Cdk 139 Kebidanan Dan Penyakit Kandungan

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 139 Kebidanan Dan Penyakit Kandungan as PDF for free.

More details

  • Words: 30,351
  • Pages: 57
2003 http. www.kalbe.co.id/cdk

139. Kebidanan dan Penyakit Kandungan

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel

Karya Sriwidodo WS Keterangan Gambar Sampul: Diolah dari gambaran termografi sebagai salah satu cara deteksi dini kanker payudara

5. Beberapa Cara Prediksi Hipertensi dalam Kehamilan – John Rambulangi 9. Balon Mitral Valvotomi pada Kehamilan – William Sanjaya, Jetty RH Sedyawan, T. Dewi Anggraini 13. Insiden Preeklampsia – Eklampsia di Rumah Sakit Umum Tarakan Kalimantan Timur – tahun 2000 – I Putu Sudinaya 16. Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia – John Rambulangi 20. Management of Placental Abruption and Incomplete Uterine Rupture caused by Accidental Trauma of Abdomen – Eddy Suparman, Aloysius Suryawan 22. Diabetes Mellitus dalam Kehamilan – Eddy Suparman 27. Ekspresi CD 44 pada Jaringan Tumor Karsinoma Payudara – Azamris 33. Giant Mammary Dysplasia (Penyakit fibrokistik) – Azamris 36. Trikomoniasis dan Penatalaksanaannya – AM Adam, Hardy Suwita 41. Toksoplasmosis Ibu Hamil Di Indonesia (Studi Tindak Lanjut Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995) – Salma Ma’roef, Soeharsono Soemantri 46. Akondroplasia – Vivianty Hartiono, R. Satriono 49. 50. 51. 52. 54. 56.

Produk Baru Kapsul Internet untuk Dokter Kegiatan Ilmiah Abstrak RPPIK

Masalah kesehatan ibu dan anak, khususnya penanganan masalahmasalah komplikasi yang mungkin timbul selama masa kehamilan seyogyanya selalu menjadi perhatian mengingat risiko dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan mereka, apalagi jika diperhitungkan juga efek jangka panjangnya terhadap perkembangan anak. Beberapa masalah dan komplikasi yang perlu diwaspadai selama kehamilan merupakan topik bahasan Cermin Dunia Kedokteran edisi ini; mulai dari masalah-masalah ‘klasik’ seperti eklampsia dan diabetes melitus sampai pada kasus-kasus yang relatif spesialistik. Beberapa tulisan mengenai tumor ginekologik juga ikut melengkapi, Selamat membaca

Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

Bl International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

REDAKSI KEHORMATAN –



Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA

Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo



Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Sriwidodo WS.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

TATA USAHA

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Dodi Sumarna

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo



Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 E-mail : [email protected] Website : http://www.kalbe.co.id/cdk



DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

NOMOR IJIN

DEWAN REDAKSI

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma



Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D



Prof. Dr. Zahir MSc.

Sjahbanar

Soebianto

PENCETAK PT Temprint

http://www.kalbe.co.id/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: 1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected] Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan Cermin instansi/lembaga/bagian Dunia Kedokteran No. 139, 2003 tempat kerja si penulis.

3

English Summary MANAGEMENT OF PLACENTAL ABRUPTION AND INCOMPLETE UTERINE RUPTURE CAUSED BY ACCIDENTAL TRAUMA OF ABDOMEN Eddy Suparman*, Suryawan**

Aloysius

* Consultant, Fertility and Reproduction Endocrinology, Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine, Sam Ratulangi University, Manado, Indonesia ** Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine, Sam Ratulangi University, Manado, Indonesia

A case of 28 year-old woman with placental abruption and incomplete uterine rupture was admitted at Manado General Hospital. The symptom was vaginal bleeding since 1/2 hour ago after she fell in her bathroom. She looked nervous, in pain and her consciousness was lowered. Her abdomen was very tense and painful. Blood parameters were normal. Oxygenation and IVFD were done to resuscitate the baby. An antifibrinolytic agent and sectio caesarea were performed to overcome the bleeding. Hysterorrhapia was done to repair the rupture. The patient was cured and discharged with her baby a week after operation. Cermin Dunia Kedokt. 2003; 139: 20-1

es, as

CD 44 EPITOPE IN EARLY STAGE PRIMARY BREAST CANCER

GIANT MAMMARY DYSPLASIA – CASE REPORT

Azamris

Azamris

Oncology Surgery Consultant, Faculty of Medicine, Andalas University/M Jamil Hospital, Padang, West Sumatra, Indonesia

CD 44 is an adhesion molecule and play a role in carcinogenesis and metastases. Expression of CD 44 may be used as a new tool for staging and prognosis. This prospective study was to evaluate the expression of CD 44 in early stage human breast cancer as prognostic indicator for axillary metastases. Invasive ductal carcinoma tissues obtained from 20 patients were examined both histopathologically and for CD 44 antigen by immunohistochemical staining. The study was from January 1999 until July 2000. Patients were from 24-64 years old. According to TNM staging, there were T1=2 cases (10 %), T2=11 cases (55 %) and T3=7 cases (34,5 % ). There was no significant correlation between the age and the concentration of CD 44. CD 44 antigen expression was detected in all cases with the average of 34,5 %. Concentration of CD 44 in T1cases=19 %, T2=29,45 % and T3=49,57 %. There was significant correlation between tumor size and CD 44 concentration in tumor tissues. Patients with axillary node metastases has higher CD 44 value. Determination CD 44 in breast cancer patient was useful for detection of metastases to axillary lymph nodes. Cermin Dunia Kedokt. 2003; 139: 27-32

azs

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

Oncology Surgery Consultant, Faculty of Medicine, Andalas University/M Jamil Hospital, Padang, West Sumatra, Indonesia

Fibrocystic disease, preferably termed fibrocystic disorder, is an ill-defined entity. Patients present with diffuse, often bilateral breast pain. Palpation reveals multiple irregularities. When biopsied, the specimens contain “fibrocystic elements”. Most lesions are not precursors for breast cancer. The risk for cancer is increased only when there is an associated dysplasia. A 33-year old female was admitted to Oncology-Surgery Department Dr. M. Djamil General Hospital with chief complaint of diffuse enlargement of both breasts for eight months. Clinically, the patient presents with discomfort or pain associated with multiple cystic lesions of the breast. Palpation reveals multiple nodule irregularities. On biopsy, the specimens contain mammary dysplasia. Reduction mammoplasty was done to reduce the breast tissue and to decrease pain. Cermin Dunia Kedokt. 2003; 139: 33-5

Azs

Artikel ANALSIS

Beberapa Cara Prediksi Hipertensi dalam Kehamilan John Rambulangi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

ABSTRAK Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnya. Bila kelainan ini dapat dicegah maka diharapkan akan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Pencegahan tidak hanya memerlukan pengetahuan mengenai patofisiologi tetapi juga cara-cara deteksi dini dan cara intervensi terhadap perubahan yang terjadi dalam proses penyakit tersebut. Gejala-gejala preeklampsia baru menjadi nyata pada usia kehamilan yang lanjut, biasanya pada trimester ketiga, walaupun sebenarnya kelainan sudah terjadi jauh lebih dini yakni pada usia kehamilan antara 8-18 minggu. Tes yang ideal untuk prediksi harus sederhana, mudah dikerjakan, tidak memakan waktu lama, sensitivitasnya tinggi, non invasif dan mempunyai nilai prediksi positif yang tinggi. Dalam tulisan ini dikemukakan beberapa cara prediksi preeklampsia mulai dari cara yang sederhana sampai kepada yang memerlukan pemeriksaan yang canggih. Kata kunci : Hipertensi dalam kehamilan, prediksi.

PENDAHULUAN Hingga saat ini hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnva. Upaya pencegahan terhadap penyakit ini dengan sendirinya akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tersebut. Untuk itu diperlukan bukan hanya pengetahuan mengenai patofsiologi tetapi juga cara-cara deteksi dini dan cara intervensi terhadap perubahan yang terjadi dalam proses penyakit tersebut. Perlu dibedakan antara prediksi dan deteksi dini penyakit. Prediksi lebih awal dari deteksi dini yakni sebelum tanda atau gejala penyakit ditemukan. Deteksi dini berusaha menemukan kelainan awal penyakit yang bila dibiarkan akan berlanjut, namun batas antara prediksi dan deteksi dini kadang-kadang tidak jelas. Gejala-gejala preeklampsia baru menjadi nyata pada usia

kehamilan yang lanjut (trimester ketiga). Namun sebenarnya kelainan sudah terjadi jauh lebih dini yakni pada usia kehamilan antara 8 dan 18 minggu. Tes yang ideal untuk deteksi dini preeklampsia harus sederhana, mudah dikerjakan, tidak memakan waktu lama, non invasif, sensitivitasnya tinggi dan mempunyai nilai prediksi positif yang tinggi. CARA-CARA PREDIKSI Lebih dari 100 jenis pemeriksaan klinik, biofisik dan biokimia telah diajukan untuk mendeteksi terjadinya preeklampsia. Beberapa cara prediksi yang ada dapat digolongkan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal 2. Pemeriksaan sistem vaskuler 3. Pemeriksaan biokimia

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

5

4. 5. 1. a.

Pemeriksaan hematologi Ultrasonografi Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal Tekanan darah Gambaran klinik yang khas pada hipertensi dalam kehamilan (HDK) yaitu ditemukannya kenaikan tekanan darah yang tinggi. Perbedaan kenaikan tekanan darah mempunyai arti klinis yang lebih penting dibandingkan dengan nilai absolut tekanan darah yang tinggi. Demikian pula kenaikan tekanan diastolik mempunyai arti prognostik yang lebih bermakna dari pada perubahan sistolik. Pengukuran tekanan darah sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa, dengan penderita posisi duduk. Pengukuran dilakukan setelah penderita beristirahat sedikitnya 10 menit dan diulang sedikitnya 2 kali pemeriksaan. Dinyatakan hipertensi bila: a. Terdapat kenaikan tekanan sistolik > 30 mmHg atau tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih. b. Bila didapatkan kenaikan tekanan diastolik > 15 mmHg atau tekanan diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih. Mayoritas ibu hamil akan tetap normotensif selama kehamilan bila tekanan darah diastolik < 75 mmHg sebelum kehamilan 20 minggu. Penelitian yang dilakukan oleh Sahetapy di Makassar pada tahun 1994 tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara nilai validitas tekanan darah diastol dengan prevalensi hipertensi dalam kehamilan. b. Kenaikan berat badan. Seringkali gejala pertama yang mencurigakan adanya HDK ialah terjadi kenaikan berat badan yang melonjak tinggi dan dalam waktu singkat. Kenaikan berat badan 0,5 kg setiap minggu dianggap masih dalam batas wajar, tetapi bila kenaikan berat badan mencapai 1 kg perminggu atau 3 kg perbulan maka harus diwaspadai kemungkinan timbulnya HDK. Ciri khas kenaikan berat badan penderita HDK ialah kenaikan yang berlebihan dalam waktu singkat, bukan kenaikan berat badan yang merata sepanjang kehamilan, karena berat badan yang berlebihan tersebut merupakan refleksi dari pada edema. 2. a.

Pemeriksaan sistim vaskuler Tes tidur miring (TTM) Tes ini dikenal dengar nama Roll-over test pertama kali diperkenalkan oleh Gant dan dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu. Pasien berbaring dalam sikap miring ke kiri, kemudian tekanan darah diukur, dicatat dan diulangi sampai tekanan darah tidak berubah. Kemudian penderita tidur terlentang kemudian diukur dan dicatat kembali tekanan darahnya. Tes dianggap positif bila selisih tekanan darah diastolik antara posisi baring ke kiri dan terlentang menunjukkan 20 mmHg atau lebih. Tes ini mempunyai sensitivitas 88%, spesifitas 95%, nilai prediksi positif 93% dan nilai prediksi negatif 91%. b. Infus Angiotensin II Abdul Karim dan Assali pada tahun 1960 melaporkan bahwa infus Angiotensin II menyebabkan sedikit kenaikan tekanan darah pada wanita hamil dibandingkan dengan yang tidak hamil. Wanita hamil yang normotensi relatif refrakter terhadap infus Angiotensin.

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

Tes ini dikerjakan pada kehamilan 28-32 minggu, dengan memberikan Angiotensin II per infus >8 ng/kgbb/menit menghasilkan respons tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama kehamilan, sedangkan yang mengdapat < 8 ng/ kgbb/menit dan terjadi kenaikan tekanan diastolik 20 mmHg, 90% akan terjadi HDK. Namun tes ini mahal, rumit dan memakan waktu sehingga tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan. c. Tes latihan isometrik (Isometric exercise test) Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi. Degani dkk berpendapat bahwa tekanan darah diastol yang berespons terhadap tes hand grip ini menggambarkan reaktifitas vaskuler pada wanita hamil. Jadi dapat digunakan untuk deteksi hiperaktivitas vaskuler dan untuk prediksi preeklampsia. Tes dilakukan dengan cara penderita baring kesisi lateral kiri, ukur tekanan darah, kemudian penderita memijit bola karet tensimeter yang dipasang pada lengan lain, sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam waktu 3 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat kenaikan tekanan diastolik lebih dari 20 mmHg. 3.

Pemeriksaan Biokimia Pada penderita preeklampsia konsentrasi dari sejumlah zat yang terdapat dalam darah dan urin termasuk hormon-hormon mengalami perubahan-perubahan. Beberapa dari perubahanperubahan ini mempunyai nilai prediksi untuk diagnosis dini. a. Kadar asam urat Pada HDK terjadi perubahan sistim hemodinamik seperti penurunan volume darah, peningkatan hematokrit dan viskositas darah. Akibat dari perubahan-perubahan tersebut akan terjadi perubahan fungsi ginjal, aliran darah ginjal menurun, kecepatan filtrasi glomerulus menurun yang mengakibatkan menurunnya klirens asam urat dan akhirnya terjadi peningkatan kadar asam urat serum. Rata-rata kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu sebelum preeklampsia menjadi berat. Konsentrasi asam urat > 350 umol/l merupakan pertanda suatu preeklampsia berat dan berhubungan dengan angka kematian perinatal yang tinggi khususnya pada umur kehamilan 28-36 minggu. Pada penderita yang sudah terbukti preeklampsia maka kadar asam urat serum menggambarkan beratnya proses penyakit. b. Kadar kalsium Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan fungsi ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahanperubahan tersebut terjadi beberapa waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini terlihat dari perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan bahwa pada umur kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan mikroalbumniuria dan hipoklasiuria ini dideteksi dengan pemeriksaan tera radioimunologik. c. Kadar human chorionic gonadotrophin (hCG) Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar -hCG meningkat pada penderita preeklampsia. Sorensen dkk melaporkan bahwa wanita hamil trimester 11 dengan kadar hCG > 2

kali nilai rata-rata mempunyai risiko relatif 1,7 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita yang mempunyai kadar -hCG < 2 kali nilai rata-rata. Terakhir Miller dkk melaporkan bahwa peningkatan kadar -hCG pada kehamilan 15-20 minggu memprediksi timbulnya preeklampsia terutama preeklampsia berat. Namun hingga saat ini pemeriksaan kadar preeklampsia masih terbatas. 4. a.

Pemeriksaan Hematologi Volume plasma Pada keadaan HDK terjadinya penurunan volume plasma sesuai dengan beratnya penyakit Chesley (dikutip oleh pengemanan) menyatakan terjadi penurunan volume plasma sebesar 30%-40% dari nilai normal, bahkan ada beberapa peneliti yang melaporkan terjadinya penurunan volume plasma jauh sebelum munculnya manifestasi klinik HDK. Volume plasma diukur dengan cara : penderita tidur posisi miring ke kiri selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian tambahkan dengan 3 ml Evans dye blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml NaCL. Setiap 10 menit diambil darah untuk 3 sampel kemudian disentrifus untuk memisahkan serum. Sampel darah kemudian dibandingkan dengan serum kontrol yang mempunyai ukuran 620 nm, dengan mempergunakan spektofotometer Beckman Acta C III. Hasil yang didapat dimasukkan ke dalam rumus: Dye injected (ug) Volume Plasma ( ml) = -------------------------------Konsentrasi dye ( ug/ml ) b.

Kadar hemoglobin dan hematokrit Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan kadar hemoglobin dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada wanita hamil terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya preeklampsia dan kadar Hb. Mereka mendapatkan pada primigravida frekuensi terjadinya HDK 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42% bila kadar Hb > 14.5% gr%. Gerstner (dikutip oleh pengemanan) menyatakan adanya hubungan langsung antara nilai Ht dengan indeks gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht > 37%, dan dikatakan ada korelasi antara hematokrit dan progesivitas penyakit. c. Kadar trombosit dan fibronectin Redman (dikutip oleh pengemanan) menyatakan bahwa HDK didahului oleh menurunnya trombosit sebelum tekanan darah meningkat, dan trombositopeni merupakan tanda awal HDK. Dikatakan trombositopenia bila kadar trombosit < 150.000/mm3. Bukti adanya kelainan proses koagulasi dan aktivasi platelet pertama kali didapatkan pada tahun 1893 dengan ditemukannya deposit fibrin dan trombosit pada pembuluh darah berbagai organ tubuh wanita yang meninggal karena eklampsia. Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia adalah kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti trombin III. Pada penderita HDK didapatkan peningkatan kadar fibronectin. Fibronectin merupakan glikoprotein pada permukaan sel dengan berat molekul 450.000, disentesis oleh endotel dan histiosit. Kadar normalnya dalam darah 250-420 ug/ml, biasa-

nya berkonsentrasi pada permukaan pembuluh darah. Fibronectin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan pembuluh darah merupakan dasar potogenesis terjadinya HDK. Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36 minggu. Kadar fibronectin meningkat antara 3,6 – 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan tekanan darah atau proteinuria. 5.

Ultrasonografi Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada penderita HDK sering disertai dengan kelainan gelombang arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolis yang rendah, hilang atau terbalik. Steel dkk meneliti dengan memakai teknik Doppler wanita hamil pada usia kehamilan antara 16-22 minggu mendapatkan perbedaan yang bermakna dalam frekuensi preeklampsia antara wanita hamil dengan gambaran doppler yang abnormal dibandingkan dengan yang normal. Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan 43% penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri uterina dan arteri umbilikalis pada mayoritas penderita preeklampsia. Nilai prediktif positif pada penelitian ini sekitar 75%. Pada penelitian lain, Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia pada plasenta letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta letak sentral. Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak sentral tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia. Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan muda. KESIMPULAN Telah dibahas mengenai beberapa cara pemeriksaan yang dapat dipakai untuk prediksi hipertensi dalam kehamilan. Tidak semua cara tersebut dapat dilakukan sebab berkaitan dengan biaya, tersedianya alat dan bahan serta tenaga yang terlatih. Tes tidur miring (roll over test) merupakan salah satu cara

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

7

prediksi yang sederhana, tidak membutuhkan biaya yang tinggi, dapat dilakukan oleh tenaga medis/paramedis, dan tidak membutuhkan alat yang canggih. Maka dapat dipertimbangkan penggunaan tes ini sebagai salah satu cara prediksi hipertensi dalam kehamilan pada pusat pelayanan kesehatan di perifer.

8. 9. 10.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

8

Handaya. Cara-cara prediksi preeklampsia pada perawatan antenatal dibawakan dalam PTP IX POGI, Surabaya 1995. Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM. Subai BM. Current proplems in obstetrics, ginecology and fertility, 1990; vol XIII (I) : 20-1. Dekker GA, Subai BM. Early detection of preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 1991 ; 165 : 160-72. Pengemanan WT. Diagnosis dini dan prediksi hipertensi dalam kehamilan (HDK). Makalah Simposium Hipertensi Dalam Kehamilan. PTP VII POGI, Surakarta, 1991. Cunningham F, MacDonald PC, Gant NF. Clinicals aspects of preeclampsia. In Williams obstectrics th ed. Conneticut; Appleton & Lange; 1989 : 671-72. Sahetapy RR. Hubungan antara nilai tekanan darah diastolis pada umur kehamilan 20-24 minggu dengan prevalensi hipertensi dalam kehamilan, persalinan dan nifa. Tesis pada program pendidikan dokter spesialis Makassar; 1994. Redman CWG, Williams GF, Jones DD et al. Plasma orate and serum deoxycytidylate deaminase measurements for the early diagnosis of preeclampsia. Br J Obstet Gynecol 1977 ; 84 : 904-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

11. 12. 13.

14. 15. 16.

Rondriquez MH, Damon I, Masaki et al. Calcium/creatinine ratio and microalbuminuria in the prediction of preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 1988 ; 159 : 1452-5. Sorensen TK, Williams MA, Zingheim RW et al. Elevated second trimester human chorionic gonadotropin and subsequent pregnancy induced hypertension. Am J Obstet Gynecol 1993; 169 : 834-38. Miller HS, Melendez TD, Wein R et al. Preeclampsia is predicted by elevated second trimester human chorionic gonadotropin value. In 15th Annual meeting Society of Perinatal Obstetricians Atlanta- Georgia, January 23-28, 1995. Murphy JF, O’Riordan J, Newcombe RG et al. Relation of haemoglobin levels in first and second trimester to outcome pregnancy. Lancet 1986; 1 : 1992-4. Balleger V, Spitz B, Kieckens L et al. Predictive value of increased plasmalevels of fibronectin in gestational hypertention. Am J Obstet Gynecol, 1989 ; 161 (2): 432-36. Mose JC. Peranan doppler ultrasound pada kehamilan risiko tinggi. Dalam kumpulan Kuliah Ultrasonografi Obstetri & Ginekologi. Bagian/SMF obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD, Bandung: 59-66. Steel SA, Pearce JM, McParland P, Chamberlain GVP. Early ultrasound screening in prediction of hypertensive disorders of pregancy. Lancet 1990 ; 335 : 1548-51. Ducey J Velocity waveforms in hypertesive disease. In Clinical obstetrics and gynecology. 1989 ; 32 (4) : 679-86. Kofinas AD, Penry M, Swain M. Effect of placental laterality on uterine artery resistance and development of preeclampsia and intrauterine growth retardation. Am J Obstet Gynecol 1989 ; 161 : 1536-9.

LAPORAN KASUS

Balon Mitral Valvotomi (BMV) pada Kehamilan William Sanjaya*, Jetty RH Sedyawan*, T. Dewi Anggraeni** *Bagian Kardiologi, **Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

PENDAHULUAN Kehamilan normal berkaitan dengan keadaan sirkulasi hiperdinamik yang meliputi peningkatan volume darah, denyut jantung dan isi sekuncup, dan penurunan tahanan vaskuler sistemik yang menghasilkan peningkatan 40% curah jantung.1-4 Stenosis mitral yang berat dapat mengganggu kemampuan wanita hamil dalam menghadapi perubahan hemodinamik. Selain itu peningkatan volume darah dan takikardia mengubah pengosongan atrium kiri dan meningkatkan tekanan venokapiler paru secara bermakna. Penurunan curah jantung akibat penyempitan orifisium katup mitral menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa berupa edema paru peripartum.1,5-7 Konsensus Brazilia II mengenai Penyakit Jantung dan Kehamilan menetapkan faktor-faktor risiko komplikasi wanita hamil dengan stenosis mitral berupa/meliputi perburukan kelas fungsional (KF), fibrilasi atrium, kekerapan ekstrasistol supraventrikel, pengisian atrium kanan yang berlebihan dan diameter atrium kiri > 45mm. Konsensus juga menentukan bahwa area katup mitral < 1,5 cm2 berkaitan dengan kematian ibu yang tinggi tetapi hubungan dengan data klinis yang lain sangat mutlak diperlukan.8 Penatalaksanaan umum meliputi pembatasan aktifitas, pembatasan garam, profilaksis antibiotik, dan penggunaan penghambat beta, digoksin, dan diuretik. Terapi alternatif harus dipertimbangkan bila pasien tidak responsif secara memuaskan hanya dengan obat-obatan. Balon mitral valvotomi (BMV) perkutan dapat memperbaiki stenosis mitral pada wanita hamil dengan kesuksesan mendekati 100%. Meskipun demikian perlu diperhatikan risiko paparan radiasi pada janin selama prosedur.5 LAPORAN KASUS Pasien, Ny. M, 37 tahun, G5P4A0 hamil 20 minggu dirujuk dengan masalah sesak napas dan berdebar-debar 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh cepat lelah, tidur dengan bantal tinggi (ortopneu), terbangun malam karena sesak (paroxysmal nocturnal dyspnea), batuk tanpa dahak dan darah. Riwayat demam, sakit sendi, gerakan tak terkoordinasi, kemerahan, benjolan pada kulit, dan riwayat penyakit jantung

reumatik sebelumnya disangkal. Riwayat sesak napas pada kehamilan sebelumnya disangkal. Tanda-tanda vital saat masuk rumah sakit : TD 120/80 mmHg, FN 180 kali/menit, tak teratur,isi defisit, FP 30 kali/ menit, dan afebris.Distensi vena jugularis (+).Paru-paru : sonor, bronkovesikuler, ronki basal halus +/+, mengi -/-. Jantung : S1 dan P2 mengeras, murmur sulit dinilai, opening snap (-). Abdomen: Hepatomegali 2 jari di bawah lengkung iga, kenyal. Ekstremitas: akral hangat, edema -/-. Elektrokardiogram menunjukkan fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat, deviasi aksis ke kanan, dan kontraksi ventrikel prematur. Foto sinar dada dengan kondisi dan inspirasi cukup, dan asimetris menunjukkan kardiomegali kanan dengan edema paru. Ekokardiogram menunjukkan pembesaran ventrikel kanan dan atrium kiri, fraksi ejeksi 40%, stenosis mitral berat dengan area 0,5 cm2 dan skor Massachusetts General Hospital (MGH) = 10, regurgitasi trikuspid ringan, dan trombus di appendiks atrium kiri. Pemeriksaan laboratorium rutin pada saat masuk: Hb 11,6 g/dl Leukosit 8.500/ul Ureum 23 mg/dl Ht 34 vol% Trombosit 243.000/ul Kreatinin 0,5 mg/dl GDS 85 mg/dl Natrium 140 mEk/l Kalium 4,0 mEk/l Pemeriksaan analisa gas darah pada saat masuk: pH 7,4 pO2 57 mmHg Defisit basa -7,9 mEk/l 89% pCO2 26 mmHg HCO3- 16,1 mEk/l Saturasi Pasien didiagnosis sebagai edema paru akut akibat stenosis mitral berat dengan fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat dan ditatalaksana dengan non rebreathing mask 10 liter/menit, digitalisasi cepat, furosemid 2 ampul, dan spironolakton 25 mg, lalu dirawat di unit perawatan yang lebih tinggi (HCU) dan dipasang kateter vena sentral. Pada perawatan hari ke dua tekanan darah pasien 80/60 mmHg (low output syndrome) lalu diberi inotropik dopamin 5 ug/kgBB/menit dan dobutamin 10 ug/kgBB/menit, tetapi masih menunjukkan fibrilasi atrium dengan laju 150 kali/menit. Pada perawatan hari ketiga pasien dirujuk ke PJNHK untuk dilakukan BMV dengan waktu prosedur 9,6 menit, dengan hasil penurunan tekanan di atrium kiri dari 17 sampai dengan 13 mmHg, dan peningkatan area katup mitral dari 0,5

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

9

sampai dengan 1,55 cm2. Kehamilan dipertimbangkan untuk diperahankan bilamana tidak ada komplikasi dan BMV berhasil baik. Pasca BMV pasien diberikan antikoagulansia dengan heparin subkutan 2 X 7500 unit. Pada perawatan hari ke empat ketuban pasien pecah, lalu dilakukan painless labour. Antikoagulansia heparin subkutan dilanjutkan dengan warfarin 1 X 1 tablet. Secara keseluruhan pasien dirawat selama 10 hari di RSUPNCM dengan terapi pada waktu pulang: siprofloksasin 2X500 mg, furosemid 1X1 tablet, digoksin 1X1 tablet, spironolakton 1X50 mg, warfarin 1X1 tablet, OBH 3X1 sendok, Becom C 1X1 tablet.

