Cdk 098 Adis Dan Kulit

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 098 Adis Dan Kulit as PDF for free.

More details

  • Words: 32,995
  • Pages: 66
Cermin Dunia Kedokteran 1995

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

98. ADIS dan Kulit Januari 1995

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary 4. 13.18. 24. 28. 31. 34. 37. 40. 44. 47. 50. 53.

56. 59. 61. 62. 63.

Berbagai Aspek Klinis AIDS dan Penatalaksanaannya – SC Kurniati Perilaku Seksual Waria dan Hubungannya dengan HIV/AIDS di Jakarta, 1991–1992 – Imran Lubis Infeksi Nonmikrobial pada Vulva – S. Fasihah R., Kusmarinah Bramono, A. Kosasih Infeksi Bakteri Anaerob pada Alat Genital – Djunaedi Hidajat, Jubianto Judanarso, Sjaiful Fahmi Daili Staphylococcus Scalded Skin Syndrome pada Bayi – laporan kasus – Harijono Kariosentono, Indah Yulianto, M. Goedadi Hadilukito Penatalaksanaan Lepra – Dwi Djuwantoro Gambaran Diagnosis Dermatitis Atopik dengan Kriteria HanifinRajka – Goedadi Hadiloekito, Indah Julianto, A. Julianto Danukusumo Tes Uji Tempel pada Penderita Dermatitis Atopik – Goedadi Hadiloekito, Suwito PS, A. Julianto Danukusumo Dermatomikosis di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Semper, Jakarta – Kusnindar, Nunik Siti Aminah Alkali Bebas pada Berbagai Produk Sabun Mandi –Akmal, Yovita Lisawati Zat Pemutiara dalam Sediaan Kosmetika – Daroham Mutiatikum Penelitian Tokisisitas Akut dan Subkronik Daun Jati Belanda pada Hewan Percobaan – Adjirni, B. Wahjoedi, Budi Nuratmi Survai Cakupan Imunisasi Toksoid Tetanus dap Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil di Daerah Kumuh di Jakarta – Muljati Prijanto, Zell Rosenberg, Rini Pangastuti, Eko Suprijanto, Lukman, R. Pangerti Yekti Perbedaan Efek Sinar X dengan Efek Sinar Gamma pada Mencit Dewasa strain Quacker-Bush – Suhardjo, M. Darussalam Efek Biologi Radiasi Pengion Dosis Rendah – Susetyo Trijoko Pengalaman Praktek/Humor Abstrak 64. RPPIK RPPIK

Cermin Dunia Kedokteran kali ini muncul dengan berbagai artikel yang berkaitan dengan infeksi alat genital; masalah AIDS juga dibicarakan karena akan menjadi masalah yang makin penting di kemudian hari. Kelainan-kelainan kulit yang dibahas meliputi dermatitis atopik, dermatomikosis dan lepra; dan bagi yang belum mengetahui, daun jati belanda yang diselidiki toksisitas akut dan subkronisnya ternyata dapat digunakan sebagai pelangsing tubuh. Dua artikel mengenai kosmetik juga akan melengkapi edisi ini. Artikel lain ialah mengenai imunisasi ibu hamil dan mengenai radiasi. Selamat membaca, Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

Cermin Dunia Kedokteran 1995

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar

TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran Gedung Enseval Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PELAKSANA Sriwidodo WS

PENCETAK PT Temprint

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

– Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

REDAKSI KEHORMATAN

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English Summary DIAGNOSIS OF ATOPIC DERMATITIS ACCORDING TO HANIFINRAJKA CRITERIA Goedadi Hadiloekito, Indah Julianto, Ach. Julianto Danukusumo Dept. of Dermatovenereology, Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret, surakarta, Indonesia

One hundred and two patients with atopic dermatitis were enrolled In a descriptive study to obtain the percentage of each clinical feature using the criteria of Hanifin-Rajka as a diagnostic guidelines. Diagnosis of atopic dermatitis would require the presence of at least 3 or more basic features and 3 or more minor features. We found pruritus in 102 (100%). specific distribution of the lesion in 99 (97%), chronically relapsing course in 92 (90%) and atopic history in 72 (70%) patients, as the basic features, respectively. None of the patients showed any signs of minor features: subcapsular cataract, keratoconus or perifollicular accentuation. In conclusion, there is no difference between the percentage of basic features in this study with the study of Hanifin and Rajka. And the criteria of Hanifin-Rajka was very helpful in making the diagnosis of atopic dermatitis or in rejecting the diagnosis in ambiguous cutaneous Inflammatory disease. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 98:34-6 Gh/1j, Ajd

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

PATCH TEST ON PATIENTS WITH ATOPIC DERMATITIS Goedadi Hadiloekito, Suwito PS, Ach. Julianto Danukusumo Dept. of Dermatovenereology, Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

A standard patch test set of 23 allergens (ICDRG-Trolab Hermal) was tested on 90 patients with atopic dermatitis in a single, open, non comparative study. The patients were selected by using the Hanifin-Rajka clinical features criteria as diagnostic guide lines. Assessment was done after 72 hours after the application of the allergens. Forty one (45,5%) patients, consisting of 19 males (46.3%) and 22 females (53,6%) have positive reactions. The major causative allergens that give positive reactions were Nickel sulphate (31,7%), paraben mix (26,8%) and paraphenylene diamine (24,3%). respectively. Although it was stated that delayed type hypersensitivity decreased in atopy, the conclusion of this study is that contact alergic reaction is not uncommon in atopic patients. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 98:37–9 Gh/Sps/Ajd

Artikel Berbagai Aspek Klinis AIDS dan Penatalaksanaannya Dr. S.C. Kurniati Kepala UPF Kulit-Kelamin Rumah Sakit Umum Tangerang, Jawa Barat

PENDAHULUAN Acquired Immunodeficiency Syndrome yang lebih dikenal dengan singkatannya : AIDS, adalah sindrom (kumpulan gejala) yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat. Keadaan ini bukan suatu penyakit, melainkan kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai macam mikroorganisme serta timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan/kekebalan tubuh penderita(1). Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dkk. di Los Angeles pada tahun 1981. Diduga Afrika merupakan daerah asalnya, sedangkan kasus-kasus pertama telah ada sekitar tahun 1977–1978 di Amerika Serikat, Haiti dan Afrika. EPIDEMIOLOGI Pandemi AIDS telah menyebar paling sedikit di 166 negara di dunia. Jumlah kasusnyapun meningkat lebih dari 100 kali lipat dibandingkan sejak saat ditemukan. Pada awal tahun 1992 minimal terdapat 12,9 juta orang di dunia yang tertular virus penyebabnya yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan pada awal tahun 1993 berjumlah 14 juta orang. Satu juta di antaranya usia anak-anak; sebanyak 2,5 juta kasus telah meninggal, dan 8 juta kasus AIDS tersebar di Afrika Tengah dan Selatan. Penyebaran sangat cepat terjadi di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, terutama di India, Myanmar dan Thailand. Saat ini 30% kasus HIV positif berada di Thailand dengan jumlah 450.000 orang, dan penderita AIDS berjumlah. 946.000 orang (17% penduduk). Penambahan kasus baru di negara ini diperkirakan 1200 orang setiap hari. Tanpa penanganan yang serius, pada tahun 2000 nanti pengidap HIV-positif di dunia akan berjumlah 30–40 juta orang, Disajikan pada Simposium "Kelainan Kulit karena Infeksi Virus dan AIDS", Sabtu, 25 September 1993 di Tangerang.

dengan proporsi 42% di negara-negara Asia. Di Amerika Serikat AIDS telah mengenai setiap lapisan sosioekonōmi dan menjadi pembunuh nomor 3 terbanyak pada penduduk kelompok usia 15–44 tahun. Di Cina, Pakistan dan Indonesia AIDS telah menjadi ancaman epidemik nasional. Insidens HIV positif dijumpai, tinggi pada penderita penyakit menular seksual dan profesi penghibur. Penderita AIDS di Indonesia pertamakali ditemukan pada tahun 1987, yaitu seorang wisatawan Belanda yang berkunjung dan meninggal di Bali. Sampai saat ini telah terdaftar 20.000 kasus HIV positif dan sekitar 30 penderita AIDS yang 27 di antaranya telah meninggal. Perkiraaan seropositif pada tahun 1995 akan mencapai 500.000 orang(2,3,4). Kelompok studi khusus (Pokdisus) RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta telah menangani 28 penderita AIDS yang pada umumnya datang dalam keadaan terlambat. Umur rata-rata penderita 33 tahun, yang termuda 20 tahun dan yang tertua 56 tahuno). ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Virus penyebab sindrom AIDS termasuk golongan retrovirus dengan genetik RNA, yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) tipe 1 dan tipe 2 (HIV1 dan HIV2). HIV1 telah meluas ke seluruh dunia, sedangkan HIV2 terutama di jumpai di Afrika Barat (6,7) . HIV adalah partikel ikosahedral bertutup (envelope) dengan ukuran .100–140 nanometer, berisi sebuah inti padat elektron. Envelope terdiri atas membran luar yang berasal dari sel host yang terbentuk ketika virus bersemi pada sel-sel yang terinfeksi. Penonjolan membran adalah jonjot-jonjot glikoprotein (gp 120) yang dilekatkan ke partikel virus oleh glikoprotein transmembran (gp41). Protein (p18) menutupi seluruh permukaan internal

Tabel I. Cumulative number of adult HIV infectious and AIDS-1992 and 1995(2) HIV Infections

Geographic Areas of Affinity 1 North America 2 Western Europe 3 Australia/Oceania 4 Latin America 5 Sub-Saharan Africa 6 Caribbean 7 Eastern Europe 8. Southeast Mediterranean 9 North East Asia 10 Southeast Asia Total

All Adults 1992 Estimate

Women 1992 Estimate

AIDS

All Adults 1995 Projection

Adults 1992 Estimate

Adults 1995 Projection

1 167 000 718 000 28 000 995 000 7 803 000 310 000 27 000 35 000 41 000 675 000*

128 500 1 495 000 122 000 1 186 000 3500 40 000 199 000 1 407 000 3 901 500 11 449 000 124 000 474 000 2500 44 000 6000 59 000 7000 80 000 223 000 l 220 000

257 500 99 000 4500 173 000 1 367 000 43 000 2500 3500 3500 65 000

534 000 279 500 11 500 417 500 3 277 500 121 000 9500 12 500 14 500 240 500

11 799 000

4 717 000 17 454 000

2 018 500

4 918 000

* Minimum estimate. Source: AIDS in the World 1992. Tabel 2. Cumulative number of Pediatric HIV infections and AIDS resulting from mother to fetus/infant transmission 1992 and 1995(2) Pediatric HIV Geographic Areas of Affinity 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

North America Western Europe Australia/Oceania Latin America Sub-Saharan Africa Caribbean Eastern Europe Southeast Mediterranean North East Asia Southeast Asia Total

Pediatrics AIDS

1992 1995 1992 1995 Estimate Projection Estimate Projection 16 000 8000 500 40 500 969 500 16 000 200 1000 750 24 000

29 000 19 500 1000 84 000 2 030 500 37 500 500 3000 2000 72 500

9000 4000 200 21 500 520 500 8000 100 400 300 9500

21 000 12 000 500 56 000 1 338 500 23 500 300 1500 1100 40 500

1 076 450 2 279 500

573 500

1494 900

membran. Protein inti (p 24) mengelilingi dua turunan rantai tunggal genome RNA dan beberapa turunan enzim reverse transcriptase(9). HIV menyerang tubuh dan menghindari mekanisme pertahanan tubuh dengan mengadakan aksi perlawanan, kemudian melumpuhkannya. Mula-mula virus masuk tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada dalam limfosit, virus lalu dikenal oleh sel-sel limfosit T jenis T-helper (T-4); selanjutnya terjadi 3 proses patologi : 1) Sel T-helper menempel pada benda asing (HIV), tetapi reseptor T-helper (CD4) dilumpuhkan, sehingga sebelum sel T4 dapat mengenal HIV dengan baik, virus telah melumpuhkannya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang memberi nama penyakit menjadi AIDS, atau "sindrom kegagalan kekebalan yang didapat". 2) Virus (HIV) membuat antigen proviral DNA yang diintegrasikan dengan DNA T-helper lalu ikut berkembang biak. '3) Virus (HIV) mengubah fungsi reseptor (CD4) di permukaan sel T4 sehingga reseptor menempel dan melebur ke sembarang tempat/sel yang lain, sekaligus memindahkan HIV. Akibatnya infeksi virus berlangsung terus tanpa diketahui tubuh.

Gambar 1. Human Immunodeficiency Virus(9)

Pada suatu saat (6 bulan – 5 tahun kemudian), HIV akan diaktifkan oleh proses infeksi lain, membentuk RNA dan keluar dari T4, menyerang sel lain, menimbulkan gejala AIDS. Populasi sel T4 sudah lumpuh, tidak ada mekanisme pembentukan sel Tkiller, sel B dan sel fagosit lain, sehingga tubuh tidak sanggup mempertahankan diri. Virus AIDS yang berada di dalam T4, bermultiplikasi dengan cara menumpang proses perkembangan T4. T-helper generasi baru tidak dapat mengenalnya sehingga tidak ada yang memberi komando kepada sel lain untuk mengadakan perlawanan (host defense mechanism) terhadap virus AIDS(7,9). Virus HIV berada dalam kadar mampu menginfeksi di dalam darah dan sekret genital, baik secara intrasel maupun ekstraselulero'). Penularan secara pasti diketahui melalui caracara : 1) Hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan heteroseksual) yang tidak aman, yaitu berganti-ganti pasangan, seperti

pada promiskuitas(1). Penyebaran secara ini merupakan penyebab 90% infeksi baru di seluruh dunia. Penderita penyakit menular seksual terutama ulkus genital, menularkan HIV 30 kali lebih mudah dibandingkan orang yang tidak menderitanya(11). 2) Parenteral, yaitu melalui suntikan yang tidak steril. Misalnya pada pengguna narkotik suntik, pelayanan kesehatan yang tidak meinperhatikan sterilitas, mempergunakan produk darah yang tidak bebas HIV, serta petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS secara kurang hati-hati(1,10). 3) Perinatal, yaitu dari ibu yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya. Transmisi HIV-I dari ibu ke janin dapat mencapai 30%, sedangkan HIV-2 hanya 10%(8). Janin perempuan lebih mudah terkena infeksi dibandingkan janin laki-laki(12). Penularan secara ini biasanya terjadi pada akhir kehamilan atau saat persalinan(13). Bila antigen p24 ibu jumlahnya banyak, dan/ atau jumlah reseptor CD4 kurang dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi. Ternyata HIV masih mungkin ditularkan melalui air susu ibu(13). Bila seseorang terpajan dengan HIV, maka beberapa hal yang dapat terjadi adalah sebagai berikut(14) : 1) Pajanan tanpā infeksi. Pada seseorang yang terkontaminasi (produk) darah, HIV dapat dijumpai di dalam darahnya tanpa gejala klinis. Mungkin dosis infektifnya perlu 1000 kali lipat lebih banyak, dan perlu penurunan sistem imunitas seluler. 2) Infeksi tanpa pengurangan CD4. Hampir semua penderita yang terinfeksi HIV akan menderita pengurangan CD4, tetapi sekitar 15% akan menetap lebih dari 200/ml. Respons humoral dan selular orang tersebut lebih kuat dibandingkan penderita seropositif biasa. 3) Penurunan nilai CD4 tanpa full-blown AIDS, yang berarti jumlah dan fungsi CD4 tetap optimal. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbeda-beda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS) beberapa tahun kemudian. Pada umumnya gambaran klinis akan tampak sesuai tahap-tahap sebagai berikut(10). Infeksi HIV primer Sebagian besar orang yang terkena infeksi HIV tidak menampakkan gejala klinis (asimtomatik). Dalam perkembangannya, 30% di antaranya akan menjadi AIDS` dan 40% lainnya berkembang menjadi AIDS-related complex (ARC). Sekitar 20% yang terinfeksi lainnya akan mengalami gejala infeksi primer, yaitu setelah melalui masa inkubasi selama 3–6 minggu. Timbul gejala akut yang menyerupai influensa, mononukleosis atau meningitis aseptik. Tanda-tanda berupa demam, rigor, kelemahan, kelelahan, nyeri tenggorokan dan otot serta persedian, nafsu makan berkurang, sakit kepala, kaku leher, fotofobia, mual, diare dan nyeri abdomen. Kelainan kulit tampak seperti gambar infeksi virus akut berupa urtikaria akut, eksantem-infeksiosa atau enantem. Eksantem timbul di palmar, plantar atau batang tubuh. Lesi individual dapat keratotik atau hemor

agik. Di rongga mulut dapat terjadi erosi, ulkus palatum dan esofagus, glossitis, kandidosis orofarings, juga erosi genital(10,15). Kadang-kadang terjadi sindrom hipereosinofilik dengan gejala lesi-lesi papular, papulovesikular atau pustul yang gatal(16). Perjalanan penyakit setelah infeksi HIV primer Penderita infeksi HIV primer simtomatik yang berlanjut sampai 14 hari atau lebih, prognosisnya akan lebih buruk dibandingkan infeksi asimtomatik atau infeksi primer ringan. Kemungkinan berkembang menjadi AIDS dalam 3 tahun sebesar 78%, sedangkan yang asimtomatik atau dengan gejala ringan kemungkinannya sebesar 10%. Setelah infeksi primer berlangsung, keadaan akan menjadi lanjut. Beberapa kasus berkembang menjadi persistent generalized lymphadenopathy (PGL) disertai gejala-gejala konstitusional. Keadaan PGL ditandai dengan pembesaran limpa, pembesaran kelenjar-kelerijar getah bening secara menyeluruh, infeksi-infeksi bakteri, jamur dan virus yang terutama mengenai kulit, kuku, saluran cerna dan perianal, dan sering terjadi kerusakan susunan saraf pusat. Sejumlah 4–5% penderita PGL dapat berlanjut menjadi asimtomatik. Sebagian besar lainnya berkembang menjadi AIDS-related complex (ARC) atau ke arah fullblown AIDS. Untuk menjadi AIDS, perkembangan infeksi HIV melalui hubungan seksual lebih cepat terjadi dibandingkan yang ditularkan melalui transfusi darah. AIDS-related complex (ARC) Kriteria diagnosis ARC ditandai dengan terdapatnya dua atau lebin gejala/tanda konstitusional yang menetap sekurangkurangnya 3 bulan, dan basil laboratorium abnormal minimal 2 macam, tanpa disertai gejala infeksi oportunistik. Tanda-tanda tersebut meliputi : • Suhu badan meningkat 38°C atau lebih, yang berlangsung secara kontinu atau intermitten • Penurunan berat badan 10% atau lebih • Kelelahan sampai membatasi aktivitas fisik • Banyak keringat pada malam hari. Full-blown AIDS AIDS yang berkembang sempurna ditandai dengan gejala AIDS-related complex, infeksi oportunistik, sarkoma Kaposi, limfoma sel B, ensefalopati yang resisten terhadap terapi, lebih memperberat penyakit penderita. Dapat timbul pula kelainankelainan kulit dengan gambaran seperti infeksi HIV primer. Pada saat bersamaan, banyak pula orang yang mengalami keadaan PGL progresif, ARC dan/atau AIDS(10,17,18). Manifestasi kulit infeksi Human Immunodeficiency Virus 1) Neoplasma Sarkoma Kaposi Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS. Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak

seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita AIDS. 2) Infeksi virus sebagai komplikasi infeksi HIV Virus herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2, serta Cytomegalovirus merupakan infeksi yang tersering menumpangi imunodefisiensi yang disebabkan HIV. Virus lainnya adalah Varicellazoster virus, Epstein-Barr virus, Human papilloma virus, morbilli oleh karena vaksinasi. 3) Infeksi Bakteri Infeksi bakteri yang sering dijumpai berasal dari Stafilokokus aureus, angiomatosis basiler, mikobakteriosis serta sifilis. 4) Infeksi Jamur Candidiasis (Kandidosis) orofaring yang disebabkan oleh Candida albicans, adalah infeksi jamur yang tersering menumpangi infeksi HIV, yaitu sekitar 90%. Jamur lainnya berupa Pityrosporum, Dermatophytosis, Mikosis superfisialis lain (Trichosporosis, dan lain-lain), serta mikosis profunda terutama Cryptococcosis disseminata. 5) Infeksi Arthopoda Skabies yang berbentuk Norwegian scabies serta Demodicodosis, merupakan infestasi yang sering dijumpai pada penderita infeksi HIV. 6) Infeksi Protozoa Pneumonia Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS. Penyebabnya adalah Pneumocystis carinii, suatu mikroorganisme yang hidup di sekitar kita. Di ekstrapulmonar dapat timbul di telinga sebagai massa polipoid atau menyebabkan gangren pada kaki. Infeksi protozoa lainnya adalah Leishamaniasis dan Toxoplasmosis pada kulit. 7) Erupsi Papuloskuamosa Penyakit papuloskuamosa yang banyak dijumpai pada penderita infeksi HIV berupa dermatitis seboreik dan psoriasis. 8) Erupsi Papular Keadaan yang sering dijumpai berupa erupsi papular AIDS dan folikulitis eosinofilik. 9) Penyakit Vaskular Purpura trombositopenik, vaskulitis, granulomatosis limfomatoid dan pseudotrombo-flebitis hiperalgesik, cukup banyak dijumpai pada penderita infeksi HIV. 10) Gangguan-gangguan lain Fenomena autoimun yang meningkat, perubahan-perubahan pada rambut dan kuku, kelainan dalam rongga mulut seperti oral hairy leukoplakia, peningkatan frekuensi reaksi alergi obat serta beberapa penyakit kulit lainnya lebih mudah terjadi pada penderita dengan infeksi

INFEKSI HIV PADA ANAK Infeksi HIV pada anak kini telah menjadi masalah kesehatan utama di masyarakat oleh karena perkembangannya yang sangat

cepat(18). Sebanyak 75% kasus terinfeksi secara transmisi perinatal dari virus ibu yang seropositif. Sebagian besar penderita mempunyai ibu pecandu narkotik atau ayah yang biseksual. Penularan lainnya dapat melalui transfusi darah/produk darah, atau karena sexual-abuse(10). Kasus-kasusnya sering terlambat dideteksi oleh karena gambarannya yang tidak khas. Setelah terkena infeksi perinatal, masa hidup terpanjang anak tersebut hanyalah 12 tahun(19). Pada awal penyakit, yang terkena serangan adalah sel limfosit B, berarti berlawanan dengan infeksi pada orang dewasa. Klasifikasi infeksi HIV pada anak (usia di bawah 13 tahun) adalah sebagai berikut. Klas Po : Infeksi indeterminate Klas P1 : Infeksi asimtomatik Subklas A : Fungsi imunologik normal Subklas B : Fungsi imunologik abnormal Subklas C : Fungsi imunologik tidak teruji Klas P2 : Infeksi simtomatik Subklas A : Penemuan non spesifik Subklas B : Penyakit neurologik progresif Subklas C : Pneumonitis interstitalis limfoid Subklas D : Penyakit-penyakit infeksi sekunder Kategori D1: Infeksi sekunder spesifik sesuai definisi AIDS menurut CDC Kategori D2 : Infeksi bakteri rekurens Kategori D3 : Infeksi sekunder lainnya Subklas E : Keganasan sekunder Kategori El : Keganasan sekunder spesifik sesuai definisi AIDS Kategori E2 : Keganasan lain yang mungkin disebabkan infeksi HIV Subklas F : Penyakit lain yang mungkin disebabkan oleh infeksi HIV. Pada usia anak, infeksi bakteri seperti impetigo dan selulitis merupakan infeksi yang paling awal dijumpai. Pneumonia pneumocystis carinii dan sarkoma Kaposi yang merupakan infeksi oportunistik khas pada dewasa, jarang dijumpai pada anak. Infeksi lainnya yang juga berat dengan rekurensi tinggi berupa kandidosis mukosa dan kulit, serta herpetic gingivostomatitis. Penyakit non infeksi yang tersering berupa dermatitis seboreik dan atopik, hypersensitivity vasculitis, defisiensi gizi serta erupsi obat Disfungsi neurologik progresif, kelainan hematologik serta keganasan sekunder juga banyak terdapat pada anak dengan infeksi HIV(10,19,20). GAMBARAN LABORATORIUM Pemeriksaan laboratorium penderita infeksi HIV akut, biasanya akan menjumpai beberapa kelainan sebagai berikut : • Leukopenia, peningkatan laju endap darah, • Lymphocytic cerebrospinal fluid pleocytosis. • p24 antigenemia, • Terdapat HIV pada kultur darah dan cairan serebrospinal. Pada stadium ARC, beberapa nilai laboratorium abnormal yang dapat dijumpai adalah : • Leukopenia, limfopenia, trombositopenia dan anemia,

• • • •

Penurunan rasio sel Th (T4) : Ts (T8) yaitu > 2 SD, Penurunan jumlah sel T-helper (> 2 SD). Blastogenesis berkurang, Jumlah gamma globulin meningkat. Hasil test antibodi yang positif menunjukkan bahwa pernah ada pajanan terhadap infeksi, bukan adanya kebebalan terhadap virus(10,17). Perkembangan infeksi HIV pada umumnya ditandai dengan perubahan jumlah limfosit CD4 (reseptor sel T4), sehingga jumlah ini dipakai unluk pengukuran secara tidak Iangsung keadaan imunodefisiensi yang disebabkan oleh HIV. Penghitungannya sebagai berikut(10) : • Kadar normal sel CD4 berkisar 31–61% dari jumlah total limfosit • Kadar normal fraksi sel limfosit CD8 (Ts) antara 18–39% dari jumlah total limfosit • Jumlah sel B berkisar 5–20% dari jumlah total limfosit. Penderita seropositif pada kondisi ARC atau AIDS biasanya mempunyai fraksi CD4 kurang dari 20% jumlah total limfosit. Cara yang lebih pasti adalah dengan biakan HIV. Darah yang dianggap mengandung HIV ditanam pada biakan jaringan B-lymphoid atau T-lymphoid. Hasil positif ditujukan oleh adanya gambaran sel patologik di jaringan(6). Pengukuran kadar antibodi HIV memberi ketepatan dan sensitivitas yang tinggi. Cara-caranya sebagai berikut :

infeksi HIV primer, hams segera dikonfirmasikan dengan test WB ini. Hasil test yang positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi terhadap komponen tertentu virus. Kriteria WHO • Serum dianggap positif antibodi HIV-1 bila 2 envelope pita glikoprotein terlihat pada garis. • Serum yang tidak menunjukkan pita-pita tetapi tidak termasuk 2 envelope pita glikoprotein disebut indeterminate. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum dinyatakan negatif. Bila hanya dijumpai 1 pita saja yaitu p24, dapat diartikan hasilnya : fase positif atau fase dini AIDS atau infeksi HIV-1. Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung beberapa minggu disebut antibody negative window period. Pada awal infeksi, antibodi terhadap glikoprotein envelope termasuk gp41 muncul dan menetap seumur hidup. Sebaliknya antibodi antigen inti (p24) yang muncul pada infeksi awal, jumlahnya menurun pada infeksi lanjut. Pada infeksi HIV yang menetap, titer antigen p24 meningkat, dan ini menunjukkan prognosis yang buruk. Penurunan cepat dan konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang buruk(9).

Gambar 2. Tanda-tanda serologik infeksi HIV dari waktu kewaktu(9)

3) Teknik GACELISA(21) Cara baru ini diperkenalkan untuk pengukuran HIV di saliva dan urin yang dapat dilakukan secara lebih sederhana. Hasil positif dan negatif palsu dapat terjadi pula pada cara ini.

ARC: AIDS related complex

1) Teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) Hasil test ini positif bila antibodi dalam serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin. Pada minggu 2–3 masa sakit telah diperoleh basil positif, yang lama-lama akan menjadi negatif oleh karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam tubuh. Interpretasi : Fase pre AIDS basil masih negatif, fase AIDS basil telah positif. Hasil yang semula positif menjadi negatif, menunjukkan prognosis yang tidak baik. 2) Teknik WESTERN BLOT Test ini merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penderita sebaik-baiknya, meliputi pengobatan adekuat bagi penderita, mencegah lebih memburuknya keadaan penyakit, serta menjaga agar penderita tidak menjadi sumber penularan bagi lingkungannya/masyarakat. Maka tindakan yang dipilih harus termasuk mengindentifikasi programprogram perawatan dan pencegahan yang berhasil guna, mehingkatkan kemampuan dan memperluas penelitian mengenai terapi dan vaksinasi tanpa melakukan berbagai diskriminasi bagi penderita(9,10,22). 1) Melindungi penderita dari infeksi Keadaan infeksi akan merangsang proliferasi sel limfosit T4 yang telah terinfeksi oleh HIV, termasuk virus yang telah menginvasi sel tersebut. Aktivitas sistem kekebalan penderita infeksi HIV ini harus diusahakan tidak meningkat supaya replikasi virus tidak berlangsung cepat. Perlu bimbingan dan informasi guna meningkatkan kualitas kesehatan secara fisik dan psikologik. 2) Pengobatan penderita Proses infeksi HIV berada pada stadium yang berbeda-beda, sehingga pengobatannyapun dapat dibagi tujuannya : • Terhadap virus, guna menghambat proses infeksi dan replikasi HIV. • Memperbaiki sistem imunitas tubuh.

• Pengobatan terhadap keganasan dan infeksi oportunistik. a) Obat-obat anti virus Obat ini ditujukan kepada tahap-tahap infeksi dan replikasi HIV, sehingga harus mempunyai kemampuan menghambat reseptor CD4, menghambat antigen envelope HIV, merubah fluiditas membran plasma sel, menghambat enzim reversetranscriptase, merusak transkripsi proses pasca transkripsi dan translasi virus, merusak tahap akhir pembentukan dan pelepasan virus baru. Sampai saat ini belum ditemukan obat antivirus yang aman dan efektif bagi penderita. Obat antivirus yang ideal oleh karena hams dipakai dalam jangka panjang bahkan seumur hidup, hendaknya memenuhi kriteria: toksisitas rendah, mempunyai spesifisitas tinggi untuk HIV dan sel yang terinfeksi, melindungi sel yang belum terinfeksi, dapat menembus cairan serebrospinal, dapat diabsorpsi pada pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang panjang. Obat-obatan yang banyak digunakan saat ini bersifat menghambat enzim reverse transcriptase. Zidovudine (AZT, Retrovir®, Azidotimidin) saat ini banyak dipakai untuk memperlambat perkembangan ke arah full-blown AIDS. Perkembangan infeksi HIV memang diperlambat, tetapi pemberian kepada penderita yang asimtomatik ternyata tidak lebih bermanfaat. Pemberian lebih awal memperlambat penurunan jumlah CD4, tetapi efek samping berupa toksisitas hematologik juga lebih berat(23,24,25). Pedoman saat dimulainya pemberian zidovudine di Indonesia adalah kepada penderita AIDS, atau penderita asimtomatik dengan kadar CD4 kurang dari 500/dl. Dosis bagi penderita dengan berat badan 40-50 kg adalah 300-400 mg/hari(5). Golongan nukleosid lainnya yang efektif tetapi cepat menimbulkan resistensi adalah zalcitabine (ddC) dan didanosine (ddI) yang keduanya mempunyai efek samping berupa neuropati perifer sensorik. Maka terapi kombinasi antara zidovudine, ddI dan ddC akan mengatasi cepatnya resistensi dan terjadinya efek samping(26,27). Obat non nukleosida yang juga bekerja dengan cara yang sama antara lain nevirapin, suramin, antimoniotungstat, fosfono dan rifabutin(22,28). b) Obat imunomodulator Imunomodulator yang dikombinasikan bersama obat antivirus, diperkirakan memberi basil yang lebih baik, tetapi belum cukup efektif. Obat-obatan yang sedang dalam penelitian efektivitasnya masih diperdebatkan, adalah(6,2,23,29,30,31): • limfokin : interferon gama dan alfa, interleukin-2, tumor necrosis factor serta lymphokine inducers • human granulocyte colony stimulating factor • transplantasi sumsum tulang • imunisasi pasif, misalnya dengan antibodi p24 • imunisasi aktif dengan HIV hidup yang dijinakkan • levamisole, yaitu obat cacing yang mampu merangsang fungsi makrofag dan melepaskan interferon. c) Obat infeksi oportunistik Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah

yang ada di sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita. Pneumonia pneumocystiscarinii saat ini memperoleh obat baru yang efektif dan cukup aman yaitu 566C89(32). Candida oesophagitis lebih responsif terhadap flukonazol dibandingkan dengan ketokonazo1(33) Wernicke;s encephalopathy dapat diatasi dengan pemberian tiamin secara rutin(34). d) Pengobatan keganasan Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan. 3) Perawatan penderita Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena bahan/sampah penderita(22,23). PENCEGAHAN Kegiatan pencegahan bagi kemungkinan penyebar-luasan AIDS dapat dilakukan dengan tujuan(22,36): a) Mencegah tertular virus dari pengidap HIV b) Mencegah agar virus HIV tidak tertularkan kepada orang lain a) Mencegah agar tidak tertular virus HIV Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh virus HIV ini adalah : 1) Berperilaku seksual secara wajar Risiko tinggi penularan secara seksual adalah para pelaku homoseksual, biseksual dan heteroseksual yang promiskuitas. Penggunaan kondom pada hubungan seks merupakan usaha yang berhasil untuk mencegah penularan; sedangkan spermisida atau vaginal sponge tidak menghambat penularan HIV(37). 2) Berperilaku mempergunakan peralatan suntik yang suci hama Penularan melalui peralatan ini banyak terdapat pada golongan muda pengguna narkotik suntik, sehingga rantai penularan harus diwaspadai. Juga penyaringan yang ketat terhadap calon donor darah dapat mengurangi penyebaran HIV melalui transfusi darah(38).

