Cdk_017_penyakit_syaraf_(sambungan)

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk_017_penyakit_syaraf_(sambungan) as PDF for free.

More details

  • Words: 27,138
  • Pages: 49
No :17 ,1980

Cermin Dunia Kedokteran lnternational Standard Serial Number : 0125 — 913X

Majalah triwulan diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma dan

dipersembahkan secara cuma-cuma.

Daftar isi

4

EDITORIAL

5

TO KO H K I TA :

DR. OEN BOEN ING

ARTIKEL 7

Sel-sel otak dari cortex cerebri, yang disebut sel pyramidal berbentuk triangular dengan dendrit dan axonnya.

KEMATIAN OTAK (KO)

13

PENGOBATAN MENINGITIS TUBERKULOSA DENGAN GABUNGAN PROTHIONAMIDE—INH, ETHAMBUTOL DAN STREPTOMYCIN

20

GANGGUAN PEREDARAN DARAH OTAK (CVA)

26

SERANGAN ISCHAEMIA OTAK SEPINTAS LALU (SOS) PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

35

IMUNITAS SELULER DAN TERAPI RADIASI PADA PENDERITAAN KANKER

39

TITIK—TITIK TERANG DALAM PROFESI KEDOKTERAN DI INDONESIA

43

SIFAT GOITROGENIK SINGKONG (MANIHOT UTILISSIMA)

46

RISET : DARAH BUATAN MENDEKATI KENYATAAN

47

54

RESENSI BUKU CATATAN SINGKAT HUMOR ILMU KEDOKTERAN KAMI TELAH MEMBACA UNTUK ANDA : Abstak-abstrak.

55

UNIVERSITARIA

49

50

Daiam nomor ini Cermin Dunia Kedokteran tampii iagi dengan tema utama penyakitpenyakit dan gangguan-gangguan saraf/otak sebagai keianjutan dari edisi sebeiumnya. Demikian banyak sumbangan karangan dari para ahii penyakit saraf yang teiah sampai ke meja redaksi, sehingga tak mungkin untuk memuatnya sekaiigus daiam satu terbitan. Ini dapat dianggap sebagai suatu pertanda tentang banyaknya probiema daiam cabang iimu kedokteran ini yang cukup penting untuk diketahui oieh iain-iain teman sejawat. Seiain itu dalam nomor ini dapat dibaca juga: • Pandangan seorang tokoh kesehatan yang cukup dikenai, yaitu Prof. Satrio tentang "mission sacre" (tugas muila) para dokter kita daiam masa transisi di Indonesia dewasa ini, yang patut menjadi bahan renungan kita semua. • Peneiitian apakah singkong sebagai bahan makanan pokok merupakan faktor penunjang untuk timbuinya gondok di daerah-daerah endemik merupakan suatu tantangan yang cukup menarik. • Kemajuan-kemajuan dalam imunologi sekarang ini memungkinkan untuk memonitor imunitas seiuier seorang penderita yang teiah menerima penyinaran sebagai terapi untuk penyakit kankernya. • Diiaporkan puia kemajuan daiam dunia riset kedokteran: darah buatan kini mendekati kenyataan untuk pemakaian kiinik.

Redaksi.

Cermin Dunia Kedokteran nomor berikut akan mengambil tema : PENYAKIT/KELAINAN DARAH & PEMBULUH DARAH.

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

TOKOH KITA

dr. Oen Boen lng Dalam sejarah dunia kedokteran Indonesia telah lazim bila seorang dokter menjadi menteri kesehatan. Akan tetapi juga pernah tampil seorang dokter sebagai menteri luar negeri, menteri penerangan, menteri riset, menteri pendidikan & kebudavaan. Kali ini CDK menampilkan seorang dokter umum sebagai dokter yang oleh karena amalnya patut dibuat contoh/teladan, khususnya dalam keadaan dewasa ini di mana tindak tanduk dan tingkah laku dokter mendapat sorotan yang cukup tajam dari masvarakat.

Dr. Oen Boen Ing, atau dr. Oen demikian masyarakat kota Solo biasa memanggilnya, adalah seorang dokter umum. Sebenarnya tidak banyak hal yang menonjol pada dirinya. Dia bukan seorang spesialis yang terkenal keahliannya; dia bukan seorang guru besar dari suatu universitas; dia juga bukan dikenal karena kemampuannya memecahkan suatu masalah kesehatan masyarakat . Tetapi dalam satu hal dia dikenal oleh segenap masyarakat kota Solo : sifat sosialnya atau pengabdiannya kepada masyarakat tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Karena jasanya dalam pengabdiannya pada masyarakat inilah dia dianugerahi Tanda Kehormatan Satyalancana Kebaktian Sosial oleh Bapak Presiden RI tahun 1976 yang lalu Kehidupan dokter lulusan STOVIA ini hanya diwarnai oleh satu warna : bekerja, bekerja untuk masyarakat. Sampai tahun 1976, dalam usia 74 tahun, dia mulai bekerja sekitar jam 3 atau jam 4 pagi. Ketika hari masih gelap dan hawa masih dingin, pasien-pasien dari dalam kota Solo rnaupun dari desadesa di sekitarnya sudah berkumpul di ruang prakteknya. Mereka memilih datang pada saat-saat itu dengan harapan

tidak perlu antri terlalu lama. Kalau agak siang, maka tempat prakteknya ramai seperti pasar, sehingga harus menunggu berjam-jam untuk bertemu dengannya. Demikianlah cara dr. Oen ini bekerja. Mulai pagi-pagi buta sampai jauh malam. Biasanya pasiennya baru habis sekitar jam 10 – 11 malam. Ini tidak berarti dia langsung beristirahat. Dia masih harus mengunjungi pasien-pasiennya yang dirawat di rumah sakit. Cara hidup demikian ini sudah dijalaninya sejak jaman Jepang dan dilanjutkan sampai dia berusia 74 tahun. Lalu kapan dia beristirahat? dr. Moendarman yang pada masa itu bekerja di Rumah Sakit Jebres pernah menanyakan hal ini. "Apakah tidak cape atau ngantuk?" tanyanya waktu ngobrol-ngobrol pada jam 12 malam. dr. Oen hanya tertawa dan berkata "sudah mengaso dan tidur di kereta!" Maka dr. Moendarman ini hanya bisa geleng-geleng kepala karena kagum dan tidak mengerti dari mana dr. Oen ini mendapatkan kekuatan fisiknya untuk dapat bekerja secara demikian. "Hanya orang yang mempunyai rasa sosial, perikemanusiaan, dan dedikasi yang besar dapat berbuat begitu," demikian dr. Moendarman menambahkan, "apalagi kalau direnungkan bahwa sering kali dia memberi pengobatan tanpa meminta balas jasa sesuatu pun!" Memang dr. Oen terkenal tidak pernah meminta honorarium. Pasien-pasiennya membayar ala kadarnya menurut kemampuan masing-niasing. Banyak juga yang gratis, atau kadang-kadang malah diberi uang untuk beli obatnya. Seorang yang pernah bekerja disebuah apotik di Solo pernah menyatakan bahwa tiap hari paling sedikit ada lima resep yang ditulis atas nama pasien, tapi atas rekening dr. Oen. Ini berarti seluruh pengobatannya ditanggung dr. Oen. Tentu saja tidak semua pasien gratis. Yang mampu biasanya membayar sendiri menurut kemampuannya, tanpa menanyakan jumlah honorarium pada dokternya. Maka bila anda memasuki kamar prakteknya, di berbagai tempat, di atas meja, di ranjang, di atas lemari buku dan sebagainya akan terlihat uang yang diletakkan oleh pasien-pasien itu. Karena dokter ini biasanya memeriksa beberapa pasien sekaligus. pasien yang tidak mampu membayar tidak perlu merasa rendah diri karena sang dokter toh tidak tahu siapa yang membayar siapa yang tidak. Demikianlah secara tak langsung berlaku sistem "yang kaya membantu yang miskin". Meskipun ada pasien yang berobat karena tidak mampu, sebagian besar berobat karena keyakinan akan kemampuan dokter tua ini. Orang-orang yang dekat padanya akan kagum akan kecermatan dan ketepatannya menegakkan diagnosis. Sebagai contoh ada seorang penderita yang dikenal oleh penulis, mengeluh sedikit nyeri pada perutnya. Keadaan umumnya masih baik. Dia dapat berjalan-jalan seperti biasa dan makan dengan lahapnya. Tidak ada keluhan lain. Tapi dia segera dikirim ke ahli bedah dengan diagnosis appendicitis. Tentu saja pasien itu tidak percaya. Tapi pembedahan cito membuktikan kebenaran diagnosis dr. Oen ini, appendisitis akut. Kemampuannya dalam bidang tugasnya ini, selain diperoleh dari pengalamannya yang demikian lama dengan demikian Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

5

banyak pasien, juga didukung oleh kegemarannya akan buku. Dia seorang kutu buku. Di ruang prakteknya berjejer beratusratus buku kedokteran. Mungkin hanya keterbatasan tempatkecuali lah yang membuat dia tidak membeli buku lagi, yang diperlukan benar. Dia juga selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Maka meskipun dia seorang dokter tua, ilmunya tidak ketinggalan jaman. Berbagai cara pengobatan baru dicobanya pada pasien-pasien. Tapi yang paling digemarinya rupanya terapi lokal dengan suntikan : suntikan impletol untuk berbagai rasa nyeri, suntikan lokal untuk penderita gondok, suntikan lokal antibiotika untuk abses appendicitis, suntikan lokal untuk hipertrofi prostrat dan lain-lain. Sayang hasil-hasil percobaan-percobaan itu tidak dievaluasi secara ilmiah. Kemampuan dalam pengobatan, dedikasi pada pekerjaan, serta simpati terhadap pasien, itulah yang menyebabkan masyarakat mengagumi dan mencintainya. Maka tidak mengherankan bahwa begitu dia mengajukan gagasan untuk mendi rikan rumah sakit Panti Kosala, membanjirlah sumbangan dari segenap masyarakat Surakarta, dari golongan pribumi maupun non-pribumi. Cara mencari dananya cukup unik. Salah satu caranya ialah dengan merayakan hari ulang tahunnya secara besar-besaran. Namun diumumkan bahwa semua hadiah akan diserahkan untuk pembangunan rumah sakit itu. Dengan sendirinya masyarakat menyumbangkan uang. Masyarakat rela memberikan sumbangan itu, pertama sebagai balas jasa terhadap dokter Oen, kedua mereka yakin bahwa uang itu tidak mungkin disa lahgunakan untuk kepentingan pribadi dokter itu. Teladan yang dirintisnya ini kemudian ditiru oleh masyarakat. Misalnya bila ada seorang anggota keluarga kaya yang meninggal dunia, maka diberitahukan bahwa sumbangan akan didermakan untuk pembangunan rumah sakit itu. Dengan cara-cara .seperti yang disebut di atas, dengan sumbangan dari berbagai pihak, akhirnya berdirilah Rumah Sakit Panti Kosala pada tahun 1958. Pada masa revolusi, sedikit banyak dia ikut berjasa dengan memberi pengobatan pada orang-orang "Republikein" yang datang dari front dalam keadaan sakit atau terluka. Sesungguhnya tindakan ini mengundang bahaya besar, oleh karena pada saat itu pihak Belanda mengawasi dengan ketat. Walaupun demikian dia berani menanggung resiko itu. Kesaksiankesaksian tentang ini diperoleh dari bekas-bekas pejuang yang berada di Solo waktu itu, seperti bekas gubemur Sudiro, Mayor Jendral Purn. Ostenrik Tjitrosunarjo dari Angkatan Kepolisian, Murdijo dari Tentara Pelajar dan lain-lain. S. Broto, bekas pejuang di daerah Semarang, menyatakan bahwa dr. Oen ini tidak hanya sekedar memberi pertolongan atau pengobatan dengan sabar dan ikhlas, tetapi disertai pula dengan sikap penuh penghargaan, sehingga para pejuang itu merasa mendapat penghargaan sebagai pejuang yang sedang membela negara. dr. Oen juga pernah memberi bantuan kepada para pejuang dengan cara memberi surat keterangan sakit palsu Oleh karena pada waktu itu kota Solo diduduki oleh tentara Belanda, maka untuk dapat pergi ke Jakarta seseorang harus memiliki surat keterangan. Oleh dr. Oen seorang pejuang diberi 6

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

RS Panti Kosala, didirikan atas prakarsa dr. Oen. Dana untuk pembangunannya diperoleh dari sumbangan segenap masyarakat kota Solo. surat keterangan sakit yang menyatakan bahwa dia periu mendapat perawatan di sanatorium Pacet karena menderita TBC, padahal pejuang itu sehat walafiat. Dia hanya perlu pergi ke Jakarta untuk melaporkan perjuangan rakyat di Jawa Tengah pada pemimpin-pemimpin RI di Jakarta. Dengan surat keterangan ttu seorang pejuang malah dapat ikut konvoi Belanda ke Jakarta. Dikabarkan dr. Oen juga pernah memberi bantuan obat streptomisin untuk Jendral Soedirman sewaktu almarhum memimpin perang gerilya. Demikian sekelumit kehidupan dokter ini. Tidak banyak yang dapat diungkapkan mengenai pandangan hidupnya karena dokter ini kini, dalam usianya yang mendekati 77 tahun, berada dalam keadaan fisik sedemikian rupa sehingga tidak dapat diwawancarai secara langsung. Karangan ini ditulis atas dasar informasi yang diperoleh secara lisan maupun tulisan dari mereka yang pernah memperoleh pengobatan atau mengenal dr. Oen Boen Ing pribadi. Mungkin ada orang yang menganggap pengabdiannya pada karena dia tidak dikaruniai anak, masyarakat disebabkan karena dia memang berasal dari keluarga kaya, karena dia tidak senang dengan berbagai hiburan dan sebagainya. Namun apapun alasannya, bukti perbuatannya cukup inencerminkan pandangan/falsafah hidupnya : bekerja untuk kepentingan masyarakat. Mudah-mudahan dengan membaca sekilas riwayat hidupnya ini, kita ingat kembali akan fungsi sosial kita sebagai dokter di tengah masyarakat yang sedang dalam arus mengkomersielkan segala sesuatu. (E. Nugroho)

Kematian Otak ( KO ) dr. Ratna Anggraeni

dr. Djunaedi Widjaja.

Bagian Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ R.S. Dr. Soetomo Surabaya KRITERIA K.O. : ( 15, 18) SUMMARY The diagnosis of brain death is becoming more important these last few years. Among the reasons are the highly expensive intensive care facilties which are still very limited and the advances achieved in organ transplantatiom. The different criteria for brain death in several countries are hereby presented. The diagnosis of brain death can be established by several means, of which only cerebral angiography, echo-encephalography and the Doppler test can be performed in Indonesia. However, the most important remains the diagnosis by climical examinatiom, which should be carried out by two doctors not comnected with the transplantation program.

Koma dalam yang irreversibel dan berhentinya pernafasan spontan. Syarat-syaratnya sebagai berikut ( 15, 17, 18): • tidak ada obat-obatan yang menekan susunan saraf pusat misalnya : hipnotika, narkotika dan obat penenang ( "tranquilizer "). • tidak ada hipotermia yaitu : tidak kurang dari 35° C. • tidak ada gangguan metabolik, endokrin dan kelainan elek trolit. tekaman parsiil oxygen dan carbon-dioxide normal. • • tidak ada obat-obat "neuromuscuiar blocking agent. " • keadaan ini tetap selama ± 12 — 24 jam. • ditentukan oleh dua dokter yang tidak ada sangkut pautnya dengan program transplantasi alat badan. Kriteria K.O. menurut bermacam-macam negara (I).

Amerika Serikat :

PENDAHULUAN. (2,9,14,31)

(i) Harvard : (3, 6, 8, 19, 24, 38) (a). rangsangam interna dan exterma tidak menimSyndrom K.O. (kematian otak) pertama kali ditulis pada bulkan respon. tahun 1959 oleh MOLLARET. Penentuan K.O. penting, karena adanya unit-unit perawatan intensip dimana-mana (b). pernafasan spontan selama observasi satu jam, termasuk juga di Indonesia. Dimana fasilitasnya terbatas, sebila respirator dihentikan selama tiga menit; dangkan bamyak penderita yang memerlukannya, sehingga perdengan syarat; tekanan parsiil CO2 normal lu dipilih pemderita-penderita yamg benar-benar dapat menedan penderita benafas udara ruangan selama rima manfaat dari unit perawatan intensip ini. Juga biaya pesepuluh menit sebelum tes. meliharaan unit ini adalah tinggi. Adanya kemajuan dalam (c). Pupil fixed dan dilatasi. bidang transplantasi menyebabkan pentingnya penderita-pendoll"s eye phenomen negatip. derita K.O. diidentifikasi dan merupakam donor alat tubuh tes kalori negatip. yang ideal. refleks kedip, refleks kornea dan pharynx negatip. refleks postural dam tendon negatip. refleks menelan, menguap dan bersuara negatip.

APAKAH MENINGGAL DUNIA ITU ? (31) Kriteria tradisionil dari kematian adalah berhentinya detik jantung, pernafasan, tidak sadar, tidak ada refleks dan pupil yang lebar. Kriteria yang up to date dari kematian adalah suatu proses dimana bermacam-macam organ misalnya : jantung, otak dan sistim-sistim lain mengalami kegagalan fungsionil, bahkan berhenti berfungsi dalam waktu yang berbeda. Kematian otak merupakan suatu keadaam yang irreversibel, "the point of no return. " Jadi dapat terjadi " heart death " dahulu, baru " brain death " atau sebaliknya.

(d).

E.E.G. isoelektris selama 2 x 24 jam.

Pada tahun 1969 dikatakan, bahwa pemeriksaan

E.E.G. tidak mutlak . (4, 17).

(ii).

"

Colloborative study. "( 6, 19) Syarat : K.O. enam jam setelah koma dam apneu selama 30 menit. (a).

koma : tidak ada respon serebral, suara spontan dan reaksi terhadap nyeri.

(b).

apneu : tidak ada pernafasan spontan atau tanpa respirator selama 15 menit tidak dapat bernafas spontan. Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

7

(c).

pupil melebar.

(d).

tidak ada refleks sefalik : refleks pupil, kornea, okuloauditorius, okulovestibuler, okulosefalik, siliospinal, snout, batuk, pharynx dan menelan.

(e).

E.E.G. isoelektris. Tes yang memastikan K.O. yaitu : tidak adanya aliran darah otak.

Bagan mekanisme kardiovaskuler kegagalan jantung

tekanan darah kurang dari 35 mmHg tekanan darah kurang dari 30 mmHg

Shock

ischemia otak

vasogenik brain oedem (anoksik)

(II). Inggeris : "Royal Colleges and Faculties of the United Kingdom": ( 15, 18) (a). (b).

pupil fixed dan reaksi cahaya langsung negatip. refleks kornea negatip.

(c).

refleks okulovestibuler negatip.

(d).

tidak ada respon motoris didaerah persarafan saraf otak dengan rangsangan somatis.

(e).

refleks pharynx negatip.

(f).

tidak ada gerakan penafasan pada pelepasan ventilator, dengan syarat tekanan parsiil 02 dan CO2 normal. E.E.G., angiografi serebral dan refleks spinal tidak dianggap perlu.

Cushing refleks

BBB rusak membran neuron

rusak

cannibalism

polarisasi dan transport enersi tidak ada.

tekanan intrakranial lebih dari tekanan arteriil

aliran darah keotak tidak ada.

K.O.

(III). Perancis : (2, 12). Sama dengan kriteria Harvard, ditambah E.E.G. iscelektris selama satu jam dan diulangi 24 jam kemudian. Angiografi serebral memastikan diagnosa K.O.

tekanan darah turun mendadak

meninggal dunia.

Beberapa kriteria dari negara-negara lain seperti Belanda, Jerman dan Austria, Swedia, Finlandia, Swiss dan Jepang tidak kami cantumkan disini. Bagan mekanisme otak.

PATOGENESA K.O. : (20, 21, 38) Ada dua mekanisme primer yaitu (i) kardiovaskuler dan (ii) otak. ■ Kardiovaskuler : GOLDEN dkk. (21) melakukan percobaan dengan contoh shock irreversibel pada 30 mmHg dan ternyata terjadi kerusakan otak yang irreversibel, sedangkan pada 35 mmHg terjadi kegagalan jantung. Ishemia otak yang cukup lama menyebabkan kematian anoksik dari neuron otak yang metabolismenya tinggi. Akibat anoxia terjadi gangguan fundamentil sebagai berikut :

oedema otak massip BBB rusak

polarisasi dan transport enersi tidak ada.

tekanan intrakranial meningkat lebih dari 67% tekanan sistole.

• Cushing refleks. • gangguan blood brain barrier. • kerusakan membran neuron, sehingga tidak memungkinkan polarisasi dan transport energi. • produksi dan penggunaan zat-zat metabolik abnormai oleh sel-sel (cannibalism). Hal ini menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial melebihi tekanan arteriil dan mengakibatkan aliran darah keotak berhenti, tekanan darah turun mendadak dan terjadi K.O. ■ Otak : K.O. bisa disebabkan oleh kelainan primer seperti : cedera otak akibat ruda paksa, perdarahan intrakranial, proses desak ruang, anoxia otak yang menyeluruh misalnya : asphyxia, gangguan metabolik yang menyebabkan terjadinya oedema otak massive. Akibat edema otak massive terjadi : Cushing 8

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

membran neuron rusak cannibalism cushing refleks

aliran darah keotak tidak ada —► K.O.

defisiensi pernafasan

tekanan darah turun mendadak

jantung berhenti

hipoxia acidosis

meninggal dunia.

hipotermi

refleks, kerusakan membran neuron, kerusakan BBB (Blood Brain Barier) dan cannibalism. Bila tekanan intrakranial mencapai 67% dari tekanan sistole, maka tidak ada aliran darah keotak. Hal ini mengakibatkan terjadinya K.O. Tidak adanya aliran darah keotak menyebabkan terjadinya defisiensi pernafasan, turunnya tekanan darah secara mendadak, berhentinya jantung dan hipotermi.

Standardisasi alat E.E.G. : 2% uV/mm atau 25 uV/10 mm. Gain maksimal : 10 — 20 uV/menit. Jarak antar elektrode lebih dari 10 cm. Tahanan antar elektrode kurang dari 10.000 ohm. Kecepatan 30 mm/detik. Paling sedikit digunakan 8 — 10 elektrode kulit kepala. Rekaman dilakukan selama 30 menit.

PEMBAGIAN Secara singkat K.O. dibagi dalam : (i) "Neocortical death": kematian diatas diensefalon. Dan (ii) " Brainstem death" kematian dari diensefalon, midbrain, pons dan medulla oblongata. ■ Neocortical death. Ditentukan dengan pemeriksaan Elektroensefalografi. (4, 6, 11, 27, 28, 32, 33, 34, 36, 39) dan Refleks terhadap suara. (31) ■ Brainstem death . Ditentukan dengan pemeriksaan ( 1). Saraf otak ke III : refleks pupil. (6,9,16,19) dan bentuk pupil. (6,9,16,19). ( 2).

Saraf otak ke V: refleks kornea. (6,9,19) dan "muscle stretch reflex . " (23).

( 3).

Saraf otak ke VII : "muscle stretch reflex " ( 23), refleks orbicularis oculi. (25) dan rekaman mikrotremor mata. (10).

( 4).

Saraf otak ke VIII : tes kaloris. (28) dan brainstem respons. " (35)

"

auditory

Diulang lagi setelah 24 jam. (kriteria Jermam : 6 jam) • Syarat-syarat sebelum E.E.G.: Tidak ada obat-obatan yang menekan susunan saraf pusat, suhu badan tidak boleh kurang dari 90° F (32, 2°C). • Kejelekan E.E.G. (i) alat Elektrcensefalograf mahal, sehingga hanya tersedia di kota-kota besar, (ii) memerlukan tenaga khusus dan (iii) sering timbul artefak. • Kegunaan E.E.G. : E.E.G. yang isoelektris membantu diagnosa K.O. disamping pemeriksaan klinis. POWNER dkk. (32) dalam penyelidikannya berpendapat, bahwa E.E.G. tidaklah mutlak. • Refleks terhadap suara : Tidak ada respon terhadap suara keras diatas foramen magnum. Brainstem death

• Ditentukan dengan pemeriksaan : Saraf otak ke 111 : pharynx. (6,9,19) dan Dimana (i) refleks pupil : terhadap cahaya langsung negatip. Dan (ii) bentuk pupil : fixed dan dilatasi maksimal bilateral. ( 6). Pernafasan : tekanan parsiil 02 dan CO2. (15, 18) Tidak jelas disebutkan berapa diameter pupil . Obat sedativa dan narkotika sering menyebabkan pupil yang sempit, kecuaserta apneic diffusion oxygenation. (30) li : glutethimide (Doriden) dam scopolamin. Karena itu bila di( 7). Tekanan darah : mendadak turun. (6) dan Cushing jumpai pupil yang sempit, kita harus mencurigai adanya kereflex.(5) racunan obat-obatan sebab kemampuan kita terbatas sekali ( 8). Suhu : otak kurang dari 25 — 29° C. (28) dan tubuh untuk memeriksa kadar obat didalam darah. kurang dari 28 — 32° C. (28) • Saraf otak ke V:(i) refleks kornea negatip dimana, dengan ( 9). Parasimpatis : tes dengan Atropin. (28); tes dengan beta ujung kapas yang digoreskan pada kornea tidak timbul kedipan " blocker. (28) dan tes dengan simpatikomimetika. (28) mata. Dan (ii) muscle stretch reflex" kadang-kadang masih (10). Aliran darah otak dapat diperiksa dengan pemeriksaan positip, yaitu dengan menepuk muskulus masseter timbul (a). Doppler, (6, 12), (b). Angiografi serebral. (6, 12, 28, gerakan dagu keatas yang berulang-ulang. " 29), (c) Echoencephalografi. (6, 12, 28, 37), perbedaan • Saraf otak ke VII : (i) muscle stretch reflex" kadangisi oxygen arteri carotis dan vena jugularis (6, 26, 28) kadang masih positip, yaitu dengan menepuk daerah diatas alis mata timbul gerakan alis mata keatas yang berulang-ulang. (e). ophthalmoskopi. (19), (f). Computerizedtomogra(ii) refleks orbicularis oculi ; dengan Elektromyograf tidak phic scan. (6, 12, 13); (g). Clearance isotop Xe 133. (6, didapatkan respon dini maupun lambat. Dan (iii) rekaman 28); (h). RISA intrathecal. (28); (i). Angioscintigrafi. mikrotremor mata : dengan "piezoelectric strain gauge trans(1, 8, 12, 22, 28); (j). Fluorescin angiografi. (6) dan, ducer" tidak didapatkan mikrotremor mata. (k). Clearance nitrous oxide. (6). • Saraf otak ke VIII : (i) tes kaloris : dengan air es yang dimasukkan meatus akustikus tidak timbul nystagmus. Dan (ii) • Syarat-syarat Elektroensefalografi : " auditory brainstem respons" : dengan Elektromyograf tidak Satu saluran untuk Elektrokardiogram. didapatkan respon atau hanya timbul gelombang I, tetapi " Satu saluran untuk " non-cephalic lead " untuk deteksi artefak. 7atency " memanjang dan amplitudo normal. Lokalisasi leads : dua pada dorsum tangan, sebaiknya tangan • Saraf otak ke IX/X : refleks pharynx negatip dan refleks kanan, karena tidak dipengaruhi oleh jantung. menelan negatip. Satu saluran untuk pernafasan atau gerakan mata. • Pernafasan : pa02 lebih tinggi dari paCO2. Apneic diffusion Elektrode dimanipulasi secara periodis. oxygenation : diperlukan periode apneu selama tiga sampai ( 5).

Saraf otak ke IX/X : refleks refleks menelan. (6,9,19)

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

11

lima menit sesudah diberikan ventilasi dengan 100% 02 dan ventilator dilepas selama 15 menit.

terpenting untuk menegakkan diagnosa adalah pemeriksaan klinis.

• Tekanan darah : (i) Mendadak turun dan tidak akan naik walaupun diberi vasopressor.(ri)adanyaCushing reflex,dimana tekanan darah meningkat bila tekanan intrakranial meningkat.