Tekanan vena sentral

14

13

12

11

10

12

11 9.5

9

8

9.5

9.5 9.5

6 4 2 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

Hari perawatan

TINJAUAN KEPUSTAKAAN Stenosis mitral adalah sebuah hambatan aliran darah ke ventrikel kiri pada tingkat katup mitral akibat kelainan struktur aparatus katup mitral, yang mencegah pembukaan pada saat diastolik. Penyebab tersering adalah karditis reumatik. Stenosis mitral terisolasi terjadi pada 40% dari semua pasien dengan penyakit jantung reumatik dan riwayat demam reumatik dapat ditemukan pada ± 60% pasien.9 Area katup mitral yang normal adalah 4,0-5,0 cm2. Gejala timbul jika area katup menyempit sampai < 2,5 cm2. Berkurangnya area katup oleh proses reumatik, menyebabkan darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya oleh dorongan gradien tekanan. Gradien transmitral diastolik ini merupakan dasar terjadinya gejala klinis stenosis mitral dan menghasilkan peningkatan tekanan di atrium kiri yang dikembalikan lagi ke sirkulasi vena dan kapiler paru yang menyebabkan edema paru akibat tekanan di vena paru yang melebihi tekanan onkotik plasma. Arterola paru bereaksi dengan vasokonstriksi, hiperplasia intima, dan hipertrofi medial menyebabkan terjadinya hipertensi arteri paru (Gambar 2).8,10 Edema paru dapat tejadi secara bertahap dan dimulai dengan ortopnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea pada pasien dengan stenosis mitral yang ketat. Edema paru men-

Gambar 1. Tekanan vena sentral selama perawatan

Stenosis Mitral (area)

 gradien katup mitral

 Tekanan atrium kiri

Pemendekan diastolik, kehilangan sinkroni AV (fibrilasi atrium, blok),  aliran vena paru (beban volume)

 Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri

Pembesaran atrium kiri

 Tekanan vena paru

Aritmia atrium

Edema paru

Hipertensi arteri paru

Pembesaran ventrikel kanan

GEJALA

Gambar 2. Patofisiologi stenosis mitral

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

Dikutip dari (10)

Area < 1 cm2 (berat)

dadak dapat terjadi pada pasien stenosis mitral yang tidak kritis (area katup >1,4cm2) jika terdapat keadaan yang dapat meningkatkan aliran katup mitral yang mendadak, yang meliputi: 1. Fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat yang meningkatkan aliran katup mitral dengan pemendekan waktu diastolik per denyutan. 2. Keadaan lain yang meningkatkan curah jantung (seperti tirotoksikosis, pneumonia dan pembedahan terutama dengan komplikasi kelebihan beban cairan, takikardia, dan demam) dapat meningkatkan aliran katup mitral, menyebabkan tekanan baji paru mencapai tingkat edema paru. 3. Kehamilan merupakan salah satu pencetus edema paru pada pasien stenosis mitral yang tidak kritis. Kehamilan meningkatkan aliran katup mitral dengan meningkatkan curah jantung, denyut jantung, dan tekanan vena sentral. Efek-efek ini maksimal pada kehamilan 25-27 minggu.11 Diagnosis stenosis mitral dapat dibuat berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, foto sinar dada, dan elektrokardiografi. Beberapa pasien dapat tanpa gejala tetapi sudah mempunyai kelainan pada pemeriksaan fisik, dengan gejala cepat lelah, sesak nafas, edema paru, fibrilasi atrium, dan kejadian emboli. Strategi umum tatalaksana pasien dengan stenosis mitral dapat dilihat pada Gambar 3. Error!

Tanpa gejala

Dapat dilakukan BMV?

Ya

Tidak

BMV (+)

Pemantauan setiap 6 bulan

Area < 1 cm2 (berat)

Gejala klinis dengan KF II-IV

Stenosis Mitral BMV (+)

Reparasi (+)

BMV/Resparasi (-)

Ekokardiografi

Area > 2 cm2 (sangat ringan)

Area 1,5-2cm2 (Ringan)

Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa

Pemantauan setiap 5 tahun

Pemantauan setiap 3 tahun

Area <1,5 (Sedangberat)

Area 1-1,3 cm2 (sedang)

Tanpa gejala

Dengan gejala

Terapi medikamentosa

Ikuti jalur dengan gejala pada area < 1 cm2

Pemantauan setiap tahun

KF II

KF III-IV

Pemantauan setiap 6

Ganti katup

Gambar 3. Alur tatalaksana pasien dengan stenosis mitral Dikutip dari (10)

Wanita hamil dengan riwayat demam reumatik akut dan karditis harus mendapatkan profilaksis penisilin sma seperti pada keadaan tidak hamil. Pasien dengan stenosis ringan sampai sedang diberi diuretik dan penghambat beta. Diuretik diberikan untuk mengurangi kelebihan kongesti paru dan sistemik, tetapi harus diperhatikan bahwa deplesi volume yang berlebihan dapat menyebabkan hipoperfusi uteroplasenta. Sedangkan penghambat beta diindikasikan untuk mencegah dan mengobati takikardia untuk mengoptimalkan pengisian diastolik.9 Kelompok pasien stenosis berat dengan KF III-IV selama kehamilan harus menjalani BMV perkutan.9 Pengembangan balon secara mekanis akan memisahkan fusi komisura katup; prosedur ini digunakan secara luas, dilakukan dengan anestesi lokal dengan keberhasilan yang nyata.11 Teknik BMV pertama kali dideskripsikan oleh Inoue dkk

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 11

pada tahun 1984 dengan menggunakan kateter balon yang menghasilkan keuntungan hemodinamik dan perbaikan gejala.11 Sedangkan keberhasilan BMV dengan teknik balon ganda pada wanita hamil dengan stenosis mitral juga sudah dilaporkan oleh banyak ahli seperti Palacios dkk13, Safian dkk14, Mangione dkk15, Smith dkk16, dan Patel dkk17. Paparan ion radiasi selama prosedur intervensi kardiologi selalu mendapat perhatian yang besar. Masalah ini terutama sangat peka pada wanita hamil karena risiko potensial teratogenik. Paparan janin terhadap ion radiasi mempunyai efek dengan berbeda sesuai dengan usia gestasi pada saat paparan. Efek yang berbahaya meliputi retardasi mental berat, malformasi organ, dan keganasan terutama leukemia.5 Beberapa tindakan dianjurkan pada wanita hamil untuk mengurangi paparan radiasi meliputi perlindungan abdomen dan pelvis dengan apron timbal, menghindari ventrikulografi kiri, membatasi tindakan hanya pada kelompok usia gestasi ≥ 20 minggu (saat organogenesis sudah lengkap) dan menggunakan ekokardiografi transtorakal atau transesofageal untuk menuntun pungsi transeptal. Meskipun demikian, efek yang tidak dikehendaki pada janin tetap besar dan tetap menjadi perhatian utama pada wanita hamil.5 Griem dkk tidak menemukan perbedaan insidensi kanker dengan kelompok kontrol pada pemantauan selama 20 tahun pada 1000 wanita hamil dengan usia gestasi sama yang menjalani radioplevimetri dengan dosis 15-30 mSv.18 Meskipun demikian Wagner dkk menganjurkan paparan radiasi yang diperkenankan pada wanita hamil ≤ 5 mSv.19

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

RINGKASAN Seorang wanita hamil 20 minggu dirujuk dengan masalah edema paru akut karena stenosis mitral berat dan fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat. Selama perawatan hari-hari pertama terjadi perburukan hemodinamik akibat low output syndrome, sehingga harus menjalani BMV. BMV dilakukan perkutan dengan perlindungan apron tembaga abdomen dan pelvis, dengan penghematan waktu prosedur 9,6 menit, dan berhasil baik, sehingga kehamilan dipertimbangkan layak untuk dipertahankan. Setelah tindakan BMV terjadi perbaikan segera klinis dan hemodinamik, namun kehamilan tidak dapat dipertahankan karena ketuban pecah, dan dilakukan abortus medisinalis.

Blame is the

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

14. 15. 16. 17. 18. 19.

Elkayam, U. Pregnancy and cardiovascular disease. Dalam: Braunwald E. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 5 edition. Philadelphia:WB Saunders 1997; 1843-64. Metcalfe J, Ueland K. Maternal cardiovascular adjustments to pregnancy. Prog Cardiovasc Dis 1974; 16: 363-74. Katz R, Karliner JS, Resnik R. Effects of a natural volume overload state (pregnancy) on left ventricular performance in normal human subjects. Circulation 1978; 58: 434-41. Rubler S, Damani PM, Pinto ER. Cardiac size and performance during pregnancy estimated with echocardiography. Am J Cardiol 1977; 40: 534-8. Lee CH, Chow WH, Kwok OH. Percutaneous balloon mitral valvuloplasty during pregnancy: long term follow-up of infant growth and development. HKMJ 2001; 7: 85-8. Szekely P, Turner R, Snaith L. Pregnancy and the changing pattern of rheumatic heart disease.Br Heart J 1973; 35: 1293-303. Sugishita Y, Ito I, Ozeki K, Ohta C, Kubo T. Intracardiac pressures in pregnant patients with mitral stenosis. Jpn Heart J 1981; 22: 885-94. Barbosa PJB, Lopes AA, Feitosa GS, de Almeida BV, da Silva BM, Brito JC, et al. Prognostic factors of rheumatic mitral stenosis during pregnancy and puerpurium. Arg Bras Cardiol 2000; 75: 220-4. Carebello B, De Leon AC, Edmunds LH, Fedderly BJ, Freed MD, Gaasch WH, et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of patients with valvular heart disease. J Am Coll Cardiol 1998; 32: 1486-588. Rahimtoola S, Durairaj A, Mehra A, Nuno I. Clinical Evaluation and management of patients with mitral stenosis. Circulation 2002; 106: 1183-8. Dalen JE, Fenster PE. Mitral Stenosis. Di dalam: Alpert JS, Dalen JE, Rahimtoola S. Valvular Heart Disease. 3rd ed.Philadephia, Tokyo: Lippincott Williams & Wilkins. 2000; 75-112. Inoue K, Owaki T, Nakamura T, Kitamura F, Miyamoto N. Clinical application of transvenous mitral commissurotomy by a new balloon cathether. J Thorac Cardiovasc Surg 1984; 87:394-402. Palacios IF, Block PC, William GT, Rediker DE, Daggett WM. Percutaneous mitral balloon valvotomy during pregnancy in patient with severe mitral stenosis. Cathet Cardiovasc Diagn 1988; 15:109-11. Safian RD, Berman AD, Sachs B, Diver DJ, Come PC, Baim DS, et al. Percutaneous balloon mitral valvuloplasty in a pregnant woman with mitral stenosis. Cathet Cardiovasc Diagn 1988; 15: 103-8. Mangione JA, Zuliani MF, Del Castillo JM, Nogueira EA, Arie S. Percutaneous double balloon mitral valvuloplasty in pregnant women.Am J Cardiol 1989; 64:99-102. Smith R, Brender D, Mc Credie M. Percutaneous transluminal dilatation of the mitral valve in pregnancy. Br Heart J 1989; 61: 551-3. Patel JJ, Mitha AS, Hassen F, Patel N, Naidu R, Chetty S, et al. Percutaneous balloon mitral valvotomy in pregnant patients with tight pliable mitral stenosis. Am Heart J 1993; 125: 1106-9. Griem ML, Meier P, Dobben GD. Analysis of the morbidity and mortality of children irradiated in fetal life. Radiology 1967; 88:347-9. Wagner LK, Hayman LA. Pregnancy and women radiologist. Radiology 1982; 145: 559-62.

HASIL PENELITIAN

Insiden Preeklampsia – Eklampsia di Rumah Sakit Umum Tarakan Kalimantan Timur - tahun 2000 I Putu Sudinaya Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Tarakan, Kalimantan Timur

ABSTRAK Dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari - 31 Desember 2000 terdapat 74 kasus preeklampsia - eklampsia (5,1%) di RSU Tarakan, preeklampsia 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%). Kasus preeklampsia - eklampsia terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun dan primigravida . Terdapat 7 kematian maternal pada kasus preeklampsia - eklampsia (9,4%).

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seperti diketahui, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Salah satu penyebab utama kematian maternal adalah preeklampsia - eklampsia. Preeklampsia - eklampsia merupakan penyakit hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan, yang ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuri masif setelah minggu ke 20 dan jika disertai kejang disebut eklampsia. Diagnosis dini dan penanganan yang adekuat dapat mencegah kematian ibu akibat preeklampsia - eklampsia. 2. a. b. 3.

Rumusan Masalah Kejadian preeklampsia - eklampsia pada kelompok umur tertentu. Penyebab kematian ibu preeklampsia - eklampsia.

Tinjauan Pustaka Preeklampsia - eklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih merupakan sebab utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi di Indonesia sehingga diagnosis dini preeklampsia yang merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus diperhatikan dengan seksama(²). Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia yaitu hipertensi, edema dan proteinuri sangat penting dalam usaha pencegahan, di samping pengendalian faktor-faktor predisposisi lain(1).

Etiologi pasti preeklampsia/eklampsia masih belum diketahui. Beberapa teori antara lain memperkirakan faktorfaktor:(4) - Prostasiklin dan tromboksan - Imunologis - Genetik/familial - Renin Angiotensin - Aldosteron System (RAAS). Kriteria diagnosis preeklampsia ringan : 1. Hipertensi antara 140mmHg/90mmHg atau kenaikan sis-tolik dan diastolik 30 mmHg/15mmHg. 2. Edema tungkai, lengan atau wajah, atau kenaikan berat badan 1 kg/ minggu. 3. Proteinuri 0,3 g/24 jam atau plus 1-2. 4. Oliguri. Kriteria diagnosis preeklampsia berat(3). Apabila pada kehamilan lebih 20 minggu didapatkan satu atau lebih tanda berikut: . 1. Tekanan darah > 160/110 mmHg diukur dalam keadaan relaks (minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak dalam keadaan his. 2. Proteinuri > 5g/24 jam atau +4 pada pemeriksaan kualitatif. 3. Oliguri : urine <500 ml/24 jam disertai kenaikan kreatinin plasma 4. Gangguan visus dan serebral 5. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan. 6. Edema paru dan sianosis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 13

7. Gangguan pertumbuhan janin intrauterin. 8. Adanya HELLP Syndrome (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low platelet count). TUJUAN 1. Mengetahui angka kejadian preeklampsia - eklampsia berdasarkan umur dan paritas. 2. Mengetahui jumlah dan sebab kematian ibu dengan preeklampsia - eklampsia. METODOLOGI Penelitian dilakukan secara retrospektif selama 1 tahun terhadap ibu hamil dengan preeklampsia - eklampsia di RSU Tarakan - Kalimantan Timur periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000. BAHAN DAN CARA Data diambil dari register persalinan di RSU Tarakan Kalimantan Timur periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000. Data yang dicatat : 1) Usia ibu 2) Paritas 3) Kematian ibu melahirkan akibat preeklampsia - eklampsia. 4) Kematian janin. Tabel 1. Kasus preeklampsia berdasarkan umur dan paritas. Umur < 20 thn 20 – 24 th 25 – 29 th 30 – 34 th 35 – 39 th ≥ 40 th

Paritas I II III IV V VI VII VIII 2 (2,7%) 13 2 (17,5%) (2,7%) 7 6 1 1 (9,4%) (8,1%) (1,3%) (1,3%) 3 4 2 4 1 2 (4,0%) (5,4%) (2,7%) (5,4%) (1,3%) (2,7%) 1 3 2 2 1 1 (1,3%) (4,0%) (2,7%) (2,7%) (1,3%) (1,3%) 1 2 (1,3%) (2,7%)

(Persen = Persentase dari semua kasus preeklampsia - eklampsia selama periode 1 Januari 2000 - 31 Desember 2000) Tabel 2. Kasus eklampsia berdasarkan umur dan paritas. Umur < 20 thn 20 – 24 th 25 – 29 th 30 – 34 th 35 – 39 th ≥ 40 th

I 1 (1,3%) 4 (5,4%) 2 (2,7%) 1 (1,3%) -

II -

III -

2 1 (2,7%) (1,3%) 1 (1,3%) -

-

Paritas IV V -

VI -

VII -

VIII -

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1 (1,3%) -

-

-

-

-

-

-

-

-

(Persen = Persentase dari semua kasus preeklampsia - eklampsia selama periode 1 Januari 2000 -31 Desember 2000).

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

Tabel 3. Kasus preeklampsia - eklampsia berdasarkan paritas Paritas Jumlah I II III IV V VI VII VIII 33 15 8 7 3 3 2 3 74 (44,5%) (20,2%) (10,8%) (9,4%) (4%) (4%) (2,6%) (4%) (100%) (Persen = Persentase dari semua kasus preeklampsia - eklampsia selama periode 1 Januari 2000 - 31 Desember 2000). Tabel 4. Kematian maternal pada eklampsia. Usia ibu < 20 th 20-24 th 25-29 th 30-34 th 35-39 th ≥ 40 th

Jumlah Kematian 3 1 2 1

Penyebab Edema paru Edema paru Edema paru (1), GGA+ Edema paru (1) Edema paru

HASIL Selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000 didapatkan 1431 persalinan, baik fisiologis maupun patologis. Kasus preeklampsia - eklampsia didapatkan 74 kasus, 61 kasus preeklampsia (4,2%) dan 13 kasus eklampsia (0,9%). Kematian maternal akibat eklampsia 7 orang (0,49%) (tabel 4). Pada persalinan dengan preeklampsia - eklampsia terdapat 4 kasus IUFD, 2 kasus gemelli. PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan bahwa kasus preeklampsia terbanyak pada usia 20 - 24 tahun, terjadi pada kehamilan pertama (17,5%); kasus eklampsia juga lebih banyak pada usia 20 - 24 tahun dan kehamilan pertama (5,4%) (tabel 2). Preeklampsia - eklampsia lebih sering terjadi pada usia muda dan nulipara diduga karena adanya suatu mekanisme imunologi di samping endokrin dan genetik; dan pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta belum sempurna, yang makin sempurna pada kehamilan berikutnya(4). Preeklampsia juga terjadi pada usia ≥ 35 tahun (13 kasus). Hal tersebut diduga akibat hipertensi yang diperberat oleh kehamilan, karena insiden hipertensi meningkat di atas usia 35 tahun (5). Kematian maternal karena eklampsia disebabkan oleh edema paru (6 kasus) serta oleh edema paru dan gagal ginjal akut (1 kasus). Edema paru terjadi akibat aspirasi pneumoni akibat kejang disertai muntah dan gagal jantung akibat hipertensi berat. Gagal ginjal akut karena nekrosis tubuler, namun lebih sering karena perdarahan(5). Faktor-faktor yang berperan pada kematian maternal karena eklampsia di RSU Tarakan: 1. Pengetahuan yang rendah sehingga seringkali penderita dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan kejang. 2. Persalinan yang ditolong oleh dukun menyebabkan penderita eklampsia terabaikan sehingga dirujuk dalam keadaan gawat. 3. Transportasi.

Adanya kendala transportasi menuju RSU Tarakan terutama dari daerah terpencil. 4. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kehamilannya ke bidan atau ke dokter. Terdapat 2 kasus preeklampsia dengan gemelli. Diduga karena adanya peningkatan tropoblast (hyperplacentosis)(3). Kematian bayi dalam kandungan / IUFD (4 kasus), biasanya akibat hipoksia intra uterin dan prematuritas(1).

karena edema paru.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.

KESIMPULAN DAN SARAN 1) Preeklampsia - eklampsia sering terjadi pada usia muda dan nullipara. 2) Kasus kematian pada ibu dengan eklampsia lebih banyak

4. 5.

Manuaba, IBG. Penuntun Diskusi Obstetri dan Ginekologi untuk Mahasiswa Kedokteran, EGC, Jakarta, 1995; 152-3. Wiknjosastro H dkk. Ilmu Kebidanan ed. ke tiga cetakan keempat, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 1997; 22: 281-301. Ansar MD. Hipertensi dalam kehamilan. Satgas Gestosis POGI, Surakarta, Juni 1991. Wibisono. Kematian perinatal pada Preeklampsia. FK UNDIP Semarang, 1997; 6-12. Pritchard JA. Mc Donald PC, Gant NF. Williams Obstetrics. Penerjemah Hariadi R. Airlangga University Press Surabaya, 1997; 773-804.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 15

PRAKTIS

Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia John Rambulangi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

ABSTRAK Preeklampsia-eklampsia merupakan penyakit kehamilan sistemik yang etiologinya hingga kini belum diketahui. Penyakit ini banyak dijumpai di daerah-daerah di luar jangkauan rumah sakit yang mempunyai fasilitas memadai dan pada umumnya diderita oleh golongan sosio ekonomi lemah. Dalam Sistem Kesehatan Nasional, rujukan upaya kesehatan dibagi menjadi dua kategori, yaitu : a. Rujukan kesehatan (health referral): terutama dikaitkan dengan upaya peningkatan dan pencegahan yang mencakup kegiatan bantuan teknologi, sarana dan operasional. b. Rujukan medik (medical referral) : rujukan pelayanan yang ditekankan pada upaya penyembuhan dan pemulihan. Ditinjau dari kegiatannya dapat dibagi menjadi : Transfer of knowledge, transfer of document, transfer of specimen, transfer of patient. Dalam kegiatan sehari-hari upaya rujukan yang terbanyak adalah transfer of patient. Dalam merujuk penderita preeklampsia berat - eklampsia, kegiatannya dapat dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu tahap pengobatan pendahuluan, tahap transportasi penderita, tahap pengobatan lanjutan, tahap merujuk-balik. Tahap pengobatan pendahuluan ialah secepatnva dapat mendiagnosis adanya hipertensi dalam kehamilan, menentukan klasifikasinya, serta menentukan adanya penyulit-penyulit yang timbul agar penderita tidak jatuh dalam stadium yang lebih berat dan dapat segera mengatasi penyulit-penyulitnya. Tahap ini lasim disebut tahap resusitasi. Kata kunci : Prarujukan, preeklampsia berat, eklampsia. PENDAHULUAN Angka kematian maternal di Indonesia adalah 4,5 permil, tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Salah satu penyebab kematian tersebut adalah preeklampsia - eklampsia, yang bersama infeksi dan perdarahan, diperkirakan mencakup 75 - 80% dari keseluruhan kematian maternal(1). Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Angsar,

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

insiden preeklampsia-eklampsia berkisar 10-13% dari keseluruhan ibu hamil; di dua rumah sakit pendidikan di Makassar insiden preeklampsia berat 2,61%, eklampsia 0,84% dan angka kematian akibatnya 22,2°% (Lukas dan Rambulangi 1994). Sedangkan Angsar mendapatkan fatalitas preeklampsia eklampsia di beberapa rumah sakit perkotaan berentang 1-15,2%.1,2,3

Seperti diketahui preeklampsia-eklampsia merupakan penyulit kehamilan sistemik yang etiologinya hingga kini belum diketahui. Preeklampsia - eklampsia banyak dijumpai di daerah-daerah di luar jangkauan rumah sakit yang mempunyai fasilitas memadai untuk merawatnya dan pada umumnya diderita oleh golongan sosio ekonomi lemah. Dalam pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam bentuk pokok Sistem Kesehatan Nasional, maka rujukan upaya kesehatan dibagi menjadi dua-kategori, yaitu4 : a. Rujukan kesehatan (health referral) : terutama dikaitkan dengan upaya peningkatan dan pencegahan yang mencakup kegiatan bantuan teknologi, sarana dan operasional. b. Rujukan medik (medical referral) : rujukan pelayanan yang ditekankan pada upaya penyembuhan dan pemulihan. Ditinjau dari kegiatannya dapat dibagi menjadi : 1. Transfer of knowledge 2. Transfer of document 3. Transfer of specimen 4. Transfer of patient Dalam kegiatan sehari-hari upaya rujukan yang terbanyak adalah transfer of patient, terutama pemindahan penderita dari satu unit pelayanan kesehatan terendah sampai yang tertinggi, namun masih dijumpai kesalahan atau kesulitan dalam pelaksanaannya. Tujuan rujukan pasien ialah agar dapat dilakukan pemindahan penderita secara efektif, efisien dan memuaskan; di samping itu pelaksanaan rujukan perlu memperhatikan tingkat kegawatan, sarana yang dibutuhkan dan tingkat kemampuan tempat rujukan. Oleh karena itu alur rujukan preeklampsia berat - eklampsia tidak perlu berjenjang tetapi langsung ke tempat pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pertolongan pertama. INDIKASI RUJUKAN Pada dasarnya penderita preeklampsia- eklampsia yang harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan adalah : 1. Semua penderita preeklampsia berat-eklampsia 2. Penderita hipertensi dalam kehamilan dengan penyakitpenyakit dasar kardiovaskuler, renovaskuler atau metabolik 3. Penderita hipertensi dalam kehamilan dengan penyulit obstetrik. Kegiatan rujukan penderita preeklampsia berat eklampsia, dapat dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu : 1. Tahap pengobatan pendahuluan 2. Tahap transportasi penderita 3. Tahap pengobatan lanjutan 4. Tahap merujuk balik Pada makalah ini akan dibicarakan secara garis besar tahaptahap pengobatan pendahuluan. TAHAP PENGOBATAN PENDAHULUAN Bagi semua tenaga kesehatan, kemampuan yang perlu dimiliki pada tahap pengobatan pendahuluan ialah secepatnya dapat mendiagnosis adanya hipertensi dalam kehamilan, menentukan klasifikasinya, serta menentukan adanya penyulitpenyulit yang timbul. Tujuan pengobatan pendahuluan ialah agar penderita tidak

jatuh dalam stadium yang lebih berat dan dapat segera mengatasi penyulit-penyulitnya. Tahap ini lasim disebut tahap resusitasi. Dalam memberikan pengobatan pendahuluan ini perlu diingat hal-hal yang berhubungan dengan perubahan fisiologi kehamilan normal dan patofisiologi hipertensi dalam kehamilan. Tabel 1. Perubahan-perubahan penting pada kehamilan normal dan hipertensi Kehamilan normal 1. Adanya kompresi aorta - caval oleh rahim 2. Peningkatan kebutuhan O2 dan ventilasi 3. Resiko aspirasi bahan lambung Hipertensi dalam kehamilan 1. Hipovolemia 2. Vasokonstriksi 3. Penurunan aliran darah pada organ-organ penting

Obat-obat yang diberikan Pengobatan pendahuluan mutlak dilakukan agar tercapai stabilitas hemodinamik dan metabolik: 1. Pemasangan infus Pemasangan kanula intravena dengan diameter 16 G dimaksudkan agar dapat memberikan cairan infus dengan lancar dan sebagai sarana pemberian obat-obat intravena. Cairan infus yang diberikan adalah dekstrose 5% setiap 1000 ml diselingi cairan ringer laktat 500 ml. 2. Obat-obat anti kejang a. MgS04 Diberikan secara intramuskuler pada preeklampsia berat, sedang pada eklampsia diberikan secara intravena. - Loading dose: 4 g MgSO4 40% dalam larutan 10 ml intravena selama 4 menit, disusul 8 g MgSO4 40% dalam larutan 25 ml intramuskuler pada bokong kiri dan kanan masing-masing 4 g. - Maintenance dose: 4 g MgSO4 tiap 6 jam secara intramuskuler; bila timbul kejang lagi, dapat diberikan tambahan 2 g MgSO4 iv selama 2 menit sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah pemberian dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan amobarbital 3-5 mg/kgbb/iv. Pada pemberian MgSO4 diperlukan pemantauan tanda-tanda keracunan MgSO4. Kejang ulang setelah pemberian MgSO4 hanya 1%. Magnesium sulfat menurunkan eksitabilitas neuromuskuler; walaupun dapat menembus plasenta, tidak ditemukan bukti toksisitas pada neonatus dari fetus. b. Diazepam Suatu antikonvulsan yang efektif dengan jalan menekan reticular activating system dan basal ganglia tanpa menekan pusat meduler. Diazepam melewati barier plasenta dan dapat menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus, hipotensi dan hipotermi hingga 36 jam setelah pemberiannya. Depresi neonatal ini hanya terjadi bila dosisnya lebih dari 30 mg pada 15 jam sebelum kelahiran. Dosis awal : 10-20 mg bolus intravena Dosis tambahan : 5-10 mg intravena jika diperlukan atau tetesan 40 mg diazepam dalarn 500 ml larutan dekstrose 5%

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 17

3. Obat-obat anti hipertensi Diberikan jika tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg. a. Klonidin Satu-satunya antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan. 1 ampul mengandung 0,15 mg/ml. Caranya : 1 ampul klonidin diencerkan dalam 10 ml larutan garam faal atau aquadest. Disuntikkan mula-mula 5 ml i.v pelan-pelan selama 5 menit; setelah 5 menit tekanan darah diukur, bila belum turn, diberikan lagi sisanya. Klonidin dapat diberikan tiap 4 jam sampai tekanan darah mencapai normal. b. Nifedipin Obat yang termasuk golongan antagonis kalsium ini dapat diberikan 10 mg sub lingual atau 3-4 kali 10 mg peroral. c. Hidralasin Vasodilator ini tergolong obat yang banyak dipakai untuk hipertensi dalam kehamilan. Ferris dan Burrow14 mengatakan bahwa penurunan vasospasme akan meningkatkan perfusi uteroplasenter. Obat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk tablet. 4. Diuretika Diuretika tidak digunakan kecuali jika didapatkan7,8: a. edema paru b. payah jantung kongestif c. edema anasarka Yang dipakai adalah golongan furosemid. Baik tiazid maupun furosemid dapat menurunkan fungsi uteroplasenter. 5. Kardiotonika Indikasi pemberiannya ialah bila ditemukan tanda-tanda payah jantung. 6. Antipiretika Digunakan bila suhu rektal di atas 38,5°C ; dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin.6,7 7. Antibiotika Diberikan atas indikasi 8. Anti nyeri Bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi rahim dapat diberi petidin 50-75 mg sekali saja selambatlambatnya 2 jam sebelum bayi lahir. Mengingat dalam kasus rujukan preeklampsia berat eklampsia, pos terdepan yang sering menemukan kasus ini adalah perawat atau bidan maka para petugas tersebut wajib dan harus mampu memberikan obat-obat pendahuluan yang mutlak dilakukan sebelum transportasi. Kewenangan dokter puskesmas dalam memberikan obat-obat pendahuluan dapat didelegasikan kepada perawat maupun bidan. Bila perawat atau bidan mengetahui dengan benar syarat-syarat, indikasi dan cara pemberian obat tersebut maka kecil kemungkinan terjadinya pengaruh sangkal obat-obat tersebut. Bila penderita preeklampsia - eklampsia kejang-kejang kemudian jatuh kedalam koma, maka selain diberikan pengobatan pendahuluan, perawatan pendahuluan juga penting dalam persiapan transportasi. Perlu diingat bahwa penderita koma tidak bereaksi atau mempertahankan diri terhadap(5): - suhu yang ekstrim - posisi tubuh yang menimbulkan nyeri

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

-

aspirasi Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma adalah buntunya jalan napas atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh ke dalam koma harus dianggap bahwa jalan napas atas nya terbuntu, kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu tindakan pertama adalah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Cara yang sederhana dan cukup efektif adalah dengan cara head tilt-chin lift atau head tilt-neck lift yang kemudian dilanjutkan dengan pemasangan kanul orofaringeal.(5,6) Hal penting ke dua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan refleks muntah sehingga ancaman aspirasi bahan lambung sangat besar. Ibu hamil selalu dianggap memiliki lambung penuh, oleh sebab itu semua benda-benda yang berada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa makanan atau lendir harus diisap secara intermitten. Penderita ditidurkan dalam posisi yang stabil untuk drainase lendir. Pada penderita yang kejang tujuan pertolongan pertama ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejangkejang tersebut. Penderita diletakkan di tempat tidur yang lebar; hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak membentur benda di sekitarnya. Hindari fiksasi terlalu kuat yang justru dapat menimbulkan fraktur. Beri sudip lidah dan jangan mencoba melepas sudip lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Ruangan penderita harus cukup terang. Bila kejang-kejang reda, segera beri oksigen.

