas formaldehid (CH2O) merupakan senyawa yang mudah terbakar, tidak berwarna dan banyak juga digunakan dalam pembuatan resin, pelapis kayu, foto film, dan pengawet jaringan (Afrika, 2013). Formaldehid dapat mengiritasi mata dan mukosa saluran nasofaring dengan konsentrasi 0,5-1 ppm (Afrika, 2013). Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) bahwa standar pajanan maksimal formaldehid yaitu 2 ppm (part per million) dalam STEL (Short Term Exposure Limit) (Turkoz et al., 2011). Formaldehid memiliki efek karsinogen pada nasofaring karena dapat menyebabkan mutasi gen pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, dan penonaktifan gen supresor kanker. Hal ini mengakibatkan timbulnya karsinoma nasofaring (Afrika, 2013). 3.

Lain-Lain Faktor risiko KNF lainnya adalah rokok yang di dalamnya

terkandung

lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin (Xue et al.,2013). Merokok dapat meningkatkan serum anti-EBV yang merupakan marker untuk menilai adanya proses keganasan pada nasofaring (Wyss et al., 2013). Risiko terjadinya KNF juga meningkat terhadap paparan debu kayu yang terakumulasi dalam jangka waktu lama (Shiels et al. 2014). Debu kayu menyebabkan iritasi dan inflamasi pada epitel nasofaring sehingga mengurangi bersihan mukosiliar dan perubahan sel epitel di nasofaring. Hal ini memudahkan penyerapan zat kimia yang bersifat karsinogen ke dalam epitel nasofaring (Afrika, 2013).

13

2.2.4. Patogenesis 2.2.4.1. Patogenesis Molekular Kanker Prinsip-prinsip dasar terbentuknya kanker terangkum dalam gambar berikut:

Zat perusak DNA didapat: Kimiawi, Radiasi, Virus

Sel normal

Kerusakan DNA Pengaktifan onkogen pendorong

Mutasi DNA

Penonaktifan gen supresor tumor

Perubahan gen regulator apoptosis

Apoptosis terganggu

Ekspansi klonal Neoplasma ganas

Gambar 4. Langkah-Langkah Karsinogenesis (Kumar et al., 2015).

Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa sel yang normal mula-mula terpajan agen yang dapat merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen pengatur pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan klonal yang tak terkontrol. Akibatnya terjadi progresi tumor yang dapat berujung pada neoplasma yang maligna. Neoplasma maligna memiliki karakteristik berupa invasi dan metastasis (Kumar et al., 2015). Metastasis terjadi saat sel tumor terlepas dari massa primer kemudian memasuki aliran darah atau sistem limfatik, lalu tumbuh di tempat yang jauh dari

14

situs awalnya. Proses metastasis terdiri dari invasi sel tumor ke matriks ekstraseluler, diseminasi vaskular, penempatan sel tumor, dan kolonisasi (Kumar et al., 2015).

Gambar 5. Langkah-Langkah Metastasis (Kumar et al., 2015).

2.2.4.2. Patogenesis Karsinoma Nasofaring EBV tidak dapat mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferatif (Tsao et al., 2014). EBV dapat mentransformasi sel epitel nasofaring premaligna menjadi sel kanker jika terpapar oleh faktor lingkungan yang mengandung zat karsinogen seperti ikan asin, ikan/daging

asap,

dan

makanan berkaleng dapat merangsang perubahan epitel nasofaring (Yoshizaki et al., 2013). Salah satu protein yang diekspresikan oleh KNF yaitu LMP1 (Latent Membrane Protein 1). LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak terinfeksi

EBV

melalui

endositosis

dan

mempengaruhi lingkungan di sekeliling tumor (Kumar et al., 2015). LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor TNF (Tumor Necrosis Factor), yakni CD40 (Cluster of Differentiation 40) sehingga dapat menginisasi beberapa pathway persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP1 juga mengakibatkan peningkatan EMT (Epithelial Mesenchymal Transition) (Yoshizaki et al., 2013). Pada proses EMT sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel

15

tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh karena itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat

metastasis

dari

KNF

(Kumar et al., 2015). Patogenesis KNF terangkum dalam gambar berikut:

Nasofaringeal normal Faktor diet

LMP1 dan LMP2

Infeksi virus

Karsinoma nasofaring

Metastasis Gambar 6. Patogenesis Karsinoma Nasofaring (Yoshizaki et al., 2013).

2.2.5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Manifestasi klinis KNF sebagai berikut: 2.2.5.1. Massa pada Leher Gejala paling umum dari KNF merupakan massa pada leher yang dapat dipalpasi. Penyebab munculnya massa pada leher adalah metastasis tumor ke kelenjar getah bening (nodus limfatik) bagian servikal (Drake, 2012). 2.2.5.2. Gejala Terkait Massa di Nasofaring Gejala terkait massa di nasofaring yang dialami pasien pada pemicu ini adalah epistaksis dan hiposmia. Tumor mula-mula tumbuh di fossa rosenmuller lalu meluas ke dinding belakang dan atap nasofaring sehingga permukaan nasofaring

meninggi.

Permukaan

menyebabkan perdarahan (Mangunkusumo,2012).

dan

tumor

rapuh

kadang

sehingga dijumpai

iritasi

ringan

epistaksis

16

Gangguan indera penghidu dapat terjadi akibat terhalangnya partikel bau untuk sampai ke reseptor atau kelainan nervus olfaktorius. Hiposmia seperti pada kasus ini dapat terjadi akibat obstruksi oleh tumor di rongga nasal yang menghalangi partikel bau untuk sampai ke reseptor indera penghidu (Bashiruddin, 2012). 2.2.5.3. Gejala Terkait Disfungsi Tuba Eustachius Tuli

(deafness) termasuk

gejala

yang umum

pada KNF dengan

gangguan konduktif. Penyebabnya adalah obstruksi pada tuba eustachius (Tan L, 2015). 2.2.5.4. Gejala Terkait Keterlibatan Basis Cranii Meluasnya tumor sampai ke daerah intrakranial melalui foramen laserum dapat menyebabkan gangguan nervus cranialis. Nervus yang paling umum terpengaruhi adalah nervus V, dilanjutkan dengan

VI,

IX,

X, dan

XII.

Manifestasi yang dapat ditemukan contohnya neuralgia trigeminal dan diplopia. (Tan et al., 2016). 2.2.6. Diagnosis 2.2.6.1. Anamnesis Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia, hidung tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat ditemukan benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI) (Capozzi et al., 2012). 2.2.6.2. Pemeriksaan Fisik 1.

Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.

2.

