1995
96. Filaria Oktober 1994
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel : 5. Filariasis – aspek klinis, diagnosis, pengobatan dan pemberantasannya – Liliana Kurniawan 9. Produksi Mikrofilaria B. malayi dalam Ruang Peritoneum Tikus Gurun (Meriones unguiculatus) – Rita Marleta D., Soeroto A., Syahrial H., Harijani AM. 12. Reaksi Imunologik pada Perjalanan Penyakit Filariasis malayi – Hastini, Basundari Sri Utami, Oerip Pancawati, Liliana Kurniawan 15. Respon Imun pada Filariasis – Basundari Sri Utami 19. Pola Pengenalan IgG terhadap Komponen Protein Mikrofilaria B. malayi dan W. bancrofti pada Sera Filariasis malayi dan Filariasis bancrofti – Harli Novriani, Basundari Sri Utami, Oerip Pancawati, Syahrial Harun, Liliana Kurniawan 23. Respon Subkelas IgG dan IgE Anti Komponen Protein Mikrofilaria B. malayi pada Penduduk Daerah Endemis Filariasis di Kecamatan Pasir Penyu, Riau – Basundari Sri Utami, Liliana Kurniawan, Soeroto A., Rita Marleta D., M. Yasin 28. Malaria pada Anak di RSU Ternate – Husein Albar, Agustina IS., Paris Hangewa, Ismail Syamsiah 31. Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia – Emiliana Tjitra 37. Penularan Schistosomiasis dan Penanggulangannya – pandangan dari ilmu perilaku – Kasnodihardjo 40. Anti Parasite Immunoglobulin A Antibodies – M. Hasyimi 43. Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status (SADIS) following Various Kinds of Microbial Infection. 5b. The clinical management of diseases that may produce SADIS with lymphocyte depletion - RA Handoyo, Anggraeni Inggrid Handoyo 53. Kesehatan Para Manusia Usia Lanjut di Puskesmas Tentena, Sulawesi Tengah – Aryawan Wichaksana, D. Pokalose, E. Teppe 58. Anthropometric Measurement of Women and Children 0-4 Yearsold in Oksibil Subdistrict, Irian Jaya – Saptono, Dollarina, Darius Salamuk, Paulus Gatot, Sugiyanto, Sukwan Handali 60. Pengalaman Praktek 61. Humor Kedokteran 62. Abstrak 64. RPPIK
Melengkapi serial penyakit-penyakit menular, Cermin Dunia Kedokteran edisi ini membahas filaria sebagai topik utama, meskipun beberapa artikel mengenai hal tersebut sudah diterbitkan pada edisi sebelumnya. Edisi ini juga memuat artikel mengenai schistosomiasis – penyakit yang tidak umum dijumpai, tetapi rnasih merupakan masalah kesehatan di daerah-daerah tertentu; semoga bermanfaat untuk menyegarkan kembali ingatan para sejawat, terutama bagi yang akan/sedang bertugas di daerahdaerah yang rawan terhadap penyakit tersebut. Artikel RA Handoyo dkk. mengenai Specific Acquired Deficient Immune Status adalah yang terakhir dari serial artikel beliau yang telah diterbitkan pada Cermin Dunia Kedokteran edisi-edisi terdahulu. Akhirnya, dua laporan dari puskesmas kiranya cukup menarik untuk dibaca; sekaligus sebagai rangsangan bagi sejawat lain agar ikut berbagi pengalaman. Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
Cermin Dunia Kedokteran 1995
International Standard Serial Number: 0125 – 913X KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro
REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
– DR. Drg. Hendro Kusnoto Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta
REDAKSI KEHORMATAN
PENERBIT Grup PT Kalbe Farma
– Dr. B. Setiawan Ph.D
PENCETAK PT Midas Surya Grafindo
– DR. Ranti Atmodjo
– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga basil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai'keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor unit sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran PO Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) Iengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat No. 96, 1994 Cermin Dunia Kedokteran kerja si penulis.