Penentuan diagnosa oleh dua dokter yang tidak ada sangkut pautnya dengan program transplantasi.

• Suhu : otak kurang dari 25° C — 29° C. dan tubuh kurang dari 28°C — 32°C. • Parasimpatis : (i) Tes Atropin 2 mg yang disuntikkan secara intravena tidak menimbulkan tachycardia. (ii) Tes dengan beta blocker : misalnya propanolol terjadi bradikardia. Dan (iii). Tes dengan simpatikomimetika misalnya adrenalin atau isuprel, terjadi tachycardia. • Aliran darah otak : Dengan Doppler : didapatkan aliran darah balik yang berlawanan dengan arah arusnya dengan sistole pada waktu diastole. Angiografi serebral pada arteri carotis didapatkan kontras berhenti sampai dicarotis siphon. Arteriografi dari arteri vertebralis mendapatkan aliran darah yang lambat dan menyempit setinggi foramen magnum. Echoencephalografi tidak didapatkan pulsasi echo. Perbedaan isi 02 arteri carotis dan vena jugularis tidak di dapatkan perbedaan.

KEPUSTAKAAN: 1.

ASCHWAL, S. DKK. : Radionucleide bolus angiography. A technique for verification of brain death in infants and chidren. J. of Ped. 91 (5) : 722, 1977.

2.

BARONESE, H.A.H. VAN TILL : Doodsdiagnostiek ten aanzien van irreversibel comateuze beademde patienten : enkele conclusies uit een literatuuronderzoek. Ned. T. Geneesk . 119, (12): 453, 1975.

3.

BEECHER. H.K. : After the definition of irreversibel coma. New Engl J. of Med 281 : 1070, 1969.

4.

BEECHER, H.K. : A definition of irreversibel coma. Report of the Ad Hoc Committee of the Hazvazd Medical School to examine the definition of brain death. Jama 205 : 85, 1968.

5.

BEKS, J.W.T. : De cushing-response bij verhoogde intracraniele druk. Ned. T. Geneesk. 17, (47) : 1770, 1973.

6.

BLACK. P. MCL. : Brain death, first part. New Engl. J. Med. 338 : 1978.

7.

BLACK. P. MCL. : Brain death, second part. New Engl. J. Med. 393 : 1978.

8.

BRAUNSTEIN. P. et al : A simple bedside evaluation for cerebral blood flow in the study of cerebral death. Am. J. Roentgen. 118 : 757, 1973.

9.

CHANDRA. B. : Cerebral death dipandang dari sudut neurologi

Ophthalmoskopi menunjukkan pengendapan di arteri retina. "

Computerized tomografic scan hanya menunjukkan kausa K.O. dan bukan K.O.nya sendiri. Teknik yang lebih baru menggunakan tomografi transmisi dan emisi dapat diketahui perubahan dari perfusi dan metabolisme otak. Tidak didapatkan Clearance isotop Xe 133. Radioisotop serum albumin (RISA) intrathecal dengan jarum khusus tampak penghentian total dari bahan radioaktip ditempat suntikan. Angioscintigrafi dengan radioisotop Tc99m secara intravena didapatkan gambaran tipe I paling sedikit selama satu jam. Dengan gamma camera nampak isotop berhenti dibasis otak. Pada Fluorescin angiografi dengan menyuntikkan fluorescin kedalam vena subclavia, tampak di arteri ophthalmica lebih lama dari 30 detik. Clearance Nitrous oxide menunjukkan aliran yang lambat dari aliran darah otak. RINGKASAN. Akhir-akhir ini K.O. dianggap penting artinya, karena fasilitas perawatan intensip yang terbatas dan mahal serta kemajuan dalam program transplantasi. Berbagai kriteria yang dianut oleh berbagai negara telah dibicarakan. Dua mekanisme primer yang menyebabkan syndrom K.O. adalah : kegagalan jantung dan oedema otak massip. Diagnosa K.O. ditetapkan berdasarkan : pemeriksaan klinis neurologis, elektroensefalografi dan tes aliran darah otak, diantaranya angiografi serebral, echoensefalografi dan pemeriksaan Doppler yang dapat dilakukan di Indonesia. Tetapi yang 12

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

.

10.

COAKLEY, D. et al : The ocular microtremor record as a potential procedure for establishing brain death. J. of Neurol. Sc. 31 : 199, 1977.

11.

CRAIB, A.R. et al : Coma and cerebral death. The E.E.G. handbook. The Vancouver General Hospital, 18 — 1, 1972.

12.

De Vlieger. M. et al. : Enkele technische aspecten van de diagnostiek van hersendood. Ned. T. Geneesk. 122, (2) : 1978.

13.

DRAYER, B.P. : Brain death. New EngL J. Med. 299 : 1314, 1978.

14.

Editorial : Brain death. Brit. Med. J, 1157, 1976.

15.

Editorial : Diagnosis of brain death. Brit. Med. J. 1187, 1976.

16.

Editorial : Brain death. Brit. Med. J. 356, 1975.

17.

Editorial : Diagnosis of brain death. Lancet, 1064, 1976.

18.

Editorial : Diagnosis of brain death. Lancet, 1069, 1976.

19.

Editorial : An appraisal of the criteria of cerebral death. Jama 237 : 982, 1977.

20.

FEIGIN. I. : The respirator brain. Arch. Neurol. 34 : 57, 1977.

21.

GOLDEN, P.F. et . : Experimental study of irreversible shock and the brain. J. Neurosurg., 39 : 434, 1973.

22.

GOODMAN. J.M. et al. : Confirmationof brain death at bedside by isotope angiography. Jama. 238 : 966, 1977.

23.

JOKELAINEN. M. et al. : Cephalic motor responses in brain death. Brit. Med. J. 828, 1977.

24.

KASTE. M. et al . : Diagnosis and management of brain death. Brit. Med. J. 525, 1979.

25.

Mehta, A.J. et al. : Orbicularis oculi reflex in brain death. J. of NeuroL Neurosurg. Psy. 39 : 784, 1976.

26.

MINAMI, T. et aL .: Hyperoxia of internal jugular venous blood in brain death. J. of Neurosurg., 39 : 442, 1973.

27.

O" DOHERTY. D.et al. : The problem of death. Handbook of Neurologic emergencies. 1 st ed., Toppan Co., Pte. Ltd., 1977.

28.

OUAKNINE. G. et al. : Laboratory criteria of brain death. ofNeurosurg., 39 : 429, 1973.

34.

SILVERMAN. D. et al. : Cerebral death and the electrcencephalogram. Jama, 209, (10) : 1505, 1969.

29.

PARVEY. L.S. et al. : Arteriographic diagnosis of brain death in children . Pediat. Radiol. 4 : 79, 1976.

35.

STARR. A. : Auditory brainstem responses in brain death. Brain, 99 : 543, 1976.

30.

PITTS. L.H. et al. : Brain death, apneic diffusion oxygenation and organ transplantation. The J. of trauma, 18, (3) : 180, 1978.

36.

STORM VAN LEEUWEN, W. : De betekenis van het elektroencephalogram bij het vaststellen van de dood. Ned. T. Geneesk. 1 1 3 (18) : 1969.

31.

PLUM. F., POSNER. J.B. : The diagnosis of stupor and coma. Ed. 2, Philadelphia F.A. Davis Co., 197 2 .

37.

UEMATSU. S. et al. : Pulsatile cerebral echo in diagnosis of brain death. J. of Neurosurg., 48 : 866, 1978.

32.

POWNER. D. J. et al. : The electroencephalogram in the determination of brain death. New Engl. J. of Med 502, 1979.

38.

WALKER. A.E. : The death of a brain. Johns Hopk., 190, 1968.

33.

ROSOFF, S.D. et al. : The E.E.G. in establishing brain death. E.E.G. Clin. Neurophysiol. 24 : 281, 1968.

39.

YOUNG. R.R . : Errors in the interpretation of E.E.G. s in a series of 250 patients with irreversible coma. E.E.G. Clin. NeurophysioL 37 : 430, 1974.

J.

Pengobatan Meningitis Tuberkulosa dengan gabungan Prothionamide-I N H, Ethambutol dan Streptomycin ( Laporan Pendahuluan ) dr. Djunaidi, W; dr. Gunawan, B ; dr. Fauziah B; dr. Sutadji R ; dr. Hendro S dan dr. Sartono. K. Bagian Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Dr. Sutomo . Surabaya.

SUMMARY Ten tuberculous meningitis patients who were seen by the authors in the Neurologic Department of the Dr. Sutomo Hospital or in private clinics in Surabaya, between 1977 — 1978 were treated with a combination of Prothionamide-INH, Ethambutol and Streptomycin. The outcome of this treatment was significantly better than INH/Strep./PAS regimen and if we compared with INH/ Rifampicin/Ethambutol combination, the results were almost the same. No serious side effects were encountered with this kind of treatment. These preliminary results are sufficiently encouraging to justify further controlled therapeutic trials.

PENDAHULUAN Tuberkulosa masih merupakan masalah besar di Indonesia maupun di negara-negara yang berkembang. Menurut laporan tahunan 1977 di Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya (16), tuberkulosa termasuk dalam sepuluh penyebab utama dari morbiditas dan merupakan 1,7% dari semua penderita yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya. Meningitis tuberkulosa adalah penyulit dari tuberkulosa yang mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bila tidak diobati. Oleh karena itu penyakit ini memerlukan diagnosa dini dan pemberian pengobatan yang cepat, tepat dan rasionil. Pemberian khemoterapi yang tidak tepat dan tidak cepat mengakibatkan kematian dan pengobatan yang terlambat mengakibatkan cacad yang menetap.

Berhubung meningitis tuberkulosa terutama menyerang pen derita-penderita yang kurang mampu (low socio economic), maka diusahakan untuk mencari gabungan obat-obatan anti tuberkulosa yang sifatnya ampuh namun harganya relatip tidak mahal. Gabungan obat-obatan Prothionamide — INH, Ethambutol dan Streptomycin rupanya sangat banyak memberi harapan. BAHAN DAN CARA KERJA Penyelidikan ini dilakukan atas penderita-penderita yang masuk Rumah Sakit di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya dan beberapa Rumah Sakit swasta di Surabaya selama periode tahun 1977 — 1978. Penderita-penderita ini semua berasal dari golongan yang kurang mampu. Diagnosa didasarkan atas : (i) Gejala-gejala klinik adanya rangsangan selaput otak misalnya kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinsky; (ii) Pemeriksaan cairan serebro-spinal menunjukkan : pleocytosis, terutama terdiri atas sel-sel lymfosit; kadar protein yang meningkat dan kadar glukose yang rendah (perbandingan glukose cairan serebro-spinal dan darah, kurang dari 0,67) pada waktu penderita masuk Rumah Sakit, atau pada perjalanan dari penyakit. Dan (iii) Ditambah dua atau tiga dari kriteria dibawah ini : • Ditemukannya kuman tahan asam pada hapusan (sedimen liquor/pellicle) dengan pengecatan Z.N. atau T.T.H. • Foto thorax menunjukkan adanya tuberkulosa misalnya lesi miliair, lymphadenopathia daerah hilus, penyakit endobronchial, infiltrat pada parenchym paru atau effusi pleura

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

13

• Anamnese kontak dengan penderita tuberkulosa aktif. Semua penderita pada waktu masuk Rumah Sakit dibagi dalam tiga kelompok stadium klinik (11, 12, 33) yaitu : Stadium I : Penderita sadar dan rasionil. Adanya gejalagejala rangsangan selaput otak. Tidak ada gejala-gejala neurologik fokal dan tidak ada hydrocephalus. Stadium II : Penderita agak bingung (confused). Terdapat gejala-gejala neurologik fokal misalnya hemiparesis, paralisis atau paresis dari otot mata ekstra-okuler. Stadium III : Penderita dalam keadaan stupor atau koma. Terdapat hemiplegi komplit atau paraplegia. Cara pemberian obat-obatan yang dipakai ialah sbb. : o PROTHIONAMIDE—INH : isoniazid 234 mg dan prothionamide 166 mg dalam satu kapsul diberikan dalam dosis satu kapsul pagi hari setelah makan dan dua kapsul pada malam hari sebelum tidur. Selain itu ditambah dengan niacinamide 75 mg dan pyridoxin HC1 25 mg, tiga kali sehari, untuk mencegah timbulnya effek sampingan (3). Bila masih mengeluh mual atau muntah dapat diberi prochlor-perazin tiga kali diberikan selama 18 bulan hingga dua 5 mg sehari. Obat. tahun. Anak-anak dibawah sepuluh tahun diberikan obat ini dengan dosis prothionamidenya 10 mg/kg berat badan per hari, dosis ini perlahan-lahan dinaikkan dalam waktu 15 hari sampai 20 mg/kg berat badan per hari (18); kekurangan INHnya diberikan sebanyak 20 mg/kg berat badan per hari. o ETHAMBUTOL dengan dosis 25 mg/kg berat badan per hari diberikan sekaligus, pagi sebelum makan. Dosis ini diberikan sampai sel liquor serebro-spinalis normal, selanjutnya diturunkan 15 mg/kg berat badan per hari dan kemudian dihentikan. Anak-anak kurang dari 13 tahun diberikan 15 mg/kg berat badan per hari. o STREPTOMYCIN diberikan tiap hari dengan dosis 1 gram (intramuskuler) per hari, sampai sel liquor serebro-spinalis normal : selanjutnya tiga kali seminggu dan kemudian dihentikan. Untuk anak-anak dipakai dosis 40 mg/kg berat badan per hari, maksimum 500 mg/kali. o DEXAMETHASONE tidak diberikan secara rutin pada semua penderita meningitis tuberkulosa. Pada stadium III diberikan pertama secara bolus 40 mg dan disusul tiap dua jam sampai dengan 5 mg; dosis ini dipertahankan selama enam sembilan hari, kemudian diturunkan dan dihentikan. Sebelum pengobatan dimulai, dilakukan pemeriksaan sebagai berikut : • darah lengkap (rutin) • urine lengkap • tes faal hati, SGOT, SGPT (kadang-kadang BSP) • kadar gula darah puasa dan post prandial • faal ginjal • pemeriksaan cairan serebro-spinal • pengecatan kuman tahan asam dari dahak, sedimen liquor serebro-spinal dan pellicle • foto thorax, sinus paranasales, mastoid • elektro-ensefalografi 14 Cermin Dunia Kedokteran No. 17, I980

• pemeriksaan visus dan yojana penglihatan. Semua pemeriksaan ini diulangi, tiap bulan setelah pengobatan, hanya pemeriksaan cairan serebro-spinal diulangi tiap minggu. Perkembangan gejala-gejala/tanda-tanda penyakit diikuti tiap hari. Semua penderita diikuti (follow-up) selama satu sampai dua tahun. HASIL—HASIL Sepuluh penderita yang dimasukkan dalam penyelidikan ini terdiri dari empat laki laki dan enam wanita. Usia berkisaz antara 14 — 50 tahun dengan umur rata-rata laki laki : 35,7 tahun dan wanita rata-rata 26 tahun (lihat Tabel I). Tidak dilakukan penyelidikan "double-blind." Terdapat dua penderita (satu laki laki dan satu wanita) dari Stadium I; enam penderita (tiga laki-laki dan tiga wanita) dari Starium II serta dua penderita (keduanya wanita) dari Stadium III (lihat Tabel II). TABEL I. JENIS DAN UMUR PENDERITA

Jenis

Jumlah penderita

Umur (tahun)

4 6

23—50 14—50

Laki-laki Wanita

Umur rata-rata (tahun) 35,7 26

TABEL II : KLASIFIKASI KLINIK

Jenis

Stadium Laki-laki

Wanita

Jumlah penderita

I II III

1 3 —

1 3 2

2 6 2

Total

4

6

10

Pada anamnesa didapatkan tujuh penderita (70%) yang mempunyai hubungan dengan penderita tuberkulosa aktif. Gejala yang paling sering terdapat adalah demam (pada sepuluh penderita), disusul dengan sakit kepala (pada sembilan penderita), muntah-muntah (pada delapan penderita) dan anorexia (pada delapan penderita) (lihat Tabel III). Tandatanda yang paling lazim adalah tanda rangsangan meningen (pada sepuluh penderita), kelainan saraf otak (pada tiga penderita) dan papil edema (pada tiga penderita) (lihat Tabel IV). Saraf otak yang terkena adalah nervus abducens (pada tiga penderita) dan nervus facialis (pada satu penderita) (lihat Tabel V). Tes kulit pada enam penderita menunjukkan reaksi positip terhadap tes tuberkulin kulit dengan garis tengah daerah indurasi kira-kira 10 mm.

TABEL VI : KELAINAN-KELAINAN FOTO THORAX

TABEL III: GEJALA-GEJALA WAKTU PEMERIKSAAN PERTAMA

Djunaidi (I978)

Penulis

Demam 100% Sakit kepala 90% Muntah 80% Anorexia 80% Konstipasi 20% Kejang -

Chandra (1976)

Idris (1976)

Smith (I975)

Tahernia (1967)

95 95 77,5 77,5 56,3 30

47 % 21 % 30 % 9%

68 % 52 % 76 % 66 % 7%

84,2 55,2 76,3 42,I 39,4

% % % % % %

% % %

Penulis

Djunaidi (1978)

Kelainan sesuai dengan TBC 40 % Miliair

Chandra (I976)

ldris (1976)

Tahernia ldris (1975) (1967)

72,5 %

72 %

69,7 %

26,3%

-

23,2 %

10

23,7 %

20 %

%

% % TABEL VII : HASIL PEMERIKSAAN DARAH

TABEL IV: TANDA-TANDA WAKTU PEMERIKSAAN PERTAMA

Djunaidi (1978)

Penulis

Kaku kuduk 100 % Kelumpuhan sazaf otak 30 %

Chandra (1976)

Idris (1976)

Smith (1975)

Tahernia (1967)

92,5

%

77 %

74,4 %

50

61,3

%

33 %

11,6 %

31,5 %

11,6 %

-

%

Tuberkel choroid

-

13,7

%

-

Papil edema

30 %

21,2

%

9%

9,3 %

-

%

5%

-

-

-

-

-

Hemiparesis

10 %

Monoparesis

10 %

20 -

Djunaidi (1978)

Chandra (1976)

Muller I972)

Kenaikan L.E.D. (>20 mm pada jam pertama)

90 %

80

%

60 %

Leucocytosis

30 %

42,5 %

40 %

Penulis

TABEL VIII : HASIL PEMERIKSAAN CAIRAN SEREBRO-SPINAL

Penulis - Tekanan meningkat

TABEL V: KELUMPUHAN SARAF OTAK

Penulis N. N. N. N N. N.

Oculomotorius Trocchlearis Abducens Facialis Auditorius Oculomot. + Abducens

Djunaidi (9I78)

Chandra (1976)

Idris (1976)

30 % 10% -

6,3 % 2,5 % 27,5 % 5 % -

9% 9% 2%

-

10%

-

Pada empat penderita menunjukkan kelainan radiologi dari thorax yang berupa infiltrat dan proses fibro-induratif pada paru-paru, sedangkan dua penderita menunjukkan gambaran miliair tuberkulosa (lihat Tabel VI). Pemeriksaan darah pada sembilan penderita menunjukkan kenaikan laju endap darah dan tiga penderita dengan leukositosis (lihat Tabel VII). Cairan serebro-spinal (lihat Tabel VIII) : Pada delapan penderita menunjukkan penurunan glukose dari cairan serebrospinal (ratio glukose cairan serebro-spinal dan darah kurang dari 0,67). Semua penderita menunjukkan pleocytosis, yang terdiri terutama atas sel-sel lymfosit, dimana dari tujuh penderita jumlah sel kurang dari 300/mm 3 dan tiga penderita lebih dari 300/mm3 . Sembilan penderita menunjukkan kadar protein yang meningkat.

Djunaidi (1978)

Chandra (1976)

10 %

23,7 %

- Leucocyte meningkat I00 % <100/mm 3 I00-300/ 70 % mm3 >300/mm 3 30 %

100 % 26,2 % 51,3 % 22,5 %

Smith (1975)

90,7 % -

Tahemia (1967)

sering 90 % 26 % 50 % 14 %

- Glukose menurun (dibandingkan dengan glukose darah 80 %

98,7 %

76,7 %

84 %

- Protein meningkat

92,5 %

88,4 %

76,8%

- Hapusan tanah asam + 20 %

45

%

41,8 %

-

- Kultur tahan asam +

55

%

90 %

-

-

-

Dua penderita menunjukkan kuman tahan asam dalam cairan serebro-spinalnya. Pada seorang penderita tekanan liquor serebro-spinalnya meningkat. Elektro-ensefalografi menunjukkan kelainan difus ringan pada empat penderita (lihat Tabel IX). HASIL PENGOBATAN Pada penyelidikan ini satu penderita (10%) meninggal, dua penderita (20%) sembuh dengan sequelae (hemiparesa, monoparesa dan kelainan saraf otak) sedangkan tujuh penderita (70%) sembuh tanpa cacat (lihat Tabel X). Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

15

Hasil pengobatan ini dibandingkan dengan pengobatan yang mempergunakan kombinasi gabungan INH-Streptomycin-PAS (CHANDRA, IDRIS, TAHERNIA) dan kombinasi INH-Rifampicin Ethambutol (CH A N D R A) (lihat Tabel X). Waktu yang dibutuhkan sel dan glukose cairan serebro-spinal untuk menjadi normal adalah 38,2 hari, pada terapi dengan INH-Streptomycin-PAS adalah 80 hari (CHANDRA), sedangkan kombinasi INH-Rifampicin-Ethambutol adalah 28 hari (CHANDRA) (lihat Tabel XII). Suhu badan menjadi normal setelah pengobatan 7,6 hari, pada pengobatan dengan INH-Streptomycin-PAS adalah 38 hari (CHANDRA), sedangkan pada kelompok dengan Rifampicin-Ethambutol 15 hari (CH A N D R A) (lihat Tabel XI). Effek sampingan pada pengobatan ini adalah rasa mual dan muntah-muntah pada dua orang penderita (20%), satu orang penderita (10%) timbul urtikaria dan satu penderita (10%) terdapat depresi mental (lihat Tabel XIII). TABEL IX : HASIL PEMERIKSAAN E.E.G.

Djunaidi (1978)

Chandra (1976)

40 %

30

%

— Kelainan difus ringan dengan gangguan fokal



25

%

— Kelainan difus hebat dan fokal



23,7

%

Penulis — Kelainan difus ringan

TABEL X : HASIL PENGOBATAN Djunaidi

Penulis

Pr/I/E/S

Chandra I/S/P

Idris Tahernia I/S/P I/S/P

Chandra I/R/E

— Meninggal

10%

34,2%

9,5

%

19%

42,1%

— Swquelae neurologik

20%

39,5%

6,95 %

53%

13,1%

— Sembuh sempurna

70%

26,3%

%

28%

44,8%

S = Streptomycin P = PAS

76,1

E = Ethambutol R = Rifampicin

I = INH Pr = Prothionami-

TABEL XI : LAMANYA SETELAH PERMULAAN TERAPI Lamanya rata-rata demam (hari)

Kelompok I/S/P (Chandra ) I/R/E (Chandra)

80 15

Pr/I/E/S (Djunaidi)

16

Cermin Dunia Kedokteran No. 1 7, 1980

7,6

TABEL XII : WAKTU GLUKOSE DAN SEL CAIRAN SEREBRO—SPINAL MENJADI NORMAL SETELAH PERMULAAN PENGOBATAN Lamanya rata-rata (hari)

Kelompok

80 28 38,2

I/S/P (Chandra) I/R/E (Chandra) Pr/I/E/S (Djunaidi)

TABEL XIII: PENYULIT OBAT—OBAT ANTI TUBERKULOSE Chandra I/R/E

Djunaidi Pr/I/E/S

Chandra I/S/P

— Vertigo



7,8 %

- Atrofi N. Opticus



7,8 %

2,4 %

15,7 %

2,4 %

— Gangguan fungsi hati

20 % —

— Urtikaria

10 %

13,1 %

— Depresi mental

10 %

Penulis

— Nausea/Muntah

— —

2,4 % 4,7 % —

PEMBAHASAN Tiga puluh tahun yang lalu meningitis tuberkulosa merupakan penyakit yang fatal dan rata-rata penderita meninggal dalam waktu 19,5 hari (17) atau tiga sampai empat minggu (21) setelah permulaan dari gejala meningitis. Dengan penemuan Streptomycin pada sekitar tahun 1940, INH pada tahun 1952 dan PAS 1946 maka angka kematian oleh karena meningitis tuberkulosa berangsur-angsur berkurang (27) namun masih tetap tinggi (berkisar antara 10 — 50%) dan insiden dari sequelae tetap tinggi (1,5,15,36,37). Ini mungkin disebabkan karena penderita datang pada stadium lanjut dengan defek neurologi yang hebat atau koma (38), selain itu kegagalan pengobatan, karena obat-obat anti tuberkulosa yang konvensionil (seperti INH, Streptomycin, PAS) tidak mempan (15). Dalam hal ini perlu dicari obat lain misalnya Rifampicin, Ethambutol dan Ethionamide atau Prothio namide (15, 33). Keberhasilan obat-obat anti bakteri pada pengobatan meningitis tuberkulosa tergantung pada penetrasi melalui bloodbrain-barrier yang sehat (orang normal) dan yang sakit (misalnya pada meningitis) (9). INH, Ethionamide dan Prothionamide dapat menembus sehat dan penderita meningitis, blood-brain-barrier orang jadi terdapat dalam jumlah yang cukup banyak di cairan serebro spinal pada orang yang sehat maupun pada meningitis (14, 15, 24) (lihat Tabel XIV). Ethambutol dan Rifampicin mencapai konsentrasi sedang dalam cairan serebro-spinal bila ada meningitis (15, 22, 23, 24, 28) sedangkan pada orang normal terdapat dalam konsentrasi yang sedikit atau tidak ada sama sekali (22, 23, 24, 28) (lihat Tabel XIV).

Streptomycin terdapat dalam jumlah yang cukup besar pada waktu meningitis, sedangkan pada orang normal tidak terdapat dalam cairan serebro-spinal (19, 24) (lihat Tabel XIV). PAS tidak dapat menembus blood-brain-barrier pada orang normal dan penderita meningitis (19, 24) (lihat Tabel XIV). Atas dasar tersebut diatas, pemberian PAS pada penderita meningitis tuberkulosa adalah tidak rasionil. Pada penelitian ini Prothionamide-INH diberikan terus sampai 18 bulan, oleh karena ia dapat menembus blood-brain-barrier pada orang sehat dan meningitis. Prothionamide aktif terhadap strain resisten, akan tetapi harus digabung dengan obat anti tuberkulosa lain oleh karena cepat timbul resistensi (15). obat-obat gabungan ethionamd Dikatakan (25) bahwa (ethionamide dan prothionamide) digolongkan sebagai secondary drugs yang jarang dipakai karena toksis. TABEL XIV : PENETRASI "BLOOD-BRAIN-BARRIER" DARI MACAM-MACAM OBAT ANTI TUBERKULOSA

Penulis

Dosis

Obat

M.I.C.

Liquor serebrospinal pg/ml (3 jam) Normal Meningitis TBC

Meyer

Streptomycin

Place

Ethambutol 25 mg/ kg

1

Pilhen

Ethambutol 25 mg/ kg

1

ForganSmith

INH

Hughes

1 gr

0

10

0

1

0.03

– 2

0,38

0.02 – 0.06

2

2

Ethionamide/ 2 x Prothiona250 mg mide

0.6 2.5

1.25

1.25

Sippel

Rifampicin

600 mg

0.005 – 2

0

0.23 – 0.33

Pilhen

Rifampicin

600 mg

0.005 – 2

0.03

1.75

Meyer

PAS

8– 12gr 1 – 5

0

0

M.I.C.