3) Penularan lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal. Seorang wanita hamil yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada janinnya sebesar 50%. b) Mencegah kemungkinan menularkan kepada orang lain Cara ini meliputi bimbingan kepada penderita HIV yang berperilaku seksual tidak aman, supaya menjaga diri agar tidak menjadi sumber penularan. Pengguna narkotik suntik yang seropositif agar tidak memberikan peralatan suntiknya kepada orang lain untuk dipakai; donor darah tidak dilakukan lagi oleh penderita seropositif dan wanita yang seropositif lebih aman bila tidak hamil lagi. KONSELING Konseling adalah proses yang dapat membantu seseorang untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan baik. Cara ini dapat membantu penderita, keluarga, serta orang lain yang berhubungan, untuk mengatur masalah yang ada. Kegiatan konseling biasanya dilakukan oleh seorang psikolog dengan program berbeda-beda tergantung kepada keadaan sebagai berikut : a) Orang yang sehat atau masih sehat, yang berarti belum terinfeksi HIV, tetapi merasa risau oleh karena menyadari bahwa perilakunya di masa lalu menjurus kepada kemungkinan penularan. b) Telah terinfeksi HIV, dengan kemungkinan telah mengetahui bahwa dia seropositif, atau belum mengetahui keadaan seropositif oleh karena belum memeriksakan darahnya. c) Telah menunjukkan gejala sakit AIDS ringan atau berat, seperti ARC atau full-blown AIDS. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Jaffe HW. AIDS : Epidemiologic features. J Am Acad Dermatol 1990; 22: 1167–71. Goldsmith MF. 'Critical moment' at hand in HIV/AIDS pandemic, new global strategy to arrest its spread proposed. JAMA 1992; 268: 445–46. World AIDS Datafile. AIDS in the region: Latest WHO figures. Asian Medical News 1993; 15: 4. Phanuphak P. The current status of AIDS in Asia. JAMA SEA 1992; 8: 7. Samsuridjal dkk. Penatalaksanaan infeksi HIV di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo. Dalam Simposium Penatalaksanaan AIDS di RSCM. Jakarta, FKUI, 17 Pebruari 1993. Weiss R. Biological properties of HIV. MRC News 1990; 48: 18–19. Lubis I. Myrnawati. Virologi, serologi AIDS. Dalam Buku Pedoman penyakit AIDS. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta; 1992: 11–15. Markowitz DM. Infection with the human immunodeficiency virus type 2. Ann Intern Med 1993; 118: 211–18. Maskill WJ, Gust ID. Abnormal laboratory result: HIV–1 testing in Australia. Aust Prescr 1992; 15(1): 11–13. Dover IS, Johnson RA. Cutaneous manifestation of Human Immunodeficiency Virus infection. Part I and II. Arch Dermatol 1991; 127: 1383– 91 and 1549–57. Biggar R. Preventing AIDS now. BMJ 1991; 303: 1150–57. Gabiano C et al. Mother to child transmission of Human Immunodeficiency Virus type 1: Risk of infection and correlates of transmission. Pediatrics 1992; 90: 369–374. Krivine A et al. HIV replication during the first week of life. Lancet 1992; 339: 1187–89. Rowe PM. Resistance to HIV infection. Lancet 1993; 341: 624. Hulsebosch HJ et al. Human immunodeficiency virus exanthema. J Am Acad Dermatol 1990; 23: 483–86.

16. Hulsebosch HJ. AIDS and itch. J Eur Acad Dermatol Venereol 1992; 1: 311–18. 17. Hulsebosch HJ. HIV infection and AIDS. Dalam: Kumpulan makalah ilmiah "Temu ilmiah ilmu penyakit kulit dan kelamin" FKUI/RSCM, 14– 17 Juni 1993. 18. Prose NS. HIV infection in children J Am Acad Dermatol 1990; 22: 1223–31. 19. Editorial PML: More neurological bad news for AIDS patients. Lancet 1992; 340: 943–44. 20. Persaud D et al. Delayed recognition of Human Immunodeficiency Virus infection in preadolescent children. Pediatric 1992; 90: 668–95. 21. Gershy–Dame T. GM et al. Salivary and urinary diagnosis of Human Immunodeficiency Virus 1 and 2 infection in Cote d'Ivore, using two assay. Trans R. Soc Trop Med Hyg 1992; 86: 670–71. 22. Sihombing G. Berkenalan dengan AIDS. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta; 1992: 26–36. 23. Aboulker J–P, Swart AM. Early zidovudine no use. Lancet 1993; 341: 890–91 (Letter). 24. Hamilton JD et al. A controlled trial of early versus late treatment with zidovudine in symptomatic Human Immunodeficiency Virus Infection. NEJM 1992; 326: 437–43. 25. Nordic Medical Research Councils HIV therapy group. Double blind doseresponse study of zidovudine in AIDS and advanced HIV infection. BMJ 1992; 304: 13–17. 26. Erice A et al. First two cases reported of zidovudine–resistant primary HIV infection in UK, US Asian Medical News 1993; 13: 7. 27. Skowron G et al. Alternating and intermittent regimens of zidovudine (AZT) and dideoxycytidine (ddc) in patients with AIDS or AIDS–related complex. Ann Int Med 1993; 118: 321–29. 28. Richmann DD. Playing chess with reverse transcriptase. Nature 1992; 361: 588–89. 29. Daniel MD et al. Protective effects of a live attenuated SIV vaccine with a deletion in the net gene. Science 1992; 1938–41. 30. Sabin AB. Improbability of effective vaccination against Human Immunodeficiency Virus because of its intracellular transmission and retal port of entry. Pro Nat Acad Sci USA 1992; 89: 8852–55. 31. Garzon MC et al. Cheap alternative to zidovudine ? Lancet 1992; 340: 1099–100. 32. Faloon J et al. A preliminary evaluation of 566C80 for the treatment of pneumocystis pneumonia in patients with the Acquired Immunodeficiency Syndrome. NEJM 1991; 325: 1534–38. 33. Lane Let al. Fluconazole compared with ketoconazole for the treatment of candida esophagitis in AIDS. Ann Intern Med 1992; 117: 655–60. 34. Butterworth RF et al. Thiamine and AIDS. Lancet 1991; 338: 1086. 35. Friedland G. Risk of transmission of HIV to home care and health care workers. J Am Acad Dermatol 1990; 22: 1171–74. 36. Santelli JS. Birm A–E, Linde J. School placement for Human Immunodeficiency Virus–infected children: the Baltimore city experience. Pediatrics 1992; 89: 843–47. 37. Stone KM, Peterson HB, Spermicides, HIV and the vaginal sponge. Jama SEA 1992; 8: 9–11. 38. Jones DS et al. Epidemiology of transfussion–associated Acquired Immunodeficiency Syndrome in Children in the United States, 1981 through 1989. Pediatric 1992; 89: 123–27. Lampiran Kebijakan dan Strategi Program Nasional Pencegahan dan Pemberantasan AIDS di Indonesia A. 1) 2) 3)

TUJUAN Mencegah penularan HIV Mengurangi angka kesakitan/kematian karena AIDS Memberikan counselling kepada pengidap HIV

B.

KEBIJAKAN

1) Umum 1.1. Penanggulangan AIDS dilakukan secara terpadu baik lintas program maupun lintas sektoral sesuai dengan tugas dan wewenang serta fungsi masing-

masing unit, dalam kaitannya dengan AIDS. 1.2. Tidak perlu resah, bersikap terbuka tetapi selalu waspada. 1.3. Menempatkan masalah AIDS pada proporsi yang wajar sebagai masalah kesehatan/penyakit menular biasa. 1.4. AIDS tidak dikhususkan dalam pemberantasannya, tetapi tetap ditangani oleh unit/sistem pelayanan kesehatan yang sudah ada (dalam hal ini dimasukkan dalam Program Pemberantasan Penyakit Kelamin & Frambusia, Ditjen PPM dan PLP). 2) Khusus 2.1. Dalam upaya mendiagnosis AIDS di Indonesia digunakan definisi menurut kriteria WHO/CDC Atlanta ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium (tes ELISA) yang dikonfirmasikan dengan tes Western Blot. 2.2. Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi virus HIV untuk skrining donor darah belum dianggap perlu sampai saat ini. 2.3. Produk darah yang diimpor maupun yang dibuat di dalam negeri harus memenuhi persyaratan bebas AIDS. 2.4. Interpretasi hasil tes ELISA positif dilakukan bila konfirmasi dengan tes Western Blot positif. 2.5. Kerahasiaan pribadi AIDS/HIV positif hams dipegang teguh. 2.6. Pendidikan/penyuluhan kesehatan merupakan upaya terpenting dalam mencegah dan memberantas AIDS.

C. STRATEGI 1)

Pencegahan Penularan Hubungan Seksual Penularan infeksi HIV melalui hubungan seksual paling banyak terjadi. HIV dapat ditularkan dari penderita/pengidap HIV kepada pasangan seksualnya. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual memerlukan pendidikan/ penyuluhan yang intensif dan ditujukan untuk mengubah perilaku seksual masyarakat tertentu sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV. Pendekatan pendidikan/penyuluhan tentang perilaku seksual, ditujukan terutama mengenai jumlah dan pilihan pasangan seksual, misalnya mengadakan hubungan seksual sekecil mungkin, menghindari hubungan dengan WTS dan meningkatkan pemakaian kondom. 2) Pencegahan Penularan Melalui Darah 2.1. Transfusi darah Cara terbaik mencegah penularan HIV melalui transfusi darah adalah dengan mengadakan skrining setiap donor darah sebelum menyumbangkan darahnya, dengan memeriksa darah tersebut terhadap antibodi HIV. Hal ini dilakukan di negara-negara yang tinggi peristiwanya seperti di Amerika dan Eropa. Di Indonesia yang prevalensi infeksi HIV-nya masih rendah, pemeriksaan tersebut belum perlu dilakukan. Di samping itu biaya pemeriksaan tersebut saat ini masih mahal, sehingga untuk pemeriksaan semua darah donor akan memerlukan biaya yang sangat besar. Dalam situasi seperti ini dilakukan pemeriksaan darah donor secara selektif atau dengan pemeriksaan sampel secara acak (uji praktek).

2.2. Produk Darah Produk darah pada umumnya dan plasma, tidak begitu besar peranannya sebagai sumber penularan HIV, kecuali yang mengandung faktor VII dan IX, yang diperlukan untuk para penderita hemofilia. Untuk itu, pembuatannya dapat diproses dengan cara tertentu agar produk darah tersebut bebas dari HIV. Cara pembuatannya dapat diproses dengan cara tertentu agar produk darah tersebut bebas dari HIV. Cara pembuatan produk darah tersebut hams selalu dipantau dengan ketat untuk menjamin prosedur yang dianjurkan diikuti dengan baik. Di samping pana donor, sebaiknya pemeriksaan juga dilakukan terhadap produk darah yang diimpor maupun yang dibuat di dalam negeri, sesuai dengan kebijakan Departemen Kesehatan, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan AIDS. 2.3. Alat Suntik dan Alat lain yang Dapat Melukai Kulit Penularan infeksi HIV dapat terjadi melalui alat suntik yang terkontaminasi, baik dalam sistem pelayanan kesehatan yang formal maupun di luar sistem tersebut, misalnya pemakaian alat/jarum lainnya yang dapat melukai kulit atau menyebabkan luka/perdarahan (tatoo, tusuk jarum, alat cukur, dan sebagainya). Hal ini dapat dicegah dengan cara desinfeksi alat-alat tersebut dengan pemanasan atau larutan desinfektan. Perlu dilakukan pengawasan ketat agar setiap alat suntik dan alat lainnya yang digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan selalu dalam keadaan steril. Penularan infeksi HIV melalui alat suntik yang tidak steril dan dipakai bersama sering terjadi pada penyalahgunaan narkotik suntik (IV drug users). Para penyalahguna narkotik suntik merupakan sumber penularan HIV dan dapat menjadi jembatan penularan melalui hubungan seksual kepada masyarakat umum. Petugas kesehatan yang merawat penderita AIDS mempunyai kemungkinan terpapar oleh cairan tubuh penderita (darah, semen dan cairan vagina). Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan. Cara-cara pencegahan yang ditujukan terhadap hepatitis B, cukup untuk mencegah infeksi HIV. 3)

Pencegahan Penularan dari Ibu anak (Perinatal) Wanita usia subur biasanya tertular HIV melalui hubungan heteroseksual. Kehamilan mungkin akan mempercepat timbulnya gejala penyakit AIDS pada wanita yang seropositif HIV. Diperkirakan 50% bayi yang lahir dari ibu yang seropositif HIV, akan terinfeksi HIV sebelum, selama dan tidak lama sesudah dilahirkan. Cara pencegahan penulanan HIV perinatal memerlukan pendidikan/ penyuluhan kesehatan masyarakat yang luas dan intensif, dengan memberitahukan risiko kehamilan/melahirkan pada ibu yang seropositif HIV. Di samping itu, pendidikan/penyuluhan yang terus menerus perlu dilakukan untuk membujuk orang tua/ibu yang ingin hamil/mempunyai anak agar memeriksakan darahnya secana sukarela dan meminta nasehat (counselling). 4)

Mengurangi Dampak Negatif Infeksi HIV Upaya ini dilakukan terhadap individu, golongan maupun masyarakat umum. Kepada mereka perlu diberikan pendidikan/penyuluhan dan counselling atau cara lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, terutama kepada yang HIV positif, baik dengan gejala maupun tidak, dan juga pasangan seksual, keluarga dan lingkungannya. Hal ini penting dilakukan sehubungan dengan dampak infeksi HIV di bidang psikologis dan bidang lainnya, yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya.

We leave the world just as we entered it – with nothing

Perilaku Seksual Waria dan Hubungannya dengan HIV/AIDS di Jakarta, 1991-1992 Dr. Imran Lubis CPH Badan Khusus Penanggulangan AIDS dan PMS, Ratan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, IAKMI, Jakarta

ABSTRAK Telah dilakukan suatu studi kecenderungan perubahan perilaku seksual waria dari tahun 1991 – 1992 setelah diberi penyuluhan AIDS secara Peer Group Education di Jakarta. Dari 2.000 waria yang telah disuluh oleh IAKMI dapat dilakukan studi sebanyak 577 orang. Metoda studi adalah secara wawancara face to face dengan tenaga pewawancara dari waria itu sendiri. Selain itu telah diambil darah dari 800 waria (400 tahun 1991 dan 400 tahun 1992). Persepsi mengenai resiko tertular AIDS meningkat dari 64,5% tidak tahu menjadi hanya 18,0%. Penurunan jumlah mitra seksual juga terjadi dari sebagian besar 5–8 orang menjadi 2–4 orang per minggu. Walaupun begitu masih ada masalah yang masih perlu dilakukan studi. Jumlah pemakaian kondom masih rendah (tidak pernah = 65%). Masalah kualitas kondom seperti robek (18%), ukuran kebesaran (25%), memakai kondom bekas pakai (33%). Rendahnya frekuensi pengobatan terhadap penyakit PMS masih dijumpai mengingat frekuensi STS ditemukan sebesar 40%. Pemberian darah donor oleh waria perlu dipikirkan tindak pengamanannya. Dari pemeriksaan 800 darah waria di Jakarta, pada bulan Nopember 1993 telah ditemukan 1 (satu) orang pengidap HIV secara uji Elisa dan Western Blot.

PENDAHULUAN Sampai tanggal 30 Juni 1994 jumlah kumulatif kasus HIV/ AIDS yang dilaporkan di Indonesia naik menjadi 216 orang, terdiri dari 156 penderita HIV dan 60 AIDS, dibandingkan pada waktu tanggal 30 September 1993, jumlah orang yang dilaporkan HIV baru 172 orang yang terdiri dari 32 penderita AIDS dan 130 pengidap HIV. Diajukan pada : Lokakarya Kajian Penelitian AIDS dan PMS 30–31 Maret 1994, Box/an Litbang Kesehatan, Jakarta.

WHO/SEARO New Delhi memperkirakan bahwa pada akhir tahun 1994 di Indonesia sudah ada sejumlah 20.000 pengidap HIV. Sedangkan pada tahun 2000, diproyeksikan secara kumulatif bahwa Indonesia akan menghadapi 5.000 penderita AIDS dan 50.000 pengidap HIV. Selanjutnya diperkirakan pula bahwa biaya langsung dan tidak langsung bagi 5.000 penderita AIDS tersebut akan berjumlah US $ 81.000.000 atau

Rp. 170.100.000.000,–. Dalam menghadapi masalah tersebut, perlu dilihat pengalaman negara lain yang telah berhasil mengendalikan AIDS di negaranya. Pada awalnya, di negara Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, pola sentral penyebaran AIDS adalah melalui jalur hubungan seksual antara sesama lelaki (homoseksual). Hal ini terbukti setelah terjadi perubahan perilaku seksual pada kaum homoseksual dan biseksual dari resiko tinggi menjadi resiko rendah, maka penyebaran AIDS di negara-negara tersebut pada saat ini sudah jauh menjadi lebih rendah/berkurang. Perubahan perilaku seksual kaum homoseksual dan biseksual tersebut di atas hanya dapat terjadi setelah karakteristik yang melatar belakangi perilaku seksual resiko tinggi kelompok tersebut dipelajari terlebih dahulu. Hasil dari berbagai studi tadi kemudian dipakai sebagai bahan untuk menyusun strategi penyuluhan AIDS yang lebih realistik/mengena. Salah satu golongan masyarakat di Indonesia yang sebagian besar dari hidupnya melakukan hubungan seksual antara sesama lelaki adalah kaum waria/banci. Golongan ini terutama terdapat di daerah perkotaan. Jumlah waria diduga sudah cukup banyak walaupun jumlah pastinya sulit diketahui. Di Jakarta diperkirakan terdapat 4.000 – 5.000 waria. Pada saat ini IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) bekerja sama dengan Puslit Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan dan Namru-2 sedang melakukan upaya pencegahan AIDS dan pengambilan darah pada kelompok waria di Jakarta. Strategi program penyuluhan AIDS yang dipakai diadaptasi dari strategi penanggulangan AIDS di Australia. Yaitu secara Support Program. Pertama kali adalah dengan meningkatkan pengetahuan AIDS yaitu dengan melakukan Training of Trainers (TOT) pada 15 pimpinan waria dari 5 wilayah di Jakarta selama 7 hari penuh. Waria ini setelah mendapat pengetahuan yang cukup dan mampu menjadi penyuluh AIDS yang baik, maka mereka mendapat sertifikat, kit penyuluhan AIDS dan menjadi Cgntral Point program penyuluhan AIDS secara peer group education yang dilakukan di rumah mereka masing-masing. Pihak pimpinan waria akan menentukan sendiri bentuk-bentuk program/kegiatan penyuluhan AIDS yang paling cocok bagi mereka. Dalam melakukan kegiatan penyuluhan AIDS tersebut pihak IAKMI membantu dengan melakukan monitoring dan evaluasi, menyediakan tenaga ahli, melakukan berbagai macam studi, membantu sarana penyuluhan, memberikan materi penyuluhan yang terdiri dari : materi simulasi, materi leaflet dan keterangan lain, memberikan kondom (100 per orang) dan mengobati penderita PMS bila diperlukan. Studi waria yang telah dilakukan adalah tentang perilaku seksual, perilaku pencegahan AIDS, pengetahuan tentang AIDS, rasa gotong royong, studi follow up, studi pemakaian kondom dan lain-lain, yang diharapkan nantinya dapat dipakai untuk membuat strategi pendekatan dan prakarsa baru serta dapat untuk menyusun kembali kegiatan yang realistik di bidang penyuluhan AIDS. Sebagian hasil studi yang dilakukan tahun 1991 dan 1992 akan dilaporkan di sini.

BAHAN DAN CARA KERJA Semenjak bulan Juni 1991 IAKMI telah menjalin kerja sama dengan 15 pimpinan waria yang berasal dari 5 wilayah di Jakarta. Pimpinan waria ini telah selesai mengikuti training dan menjadi pimpinan tenaga penyuluhan AIDS kelompok waria di wilayahnya secara peer group education. Sampai saat ini, jumlah waria di Jakarta yang telah mendapat penyuluhan AIDS dari IAKMI sekitar 2.000 orang. Studi tentang karakteristik waria dilakukan setiap kali IAKMI membantu upaya penyuluhan dan pengambilan darah pada peer group education tersebut. Pertama kali studi dilakukan pada bulan Agustus 1991 yang mencakup 172 waria. Hasil studi tersebut telah dilaporkan. Gambaran karakteristik waria yang akan dilaporkan di sini adalah hasil studi ke dua pada bulan Oktober 1991 dan studi ke tiga pada bulan Agustus 1992. Bentuk studi adalah deskriptif pada sebagian waria di Jakarta tanpa dilakukan sampling. Tenaga pewawancara (dari kelompok wariaitu sendiri) dengan menggunakan kuesionerkhusus melakukan wawancara terhadap masing-masing individu secara satu persatu dengan diawasi seorang supervisor. Data yang direkam hanya menggambarkan karakteristik kelompok waria dalam studi tersebut, tidak mewakili gambaran seluruh waria di Indonesia. Dasar pemikirannya adalah bahwa penyuluhan AIDS kurang bermanfaat bila ditujukan secara umum pada suatu masyarakat yang luas karena di masyarakat luas, pasti ada perbedaanperbedaan sosial, politik, bahasa seks, ekonomi dan kebudayaan. Penyuluhan sebaiknya dilakukan secara lebih spesifikpada suatu golongan masyarakat tertentu (target group) sehingga disain penyuluhan dapat lebih realistik dan dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat itu sendiri. Studi karakteristik sebagian waria ini merupakan bagian penting dalam penentuan design penyuluhan yang akan mereka lakukan sendiri. Ekspansi penyuluhan untuk kelompok waria lain dapat saja dikerjakan setelah mempelajari dan mengadaptasi pengalaman kelompok ini. Cara melakukan kedua studi berikutnya serupa dengan studi pertama. Semua waria yang datang untuk pertama kali diberi kuesioner yang sama dengan kuesioner pada studi pertama sehingga studi ke tiga dapat dilihat sebagai "kecenderungan" dari studi pertama. Pada waria yang datang untuk ke dua kalinya akan diberikan kuesioner lain yaitu yang berisi evaluasi perilaku seksual setelah mendapat penyuluhan AIDS, apakah sudah terjadi perubahan ke perilaku seksual risiko rendah. Karakteristik yang dicari adalah : umur, persepsi risiko terhadap AIDS, frekuensi hubungan seks, jenis hubungan seksual, pemakaian kondom, sikap menghadapi penyakit AIDS, sikap tentang kegunaan pemeriksaan antibodi HIV, pengetahuan tentang cara penularan AIDS, pengobatan AIDS, bagaimana menghadapi masalah berat seperti AIDS, rasa ingin menolong teman senasib, bagaimana cara mendapatkan informasi. Pertanyaan pada kuesioner evaluasi antara lain adalah : apakah masih melakukan hubungan multiple partner, apakah sudah terjadi

perubahan pola pemakaian kondom dan lain-lain. HASIL Sampai bulan Oktober 1991 telah dapat dilakukan penyuluhan AIDS dan pengisian kuesioner studi pada 404 waria yang terdiri dari 348 waria datang untuk pertama kalinya dan 56 waria datang untuk ke dua kalinya, sedang studi bulan Agustus 1992 mencakup 173 orang; sehingga jumlah seluruh waria dari ke tiga studi tersebut adalah 577 orang. Analisis laporan tentang jalannya penyuluhan di rumah mereka masing-masing menunjukkan bahwa respons waria cukup tinggi dan timbul rasa kebersamaan yang cukup besar di antara mereka dalam menanggulangi penyakit AIDS. Dalam analisis variabel tidak semua pertanyaan dalam kuesioner mampu dijawab oleh waria sehingga jumlah sampel untuk setiap variabel akan berbeda. Alamat responden waria yang ikut dalam studi ini tampak pada Tabel 1. Tabel 1.

Persepsi bahwa AIDS merupakan penyakit yang mematikan ternyata mempunyai kecenderungan membaik. Pada tahun 1991 64,5% waria menyatakan tidak tabu ada risiko tertular AIDS pada dirinya sedangkan pada tahun 1992 telah menurun menjadi 18,0%; dan pada temannya menurun dari 70,4% menjadi 20,1%. Sebaliknya persepsi akan adanya risiko tertular AIDS naik dari hanya 29,1% menjadi 49,3% pada dirinya dan dari 23,8% menjadi 36,6% pada temannya. Yang masih menganggap tidak ada risiko tertular AIDS ternyata naik dari 6,4% menjadi 32,5% untuk dirinya dan dari 5,8% menjadi 43,7% untuk temannya. Hal terakhir ini mungkin banyak dijawab oleh waria berusia tua atau waria yang hanya mempunyai partner seks satu orang. Kecenderungan jumlah mitra seks laki-laki waria dalam 1 minggu terakhir tampak pada Gambar 2.

Tempat Tinggal Waria dalam Studi 1991–1992 Jakarta

Jumlah

Persen

Utara Selatan Timur Barat Pusat

33 105 161 223 44

5,8 18,6 28,4 39,4 7,8

Total

566

100,0

Pembagian responden waria menurut umur tampak pada Tabel 2. Tabel 2.

Distribusi Umur Waria dalam Studi 1991–1992

Umur (tahun)

Jumlah

Persen

10 – 19 20 – 39 40 – 49 50 – 59 > 60

25 386 117 30 11

4,4 67,8 20,6 5,3 1,9

Total

569

100,0

DISKUSI Sikap waria di Jakarta terhadap risiko tertular AIDS pada dirinya atau temannya tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. Kecenderungan persepsi risiko tertular AIDS pada dirinya dan temannya, waria di Jakarta 1991–1992.

Gambar 2. Kecenderungan jumlah mitra seks laki-laki waria dalam 1 minggu terakhir di Jakarta 1991-1992.

Untuk partner seks laki-laki pada tahun 1991, pergantian partner seks sebagian besar berjumlah 5-8 orang atau lebih (65,1%). Sedangkan pada tahun 1992 sebagian besar berjumlah di bawah 2–4 orang (59,7%). Mengingat pekerjaan waria adalah sebagai tuna susila maka penurunan partner seks laki-laki tersebut cukup besar artinya. Sedangkan yang tidak melakukan hubungan seks dalam 1 minggu terakhir masih tetap yaitu dari 3,7% menjadi 5,6%. Hubungan seks antara kelompok waria dengan kelompok wanita (1991) dan dengan kelompok homoseksual (yang disebut "kucing") selama tahun 1992 tampak pada Gambar 3. Secara berturut-turut waria yang tidak pernah mempunyai mitra seks wanita 94,0%, mitra 1 orang : 2,8%, mitra di atas 8 orang : 3,2%, dan waria yang tidak ada hubungan dengan kelompok homoseksual : 92,4%, hubungan 1 kali 4,4%, 2–4 kali 2,5% dan 5–8 kali 0,6%. Tempat mencari teman kencan seks pada studi 1992, tampak pada Gambar 4. Tempat untuk mencari/mendapat mitra seks bagi waria saling berbeda di antara kelompok-kelompok waria tertentu. Lokasi dapat bervariasi dari tempat pertemuan yang eksklusif di bar dan diskotik sampai ke jalan dan taman. Status sosial ekonomi waria dalam studi ini termasuk golongan menengah ke bawah sehingga tempat mencari teman kencan seks mereka adalah di jalanan dan taman (67,3%), di salon (19,5%), di bordil

Gambar 3. Frekuensi dan macam mitra seksual waria dalam 1 minggu terakhir, di Jakarta 1991–1992.

Gambar 5. Jumlah pemakaian kondom waria selama 5 kali hubungan seksual terakhir, Jakarta 1992.

bekas pakai (33,3%), memakai pelumas kondom (57,9%), memakai kondom sudah berpelumas (62,5%) dan memakai kondom tanpa pelumas (11,1%). Dilihat dari pemakaian kondom pada waria, ternyata masih banyak masalah dan belum sepenuhnya mengikuti petunjuk pemerintah.

Gambar 4. Lokasi mencari mitra seks waria di Jakarta 1992.

(10,0%) dan di hotel (3,1%). Walaupun program penyuluhan AIDS oleh IAKMI juga diberikan 100 kondom untuk setiap waria, namun jumlah kondom tersebut tidak mencukupi kebutuhan mereka untuk lebih dari 1–2 bulan, sehingga untuk selanjutnya merekaharus membeli sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya pada tempat-tempat waria mencari mitra seks tadi disediakan juga kondom. Asal waria mendapatkan kondom dalam studi 1992 adalah 55,9% dari petugas kesehatan/ IAKMI, 30,5% dari teman kencannya, 10,2% dari apotik dan toko obat dan 8,5% dari warung/kios. Gambaran pemakaian kondom oleh waria selama 5 kali hubungan seks yang terakhir tampak pada Gambar 5. Tidak pernah memakai kondom (65,9%), memakai sekali (7,8%), memakai kondom duakali (14,8%), memakai kondom tigakali (1,4%) dan memakai kondom 4–5 kali (9,9%). Alasan rendahnya pemakaian kondom tersebut adalah karena teman kencan menolak, harga mahal dan lain-lain (studi 1991). Waria yang pernah memakai kondom pada waktu melakukan hubungan seks adalah 128 orang (91,4%). Macam masalah yang dihadapi tampak pada Gambar 6 yaitu : kondom pecah/robek (18,8%), ukuran kondom kebesaran (25,9%), memakai kondom

Gambar 6. Masalah pemakaian kondom pada waktu hubungan seks oleh waria, Jakarta 1992.

Masalah penting dalam pencegahan AIDS adalah masalah penyakit menular seksual lainnya. Pertanyaan sederhana apakah dalam 3 bulan terakhir ini pernah diobati penyakit kelamin pada waria (1992) menunjukkan hasil pada Gambar 7.

Gambar 7. Waria yang merasa pernah diobati karena penyakit kelamin dalam 3 bulan ini, Jakarta 1992.