3
English Summary PRODUCTION OF B. MALAYI MICROFILARIAE IN THE PERITONEAL CAVITY OF JIRD Tjandra Yoga Aditama, Hadiarto Mangunnegoro, Mukhtar Ikhsan Dept. of Pulmonology, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Persahabatan Hospital, Jakarta, Indonesia
The efficacy and tolerability of Once-A-Day Theophylline (Pirasmin-Retard®) was compared with theophylline 4 x 150mg in acrossover study involving 30 patients with asthma bronchiole. Theophylline plasma levels were essayed on day-7 (after 7day administration of Theophylline 4 x 150 mg); on day-14 (after 7-day administration of PirasminRetard® 650 o.d) and on day-21 (after 14-day administration of Pirasmin-Retard®). The means were day-7 : day-14 = 2.6 ± 6.2 mcg: 7.0 ± 7.7 mcg (p = 0,001), and day-7 : day-21 2.9 ± 5.7 mcg : 7.3 ± 6.9 mcg (p < 0.001). Pulmonary function test (FEV1,FVC,PFR) were performed and the clinical symptoms (cough, disturbances of activities and sleeps. wheezing) were also evaluated. The result confirmed that the administration of Pirasmin-Retard® (Once-A-Day Theophylline) provided significant better theophylline plasma levels. The pulmonary function measurement (FVC and FEV increased very significantly but there were no significant difference between group A and B. Cermin Dunia Kedokt, 1995; 101:21-4 Tya, Hm, Mi
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
THE CLINICAL EFFICACY OF CEFIXIME ON NON TUBERCULOUS LOWER RESPIRATORY TRACT INFECTIONS Djoko Trihadi, Hermawati Ananta Rahardja Pulmonary Disease Treatment Centre, Semarang, Indonesia
Cefixime, one of the new third generation oral cephalosporin antibiotic, was evaluated for safety and efficacy in the treatment of 37 patients with nontuberculous lower respiratory tract infections. Cefixime was given to 20 patients with pneumonia, 10 patients with acute bronchitis and 7 patients with infected bronchiectasis. Each patient had sputum culture before and after therapy and was treated with 4 - 14 consecutive days course of Cefixime 3-6mg/ kg body weight twice daily. Clinical efficacy was evaluated according to the symptom improvement (cough, fever, sputum, dyspnoe) laboratory findings and microbiologic results. All patients were evaluated for safety and efficacy. The results were as follow: 1. 34 patients had good responses, with improvement of symptoms after taking Cefixime. 2. Clinical efficacy was 91,89% in 37 Nontuberculous Lower Respiratory Tract infections; cured: 20 (54,06%), improved: 14 (37,83%) and failure 3 (8,11%). 3. Safety was monitored in all cases and there were no cases of any complaints as side effects, no significant abnor-
mal findings on laboratory test during treatment. 4. Sputum culture resulted in 37 isolated pathogen with 10 different strains and was eradicated in 94,59% after taking Cefixime with variables MIC level, while 2 cases were resistant. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 101: 44-7 Dt, Har
THE ROLE OF MOTHERS IN THE MANAGEMENT OF ARI IN WEST JAVA Enny Muchlastriningsih Communicable Diseases Research Center, Health Research and Development Board, Department of Health, Jakarta, Indonesia
A study on the effect of health education on Acute Respiratory Infection (ARI) among mothers having five years old children had been conducted in two districts: Cianjur and Sumedang, West Java (October 1992 – January 1993). In Cianjur District where health education was given there was an increase of mothers knowledge. management and attitude which positively support the recovery of pneumonia compared to the control district Sumedang. Cermin Dunia Kedokt. 1995, 101:50-2 Em
Artikel Filariasis - aspek klinis, diagnosis, pengobatan dan pemberantasannya Liliana Kurniawan Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Filariasis limfatik di Indonesia disebabkan oleh W. bancrofti, B. malayi dan B. timori, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening. Penularan terjadi melalui vektor nyamuk Culex spp., Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. Dalam perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan adenolimfangitis ākuta berulang dan berakhir dengan obstruksi menahun dari sistem limfatik, dengan masa prepaten/ inkubasi, gejala klinik akut dan menahun. Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis akuta disertai panas dan malaise. Pada filariasis bancrofti sering terjadi funikulitis, epididimitis, orchitis, adenolimfangitis inguinal/aksila dengan limfangitis retrograd. Pada filariasis brugia, limfadenitis terutama terjadi pada kelenjar inguinal, dengan limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Pada saat serangan penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Penderita dapat ditemukan amikrofilaremik ataupun mikrofilaremik. Gejala menahun terjadi 10–15 tahun setelah serangan pertama, berupa cacat yang mengganggu aktivitas, berupa hidrokel, chyluria, limfedema dan elefantiasis pada filariasisbancrofti dan elefantiasis tungkai sebawah lutut/siku. Mikrofilaremi jarang ditemukan pada saat ini. Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik untuk menentukan angka kesakitan akut dan menahun (ADR dan CDR). Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria dalam peredaran darah. Deteksi antigen dengan cara immunodiagnosis dapat dipakai pada masa prepaten/inkubasi, amikrofilaremi dan gejala menahun. Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh, aman, murah dan belum menunjukkan adanya resistensi obat. Reaksi samping dapat diatasi dengan obat simptomatik. Dosis standard adalah dosis tunggal 5 mg/kgBB/hari, 15 hari untuk filariasis bancrofti dan 10 hari untuk filariasis brugia. Pemberantasan filariasis meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan penyuluhan, dengan tujuan menurunkan ADR, mf rate dan mempertahankan CDR. Pengobatan massal dilaksanakan bila ADR > 0% dan mf rate > 5%, bila ADR 0% dan mf rate < 5% diadakan pengobatan selektif. Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri dari pemberantasan nyamuk dewasa, jentik nyamuk dan menghindari gigitan nyamuk. PENDAHULUAN Filariasis limfatik merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit filaria yang menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening
Di Indonesia filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bancrofti) serta Brugia malayi dan Brugia timori (filariasis brugia) dan dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau demam kaki gajah. Diagnosis pasti ditegakkan
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
5
dengan ditemukan mikrofilaria dalam peredaran darah. W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Berdasarkan sifat biologikB. malayi di Indonesia didapatkan dua bentuk yaitu bentuk zoophilic dan anthropophilic. Periodisitas mikrofilaria di peredaran darah pada jenis infeksi yang hanya ditemukan pada manusia bersifat noktumal, sedangkan yang ditemukan pada manusia dan hewan (kera dan kucing) dapat aperiodik, subperiodik atau periodik. Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinquefasciatus di daerah perkotaan dan oleh Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. di daerah pedesaan. Di dalam nyamuk, mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif ke dalam tubuh hospes waktu nyamuk menggigit hospes dan berkembang men jadi dewasa yang melepaskan mikrofilaria ke dalam peredaran darah. Filariasis ditemukan di berbagai daerah dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di pedesaan di luar Jawa–Bali. Filariasis brugia hanya ditemukan di pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Prevalensi filariasis bervariasi antara 2% sampai 70% pada tahun 1987. GEJALA KLINIS Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis. Dalam perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi : 1) Masa prepaten Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 3–7 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik amikrofilaremik dan asimtomatik mikrofilaremik. 2) Masa inkubasi Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8–16 bulan. 3) Gejala klinik akut Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofilaremik maupun mikrofilaremik. – Filariasis bancrofti Pembuluh limfe alatkelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchids. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3–15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun. –, Filariasis brugia
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
Limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kādang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 1–2 X/tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu – 3 bulan. 4) Gejala menahun Gejala menahun terjadi 10–15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya. – Filariasis bancrofti Hidrokel paling banyak ditemukan. Di dalam cairan hidrokel ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. – Filariasis brugia Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya. OCCULT FILARIASIS Tropical Pulmonary Eosinofilia Bentuk ini terjadi oleh karena terjadinya hipersensitivitas terhadap mikrofilaria; ditandai dengan hipereosinofilia, IgE terhadap filaria tinggi, gejala limfadenopati serta asma bronkial. Gejala cepat menghilang dengan pemberian Dietilkarbamasin. Beberapa keadaan klinis lain seperti arthritis, tenosynovitis, fibrosis endomiokardial, glomerulonephritis kadang-kadang merupakan manifestasi dari occult filariasis. Dari perjalanan penyakitnya filariasis menunjukkan spektrum luas dari manifestasi klinik, sehingga pada suatu daerah endemik terlihat individu dengan berbagai bentuk status klinik, yaitu : 1. Amikrofilaremik asimtomatik 2. Amikrofilaremik simtomatik 3. Mikrofilaremik asimtomatik 4. Mikrofilaremik simtomatik 5. Gejala klinik menahun hidrokel, elefantiasis, chyluria. DIAGNOSIS 1) Diagnosis Klinik Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik.Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah : gejala dan peng-
alaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun. 2)
Diagnosis Parasitologik Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria. Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis. Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monokional terhadap O. gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea. 3)