PEMANTAUAN JANIN DALAM RAHIM Denyut jantung janin dapat dipantau secara sederhana dengan alat monoskop, jika tersedia, digunakan doppler atau ultrasonografi. TAHAP TRANSPORTASI PENDERITA Yang dimaksud dengan tahap transportasi penderita ialah memindahkan penderita dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih memadai secara efektif, efisien dan benar. Ada dua kegiatan yang harus dilakukan yaitu(6): 1. Evaluasi penderita setelah pengobatan pendahuluan (pretransfer assessment setelah pretransfer treatment) 2. Transfer penderita Pada tahap pretransfer assessment perlu diperhatikan apakah setelah pemberian obat-obat pendahuluan, stabilitas hemodinamik dan metabolik sudah tercapai, biasanya memerlukan waktu 4-6 jam setelah pengobatan medikamantosa lengkap berakhir. Evaluasi klinik yang penting untuk menentukan stabilitas penderita adalah dari aspek: a. Sistem kardiosirkulasi b. Sistem respirasi c. Sistem susunan saraf pusat Semua data penderita dicatat dalam dokumen medik dengan model “Dokumen medik berorientasi masalah” dan harus disertakan bersama penderita pada saat dirujuk.

Waktu yang dipakai untuk menunggu tercapainya stabilitas penderita hendaknya dimanfaatkan untuk menyiapkan transporrtasi. Sarana yang perlu diperhatikan sebelum melakukan transfer penderita ialah(6): a. Menyiapkan penderita dalam tandu yang benar b. Pemasangan saluran intravena yang dijamin tidak akan macet selama perjalanan. c. Menyiapkan semua obat, cairan infus dan bila perlu darah untuk bekal di perjalanan. d. Pemasangan kateter kandung kemih dengan foley catheter No. 18F. e. Pemasangan endotracheal tube atau oropharyngeal airway bila mungkin.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

PENUTUP Preeklampsia - eklampsia merupakan penyulit kehamilan yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu bersalin dan perinatal di Indonesia. Penanganan pendahuluan prarujukan yang meliputi tahap pengobatan pendahuluan dan transportasi penderita yang benar dan memadai sebelum penanganan lanjutan merupakan salah satu tahapan penting yang dikerjakan oleh pelaksana kesehatan di pos terdepan dalam upaya menekan angka kematian tersebut.

9. 10. 11. 12. 13. 14.

Angsar MD. Integrated health post (POSYANDU) as a strategy in managing EPH – Gestosis. MOGI, 1993; 19 : 53-60. Rambulangi J. Eklampsia ditinjau dari beberapa aspek di rumah sakit umum Ujung Pandang. Skripsi bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Ilmu-Ilmu Kedokteran Universitas Hasanuddin Ujung Pandang; 1982. p. 38-50 Lukas E, Rambulangi J. Karakteristik penderita preeklampsia berat dan eklampsia pada dua rumah sakit di Ujung Pandang. PTP X POGI. Surabaya: Juli 1995. Sjahid S. Aspek umum rujukan medik EPH- Gestosis. Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia IX. Jakarta, Desember 1993. Angsar MD. Aspek rujukan hipertensi dalam kehamilan. PTP VI POGI. Manado. Juli 1989. Angsar MD. Transportasi penderita EPH- Gestosis untuk rujukan. Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia IX. Jakarta. Desember 1993. Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. Bagian I. Pengurus besar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Jakarta. 1991. Seminar dan lokakarya penanganan preeklampsia dan eklampsia. Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI. Jakarta. Januari 1993. Crowhurst JA, Morris DG. Diagnosis and resuscitation in severe preeeclampsia/eclampsia. J Paed Obstet Gynaecol. 1987; 13: 17-20. Oats JN. Hypertensive disorders in pregnancy. J Paed Obstet Gynaecol. 1993; 19: 11-5. Moore MP, Benny PS. Preeclampsia. J Paed Obstet Gynaecol. 1995; 21: 14-7. Lubbe WF. Hypertension in pregnancy mechanism. Assesment and management. J Paed Obstet Gynaecol. 1989; 15 : 25-38. Pangemanan WT. Penanganan pendahuluan prarujukan penderita EPH Gestosis. Kongres Obstetri dan Ginekologi lndonesia IX. Jakarta. 1993. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. Williams’ Obstetrics. 19th ed. Appleton - Lange, 1993; 763-817.

Blame is the l

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 19

LAPORAN KASUS

Management of Placental Abruption and Incomplete Uterine Rupture caused by Accidental Trauma of Abdomen Eddy Suparman*, Aloysius Suryawan** * Consultant, Fertility and Reproduction Endocrinology, Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi, Manado, Indonesia ** Department of Obstetric and Gynecology, Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi Manado, Indonesia.

ABSTRAK Sebuah kasus solutio plasenta yang disertai ruptura uterus inkomplet ditemukan di Rumah Sakit Umum Pusat Manado dengan G2P1A0, 28 tahun. Ia mengeluh adanya perdarahan dari vagina sejak terjatuh di kamar mandi 1/2 jam sebelum ke rumah sakit. Ia tampak gelisah, kesakitan dengan kesadaran yang mulai menurun disertai peningkatan denyut nadi. Perut teraba sangat tegang dan nyeri. Pemeriksaan darah menunjukkan nilai hemoglobin, leukosit dan trombosit dan bed side clotting time normal. Obat antifibrinolitik dan seksio sesarea dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Histerorapia dilakukan untuk memperbaiki robekan uterus inkomplet. Oksigenasi dan IVFD dilakukan untuk resusitasi janin. Penderita diperbolehkan pulang bersama bayinya setelah dirawat 1 minggu.

INTRODUCTION Obstetric trauma is one of the causes of placental abruption; about 1-2% of placental abruption caused by trauma. A minimal trauma can cause a mild placental abruption, that can develop to severe placental abruption after 24 hours. The appropriate and accurate management is needed(1,2,3). Accidental trauma to abdomen will cause decidual hematoma. If the bleeding is minimal, the small hematoma will push the placental tissue but the blood flow between the uterus and the placenta is still normal so there are no symptoms. The hematoma will form a curve at placental maternal site with a black blood coating(1,2,4,5). If the bleeding is severe, the uterus muscle that already tense can't contract to stop the bleeding. The hematoma will get bigger and cause a part or whole placental tissue separated from uterine wall. Blood will sneak to the area below the amnion membrane and spread in muscle fibers. This extravasation will cause couvedaire uterus and the patient will feel tension and pain. Myometrium damage and retroplacentar hematoma will enhance thromboplastine tissue secretion into maternal circulation and cause intravascular coagulation. This condition

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

and shock will also disturb renal perfusion(1,3,5,6,7). The baby’s safety depends on the area of separation; small separation area caused no symptom of fetal depression. Death caused by anoxia can occur if a part or all the placenta tissue separates. In this case, time factor is very important in development of blood coagulation abnormality, renal perfusion dysfunction and fetal death. The longer time between placental abruption and delivery process, the more severe complication will occur(1,6,8,9,11). Abdominal trauma can caused some complications, like uterine rupture, complete or incomplete. In incomplete uterine rupture, parametrium hematoma may be formed which is very difficult to be recognized(1,2,4,12). CASE REPORT A 28 year-old pregnant Indonesian woman was referred to the Obstetric and Gynecology Department at Manado General Hospital because of vaginal bleeding after she fell in the bathroom an hour ago; she couldn't remember why did she fall. She is on her second pregnancy. She didn’t have hypertension, diabetes mellitus, and abnormality of heart, lung and kidney

diseases. Physical examination showed anxiety and reduced consciousness. Her blood pressure was 100/60 mmHg and her pulse rate was normal 108/minute. Her respiration was 24/minute and her body temperature was 37° C. The heart and lung were normal. There is hematoma at frontal and left palpebra superior. The conjunctiva is not icteric and sclera is not anemic. At right arm we found a 15 cm laceration. Obstetric examination showed the height of uterus fundus is 33 cm and the abdomen were very tense and painful. The baby position is difficult to evaluate. The baby heart rate is below normal (10-10-10). We found active bleeding in closed ostium uteri internum. Haematuria was noticed at catheterisation and urine volume was 200 ml. Blood examination showed normal parameters: Hemoglobin was 14,6 g%, leukocytes 15.600/mm3 and trombocytes 242.000/mm3. Diagnosis: G2P1A0, 28 years old, aterm pregnancy not in labor with solutio placenta and suspected uterine rupture The fetus is alive, single, intrauterine and in fetal distress. Treatment was based on the mother and her baby condition. Oxygenation and IVFD were done to overcome fetal distress. Factors that may influence the fetal condition, including mother's blood pressure, pulse rate and uterine contraction and fetal heart rate were observed carefully with cardiotochography. An antifibrinolytic agent (tranexamic acid) and sectio caesarea were performed in order to stop bleeding. Before operation, the mother's condition was prepared with transfusion. Bleeding time > 7 minutes, clotting time was 6 minutes 30 seconds and bed side clotting time was 10 minutes. The operation took one hour and started with SCTP incision. We found a retroplacentar hematoma, 5x5 cm in size (20%), at placenta maternal site and an incomplete uterine rupture at anterior corpus, 7x2 cm in size. We decided to do hysterorhapia. During operation, bleeding was 1.5 L and diuresis was 500 ml. After operation, vital signs were normal. Antibiotics was given to the mother. Hb was 9,9 g%. The baby was normal, male, Apgar score was 3-5-7, the baby's weight was 3360 g and length was 51 cm. DISCUSSION The most important things in this case are timely and prompt management to give a better prognosis. Management began since the patient was adimitted until recovery. Time is very important because it can influence the degree of complication severeness. The longer time between placental abruption and delivery process, the more severe blood coagulation abnormality, renal perfusion dysfunction and risk of fetal death. This patient got the symptoms two hours after trauma. She fell in the bathroom and cause a bruise at the abdomen around the fundus and at the superior palpebra. She looked painful with blood pressure 100/60 mmHg and pulse rate 108x/m. The abdomen was very tense and painful. Haematuria was noticed at catheterisation and urine volume was 200 ml. Blood studies show no evidence of coagulation disorder. During operation, a retroplacentar hematoma was found, 6x6 cm in size (25%), at placental maternal site and an

incomplete uterine rupture at anterior corpus, 7x2 cm in size. These two events together was unusual. Sectio caesarea is the treatment choice. The management quality of this case is right because it only took one hour since accident to operation so the coagulation disorder is not developed yet. The important thing is incomplete uterus rupture was found at anterior corpus, 7x2 cm in size. This incomplete rupture has to be treated immediately because it may cause severe complication, which is very difficult to observe and can be fatal. Repair with histerorhapy is the choice because the site of rupture is clean, no necrosis observed and the reproduction function is still needed. The prognosis for the next pregnancy is dubia ad malam. SUMMARY AND SUGGESTION Obstetric trauma is one of the most common causes of solutio placenta. About 1-2% severe solutio placenta is caused by maternal trauma. A minimal trauma can cause a mild solutio placenta, which develops to severe solutio placenta in 24 hours. An abdominal trauma can cause complications, including complete or incomplete uterus rupture. In incomplete uterine rupture, parametrium hematoma would be formed. This hematoma is very difficult to recognize and can cause more serious complications and death. In order to overcome those complications, the right observation and management are needed.

REFERENCES 1.

Blumenfelt M, Gabbe S. Placental Abruption. In: Sciarra Gynecology and Obstetrics; Revised Ed, 1997. Philadelphia: Lippincott Raven Publ, 1997; 1-17. 2. Cunningham, MacDonald, Gant. Obstetrical Hemorrhage. In : Williams Obstetrics; 20th ed. Connecticut: Prentice Hall Internati Inc, 1997; 745 – 55. 3. Sumapraja S. Solusio Plasentae. Dalam: Sarwono Prawirohardjo (ed) Ilmu Kebidanan; Edisi ke 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka., 1997; 340-4.9. 4. Cunningham, MacDonald, Gant. Rupture of The Uterus. In : Williams Obstetrics; 21st ed. Connecticut : Prentice Hall Internat Inc, 2001; 646-52. 5. Vintzileos AM, Campbell WA, Nochimsom DJ et al: Preterm premature rupture of the membrane and abruptio placentae, Am J Obstet Gynecol 1987; 156: 1235. 6. Hill LM, Breckle R. Fetal outcome after intraamniotic hemorrhage with placental abruption. J Reprod Med 1986; 31 l: 1065. 7. Mintz MC, Kurtz AB, Arenson R et al. Abruptio placentae: Apparent thickening of the placenta caused by hyperechoic retroplacental clot. J Ultrasound Med 1986; 5: 411. 8. Heinonen PK, Kajan M, Saarikoski S: Cardiotocographic findings in abruption placentae 1985; 67: 48. 9. Galen LH. Rupture Uterus. In Obstetrical Decision Making; 2nd ed. Philadelphia: B.C. Decker Inc., 1987; 230-2. 10. Burke L. Abruptio Placentae. In : Obstetrical Decision Making; 2ad ed. Philadelphia: B.C. Decker Inc., 1987; 92-3. 11. Galen LH. Trauma In Pregnancy. In Obstetrical Decision Making; 2nd ed. Philadelphia: BC Decker Inc, 1987; 124-5. 12. Saifudin BA, Adriansz G, Winkjosastro HG, Waspodo, eds. Solutio Plasenta. Dalarn : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. JNPKKR-POGI & Yayasan Bina Pustaka, Jakarta: 2001; 166-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 21

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diabetes Mellitus dalam Kehamilan Eddy Suparman Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/ Rumah Sakit Umum Pusat Manado

PENDAHULUAN Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi glukosa berbagai tingkat yang diketahui pertama kali saat hamil tanpa membedakan apakah penderita perlu mendapat insulin atau tidak. Pada kehamilan trimester pertama kadar glukosa akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan respon terhadap transportasi glukosa dari ibu ke janin. Sebagian besar DMG asimtomatis sehingga diagnosis ditentukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan rutin(1,2). Di Indonesia insiden DMG sekitar 1,9-3,6% dan sekitar 40-60% wanita yang pernah mengalami DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan akan mengidap diabetes mellitus atau gangguan toleransi glukosa. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu dan 2 jam post prandial (pp). Bila hasilnya belum dapat memastikan diagnosis DM, dapat diikuti dengan test toleransi glukosa oral. DM ditegakkan apabila kadar glukosa darah sewaktu melebihi 200 mg%. Jika didapatkan nilai di bawah 100 mg% berarti bukan DM dan bila nilainya diantara 100-200 mg% belum pasti DM(1,3). Pada wanita hamil, sampai saat ini pemeriksaan yang terbaik adalah dengan test tantangan glukosa yaitu dengan pembebanan 50 gram glukosa dan kadar glikosa darah diukur 1 jam kemudian. Jika kadar glukosa darah setelah 1 jam pembebanan melebihi 140 mg% maka dilanjutkan dengan pemeriksaan test tolesansi glukosa oral(2). Faktor risiko tinggi yang membutuhkan pemeriksaan penyaring antara lain : A. Riwayat kebidanan : 1) Riwayat lahir mati 2) Riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gr 3) Adanya riwayat melahirkan prematur 4) Adanya riwayat preeklamsia pada multipara 5) Polihidramnion 6) Riwayat >3 kali abortus spontan 7) Hipertensi kronik 8) Monilisasi berat yang berulang 9) Infeksi saluran kemih yang berulang selama hamil

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

B. 1) 2) 3)

Riwayat Ibu : Adanya riwayat DM pada keluarga Umur > 30 tahun Pernah menderita DMG pada kehamilan sebelumnya Pada penderita dengan faktor risiko tinggi seperti di atas, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan lebih awal dilakukan dimulai pada usia kehamilan 18-22 minggu. Jika hasilnya negatif maka pemeriksaan dapat diulang kembali pada kehamilan 26-30 minggu(1,2,5,6,7,9). Klasifikasi diagnosis DM yang dianjurkan adalah klasifikasi menurut WHO tahun 1985, yaitu: • Diabetes Mellitus 1) DM tergantung insulin (DM TI) 2) DM tidak tergantung insulin (DM TTI) − Tidak gemuk − Gemuk 3) DM terkait Malnutrisi (DMTM) 4) DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan sindroma tertentu, seperti: − Penyakit pankreas − Penyakit hormonal − Karena obat/ bahan kimia lain − Kelainan receptor insulin − Sindroma genetik tertentu − Sirosis hepatis • Toleransi Glukosa Terganggu − Tidak gemuk − Gemuk − Yang berhubungan dengan keadaan atau sindroma tertentu. • Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) • Kelas risiko statistik (pasien dengan toleransi glukosa yang normal, tetapi jelas mempunyai risiko yang lebih besar untuk timbulnya DM) − Toleransi glukosa pernah abnormal − Toleransi glukosa potensial abnormal. Pembagian diabetes mellitus pada kehamilan 1) DM yang memamg sudah diketahui sebelumnya dan

kemudian menjadi hamil (DM hamil = DM progestasional). Sebagian besar termasuk golongan IDDM (Insulin Dependent DM) 2) DM yang baru saja ditemukan pada saat kehamilan (DM Gestasional = DMG). Umumnya termasuk golongan IIDDM (Non Insulin Dependent DM)(2,5,6) DMG sendiri dibagi dua sub kelompok. 1) Sebenarnya sudah mengidap DM sebelumnya, tetapi baru diketahui pada saat hamil (sama dengan DMH) 2) Sebelumnya belum mengidap DM dan baru mengidap DM pada masa kehamilan (Pregnancy-Induced Diabetes Mellitus). Merupakan DMG sesungguhnya, sesuai dengan definisi lama WHO 1980(1,5,6,7). Ke dua sub kelompok ini baru dapat dibedakan setelah dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) ulangan pasca persalinan. Untuk sub kelompok DMH, hasil TTGO pasca persalinan masih tetap abnormal, sedangkan untuk DMG hasil akan kembali normal. Menurut O'Sullivan dan Mahan, diagnosis DMG dibagi dalam dua tahap, yaitu : Test Tantangan Glukosa (Glukosa Challenge Test) dan Test Toleransi Glukosa Oral. Test tantangan glukosa dilakukan tanpa harus berpuasa yaitu pada saat ibu hamil berkunjung ke poliklinik diberikan 50 gr glukosa yang dilarutkan dalam air 1 gelas. Contoh darah vena diambil setelah 1 jam pembebanan. Test ini disebut positif bila kadar glukosa plasma sama dengan atau lebih dari 140 mg%. Test toleransi glukosa oral dilakukan dengan cara penderita makan cukup kalori minimal 3 hari sebelum pemeriksaan, kemudian semalam sebelum hari pemeriksaan harus berpuasa selama 8-12 jam. Setelah persiapan dalam keadaan berpuasa, contoh darah diambil pada pagi hari dan penderita diberi beban glukosa 75 gram dalam 200 ml air. Contoh darah berikutnya diperiksa dua jam setelah beban glukosa. Contoh darah yang diperiksa adalah plasma vena(1,2,3,4,6,8,10,11) Kriteria diagnosis WHO (1980 dan 1985) sama dengan kriteria diagnosis DM pada keadaan tidak hamil. Kriteria diagnosis modifikasi WHO-PERKENI (1997) adalah sebagai berikut: − Diperiksa hanya kadar glukosa plasma 2 jam pp. − Nilai >200 mg/dl : diabetes mellitus (jika baru diketahui saat hamil, DMG). − Nilai 140-200 mg/dl : toleransi glukosa terganggu (TGT) − Nilai <140 mg/dl : normal Sesuai anjuran WHO, pada temuan TGT (gala darah 2 jam pp 140-200 mg/dl) ditangani juga sebagai kasus DMG, sehingga penderita dengan kadar gula yang lebih rendah (dalam kriteria O’Sullivan) juga termasuk dalam yang ditangani(1,3,4,6,11,12). METABOLISME KARBOHIDRAT PADA KEHAMILAN NORMAL Pada wanita hamil normal terjadi banyak sekali perubahan hormonal dan metabolik untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus yang optimal. Pada kehamilan normal, kadar glukosa plasma ibu menjadi lebih rendah secara bermakna, karena: 1) Ambilan glukosa sirkulasi plasenta meningkat 2) Produksi glukosa dari hati menurun 3) Produksi alanin (salah satu prekursor glukoneogenesis

menurun) 4) Efektifitas ekskresi ginjal meningkat 5) Efek hormon-hormon gestasional (human plasental lactogen, hormon-hormon plasenta lainnya, hormon-hormon ovarium, hormon pankreas dan adrenal, growth factor, dan sebabagainya) (2,5,8). Selain itu terjadi juga perubahan metabolisme lemak dan asam amino. PATOFIOLOGI DIABETES MELLITUS PADA KEHAMILAN Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi suatu keadaan di mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap tinggi). Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, di mana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. (menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi). Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya(3,5,8). MORBIDITAS DAN MORTALITAS IBU DAN JANIN PADA DMG Komplikasi maternal meliputi infeksi saluran kemih, hidramnion dan hipertensi (kronik/preeklampsia/eklampsia), sedangkan komplikasi fetal intrauterin adalah risiko abortus spontan, kelainan kongenital (terutama pertumbuhan sistim syaraf pusat), insufisiensi plasenta (mengakibatkan hipoksemia kronik), kematian intra uterin, makrosomia dan organomegali(11,12,13). Komplikasi neonatus pasca persalinan meliputi prematuritas, kematian perinatall neonatal, trauma lahir, gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia dan hiperbilirubinemia), sindrom gawat napas neonatus, polisitemia, trombosis vena renalis. Komplikasi pada usia anak atau dewasa adalah gangguan tumbuh kembang intelektual, obesitas sampai diabetes mellitus itu sendiri(1,3,7,9,14). PENGELOLAAN DIABETES MELLITUS PADA KEHAMILAN 1.

PENGELOLAAN MEDIS Sesuai dengan pengelolaan medis DM pada umumnya, pengelolaan DMG juga terutama didasari atas pengelolaan gizi/diet dan pengendalian berat badan ibu. A. Prinsip penanganan • Kontrol secara ketat gula darah, sebab bila kontrol kurang baik upayakan lahir lebih dini, pertimbangkan kematangan paru janin. Dapat terjadi kematian janin memdadak. Berikan insulin yang bekerja cepat, bila mungkin diberikan melalui drips. • Hindari adanya infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya. Lakukan upaya pencegahan infeksi dengan baik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 23

• Pada bayi baru lahir dapat cepat terjadi hipoglikemia sehingga perlu diberikan infus glukosa(4,6,9). B. Diet • Penanganan DMG yang terutama adalah diet, dianjurkan diberikan 25 kalori/kgBB ideal, kecuali pada penderita yang gemuk dipertimbangkan kalori yang lebih mudah. • Cara yang dianjurkan adalah cara Broca yaitu BB ideal = (TB-100)-10% BB. • Kebutuhan kalori adalah jumlah keseluruhan kalori yang diperhitungkan dari: − Kalori basal 25 kal/kgBB ideal − Kalori kegiatan jasmani 10-30% − Kalori untuk kehamilan 300 kalor − Perlu diingat kebutuhan protein ibu hamil 1-1.5 gr/kgBB. Jika dengan terapi diet selama 2 minggu kadar glukosa darah belum mencapai normal atau normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa di bawah 105 mg/dl dan 2 jam pp di bawah 120 mg/dl, maka terapi insulin harus segera dimulai. Pemantauan dapat dikerjakan dengan menggunakan alat pengukur glukosa darah kapiler. Perhitungan menu seimbang sama dengan perhitungan pada kasus DM umumnya, dengan ditambahkan sejumlah 300-500 kalori per hari untuk tumbuh kembang janin selama masa kehamilan sampai dengan masa menyusui selesai(10,13). Pengelolaan DM dalam kehamilan bertujuan untuk : − Mempertahankan kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl − Mempertahankan kadar glukosa darah 2 jam pp < 120 mg/dl − Mempertahankan kadar Hb glikosilat (Hb Alc) < 6% − Mencegah episode hipoglikemia − Mencegah ketonuria/ketoasidosis deiabetik − Mengusahakan tumbuh kembang janin yang optimal dan normal. Dianjurkan pemantauan gula darah teratur minimal 2 kali seminggu (ideal setiap hari, jika mungkin dengan alat pemeriksaan sendiri di rumah). Dianjurkan kontrol sesuai jadwal pemeriksaan antenatal, semakin dekat dengan perkiraan persalinan maka kontrol semakin sering. Hb glikosilat diperiksa secara ideal setiap 6-8 minggu sekali(4,5,7,9). Tabel 1. Kisaran kenaikan berat badan selama kehamilan normal (g). Massa Fetus Plasenta Cairan amnion Uterus Payudara Darah/plasma C. intersisial (tanpa edema) Jaringan lemak maternal Total

10 mg 5 20 30 140 45 100 0 310 650

20 mg 300 170 350 320 180 600 30 2050 4000

30 mg 1500 430 750 600 360 1300 80 3480 8500

40 mg 3500 650 800 970 405 1250 1580 3345 12500

Kenaikan berat badan ibu dianjurkan sekitar 1-2.5 kg pada trimester pertama dan selanjutnya rata-rata 0.5 kg setiap minggu. Sampai akhir kehamilan, kenaikan berat badan yang dianjurkan tergantung status gizi awal ibu (ibu BB kurang 14-20 kg, ibu BB normal 12.5-17.5 kg dan ibu BB lebih/obesitas 7.5-12.5 kg).

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

GDP = gula darah puasa

GDP < 130 mg/dl

GDP > 130 mg/dl

GD 2jpp = gula darah 2 jam postprandial Perencanaan makan (diet) 1-2 minggu

GDP < 105 mg/dl atau GD 2jpp < 120 mg/dl Teruskan diet

GDP > 105 mg/dl atau GD 2jpp > 120 mg/dl

Teruskan diet + INSULIN

Algoritma Penatalaksanaan Medik Kehamilan dengan DM Gambar 1. Penatalaksanaan Medik Kehamilan Dengan DM.

Jika pengelolaan diet saja tidak berhasil, maka insulin langsung digunakan. Insulin yang digunakan harus preparat insulin manusia (human insulin), karena insulin yang bukan berasal dari manusia (non-human insulin) dapat menyebabkan terbentuknya antibodi terhadap insulin endogen dan antibodi ini dapat menembus sawar darah plasenta (placental blood barrier) sehingga dapat mempengaruhi janin(4,6,8). Pada DMG, insulin yang digunakan adalah insulin dosis rendah dengan lama kerja intermediate dan diberikan 1-2 kali sehari. Pada DMH, pemberian insulin mungkin harus lebih sering, dapat dikombinasikan antara insulin kerja pendek dan intermediate, untuk mencapai kadar glukosa yang diharapkan(4,6,9). Obat hipoglikemik oral tidak digunakan dalam DMG karena efek teratogenitasnya yang tinggi dan dapat diekskresikan dalam jumlah besar melalui ASI(3,4,9,10). C. Insulin − Pada umumnya pemberian insulin dimulai dari dosis kecil dan bertambah secara bertahap sesuai dengan usia kehamilan yang semakin meningkat. − Insulin yang dipakai sebaiknya human insulin dengan dosis 0.5-1.5 U/kgBB. − Selain itu, pemantauan glukosa darah juga dapat melalui pemeriksaan HBA1C berkala tiap 6-8 minggu dengan kadar HBA1C yang diharapkan sebesar 6%. Obat anti diabetik oral tidak dapat digunakan karena dapat melewati sawar plasenta, disamping bersifat teratogenik. Beberapa preparat insulin yang bekerja cepat adalah Humulin R (40 IU, 100 IU) dan Actrapid Human 40, 100(2,6,9). 2. PENGELOLAAN OBSTETRIK − Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaan klinis ibu dan janin, terutama tekanan darah, pembesaran/

tinggi fundus uteri, denyut jantung janin, kadar gula darah ibu, pemeriksaan USG dan kardiotokografi (jika memungkinkan). − Pada tingkat Polindes dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin. − Pada tingkat Puskesmas dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin. − Pada tingkat rumah sakit, pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan cara : • Pengukuran tinggi fundus uteri • NST - USG serial • Penilaian menyeluruh janin dengan skor dinamik janin plasenta (FDJP), nilai FDJP < 5 merupakan tanda gawat janin. Penilaian ini dilakukan setiap minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia, pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan gawat janin merupakan indikasi untuk melakukan persalinan secara seksio sesarea. • Pada janin yang sehat, dengan nilai FDJP > 6, dapat dilahirkan pada usia kehamilan cukup waktu (40-42 mg) dengan persalinan biasa. Pemantauan pergerakan janin (normal >l0x/12 jam). • Bayi yang dilahirkan dari ibu DMG memerlukan perawatan khusus. • Bila akan melakukan terminasi kehamilan harus dilakukan amniosentesis terlebih dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila usia kehamilan < 38 mg). • Kehamilan DMG dengan komplikasi (hipertensi, preeklamsia, kelainan vaskuler dan infeksi seperti glomerulonefritis, sistitis dan monilisasis) harus dirawat sejak usia kehamilan 34 minggu. Penderita DMG dengan komplikasi biasanya memerlukan insulin(3,4,5,7). • Penilaian paling ideal adalah penilaian janin dengan skor fungsi dinamik janin-plasenta (FDJP).