Pemeriksaan

nasoendoskopi

dengan

NBI

(Narrow

Band Imaging)

digunakan untuk melihat mukosa dengan kecurigaan karsinoma nasofaring (Kementerian Kesehatan, 2014).

17

2.2.6.3. Pemeriksaan Radiologik 1.

CT Scan (Computerized Tomography Scan) Pemeriksaan radiologik

berupa CT scan nasofaring mulai setinggi

sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa atau dengan kontras. CT scan berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening regional (Wang et al., 2016). 2.

USG (Ultrasonography) Abdomen Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen dengan kontras (Bashiruddin, 2012).

3.

Foto Toraks Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Toraks dengan kontras (Efiaty et al., 2014).

4.

Bone Scan Untuk melihat adanya metastasis tulang (Tan et al., 2016).

2.2.6.4. Pemeriksaan Patologi Anatomik Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring (Tan et al., 2016). Diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria WHO adalah: 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO 1) 2. Karsinoma tidak berkeratin a.

Berdiferensiasi (WHO 2)

b.

Tidak berdiferensiasi (WHO 3) (Tan et al., 2016)

18

Gambar 7. Histologi KNF Berkeratin (A), Tidak Berkeratin (B), Tidak Berdiferensiasi(C) (Kumar et al., 2015).

Karsinoma berkeratin ditandai dengan sel keratin yang nyata dan adanya formasi mutiara skuamosa dan jembatan interselular. Karsinoma tidak berdiferensiasi ditandai dengan gambaran mikroskopik sel-sel tumor dengan inti vesikuler spindle-oval atau hiperkromatik yang menonjol. Histologi karsinoma tidak berkeratin hampir serupa dengan karsinoma tidak berdiferensiasi namun dengan susunan bertingkat sel tumor dengan batasan sel yang jelas (Kumar et al., 2015). 2.2.6.5. Pemeriksaan Laboratorium 1.

Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.

2.

Alkali fosfatase, LDH, SGOT, SGPT (Kumar et al., 2015)

2.2.6.6. Diagnosis Banding 1.

Limfoma malignum.

2.

Proses nin keganasan (TB kelenjar).

3.

Mestastasis

(tumor

Nasional,2015).

sekunder)

(Komite

Penanggulangan

Kanker

19

2.2.6.7. Klasifikasi Stadium Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002). T = Tumor primer. T0 - Tidak tampak tumor. T1 - Tumor terbatas di nasofaring. T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring. T2b: Disertai perluasan ke parafaring*. T3 – Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal. T4 – Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator. Catatan:* Perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor ke arah postero-lateral melebihi fasia faringo-basilar.

N - Pembesaran kelenjar getah bening regional. Nx- Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai. N0 - Tidak ada pembesaran. N1 - Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau Sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula. N2 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau Sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula. N3 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau Sama dengan 6 cm, di dalam fossa supraklavikula. N3a: ukuran lebih dari 6cm. N3b: di dalam fossa supraklavikula.

Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar Ipsilateral.

20

M = Metastasis jauh. Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai. M0 - Tidak ada metastasis jauh. M1 - Terdapat metastasis jauh. Tabel 1. Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring THT-KL FK UI edisi ke-7 Stadium 0

T1s

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium IIA

T2a

N0

M0

Stadium IIB

T1

N1

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0,N1

M0

T1

N2

M0

T2a,T2b

N2

M0

T3

N2

M0

Stadium IVa

T4

N0,N1,N2

M0

Stadium IVb

Semua T

N3

M0

Stadium IVc

Semua T

Semua N

M1

Stadium III

2.2.7. Tatalaksana Pada pasien KNF stadium I (T1N0M0) diberikan terapi radiasi. Pasien KNF stadium II (T1-2, N1-2, M0) dilakukan kemoradiasi konkuren. Pasien KNF stadium III, IVA, IVB (T3-4, N0-3, M0) diberikan kemoradiasi konkuren dengan atau tanpa kemoterapi adjuvan. Pada pasien KNF Stadium IVA, IVB (T4 atau N3) diberikan kemoterapi induksi, diikuti dengan kemoradiasi konkuren (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015). 2.2.8. Prognosis Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai kesintasan 5 tahun. Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5 tahun pada pasien dengan KNF Stadium I hingga IV secara berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38% (Komite Penanggulangan Kanker Nasional,2015).

21

2.3. Rokok 2.3.1. Rokok-merokok Rokok merupakan salah satu produk industri dan komoditi internatsionalyang mengandung sekitar 3.000 bahan kimiawi. Unsur-unsur yang penting antara lain: tar, nikotin, benzopyrin, metil-kloride, aseton, amonia, dan karbon monoksida. Di antara sekian banyak zat berbahaya ini, ada 3 yang paling penting, khususnya dalam hal kanker, yakni: tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO) (Bustan, 2007). Tar mengandung ratusan zat kimiawi yang kebanyakan bersifat karsinogenik. Nikotin merangsang pelepasan catecholamin yang bisa meningkatkan denyut jantung. CO merupakan 1-5% dari asap rokok. Zat ini mengusung oksigen dalam darah (eritrosit) dan membentuk carboxihaemoglobin. Seorang perokok akan mempunyai carboxihaemoglobin lebih tinggi dari orang normal, sekitar 2-15%. Pada orang normal carboxihaemoglobin hanya sekitar 0,5-2%. Selain itu CO merusak dinding arteri yang pada akhirnya dapat menyebabkan atherosclerosis dan penyakit jantung koroner. Co juga merusak bayi dalam kandungan (Bustan, 2007).

2.3.2. Pademi Merokok Selain AIDS maka rokok boleh dikatakan sudah mencapai tingkat pademitas. Merokok sudah menjalari seluruh penduduk dunia dengan prevalensi yang cukup tinggi, ditambah dengan kecenderungan peningkatan penggunaannya, terutama di negara-negara berkembang. Negara yang paling menonjol dalam hal merokok adalah Cina di mana: prevalensi pemakai/perokok yang tinggi dan merata ke seluruh negara, jenis rokok yang dipakai kebanyakan kretek, tampak merupakan bagian budaya/kehidupan masyarakat karena menjadi hobi semua orang, terutama lelaki (61% dari penduduknya) (Bustan, 2007). Tanda-tanda pandemitas secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut: diperkirakan sejumlah 1,1 miliar perokok dunia berumur 15 tahun ke atas, sepertiga dari total penduduk dunia. 800 juta perokok berada di negara-negara sedang berkembang, didominasi oleh kaum lelaki (700 juta), dan terutama di Asia. Peningkatan konsumsi roko yang sudah mencapai 7 juta ton, dengan peningkatan 1,4% per tahun. Rata-rata rokok yang dihisap per hari 24 gr/hari di negata-negara

22

sedang berkembang. Menjelang tahun 2020 kematian yang disebabkan oleh rokok akan meningkat sampai 10 juta, di mana 70% terjadi di negara-negara berkembang (Bustan, 2007).