Waria yang merasa tidak pernah diobati untuk penyakit

kelamin adalah 92,8%, pernah sekali : 4,8%, pernah beberapa kali : 1,8%, sering diobati : 0,6%. Waria yang mengaku pernah maupun tidak pernah menjadi donor darah tampak pada Gambar 8; tidak pernah sebagai donor (77,9%), pernah sekali (16,3%), kadang-kadang (3,5%) dan sering (2,3%).

Gambar 8. Waria yang pemah menjadi Donor Darah.

Pemeriksaan pada studi pertama terhadap 172 serum waria, pada mulanya 4 serum menunjukkan hasil ELISA HIV antibodi positif. Setelah dilakukan pemeriksaan ulang dengan Western Blot ternyata semuanya hanya menunjukkan l band protein yaitu p24. Sehingga seluruh serum dinyatakan negatif. Pada pemeriksaan ulang pada studi kedua setelah 3 bulan sebanyak 200 serum waria, menunjukkan 6 serum memberi hasil HIV positif yang kemudian menjadi negatif pada pemeriksaan Western Blot. Sampai bulan Nopember 1993 telah diperiksa 800 spesimen darah waria dari 5 wilayah Jakarta dan 1 (satu) menunjukkan hasil HIV positif baik dengan Elisa maupun Western Blot dan

sudah diulang 2 kali. Kasus waria positif ini sudah dilaporkan ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta maupun Depkes. Follow up gambaran darah maupun gejala fisik pada kasus HIV ini sampai saat ini masih dilakukan. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Penyuluhan AIDS oleh IAKMI dan sumber lain yang telah diterima oleh waria khususnya di Jakarta pada tahun 1992 telah menunjukkan dampak : – persepsi risiko AIDS pada diri dan temannya membaik – telah terjadi penurunan jumlah mitra seks laki-laki. 2. Masalah yang masih dihadapi adalah : – masih rendahnya pemakaian kondom – masalah PMS yang belum terobati – masalah cara pemasaran kondom secara umum. 3. Rekomendasi untuk melakukan studi lanjutan antara lain : – cara meningkatkan pemakaian kondom – menguji kualitas dan aksesibilitas kondom – mencari cara-cara pemasaran kondom. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bimbingan yang telah diberikan oleh Dr. Alex Papilaya DTM&H, Ketua IAKMI, Dr. Suriadi Gunawan DPH, KapuslitPenyakitMenular, DR. R. Anthony, Namru-2, Dr. Steven Wignall yang telah membiayai studi ini, dan juga atas bantuan dari John Master, staf IAKMI yang memungkinkan studi ini berhasil dengan baik. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

WHO. Guidelines for a standardized methodology for appraisal of HIV infection in populations for national AIDS control programmes. Geneva, Oktober 1988. WHO. Report on the Informal Interregional Consultation on Developing an Epidemiologically Based Strategy for Control of HIV/AIDS in Asia. New Delhi, 6–8 June 1988. Judanarso J, Daili SF, Basuki S, dkk. Prevalensi Anti-HIV pada perilaku seksual resiko tinggi WTS, Waria dan Homoseks di Jakarta, Lokakarya AIDS oleh IAKMI, 10 – 11 Januari 1990. M. Hadi Abednego. Kebijaksanaan Nasional Penanggulangan AIDS dan PMS. Lokakarya Penelitian AIDS dan PMS, Badan Litbangkes, Jakarta 30–31 Maret 1994.

Speech was given to man to disquise his thoughs

Infeksi Nonmikrobial pada Vulva S. Fasihah R., Kusmarinah Bramono, A. Kosaslh Bagian/Unit Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Vulva adalah alat genitalia eksterna wanita yang berbentuk lonjong dan memanjang dari ventral ke dorsal(1). Sebagian besar vulva ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mempunyai jaringan ikat jarang dan kaya dengan pembuluh darah. Keadaan vulva yang demikian mengakibatkan vulva mudah mengalami inflamasi. Banyak faktor penyebab inflamasi pada vulva, di antaranya infeksi, trauma, iritasi, ataupun sekunder akibat penyakit lain. Makalah ini membahas inflamasi nonmikrobial pada vulva. Anatomi vulva Vulva di bagian ventral dibatasi oleh klitoris, sisi lateral oleh kedua labia dan di bagian dorsal oleh perineum(1). Bagian-bagian vulva adalah(1,2): 1. Mons veneris. 2. Labia mayora terdiri atas bagian kanan dan kiri; keduanya bertemu di bagian dorsal membentuk komisura posterior. 3. Labia minora terdiri atas bagian kanan dan kiri; keduanya bertemu di bagian ventral membentuk prepusium klitoridis dan frenulum klitoridis. Di bagian dorsal kedua labia juga bertemu, membentuk fosa navikularis. 4. Klitoris terdiri atas glans klitoridis dan korpus klitoridis. 5. Vestibulum adalah bagian antara kedua labia minora, terdapat kelenjar vestibularis minor. 6. Kelenjar Bartolini (kelenjar vestibularis mayor) terdiri atas bagian kanan dan kiri. 7. Selaput dara. Histologi vulva Labia mayora merupakan lipatan kulit yang ditutupi epidermis berpigmen dan memiliki kelenjar sebasea dan kelenjar keringat serta folikel rambut sesudah pubertas. Pada lapisan

subkutan terdapat jaringan lemak. Labia minora merupakan lipatan mukosa yang ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Lapisan dermis terdiri atas jaringan ikat jarang dan kelenjar sebasea yang bermuara langsung ke permukaan, serta banyak mengandung pembuluh darah(3,4). Klitoris ditutupi mukosa dengan epitel berlapis gepeng; sebagian besar terdiri atas jaringan ikat jarang, diantaranya terdapat jaringan erektil dan serabut saraf(3,4). Kelenjar vestibularis minor dan mayor (Bartolini) merupakan kelenjar tubuloalveolar yang mengeluarkān mukus; alveoli kelenjar‘ dilapisi epitel selapis torak, sedangkan duktusnya dilapisi oleh epitel selapis kubis(3,4). Pala organ genetalia eksterna terdapat banyak ujung saraf sensoris. Korpus Meissner tersebar di papila dermis, sedangkan korpus Pacini terdapat pada bagian yang lebih dalam dari jaringan konektif labia mayora dan klitoris(3). Penyakit-penyakit yang digolongkan inflamasi nonmikrobial pada vulva adalah : 1. Vulvitis reaktif 2. Dermatitis seboroik 3. Psoriasis 4. Penyakit Paget 5. Adenitis vestibularis 6. Distrofi vulva 7. Penyakit Behcet. VULVITIS REAKTIF Berbagai tindakan fisik dan rangsangan kimia dapat menyebabkan reaksi akut pada vulva. Trauma garukan atau gosokan, kontak dengan bahan sintetik, deterjen, parfum, zat warna, minyak angin dan kondom; kesalahan bahan topikal di rumah ataupun peinberian obat topikal seperti podofilin, gentian violet, 5 fluorourasil(5).

Penderita biasanya mengeluh gatal di daerah vulva. Manifestasi klinis yang bermacam-macam mungkin terlihat pada kelainan ini clan dari penyebaran lesinya dapat ditemukan faktorfaktor penyebabnya. Bila lesi hanya pada introitus, kemungkinan penyebabnya adalah trauma koitus, sekret vagina, supositoria atau bahan pembilas vagina berparfum, dan bahan pelumas kondom. Labia minora biasanya bebas dari paparan kontak iritan yang lebih luas, kecuali bila bahan topikal sengaja dioleskan. Pengendara sepeda atau penunggang kuda yang belum terbiasa kadang-kadang terdapat reaksi difus pada saddle area. Iritasi yang berasal dari bahan pabrik tampak berupa lesi dengan garis luar yang difus(5). Untuk menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis yang baik, misalnya kapan mulai gatal, adakah kontak dengan tanaman atau racun tanaman, masa awitan yang hampir bersamaan dengan perubahan kebiasaan seperti mencuci. Hubungan seksual secara orogenital dapat menyebabkan iritasi yang lebih berat daripada hubungan seksual biasa. Mukosa introitus mungkin mengalami inflamasi sekunder disertai sekret yang mengalir dari vagina. Pemakaian obat topikal dari bahan iritan untuk menyembuhkan gatal ringan, akibat kontak iritannya akan lebih berbahaya(5). Vulvitis reaktif akuta mungkin mempunyai gambaran klinis mirip dengan kandidosis, tinea, eritrasma dan distrofia hiperplastik(5). Terapi dapat berupa kompres basah pada lesi yang eksudatif. Pemakaian obat topikal kortikosteroid akan mengurangi inflamasi. Sebaiknya bahan iritan diidentifikasi dan dihindari. Untuk mengurangi rasa nyeri dan gatal dapat diberikan obat analgetik dan antihistamin oral(5). DERMATITIS SEBOROIK Dermatitis seboroik merupakan suatu erupsi kulit kronis terdapt pada daerah yang mempunyai kelenjar sebasea dengan aktifitas tinggi, tetapi tidak harus berhubungan dengan kelenjar sebasea itu sendiri(s). Berulangnya penyakit dipercepat oleh adanya faktor kelelahan, infeksi, tekanan emosi, dan biasanya penderita dapat mengingat lesi serupa sebelumnya. Umumnya erupsi berupa eritema yang ditutupi skuama tipis berminyak(5). Lesi yang ada atau yang pernah terjadi, pada kulit kepala, belakang telinga, sternum dan antara kedua skapula dapat membantu diagnosis. Daerah genitokrural dapat juga terkena. Penyakit ini biasanya mempunyai lesi yang simetris, bersifat kronik dan rekuren(5). Penyebab dermatitis seboroik belum diketahui, sehingga belum ada terapi yang tepat dan penanganan terhadap penyakit ini haru5 berhati-hati. Lesi mungkin tanpa gejala atau ada keluhan gatal, dan akibat garukan dapat terjadi infeksi sekunder. Lesi di daerah genitokrural berupa eritema yang berbatas tegas, kadang-kadang dengan sedikit skuama di tepi lesio). Keringat yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi kulit. Wanita yang karena pekerjaannya banyak memerlukan posisi duduk, sebiaknya menggunakan bantalan ventilasi untuk memperbesar sirkulasi udara antara kedua

paha; dapat juga dibantu dengan bedak absorben(5). Labia minor biasanya tidal( terkena, sehingga dapat dibedakan dari infeksi jamur atau bakteri(5). Terapi terutama diarahkan pada faktor psikologis sebagai penyebab utama serangan yang sering berulang. Sebaiknya, diciptakan hubungan yang baik antara dokter dan pasien, sehingga pasien mampu mengutarakan hal-hal yang mungkin sebelumnya tersembunyi(5). Pada lesi yang eksudatif dapat diberikan kompres basah. Terhadap keluhan gatal dapat diberikan antipruritus. Beberapa lesi cenderung resisten terhadap terapi permulaan. Pemberian terapi kortikosteroid yang berbeda mungkin memberi basil sembuh kembali(5,6). Bila terjadi infeksi sekunder, sebaiknya diberikan antimikro bial topikalo). Bahan pabrik sintetis sebaiknya dihindari. Bila komplikasi garukan menjadi masalah, penderita sebaiknya memakai sarung tangan katun pada saat tidur. Gejala sering menjadi lebih berat pada malam hari dan kadang-kadang disertai insomnia. Lesi yang berulang mungkin memerlukan konsultasi psikologis untuk mengurangi beratnya penyakit(5). PSORIASIS Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik pada kulit yang belum jelas penyebabnya(7). Di Amerika Serikat penyakit ini mengenai lebih dari dua juta wanita(5). Psoriasis dapat ditemukan pada daerah genitokrural, walaupun jarang, dan biasanya bilateral(5,7). Telah dilaporkan adanya lesi psoriasis pada labia mayora(6,7). Gosokan atau garukan mungkin menyebabkan pembentukan lesi baru yang timbul 3–18 hari sesudah trauma, hal ini sesuai dengan fenomena Koebner(5,7). Lesi biasanya berbatas tegas dengan permukaan yang kemerahan, ditutupi skuama halus keperakan atau putih keabu-abuan. Skuama ini mungkin tidak terihat pada lesi vulva yang basah(5,7). Bila skuama digaruk tampak titik-titik perdarahan pungtata yang halus, disebut tanda Auspitz(5,7). Lesi pada vulva biasaya disertai lesi psoriasis di tempat lain, Bila lesi hanya terdapat di vulva, diagnosis secara klinis saja sulit, harus dilakukan pemeriksaan histopatologi. Biopsi pada lesi psoriasis memperlihatkan abses-abses intraepidermal dari Munro pada daerah parakeratosis superfisialis(5). Bagian tengah lesi yang terang mungkin mirip dengan lesi tinea atau dermatitis numularis, tapi skuama yang keperakan dan reaksi pada goresan dapat memperkuat diagnosis(5). Infeksi sekunder dan ekskoriasi dapat menyulitkan gambaran klinis(7). Terapi ditujukan pada penekanan turnover sel epitel. Dapat diberikan kortikosteroid topikal dan injeksi intra lesi bila perlu(5,6). ADENITIS VESTIBULARIS Kelenjar-kelenjar vestibularis minor terletak di daerah vestibulum dan mempunyai epitel yang mensekresi mukus(5). Muaranya pada mukosa sukar dilihat meskipun dengan kolposkopi. Bila terjadi edema, trauma atau infeksi, maka ostia tampak dengan jelas. Fungsi kelenjar-kelenjar ini belum jelas, mungkin sebagai pelumas pada waktu koitus.

Apabila kelenjar-kelenjar ini mengalami inflamasi, maka akan tampak daerah vestibulum yang sedikit kemerahan. Biasanya penderita mengeluh rasa nyeri seperti terbakar pada vulva, yang penyebabnya tidak diketahui, atau adanya dispareuni. Pada pemeriksaan histopatologi tampak infiltrasi sel-sel radang kronik dengan banyak sel plasma(3). Pemeriksaan bakteriologi daerah inflamasi belum pernah diselidiki. Beberapa penderita merasa penyakitnya lebih ringan sesudah mengurut daerah tersebut dengan him vitamin atau estrogen; dapat juga dilakukan penyinaran dengan laser. Bila terapi di atas gagal, dapat dilakukan eksisi jaringan vestibulum(5). PENYAKIT PAGET Sir James Paget, seorang ahli patologi, pertama kali melaporkan penyakit Paget pada tahun 1874 pada puting dan areola mama yang dikaitkan sebagai penyebab utama adenokarsinoma mama(5,8,9). Dubreuilh pertama kali melaporkan penyakit Paget pada vulva tahun 1901, yang biasanya mengenai daerah anogenital(10). Penyakit ini terutama diderita oleh orang kulit putih, usia sekitar 50 – 56 tahun dan telah menopause(5,9–11). Penyakit Paget pada vulva mungkin terdapat sebelum, bersamaan atau sesudah timbulnya karsinoma mama, mengingat kedua stniktur organ adalah termasuk the milk line yang mengandung banyak kelenjar apokrin(5,9). Mula-mula penyakit Paget pada vulva diduga berasal dari karsinoma kelenjar keringat yang sel-selnya bermigrasi intraepidermah5."32) Kemudian ada beberapa laporan kasus penyakit Paget pada vulva merupakan lesi intraepidermal primer(11,12). Ternyata penyakit Paget yang berhubungan dengan karsinoma hanya 19%. Penyakit ini dapat juga digolongkan karsinoma in situ, berapi tidak adekuat dapat menjadi karsinoma(12). Penderita biasanya mengeluh gatal dan nyeri yang diderita sejak lama(5). Keluhan ini sebelumnya sering didiagnosis sebagai kondidosis kutis atau dermatitis yang berat, sehingga diagnosis biasanya terlambat sekitar 2 tahun, yaitu setelah dilakukan bi-. Opsi(5). Selama itu proses penyakit secara perlahan meluas di jaringan vulva, dan gejala iritasi akan meningkat. Di daerah vulva lesi tampak eritemata dengan pulau-pulau hiperkeratosis di permukaan, sehingga tampak sebagai bintik-bintik putih. Tapi lesi tampak meninggi, berskuama dan berbatas tegas mengelilingi introitus(5,9,11,13). Lesi jarang bermetastasis ke kelenjar regional(9). Secara histopatologi lesi dapat meluas walaupun lambat di bawah kulit, sedangkan kulit di atasnya tampak normal(5,9). Selsel Paget soliter, ada yang membentuk untaian atau sarangsarang, kadang-kadang membentuk struktur kelenjar keringat dan folikel rambut(5,10). Bentuk-bentuk ini terdapat di sepanjang membran basal dan di dalam lapisan basal, atau di dalam kelenjar keringat dan folikel rambut. Sel-sel Paget sendiri jarang bermitosis(5,9). Lesi sering disangka kondidosis kutis, tatapi tepi lesi yang meninggi pada kandidosis kutis biasanya tidak setebal lesi penyakit Paget pada vulva. Lesi kandidosis kutis lebih difus, dan biasanya simetris, sedangkan lesi penyakit Paget pada vulva

cenderung terlokalisir. Reaksi kandidosis kutis terhadap terapi lebih cepat dibandingkan penyakit Paget pada vulva(5,9). Kadangkadang lesi tampak seperti dermatitis (eczematoid), dengan permukaan merah terang dan berskuama, sehingga menyerupai vulvitis reaktif(6,11). Tetapi pada masa awitan, iritasi pada vulvitis reaktif dan reaksi terhadap terapi lebih cepat dibandingkan penyakit Paget pada vulva(5). Terapi untuk penyakit Paget pada vulva adalah vulvektomi totalis dengan batas tepi yang luas (3–4 cm dari tepi lesi), selanjutnya dilakukan pemeriksaan potong beku untuk mencari apakah ada keganasan(5,9,13). Lesi yang rekuren setelah vulvektomi totalis, akan tampak meluas meliputi daerah bekas operasi. Pada lesi ini dapat dilakukan eksisi multipel, tetapi sering meninggalkan jaringan parut yang luas(5). Sebelum tindakan bedah biasanya dicoba pemberian kemoterapi atau penyinaran laser. Sebagai obat topikal dapat diberikan him 5-fluorourasil tiga kali sehari selama 6 minggu atau bleomisin dengan hasil cukup baiktlm. Tindakan bedah Mobs telah dilakukan dengan cukup memuaskan.

DISTROFI VULVA Distrofi vulva adalah suatu golongan penyakit yang paling sering di antara semua kelainan pada vulva(5). Yang termasuk dalam golongan penyakit ini adalah(15): 1. Distrofi hiperplastik a. Tanpa atipik b. Dengan atipik 2. Liken sklerosus 3. Distrofi campuran a. Tanpa atipik b. Dengan atipik. Sebagian besar penyakit distrofi epitel kronik tidak berubah menjadi ganas(5,9,13,17). Distrofi hiperplastik Distrofi hiperplastik adalah suatu kelainan histologis yang karakteristik dengan adanya hiperplasi, akantosis dan hiperkeratosis pada lapisan epidermis, serta inflamasi kronis pada lapisan dermis(14). Usia penderita penyakit ini bervariasi, yaitu pada usia reproduktif dan posmenopause(5). Penderita biasaya mengeluh gatal di daerah vulva(5,9,14). Secara klinis tampak daerah putih keabuan dan edema yang difus atau berupa fokus-fokus, dengan hiperkeratosis dan likenifikasi, kadang-kadang ada eritema(14). Labia minora dapat berubah bentuk dan biasanya klitoris menghilang. Pada wanita kulit hitam keadaan ini sering disangka vitiligo. Keratin yang tebal, opaque dan superfisial menyebabkan melanosit di lapisan basal kurang mempengaruhi warna kulit(5). Distrofi hiperplastik secara histopatologi menunjukkan epidermis yang menebal, hiperkeratosis, akantosis, rete ridges memanjang dan menjadi tumpul, sedangkan pada lapisan dermis tampak inflamasi kronik(5,9,13,15). Gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada nerodermatitis, vulvitis hipertrofik, vulvitis reaktif krōnik dan lain-lain(5).

Lesi hiperplastik dengan fokus-fokus atipik hanya terdapat pada 5–10% kasus distropi hiperplastik, yang cenderung menjadi ganas. Pada lesi perlu dilakukan pewarnaan toluidine blue yang dilanjutkan denganbiopsi. Padapemeriksaan histopatologi tampak adanya individually keratinized cells, corps ronds, inti-inti abnormal, sel-sel mitosis dan rasio inti-sitoplasma terbalik(5,9,13). Terapi pada distrofi hiperplastik adalah kortikosteroid topikal, dan dapat dikombinasikan dengan krotamiton yang memberi basil baik(5,9,14). Beberapa penulis menghubungkan penyebab utama penyakit ini dengan pakaian dalam yang baru dan sempit, perubahan pemakaian sabun cuci dan sabun mandi, ataupun parfum pada kertas pembersih; sehingga sebaiknya halhal tersebut dihindari(9,14). Lesi yang berulang harus dianggap sebagai lesi baru dan sebaiknya dilakukan biopsi untuk menegakkan diagnosis dan menentukan kembali terapinya. Bila perlu dilakukan vulvektomi totalis, tetapi beberapa penulis menentang tindakan ini(5). Liken sklerosus Liken sklerosus adalah suatu kelainan histologis yang karakteristik dengan adanya penipisan epidermis dan hilangnya rete ridges, serta gambaran dermis yang aseluler, homogen dengan infiltrasi sel-sel plasma dan limfosit pada lapisan dalam(14). Penyakit ini paling sering ditemukan diantara semua lesi putih pada vulva dan dilaporkan lebih 70% dari seluruh distrofi vulva(5). Liken sklerosus pertama kali diuraikan oleh Hallopeau(5,14,18). Beberapa nama sebelumnya adalah leukoplakia atrofika, liken sklerosus et atrofikus, kraurosis vulva, atrofi senilis dan vulvitis atrofi(5). Liken sklerosus ditemukan pada semua umur, yaitu pada anak-anak, remaja, usia reproduktif, dan posmenopause(5,9,13,18). Pada masa kehamilan kadang-kadang terjadi remisi, dan akan eksaserasi pada masa pospartum(5). Lesi dapat ditemukan pada leher, badan dan ekstremitas, namun yang paling sering di perineum dan vulva pada usia posmenopause(5,9). Etiologi liken sklerosus belum jelas. Beberapa penulis menghubungkannya dengan penyakit autoimun dan anemia pernisiosa(5,13,14,17,18). Goolamali dan kawan-kawan menemukan antibodi sitoplasmin tiroid pada 40% kasus dan antibodi terhadap sel-sel parietal gaster pada 44% kasus liken sklerosus(13). Jeffcoate menemukan aklorhidria pada 23% kasus distrofi kronik. Beberapa penulis menghubungkan dengan faktor hormonal, genetik dan proses metabolisme(2,9,13,14,18). Telah dilaporkan penyakit ini diderita oleh tiga orang bersaudara(16), dan laporan lain mengatakan terdapatnya penyakit ini pada generasi berikutnya dari 15 keluarga(14). Kelainan hormonal dihubungkan dengan penurunan kladar estrogen dan dihidrotestosteron(5,9,14). Kasus-kasus yang tidak diterapi dan mengalami iritasi yang lama, dapat mengalami perubahan hiperplastik reaktif, yang mungkin berkembang menjadi karsinoma, walaupun penyakit ini tidak berakhir sebagai suatu keganasan(s). Karsinoma in situ bukan berasal dari lesi liken sklerosus, namun kedua keadaan ini mungkin terjadi bersamaan(5). Penderita biasaya mengeluh gatal pada vulva yang tidak diketahui sejak kapan(5). Pada lesi tampak bekas garukan yang

dapat berulserasi, atau membentuk fisura dan ekimosis. Bentuk vulva mengalami perubahan, tampak perlekatan labia minora pada perbatasan dengan labia mayora. Edema dan pembentukan jaringan parut pada prepusium dan frenulum, akan menutupi glans klitoris menjadi masa amorf yang pucat. Lesi kemudian menipis, berkilap, berkerut dan berbentuk parchment-like(5,14); mungkin terdapat sebagai lesi fokal, tetapi biasanya difus dan simetris(5,14,16). Secara keseluruhan vulva mengalami perubahan bentuk yang bermacam-macam, ada yang seperti angka delapan, bunga lotus, kupu-kupu atau bentuk Iubang kunci(5). Koitus menjadi tidak menyenangkan, sedangkan tanpa koitus atau dilatasi yang teratur, maka diameter introitus vagina akan mengeruk(5,9,13,14). Sebelum dilakukan biopsi plong, jaringan vulva diwarnai dengan toluidine blue(5). Pada lapisan epidermis yang tipis tampak hiperkeratosis dan rete ridges menghilang, kadang-kadang di lapisan basal terdapat vakuola, serta tidak adanya melanosit. Lapisan dermis tampak homogen, asidofilik, dan relatif aseluler. Di lapisan bawahnya tampak infiltrasi sel limfosit dan sel plasma. Tidak terdapat tanda-tanda atipik(9,13,15). Terapi yang cukup berhasil berupa pemberian testosteron propionat 2% topikal pada penderita posmenopause, diberikan dua kali sehari selama kira-kira setahun, yaitu sampai gejala terkontrol, kemudian frekuensi dikurangi sampai lebih dari dua tahun(5,9,14). Tetapi bila terapi dihentikan biasanya penyakit kambuh lagi(5,9). Pada usia prepubertas tidak diberikan preparat testosteron untuk menghindari maskulinisasi. Pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak dapat diterapi dengan preparattestosteron, dapat diberikan preparat progesteron, yang dilaporkan tidak berakibat maskulinisasi(5). Untuk keluhan pruritus yang berat dapat diberikan kortikosteroid topikal untuk menghilangkan gejala, terutama pada tahun pertama(14). Tindakan vulvektomi totalis tidak dianjurkan karena lebih setengahnya mengalami rekurensi(5). Distrofi campuran Distrofi campuran adalah suatu kelainan histologis lesi liken sklerosus dan lesi distrofi hipertrofik yang bersamaan(5,14) . Penyakit ini merupakan kurang lebih 15% (5–35%) kasus distrofi vulva(5). Taussig berpendapat bahwa proses atrofi pada liken sklerosus berasal dari lesi yang hipertrofi(14). Young dan Tevell menghubungkan penyakit ini dengan perubahan emosi, atau akibat gesekan pakaian dalam(14). Penderita biasanya mempunyai riwayat gatal yang sering berulang. Gambaran klinisnya tidak jelas, tampak perubahan permukaan lesi, biasanya berupa fokus-fokus hiperkeratosis dan ekskoriasi(5,l4). Untuk melengkapi diagnosis perlu dilakukan biopsi plong dalam jumlah yang cukup banyak, serta didahului pewarnaan toluidine blue. Secara histopatologi perubahan pada epidermis antara daerah yang hiperplastik dan daerah yang atrofi mungkin kurang jelas. Tampak pulau-pulau hiperplastik dan akantosis dengan sekitarnya lesi yang atrofi,berupa epidermis yang menipis dan homogen. Pada dermis tampak tanda-tanda inflamasi(5,13,14,17). Distrofi campuran dengan lesi yang atipik, mempunyai insiden sedikit lebih tinggi dari pada lesi distrofi hiperplastik,

penyebabnya tidak diketahui(5). Terapi distrofi campuran mula-mula dengan pemberian kortikosteroid topikal seperti terapi pada distrofi hipertrofik, selama 6 minggu, kemudian diteruskan dengan pemberian preparat testosteron untuk lesi liken sklerosusnya. Cara lain adalah pemberian preparat kortikosteroid dan testosteron berselang seling pada hari yang berbeda. Penderita biasanya sembuh setelah kirakira satu tahun, Pada lesi yang atipik, bila distrofinya diterapi, biasanya lesi akan sembuh dan pada biopsi ulangan tampak epitel normal(5). PENYAKIT BEHCET Penyakit Behget adalah suatu penyakit inflamasi kronik dan rekuren, dengan gejala berupa oral aphthae, ulkus genital dan uveitis pada mata, yang disebut sindrom tripel atau kriteria mayor(5,6,19,20). Penyakit ini pertama kali diuraikan oleh Behcet, seorang dermatolog dari Turki pada tahun 1937(5,20). Masa awitan pada usia kurang lebh 30 tahun, sedangkan rata-rata usia penderita hampir 35 tahun. Perbandingan jumlah penderita pria dan wanita adalah 1,0 : 1,4(21). Etiologi penyakit ini belum jelas, dan terdapat bermacammacam hipotesis. Diduga penyakit Behcet berhubungan dengan faktor imunitas abnormal penderita(5,9,22). Telah dilaporkan penderita-penderita yang sebelumnya terserang tonsilitis atau infeksi gigi, dan ditemukan fokus-fokus infeksi kronik yang mengandung bakteri streptokokus(22). Penulis lain berpendapat bahwa yang berperan pada penyakit ini kemungkinan faktor genetik(21,23). Penyelidikan pada 410 penderita, menunjukkan 55 orang yang mempunyai hubungan keluargat2l). Pendapat lain mengatakan bahwa kontaminasi lingkungan bahan kimia merupakan etiologi penyakit Behget. Insiden penyakit ini di Jepang meningkat pada daerah-daerah yang menggunakan pestisida dalam jumlah yang besar. Bahan ini mengandung klorida organik, fosfor organik, tembaga dan arsen(19). Patogenesis penyakit Behget belum jelas. Timbulnya penyakit ini mungkin memerlukan bantuan pencetus, seperti virus, bakteri atau pengaruh lingkungan. Penderita biasanya mengeluh nyeri pada lesi ulkus yang rekuren(6). Lesi oral mungkin terdapat di mukosa bibir, lidah, gusi, palatum atau pipi, yang umumnya berbentuk ulkus aphthae(5). Lesi genital biasaya lebih destruktif, sehingga jaringan vulva berubah bentuk dan meninggalkan jaringan parut(5). Ulkus genital terutama terdapat pada labia mayora dan skrotum(6). Lesi pada mata ialah uveitis, lebih jarang terjadi dibandingkan lesi pada oral dan genita1(20). Gambaran klinis lain merupakan kriteria minor adalah artritis, tromboflebitis, kelainan neurologi, erythema nodosum-like eruption, erupsi akneiformis(5). Pada lesi ulkus di vulva dapat dilakukan pemeriksaan terhadap virus dan bakteri, pemeriksaan lapangan gelap, tes serologi untuk sifilis, dan hasilnya semua negatito). Biopsi pada lesi memperlihatkan inflamasi kronis dan vaskulitis, dengan infiltrasi sel-sel limfosit, histiosit dan lekosit polimorfonukleus(5,6,20). Pemeriksaan imunofluoresensi memberi gambaran yang mirip pemfigus. Kadang-kadang penyakit ini dapat menyerupai lesi

penyakit Crohn, namun keduanya mungkin terdapat bersamaan. Diagnosis penyakit Behcet berdasarkan gejala klinis dan histopatologis(20). Diagnosis diferensial penyakit ini adalah herpes dan sifilis yang rekuren karena tidak diterapi, pemfigoid bulosa dan penyakit Crohn. Namun adanya oral aphthae yang berkaitan dengan ulkus genital yang bersifat destruktif, serta sifat lesinya yang rekuren, akan menguatkan diagnosis, terutama bila disertai beberapa kriteria minor di atas(5). Telah dilakukan bermacam-macam terapi pada penyakit Behget. Bila penderita mempunyai imunitas yang rendah, dapat diberikan terapi untuk menstimulasi imunitas; bila imunitas penderita tinggi dapat diberikan obat-obat imunosupresif(21). Tindakan bedah kosmetik sebaiknya tidak dilakukan, karena sifat penyakit yang sering eksaserbasi, sehingga keadaan akan lebih buruk(5). PENUTUP Inflamasi nonmikrobial pada vulva umumnya mempunyai etiologi yang belum jelas. Penyakit-penyakit yang digolongkan di sini dapat terjadi pada lesi vulva yang putih maupun merah, lesi berbentuk ulkus atau suatu karsinoma in situ.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Hanifa W. Anatomi alat kandungan. Ilmu Kebidanan, anatomi dan fisiologi alat–alat reproduksi, ed. II 1986; 23–5. King, Nicol, Rodin. Vulva. Female, Venereal Diseases. Bailliere TindallLondon, 4th. ed. 1980; hal. 183–7. Bloom, Fawcett. External genitalia, Female reproductive system, a textbook of histology, 11th, et., W.B. Saunders Company, 1986; hal. 899. Craigmyle MBL. Genitalia ekstema, alih bahasa J. Tambajong. Atlas Berwama Histologi, ed. II, Jakarta : Bagian Histologi FKUI, 1987; haL 141–2. Friedrich EG. Diagnosis and therapy, Management of neoplasia, red lesions, white lesions, ulcers. Vulvar diseases, 2nd. ed., W.B. Saunders Co 1983; hal. 95–8, 112–8, 124–6, 130–40, 174. Stolz E, Henk E, Menke, Vuzevski VD. Novenereal genital dennatoses. Dalam: Sexually Transmitted Diseases, Holmes KK (ed.) New York: McGraw Hill Book Co 1984; hal. 714–23. Weinrauch L, Katz M. Psoriasis vulgaris of labium majus. Cutis 1986; 38: 333–4. Gerbie MV. Malignant neoplasms of the vulva. In: HJ Buchsbaum. Gynecology and Obstetrics, Philadelphia : Harper and Row Publ 1981; 1 : 1–2. Friedrich G, Wilkinson EJ. The histopatology of vulvar neoplasia. Dalam: ed HJ Buchsbaum. Gynecology and Obstetrics. Philadelphia : Harper & Row 1984; 4:1–8, 11. Mohs FE, Blanchard L. Microscopically controlled surgery for extramammary Paget's disease. Arch. Dennatol. 1979; 115 : 706–8. Caro WA, Bronstein R. Tumor of the skin. Dalam: Moschella L, Hurley I (eds.). Dermatology 2nd ed., WB Saunders Co 1985; hal. 1551–2. Hart WR, Millman JB. Progression of intraepithelial Paget's disease of the vulva to invasive carcinoma. Cancer 1977; 40 : 2333–7. Scott IS. Vulvar dystrophy, benign disease of the vagina and vulva. Dalam: Whitfield CR(ed.) : Dewhurst's, textbook of Obstetrics & Gynecology for postgraduates, 4th. ed., Blackwell Scient Publ 1986; hal. 710–16. Friedrich E. Vulvar dystrophy. Postgrad Obstetr & Gynecol 1987; 7 : 1–6. Franklin III EW. Treatment of malignancy of the vulva. Dalam: Buchsbaum JH (ed.) : Gynecology and Obstetrics. Philadelphia : Harper & Row Publ 1984; 4 : 1–2.