DM tidak Terkendali

DM Terkendali

Sejak Kehamilan 34-36 minggu Monitor setiap minggu GD, USG, CTG

Janin sehat

Gawat janin Makrosomia IUGR

40 minggu Partus biasa

Algoritma

RAWAT Monitor setiap minggu GD, USG, CTG Amniosentesis

Paru matang

Paru belum matang Steroid

Terminasi

Penatalaksanaan

Gambar 2. Penatalaksanaan Obstetrik Kehamilan Dengan DM.

• Seksio sesarea dipertimbangkan bila terdapat makrosomia, pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin. Bila keadaan ibu dan janin baik dan tidak ada masalah dari aspek DM maupun aspek obstetri lainnya, maka dapat diharapkan penderita melahirkan melalui persalinan spontan pervaginam biasa(1,3,4,6,8,10,12,14). 3.

PENGELOLAAN BAYI Pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita DM, dilakukan pemeriksaan darah tali pusat untuk mengukur kadar glukosa darah dan hematokrit bayi. Selain itu, persiapan resusitasi neonatus harus dilakukan dengan baik. Masalah yang mungkin timbul pada bayi adalah : − Perubahan morfologi/fisiologi akibat gangguan pertumbuhan intrauterin, makrosomia, cacat bawaan − Gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hiperbilirubinemia − Gangguan hematologik seperti polisitemia atau hiperviskositas darah − Gangguan pernafasan dan kelainan jantung bawaan Penanganan bayi dari ibu DMG harus dilakukan dengan seoptimal mungkin, yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut : • Pada tingkat Polindes, BIDMG harus dikelola sejak dilahirkan. Evaluasi dilakukan segera setelah lahir, meliputi : Penghitungan nilai APGAR − Pemeriksaan keadaan umum bayi − Pemeriksaan fisik untuk melihat adanya cacat bawaan − Pemeriksaan plasenta − Pemeriksaan kadar glukosa − Pemeriksaan hematokrit tali pusat − Pengawasan lanjut Pemeriksaan fisik diulang untuk melihat perubahan yang terjadi pada janin seperti gemeteran, apnea, kejang, tangis lemah, malas minum dan adanya tanda sindroma gawat nafas, kelainan jantung, kelainan ginjal, trauma lahir pada extremitas, kelainan metabolik dan kelainan saluran cerna. Untuk mencegah hipoglikemia bayi diberi minum (dosis 60-90 ml/kg BB hari), dibagi dalam beberapa dosis, dimulai sejak jam pertama selanjutnaya tiap 12 jam.(3,4,6,10,15,16,18) • Pada tingkat Puskesmas, BIDMG harus dikelola sejak lahir dan dicegah terjadinya hipoglikemia sesuai penanganan diatas. • Pada tingkat Rumah Sakit, BIDMG harus dikelola sejak lahir dan dicegah terjadinya hipoglikemia sesuai penanganan diatas ditambah dengan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan dan memantau adanya kelainan BIDMG.(4,6,8,10,15,18) − Kadar glukosa serum tali pusat diperiksa pada 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36 dan 48 jam setelah kelahiran. Apabila kadar reflectancemeter < 45 mg/dl, harus diperiksa kadar glukosa serum. − Kadar kalsium dan magnesium harus diperiksa pada umur 6, 12, 24 dan 48 jam. − Hematokrit harus diperiksa dari tali pusat dan pemeriksaan selanjutnya pada umur 4 dan 24 jam. − Kadar serum bilirubin harus diperiksa bila bayi tampak kuning.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 25

− Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi. − Mengatasi kelainan metabolik. 1) Hipoglikemia − Jika kadar glukosa yang diperiksa dengan reflektometer meter < 25 mg/dl dan juga dibuktikan dengan pemeriksaan serum, diberikan larutan glukosa intravena sebanyak 6 mg/kg BB/menit dan kadar glukosa harus diperiksa setiap jam. − Bila kadar glukosa antara 25-45 mg/dl dan bayi tidak tampak sakit diberi minum larutan glukosa 5% dan kadar glukosa darah diperiksa setiap jam sampai stabil kemudian setiap 4 jam. Bila kadar glukosa tetap rendah diberi infus glukosa 6 mg/kgBB/ 2) Hipokalsemia dengan kejang harus diobati dengan larutan kalsium glukonat 10% sebanyak 1 ml/kgBB intravena, kadar kalsium dipantau setiap 12 jam dan selama pemantauan diperhatikan adanya bradikardia, aritmia jantung dan ekstravasasi cairan dari alat infus karena dapat menyebabkan nekrosis kulit. 3) Hipomagnesemia Dapat dikoreksi dengan larutan magnesium sulfat 50% sebanyak 1,2 ml/kgBB/hari intramuskuler dalam dibagi dalam 2-3 dosis. 4) Pengobatan terhadap kelainan hematologis Pada keadaan hiperbilirubinemia, dilakukan pemantauan terhadap kadar bilirubun serum dengan seksama sejak bayi mulai kuning, bila perlu diberikan terapi sinar atau transfusi tukar. Pada polisitemia, apabila kadar hematokrit darah vena 60-70% tanpa gejala, diberikan tambahan minum sebanyak 20-40 ml/kgBB/hari. Kadar hematokrit diperiksa setiap 6-12 jam, sampai nilainya dibawah 65%. Bila kadar Hematokrit > 70% dan timbul gejala, harus dilakukan transfusi tukar parsial dengan plasma beku segar.(3,4,6,10,19,21) KESIMPULAN Pengelolaan diabetes mellitus dalam kehamilan membutuhkan pendekatan dan kerja sama tim yang sebaik-baiknya. Dengan pengelolaan medis, obstetrik dan pediatrik yang baik maka diharapkan memperoleh hasil akhir semaksimal mungkin, setidak-tidaknya sama atau mendekati hasil akhir pada kehamilan normal.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Konsensus diagnosis dan penatalaksanaan DMG. Jakarta: PERKENI, 1997 : 1-12. Buku Acuan Nasional. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG). Dalam: Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Edisi Pertama. Jakarta : JNPKKR-POGI, 2000; 290-299. Suwito Tjondro Hudono. Diabetes Mellitus. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi ke 3. Jakarta: YBPSP, 1991; 480-93. Wulur CH, Suparman E, Loho MF. Tinjauan persalinan makrosomia di RSUP Manado. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia, 1997; 21: 202-8. Carr DB, Gabbe S. Gestational diabetes : detection, management and implication. Clinical Diabetes, 1988: 16 : 4-11. Stepen R, Carr DB. Screening for gestational diabetes mellitus. Diabetes Care, 1998: 21: B14-8. Madam M, Bajaj JS. Gestational diabetes in developing country. In : Anne Dorhorst, david RH, eds. Diabetes and pregnancy. New York : John Wiley & Sons, 1996 : 284-9. Person B, Hanson U. Neonatal morbiditas in gestasional diabetes mellitus. Diabetes Care, 1998; 21: B79-83. Jovanovic L, Peterson CM. Screening for Gestational Diabetes : Optimum Timing and criteria for resesting. Diabetes, 1985; 34: 21. Ogata ES. Perinatal Morbiditas off spring of Diabetic Mother. Diabetes Rev, 1995; 65-6. Langer O, Rodriquez DA, Xenakin EMJ. Intensified Versus Compentional Managemant of Gestasional Diabetes Melitus. Am J Obstet Gynecol, 1994; 170: 1036-47. Hold M, Robinson D, Pelid Y. Gestational Diabetes Mellitus : Is it a clinical entity? Diabetes Rev 1995; 602-11. Petti DJ, Knowler WC, Brairt HR. Gestational diabetes: Infant and maternal Complication of pregnancy in relation to third trimester glucose tolerance in Pima Indians. Diabetes care 1980; 3: 458-64. Neiger R, Coustan MD. The role of repeat glucose tolerance test in the diagnosis of gestational diabetes. Am J Obstet Gynecol, 1991; 165: 787-90. Pendegras M, Fazioni E, Defronso RA. NIDDM and gestational diabetes mellitus: same diseases another name. Diabetes care, 1995; 3: 566-77. Colditz GA, Willet WC, Rotnitzky A, Manson JE. Weight gain as a risk factor for clinical diabetes mellitus in women. Ann Intern Med, 1995; 122: 482-6. Counstan DR, Nelson C, Carpenter MW. Maternal age and screening for gestational diabetes mellitus: a population base study. Obstet Gynaecol, 1989; 73: 557-60. Jang HC, Cho NH, Jung KB. Screening for gestational diabetes mellitus in Korea. Int J Obstet Gynaecol, 1995; 51: 115-22. Wingjosastro GH. Penanganan diabetes mellitus gestasional. Dalam: Adam JMF, Sanusi H, Tendean H, Lawrence GS, Aman M eds. Konas IV Perkeni. Ujung Pandang: Lab ObGin FK UI Jakarta, 1997:46-8. Weiss PAM. Diabetes in pregnancy: lesson from the fetus. In: Domhorst A, Hadden DR eds. Diabetes in pregnancy. Chichester: John Wiley & Sons Ltd, 1996: 221-39.

KEPUSTAKAAN 1.

Konsensus Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Gestasional. Disampaikan dalam Pertemuan Tahunan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, 1997.

Reason cannot show itself more reasonable than to cease reasoning on things above reason (Sydney)

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

HASIL PENELITIAN

Ekspresi CD 44 pada Jaringan Tumor Karsinoma Payudara Azamris*, Wirsma Arif*, Eriyati Darwin** * Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ** Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Rumah Sakit Umum Dr. M. Jamil, Padang

ABSTRAK CD 44 merupakan suatu molekul permukaan sel lekosit yang memainkan peranan penting dalam cell mediated immunity, resirkulasi limfosit, aktifasi sel T, adhesi ke sel lainnya dan matriks interseluler, metabolisme hyaluronida, transduksi sinyal melewati membran sel, dan sekresi faktor pertumbuhan. Ekspresi berlebihan gen ini terjadi pada keganasan dan kemampuan metastasis sel kanker. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ekspresi CD 44 pada jaringan tumor payudara dan hubungannya dengan metastasis ke kelenjar getah bening. Dari sampel periode 1 Januari 1999 sampai 1 Juli 2000 didapatkan 20 kasus Karsinoma Payudara stadium dini yang menjalani operasi Modifikasi Radikal Mastektomi. Usia yang paling muda adalah 24 tahun dan usia yang paling tua adalah 64 tahun, rerata usia : 42,7 tahun dengan SD 12,5 tahun. Dari Fischer exact test untuk melihat adanya pengaruh umur terhadap kadar CD 44 didapatkan p=0,39 dengan nilai kemaknaan p < 0,05, menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna. Dari ukuran TNM didapatkan pasien dengan T1 = 2 kasus (10%), T2 = 11 kasus (55%) dan sisanya T3 = 7 kasus (35%). Dari seluruh kasus didapatkan CD 44 positif pada seluruh kasus dan kadar rata-rata adalah 34,5%. Nilai rata-rata T1 adalah 19%, T2 = 29,45% dan T3 = 49,57%. Dapat dilihat korelasi makin besar T (ukuran tumor) kadar CD 44 makin tinggi. Pada pemeriksaan patologi anatomi didapatkan dari 15 (70% kasus) kelenjar getah bening yang teraba secara klinis ternyata hanya 10 kelenjar yang positif mengandung metastasis. Pada hasil pemeriksaan CD 44 jaringan tumor pada NO = 37% (5 kasus), N1 = 35,07% (14 kasus) dan N2 = 21% (1 kasus). Hasil ini menunjukkan terdapat peningkatan kadar CD 44 pada kasus dengan pembesaran getah bening aksila. Dari penelitian disimpulkan bahwa kada CD 44 meningkat pada kasus dengan tumor yang besar dan adanya metastasis aksila. Walaupun demikian pemakaiannya secara klinis harus mengikutsertakan faktor-faktor prognostik lainnya.

PENDAHULUAN Latar Belakang Karsinoma payudara sama dengan kanker mulut rahim merupakan keganasan yang sering pada wanita. Kanker payudara 100 kali lebih sering pada wanita daripada pria. Di Indonesia insiden relatif karsinoma payudara cukup tinggi, ke dua setelah keganasan mulut rahim dalam deretan 10 keganasan terbanyak di Indonesia; dan terdapat kesan terjadi peningkatan insiden sebagai refleksi perubahan pola hidup dan

makanan masyarakat Indonesia(1). Insiden penderita karsinoma payudara bergerak naik terus dari usia 30 tahun. Keganasan ini jarang sekali ditemukan pada usia di bawah 20 tahun. Angka tertinggi terdapat pada usia 45-66 tahun. Dari penelitian biomolekuler telah dibuktikan bahwa kanker disebabkan karena mutasi gen BRCa1 dan BRCa2 pada 2% kasus maupun akibat mutasi spontan yang terjadi akibat pengaruh lingkungan(2). Dari penelitian epidemiologi didapatkan bahwa faktor yang berpengaruh sebagai Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 27

faktor risiko karsinoma payudara adalah usia, hormonal, diet, virus, sinar radiasi, menderita tumor di tempat lain dan pola hidup/kebiasaan yang salah.(1,2) Karsinoma Payudara sebagian besar berkembang di duktus, setelah itu baru menembus parenkim. Lima belas sampai empat puluh persen bersifat multi sentris. Penyebaran keganasan payudara terutama melalui aliran limfe aksila (metastasis lokal), yang kemudian baru menyebar sistemik. Metastasis jauh terutama ke tulang, paru-paru dan hati. Prognosis pasien ditentukan oleh tingkat penyebaran dan potensi metastasis. Bila tidak diobati ketahanan hidup lima tahun adalah 16-22 % sedangkan ketahanan hidup sepuluh tahun adalah 1-5 %. Ketahanan hidup tergantung pada tingkat penyakit, saat mulainya pengobatan, gambaran histopatologis, reseptor estrogen dan progesteron serta penanda biomolekul lainnya. Tingkat penyakit pada saat ini dinilai menurut TNM. Tingkat penyakit pada stadium dini menurut TNM adalah stadium I-II. Untuk stadium III-IV disebut stadium lanjut. Ketahanan hidup lima tahun berdasarkan TNM adalah berturut-turut 85%, 65%, 40%, 10%(1,2). Salah satu faktor yang menentukan stadium dan prognosis penderita adalah terdapatnya metastasis ke kelenjar getah bening aksila. Karena akan membuat angka rekurensi menjadi lebih tinggi dan survival. Adanya metastasis sangat menentukan angka ketahanan hidup penderita. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui ekspresi antigen CD 44 var 5 di jaringan tumor payudara. 2. Mengetahui hubungan antara kadar CD 44 var 5 pada jaringan tumor dengan ukuran kanker payudara. 3. Mengetahui hubungan antara ekspresi antigen CD 44 var 5 pada jaringan kanker payudara dengan adanya metastasis pada kelenjar limfe aksila. TINJAUAN PUSTAKA Dengan berkembangnya pengetahuan onkologi, telah diketahui bahwa faktor imunitas memegang peranan dalam timbulnya keganasan termasuk keganasan payudara; penyimpangan sistim imun diduga terlibat dalam pembentukan sel ganas. Sel tumor merupakan suatu benda asing dalam tubuh yang memiliki susunan antigenik yang khas; hal ini akan memicu respon imun dan karena itu disebut sebagai tumor associated antigen (TAA). TAA merupakan antigen permukaan sel yang membangkitkan respon imunitas spesifik bila diinjeksikan pada hospes yang sama(3,4,5). Pengetahuan ini digunakan dalam diagnosis dan pengobatan neoplasma tertentu pada manusia. Respon individu terhadap pertumbuhan sel tumor ternyata tidak sama seperti yang terlihat di bawah ini(6,7): 1. Penolakan (rejeksi) disebabkan karena inkompatibilitas. 2. Penerimaan (acceptance). 3. Pertumbuhan (enhancement). Penelitian genetik dan perubahan biologis pada keganasan telah membuka cakrawala mengenai diagnostik dan intervensi terapi kanker. Sel T merupakan respon host dalam mengontrol pertumbuhan tumor. Dia memiliki kemampuan 28 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

membunuh langsung sel tumor atau melalui aktivasi berbagai komponen sistim imun. Terdapat 2 jenis subdivisi sel T yaitu CD 4 dan CD 8; CD 4 akan merangsang pelepasan berbagai mediator dan menginduksi respon inflamasi dan CD 8 selain memiliki kemampuan menghasilkan limfokin, yang paling utama adalah kemampuan membunuh sel tumor secara langsung(8,9). Adanya sel tumor akan membuat sel T memiliki memori dalam menghadapi sel tumor tersebut, hal ini terutama tampak dari perubahan antigen permukaan sel T. Salah satu bentuk antigen yang mengalami perubahan adalah CD 44 yang terdapat pada permukaan membran sel T(10). CD 44 merupakan suatu ikatan hyaluronidase. Penelitian mutakhir tentang ekspresi gen CD 44 memberikan hal yang menjanjikan dalam diagnostik dini kanker, diagnostik metastasis dan pemantauan pengobatan. CD 44 merupakan suatu molekul permukaan sel lekosit yang memainkan peranan penting dalam cell mediated immunity, resirkulasi limfosit, aktivasi sel T, adhesi ke sel lainnya dan matriks interseluler, metabolisme hyaluronida, transduksi sinyal melewati membran sel dan sekresi faktor pertumbuhan. CD 44 memiliki bentuk varian isoform yang terbagi ke dalam beberapa grup dan terletak dalam kromosom lokus 11p13. Dengan proses yang kompleks, gen ini mengatur fungsi sel dan terjadi perubahan ekspresi pada terjadinya keganasan. Berdasarkan fungsinya ini maka ekspresi CD 44 berhubungan dengan kemampuan metastasis pada kanker(11,12). Hal ini memberikan makna pemakaian CD 44 pada klinis. Molekul CD 44 terbentuk dalam berbagai isoform (hampir 11 jenis isoform). Maing-masing isoform menunjukkan migrasi limfosit yang berbeda. Variasi isoform ini tergantung pada jenis exon antara transmembran dan N-terminus. Epitel yang normal akan memberikan bentuk isoform CD 44 H dengan dominasi bentuk ikatan hyaluran tanpa exon v1-v10. Sedangkan pada kanker terdapat over ekspresi exon-v1-v10, yang menunjukkan bahwa exon ini berhubungan dengan adanya pertumbuhan yang berlebihan dan penyebaran tumor(12). Bentuk isoform CD 44 tergantung pada CD44mRNA. Pemberian antibodi monoklonal anti CD 44 akan mencegah terjadinya pertumbuhan tumor dan metastasis. Abnormalitas ekspresi CD 44 pada kanker payudara dapat diketahui melalui teknik RT-PCR pada jaringan tumor dan kelenjar aksila yang segar. Melalui teknik pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat peningkatan CD 44 dan bentuk isoformnya v5, v6 dan v9 pada karsinoma jika dibandingkan dengan epitel normal payudara(13). Penelitian lain menyebutkan korelasi yang signifikan antara ekspresi v3, v4, v6 dan peningkatan gradasi kanker payudara(14,15). Beberapa peneliti melaporkan bahwa terdapatnya reseptor estrogen yang tinggi pada permukaan sel tumor juga menunjukkan peningkatan ekspresi varian CD 44; namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata tidak terdapat hubungan antara status reseptor estrogen dengan ekspresi CD 44 ini. CD 44 merupakan kelompok protein permukaan sel yang berhubungan dengan adhesi dan metastasis tumor. Adanya bentuk isoform spesifik dengan ekspresi yang berlebihan menunjukkan adanya metastasis dan prognosis yang jelek pada kanker payudara. Ekspresi v5 yang terdapat pada jaringan payudara merupakan suatu petanda

adanya peningkatan gradasi tumor dan kemampuan metastasis ke kelenjar aksila(11). METODOLOGI PENELITIAN Bahan Pasien : Sebagai responden diambil pasien karsinoma payudara stadium yang telah menjalani operasi modifikasi mastektomi radikal. Teknik modifikasi mastektomi radikal yang dipilih adalah menurut cara Auchincloss yaitu payudara secara total diangkat bersama dengan kelenjar limfe aksila secara en blok. Kemudian atas jaringan tumor dan kelenjar aksila dilakukan dua pewarnaan yaitu dengan hematoksilin eosin dan pewarnaan imunohistokimia (antibodi monoklonal). Pemeriksaan Antibodi Monoklonal Pemeriksaan Antibodi Monoklonal dilakukan di Laboratorium Histologi FKUA. Antibodi monoklonal yang digunakan berasal dari murine monoclonal antibody yaitu : Mo Ab CD 44 var 5. Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan histopatologi jaringan tumor dan kelenjar limfe aksila dalam sediaan blok parafin dan diwarnai dengan hemtoksilin eosin. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Patologi Anotomi FKUA. Sampel pasien karsinoma payudara yang menjalani modifikasi mastektomi radikal sebanyak 20 kasus dan dilakukan dua macam pemeriksaan yaitu histopatologi dengan blok parafin dan pemeriksaan antibodi monoklonal untuk antigen CD 44 var 5. Pemeriksaan antibodi monoklonal untuk antigen CD 44 var 5 dilakukan dengan pewarnaan imunohistokimia (Imunoperoksidase indirek ) dengan metoda berikut ini. Tahap-tahap pewarnaan : 1. Sediaan dikeringkan pada suhu ruangan selama 2-24 jam dan difiksasi dengan aseton selama 10 menit. Sampel ini dikeringkan dan dapat langsung diwarnai atau disimpan pada suhu -30°C. Sebelum proses pewarnaan dimasukkan ke dalam metanol dengan H2O2 1% untuk mengurangi reaksi warna endogen. 2. Cuci preparat dengan PBS 5 selama 5 menit. 3. Inkubasi dengan antibodi monoklonal yang telah dilarutkan dengan TRIS-BSA selama 30 menit pada suhu kamar dalam ruang lembab. Sel pelet seluas 1 cm2 membutuhkan 100 ul Mo Ab. 4. Cuci preparat dengan PBS selama 5 menit. 5. Inkubasi dengan Rabbit anti Mouse POD conjugated (sigma) yang dilarutkan dengan serum selama 30 menit pada suhu ruang di dalam ruang lembab. 6. Cuci preparat dengan PBS selama 5 menit. 7. Inkubasi dengan Goat anti Rabit POD conjugated (sigma) yang dilarutkan dengan serum. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar di ruang lembab selama 30 menit. 8. Cuci dengan PBS selama 5 menit. 9. Inkubasi dengan substrat Peroksida selama 10-15 menit sampai terlihat warna coklat di bawah kontrol mikroskop.

Substrat dilarutkan dari DAB (diamino tetra benzidine) dengan TRIS BSA dan perydol. 10. Cuci dengan PBS selama 5 menit. 11. Warnai dengan Hematoxilin. 12. Cuci dengan air. 13. Tutup dengan deckglass yang dilengketkan dengan glycerine gelatin. 14. Hitung jumlah sel yang positif yaitu sel yang berwarna coklat dari 100 sel. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam persen, yaitu jumlah sel limfosit dengan ekspresi CD 44 var 5 terhadap perhitungan 100 sel limfosit. Nilai ambang batas positif adalah lebih besar dari 50%. Proses pembuatan sediaan dan pewarnaan dilakukan oleh satu orang tenaga yang menguasai teknik menurut protokol yang sudah baku. Setiap proses pewarnaan disertai dengan pewarnaan positif dan negatif. Analisis Statistik Data yang diperoleh dari pemerikasaan histopatologi dan antibodi monoklonal dibuat persentase dan kemudian masingmasing kelompok sampel dibandingkan dengan mempergunakan Fischer exact test. Nilai signifikan secara statistik adalah p > 0.05. Data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari tanggal 1 Januari 1999 sampai dengan 1 Juli tahun 2000. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. M. Jamil Padang untuk pengambilan spesimen operasi sebanyak 20 kasus. Pemeriksaan histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Andalas dan pemeriksaan antibodi monoklonal di Laboratorium Histopatologi FK Universias Andalas Padang. HASIL PENELITIAN Periode 1 Januari 1999 sampai 1 Juli 2000 didapatkan 20 kasus Karsinoma Payudara stadium dini yang menjalani operasi Modifikasi Mastektomi Radikal, dilakukan pemeriksaan histopatologis pada jaringan payudara serta aksila. Pada kasus tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap CD 44 pada jaringan karsinoma payudara dan pada kelenjar aksila. Usia pasien paling muda adalah 24 tahun dan usia paling tua adalah 64 tahun, rerata usia: 42,7 tahun, SD=12,5 tahun.

T1 T3

T2

Gambar 1. Distribusi besar tumor menurut ukuran T.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 29

Tabel 1. Hubungan umur dengan kadar CD 44 tumor <50% 6 7 13

< 40 tahun > 40 tahun Jumlah

>50% 7 5 7

Jumlah 8 12 20

Dari perhitungan dengan Fischer exact test didapatkan p=0,39 dengan nilai kemaknaan p<0,05, maka tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan jumlah CD 44 tumor. Pada seluruh kasus didapatkan ekspresi CD 44 dengan nilai rata-rata 34,5% (4% - 87%). Tabel 2. Hubungan antara ukuran tumor (T) dan kelenjar getah bening (N) dengan jumlah CD 44 per lapangan pandang. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Tumor T

KGB (N)

2 2 3 3 2 3 3 2 2 2 1 3 2 2 2 3 3 2 2 1

1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 2 1 1 1 1 1 1 0 0 Rata-rata

% CD 44 per lapangan pandang 68 25 54 24 83 71 87 16 8 4 19 21 36 51 11 7 83 17 5 7 34,5

Rata-rata ekspresi CDK 44 var 5 pada T1=13%, T2=29,57%. Peningkatan kadar CD 44 jaringan tumor sebanding dengan peningkatan ukuran T.

Kadar CD 44

Dari ukuran tumor menurut TNM didapatkan pasien dengan Tl=2 kasus (10%), T2=11 kasus (55%) dan sisanya T3=7 kasus (35%). Sedangkan untuk kelenjar getah bening yang positif secara klinis didapatkan 15 kasus (75%) dengan perincian N1=14 kasus dan N2=1 kasus; tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening (N0) pada 5 kasus (25%).

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 N0

N1

N2

Gambar 3. Hubungan antara kadar CD 44 jaringan tumor dengan terabanya kelenjar getah bening aksila.

Kadar CD 44 jaringan tumor pada N0 adalah 37,2%, N1=44,64% dan N2=21%. Pada pemeriksaan Patologi anatomi atas 15 kelenjar getah bening yang teraba secara klinis ternyata hanya 10 kelenjar yang positif dengan metastasis karsinoma. Satu kasus yang tidak teraba ternyata mengandung metastasis. Tabel 3. Hubungan antara hasil pemeriksaan klinis dan patologi anatomi

Klinis + Klinis Total

PA + 9 1 10

PA 6 4 10

Total 15 5 20

Dari uji Fischer didapatkan p=0,15 dimana p > 0,05, tidak terdapat hubungan secara statistik antara pemeriksaan klinis dan metastasis secara mikroskopis. Pada 5 kasus dengan klinis teraba ternyata pada pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran hiperplasia reaktif. Tabel 4. Hubungan antara hasil pemeriksaan histopatologi kelenjar getah bening dengan kadar CD 44 pada jaringan tumor.

PA + PA Total

CD 44 + 5 4 9

CD 44 5 6 11

Total 10 10 20

% CD44

Dari uji Fischer didapatkan p=0,5 (p > 0,05), jadi tidak didapatkan hubungan yang bermakna. Dari 10 kasus dengan metastasis aksila didapatkan ratarata jumlah CD 44 adalah 44,9% dibandingkan dengan tanpa metastasis aksila adalah sebesar 24,9%.

