A. Defenisi cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury = TBI) Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury = TBI) merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan pada dewasa muda, dengan konsekuensi adanya kecacatan fisik hingga gangguan kognitif, pola kebiasaan, psikologi, dan gangguan sosial, akibatnya menjadikan TBI sebagai masalah kesehatan publik. Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury = TBI) bukan degeneratif ataupun kongenital, yaitu merupakan akibat kerusakan mekanik luar yang menyebabkan disfungsi syaraf menetap atau permanen sehingga mengganggu fungsi kognitif, fisik, dan psikososial (Bondanelli. et al, 2005). Secara keseluruhan, insiden TBI pada negara berkembang mencapai 200 dari 100.000 populasi per tahun. Insiden tertinggi pada kelompok umur 15-24 tahun atau lebih dari 75 tahun, dengan insiden puncak pada kelompok umur 5 tahun atau lebih kecil. Angka insidensi pada laki-laki dua kali lebih besar dari perempuan, dengan ratio perbandingan dewasa muda dan orang tua sekitar 1.2:1 atau 4.4:1 pada populasi yang berbeda. Lima puluh persen kasus disebabkan oleh kecelakaan motor, sepeda, atau kecelakan pejalan kaki. Kecelakaan akibat jatuh merupakan penyebab kedua TBI (Bondanelli. et al, 2005). Klasifikasi keparahan TBI telah dilaporkan pada bebrapa literatur. Pembagian menurut skor Glasgow Coma Scale (GCS) paling sering dipakai. Glasgow Coma Scale (GCS) berdasarkan respon membua mata, verbal, fungsi motorik pada beberapa stimulasi. Skor 13-15 dikatakan ringan, 9-12 dikatakan sedang, dan kurang dari 8 dikatakan berat. Tingkat keparahan dari TBI dilihat dari lama pasien mengalami penurunan kesadaran, kehilangan memori sebelum atau sesudah trauma (post-traumatic amnesia) dan identifikasi lesi intrakranial. Penemuan radiologi berdasarkan CT-Scan membantu dalam mengevaluasi keparahan TBI (Bondanelli. et al, 2005). Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury = TBI) dalam beberapa waktu ini menjadi salah satu penyebab kehilangan fungsi pituitari, pada satu persen dari semua kasus hipoptuitarisme. Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury = TBI) merupakan masalah kesehatan umum penyebab kecacatan dan kematian pada dewasa muda dan orang tua, dan baru-baru ini dikenal menyebabkan gangguan endokrin. Meskipun berdasarkan textbook menjadi salah satu penyebab hipopitutarisme, data terakhir menyebutkan hipopituitarisme yang disebabkan oleh TBI dikatakan sering (Tanriverdi, et al, 2007; Marianne dan Ulla, 2012).
B. Patofisiologi Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury = TBI) Kerusakan serebral akibat trauma didapatkan dari cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer mengarah pada kerusakan jaringan otak pada saat trauma. Cedera otak sekunder terjadi dalam beberapa jam sampai hari saat trauma dan menyebabkan kerusakan dan perburukan dari status neurologis. Faktanya, pada cedera otak primer dapat terjadi edema otak dan hambatan alian darah otak, sedangkan cedera otak sekunder menyebabkan hipoksia hingga peningkatan tekanan intrakranial. Mediator inflamasi (sitokin, radikal bebas, asam amino, dan nitrit oksida) dan asam amino eksitatori keluar dalam cedera otak sekunder. Sitokin –bagian dari IL6- yang menstimulasi pengeluaran vasopresin, menyebabkan sindrome ketidakseimbangan hormon pengeluaran antidiuretik (SIADH) setelah TBI (Bondanelli. et al, 2005). C. Hipothalamus-Pituitari-Adrenal Axis (HPA Axis) Komunikasi antara otak dan sistem imun, dimana sistem imun memberi sinyal pada otak melalui sitokin, dan otak merespon melalui regulasi sistem imun yang merupakan bagian dari HPA axis akibat pengeluaran glukokortikoid. Respon lain dari sistem saraf pusat yaitu sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan perifer juga memainkan peran. Seperti pada respon inflamasi serta stimulasi fisik dan psikologis, sel inti paraventikuler terjadi pengeluaran hypothalamus corticotropin- releasing hormone (CRH). Akibatnya akan menstimulasi kelenjar anterior hipopituitari mengeluarkan hormon adrenokortikotropin (ACTH) dalam aliran darah. Pada adrenal, ACTH menstimulasi pembentukan dan pengeluaran glukokortikoid. Perjalanan ini, dengan adanya feedback dari glukokortikoid, menstimulasi hipotalamus dan pituitari untuk menstimulasi HPA axis. Kortisol merupakan endogen glukokortikoid. Mereka semua akan melakukan regulasi hemeostatis pada tubuh, termasuk sistem saraf pusat, pembuluh darah, dan homeostatis metabolik (Webster dan Sternberg, 2004).