=

400mg

1–10



Minimal Inhibitory Concentration

Ternyata bahwa hal ini disebabkan oleh karena dosis tinggi ( 1 gram ), sedangkan pada dosis rendah sampai dengan 500 mg jarang ditemukan penyulit (25) dan dosis ini cukup untuk membunuh kuman-kuman tuberkulosa (MIC = Minimal Inhibitory Concentration) (14) (lihat Tabel XIV).

bersamaan dengan prothionamide dapat lebih mengurangi toksisitas yang rendah dari prothionamide (3). Lain penulis (10) mengatakan bahwa pemberian vitamin B kompleks tidak mengurangi insiden dari penyulit. Effek samping yang terbanyak dari obat-obat golongan ethionamide adalah anorexia, mual dan muntah. Orang-orang Afrika dan Asia sering lebih tahan terhadap keluhan ini dibandingkan dengan orang Eropa (18). Wanita mengeluh lebih banyak mengenai effek sampingan ini dari pada laki-laki (18). Pada penyelidikan ini dua orang (keduanya wanita) mengeluh anorexia, mual, muntah-muntah yang dapat diatasi dengan pemberian obat pada waktu mau tidur malam, bersamaan dengan sedativa atau obat tidur dan pemberian pro-chlor perazine. Penyulit dari fungsi hati tidak diketemukan pada penyelidikan ini. Seorang lagi menderita depresi mental yang dapat diatasi dengan pemberian obat anti depresi misalnya amitriptyline HC1. Seorang penderita dengan urtikaria hilang keluhannya dengan pemberian obat anti histamin.Lain penyulit tidak diketemukan. Pada penyelidikan ini Streptomycin dan Ethambutol diberikan sampai cairan serebro-spinal normal, berhubung kedua obat tersebut diatas menembus blood-brain-barrier dengan sukar sekali bila penderita mulai sembuh. Ethambutol dengan struktur kimia (2,2" — ethylene-diiminodi1 -butanol dihydrochloride), bila digunakan tersendiri kurang effektif dibandingkan dengan INH, Streptomycin, Ethionamide, equivalen dengan cycloserine dan lebih poten dari PAS (6). Keuntungannya strain yang resisten terhadap Streptomycin INH, Ethionamide atau kanamycin tidak menunjukkan cross resistance dengan Ethambutol (6). Ethambutol dengan dosis 25 mg/kg berat badan per hari dengan INH, lebih effektif dari pada dengan INH dan PAS. la dapat diberikan pada penderita penyakit hati, ginjal, jantung dan darah (6). Satu-satunya penyulit yang hebat adalah toksisitas mata ialah neuritis retrobulber dan defek yojana penglihatan perifer yang terutama terdapat pada orang laki-laki, menghilang dalam beberapa minggu bila obat tersebut dihentikan. Penyulit ini terutama timbul bila diberikan dalam dosis lebih dari 35 mg/ kg berat badan per hari (6). Pada penyelidikan ini tidak diketemukan penyulit ini (lihat Tabel XIII). Penyulit akibat Streptomycin juga tidak diketemukan pada kasus-kasus ini (lihat Tabel XIII). Kortikosteroid. Mengenai kortikosteroid masih tetap dipermasalahkan, tetapi yang sudah pasti, pemberian kortikosteroid secara rutin pada penderita meningitis tuberkulosa tidak dibenarkan (8, 12, 30).

SOMNER,

Insiden resistensi terhadap primary drug banyak sekali, sehingga pemberian kortikosteroid harus hati-hati (33).

S. (35) mengatakan bahwa prothionamide kurang toksis dibandingkan dengan ethionamide.

Kortikosteroid mempermudah penyebaran infeksi kedalam jaringan otak (12), selain itu kortikosteroid memperbaiki "blood/CSF barrier " sehingga obat-obatan yang pada fase akut dari meningitis dapat menembus barrier ini, tidak dapat lagi menembusnya (12).

A.R. (31) menemukan kenaikan dari serum transaminase pada pemberian prothionamide, yang menjadi normal kembali bila obat tersebut dihentikan. SU N A H A R A,

Pemberian Nicotineamide 75 mg dan Pyridoxin HCl 25 mg

Cermin Dunia Kedokteran No.17, 1980

17

Pemberian kortikosteroid tidak dapat mencegah timbulnya hydrocephalus, blok spinal yang komplit, dan infark otak massif akibat endarteritis (12). Sekresi kortisol endogen bertambah pada penderita meningitis aseptic dan meningitis purulenta, sehingga tidak ada gunanya pemberian steroid (20). Pada penderita-penderita Stadium III dengan infeksi tuberkulosa yang berlebih-lebihan yang menyebabkan reaksi meningitis berlebih-lebihan atau kegagalan aliran darah perifer, kortikosteroid sangat dianjurkan (I2). Dalam hal ini terdapat hyper-sensitivitas terhadap tuberkulo-protein sebagai respon terhadap masuknya kuman kedalam selaput otak dan otak (4).

Kombinasi Prothionamide—INH—Ethambutol dan Streptomycin jelas lebih unggul dari kombinasi INH—Streptomycin— PAS dan bila dibandingkan dengan kombinasi INH—Rifampicin—Ethambutol hasilnya hampir sama. Tak diketemukan effek samping yang hebat dengan cara pengobatan ini. KEPUSTAKAAN. 1.

ABUBAKAR. D. DAN TRASTOTENOJO. M.S. : Meningitis Tuberkulosa di bagian Anak R.S. Dr. Kariadi, Semarang. M.K.I. XXVII : 79 – 84, 1977.

2.

AMIRUDDIN, A. DAN DJUNAIDI, W : Tinjauan tentang beberapa aspek pengobatan meningitis tuberkulosa dewasa ini. K.P.I.K II F.K. – UNHAS, July, 1977.

3.

BARGETON. D: Toxicological study of 2591 Th. (Isotrevintix). ( A toxicological expert report ).

4.

BELL. W.E. ; CHUN. R.W.M. , JABBOUR. J.T. and MELOFF. K.L : Infections of the brain and spinal cord. In Swaiman and Wright. The practice of Pediatric Neurology. C.V. Mosby, St. Louis, 1975, p. 565.

5.

CHANDRA, B : Some aspects of tuberculous meningitis in Surabaya. Kongres Nasional Neurologi-Psikiatri-Neurochirurgi di Jakarta 8 – 10 Nopember 1976.

6.

Editor. Ethambutol. Tubercle 47 : 292 – 295, 1966.

7.

Editor. The Lancet I: 787, 1976.

8.

Editor. Tuberculous meningitis. Brit. Med. J.I. : 1 – 2, 1971.

INH—Ethambutol—Streptomycin—Rifampicin (7). Daya bakterisidnya lebih besar, bahaya hepato-toksik juga besar.

9.

FORGAN-SMITH. R. , ELLARD. G.A., NEWTON. D. AND MITCHISON. D.A. : Pyrazinamide and other drugs in tuberculous meningitis. Lancet II : 374, 1973.

10.

(3).

INH—Rifampicin—Pyrazinamide—Streptomycin atau Ethambutol (7). Daya bakterisidnya paling besar, tetapi resiko hepatotoksiknyapun besar.

FOX. W. , ROBINSON. D.K. , TALL. R. , MITCHISON. D.A. , KENT. P.W. AND MACFADYEN. D.M. : Astudy of acute intolerance to ethionamide, including a comparison with prothionamide, and of the influence of a vitamin B-complex additive in prophylaxis. Tubercle 50 : 125 – 127, 1969.

11.

(4).

INH—Streptomycin dengan dua diantara tiga second line drugs Cycloserine, Ethionamide dan Ethambutol (34).

GILROY. J. AND MEYER. J. S : Medical Neurology, 2nd. ed. Mc. Millan Co. Toronto, 1976, pp. 390 – 393.

12.

HOCKADAY. J.M. AND SMITH. H.M.V. : Corticosteroids as an adjuvant to the chemotherapy of tuberculous meningitis. Tubercle 47 : 75 – 91, 1966.

13.

HOFF. J.T : Intracerebral hemorrhage. In Conn, H.F. Current therapy 1978, pp. 675 – 677.

14.

HUGHES. I.E. AND SMITH, H : Ethionamide : its passage into the cerebro-spinal fluid in man. Lancet I: 616 – 617, 1962.

15.

IDRISS. Z.H, SINNO. A.A. AND KRONFOL. N.M.: Tuberculous meningitis in childhood. Am. J. Dis. Child. 130 : 364 – 365, 1976.

Brain edema yang timbul dapat juga diatasi dengan kortikosteroid, tetapi diperlukan dosis tinggi, misalnya 40 — 100 mg dexamethasone sebagai bolus, lalu diteruskan dengan 4 — 8 mg tiap dua jam selama enam sampai sembilan hari (13, 26, 32). Daya kerja untuk menurunkan tekanan intrakranial dan angka kematian lebih baik dari pada dengan dosis rendah (20 — 40 mg dexamethasone tiap hari ) (26, 32). Beberapa pola pengobatan meningitis tuberkulosa dengan kombinasi obat-obat anti tuberkulosa : (1).

(2).

INH—Ethambutol—Streptomycin (7). Kombinasi ini toksisitasnya rendah, tetapi respon kuman kurang.

Contoh yang terakhir ini yang digunakan pada penyelidikan ini. Hasil pengobatan dengan kombinasi ini pada penderita-penderita meningitis tuberkulosa (lihat Tabel X) jelas lebih unggul dari kombinasi INH—Streptomycin—PAS, dan bila dibandingkan dengan kombinasi INH—Rifampicin—Ethambutol hasilnya hampir sama, hanya sequelae lebih banyak, mungkin ini disebabkan karena penderita-penderita pada waktu masuk Rumah Sakit, sudah terdapat kelainan neurologik yang berat dan ireversibel.

16.

Laporan tahunan 1977, Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya.

17.

LINCOLN. E.M. AND SIFONTES, J.E : Tuberculous meningitis in children. Med. Clin. N. Amer. 345 – 362, 1953.

RINGKASAN

18.

Martindale The Extra Pharmacopeia, 27th. ed. 1977, pp. 1581– 1604.

Sepuluh penderita meningitis tuberkulosa yang dirawat di Bagian Saraf Rumah Sakit Dr. Sutomo dan di Rumah Sakit swasta di Surabaya pada tahun 1977 — I978 telah diberi pengobatan gabungan Prothionamide—INH, Ethambutol dan Streptomycin.

19.

MEYER. F.H , JAWETZ. E. AND GOLDFIEN. A : Review of medical pharmacology. 5th. ed. Asian editon, Lange Medical Publications, Maruzen Co. Ltd. I976, pp. 547 – 556.

20.

MIGEON. C.J. , KENNY. F.M , HUNG, W. AND VOORHESS. M.L: Study of adrenal function in children with meningitis. Pediatrics 40 : I63 – 182, 1967.

21.

NORRIS. F.H. , Garvey. P.H. AND SWALBACH. G.W : A mild form of tuberculous meningitis. Arch. Neurol. 10 : 398 – 401, 1964.

Hasil pengobatan ini dibandingkan dengan hasil pengobatan INH—Streptomycin—PAS dan INH—Rifampicin—Ethambutol dari lain penulis. 18

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

22.

PILHEU. J.A: Concentrations of ethambutol in the C.S.F. after oral administration. Tubercle 52 : 117 - 122, 1971.

23.

PILHEU. J.A., MARCHESE, J.H.L. AND GARBUGINA. R: Ethambutol and rifampicin in tuberculous meningitis. XII International Tuberculosis Conference, Moscow, August 1971, pp. 65 - 67.

24.

PLACE. V.A. , PYLE M.M. AND DELA HUERGO, J : Ethambutol in tuberculous meningitis. Am. Rev. Resp. Dis. 99 : 783785, 1969.

25.

RASJID. R. , YUSUF. A. , HANANTO. I. , AND SURYATENGGARA. W : Penggunaan prothionamide dalam kombinasi dengan INH dan streptomycin pada pengobatan tuberkulosis paru. Bagian Paru FKUI/RS Persahabatan-Jakarta.

26.

REULEN. H.J: Vasogenic brain edema. New aspects in its formation, resolution and therapy. Brit. J. Anaesth. 48 : 471 752, 1976.

27.

SCHACHTER, E.W. AND KARPICK. R.J : Relapsing tuberculous meningitis complicated by late sequelae. Am. Rev. Resp. Dis. 106 : 458 - 461, 1972.

30.

SMITH, C.C: Tuberculous meningitis. In Lock, S. Today's treatment I, 1976, London, Staples Printers Ltd. at the Stanhope Press, Rochester, Kent, 1976, pp. 377 - 378.

31.

SOMNER. A.R. AND BRACE. A.A : Changes in serum transaminase due to prothionamide. Tubercle 48 : 137 - 143, 1967.

32.

STOSSECK. K Institut fur Anaesthesiologie der Universitat Mainz Universitatskliniken. W. Germany. Personal communication. (Feb. 21 1978).

33.

STEINER. M. AND STEINER. P : Tuberculous meningitis during chemotherapy for pulmonary tuberculosis. Pediatrics 44 : 714 - 715, 1969.

34.

STEINER. P. AND PORTUGALEZA. C : Tuberculous meningitis in children. Amer. Rev. Resp. Dis. 107 : 22 - 29, 1973.

35.

SUNAHARA. S : Comparison of the clinical usefulness of ethionamide and prothionamide in initial treatment of tuberculosis. Tenth series of controlled trials. Tubercle 49 : 281 - 290, 1968.

36.

TAHERNIA. A.0 : Tuberculous meningitis. Clin. Ped. 6: 173 177, 1967.

28.

SIPPEL, J.E , MIKHAIL, I.A. , GIRGIS, N.I. AND YOUSSEF. H.H : Rifampin concentration in CSF of patients with tuberculous meningitis. Am. Rev. Resp. Dis. 109 : 579 - 580, 1974.

37.

VAUGHAN. V.C. , MCKAY, R.J. AND NELSON. W.E : Nelson Textbook of pediatrics. 10th. ed. Asian editon, W.B. Saunders Co., Philadelphia, Igaku Shoin Ltd. Tokyo, 1975, p. 640.

29.

SMITH. A.L: Tuberculous meningitis in childhood. Med. J. Australia 1 : 57, 1975.

38.

VISUDIPHAN. P. AND CHIEMCHANYA, S : Evaluation of rifampicin in the treatment of tuberculous meningitis in children . J. Pediatrics 87 : 983 - 986, 1975.

THE BACTERICIDAL BROADSPECTRUM ANTIBIOTIC WITH CONVENIENT t.i.d. DOSAGE REGIMEN WITHOUT REGARD TO MEALS

KALMOXILIN

®

(AMOXYCILLIN TRIHYDRATE)

THE BACTERICIDAL BROADSPECTRUM ANTIBIOTIC OFFERING : • • • • •

CONVENIENT T.I.D. DOSAGE REGIMEN WITHOUT REGARD TO MEALS OUTSTANDING ORAL ABSORPTION LOW INCIDENCE OF SIDE-EFFECTS LOW TOXICITY HIGH CURE RATE

AT A REALISTIC, ECONOMICAL PRICE.

SUPPLIEDAS : CAPSULES 250 MG TABLETS 125 MG SYRUP 125 MG/5ML

MAKE USE OF THE MANY BENEFITS OF K A L M O X I L I N ® !! Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

19

Gangguan Peredaran Darah Otak ( CVA) dr. A. Tanumihardja Unit Neurologi, Rumah Sakit Jiwa Ujung Pandang.

SUMMARY Although the brain is only 2% of the total body weight, it receives 16% of the total cardiac output and consumes about 20% of the total oxygen requirement of the body. Because of its richness in blood supply and of its high oxygen consumption, it is understandable that any disturbance of the cerebral blood flow will result in an alteration of the brain functions. Cerebral vascular accident is not a disease confined to the elderly as it is also encountered in the young. Arteriosclerosis and hypertension are the main cause of cerebral vascular accidents in the elderly, while in young men, CVA is mostly caused by lues cerebralis. The course of CVA depends on the type and the extent of the lesion and also of the presence or absence of other complicating factors. Prognosis is grave in the case of a haemorrhage of any appreciable size or if a major vessel is the site of a thrombus or embolus. Adonna AC—17 and dexamethasone can reduce the mortality rate.

PENDAHULUAN Meskipun berat otak manusia hanya 2% dari berat tubuh kita, akan tetapi otak manusia menerima 16% dari seluruh cardiac out put dan memakai kira-kira 20% dari oxygen supply untuk seluruh tubuh. Karena itu kita dapat mengerti, bahwa berkurangnya darah yang mengalir ke otak akan mengakibatkan gangguan fungsi otak. Dinegara barat penyakit pembuluh darah otak adalah penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit kanker. Dengan gangguan peredaran darah otak dimaksudkan suatu sindroma yang disebabkan oleh karena menghilangnya dengan tiba-tiba suatu fungsi dari susunan saraf pusat sebagai akibat dari hilangnya fungsi itu timbullah gangguan motilitas, sensibilitas dan sensorium. Gangguan fungsi ini dapat temporer atau permanent Yang temporer dapat disebabkan oleh spasmus dan yang permanen dapat disebabkan oleh sebab yang akan diuraikan pada bagian etiologi. 20

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

Gangguan peredaran darah otak ini tidak saja didapati pada usia lanjut, tetapi juga pada usia dewasa muda, bahkan pada anak-anak. ETIOLOGI Sebab-sebab dari gangguan peredaran darah otak dapat dibagi dalam dua golongan yang besar : • Golongan ekstra/kranial : bila tekanan arterial turun mendadak karena shock atau karena penyakit jantung. Gangguan cerebro vascular juga didapati bila konsentrasi oxygen dalam darah dengan tiba-tiba turun karena anemia yang berat. : Perdarahan; encephalomalacia • Golongan intra kranial akibat embolus atau thrombosis.Thrombosis dapat terjadi pada arteriosclerosis cerebralis, Winiwarter Buerger Cerebralis, lues cerebralis, pada masa post partum, infeksi-infeksi karena : diphtheri, typhoid fever, pertusis, tbc otak, encephalitis karena virus dan sebagainya. Tumor yang menekan pada pembuluh darah ; penyakit darah misalnya policythemia vera juga dapat menimbulkan gangguan peredaran darah otak. Penyakit-penyakit yang dapat mendatangkan perubahanperubahan pada dinding pembuluh darah diotak ialah : — Pada usia lanjut : disebabkan oleh arteriosclerosis cerebralis dan hipertensi. — Pada usia dewasa muda :Menurut TJ A N TI A N G LI N G dari 147 penderita dewasa muda (berumur antara 17—30 tahun) dengan cerebrovascular accident yang diteliti, didapatkan hasil seperti pada tabel 1. Tabel 1 : Penyakit yang dapat menimbulkan CVA (Tjan T.L.)1960.

Jumlah

Jenis penyakit

87 38 11 7 3

Lues Cerebrovasculer Winiwater Buerger Cerebralis. hipertensi. emboli. cerobral vascular deficieney; disebabkan oleh faktor ekstrakranial: shoek. tumor cerebri.

1

Pada anak-anak : Menurut FRANK : CVA dapat disebabkan oleh (i) Tumor yang menekan pada pembuluh darah otak atau tumor yang berasal dari jaringan otak ; (ii) Infeksi bakteri seperti T B C, diphtheri, pertussis. Infeksi Riketsia prowozeki, Infeksi Virus seperti Virus variola, varicela, virus yang menyebabkan parotitis epidemica, morbilli. Infeksi Parasit seperti plasmodium, schistosoma, eccinococcosis. Dan (iii) kelainan congenital.

Secara klinik biasanya didapati gangguan motorik berupa hemiplegia, monoplegia, jarang ada kelumpuhan tetraplegia, sering ada aphasia. Sering terjadi perubahan scnsibilitas berupa hemianaesthesia, sering juga didapati hemianopsia.

FREKUENSI

Tidak jarang pula didapati gangguan visus yang disebabkan oleh kontraksi spastik dari pembuluh darah retina. Kontraksi tersebut juga dapat menyebabkan passagere ambliopia dan amaurose.

Menurut ADAMS gangguan peredaran darah otak ini terdapat pada 25% dari autopsy routine dirumah sakit umum di Amerika Serikat.

Perubahan pada mata yang khusus untuk thromboangitis obliterans cetebralis adalah periphlebitis retinae dengan perdarahan dalam corpus vitreum.

Dari penyakit pembuluh darah otak ini ME R IT menemukan lebih banyak thrombosis (66 %) pada pemeriksaan klinik dibandingkan dengan perdarahan otak (20%); sedangkan pada pemeriksaan bedah mayat angka-angka ini hampir sama ialah untuk thrombsis 43% dan untuk perdarahan otak 47 — 50%. FIELDS mengatakan bahwa 75% dari penderita dengan gejala-gejala ischaemia pembuluh darah otak (ischemia cerebrovascular disease) mempunyai penyempitan (stenosis) atau penutupan (occlusi) yang letaknya ekstrakranial.

Gejala-gejala perubahan psikik menurut ROSE NHAGEN ialah : euforia, affek yang labil, mudah marah, pelupa dan judgement yang terganggu.

Menurut MEYER pada penderita dengan ischemia pembuluh darah otak dengan kelainan pada daerah carotis, 2/3 terletak ekstra kranial dan 1/3 intra kranial.

Pada arteriogram terdapat carotis syphon berdiri lebih tegak, nampak lebih sempit dan pada dinding terlihat suatu defek. Pada pneumoencephlographi sering terlihat perubahanperubahan pada ventriculus, terutama bila penyakit telah berlangsung agak lama (atrofi otak). Pada electroencephalographi tidak didapati perubahan yang khusus. Liquor cerebrospinalis menunjukkan adanya darah pada pendarahan.

SIMPTOMATOLOGI

Tekanan darah pada thromboangitis obliterans cerebralis biasanya juga tidak tinggi.

Gejala-gejala gangguan peredaran darah otak dapat dibagi dalam : (i) Gejala sebelum serangan. Dan (ii) Gejala selama serangan.

DIAGNOSA

• Gejala sebelum serangan : terutama terdapat pada cerebral thromboangitis obliterans kadang-kadang juga pada perdarahan, pada lues otak atau pada arteriosclerosis cerebralis. Gcjalanya ialah : sakit kepala yang kadang-kadang nampak sebagai migraine, perasaan pusing. Disamping itu kadang-kadang juga terdapat gangguan psikis yang oleh SC H NE I D E R dinamakan "Korperlich Begrundbaren psychosen. " • Gejala selama serangan : serangan biasanya terjadi secara akut dan puncaknya pada umumnya tercapai setelah beberapa jam, kadang-kadang setelah beberapa menit saja. Kematian yang disebabkan oleh perdarahan otak jarang terjadi dalam waktu kurang dari I5 menit, tidak secepat seperti pada miokard infark. Gejala selama serangan dapat dibagi dalam dua golongan : yaitu : Gejala umum dan gejala lokal. o Gejala umum : gejala umum sering terdapat pada suatu perdarahan, jarang terdapat pada lues, arteriosclerosis, cerebral thromboangitis obliterans atau emboli. Gejala itu ialah muntah-muntah, sakit kepala, bradicardi, papil oedem, kejang, coma, suhu yang meninggi dan perubahan tipe nafas (umpamanya tipe cheyne stokes). o Gejala lokal : gejala lokal tergantung dari pembuluh darah yang terserang. Gejala lokal ini penting untuk menentukan lokalisasi dari suatu lesi diotak, akan tetapi hal ini memerlukan pengetahuan anatoini yang cukup.

Perdarahan otak : perdarahan otak lebih banyak dijumpai pada penderita hypertensi. Serangan perdarahan yang biasanya terjadi mendadak pada waktu penderita sedang bekerja mengakibatkan menurunnya kesadaran sehingga penderita menjadi pingsan. Penderita nampak sakit berat, nafas mengorok, cepat idan dalam, serta meniup pada satu sisi dan suhu badan .menig Embolus : Embolus cerebri merupakan komplikasi dari penyakit jantung. Pada waktu terjadinya serangan, kesadaran biasanya tetap baik, penderita tidak nampak sakit berat, pernafasan, suhu badan, tekanan darah, tidak menunjukan kelainan. Pada pemeriksaan jantung terdapat adanya vitium cordis. Gejala neurologik sering kali menghilang dalam waktu tidak terlalu lama. Tetapi sewaktu-waktu serangan embolia dapat timbul kembali bila ada bagian dari sumber embolus yang terlepas. Thrombosis : pada Arteriosclerosis sering terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur atau pada waktu penderita sedang istirahat. Kesadaran penderita tidak menghilang, gejala klinik biasanya tidak sehebat pada perdarahan otak. Lues cerebralis : Wassermann — Kahn reaction biasanya positip baik dalam darah maupun dalam liquor cerebrospinalis. Winiwarter Bucrger Obliterans Cerebralis : untuk keperluan diagnose sarjana SPA menyebut empat pasal yaitu :(i) Biasanya ada anamese yang panjang dengan gejala cerebral yang menghilang dan timbul lagi. Gejala cerebral ini pada akhir nya tidak lagi menghilang, biasanya didapati pada laki-laki; Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

21

(ii) Gejala Winiwarter-Buerger pada pembuluh darah tungkai; (iii) Ada perubahan pada pembuluh darah mata, berupa spasmus ; jarang ada periphlebilitis, bila gejala perphlebilitis ada, maka itu adalah khas untuk Winiwarter-Buerger cerebralis. Dan (iv) Bila penyakit telah lama berlangsung maka pada pneumoencephalograf, sering didapati atrofi dari otak. Tumor yang menekan pada pembuluh darah : gejala fokal dan kelainan pada neuroradiologram. Thrombosis karena infeksi : sering terjadi sesudah menderita suatu penyakit infeksi. Spasmus : Spasmus arteria pada permulaan penyakit tidak berlangsung lama dan timbul berulang-ulang, sehingga gejala yang timbul juga tidak berat dan berulang-ulang pula. Adanya spasmus arteria dapat ditunjukan dengan mencelupkan tangan penderita kedalam air dingin atau air es sewaktu dilakukan arteriografi carotis. Pada arteriogram arteria-arteria nampak menjadi kecil. PATOLOGI Jaringan otak sangat sensitif terhadap berkurangnya supply oxygen dan nutrient. Menurut DE VRIES baru dua hari setelah penutupan pembuluh darah terjadi degenerasi dari dinding pembuluh darah. WESTPHAL berpendapat bahwa substansia grisea otak hanya dapat hidup 5 sampai 10 menit bila aliran darah terhenti. Menurut VAN WULFFTEN PALTHE : tidak terdapat perbedaan azasi antara ancephalomalaise dan apoplexia sanguinis cerebri karena pada kedua-duanya sebab yang primer adalah sama, yaitu gangguan fungsionil peredaran darah di otak. Menurut SCHWARTZ semua apoplexia disebabkan gangguan fungsionil pada peredaran darah di daerah terminal pembuluh darah di otak. Gangguan fungsionil ini disebabkan oleh rangsangan dari suatu embolus yang terjepit atau oleh gelombang tekanan tinggi pada hypertensi. Menurut WESTPHAL dan BAR, faktor spasmus setempat dari pembuluh darah memainkan peranan penting. Mereka tidak melihat bahwa pada penderita dengan tekanan darah tinggi sering timbul kejang dari pembuluh darah dari tungkai maupun dari jantung. Oleh karena itu maka tidaklah mustahil, bahwa juga pada pembuluh darah otak timbul suatu spasmus. Karena spasmus dari pembuluh darah ini maka jaringan otak menjadi anaemis dan akhirnya terjadilah suatu nekrosa. Proses degenerasi ini akan menyebabkan timbulnya fermen autolytic yang sekunder dapat merusak pembuluh darah. Menurut BOEHNE : primair terjadi suatu nekrosa otak karena ischaemi. Ischaemi ini disebabkan oleh arteriosclerosis berat atau karena spasmus pembuluh darahekstra cerebral yang berlangsung lama. Sekunder pembuluh darah yang berjalan melalui daerah nekrotis juga akan mengalami perubahan, sehingga akhirnya terjadi perdarahan, apalagi bila tekanan darah menjadi tinggi.