60 50 40 30 20 10 0 1

2

3

Gambar 2. Hubungan antara jumlah CD 44 dan ukuran T

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

DISKUSI Dari penelitian ini (20 kasus) usia yang paling muda adalah 24 tahun dan usia paling tua adalah 64 tahun, rerata usia: 42,7 tahun dengan SD=12,5 tahun. Dari 20 kasus tersebut terdapat 6 kasus (30%) merupakan kanker payudara pada usia muda (<35 tahun). Perhitungan Fischer exact test untuk melihat pengaruh umur terhadap kadar CD 44 mendapatkan

p=0,39 dengan nilai kemaknaan p < 0,05, yang menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna. Hal ini sesuai dengan laporan beberapa peneliti yang tidak menemukan hubungan antara kadar CD 44 dengan usia penderita. Molekul CD 44 dapat diekspresikan pada beberapa jaringan normal dan hampir pada semua sel kanker. Sedangkan antibodi terhadap CD 44 pada jaringan tumor payudara memiliki epitop bervariasi yang memiliki distribusi terbatas. Pemeriksaan CD 44 pada penelitian ini melalui pemeriksaan pada jaringan tumor. Hasil pemeriksaan dalam bentuk persentase per 100 lapangan pandang seperti yang dilakukan juga oleh Kinosita dkk. Dari ukuran TNM didapatkan pasien dengan T1=2 kasus (10%), T2=11 kasus (55%) dan sisanya T3=7 kasus (35%); CD 44 positif pada seluruh kasus dan kadar rata-rata adalah 34,5% dengan nilai terendah 4% dan tertinggi 85%. Nilai rata-rata pada T1 adalah 13%, T2=26,85% dan T3=73,5%. Dari persentase dapat dilihat korelasi bahwa makin besar T (ukuran tumor) makan kadar CD 44 makin tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Manfred Kaufman dkk; peningkatan ukuran tumor akan meningkatkan kadar CD 44 dan akan membuat prognosis menjadi lebih buruk. Dari pemeriksaan patologi anatomi atas 15 (70% kasus) kelenjar getah bening yang teraba secara klinis, ternyata hanya 10 kelenjar yang positif mengandung metastasis, pada 5 kasus lainnya berupa hiperplasia reaktif. Satu kasus pada pemeriksaan klinis tidak teraba ternyata mengandung metastasis. Dari uji Fischer ternyata tidak terdapat hubungan antara pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan histopatologi. Pembesaran dapat terjadi juga akibat infeksi sekunder, atau akibat lepasnya bahan-bahan inflamasi akibat pertumbuhan tumor. Walaupun demikian dari 10 kasus dengan metastasis aksila (histopatologi) didapatkan rata-rata jumlah CD 44 44,9% dibandingkan dengan tanpa metastasis aksila sebesar 24,9%. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar CD 44 pada jaringan tumor sebanding dengan angka kajadian metastasis pada kelenjar getah bening aksila. Kinosita dkk, melakukan pemeriksaan CD 44 pada jaringan karsinoma mamae pada 91 kasus dan menghubungkannya dengan metastasis ke kelenjar aksila. 31 pasien dengan CD 44 positif mengalami rekurensi. CD 44 yang positif menunjukkan kecenderungan tinggi untuk metastasis ke kelenjar limfe, walaupun CD 44 bukan satu-satunya faktor yang berhubungan dengan metastasis ke kelenjar limfe. Pada penelitian ini didapatkan hasil rata-rata pemeriksaan CD 44 jaringan tumor pada N0=37,2%, N1=46,64% dan N2=21%. Dari diagram 3 tampak bahwa terdapat peningkatan kadar CD 44 sebanding dengan pembesaran kelenjar getah bening aksila (N0 dan N1). Pada N2 terdapat penurunan nilai CD karena jumlah sampel hanya 1 kasus dan juga nilai N2 sendiri menunjukkan adanya perlengkapan antara kgb dengan jaringan sekitarnya. Dari uji Fische tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara ekspresi CD 44 di jaringan tumor dengan adanya metastasis ke aksila secara histopatologis (Tabel 4). Namun kadar CD 44 di jaringan payudara pasien tanpa metastasis ke kelenjar aksila lebih rendah daripada pada pasien dengan

metastasis ke aksila (37,2% vs 44,64%). Kondisi ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang masih sedikit atau karena memang kedua hal ini tidak berhubungan secara statistik. Sheen chen dkk melaporkan bahwa adanya molekul CD 44 merupakan faktor prognostik jelek pada karsinoma payudara; 100 pasien karsinoma duktal invasif dengan kadar CD 44 tinggi mengandung metastasis. Manfred Kaufman melaporkan bahwa ekspresi CD 44 yang lebih tinggi memiliki survival yang lebih pendek. Walaupun demikian masih perlu penelitian yang lebih lanjut terutama dengan mengikutsertakan faktor-faktor prognostik lainnya. KESIMPULAN 1. Ekspresi CD 44 didapatkan pada seluruh kasus kanker payudara yang diteliti. 2. Kadar ekspresi CD 44 sebanding dengan peningkatan ukuran tumor, tetapi tidak ada hubungannya dengan usia penderita. 3. Terdapat peningkatan kadar CD 44 pada jaringan tumor kasus dengan metastasis ke kelenjar aksila. 4. Perlu penelitian lebih lanjut untuk dapat memakai ekspresi CD 44 var 5 sebagai faktor prognostik untuk timbulnya metastasis. 5. Hasil pemeriksaan histopatologis “Hiperplasia Reaktif”, dengan konfirmasi pemeriksaan CD 44 var 5 yang positif perlu di follow up untuk menentukan hubungan terdapat rekurensi dan survival rate penderita.

KEPUSTAKAAN 1.

Ramli B. Penerapan mutakhir karsinoma payudara. Makalah Simposium Terapi Kanker Payudara. Padang; Maret 2000. 2. Henderson C, Harris MR, Kinne DW, Hellman S. Cancer of the Breast, In Cancer Principles and Practice of Oncology 3rd ed, Devita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA eds. Philadelphia: JB Lippincott Co. 1989; 1197-1258. 3. Austyn JM, Wood KJ. Principles of cellular and molecular immunology. New York: Oxford University Press, 1994 ; 203-17. 4. Janeway CA, Travers P. Immunobiology: the immune system in health and disease. New York: Blackwell Scient. Publ, 1994; 601-37. 5. Chandrasoma P, Taylor CR. Concise Pathology. 2nd ed. London:. Prentice Hall International, 1995; 47-68. 6. Belanty JA. Immunology. 3rd ed. Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 1993; 18-57. 7. Roitt I. Essential Immunology. 9th ed. London: Blackwell Science Ltd, 1997; 195-1198. 8. Elgert KD. Immunology: understanding the immune system. New York: Wiley Liss, 1996; 173-98. 9. Kresno SB. Immunologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI, 1996; 5-77. 10. Griffioen AW, Coenen MJ, Damen CA, Hellwig SM, Van Weering DH, Vooys W, Blijham GH, Groenewegen G. CD 44 is involved in tumor angiogenesis; an activation antigen on human endothelial cells. Blood 1997; 90(3): 1197-1258. 11. Lancher C, Moser R, Bauernhofer T, Wilder TM, Samonigg H, Berghold A, Zatloukal K. Soluble CD 44 v5 and v6 in serum patients with breast cancer. Corelation with expression of CD 44 v5 and v6 in primary tumors and location of metastasis. Breast Cancer Res Treat 1998; 47(1): 29-40. 12. Kitti EM, Ruckser R, Sakery S, Samek V, Hofmann J, Huber K, et al. Evaluation of solube cd 44 splice variant v5 in the diagnosis and followup in breast cancer patients. Experiment and Clin Immunogenetics 1997; 14(4).

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 31

13. Ermak G, Jennings T, Boguniewicz A, Figge J. Novel CD 44 messenger RNA isoforms in human thyroid and breast tissues feature unusual sequence rearrangements. Clin Cancer Res 1996; 2: 1251-54. 14. Martin S, Jansen F, Bokelmann J, Kolb H. Soluble CD 44 splice variants in metastasing human breast cancer, Int J Cancer 1997; 74(4): 443-5.

15. Murti B. Penerapan metode statistik non parametik dalam ilmu-ilmu kesehatan. Jakarta: Gramedia, 1996. 16. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE APRIL – JULI 2003 Waktu MARET

Kegiatan Ilmiah 26 - 29

AOFOG 4 (Feto Maternal)

11 - 13

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (KIPPIK FKUI 2003)

20 - 21

6th International Conference on Hemodynamics of the International Hemodynamic Society

20 - 23

Kongres Nasional VI PERKENI

24 - 26

The 12th Annual Scientific Meeting of the Indonesia Heart Association (Cardiology Update 2003)

APRIL

26 - 27

MEI

2-4

Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-1 (PIN-1) PB PAPDI: Therapeutic Update in Internal Medicine

3-4

Penatalaksanaan Holistik Autisme

9 - 10

3rd Jakarta Nephrology Hypertension (JNHC)

11 16 - 18 22 - 25 24 - 25

JUNI

21 - 22 4-7

Symposium Hipertensi International Congress on Pharmacokinetic/Pharmacodynamic (Antibiotic 2003) Indo Surgitex 200, IKABI Temu Ilmiah Geriatri 2003: Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin PIN PERALMUNI 2003 Kongres Nasional Ke-XI PGI-PEGI dan PIN ke-XII PPHI

9 - 12

Kongres Nasional Obstetri & Ginekologi Indonesia (KOGI XII) Indonesian Digestive Week (IDDW) in Conjunction with the American Gastroenterological Association (AGA)

10 - 13

Mukernas Perdossi / Konas Perdossi

4 - 11 JULI

4th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2003

18 - 20 25 - 27

The 2nd National Symposium The Recent Advances in Critical Care Management Sewindu Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 2003

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

Tempat dan Sekretariat Tiara Convention Center, Medan E-mail: [email protected] Telp : 061-4534190, 4511522 Hotel Borobudur, Jakarta Email: [email protected] Phone No:021-3106737 Nikko Bali Resort & Spa, Bali Email:[email protected] Telp :021-3927958, 3151665, 3144361 Hotel Tiara, Medan Email : [email protected] Telp: 061-836 3009 Hotel Borobudur, Jakarta E-mail: [email protected], [email protected] Tep: 021-5684093, 5684085 (ext. 3508); Fax : 021-5608239 Hotel Sahid Jaya, Jakarta E-mail: [email protected] Telp: 021-3908157, 3925491 Fax : 021-3929106 Hotel Sheraton, Jogjakarta Email: [email protected] Telp: 021-331384, 3159704, 330808 Ext. 6703 Hotel Sahid Jaya, Jakarta Email : [email protected] Telp: 021-7980888, 7985177, 7940836/7 Hotel Borobudur, Jakarta Email : [email protected], [email protected] Telp : 021-314 9208 Bali International Convention Center, Bali E-mail : [email protected] Telp: 62-21-5684093 ext. 5019, 62-215684085 ext. 1242 Jakarta Convention Center Telp: 021-390 5533 Hotel Sahid Jaya, Jakarta Email: [email protected] Telp: 021-31900275 Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp : 021-314 1160 Batu, Malang email: [email protected]; [email protected] Telp : 0341-348265 Hotel Sheraton, Yogyakarta Telp: (0274)587333 psw 296 Hotel Discovery Kartika Plaza, Bali E-mail: [email protected] Telp: 021-3153957 Grand Bali Beach, Bali Email : [email protected] Telp : 0361-246082, 227911/25 psw 174 Hotel Borobudur, Jakarta Telp: 021-3441008 Ext. 2426, 3518038 Hotel Sahid Jaya, Jakarta Email: [email protected] Telp: 021-330956

25 - 27

Sewindu Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 2003

Hotel Sahid Jaya, Jakarta Email: [email protected] Telp: 021-330956

Informasi Terkini, Detail dan Lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id Medical >> Calender of Event >> Complete

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 33

LAPORAN KASUS

Giant Mammary Dysplasia (Penyakit Fibrokistik) Azamris Konsultan Bedah Tumor/Onkologi Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSU Dr. M. Djamil Padang

ABSTRAK Penyakit fibrokistik, lebih tepat disebut kelainan fibrokistik, merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada wanita dan biasanya didapatkan pada wanita pada usia dekade 3-4. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran multipel dan sering kali rasa nyeri payudara bilateral terutama menjelang menstruasi. Ukuran dapat berubah yaitu menjelang menstruasi terasa lebih besar dan penuh serta rasa sakit bertambah, bila setelah menstruasi rasa sakit berkurang sampai hilang dan tumorpun mengecil. Dilaporkan seorang pasien wanita, menikah, belum punya anak, umur 33 tahun, suku Minang dirawat di bangsal bedah RSU Dr. M. Djamil dengan keluhan utama kedua payudara membesar sejak 8 bulan yang lalu. Pembesaran difus kedua payudara ini disertai nyeri yang hebat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kedua payudara membesar difus. Terdapat nodul multipel dengan perabaan kistik sampai solid, dengan batas yang tidak tegas. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan kesan mammary dysplasia. Dilakukan operasi reduksi mammoplasti untuk memperkecil bentuk payudara dan mengurangi keluhan nyeri hebat. Kata kunci : Makromastia, Reduksi Mammoplasti, Penyakit Fibrokistik

PENDAHULUAN Penyakit fibrokistik merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada wanita dan biasanya didapatkan pada wanita pada usia dekade 3-4. Penyakit fibrokistik lebih tepat disebut kelainan fibrokistik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran multipel dan sering kali rasa nyeri payudara bilateral terutama menjelang menstruasi. Ukuran dapat berubah yaitu menjelang menstruasi terasa lebih besar dan penuh serta rasa sakit bertambah, bila setelah menstruasi maka sakit hilang/berkurang dan tumorpun mengecil.1,2,3) Kelainan fibrokistik ini disebut juga mastitis kronis kistik, hiperplasia kistik, mastopatia kistik, displasia payudara dan banyak nama lainnya. Istilah yang bermacam-macam ini menunjukkan proses epitelial jinak yang terjadi amat beragam

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

dengan gambaran histopatologis maupun klinis yang bermacam-macam pula.(1,2,3) Pada tahun 1981, Scanlon mendefinisikan penyakit fibrokistik sebagai “Suatu keadaan dimana ditemukan adanya benjolan yang teraba di payudara yang umumnya behubungan dengan rasa nyeri yang berubah-ubah karena pengaruh siklus menstruasi dan memburuk sampai saat menopause”.(4) Kelompok penyakit ini sering mengganggu ketentraman penderita karena cemas akan nyerinya. Pada pasien akan menyebabkan perasaan tidak enak serta rasa cemas yang menyertainya sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.(4) Beberapa bentuk kelainan fibrokistik mengandung risiko untuk berkembang menjadi karsinoma payudara, tetapi umumnya tidak.(3,4) Bila ada keraguan terutama bila konsistensinya

berbeda, perlu dilakukan biopsi. Nyeri yang hebat dan berulang atau pasien yang khawatir dapat pula menjadi indikasi eksisi.(3) Tumor jenis kelainan fibrokistik ini umumnya tidak berbatas tegas, kecuali kista soliter. Konsistensi padat kenyal dan dapat pula kistik. Jenis yang padat, kadang-kadang sukar dibedakan dengan kanker payudara dini. Kelainan ini dapat juga dijumpai pada massa tumor yang nyata, hingga jaringan payudara teraba padat, permukaan granular. Kelainan ini dipengaruhi oleh gangguan keseimbangan hormonal.(5) Love, Gelmen dan Silen menyatakan bahwa atau nyeri payudara bukanlah manifestasi penyakit tetapi lebih mungkin merupakan suatu respon fisiologi terhadap variasi hormonal yang sesuai dengan gambaran histopatologis suatu kelainan fibrokistik.(5) Empat tahun kemudian Vorherr menyatakan Teori Estrogen Predominan yang menyarankan terapi medik untuk penyakit fibrokistik melalui supresi sekresi estrogen ovarial dengan pemberian oral kontrasepsi rendah estrogen dan pemakaian siklis progesterone atau medroksiprogesteron.(5) KASUS Seorang pasien wanita, menikah, belum punya anak, umur 33 tahun, suku Minang, dirawat di bagian bedah RSU Dr. M. Djamil dengan pembesaran yang difus pada kedua payudaranya sejak 8 bulan yang lalu. Pembesaran difus kedua payudara terjadi setelah pasien ini mencoba meminum jamu/ramuan yang tidak diketahui namanya dengan maksud agar hamil dan punya anak karena telah menikah selama 9 tahun belum memperoleh keturunan. Setelah terjadi pembesaran pasien merasakan nyeri hebat pada payudara dan mencoba mendapatkan pengobatan baik medis maupun non medis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kedua payudara membesar difus, terdapat multipel lesi nodul dengan perabaan kistik sampai solid dan dengan batas yang tidak tegas. Papila mamae berjarak 30 cm dari mid klavikula dan jarak pelebaran payudara adalah 16 cm. Pada pemeriksaan histopatologis didapatkan kesan mammary dysplasia. Pada pasien ini dilakukan operasi reduksi mammoplasti untuk memperkecil bentuk payudara serta untuk mengurangi keluhan nyeri. Pada kedua payudara dilakukan reseksi parenkim dengan cara B-modified pattern. Pada payudara kanan dilakukan free skin graft menurut teknik Thorek, sedangkan pada payudara kiri dilakukan operasi the two pedicle. Pada masing-masing payudara dikurangi massa payudara seberat 2,5 kg, jadi total massa tumor yang dibuang adalah 5 kg. Setelah operasi, lapangan operasi ditutup dengan amnion membran dan dipasang penyalir cairan.(6,7) DISKUSI Penyakit fibrokistik payudara biasanya mengenai wanita pada usia reproduktif dan merupakan penyakit yang tersering pada wanita. Biasanya lesi ini bersifat multipel dan bilateral, tetapi sangat jarang sekali yang berukuran sangat besar dan memberikan penderitaan rasa sakit yang sangat hebat.(1,2,3) Pada pasien ini didapatkan pembesaran payudara yang difus serta sangat besar, setelah mencoba maminum jamu yang

tidak diingat namanya, karena setelah 9 tahun berkeluarga belum mempunyai anak. Setelah mengkonsumsi jamu beberapa kali ternyata kedua payudara menjadi membesar, tegang dan nyeri berdenyut. Pasien mencoba mencari pengobatan secara medis dan non medis sampai akhirnya berobat ke RSU Dr. M. Djamil. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan histopatologis memperlihatkan terdapat tonjolan papiler di antara stromal yang menunjukkan pengaruh hormon estrogen.(3) Penatalaksanaan pada kelainan fibrokistik ada 2 macam yakni: (1,2,4,5) 1. Medis Pemberian obat anti nyeri untuk mengurangi nyeri yang ringan sampai sedang. Pemberian diuretik serta pembatasan pemberian cairan dan garam. Di Perancis dicoba pemberian progesteron untuk kelainan fibrokistik karena dianggap terdapat ketidakmampuan fungsi corpus luteum sebagai penyebab nyeri dan timbulnya nodul, tetapi hal ini disangkal dari penelitian double blind yang menggunakan plasebo dimana tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Teori hyperprolaktinemia dan estrogen overstimulasi menyarankan pemberian bromokriptin dan danazol. Tetapi penelitian tidak memperlihatkan hasil yang impresif dan fakta yang ada menunjukkan bahwa lama pengobatan serta mekanisme kerjanya tidak diketahui. 2. Bedah Penatalaksanaan secara pembedahan dilakukan bila : − Pengobatan medis tidak memberikan perbaikan. − Ditemukan pada usia pertengahan sampai tua. − Nyeri hebat dan berulang. − Kecemasan yang berlebihan dari pasien. Reduksi mammoplasti dilakukan pada keadaan:(4) 1. Mammary hipertrophy Gejala antara lain nyeri punggung dan leher serta spasme otot. Pasien umumnya tidak mengetahui bahwa reduksi mammoplasti dapat mengurangi gejala. Beratnya payudara dapat menyebabkan kifosis tulang belakang. 2. Makromastia Pasien dengan makromastia akan datang dengan keluhan ulnar parestesia sebagai akibat terperangkapnya bagian terbawah pleksus brakialis; sulit melakukan aktifitas olah raga dan latihan. Pada kebanyakan wanita akan menyebabkan gangguan penampilan serta kurang rasa percaya diri. Bilateral makromastia merupakan akibat akhir sensitivitas organ terhadap estrogen. 3. Gigantomastia Pembesaran masif payudara selama kehamilan dan selama masa adolesen. Payudara membesar sangat cepat dan secara tidak proporsional. Komplikasi setelah reduksi mammoplasti adalah:(4,6) 1. Hematom 2. Infeksi 3. Nekrosis flap kulit dan kompleks nipple areola 4. Inversi Nipple 5. Asimetri 6. Timbul Keloid

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 35

KESIMPULAN • Telah dilakukan Reduksi Mammoplasti pada pasien Giant Mammary Dysplasia/Penyakit Fibrokistik. • Dapat terjadi lagi pembesaran payudara setelah reduksi mammoplasti karena pengaruh hormonal. • Pengobatan selanjutnya adalah mastektomi.

2. 3. 4. 5. 6.

KEPUSTAKAAN 7. 1.

Bland KI, Verenidis MP, Edwar M. Copeland EM. Breast. In : Schwartz’s Principle of Surgery. 7th ed. New York. Mc Graw Hill International. 1999; 533-99.

Pisi Lukito dkk. Kelainan Fibrokistik Dalam: Sjamsuhidajat, Wim de Jong penyunting Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC. 1997; 512-55. Iglehart JD. The Breast. In : Sabiston’s Textbook of Surgery. 14th ed. Philadelphia. WB Saunders. 1991; 510-50. Marchant DJ. Fibrocystic changes. In : Breast Diseases. Philadelphia. WB Saunders Co. 1997; 21-9. Ramli M. Kanker Payudara. Dalam: Soelarto R penyunting Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah FKUI. 1995; 342-63. Strombeck JO. Reduction Mammoplasty. In : Grabb WC penyunting Plastic Surgery. Boston. Little Brown and Co. 1973; 955-71. Catalioti L, et al. The response of surgeon to changing patterns in breast cancer diagnosis. In : European Journal of Cancer. Lisbon. Pergamon. 2001. vol 37.

Lampiran:

Gb. 1. Sebelum operasi

Gb. 3. Jaringan tumor

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

Gb. 2. Sebelum operasi

Gb. 4. Setelah operasi mammoplasti reduksi

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Trikomoniasis dan Penatalaksanaannya AM Adam, Hardy Suwita SMF Kulit dan Kelamin RSUD Lambuang Baji, Makassar

ABSTRAK Trikomoniasis adalah infeksi Trichomonas vaginalis yang merupakan protozoa patogen pada saluran genito-urinaria manusia. Berbagai macam gejala klinis dapat ditemukan baik pada wanita maupun pria dan diagnosis pasti adalah dengan menemukan organisme ini. Hingga saat ini metronidasol masih merupakan obat pilihan untuk trikomoniasis. Kata kunci: Trikomoniasis, Penatalaksanaan. PENDAHULUAN Trichomonas vaginalis merupakan protozoa patogen(1,2) yang umumnya ditemukan pada saluran genitourinaria manusia. Penularan biasanya melalui hubungan kelamin; organisme ini dapat menyebabkan vaginitis pada wanita dan uretritis non gonore pada pria(1). Pada tahun 1836 Donne menemukan Trichomonas vaginalis pada duh tubuh vagina yang segar. Beberapa peneliti selama 30 tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Trichomonas vaginalis merupakan patogen urogenital penting yang dapat menular secara seksual(1,3). Azomycin (2 nitroimidazol) yang ditemukan oleh Nakamura (1955)♦, mempunyai efek trikomoniasida, sehingga disintesis secara kimia. Salah satunya adalah 1-βhydroxyethyl-2-methyl-5 nitroimidazol, sekarang dikenal sebagai metronidazol, diketahui memiliki aktivitas tinggi secara in vitro terhadap Trichomonas vaginalis. Metronidazol mempunyai spektrum yang luas terhadap protozoa dan sebagai antimikroba(4). Sejak tahun 1958, metronidazol sudah dikenal di seluruh dunia sebagai kemoterapi untuk Trichomonas vaginalis(5). Baru-baru ini dilaporkan beberapa kasus kegagalan pengobatan ulang dengan metronidazol yang menandakan adanya strain dengan resistensi tinggi(6). Kurangnya pengobatan alternatif untuk infeksi Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap metronidazol menyebabkan peningkatan dosis dan

usaha untuk lebih mengetahui farmakodinamik pada penggunaan nitroimidazol(7). Peningkatan risiko terkena trikomoniasis terdapat pada individu yang mempunyai pasangan seksual yang banyak, higiene yang buruk dan sosial ekonomi yang rendah(1). EPIDEMIOLOGI Prevalensi Trichomonas vaginalis sebesar 5-10% pada populasi umum wanita(1), 50-60% pada wanita penghuni penjara dan pekerja seks komersial(1,2). Pada wanita yang mempunyai keluhan pada vagina, prevalensi Trichomonas vaginalis antara 18-50%; dan pada 3050% wanita dengan gonore juga ditemukan infeksi Trichomonas vaginalis. Prevalensi infeksi Trichomonas vaginalis pada pria yang mengunjungi klinik penyakit menular seksual sebanyak 6%. Infeksi Trichomonas vaginalis pada pria selalu dihubungkan dengan uretritis non gonore, dengan prevalensi antara 1-68%(1). Pada skrining serologis yang dilakukan pada orang-orang yang terlihat sehat di rumah sakit, diperkirakan sebanyak 1/3 dari seluruh wanita mengidap agen ini selama masa aktif seksualnya(2). Trichomonas vaginalis ditemukan pada lebih dari 30% saluran urogenital pria yang pasangan wanitanya terinfeksi Trichomonas vaginalis(4). Di Eropa Timur infeksi Trichomonas vaginalis sekurang-

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 37

kurangnya 25% ditemukan pada kasus uretritis non gonore. Di Zimbabwe 5,5% infeksi Trichomonas vaginalis terjadi pada pria dan 10-50% infeksi Trichomonas vaginalis pada wanita bersifat asimtomatik(3). Di Lods, Polandia, pada pemeriksaan urin penderita pria dengan usia 18-60 tahun ditemukan 1,74% terinfeksi Trichomonas vaginalis sedangkan pada wanita usia 18-60 tahun ditemukan 10,67%. Di Inggris Barat, 5,3% wanita yang datang ke klinik ginekologi terinfeksi Trichomonas vaginalis dan 21,3% penderita yang datang ke bagian penyakit menular seksual mengandung organisme ini. Di Amerika, pada 465 pekerja asuransi didapatkan 6,3% wanita yang menikah dari 1,4% wanita tidak menikah mengidap Trichomonas vaginalis. Sebagian besar pekerja seks komersial atau pengguna obat (70%) mem-punyai Trichomonas vaginalis. Pada wanita kulit hitam diperkirakan 2-8 kali lebih banyak ditemukan Trichomonas vaginalis dibandingkan wanita kulit putih(8). Infeksi paling sering terjadi pada dekade II dan III, tetapi dapat terjadi pada setiap umur dan pernah dilaporkan hampir 17% bayi usia 1 hari – 11 bulan telah terinfeksi Trichomonas vaginalis(9).

ETIOLOGI Trikomonas adalah suatu organisme eukaryotik yang termasuk kelompok mastigophora(10), mempunyai flagel, dengan ordo trichomonadida. Terdapat lebih dari 100 spesies, sebagian besar trichomonas merupakan organisme komensal pada usus mamalia dan burung. Terdapat 3 spesies yang sering ditemukan pada manusia yaitu Trichomonas vaginalis yang merupakan parasit pada saluran genitourianaria, Trichomonas tenax dan Pentatrichomonas hominis merupa-kan trichomonas non patogen yang ditemukan di rongga mulut untuk Trichomonas tenax dan usus besar untuk Pentatrichomonas hominis(1). Nama Trichomonas vaginalis sebenarnya salah, karena juga ditemukan di uretra wanita dan tidak jarang ditemukan di uretra pria(8). Organisme ini berbentuk oval atau fusiformi, atau seperti buah pir(1,8) dengan panjang rata-rata 15 mm dengan tanda khas selalu berpindah tempat. Intinya terletak anterior, antara inti dan permukaan ujung yang lebih luas terdapat 1 atau lebih struktur yang membulat yang disebut blepharoplasts dan dari tempat inilah keluar keempat flagel(8). Flagel kelima berbentuk membran bergelombang yang berasal dari kompleks kinetosomal dan terbentang sepanjang setengah dari organisme ini(1). Pergerakannya dengan kedutan yang didorong oleh keempat flagel anterior(1), kecepatan dan aktivitas hentakannya yang khas menyebabkan organisme ini mudah diidentifikasi pada sediaan segar(8). Trichomonas vaginalis tumbuh di ling-kungan yang basah dengan suhu 35-37º C dengan pH antara 4,9-7,5(1). Trichomonas vaginalis tidak menyerang jaringan di sebelah bawah dinding vagina, ia hanya ada di rongga vagina; sangat jarang ditemui di tempat lain. Lingkungan vagina sangat disukai oleh organisme ini(10). Trichomonas vaginalis dapat menimbulkan reaksi radang pada rongga vagina yang didominasi oleh sel lekosit polymorphonuclear (PMN). Trichomonas vaginalis dan ekstraknya

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

dapat merangsang kemotaktik sel lekosit PMN, yang mungkin mempengaruhi perkembangan gejalanya(3). Mekanisme lengkap penghancuran sel epitel vagina yang diserang oleh Trichomonas vaginalis belum diketahui dengan pasti(3). Terdapat 3 kemungkinan untuk timbulnya spektrum klinis yang luas pada penyakit ini: 1. Terdapat variasi virulensi intrinsik di antara strain trichomonas yang berbeda(3,10). 2. Perbedaan kerentanan epitel vagina di antara penderita dan juga pada penderita yang sama pada waktu yang lama(3,10). 3. Terdapat perbedaan lingkungan mikro vagina yang mempengaruhi gejala klinisnya(3). Pria yang mengandung Trichomonas vaginalis sebagian besar asimtomatik dan respon radang pada uretra pria biasanya tidak ditemukan. Hal ini berhubungan dengan epitel kuboid pada uretra. Trichomonas vaginalis dapat menginfeksi epitel skuamosa pada vagina tetapi hanya yang rentan saja(3). Cara menghilangkan Trichomonas vaginalis dari saluran urogenital pria belum diketahui pasti, tetapi mungkin organisme hilang secara mekanik pada waktu buang air kecil dan adanya seng di dalam cairan normal prostat dapat dengan cepat membunuh trichomonas(3).