D. Defisit neuroendokrin pascatrauma Disfungsi neuroendokrin pascatrauma dapat muncul sebagai akibat langsung dari trauma mekanik, proses sitotoksik atau keduanya, dengan target HPA axis pada sistem saraf pusat. Cedera akselerasi/deselerasi menyebabkan jepitan atau tampak gambaran putih pada kedua struktur, ketika efek cedera dalam dan mengenai struktur medial, termasuk lobus temporomedial (komplek entorhinal-hippocampal, amygdala), dienchepalon, dan jaringan otak. Manifestasi vaskular (hipoksia atau iskemia), edema, dan nekrosis merupakan komplikasi biomekanik dan cedera sitoksik.
Defisit pada HPA axis dilaporkan setelah TBI. Lokasi dari sel spesifik dengan somatotrop dan gonadotrop menjadi peneyabab cedera lateral, yang menjelaskan defisiensi growth hormone dan gonadotropin setelah TBI. a. Defisiensi gonadotropin Central hypogonadism, dengan rendahnya level luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), dan testosteron pada pria dan estradiol pada wanita, dilaporkan pada beberapa jam setelah trauma, dengan perbaikan hipotalamuspituitari-gonadal (HPG) aksis. Dalam studi crossectional, pada 50 orang pria dengan TBI sedang hingga berat dengan mengkaji hari ketujuh hingga keduapuluh pasca-TBI, 79% (N=30) subjek mengalami penurunan serum testosteron yang berkorelasi dengan nilai GCS mereka. Studi ini termasuk menjelaskan adanya peningkatan hormon prolaktin, dimana berkontribusi dengan penurunan kadar testosteron.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan supresi HPG aksis setelah TBI. Onset akut, sakit yang berat, dan stres adalah efek negatif yang normal pada fungsi HPG axis, sebagai disfungsi dan cedera otak. Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury = TBI) mengakibatkan hipogonadisme yang berefek pada penurunan pulsasi amplitudo LH, dengan akibat cedera pada ptuitari. Cedera langsung pada neuron hormon hipothalamic-gonadotropin releasing hormone (GnRH) atau efek stres, yang menyebabkan penurunan frekuensi pulsasi LH.
b. Defisiensi Growth Hormone Defisiensi Growth Hormone merupakan sekuele umum dari TBI dan menjadi masalah tetap pada beberapa individu. Growth Hormone diproduksi dan dikeluarkan oleh sel somatotropin pada kelenjar ptuitari anterior. Lokasi lateral dari sel dan faktor predisposisi vaskular insufisiensi, cedera, atau anoxia dapat menyebabkan tingginya frekuensi defisiensi Growth Hormone pascatrauma, dengan rentang 9% hingga 28%.
c. Defisiensi Adrenocorticotropin (ACTH) Aktivasi berlebihan dan defisieni pada HPA aksis dilaporkan setelah TBI. Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dari aktivasi neuron hipothalamic ACTH di ptuitari,
dimana
mineralkortikoid,
aksi
dari
kelenjar
glukokortikoid,
adrenal dan
menyebabkan
hormon
prekursor
pengeluaran adrenal,
dehydroepiandrostenedione (DHEA). Insufisiensi adrenal didapat akibat defek central atau perifer, tetapi pada pasien TBI menyebabkan defisiensi ACTH. Secara normal, produksi kortisol dapat meningkat pada beberapa kasus stress atau penyakit yang parah untuk mempertahankan tekanan darah dan melawan infeksi, dimana defisiensi kortisol menyebabkan gangguan HPA axis yang dapat menyelamatkan kehidupan. Perbedaan level kortisol dinilai dari keparahan dan durasi cedera otak. Pada penelitian langsung pascatrauma menunjukkan penurunan akut dari kortisol yang dilihat dari peningkatan 5 hari pascatrauma. Pada penelitian pasien dengan cedera otak yang dirawat di ICU menujukkan level kortisol yang normal tetapi terjadi peningkatan level kortisol bebas. Pasien diobservasi secara ketat, setelah adanya stres akibat sakit yang akut, tedapat defisit HPA axis pada pasien TBI. Pada subjek yang diteliti pada 6 dan 12 bulan pasca cedera, 8 dari 50 terdiangnosis adanya defisit HPA aksis yang akut. d. Defisiensi Thyrotropin (TSH)