2.3.3. Merokok Sebagai Faktor Resiko Penyakit di mana rokok dianggap sebagai faktor risiko penting antara lain: batuk menahun, penyakit paru seperti paru obstruktif, bronkhitis, dan empisema, ulkus peptikum, infertiliti, gangguang kehamilan, artherosklerosis sampai penyakit jantung koroner dan beberapa jenis kanker seperti kanker mulut, kanker paru, kanker sistem pernapasan lainnya juga kanker kandung kemih, pankreas, atau ginjal (bustan, 2007).

2.4. Hubungan Merokok dengan Karsinoma Nasofaring 2.4.1. Bahan Karsinogen di dalam Rokok Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan dkk, 2001). Merokok adalah suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, pada hakekatnya merupakan suatu proses pembakaran massal tembakau yang menimbulkan polusi udara padat dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang et al, 2002) Dewasa ini 80% perokok tinggal di negara-negara berkembang, Di tahun 1997 ada 5,7 triliun rokok yang dikonsumsi di dunia. Lima besar konsumen rokok di dunia adalah China dengan 1,679 triliun batang setahunnya, Amerika Serikat 480 milyar batang, Jepang 316 milyar batang, Rusia 230 milyar batang dan Indonesia diurutan kelima yang mengkonsumsi 188 milyar batang rokok setahunnya (Aditama, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) di 14 Propinsi di Indonesia mendapatkan 59,04% laki-laki perokok berumur 10 tahun ke atas, sedangkan pada perempuan hanya 4,83%. Sementara

23

itu data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2001, menunjukkan secara keseluruhan (laki-laki dan perempuan) 31,5% penduduk Indonesia merokok (Aditama, 2004). Di Indonesia jenis rokok yang terbanyak dikonsumsi adalah rokok kretek (81,34%) yaitu rokok yang berisi campuran tembakau dengan cengkeh (Caldwell, 2001). Di dalam asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis kasinogen. Dari penelitian yang ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, azaarenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas (Haugen, 2000; Drastyawan et al, 2001; Port et al, 2004). Selain komponen gas terdapat komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin bukan karsinogen (Pfiefer et al,2002), tapi merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001). Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan dan ada yang tidak mempunyai hubungan (Zhu et al, 1995). Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa merokok tembakau sebagai zat karsinogen. Di akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort, dan karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau. Asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika tar asap rokok tersebut dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat (Sasco et al, 2004; Vinies et al, 2004).

24

2.4.2. Merokok dan Kanker Karsinogenesis adalah suatu studi tentang asal muasal kanker. Penelitian pada sistem biologi dapat dilakukan untuk menghasilkan suatu observasi yang dapat mengetahui tentang tahap-tahap yang terjadi pada perubahan dari sel normal menjadi sel kanker. Dugaan hubungan antara penggunaan tembakau dan kanker telah dikemukakan oleh Hill (Marshal, 1993). Potensi bahan karsinogen di dalam asap rokok dan hubungannya dengan kanker dapat dievaluasi dengan cara yang bervariasi, akan tetapi sangatlah penting untuk mempertimbangkan komponen-komponen yang ada di dalam asap rokok tersebut dan kemampuannya untuk menginduksi tumor dalam percobaan pada hewan. (Pfiefer et al, 2002). Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa asap tembakau adalah campuran bahan karsinogen yang multipoten. Dengan kemajuan dalam biokimia dan biologi molekuler telah dilakukan riset-riset untuk mengukur bahan-bahan metabolit rokok dalam cairan dan organ tubuh yang berbeda, untuk mengukur karsinogen-protein dan karsinogen-DNA, dan untuk mengidentifikasi kerusakan genetik (mutasi atau penyimpangan kromosom) yang berhubungan dengan merokok (Venies et al, 2004). Pada kanker paru, terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa bahan karsinogen polycyclic aromatic amines (PAHs) dan nitrosamines adalah bahan yang sangat penting dalam menginduksi kanker paru. Bahan tersebut merupakan karsinogen yang kuat, dan jumlahnya relatif banyak di dalam tembakau. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan paru manusia dapat memetabolisme PAHs menjadi metabolit yang reaktif, dimana dapat berinteraksi dengan DNA, membentuk DNA yang mutagen. Terbentuknya DNA mutagen adalah suatu permulaan dalam proses karsinogenesis. Konsentrasi nitrosamines yang ditemukan didalam tembakau relatif tinggi, dan pada perokok berat mempunyai tingkat keterpaparan yang tinggi terhadap nitrosamines. Penamaan tobacco spesific N-nitrosamines (TSNA), secara prinsip 4(methylnitrosamino) -3(3-Pyridyl)-1-butanone (NNK), adalah bahan karsinogen yang sangat kuat pada saluran napas yang teridentifikasi di dalam produk rokok (Haugen, 2000).

25

Pada asap rokok terdapat logam-logam yang relatif banyak. Sedikitnya 30 logam telah teridentifikasi. Kromium, kadmium dan nikel terdapat di dalam asap rokok. Yang pasti logam-logam tersebut diketahui sebagai bahan karsinogen. Bukti eksperimen mengindikasikan banyak bahan logam adalah efektif sebagai inisiator dalam proses karsinogenesis, tapi dapat juga menjadi promotor yang potensial selama proses karsinogenesis (Haugen, 2000). Ivy dari Universitas Illinois Amerika Serikat yang telah bertahun-tahun menyelidiki rokok, menemukan bahwa orang yang merokok sebungkus perhari selama 10 tahun, menghirup sekitar 7 liter tar dalam jangka waktu tersebut (Caldwell, 2001). Selanjutnya pernyataan tersebut dikaji ulang oleh Graham dan Wynder. Mereka mengecat punggung tikus dengan tar tembakau. Eksperimen ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, tetapi tidak menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Menurut kedua peneliti ini, penyebabnya adalah pada penelitian yang terdahulu tidak dikerjakan dalam waktu yang lama, sehingga sebelum hasilnya terlihat penelitian sudah dihentikan. Kali ini Graham dan Wynder akan menyempurnakan penelitian itu, dengan menggunakan larutan tar yang lebih pekat dan periode percobaan yang lebih panjang. Tar yang mereka gunakan diambil dari asap rokok yang dihasilkan oleh sebuah mesin yang mampu menghisap 60 batang rokok sekaligus. Tar yang sudah dikumpul dilarutkan oleh suatu pelarut, kemudian dioleskan pada punggung tikus yang telah dicukur terlebih dahulu, tiga kali dalam seminggu. Selama dua bulan pertama, secara bertahap mereka menaikkan kadar larutan tar sebesar tiga kali dari kadar sebelumnya. Pada pekan ke-42, seekor tikus memperlihatkan gejala awal penyakit kanker. Memasuki pekan ke-72, rata-rata setiap tikus telah terserang kanker (Caldwell, 2001). Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan antara merokok dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher menyatakan bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher, didapati mutasi gen p53 yang mempunyai hubungan kuat dengan merokok. Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa perokok merupakan major