PENULARAN Trichomonas vaginalis menular melalui hubungan seksual(1,9,11) meskipun masih diperdebatkan(1). Trichomonas vaginalis dapat hidup pada obyek yang basah(11) selama 45 menit pada kloset duduk, kain lap pencuci badan, baju, air mandi(1) dan cairan tubuh(11). Penularan perinatal terjadi kirakira 5% dari ibu yang terinfeksi(1,11) tetapi biasanya sembuh sendiri dengan metabolisme yang progresif dari hormon ibu(1). Infeksi Trichomonas vaginalis mempunyai masa inkubasi selama 4-21 hari(9).

GEJALA KLINIS Pada wanita • Vaginitis Adanya duh tubuh vagina yang encer berwarna kuning kehijauan(1,11) dan purulen merupakan gambaran yang karakteristik untuk vaginitis trichomonal(1). Bau vagina yang abnormal, pruritus, vulva yang kemerahan dan membengkak, petechiae pungtata pada serviks (strawberry cervix)(9,11-14). Lebih dari setengah wanita yang terinfeksi mempunyai gejala klinis(11), difus, ekskoriasi pada bagian dalam paha(8). Penderita mungkin juga mengeluh disparenia dan pada waktu pemasangan spekulum terasa sakit(8,14) serta edema vestibulum dan labia minor mungkin ditemukan(12). • Uretritis Kira-kira setengah kasus vaginitis trikomonalis juga mengenai uretra. Keadaan ini mungkin asimtomatik atau menyebabkan disuria(8). • Skenitis dan bartolinitis Skenitis dan bartolinitis dengan pembentukan abses mungkin berhubungan dengan trikomoniasis dan kadang-

kadang Trichomonas vaginalis dapat diisolasi dari sekreti organ ini(8), infeksi kedua kelenjar ini sangat jarang terjadi(9). Pada pria Penemuan secara langsung Trichomonas vaginalis dengan menggunakan mikroskop sukar pada genitalia pria atau sampel urin(1). Sebagian besar pria yang terinfeksi tidak mempunyai gejala(3,8,11,13). Bila bergejala kebanyakan berupa duh tubuh ure-tra yang seperti susu dan sakit bila buang air kecil(11) sehingga memberikan gejala sebagai uretritis non gonore(3,13). Diagnosis dibuat dengan menemukan organisme ini pada duh tubuh uretra dengan hapusan atau kultur atau keduanya(8). LABORATORIUM Pemeriksaan mikroskop secara langsung Dengan sediaan basah dapat ditemukan protozoa dengan 4-5 flagel dan ukuran 10-20 µm(11) yang motil(1,9). Pada wanita metode ini mempunyai sensitifitas 5070%(1,3,5) dan spesimen harus diambil dari vagina karena agen penyebab hanya menyerang epitel skuamosa(1,11). Pada pria cara penemuan Trichomonas vaginalis tidak selalu berhasil(11) dan Trichomonas vaginalis dapat dideteksi dengan menggunakan sedimen urin(1,11). Cara lain menggunakan pewarnaan Gram, Giemsa, Papanicolaou, Periodic acid schiff, Acridine orange, Fluorescein, Neutral red dan Imunoperoxidase(1). Kultur Teknik kultur menggunakan berbagai cairan dan media semi solid yang merupakan baku emas untuk diagnosis(1). Biasanya dengan menggunakan medium Feinberg-Whittington memberikan hasil yang dapat dipercaya(9). Teknik kultur ini mempunyai sensitifitas kira-kira 97%(3). Metode serologi Beberapa studi mengatakan bahwa uji serologis kurang sensitif daripada kultur atau pemeriksaan sediaan basah(1). Pada metode serologi ini dapat digunakan teknik ELISA, tes latex agglutination yang menggunakan antibodi poliklonal(3). Antigen detection immunoassay yang menggunakan antibodi monoklonal dan nucleic acid base test(1). DIAGNOSIS Diagnosis trikomoniasis masih merupakan suatu masalah, sebab gambaran klinis trikomoniasis tidak dapat dipercaya sebagai petunjuk diagnosis, karena kurang sensitif dan spesifik. Diagnosis efektif trikomoniasis tergantung pada identifikasi organismenya(3,8). Spesimen dari uretra jarang digunakan bila dibandingkan yang berasal dari vagina(8). PENGOBATAN Pengobatan trikomoniasis vagina tidaklah semudah hubungan langsung antara kerentanan organisme terhadap metronidazol dengan dosis obat, tetapi mungkin tergantung pada interaksi kompleks beberapa faktor yang meliputi: kerentanan obat terhadap trichomonas, kadar obat setempat, potensial redoks intravagina (yang mungkin mengatur jumlah obat yang

diambil oleh parasit) dan mikroflora vagina yang menyertainya (yang mungkin mengurangi jumlah obat se-tempat). Metronidazol masih tetapi sebagai obat pilihan untuk trikomoniasis pada wanita dan pria(1,8,15). Tidak ada pengobatan alternatif yang efektif selain metronidazol(13). Metronidazol bekerja dengan cara menghambat sintesis DNA pada Trichomonas vaginalis dan menyebabkan degradasi DNA(4) yang berakibat putusnya untaian DNA dan tidak stabil-nya helix(15), dengan cara mereduksi ferredixin-depleted extract pada Trichomonas vaginalis melalui pyrovat ferredoxin oxidoreductase dan diduga hasil reduksi ini yang bertanggung jawab pada kematian sel(15). Metronidazol hampir sempurna diserap melalui usus(16), berpenetrasi dengan baik kedalam jaringan dan cairan tubuh (vagina, semen, saliva dan ASI)(4) serta diekskresi sebagian besar melalui urin(16). Rejimen yang dianjurkan Metronidazol 2 g dosis tunggal, peroral(1,4,8,11,13). Pengobatan ini sangat efektif dengan angka keberhasilan antara 8290%(1,3,14,16). Pengobatan juga diberikan kepada pasangan seksualnya dengan rejimen yang sama(1,2,8). Jika pasangan seksual-nya diobati bersama-sama maka angka kesembuhan melebihi 95%. Angka reinfeksi 16-25% terjadi jika pasangan seksualnya tidak diobati(3). Penderita dan pasangan seksualnya dianjurkan untuk tidak berhubungan seksual hingga dinyatakan sembuh(1,13,14). Rejimen alternatif • Metronidazol 500 mg, 2 kali sehari selama 7 hari. Rejimen ini dianjurkan untuk penderita yang tidak sembuh dengan pengobatan dosis tunggal(1,13,14,16). • Metronidazol 2 g dosis tunggal selama 3-5 hari. Dianjurkan untuk penderita yang gagal dengan pengobatan ulangan(1,13). Rejimen metronidazol multidosis selama 7 hari sangat efektif untuk penderita pria(1). • Metronidazol 250 mg, 3 kali sehari selama 7 hari(4,11). Di Amerika Serikat digunakan selama 10 hari(17). • Metronidazol 1 g, 2 kali sehari selama 1-2 hari(14). Fenobarbital dan kortikosteroid akan menurunkan kadar metronidazol plasma(16,18) dan akan menurunkan aktifitas metronidazol terhadap Trichomonas vaginalis(18), sedangkan cimetidine akan menaikan kadar metronidazol plasma(16). Kasus yang resisten secara klinis dapat diobati dengan dosis 2-4 g metronidazol selama 3-14 hari(2,7) atau metronidazol 2 g peroral setiap hari disertai 500 mg yang diberikan intravagina(3,7). Hubungan antara sensitifitas Trichomonas vaginalis in vitro dengan respon klinis terhadap kemoterapi mungkin lebih ditentukan oleh kadar yang dicapai pada jaringan dinding vagina daripada kadar dalam duh tubuh vagina, karena metronidazol hanya sedikit terdapat di dalam duh tubuh vagina(5). Infeksi pada neonatus biasanya akan hilang secara spontan dalam beberapa minggu. Jika gejala menetap hingga 4 minggu setelah lahir, maka bayi harus diberi metronidazol dengan dosis 5 mg/kgBB, 3 kali sehari selama 5 hari peroral(16). Kegagalan pengobatan infeksi Trichomonas vaginalis oleh

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 39

karena dosis yang tidak sama, kelainan penyerapan obat pada usus atau adanya inaktivasi oleh flora vagina(19), dan terjadinya reinfeksi(20).

Kehamilan dan laktasi Metronidazol tidak digunakan pada awal kehamilan atau 3 bulan pertama kehamilan(7,8,16,21). Untuk menghilangkan gejalanya dapat diberikan clotrimazol 100 mg/hari sebagai supositoria vagina selama 7 hari(3,16). Tidak ada bukti klinis yang mendukung adanya kelainan fetus pada penggunaan metronidazol oleh wanita hamil(7,8,21). Pemberian ASI harus dihentikan hingga 24 jam setelah pengobatan dihentikan, karena metronidazol diekskresi kedalam susu(16,21). Centre for Disease Control menganjurkan wanita hamil yang men-derita trikomoniasis diobati setelah trimester pertama(1). Selama kehamilan dan menyusui dianjurkan dosis tinggi dan dalam waktu yang singkat(8) yaitu dengan metronidazol 2 g dosis tunggal, peroral(13).

Efek samping Beberapa penderita mengeluh tidak enak atau rasa seperti logam(1,2,4,14,16). Nausea terjadi pada sekitar 10% pada penderita yang menggunakan dosis 2 g(1,2,4,11,14). Beberapa penderita lainnya mengalami efek yang menyerupai disulfiram (antabuse) berupa muntah, gangguan abdomen, sakit kepala, nausea dan kemerahan pada kulit setelah meminum alkohol selama pengobatan(1,4,11,16,21). Data pada binatang, diduga terdapat hubungan antara metronidazol dengan peningkatan karsinogenesis, sedangkan pada studi epidemiologi retrospektif memperlihatkan bahwa metronidazol yang diberikan pada orang dewasa dengan dosis standar tidak meningkatkan angka kejadian kanker(11). Parestesia dan hiperalgesia terjadi pada penderita yang mendapat metronidazol 5 g/hari selama 14 hari(2), mulut kering, diare dan gangguan abdomen kadang-kadang ditemukan(4,14,16). Dizziness, vertigo juga ditemukan dan sangat jarang encephalopathy, kejang, gangguan koordinasi dan ataksia(4). Warna urin yang gelap, stomatitis, lekopenia yang reversibel dan neuropati perifer yang ringan dan cepat menghilang(16), urtikaria, flushing, pruritus, disemia, sistitis dan terasa ada penekanan pada pelviks juga pernah di-laporkan(4).

Kontra indikasi − Hipersensitifitas. − Hamil muda. − Alkoholisme kronis(12). Pengobatan topikal Pengobatan topikal merupakan pengobatan cadangan pada keadaan nitroimidazol sistemik merupakan kontra indikasi(1). • Klotrimazol, dosis 100 mg intravagina selama 6 hari dilaporkan dapat menyembuhkan 48-66% penderita yang ditentukan dengan kultur. Pengobatan ini dipakai untuk kehamilan trimester pertama(1,3,9).

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

• Nonoxynol mempunyai aktifitas anti trichomonas dan dilaporkan 1 kasus terbukti efektif sebagai pengobatan topikal terhadap strain Trichomonas vaginalis dengan resistensi tinggi terhadap metronidazol(1). • Povidon iodine douche terbukti dapat digunakan untuk pengobatan Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap metronidazol. Pengobatan ini harus dihindari pada kehamil-an, karena peningkatan kadar serum iodine dapat menekan perkembangan tiroid fetus(1,22). Pengobatan lainnya • Nimorazol dilaporkan sama efektifnya dengan metronidazol dan diberikan dengan dosis 3 x 250 mg/hari, peroral selama 7 hari(8), dapat pula diberikan 2 g dosis tunggal(8,21) atau 2 x 1 g dalam waktu 24 jam, angka keberhasilannya 80-90%(8). • Beberapa turunan nitroimidazol lainnya yaitu tinidazol, ornidazol, carnidazol dan secnidazol semua memberikan hasil yang baik dengan dosis tunggal 2 g peroral dan ornidazol juga efektif dengan dosis tunggal 1,5 g(8). • Vaksinasi untuk imunisasi aktif terhdap trikomoniasis sudah dipasarkan di Eropa. Vaksin ini berisi aberrant lactobacilli yang mati, diisolasi dari wanita dengan trikomoniasis(1). KESIMPULAN • Trikomoniasis masih merupakan masalah pada penyakit menular seksual. • Diagnosis pasti trikomoniasis adalah dengan menemukan organisme penyebabnya yaitu Trichomonas vaginalis melalui sediaan langsung atau kultur. • Hingga saat ini metronidazol masih merupakan obat pilihan untuk trikomoniasis. KEPUSTAKAAN 1.

Krieger JN, Alderette JF. Trichomonas vaginalis and trichomoniasis. In: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, et al (eds). Sexually transmitted diseased. 3rd ed. New York: McGraw-Hill, 1999: 587-604. 2. Lossick JG, Muller M, Gorell TE. In vitro drug susceptibility and doses of metronidazol required for cure in cases of refractory vaginal trichomoniasis. J Infect Dis 1986; 153 (5): 948-55. 3. Rein MF. Uncertainties and controversies in trichomoniasis. In: Sobel JD, ed. Vulvovaginal infections current concepts in diagnosis and therapy. New York: Academy Professional Information Service, 1990: 73-85. 4. Webster LT. Drugs used in the chemotherapy of protozoal infectious. In: Goodman LS, Gilman A, eds. The pharmacological basic of the therapeutics. 8th ed. New York: Pergamon Press, 1990: 999-1007. 5. Korner B, Jensen NK. Sensitivity of trichomonas vaginalis to metronidazole, tinidazole and nifurated in vitro. British J Venereol Dis 1976; 52: 404-8. 6. Ralph ED, Darwish R, Austin TW, Smith EA, Pattison FLM. Susceptability of trichomonas vaginalis strains to metronidazole: response to treatment. Sex Trans Dis 1983; 10 (3): 119-22. 7. Lossick JG. Treatment of intactable vaginal trichomoniasis. In: Horowitz BJ, Mardh PA, eds. Vaginitis and vaginosis. New York: Wiley-Liss, 1991: 215-20. 8. King A, Nicol C, Rodin P. Venereal diseases. London: Bailliere Tindall, 1980. 9. Bryceson ADM, Hay RJ. Parasitic worms and protozoa. In: Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, eds. Rook/Wilkinson/Ebling textbook of dermatology. 6th ed. London: Blackwell Science, 1998: 1377422. 10. Muller M. Trichomonas vaginalis and trichomoniasis. In: Horowitz BJ,

11. 12.

13. 14. 15. 16.

Mardh PA, eds. Vaginitis and vaginosis. New York: Wiley-Liss, 1991: 3945. EichmannAR. Other venereal diseases. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, et al (eds). Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 5th ed. New York: 1999: 2603-07. Ive FA. The umbilical, perianal and genital regions. In: Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, eds. Rook/Wilkinson/Ebling textbook of dermatology. 6th ed. London: Blackwell Science, 1998: 3163238. MMWR. Epidemiology program office, Atlanta, 1998: 47. Gilly PA. Vaginal discharge. Medical currents, 1989; 11 (4): 21-4. Edwards DI. Nitroimidazole drugs-action and resistance mechanisms. J Antimicrobiol Chemotherapy 1993; 31: 9-20. World Health Organization. Drugs used in sexually transmitted diseases and HIV infection. Geneva, 1995.

17. Dykers JR. Single dose metronidazole for trichomoanal vaginitis. Engl J Med 1975; 293 (1): 23-4. 18. Livengood CH, Lossick JG. Resolution of resistant vaginal trichomoniasis associated with the use of intravaginal nonxyrol-9. Obstet Gynecol 1991; 78: 954-56. 19. Robertson DHH, Heyworth R, Harrison C, Lumsden WHR. J Antimicrobiol Chemotherapy 1988; 21: 373-78. 20. Meingassner JG, Thurner J. Strain of trichomonas vaginalis resistant to metronidazole and other 5-nitroimidazole. Antimicrob Agent Chemother 1979; 15 (2): 254-57. 21. Adler MW. ABC of sexually transmitted diseases. London: Blackwell Science, 1985. 22. Vorherr H, Vorherr UF, Mehta P, Ulrich JA, Messer RH. Vaginal absorption of povidon iodine. JAMA 1980; 244: 2628-29.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 41

ANALISIS

Toksoplasmosis Ibu Hamil Di Indonesia

(Studi Tindak Lanjut Survai Kesehatan Rumah Tangga 1995) Salma Ma'roef, Soeharsono Soemantri Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Untuk meningkatkan derajat kesehatan di tahun 2010 perlu diketahui indikator yang berpengaruh; salah satu di antaranya ialah pencegahan abortus dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) melalui pencegahan kecacatan akibat toksoplasmosis pada ibu hamil. Dari analisis tindak lanjut ibu hamil SKRT 1995 terhadap toksoplasmosis didapatkan 697 tabung serum dari 805 tabung serum ibu hamil yang dapat dimerge dengan dBase. Dari enam pulau di Indonesia didapatkan 59,8% serum ibu hamil positif kumulatif IgG toksoplasmosis, tertinggi di pulau Sulawesi (76,5%) dan terendah di Nusa Tenggara (43,4%), sedangkan lainnya sekitar 57,5%-65,0% (Jawa-Bali, Sumatera, Irian Jaya dan Kalimantan). Irian Jaya menunjukkan IgM toksoplasmosis tertinggi (20,0%), Nusa Tenggara rendah yaitu 1,9%, dan di Sulawesi tidak ditemukan IgM, sedangkan daerah Kalimantan dan Sulawesi hampir sama (2,7%-3,2%). Propinsi dengan IgG toksoplasmosis paling tinggi adalah Lampung (88,66%) sedangkan IgM paling tinggi di Irian Jaya dan Riau (20,0%) dari 19 propinsi di Indonesia. Kebanyakan ibu hamil mempunyai kumulatif IgG unit 0,200-0,299 (22,0%), kumulatif unit > 0,900 (17,1%) , dan kumulatif unit 0,100-0,199 (16, 5%). Kelompok umur yang terutama adalah 20-34 tahun (72,3%) dan kurang 19 tahun (16,4%). Berdasarkan trimester kehamilan, terutama pada trimester ke dua (41,5%) dan trimester ke tiga (35,2%). Perlu dilakukan penyuluhan pada remaja usia subur oleh petugas kesehatan/bidan dan kalau perlu dilakukan penelitian dengan metode lain yaitu case control.

PENDAHULUAN Data yang digunakan dalam laporan ini secara intern diambil dari laporan studi follow up ibu hamil(1) SKRT 1995 dengan alasan apabila studi tindak lanjut SKRT terhadap toksoplasmosis ibu hamil direncanakan dari semula maka laporn ini harus tercakup dalam Studi Tindak Lanjut Ibu Hamil SKRT tersebut. Masalah Toksoplasmosis Ibu Hamil ini perlu diperhitungkan karena salah satu risikonya adalah toksoplasmosis kongenital(2) :

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

1. Risiko pada kehamilan trimester I: ringan 40% dan berat 60%. 2. Risiko pada kehamilan trimester II: ringan 70% dan berat 30%. 3. Risiko pada kehamilan trimester III: ringan 100% dan berat 0%. Risiko infeksi toksoplasmosis kongenital pada kehamilan trimester I telah terbukti tinggi; penelitian Hartono pada tahun 1993/1994(3) yang mengambil sampel plasenta keguguran

spontan dalam kehamilan trimester I dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung memberikan hasil isolasi positip 80,2% mengandung parasit Toxoplasma gondii, sedangkan hasil test ELISA dari pasien yang sama memberikan hasil 51,48% positif dengan titer antara 1 : 100 sampai dengan lebih dari 1 : 3200; selisih dari hasil dua macam cara diagnosis yang cukup bermakna tersebut disebabkan oleh gangguan hormonal pada kehamilan muda(4). Toksoplasmosis pada ibu hamil dapat menyebabkan abortus dan lahir mati, bayi dengan kelainan kongenital seperti hidrosefalus, ensefalitis, khorioretinitis, miokarditis, miositis, limfadenopati dan gangguan saraf(5). Karena itu toksoplasmosis pada manusia perlu mendapat prioritas utama di samping penyakit zoonosis lainnya, lebih-lebih dengan meningkatnya import daging dan mengingat kegemaran masyarakat Indonesia akan sate kambing setengah matang serta sayuran mentah. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui gambaran distribusi Toksoplasmosis pada Ibu Hamil (Bumil) di Indonesia dan masing-masing daerah (pulau). Tujuan Khusus 1. Untuk melihat distribusi serum, IgG dan IgM ibu hamil berdasarkan daerah. 2. Untuk melihat distribusi serum, IgG dan IgiM ibu hamil berdasarkan propinsi 3. Untuk melihat distribusi persentase IgG/unit berdasarkan kelompok umur ibu hamil. 4. Untuk mengetahui distribusi persentase IgG/unit berdasarkan trimester kehamilan ibu hamil. Data didapatkan dari serum pertama kunjungan responden yang berjumlah 1396 ibu hamil. Jumlah serum yang diambil dari responden sebanyak 5 -- 7 ml. digunakan untuk: 1. Pemeriksaan Hepatitis B (oleh Biofarma Bandung). 2. Pemeriksaan HIV/AIDS dengan metoda ELISA. 3. Pemeriksaan Syphilis (oleh laboratorium NAMRU II, Jakarta). Bila positif, pemeriksaan diulang dengan test Western Blot untuk konfirmasi. Pemeriksaan syphilis dilakukan dengan 2 metode yaitu : (1) Hemaglutinasi dan (2) Reversed Passive Haemaglutination (RPHA). Serum disimpan di laboratorium Puslit Penyakit Menular dan laboratorium NAMRU II Jakarta sejak pertengahan tahun 1984 dalam freezer Revco (-70° C), dan berkali-kali dicairkan sehingga berisiko penurunan titer zat anti yang dikandung, ditambah dengan transportasi yang mungkin tidak disertai dengan dry-ice, hal ini akan mempengaruhi pemeriksaan titer IgM. Keadaan ini juga terjadi saat serum dipindahkan dari laboratorium Parasitologi FKUI juga mengalami pencairan pada waktu seleksi sehingga akhirnya jumlah serum yang dapat diperiksa untuk toksoplasmosis dengan test ELISA terhadap IgG dan IgM tinggal 767 tabung dan sisanya dari 805 tabung yang dikirim ternyata 70 tabung kosong. Prosedur pemeriksaan adalah sebagai berikut : Deteksi IgG dan IgM Toksoplasma dilakukan dengan test

ELISA menggunakan kit toxonostika IgG dan toxonostika IgM buatan Organon. Dari tiap sampel dipisah 10 µl yang dilarutkan dalam 1 ml phosphate buffer saline (PBS). Untuk deteksi IgG dimasukkan 100 µl larutan serum ke dalam sumur lempeng Micro ELISA, kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C. Konjugat diikat pada kompleks Ag - Ab akan mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan warna. Reaksi dihentikan dengan larutan H2SO4. Intensitas perubahan warna diukur dengan ELISA Reader menggunakan filter 450 ηm. Sebagai kontrol digunakan serum negatif, serum positif lemah dan serum positif kuat sebagai kalibrator. Titer zat 1:100 adalah positif. Pada toxonostika IgM prinsipnya adalah Antibody Capture Sandwich. Dasar sumur dilapisi dengan anti-human IgM. Bila ditambah serum penderita, semua antibodi IgM akan diikat. Bila ditambahkan antigen toksoplasma dan konjugat akan terbentuk kompleks anti IgG-IgM yang mengikat antigen dan konjugat. Penambahan substrat menyebabkan perubahan warna yang intensitasnya diukur dengan ELISA Reader setelah reaksinya dihentikan dengan larutan H2SO4. HASIL Untuk melengkapi laporan deteksi zat dari serum ibu hamil SKRT 1995 ini kiranya perlu dilaporkan juga data Ibu Hamil yang diambil secara intern dari laporan Studi Follow Up Ibu Hamil SKRT sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Serum* Penyakit

Jumlah Diperiksa Positif 901 0 1000 13 1014 0

Cara Pemeriksaan

%

Malaria Sediaan tebal Syphilis Hemaglutinasi RPHA HIV ELISA Western Blot Hepatitis HBs Ag ELISA 1024 118 HB e Ag ELISA 118 24 5 (Kutipan Studi Follow Up Ibu Hamil. Seminar Hasil SKRT 1995)

1,0 1,3 0 11,5 20,3

Dari jumlah serum yang diperiksa setelah dimerge dengan dBase maka ditemukan IgG antibodi T. gondii positif pada 419(59,8%) dari 697 ibu hamil dan IgM positif pada 34 ibu hamil (4,9%) (tabel 2):

Tabel 2. Penyebaran Toxoplasma gondii pada serum ibu hamil menurut pulau di Indonesia

31,3 37,4 7,6 17,6 2,4 3,6

IgG 137 150 23 80 13 16

Jumlah % IgM 62,6 17 57,5 7 43,4 1 65,0 4 76,5 64,0 5

% 7,8 2,7 1,9 3,2 20,0

100,0

417

59,8

4,9

No

Pulau

Serum

%

1 2 3 4 5 6

Sumatera Jawa - Bali Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Irian Jaya

218 261 53 123 17 25 697

Total

34

Persentase data serum dari Jawa-Bali yang paling banyak (37,4%) kemudian dari Sumatera (31,3%) dan Kalimantan (17,6%), Nusa Tenggara (7,6 %) Irian Jaya (3,6 %) dan Sulawesi hanya 2,4 %. Dari data di atas tampak bahwa IgG anti

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 43

toksoplasma pada ibu hamil tersebar merata di semua pulau; persentase antibodi IgM tertinggi ibu hamil adalah di Irian Jaya (20,0%).

di bawah ini: Grafik 1. Gambaran kumulatif IgG unit berdasarkan umur ibu hamil 100

Tabel 3. Presentase IgG T gondii positif pada serum ibu hamil menurut Propinsi di Indonesia (Analisis Lanjut SKRT 1995)

I

II

III

90 80

No

Propinsi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Lampung DKI Jaya Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Irian Jaya

Diperiksa 44 29 50 20 41 34 26 67 58 54 56 38 15 34 19 38 32 17 25

IgG 26 20 27 11 21 30 20 46 34 20 30 11 12 20 13 21 26 13 16

Jumlah % 59,09 68,96 54,00 55,00 51,21 88,23 76,92 68,66 58,62 48,78 53,57 28,95 80,00 55,88 68,42 55,26 81,25 76,47 68,00

697

419

59,83

Total

IgM 1 1 6 4 3 3 4 3 1 1 2 1 5

% 2,27 3,45 12,00 20,00 7,32 8,82 6,90 3,56 6,25 5,26 5,26 3,12 20,00

34

4,88

Dari data di atas (tabel 3) terlihat distribusi IgG tertinggi di Lampung (88,2%), di 6 propinsi tidak ditemukan IgM anti toxoplasma: DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah, sedangkan distribusi IgM tertinggi di Riau dan Irian Jaya (20.0%). Untuk melihat persentase kumulatif IgG anti - Toxoplasma gondii pada umur ibu hamil dan trimester kehamilan ibu dapat dilihat di tabel 4 : Gambaran kumulatif IgG serum ibu hamil terlihat pada grafik

70 60 50 40 30 20 10 0 <0.099

0.1000.199

0.2000.299

0.3000.399

0.4000.499

0.5000.599

0.6000.699

0.7000.799

0.8000.899

>0.999

Grafik 2. Persentase IgG berdasarkan trimester kehamilan (analisa lanjut SKRT 1995) di Indonesia

I 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0

<0.099

0.100.199

0.2000.299

0.3000.399

0.4000.499

0.5000.599

0.6000.699

0.7000.799

II

0.8000.899

III

>0.900

Tabel 4. Presentase IgG berdasarkan umur ibu hamil dan umur kehamilan Persentase IgG / Unit (0,099) 0,100-0,199 0,200-0,299 0,300-0,399 0,400-0,499 0,500-0,599 0,600-0,699 0,700-0,799 0,800-0,899 > 0,900 Total

Umur Ibu Hamil (Tahun) < 19 20-34 > 35

Total 2 (0,3) 115 (16,5) 153 (22,0) 89 (12,8) 69 (9,9) 40 (5,7) 40 (5,7) 35 (5,0) 35 (5,0) 119 (17,1)

20 (17,4) 37 (24,2) 16 (18,0) 6 (8,7) 6 (15,0) 5 (12,5) 5 (14,3) 4 (11,4) 15 (12,6)

697 (100,0)

114 (16,4)

2 (100,0) 83 (72,2) 103 (67,3) 59 (66,3) 55 (79,7) 30 (75,0) 31 (77,5) 26 (74,3) 25 (71,4) 90 (75,6) 504 (72,3)

Dalam tabel 4 terlihat bahwa umur ibu hamil kebanyakan sekitar umur 20-34 tahun (504 - 72,3%), dan persentase kumulatif paling tinggi pada trimester kedua (41,5%). Persentase kumulatif tertinggi pada IgG unit 0,200-0,299 (22,0%). Pada kelompok umur 20-34 tahun persentase kumulatif IgG unit 0,400-0,499 ada pada 55 ibu (79,7%). Pada kelompok