PROGNOSA Prognosa gangguan cerebrovascular tergantung pada 22

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

• Sebabnya lesi : lues cerebri, arteriosclerosis, W—B cerebralis dan lain-lain. • Luasnya daerah yang terserang. • Adanya komplikasi (umpamanya pneumonia hypostatica, cystitis). • Apakah penderita cepat pergi berobat kedokter atau tidak. Kematian penderita lebih sering dijumpai pada perdarahan diotak dari pada thrombosis otak , dan belum pernah pada W—B cerebralis atau lues. TERAPI Pengobatan CVA dapat dibagi dalam : (i) Terapi symptomatik : mencegah pneumonia dan cystitis; (ii) Terapi hygienik dietetik : pada W — B cerebrlis, tidak boleh merokok, pada hypertensi tidak boleh makan garam dan sebagainya. Dan (iii) Terapi medicinal : hal ini ditujukan pada terapi umum dan terapi khusus. Terapi umum : Perawatan umum : Bila penderita tak sadar atau setengah sadar, maka penderita diletakkan dalam posisi yang tepat untuk mencegah kontraktur dikemudian hari. Tractus respiratorius harus bersih. Perawatan vesica urinaria : bila penderita tidak sadar perlu dipasang dawer catheter, yang harus diganti setiap tiga hari, bila ada konstipasi diberi enema. Bila ada kejang; diberi injeksi diazepam. Dosis untuk anakanak 1 mg/tahun umur dan untuk orang dewasa : 5—10 mg. Oxigen : dapat diberikan bila ada penyulit paru atau jantung. Terapi khusus : tergantung pada etiologinya.Pada thrombosis berikan AminophylIine; 2 x (5 — 10) cc setiap hari selama 10 — 14 hari. Kemudian diberi vasodilatator seperti Complamin 3 x(½ — 1) tablet atau N Z A: 3 x 50 mg. Bila karena lues cerebrovaskuler, maka diberi lueskuur : suntikan P.P. kristal 1,2 juta selama 10 hari berturut-turut, disamping obat-obat yang tersebut diatas. Terapi kombinasi : dengan Aminophyllindan N.Z.A., CHANDRA dari Surabaya memperoleh hasil pengobatan sebagai berikut : Diantara 38 orang penderita, dinyatakan baik 24 orang, cukup baik 10 orang, dan buruk 4 orang. Tetapi kombinasi, dengan Aminophyllin dan complamin, DJ U N A I D I dkk dari Surabaya memperoleh hasil pengobatan sebagai berikut : Diantara 20 orang penderita hasil pengobatan yang dicapai ialah 75 — 80%. Alasan pemberian Aminophylline pada fase akut ialah karena pada fase akut, waktu serangan terdapat penimbunan CO2 dan metabolit lain pada sekitar daerah yang terkena, maka sekitar daerah itu terdapat vasodilatasi maksimum(vasoparalysis). Vasodilatator hanya dapat melebarkan pembuluh darah di daerah yang terkena, dengan akibat tertariknya darah dari bagian yang terserang kebagian yang sehat (intracerebral steal syndrome), sebaliknya pemberian aminophylline pada fase akut (suatu vasopressor), menyebabkan tonus pembuluh darah disekitarnya bertambah. Meningkatnya tonus pembuluh

darah disekitarnya ditambah dengan meningkatnya cardiac output oleh rangsangan langsung dari aminophylline pada otot jantung, mengakibatkan aliran darah ke daerah yang terkena bertambah (inverse steal syndrome). Pada hemorrhagi sanguinea : Diberi hemostatica misalnya Adona AC 17 : 2 x 75 mg, setiap hari selama dua minggu. Daxtran — 40 , 10% dalam glucose 5% per infus ; dapat memperbaiki aliran darah dalam bagian-bagian otak yang mengalami ischaemia. Mula-mula dapat diberikan 500 cc dalam waktu satu jam, dilanjutkan dengan 500 cc lagi tiap 12 jam selama tiga sampai lima hari. Untuk mengurangi oedema otak dapat diberikan kortikosteroid umpamanya : Dexamethasone 10 mg, intra vena, dilanjutkan dengan pemberian 5 mg tiap enam jam selama dua hari pertama, kemudian 5 mg tiap delapan jam pada hari ketiga, kemudian tiap 12 jam pada hari keempat dan 5 mg pada hari kelima. Obat-obat yang memperbaiki metabolisme sel-sel otak seperti : encephabol, hydergine dapat pula membantu memperbaiki keadaan penderita. Obat-obat yang bersifat menurunkan metabolisme otak mungkin memberikan pengaruh yang baik; umpamanya : lytic coctail yang terdiri dari : 50 mg largactil, 40 mg phenergan dan 100 mg pethidine yang diberikan dengan infus glucose 5%. Setelah masa akut dilalui dan bila penderita masih hidup, maka dapat diberikan obat golongan vasodilatator seperti stugeron, N Z A, complamin dan lain- lain. Dalam masa rekonvalesensi, fisioterapi harus ditingkatkan untuk melatih anggota badan yang lumpuh. Angka kematian karena apoplexia sanguinea otak di Unit Neurologi R.S, Jiwa Ujung Pandang adalah 100%, dibagian Neurologi F.K.U.I. adalah 94%, jadi tidak berbeda jauh. Setelah Adona AC 17 dipergunakan dalam pengobatan ini maka angka kematian dibagian Neurologi F.K.U.I. menurun menjadi 65%, di Unit Neurologi R.S. Jiwa Ujung Pandang juga menurun menjadi 80%. KEPUSTAKAAN. 1.

ADAMES, R.D. and VANDER ECKEN, H.M; Vascular Disease of the Brain. Amer. Rev. Med. 4: 213, 1953.

2.

ALPERS. B.J. ; Clinical Neurology 3 rd Ed. F.A. DAVID Company Publisher Philadelphia.

3.

BAKER A.B. : Clinical Neurology. 2 nd Ed. A. Hoeber-Harper International edition jointly published by Harper & Row, NEW York, Evanston & London and JOHN WEATHERHILL, Inc. Tokyo, rcprinted 1965, Vol, 11 PP 577 – 581.

4.

DJUNAIDI W. et al : Penyelidikan pengobatan Thrombosis (CVA). Dengan Aminophylline-Complamin. Dibacakan pada Pertemuan Tahunan pertama PNPNCH pada tanggal 20 – 22 September, Surabaya, 1971.

5.

DJUNAIDI W. et al : Clinical Trial With complamin on patients with Cerebro Vascular Accident. Department of Neurology and Psychitry,Airlangga University, School of Medicinc, Surabaya Indonesia.

6.

Editor : Natural History of Cerebro-Vascular Disease. Lancet 1 : 75 – 76, 1970.

7.

FIELDS, W.S., NORTH R.R , HAS W.K. et al : Joint study of extra Cranial Artcrial Occlusions as a cause of stroke, I. Organisation of study and survey of patient population. J.A.M.A., 203 ; 955 – 960, 1968.

8.

FRANK R. FORD : Disease of The Nemous svstem in Infacy, Childhood and' Adolescencc.4 th Ed. Charles C. Thomas Publisher Springfield, llinois. 1960.

9.

GIBBETD, F.B. : Thc Diagnoscs and Management of Stroke. Practitioner, 204 : 497 – 505, 1970.

10.

GILCY, J. ct al : Trcatment of Acute stroke with Dextran 40. J.A.M.A., 240 : 293 – 298, 1969.

11.

MAHAR MARDJONO dan PRIGUNA SIDHARTA : Pengobatan Penyakit Saraf. P.T. Dian Rakyat 1967.

12.

NERRIT, H.H. : A Texbook of Neurology 1 lgaku Shoin Ltd. Tokyo, 1967. PP 165 – 170.

13.

MEYER, J.S. : Ischemic cerebro-vascular Disease (stroke). J.A.M.A. 183 : 237 – 240, 1963.

14.

PAULSON, O.B. : Regional cerebral Blood FIow in Apoplexy due to occlusion of thc middle cerebral artery. Neurologv, 20 : 63 – 77, 1970.

15.

SOEMARGO. S. ct al : Adona AC 17. In Apoplexia sanguinea cerebri. Department of Neurology Medical Faculty, University of Indonesia .lakarta.

16.

SOEMARNO M. : Gangguan Peredaran Darah Otak ( CVA ) Cermin Dunia Kedokteran, 2/1 : 9 – 10, 1974.

17.

TJIANG TIANG LING : Gangguan Cerebro Vascularpada Orang Dewasa muda di Indonesia. Thesis, Universitas Airlangga, Surabaya, 1960.

st

Asian Edition.

SPERMISIDA BUATAN SENDIRI

Bila persediaan alat-alat kontrasepsi kebetulan tidak ada atau sedang habis, pemakaian spermisida-buatan-sendiri seperti tertera di bawah ini sedikit banyak dapat memberi perlindungan terhadap kehamilan (daripada tidak pakai kontrasepsi sama sekali). 1. Cuka dan air atau cairan jeruk (juice) dan air : satu bagian asam cuka atau cairan jeruk dicampur dengan 20 bagian air hangat merupakan spermisida yang efektif. 2. Minyak-minyak : semua jenis minyak goreng, termasuk mentega. 3. Larutan sabun : ini dapat dibuat dengan melarutkan 1—1½cm 3 sabun mandi biasa dalam satu liter air hangat. Perhatikan : sabun yang keras (misalnya yang mengandung karbol), sabun bubuk dan segala jenis detergen tidak boleh dipakai karena merusak dinding vagina !

Cara memakai : ambil segumpal kapas, kain atau spon; celupkan dalam salah satu larutan/cairan di atas; masukkan ke dalam vagina sampai menutupi cervix. Jangan memakai cairan spermisida di atas untuk irigasi/douching sesudah coitus, karena ini sama sekali tidak berguna. IPPF Family Planning Handbook for Doctors, 1974,104

:

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

25

Serangan lschaemia Otak Sepintas Lalu (SOS) Pencegahan dan Pengobatan * dr.DjunaidiWidjaja Bagian Ilmu P enyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/R.S.Dr. Sutomo Surabaya

PENGOBATAN SPESIFIK SUMMARY Management of Transient Ischaemic Attack (TIA) should be directed against the reduction of the risk factors, which includes control of hypertension, low fat & cholesterol diet, cessation of smoking, avoidance where possible of emotionally trying situations, the treatment of the underlying disorders and the use of anti-platelet agents. At present it is acceptable to use aspirin as a prophylaxis against TIA and also as a protection against completed stroke, especially in male patients. Sulfinpyrazone and dipyridamole do not reduce significantly the risk of stroke when given alone. Combination of aspirin (10 mg/kg body weight) and dipyridamole (2—5 mg/kg body weight) or aspirin and warfarin should be considered in patients whose TIA are refractory to treatment with aspirin alone. The benefit of the combination of sulfmpyrazone and aspirin awaits the results of other controlled trials. Carotid endarterectomy and the use of conventional anticoagulants are of doubtful value. There have been several encouraging reports on the results of STA-cortical MCA anastomosis, but further evaluation would be useful. Pencegahan dan pengobatan serangan ischaemia otak sepintas lalu (SOS) ditujukan pada (i) Pencegahan timbulnya atheroslerosis dengan cara mengurangi faktor risiko, (ii) Pengobatan kelainan yang mendasarinya (specific therapy), (iii) Pencegahtrombus dengan obat-obat anti-platelet, an timbulnya (iv) Antikoagulansia: pengobatan ditujukan pada faktor-faktor pembekuan darah, dan (v) Pembedahan. II) FAKTOR RISIKO (lihat bagan I dan Berhubung sebagian besar dari SOS disebabkan oleh karena atherosklerosis, maka faktor-faktor risiko penting sekali dikurangi, dengan cara (73) : — Memelihara tekanan darah arteriil pada atau dekat normotensi. — Menghentikan merokok — Diit rendah lemak/kholesterol. — Latihan fisik yang teratur. — Menghindari stress mental. * Lanjutan CDK no. 16 yll.

26

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

Langkah pertama dalam pengobatan SOS adalah mencari sebab-sebab dari SOS. Bila ini disebabkan oleh karena penyakit sistemik, umpama polycythemia, hemoglobinopathia, dysproteinemia, maka pengobatan ditujukan pada penyebab ini. Bila SOS disebabkan oleh karena kelainan kardiovaskuler, umpama emboli jantung, arteritis, penyakit katup-katup jantung, kala hipotensi (baik yang spontan maupun akibat obat), kelainan ritme jantung, sinus carotis yang sakit/peka, hipertensi maligna dan sebagainya, maka pengobatan ditujukan pada kelainan ini. OBAT-OBAT ANTI—PLATELET Menurut penelitian akhir-akhir ini, dikatakan bahwa SOS kebanyakan disebabkan oleh karena embolisasi dari trombosit, fibrin atau runtuhan-runtuhan atheroma yang berasal dari atherosclerotic plaque (52,61). Obat-obat anti-platelet mencegah trombosit menggumpal atau melekat satu sama lain, sehingga mencegah timbulnya trombosis. Ada dua teori mengenai pembentukan trombus, ialah sebagai berikut : TEORI TROMBOSIT Pada 10 tahun akhir-akhir ini banyak perhatian ditujukan pada sel-sel trombosit dalam pembentukan trombus (17) (Lihat Bagan II). Trombus arteri yang putih, terdiri atas kumpulan trombosit yang menggumpal, sel-sel darah putih dan sedikit fibrin, yang makin lama makin besar. Ekornya sebagian besar terdiri atas banyak sel-sel darah merah dalam rangkuman jaringan fibrin (lihat gambar I). Bila suatu pembuluh darah terluka atau bila ada atheromatous plaque yang mengadakan ulserasi, maka timbul tiga reaksi : 1. Fase pertama dari penggumpalan Pada fase ini trombosit melekat pada jaringan subendotil yang terkupas, lalu mengeluarkan faktor trombosit 3, suatu faktor yang mempercepat penggiumpalan dan mengakibatkan reaksi pelepasan dari trombosit. Serangan SOS didefmisikan sebagai gangguan fokal sensorik atau morotik yang timbul secara mendadak, yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke suatu area di otak untuk sepintas lalu; biasanya gangguan ini hilang dalam 24 jam. Serangan ini penting untuk diketahui karena sering merupakan pertanda akan datangnya serangan " completed stroke." — Red.

2. Fase kedua dari penggumpalan dan reaksi pelepasan Pada fase ini trombosit melepaskan zat-zat seperti : serotonin (5-hydroxy-tryptamin), kalsium, ATP, epinephrine, adenine nucleotide, kalium, faktor trombosit 4, ensim lysosim, zat yang merangsang pertumbuhan otot polos, prostaglandin, tromboxane A2, 12-hydroxyeicosatetraenoic acid (HETE) dan ADP. Bila trombosit mengalami reaksi pelepasan mereka menjadi mudah melekat satu sama lain dan menggumpal. 3. Reaksi memacu sendiri ADP yang dilepaskan pada waktu reaksi pelepasan menyebabkan reaksi pelepasan itu sendiri. Benda lain yang menyebabkan reaksi ini adalah PGE2, serotonin dan trombin, sehingga proses reaksi ini memacu sendiri. Asam-asam lemak bebas yang jenuh, merokok dan tekanan batin menyebabkan bertambahnya penggumpulan trombosit.

Obat-obat anti-platelet dibagi dalam 3 golongan : 1. Golongan antihistamine dan antiserotonin umpama cyproheptadine dan chloroquine. 2. Golongan pyrimido-pyrimidine umpama dipyridamole. 3. Obat-obat anti-inflammasi yang non-steroid dan analgetika umpama aspirin sulfinpyrasone dan sebagainya. TEORI PROSTAGLANDIN TERUTAMA PROSTACYCLIN (25, 26, 54) Prostaglandin adalah bahan vaso-aktip yang kuat. Ia disintesa dari asam lemak tak jenuh, yang terdapat di fosfolipid dari membran sel semua jaringan mammalia. Precursor utama dari prostaglandin pada manusia adalah asam eicosatetranoic atau asam arachidonik (AA).

BAGAN 1: TEORI TERJADINYA ATHEROSKLEROSIS

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

27

Asam arachidonik (AA) ini berasal dari asam lemak essensiil, asam linoleik yang terdapat di sayuran dan daging dari binatang. AA didalam badan dimetabolisir sebagai berikut : (lihat bagan IV).

PGH2 ini mengalami nasib sebagai berikut : • PGH2 ini dipecah-pecah secara ensimatis atau nonensimatis menjadi prostaglandin yang stabil : PGE2, PGF2a dan PGD2.

AA dilepaskan dari membran fosfolipid oleh ensim phospholipase A2. Sekali dilepaskan, AA cepat dimetabolisir melalui 2 jalur :

• Oleh ensim lain bernama prostacyclin synthetase, PGH2 diubah menjadi prostacyclin = PGI2 (half life 2—3 menit) dan selanjutnya dipecah menjadi 6-oxo-PGF 1 a. Ini terjadi di dinding pembuluh (endotil) arteri atau vena (25, 54).

1. Dengan perantaraan ensim lipoxygenase (yang terdapat di trombosit, paru-paru dan lekosit) AA dipecah-pecah menjadi senyawa-senyawa yang tak stabil, dikenal sebagai hydroperoxy-arachidonic acids. Sedikit diketahui mengenai sifat-sifat dari senyawa-senyawa ini. 2. Dengan perantaraan ensim cyclo-oxygenase (yang terdapat dalam membran dari semua sel). AA dipecah-pecah menjadi cyclic-endoperoxide yang tak stabil (PGG2) kemudian benda-benda ini diubah menjadi endoperoxide lain yang tak stabil, PGH2.

28

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

BAGAN III.

PERANAN TROMBOSIT PADA PEMBENTUKAN SUATU TROMBUS

BAGAN IV. METABOLISME ASAM ARACHIDONIK

Keterangan : AA PGG2 PGH2 ASA PGI2 TXA2

= = = = = =

asam arachidonik cyclic endoperoxide unstable endoperoxide aspirin prostacyclin thromboxane A2

• Oleh ensim thromboxane synthetase, PGH2 diubah menjadi thromboxane A2 (TXA2) yang stabil (half life 30 detik) dan selanjutnya menjadi thromboxane B2 yang stabil (25, 54). Sifat-sifat thromboxane A2 dan Prostacyclin (54, 55) Thromboxane A2 yang dibentuk didalam trombosit adalah produksi utama dari endoperoxide. Zat ini adalah aggregator trombosit yang kuat dan dapat menyebabkan konstriksi dari otot polos arteri pada percobaan in vivo dan in vitro. Prostacyclin yang terbentuk di dinding pembuluh darah (arteri maupun vena) mempunyai sifat vasodilatasi dan mencegah penggumpalan trombosit. Prostacyclin memacu adenylcyclase trombosit sehingga terbentuk banyak cyclic AMP (cAMP) didalam trombosit, yang belakangan ini mempunyai effek anti-aggregasi (lihat bagan V dan VI). Prostacyclin dan thromboxane A2 terbentuk dari endoperoxide yang sama. Kedua zat ini terdapat dalam keadaan seimbang. Ini sesuai dengan distribusi dari prostacyclin synthetase yang terdapat dalam jumlah yang besar di intima dan berkurang dalam konsentrasi secara progressip dari intima ke adventitia. Akan tetapi konsentrasi dari unsur-unsur pro-aggregasi bertambah dari subendotil ke adventitia. Jadi lapisan endotil mempunyai sifat anti-aggregasi dan lapisan luar dari dinding pembuluh darah trombogenik atau memacu penggumpalan. Oleh karena prostaglandin endoperoxide dan thromboxane A2, mengurangi aktivitas adenylcyclase trombosit, maka Moncada (54) mengajukan teori bahwa cyclic-AMP mempunyai fungsi mengatur pada trombosit, yang tergantung pada keseimbangan antara thromboxane A2, prostaglandin endoperoxide dan prostacyclin.

TXB2 1 II 111

= = = =

thromboxane B2 prostacyclin synthetase thromboxane synthetase competitive reversible inhibition = menghambat

Prostacyclin dilepaskan kedalam aliran darah arteriil oleh paru-paru. Atas dasar penemuan ini, diusulkan teori bahwa prostacyclin adalah hormon yang beredar (circulating hormone), yang secara tetap mengaktivir adenylcyclase trombosit; menambah jumlah cyclic AMP dan membuat trombosit kurang bergumpal. (lihat bagan V). █

ASPIRIN (ASA)

Cara kerja dan penyelidikan aspirin in vitro (47, 54, 55) ASA dosis rendah menghambat cyclo-oxygenase dan oleh karena itu menghambat pembentukan thromboxane A2 dan prostacyclin. Akan tetapi cyclo-oxygenase trombosit lebih peka (31 X) terhadap blokade aspirin dari pada cyclo-oxygenase dinding pembuluh darah (vessel wall cyclo-oxygenase), sehingga terbentuk lebih banyak prostacyclin. Aspirin menghambat ensim cyclo-oxygenase secara irreversibel dengan cara acetylating. Oleh karena trombosit selama hidupnya (9—13 hari) mengsintesa sedikit protein, maka penghambatan ini berlangsung selama trombosit itu hidup. Jadi satu dosis tunggal terapeutik akan mengakibatkan kerusakan trombosit selama satu minggu. Satu tablet aspirin (325 mg) mengurangi 90% dari aktivitas cyclo-oxygenase trombosit dan hambatan ini hanya mulai berkurang 2 hari kemudian (54). Satu dosis rendah dan tunggal dari aspirin (0.3 mg) menambah waktu perdarahan dari kulit pada manusia, sedangkan dosis besar tidak (3.9 gr) (90). Menurut penyelidikan Moncada (55) aspirin 5 mg/kg berat badan tak mempunyai pengaruh disaggregasi, dan dosis 10 mg/kg berat badan menyebabkan disaggregasi ringan tapi lama, namun aspirin 150 mg/kg berat badan tak mempunyai pengaruh disaggregasi sama sekali. Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

29

Penjelasannya sebagai berikut : Aspirin dosis rendah menghambat secara memilih (selective) cyclo-oxygenase trombosit, jadi mencegah pembuatan proaggregator thromboxane A2, akan tetapi cyclo-oxygenase pembuluh darah masih dapat melepaskan prostacyclin kedalam aliran darah. Dosis tinggi aspirin tak hanya menghapus pembentukan thromboxane A2, akan tetapi juga mencegah pembentukan prostacyclin. Penyelidikan klinis dengan Aspirin Mundall (56) memberi aspirin 4 x 600 mg dan Harrison (35) 1 x 600 mg aspirin pada penderita dengan amaurosis fugax dengan hasil yang baik. Dyken (21) dapat menghentikan serangan SOS pada 2 penderita bila dosis aspirinnya dinaikkan dari 2 x 300 mg menjadi 2 x 600 mg sehari. Lain penyelidikan yang diawasi (controlled) (37) mengatakan bahwa aspirin 325 mg per hari tak berhasil mencegah ischemia otak. Sandok (64) menganjurkan pemberian aspirin 2 x 650 mg per hari pada pasien yang menderita SOS 2 bulan atau lebih,selama 1 tahun. Fields (29) mengatakan bahwa bila titik akhir dibatasi pada kematian atau infark otak atau retina, maka tak ada perbedaan berarti antara pengobatan aspirin dan placebo. Bila titik akhir adalah SOS, kematian, infark retina dan otak yang dikelompokkan menjadi satu, maka aspirin menunjukkan keuntungan yang berarti. Barnett (9,61) pada penyelidikan seksama di Canada menemukan bahwa aspirin 1300 mg sehari lebih bermanfaat dari

pada sulfmpyrazone 600 mg per hari. Ini terutama pada penderita laki-laki dengan SOS berulang-ulang dan normotensi. Pada laki-laki terdapat 48% penurunan kemungkinan terjadinya stroke atau meninggal, tapi tidak pada wanita. Penjelasan mengapa aspirin tak berguna pada wanita adalah sebagai berikut : 1. Kurangnya hambatan aktivitas cyclo-oxygenase trombosit pada wanita. 2. Pada wanita faktor darah dan vaskuler yang menghambat penggumpalan trombosit, memegang peranan yang lebih utama dibandingkan dengan laki-laki. 3. Kepekaan yang lebih besar dari cyclo-oxygenase vaskuler terhadap aspirin pada orang wanita. Pengaruh sampingan dari aspirin adalah hematemesis dan melena (2.1%), nyeri diulu hati, mual, muntah-muntah, rasa tak enak dibagian atas dari abdomen. Hasil penyelidikan penulis dengan aspirin pada penderita dengan SOS-SAC di praktek partikelir dan di rumah sakit swasta, yang diikuti selama 40 bulan adalah sebagai berikut : 30 penderita SOS-SAC (25 penderita laki-laki dan 5 penderita wanita) diberikan aspirin 3 x 200 mg sehari. Usianya rata-rata 62 tahun, sedangkan 32 penderita (28 laki-laki dan 4 wanita) sebagai kelompok kontrol, hanya diberikan vitamin dan vasodilator. Usia mereka rata-rata 59 tahun. Dari 30 penderita yang diobati dengan aspirin, 1 penderita (3.3%) meninggal akibat penyakit kardio-vaskuler dan 1 penderita (3.3%) meninggal akibat perdarahan otak.

BAGAN V PENGATURAN FUNGSI TROMBOSIT OLEH PROSTACYCLIN ) ( MODIFIKASI DARI MONCADA

Keterangan A.A. PG12 cAMP PG

30

= = = =

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

asam arachidonik prostacyclin cyclic—AMP prostaglandin

= =

prostacyclin synthetase thromboxane synthetase

= =

memacu menghambat

Pada kelompok kontrol, yang terdiri atas 32 penderita, 2 penderita (6.25%) meninggal akibat CVA thrombosis dan 7 penderita (21.87%) meninggal akibat penyakit kardio-vaskuler. (lihat tabel I) TABEL 1 HAS1L PENGOBATAN ASPIRIN PADA SOS-SAC ( Djunaidi W. 1979)

KELOMPOK Meninggal akibat CVA thrombosis Meninggal akibat Kardiovaskuler Meninggal akibat perdarahan otak CVA thrombosis (hidup) SOS berulang

ASA 0 1 (3.3%) 1 (3.3%) 1 (3.3%) 3 (10%)

KONTROL 2 7 0 3 7

(6.25%) (21.87%) (9.37%) (21.8%)

Pengaruh sampingan yang hebat tak diketemukan pada aspirin dosis rendah ini, hanya nyeri ulu hati yang sembuh bila aspirin diberikan bersamaan dengan antacida atau diberikan tengahtengah makan. Pada kelompok aspirin, 2 penderita meninggal pada bulan ke 2 setelah SOS, sedangkan pada kelompok kontrol 4, 2, 2 dan 1 orang meninggal berturut-turut pada bulan ke 2, 6, 9 dan 15 setelah SOS. Bila dihitung secara statistik maka p < 0.01 (bermakna). (lihat gambar II) Setelah bulan ke 15 tak ada seorang yang meninggal, baik pada kelompok aspirin maupun pada kelompok kontrol.

Dosis Aspirin Penyelidikan seksama di Canada (9,61) dan Sandok (64) dari Mayo Clinic menganjurkan pemberian 1300 mg sehari. Moncada (55) mengatakan bahwa 10 mg/kg berat badan menyebabkan suatu disaggregasi ringan yang lama. Pengalaman klinis kami di Indonesia menunjukkan bahwa 600 mg Aspirin per hari sudah cukup. DIPYRIDAMOLE Cara kerja dipyridamole (17, 26, 54) (lihat bagian VI) Dipyridamole menghambat pengambilan adenosine, dan adenosine ini inempunyai pengaruh anti-pengguinpalan dan vasodilatasi yang kuat. Pengaruh anti-penggumpalan dilangsungkan juga melalui penghambatan dari phosphodiesterase dalam trombosit dan phosphodiesterase inilah yang menghambat pengrusakan dari cAMP sehingga cAMP bertambah banyak. cAMP ini mempunyai pengaruh anti-penggumpalan. Prostacyclin mencegah trombosit menggumpal dengan cara menambah cAMP trombosit dan pengaruh ini diperhebat dengan penghambatan dari phosphodiesterase. Jadi dipyridamole memperkuat pengaruh prostacyclin terhadap trombosit. BAGAN

VI

TITIK TANGKAP KERJA DIPVRIDAMOLE

GAMBAR II HASIL PENGOBATAN ASPIRIN PADA SOS • SAC (Djunaidi W. 1979)

Penyelidikan diklinik dengan dipyridamole

Kesimpulan pemakaian Aspirin diklinik Penyelidikan di Amerika Serikat, Canada dan Heidelberg menyimpulkan sebagai berikut : (85) — Aspirin harus dipertimbangkan sebagai terapi SOS, bila tak ada kontra-indikasi terhadap aspirin. — Aspirin paling berguna untuk : laki-laki dengan SOS; SOS yang multipel; lesi vaskuler yang cocok; dysfungsi dari sistim arteri carotis. Lama pemberian Aspirin Sandok (64) menganjurkan pemberian Aspirin selama 1 tahun, tapi lain penulis (89) menganjurkan pemberian seumur hidup.