26

risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher. Penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan perokok, dimana kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat besar (Daly, 1993). Juga didapatkan hubungan antara lama merokok dan banyaknya rokok yang dikonsumsi dengan tren positive dose-respons relationship (Uzcudun et al, 2002; Sasco et al, 2004; Pinar et al, 2007). Pada hasil penelitian lainnya didapatkan bahwa risiko terjadinya kanker pada faring lebih besar jika dihubungkan dengan lama merokok, dibandingkan hubungan risiko dengan banyaknya rokok yang dikonsumsi (Pelucchi et al, 2006). 2.4.3. Merokok Sebagai Faktor Risiko Terjadinya KNF Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan pankreas. Pada tahun 2002, Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara konsisten dilaporkan dalam beberapa penelitian kasuskontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok. Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine dan formaldehide, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi

karsinogenik.

Menghisap

rokok

akan

memberi

pajanan

bahan

karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama. Namun, Lin et al (1971) di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa

27

penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF (Cheng et al, 1999). Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) diketahui merupakan enzim aktivasi pada nitrosamine dan karsinogen lainnya yang mungkin terlibat dalam perkembangan terjadinya KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian case control mengemukakan bahwa asap rokok adalah sumber penting paparan nitrosamine sehingga memodulasi aktivitas CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan dan merupakan risiko terjadinya KNF. Vaughan et al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF dan potensi paparan formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang perokok dan mantan perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang- orang yang tidak pernah merokok (OR 0,5). 2.4.4. Lama Merokok dan Jumlah Rokok yang Dikonsumsi Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lain-lain (Drastyawan et al, 2001). Berdasarkan lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut; merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005). Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara dengan berapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Drastyawan dkk, 2001). Dari sini jenis perokok dapat dibagi atas perokok ringan sampai berat, perokok ringan jika merokok kurang dari 10 batang per hari, perokok sedang menghisap 10-20 batang, dan perokok berat jika lebih 20 batang (Bustan, 2007).

28

Mobuchi et al, dalam studi case control, menginvestigasi kemungkinan faktor- faktor etiologi pada KNF. Hasil penelitiannya menunjukkan peningkatan odds ratio dengan jumlah rokok yang dihisap, yang menggambarkan adanya positive dose- response relationship (Mabuchi et al, 1985; Chen et al, 1990; Amrstrong et al, 2000; Yang et al, 2005). Sementara itu, Nam et al (1992) dan Zhu et al (1995) mendapatkan hasil yang sama mengenai hubungan peningkatan risiko terjadinya KNF dengan status merokok, makin lama merokok dan jumlah rokok yang dihisap. Laki-laki yang secara rutin merokok akan mempunyai risiko 2 kali kemungkinan menderita KNF dibanding dengan yang tidak merokok. Chow et al (1993) pada studi cohort meneliti hubungan merokok dengan KNF pada lebih kurang 250.000 veteran Amerika Serikat. Selama 26 tahun penelitian dijumpai 48 penderita KNF. Perokok berisiko 4 kali lebih besar kemungkinan terkena KNF dibandingkan dengan bukan perokok, dan risiko tersebut akan meningkat lagi menjadi 6,4 kali pada orang yang merokok lebih dari 2 bungkus perhari. 2.4.5. Faktor Anatomi Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran dari polusi udara dan asap rokok adalah berpengaruh buruk terhadap mukosa dilokasi tersebut, dimana karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker (Zhuolin et al,2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar dari asap rokok yang dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al, 1985; Cheng et al, 1999). Adanya variasi bentuk anatomi didalam struktur hidung dan terdapatnya penyakit yang ada sebelumnya diketahui sebagai hal yang penting dalam etiologi tumor ganas nasofaring. Konfigurasi dari saluran udara di hidung dan paranasal memungkinkan terperangkap dan terkumpulnya gas karsinogen, dimana hal ini berperan dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001).

29

2.5. Kerangka Teori Kebiasaan merokok

Jenis rokok

Cara menghisap rokok

Jumlah konsumsi rokok

Usia mulai merokok

Peningkatan paparan asap rokok (Bahan karsinogenik)

Merusak Metabolisme DNA

Terjadi mutasi gen p53 pada sel mukosa nasofaring

Normal cells

Initiated cells

Preneoplastic cells

Progression

Peningkatan stadium KNF

30

2.6. Kerangka Konsep

Kebiasaan merokok

Terpapar asap rokok (bahan karsinogenik)

Terjadi mutasi DNA sel mukosa nasofaring

Meningkatkan resiko stadium karsinoma nasofaring

31

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dari bulan Agustus-Desember dan penelitian akan dilakukan di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah penderita karsinoma nasofaring. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua penderita karsinoma nasofaring yang pernah berobat di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Januari 2017 sampai bulan Desember 2018.

3.3.2. Sampel Penelitian Sampel pada penelitian ini adalah pasien dengan penyakit karsinoma nasofaring di Poliklinik THT RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang yang terpilih sebagai subjek penelitian dan memenuhi kriteria inklusi dan lolos dari kriteria eksklusi.

32

3.3.3. Besar Sampel Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Terdapat perhitungan besar sampel minimal menggunakan rumus sebagai berikut: 2 Z1 / 2 2 P1 P   Z1  P1 1 P1 P 21 P 2  n P1  P 22 Keterangan : Z = Deviat baku alfa = 1,96 1 / 2 Z = Deviat baku beta = 0,84 1 





P2 = Proporsi penderita karsinoma nasofaring di Indonesia sebesar 6,2/100.000 = 0,000062 (Adham dkk, 2017). Q2 = 1 - P2 = 0,999938 P1 - P2 = 0,2 P1 = P2 + 0,2 = 0,200062 Q1 = 1 – P1 = 0,799938 P = P1 + P2 /2 = 0,100062 Q = 1 – P = 0,899938

1,96 n

1,96 n 1,96 n n

2.0,1000621 0,100062  0,84 1 0,200062 0,0000621 0,0000622 0,200062  0,0000622

0,2001240,899938  0,84 0,799938 0,0000620,9999382 0,22

0,1800991923  0,84

0,7999999962

2

0,04

0,8317866657  0,75131883872

0,04 1,58310550442 n 0,04

n

2,5062230381 0,04

n  62,655575952 = 63

Dari perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal sebanyak 63 sampel. Dengan perkiraan kriteria drop out (DO) sebesar 10%, maka jumlah minimal sampel ditambah 10% dari minimal sampel sehingga didapatkan sampel sebanyak 69,3 (dibulatkan menjadi 70).