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

12 (10,4) 13 (8,5) 14 (15,7) 8 (11,6) 4 (10,0) 4 (10,0) 4 (11,4) 6 (17,1) 14 (11,8) 79 (11,3)

Umur Kehamilan (Semester) I II III 1 (50,0) 26 (22,6) 35 (22,9) 21 (23,6) 14 (20,3) 10 (10,0) 17 (42,5) 14 (40,0) 16 (45,7) 44 (37,0)

1 (50,0) 51 (44,3) 65 (42,5) 35 (39,3) 31 (44,9) 15 (37,5) 17 (42,5) 14 (40,0) 16 (45,7) 44 (37,0)

38 (33,0) 53 (21,6) 33 (37,1) 24 (34,8) 15 (37,5) 6 (15,0) 16 (45,7) 13 (37,1) 47 (39,5)

163 (23,4)

289 (41,5)

245 (36,2)

umur kurang 19 tahun pada persentase kumulatif IgG 0,200-0,299 ada pada 37 Bumil (24,2%), sedangkan pada kelompok umur lebih dari 35 tahun persentase kumulatif IgG 0,300-0,399 ada pada 14 Bumil (15,%) dan kumulatif IgG unit > 0,900 pada 14 Bumil (17,7%). Usia kurang 19 tahun paling banyak pada kumulatif IgG 0,200-0,299 yaitu 37 Bumil (32,4%) dan kumulatif IgG unit

0,100-0,199 sebanyak 20 Bumil (17,5%), usia 20-34 tahun pada kumulatif 0,200-0,299 sebanvak 103 Bumil (20,4%) dan kumulatif IgG unit > 0,900 sebanyak 90 Bumil (17,9%), dan pada kelompok usia di atas 34 tahun yang terbanyak adalah kumulatif IgG 0,300-0,399 - 14 Bumil (17,7%); > 0,900 - 14 Bumil (17,7%); dan 0,200-299 - 13 Bumil (16,4%). Persentase dan proporsi berdasarkan trimester kehamilan terlihat sama yaitu: Proporsi yang paling banyak pada trimester pertama adalah kumulatif IgG 0,200-0,299 sebanyak 35 Bumil dan kumulatif IgG unit > 0,900 adalah 28 Bumil; trimester kedua juga pada kumulatif IgG 0,200-0,299 sebanyak 65 Bumil dan kumulatif unit 0,100-0,199 sebanyak 51 Bumil, dan pada trimester ke tiga sama yaitu pada kumulatif IgG unit 0,200-0,299 dan kumulalif IgG unit > 0,900, sedangkan yang lainnya tidak banyak beda. DI SKUSI Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua Bumil diambil darahnya. Dari serum yang diperiksa ada 70 tabung yang kosong karena telah dipakai untuk pemeriksaan terhadap penyakit lain. Prosentase positif serum ini rendah yaitu 59,8% bila dibandingkan dengan negara maju (15%-85%) padahal di negara berkembang hygienenya masih rendah. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh proses penyimpanan serum yang cukup lama dan pencairan serum yang berulangulang sehingga akan menurunkan titer antibodi dan menimbulkan konversi titer dari sero positif ke sero negatif. Pemeriksaan darah banyak dilakukan setelah trimester kedua dengan persentase kumulatif serum yang hampir sama sehingga akibat yang terjadi tidak terlihat adanya angka hydrocepalus dan keguguran. Keadaan ini mungkin data serum yang di periksa tidak lengkap sehingga tidak terlihat dalam dBase. Kalau proses penyimpanan dan pengambilan darah langsung dilakukan pemeriksaan atau tidak dilakukan pencairan yang berulang-ulang angka-angka ini mungkin akan lebih besar. Data di atas menjelaskan bahwa hampir tiga per empat persen ibu-ibu hamil terinfeksi toksoplasmosis dan yang paling banyak pada periode organ reproduksi aktivitas tinggi yaitu sekitar umur 20-35 tahun 72,3%). Pada umur di atas 35 tahun aktivitas reproduksi berkurang yaitu proses hormonal menurun sehingga angka IgG menurun (11,3). Dan infeksi yang terjadi banyak setelah trimester kedua atau mungkin kejadian banyak terjadi dalam keadaan khronis dimana pada IgM yang positif tidak memperlihatkan reaksi pada anak yang dilahirkan. Berkaitan dengan hasil penelitian di atas perlu dilakukan beberapa upaya : a) penyuluhan terhadap masyarakat untuk lebih hygiene terutama bagi ibu-ibu hamil muda (pada kehamilan 3 bulan pertama) b) menghindari sumber-sumber penularan makan yang tidak dimasak dan vektor kucing. c) Dan kalau memungkinkan perlu diadakannya evaluasi pada bayi yang dilahirkan untuk melihat apakah ada kaitan antara IgG dan IgM yang didapat dari ibu hamil d) Dilakukan penelitian faktor yang sangat berpengaruh adanva antibodi T. gondii pada orang sebab hampir semua sudah pernah terinfeksi toksoplasma. KESIMPULAN 1. Persentase kumulatif IgG unit yang paling tinggi adalah

Sulawesi (75,6%) dan Kalimantan (65,0%) dan Irian Jaya (64,0%), sedangkan yang paling rendah adalah Nusa Tenggara Timur. Dan untuk IgM unit yang paling tinggi adalah Irian Jaya (20,0%), Sumatera (7,8%), dan di Kalimatan (3,2%), sedangkan pulau Sulawesi tidak didapatkan IgM pada serum Bumil. 2. Persentase propinsi yang paling tinggi mempunyai kumulatif unit IgG adalah Lampung (81,2%); Kalimantan Timur (81,2%); Nusa Tenggara Tirnur (80,0%); dan yang paling rendah adalah Nusa Tenggara Barat (28,9%), sedangkan daerah lainnya tidak banyak beda. Persentase propinsi yang paling tinggi mempunyai kumulatif IgM unit adalah Irian Jaya dan Riau (20,0%), Sumatera Barat (12,0%); Lampung dan Jambi (8,0%); Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur (6,2%-7,3%). Dan propinsi yang tidak ditemukan kumulatif IgM unit adalah daerah DKI Jaya, Jawa Barat dan Sulawesi Tengah. 3. Kebanyakan Ibu hamil mempunyai persentase kumulatif IgG unit 0,200-0,299 sebanyak 153 Bumil (22,0%), kumulatif IgG unit >0,900 sebanyak 119 Bumil (17,1%) dan kumulatif IgG unit 0,100-0,199 sebanyak 115 Bumil (16,5%), sedangkan yang lainnya hampir sama. Berdasarkan kelompok umur terlihat bahwa kelompok umur 20-34 tahun yang paling banyak dalam pemeriksaan serum yaitu 504 (72,3%) kemudian kelompok umur < 19 tahun yaitu 114 Bumil (16,4%) dan sisanya > 35 tahun yaitu 79 Bumil (11,3%). Proporsi kelompok umur < 19 tahun yang paling tinggi adalah kumulatif IgG 0,200-0,299 sebanyak 37 Bumil (32,4%), begitu pula pada kelompok 20-34 tahun mempunyai kumulatif IgG 0,200-0,299, sedangkan kelompok umur >35 tahun pada kumulatif IgG unit 0,300-0,399 dan > 0,900 yaitu 14 Bumil (17,7%). 4. Berdasarkan trimester kehamilan maka terlihat bahwa serum Bumil yang diperiksa adalah pada trimester kedua adalah 289 Bumil (41,5%), kemudian trimester ketiga 245 Bumil (35,2%), dan sedikit trimester pertama 163 Bumil (23,4%). Persentase ataupun proporsi dari trimester kehamilan tidak terlihat adanya perbedaan tentang kumulatif IgG unit yaitu masing-masing menunjukkan yang paling tinggi dengan urutan sebagai berikut : 0,200-0,299 (sekitar 21,5-22,5%); >0,900 (sekitar 15,2-19,2%) dan 0,100-0,199 (sekitar 15,5-17,6%). SARAN 1. Penyuluhan pada wanita remaja atau usia subur oleh petugas Puskesmas terutama bagian kebidanan tentang toksoplasmosis serta pencegahannya. 2. Penyuluhan tentang hidup bersih terutama kaum wanita sedini mungkin. 3. Dilakukannya penelitian secara case-control pada ibu yang melahirkan abortus atau bayi yang dilahirkan mengalami hydrocephalus atau chorioretinitis di rumah sakit. UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini ditujukan sebagai peringatan hari wafatnya Bapak Drh. Thomas Hartono, Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular (Departemen Kesehatan) serta ucapan terima kasih atas kesediaannya untuk membantu pelaksanaan pengumpulan data dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak Subbagian Protozoologi, bagian Parasito-logi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta yang turut membantu pelaksanaan penelitian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 45

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Ratna Budiarso L, dkk. Studi Follow Up Ibu Hamil. Seminar hasil SKRT 1995. Jakarta Februari 1997. Puspenegoro, HD. Toxoplasmosis pada Bayi dan Anak serta penatalaksanaannya. MDK, Vol. 11 No. 8 Agustus 1992. Hartono, Th. Penemuan Toxoplasmagondii dari wanita keguguran di RSCM Jakarta dan RSHS Bandung. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun XXII, No. 12, 1995. Cornain, S. Diagnosis Immunologic Molekuler Toxoplasmosis, Diskusi Panel Diagnosis dan Terapi Toxopolasmosis, FKUI 13 November 1993. Benerson, A. Control of Communicable Disease in Man. American Public Health and human Service, Atlanta 1985. Hal. 323-5. Soesbandoro, SDA at. all. Infeksi Toxoplasma pada Ibu-Ibu hamil di RSU Mataram. Majalah obstetri dan ginekologi Indonesia Vol. 20 No. 4 Oktober 1996; Hal: 254-7. Stephanis Kurniadi Budijanto. Antibodi IgA dan P30 sebagai pertanda pada toxoplasma kongenital dan akut. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 45 No. 1 Januari 1995. Dubey JP, Beatic JF. Toxoplasmosis of animals and man. Boca Raton FL. CRC Press, 1998; hal. 220. Soedarto. Pengaruh waktu penyimpanan sampel serum dan frekuensi cairan ulang serum beku penderita toxoplasmosis yang dapat dilakukan di lapangan adalah metode Hemaglutinasi tidak langsung. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya 1990. Abstrak Penelitian Kesehatan. Seri 10.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

LAPORAN KASUS

Akondroplasia Vivianty Hartiono, R. Satriono Sub Bagian Endokrinologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

PENDAHULUAN Akondroplasia (AK) adalah salah satu bentuk kekerdilan tubuh yang sering dijumpai. Penyakit ini merupakan kelainan kongenital tulang rawan. Gangguan terutama pada pertumbuhan tulang-tulang panjang. Penyakit ini diturunkan secara autosom dominan. Sekitar 85-90% kasus merupakan mutasi genetik. AK pertama kali ditemukan oleh Parrot (1878). Angka kejadian kelainan ini adalah 1/25.000 kelahiran. Ditemukan lebih banyak penderita AK pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki(1,2,3,4,5). Diagnosis AK ditegakkan berdasarkan gejala klinik yaitu perawakan tubuh dan anggota gerak yang pendek, tidak proporsional, disertai kepala yang besar dengan penonjolan frontal dan hidung pesek. Gambaran radiologik penunjang diagnosis yaitu ditemukannya basis kranium yang kecil, kepala relatif lebih lebar dari wajah dengan penonjolan frontal dan hipoplasia mandibula, pemendekan tulang-tulang panjang dan pelvis yang sempit. Riwayat adanya AK dalam keluarga semakin memperkuat diagnosis ini(1,2,4). Tulisan ini membahas satu kasus AK pada bayi perempuan yang berumur 8 bulan. LAPORAN KASUS IF, bayi perempuan, umur 8 bulan berobat ke poliklinik Anak RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 15 Agustus 1997, dirujuk oleh dokter spesialis anak di Bima dengan diagnosis gangguan pertumbuhan/perkembangan (gangguan hormonal?). Anamnesis Anak baru dapat membalikkan badan saat berumur 7 bulan. Kepala belum dapat diangkat dan gerakan kepala masih sangat terbatas. Anak kuat isap, selera makan baik. Buang air besar biasa. Buang air kecil lancar. Riwayat kelahiran: Lahir di rumah tanggal 15 Desember 1996, spontan dengan letak belakang kepala, segera menangis. Berat badan dan panjang badan tidak

diukur. Mekonium ke luar 5 jam setelah kelahiran. Riwayat kehamilan ibu: hamil yang pertama kali di saat berusia 19 tahun, periksa teratur, tidak pernah sakit dan tidak pernah minum obat-obatan lain selain vitamin. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada. Ibu dan bapak tidak memiliki hubungan keluarga satu sama lainnya. Pemeriksaan fisik Anak tampak sakit sedang, sadar dan secara klinik tidak ditemukan gejala kekurangan gizi. Berat badan 5,2 kg, panjang badan 60 cm dengan upper segment 39 cm dan lower segment 21 cm. Pernapasan 32 x/menit, torakoabdominal. Nadi 128 x/menit, reguler berisi. Suhu rektal 36,6º C. Bentuk kepala brakisefal dengan lingkar kepala 45 cm, ubun-ubun besar datar belum menutup, sutura tidak melebar. Mata isokor dengan pupil 3 mm, refleks cahaya positif normal. Hidung pesek. Telinga, hidung, dan tenggorok tak ada kelainan. Lingkar dada 38 cm. Paru: bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan tidak ada. Jantung: bunyi jantung I dan II normal, bising tak terdengar. Abdomen datar, ikut gerak napas dengan peristatik kesan normal. Anggota gerak pendek dan hipotoni, panjang lengan 21 cm (segmen proksimal 8 cm; tengah 7,5 cm dan distal 5,5 cm), panjang tungkai 25,5 cm (segmen proksimal 12,5 cm; tengah 11 cm dan distal 2 cm). Refleks fisiologik normal, refleks patologik dan tanda-tanda rangsang meningeal tidak ditemukan. Tulang vertebra ditemukan lordosis setinggi vertebra torakal 12 sampai lumbal 5. Diagnosis Akondroplasia. Diagnosis banding Hipotiroidisme kongenital. Pemeriksaan anjuran Foto untuk bone survey dan bone age. Pemeriksaan TSH. Pemeriksaan darah, urin dan tinja rutin.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 47

Pengamatan lanjut Pengamatan pada hari 3: Keadaan umum baik. Pernapasan 32x/menit. Nadi 128 x/menit. Suhu rektal 36,4ºC. Pemeriksaan laboratorium darah: Hb 11,5 g/dl, lekosit 8600/mm3, hitung jenis eosinofil 2 /basofil - /batang - /segmen 38/limfosit 60/monosit -. Pemeriksaan urin dan tinja tidak ada kelainan. Pemeriksaan radiologik memberikan kesan sebagai berikut: Kepala: Diameter biparietal kepala 14,7 cm (normal 12,9 ± 0,9 cm), diameter kraniokaudal 11,9 cm (N: 13,8 ± 0,5 cm), os frontalis protrusi (menonjol ke depan). Toraks: Tak tampak kelainan radiologik. Vertebra: Tak tampak kelainan radiologik. Pelvis: Tak tampak kelainan radiologik. Lengan kaki: Os radius sedikit melengkung, epifisis os radius dan ulna sedikit ireguler. Tungkai : Tulang femur kiri dan kanan agak melengkung, os fibula kiri dan kanan melengkung, epifisis os femur dan tibia ireguler. Kesan: Akondroplasia. Bone age: Pertumbuhan tulang sesuai umur 6 bulan. Hari ke 9: Keadaan umum baik. Pernapasan 32 x/menit. Nadi 120 x /menit. Suhu rektal 36,8º C. Hasil pemeriksaan TSH : 3,35 ulU/ml (N: 0,3 – 5 ulU/ml). Hari ke 25: Keadaan umum baik. Pernapasan 32 x/menit. Nadi 120 x /menit. Suhu rektal 37º C. Penderita pulang ke Bima dan dianjurkan untuk kontrol kembali. DISKUSI AK adalah kelainan tulang rawan kongenital yang diturunkan secara genetik. Penyakit ini memberikan gambaran perawakan pendek pada tubuh dan anggota gerak yang tidak proporsional. Pemendekan anggota gerak terutama pada segmen proksimal yang disebut rhizomelia(4,5). Demikian pula pada penderita ini ditemukan adanya perawakan pendek pada tubuh dan anggota gerak terutama segmen proksimal. Pada AK biasanya ditemukan bentuk kepala brakisefal dengan penonjolan frontal, hidung pesek dan penonjolan tulang mandibula(1,4). Anak yang dilaporkan penulis mempunyai bentuk kepala brakisefal dengan penonjolan frontal dan hidung pesek. Gibbus pada daerah lumbal merupakan tanda umum AK dan akan menghilang pada tahun pertama. Selanjutnya punggung akan menjadi lurus dan berganti dengan lordosis lumbal(3,6). Pada kasus ini ditemukan adanya lordosis setinggi vertebra torakal 12 sampai lumbal 5. Bayi AK sering hipotoni disertai dengan gangguan perkembangan motorik yang sering sukar dibedakan dengan penderita hipotiroidisme kongenital (HK). Keduanya memberikan perawakan pendek pada tubuh dan anggota gerak serta hidung pesek(1,5,6). Kasus ini dibedakan dari HK dengan didapatkannya kadar TSH dalam batas normal. Bone age pada HK biasanya lebih lambat dari umur kronologiknya, sedangkan pada AK umumnya umur tulang sesuai dengan umur kronologik anak(1,5,6). Pada kasus yang dilaporkan bone age penderita masih dianggap sesuai dengan umur penulangan. Pemeriksaan foto polos AK pada kepala biasanya ditemukan basis kranium kecil, kepala relatif lebar dari wajah

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

dengan protrusi frontalis(1,3,5). Pada kasus ini terlihat diameter biparietalis lebih dari normal dan diameter kraniokaudal kecil dari normal serta ditemukannya protrusi frontalis. Jarak interpedikuler vertebra L1 – L5 berkurang, tapi ini biasanya belum nyata pada neonatus(1,3). Pada penderita ini foto polos vertebra tak tampak kelainan. Pada pelvis didapatkan adanya pemendekan dengan tulang ileum lebar, atap asetabulum horisontal dan insisura sakroiskiadika sempit dan dalam(1,5). Pada kasus ini belum didapatkan kelainan pada gambaran foto polosnya. Tulang-tulang panjang memendek terutama segmen proksimal anggota gerak, lebih lebar dan tebal(1,3,4). Pada anak yang dilaporkan tulang-tulang lengan dan tungkai sedikit melengkung dan iregular. Gambaran radiologis AK serupa dengan pseudoakondroplasia (PAK), tapi pada PAK kelainannya di epifisis sedangkan AK terletak di metafisis. Dengan foto lateral tulang belakang pada PAK terlihat penonjolan di pusat vertebra yang berasal dari permukaan depan, sedang pada AK kelainan pada arkus bagian belakang(2). AK pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu keterlambatan perkembangan motorik, pemeriksaan fisik yang menemukan pemendekan tubuh dan anggota gerak dan ditunjang oleh pemeriksaan radiologik. AK dapat berkomplikasi sebagai otitis media, gangguan pendengaran, maloklusi dental, strabismus, hidrosefalus dan kompresi medula spinalis(4). Pada kasus ini belum ditemukan komplikasi tapi masih tetap harus dipantau kemungkinannya. Penatalaksanaan penderita AK tidak ada yang khusus, hanya perlu diberikan penyuluhan dan konseling terhadap pengaruh sosial dan psikologis kepada keluarga dan penderita akibat perawakan yang sangat pendek dan tidak biasanya(4). Kasus ini sebelum penderita pulang ke Bima, keluarga penderita telah diberikan pengertian dan arahan tentang penyakit tersebut. Penderita AK dapat hidup normal, kecuali bila terdapat komplikasi hidrosefalus atau kompresi medula spinalis yang tidak ditangani(1,4,5,6). Tinggi badan maksimal yang dapat dicapai oleh penderita AK perempuan adalah 125 cm dan 131,5 cm pada laki-laki(4). RINGKASAN Telah dilaporkan satu kasus akondroplasia pada bayi perempuan umur 8 bulan dengan adanya gangguan pertumbuhan/perkembangan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologik. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Cocburn SB, Hilt NE. Manual of orthopaedics. Saint Louis: CV Mosby Co, 1980; 369-70. Gordon IRS, Ross FGM. Diagnostic radiology in paediatrics. Boston: Butterworth Co (Publ) Ltd, 1977; 2-3. Lovel WW, Winter RB. Pediatric orthopaedics. 2nd ed; Philadelphia: JB Lippincott Co, 1989; 45-8. Sillerve DO. Genetic skeletal dysplasia. Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC, Eds. Nelson text book of pediatrics. 15th ed; Philadelphia: WB Saunders Co, 1996; 638-9. Brashear HR, Reney RB. Shands’ handbook of orthopaedic surgery. 6th ed; Saint Louis: CV Mosby Co, 1978; 56-9. Warkany J. Congenital malformation. 1st ed; Chicago: Year Book Medical Publ Inc, 1971; 767-81.

Produk Baru Peran Isoflavon untuk Kesehatan Reproduksi Wanita Isoflavon merupakan zat yang serupa dengan estrogen, namun berbeda dalam ikatan OH. Zat ini banyak terdapat dalam tumbuh-tumbuhan, biji-bijian, dan sayur-sayuran. Zat aktif isoflavon terdiri dari isoflavon, lignan, dan coumestan, namun yang paling banyak digunakan dalam bidang kesehatan adalah isoflavon. Zat aktif ini tidak hanya terdapat dalam bahan mentah, tetapi juga hasil olahan seperti tempe, tahu, dsb. Di dalam tubuh isoflavon bersifat aktif serupa dengan hormon estrogen. Secara in situ dibuktikan bahwa isoflavon mengadakan aksi inhibisi tirosin kinase yakni menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan penyakit kanker. Mekanisme isoflavon dalam hal ini dengan mencegah inhibisi topoisomerase 1, 2 transkripsi DNA yakni mencegah replikasi DNA yang menghasilkan protein yang tidak normal. Selain itu, khasiat isoflavon bermacam-macam misalnya kardioprotektif, bone turnover, reproduksi, dll. Isoflavon juga dapat diguna-kan untuk mencegah dan menurunkan risiko terjadinya kanker payudara. Sedangkan pada kanker ovarium isoflavon mengubah resistensi karena kemo-terapi dengan meningkatkan permeabilitas memban sel sehingga mudah diper-baiki kembali dan mempercepat penyembuhan dengan pengobatan kemo-terapi. Dalam bidang reproduksi isoflavon terbukti memperbaiki pola haid, nyeri haid, dan lama haid. Target utama fitoestrogen pada jaringan tubuh yang pertama adalah sistem reproduksi karena pada organ tersebut jumlah estrogen reseptor cukup tinggi. Pada fase menstruasi efek fitoestrogen memperpanjang fase luteal. Sedangkan pada fase premenopause fitoestrogen menimbulkan efek estro-genik yang bermanfaat mencegah kanker payudara. Hal ini dibuktikan secara epidemiologis bahwa insiden kanker payudara lebih rendah pada bangsa Asia

yang mengkonsumsi fitoestrogen lebih tinggi dari bangsa Barat. Selain itu, kadar fitoestrogen dalam urin dan darah bangsa Asia lebih tinggi daripada bangsa Barat. Selain itu, pada fase menopause fitoestrogen terbukti dapat mengurangi gejolak panas. Berdasarkan penelitian terhadap 58 wanita menopause yang diberi tepung kedelai dan tepung terigu selama 12 minggu gejolak panas berkurang secara signifikan sebesar 40% dan 25%. Penelitian lain menggunakan tocopil yang mengandung 56 fitoestrogen 38 mg diberikan kepada 152 wanita menopause selama 26--29 bulan. Hasilnya terjadi penurunan gejolak panas, keringat malam, rasa lemah, dan peningkatan libido. Isoflavon tidak hanya berperan pada organ reproduksi tetapi juga berperan pada kesehatan jantung. Pada masa premenopause perempuan memiliki perlindungan terhadap penyakit kardiovaskular dengan adanya perlindungan hormon estrogen terhadap endotel. Setelah memasuki masa menopause saat kadar hormon estrogen berkurang, insiden penyakit kardiovaskular pada perempuan sama dengan laki-laki. Mekanisme isoflavon dalam mencegah penyakit kardiovaskular adalah melalui penurunan kolesterol. Isoflavon terbukti menurunkan kolesterol total, meningkatkan HDL, menurunkan trigliserida, dan mencegah oksidasi kolesterol LDL. Seperti diketahui LDL yang mengalami oksidasi akan menjadi radikal bebas yang dapat melukai dinding endotel sehingga timbul plak dan terjadilah aterosklerosis. Isoflavon dapat dikonsumsi dalam bentuk asli berupa kedelai, kacang lengkuas, biji bunga matahari, dsb. Sementara hasil olahan isoflavon dapat dikonsumsi dalam bentuk tempe, tahu, yoghurt, dsb. Untuk wanita menopause kapsul Calvonin yang mengandung bahan aktif isoflavon dari ekstrak tumbuh-tumbuhan murni dapat menjadi alternatif untuk mengganti estrogen yang hilang (diolah dari Hidayati W.B.).

Calvonin®

Meredakan gejala-gejala menopause dan membantu mencegah osteoporosis Komposisi : Tiap kapsul mengandung : Isoflavone 50 mg. Farmakologi : Isoflavone adalah salah satu jenis fitoestrogen yang mempunyai struktur kimia serupa dengan estradiol. Dalam usus halus, isoflavone akan dihidrolisis oleh β-glukosidase dan menghasilkan aglikones, daidzein, genistein dan glisitein, yang selanjutnya akan diabsorpsi dan berikatan dengan asam glukuronik, kemudian mencapai siklus enterohepatik dan disekresi melalui kandung empedu. Hasil metabolisme isoflavone didistribusikan keberbagai jaringan tubuh dan mencapai kadar maksimal setelah 4-8 jam. Sebagian besar daidzein dan genistein diekskresikan dalam 24 jam pertama melalui urin. Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor spesifik estrogen pada nukleus sel berdampak menyerupai respon hormon estrogen, dapat menambah atau melemahkan respon hormon estrogen. Pada keadaan estrogen yang rendah, seperti pada wanita pasca menopause fitoestrogen akan berperan sebagai agonis estrogen. Isoflavone dapat menghambat aktivitas osteoklas melalui intervensi enzim spesifik seperti tirosin kinase, yang dapat mengaktivasi faktor pertumbuhan dan reseptor protein. Pada dosis rendah isoflavone dapat meningkatkan metabolisme tulang.