Acheson dkk. (1) melaporkan bahwa dipyridamole 400—800 mg per hari tak mempengaruhi frekwensi SOS, ischemic stroke atau kematian. Lain penulis (43,64) mengatakan bahwa dipyridamole tak berguna untuk mencegah stroke pada penderita dengan SOS. Pada katup jantung prosthetic, dipyridamole tak mempunyai pengaruh yang berarti, kecuali bila digabung dengan antikoagulansia (27). Moncada (54) mengatakan bahwa percobaan-percobaan penggumpalan trombosit dilakukan pada plasma jenuh troinbosit (platelet rich plasma), 15—30 menit setelah pengambilan contoh darah. Pada waktu ini hampir semua prostacyclin dalam darah dan cAMP dalam trombosit menghilang. Ini menjelaskan mengapa dipyridamole lebih aktip in vivo dari pada in vitro. Ini menerangkan juga mengapa konsentrasi dipyridamole yang mempunyai khasiat anti-trombus in vivo tak mempunyai pengaruh in vitro. Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

31

GABUNGAN ASPIRIN DAN DIPYRIDAMOLE █ Moncada (55) menemukan bahwa aspirin 150 mg/kg berat badan dan dipyridamole 3 mg/kg berat badan tak mempunyai khasiat disaggregasi, sedangkan ASA 10 mg/kg berat badan dan dipyridamole 3 mg/kg berat badan mempunyai khasiat antipenggumpalan (disaggregation). Honour et al (86) mengatakan bahwa dosis rendah aspirin 12 mg/kg berat badan dan 2 mg/kg be?at badan dipyridamole mempunyai khasiat antitrombus yang synergistik pada kelinci percobaan. Penjelasannya sebagai berikut : Dalam dosis rendah, aspirin memblokir secara memilih (selective) pembentukan thromboxane A2 dan dengan ini bekerja synergistik dengan dipyridamole sebagai obat antitrombus, oleh karena cyclo-oxygenase pembuluh darah (vessel cyclo-oxygenase) masih dapat membentuk prostacyclin. Dalam dosis tinggi aspirin memblokir pembuatan prostacyclin dan thromboxane A2, sehingga menetralkan pengaruh dipyridamole. Jadi dipyridamole hanya berguna bila ada prostacyclin yang beredar. Bila ada defisiensi prostacyclin akibat dosis tinggi aspirin, penyakit tertentu atau zat lain penghambat ensim, maka dipyridamole tak berguna. Penyelidikan klinis dengan gabungan aspirin/dipyridamole Pada SOS yang refrakter terhadap pengobatan dengan aspirin, dapat dicoba dengan gabungan aspirin/dipyridamole (64) Kho L.K. dkk (87) mendapat hasil yang baik pada pengobatan DIC (disseminated vascular coagulation) akibat demam berdarah, dengan dosis aspirin 10 mg/kg berat badan dan dipyridamole 5 mg/kg berat badan. SULFINPYRAZONE █ Cara kerja sulfinpyrazone Sulfinpyrazone menghambat penggumpalan dengan cara "competitive reversible inhibition" (lihat bagian IV) dengan A.A. Pengaruh ini dapat diatasi dengan rangsangan penggumpalan yang kuat (strong aggregating stimuli) dengan cara pembentukan konsentrasi tinggi dari asam arachidonik (10). Penyelidikan klinis dengan sulfinpyrazone Walaupun suatu laporan pendahuluan mengatakan kemungkinan adanya kegunaan dari sulfinpyrazone (27), tapi penyelidikan bersama di Canada (9) mengatakan bahwa sulfinpyrazone tak dapat mencegah stroke pada SOS. Dikatakan (43) bahwa pada infark jantung, sulfinpyrazone 4 x 200 mg dapat mengurangi angka kematian jantung dari 9.5% sampai 4.9% (p = 0.018). Pada SOS yang refrakter terhadap aspirin, gabungan aspirin dan sulfinpyrazone mungkin berguna (84). ANTIKOAGULANSIA Antikoagulansia adalah obat-obat yang mencegah pembentukan fibrin umpamanya : heparin, coumarin dan obatobat dari golongan indanedione. Karena pengaruh faktor pembekuan darah hanya kecil pada terjadinya trombosis arteri, maka obat-obatan ini relatip tidak mempunyai khasiat untuk mencegah trombosis arteri (63,66). 32

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

Menurut penelitian yang terakhir ini, dikatakan bahwa kebanyakan SOS disebabkan karena emboli arteri-arteri (52,61). Embolus ini terdiri atas trombus putih yang lepas dari arterial plaque dan terdiri terutama atas suatu kumpulan trombosittrombosit yang menggumpal, sel darah putih dan sedikit fibrin. Mungkin atas dasar tersebut diatas ini obat-obat antikoagulan hasilnya kurang memuaskan pada SOS dan pada penderita dengan "partial non-progressing stroke " (10). Penyelidikan klinis dengan antikoagulansia Pada sekitar tahun 1960 banyak penulis (3,4,67) optimis dengan pemberian antikoagulansia pada SOS dan mengatakan bahwa ia dapat mencegah infark otak. Pada sekitar tahun 1970 banyak penulis kecewa (34,70) Haerer et al (34) menemukan mortalitas yang tertinggi dalam kelompok dengan pengobatan antikoagulansia, ialah 16% meninggal, sedangkan dengan aspirin 3% dan dengan bedah 5%. Toole JF (70) mengatakan bahwa antikoagulansia tak dapat melindungi terhadap timbulnya stroke dan bahaya pengaruh sampingan yang berat berupa perdarahan intraserebral, terutama pada orang tua dan hipertensi. Salah satu pengaruh sampingan lain dari penggunaan menahun heparin adalah timbulnya osteoporosis (54). Whisnant (76, 77) mengatakan bahwa pengaruh antikoagu lansia hanya dapat diharapkan pada 1 — 2 bulan pertama setelah SOS. Selain itu antikoagulansia hanya secara statistik bermakna pada SOS-SVB dan pada usia 55—57 tahun pemberian antikoagulansia pada SOS memberi risiko perdarahan intraserebral 8 X lebih, bila dibandingkan dengan penderita yang tak diobati apa-apa. Kemungkinan timbulnya perdarahan intraserebral adalah 5%. Berhubung dengan banyaknya penyulit perdarahan intraserebral maka Whisnant (76) menyarankan pemberian antikoagulansia 1 — 2 bulan, lain penulis (41, 53, 88) mengatakan tidak boleh lebih dari 6 bulan. Millikan (53) memberi indikasi pemberian antikogulansia sebagai berikut : — Diagnosis tepat dari SOS. — Dokternya mengetahui cara pemakaian antikoagulansia. — Adanya fasilitas laboratorium. Tak ada kontraindikasi umpama. Penyakit mudah berdarah (bleeding tendencies); penyakit hepar; penyakit ginjal; hypertensi hebat. Kerja sama absolut antara dokter dan penderita atau famili, dan harus mematuhi petunjuk dokter. Kontrol optimal dari hipertensi. Waktu prothrombin harus ± 2 X nilai kontrol. Pengobatan tak melebihi 6 bulan.

Baker (4) memberi tamhahan sebagai berikut : Pada penderita hipertensi aktivitas prothrombin harus dipertahankan diatas 15%. PEMBEDAHAN ENDARTERECTOMI Penyelidikan terkontrol tidak menunjukkan kegunaan yang jelas dari endarterectomi, walau frekuensi stroke dikatakan menurun pada penyelidikan yang tak terkontrol (24). Toole JF (70) menemukan morbiditas chirurgis yang tinggi

ialah 22%. Mortalitas 6%, dengan 2 kematian jantung dan 3 hubungan dengan stroke. Mortalitas seluruhnya 23% pada 4 tahun, 57% dari kematian berasal dari jantung dan 37% disebabkan karena stroke. Indikasi Pemeriksaan neurovaskuler adanya SOS—SAC yang khas dan pada angiografi adanya lesi kontralateral dari sisi gejala (typical hemispherical carotid TIA). Adanya ahli bedah saraf yang pandai dan trampil morbiditas dan mortalitas dapat ditekan sampai kurang dari 2%. Tak ada faktor risiko medik umpamanya angina pectoris yang aktip atau tak stabil , infark jantung yang baru, payah jantung kongesti, penyakit paru yang menahun dan obstruktip. Stenosis ringan lebih dari 50%, tapi bukan penutupan. Tak ada stenosis menahun dari arteri karotis. Tak ada gabungan SOS hemisfer dan non-hemisfer.

Kontraindikasi Stenosis arteri cazotis dengan kelainan neurologis sedang atau hebat. Lesi carotis yang multipel. Completed stroke dengan kelainan neurologis jelas dan tetap (persistent).

Penyulit Infazk jantung. Kelainan neurologis hebat Mortalitas dan penyulit dapat ditekan dengan teknik modern umpamanya EEG terus menerus (monitoring); pengukuran aliran darah keotak dan tekanan pangkal arteri (arterial stump pressures).

BEDAH SHUNT (BYPASS) 1. Cervical carotid-subclavian bypass Pada pembedahan ini dilakukan shunt antara art. carotis dan art. subclavia. Gunanya untuk "subclavian steal syndrome. " Dilakukan anesthesia regional dengan blokade dari plexus cervicalis superficialis. Keuntungan dari ini adalah penderita dapat mengadakan kontak.

an yang mendasarinya. B. Langkah selanjutnya memilih penderita SOS akibat penyakit kardiovaskuler umpamanya emboli jantung, arteritis, penyakit katup-katup jantung, hipertensi hebat, hipotensi postural (spontan atau akibat obat-obatan). Terapi ditujukan pada kelainan dasarnya. C. Sisanya adalah SOS dengan kelainan dasamya yang tak diketahui, biasanya ini disebabkan oleh karena atherosklerosis. Terapinya dibagi dalam dua : 1. Tak cocok untuk operasi • Hipertensi : pengobatan ditujukan pada hipertensinya dengan obat-dbat anti-hypertensi. • Normotensi : diobati dengan antikoagulansia atau aspirin (?) 2. Cocok untuk operasi

• Pada penderita normotensi dengan atau tanda-tanda penyakit pembuluh darah ekstra-kranial dilakukan angiografi. Bila terdapat stenosis arteri extrakranial dianjurkan untuk operasi. Selebihnya diberi pengobatan antikoagulansia. • Bila terdapat hypertensi tanpa gejala-gejala penyakit pembuluh darah arteri ekstra-kranial; nadi normal tanpa desing : maka dianjurkan pengobatan secara medis dengan obat-obat anti-hypertensi sampai tekanan diastole sekitar 90-100 mm/ Hg. Bila SOS masih tetap ada, maka baru diberikan aspirin, dipyridamole. • Pada penderita hypertensi dengan gejala-gejala penyakit pembuluh darah arteri ekstra-kranial, dianjurkan pemeriksaan angiografi : • Bila pada angiografi terdapat stenosis arteri carotis dan lesinya terbatas, dianjurkan operasi.

2. Shunt antara art. occipitalis (cabang dari art. carotis externa) dengan cabang-cabang dari art. vertebralis. Pembedahan ini untuk penderita dengan SOS-SVB, tapi jarang dilakukan.

• Bila pada angiografi terdapat atheroma yang luas atau penutupan arteri carotis seluruhnya, dianjurkan pemberian obatobat anti-hypertensi dengan hati-hati sekali, berhubung penderita dari kelompok ini SOS-nya bertambah pada pengobatan hypotensi. Selain itu pengobatan antikoagulansia pada hypertensi yang tak terkontrol adalah berbahaya. Sebaiknya kelompok ini tak diberi pengobatan. II. Pola pengobatan menurut Millikan CH (53)

3. STA-cortical MCA anastomosis (59, 84)

1. Kelainan jantung

Pada pembedahan ini dilakukan shunt antara art. temporalis superficialis dengan cabang-cabang dari art. cerebri media. Indikasinya untuk penderita dengan penutupan art. cerebri media dengan keluhan SOS ; stenosis art. cerebri media dengan reversible ischemic neurological deficit = RIND" dan penutupan art. carotis bilateral dengan SOS. Hasilnya memuaskan dan mortalitas operasi 3%. Penyulitnya ischemia kulit kepala marginal (inarginal scalp ischemia).

• arrhythmia ->pengobatan medis dan pacemaker. • emboli yang berasal dari :

MACAM-MACAM POLA PENGOBATAN SOS I.

Pola pengobatan menurut Ross Russell R.W. (61)

A. Langkah pertama mencari penderita SOS akibat penyakit sistemik umpamanya polycythemia, anemia hebat atau macroglobulinemia. Terapinya adalah pengobatan dari kelain-

• katup-katup prosthetik --> antikoagulan, dipyridamole (?) • infark jantung --> medis, antikoagulan (?) • arrhythmia -> antikoagulan. • subacute bacterial endocarditis ->medis. 2. Unsur-unsur darah

• Kelainan pembekuan (termasuk trombositosis) ->pengobatan dengan antikoagulan atau obat-obat anti-platelet. • Polycythemia ->medis. • Anemia -->medis. • Hypolikemia ->medis. • Hyperlipidemia -> diit, clofibrate, asam nicotinik. Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

33

3. Dinding pembuluh darah • Vasospasme -> vasodilator umpamanya carbon dioxide; papaverin; hexobendine; betahistine hydrochloride. • Atherosklerosis -> pembedahan umpamanya endarterectomi dan STA-cortical MCA anastomosis. 4. Parenchyma ->tak diperlukan pengobatan. III.

Pola pengobatan menurut Mayo Clinic (64)

1. Setelah dievaluasi secara medis-neurologis dan pemeriksaan non-invasive (umpamanya directional Doppler, ophthalmodynamometri dan sebagainya) ditetapkan apakah penderita dapat dioperasi atau tidak. 2. Bila penderita adalah calon untuk dioperasi, maka dilakukan angiografi. Pada SOS-SVB tak dilakukan angiografi, kecuali bila SOS-nya tetap berlangsung walau diberi pengobatan medis yang tepat. Bila pada angiografi terdapat : • Lesi lebih dari 50% stenosis, dilakukan operasi. • Lesi dengan stenosis ringan tak dilakukan operasi, hanya cukup pengobatan medis. • Penderita dengan penutupan art. carotis; penutupan/stenosis cabang-cabang pembuluh darah intrakranial atau SOS yang terus menerus, dilakukan pembedahan ektrakranial-intrakranial bypass. • Penutupan total art. carotis tanpa gejala-gejala (asimtomatik), tak dilakukan operasi dan tak diberi obat apa-apa. 3. Penderita yang tak dioperasi diberi pengobatan medis se-

bagai berikut : • Pada penderita dengan SOS kurang dari 2 bulan, diberi warfarin selama 3 bulan dan selanjutnya aspirin 2 x 650 mg sehari selama 1 tahun. Dalam hal ini waktu prothrombin dipertahankan sampai 1X, tapi tak melebihi 2 X nilai normal. Pada penderita yang "warfarin-sensitive " (ialah penderita yang SOS-nya timbul lagi setelah pengobatan antikoagulan dihentikan) diberi warfarin terus meneru dan dicoba dihentikan secara berkala. • Pada penderita dengan SOS lebih dari 2 bulan, diberikan aspirin 2 X 650 mg sehari sampai 1 tahun, kecuali bila pada waktu masuk rumah sakit menunjukkan respon terhadap heparin, maka dianjurkan pemberian warfarin selama 3 bulan sebelum aspirin dimulai.

• Bila penderita refrakter terhadap pengobatan tersebut diatas diberikan gabungan aspirin/dipyridamole atau aspirin/ warfarin. • Kebanyakan penderita SOS-SVB diberikan pengobatan medis. IV. Pola pengobatan dibagian Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/R.S. Dr. Sutomo Surabaya. 1. Langkah pertama, menentukan apakah diagnosisnya betul SOS atau tidak. (lihat definisi dan batasan SOS. CDK 16 : 25, 1979). 2. Bila ya, tentukan apakah SOS-SAC atau SOS-SVB (lihat gejala dan pemeriksaan klinis, CDK 16 : 27 - 28, 1979). Dalam hal ini perlu diperiksa fundus oculi dan pemeriksaan neuro-vaskuler, termasuk auskultasi perjalanan art. carotis dan art. vertebralis. Bila perlu dengan pemeriksaan tambahan Directional Doppler dan ophthalmodinamometri (konsul ke bagian mata). Angiografi hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. 3. Pengobatan pertama ditujukan pada pengurangan faktor risiko umpamanya usahakan tekanan darah mendekati normotensi dengan obat-obat anti-hypertensi, hentikan merokok, diit rendah lemak/kholesterol, latihan fisik yang teratur dan hindarilah stress mental. 4. Selanjutnya carilah etiologi dari SOS dan pengobatan ditujukan pada penyakit yang mendasarinya. 5. Bila SOS tak diketahui sebabnya, maka ini biasanya disebabkan karena atherosklerosis. Pengobatannya sebagai berikut : • Bila penderita adalah laki-laki dengan hypertensi dan SOS, diberikan obat-obat antihypertensi (hati-hati penurunan tekanan darah : harus tahap demi tahap, tidak boleh terlalu drastis) dan aspirin 3 X 200 mg sehari selama 15 bulan. • Bila penderita laki-laki dengan normotensi dan SOS, diberikan hanya aspirin 3 X 200 mg sehari selaina 15 bulan. • Pada wanita diberikan gabungan aspirin (10 mg/kg berat badan) dan dipyridamole ( 3 mg/kg berat badan) atau gabungan aspirin (10 mg/kg berat badan) dan sulfinpyrazone 400 mg per hari. Aspirin diberikan tengah-tengah makan atau bila masih ada keluhan lambung digabung dengan antacida.

Daftar Kepustakaan - yang cukup panjang - dapat diminta pada redaksi CDK atau pada penulis.

34

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

Imunitas Seluler dan Terapi Radiasi pada Penderita Kanker Drs. Suhana dan dr. Arjatmo Tjokronegoro Ph. D. Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia, Jakarta.

PENGOBATAN IMUNOSUPRESI DAN AKIBATNYA Summary Radiation and cytostatic therapy decrease the lymphocyte count and the cellular immunity. As a result the patient becomes more susceptible to the invasion of cancer cells and also to other diseases. Therefore, during and after radiation therapy the cellular immunity should be monitored using the lymphocyte transformation test. PENDAHULUAN I munitas seluler (cell-mediated immunity = CMI) yang reaksinya (terutama) dilaksanakan oleh limfosit T, mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal reaksi penolakan transplan, reaksi graft versus host, penyakit autoimun, reaksi pertahanan terhadap sel-sel neoplasia, virus, jamur, bakteri intraseluler dan beberapa reaksi lainya ( WHO Scientific Group 1969; SUHANA & TJOKRONEGORO, 1976). Baik reaksi imuni tas seluler maupun humoral, dapat dibagi menjadi tiga buah tingkatan reaksi (Gordon II, 1971), yaitu : • Afferent limb, yang menyangkut semua proses pengangkutan dan pengenalan antigen oleh sistem imunologi. • Central limb, yang menyangkut semua proses yang meng hasilkan efektor imunitas, misalnya terbentuknya sel sensitif atau terbentuknya antibodi. • Efferent limb, yaitu proses penghancuran sel sasaran atau antigen. Karena sel-sel kanker dapat dikenali oleh sistem imunitas tubuh sebagai nonself-antigen, maka pada orang-orang normal reaksi (1) sampai dengan (3) dapat berlangsung setiap kali ada sel yang bermutasi ke arah keganasan dan dihancurkan oleh sel-sel efektor imunosit, sehingga orang yang bersangkutan bebas dari penyakit kanker. Namun demikian sampai sekarang belum ada bukti, bahwa sel limfosit dapat menghancurkan sel sasaran melalui kontak langsung, melainkan melalui zat antara yang dihasilkannya dan dikenal sebagai zat limfokin. Limfokin adalah suatu zat yang sitotoksik atau zat yang dapat mengaktifkan makrofag (macrophage activating factor = MAF) dan zat yang mempersenjatai sel makrofag secara spesifik (specific macrophage arming factor = SMAF). Dengan kedua zat tersebut sel makrofag menjadi aktif, dapat menempel pada sel tumor dan menhancurkannya dengan enzim-enzim hidrolase lisosomnya (T JOKRONEGORO , 1978).

Pengobatan dengan mempergunakan radiasi dan zat sitotok sik dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sel limfosit dan menurunnya sistem imunologi (J ENKINS et al, 1973; KENEFICK, 1976). Pada manusia yang menerima transplan organ dan menerima obat imunosupresi, kemungkinan mendapat penyakit kanker setelah transplantasi adalah 100 kali lebih besar jika dibandingkan dengan orang normal pada usia yang sama; dan lagi dapat menimbulkan efek samping timbulnya kanker baru apabila pengobatan imunosupresi tersebut dilakukan pada pasien penderita kanker (PENN, 1975). J ENKINS et al (1973), mendapatkan pada pasien kanker bronchogenic yang di terapi radiasi adanya penurunan jumlah limfosit maupun lekosit pada umumnya, seperti diperlihatkan pada gambar 1. Gambar

1.

Efek terapi radiasi terhadap jumlah lekosit, maupun limfosit pada pasien kanker paru. Bulatan hitam (• ) adalah lekosit, sedangkan bulatan putih ( o ) adalah lim fosit tiap individu. Perhitungan dilakukan pada sebelum, pertengahan dan akhir terapi (Jenkins et al, 1973).

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

35

Dari gambar tersebut jelas terlihat bahwa makin besar jurnlah radiasi yang diterimanya, makin rendah pula jumlah limfosit maupun lekositnya. Lebih lanjut hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa reaksi limfosit pada pertengahan dan akhir terapi terhadap rangsangan antigen nonspesifik phytohemagglutinin (PHA) lebih rendah lagi penurunannya dari pada seharusnya menurut jumlah penurunan limfosit pada dosis radiasi yang sama (selanjutnya lihat juga gambar 2). Penurunan reaksi terhadap PHA, mempunyai arti yang penting karena ia merupakan refleksi dari pada reaksi imunitas seluler secara keseluruhan (HITZIG & GROB, 1974). Hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu mendapat perhatian dalam mengelola pemberantasan penyakit kanker, karena dengan mempergunakan terapi imunosupresi dapat menimbulkan efek samping yang menekan kemampuan tubuh menghancurkan kankernya sendiri maupun penyakit yang lain. Karena itu seyogianyalah diadakan pengamatan yang cermat selama terapi, misalnya dengan melihat CMI penderita tersebut, sebelum, selama dan sesudah terapi. Untuk melihat CMI, biasanya dilakukan reaksi hipersensitif tipe lambat (delayed type hypersensitivity), yang merupakan reaksi khusus imunitas seluler, dengan mempergunakan antigen spesifik ataupun nonspesifik, in vivo maupun in vitro. Untuk penderita kanker, biasanya dipergunakan skin-test antigen Dinitrochlorobenzene (DNCB). Purified Protein Derivatives (PPD) (EILBER & MORTON, 1970; LUNDY et al, 1974), atau kombinasinya dengan yang lain (E ILBER & M ORTON, 1970; KENEFICK, 1976). Beberapa waktu terakhir ini telah dikembangkan beberapa macam tes in vitro untuk memonitor fungsi limfosit. Tes-tes tersebut antara lain adalah tes transformasi limfosit (lymphocyte transformation test = LTT), tes penghambatan migrasi makrofag (migration inhibitiontest = MIT) dan tes campuran limfosit (mixed lymphocyte culture = MLC) (C OHEN & Z ESCHKE, 1973). Adapun tes yang paling sering dilakukan, karena hasilnya lebih teliti dan mudah dilaksanakan adalah tes transformasi limfosit (TTL). Reaksi imunologi yang mendasari tes tersebut adalah : telah diketahui bahwa pada permukaan li mfosit terdapat receptor-antigen,apabila bertemu dengan anti gen, maka terjadilah interaksi antara antigen dengan "receptorantigen" tadi; hal ini akan menyebabkan limfosit membesar, mengadakan sintesa deoxyribonucleic acid (DNA) dan membelah (GODAL at.a1.I974).Fenomena tersebut dinamakan transformasi blastosis atau transformasi limfosit. Akhirnya transformasi limfosit tersebut dapat diketahui in vitro, dengan jalan menghitung jumlah sel yang bertransformasi (langsung di bawah mikroskop), atau dengan melihat adanya sintesa DNA. Kita mengetahui untuk sintesa asam nukleat, sel memerlukan empat buah asam nukleosida, salah satu nukleosida yang khas untuk DNA adalah thimidin-trifosfat. Karena kita memberikan thimidin yang berisotop-radioaktif( 3 H-Thymidine) ke da lam mediumnya, maka waktu sel limfosit bertansformasi, H 3 Thymidine tersebut diambil oleh sel limfosit tadi. Dalam hal ini banyaknya isotop yang diambil, menggambarkan banyaknya li mfosit yang bertransformasi, dan hal ini dapat dihitung secara teliti memakai Scintillation Counter dalam hitungan counts per minute (CPM) atau disintegrations per minute (DPM). Dengan mempergunakan tehnik ini, J ENKINS et al, (1973) ber 36

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

hasil memonitor CMI penderita yang sedang menjalani terapi radiasi dengan baik, seperti diperlihatkan pada gambar 2. Gambar 2.

Efek terapi radiasi terhadap reaksi limfosit pada PHA (pengambilan 3 H-Thymidine) dari penderita kanker paru. Garis ( ) adalah harga kontrol garis putus (----) adalah 1 SE dan bulatan kecil (o) adalah harga tiap-tiap individu penderita (Jenkins et al, 1973).

Dengan melakukan reaksi TTL, yang pada waktu ini telah dapat dilakukan di Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kita dapat mengetahui sejauh manakah penurunan imunitas seluler (CMI) penderita-penderita yang sedang mengalami terapi radiasi, jika dibandingkan dengan sebelum terapi. Berapa lamakah periode recovery berlangsung, hubung an intensitas penyinaran, lokasi penyinaran, luasnya penyinaran dengan keadaan umum imunitas seluler penderita yang bersangkutan.

KESIMPULAN Penderita yang mengalami terapi radiasi dan obat-obat sitotoksik, jumlah limfositnya dan imunologi selulernya menurun. Sebagai akibatnya, penderita tersebut justru menjadi rentan terhadap serangan sel kanker, maupun penyakit yang lain. Karena itu, selama dan setelah terapi radiasi, perlu memonitor i munitas selulernya memakai reaksi TTL.

KEPUSTAKAAN

1. EILBER. F.R. AND MORTON.D.L. : Impaired immunologic re activity and recurrence following cancer surgery. Cancer 25 : 362, 1970.

2. COHEN. S. AND ZESCHKE. R : Cell mediated immunological reactions. In Noel R.R. and Pierluigi. E. B. (Ed), Methods in Immunodiagnosis John Wiley & Sons.New York, 1973.

3.

4. 5. 6.

7.

GODAL. T, MYRVANG. B, STANDFORD J.L AND SAMUEL. D.R : Recent advances in the immunology of leprosy withspecial reference to new approaches in immunoprophylaxes. Bull Inst . Pasteur 72 : 273, 1974. GORDON II. B.L: Essentials of Immunology, 2nd ed, F.A. Davis Co. Philadelphia, 1971. HITZIG. W.H. AND GROB.P.J : Therapeutic of transfer factor. Prog. Clin, Immunol 2 : 69, 1974. JENKINS. V.K. OLSON.M.H. AND ELLIS N.H : In vitro methods of assesing lymphocytes transformation in patiens under going radiotherapy for bronchogenic cancer. Texas Rep. Biol Med 31 : 19, 1973. KENEFICK. T.0 : Delayaed hypersensitivity skin test inheadand

8.

9. 10. 11.

12.

neck cancer. J. Laringol. Ontology 90 : 935, 1976. LUNDY. J. WANEBO. H, PINSKY. C,STRONG.E &OETTGEN, H : Delayed hypersensitivity reactions with squamous cell cancer of head and neck. Amer J . Surgery 128 : 530, 1974. PENN. I: Immunosuppression and cancer. Importance inhead and neck surgery,Arch Otolaryngol 101 : 667, 1975. SUHANA DAN TJOKRONEGORO A : Beberapa aspek reaksi imunologi seluler .Seminar Biokimia. Jakarta, 1976. TJOKRONEGORO. A : Dasar-dasar imunologi untuk kepenting an klinik. Berkala Ilmu Kedokteran (Journal of the Medical Sci ences), 10 : 59, 1978. WHO Scientific Group. Cell mediated immune responses. WHO Tech Rep. Ser. no. 423. 1969.