33

3.3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.3.4.1. Kriteria Inklusi 1.

Pasien karsinoma nasofaring yang pernah berobat di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang bulan Januari 2017-Desember 2018 dan bersedia untuk diwawancarai.

2.

Pasien karsinoma nasofaring yang memiliki riwayat perokok aktif.

3.3.4.2. Kriteria Eksklusi 1.

Pasien karsinoma nasofaring yang datang dengan keadaan umum yang jelek.

2.

Pasien karsinoma nasofaring yang belum tegak stadiumnya.

3.

Pasien tidak menandatangani informed consent.

4.

Pasien yang tidak komunikatif.

3.3.5. Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan secara consecutive sampling yaitu seluruh pasien karsinoma nasofaring yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada bulan Januari 2017-Desember 2018 dan memenuhi kriteria inklusi serta tidak dalam kriteria eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara langsung dan telepon dengan pasien. 3.4. Variabel Penelitian 3.4.1. Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah stadium karsinoma nasofaring. 3.4.2. Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah jenis rokok, usia mulai merokok, dan jumlah konsumsi rokok.

34

3.5.

Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi operasional variabel bebas dan terikat. No

Variabel

Definisi

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Jenis Data

1.

Usia

Rentang usia Kuesioner pasien

Wawancara

saat

1. < 20

Numerik

2. 20-29

dilakukan

3. 30-39

wawancara

4. 40-49 5. ≥ 50

2.

Jenis

Jenis

kelamin

kelamin pasien

Kuesioner

Wawancara

1. Laki-laki

Kategorik

2. Perumpuan saat

dilakukan wawancara

3.

Pekerjaan

Pekerjaan pasien

Kuesioner

Wawancara

saat

1. PNS

Kategorik

2. Non PNS

dilakukan wawancara

4.

Alamat

Alamat pasien

Kuesioner saat

dilakukan wawancara

Wawancara

1. Dalam kota Palembang 2. Luar kota Palemang

Kategorik

35

5.

Stadium

Derajat

Rekam

Observasi

1. Karsinoma

karsinoma

keparahan

medik

nasofaring

pada

derajat ringan

penderita

stadium 1 dan

karsinoma

stadium 2

Kategorik

nasofaring

nasofaring

2. Karsinoma nasofaring derajat berat, stadium 3 dan stadium 4

6.

Kebiasaan

Kebiasaan

merokok

merokok dinilai

Kuesioner

Wawancara

Kategorik

independen dari

1. Jenis rokok

beberapa poin:

Variabel

2. Jumlah

Jenis

konsumsi

rokok,

rokok

jumlah

3. Usia

konsumsi rokok,

mulai

merokok usia

mulai merokok 6.

Jenis rokok

jenis

rokok Kuesioner

yang

biasa

Wawancara

1. Rokok putih

Kategorik

2. Rokok kretek

dihisap setiap harinya 7.

Keluhan

Keluhan

Kuesioner

Utama

pasien

Pasien

pertama kali

saat

datang untuk berobat

Wawancara

1. Epistaksis ringan 2. Gangguan pada telinga 3. Gangguan pada mata dan saraf

Kategorik

36

4. Benjolan pada leher

8.

Jumlah

Banyaknya

Kuesioner

Wawancara

konsumsi

jumlah

ringan-sedang

rokok

batang rokok

≤ 20 batang

yang

rokok per hari

dikonsumsi dalam

Usia mulai Usia merokok

Kategorik

2. Perokok berat

satu

> 20 batang

hari 9.

1. Perokok

rokok per hari pasien Kuesioner

saat pertama

Wawancara

1. ≤ 10 tahun

Kategorik

2. > 10 tahun

kali merokok

3.6. Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data kebiasaan merokok meliputi jenis rokok, jumlah konsumsi rokok, dan usia mulai merokok serta data sosiodemografi yang diperoleh melalui wawancara langsung. Data sekunder merupakan data stadium karsinoma nasofaring yang diperoleh dari rekam medik saat pasien datang berobat.

3.7. Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel penelitian. Hasil analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi, dan persentase setiap variabel penelitian yang ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi (Dahlan, 2014).

37

3.7.2. Analisis Bivariat Analisis bivariat diperlukan untuk menjelaskan hubungan dua variabel yaitu antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat yang digunakan adalah analisis chy-square untuk analisa 2 variabel kategorik. (Dahlan, 2014).

3.7.3. Analisis Multivariat Dilakukan analisis multivariat untuk menguji adanya pengaruh hubungan antara kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring, menggunakan uji regresi logistik ganda. a. Pemilihan variabel kandidat Dilakukan dengan cara memilih variabel yang telah dilakukan uji bivariat, variabel yang menghasilkan nilai p<0,25 selanjutnya dipilih untuk dianalisis secara multivariat.

b. Pemilihan variabel model Dari semua variabel terpilih dengan p<0,25, kemudian di lakukan analisis bersama-sama, pemilihan variabel dilakukan secara hierarki terhadap semua variabel bebas yang terpilih. Semua variabel yang tidak signifikan dikeluarkan, selanjutnya dipertimbangkan variabel yang signifikan dengan p < 0,05 sampai memperoleh model yang terbaik.

38

3.8. Kerangka Operasional

Perencanaan Penelitian Penentuan Populasi dan Sampel penel Kriteria Inklusi

Kriteria Eksklusi

Sampel Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis Data

Laporan Hasil Pembahasan dan

Kesimpulan

Laporan Akhir

Publikasi Gambar 8. Kerangka operasional.