Indikasi : Sebagai suplemen untuk membantu meredakan gejala-gejala menopause dan membantu mencegah osteoporosis. Dosis dan cara pemakaian : Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 1 kapsul sehari. Hasil optimal tercapai jika Calvonin® diminum secara teratur dalam jangka panjang. Peringatan dan Perhatian : Penggunaan Calvonin® harus hati-hati bila diberikan bersama-sama dengan bahan-bahan yang dapat berinteraksi dengan estrogen seperti alkohol, diet protein dan lemak tinggi. Efek samping : Calvonin® ditoleransi dengan baik dan efek samping serius pada penggunaannya belum pernah dilaporkan. Kemasan : Dus @ 3 strip @ 10 kapsul No. Reg. POM SD 021 301 921 Reference: Dapat menghubungi PT. Kalbe Farma Tbk. P.O. Box 3105 JAK, Jakarta – Indonesia

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 49

Kapsul EFEK SAMPING OBAT ‘HERBAL’ Dengan bertambah populernya pengobatan alternatif yang menggunakan berbagai ramuan atau bagian dari tumbuh-tumbuhan, perlu diwaspadai adanya risiko interaksi bahan tersebut dengan obat-obat yang (mungkin) digunakan bersama. Efek interaksi yang perlu diwaspadai antara lain : MEKANISME

INTERAKSI KLINIS Garlic/bawang putih : Khlorpropamid Parasetamol Ritonavir

Hipoglikemi Perubahan farmakokinetik parasetamol Peningkatan konsentrasi ritonavir dan toksisitas gastrointestinal berat Meningkatkan INR, meningkatkan waktu pembekuan

Efek aditif Tidak diketahui Menghambat metabolisme autoinduksi ritonavir

Gingko Aspirin Diuretik tiazid Trazodon

Hifema spontan Tekanan darah naik Coma

Warfarin

Perdarahan intrakranial

Inhibisi aditif terhadap agregasi trombosit Tidak diketahui Peningkatan aktivitas GABAergik oleh flavonoid gingko Efek aditif terhadap mekanisme koagulasi

Ginseng Alkohol

Menurunkan konsentrasi alkohol dalam darah

Fenelzin Warfarin

Insomnia, nyeri kepala, gejala mania Penurunan INR, peningkatan prothrombin time

Perlambatan pengosongan lambung oleh ginsenosides Peningkatan kadar cAMP Tidak diketahui

Kava Alprazolam Levodopa

Letargi dan disorientasi Pemanjangan dan penambahan off-period

Efek aditif pada reseptor GABA dan pelepasannya Antagonisme dopamin

Penurunan AUC alprazolam Penurunan konsentrasi amitriptilin Penurunan konsentrasi siklosporin, kadangkadang dengan episode penolakan Cenderung meningkatkan metabolisme dekstrometorfan Penurunan kadar plasma digoksin Penurunan AUC indinavir Episode singkat delirium akut Perdarahan lucut atau berubah polanya Penurunan konsentrasi fenprokumon dan penurunan efek antikoagulan Mual, muntah, nyeri kepala, episode manik Penurunan konsentrasi teofilin Penurunan efek antikoagulan

Induksi enzim hepar Induksi enzim hepar Induksi enzim hepar

Warfarin

St. John’s wort Alprazolam Amitriptilin Siklosporin Dekstrometorfan Digoksin Indinavir Loperamid Kontrasepsi oral Fenprokumon SSRI/SNRI Teofilin Warfarin

Efek aditif

Induksi enzim hepar Induksi P-glikoprotein usus halus Induksi enzim hepar Potensiasi inhibisi MAO Induksi enzim hepar Induksi enzim hepar Inhibisi sinergis terhadap uptake serotonin Induksi enzim hepar Induksi enzim hepar

D&TP 2002; 18 (9) : 17-21

Brw

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

INTERNET UNTUK DOKTER Website atau Homepage Web berarti jaringan sedangkan site adalah suatu tempat. Website berarti suatu tempat yang mempunyai hubungan dengan tempat lain membentuk jaringan. Sedangkan homepage sebenarnya berarti induk/rumah dari suatu halaman (page). Jadi di dalam website terdapat banyak page. Namun saat ini pengertian homepage sudah meluas menjadi sama artinya dengan website, yaitu suatu tempat memperoleh informasi di internet yang terdiri dari kumpulan halaman. Homepage merupakan alat informasi yang diletakkan di internet. Namun tidak seperti brosur, buku atau media cetak lainnya yang hanya searah sifatnya, dalam homepage bisa terjadi interaksi, seperti tanya jawab bahkan chatting yang terjadi saat itu juga, real time. Begitu juga sifat homepage yang hipertext, teks yang mempunyai link (hubungan dengan halaman yang lain). Aturan Penamaan di internet Umumnya suatu alamat (bisa dianalogi dengan lokasi) di internet dimulai dengan ”http://www” contohnya http://www.kalbe.co.id. atau http://www.kalbefarma.com. Tanda titik dibaca sebagai dot, sehingga kalbefarma.com dibaca kalbefarma dot com dan kalbe.co.id dibaca kalbe dot co dot id. Penamanaan ini mengikuti suatu pola yang disepakati bersama, Domain Name System (DNS) yang dijalankan server DNS. Server ini mengubah nama yang ada menjadi sederetan angka yang disebut IP, yang digunakan oleh internet. Contoh IP dari www.kalbe.co.id adalah 202.158.47.250 dan IP dari www.detik.com adalah 202.158.66.181. Aturannya: http://www.namaserver.topleveldomain.kodenegara Nama server adalah nama unik yang bisa kita tetapkan sendiri sesuai dengan keinginan kita misalnya Kalbe Farma, dstnya. Top Level Domain Berikut disajikan beberapa TLD yang sering digunakan: No 1 2 3 4

TLD biz com (co) edu (ac) gov (go)

5 6 7 8

info int mil museum

Untuk kepentingan bisnis badan usaha komersial Amerika (Indonesia) institusi pendidikan/universitas /akademi instansi, badan, departemen, lembaga pemerintahan informasi organisasi international militer museum

9 10

name net

11 12

org (or) sch

13

web

nama personal penyedia jaringan (untuk perusahaan yang berkecimpung dalam infrastruktur internet) organisasi non komersial lembaga Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan seperti SD, SMP dan atau SMU, dll. badan usaha, organisasi atau perseorangan yang melakukan kegiatannya di World Wide Web

(ket. dalam kurung menunjukkan yang digunakan untuk Indonesia)

Namun akhirnya aturan ini tidak terlalu ketat, tergantung kepada penyedia jasa pemberian nama. Di Indonesia bisa diakses di: http://www.idnic.net.id. Kodenegara Berikut disajikan beberapa country code top level domains (ccTLDs): No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

ccTLD us ca jp au id sg hk to tv

Negara Amerika Serikat Kanada Jepang Australia Indonesia Singapura Hongkong Tonga Tuvalu

Tidak taat azas Jika sudah mengetahui ini, tentu bagi mereka yang pernah berinternet atau membaca di media cetak, akan terlintas pertanyaan mengapa ada perusahaan yang menggunakan akhiran negara (ccTLD) tidak sesuai seperti: rcti.tv (tidak di Tuvalu), detik.com (bukan perusahaan Amerika), netsurf.to (ada di AS), dll. Alasannya, negara seperti Tuvalu dan Tonga bisa mengumpulkan uang dengan menjual hak mereka kepada pihak ketiga, yang pada gilirannya menjual lagi kepada penawar lain. Akhiran TV dan to, mempunyai arti tersendiri (unik) bagi perusahaan yang berkepentingan. Begitu pula dengan akhiran com yang lebih populer dari akhiran co.id. Artinya, sebenarnya aturan yang ditetapkan tidak ada sanksi bila dilanggar, sehingga bila mengguntungkan maka suatu perusahaan bisa menggunakannya.[SIM] Singkatan: - http = HyperText Transfer Protocol - www = world wide web

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 51

Kegiatan Ilmiah 7th Asian Congress of Sexology 2002 Singapore Kongres yang diselenggarakan oleh Departement of Obstetrics & Gynaecology National University of Singapore dan Society for Study of Andrology and Sexology Singapore merupakan kongres yang ketujuh di Asia yang membahas mengenai segala aspek seksologi. Menurut P Ganesan Adaikan, Congress President, acara yang berlangsung sejak tanggal 14 hingga 17 November 2002, ditunjang oleh berbagai badan, seperti: Asia Pacific Society for Impotence Research (APSIR), International Society for the Study of the Aging Male (ISSAM), International Society for Sexual and Impotence Research (ISSIR), dan World Association for Sexology (WAS). Berikut laporan dari Singapura seperti yang dituturkan wakil KalbeFarma. Disfungsi Ereksi Kongres multidisipliner yang diikuti sekitar 400 peserta mempresentasikan berbagai aspek seksologi oleh pakar-pakar seksolog, urology, psikiater, psikolog, kebidanan, dan berbagai disiplin lainnya. Topik yang paling banyak dibahas adalah masalah Disfungsi Ereksi/DE (Erectile Dysfunction/ED). Urutan terapi DE dari yang paling non-invasif adalah dengan obatobat oral, baik yang bekerja menghambat enzim fosfodiesterase 5 (PDE5I) maupun yang bekerja sentral. Pengobatan tahap ke dua adalah dengan aplikasi obat intrauretral, misalnya dengan MUSE (Medicated Urethral System for Erection), selanjutnya juga bisa dilakukan tindakan vakum organ penis. Tindakan yang lebih invasive bisa berupa suntikan transuretral dan jika diperlukan bisa dilakukan operasi implantasi penis buatan (penile implantation). Prosentasi DE pada pasien Beberapa pasien seperti tercantum di bawah ini mengalami DE: Penyakit Depresi berat Penyakit Vaskuler Perifer Diabetes Penyakit Jantung Iskemik Hipertensi Penyakit aterosklerotik

Prosentase 90 % 86 % 64 % 61 % 52 % 40 %

Hubungan seks bukan kontra indikasi pasien koroner Menurut pakar kardiologi, hubungan seksual tidak merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan penyakit koroner. Dari penelitian dibuktikan bahwa resiko infark miokard setelah 52 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

hubungan seksual meningkat sebesar 2,5 kali pada orang normal dan hanya meningkat sebesar 3 kali pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler, jadi tidak ada perbedaan bermakna antara orang normal dan pasien kardiovaskuler. Jika energi yang dikeluarkan dihitung dengan suatu standar yaitu METS (metabolic equivalents of the task), maka kita bisa melihat bahwa kegiatan hubungan seksual kira-kira sama lelahnya dengan berkebun atau mengepel lantai. Aktivitas Hubungan seksual Pekerjaan rumah tangga sederhana: menyetrika Jalan 1 km dalam waktu 15 menit Membersihkan jendela Mengangkat dan membawa beban 9-20 kg Golf Berkebun Pekerjaan rumah tangga agak berat: mengepel lantai

Skor METS 2-3 s/d 5-6 2-4 3-4 3-4 4-5 4-5 4-5 3-6

Kehidupan seksual pada menopause Sehubungan dengan masih adanya kontroversi penggunaan terapi sulih hormon (TSH) bagi wanita menopause, disimpulkan dari berbagai penelitian bahwa TSH boleh diberikan jangka pendek untuk wanita menopause guna meningkatkan kualitas hidupnya, terutama kehidupan seksualnya. SIMPOSIUM LAIN Simposium lain, selengkapnya bisa diakses http://www.kalbe.co.id >> News/Articles >> Seminar

di

Jakarta Diabetes Meeting 2002, Hotel Horison Jakarta 2 - 3 November 2002 Jakarta Diabetes Meeting 2002 yang diselenggarakan tanggal 2-3 Nopember 2002 di Horison Resort Hotel dihadiri oleh kurang lebih 200 peserta dari berbagai daerah di Indonesia (sebagian besar peserta berasal dari Jakarta dan sekitarnya). Pertemuan dengan tema "The Recent Management in Diabetes and Its Complication : From Molecular to Clinic" ini tidak hanya dihadiri oleh para ahli Endokrin dan Metabolisme tetapi juga dihadiri dokter umum, dokter ahli jantung, dokter ahli ginjal dan hipertensi, dokter ahli saraf, dan sebagainya. Seminar Breast Conserving Treatment, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Sabtu 18 Januari 2003 Penanganan Kanker Payudara, tidak selalu dengan operasi pengangkatan seluruh payudara. Dengan kemajuan ilmu kedokteran saat ini, para penderita kanker payudara bisa dioperasi dengan mengangkat sebagian kecil kelenjar. Demikian topik seminar yang diadakan pada hari Sabtu, 18 Januari 2003 RS Mitra Keluarga Kelapa Gading dengan tema BCT (Breast

Conserving Treatment); Terapi Pilihan pada Kanker Payudara Dini dengan Teknologi Prosedur Sentinel. Hadir sebagai nara sumber ialah: dr Kahar Kusumawidjaja, Sp Rad., dr Kardinah, SpRad, dr Maria R, SpPA, dan dr Samuel J Haryono, SpB Onk. Simposium Nasional PERMI-APMF, Hotel Horison Jakarta, 18 Januari 2003 Terapi Sulih Hormon (TSH) atau Hormon Replacement Therapy (HRT) tidak hanya menghilangkan keluhan kaum wanita pada masa pra dan menopause, akan tetapi dalam jangka panjang mempunyai keuntungan dapat mencegah osteoporosis, menurunkan kematian karena penyakit jantung, dan diharapkan dapat pula mencegah kanker kolorektal, penyakit Alzheimer, dll. Namun, ironisnya, tidak banyak wanita yang secara teratur menggunakan TSH. Salah satu penyebab utamanya adalah dari dokter yang memberikan pengobatan serta para pasiennya sendiri, mepertimbangkan efek samping atau untung ruginya menggunakan TSH. Demikian dikatakan dr Suhartono, SpOGKFER pada acara Simposium Nasional PERMI-APMF di Hotel Horison Jakarta, Sabtu 18 Januari 2003 yang lalu. Seminar A New Paradigm in The Management of Parkinson's Disease, Hotel Menara Peninsula Jakarta, 25 Januari 2003 Banyak dokter yang masih luput mendiagnosa penderita Parkinson, demikian dikatakan dr Achdiat Agoes Sp S(K), dalam Seminar A New Paradigm in The Management of Parkinson's Disease. Seminar yang dilaksanakan di Hotel Menara Peninsula Jakarta pada tanggal 25 Januari 2003 menghadirkan para pakar yang membahas pelbagai aspek Parkinson seperti dr Jan S Purba PhD, dr Andradi Suryamihardja Sp S(K), Prof dr Jusuf Misbach Sp S(K) dan Prof dr Aznan Lelo SpFK PhD. Simposium sendiri dibuka oleh ketua panitia, dr Al Rasyid Sp S, dari Bagian Neurologi FK Universitas Indonesia. 10th ASEAN ORL, Brunei Darussalam, 27 - 29 Januari 2003 Acara 10th ASEAN Otorhinolaryngology diikuti oleh seluruh negara ASEAN termasuk juga beberapa delegasi dan pembicara dari Hongkong, Australia, Amerika, India, Inggris, Jepang dan Swedia. Selain acara kongres itu sendiri, juga diadakan Pre-congress workshop 25-26 Januari 2003 dan Postcongress workshop 30 Januari 2003. Acara kongres dihadiri dan dibuka oleh Menteri Kesehatan Brunei Pehin Orang Kaya Putera Maharaja Dato Seri Setia Haji Awanb Abu Bakar bin Haji Apong, dan seluruh kegiatan diselenggarakan di International Convention Centre yang memiliki eksterior dan interior gedung yang mewah. Workshop Evaluasi Obat Antihipertensi, Yogyakarta, 3 - 4 Februari 2003 Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang obat berkembang sangat pesat pada dekade terakhir ini, baik dalam bentuk pengembangan obat baru maupun modifikasi terhadap senyawa yang telah ada. Bagi para ahli yang berkecimpung pada bidang pengembangan obat dan produksi, penguasaan

pengetahuan akan tahap-tahap pengembangan obat sangat dibutuhkan. Begitu pula dengan ketrampilan dalam evaluasi obat. Untuk memperdalam hal tersebut, maka sejak tanggal 3 hingga 4 Februari 2003 telah diadakan Workshop Evaluasi Obat Antihipertensi di Yogyakarta yang diikuti oleh para dokter dan apoteker dari beberapa perusahaan farmasi termasuk PT Kalbe Farma dan BPOM RI. Penyelenggaranya adalah Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universita Gadjah Mada. Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular II, Hotel Sahid Jaya Jakarta, 7-9 Februari 2003 Pada simposium 'Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular II' yang berlangsung dari tanggal 7-9 Februari 2003 di Hotel Sahid Jaya Jakarta diperkenalkan alternatif baru dalam penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Alternatif tersebut berupa penambahan obat pada stent yang banyak dipakai untuk melebarkan pembuluh darah jantung. Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (PIPKRA), Hotel Borobudur, 14 - 15 Februari 2003. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan industri, obat-obat asma pun turut berkembang, antara lain ditemukan obat-obat yan baru, bentuk sediaan yang lebih baik seperti bentuk inhalasi (hirup) dan cara pemberian obat-obat yang baru. Demikian dikatakan dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K) saat membawa presentasi "Penelitian multisenter obat-obat asma" pada acara Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (PIPKRA), yang baru pertama kali diadakan. Simposium yang diikuti oleh sekitar 500 peserta di adakan pada tanggal 14 hingga 15 Februari 2003 di Hotel Borobudur Jakarta. Recent Advances In Liver Transplantation and Tremendous Coronary Angioplasty Manipulation in Complex Lesion + Acute Coronary Syndrome, Rumah Sakit HUSADA, 22 Februari 2003 Banyak kendala yang dihadapi untuk mendapatkan transplantasi hati. Persediaan hati yang kurang karena terbatasnya donor, membuat banyak pasien meninggal saat masih dalam daftar antrian. Data di Singapura menyebutkan, dalam satu tahunnya rata-rata hanya tersedia 4.500 donor untuk 14.500 penderita penyakit hati. Yang meninggal saat dalam masa antrian ditaksir sekitar 60 %. Occupational Diseases & Allergy Clinical Immunology Symposium, Jakarta 22-23 Februari 2003 Dunia industri berkembang pesat. Ada sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas dan sebagainya yang dihasilkan untuk kenyamanan dan kemudahan yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Namun disamping itu, banyak jenis bahan tersebut telah menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Hal tersebut dikemukakan Karnen Baratawidjaja, pada acara Kuliah Umum, Seminar Occupational Diseases & Allergy Clinical Immunology yang berlangsung sejak tanggal 22 hingga 23 Februari 2003 di Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003 53

ABSTRAK INTERVENSI DINI UNTUK INFARK MIOKARD Apakah intervensi dini untuk pasien non ST elevation coronary syndrome bermanfaat ? Sejumlah 1810 pasien (rata-rata 62 tahun, 38% wanita) dibagi dua kelompok : 895 pasien menjalani angiografi koroner dini – revaskularisasi dalam 72 jam, di sampign mendapatkan terapi anti anginal dan antiplatelet, sedangkan 915 lainnya hanya emndapat terapi obat. Setelah 4 bulan 86 (9,6%) pasien revaskularisasi meninggal dunia atau terkena infark miokard atau angina refrakter, dibandingkan dengan 133 (14,5%) di kalangan konservatif (hanya terapi obat) – RR 0,66 95%CI 0,510,85 ; p=0,001. Perbedaan terutama pada angina refrakter yang dua kali lipat lebih sering terjadi di kalangan konservasif, sedangkan kejadian infark miokard dan kematian tidak berbeda bermakna setelah 1 tahun (68-7,6% vs. 76-8,3%; RR: 0,91, 95%CI: 0,67-1,75, p=0,58). Gejala angina dan penggunaan obat anti angina menurun drastis di kelompok intervensi (p≤0.0001). Para peneliti menganggap bahwa di kalangan unstable coronary artery disease, tindakan intervensi lebih baik, terutama karena menurunkan angka kejadian angina berat/rafrakter hingga separuhnya tanpa peningkatan risiko infark miokard dan kematian. Lancet 2002; 360: 743-51

Brw KANKER DAN DIET Faktor diet dapat berperan dalam kira-kira 30% kejadian kanker di negara maju; obesitas meningkatkan risiko kanker esofagus, kolo-rektum, payudara, endometrium dan ginjal. Alkohol dapat menyebabkan kanker rongga mulut, farings, larings, esofagus, hepar dan sedikit meningkatkan risiko kanker payudara.

Asupan yang cukup dari buah dan sayur mungkin dapat menurunkan risiko beberapa jenis kanker terutama kanker saluran cerna; pengaruh daging, serat dan vitamin masih belum jelas. Anjuran yang dapat diberikan saat ini ialah diet yang bervariasi termasuk banyak buah, sayur dan biji-bijian (cereal), mempertahankan berat badan ideal melalui aktivitas fisik teratur dan membatasi alkohol. Lancet 2003; 360: 861-8

Brw TAMOXIFEN MENCEGAH KANKER PAYUDARA Kanker payudara mungkin bisa dicegah dengan tamoxifen – kesan ini didapat dari hasil penelitian butaganda, acak, plasebo atas 7152 wanita 35-70 tahun yang berisiko tinggi, dengan dosis tamoxifen 20 mg/hari selama 5 tahun. Setelah follow up selama rata-rata (median) 50 bulan, 69 kasus kanker payudara dideteksi di kalangan 3578 wanita yang mendapat tamoxifen dan pada 101 wanita di kalangan antara 3566 wanita yang menerima plasebo (RR 32%, 95%CI: 8-50, p=0,013); reduksi ini tidak dipengaruhi oleh usia, derajat risiko dan penggunaan terapi sulih hormon (HRT). Kejadian kanker endometrium meningkat tidak bermakna (11 vs. 5, p=0,2), kejadian tromboemboli meningkat di kalangan tamoxifen (43 vs. 17; odds ratio 2,5 (1,5-4,4), p=0,001)), terutama setelah pembedahan. Didapatkan angka kematian akibat semua sebab meningkat di kalangan tamoxifen (25 vs. 11, p=0,028). Meskipun tamoxifen dapat mengurangi risiko kanker payudara dengan sepertiganya, penggunaannya dikontraindikasikan pada wanita yang berisiko tinggi terhadap penyakit tromboemboli; dan meskipun kematian akibat kanker lain tidak meningkat, anjuran penggunaannya dalam klinik

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

masih membutuhkan pengamatan lebih lanjut. Dalam editorial yang menyertai artikel ini, dikemukakan perlunya penajaman tujuan penelitian ke arah penurunan kematian akibat kanker, obat yang lebih aman dan kelompok populasi yang paling diuntungkan dari penggunaan obat ini. Lancet 2003; 360: 817-24, 813-4

Brw PENGARUH KEMATIAN ANAK PADA ORANGTUANYA Kematian anak dapat diduga menyebabkan efek merugikan di kalangan orangtuanya. Suatu studi berdasarkan catatan medik nasional di Denmark meneliti/ membandingkan kelompok 21 602 orangtua yang kematian anaknya dengan 293 745 kelompok orangtua sebagai kontrol, sampai 18 tahun setelah kematian anak. Ternyata di kalangan ibu yang kematian anaknya, secara keseluruhan mortalitasnya meningkat (hazard ratio 1,43; 95%CI: 1,24-1,64; p≤0,0001); peningkatan mortalitas akibat sebab alami (natural causes) meningkat hanya pada periode tahun ke 10 – 18 (1,44; 1,15 – 1,78; p≤0,0001). Mortalitas karena sebab-sebab lain (unnatural causes) meningkat selama periode follow up, terutama dalam 3 tahun pertama (3,84; 2,48-5,88; p≤0,0001); sedangkan di kalangan ibu yang anaknya meninggal akibat sebabsebab tidak umum (unnatural causes), hazard rationya 1,72 (1,38-2,15; p=0040) sedangkan jika kematiannya tidak terduga (unexpected), hazard rationya 1,67 (1,37-2,03; p=0037). Di kalangan ayah peningkatan hanya terjadi pada kelompok kematian tidak umum (unnatural) (hazard ratio 1,57; 1,06-2,32; p=0,04). Lancet 2002; 361: 363-67

Brw

ABSTRAK KELAINAN OTAK PADA SKIZOFRENIA Sekelompok peneliti di Australia membandingkan gambaran MRI orangorang yang dalam perjalanan kliniknya mengidap skizofrenia. Pada perbandingan cross sectional, 75 orang dewasa dengan gejala prodroma psikosis menjalani MRI, dan setelah sedikitnya 12 bulan, 23 (31%) berkembang menjadi psikosis; ternyata yang kemudian berkembang menjadi psikosis mempunyai lebih sedikit substansia grisea di korteks temporomedial, temporo-lateral dan frontal inferior kanan, dan korteks singuli bilateral. Selanjutnya pada studi longitudinal di kalangan yang menjadi psikotik, terlihat pengurangan substansia grisea di korteks parahippocampus kiri, fusiform dan orbitofrontal dan serebelum; sedangkan di kalangan yang tidak menjadi psikosis perubahan hanya terjadi di serebelum. Lancet 2003; 361: 281-88

Brw SINGLE PARENT DAN RISIKO GANGGUAN PSIKIATRIK Anak-anak berorangtua tunggal (single parent) lebih berisiko mengidap berbagai gangguan psikiatrik. Suatu studi population-based di Swedia membandingkan 65 085 anak dengan single parent dengan 921 257 anak dengan dua orangtuanya sepanjang tahun 1991 – 1998. Ternyata anak dengan orangtua tunggal lebih berisiko mengidap gangguan psikiatrik (wanita: RR 2,1; 95%CI: 1,9-2,3 ; pria 2,5 (2,32,8), percobaan bunuh diri – wanita 2,0 (1,9-2,2), pria 2,3 (2,1-2,6); penyakit berkaitan dengan alkohol – wanita 2,4 (2,2-2,7), pria 2,2 (2,0-2,4) dan penyakit yang berhubungan dengan narkotik – wanita 3,2 (2,7-3,7) dan pria 4,0 (3,5-4,5).

TAMOXIFEN VS. RALOXIFEN Tamoxifen dan raloxifen telah diuji sebagai profilaktik kanker payudara. Rangkuman dari 5 studi pencegahan di atas menunjukkan bahwa tamoxifen menghasilkan 38% reduksi (95%CI: 28-46; p≤0.0001) kejadian kanker payudara; reduksi ini hanya terjadi pada kanker payudara yang estrogen receptor positive (ER-positive) – sebesar 48% (36-58; p≤0.0001), sedangkan di kalangan kanker yang ER-negative, hazard rationya 1,22 (0,89 – 1,67; p=0,21). Keadaan ini tidak tergantung usia. Kejadian kanker endometrium meningkat di semua studi tamoxifen untuk pencegahan – RR 2,4 (1,5-4,0), p=0,0005, dan juga di studi ajuvan – RR 3,4 (1,8-6,4); p=0,0002) sedangkan raloxifen tidak meningkatkan risiko. Kejadian tromboemboli vena meningkat di semua studi tamoxifen – RR 1,9 (1,4-2,6), p≤0.0001. Tidak ditemukan efek samping lain, tetapi terdapat peningkatan mortalitas akibat emboli paru (6 vs. 2). Lancet 2003; 361: 296-300

Brw RISIKO KANKER SETELAH IVF Di Belanda setiap tahun sekitar 3000 wanita menjalani IVF (in vitro fertilization) dan selama ini tidak ditemukan risiko kanker di kalangan bayinya. Antara November 2000 – Pebruari 2002 telah ditemukan 5 kasus retinoblastoma di kalangan bayi hasil IVF, sedangkan asumsi normal kejadian kanker tersebut ialah 1.0 – 1.5%. Kejadian ini menghasilkan peningkatan risiko (RR) menjadi 7,2 (95%CI: 2,4-17.0) untuk angka kejadian 1% dan menjadi 4,9 (1,6-11,3) untuk angka kejadian 1,5%. Keadaan ini perlu diteliti lebih lanjut, terutama dengan studi population-based.

Lancet 2003; 361: 289-95

Lancet 2002; 361: 309-10

Brw

Brw

ASAM FOLAT DAN KELAINAN JANIN Suplementasi asam folat dianjurkan di kalangan wanita hamil untuk mencegah neural tube defect. Suatu studi di Cina betujuan untuk mengetahui apakah suplementasi tersebut meningkatkan kehamilan multipel. Sejumlah 242 015 wanita yang mengikuti kampanye suplementasi asam folat (400 mg/hari) antara Oktober 1993 sd. September 1995 dicatat persalinannya; dan tercatat 1496 (0,62%) kehamilan multipel. Ternyata angka kelahiran multipel di kalangan yang mendapat asam folat 0,59% dibandingkan dengan kelompok kontrol sebesar 0,65% (RR-0,91; 95%CI: 0,82-1,00). Suplementasi asam folat tidak meningkatkan kejadian kehamilan multipel. Lancet 2003; 361: 380-84

Brw PETANDA UNTUK EKLAMPSIA Preeklampsia merupakan penyakit kehamilan yang dihuhungkan dengan buruknya invasi sitotrofoblas extravili dan apoptosis trofoblas yang berlebihan; sedangkan HB-EGF (heparinbinding epidermal-growth-factor-like growth factor) diketahui mempunyai aktivitas sitoprotektif yang kuat dan merupakan protein yang pentingn untuk mengatur invasi trofoblas selama fase awal pembentukan plasenta. Dari penelitian atas jaringan plasenta diketahui bahwa HB-EGF mRNA dan protein ekspresinya manurun hingga 5 kali lebih rendah (p=0.0001) di kalangan kehamilan preeklampsia; sedangkan tingkat ekspresi HB-EGF mRNA menengah (intermediate) diasosiasikan dengan gangguan pertumbuhan janin yang dikaitkan dengan invasi trofoblas yang dangkal dan apoptosis tingkat moderat. Lancet 2002; 306: 1215-19

Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

55

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1.

2.

3.

4.

Preeklamsi sebenarnya sudah terjadi sejak kehamilan berusia : a) 6 – 8 minggu b) 8 – 12 minggu c) 18 – 24 minggu d) 24 – 32 minggu e) 32 – 36 minggu Hipertensi pada kehamilan didiagnosis jika : a) Sistolik ≥ 120 mgHg dan diatolik ≥ 80 mmHg b) Sistolik ≥ 120 mgHg dan diatolik ≥ 90 mmHg c) Sistolik ≥ 140 mgHg dan diatolik ≥ 90 mmHg d) Sistolik ≥ 160 mgHg dan diatolik ≥ 90 mmHg e) Sistolik ≥ 160 mgHg dan diatolik ≥ 95 mmHg Kenaikan berat badan yang dapat mengindikasikan hipertensi pada kehamilan ialah jika lebih dari : a) ½ kg/minggu b) 1 kg/minggu c) 1 kg/bulan d) 2 kg/bulan e) Disertai edema Balon Mitral Malvektomi dikerjakan jika area katup mitral lebih kecil dari : a) 2 cm b) 1½ cm c) 1 cm d) ½ cm e) 0,2 cm

5.

6.

7.

8.

Obat anti kejang yang digunakan pada eklamsi : a) MgSO4 b) Diazepam c) Fenobarbital d) a + b e) Semua bisa benar Solutio plasenta dapat menyebabkan komplikasi : a) Diatesa hemoragik b) Syok c) Kematian janin d) a + b e) a + b + c Diabetes dalam kehamilan didiagnosis jika kadar gula darah sewaktu lebih dari : a) 80 mg% b) 120 mg% c) 140 mg% d) 200 mg% e) 240 mg% Trichomonas vaginalis disebabkan oleh organisme jenis : a) Kokus b) Basil c) Spirochaeta d) Protozoa e) Virus

JAWABAN RPPIK : 1. 5.

B D

2. 6.

C D

Batter the gates of heaven with storms of prayer (Tennyson)

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003

3. 7.

B D

4. 8.

B D

Related Documents

Cdk 014 Penyakit Gondok
November 2019 20
Cdk 078 Penyakit Sendi
November 2019 24
Cdk 045 Penyakit Menular
November 2019 32
Cdk 013 Penyakit Mata
November 2019 22
Cdk 110 Penyakit Hati
November 2019 26