,

16. Murphy FR et al. Familial vulvar dystrophy of lichen sclerosus type. Arch. Dermatol 1962; 118.: 329–1. 17. Ridley CM. Recent advance in vulval disease. Dalam: R.H. Champion (ed.). Recent advances in Dermatology,number seven, Churchill Living stone 1986; 127–35. 18. Friedrich EG, MacLaren NK. Genetic aspects of vulvar lichen sclerosus. Am J Obset Gynecol 1984; 150: 161–4. 19. Hon Yet al. Toxic mucocutaneus–intestinal syndrome; experimental Behcets condition induced by organic chlorine and phosphorous compound administration. Dalam: CE Orfananos et al. (ed.) Proc XVII World Congr of

Dermatology, Berlin 1987; 298–9. 20. Lever WF, Schaumburg G – Lever. Dermatitis. Histopathology of tke akin, 6th. ed. Philadelphia : JB Lippincott Co 1983; 99, 193, 499, 513–14. 21. Lee S. Behcet's syndrome. Dalam: CE Orfanos, et al (ed.) Proc XVII World Congr of Dermatology, Berlin 1987; 87–91. 22. Kaneko F. et al. Immunological studies on aphthous ulcer and erythema nodosum–like eruptions in Bchcet's disease. Brit J Dermatol. 1985; 113 : 330–2. 23. Reimer G et al. Lytic effect of cytotoxic lymphocytes on oral epithelial cells in Behget's disease. Brit J Dermatol 1982; 107 : 529–36.

Infeksi Bakteri Anaerob pada Alat Genital Djunaedi Hidayat, Jubianto Judanarso, Sjalful Fahmi Daili Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr Cipto mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Infeksi bakteri anaerob seringkali tidak diperhatikan oleh dokter dan ahli mikrobiologi, meskipun beberapa di antaranya dapat menjadi kronis ataupun fatal(1). Bakteri anaerob merupakan flora residen yang biasa dijumpai di kulit dan mukosa, terutama di rongga mulut dan saluran cerna, sehingga sering dijumpai pada infeksi di daerah tersebut(2). Infeksi yang timbul umumnya merupakan infeksi campuran baik dengan bakteri aerob, bakteri fakultatif maupun bakteri anaerob lain(1,3). Akhir-akhir ini banyak penelitian ditujukan pada peranan bakteri anaerob pada infeksi saluran genital (terutama wanita), Rotheram dan Schik (1969) menemukan spesies anaerob pada kultur darah 34 dari 56 kasus aborsi septik, clan Hall (1967) menemukan bakteri anaerob pada infeksi pasca bedah(4). Bakteri anaerob yang paling sering ditemukan pada saluran genital wanita adalah Bacteroides spesies dan bakteri fakultatif; yang paling sering diisolasi adalah basil enterik gram negatif dan Streptococcus species. Kepentingan Bacteroides sp. dan Clostridia sp. pada infeksi yang berat juga mendapat perhatian. Hal ini juga ditunjang oleh perkembangan teknik pemeriksaan terhadap bakteri anaerob sehingga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan yang lebih terarah dan baik(1,3). Secara umum infeksi bakteri anaerob memberi gambaran yang mirip dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerob maupun fakultatif, sehingga makalah ini tidak akan membahas secara terperinci infeksi bakterial, tetapi akan dibatasi mengenai hal-hal khusus terutama infeksi pada alat genital wanita(1,4). MIKROBIOLOGI Sulit untuk menentukan definisi yang tepat mengenai anaerob. Tidak tepat bila dikatakan bahwa bakteri anaerob adalah bakteri yang mati bila berada pada oksigen atmosfir ataupun

bakteri yang dapat tumbuh tanpa udara.Oleh karena itu untuk kepentingan praktis dibuatdefinisi secara sederhana yaitu bakteri yang tumbuh hanya memerlukan tekanan oksigen yang rendah dan tidak dapat tumbuh pada permukaan media solid di udara (O2 18% dan CO2 10%)(1,5). Klasifikasi dan karakterisasi bakteri anaerob masih merupakan masalah terutama karena banyaknya sinonim yang digunakan untuk bakteri tersebut(6). Gambaran klinis infeksi bakteri anaerob pada genitalia(1,3,4): A. Pada wanita : – Alat genital bagian bawah dan sekitarnya : – Vaginitis – Abses dinding vaginal – Abses para vaginal – Abses vulva – Bartholinitis – Abses Bartholin – Skenitis – Abses kelenjar Skene – Abses para klitoroidal – Abses perineal – Abses periuretral – Alat genital bagian atas : – PID Pada laki-laki : – Asbes skrotalis – Asbes perineal – Asbes periuretral – Asbes prostatik – Asbes para prostatik – Prostatis kronik – Cowperitis – Asbes testis

– Uretritis – Balanopostitis Faktor predisposisi atau yang berhubungan dengan infeksi anaerob pada alat genital wanita adalah sebagai berikut(1): – Kehamilan – Puerperium, terutama bila terjadi : – Ketuban pecah dini – Partus lama – Perdarahan pasca lahir – Aborsi (spontan atau induksi) – Keganasan – Iradiasi – Bedah obstetrik-ginekologik Kauterisasi serviks – Stenosis vaginal atau endoserviks – Fibroid uterin – AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)

Tabel 1.

Klasifikasi bakterl anaerob yang dapat dijumpai di klinik(5). Garam ( –) :

I. Kokus : 1. Veillonella : – parvula – alcalescens 2. Acidaminococcus : – fermentans 3. Megasphaera : – elsdenii

IIA. Basil motil : 1. Vibrio sputorwn 2. Selenomonas sputigena 3. Bakteroides : – serpens – girans IIB. Basil non motil : 1. Bacteroides : – fragilis – melaninogenicus – oralis – putredinis – corrodens – rwninicola 2. Fusobacterium (Sphaerophorus) : – necrophorum – varium – mortiferum – nucleatum

Garam (+) : I. Kokus : 1. Peptococcus : – aerogenes – assacharolyticus – prevotii – variabilis – constellatus – anaerobius – magnus 2. Peptostreptococcus: – productus – anaerobius – intermedius – micros IIA. Basil pembentuk spora : Clostridium : – tetani – septicum – histolyticum – botulinum – cochlearum – novyi – butyricum – sporogenes – cadaveris – perfringens – bifermentans – ramasum IIB. Basil tidak membentuk spora : 1. Propionibacterium : – acnes 2. Eubacteriwn : – alactolyticum 3. Catenabacterium 4. Ramibacteriwn 5. Actinomyces 6. Bifuiolxicteriwn

VAGINITIS–VAGINOSIS Bakteri anaerob merupakan bagian dari flora normal vagina.

Tabel 2.

Bakteri anaerob yang sering dijumpai pada alai genitalia (wanita)(1,7)

− − − – − − – – − – –

Peptococcus (prevotii, magnus) Peptostreptococcus (anaerobius, intermedius) Veillonella Bacteroides (fragilis, melaninogenicus) Fusobacterium (necrophorwn) Eubacterium Anaerobic Streptococcus Clostridium (perfringens) Actinomyces (israelli) Lactobacilus (catenaforme) Propionibacterium

Oleh karenanya tidaklah mengherankan bila mikroorganisme tersebut dapat terlihat pada alat genital wanita. Di antara bakteri anaerob, Bacteroides sp. paling sering ditemukan, sedang Clostridia sp. jarang. Di samping itu sering terlihat pula infeksi campuran dengan bakteri fakultatif ataupun anaerob lain. Pada infeksi polimikrobial, bakteri fakultatif mula-mula akan mengkonsumsi oksigen dan karenanya menciptakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan bakteri anaerob(8). Hal ini diperlihatkan oleh Gorbach dkk. pada binatang percobaan dengan menginokulasikan flora usus (secara kualitatif serupa dengan flora genital) pada rongga peritoneal. Ternyata mula-mula terjadi peritonitis yang disebabkan oleh bakteri fakultatif (terutama E. coli) dan bila binatang tersebut dapat bertahan hidup akan terjadi abses peritonitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob(9). Galaks RP mengemukakan pendapatnya bahwa bakteri anaerob dan aerob melekat pada dinding vagina dan tempat perlekatan tersebut diduga berhubungan dengan reseptor spesifik yang terdapat pada membran mukosa. Sekali melekat, mikroorganisme anaerob yang dominan akan membentuk mikrokoloni dan menutupi diri dengan bahan kapsular yang dapat melindungi terhadap antibiotik, invasi sistem pertahanan tubuh dan gangguan mikrorganisme lain(10). Penyebab vaginitis nonspesifik masih kontroversial. Walaupun pada beberapa penelitian flora mikrobial vagina pada vaginjtis nonspesifik tidak khas, tetapi dari penelitian lain ditemukan peningkatan prevalensi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob dalam cairan vagina penderita. Efektivitas metronidazol pada pengobatan vaginitis nonspesifik juga memberi kesan bahwa bakteri anaerob mempunyai peranan pada sinthorn tersebut, karena metronidazol lebih aktif terhadap bakteri anaerob daripada Gardnerella vaginalis(9). Selain itu adanya bakteri anaerob dan/atau G. vaginalis serta tidak ditemukannya laktobasilus dalam cairan vagina adalah karakteristik pada vaginitis nonspesifik. Konsentrasi bakteri anaerob dan G. vaginalis cairan vagina adalah 100 sampai 1000 kali lebih tinggi pada wanita dengan sindrom vaginitis daripada wanita sehat tanpa tandatanda infeksi vagina(9,10). Walaupun semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa bakteri anaerob merupakan penyebab vaginitis nonspesifik, tetapi mekanisme ataupun patogenesisnya masih belum jelas(9). Untuk mempelajari penyebab vaginitis nonspesifik, dilakukan analisis cairan vagina wanita normal dan penderita

vaginitis nonspesifik, dan pemeriksaan kultur anaerobik kuantitatif serta kromatografi gas-liquid untuk metabolit asam organik rantai pendek yang berasal dari flora mikrobial. Dalam cairan vagina normal asam laktat adalah asam organik yang dominan dan organisme yang dominan adalah laktobasilus dan Streptococcus sp. (penghasil asam laktat). Pada vaginitis nonspesifik kadar asam laktat menurun, sedang asam suksinat, asetat, butirat dan propionat meningkat, dan flora dominan menjadi G. vaginalis dan/atau bakteri anaerob, termasuk Bacteroides sp. (penghasil suksinat) dan Peptococcus sp. (penghasil butirat dan asetat(9). PERANAN BAKTERI ANAEROB PADA INFEKSI G. VAGINALIS Patogenesis vaginitis nonspesifik sampai sekarang masih belum jelas.Dari beberapa penelitian terlihat adanya hubungan erat antara vaginitis nonspesifik dengan G. vaginalis yang bersama dengan bakteri anaerob merupakan pembawa peran etiologik, G. vaginalis sering ditemukan dalam cairan vagina penderita yang disertai peningkatan jumlah bakteri Bacteroides sp. dan Peptococcus sp.; dan bilamana penderita sembuh akan terjadi pengurangan atau menghilangnya G. vaginalis dan bakteri anaerob. Cairan vagina penderita vaginitis nonspesifik mengandung beberapa amin, antara lain putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin, histamin dan tiramin. Hal ini terjadi karena adanya simbiose antara G. vaginalis sebagai pembentuk asam amino bakteri anaerob yang mengubah asam amino menjadi amin, aldbatnya pH cairan vagina naik sampai suasana yang menyenangkan bagi pertumbuhan G. vaginalis. Berbagai jenis amin diketahui menyebabkan iritasi dan kerusakan sel epitel, meningkatkan pelepasan sel epitel dan menyebabkan cairan yang keluar dari vagina berbau tidak enak(11). Belum jelas faktor hospes yang menentukan timbulnya gejala individu; dari beberapa penelitian terlihat bahwa penderita dengan gejala mempunyai kadar amin yang lebih tinggi dalam cairan vagina(12). Juga belum jelas apakah penyakit ini endogen atau ditularkan melalui hubungan seksual(9,11). DIAGNOSIS VAGINOSIS BAKTERIAL Anamnesis dan pemeriksaan klinis Penderita biasanya mengeluh adaya duh tubuh vagina yang berbau tidak enak (amis). Bau amis sering dinyatakan sebagai satu-satunya gejala yang tidak menyenangkan dan bervariasi dari ringan sampai berat(11). Pada pemeriksaan ditemukan duh tubuh vagina dengan konsistensi dari encer sampai seperti lem, yang jumlahnya bervariasi dari sedikit sampai banyak, berwarna abu-abu, homogen dan berbau amis. Duh tubuh ini cenderung melekat pada dinding vagina dengan rata dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kilauan difus. Bila dihapus tampak mukosa vagina yang normal. Kadang-kadang terdapat peradangan ringan. Adanya duh tubuh vagina yang keabuan pada introitus vagina, mengarah ke diagnpsis(11).

Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan pH vagina : Pada penderita vaginosis bakterial dijumpai pH vagina > 4,5. Menurut Fleury (1983) pada penderita dengan keluhan dijumpai pH 5 – 5,5, sedangkan tanpa keluhan 4 – 4,5o). Eschenbach (1988) berpendapat pH < 4,5 dapat menyingkirkan kemungkinan adanya vaginosis bakterial. Pemeriksaan pH vagina ini bersifat sensitif, tetapi tidak spesifik untuk vaginitis bakterial(11). b. Tes amin dengan KOH 10% (tes Whiff) : Tes amin ini mula-mula dilakukan oleh Pfeifer dkk. (1978) yaitu dengan meneteskan KOH 10% di atas gelas obyek yang ada duh tubuh vagina. Hasil dinyatakan positif bila tercium bau amoniak"). Karena bau yang timbul bersifat sementara, gelas obyek hendaknya didekatkan ke hidung. Bau yang timbul merupakan produk metabolisme yang kompleks yaitu poliamin yang pada suasana basa akan menguap. Tes ini cukup dapat dipercaya karena bersifat sensitif dan spesifik bila dikerjakan dengan baik(11). c. Pemeriksaan garam faal : Dengan cara pemeriksaan ini dapat dilihat antara lain, laktobasilus, leukosit, trikomonas dan clue cell. d. Pewarnaan gram : Pada vaginosis bakterial jumlah bakteri G. vaginalis, Bacteroides sp.,Peptostreptococeus sp.danMobiluncus sp. meningkat 100 sampai 1000 kali lebih banyak daripada normal. e. Pemeriksaan kultur : Bermacam-macam media dianjurkan untuk pemeriksaan kultur antara lain agar coklat, agar casman, agar vaginalis, human blood agar, agar pepton starch dan Columbia-colistin-nalidixic acid. Kultur biasanya dilakukan pada suhu 37° C selama 48–72 jam. Sebagai media transport dapat digunakan media transport Stuart atau Amies(10). KRITERIA DIAGNOSIS(9,13) 1) Dari pemeriksaan mikroskopis cairan vagina tidak ditemukan jamur, trikomonas, ataupun gonokokus. 2) Duh tubuh vagina ditandai > 2 gejala : a. kualitas cairan homogen, encer sampai seperti lem, keabu-abuan. b. pH > 4,5. c. tercium bau amina yang amis pada penambahan KOH 10%. d. Clue cell (Gard. vaginalis). 3) Pemeriksaan kromatografi gas-liquid: ratio suksinat-laktat meninggi (> 0,4). 4) Pemeriksaan kulktur.

PENGOBATAN 1. Topikal : Pemakaian krim sulfonamida tripel, supositoria yang berisi tetrasiklin ataupun povidon iod in, biasanya kurang memuaskan dan penyembuhan hanya sementara selama penggunaan obat

topikal tersebut(11).

KEPUSTAKAAN 1.

2. Sistemik : a) Metronidazol : Dengan dosis 2 kali 400 mg atau 2 kali 500 mg setiap hari selama 7 hari atau tinidazol 2 kali 500 mg setiap hari selama 5 hari, dicapai angka penyembuhan lebih dari 90%. b) Penisilin dan derivatnya : Penisilin G cukup efektif untuk beberapa bakteri anaerob dengan dosis kira-kira 2 – 10 juta Unit setiap hari selama 5 hari. Sedangkan ampisilin atau amoksisilin dengan dosis 4 kali 500 mg setiap hari selama 5 hari. Kegagalan pengobatan dengan penisilin dan derivatnya dapat diterangkan dengan adanya beta laktamase yang diproduksi oleh Bacteroides sp.(11). c) Tetrasiklin dan Kloramfenikol : Sekarang jarang dipakai karena kurang efektif(12) d) Eritromisin : Terutama efektif untuk bakteri anaerob gram positif seperti Bacteroides, Streptococcus dan Clostridia(11). e) Sefalosporin dan sefoksitin. f) Klindamisin(12).

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Finegold SM, RosenblattJE, Sutter VL et al. Anaerobic Infections. Thomas BA. Michigan : the UpJohn Co, 1972. Brook J. Clinical approach to diagnosis of anaerobic infections. In : Anerobic Infection in Childhood. Boston : G.K. Hall Medical Publishers, 1983. pp. 15–19. Finegold SM. Anaerobic Bacteria in Human Disease. New York, London: Academic Press Inc., 1977; 1 : 1–67. Swenson RM, Michaelson TC, Daly MJ, et al. Anaerobic bacterial infections of the female genital tract. Obstet Gynecol 1973; 42 : 538–41. Ferguson IR. The Diagnosis of Anaerobic Infection. Intemational Congress and Symposium Series, 1979; 18 : 13–18. Suzuki S, Ueno K. Anaerobic bacteria. Illustrated Laboratory Techniques Series, 1984; 1 : 7–65. Vorherr H. Puerperal genitourinary infection. Clin Obstet Gynecol 1986;2: 91:1–5. Schwarz RH. The treatment of major gynecologic sepsis. Clin Obstet Gynecol 1986; 1; 28 : 1–3. Spiegel CA. Amsel R, Eschenbach D, et al. Anaerobic bacteria in nonspecific vaginitis. N Engl J Med, 1980; 303 : 601–7. Galask RP. Vaginal colonization by bacteria and yeast. Am J Obstet Gynecol 1988; 158 : 993–5. Judanarso Jubianto. Vaginitis Non spesifik. Bmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. I, 1987; 311–6. Selkon JB. Choice of Chemotherapy for the Anaerobe. International Congress of Symposium Series, 1979; 18 : 29–33. Eschenbach DA, Hillier S, Critchlow C et al. Diagnosis and clinical manifestations of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1988; 158 819–28.

The easiest person to deceive is yourself

Staphylococcus Scalded Skin Syndrome pada Bayi Harijono Karlosentono, Ny. Indah Yulianto, M. Goedadl Hadilukito Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Kultt dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret RSU Dr Muwardi, Surakarta

PENDAHULUAN Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) adalah penyakit infeksi disebabkan oleh Staphylococcus aureus grup II dengan manifestasi klinik beraneka ragam, dari bentuk ringan dengan kelainan kulit setempat (lokal), impetigo bulosa sampai bentuk generalisata dengan tanda epidermolisis dan deskuamasi(1). Penyebab terjadinya lesi kulit adalah eksotoksin spesifik yang diproduksi oleh S. aureus grup II yang mengakibatkan kerusakan superfisial pada stratum granulosum. Pertama kali Ritter von Rittershain pada abad 19 menggambarkan kasus-kasus yang disebutnya dermatitis exfoliatif neonatorum. Baru pada tahun-tahun 1940–1950 adanya hubungan. dengan stafilokokus grup II dapat dibuktikan (dikutip dari 1). Sedangkan Lyell (1956) menyebutnya sebagai NET (Nekrolisis epidermal toksik) untuk bentuk epidermolisis yang general dengan etiologi yang belum jelas, yang diduga disebabkan alergi obat terutama sistemik, infeksi (virus, bakteri, fungus, parasit) dan sebab-sebab lain seperti keganasan, radioterapi dan idiopatikm. Dan jika NET disebabkan oleh karena infeksi stafilokokus maka disebut SSSS. Bentuk generalisata dari SSSS biasanya atau sering ditemukan pada neonatus kurang dari 3 (tiga) bulan; jarang pada orang dewasa kecuali pada kasus-kasus gangguan imunologis atau insufisiensi ginjal sebagai faktor predisposisi. Infeksi oleh stafilokokus grup II ini biasanya dimulai dari konjungtivitis purulenta, otitis media atau infeksi nasofaringeal; mungkin pula berasal dari infeksi di tem-pat lain yang tersembunyi. Bayi baru lahir (neonatus) merupakan awal kehidupan manusia yang rentan terhadap infeksi, ditambah lagi respon imunologik belum sempurna; terutama bila kelahiran bayi ditolong dukun yang kurang memperhatikan masalah kebersihan atau sterilitas pada saat persalinan, misalnya pada waktu meDibacakan di: Kongres Nasional VII Perdoski, Bukitt inggi 9–12 Nopember 1992

motong tali pusat. Pada neonatus inilah SSSS dapat berakibat fatal walaupun pada orang dewasa dapat juga terjadi. Angka kematian berkisar antara 2 – 3% dan biasanya disebabkan oleh sepsis(3). Berikut ini dilaporkan satu kasus SSSS pada seorang bayi usia 10 hari yang lahir dengan pertolongan dukun di rumah sendiri. Penderita telah mulai sakit sejak usia 7 hari dan dirawat di Lab./UPF Kulit & Kelamin RS Dr. Muwardi Surakarta bersama dokter spesialis anak. Berakhir dengan kematian pada hari ke 9, oleh karena sejak datang di RSDM sudah dalam keadaan sepsis. LAPORAN KASUS Seorang bayi laki-laki usia 10 hari masuk rumah sakit di laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Rumah Sakit Dr. Muwardi Surakarta (RSDM) pada tanggal 13 Mei 1992. Keluhan utama (dari orang tua) adalah kulit bayi mengelupas pada hampir seluruh tubuh serta kemerahan, dan bayi dalam keadaan rewel, suhu tubuhnya panas. Riwayat penyakit Dari allo anamnesis orang tua, didapatkan bahwa penderita lahir cukup bulan dengan pertolongan dukun di rumah sendiri. Pada saatberusia 7 hari, kulitbayi mulai terlihat kemerahan pada wajah dan lipatan-lipatan kulit di badan. Kemudian timbul lepuh-lepuh kecil berisi cairan jernih dengan dinding kendor yang makin lama makin bertambah banyak dan meluas ke seluruh tubuh. Lepuh-lepuh bertambah lebar dan kemudian memecah sehingga kulit tampak mengelupas serta berwarna kemerahan. Sehari kemudian penderita mulai demam dan rewel. Oleh karena badan semakin panas dan semakin rewel penderita dibawa ke Puskesmas yang kemudian dianjurkan dan dirujuk ke RSDM.

Penderita minum ASI sejak lahir dan belum pemah diimunisasi, belum pernah sakit lain sebelumnya. Sakit yang sekarang ini belum diobati. Pada saat lahir bayi lahir spontan, cukup bulan dan menangis cukup kuat. Pemeriksaan (tanggal 13 Mei 1992) : Status umum Keadaan umum bayi tampak sakit dan lemah, kesadaran kompos mentis dan gizi kurang. Tanda-tanda vital : BB = 3.2 kg, PB = 50 cm, nadi 160 kali/menit, isi dan tegangan cukup, irama reguler, suhu 39°C. Pernafasan 36 kali/menit, menggigil dan agak sianosis. Status internus Paru-paru, jantung dalam batas normal; inspeksi: abdomen lebih tinggi daripada dada, pada palpasi teraba tegang (distended). Hapar & lien tidak teraba, Peristaltik usus negatip. Status dermatologis Kepala Terutama di sekitar mulut serta daerah oksipital didapatkan deskuamasi, sebagian menjadi erosi dan di beberapa tempat masih tampak adanya vesikel dan bula, isi jemih. Di daerah wajah sekitar mulut terdapat erosi kemerahan, vesikel dan bula yang kendor. Tanda Nikolsky sulit dinilai. Mata : konjungtiva hiperemis, sekret tidak didapatkan dan palpebra oedem. Badan Di daerah dada sampai leher terlihat deskuamasi, kemerahan, erosi dan di beberapa tempat didapatkan krusta. Juga di daerah punggung terdapat deskuamasi serta erosi, kemerahan. Ekstremitas Deskuamasi dan denuded area terlihat dominan pada daerah bokong, sampai tungkai bawah. Pada telapak kaki kulit juga mengalami deskuamasi. Terlihat erosi yang luas kemerahan, bula yang kendor, isi cairan keruh pada telapak tangan dan kaki. Pada ekstremitas atas, daerah aksila, siku sampai tangan didapatkan deskuamasi dengan dasar eritematous. Pemeriksaan laboratorium Tanggal 15 Mei 1992 basil pemeriksaan sebagai berikut, Darah : Hb = 13.5 g%, Ht = 36, lekosit = 9500/mm3 Urine : warna kurang jemih, pH = 5, reduksi +4 Sedimen : eritrosit : 2–3/1p., lekosit : 3–5/lp., epitel : 4–6/Ip., kristal : [–], silinder : hialin [+], jamur : [+] Tinja : Warna kuning muda, konsistensi cair; lendir [+], lekosit = 10-15, eritrosit 1–2, amuba [–], telur cacing lain-lain: lemak [+], bakteri [+]. Sitologi cairan isi bula tidak menemukan sel akantolitik dan pewarnaan gram tidak mendapatkan kuman coccus. Pemeriksaan C-Reactive Protein tidak dikerjakan berhubung orang tua bayi menolak. Diagnosis banding – SSSS – Impetigo bullosa Diagnosis kerja Staphylococcus Scalded Skin Syndrome

Pengobatan sementara Amoksisilin sirop = 3 x 125 mg/hari; topikal diberi gentamisin him 0.1%. Penderita dikonsulkan ke lab/UPF IKA (Ilmu Kesehatan Anak) dengan jawaban sebagai berikut : (Tgl. 15 Mei '92) – Bayi 10 hari dengan persalinan dukun, terlihat lemah, merintih, febris (+) dengan suhu 39°C, kulit mengelupas – cor/pulmo tak ada kelainan; abdomen kembung (meteorimus), peristaltik (–). Diare cair, warna putih, bising usus (–). Diagnosis Neonatus BB lahir cukup bulan dengan sepsis + dermatitis exfoliatif general. Saran pengobatan Infus dekstrose 0.25 in saline = 15–16 tts/mnt, injeksi visilin = 3 X 150 mg + gentamisin 2 X 75 mg iv. Oral : parasetamol 30 mg tiap kali diperlukan, pasang gastric tube dan bayi dipuasakan. Selama perawatan Setelah konsultasi ke lab/UPF Anak, pengobatan diberikan sesuai dengan anjuran dan amoksisilin (oral) dihentikan. Pada hari ke 4, lesi kulit mulai mengering, terutama yang di badan, sedangkan lesi di sekitar mulut masih ada berupa makula eritematosa, erosi dan krustae. Namun keadaan umum penderita tetap lemah, dan bayi bertambah rewel. Pada hari ke 8, hampir seluruh tubuh terbentuk krustae dan erosi terjadi lagi serta deskuamasi luas. Anak mulai sesak nafas dan keadaan umum bertambah lemah serta abdomen masih tetap distended. Pengobatan ditambah pemberian O2 dan antibiotika diganti dengan Claforan® intravena. Hari ke 9 tidak ada perbaikan, anak mulai apatis, lesi kulit hampir seluruh tubuh erosif, krustae dan deskuamasi. Pada pukul 10.00 tangga1 20 Mei 1992 (hari ke 10) penderita meninggal dunia. DISKUSI Pada kasus ini diagnosis SSSS ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinis yang khas; pemeriksaan laboratorium yang menyokong adalah hitung lekosit = 9500. Sayang pemeriksaan C-Reactive Protein tak dapat dikerjakan. Gejala-gejala yang khas berupa deskuamasi kulit yang luas terjadi akut terutama di leher, aksila, sekitar mulut dan bokong sampai telapak kaki. Didapatkan pula daerah dengan erosi yang luas (denuded area) dan eritematous. Selain itu masih didapatkan bula dengan dinding kendor pada telapak tangan dan kaki. Sejak pertama datang penderita telah mengalami sepsis, dengan tanda panas tinggi, rewel, menggigil dan sianosis; perut kembung (distended) dan peristaltik usus negatif yang memberikan indikasi adanya ileus paralitik. Penderita juga mengalami diare dengan faeces berupa cairan putih yang menandakan ASI tidak diabsorbsi di usus. Sepsis biasanya diikuti dengan syok (septic shock), disebabkan oleh bakteriemi basilLbasil gram negatif seperti E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus spesies dan Pseudomonas(4).

Sepsis pada neonatus sering berakibat fatal, oleh karena pada neonatus kemampuan bakterisid dari granulosit masih rendah. Begitu pula fungsi makrofag juga masih belum sempurna dan derajat komponen sistim komplemen yang memainkan peranan dalam fagositosis organisme tubuh yang belum terpajan, hanya meningkat sedikit(5). Penderita ini kelahirannya ditolong dukun dan berlangsung di rumah; kemungkinan sepsis -dapat terjadi akibat kurangnya kebersihan dan sterilitas pada saat persalinan maupun perawatan bayi setelah lahir; sehingga bayi terkena infeksi oleh kuman komensal, seperti Pseudomonas di hidung dan Staphylococcus di umbilikus. Penggunaan antibiotik ampisilin dan gentamisin tidak memberikan respon baik. Sayangnya penggantian dengan Claforan® agak terlambat sehingga penderita meninggal dunia. Penatalaksanaan kasus SSSS dengan sepsis terutama pada neonatus harus lebih hati-hati dan pengobatan secara cepat dan tepat menggunakan antibiotika berspektrum luas untuk bakteribakteri gram positif maupun negatif. Hal ini diperlukan untuk mengatasi sepsis sehingga dapat menghindari akibat fatal yang mungkin bisa terjadi.