39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di bagian rekam medik dan poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama kurang lebih 1 bulan. Data penelitian ini diambil dari rekam medik dan poliklinik pasien karsinoma nasofaring yang berobat di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode Januari 2017 sampai Desember 2018. Pada penelitian ini terdapat 70 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dengan metode penelitian observasional analitik dengan desain studi cross sectional. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan analisis univariat yang dilanjutkan dengan cara analisis bivariat signifikansi hubungan dengan uji Chi-square, kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan regresi logistik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan stadium karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 4.1.1 Hasil Deskriptif (Univariat) 4.1.1.1 Jenis Kelamin Tabel 3 menunjukkan bahwa kejadian karsinoma nasofaring semuanya laki-laki (100%). Tabel 3 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Jenis Kelamin N Perempuan 0 Laki-laki 70 Jumlah 70

% 0 100 100

4.1.1.2 Kelompok Usia Tabel 4 menunjukan kelompok usia pasien KNF, terdapat 3 pasien (4,3%) kelompok usia 20-29, 6 pasien (8,6%) kelompok usia 30-39, 24 pasien (34,3%) kelompok usia 40-49, dan 37 pasien (52,9%) kelompok usia ≥50.

40

Tabel 4 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Kelompok Usia N < 20 0 20-29 3 30-39 6 40-49 24 ≥ 50 37 Jumlah 70

% 0 4,3 8,6 34,3 52,9 100

4.1.1.3 Pekerjaan Subjek penelitian berdasarkan pekerjaan pasien, dibagi menjadi dua kategori yaitu PNS dan non PNS. Sebanyak 7 pasien (10%) PNS dan 63 pasien (90%) non PNS. Tabel 5 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Pekerjaan PNS Non PNS Jumlah

N 7 63 70

% 10 90 100

4.1.1.4 Alamat Subjek penelitian berdasarkan alamat pasien, dibagi menjadi dua kategori yaitu dalam Palembang dan luar Palembang. Sebanyak 12 pasien (17,1%) alamat dalam Palembang dan 58 pasien (82,9%) alamat luar Palembang. Tabel 6 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Alamat

Dalam Palembang Luar Palembang Jumlah

N 12 58 70

% 17,1 82,9 100

4.1.1.5 Keluhan Utama Pasien KNF Tabel 7 menunjukkan terdapat 18 pasien (25,7%) yang memiliki keluhan utama epistaksis ringan, 6 pasien (8,6%) memiliki keluhan utama gangguan pada telinga, 16 pasien (22,9%) memiliki keluhan utama gangguan pada mata dan saraf, dan 30 pasien (42,9%) memiliki keluhan utama benjolan pada leher.

41

Tabel 7 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Keluhan Utama

Epistaksis ringan Gangguan pada telinga Gangguan pada mata dan saraf Benjolan pada leher Jumlah

N 18 6 16 30 70

% 25,7 8,6 22,9 42,9 100

4.1.1.6 Stadium KNF Tabel 8 menunjukkan terdapat 57 pasien (81,4%) dengan stadium 4, 9 pasien (12,9%) dengan stadium 3, 4 pasien (5,7%) dengan stadium 2, dan tidak ada pasien dengan stadium 1. Tabel 8 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Stadium KNF Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Jumlah

N 0 4 9 57 70

% 0 5,7 12,9 81,4 100

4.1.1.7 Jenis Rokok Tabel 9 menunjukkan terdapat 50 pasien (71,4%) mengkonsumsi rokok kretek dan terdapat 20 pasien (28,6%) mengkonsumsi rokok putih. Tabel 9 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Jenis Rokok

Rokok Putih Rokok Kretek Jumlah

N 20 50 70

% 28,6 71,4 100

42

4.1.1.8 Jumlah Rokok Tabel 10 menunjukkan terdapat 53 pasien (75,7%) perokok berat dan terdapat 17 pasien (24,3%) perokok ringan-sedang. Tabel 10 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Jumlah Rokok Perokok ringan-sedang Perokok berat Jumlah

N 17 53 70

% 24,3 75,7 100

4.1.1.9 Usia Mulai Merokok Tabel 11 menunjukkan terdapat 61 pasien (87,1%) usia mulai merokok >10 tahun dan terdapat 9 pasien (12,9%) usia mulai merokok ≤10 tahun . Tabel 11 Distribusi Pasien KNF Berdasarkan Usia Mulai Merokok >10 tahun ≤10 tahun Jumlah

N 61 9 70

% 87,1 12,9 100

4.1.2 Hasil Analisis Bivariat Bila hasil dari uji statistik bivariat (Chi-Square) didapat nilai p atau α<0,05 maka dinyatakan terdapat hubungan yang bermakna. Uji Chi-Square baru dapat dilakukan bila nilai expected < 5 maka tabel 2x2 tidak layak diuji dengan ChiSquare, namun p value tetap dapat diuji dengan menggunakan Fisher’s Exact Test. (Dahlan, 2012). 4.1.2.1 Hubungan Jenis Rokok dengan Stadium KNF Tabel 12 menunjukkan dari 50 pasien KNF mengkonsumsi rokok kretek terdapat sebanyak 49 pasien yang terdiagnosis stadium 3 dan 4, 1 pasien yang terdiagnosis stadium 1 dan 2 . Pada 20 pasien KNF mengkonsumsi rokok putih terdapat sebanyak 17 pasien yang terdiagnosis stadium 3 dan 4, 3 pasien yang terdiagnosis stadium 1 dan 2. Hasil uji menggunakan Fisher’s Exact Test menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis rokok dengan stadium KNF dinyatakan oleh p value= 0,067 (p>0,05). Dikarenakan tidak terdapat hubungan yang bermakna, nilai OR tidak diinterpretasikan.

43

Tabel 12 Hubungan Jenis Rokok dengan Stadium KNF Stadium KNF 1 dan 2 3 dan 4 Rokok 3 (4,3%) 17 (24,3%) Putih Jenis Rokok Rokok 1 (1,4%) 49 (70%) Kretek Total 4 (5,7%) 66 (94,3%) * Fisher’s Exact Test, p value <0,05

p value*

OR

CI 95%

0,067

-

-

Total 20 (28,6%) 50 (71,4%) 70 (100%)

4.1.2.2 Hubungan Jumlah Konsumsi Rokok dengan Stadium KNF Tabel 13 menunjukkan dari 53 pasien KNF perokok berat

terdapat

sebanyak 52 pasien yang terdiagnosis stadium 3 dan 4, 1 pasien yang terdiagnosis stadium 1 dan 2 . Pada 17 pasien KNF perokok ringan-sedang terdapat sebanyak 14 pasien yang terdiagnosis stadium 3 dan 4, 3 pasien yang terdiagnosis stadium 1 dan 2. Hasil uji menggunakan Fisher’s Exact Test menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah konsumsi rokok dengan stadium KNF dinyatakan oleh p value= 0,042 (p<α). Rentang CI 95% >1 menunjukkan bahwa pasien KNF perokok berat lebih beresiko untuk mengalami KNF dibandingkan perokok ringan-sedang. Nilai OR menunjukan bahwa pasien perokok berat 11,1 kali cenderung untuk mengalami KNF stadium 3 dan 4 dibandingkan yang perokok ringan-sedang. Tabel 13 Hubungan Jumlah Konsumsi Rokok dengan Stadium KNF Stadium KNF 1 dan 2 3 dan 4 Perokok ringan3(4,3%) 14(20%) Jumlah sedang Konsumsi Perokok Rokok 1(1,4%) 52(74,3%) berat Total 4 (5,7%) 66 (94,3%) * Fisher’s Exact Test , p value <0,05

p value *

OR

CI 95%

0,042

11,143

1,075 – 115,543

Total 17 (24,3%) 53 (75,7%) 70 (100%)