Titik-titik Terang dalam Profesi Kedokteran di lndonesia Prof. Satrio Jakarta.

SUMMARY — Modernization together with the advances in the fields of science and technology have exerted a great influence on the lndonesian society. However, the transition from a traditional system to a modern one has also created many problems. ln the medical field, the problems are complicated by the fact that while in the big cities supermodern medical facilities are available, only minimal facilities are found in rural areas. lt is said that the lndonesian physicians are reluctant to practise medicine in rural areas. lnstead, the author emphasizes, it is not true that the physicians have gone over to materialism and commercialism. Idealism in the medical profession in lndonesia is still strong. The problem lies in the lack of guidance and incompetent personnel management. Attention directed to those fields will most probably solve the problems.

PENDAHULUAN Majalah Cermin Dunia Kedokteran telah minta kesediaan saya untuk menulis tentang E T I K A kedokteran sebagai suatu karangan untuk majalah tersebut. Mengingat kondisikondisi realistik yang kita alami sekarang saya tidak ingin bersikap moralistik serta idealistik dan berhubung dengan ini saya memilih judul sebagai tercantum diatas. Modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak mempengaruhi keadaan serta sikap para cendekiawan Indonesia, termasuk para dokter kita. Walaupun " panggilan suci " dokter diseluruh dunia pada hakekatnya tidak berubah, yakni mengabdikan serta membaktikan diri kepada suatu profesi yang berdasarkan perikemanusiaan, namun peranannya tidak statis dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman.

Para dokter jaman sekarang berperan didarat, dilaut, diudara dan diruang angkasa, dalam keadaan damai, keadaan perang, dalam penelitian, dalam keadaan serba lengkap dan dalam keadaan darurat. Berhubung dengan masa transisi yang terdapat di Indonesia dalam rangka perkembangan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, inaka di negara kita terdapat problemaproblema yang tidak dapat terlepas dari keadaan transisi tersebut, termasuk problema-problema didalam profesi kedokteran. Dikota-kota besar terdapat fasilitas-fasilitas kedokteran yang modern dan supermodern, sedangkan didesa-desa terdapat kekosongan fasilitas kesehatan yang menyebabkan wargadesa yang sakit tidak dapat diberi pelayanan kesehatan sebagaimana kita harapkan. Untuk menjumpai suatu poliklinik atau balai kesehatan ibu dan anak orang desa seringkali harus menempuh jarak puluhan kilometer, karena itu dukun-bayi didesa adalah penting bagi para wanita-hamil dan obat-obat tradisional dipakai untuk orang-orang yang sakit. Sejak tahun 1950 telah diusahakan untuk meningkatkan jumlah dokter yang lulus dari pelbagai fakultas kedokteran dan meningkatkan pula jumlah perawat dan bidan dalam pembentukan sekolah-sekolah paramedik baik dipusat maupun didaerah, tetapi baru dalam tahun 1960 mulai terlihat kemajuan-kemajuan dalam perkembangan usaha kesehatan pedesaan. Dalam tiap kecamatan diusahakan sedikit-dikitnya satu poliklinik dan satu BKIA yang masing-masing dikelola oleh perawat dan bidan dengan supervisi dokter kabupaten yang berkeliling. Baru dalam tahun 70-an dapat dimulai penempatan dokter di kecamatan dan diusahakan pembentukan PUSAT-PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT. Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

39

Pada tahun 1979 ini untuk pertama kalinya ditampilkan dokter-dokter PUSKESMAS teladan dalam peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke 34 di Jakarta dan diantara 26 dokter tersebut dipilih tiga orang yang terbaik. Kita dapat meramalkan, bahwa dalam dasawarsa 1980 sampai 1990 dikecamatan-kecamatan diseluruh tanah air sudah terdapat lebih dari satu dokter yang memungkinkan pemerataan pelayanan kesehatan dengan sistem poliklinik dan dokter keliling yang menjangkau desa-desa. Sehubungan dengan perkembangan yang kita proyeksikan tersebut maka ada baiknya bahwa kita memikirkan peranan dan fungsi dokter-dokter kita dalam masa mendatang dan disamping itu juga memikirkan pula prospek perkembangan mereka dalam masyarakat kita yang sedang membangun.

HIKMAH SEJARAH Kita sebagai dokter dapat merasa bangga, bahwa sebagai cendekiawan kita telah mendapat prioritas untuk dididik sejak jaman penjajahan Belanda pada tahun 1851 dan dapat menjadi sarjana penuh sejak tahun 1927. Kebetulan juga kebangkitan nasional bangsa kita dimulai oleh siswa-siswa kedokteran pada tahun 1908 dibawah pimpinan dokter Sutomo yang kemudian menjadi pelopor dari gerakan-gerakan perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dokter-dokter Indonesia dalam jaman penjajahan Belanda ditempatkan di daerah kabupaten dari Aceh sampai Irian Barat dan dengan demikian dapat pula membawa gagasan-gagasan kebangkitan nasional kepada masyarakat secara tidak langsung. Pada umumnya dokter keluaran STOVIA cukup pandai untuk mendapat suatu posisi dimasyarakat pada waktu itu. Pejabatpejabat Belanda pun biasanya menganggapnya sebagai seorang yang terpandang, karena seringkali juga membutuhkan jasajasanya. Namun demikian ada dokter-dokter yang dimusuhi oleh Pemerintah jajahan, yakni para dokter yang melakukan aktivitas politik seperti dr Cipto Mangunkusumo, sehingga pada suatu waktu beliau diasingkan. Suka-duka seorang dokter yang melakukan tugasnya didaerah pedalaman telah diceriterakan oleh Dr. ABUHANIFAH " dalam bukunya yang berjudul : " De Rimboe-dokter atau "Dokter rimba. " Suatu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pada waktu itu seorang dokter mendapat gaji yang cukup besar sehingga ia tidak perlu lekas-lekas pulang dari rumahsakit atau kantor-nya untuk mencari tambahan uang dengan praktek swasta. Jika ia tidak berpraktek, maka ia mendapat tunjangan tak-berpraktek yang memadai. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan, bahwa seorang dokter yang baru lulus mendapat gaji sebesar 175 gulden. Jika dinilai dengan beras, yang harganya pada waktu itu hanya 5 sen, maka gajinya dapat dinilai sama dengan 3500 kilogram beras; jika ia tidak berpraktek, maka ia mendapat tunjangan 75 gulden atau senilai dengan 1500 kilogram beras. Memang keadaan dulu tidak dapat dibandingkan dengan keadaan sekarang. Namun demikian kondisi mental yang diciptakan untuk memungkinkan melakukan tugas dengan baik, perlu mendapat perhatian. 40

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

Didalam masa pendudukan Tentara Jepang gaji tidak ada artinya karena pada waktu itu barang-barang tidak ada. Beras dijatah I50 gram sehari seorang, pakaian tidak ada sehingga banyak rakyat desa memakai sarung dari bagor atau dari karet. Kebebasan ditekan oleh pemerintahan iniliter yang kejam. Obat-obatan pun tidak ada, kinine yang begitu penting untuk pengobatan malaria semuanya dipakai untuk perang Jepang. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 telah membakar semangat seluruh rakyat Indonesia yang tidak mau lagi inengalami suatu masa penjajahan seperti dalam jaman Jepang dan tidak pula mau mengalami penjajahan kembali oleh bangsa Belanda yang telah 350 tahun dirasakan sebelum jaman Jepang. Tetapi yang paling digindrungkan adalah suasana merdeka, lepas dari belenggu siapapun dan memiliki tanah air Indonesia, sebagai satu bangsa Indonesia dengan satu bahasa Indonesia, seperti yang telah dinyatakan dalam SUMPAH PEMUDA pada tanggal 28 Oktober 1928. Semangat yang berkobar itu menimbulkan suatu kesediaan spontan untuk ikut serta dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diumumkan keseluruh pelosok tanah air dan seluruh penjuru dunia. Para dokter dan calon dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam perjuangan tersebut. Karena itulah maka para dokter mendaftarkan diri sebagai dokter militer, dokter sipil maupun dokter dalam Palang Merah Indonesia. Mereka tidak memikirkan, tidak bertanya tentang imbalan, honorarium ataupun gaji. Segala-galanya di-ikhlaskan untuk kemerdekaan Indonesia. Dengan rahinat Tuhan Yang Maha Esa kita dapat mempertahankan kemerdekaan kita, walaupun dengan pengorbanan pahlawan-pahlawan yang amat banyak dan perundinganperundingan secara bertahap dengan Belanda yang terpaksa melakukannya dengan desakan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika. Dalam Konperensi Meja Bundar di den Haag akhirnya diakui adanya Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan membentuk suatu Uni dengan Nederland. Kita sebenarnya tidak puas dengan hasil perundingan tersebut tetapi kita menyadari pula bahwa Persetujuan den Haag membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi Republik Indonesia. Bentuk yang semula bersifat federasi antara negara-negara bagian, dalam waktu enam bulan diubah secara aklamasi menjadi bentuk Negara Kesatuan dan dalam tahun 1957 Indonesia meinutuskan hubungan Uni dengan Belanda, karena Belanda tidak menepati janjinya tentang pengembalian Irian Barat. Perjuangan kemerdekaan telah membawa para dokter ke desa-desa dan mengenal kemiskinan serta penderitaan rakyat kecil, tetapi juga melihat betapa besar kegotong-royongan masyarakat desa dan kerelaan mereka berkorban. Dari pengalaman tersebut timbul gagasan dan doktrin ketahanan nasional yang berdasarkan kekuatan rakyat semesta.

BUTIR-BUTIR PENGALAMAN DALAM MENGGERAKKAN RAKYAT DALAM BIDANG KESEHATAN. Pada tahun 1959 dimulai pembasmian penyakit malaria di pulau Jawa Madura dan Bali. Suatu program yang melibatkan Departemen Kesehatan, W.H.O. dan U.S.A.I.D. direncanakan dengan penyemprotan semua bangunan yang ada di-

wilayah tersebut dengan obat anti serangga DDT. Obat-obatan disediakan oleh Pemerintah Amerika Serikat, kendaraan-kendaraan, alat-alat penyemprot dan barang-barang lain untuk memungkinkan operasi terus-menerus selama tiga tahun. W.H.O. menyediakan tenaga-tenaga ahli dari pelbagai negara. Departemen Kesehatan menyediakan tenaga-tenaga pelaksana diseluruh wilayah tersebut. Untuk menjamin kelancaran tugas operasional tersebut diadakan organisasi yang disebut KOMANDO PEMBERANTASAN MALARIA atau KOPEM.

atau rencana pokok pembinaan rakyat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

Pengalaman dalam Operasi Pembasmian Malaria menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai perasaan kekeluargaan dan sifat gotong-royong yang cukup menggembirakan. Satu-satunya syarat yang diperlukan adalah kepemimpinan yang jujur dan motivasi sesuai dengan daya pikir dan cara berfikir masyarakat itu sendiri. Partisipasi daripada seluruh aparatur negara, organisasi-organisasi masyarakat dan pemuka-pemuka masyarakat setempat, sangat penting artinya untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun disamping itu temyata pula bahwa perlu dihindari suatu sistem birokrasi yang kaku yang selalu menghambat tindakan-tindakan operasional. Demikian pula pengalaman kita dengan pemberantasan penyakit cacar. Pada waktu terdapat wabah cacar di sekitar tahun 1962, maka vaksinasi massal telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Indonesia, baik didalam kota Jakarta, maupun diluar kota Jakarta, seperti di Banten, Tangerang dan sebagainya. Di Sulawesi Selatan telah ditugaskan 80 dokter dan penilik kesehatan ( diangkut dengan Pesawat HERCULES Angkat ,an Udara ) untuk memberantas wabah cacar di daerah Sulawesi Selatan yang masih belum aman. Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dijadikan komandan operasi wabah cacar dan ternyata operasi tersebut cukup berhasil, bahkan pemberontak-pemberontakpun minta pencacaran.

• perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat sebagai sarana penunjang pembangunan.

Hal yang sama telah di lakukan di pulau Madura, setelah pemuka-pemuka agama Islam dikumpulkan di Pamekasan untuk diberi penjelasan oleh petugas penerangan Departemen Agama yang sesuai dengan cara-berfikir mereka, yakni berdasarkan dalil-dalil yang berlaku dalam Agama Islam.

Soalnya terletak dalam bimbingan dan personel management, dimana : • Terdapat prosedur registrasi yang rumit. • Prosedur pengangkatan yang lamban.

Operasi pemberantasan wabah dysenteri di Pemalang, dan pemberantasan penyakit Kolera di Semarang dilakukan dengan sistem yang serupa yakni melibatkan semua unsur pemerintahan dan masyarakat, dengan kata lain prinsip mobilisasi potensi rakyat semesta dengan kesadaran yang mendalam.

• Kurangnya persiapan mental untuk tugas lapangan. • Kurangnya "background information" tentang daerah kerja secara ekologik, etnologik, adat istiadat, agama, pendek kata anthropologi sosial di bidang medik.

PERANAN DOKTER DALAM PEMBANGUNAN

Sejak revolusi kemerdekaan hingga sekarang hampir semua dokter hidup dari praktek swasta dan berbakti pada negara dengan gaji yang merupakan seperlima dari kebutuhan hidupnya.

Pembangunan nasional kita berlandaskan falsafah pancasila dan menuju kepada sasaran seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni masyarakat yang adil dan makmur, yang merata diseluruh wilayah tanah air kita. Suatu masyarakat yang maju dan sejahtera dan mampu mempertahankan diri dalam perkembangan dunia disekitarnya, ikut serta berusaha memelihara perdamaian dunia. Berhubung dengan keadaan demografik dan sosiologik serta sifat kepulauan daripada wilayah kita, maka strategi

• kepadatan pulau Jawa, Madura dan Bali. • kekosongan pulau-pulau Irian, Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. • delapan puluh persen daripada rakyat hidup didesa-desa. • pengangguran yang makin ineningkat terutama didesadesa yang padat penduduknya.

• kekayaan alam kita akan minyak bumi, bahan-bahan tambang dan hutan-hutan produksi kayu untuk industri sebagai sarana sumber pembiayaan pembangunan disegala bidang. • perlunya prioritas kemajuan kesejahteraan yang seimbang bagi rakyat yang sudah dinyatakan dalam delapan jalur pemerataan. Faktor-faktor tersebut memberi petunjuk bagi kita bahwa kita harus memfokuskan usaha kesejahteraan pada desa-desa dan memindahkan lokasi pedesaan dari pulau-pulau padat-penduduk ke pulau-pulau jarang penduduknya. Hal ini berarti, bahwa para dokter dan petugas-petugas kesejahteraan rakyat lain-lainnya harus dapat diarahkan pada : (i) pembangunan desa dan (ii) transmigrasi. Perlu diberi tantangan pada mereka untuk menjadikan desa menjadi tempat yang menarik sebagai unit masyarakat kontemporer. Tidaklah benar jika dikatakan bahwa dokter-dokter generasi sekarang materialistik dan komersial. Idialisme profesi kedokteran masih cukup kuat. Hal ini dapat kita lihat dari dedikasi para dokter puskesmas yang bekerja di Timor, di Lom bok, di pulau Nias, di Timor Timur.

• Jaminan untuk "tour of duty" yang pasti. • Gaji yang wajar.

Jika seorang ditempatkan didaerah dimana tidak mungkin dijalankan praktek swasta, maka keperluan hidupnya seharihari harus terjamin dengan layak, yang berarti ada perumahan, transportasi, suplai bahan makanan pokok dan sekedar sarana hiburan. Adanya listrik, radio, televisi, telpon, yang mungkin mendekati kenyataan di desa-desa akan menghilangkan rasa keseCermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

41

pian dan rasa terisolasi. Dinas pos yang teratur akan sangat membantu dalam menimbulkan perasaan tentram.

KESIMPULAN

Desa, dimasa depan hendaknya menjadi kota kecil dengan sarana lengkap seperti "real estate" yang kita lihat disekitar Jakarta, sehingga arus urbanisasi dapat dibalik menjadi arus ke tempat pemukiman baru yang modem di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Pengembangan sentra baru di pulau-pulau besar kita adalah jawaban yang tepat untuk mencegah polusi multi kompleks di pulau jawa dan sekaligus membuka kesempatan kerja yang sangat luas.

1. Korps dokter Indonesia adalah komponen bangsa Indonesia yang merupakan modal yang sangat berharga dalam pembinaan masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat pedesaan pada khususnya. 2. Profesi kedokteran dari jaman dahulu hingga sekarang inempunyai dasar moral yang luhur dan kuat berupa sumpah Hippokrates yang dinegara kita dirumuskan dalam lafal sumpah dokter menurut peraturan negara.

Masyarakat kita masa mendatang bukanlah masyarakat tradisional lagi, tetapi masyarakat yang bertaraf lebih tinggi dalam soal pengetahuan dan ketrampilan yang diberi secara sistematik. Dalam hal ini dokter-dokter di puskesmas-puskesmas dan dokter ABRI di pos-pos yang tersebar di seluruh nusantara adalah potensi yang sangat besar sebagai pembaharu, pelopor dan katalisator dari pada kegiatan masyarakat yang produktif dan kreatif. Kita sudah membaca tentang adanya puskesmas yang sudah dapat memanfaatkan tenaga matahari. Demikian pula tenaga angin, air, tenaga kuda, kerbau dan dapat dikonversi menjadi enersi. Puskesmas merupakan pusat pengembangan desa swasembada dengan penerangan dan bantuan nyata dalam pertumbuhan keluarga sehat.

3. Bagi korps dokter Indonesia pelaksanaan P 4 yang sedang dimasyarakatkan melalui penataran-penataran diseluruh Indonesia, bukanlah soal baru, tetapi merupakan suatu sikap hidup yang pada hakekatnya sesuai dengan sumpah dokter dan jiwa undang-undang pokok kesehatan. 4. Berhubung dengan itu maka setiap dokter Indonesia secara potensial adalah penyebar semangat untuk melaksanakan amanat penderitaan rakyat serta penggerak aktif dalam memelihara norma-norma Pancasila. 5. Jasa korps dokter Indonesia yang nyata sehari-hari terhadap para penderita dan masyarakat pada umumnya secara kuratif/preventif, rehabilitasi lebih berbicara dari pada seribu kali ceramah yang tidak diamalkan. Akhir kata saya mengucapkan selamat berjuang kepada generasi dokter muda dalam menjalankan " mission sacre" diseluruh penjuru tanah air. Semoga Tuhan membimbing kita semua.

DON'T RISK YOUR GOOD MEDICAL REPUTATION ! Always have a few ampoules of K A L M E T H A S O N E emergency cases :

ready to save life in

o ANAPHYLACTIC SHOCK • STATUS ASTHMATICUS o HEPATIC COMA o PEMPHIGUS VULGARIS COMPOSITION : each ampoule contains Dexamethasone Sodium Phosphate equivalent to Dexamethasone Phosphate ........................4.0 mg DOSAGE: I.V. or I.M. dose ranges from 4 to 20 . mg depending on the severity of the disease. PRESENTATION: ® Boxes of 3 ampoules of 1 ml KALMETHASONE injections.

42

C'ermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

Sifat Goitrogenik Singkong (Manihot utilissima) dr. E. Setiadi Lektor Kepala, Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

SUMMARY Cassava as the main staple food in areas with a low iodine content of the water and soil can be a precipitating factor in the development of goiter as the consumptions of this food product aggravates iodine deficiency. This possibility should be investigated in those areas with endemic goiter.

Tioglukosida dalam sayuran dari genus Brassica (kubis, blumkol) disebut progoitrin dengan rumus :

Enzim tioglukosidase yang menghidrolisis progoitrin dikenal juga dengan nama mirosinase sedangkan isotiosianat, hasil penguraian tadi, disebut goitrin dengan rumus :

PENDAHULUAN Sejak abad ke 19 telah diketahui, bahwa gondok (goiter endemik) ditemukan terutama di daerah-daerah yang tanah dan airnya kurang mengandung iodium.Defisiensi iodium memang dianggap sebagai penyebab utama gondok. Ternyata selain defisiensi iodium masih terdapat faktor-faktor lain dalam makanan yang juga dapat menyebabkan gondok. Efek goitrogenik sayur-sayuran tertentu terhadap binatang percobaan telah diketahui sejak 1928. CHESNEY menemukan bahwa kelinci-kelinci percobaannya yang diberi makan kubis (genus Brassica) selama beberapa bulan menunjukkan pembesaran kelenjar tiroid. Laporan ini disusul oleh penemuanpenemuan berbagai sayuran lain yang juga dapat menimbulkan gondok pada binatang percobaan, seperti blumkol (cauliflo wer), radis (radish), kacang kedelai, kacang tanah dan kacang polong. (I) STRUKTUR dan SIFAT KIMIA Dalam sayuran yang tergolong Crucifera seperti kubis, blumkol dan radis terdapat satu atau lebih tioglukosida. Pada hidrolisis oleh enzim tioglukosidase yang juga terdapat dalam sayuran ini, terbentuk glukosa, bisulfat dan suatu aglikon. Reaksi enzimatik ini terjadi bila integritas sel rusak misalnya bila sayuran dipotong atau digerus. Aglikon dapat dipecahkan lebih lanjut menjadi : (i) isotiosianat; (ii) nitril dan belerang atau (iii) tiosianat.

Tiosianat dan goitrin diketahui mempunyai aktivitas goitrogenik. (2) EKPECHI menduga adanya hubungan antara makan singkong dan gondok berdasarkan pengamatannya bahwa beberapa desa di Nigeria Timur menunjukkan incidence gondok yang tidak-sesuai dengan kadar iodium dalam tanah dan airnya Incidence goiter yang paling tinggi temyata tidak didapatkan di desa-desa dengan kadar iodium tanah dan air yang paling rendah. Di desa-desa dengan incidence goiter yang tertinggi makanan pokok penduduk terdiri dari singkong yang fidak diragikan sebelum dihidangkan, sedangkan di desa-desa dengan incidence goiter yang rendah makanan pokok terdiri dari singkong yang pada pengolahannya telah mengalami peragian. (3) Diketahui bahwa singkong mengandung sianida (CN) dalam bentuk glukosida sianogenik. (4) Penelitian COLLARD menunjukkan bahwa kadar glukosida sianogenik banyak berkurang pada peragian singkong. Pada pembuatan "gari," semacam makanan yang dibuat dari singkong, parutan singkong didiamkan tiga sampai empat hari. Selama proses ini terjadi peragian dengan pembentukan asam. Dalam suasana asam ini terjadi hidrolisis spontan dari glukosida sianogenik dengan pembebasan asam hidrosianat (HCN) yang kemudian menguap. (5) Sifat goitrogenik singkong diselidiki EKPECHI pada tikus yang diberi makan bubur bubuk singkong. Setelah beberapa waktu tikus-tikus ini menunjukkan pembesaran kelenjar tiroid dan penurunan kadar MIT (monoiodotirosin) dan DIT (diiodotirosin) dalam darah. (3) Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

43

Percobaan yang serupa dengan tikus yang diberi makan bubur singkong dilakukan juga oleh OSUN TOKUN. Pada tikus-tikusnya ditemukan peninggian kadar tiosianat plasma. (6) Hasil yang serupa didapatkan juga oleh VAN DER VELDEN. Selain peningkatan tiosianat plasma didapatkan juga penurunan kadar iodium dalam kelenjar tiroid dan penurunan PBI (protein-bound iodine). Kalau tikus-tikus tidak diberi makan singkong, akan tetapi singkong digantikan dengan tiosanat, maka didapatkan perobahan-perobahan yang sama.Makin tinggi dosis tiosianat yang diberikan, makin besar pula peningkatan tiosianat plasma, penurunan PBI dan penurunan kadar iodium dalam kelenjar tiroid. (7) BOURDOUX c.s. melakukan penelitian pada penduduk Ubangi, suatu daerah gondok endemik di Zaire Barat Laut dengan kadar iodium dalam tanah dan air yang sangat rendah. Terdapat gondok pada 60 — 70% dan kretinisme pada 0— 10% dari penduduknya. Makanan pokok penduduk Ubangi terdiri dari singkong yang diolah dengan berbagai cara. Pada penduduk Ubangi didapatkan kadar tiosianat serum dan urin yang lebih tinggi daripada serum dan urin orang Belgia, yang digunakan sebagai kontrol. Makan singkong selama tiga hari berturut-turut sudah dapat meningkatkan kadar tiosianat serum dan urin, sedangkan bila diberi makan nasi (bebas CN) selama tiga hari berturut-turut, maka terlihat penurunan kadar tiosianat darah dan urin. Dari penyelidikan-penyelidikan BOURDOUX juga dapat disimpulkan bahwa pada defisiensi iodium terjadi peningkatan uptake iodium oleh kelenjar tiroid dan penghambatan pelepasan iodida dari kelenjar tiroid. Iodida yang dilepaskan ini kemudian diekskresi dalam urin. Usaha tubuh ini untuk memanfaatkan iodium sebaik mungkin ternyata dihambat oleh tiosianat. Pada kadar tiosianat yang meninggi terjadi penurun131 an uptake I oleh kelenjar tiroid disertai peningkatan ekskresi iodida dalam urin. Dari penelitian-penelitian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa : • Makan singkong menyebabkan peningkatan kadar tiosianat darah dan urin. • Sifat goitrogenik singkong disebabkan oleh tiosianat yang memperhebat defisiensi iodium dengan mengurangi uptake iodium dalam kelenjar tiroid dan meningkatkan pembebasan iodida dari kelenjar tiroid. (8) Pertanyaan yang timbul ialah apakah tiosianat terdapat dalam singkong seperti dalam sayuran dari genus Brassica. (2) Untuk menjawab pertanyaan ini OSUNTOKUN dan VAN D E R V E I, D E N menentukan kadar tiosianat dalam makanan singkong di Nigeria dan Zaire. OSUNTOKUN mendapatkan kadar tiosianat 0,0034 uMol/ g makanan singkong di Nigeria (6), sedangkan VAN DER VELDEN tidak dapat membuktikan adanya tiosianat dalam jumlah yang berarti dalam makanan singkong di Zaire. (7) Kadar tiosianat yang rendah dalam makanan singkong ini tidak dapat menerangkan kenaikan tiosianat plasma dan urin sesudah makan singkong. Dari penyelidikan-penyelidikan kemudian ternyata bahwa kenaikan kadar tiosianat plasma dan urin disebabkan oleh tiosi 44

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

anat yang terbentuk secara cndogen sebagai hasil detoksikasi sianida oleh tubuh. Singkong (Manihot utilissima) mengandung dua macam glukosida sianogenik yaitu : Linamarin atau Phaseolunatin terdapat terbanyak (93%) dalam singkong; merupakan suatu glukosida asetonsianhidrin.

L inamarin

Lotaustralin terdapat lcbih sedikit (7%) dalam singkong; merupakan suatu glukosida metiletilketonsianhidrin.

Lotaustralin

Glukosida-glukosida sianogenik tersebut diatas terdapat dalam semua bagian tanaman, tetapi kadar yang paling tinggi terdapat dalam kulit umbi. Diduga di tempat tersebut glukosida sianogenik berfungsi melindungi umbi. terhadap serangan. (9,11) Glukosida yang utuh tidak toksik. Pada kerusakan sel, glukosidase yang juga terdapat dalam tanaman akan memecahkan glukosida yang disertai dengan pembebasan HCN, yang dikenal sebagai racun yang ampuh. (9)

Hidrolisis dapat juga terjadi oleh HCIlambung atau mikroflora usus; jadi walaupun glukosidase yang terdapat dalam singkong sudah rusak pada proses pengolahan singkong, hidrolisis dan pembebasan HCN masih dapat terjadi oleh HC1 lambung atau aktivitas mikroflora usus. Absorpsi sianida terjadi di usus halus. Sianida ini dengan cepat mengalami detoksikasi menjadi tiosianat oleh enzim sulfurtransferase ( = rhodanase), yang terdapat dalam banyak jaringan, terutama dalam hati, ginjal, kelenjar tiroid, adrcnal dan pankreas. Sulfur yang diperlukan untuk detoksikasi berasal dari tiosulfat atau me'rkaptopiruvat; kedua zat yang disebut terakhir terbentuk sebagai hasil dari metabolisme asam-asam amino yang berunsur belerang. Sebagian kecil CN dalam tubuh diuraikan menjadi CO2 atau direaksikan dengan hidroksokobalamin (vit. B12a) menjadi sianokobalamin (vit. B 12).