RINGKASAN DAN PENUTUP Telah dilaporkan satu kasus SSSS pada bayi usia 10 hari. Sejak datang penderita telah mengalami sepsis mungkin disebabkan infeksi yang terjadi pada saat persalinan oleh dukun di rumah sendiri. Perawatan dilakukan bersama dengan dokter spesialis anak di Lab/UPF Kulit dan Kelamin RSU Dr. Muwardi Surakarta; sayangnya berakhir dengan kematian pada hari ke 9 oleh karena tidak dapat mengatasi sepsisnya.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

Ellias PM, Fritsch PO. Staphylococcal Scalded - Skin syndrome. In: Fitzpatrick;s et al (eds) Dermatology in General Medicine, third ed. New York: Mc Graw Hill Books Co. 1987. p. 567–71. Djuanda A. Diagnosis dan pengobatan NET, penderita rawat inap, Medika 1991; 17(12): 982–6. Maibach HI, My R, Noble W. Bacterial infections of the skin. In: Moschella S, Hurley HJ. (eds) Dermatology, second ed. Vol I, W B Saunders & Co, 1985; p. 599–642. Petersdorf RG. Septic shock. In: Harrison's Principle of Internal Medicine. Sixth ed. Mc Graw Hill Book Co Ltd 1971; p. 736–40.

Never throw mud You may miss your mark but you certainly have dirty hands (Joseph Parker)

Penatalaksanaan Lepra Dr. Dwi Djuwantoro Puskesmas Sejangkung, Sambas, Kalimantan Barat

PENDAHULUAN Lepra masih merupalcan salah satu penyakit yang paling menakutkan di negara-negara endemis, dan diperkirakan penderita lepra yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sekitar 10 sampai 12 juta. Sepertiganya terancam kecacatan progresif yang menetap, yang masih dikaitkan dengan pengapkiran sosial di sebagian besar negara. Diagnosis dan pengobatan dini yang efektif bermanfaat menurunkan jumlah penderita yang infeksius, sehingga diharapkan dapat mengontrol penyakit. Pendidikan kesehatan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pengenalan dan pengetahuan masyarakat tentang lepra, dengan demikian penderita akan mendapatkan perhatian medis secara dini dan kecacatan dapat dicegah, serta menurunkan stigma sosial terhadap lepra. Selain itu, rehabilitasi terhadap penderita yang cacat diperlukan untuk mengurangi beban sosial ekonomi keluarga. DIAGNOSIS Di negara-negara endemis, diagnosis lepra perlu dipertimbangkan pada setiap penderita dengan kelainan kulit atau saraf tepi yang membandel meskipun telah diberikan pengobatan atau jika ditemukan luka bakar pada tangan atau kaki yang tidak terasa nyeri, atau kaki gantung. Klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran klinis, bakteriologis, imunologis dan histologis(1). 1) Lepra tipe Indeterminate (I) Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi salah satu

tipe determinate. 2) Lepra tipe Determinate a) Lepra tipe Tuberkuloid (TT) Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebutdapatberupabercak-bercakhipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik. b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT) Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif. c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB) Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched out). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidal( stabil. d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL) Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makulaatau bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang

tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakaL Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif. e) Lepra tipe Lepromatosa (IL) Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul. Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jarijari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negatif. PENATALAKSANAAN Prognosis baik jika diagnosis penyakit ditegakkan secara dini dan diberikan pengobatan yang tepat. Penderita memerlukan rasa simpati dan reasuransi (karena stigma lepra masih ada) dan pendidikan untuk memastikan kecukupan dan kerja sama dalam pengobatan medis. Hospitalisasi dalam jangka waktu pendek selama 1 sampai 2 minggu dapat bermanfaat untuk penderita lepromatosa yang tertekan jiwanya dan yang mempunyai anak kecil yang tinggal bersamanya. Pengasingan penderita tidak perlu, karena masa penularan berlangsung hanya beberapa hari setelah pengobatan dengan rifampisin dimulai dan biasanya kurang dari 3 bulan setelah dapson atau klofazimin diberikan(2,3). 1) Pengobatan lepra tipe pausibasiler Ini meliputi lepra tipe Indeterminate, TT dan BT. Penderita diobati dengan dapson 100 mg sehari dan rifampisin 600 mg (atau 450 mg jika berat badan kurang dari 35 kg) sekali sebulan selama 6 bulan. Pedoman pengobatan ini dianjurkan untuk penderita lepra pausibasiler, lepra pausibasiler yang kambuh setelah diobati dengan dapson dan penderita yang mendapatkan monoterapi dapson namun tidak lengkap 2 tahun(2). 2) Pengobatan lepra multibasiler Ini meliputi lepra tipe BB, BL dan LL. Penderita ini diberikan pengobatan tripe]. (Tabel 1) sekurang-kurangnya selama 2 tahun atau sampai hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif. Penderita lepra tipe LL dapat memerlukan pengobatan lebih dari 5 tahun untuk memperoleh basil pemeriksaan usapan kulit negatif(2). Ada dua tujuan utama kemoterapi untuk lepra multibasiler, yaitu :

Tabe1 1. Pengobatan Tripel Dapson 100 mg/hari + Rifampisin 600 mg sekali sebulan (Di samping itu di Singapura Rifampisin diberikan dengan dosis 600 mg/hari selama 1 minggu untuk kasus-kasus baru dan relaps) + Etionamid atau protionamid 250–375 mg/hari atau Klofazimin 50 mg/hari atau 100 mg setiap selang sehari dan 300 mg sebulan sekali.

– –

Mencegah penularan infeksi di masyarakat. Mengobati penderita. Pemberian kombinasi obat mempunyai tujuan tambahan, yaitu mencegah timbulnya strain M. leprae yang resisten terhadap obat. Diberikan pada semua penderita lepra multibasiler, termasuk : – Penderita lepra yang diagnosisnya barn ditegakkan, yang belum mendapatkan pengobatan. – Penderita yang mempunyai respon yang baik terhadap pemberian monoterapi dapson. – Penderita yang mengalami relaps selama atau setelah pemberian monoterapi dapson. 3) Komplikasi MDT (terapi kombinasi) Penderita yang diberi MDT harus diawasi secara ketat terhadap reaksi dan toksisitas obat. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dasar (tabel 2) dan pemeriksaan transaminase serum ulangan setiap bulan untuk mendeteksi adanya hepatitis (akibat rifamnpisin, tionamid dan dapson meskipun lebih jarang), serta kadar hemoglobin dan hitung retikulosit untuk mengetahui adanya hemolisis (akibat dapson) dan hitung trombosit untuk mendeteksi adanya trombositopenia(4,5,6). Komplikasi yang serius akibat rifampisin meskipun jarang adalah renal shut down (nekrosis tubuler atau nefritis interstisialis), mungkin akibat reaksi imunologis(7,8,9). Komplikasi rifampisin yang jarang lainnya adalah kolaps yang mendadak seperti renjatan anafilaksis segera setelah minum obat. Pada kasus seperti ini pemberian rifanipisin harus dihentikan(6). Sindrom 'flu' akibat rifampisin dapat diobati secara simtomatis tanpa menghentikan pengōbatan(10). Neuritis juga dapat terjadi segera setelah sebuah dosis rifampisin diberikan(11). Tabel 2.

Pemeriksaan dasar

Hitung sel darah lengkap Laju Endap Darah Pemeriksaan fungsi hati SGPT Urinalisis Foto toraks Tes lepromin

4) Reaksi M. leprae Reaksi ini memerlukan terapi imunosupresi tambahan. Path reaksi tipe I (reversal) yang dapat terjadi pada lepra tipe non polar (BT, BB dan BL), dapat diberikan prednisolon dengan dosis 30 sampai 45 mg/hari, kemudian diturunkan perlahan-lahan selama beberapa minggu sampai dosis pemeliharaan 10 sampai 20 mg dalam waktu 4 sampai 12 bulan. Klofazimin untuk pengobatan

1

reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga dengan taliwdomid tidak efektif terhadap reaksi reversal(12). Pada reaksi tipe II (eritema nodosum leprosum) yang dapat terjadi pada penderita lepra tipe LL, talidomid merupakan obat pilihan kecuali pada wanita pramenopause(l2,13). Pengobatan alternatif untuk reaksi ini adalah klofazimin 200 sampai 300 mg/hari kemudian diturunkan perlahanlahan, atau prednisolon 30 sampai 45 mg/hari yang kemudian diturunkan secara cepat. Kelainan mata seperti iritis biasanya diobati dengan tetes mata steroid dan atropin.

penyakit masih aktif, karena masa inkubasi bervariasi dari 2 sampai 20 tahun. Anggota keluarga kontak diberi saran untuk memeriksakan diri secepatnya setelah menemukan adanya tanda-tanda kelainan kulit atau gangguan saraf sensoris.

5) Tindakan-tindakan umum Fisioterapi secara dini clan teratur perlu dilakukan pada penderita dengan kelemahan otot untuk mencegah kontraktur dan mempersiapkan penderita menjalani transplantasi tendon untuk mengembalikan fungsi anggota gerak. Lagoftalmus dapat dikoreksi dengan bedah plastik. Penderita sebaiknya diberitahu bagaimana cara melindungi dan merawat tangan dan kaki yang anestesi untuk mencegah trauma, infeksi sekunder dan hilangnya jaringan yang dapat menyebabkan kecacatan yang menetap.

3.

6) Pengawasan penderita setelah kemoterapi dihentikan WHO menyarankan untuk tetap melanjutkan pengawasan selama 4 tahun untuk penderita tipe pausibasiler dan 8 tahun untuk lepra tipe multibasiler setelah pemberian kemoterapi dihentikan. 7) Pemeriksaan kontak Penderita sebaiknya diberitahu untuk membawa keluarganya yang kontak untuk menjalani pemeriksaan pada saat diagnosis ditegakkan dan dalam waktu 6 sampai 12 bulan selama

KEPUSTAKAAN 1. 2.

4. 5. 6.

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity, a five group system. Intemat J Leprosy 1966; 34: 255. Ellard GA. Growing points in leprosy research 4 - recent advances in chemotherapy of leprosy. Leprosy Rev 1974; 45:31. Shepard CC et al. Rapid bactericidal effect of rifampicin on M. leprae. Am J Trop Med Hyg 1972; 21: 446. Cartel J et al. Hepatotoxicity of daily combination of 5 mg/kg prothionamide and 10 mg/kg rifampicin. Intermit J Leprosy 1985; 53(1): 15. Chen JK et al. The hepatotoxicity of combined therapy for leprosy (abstract). Indian J Leprosy 1984; 56 (at):147A. Tan T. Hepatitis in leprosy patients treated by monthly rifampic in/dofazimine and daily combination of dapsone/clofazimine and a thionamide in Singapore. Abstracts of theist Asian Dermatological Conggress,Hongkong, 1986. p. 91. Chan WC et al. Renal failure during interrnitent rifampicin therapy. Tubercle 1975; 56: 191. Cochran EM et al. Permanent renal damage with rifampicin. Lancet 1979; 1: 1428. Cordonnier D, Muller JM. Acute renal failure after rifampicin. Lancet 1972; 2: 1364. Girling DI, Hitzke KL Adverse reactions to rifampicin. WHO Bull 1979; 57: 45. Dinkar DP. Do complications occur under multi-drug therapy? (editorial). Indian J Leprosy 1987; 59: 369. Kosasih. Kusta. Ilmu Penyakit Kull' dan Kelamin. edisi pertain*. FKUI 1987, 73. Richard AM. Leprosy. Principles of Internal Medicine 1. eleventh ed 1988, 634.

Whenever you possibly can, do good to those who need it

Gambaran Diagnosis Dermatitis Atopik dengan Kriteria Hanifin- Rajka Goedadi Hadiloekito, Indah Julianto, Ach. Julianto Danukusumo Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Rumah Sakit Dr Muwardi, Surakarta

PENDAHULUAN Keluhan pengunjung poliklinik penyakit kulit yang paling sering dijumpai adalah dermatitis. Dan kemungkinan atopi sebagai dasar penyebab kelainan tersebut sangatlah besar. Penentuan diagnosis dermatitis atopik berdasarkan gambaran klinis telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Tidal( ada kriteriamutlak untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik, akan tetapi kriteria menurut Hanifin-Rajka yang mengkombinasi keluhan, distribusi lesi dan riwayat atopi yang paling sering dipakai. Dengan kriteria ini seseorang dapat dinyatakan menderita dermatitis atopik apabila memenuhi 3 atau lebih kriteria mayor dan ditambah 3 atau lebih kriteria minor. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persentase masing-masing kriteria pada penderita yang didiagnosis sebagai dermatitis atopik di poliklinik penyakit kulit dan kelamin RS Dr Muwardi Surakarta. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini melibatkan 102 penderita rawat jalan di poliklinik penyakit kulit dan kelamin RS Dr Muwardi Surakarta. Pertama kali dilakukan penyaringan penderita yang didiagnosis dermatitis atopik berdasarkan ketentuan memenuhi 3 atau lebih kriteria major dan 3 atau lebih kriteria minor dari Hanifin-Rajka. Kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada penderita yang memenuhi syarat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium sesuai dengan kriteria yang ada. Penelitian dilakukan sejak bulan Pebruari sampai bulan Juli 1992. Pencatatan dilakukan oleh peneliti dibantu mahasiswa tingkat akhir fakultas kedokteran UNS. Setelah dilakukan tabulasi dihitung persentase masing-masing kriteria dari HanifinRajka. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk persentase masingmasing kriteria ditambah dengan gambaran distribusi umur, sex

dan pekerjaan penderita. Tidak dilakukan uji banding dengan kelola. HASIL 1) Umur Terdapat 17 penderita dengan umur berkisar antara 0 – 15 tahun, 54 penderita antara 15–40 tahun dan 31 penderita dengan umur lebih dari 40 tahun (Tabel 1). Tabel 1.

Distribusi jenis kelamin dan umur penderita

Umur (tahun)

Lakl-laki

Perempuan

n 10 24 10

% 9,8 23,5 9,8

n

< 15 15 – 40 > 40 Jumlah

44

43,1

58

7 30 21

Jumlah

% 6,8 29,4 20,5

n 17 54 31

% 16,6 52,9 30,5

56,9

102

100

2) Jenis Kelamin Didapatkan 44 penderita laki-laki dan 58 penderita wanita. 3) Pekerjaan Terdapat 23 pelajar/mahasiswa, 14 orang wiraswasta, 24 orang bekerja sebagai pegawai negeri, 13 orang sebagai buruh tani; sisanya 28 orang tidak mempunyai pekerjaan termasuk di dalamnya ibu rumah tangga, anak pra sekolah dan pengangguran (Tabel 2). 4) – – –

Kriteria Hanifin-Rajka Kriteria major : Pruritus Distribusi dan morfologi khas Kronik residif

Jumlah 102 99 92

% 100 97 90

– – – – – – – – – – – –

– – –

Riwayat atopi penderita dan keluarga Kriteria minor : Xerosis Iktiosis Reaktifitas uji kulit tipe cepat Peningkatan IgE serum Mulai timbul : sebelum umur 5 tahun setelah umur 5 tahun Mudah terkena infeksi kulit Mudah terkena dermatitis pada tangan/ kaki Dermatitis pada puting susu Kheilitis Konjungtivitis berulang Lipatan infraorbital Dennie-Morgan Keratokonus Katarak anterior subkapsuler Hiperpigmentasi di bawah mata Muka pucat/muka eritem Lipatan leher bagian depan Pitiriasis Alba Gatal waktu berkeringat Intoleransi wol dan pelarut lemak Penekanan perifolikuler Intoleransi terhadap makanan Pengaruh lingkungan dan emosi White dermographism

Tabel 2.

72

70, 5 53, 48 88 76, 69, 30, 41, 52, 9 3,4 10, 13, 9,8 0 0 11, 17, 38, 6,8 70, 3,9 0 75, 16, 5,8

55 49 90 78 71 31 42 54 2 11 14 10 0 0 12 18 39 7 72 4 0 77 17 6

Distribusi umur dan pekerjaan penderita Umur (tahun)

Pekerjaan Pelajar/Mahasiswa Wiraswasta Pegawai Negeri Buruh Tani Tak Bekerja Jumlah

Jumlah

<15

15–40

>40

n

%

9 – – – 8

14 9 15 4 12

– 5 9 9 8

23 14 24 13 28

22,5 13,7 23,5 12,7 27,4

17

54

31

102

100

PEMBICARAAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa keluhan pruritus merupakan gejala utama dari seluruh penderita dermatitis atopik yang diperiksa (100%), sedangkan distribusi lesi yang khas didapatkan pada 99 penderita (97%) sifat kronik residif pada 92 penderita (90%) dan riwayat atopi didapatkan pada 72 penderita (70,5%). Menurut Hanifin-Rajka diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas didapatkannya 3 atau lebih gambaran dasar ini yang termasuk kriteria dasar atau major. Rasa gatal merupakan gejala yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Riwayat atopi penderita menurut Hanifin-Rajka terdiri dari penderita sendiri sebesar 50% dan riwayat keluarga sebesar hampir 70%. Gambaran iktiosis didapatkan pada 49 penderita (48%), menurut Rajka angka penelitiannya sebesar 50%.

Reaksi uji gores kulit didapatkan pada 90 penderita (88%), dikatakan oleh Rajka yang mendapatkan angka 80%, hal ini tergantung dari jenis antigen, kualitas konsentrasi dan standardisasinya. Peningkatan IgE serum didapatkan pada 78 penderita (76,4%), sedangkan Rajka mendapatkan angka sebesar 80% dan Svensson dkk. mendapatkan angka hanya 39%. Mulai timbulnya gangguan sebelum usia 5 tahun didapatkan pada 71 penderita (69,6%) dan setelah umur 5 tahun pada 31 penderita (30,3%). Hanifin mendapatkan angka sebesar 90% untuk awal timbulnya penyakit sebelum usia 5 tahun, sedangkan Svensson mendapatkan angka 51% untuk usia di bawah 1 tahun, 13% timbul pada usia antara 1– 5 tahun dan 36% di atas 5 tahun. Dermatitis pada tangan didapatkan pada 54 penderita (52,9%), sedangkan Hanifin-Rajka mendapatkan angka 70% penderita dermatitis atopik yang dimulai dengan dermatitis pada tangan. Lipatan infraorbital didapatkan hanya pada 10 penderita (9,8%), sedangkan Hanifin-Rajka mendapatkan angka sebesar 70% penderita atopik didapatkan kelainan ini. Svensson mendapatkan angka sebesar 60% penderita atopik dan 38% non atopik. Seluruh penderita tidak mengalami katarak subkapsular, sedangkan Hanifin-Rajka mendapatkan angka 16%. Hiperpigmentasi di bawah mata didapatkan angka,sebesar 11,7%, sedangkan Svensson berpendapat hal ini tidak renting seperti halnya white dermographism karena juga sering dijumpai pada orang normal. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian dari Engelhart dan Ofuji-Uehara. Intoleransi terhadap makanan didapatkan pada 77 penderita (75,4%) sedangkan Svensson mendapatkan angka 43% dan Hanifin-Rajka hanya menyatakan hal ini banyak dijumpai pada penderita dermatitis atopik, terutama yang berusia muda. Gatal pada waktu berkeringat didapatkan angka 70,5%, sedangkan Svensson mendapatkan angka 47%. Menurut HanifinRajka gejala ini seringkali terjadi pada cuaca panas, berpakaian tertutup dan pemakaian salap yang luas. Pengaruh lingkungan dan emosi didapatkan pada 17 penderita (16,6%), sedangkan Svensson mendapatkan angka 47%. KESIMPULAN Melihat angka-angka yang didapatkan dari penelitian ini, ternyata pengelompokan kriteria major dan minor untuk melihat gambaran klinis penderita dermatitis atopik hampir mendekati atau hampir sesuai dengan yang dikemukakan oleh HanifinRajka (1980). Akan tetapi pengelompokan gambaran klinis ini agak berbeda dengan apa yang diteliti oleh Svensson dkk. (1985). Perbedaan tersebut terletak path jumlah gejala yang tampak menonjol sesuai urutan persentase terbanyak. Pada penelitian kami tidak didapatkan gambaran katarak subkapsular, keratokonus dan penekanan perifolikuler dari kriteria minor keseluruhan penderita (n = 102). KEPUSTAKAAN 1.

Hanafm JM, Rajka G. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acts Dermacol. Vencreol (Stockh) 1980; supp192: 44–7.

2. 3. 4.

Rajka G. Atopic dermatitis. London, Philadelphia, Toronto: WB Saunders, 1975. Hanifin JM, Lobitz WC. Newer concepts of atopic dermatitis. Arch Dermatol 1977; 113: 663. Uehara M, Ofuji S. Abnormal vascular reactions in atopic dermatitis. Arch

5.

Dermatol 1977; 113: 627. Svcnnson A, Edman B, Moller H. A Diagnostic tool for Atopic Dermatitis based on Clinical Criteria. Acta Dermatol Venereol (Stockh) 1985; (suppl) 114: 33–40.

Tes Uji Tempel pada Penderita Dermatitis Atopik Goedadi Hadiloekito, Suwito PS, Ach. Jullanto Danukusumo Laboratorium/UPF tlmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Rumah Sakit Dr Muwardi, Surakarta

PENDAHULUAN Masih banyak pertentangan pendapat mengenai dapat ti:mbulnya reaksi kontak alergdc pada penderita dermatitis atopik. Cormane menyebut penderita dermatitis atopik yang juga menderita dermatitis kontak alergik sebagai dermatitis campuran atau mixed dermatitis. Dermatitis atopik merupakan kelainan kulit yang disebabkan reaksi imun humoral, sedangkan dermatitia kontak alergik karena reaksi imun seluler. Sebetulnya pada dermatitis atopik selain didapatkan gangguan imunitas humoral juga ada kelainan atau gangguan sistem imunitas seluler; pada dermatitis atopik terdapat defek sistem imunitas seluler, dalam hat ini defek sel T-limfosit sehingga reaksi kontak atergik yang diperantarai sel ini pada penderita dermatitis atopik tidak mudah timbul. Rostenberg dan Sulzberger mendapatkan insidens uji tempel yang rendah pada penderita dermatitis atopik, di mana reaksi kontak alergik tidak mudah timbul. I. Rystedt mendapatkan bahwa frekuensi uji tempel yang positif pada penderita dermatitis atopik lebih rendah bermakna dibandingkan non atopik. Epstein mendapatkan insidens dermatitis kontak alergik pada 28% penderita dermatitis atopik, Jones dick. (1973) mendapatkan 15% penderita atopik mengalami tes uji tempel yang positif, sedangkan Young dkk. (1985) mendapatkan insidens kontak alergik sebesar 38% pada penderita dermatitis atopik, dan S. Margeschu (1985) mendapatkan sebaran sebesar 39,5% penderita dermatitis atopik yang mengalami kontak alergik pada suatu penelitian menggunakan tes uji tempel. Puspawaty S. (1988) mendapatkan 75% penderita atopik mengalami reaksi kontak alergik dengan tes uji tempel, sedangkan Kim HO (1991) mendapatkan 65,6% pekerja bengkel yang menderita dermatitis atopik juga menderita kontak alergik pada

bengkel mobil. Sedangkan Luckasen menyatakan bahwa dermathis kontak alergik tidak mudah terjadi pada dermatitis atopik, karena kecenderungan menurunnya reaksi imunitas seluler pada dermatitis atopik. Kami melakukan penelitian prospektif mengenai insidens terjadinya reaksi kontak alergik pada penderita dermatitis atopik dan ingin mengetahui bahan alergen penyebabnya. BAHAN DAN CARA KERJA Penderita rawat jalan pada Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr Muwardi Surakarta, yang didiagnosis menderita dermatitis atopik berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka, menjalani tes uji tempel menggunakan bahan alergen standar dari ICDRG buatan Trolab Hermall. Didapatkan 90 penderita dermatitis atopik yang diteliti antara bulan Pebruari hinggaJuli 1992 setelah memenuhi kriteria yang meliputi usia di atas 15 tahun, tidak atau belum meminum obat selama 7 hari sebelum pemeriksaan, tidak sedang menderita reaksi atopi berat, tidak sedang hamil, tidak mengalami infeksi berat dan menandatangani informed consent. Dilakukan pencatatan data mengenai nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan penderita. Ditakukan tes uji tempel dengan menempelkan bahan alergen secara sistematis sesuai urutan pada kulit di daerah punggung yang bebas lesi dan infeksi kulit, serta didiamkan selama 48 jam, Untuk memudahkan absorbsi alergen dipakai cawan aluminium atau Finn chamber dan perekat Scanpor yang hipoalergenil. Selama penelitian penderita dilarang menggunakan obat yang mengandung steroid dan dilarang terkena paparan langsung sinar matahari. Apabila terjadi reaksi yang tidak diinginkan penderita diharuskan menghubungi dokter segera. Interpretasi hasit uji tempel dengan menggunakan score

positip, sebagai berikut : 0 : tidak ada reaksi 1 + : eritema 2 + : eritema dan papula 3 + : eritema, papula dan vesikula 4 + : edema hebat dan vesikula. Pemeriksaan basil uji tempel dilakukan pada jam ke 48 dan 72 setelah penempelan bahan alergen. Penelitian ini merupakan studi prospektif dan tidak memakai kelompok pembanding. Data yang diperoleh disusun memakai tabel dan dianalisis secara deskriptif. HASIL Penderita dermatitis atopik yang diteliti terdiri dari 39 1akilaki dan 51 wanita. Setelah dilakukan tes uji tempel pada 90 penderita tersebut, terlihat 41 penderita mengalami reaksi positif dan 49 tidak mengalami reaksi kontak alergik; penderita dengan reaksi kontak alergik terdiri dari 19 laki-laki dan 22 wanita (Tabel 1). Kelompok umur terbesar yang menderita reaksi kontak alergik adalah pada usia 15 – 24 tahun (Tabel 2). Pekerjaan penderita dermatitis atopik yang mendapatkan reaksi kontak alergik terbanyak adalah kelompok wiraswasta (Tabel 3). Daftar alergen yang banyak menyebabkan reaksi kontak alergik adalah Nickel sulphate, Paraben Mix dan diikuti Paraphenylene diamine (Tabel 4). Tabel 1.

Distribusi Hasil Tes Uji Tempel pada Penderita Dermatitis Atopik (n = 90) Positip

m

Negatip

Jumlah

n

%

n

%

n

%

Laki-laki Wanita

19 22

46,3 53,6

20 29

40,4 59,6

39 51

43,3 56,6

Jumlah

41

90

100

Tabel 2.

Distribusi Umur dan Jenis Kelamin Penderita Dermatitis Atopik dengan Uji Tempel Positip (n = 41)

Umur (tahun) 15 – 24 25 – 40 40 – Jumlah Tabel 3.

49

Laki-laki

Wanita

Jumlah

n

%

n

%

n

%

10 8 1

24,4 19,6 2,4

15 6 1

36,5 14,7 2,4

25 14 2

60,9 34,3 4,8

19

46,4

22

53,6

41

100

Distribusi Penderita Dermatitis Atopik dengan Reaksi Kontak Alergik menurut Pekerjaan (n = 41) Umur (tahun)

Pekerjaan Pelajar/Mahasiswa Wiraswasta Pegawai Negeri Buruh Tani Tak Bekerja Jumlah

Jumlah

15 – 24

25 – 40

40 –

n

%

6 8 – 2 4

1 4 3 2 4

– 5 – – 2

7 17 3 4 12

17 41,4 7,3 9,7 29,2

20

14

7

41

100

Tabel 4. Distribusi Bahan Alergen Penyebab Reaksi Kontak Alergik pada Penderita Dermatitis Atopik (n = 41) Jumlah

Bahan Alergen *) Neomycin dichromate 20% Paraphenylene diamine 1% Colophony 20% Black rubber mix 0,6% Epoxy resin 1% Fragrance Mix 8% Paraben Mix 15% Nickel sulphate 5% Jumlah

n

%

2 10 2 1 1 1 11 13

4,8 24,3 4,8 2,4 2,4 2,4 26,8 31,7

41

100

PEMBICARAAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa reaksi kontak alergik terjadi pada 41 penderita (45,5%). Angka ini dibandingkan beberapa penelitian dengan menggunakan metode serupa memperlihatkan angka kejadian yang cukup tinggi dan menunjukkan bahwa reaksi kontak alergik juga ditemukan pada penderita dermatitis atopik yang secara teoritis sukar timbul karena defek sistem imunitas seluler. Nickel sulphate sebagai bahan alergen kontak termasuk sebagai penyebab reaksi terbesar jumlahnya (31,7%), terutama terdapat pada bahan asesoris penderita seperti kancing, kalung imitasi, gelang dan ikat jam tangan, merupakan bahan yang cukup akrab dengan penderita sehari-hari. Wiraswasta merupakan jenis pekerjaan yang banyak berhubungan dengan berbagai jenis bahan kimia pada industri, perbengkelan yang mungkin menyebabkan reaksi kontak alergik lebih mudah berlangsung (41,4%). Usia penderita dermatitis atopik yang juga menderita reaksi kontak alergik terbanyak berkisar pada usia 15 – 24 tahun (60,9%); mungkin pada usia tersebut aktivitas bekerja di dalam dan di luar rumah sangat besar, juga kontak dengan bahan alergen penyebab reaksi kontak cukup sering karena pemakaian asesori dalam kegiatan sehari-hari. Jenis kelamin wanita lebih banyak mengalami reaksi kontak (56,6%) dibanding laki-laki (43,3%) ini agak sulit diterangkan akan tetapi mungkin akibat struktur kulit atau hal lain yang perlu diteliti lebih lan jut. Walker menyatakan adanya faktor genetik yang berperan sedangkan Niels H. menyatakan faktor kerusakan kulit, perbedaan ras dan riwayat atopi mempengaruhi kepekaan terhadap alergen. KESIMPULAN Reaksi kontak alergik tidak lebih sukar timbul path penderita dermatitis atopik. KEPUSTAKAAN 1. 2.

Epstein S, Mohajerin AH, Marshfield WIS. Incidence of contact sensitivity in Atopic Dermatitis. Arch Dermatol 1964; 30: 284–7. Puspawaty S. Hubungan dermatitis pada tangan dengan dermatitis atopik di poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr Sutomo Surabaya. Karya akhir 1988.

3. 4. 5.

Jones E, Lewis CW, Mc Marlin SL. Alergic contact sensitivity in atopic dermatitis. Arch Dermatol 1973; 107: 217–22. Margeschu S. Patch test reactions in atopic patients. ActaDermatol Venereol (Stockh) 1985; Suppl 114: 113–6. Kim HO. Occupational dem atoses in automobile mechanics. Handbook. 1st

6.

Asia Pacific Environmental Occupational Dermatology Symposium, National Skin Center, Singapore: 1991; 35. Niels H jorth. The TROLAB guideline topatch testing. Hermal Kurt Herrmann, West Germany: 1987; 1–24.