44

4.1.2.3 Hubungan Usia Mulai Merokok dengan Stadium KNF Tabel 14 menunjukkan dari 9 pasien KNF usia mulai merokok ≤ 10 tahun terdapat sebanyak 9 pasien yang terdiagnosis stadium 3 dan 4, tidak ada pasien yang terdiagnosis stadium 1 dan 2 . Pada 61 pasien KNF usia mulai merokok >10 tahun terdapat sebanyak 57 pasien yang terdiagnosis stadium 3 dan 4, 4 pasien yang terdiagnosis stadium 1 dan 2. Hasil uji menggunakan Fisher’s Exact Test menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia mulai merokok dengan stadium KNF dinyatakan oleh p value= 1,000 (p>α). Dikarenakan tidak terdapat hubungan yang bermakna, nilai OR tidak diinterpretasikan. Tabel 14 Hubungan Usia Mulai Merokok dengan Stadium KNF Stadium KNF 1 dan 2 3 dan 4 ≤ 10 0 (0%) 9 (12,9%) tahun Usia Mulai > 10 4 (5,7%) 57 (81,4%) Merokok tahun Total 4 (5,7%) 66 (94,3%) * Fisher’s Exact Test, p value <0,05

p value*

OR

CI 95%

1,000

-

-

Total 9 (12,9%) 61 (87,1%) 70 (100%)

4.1.3 Hasil Analisis Multivariat Berdasarkan nilai p dari analisis bivariat untuk semua variabel bebas yang memenuhi syarat, maka analisis multivariat dapat dilakukan karena syarat nilai p untuk dilakukan analisis multivariat harus memberikan hasil p<0,25. Variabel terikat yang dapat dilakukan analisis multivariat adalah jenis rokok dan jumlah konsumsi rokok. Sedangkan usia mulai merokok tidak dapat dilakukan analisis multivariat dikarenakan p>0,25

45

Tabel 15 Analisis multivariat variabel dependen dengan variabel independen Variabel Koefisien Sig Exp (B) CI 95% Jumlah Rokok -2,411 0,043 0,090 1,075 – 115,543 Jenis Rokok -1,607 0,198 0,200 0,842 – 88,825 Konstanta 3,951 0,000 *multivariate analysis, logistic regresion, p value <0,05

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh yang bermakna apabila semua variabel terikat/faktor risiko terpapar secara bersamasama pada pasien KNF, maka akan diketahui faktor risiko determinan terjadinya Stadium KNF. Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah rokok (p= 0,043) merupakan faktor determinan terjadinya stadium KNF pada pasien KNF (p<0,05), dan jenis rokok (p= 0,198) bukan merupakan faktor determinan terjadinya stadium KNF pada pasien KNF (p>0,05).

Probabilitas terjadinya stadium KNF dapat dihitung dengan persamaan atau rumus berikut: P=

1 (1+𝑒 −𝑦 )

K=eterangan : P

: Probabilitas untuk terjadinya stadium KNF

e

: Bilangan log natural = 2,71

y : = α+β1.x1 y = 3,951 + (-2,411) (X1) y = 3,951 - 2,411 y= 1,54 Keterangan : y = Stadium KNF X1= Jumlah Rokok α

: Nilai B konstanta

βz.xa : Nilai B konstanta βz P

=

1 (1+𝑒−𝑦)

46

1

=

1+ 2,71- (3,951 - 2,411) 1

=

1+ 2,71- (1,54) =

1 3,14

= 0,31 Dengan demikian, probabilitas anggota populasi yang perokok berat untuk mengalami stadium KNF adalah 31%.

4.2 Pembahasan 4.2.1 Hubungan Jenis Rokok dengan Stadium KNF Pada penelitian ini kelompok yang mengalami stadium KNF 3 dan 4, 49 pasien mengkonsumsi rokok kretek. Hasil ini berbeda dengan jumlah pasien yang mengkonsumsi rokok putih yaitu 17 orang. Hasil uji Fisher’s Exact Test menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis rokok dengan stadium KNF dengan p value = 0,067 (p>0.05) (Tabel 12). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ibrahim (2008) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,081. Sebagai perbandingan yang lain, Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan terjadinya peningkatan kejadian kanker faring dan oral pada perokok dengan jenis rokok berfilter dibandingkan dengan yang tidak berfilter. 4.2.2 Hubungan Jumlah Konsumsi Rokok dengan Stadium KNF Pada penelitian ini, pasien perokok berat yang terdiagnosis KNF stadium 3 dan 4 sebanyak 52 dari 53 pasien, sedangkan sebanyak 14 dari 17 pasien perokok ringan-sedang terdiagnosis KNF stadium 3 dan 4. Hasil uji Fisher’s Exact Test menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jumlah konsumsi rokok dengan stadium KNF dengan p value = 0,042 (p<0,05) (Tabel 13). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Zhu et al (1995) di Amerika Serikat yang mendapatkan bahwa semakin banyak batang rokok dikonsumsi,

47

semakin meningkat pula tingkat estimasi risiko relatif untuk terjadinya KNF. Chow et al (2006) di Amerika Serikat mendapatkan peningkatan risiko terjadinya KNF sebanyak 6,4 kali pada orang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 2 bungkus perhari. Hal ini dapat dipahami dimana jika seseorang semakin banyak mengkonsumsi batang rokok per hari maka semakin tinggi juga resiko untuk terjadinya KNF. Berbeda dengan Cheng et al (1999) di Taiwan mendapatkan bahwa banyaknya rokok yang dikonsumsi tidak mempunyai efek yang signifikan untuk terjadinya KNF. 4.2.3

Hubungan Usia Mulai Merokok dengan Stadium KNF Pada penelitian ini, pasien dengan usia mulai merokok ≤10 tahun yang

terdiagnosis KNF stadium 3 dan 4 sebanyak 9 dari 9 pasien, sedangkan sebanyak 57 dari 61 pasien dengan usia mulai merokok >10 tahun KNF stadium 3 dan 4. Uji Fisher’s Exact menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia mulai merokok dengan stadium KNF dengan p value = 1,000 (p>0,05) (Tabel 14). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan pada orang-orang yang mulai merokok sebelum berusia 17 tahun mempunyai risiko yang tinggi (OR=13,6) untuk terjadinya KNF. Chow et al (2006) di Amerika Serikat melaporkan suatu studi cohort selama 26 tahun pada veteran perang Amerika Serikat dengan hasil bahwa orang-orang yang mulai merokok sebelum berusia 15 tahun mempunyai risiko sangat tinggi untuk terjadinya KNF. Sementara itu Friborg et al (2007) di Singapura mendapatkan hasil yang berbeda dimana umur mulai merokok tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya KNF, tapi mendapatkan hubungan antara umur mulai merokok dengan kejadian karsinoma orofaring. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah kasus yang ditemui sangat sedikit.