Jalan metabolisme utama sianida inorganik : (9)

Kesimpulan Singkong sebagai makanan pokok di daerah-daerah dengan kadar iodium tanah dan air yang rendah dapat merupakan salah satu faktor penunjang timbulnya gondok, oleh karena makan singkong memperhebat defisiensi iodium. Oleh karena singkong merupakan makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia patut diselidiki apakah jenis makanan ini merupakan salah satu faktor yang ikut menyebabkan gondok di daerahdaerah endemik.

Efek tiosianat terhadap kelenjar tiroid. Sifat antitiroid tiosianat diketahui pertama-tama pada pengobatan hipertensi dengan tiosianat, yang kadang-kadang menimbulkan gondok dengan gejala-gejala hipotiroidisme sebagai efek sampingan. Efek yang tidak diinginkan ini dapat disembuhkan dengan pemberian pulvus tiroid. (II). dan VAN DER LAAN mempelajari efek tiosianat terhadap kelenjar tiroid tikus dan dapat membuktikan bahwa tiosianat menghambat uptake iodium oleh kelenjar tiroid dan mempercepat pengeluaran iodida dari kelenjar tiroid. Bila kaliumiodida diberikan bersamaan dengan tiosianat, efek tiosianat akan berkurang, sedangkan kalau kaliumiodida diberikan sesudah pemberian tiosianat, efek tiosianat akan terlihat lebih jelas. ((11) VAN DER LAAN

Diketahui sekarang, bahwa jika kadar tiosianat darah melebihi 1 mg%, maka akan terjadi hambatan pompa iodium (iodine pump) pada intake iodium yang normal, sedangkan pada kadar tiosianat darah yang lebih tinggi lagi akan terjadi pula penghambatan pembentukan MIT, DIT, T3, dan T4. (12)

Kepustakaan 1.

GREER, M.A. (1962)Recent Prog. Horm. Res.18, 187 — 219.

2.

VAN ETTEN, C.H. Goitrogens dalam Liener, I.E. (ed), Toxic constituents of plant foodstuffs, Acad. Press, N.Y. 1969, 103141.

3.

EKPECHI, O.L. (1967)Br.

4.

HEYNE, K. : De Nuttige platen van Indonesia 3 e druk, N.V. Vitgevery W. Van Hoeve-s' CjravenhagelBandoeng. 944 — 955 1950.

5.

COLLARD, P. (1959)Nature; 183, 620 — 621. OSUNTOKUN, B.O. (1970)Br. J. Nutr24, 797-800.

6.

J.

Nu tr21, 537-545.

7.

VAN DER VELDEN, M., KINHAERT, J., ORTS, S. DAN ERMANS, A.M. (1973)Br. .J. Nutr30, 511 — 517.

8.

BOURDOUX, P., DELANGE, F., GERARD, M. MAFUTA, M. HAMSON, A. DAN ERMANS, A.M. (1978) JClin. Endocrinol. Metah 46, 613 — 621.

9.

MONTGONERY, R.D. CYANOGENS dalam Liener, I.E. (ed) Toxic contituents of plant foodstuffs, Acad. Press, N.Y. 1969, 143 157.

10.

BISSET, F.H., CLAPP, R.C, CEBURN R.A, ETTLINGER, M.G. dan LONG, L. JR. (1968) Phvtochem. 8, 2235 — 2247.

11. 12.

WOOD, T. (1965)J , Sci. Fd. Agric.6, 300 — 305. VAN DER LAAN, J.E. DAN VAN DER LAAN, W.P. (1947) Endocrinology , 40, 403 — 416.

13.

WOLFF, J. (1964) Phys. Rev. 44, 45 — 84.

14.

GRODSKY, G.M. : The chemistry and funetions of the hormones dalam Harper, H.A. (ed).Review of Physiological Chemistry, Maruzen Asian 16th edition, 1977, Lange Medical Publications, Maruzen Company, Limited.

PERTEMUAN NASIONAL KE V PERHIMPUNAN AHLI ANATOMI INDONESIA empat anggal ema

: :

Acara ilmiah : Sekretariat Metabolisme yodium dan hormon tiroid (Diambil dari Harper H. A : Review of Physiological Chernistry, 16 th. ed. Los altos, Lange Med. Pub. , 1977, p. 463 )

:

Semarang 27, 28, 29 Maret 1980. Peranan anatomi dalam pengendalian pertumbuhan penduduk dan pengembangan nilai-nilai budaya bangsa. Kinesiologi terapan & ergonomi, reproduksi manusia, antropologi dan lainlain. Bagian Anatomi FK UNDIP, Jalan Dr. Sutomo 16, Semarang.

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

45

Darah Buatan mendekati Kenyataan Kini tampak ada kemajuan — yang agak dramatik — dalam riset mencari bahan kimia sebagai pengganti darah manusia. National Institute of Health di Amerika sudah menciutkan jumlah senyawa kimia yang diselidiki sehingga tinggal empat jenis senyawa. Efeknya terhadap binatang sedang dipelajari. Sementara itu di Jepang Green Cross Corp. telah diberi ijin oleh negaranya untuk memasarkan darah buatan untuk dipergunakan pada transplantasi organ. Cabang perusahaan ini di California, Amerika, bersiap-siap meminta ijin FDA (Food & Drug Administration) untuk memulai percobaan klinik agar produk tersebut dapat dipasarkan di Amerika. Darah buatan itu berupa emulsi fluorokarbon, suatu golongan senyawa kimia yang inert dan dapat menggantikan fungsi darah merah dalam membawa oksigen. Memang fungsi ini hanya satu dari sekian banyak fungsi darah dalam tubuh manusia. Namun dalam beberapa keadaan, senyawa itu sangat bermanfaat, misalnya untuk transfusi dalam keadaan darurat dan mempertahankan hidupnya organ-organ yang akan ditransplantasi. Ada beberapa kelebihan darah buatan dibandingkan dengan darah manusia. Emulsi fluorokarbon itu tidak mudah rusak. Pada suhu kamar dia dapat bertahan bertahun-tahun. Sebagai perbandingan, darah manusia yang didinginkan hanya dapat bertahan beberapa minggu. Darah buatan juga dapat diberikan pada semua orang tanpa memperdulikan tipe darahnya; tidak ada resiko hepatitis dan infeksi lain; dan dapat diterima oleh beberapa sekte agama yang mengharamkan transfusi darah manusia. Potensi di medan perang. — Darah buatan itu dapat dipergunakan dalam keadaan-keadaan darurat di mana darah manusia tidak tersedia, misalnya dapat dengan segera diterbangkan ke daerah yang terkena bencana alam. Pihak militer melihat potensinya untuk digunakan di medan perang, maka Departemen Pertahanan Amerika terus mengikuti perkembangan riset ini. Pasukan Bela Diri Jepang juga telah setuju melakukan percobaan klinik terhadap produk Green Cross Corp. itu. Yang cukup penting juga, darah buatan itu ternyata jauh lebih murah dari pada darah manusia. Green Cross memperkirakan produknya dapat dibuat dengan beaya $15 per unit, sementara harga darah manusia yang diperoleh dari donor di Palang Merah Amerika sekitar $32 per unit. Namun komersialisasi ini masih cukup lama. Setelah FDA memberi ijin untuk memulai percobaan klinik, paling sedikit lima tahun kemudian produk itu baru dapat dipasarkan. Persetujuan untuk memasarkan suatu obat baru dapat memakan waktu 10 tahun di Amerika. Di Jepang, Green Cross sudah mulai dengan percobaan klinik, transfusi pada manusia. Dr. Roy Naito, pemimpin 46

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

perusahaan itu, memimpin sendiri percobaan klinik itu dan memakai dirinya sendiri sebagai salah satu orang percobaan. Darah buatan itu juga sudah dicoba pada 10 pasien, terutama korban kecelakaan atau pasien dengan golongan darah yang jarang sekali. Hasilnya cukup menggembirakan. Amerika lebih berhati-hati. — Para peneliti di Amerika lebih berhati-hati, meskipun tidak kalah giatnya. Sebenarnya usaha ini dimulai berdasarkan hasil penelitian Prof. Leland C. Clark sekitar tahun 1965. Dia menemukan bahwa tikus-tikus yang dibenamkan dalam larutan fluorokarbon yang dialiri oksigen dapat hidup terus. Tapi senyawa-senyawa fluorokarbon itu tidak larut dalam darah, Maka sebelum dapat dipergunakan dalam badan, senyawa itu harus dijadikan emulsi dulu. Tahun 1967 Prof. Henry A.Sloviter berhasil membuat emulsi yang dapat mempertahankan kehidupan otak tikus. Setahun kemudian Prof. Robert P. Geyer menunjukkan bahwa darah tikus dapat di ganti semua dengan emulsi fluorokarbon. Namun masih ada masalah. Masih dicari emulsi yang dapat stabil selama jangka waktu yang cukup lama dan yang tidak terus menetap di dalam badan. Produk Green Cross yang disebut di atas masih dianggap kurang sempurna oleh peneliti-peneliti Amerika. Produk buatan Jepang itu gabungan dari dua jenis fluorokarbon; salah satu dari senyawa itu bila dimasukkan dalam badan menetap di dalam badan selama berbulan-bulan. Penggunaan-penggunaan lain. — Meskipun darah buatan itu belum memasuki pasaran, para peneliti telah menemukan kegunaan-kegunaan lain dengan implikasi yang sangat luas. "Seperti biakan jaringan dalam biologi, penemuan ini membuka berbagai kemungkinan baru, " kata Prof. Geyer itu. Penyelidikan selama ini menunjukkan bahwa aktivitas lekosit dirangsang oleh adanya fluorokarbon. Penyelidikan sedang dilakukan pada tikus untuk melihat apakah efek tersebut dapat dipakai untuk pengobatan tumor. Senyawa-senyawa fluorokarbon itu terkonsentrasi pada hepar dan limpa. Maka obat yang diikatkan pada senyawa itu akan terkumpul juga dalam alat tubuh itu. Bila obat yang diikatkan adalah obat anti-kanker, maka obat ini akan mencapai konsentrasi yang tinggi di dalam hepar dan limpa sehingga mungkin banyak mempengaruhi efek terapeutiknya terhadap kanker pada organ-organ itu. Karena beberapa obat anti-kanker bereaksi dengan protein darah, para peneliti membayangkan kemungkinan sebagai berikut : darah pasien diganti semua dengan darah buatan, obat anti kanker diberikan, kemudian darah pasien dikembalikan lagi ke dalam tubuh. Kemungkinan penggunaan lain ialah dalam pengobatan luka bakar, shock, dan keadaan lain di mana kapiler berkonstriksi sehingga aliran darah terganggu. Karena ukuran partikel fluorokarbon hanya seperseribu ukuran sel darah merah, senyawa itu dapat membawa oksigen ke jaringanjaringan, melewati kapiler yang terlalu kecil untuk dapat dilewati darah merah. Banyak masalah yang masih harus diatasi. Namun demikian para peneliti optimis bahwa senyawa fluorokarbon ini akan merupakan penyelamat jiwa manusia di masa yang akan datang.

adanya faktor-faktor mental, faktor itu tidak ditangani secara eksplisit (diagnosanya maupun terapinya); kadangkadang keadaan ini menciptakan kasus yang diobati berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tanpa perbaikan, atau dengan gejala yang sering berubah-ubah.. Jika semua usaha pengobatan farmakologik atau operatif tidak menghasilkan perbaikan, maka akhirnya pasien dikonsultkan kepada psikiater.

I KHTISAR TEORI DAN KLINIK NEUROSA Oleh Penerbit Harga

: : :

Dr. D. Bachtiar Lubis DB Lubis, 1979 Rp. 5.500,

"

Rata-rata separoh atau lebih dari semua pasien yang keluhan minta pertolongan dokter (karena kelainan atau terdiri dari penderita neusomatik dan psikik apa pun) rosa dan penderita dengan kelainan dan keluhan fisik dimana kelainan neurotik memainkan peranan utama " , demikian tulisan Dr. Lubis dalam bukunya yang diterbitkan baru-baru ini. Mengenai angka insidensi neurosa para doktetapi pastilah bahwa setiap ter dapat berbeda faham, dokter yang berpraktek mengobati orang sakit hampir se"faktor psikologik" pada tiap hari berhadapan dengan pasien-pasiennya. Gejala yang jelas dapat dihubungkan dengan gejolak mental dan emosional ialah gejala seperti ketakutan, depressi, insomnia, atau kegelisahan. Namun gejala " somatik " pun untuk sebagian besar bersangkutan dengan hal mental dan emosional, seperti sesak napas, kelemahan badan, demam, sakit kepala dan diare dan konstipasi, allergi, vertigo. Apabila gejala-gejala itu disertai kelainan organik objektif, itu pun bukan berarti bahwa faktor psikologik tidak berperan di dalamnya. Sebetulnya itu bukan hal yang baru. Dokter sudah mempelajari itu semasa ia masih duduk di bangku fakultas. Semua buku ilmu kedokteran klinik menyebutkan faktor psikologik sebagai unsur etiologi yang penting pada hampir semua penyakit. Mengenai setiap terapi apa pun, selalu disebutkan bahwa faktor psikologik atau hubungan psikologik antara dokter dengan pasien memainkan peranan yang menentukan untuk hasilnya terapi.

Buku ini terbit pada saat ia sangat diperlukan. Banyak dokter sudah lupa bagaimana mengadakan pemeriksaan sistematis untuk mengungkapkan data mental dan emosional pada pasiennya, dan bagaimana membuat differensiasi tentang fenomen kejiwaan. Juga barangkali sudah tidak jelas lagi menentukan indikasi untuk pengobatan : bilamana harus menggunakan obat-obat "penenang" tertentu. Bagaimana mengenal bahwa sesuatu gejala " somatik" sebenarnya mempunyai dasar emosional (selain per exclusionem : yaitu kalau tidak ada kelainan organik objektif atau kalau obat tidak menolong). Differensiasi antara sifat-sifat normal, neurotik dan latent - psikotik ; antara manifestasi neurasthenia, hypochondria, hysteria, depressi, kompulsivitas, "neurosa organ", dan sebagainya ; hal ini semua mungkin tidak dilakukan lagi oleh dokter dalam perakteknya yang terutama berorientasi organo-patologik. Pada hal, pengetahuan ini serta penerapannya dalam hubungannya sehari-hari dengan pasien dapat meningkatkan efektivitas terapeutik dalam keseluruhannya. Dalam buku ini, Dr. Lubis tidak menganjurkan supaya dokter berwawancara lama - lama dengan pasien, atau menggunakan cara-cara psikiatrik yang khusus. Yang diperlukan hanyalah sensitivitas tentang data-data psikopatologik, yang dapat diperoleh dalam pemeriksaan medik yang biasa. Terapi terhadap neurosa dapat dijalinkan pula dalam terapi medik umum tanpa memerlukan ketrampilan spesialistik khusus. Hanya pada kasus-kasus tertentu akan diperlukan intervensi oleh psikiater. Untuk mengetahui indikasi dan saat yang tepat untuk konsultasi psikiatri, buku ini pun dapat memberi pegangan yang sangat berguna. Buku ini ditujukan kepada dokter bukan - psikiater, dan menguraikan sistematik teoretik dan klinik mengenai sesuatu kondisi (neurosa) yang dijumpai praktis setiap hari pada pasien dalam praktek. Cara pemeriksaan dan peng obatan ada dalam jangkauan setiap dokter tanpa memerlukan perubahan yang drastis dalam cara prakteknya. Karena itu, buku ini patut dibaca oleh setiap dokter. Buku ini tebalnya 212 halaman, dicetak offset pada kertas HVS Import, mutu cetakannya cukup bagus, hurufnya mudah dibaca, kulit tebal (hard cover) berlapis linen, dengan sampul kunstdruk. Harganya yang Rp. 5.500,— sepadan dengan mutu isi maupun mutu pencetakan buku tersebut:

Sekali pun demikian, banyak dokter ( kecuali psikiater ) menghadapi "faktor psikologik " itu hanya secara intuitif. Diagnosa dan terapi biasanya sangat dititik-beratkan pada kelainan organik yang didapatkan. Meskipun diduga Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

47



PENGUMUMAN

PENITIA PERLOMBAAN PENULISAN KARYA ILMIAH/PENELITIAN ORTHOPAEDI I980 Perkumpulan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia/Majalah Orthopaedi Indonesia.

Dalam rangka menghadapi kongres nasional III Perkumpulan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia pada bulan Nopember 1980 di Bandung, Perkumpulan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia ( PABOI ) dengan pelaksananya Majalah Orthopaedi Indonesia ( MOI ) akan mengadakan perlombaan penulisan karya ilmiah Orthopaedi untuk dokter dengan syarat-syarat sebagai berikut : Peserta : * Semua dokter Indonesia anggota IDI dengan kwalifikasi sebagai berikut :

*

(1).

dokter umum.

(2).

asisten dalam pendidikan dari salah satu bidang keahlian/spesialisasi kedokteran baik preklinik maupun klinik.

(3).

dokter ahli yang bekerja di daerah/bukan di pusat pendidikan.

Hadiah Hadiah pertama : uang sebanyak Rp. 250.000,– piagam penghargaan dan pengangkatan menjadi anggota luar biasa PABOI, serta dinyatakan sebagai pemegang "Sceharso Soebiakto Awazd." Hadiah kedua : uang sebanyak Rp I50.000,– piagam penghargaan dan pengangkatan menjadi anggota luar biasa PABOI. Hadiah ketiga : dua hadiah masing-masing uang sebanyak Rp 50.000,– piagam penghargaan dan pengangkatan menjadi anggota luar biasa PABOI. Hadiah harapan : berjumlah beberapa orang/hadiah, berupa buku-buku orthopaedi, piagam penghargaan dan pengangkatan menjadi anggota luaz biasa PABOI. Pelaksanaan. Yang berminat untuk mengikuti perlombaan ini diminta agaz : mengirimkan judul karya ilmiah/penelitian disertai ikhtisarnya (uraian singkat yang dapat memberikan informasi mengenai substansi, cara pendekatan, metodologi penelitian) selambat-lambatnya tanggal 3I Januari 1980 disertai dengan nama, jabatan, instansi, alamat peserta (–peserta). mengirimkan naskah lengkap karya ilmiah berikut foto-foto bila ada (foto hitam putih dalam kertas mengkilap) selambat-lambatnya tanggal 31 Juli I980.

Yang tidak termasuk dalam kwalifikasi ini adalah : 1.

dokter ahli yang bekerja di pusat pendidikan.

mengirimkan bahan/naskah singkatan karya ilmiah yang akan/ sudah dibuat slide-nya (bukan mengirimkan slide ) selambat-lambatnya tanggal 3I Oktober I980.

Isi karya ilmiah (1).

Karya ilmiah berisi hasil penelitian klinis khususnya dalam bidang orthopaedi.

(2).

Karya ilmiah berisi hasil penelitian epidemiologis yang berhubung an dengan bidang orthopaedi.

(3).

Karya ilmiah berisi hasil penelitian biomedis yang berhubungan dengan bidang orthopaedi.

(4).

Karya ilmiah dalam bidang tekndogi khususnya dalam bidang orthopaedi.

(5).

Karya ilmiah orthopaedi.

(6).

Karya ilmiah mengenai masyarakat yang berhubungan dengan bidang orthopaedi.

(7).

Karya ilmiah harus dipresentasikan pada kongres nasional III PABOI di Bandung, Nopember I980.

(8).

Karya ilmiah yang diperlombakan menjadi hak Majalah Orthopaedi lndonesia.

(9).

Karya ilmiah belum pernah dipresentasikan pada forum ilmiah lain dengan judul/isi yang sama.

48

(catatan : slide untuk presentasi supaya dibuat sendiri). hadir pada Kongres nasional III PABOI November 1980 di Bandung untuk mempresentasikan karya ilmiahnya ( yang merupakan penilaian terakhir), lengkap dengan slide 35 mm (boleh dengan film 8 mm bila dianggap perlu). pengiriman naskah dan lain-lain agar ditujukan pada : Sekretaziat Panitia Perlombaan Karya Ilmiah Orthopaedi 1980 d/a dr. M. Ahmad Djojosugito. Bagian Bedah FK–UNPAD, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin JI. Pasteur 38 Bandung Tilp. 84953 – 55 psw 205, 215.

mengenai pelayanan kesehatan dalam bidang

Cermin Dunia Kedokteran No. I7, I980

Tambahan (1).

Seorang dokter dapat mengirimkan lebih dari satu karya ilmiah.

(2).

Dalam hal adanya lebih dari satu orang penulis dalam satu karya ilmiah (termasuk pembimbing yang dimasukkan sebagai co-aut hor), hadiah diterimakan pada tim tersebut, bukan pada masingmasing penulis.

(3).

Keputusan tim penilai tidak dapat diganggu-gugat, tetapi tidak berarti tertutup untuk kritik-kritik dan saran demi perbaikan di masa datang.

Catatan singkat Dari 133 orang yang memakan ginseng selama satu bulan atau lebih, 93 orang merasa lebih sehat dan 89 melihat adanya peningkatan efisiensi motorik & kognitif. Namun ada juga reaksi yang tidak diharapkan yang berupa diare (47 orang), erupsi kulit (33 orang), kurang tidur (26 orang) ; kecemasan (25 orang), hipertensi (22 orang), euphoria (18 orang), dan edema (I4 orang). Setelah memakan ginseng dalam jangka waktu panjang penghentian mendadak menyebabkan hi potensi, kelemahan dan tremor. Maka dianjurkan tidak menggunakan obat itu dalam jangka panjang.

Seorang pemuda menderita luka tusuk pada perutnya pada kuadran kanan bawah; tepat pada titik Mc Burney. Pada laparotomi ditemukan hal yang tak terduga. Yang tertembus (perforasi) bukan usus besar atau usus kecil, tapi lambung pada kurvatura mayor. Bagian lain abdomen tak ada kelainan. Ternyafa pada saat kejadian itu lambung tersebut terisi penuh oleh makanan sehingga turun sampai ke kuadran kanan bawah.

JAMA 24I : 1614, 1979.

Diazepam merupakan obat yang paling sering tertulis dalam resep.. Hal ini sudah berlangsung selama enam tahun belakangan ini. Demikian menurut Albany College of Pharmacy Prescription Survey.

N Engl J Med 300 : 625, I979.

Inilah statistik mengenai kecelakaan pesawat terbang dari data yang dikumpulkan dari seluruh dunia. Umumnya ada 2,2 kecelakaan fatal tiap satu juta penerbangan. Faktor manusia mempengaruhi kurang lebih 70% dari seluruh kecelakaan itu. Dari 124 kecelakaan antara tahun 1962 sampai 1972, hanya lima (4%) terjadi selama perjalanan. Sebagian besar (80%) kecelakaan terjadi pada saatsaat pendaratan dan take-off (pendaratan 47%, take-off 33%)

Medical Marketing & Media

April I979.

Sudah lebih dari 20 tahun ini penisilin dan tetrasiklin secara rutin ditambahkan pada makanan temak untuk mencegah penyakit dan mempercepat pertumbuhan badan hewan. Kini FDA"s Bureau of Veterinary Medicine mengusulkan agar kebiasaan itu dibatasi. Ditakutkan pemberian rutin antibiotika itu mempengaruhi kepekaan bakteri sehingga suatu saat dapat membahayakan manusia.

Practitioner 222 : 783 — 790, I979

Pelari maraton imun terhadap atherosklerosis koroner; demikian anggapan kalangan kedokteran selama ini. Hipotesis itu kini tak berlaku. Pada otopsi terhadap empat pelari maraton ditemukan bukti nyata adanya atherosklerosis koroner; dua di antaranya meninggal karena kelainan itu. Jadi lari maraton tidak menjamin kekebalan terhadap penyakit jantung koroner yang fatal. Meskipun demikian, penemuan ini tidak berarti bahwa lari maraton tidak berguna. Mungkin kegiatan itu memberikan perlindungan sebagian terhadap penyakit jantung iskemik. Mungkin juga olah raga ini mengurangi kecepatan proses atherosklerosis. Tapi masih ada kemungkinan lain : kemungkinan bahwa lari maraton malah mempercepat kematian mereka! Penyelidikan lebih lanjut masih diperlukan.

FDA Consumer, Januari I979, hal. 3 .

Ada hubungan erat antara stress dan humor. Penyelidikan pada pelawak menunjukkan bahwa mereka mengaktifkan kecemasan latent/tersembunyi pada penonton, dan melepaskan emosi itu melalui gelak tawa. Pemimpin yang baik biasanya memiliki sifat humor, karena kemampuan berhumor berhubungan erat dengan sifat bebas (disinhibited), keterbukaan, kemampuan menangkap hal-hal yang tidak serasi, kreativitas, dan tertarik pada aktivitas asosiasi linguistik. Sebaliknya humor tidak serasi dengan sifat kaku, dogmatisme, sifat tertutup, otoriter dan obsesi. 301:86—9,7.

NEnglJMed

Practitioner 222 : 736, 1979

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

49

KULIT - KULIT BUAH CINTA

KONSEP PENYAKIT Latar belakang berbagai kelompok masyarakat di Indonesia sangat beraneka ragam; demikian juga pengertian mereka tentang penyakit ( disease ) dan gejala penyakit ( symptom ). Dokter yang bekerja di daerah kadangkadang terkecoh oleh karena perbedaan pengertian tersebut. Sebagai contoh, ketika bertugas di Kalimantan saya berkali-kali terperangkap dalam dialog di bawah ini : + Pak, anak bapak sakit apa?

Yang ditanya langsung menyahut : — Dok, saya justru tidak tahu dia sakit apa. Itulah sebabnya dia saya bawa berobat ke sini !!!....... (Setelah ditanyakan apa yang dirasakan atau bagaimana gejalanya barulah dia menceritakan tepat seperti yang ditanyakan) EN

Jawaban RPPIK. 1. 2. 3. 4.

50

A D A A

A 6. C 7. E 8. D 5.

9. 10. 11.

A A E

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, I980

Seorang pria berasal dari sebuah kota besar, baru saja menikah dengan seorang gadis dari desa dan mereka kini sedang menginap di rumah orang tua pengantin wanita untuk bersama-sama menikmati hari-hari pertaina dari bulan yang sernanis madu. Sudah beberapa hari mereka mengunci diri di dalam kamar tidur tanpa ke luar untuk makan dan minum, sehingga ayah mertua mengetok pintu kamar mengajak mereka keluar makan. "Kami tak perlu makan, ayah, kami dapat hidup dari cinta saja, " begitulah terdengar jawaban dengan suara setengah ngantuk dari dalam. " Saya tidak keberatan kalian berdua hidup hanya dari buah cinta, " menggerutu sang mertua, "akan tetapi jangan membuang kulit-kulitnya secara sembarangan keluar jendela. Ayam-ayam saya mati tercekik setelah memakan kulit-kulit buah cinta itu." Sebagai seorang desa, sang mertua tentunya tidak mengerti apa sebenarnya buah cinta itu, akan tetapi yang pasti ialah karet-karet kondom yang telah habis terpakai tadi yang membunuh ayam-ayamnya. O LH. TAMPANG SADIS Suatu senja seorang anak berusia 4 tahun dibawa ayahnya ke rumah saya. Wajah dan potongan ayahnya memberi kesan "sadis " ; kekar, kumis melintang, jarang tertawa. Anak itu saya suruh duduk di kursi sementara saya mengambil kapas dan alat-alat lain. Waktu saya keluar lagi, anak itu duduk sendirian , ayahnya tampak mondar-mandir di depan rumah. Saya memeriksa luka pada kaki anak kecil itu. Sekeping kayu terbenam pada telapak kakinya; setelah dibersihkan tampak ujung kayu itu. Ketika potongan kayu itu akan saya cabut si anak memberontak. Maka saya berteriak memanggil ayahnya yang masih mondar-mandir di luar. Berkali-kali saya berteriak agar sang ayah masuk, tapi dia seolah-olah tidak mendengar panggilan saya. Saya berkata kalau dia tidak mau membantu memegang kaki anaknya, tak mungkin saya mencabut kayu itu. Dengan ogah-ogahan akhirnya sang ayah masuk, kemudian memegang kaki anaknya dengan tangan kirinya yang kekar, memalingkan mukanya ke arah lain, dan menutup kedua matanya dengan tangan kanannya!!. Saya terhe. ran-heran, tapi segera dia mengaku :"Saya paling tidak kuat melihat darah, dok !".................Wah, tidak sesuai dengan tampangnya. EN



Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ??? Jawaban dapat dilihat pada halaman 50

1.