Dermatomikosis di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Semper, Jakarta Kusnindar, Nunik Siti Aminah Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Survai yang dilakukan di 56 kota di Indonesia menunjukkan bahwa Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) umumnya terbuka (Open Dumping). Cara ini ditinjau dari segi kesehatan tidak memenuhi syarat(1). Dari penelitian BPPT (1984) diketahui bahwa TPA dapat mencemari air tanah di sekitarnya sejauh 200 mo>, dan menurut penelitian Mardiyanto (1986) kadar H2S di TPA mencapai 4,0 ppm(3); padahal Nilai Ambang Batas (NAB) H2S di udara adalah : 0,005–0,13 ppm (WHO)(4); sehingga kadar H2S di TPA tersebut dapat mengganggu kesehatan orang yang bekerja di TPA, yakni para petugas pengangkut sampah dan pemulung. Gas lain sebagai hasil pembusukan sampah antara lain NH3, CO, CO2, dan CH4. Penelitian dampak TPA sistim Open Dumping terhadap pencemaran udara oleh Jamur yang dapat menyebabkan mikosis belum pernah dilakukan(5). Infeksi jamur pada kulit atau superfisial disebut Dermatomikosis dan infeksi pada organ-organ dalam tubuh atau sistemik dinamakan Mikosis Profunda; sebagai contoh jamur Candida sp., infeksi pada manusia dapat menyebabkan Kandidiasis kulit, Kandidiasis saluran pernapasan, Kandidiasis vagina, Balanitis dan Kandidiasis saluran pencernaan. Menurut penelitian Suprihatin di Jakarta (1962)(5), infeksi Candida sp didapatkan sebesar 33,3% pada kehamilan trimester ke 3, pada post partum 9%, dan sebulan sesudahnya turun menjadi 16%. Jamur Candida sp banyak dijumpai karena berbagai faktor, antara lain : KKP, pemberian obat imunosupresif, pemberian antibiotika yang berlebihan, bayi berat badan lahir rendah dan diare khronik (Supraptini Thaib dick, 1968; Ono Dewanto dkk, 1968; Suprihatin dkk, 1969; Mata dick, 1972; Sunoto dkk, 1979)0>. Fungemia sering dijumpai pada penderita penyakit keganasan karena adanya penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan oleh imunodefisiensi (Sunarto, Elya Karnadi 1982)(5)

dan pengobatan dengan antibiotika, kortikosteroid, imunosupresif & hiperalimentasi parenteral (Klever & Watanakunakorn, 1977)(5). Mikosis tidak ditularkan dari orang ke orang lain, kebanyakan dihisap melalui udara yang telah mengandung spora dari alam babas. Cara lain karena okulasi, sebagian dari dalam tubuh sendiri (endogen) antara lain Aktinomikosis dan Kandidiasis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi TPA sistim terbuka sebagai sumber penularan mikosis terhadap penduduk di sekitar TPA tersebut, khususnya terhadap para pemulung, yang memiliki risiko tinggi terpapar. BAHAN DAN CARA PENELITIAN A. Daerah penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Semper Timur dan Semper Barat, Jakarta Utara. Kelurahan tersebut dipilih karena TPA terletak di Semper Timur sedang para pemulung bertempat tinggal di Semper Timur dan Semper Barat di sekitar TPA. B. Cara pemilihan dan besar sampel Untuk mengetahui dampak TPA terhadap pencemaran udara oleh jamur, dilakukan pemeriksaan jamur yang terkandung dalam udara di TPA dengan cara meletakkan 2 cawan petri yang berisi Sabouraud Agar ± 20 ml. Cawan petri dibiarkan terbuka selama kurang lebih 15 menit. Perlakuan yang sama dilakukan untuk mengetahui pencemaran udara dalam rumah pendūduk di sekitar TPA. Selanjutnya cawan petri ditutup dan diperam pada suhu kamar. Setelah 10 – 14 hari koloni jamur yang tumbuh pada agar diidentifikasi. Pemeriksaan dilakukan dua kali untuk setiap perlakuan per-rumah yang terpilih secara acak dari 31 rumah responden pemulung.

Sampel kerokan kuku dan kulit diambil terhadap responden pemulung yang mengalami kelainan kulit yang diperkirakan terinfeksi jamur. Kulit dan kuku terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% sebelum dikerok. C. Data yang dikumpulkan Penyelenggaraan pembuangan sampah di TPA Semper dinilai berdasarkan Petunjuk Pengawasan Pembuangan Sampah dari Ditjen PPM & PLP (Tabel 1). Penilaian'diklasifikasikan menurut angka 0 s/d 15 yang menunjukkan nilai dari yang paling baik sampai dengan yang paling buruk. Derajat Kesehatan Lingkungan di TPA dikategorikan dalam 5 Kelas. Derajat yang paling baik ialah bila jumlah nilai seluruhnya 0 - 20 (Kelas A) sedang yang paling buruk bila jumlah nilai seluruhnya 81 atau lebih. Seluruh jamur yang terdapat dalam udara di sekitar TPA diidentifikasi, demikian pula jenis jamur dari hasil pemeriksaan kerokan kuku dan kulit.

Dalam rumah penduduk kelurahan Semper Barat di sekitar TPA didapatkan 10 spesies jamur yaitu : Aspergilus niger, A. ochraceus, A. fumigat us, A. clavatus, A. tamarii, A. candidus, A. oryzae, Rhizopus sp, Mucor sp, dan Fusarium sp. Sedang di luar rumah di Semper Barat didapatkan 8 spesies jamur ialah : A. niger, A. gloucus group, A. fumigatus, A. versicolor, Rhizopus sp, Penicillium sp, Mucor sp, dan Fusarium sp (tabel 2).

Tabel 2.

No.

Jenis dan Banyaknya Koloni Jamur yang Didapat dad Semper Barat Semper Barat (Dalam rumah)

Jumlah koloni

No.

1.

Aspergilus niger A. ochraceus A. clavatus

++++ +++ ++

1.

2.

A. niger Rhizopus sp

+++++ +++++

2.

3.

A. niger A. ochraceus A. tamarii A. clavatus Mucor sp Fusarium sp A. niger A. ochraceus A. tamarii A. candidus A. niger A. oryzae A. fumigates Mucor sp Fusarium sp A. niger A. ochraceus Mucor sp

++ ++ + + + + +++ +++ + + ++ ++ + ++ + ++ ++ +

3.

HASIL Keadaan Tempat Pembuangan Sampah Penilaian 20 butir kegiatan dan keadaan di TPA menghasilkan nilai sebesar 141. Penilaian secara rinci dari masingmasing kegiatan dan keadaan di TPA disajikan dalam tabel 1. Tabel 1.

Daftar Nllai Keadaan Kesehatan Lingkungan Tempat Pembuangan Sampah Semper Timur Jakarta Utara

No.

Keadaan yang dinilai

1. 2. 3.

Peletakan buangan sampah Pemadatan sampah Penimbunan sampah dengan tanah secara berkala Penimbunan sampah dengan tanah Tebal lapisan tanah terakhir Keadaan sampah Pemanfaatan sampah kasar Pembakaran sampah terbuka Ditemukan kecoa, nyamuk, lalat dan tikus Ditemukan bahan berbahaya Pemagaran TPA Pengawasan pembuangan sampah Jumlah rumah dalam jarak 2 km Alat-alat operasional untuk pemerataan dan pemadatan sampah Adanya air pennukaan di TPA Penimbunan sampah akhir dengan tanah Saluran air hujan di TPA WA terlindung dari pandangan umum Adanya debu di TPA Kebisingan dirasakan oleh keluarga pada jarak 200 m dad TPA

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Hasil observasi

Nilai

tidak baik tidak ada tidak ada

6 6 10

tidak ada tidak ada berserakan dilakukan sering terjadi ya

15 12 9 1 9 12

tidak tidak dilakukan tidak ada lebih dari 5 ntmah tak tersedia di TPA

6 6 6 4 9

tidak ada tidak dilakukan

0 12

tidak ada tidak

9 6

sedikit lebih dari 5 mmah

0 3

Jumlah nilai

4.

141

Pencemaran udara oleh jamur di TPA dan sekitarnya Dari hasil pemeriksaan ditemukan berbagai spesies jamur sebagai berikut :

5.

6.

Catalan : +

=

4.

5.

6.

Semper Barat (DI Iuar rumah)

Jumlah koloni

A. niger A. fumigatus Mucor sp Rhizopus sp A. niger A. glower group Penicilliwn sp Rhizopus sp A. niger A. gloucus group Rhizopus sp Mucor sp

+++ +++ +++ ++ +++ + + + +++ + +++ ++

Rhizopus sp A. niger Penicillium sp Mucor sp Penieillium sp A. niger Rhizopus sp

+++ ++ ++ ++ ++ + +

A. versicolor A. glaucus group Penicillium sp

+ + +

1 koloni

Di dalam rumah penduduk kelurahan Semper Timur di sekitar TPA ditemukan 8 spesies jamur yakni : A. niger, A. ochraceus, A. versicolor, Monilia sp, Rhizopus sp, Mucor sp, Fusarium sp, A. fumigatus. Di luar nlmah didapatkan 9 spesies jamur, yaitu : A. niger, A. fumigatus, A. versicolor, A. ochraceus, A. gloucus group, Rhizopus sp, Mucor sp, Penicillium sp, Fusarium sp (tabel 3). Berdasarkan pengambilan sampel di 6 lokasi di TPA ditemukan 11 spesies jamur, yakni : A. niger, A. fumigatus, A. ochraceus, A. versicolor, Rhizopus sp, Mucor sp, Monilia sp, Scopularopsis sp, Trichoderma sp, Phialophora sp, Fusarium sp (tabel 4). Dari basil pemeriksaan kerokan kulit dan kuku responden pemulung yang mengalami kelainan kulit, dapat diidentifikasi 6 spesies jamur, yakni : A. niger, Scopulariopsis sp, Trichophyton sp, Fusarium sp, dan Candida sp. (tabel 5).

Tabel 3. No. 1.

2.

3.

4.

5.

6.

Jenis dan Banyaknya Koloni Jamur yang Didapat dari Semper Timur Semper Timur (Dalam rumah)

Jumlah kolont

Aspergilus niger

+++

A. ochraceus Rhizopus sp A. niger A. ochraceus Mucor sp Rhizopus sp A. niger A. fumigatus Rhizopus sp Monilia sp A. niger A. versicolor Rhizopus sp Fusarium sp Rhizopus sp A. niger A. versicolor A. fumigatus A. niger A. ochraceus Rhizopus sp

++ +++ +++ ++ +++ ++ +++ + +++ +++ +++ ++ ++ ++ +++ ++ ++ + ++ + +

Semper Timur (Di luar rumah)

Jumlah koloni

1.

Rhizopus sp

+++

1

2.

A. niger Mucor sp A. niger A. ochraceus Fusarium sp

+ + ++ ++ ++

2 3

A. versicolor A. niger A. ochraceus A. fumigatus Rhizopus sp A. niger A. fwnigatus Mucor sp A. versicolor A. niger A. j5unigatus A. gloueus group A. niger PeniciUiwn sp A. gloucus group

+++ ++ + ++ +++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ + ++ + +

No.

3.

4.

5.

6.

Catatan : + = 1 koloni Tabel 4.

Janis dan Banyaknya Koloni Jamur yang Didapat dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah

Ulangan (N) 1

2

3 4

5 6

Jenis Jamur A. niger A. versicolor A. fumigatus Monilia sp A. niger A. funtigatus Fusarium sp A. niger A. versicolor Scopylariopsis sp Mucor sp Rhizopus sp A. niger A. ochraceus A. niger Phialopora sp Rhizopus sp A. niger A. ochraceus A. fiunigatus Trichoderma sp

Tabel 5. Jenis dan Banyaknya Koloni Jamur yang Didapat dari Kerokan Kuku dan Kulit Pemulung dart Semper

Jumlah Koloni ++ ++ + ++++ ++ ++ + ++ ++ +++ ++ +++ ++ ++ ++ ++ + ++ ++ ++ ++

Macam Sampah Biji-bijian, kacang Sayur-sayuran Sekam, pakis dan padi Sisa makan, sayuran Biji-bijian, kayu Sekam, pakis Biji-bijian, tanah Kayu Kertas Tanah, kotoran hewan Sirs makan Barang bekas Sampah pasar Kertas Sampah pasar Barang bekas Kertas, kayu Kaleng Sekam Pakis

Catatan : + = 1 koloni

PEMBAHASAN Berdasarkan Petunjuk Pengawasan Pembuangan Sampah Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI, jumlah nilai dari 20 butir keadaan di TPA adalah sebesar 141. Kategori terbaik ialah bila jumlah nilai tersebut sebesar 0 – 20, dan paling buruk bila jumlah nilai lebih besar dari 80. Jadi hasil penilaian keada-

Ulangan (N)

4 5 6 Catatan : + =

Jenis Jamur pada Kulit dan Kuku Scopulariopsis sp A. niger Fusarium sp Scopiilariopsis sp Trichophyton sp A. niger A. niger Candida sp A. niger Fusarium sp Trichophyton sp

Jumlah Kolon( ++ ++ + +++ ++ ++ + +++ ++ +

Yang Diperiksa Kulit kaki Kuku kaki Kuku tangan Kulit leher Kuku kaki Kuku tangan Kuku tangan Kuku kaki Kulit punggung

1 koloni

an Kesehatan Lingkungan di TPA Semper Timur termasuk tidak memenuhi syarat kesehatan. Kelemahan dari cara penilaian ini ialah sudah tidak digunakannya TPA Semper sebagai tempat pembuangan sampah secara penuh karena telah dipindahkan ke Bantar Gebang, Bekasi; sehubungan dengan hal di atas, ada beberapa butir keadaan di WA yang cara penilaiannya menjadi kurang tepat, seperti : pemadatan sampah, penimbunan sampah secara berkala, tebal lapisan tanah terakhir, adanya alat-alat operasional, dan kebisingan. Dan 11 spesies jamur yang didapatkan di WA, temyata 8 spesies (73%) terdapat pub di dalam rumah penduduk Semper Timur dan 6 spesies (55%) terdapat di dalam rumah penduduk Semper Barat. Sedang di luar rumah dapat diidentifikasi 7 spesies (64%) di Semper Timur dan 6 spesies (55%) di Semper Barat. Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa TPA sistim terbuka dapat menjadi sumber pencemaran oleh jamur, dan spesies jamur didapatkan lebih banyak di 'Semper Timur dibandingkan di Semper Barat. Hal ini dimungkinkan oleh arah angin yang sering menghelnbus ke arah timur. Hasil identifikasi kerokan kulit dan kuku pada penderita dermatomikosis, ditemukan 5 spesies jamur, 3 di antaranya diperkirakan berasal dari WA yakni A. niger, Scopulariopsis sp, dan Fusaritim sp. Didapatkan 7 spesies jamur yang tidak ditemukan di TPA, tetapi ditemukan di dalam rumah maupun di luar rumah penduduk Semper Timur dan Semper Barat. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya sampel yang diambil dari berbagai tempat di TPA atau bersumber di lokasi setempat. Tujuh spesies jamur tersebut ialah : A. clavatus, A. tamarii, A. candidus, A. oryzae, A. gloucus group, Penicillium sp, dan Trichophyton sp. Banyaknya kasus dermatomikosis (6 dari 31 pemulung – 19%) tidak dapat digunakan sebagai angka prevalensi penyakit untuk seluruh penduduk kelurahan, karena sampel diambil dari khusus pemulung yang bertempat tinggal di sekitar WA dan memulung sampah di TPA tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Tempat Pembuangan Sampah Akhir sistim open dumping dapat menjadi sumber pencemaran udara oleh jamur, yang dapat

menyebabkan penyakit dermatomikosis pada penduduk terpapar. Untuk mencegah penyakit tersebut perlu diperhatikan higiene perorangan bagi para pemulung dan petugas pengangkut sampah; demikian pula penggunaan pakaian kerja yang sesuai pada waktu melakukan pekerjaan sehari-hari al.: rompi, masker, baju lengan panjang, celana panjang dan sepatu boot. Pemeriksaan kesehatan secara berkala perlu dilakukan bagi para pemulung dan petugas pengangkut sampah untuk menghindarkan timbulnya penyakit mikosis profunda yang lebih parah. Ditinjau dari segi kesehatan, TPA sistim open dumping tidak memenuhi syarat, seyogyanya diganti dengan sistim

sanitary landfill. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.

Ditjen PPM & PLP DepKes. RI. Petunjuk pelaksanaan pengawasan pembuangan sampah. Direktorat Higiene dan Sanitasi Ditjen PPM & PLP, Jakarta 1985. BPPT. Ringkasan buku-buku hasil penelitian kelompok sanitasi lingkungan, Direktorat Analisa Sistem BPPT, Jakarta. (tidak diterbitkan). Mardiyanto. Pengaruh konsentrasi amoniak dan hidrogen sulfida dari tempat pembuangan aampah akhir di Mujamuju terhadap kualitas udara, APKTS Yogyakarta 1981. WHO. Environmental Health Criteria No. 19, Geneva: WHO 1986. Soenarto. Penanganan mycosis mass kini. Simposium di Semarang, 12 Juni 1982.

Alkali Bebas pada Berbagai Produk Sabun Mandi Akmal, Yovita Lisawati Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK Telah dilakukan penentuan kadar alkali bebas jumlah pada berbagai produk sabun mandi yang beredar di pasaran. Sampel diambil secara acak dari berbagai tempat penjualan di Kotamadya Padang terdiri dari sepuluh jenis dan masing-masing jenis diambil tiga buah. Kadar alkali bebas jumlah ditentukan dengan cara titrasi asam-basa dan dihitung sebagai Na2O. Hasil percobaan menunjukkan bahwa, kadar alkali bebas jumlah yang ditemukan berkisar antara 0,158 -0,324% dan sebanyak 70% dari sampel yang diperiksa mempunyai kadar alkali bebas jumlah lebih besar dari persyaratan resmi yang ditetapkan oleh WHO Collaborating Centre for Quality Assurance of Essential Drugs.

PENDAHULUAN Mandi adalah salah satu kebiasaan hidup manusia seharihari, yang berguna untuk membersihkan seluruh tubuh dari keringat dan kotoran yang melekat lainnya. Salah satu cara untuk membersihkan tubuh pada waktu mandi tersebut adalah dengan menggunakan sabun mandi. Sabun mandi saat ini sudah sangat populer di masyarakat dan hampir seluruh lapisan masyarakat memakainya. Seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan sabun mandi tersebut, jumlah produk dan jenis sabun mandi yang beredar di pasaranpun selalu meningkat. Berbagai industri sabun mandi berlomba-lomba mempromosikan keunggulan produknya masing-masing sehingga kadang-kadang terlihat begitu berlebihan dan dapat menyesatkan konsumennya. Di lain pihak karena begitu ketatnya persaingan bisnis penjualan sabun mandi, para produsen berusaha menekan harga jual serendah mungkin

dengan cara mengurangi biaya produksi sehingga mengakibatkan kualitasnya terabaikan. Seperti diketahui bahwa proses dasar pembuatan sabun tersebut adalah dengan cara menyabunkan suatu ester dengan alkali. Suatu sabun mandi yang baik kualitasnya kadar alkali bebas jumlah yang masih tersisa tidak boleh melebihi 0,22% yang dihitung sebagai Na2O. Batasan ini secara resmi ditetapkan oleh World Health Organization Collaborating Centre for Quality Assurance of Essential Drugs (1990). Kelebihan kadar alkali jumlah dari batasan resmi tersebut dapat menimbulkan kerugian konsumen, berupa kerusakan kulit dan iritasi kulit lainnya. Oleh sebab itu semua produk sabun yang beredar di pasaran dan digunakan oleh masyarakat luas hendaknya terjamin kualitasnya, sehingga masyarakat tidak dirugikan. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan kadar alkali bebas jumlah pada

berbagai produk sabun mandi yang beredar di pasaran, untuk mengetahui kualitas sabun-sabun mandi yang digunakan masyarakat saat ini. METODE PENELITIAN 1) Pengambilan Sampel di Lapangan Sampel berupa sabun mandi dibeli secara acak pada beberapa tempat penjualan di Kotamadya Padang, sebanyak sepuluh macam dan masing-masing diambil tiga buah. 2) Pengerjaan di Laboratorium Prosedur penetapan kadar alkali bebas jumlah dilakukan menurutmetode yang direkomendasi oleh World Health Organization Collaborating Centre for Quality Assurance of Essential Drugs, dengan urutan langkah sebagai berikut : • Sejumlah lebih kurang 100 ml etanol dalam labu 400 ml direfluk, ditambah 0,5 ml fenolftalein dan didinginkan sampai suhu 70°C dan dinetralkan dengan kalium hidroksida 0,1 N dalam etanol. • Ke dalam larutan ini dimasukkan lebih kurang 10 g sampel sabun dengan cara diiris tipis dan ditimbang seksama dan dipanaskan hingga larut. • Segera setelah melarut ditambahkan 3,0 ml asam sulfat 1 N dan dididihkan di atas penangas air selama 10 menit untuk menghilangkan karbondioksidanya. Jika setelah dididihkan dengan asam, warna merah muda timbul kembali, maka ditambahkan sejumlah asam sulfat 1 N secara seksama, pendidihan diulangi dan titrasi dilanjutkan. Jika larutan tidak berwarna, didinginkan sampai suhu 70°C dan dititrasi kembali dengan larutan natrium hidroksida 1 N sampai warna merah muda. • Tiap ml asam sulfat 1 N setara dengan 0,031 gram Na2O. • Kadar alkali bebas jumlah dihitung dengan rumus sebagai berikut: (V1 N1 – V2 N2) x 0,031/Bu x 100% V1 V2 B N1 N2

= = = = =

Volume asam sulfat yang ditambahkan Volume natrium hidroksida yang digunakan untuk titrasi. Bobot sampel sabun mandi yang ditimbang Normalitas asam sulfat Normalitas natrium hidroksida

3) Analisis Data Data yang diperoleh dari berbagai sampel sabun mandi pada penetapan dibandingkan dengan persyaratan resmi yang ditetapkan oleh WHO untuk produk sabun mandi, yaitu sabun mandi tidak boleh mengandung alkali bebas jumlah lebih besar dari 0,22% dihitung sebagai Na2O.

sebagai Na2O. Prinsip penentuan kadar alkali bebas jumlah pada percobaan ini adalah volumetri dengan metode titrasi asam-basa. Ke dalam sabun mandi yang telah dilarutkan ditambahkan asam sulfat secara berlebih sehingga terjadi reaksi penetralan antara asam dengan alkali yang berasal dari sabun mandi. Selanjutnya kelebihan asam sulfat, dititrasi kembali dengan natrium hidroksida menggunakan indikator visual fenolftalein. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data tersebut, kadar alkali bebas jumlah yang terdapat pada sabun mandi dihitung berdasarkan rumus dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Pada percobaan ini ternyata kadar alkali bebas jumlah pada berbagai produk sabun mandi yang diperiksa berkisar antara 0,158 - 0,324% yang dihitung sebagai Na2O. Dari sepuluh jenis sabun mandi yang diperiksa, hanya tiga jenis saja yang memenuhi persyaratan resmi yang ditetapkan, sedangkan sisanya tidak memenuhi syarat. Hal ini mungkin karena proses produksi yang kurang baik terutama dalam menghilangkan sisa alkali setelah proses penyabunan selesai. Tingginya kadar alkali pada produk sabun mandi yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat luas, seperti telah dikemukakan, dapat menimbulkan kerusakan kulit dan bentuk iritasi lainnya, terutama pada bayi dan anak-anak. Ironisnya pada kasus ini, para konsumen tidak dapat membedakan dengan mudah Tabel 1.

Jenis Sabun Mandi

Herat sampel (g)

Volume 11=SO4 1,19 N yang ditambahkan (ml)

Volume NaOH 0,92 N terpakai (ml)

SM-1

10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0

3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0

2,93 2,50 2,80 2,82 2,90 2,82 2,96 2,99 2,91 3,06 3,72 3,20 2,90 2,93 2,86 3,18 3,18 3,15 2,97 2,98 2,98 3,00 3,00 3,17 3,10 2,98 3,26 2,98 2,94 2,92

SM-2 SM-3 SM-4 SM-5

SM-6 SM-7

HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel sabun mandi yang diperiksa pada penelitian ini terdiri dari sepuluh jenis dan masing-masing diambil tiga buah. Jadi secara keseluruhan. sampel yang diperiksa berjumlah 30 buah. Sampel yang diambil tidak membedakan antara sabun mandi untuk bayi dan untuk orang dewasa karena persyaratan untuk semua sabun mandi adalah sama, yaitu kadar alkali bebas jumlah yang masih tersisa tidak boleh melebihi 0,22% yang dihitung

Volume NaOH terpakai untuk titrasi kembali kelebihan H2SO4 yang ditambahkan pada 10 g sampel sabun mandi.

SM-8 SM-9 SM-10

Tabel 2.

Hasil Penentuan Kadar Alkali Bebas Jumlah pada Berbagai Jenis Sabun Mandi yang Beredar di Pasaran.

Jenis Sabun Mandi SM-1 SM-2 SM-3 SM-4 SM-5 SM-6 SM-7 SM-8 SM-9 SM- 10

Kadar Alkali Bebas Jwnlah Sebagai N20 (%) 0,324 0,295 0,264 0,158 0,281 0,203 0,258 0,236 0,218 0,266

Keterangan : – Data yang dipaparkan merupakan rata-rata dari tiga kali percobaan. − Persyaratan WHO (1990) kadar alkali bebas jumlah tidak boleh lebih dari 0,22%.

wenang, memperketat persyaratan registrasi berbagai produk sabun mandi sebelum dipasarkan. Dan yang tak kalah pentingnya adalah memantau kualitas sabun mandi yang beredar di pasaran secara berkala. KESIMPULAN Dari percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Kadar alkali bebas jumlah dari berbagai produk sabun mandi yang beredar di pasaran berkisar antara 0,159 sampai dengan 0,324% yang dihitung sebagai Na2O. 2) Sebanyak 70% dari produk sabun mandi yang diperiksa mempunyai kadar alkali bebas jumlah lebih besar dari persyaratan resmi yang ditetapkan. KEPUSTAKAAN 1.

antara sabun mandi yang memenuhi syarat dengan yang tidak, karena untuk mengetahuinya harus dilakukan percobaan di laboratorium. Konsumen biasanya hanya tertarik pada bentuk, warna dan aroma yang ditampilkan oleh sabun mandi tersebut serta harganya yang murah; sedangkan kualitas dan keamanan pemakaiannya tidak bisa dibedakan. Oleh karena ini, agar masyarakat terlindung dari efek negatif yang tidak diinginkan, diharapkan Departemen Kesehatan RI sebagai lembaga yang ber-

2. 3. 4. 5.

WHO Collaborating Centre for Quality Assurance of The Essential Drugs, 1990, Penetapan Kadar Alkali Bebas Jumlah pada Sabun Mandi. Dalam: Metode Analisis Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan Depkes RI, Jakarta, 143–148. British Standard Institution, Methods of Analysis of Soaps and Soap Powders, British Standars Institution, London 1983, 18–20. Horwitz W. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemistry, 13th ed., Washington DC. 1980, 222–224. Ditjen POM Depkes RI. Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta, 1979, 807–809. Roth HJ, Blascke G. Analisis Farmasi, Diterjemahkan oleh S. Kisman dan S. Ibrahim, FGadjah Mada University Press, 1988, 486–487.

Sometimes it takes a painful experience to make us change our ways

Zat Pemutiara dalam Sediaan Kosmetika Daroham Mutiatikum Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Zat pemutiara adalah suatu zat yang digunakan dalam kosmetika untuk memberikan efek mengkilat seperti mutiara sehingga bagian wajah akan terlihat lebih segar. Zat pemutiara terdiri dari dua golongan yaitu sari mutiara alami (pearlessence) dan pigmen mutiara sintetis yang biasanya berupa serbuk logam dan garamnya. Karena serbuk logam yang terdapat dalam sediaan kosmetika dapat mengakibatkan iritasi, maka dianggap perlu untuk meneliti jenis logam yang terdapat dalam sediaan kosnietika. Dari pemeriksaan tiga sampel sediaan kosmetika yaitu eye shadow, serbuk pemutiara berwarna kuning emas dan serbuk pemutiara berwarna putih keperakan, dua sampel ternyata positif (+) mengandung Alumunium (Al).

PENDAHULUAN Kosmetika merupakan sesuatu yang penting untuk perawatan tubuh, wajah, rambut maupun kulit seseorang. Sesuai dengan bertambah baiknya tingkat kehidupan sosial seseorang serta berkembangnya ilmu pengetahuan maka pengertian kosmetika turut berkembang dan penggunaannya makin menyebar luas di kalangan masyarakat. Pada industri kosmetika yang modern, penggunaan bahanbahan yang dapat memberikan efek mengkilat dan bercahaya sekarang ini sangat digemari; bahan-bahan mi disebut sebagai zat pemutiara. Guanin adalah merupakan zat pemutiara yang diperoleh dan sisik ikan laut, merupakan kristal yang transparan, reflektif dan mengkilat seperti mutiara. Karena guanin sulit didapat maka digunakan pigmen sintetis seperti bismut oksi klorida dan serbuk logam (mika, alumunium, bronze). Zat pemutiara

terdapat dalam kosmetika seperti pada bedak, rouge, eye shadow dan cat kuku yang berfungsi untuk memberikan efek mengkilat. Penggunaan kosmetika yang secara sembarang dan terus menerus dapat mengakibatkan hal-hal yang kurang baik bagi sipemakai, karena logam yang terdapat dalam zat pemutiara dalam jumlah besar dapat mengiritasi kulit. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang logam-logam yang terdapat dalam sediaan kosmetika yang berfungsi sebagai zat pemutiara. ZAT PEMUTIARA Zat pemutiara dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu: 1) Sari Mutiara Alami (Pearlessence) Sari Mutiara Alami yang sering digunakan adalah guanin

(2 amino 6 hidroksi purin); rumus bangunnya adalah:

Bagan Pemisahan Kation dalam Golongan menggunakan Sistem H2S Pada 1,5 ml larutan zat ± beberapa tetes HCl 6 N sampai endapan sempurna (kalau teijadi endapan), kemudian saring

Guanin terdiri dari suspensi kristal yang transparan, reflektif dan mengkilat, dapat diperoleh dan sisik ikan laut, pada lapisan Ganoid yaitu lapisan luar yang merupakan substansi garam anorganik; dalam keadaan murni tidak beracun, tapi dapat menyebabkan dermatitis yang timbul akibat pemakaian cat kuku. Guanin mempunyai indek refleksi yang tinggi dan bersinar seperti mutiara. Guanin berbentuk kristal rhombik, tidak larut dalam air, alkohol dan eter. Guanin dalam perdagangan dijumpai dalam bentuk suspensi nitrosellulosefbutil asetat dengan prosentase 11% dan dipergunakan dalam cat kuku; juga digunakan dalam sediaan kosmetika yang lain seperti misalnya bedak, rouge dan eye shadow. 2) Pigmen-pigmen Mutiara Sintetis Biasanya merupakan senyawa logam berat dan serbuk logam yang mempunyai bermacam-macam corak warna seperti putih keperak-perakan, kuning emas dan sebagainya yang dapat menimbulkan efek mengkilat. Bahan yang digunakan sebagai pigmen-pigmen sintetis adalah: – Titanium dioksida (TiO2) – Timika (Titan mika) – Bismut oksi kiorida (BiOCl) – Kalsium Karbonat (CaCO3) – Serbuk logam seperti serbuk alumunium, serbuk mika, serbuk bronze. – Garam-garam stearat.