48

4.2.4

Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Stadium KNF Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah rokok (p= 0,043) memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap terjadinya KNF (p<0,05), sedangkan jenis rokok (p= 0,198) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya KNF (p>0,05). Berdasarkan hasil perhitungan persamaan regresi (variabel jumlah rokok dan jenis rokok) didapatkan hasil P = 31%. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini probabilitas atau tingkat risiko seorang penderita KNF untuk mengalami stadium KNF (stadium 1 dan 2, stadium 3 dan 4) dengan variabel jumlah rokok dan jenis rokok adalah sebesar 31% sedangkan sisanya (69%) mungkin disebabkan karena faktor lainnya. Pada penelitian ini variabel yang dijadikan analisis multivariat adalah jumlah rokok dan jenis rokok, usia mulai merokok tidak dimasukkan kedalam analisis multivariat karena tidak memiliki hubungan yang bermakna. Dari keseluruhan hasil ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan terjadinya KNF, dimana kebiasaan merokok dapat merupakan sebagai faktor risiko terjadinya KNF jika jumlah konsumsi rokok lebih dari 20 batang per hari. 4.3

Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1.

Sedikitnya jumlah sampel pada poliklinik yang didapat sehingga mempengaruhi karakteristik subjek penelitian mengenai kebiasaan merokok pada pasien karsinoma nasofaring.

2.

Data populasi yang tereksklusi dikarenakan pencatatan rekam medik yang kurang lengkap sehingga sampel yang diambil masih belum mamu merepresentasikan pasien yang terdiagnosis KNF.

3.

Sedikitnya jumlah sampel yang didapat karena terdapat batas waktu penelitian dalam pengambilan sampel.

49

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan kebiasaan merokok

dengan stadium karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, didapatkan hasil antara lain: 1.

Terdapat 70 (100%) pasien laki-laki yang didiagnosa karsinoma nasofaring di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

2.

Terdapat terdapat 3 pasien (4,3%) kelompok usia 20-29, 6 pasien (8,6%) kelompok usia 30-39, 24 pasien (34,3%) kelompok usia 40-49, dan 37 pasien (52,9%) kelompok usia ≥50.yang didiagnosa karsinoma nasofaring.

3.

Terdapat 7 (10%) pasien karsinoma nasofaring dengan pekerjaan sebagai PNS dan 63 (90%) pasien karsinoma nasofaring dengan pekerjaan sebagai non PNS.

4.

Terdapat 12 (17,1%) pasien karsinoma nasofaring dengan alamat di dalam kota Palembang dan 58 (82,9%) pasien karsinoma nasofaring dengan alamat di luar kota Palembang.

5. Terdapat 18 pasien (25,7%) yang memiliki keluhan utama epistaksis ringan, 6 pasien (8,6%) memiliki keluhan utama gangguan pada telinga, 16 pasien (22,9%) memiliki keluhan utama gangguan pada mata dan saraf, dan 30 pasien (42,9%) memiliki keluhan utama benjolan pada leher. 6.

Terdapat 57 (81,4%) pasien karsinoma nasofaring yang terdiagnosis stadium 4, 9 (12,9%) pasien karsinoma nasofaring yang terdiagnosis stadium 3, 4 (5,7%) pasien karsinoma nasofaring yang terdiagnosis stadium 2 dan tidak terdapat pasien yang terdiagnosis stadium 1.

7.

Terdapat 50 (71,4%) pasien yang mengkonsumsi rokok kretek dan 20 (28,6%) pasien yang mengkonsumsi rokok putih.

50

8.

Terdapat 53 (75,7%) pasien perokok berat dan 17 (24,3%) pasien perokok ringan-sedang.

9.

Terdapat 61 (87,1%) pasien mulai merokok usia >10 tahun dan 9 (12,9%) pasien mulai merokok usia ≤10 tahun.

10. Jenis rokok memiliki hubungan yang tidak bermakna dengan stadium KNF dan jenis rokok kretek merupakan faktor risiko terjadinya stadium KNF 3 dan 4. 11. Jumlah konsumsi rokok memiliki hubungan yang bermakna dengan stadium KNF dan pasien KNF perokok berat merupakan faktor risiko terjadinya stadium KNF 3 dan 4. 12. Usia mulai merokok memiliki hubungan yang tidak bermakna dengan stadium KNF dan pasien KNF yang usia mulai merokok ≤ 10 tahun bukan resiko terjadinya stadium KNF 3 dan 4. 13. Jumlah rokok merupakan faktor determinan terjadinya KNF pada pasien KNF stadium 3 dan 4.

5.2

Saran

1. Perlunya penelitian lanjutan mengenai hubungan kebiasaan merokok dengan stadium KNF di waktu dan tempat yang berbeda untuk keperluan populasi penelitian yang lebih luas. 2. Penyimpanan rekam medik pasien di RSMH sebaiknya diatur lebih baik lagi agar rekam medik pasien mudah ditemukan sehingga data yang didapatkan bisa lebih banyak. 3. Masyarakat agar lebih waspada terhadap kebiasaan merokok sebagai faktor resiko kejadian KNF. 4. Dokter layanan primer diharapkan mampu mengetahui gejala dini KNF agar pasien KNF cepat ditatalaksana untuk meminimalisir terjadinya stadium lanjut atau stadium yang sudah berat.

Related Documents

Cek List.xlsx
December 2019 44
Cek Flokulasi.xlsx
June 2020 29
Cek Golda.en.id.docx
October 2019 26
Cek Easytoch.xlsx
May 2020 16
Cek En.docx
May 2020 25
Cek Plagiarism.docx
June 2020 17

More Documents from "alwan"