Koma dalam (deep coma) dan berhentinya pemafasan spontan cukup untuk menegakkan diagnosis Kematian Otak : (A) (B)

2.

3.

merupakan suatu kelainan neurologik yang penting untuk dikenal dan ditanggulangi karena sering merupakan pertanda akan timbulnya "completed stroke. " Serangan ini biasanya hilang dengan sendirinya dalam : 24 jam dua hari satu minggu satu tahun

Penderita atherosklerosis lebih peka terhadap perdarahan setelah suatu kecelakaan. Ini disebabkan karena : (A) (B) (C)

Mekanisme vasokonstriksi tidak berjalan normal Permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat Defisiensi faktor-faktor penggumpalan darah

125.000 sampai 200.000/cm 3 Kurang dari 125.000/cm3 Kurang dari 20.000 — 30.000/cm 3 Kurang dari 6000/cm 3

Apa saja yang dapat menyebabkan dermatitis atopika? (A) (B) (C) (D) (E)

Infeksi bakteriel Frustrasi dan kemarahan Garukan tangan Keringat yang berlebihan Semua benar

8.

Sifat yang paling berguna dari benzathine penicillin G ialah : (A) Toksisitasnya rendah (B) Daya kerja cepat (C) Terkonsentrasi dalam saluran kencing (D) Daya larut/solubilitasnya rendah

9.

Punggung tangan (the back of the hand) menunjukkan profil konkaf merupakan sifat khas untuk penyakit : (A) (B) (C) (D)

SOS

(A) (B) (C) (D) 5.

7.

Pada penyelidikan di Indonesia, gangguan peredaran darah otak (CVA) pada penderita dewasa muda (17 — 30 tahun) sebagian besar disebabkan oleh : Cerebrovascular lues Hipertensi Winiwarter Buerger Cerebralis Emboli Tumor otak

Seseorang lebih mudah menderita perdarahan yang bermakna setelah pembedahan bila trombositnya : (A) (B) (C) (D)

Salah Benar

Diagnosis Kematian Otak perlu sekali untuk unit perawatan intensif, karena : (A) Fasilitas perawatan intensif terbatas dan mahal. (B) Untuk transplantasi pada saat yang tepat. (C) Untuk menghindarkan tuntutan hukum. (D) Semua benar.

(A) (B) (C) (D) (E) 4.

6.

10.

Hipertensi maligna mungkin didahului dengan : (A) (B) (C)

11.

Rheumatoid arthritis Marfan's syndrome Osteoarthritis Hand-Schuller-Christian disease Sunday morning headache Migraine nortumal Nyeri kepala unilateral yang inenetap

Nyeri kepala dan gangguan penglihatan mungkin merupakan akibat dari : (A) (B) (C) (D) (E)

Migraine Epilepsi Insuffisiensi arteri carotid Insuffisiensi sirkulasi basilar-vertebral Semua benar Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

53

ABSTRAK-ABSTRAK AMANTADINE SEBAGAI OBAT ANTI — INFLUENZA

OBAT

"National Institute of Health" (NIH), lembaga penelitian dalam bidang kesehatan yang terbesar dan sangat berwewenang di Amerika Serikat telah menyetujui penggunaan amantadine sebagai obat terhadap influenza. Sebagaimana kita ketahui, influenza merupakan penyakit virus yang paling banyak menimbulkan penyakit dengan gejala-gejala yang sudah terkenal; panas, batuk, pilek, dan pegal otot/sendi. Setiap tahun puluhan juta orang diserang virus ini. NIH menyatakan bahwa vaksinasi masih merupakan metoda utama sebagai profilaksis terhadap influenza, tetapi amantadine dapat dipergunakan sebagai pengobatan tambahan sampai pasien mendapat vaksin dan menjadi imun. Amantadine dapat dipakai sebagai profilaktikum dan untuk pengobatan influenza tipe-A, tetapi tidak bermanfaat untuk pengobatan influenza tipe-B dan penyakit oleh virus-virus lain. Di Amerika Serikat telah terjadi berbagai masalah dengan vaksin influenza, terutama tiga tahun yang lalu, dengan penggunaan vaksin swine-flu. Pada waktu itu telah divaksinasi jutaan pasien terhadap influenza dengan menggunakan vaksin swine-flu. Tetapi nyatanya tidak efektif, bahkan menimbulkan efek samping pada beberapa pasien, terutama yang sudah tua. Dengan dapat dipakainya amantadine sebagai profilaktikum maupun obat penyembuh, maka ilmu kedokteran telah maju selangkah dalam perjoangan melawan influenza. bs BATUK KRONIK DAPAT MERUPAKAN SATU—SATUNYA GEJALA ASTHMA BRONKHIAL

PARU

Obstruksi saluran pernafasan biasa dianggap sebagai kondisi sine qua non untuk asthma. Obstruksi itu mungkin hilang dengan spontan, tapi dapat juga dikurangi dengan pemberian bronkhodilator dan/atau kortikosteroid. Pada penderita asthma, saluran pernafasan juga hiper-reaktif terhadap obat-obat yang segolongan dengan asetilkholin yang mencetuskan obstruksi sementara. Eosinofilia dapat juga dianggap sebagai gejala yang konsisten untuk penyakit asthma. Namun anggapan di atas kini harus ditelaah kembali dengan adanya laporan Corrao dan kawan-kawan. Dilaporkan enam pasien dengan batuk kronik selama Tak ada satu sampai 48 bulan. Hanya satu pasien mengeluarkan sputum sedikit. keluhan sesak nafas atau "wheezing", pada waktu istirahat maupun waktu bekerja. Tak ada pasien yang menderita hay-fever atau penyakit-penyakit atopik lain, tapi semua mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit atopik. Tak ada postnasal drip atau bronkhitis kronik yang dapat menerangkan gejala batuknya. Pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah & sputum, pemeriksaan rontgen pada sinus dan thorax dan spirometri rutin, semuanya dalam batas-batas normal. Percobaan inhalasi methacholine menunjukkan saluran pernafasan yang hiperreaktif, seperti ditunjukkan oleh hasil-hasil spirometri. Setelah inhalasi, semua pasien juga mengeluh sesak nafas, meskipun tak terdengar "wheezing.. pada auskultasi. Atas dasar penemuan tersebut semua pasien diobati dengan theophylline atau terbutaline. Dalam 48 jam gejala batuk menghilang dari semua pasien. Seorang pasien bahkan bebas batuk pertama kali dalam empat tahun terakhir itu. Tiga sampai dua belas bulan kemudian terapi dihentikan selama tiga hari, maka batuk muncul lagi. Ketika obat dimakan kembali, batuk hilang lagi. Diperkirakan pasien-pasien di atas menderita suatu varian penyakit asthma di mana gejala klinik satu-satunya hanya batuk. Corrao WM et. aL N Engl J Med 300 : 633 - 637, 1979

54

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

UNIVERSITARIA PENGOBATAN TRADISIONAL DARI SUDUT KESEHATAN JIWA DAN KESEHATAN MASYARAKAT Simposium yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa & Harian Umum Sinar Harapan ini diadakan di Jakarta tanggal 8 Desember 1979 yang lalu. Dari 90 orang pesertanya tercatat berbagai sarjana, dokter, apoteker, insinyur, dokter gigi, orang awam, sampai tabib. Simposium ini memang tidak dikhususkan untuk kalangan kedokteran, karena pengobatan tradisional toh bukan milik pribadi kalangan kedokteran. Namun latar belakang peserta yang demikian beraneka rag am ini rupanya menimbulkan kesulitan dalam diskusi, yang walaupun tidak diharapkan sangat ilmiah, sedikit-dikitnya harus cukup ilmiah untuk memperoleh input seperti yang diharapkan penyelenggaranya. Yang disoroti dalam simposium ini ialah faktor-faktor sosiobudaya pada pengobatan tradisional, konsep penyakit pada ilmu kedokteran tradisional, status dan peranan dukun dalam sistem pelayanan kesehatan dan sebagainya. Dua orang pengamat ilmu kedokteran tradisional Cina & India, masing-masing Prof. dr. A.Kleinmann dan Prof. dr. JS Neki ikut memberikan pandangannya mengenai masalah pengintegrasian ilmu kedokteran tradisional ke dalam ilmu kedokteran modern (atau sebaliknya). • Prof. dr. Kusumanto Setyonegoro dalam pengantarnya me-

ngungkapkan bahwa para "pengobat" atau "dokter kuno" di jaman dulu telah mengobati cukup banyak pasien dengan cukup berhasil pula. Mungkin sukses mereka agak dibesarbesarkan, namun barangkali sampai taraf tertentu memang berhasil. " Pengetahuan kuno" dan pengetahuan modern/ilmiah jelas menunjukkan berbagai perbedaan, akan tetapi mungkin juga ada persamaannya. Apakah sebabnya ? Salah satu kemungkinan ialah bahwa mungkin di antara sekian banyak cara pengobatan ada satu dua yang mengandung unsur-unsur universal sehingga dapat bertahan dalam ujian yang dilakukan dari jaman ke jaman. Selanjutnya, karena pengobatan kuno pun jelas ada yang berhasil, timbul pertanyaan "bagaimana sebetulnya proses penyembuhan itu sebenarnya terjadi?". • dr. Bonokamsi Dipojono, Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM membicarakan faktor-faktor sosio-budaya pada pengobatan tradisional orang Jawa. Contoh-contoh yang menarik, yang kadang-kadang dialaminya sendiri, membuat pembacaan naskahnya hidup dan tidak membosankan. Misalnya dikatakannya bahwa kepercayaan budaya khususnya hierarchi roh-roh sering dimanipulasi oleh para dukun untuk mempertahankan otoritanya terhadap orang sakit. Biia yang dihadapi seorang dirjen misalnya, roh yang memasuki dukun prewangan itu harus berkedudukan tinggi juga, misalnya Sunan Bonang. Tapi kalau yang sakit orang biasa, roh yang masuk cukup "si anu".

Segi budaya lain ialah adanya kecenderungan ke arah pikiran irrasional apabila pikiran rasional mencapai jalan buntu. Misalnya apabila kenaikan pangkat sudah tidak bisa dicapai dengan jalan rasional, ada kecenderungan untuk meminta pertolongan dukun atau memohon restu pada makam nenek moyang. Setelah membicarakan berbagai falsafah hidup dan kepercayaan budaya orang Jawa diambil kesimpulan sebagai berikut. Dengan mengetahui falsafah dan kepercayaan orang Jawa, maka seorang dukun mudah mengambil sikap yang sesuai dengan harapan orang sakit, sehingga memperlancar komunikasi. Seorang dukun sering memanipuler hal-hal irrasional dalam kepercayaan budaya tersebut sehingga orang sakit dan keluarganya mudah merasa "cocok" dengan dukunnya dan membuka diri bagi pengobatan yang disarankan olehnya. Dengan pengetahuan psikologi sederhana dan manipulasi falsafah dan kepercayaan budaya yang cukup cermat, hakekat pengobatan pedukunan terutama untuk menanggulangi faktorfaktor psiko-sosio-budaya dengan tujuan pokok mengembalikan rasa aman (security feelings) pada orang sakit sehingga ada kemauan untuk sembuh, di samping penanggulangan faktor biologik dengan pemberian ramuan jamu dan berbagai manipulasi fisik. Keputusan keluarga untuk meminta pertolongan kepada dokter atau dukun tergantung pada peranan yang harus dijalankan orang sakit menurut harapan keluarga. Tidak jarang terjadi terjadi konflik dalam keluarga mengenai keputusan tersebut konflik dalam keluarga mengenai keputusan tersebut di atas.

• dr. Denny Thong, seorang ahli penyakit jiwa yang bekerja

di Bali, membicarakan topik simposium ini berdasarkan falsafah dan kepercayaan budaya orang Bali. Di dalam masyarakat orang Bali, dianut falsafah "Tri Hita Karana", yaitu tiga unsur dalam kehidupan yang saling berhubungan dan Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

55

saling mempengaruhi. Ketiga unsur tersebut adalah (1) Sang Hyang Jagat Karana — kekuatan supernatural, (2) Bhuana Agung — alam semesta (makrokosmos), dan (3) Bhuana Alit — manusia (mikrokosmos). Ketiga unsur tersebut harus berada dalam keadaan seimbang dan harmonis untuk menciptakan keadaan sehat, aman dan damai. Ketidak seimbangan antara ketiga unsur itu menyebabkan bencana dan penyakit. Selain konsep penyakit yang kuno, sekarang juga diterima konsep kuman sebagai penyebab penyakit. Profil dukun atau pengobat tradisional di Bali ialah sebagai berikut : laki-laki, berumur sekitar 65 tahun, beragama Hindu, butahuruf, pekerjaan pokoknya petani, tidak punya jabatan dalam desa, mempunyai istri dan lima anak, sudah lama menjadi dukun, mempunyai keluarga yang juga menjadi dukun, cukup senang dengan kemampuannya sebagai dukun dan akan mewariskannya pada seseorang, tetapi tidak bersedia mengajarkannya pada sembarang orang. Di Bali dikenal tujuh macam dukun "spesialis", seperti dukun bayi (Balian manak), dukun urut (Balian urut), Balian tenung dan sebagainya. Dari wawancara terhadap 461 pengunjung puskesmas di Denpasar, ada 16 orang yang juga pergi ke dukun untuk penyakit yang sama. Kebanyakan dari mereka pergi ke lebih dari satu dukun, bahkan ada yang telah mengunjungi 30 orang dukun. Beaya yang dikeluarkan berkisar antara gratis sampai lebih dari Rp. 1 juta. Dari wawancara lain yang dilakukan terhadap 66 pengunjung poliklinik jiwa, semua menyatakan pernah pergi ke dukun. Disimpulkan bahwa pengobatan tradisional memang memegang peranan penting di Bali. Keberhasilan dari pengobatan tradisional itu dapat disebabkan karena (1) ketrampilan/kepandaian para Balian, misalnya dalam pengobatan salah urat dan patah tulang, kepandaian turun temurun mengenai khasiat tanam-tanaman dan sebagainya, (2) Penjelasan dari para dukun lebih menarik karena sesuai dengan konsep tentang penyakit yang dipercaya oleh masyarakat. Tetapi pengobatan tradisional mempunyai keterbatasan juga, terutama yang menyangkut pengobatan sakit yang menahun seperti psikosa, yang memaksa penderita pergi dari satu dukun ke dukun lain;dan sering pula dengan akibat yang kurang menyenangkan. Ahii Ilmu Kesehatan Masyarakat dari UI, menyatakan bahwa status dan peranan dukun masih cukup penting mengingat (i) masih banyak penduduk berobat ke dukun, (ii) dukun adalah informal leader dan sekaligus juga opinion leader untuk masalah kesehatan bagi masyarakat sekitarnya, (iii) jumlah dukun cukup besar, (iv) masalah kesehatan yang ditangani dukun cukup luas, dan (v) sistem dan aparat pelaksanaan program kesehatan di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan, masih jauh dari sempurna. Mengenai batasan pelaku pengobatan tradisional, pembicara menyarankan agar diingat juga bahwa yang mempraktekkan pengobatan tradisional kini bukan hanya dukun, tetapi juga dokter.

dukun tergantung dari daerah di mana penelitian dilakukan. Namun ada beberapa karakteristik yang sama, misalnya : laki-laki, angkatan tua, pendidikan dukun tidak berbeda bermakna dengan pendidikan mayoritas masyarakat sekitarnya, dan seterusnya. Mengenai konsep penyebab penyakit, pengamatan pembicara di kecamatan Serpong menyimpulkan setidaknya 4 penyebab penyakit, yaitu (1) karena kehendak Tuhan, (2) karena mahluk gaib, (3) karena adanya benda atau sesuatu yang bersifat jahat, misalnya angin jahat, dan (4) karena bibit penyakit, terutama untuk penyakit endemi seperti kolera. Dari keempat penyebab penyakit itu, faktor supranatural agaknya memegang peranan yang terpenting. Pembicara mengetengahkan juga bagaimana riwayat dukun ketika akan mulai menjadi dukun; hal-hal yang perlu dipelajari untuk menjadi dukun; cara dukun mendiagnosis penyakit; serta bagaimana cara pengobatan yang dilakukan oleh dukun, khususnya di daerah kecamatan Serpong.

• dr. Azrul Azwar,

Untuk mengenal para dukun perlu dipahami komponen utama yaitu karakteristik dukun, konsep yang dimiliki dukun, serta praktek pedukunan. Ketiga komponen itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Namun demikian komponen konsep memegang peranan yang paling penting. Karakteristik 56

Cermin Dunia Kedokteran No. 17. 1980

Tampak dr. Aszrul Azwar (ketiga dari kiri), serta dr. J. Karnadi yang memimpin diskusi group ini.

• Prof. A.Kleinmann, ahli kesehatan jiwa dari Seattle, Ame-

rika, mengetengahkan pengamatannya pada ilmu kedokteran tradisional Cina yang dilakukannya di Taiwan dan RRC.

Ada tiga taraf dalam pengobatan tradisional Cina.Taraf tertinggi adalah Chung I, yaitu pengobatan tradisional yang mempunyai landasan literatur kuno. Cara-cara pengobatan yang dipakai pada taraf ini ialah (1) dengan obat/ramu-ramuan, (2) akupunktur, (3) moxibustion, (4) berbagai latihan, latihan badan, latihan nafas dan sebagainya, (5) pembedahan ringan, walaupun tidak begitu diperkembangkan. Taraf kedua ialah folk medicine. Ini terutama didasarkan pada kepercayaan/ keagamaan, serta tehnik & ramuan tertentu. Taraf ke tiga ialah family medicine, sifatnya tradisional. Ini mengutamakan keseimbangan, misalnya makanan panas etau dingin, keseimbangan diet, dan lain-lain. Biasanya setiap keadaan sakit ditanggulangi pertama kali oleh keluarga, oleh sebab itu keluarga merupakan pertahanan pertama. Berdasarkan riset pada 120 pasien yang diobati dengan pengobatan tradisional dibandingkan dengan 120 orang yang diobati dengan pengobatan modem, dilaporkan hasil sebagai berikut : pengobatan tradisional sama efektifnya dengan pengobatan modern untuk penyakit yang (i) kronik, (ii) enteng atau self-limiting, (iii) akibat somatisasi/efek psikologik. Tetapi pengobatan tradisional kalah efektif untuk penyakit-penyakit akut. Mengenai efek samping, dikatakan kedua cara pengobatan mempunyai efek samping. Maka dianjurkan untuk waspada. Di samping itu ia menekankan beberapa hal, antara lain : di Barat akupunktur dikembangkan sebagai salah satu spesialisasi. Sebaliknya pengobatan tradisional Cina memakainya sebagai,salah satu bagian pengobatan. • Prof. JS Neki , juga ahli kesehatan jiwa, dari India, mengemukakan bahwa pada ilmu pengobatan tradisional India dikenal dua aliran, yaitu (1) Sistem kecil : menangani pengobatan patah tulang, gigitan ular, ekstraksi gigi, penggunaan yoga dan lain-lain. (2) Sistem besar : berdasarkan Ayurveda dan budaya Yunani yang dibawa oleh mereka yang menaklukkan India di jaman dulu. Disadari bahwa jumlah dokter India yang 100.000 itu tidak cukup untuk melayani 600 juta manusia. Di samping itu dilihat juga kenyataan bahwa ada 200.000 pengobat tradisional di India. Mengingat hal itu pemerintah India memberi ijin praktek pada pengobat tradisional itu seperti halnya ijin dokter. Berdasarkan penelitiannya, ditemukan

bahwa .pasien dengan penyakit yang enteng, kronik atau akibat somatisasi, lebih senang berobat ke pengobat tradisional. Sebaliknya pasien dengan penyakit akut atau yang memer lukan pembedahan lebih banyak memilih berobat ke dokter. Pengamatan ini sesuai dengan pengamatan Prof. A.Kleinmann di atas. Dikatakannya pula bahwa ilmu kedokteran modern/Barat dapat diperkaya oleh ilmu pengobatan tradisional, misalnya di India ada obat untuk leukoderma yang tak ada pada ilmu pengobatan modern. Sebaliknya pengobat tradisional mulai memakai obat-obat modern seperti antibiotika dan steroid. Sayangnya mereka tak mengetahui bagaimana cara memakainya, tak tahu efek sampingnya dan bagaimana mengatasi efek samping itu bila terjadi. Yang merupakan ironi, pengobat tradisional biasanya tidak mengakui bahwa mereka memakai obat Barat; sebaliknya dokter Barat segera mengakui bila mereka mencoba memakai obat tradisional. Mengingat hal-hal di atas, pembicara menyatakan perlu diadakan dialog antara kedua pihak. *****

Seorang tabib memanfaatkan waktu diskusi untuk mempropagandakan "penemuan baru ilmu pengobatan tradisi" onal modern dengan mesin & computer : orang lumpuh dapat berjalan kembali, orang-tuli mendengar seketika, anggota badan mati dapat dihidupkan, impotensi, kencing manis, ayan, polio, cacad mental dan lain-lain dapat disembuhkan tanpa obat sama sekali. Inilah resikonya bila latar belakang peserta terlalu beranekaragam. Kalangan kedokteran akan menyatakannya tidak ilmiah. Tapi kalangan "mereka" akan mengatakan ilmiah, karena dia punya 8000 surat pernyataan sembuh/terima kasih. Dialog memang perlu. Tapi perlu dicari dulu satu bahasa atau satu alat komunikasi yang dapat diterima kedua pihak. ***** Menyadari keanekaragaman peserta, Prof. Kusumanto tidak segan-segan bertindak sebagai penterjemah ketika Prof. Kleinmann & Prof. Neki membacakan kuliah singkatnya. Dengan lancar sekali dia menterjemahkan langsung ke dalam bahasa Irtdone sia.

Cermin Dunia Kcdokteran No. 17, I980

57

SIMPOSIUM REMATOLOGI Pada tanggal 24 Nopember 1979 di Jakarta telah diselenggarakan Simposium Rematologi oleh Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Simposium ini dihadiri oleh sekitar 300 orang. Peserta simposium dan pembicara selain dari Jakarta juga berasal dari beberapa kota lainnya seperti : Medan, Tanjungkarang, Palembang, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya dan lain-lain. Judul yang dibahas dalam simposium antara lain tentang : Imunologi Artritis Rematoid, Diagnosa Artritis Rematoid, Diagnosa Artritis Rematoid dan perbandingannya dengan penyakit penyakit lain, Radiodiagnostik Artritis Rematoid, " Juvenile chronic polyarthritis," Nefropati Analgesik, Penanggulangan artritis pada umumnya, Penggunaan kortikosteroid pada penyakit sendi, Tindakan pembedahan pada artritis rematoid, Peranan Unit Rehabilitasi Medis pada penyakit sendi. Pengelolaan dan pencegahan penyakit pirai di R.S. Hasan Sadikin selama lima tahun (1973 — 1977), Epidemiologi penyakit sendi di Pedesaan yang terisolasi (Sukoharjo, Pekalongan) dan Percobaan dengan Diclofenac sodium pada Artritis Rematoid dan Osteoartritis. Selain judul-judul tersebut diatas juga disajikan kuliah tamu oleh Prof. dr. J.K. Van der Korst (Holland) yang berjudul: " Modern trends in metabolic joint disease " yang mengemukakan bahwa sejak lama yang dikenal sebagai penyakit metabolik yang mempengaruhi sendi hanya penyakit pirai (gout) dan okronosis, namun sekarang telah meluas lagi meliputi : endokrinopati, hemoglobinopati, gangguan metabolisme tembaga dan besi, juga kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Gejala yang terlihat umumnya berupa artropati. Dua 'pathogenic pathways ' yang menyebabkan penyakit metabolik pada sendi adalah : (1) hasil-hasil metabolik yang abnormal dalam jaringan sinovial (atau penimbunan hasil metabolik yang normal dalam jumlah yang abnormal); (2) Gangguan metabolisme kondrosit. Penyakit pirai yang paling lama dikenal sebagai 'storage arthropathy,' mungkin ditimbulkan oleh banyak macam sebab yang mengarah ke produksi asam urat yang berlebih atau mempengaruhi ekskresi asam urat. Pada sebagian besar penderita asam urat berada dalam keseimbangan yang labil, kadarnya biasanya tepat di bawah batas kejenuhannya; penimbunan disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksogenik dan endogenik. Percobaan-percobaan klinik dan epidemiologik telah memperlihatkan hubungan yang nyata antara penyakit pirai dan hiperuremia, juga dengan hipertensi, adipositas, hipertrigliseridemia, arteriosklerosis dan peminum berat alkohol. Hubungan yang kompleks antara gangguan-gangguan tersebut sekarang telah terlihat secara meluas. Serangan-serangan sakit pada sendi yang menyerupai penyakit pirai ( ' pseudo gout ') mungkin disebabkan oleh penimbunan kristal hidroksiapatit dan pirofosfat dalam sendi hasil produksi lokal yang berlebih dari kondrosit. Sekresi pirofosfat yang abnormal sering menimbulkan gangguan lebih lanjut terhadap metabolisme sel tulang rawan, karenanya sering diikuti dengan proses degenerasi pada sendi. Dengan demikian terjadinya pirofosfat artropati dan osteoartritis pada penyakit metabolisme seperti hemokromatosis, hiperparatiroidisme dan mungkin juga yang lainnya 58

Cermin Dunia Kedokteran No. 17, 1980

dapat dijelaskan. Kesimpulannya : (1) Hampir semua penyakit atau kelainan metabolik mempengaruhi sendi; (2) Sering suatu artropati merupakan awal dan/atau gambaran yang menonjol dari penyakit metabolik pada sendi; (3) Ada tiga tipe metabolik artropati yaitu (a) Yang mempengaruhi membran sinovial (b) Yang mempengaruhi metabolisme kondrosit, (c) Yang mempengaruhi 'cartilage matrix,' (4) Pengertian tentang tanda dan gejala suatu penyakit metabolik membantu diagnosis dan terapi penyakit metabolik sendi. Kuliah tamu yang agak panjang ini memakan waktu sekitar 45 menit. Simposium pada umumnya telah diselenggarakan dengan baik hanya ada beberapa kekurangan yaitu waktu mulai agak terlambat dan ada sedikit hambatan pada kelancaran proyeksi slide; kiranya kekurangan-kekurangan ini akan dapat diperbaiki pada simposium mendatang.

Lanjutan dari halaman 6 Tokoh Kita : dr. Oen Boen lng

Pada tahun 1950-an dr. Oen menjadi supervisor sebuah apotik karena waktu itu jumlah apoteker masih sangat sedikit. Waktu pemiliknya hendak menyerahkan honorariumnya lewat istri dr. Oen, istrinya menolak karena "... saya benci apotik. Apotik adalah suatu instansi jahat. Ia mengambil keuntungan dari orang yang sedang menderita/sakit! " ***

Salah satu kegemaran dr. Oen adalah main catur. Diberitakan bahwa dia adalah salah seorang perintis perkumpulan catur di Indonesia. Maka dia menggambarkan pergulatan ilmu kedokteran dengan maut sebagai suatu pertandingan catur; siapa lebih cermat dan lebih pandai akan menang. Di kamar prakteknya tergantung sebuah lukisan yang menggambarkan dr. Oen sebagai dokter sedang bermain catur dengan kerangka manusia yang melambangkan maut. ***

Sejak tahun 1944 dr. Oen menjadi dokter pribadi lstana Mangkunegaran di Solo. Atas jasa-jasanya dia diberi gelar Tumenggung. ***

Tidak sedikit dokter di Solo yang telah mengikuti contoh yang dirintis dr. Oen Boen Ing. Siapa menyusul ???

Ucapan terima kasih : Terima kasih kami ucapkan pada dr. Lo Siauw Ging yang telah banyak memberi informasi .