BAHAN DAN CARA Bahan yang digunakan: 1) Eye Shadow 2) Serbuk zat pemutiara warna kuning emas 3) Serbuk zat pemutiara warna putih keperakan 4) Reagen kimia untuk reaksi warna dan identifikasi. Metode analisis Masing-masing cuplikan dilarutkan dalam air, apabila tidak larut dalam air, secara bertahap dilarutkan dulu dalain HCl encer, kemudian HCI pekat dan seterusnya HNO3 encer, HNO3 pekat. Bila masih tidak larut, dilarutkan dalam Air raja yaitu campuran 3 bagian HCI pekat dan I bagian HNO3 pekat. Larutan ini Iangsung dipakai untuk penyelidikan kation. Identifikasi Gol III A untuk logam Alumunium (Al) 1) 1 ml filtrat + HC1 encer + NH4 panaskan, terjadi endapan putih. 2) 1 ml filtrat + NaOH 4 N berlebih

a) 1 tetes larutan + 1 tetes air + 1 tetes alizarin S + HAc encer sampai warna alizanin S hilang + HAc encer timbul warna merah jambu b) Filtrat + NH4OH panaskan sampai terjadi endapan putih, yang tidak larut dalam NH berlebih 3) Larutan zat asal + NaOH terjadi endapan putih, yang tak larut dalam NH4OH berlebih. 4) Larutan zat asal + 10 ml (NH4)2CO3 terjadi endapan putih. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pemeriksaan golongan ternyata pada pemeriksaan Gol III A positif (+) terjadi endapan putih. Reaksi identifikasi terhadap Gol III A memberikan reaksi positif terhadap logam alumunium (Al).

Tabel 1.

Hasil pemeriksaan golongan dari beberapa sediaan

Keterangan Serbuk I = Serbuk II =

Zat pemuriara berwarna kuning emas Zat pemu tiara berwarna putih keperakan

Serbuk logam Alumunium sering digunakan dalam formula bedak sebagai zat yang dapat memberikan daya kilat yang lebih baik daripada zat pemutiara buatan lainnya, karena Alumunium mudah tercampur dan menghasilkan efek yang lebih baik seperti mutiara. Garam-garam Alumunium dapat merupakan astringen pada konsentrasi tertentu, tapi dapat mengiritasi kulit. Zat pemutiara yang biasa digunakan dalam sediaan kosmetika konsentrasinya tidak lebih dan 10%. KESIMPULAN Zat pemutiara yang digunakan tanpa zat pembawa sangat berbahaya apabila digunakan secara sembarang. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 3 sediaan kosmetika yaitu eye

shadow, zat pemutiara berwarna kuning emas dan zat pemutiara berwarna putih keperakan ternyata dua sediaan positif mengandung Alumunium (Al) yaitu eye shadow dan zat pemutiara berwarna kuning emas. SARAN Agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi kadar logam berat tersebut pada beberapa sediaan kosmetika dengan jumlah sampel yang lebih besar. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Anonymous. Farmakope Indonesia, Edisi II, Departemen Kesehatan Repubtilc Indonesia 1979. Balsam MS, Sagarin E. Cosmetic Science and Tehnology, Second ed, Vol I, II, III. New York, London, Sydney, Toronto: Wiley Interscience John Wiley & Sons Inc. 1972. Diktat Penuntun Praktikum Kimia Analisa Kualitatif Anorganik. Labora torium Kimia Analitik, Lembaga limu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Bandung. Harry RG. The Principles and Practice of Modern Cosmetic, Vol I. New York: Chemical PubI Co, Inc. 1962. Jellinek JS. Formulation and Function of Cosmetic. New York, London, Sydney, Toronto: Division of John Wiley & Sons, Inc. 1970. Roger’s Inorganic Pharmaceutical Chemistry, Seventh Ed, Thoroughly Revised.lll.. Philadelphia: Lea & Febiger.

Patience is the ability to put up with people you'd like to put down

Penelitian Tokisisitas Akut dan Subkronik Daun Jati Belanda pada Hewan Percobaan Adjirni, B. Wahyoedi, Budi Nuratmi Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) banyak dipakai dalam ramuan sebagai obat pelangsing tubuh. Secara empirik digunakan untuk mengurangi kelebihan lemak dalam tubuh. Untuk mengetahui keamanannya maka dilakukan penelitian toksisitas akut dan subkronik pada hewan. Penelitian toksisitas akut menggunakan cara Weil C.S. (1952) dan penelitian subkronik dilakukan dengan memberikan bahan setiap hari selama 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan terhadap tikus putih, kemudian dilihat adanya kelainan organ hati, ginjal, jantung, paru-paru, usus, limpa dan lambung secara makroskopik dan mikroskopik. Hasil toksisitas akut didapat LD50=134,5 (158-114,4) mg/10 g. bobot badan; setelah diekstrapolasikan ke tikus menurut Gleason MN. LDSO secara oral adalah 941.500 mg/kg bobot badan. Dengan pemberian bahan 1 sampai 100 kali dosis manusia, organ-organ dalam tidak menunjukkan kelainan. Kelainan paru-paru pada sebagian tikus baik yang diberi bahan maupun yang diberi akuades, berupa hiperplasia limpoid merupakan kelainan fisiologis yang umum terjadi pada proses ketuaan dan terdapatnya cacing merupakan suatu kendala dalam eksperimen pemeliharaan hewan. Berdasarkan penggolongan Gleason MN. (1964) daun jati belanda yang diteliti digolongkan dalam bahan yang Practically Non Toxic, karena LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg bobot badan per oral tikus. Penelitian subkronik dengan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik terhadap organ dalam tubuh menunjukkan bahwa daun jati belanda termasuk bahan yang tidak toksik.

PENDAHULUAN Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) banyak tumbuh di Indonesia, ditanam sebagai pohon peneduh, berupa pohon atau semak. Bagian yang digunakan daun, biji dan buah. Secara empiris daun dipakai untuk mengurangi berat badan, buah untuk obat batuk, biji untuk obat mencret dan perut kembung(1,2). Daun

jati belanda mengandung alkaloid, damar dan zat samak(2). Jamu yang memakai daunjati belanda diantaranyajamu galian singset, jamu citra wanita,jamu ideal,jamu patmosari,jamu dewi ayu dan lain-lain. Penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa se-

duan daun jati belanda yang diperiksa dengan kromatografi lapis tipis dan reaksi warna serta reaksi pengendapan menunjukkan adanya senyawa golongan triterpen/sterol, alkaloida, karotenoid, tanin dan asam fenol(4). Identifikasi dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan adanya senyawa karbohidratt31. Pemeriksaan histopatologi meliputi sel darah putih, sel darah merah, protein total dan kadar haemoglobin pada akhir bulan ke 3 tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan kontrol. Ramuan yang memakai daun jati belanda pada umumnya dipakai lama dan terus menerus; perlu dilakukan penelitian toksisitas akut dan subkronik untuk melihat pengaruh bahan terhadap organ dalam tubuh secara makroskopik dan mikroskopik.

Tabel 1.

BAHAN DAN CARA Bahan diperoleh dari penjual ramuan jamu di Jakarta. Setelah diidentifikasi memenuhi persyaratan sesuai dengan standar, bahan dijadikan serbuk dan dibuat infus 10% secara Farmakope Indonesia Edisi III (1979). Hewan percobaan mencit berasal dari Pusat Penyakit Menular dengan berat sekitar 17,5 g–25 g. Tikus putih strain Wistar Derived berasal dari Pusat Penyakit Menular Badan Litbang Kesehatan, berat sekitar 150 g – 200 g dengan jenis kelamin jantan. Cara kerja Untuk menentukan harga LD50 menggunakan metode/cara Weil C.S (1952). Tahap I Sediakan 6 kelompok mencit @ 3 ekor. Setiap kelompok diberi bahan percobaan dengan dosis kelipatan 10 secara intraperitoneal, observasi dilakukan beberapa jam dan kematian dihitung sesudah 24 jam. Apabila yang mati kurang dari 2 ekor pada suatu kelompok maka dosis diperbesar dengan konsentrasi bahan percobaan lebih besar. Tahap II Percobaan dilanjutkan dengan memperbanyak jumlah hewan tiap kelompok. Di antara dosis terbesar dengan dosis terkecil ada 6 kelompok @ 5 ekor dengan menggunakan faktor dosis. Setelah 24 jam dihitung jumlah kematian mencit tiap kelompok dan jumlahnya dicocokkan dengan daftar yang dibuat Weil C.S. Percobaan diulangi beberapa kali sampai basil kematian sesuai dengan daftar tersebut. Dengan menggunakan rumus dari Weil C.S. LD50 dari bahan dapat dihitung. Untuk melengkapi percobaan LD50 dilakukan percobaan gelagat untuk mengetahui arah penelitian apa saja yang perlu dilanjutkan terhadap bahan yang sedang diteliti. Untuk percobaan toksisitas subkronik dilakukan terhadap tikus putih dengan pemberian bahan secara oral selama 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan dengan 3 macam dosis yang berbeda. Dosis 1 setara dengan 4,5 mg/100 g bobot badan atau sama dengan dosis manusia, dosis ke 2 setara dengan 45 mg/ 100 g bobot badan dan dosis ke 3 setara dengan 450 mg/100 g bobot badan. HASIL Hasil percobaan toksisitas akut (LD50) daun jati belanda

Rancangan percobaan subkronik

Nomor Kelompok

Jumlah Hewan/ Kelompok

Dosis Bahan

Lama Pemberian

Otopsi Pada Akhir Bulan ke 1

I II III IV

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

dosis 1 dosis 2 dosis 3 akuades

1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan

V VI VII VIII

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

dosis 1 dosis 2 dosis 3 akuades

3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan

IX X XI XII

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

dosis 1 dosis 2 dosis 3 akuades

6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan

ke 2

ke 6

+ + + + + + + + + + + +

pada mencit adalah 134,5 (158,2 ± 114,4) mg/10 g bobot badan. Setelah diekstrapolasikan dari mencit intraperitoneal ke tikus per oral menurut Paget & Barness 1964 adalah 941500 mg/kg bobot badan. Pengaruh terhadap gelagat dapat menurunkan suhu normal pada mencit dan mempengaruhi perilakunya ditunjukkan dengan menurunnya aktivitas motor. Hasil percobaan toksisitas subkronik dari daun jati belanda dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2.

Pemeriksaan histologi dari daun jati belanda terhadap organ hati, paru-paru, ginjal, limpa, jantung, usus dan lambung dari tikus

Lama percobaan

1 bulan

Dosis/bahan

Makroskopik

1 x D.M 10 x D.M 100xD.M aktiades

N N N C(1)

1 x D.M

C (2)

l0 x D.M

N

3 bulan l00 x D.M

C (1)

akuades

C (1)

IXD.lBI

C(1)

10 x D.M

C (1)

6 bulan l00 x D.M akuades Keterangan : N = normal C = cacing pita dalam usus HL = hiperplasia limpoid di paru Cg = cacing gilik pada pyelum ginjal Gr = sarang radang granulomatus di paru

C (1) N

Mikroskopik HL (3) HL (3) HL(1) HL (2) C (1) HL (4) C (2) HL (4) Cg (1) HL (4) C (I) HL (3) C (1) HL(4) C (1),Gr(2) HL (5) C (1), Gr (3) HL (2) C ( t ), Gr (4) HL (5) Gr (2)

PEMBAHASAN Pada percobaan toksisitas akut didapatkan harga LD50 sesuai dengan cara Weil C.S. (1952). Menurut kriteria yang ditetapkan Gleason M.N (1964) maka daun jati belanda yang diteliti termasuk bahan yang Practically Non Toxic. Untuk ini hasil LD50 perlu diekstrapolasikan dari mencit intraperitoneal ke tikus per oral menggunakan daftar yang dibuat Paget & Barness. Daun jati belanda yang secara empiris digunakan untuk mengurangi bobot badan dan dalam ramuan jamu dipakai sebagai obat pelangsing tubuh, hasil toksisitas akut menunjukkan bahwa daun jati belanda termasuk bahan yang tidak toksik. Pemakaian dalam ramuan jamu yang digunakan secara terus menerus perlu diketahui toksisitas subkronik. Dari basil penelitian subkronik 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan terlihat daun jati belanda tidak menimbulkan efek toksik terhadap organ dalam tubuh tikus putih; adanya cacing pita dalam usus adalah merupakan'suatu kendala dalam pemeliharaan hewan. Pada pemeriksaan mikroskopik histologi dari hati, paruparu, ginjal, limpa, jantung, usus dan lambung tidak terlihat kelainan. Kelainan pada paru-paru adalah hiperplasia limfoid ditemukan pada sebagian tikus baik yang diberi bahan maupun yang diberi akuades pada perlakuan 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan. Kelainan tersebut merupakan kelainan fisiologis yang umum ditemukan pada tikus yang tua, kelainan itu tidak ada kaitannya dengan bahan yang diuji; maka dapat dikatakan pemberian daun jati belanda selama 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan dengan dosis sampai 100 kali dosis manusia tidak menunjukkan efek samping. KESIMPULAN 1) Pada penelitian toksisitas akut daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) menurut penggolongan Gleason M.N. maka bahan tersebut termasuk bahan yang tidak toksik. Daun jati belanda dapat menurunkan suhu normal pada mencit dan mempengaruhi perilakunya ditunjukkan dengan

menurunnya aktivitas motor yang merupakan petunjuk adanya pengaruh terhadap susunan saraf pusat. 2) Pada penelitian toksisitas subkronik terhadap tikus putih dengan pemberian infus daun jati belanda secara oral selama 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan dengan dosis sampai 100 kali dosis manusia, ternyata tidak mempengaruhi organ dalam hati, jantung, paru-paru, ginjal, limpa, usus dan lambung pada pemeriksaan mikroskopik. Maka daun jati belanda termasuk bahan yang tidak toksik. UCAPAN TERIMA KASIH Ditujukan kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Litbang Kesehatan dan seluruh staf laboratorium Farmakologi Ekrperimental yang telah membantu terlakrananya penelitian ini.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

Materia Medika Indonesia II, Departemen Kesehatan RI, 1978. Sudarman M, Harsono R. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang, PT. Karya Wreda, 1975. 3. Siti Nurwati. Pengaruh daun jati belanda terhadap berat badan dan gambaran hematologi darah tikus putih betina serta identifikasi komponen lendirnya. Skripsi Fakultas Gajah Mada, Yogyakarta, 1984. 4. Jeniwati. Pengaruh jamu galian singset dan daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) terhadap hepar tikus serta skrening fitokimia daun jati belanda. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1984. 5. Weil CS. Tables for Convenient Calculation of Median Effective Dose (LD50 or ED50) and Instruction in their use. Biometric 1952; 8: 249–265. 6. Paget GE, Barness JM. Dalam: Laurence DR. Bacharach AL. Evaluation of Drug Activities; Pharmacometrics: Vol I. London: Academic Press, 1964. 7. Gleason MN. Clinical Toxicology of Commercial Products. Baltimore: Williams & Wilkins, 1964. 8. WHO Techn Rep Ser No. 563. General guide to period of administration in toxicological studies, 1975. p. 22. 9. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia, Edisi III, 1979. 10. Darmansyah I. Evaluation of animal studies including predictive value from animal to man. A Regulatory View. Maj Farmakol Terapi Indon 1989; 6(1–2).

Our future is largely the consequence of what we do and What we fail to do today

Survai Cakupan Imunisasi Toksoid Tetanus dan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil di Daerah Kumuh di Jakarta Muljati Prijanto*, Zeil Rosenberg**, Rini Pangestuti*, Eko Suprijanto*, Lukman S**, R Pangerti Yekti* * Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta ** Sub Dit Imunisasi, Direktorat Jendral P2M dan PLP, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Sampai saat ini masih belum diketahui secara akurat hasil cakupan imunisasi TT pada ibu-ibu dan pelayanan kesehatan ibu hamil yang tinggal di daerah kumuh dengan kepadatan penduduk tinggi, di kota-kota besar. Data yang diperoleh dari laporan imunisasi rutin, belum dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini karena belum semua data dapat dicatat. Selain itu juga karena perkiraan jumlah penduduk setempat yang belum tepat bila digunakan sebagai denominator cakupan. Telah dilakukan penelitian di daerah kumuh pada tahun 1989, yang bertujuan untuk mengetahui cakupan imunisasi TT ibu hamil, pelayanan kesehatan ibu hamil di daerah padat penduduk dibanding dengan daerah sedang di Jakarta. BAHAN DAN CARA KERJA Daerah kumuh adalah daerah dengan kepadatan penduduk lebih dari 500 jiwa tiap hektar, sedangkan daerah menengah/ sedang adalah daerah dengan kepadatan penduduk kurang dari 300 jiwa tiap hektar. Data kepadatan penduduk ini diperoleh dari laporan Biro Pusat Statistik tahun 1987. Telah dipilih secara random 10 kelurahan yang masingmasing daerah memenuhi kriteria. Penentuan terakhir didasarkan pada hasil kunjungan ke daerah tersebut. Pengamatan difokuskan pada keadaan sosial ekonomi, letak perumahan, dengan jumlah anak Balita kurang lebih 4000 orang. Pemilihan dihentikan setelah ditemukan daerah yang memenuhi persyaratan. Karena sebagian besar kelurahan memiliki kurang lebih 2000–3000 orang anak Banta, maka dipilih 2 kelurahan dari masing-masing daerah penelitian. Kedua kelurahan tersebut diperlakukan sebagai sate kesatuan yang mewakili daerah penelitian. Daerah kumuh diwakili oleh kelurahan Kampung Rawa yang berpenduduk 17.964 jiwa dengan luas area 0,03 hektar dan

kelurahan Tanah Tinggi yang berpenduduk 37.139 jiwa dengan luas area 0,62 hektar. Sedangkan daerah menengah (sedang) diwakili oleh kelurahan Pondok Kopi yang berpenduduk 23.440 jiwa dengan luas area 2,06 hektar dan Cipinang Melayu yang berpenduduk 27.432 jiwa dengan luas area 2,53 hektar. Target populasi untuk survai cakupan imunisasi TT adalah ibu-ibu yang memiliki bayi umur 0–11 bulan. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan cara WHO's EPI Cluster Design(3,4). Satuan cluster adalah Rukun Tetangga (RT). Jumlah cluster terpilih dapat dilihatpada tabel 1. Dipilih secara acak 40 RT dari lebih kurang 200 RT di setiap daerah penelitian. Setelah diadakan musyawarah dengan kepala kelurahan dan para ketua RT, akhirnya dipilih 30 RT sebagai lokasi penelitian. Sebagai dasar pertimbangan adalah jumlah anak umur 5 tahun, kerja sama yang baik dari penduduk dan juga segi keamanan bagi pelaksana penelitian. Tabel 1.

Jumlah RW, RT dan "Cluster" dari Sampel Penelitian Kecamatan

Daerah Kumuh : Kampung Rawa Tanah Tinggi Daerah Sedang : Pandok Kopi Cipinang Melayu Jumlah

RW (n)

RT (n)

"Cluster" (n)

8 13

32 47

12 18

6 7

19 40

13 17

34

138

60

Petugas mengunjungi setiap rumah di masing-masing RT sesuai petunjuk yang ada sampai mendapatkan 7 rumah yang mempunyai 7 orang ibu yang mempunyai anak umur 0–11 bulan dari setiap RT. Dilakukan wawancara ke pada ibu-ibu tersebut. Status imunisasi dan data lainnya dicatat pada kuesioner standar

menurut Dirjen P2M & PLP. Apabila pada RT yang bersangkutan sampel penelitian belum mencukupi, maka petugas mengunjungi RT-RT yang letaknya berdekatan, yang tidak termasuk dalam RT cluster, sehingga jumlah sampel di setiap cluster terpenuhi. Data sekunder yang meliputi cakupan imunisasi setempat dikumpulkan pula dari Puskesmas (tabel 2), Posyandu, Kecamatan (label 3) dan Bidan yang berada di daerah penelitian. Tabel 2.

Cakupan Imunisasi TT bersumber dari Laporan Puskesmas Kampung Rawa dan Tanah Tinggi di Daerah Kumuh Tahun 1987/1988 – 1988/1989 PKM Kampung Rawa

Imunisasi

TT 1 TT 2

PKM Tanah Tinggi

1987–1988 (%)

1988–1989 (%)

1987–1988 (%)

1988–1989 (%)

27,0 17,0

33,0 28,0

18,0 13,0 .

21,0 14,0

Tabel 3. Cakupan Imunisasi bersumber dari Laporan Puskesmas Kecamatan Jatinegara dan Kramat Jati di Daerah Sedang Tabun 1987/ 1988 – 1988/1989 Kec. Kramat Jati* Imunisasi

TT 1 TT 2 ∗ ∗

Tabel 4.

Cakupan Imunisasi TT pads Ibu-ibu di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta Status Imunisasi

1988-1989 (%)

1987-1988 (%)

1988-1989 (% )

68,0 59,5

83,5 49,5

59,0 34,5

107,0 81,0

Kec. Kramat Jati meliputi 5 Kelurahan. Puskesmas Pondok Kopi termasuk di dalamnya. Kec. Jatinegara meliputi 8 Kelurahan. Puskesmas Cipinang Melayu termasuk di dalamnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Cakupan imunisasi TT terdapat pada tabel 4. Hampir seluruh pencatatan berdasarkan ingatan ibu saja dan sebagian besar ibu mengaku memiliki kartu/dicatat oleh bidan yang bersang-. kutan. Kesulitan yang dijumpai pada saat pelaksanaan penelitian ini adalah sebagian besar ibu-ibu tidak dapat membedakan antara suntikan TT dengan suntikan vitamin, karena menurut yang bersangkutan petugas tidak memberitahukannya. Cakupan di daerah sedang lebih tinggi daripada di daerah kumūh yaitu 39,53% berbanding 32,86%, namun angka tersebut tidak berbeda nyata. Cakupan TT lengkap hasil penelitian ini di daerah kumuh bila dibandingkan dengan cakupan TT2 berdasarkan laporan kedua Puskesmas (tabel 2) lebih tinggi yaitu 39,53% berbanding 21%. Hal ini kemungkinan disebabkan belum baiknya pencatatan yang dilakukan pada saat imunisasi, sedangkan data yang dikumpulkan pada penelitian ini hanya berdasarkan ingatan ibu saja. Cakupan TT di daerah sedang tidak dapat dibandingkan dengan cakupan berdasarkan hasil laporan Puskesmas karena data yang ada merupakan gabungan antara Puskesmas Pondok Kopi I dan II, sedangkan penelitian ini hanya mengikutsertakan 1 Puskesmas.

Daerah Sedang

N

%

N

%

Imunisasi lengkap (Tanpa kartu) Tidak mendapat TT Mendapat TT tidak lengkap

69

32,86

85

39,53

95 46

45,24 21,90

94 36

43,72 16,74

Jumlah

210

100,00

215

100,00

Pada tabel 5 disajikan distribusi umur ibu yang ikut dalam penelitian. Tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal distribusi umur ibu-ibu antara daerah kumuh dengan daerah sedang dan persentase tertinggi ada pada umur 21–25 dan 26–30 tahun. Tabel 5.

Distribusi Umur Ibu Peserta Penelitian

Kelompok Umur (Tahun)

Kec. Jatinegara**

1987-1988 (%)

Daerah Kumuh

Daerah Kumuh

Daerah Sedang

N

%

N

%

– 15 16 – 20 21– 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 41–

0 30 72 52 33 17 2

0,00 8,74 19,90 14,56 5,83 5,34 0,97

2 32 69 67 38 9 2

0,46 7,31 9,18 17,35 9,59 1,37 0,46

Jumlah

206

55,34

219

56,26

Pilihan tempat untuk pemeriksaan antenatal (tabel 6) di daerah kumuh dan daerah sedang yang tertinggi adalah bidan, masing-masing adalah 63,64% dan 53,46%. Pada kedua daerah penelitian keadaannya tidak berbeda nyata. Tabel 6. Pelayanan Kesehatan Pilihan Ibu untuk Pemeriksaan Antenatal Pelayanan Kesehatan

Daerah Kumuh

Daerah Sedang

N

%

N

%

Puskesmas dan Posyandu Bidan Dokter Umum Rumah Sakit Bersalin Rumah Sakit Swasta Rumah Sakit Umum Lain-lain

23 112 5 13 7 12 4

13,07 63,64 2,84 7,38 3,98 6,82 2,27

34 85 2 10 4 8 16

21,38 53,46 1,26 6,29 2,52 5,03 10,06

Jumlah

176

100,0

159

100,0

Frekuensi pemeriksaan selama hamil dapat dilihat pada tabel 7. Di daerah kumuh dan sedang, kunjungan terbanyak dari ibu-ibu, yaitu 7 kali lebih masing-masing sebanyak 47,83% dan 51,71%. Namun bila dilihat jumlah kunjungan lebih dari 4 kali, maka persentasenya tidak berbeda antara 2 daerah penelitian yaitu 81,37% berbanding 79,03%. Bila hal ini dikaitkan dengan hasil cakupan TT lengkap yaitu 32,86% di daerah kumuh dan 39,53% di daerah sedang, maka berarti sasaran tidak dapat dicapai. Seharusnya bila kunjungan antenatal tinggi maka diharapkan cakupan imunisasi TT ibu hamil akan tinggi pula.

Mengingat data yang diperoleh didasarkan pada ingatan dan bukan berasal dari kartu imunisasi, maka hasil yang diperoleh tidak sesuai yang diharapkan. Pelayanan kesehatan yang dipilih untuk tempat melahirkan dapat dilihat pada tabel 8. Pelayanan yang mendapat minat tertinggi adalah bidan yaitu untuk daerah kumuh dan sedang masing-masing adalah 64,82% dan 46,89%. Persentasenya lebih tinggi untuk daerah kumuh, namun di antara kedua daerah penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Persalinan dengan pertolongan dukun ternyata lebih tinggi di daerah sedang yaitu 23,92%, sedangkan di daerah kumuh hanya 7,54%. Bidan merupakan pilihan utama baik bagi tempat melahirkan, tempat pemeriksaan, dan imunisasi TT, sehingga bidan dapat diharapkan lebih meningkatkan pengertian masyarakat akan pentingnya pemeriksaan kehamilan dan pemberian imunisasi. Titik sasaran adalah pemberian TT pada ibu-ibu yang datang 4-6 kali di daerah kumuh dan di daerah sedang, dengan meningkatkan pelayanan dan penyediaan vaksin. Selain itu perlunya diberikan penjelasan disertai kartu KMS bumil pada saat pemberian imunisasi agar pemberian TT berikutnya dapat sesuai jadwal, mengingat penduduk daerah kumuh sebagian besar merupakan penduduk musiman. Hal ini dapat merupakan salah satu usaha efisiensi penggunaan TT agar ibu-ibu tidak setiap kali mendapat 2 dosis TT. Perawatan tali pusat pada ibu-ibu di kedua daerah penelitian dapat dilihat pada label 9. Perawatan tali pusat terbanyak dilakukan oleh ibunya sendiri masing-masing adalah 10,5% di daerah kumuh dan 10,33% di daerah sedang. KESIMPULAN 1) Cakupan imunisasi TT2 (lengkap) di daerah kumuh lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah sedang yaitu 32,86% berbanding 39,53%, namun keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Pengumpulan data cakupan TT diperoleh berdasarkan ingatan ibu, karena semua ibu tidak memiliki kartu. Sebagian besar ibu yang ikut dalam penelitian tidak mengetahui secara pasti bahwa yang bersangkutan telah mendapat imunisasi TT, karena petugas tidak memberitahu. 2) Peranan bidan sangat menonjol dalam hal pemberian imunisasi TT, pemeriksaan antenatal, pertolongan kelahiran baik di daerah kumuh maupun daerah sedang. SARAN 1) Meningkatkan cakupan TT ibu hamil di daerah kumuh dan sedang. 2) Meningkatkan penggunaan dan pencatatan pada kartu yang ada maupun formulir lain agar diperoleh data yang lebih akurat. 3) Meningkatkan penyuluhan kesehatan terutama di daerah padat penduduk khususnya dalam meningkatkan peran serta masyarakat.

Tabel 7. Frekuensi Pemeriksaan Antenatal pada Ibu-ibu di Daerah Kumuh dan Sedang Frekuensi

Tabel 8.

Daerah Kumuh

Daerah Sedang

N

%

N

%

0 1–3 4–6 7–

2 28 54 77

1,24 17,39 33,54 47,83

2 41 56 106

0,97 20,00 27,32 51,71

Jumlah

161

100,0

205

100,0

Pelayanan Kesehatan Pilihan Ibu untuk Melahirkan

Pelayanan Kesehatan

Daerah Kumuh

Daerah Sedang

N

%

N

%

Puskesmas/Posyandu Bidan Dokter Umum Rumah Sakit Bersalin Rumah Sakit Swasta Rumah Sakit Umum Lain-lain

10 129 2 19 12 12 15

5,03 64,82 1,01 9,55 6,03 6,03 7,54

15 98 8 13 7 18 50

7,18 46,89 3,83 6,22 3,35 8,61 23,92

Jumlah

199

100,0

209

100,0

Tabel 9.

Perawatan Tali Pusat Bay! dart Ibu yang Melahirkan Perawat

Daerah Kumuh

Daerah Sedang

N

%

N

%

Tenaga kesehatan Dukun Keluarga Ibu sendiri

30 19 30 111

10,50 6,00 9,50 30,50

33 46 14 120

10,33 7,98 3,29 33,33

Jumlah

200

100

213

100

4) Mengingat besarnya peran bidan di daerah padat penduduk dengan sosio ekonomi rendah, maka pengikutsertaan bidan dalam berbagai kegiatan penyuluhan akan lebih meningkatkan cakupan imunisasi. 5) Mengingat penduduk daerah kumuh sebagian besar tinggal musiman maka ibu-ibu perlu mendapat penjelasan atau kartu imunisasi TT, sehingga tidak mendapat imunisasi TT 2 dosis. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Mashur, Kepala Bidang Bindal PKPP, Kan Wil Depkes DKr, Bapak H. Daud Djayasudarma, koordinator Urban Strategi DKr, Bapak Dr. Suriadi Gunawan DPH, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Ibis Dr. Titi Indiyati, Kepala Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Dr. Nyoman Kandun, Ka Sub Dit Imunisasi, Direktorat Jenderal P2M & PLP, atas segala petunjuk dan saran-saran yang diberikan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan juga kepada Bapak-bapak Lurah, Pimpinan Pusat Kesehatan Masyarakat, Ketua Rukun Warga, Rukun Tetangga dan Ibu-ibu PKK dari Kelurahan Kampung Rawa, Tanah Tinggi, Pondok Kopi, Cipinang Melayu was segala bantuannya selama penelitian dilaksanakan

Perbedaan Efek Sinar X dengan Efek Sinar Gamma pada Mencit Dewasa strain Quacker.Bush Suhardjo*, M. Darussalam** * Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran, Bandung ** PPTN-BATAN, Bandung

PENDAHULUAN Sinar-X dan sinar gamma adalah radiasi pengion yang dipancarkan dalam bentuk gelombang elektromagnetik dan mempunyai energi yang tinggi(1). Sumber sinar-X adalah pesawat sinar-X dan sumber sinar gamma adalah Cobalt 60(2). Interaksi radiasi pengion dengan sel dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung biasanya diartikan sebagai aksi radiasi dengan molekulmolekul di dalam sel dan menyebabkan ionisasi atau eksitasi sehingga mengakibatkan kerusakan pada molekul-molekul tersebut, sedangkan efek tidak langsung timbul jika ada perubahan atau kerusakan pada molekul-molekul yang terjadi akibat pengaruh senyawa-senyawa radikal bebas (OH°, H°) dan peroksida (H202), senyawa ini dihasilkan dari radiolisis air dalam plasma akibat radiasi(3,4,5,6). Karena sebagian besar sel mamalia (70 – 90%) terdiri atas air, sebagian besar efek tidak langsung terjadi pada media air(5). Suhardjo pada tahun 1992 berdasarkan basil penelitiannya mengatakan bahwa iradiasi sinar X dosis tunggal memberikan efek pada mencit dewasa strain Quacker-Bush. Efek sinar X ini ditandai oleh pengurangan jumlah F1(7). Hal ini sesuai dengan acuan yang dikemukakan oleh Nomura pada tahun 1982 dan Kirk bersama Lyon pada tahun 1984 yang mengatakan bahwa iradiasi mencit jantan dan betina sebelum pembuahan menunjukkan cacad bawaan pada keturunannya(8,9). Juga Lyon dan Renshaw pada tahun 1986 dan tahun 1988 menyatakan bahwa timbulnya cacad pada Fl yang mencit parental betinanya mendapat iradiasi sinar X sebesar 504 CGy lebih tinggi dibandingkan kontral, dan cacad yang terlihat pada generasi pertama dapat diteruskan pada generasi berikutnya(9). SinarX dan sinar gamma adalah merupakan radiasi pengion yang sama-sama berbentuk gelombang elektromagnetik dan berdasarkan acuan teori tersebut di atas penulis ingin mengetahui perbedaan efek antara sinar X dan sinar gamma, apakah sinar

Tabel 1. Efek Sinar X dan Sinar Gamma terhadap Jumlah Anak Mencit (F1) yang Dilahirkan Satu Hari Pasca Iradiasi (dalam ekor) Jenis radiasi

Sinar X

Dosis (rad)

1x200

Sinar gamma

2x200

3x200

1x200

2x200

3x200

Kelompok perlakuan

O

O (X)

O (X)

O

A :10 B: 9 C: 8 x O D: 7 (X) E : 8 42 X = 8,4

A: B: C: D: E:

9 8 8 8 5 38 X = 7,6

A: B: C: D: E:

8 6 4 5 9 32 X = 6,4

A: B: C: D: E

4 8 6 7 6 31 X = 6,2

A: B: C: D: E:

7 6 4 5 5 27 X = 5,4

4 5 5 4 4 22 X = 4,4

A: B: C: O D: E:

A: B: C: D: E:

8 6 8 9 5 36 X = 7,2

A: B: C: D: E

7 7 4 3 8 24 X = 5,8

A: B: C: D: E:

4 6 5 7 5 27 X = 5,4

A: B: C: D: E

5 5 6 4 4 24 X = 4,8

A: B: C: D: E:

5 3 4 4 3 19 X = 3,8

A: B: C: x O D: (X) E :

A: B: C: D: E:

7 6 5 7 6 31 X = 6,2

A: B: C: D: E:

3 2 4 5 7 21 X = 4,2

A: B: C: D: E:

5 4 4 6 4 23 X = 4,6

A: B: C: D: E:

A: B: C: D: E:

X

5 3 4 5 3 20 = 4,0

X

2 15 = 3,0

A B C D E

A B C D E

A B C D E

A B C D E

: : : : :

A B C D E

: : : : :

x

7 8 7 10 7 39 X = 7,8 7 5 7 8 6 32 X = 6,6

x

A B C O D E

: : : : :

12 11 10 10 11 54

: : : : :

12 11 10 10 11 54

: : : : :

12 11 10 10 11 54

: : : : :

10 10 11 12 11 54

10 10 11 12 11 54

A: B: C: D: E

4 2 3 4

10 10 11 12 11 54

X = 10,8 X = 10,8 X = 10,8 X = 10,8 X = 10,8 X = 10,8 Keterangan : X : Iradiasi Sinar X/Sinar gamma

Tabel 2.

Analisis Varian Multivariat untuk Melihat Perbedaan Efek Sinar X dan Sinar Gamma

Jenis Kelamin Sinar Jenis Kelamin X Sinar Error Total

dk

SPy(1)

3 1 3

152,273 257,221 9,277

175,2 28,05 9,45

220,425 17,325 5,675

192,6 28,9 9,7

247,9 17,85 57,5

320,479 11,025 5,075

32

40

13

9

40,4

-10,4

64,6

221,7

114,2

271,6

263,4

393,1

39 229,775

SPy(1) y(2) SPy(1) y(3) SPy(2) SPy(2) y(3) SPy(3)

gamma dapat memberikan efek yang serupa dengan sinar X atau tidak pada mencit dewasa strain Quacker - Bush. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain eksperimental sungguhan (true experimental) dengan analisis varian multivariat untuk melihat efek sinar X dan sinar gamma; cara pengambilan sampel dilakukan secara random, kemudian dilakukan replikasi pada hewan coba dan terdapat perlakuan banding. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) dewasa strain Quacker-Bush yang berasal dari laboratorium pemeliharaan Perum Bio Farma Bandung. Makanan untuk hewan percobaan adalah pelet 551 (makanan anak babi) yang diproduksi oleh P.T. Charoen Pokphand Indonesia, Animal Feed Mill; Co., Ltd. Air Minum yang digunakan berasal dari PDAM Bandung. Pemberian makanan dan minuman dilakukan secara ad libitum. Selama penelitian hewan percobaan ditempatkar, dalam suatu kandang yang terbuat dari plastik berbentuk bak berukuran 35 x 30 cm terbagi atas lima ruangan masing-masing ruangan berukuran 7 x 30 cm, kandang ditutup dengan kawat kasa yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menyimpan pelet dan botol air minum. Definisi operasional variabel utama yang digunakan meliputi variabel bebas yaitu sinar X dan sinar gamma yang merupakan radiasi pengion berbentuk gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dengan dosis 1 x 200 rad. Variabel akibat yaitu efek sinar X dan efek sinar gamma, yaitu efek biologis yang timbul sebagai akibat irradiasi sinus X dan sinus gamma yang berupa efek somatik yang ditandai-oleh berkurangnya jumlah apak (Fl) yang dilahirkan dari Mencit Parental yang mendapat irradiasi sinar X dan sinar gamma. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 120 ekor yang terbagi atas 2 kelompok yaitu 60 ekor untuk melihat efek sinar X dan 60 ekor untuk melihat efek sinar gamma. Tiap-tiap kelompok terdiri dari 15 ekor mencit jantan yang mendapat irradiasi, 15 ekor mencit betina dan jantan yang mendapat irradiasi, dan 15 ekor mencit yang tidak diirradiasi, dari tiap-tiap jumlah yang 15 ekor, 5 ekor diirradiasi dengan dosis 1 x 200 rad, 5 ekor diirradiasi dengan dosis 2 x 200 rad, dan 5 ekor diirradiasi dengan dosis 3 x 300 rad. Pasca satu hari irradiasi, kemudian masing-masing

dikawinkan dengan mencit pasangannya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menghitung jumlah anak mencit yang dilahirkan (Fl) kemudian tiap data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji statistikAnalisis Varian Multivariat dua arah dengan a 5% dan α 1%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dengan menggunakan uji statistik Analisis Varian Multivariat untuk klasifikasi dua arah dengan pengamatan persel, menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok sinar diperoleh µ = 4,4080, yang bila dibandingkan dengan µ pada α 5% = 0,8165 dan a 1% = 0,744, maka H0 ditolak. Ini berarti signifikan yaitu ada perbedaan efek antara sinar X dan sinar gamma. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa sinar gamma mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek dan lebih menembus daripada sinar X(10). Juga teori lain mengatakan bahwa sinus gamma mempunyai energi yang amat tinggi dan dipancarkan oleh inti atom yang mempunyai kemampuan penetrasi yang sama dengan energi sinar X yang amat tinggi(11). Berdasarkan kelompok jenis kelamin mencit yang mendapat irradiasi diperoleh µ = 1,0726, yang bila dibandingkan dengan µ pada α 5%=0,6 dan pada α 1%=0,5, maka H0 diterima. Ini berarti non signifikan yaitu tidak ada perbedaan efek antara sinus X dengan sinar gamma.

KESIMPULAN • Sinai X dan Sinar gamma memberikan perbedaan efek pada satu hari pasca irradiasi. • Sinar X dan Sinai gamma tidak memberikan perbedaan efek pada penyinaran berdasarkan kelompok jenis kelamin pada satu hari pasca irradiasi.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

Russell RS. Definition of Terms and Unit in: Radioactivity and Human Diet (R.S. Russel, Ed). First ed. Oxford, London: Pergamon Press, 1966. Hall U. Radiation and Life. First ed. Pergamon Press. Oxford, 1976.

3. 4. 5. 6. 7.

Casarett AP. Radiation Biologics. First ed. New Jersey: Prentice Hall Inc. Engle Wood Cliffs. Duncan W, Nias AHW. Clinical Radiobiology. London and New York: Churchill Livingstone, 1977. Felberg RS, Carew JA. Water Radiolysis Product and Nucleotide Damage in Irradiated DNA. Int.Radiat Bral. Vol. 40. 1981. Pryor WA. Free Radicals in Biological System, Scient Am. 1970; 233. Suhardjo.Efek SinarX DosisTunggal pada Mencit DewasaStrain QuackerBush. Disertasi Program Pasca Sarjana Unair, 1992.

8.

Lyon MF, Renshaw. Induction of Congenital Malformation in Mice by Parental Irradiation; Transmission to Later Generation, Mutation Res, 1988; 198: 227–283. 9. Matsuda Y, Tobari I, Yamada T. In Vitro Fertilization Rate of Mouse Eggs with Sperm after X-irradiation at Various Spermatogenetic Stages. Muta tion Res. 1985; 142: 59–63. 10. Anderson WAD, Pathology. fourth ed. St. Louis: The Mosby Co., 1961. 11. Sladen BK, Bang IB. Biology of Population. New York: American Else viers Publ Co Inc., 1969.

Efek Biologi Radiasi Pengion Dosis Rendah Susetyo Trijoko Pusat Standardisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi, BATAN„ Pasar Jumat, Jakarta

Efek biologi radiasi pengion dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu efek deterministik dan stokastik. Efek deterministik, misal penurunan jumlah sel darah merah dan luka bakar kulit, hanya terjadi pada dosis tinggi. Tingkat beratnya efek radiasi meningkat dengan kenaikan dosis. Sedangkan efek stokastik, misal risiko kanker, dapat terjadi pada dosis rendah, akan tetapi beratnya efek radiasi tidak tergantung pada besar dosis yang diterima seseorang. Dalam tulisan ini akan diuraikan kemungkinan efek stokastik yang bisa diakibatkan oleh radiasi dosis rendah dari alam dan akibat aplikasi radiasi pengion oleh kegiatan manusia. SUMBER-SUMBER RADIASI PENGION Radiasi pengion (sinar-X, alpha, beta, gamma, dan netron) sudah merupakan bagian dari lingkungan kehidupan di manapun kita berada. Uranium-235 terdapat dalam batuan tanah dan di daerah tertentu telah dieksplotasi untuk bahan bakar PLTN. Isotop Thorium-232 pemancar sinar alpha dan gamma banyak terdapat dalam batu bara dan dalam pasir monazit dari pulau Bangka, di Sumatera Selatan. Kalium-40 pemancar sinar gamma banyak terdapat dalam tanah dan juga terdapat dalam kerangka tubuh manusia sejak lahir. Gas mulia Radon-222 terdapat di udara bebas yang merupakan sumber pemancar sinar alpha yang paling berbahaya dan diduga sebagai salah satu penyebab kanker paru-paru. Selain itu, sumber radiasi buatan manusia untuk terapi dan diagnosis kedokteran, seperti sinar-X, radioisotop Technetium99 m, Yodium-131, Cobalt-60, dan Caesium-137 telah menjadi

sumber-sumber radiasi baru. Ditambah lagi dengan jatuhan (fallout) radioaktif umur panjang yang berasal dari uji coba senjata nuklir dan proses daur ulang bahan bakar nuklir, PLTN. DOSIS RADIASI Dosis efektif radiasi pengion biasa dinyatakan dengan satuan sievert (Sv); 1Sv=1 Joule/kg, dan 1 Sv=1000 mSv. Secara keseluruhan, rata-rata dosis efektif yang diterima oleh setiap orang di seluruh dunia sekitar 2,5 milisievert (mSv) per tahun, dengann kontribusi 2,0 mSv (80%) dari alam, 0,4 mSv (16%) dari aplikasi medik (foto roentgen, kedokteran nuklir dan lain-lain), dan kurang 0,1 mSv (4%) dari sumber radiasi lainnya. Akhir-akhir ini, perhatian seringkali ditujukan pada dosis radiasi akibat pembangunan PLTN, yang menimbulkan lepasan radioisotop Yodium-129 dan Carbon-14 serta limbah radioaktif aktivitas tinggi. Perhatian semacam ini selalu timbul karena menngingat risiko kanker dan cacat genetik yang dapat diwariskan pada generasi yang akan datang. Penelitian terhadap penduduk di Inggeris yang tinggal di sekitar kawasan PLTN menunjukkan adanya sedikit kenaikan risiko kankerpada mereka. RISIKO KANKER Menurut para pakar radiobiologi, radiasi pengion dapat memutuskan rantai molekul DNA (deoksiribonukleat) dalam kromosom inti sel; padahal kerusakan/mutasi genetik dan kanker itu bermula dari adanya kerusakan pada sebuah inti sel. Sehingga dengan demikian berapapun kecilnya dosis, radiasi pengion berpeluang menimbulkan risiko genetik dan kanker.

Studi epidemiologi telah melibatkan tidak kurang dari 2 juta orang dewasa dan anak-anak. Termasuk dalam studi tersebut adalah mereka yang selamat dari born atom Hiroshima dan Nagasaki, penduduk Rusia yang terkena radiasi kecelakaan PLTN Chernobyl, pasien radioterapi dan radiodiagnostik, serta para pekerja radiasi. Berdasarkan studi epidemiologi, Komisi Internasional untuk Proteksi Radiologi (ICRP)(1) telah menentukan probabilitas risiko kanker dengan menggunakan model relatif (multiplikatif), risiko kanker radiasi diasumsikan meningkat secara proporsional relatif terhadap risiko alamiah. Dengan model tersebut, didapatkan bahwa besar risiko kanker fatal oleh karena radiasi adalah sekitar 5% per sievert. Preston dan Pierce(2) mengatakan, kelompok anak usia 0-9 tahun yang terkena dosis radiasi 1 Sv ternyata lima kali lebih sensitif terhadap leukaemia daripada kelompok usia 35 - 49 tahun. Satu tim ilmuwan internasional yang meneliti efek medik kecelakaan PLTN Chernobyl melaporkan adanya peningkatan kasus kanker tiroid pada anak-anak Belarus (Rusia) secara tajam akhir-akhir ini, lebih besar dari yang diperkirakan semula. Coggle J.A.(3) menggambarkan keadaan di Inggris. Dari 160000 kanker fatal yang terjadi tiap tahun di Inggris : 3% disebabkan oleh radiasi alam, 0,3% akibat aplikasi radiasi dalam kedokteran, dan sekitar 0,3% karena industri nuklir, jatuhan radioaktif, dan buangan limbah radioaktif. CACAT GENETIK YANG DIWARISKAN Risiko radiasi lainnya adalah efek genetik yang dapat diwariskan kepada keturunan. Evaluasi risiko genetik dilakukan dengan ekstrapolasi dari hasil-hasil percobaan pada binatang. Walaupun cara ini masih sering diperdebatkan, tetapi yang jelas frekuensi mutasi genetik meningkat dengan kenaikan dosis. Hasil studi in vitro dan in vivo dengan tikus, kera dan lalat(4), menunjukkan mutasi genetik meningkat secara linier dalam rentang dosis antara 1 - 100 mSv. Menurut laporan UNSCEAR(5) total cacat genetik serius pada anak-anak yang barn lahir di seluruh dunia sekitan 10.000 kasus per satu juta kelahiran. Berdasarkan estimasi UNSCEAR, radiasi kronis 10 mSv dapat menimbulkan cacat serius antara 17 - 65 kasus per satu juga kelahiran. Kalau angka tersebut diproyeksikan secara linier, maka radiasi alam yang sekitar 2,0 mSv/tahun berpeluang menimbulkan cacat serius antara 3 - 13

kasus per satu kelahiran. IQ RENDAH ICRP(6) mengungkapkan terjadinya retardasi mental pada anak-anak yang pada waktu ledakan bom atom di Jepang masih dalam kandungan. Retardasi mental terlihat nyata pada janin yang terkena dosis radiasi antara 250 - 400 mSv pada usia antara minggu ke-8 dan -15 setelah pembuahan sel telur. Minggu ke-8 sampai dengan ke-15 adalah saat pertumbuhan jaringan otak besar, sel-sel glial dan neuronal. Paparan radiasi pada masa sensitif tersebut dapat menurunkan IQ 20 - 25 poin per sievert. Retardasi mental dengan risiko lebih rendah juga terjadi pada janin yang terkena radiasi pada usia kehamilan antara 16 - 25 minggu, dengan dosis ambang sekitar 700 mSv. Radiasi sebelum minggu ke-8 dan setelah minggu ke-25 tidak mengakibatkan retandasi mental. KESIMPULAN Dari uraian di atas terlihat bahwa radiasi pengion dosis rendah, selalu berpeluang menimbulkan risiko kanker dan cacat genetik. Sedangkan efek retardasi mental tidak terjadi oleh radiasi dosis rendah. Data inilah yang nampaknya menjadi alasan ICRP(1) menurunkan nilai batas dosis yang barn untuk pekerja radiasi yaitu dari 50 mSv/tahun menjadi 20 mSv/tahun dan untuk masyarakat tersebut tidak termasuk radiasi alam yang sudah pasti harus diterima oleh setiap orang. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

5.

6.

International Commission on Radiological Protection (ICRP), Recommendations of the ICRP. Publication 60; 1990. Preston DL Pierce DA. The Effect of Changes in Dosimetry of Cancer Mortality Risk Estimates in Atomic Bomb Survivors. Radiat. Res. 1988; 114. CoggleJE. Protection Dosimetry Vol. 30 No. 1, Nuclear Technology Publishing 1990. United Nations Scientific Committe on the Effects of Ionizing Radiation (UNSCEAR), Genetic and Somatic Effects of Ionizing Radiation.Annex B: Dose-Response Relationships for Radiation Induced Cancer, United Nations 1986. United Nations Scientific Committe on the Effects of Ionizing Radiation (UNSCEAR), Sources, Effects and Risks of Ionizing Radiation. Annex E. Genetic hazards,Annex F. Radiation Carcinogenesis in Man, United Nations, 1988. International Commission on Radiological Protection (ICRP), Recommendations of the ICRP, Publication 49, 1986.

Pengalaman Praktek

PENGALAMAN DENGAN PASIEN ANAK Sebagai seorang dokter wanita adalah wajar bila dekat dan menyukai anak-anak. Oleh sebab itu bila anak-anak datang atau berobat Ice tempat praktek, saya beri kebebasan untuk bertanya, pegang ini dan itu, coba ini dan itu, asalkan tidak merusak. Kadangkala orangtua anak-anak tersebut yang khawatir dan merasa malu karena kenakalan anaknya, sedangkan doktemya sendiri tetap tenang karena tnenyukai anak-anak yang agak nakal dan biasanya memang keingin-tahuannya besar, kreatif dan kritis. Rupanya hubungan yang baik dengan mereka membuahkan basil yang besar kepada saya. Misalnya bila mereka sakit, hanya mau berobat ke tempat saya, bahkan keluarganya (orang tua atau kakak-adik dsb) bila sakit disuruh berobat ke saya. Seorang anak kolektor lukisan sempat membuat saya "surprise" karena "menembak" papanya untuk memberikan sebuah lukisan untuk diletakkan di ruang praktek saya. Ada seorang anak dengan bangga berkata : "Kiki habis pacaran sama dokter". Setelah saya tanyakan apa sih arti pacaran, ia menjawab sambil tertawa : "ngobrol sama dokter". Kadangkala mereka melapor kejadian atau perselisihan orang tua mereka, ketidakadilan sikap dan tindakan mereka, bahkan memberi pendapat yang mengejutkan yang kits anggap di luar jangkauan pemikirannya. Yang paling menggembirakan adalah bila saya dapat mengurangi dan memperbaiki "pemberontakannya" dan kenakalannya yang menjadi keluhan orang tua mereka. Begitulah dunia anak-anak, sangat menarik, polos, dinamis yang perlu diperhatikan dan dimengerti. Emiliana Tjitra Jakarta

ABSTRAK ANTI IMPOTENSI Fentolamin yang mula-mula dikembangkan sebagai antihipertensi, saat ini sedang diselidiki manfaatnya sebagai anti impotensi. Pada studi klinis yang dilakukan di AS dan Denmark diperoleh hasil positif pada 30–40% kasus, dibandingkan dengan 15–20% pada kelompok plasebo. Respons yang kurang memuaskan terutama ditemukan di kalangan usia lanjut dan pada pasien dengan kelainan arterial.

glukosa yang dilakukan atas 1030 orang di Brazil menunjukkan bahwa kadar rata-rata glukosa 2 jam postprandial 1,03 mmol/l lebih rendah pada kelompok yang diambil darahnya pada suhu ruangan 5-14°C bila dibandingkan dengan basil kelompok yang diambil darahnya pada suhu ruangan 25-31°C (p < 0,001). Penemuan ini menunjukkan perlunya mempertimbangkan adanya standardisasi suhu ruangan pada saat pengambilan darah untuk pemeriksaan.

Drug News 1994; 3(41): 5-6 brw

Lancet 1994; 344: 1054-55 brw

MENURUNKAN TEKANAN INTRAKRANIAL Sulfentanil - suatu turunan opioid ternyata dapat menurunkan tekanan intrakranial pada pasien trauma kepala. Sepuluh pasien trauma kepala diberi sulfentanil 2 ug/kg.bb. iv dilanjutkan dengan infus sulfentanil 150 ug/jam dan midazolam 9 mg/jam selama 48 jam. Penurunan tekanan intrakranial (ICP) diamati dalam 15 menit setelah pemberian dan menetap, dari rata-rata 16,1 ± 1,7 mmHg menjadi rata-rata 10,8 ± 1,3 mmHg (p < 0,05). Hal ini disertai pula dengan penurunan tekanan arteriil ratarata (MAP) dari 85,5 ± 3,9 mmHg menjadi 80,2 ± 4,2 mmHg (p < 0,05) Penurunan tekanan arteriil rata-rata juga menguntungkan karena dengan demikian tekanan perfusi serebral (CPP) tetap stabil. Br. J. Clin. Pharmacol. 1994; 38: 369-72 brw

PENGARUH SUHU KAMAR TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH Hasil tes toleransi glukosa ternyata dipengaruhi oleh suhu ruangan. Analisis atas basil tes toleransi

PERAWAT MENULIS RESEP Di Inggris sedang dilakukan proyek percobaan yang bertujuan untuk menilai kemungkinan penulisan resep untuk obat-obat tertentu oleh perawat. Perawat yang berhak menulis resep ialah mereka yang bekerja di daerah; untuk itu telah disusun daftar yang terdiri dari 230 macam obat yang boleh diresepkan. Hal serupa juga tengah dijalankan di Swedia, tetapi mendapat tantangan dari sementara dokter, terutama sehubungan dengan kemampuan para perawat tersebut dalam menentukan diagnosis; karena diagnosis yang keliru akan menyebabkan penulisan resep yang keliru pula. Lancet 1994; 344: 1077 brw

CABG vs. PTCA (1) Suatu penelitian multisenter telah dilakukan di Jerman untuk membandingkan efektivitas CABG (coronary artery bypass grafting) dengan PTCA (percutaneus transluminal coronary angioplasty) sebagai usaha revaskularisasi pasien jantung koroner. Di antara 898 pasien yang diperiksa di 8 klinik, 359 pasien menjalani prose-

dur, yaitu 177 pasien menjalani CABG dan 182 pasien menjalani PTCA. Di kelompok CABG, pembuluh darah yang digraft rata-rata sebanyak 2,2 ± 0,6, sedangkan di kelompok PTCA rata-rata 1,9 ± 0,5 pembuluh darah didilatasi. Pasien CABG tinggal di rumah sakit lebih lama (rata-rata 19 hari) dibandingkan dengan pasien PTCA (rata-rata 5 hari); abnormalitas Q wave lebih sering dialami kelompok CABG (8,1%) dibandingkan dengan di kelompok PTCA (2,3% -p = 0,022), sedangkan kematian di rumah sakit adalah sebesar 2,5% di kelompok CABG dan 1,1% di kelompok PTCA. Saat dipulangkan, 93% pasien kelompok CABG bebas dari angina, dibandingkan dengan 82% pasien di kelompok PTCA (p=0,005); dan setelah satu tahun, 74%pasien kelompok CABG dan 71% pasien kelompok PTCA tetap bebas angina. Pengobatan anti angina tidak diperlukan lagi pada 22% pasien kelompok CABG dan pada 12% pasien kelompok PICA (p=0,041). Dalam satu tahun, 44% pasien kelompok PTCA memerlukan tindakan lanjutan (PTCA ulangan pada 23%, CABG pada 18% dan keduanya pada 3% pasien), sedangkan di kelompok CABG hanya 6% (5% PTCA dan 1% CABG ulangan) (p < 0,001). Agaknya pasien yang menjalani PTCA cenderung lebih sering memerlukan tindakan lanjutan dan obat anti angina, sedangkan tindakan CABG lebih berisiko infark miokard. N. Engl. J. Med. 1994; 331: 1037-43 hk

CABG vs. PICA (2) Sementara itu penelitian serupa dilakukan di Inggris. Dari 5118 pasien yang diperiksa, 842 (16,5%) memenuhi syarat; 392 (7,7%) bersedia untuk ikut dalam penelitian 194 pasien menjalani CABG dan 198

ABSTRAK pasien menjalani PTCA. Primary end point (terjadinya kematian, Q-wave myocardial infarct atau lesi iskemik luas yang dideteksi melalui thallium scan) terjadi pada 27,3% pasien kelompok CABG dan pada 28,8% pasien kelompok PTCA (p=0,73). Setelah 3 tahun, pasien kelompok CABG yang memerlukan CABG ulangan (1%) atau PTCA (13%) secara nyata lebih rendah daripada pasien kelompok PTCA (22% dan 41%; p <0,001). Selain itu keluhan angina juga lebih sering ditemukan di kalangan pasien PTCA (20%) dibandingkan dengan di kelompok CABG (12%). N. Engl. J. Med. 1994; 331: 1044–50 hk

TERAPI STENOSIS MITRAL Kasus-kasus stenosis mitral akibat rheuma dapat diperbaiki melalui percutaneous balloon mitral valvuloplasty atau dengan open surgical commissurotomy. Untuk membandingkan efektivitasnya, di Hyederabad, India, masingmasiRg 30 pasien menjalani salah satu prosedur tersebut, kemudian dinilai melalui kateterisasi jantung setelah 1 minggu, 6 bulan dan 3 tahun. Daerah katup mitral membaik dari rata-rata 0,9±0,3 cm2 menjadi 2,1 ± 0,6 cm2(p<0,01) di kelompok valvuloplasti dan dari rata-rata 0,9 ± 0,3 cm2 menjadi 2.0 ± 0,6 cm2 (p < 0,001) di kelompok bedah. Restenosis terjadi pada 3 pasien kelompok valvuloplasti dan pada 4 pasien kelompok bedah. Satu pasien dari kelompok valvuloplasti meninggal akibat stroke setelah 2,5 tahun, empat pasien lain dari kelompok yang sama menderita residual atrial septa/ defect. Tiga pasien (dua dari kelompok valvuloplasti dan satu dari kelompok bedah) dinilai menderita regurgitasi mitral berat. Setelah tiga tahun, 72% dari kelom-

pok valvulopati dan 57% dari kelompok bedah bebas gejala. N. Engl. J. Med. 1994; 331: 961-7 hk

BERHENTI MEROKOK Analisis atas 28 percobaan menggunakan permen nikotin 2 mg., 6 percobaan menggunakan permen nikotin 4 mg. dan 6 percobaan menggunakan nicotine patch menunjukkan bahwa permen nikotin efektif menghentikan merokok pada 6% peserta percobaan (11% padapeserta sukareladan 3% pada peserta yang diminta ikut); keberhasilan ini tergantung dari derajat ketergantungan. Permen nikotin 4 mg. efektif pada sepertiga perokok berat, sedangkan nicotine patch efektif pada 9% peserta; keberhasilannya tidak terlalu dipengaruhi oleh derajat ketergantungan. Secara keseluruhan, program nicotine replacement efektif pada ± 15% perokok yang ingin berhenti merokok. BMJ 1994; 308: 21–6 brw

AKTIVITAS DAN OSTEOARTRITIS Peneliti di Finlandia membandingkan kejadian osteoartritis sendi panggul, sendi lutut dan pergelangan kaki yang memerlukan perawatan rumahsakit, antara 2049 atlit internasional pria dengan 1403 pria kontrol yang dinyatakan sehat pada usia 20 tahun. Data selama 20 tahun (1970–1990) menunjukkan bahwa para atlit lebih sering memerlukan perawatan rumahsakit akibat osteoartritis dibandingkan dengan kontrol, baik pada atlit endurance (odds ratio: 1,73, 95%CI: 0,99-3,01, p = 0,063), pada atlit mixed sports (odds ratio: 1,90, 95%CI: 1,24– 2,92, p = 0,003), maupun pada para atlit power sports (odds ratio: 2,17, 95%CI: 1,41-3,32, p = 0,0003). Rata-rata usia

masuk rumahsakit pertama kali ialah 70,6 tahun pada atlit endurance, 58;2 tahun pada atlit mixed sports, 61,9 tahun pada atlit power sports dan 66,2 tahun pada kontrol. Data ini menunjukkan bahwa para atlit berisiko lebih tinggi untuk memerlukan perawatan rumahsakit akibat osteoartritis, terutama di kalangan atlit mixed dan power sports. Endurance sports meliputi lari jarak jauh dan cross country; mixed sports meliputi sepakbola, hoki es, basket dan atletik; powersports meliputi tinju, gulat, angkat besi dan atletik cabang lempar. BMJ 1994; 308: 231–4 brw

NORPLANT UNTUK KONTRASEPSI REMAJA Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penggunaan Norplant di kalangan remajapost partum merupakan cara yang lebih baik daripada penggunaan pil. Sejumlah 48 remaja (usia rata-rata 16,7 tahun) postpartum memilih Norplant dan 50 remaja (usia rata-rata 16,2 tahun) memilih pi!. Selama followup, tidak ada perbedaan dalam hal kunjungan klinik ataupun kejadian penyakit akibat hubungan seksual (42% vs. 36%), aktivitas seksual maupun penggunaan kondom. Sejumlah 95% pengguna Norplant masih tetap menggunakannya selama follow-up (rata-rata selama 15 bulan) dibandingkan dengan hanya 33% di kalangan pengguna pil (p ≤ 0,001). Kehamilan dalam jangka waktu 1 tahun dijumpai pada 19 orang pengguna pil dan hanya seorang pada pengguna Norplant (p ≤0,001). N. Engl. J. Med. 1994; 331: 1201–6 hk

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? AIDS: a) Pantang berkala b) Kondom c) IUD d) Pil e) Semua tidak efektif 6. Bakteri anaerob yang paling sering ditemukan di alat genital wanita: a) Bakteroi b) Kandida c) Streptokokus d) Stafilokokus e) Trikomonas 7. Penebalan saraf yang dapat diraba untuk menegakkan diagnosis lepra ialah di: a) n. ulnaris b) n. aurikularis magnus c) n. peroneus d) Semua salah e) Semua benar 8. Pengobatan lepra menggunakan: a) DDS b) Etionamid c) Kiofazimin d) Rifampisin e) Semua benar

JAWABAN RPPIK :

1. Virus AIDS terutama menyerang: a) Sd T-helper b) Sel T-killer c) Se! B limfosit d) Sel mast e) Semua diserang 2. L Tes penyaring AIDS menggunakan metode: a) ELISA b) Western blot c) Radioimmunoassay d) Imunofluoresensi e) Semua digunakan 3. Tes konfirmasi AIDS menggunakan metode: a) ELISA b) Western blot c) Radioimmunoassay d) Imunofluoresensi e) Semua digunakan 4. Infeksi yang banyak dikaitkan dengan AIDS disebabkan oleh: a) Stafilokokus b) Streptokokus c) Pneumokokus d) Kriptokokus e) Meningokokus 5. Cara køntrasepsi yang juga efektif mencegah penularan

1. A 2. A 3. B 4. D

5. B 6. A 7. E 8. E

Related Documents

Cdk 098 Adis Dan Kulit
November 2019 4
Cdk 076 Kulit (ii)
November 2019 7
098
November 2019 8
098
August 2019 13
Adis Sample07
November 2019 21
Kulit
August 2019 59