Diagnosis Epidemiologik Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalni penemuan penderita elefantiasis. Dengan ditemukannya satu penderitaelefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik. PENGOBATAN Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. ()bat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik. Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur kurang dari 2 tabula, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis malayi diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg BB selama 2–3 minggu. Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hydrocele memerlukan penanganan ahli bedah. Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik berupa demam, sakit kepala, sakit pada otot dan persendian, mual, muntah,
menggigil, urtikaria, gejala asma bronkial sedangkan gejala lokal berupa limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus, funikulitis, epididimitis, orchitis dan limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2–5 hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi samping lokal terjadi beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan gejala klinis. Reaksi samping mudah diobati dengan obat simptomatik. Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia, sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping Dietilkarbamasin sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maim diharapkan dapat dikembangkan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/ kurang memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita. PEMBERANTASAN FILARIASIS Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai penularan dengan cara pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmissi. Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan tujuan : – Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0% – Menurunkan nf rate menjadi < 5% – Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR) Sasaran pemberantasan adalah daerah endemis lama yang potensial masih ada penularan dan endemis baru. Prioritas ditujukan pada : – Daerah endemis lama dengan mf rate > 5%. – Daerah endemis lama dan barn yang merupakan daerah pembangunan, transmigrasi, pariwisata dan perbatasan. Kegiatan pemberantasan meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan penyuluhan. Pengobatan merupakan kegiatan utama dalam pemberantasan filariasis, yang akan menurunkan ADR dan mf rate. Di suatu daerah yang diperkirakan endemik filariasis, 10% dari penduduknya perlu diperiksa untuk menentukan Acute Disease Rate dan mf rate. Pengobatan massal dilakukan bila : ADR > 0%, dan mf rate > 5%; pengobatan selektif dilakukan bila : ADR = 0%, dan mf rate < 5%. Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan menggunakan DEC ada beberapa cara yaitu dosis standard, dosis bertahap dan dosis rendah. Dianjurkan Puskesmas menggunakan dosis rendah yang mampu menurunkan mf ratesampai < 1%. Pelaksanaan melalui peran serta masyarakat dengan prinsip dasa wisma. Penduduk usia < 2 tahun, hamil, menyusui dan sakit berat ditunda pengobatannya. DEC diberikan setelah makan dan dalam keadaan istirahat. 1) Dosis standar Dosis tunggal 5 mg/kgBB; untuk filariasis bancrofti selama 15 hari, dan untuk filariasis brugia selama 10 hari.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
7
2) Dosis bertahap Dosis tunggal 1 tablet untuk usia > 10 tahun, dan 1/2 tablet untuk usia < 10 tahun pada hari 1–4; disusul 5 mg/kgBB pada hari 5–12 untuk filariasis bancrofti dan pada hari 5–17 untuk filariasis malayi. 3) Dosis rendah Dosis tunggal 1 tablet untuk usia> 10 tahun, 1/2 tablet untuk usia < 10 tahun, seminggu sekali selama 40 minggu. Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas : 1) Pemberantasan nyamuk dewasa – Anopheles : residual indoor spraying – Aedes : aerial spraying 2) Pemberantasan jentik nyamuk — Anopheles : Abate 1% — Culex : minyak tanah Mansonia : melenyapkan tanaman air tempatperindukan, mengeringkan rawa dan saluran air 3) Mencegah gigitan nyamuk — Menggunakan kawat nyamuk/kelambu — Menggunakan repellent Kegiatan pemberantasan nyamuk dewasa dan jentik tidak masuk dalam program pemberantasan filariasis di Puskesmas yang dikeluarkan oleh P2MPLP pada tahun 1992. Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis dengan harapan bahwa penderita dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk. Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
KESIMPULAN Filariasis di Indonesia masih merupakan problem kesehatan masyarakat yang memberikan dampak ekonomi sosial yang negatif berupa produktivitas kerja yang menurun dan beban ekonomi sosial bagi yang menderita elephantiasis. Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi; diperlukan program yang berkesinambungan dan memakan waktu lama, mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama. Meskipun filariasis menunjukkan spektrum manifestasiklinik yang luas, pengobatan dengan dietilkarbamasin diberikan dalam regimen yang sama. Tingkat kesembuhan tinggi bila belum ada gejala menahun. Deteksi daerah endemis dilakukan melalui penemuan penderita elephantiasis dan pemberantasan dilaksanakan oleh Puskesmas melalui pengobatan dan penyuluhan. Pengobatan massal dilaksanakan bila mf rate > 5% dan ADR > 0%. Evaluasi pemberantasan dilaksanakan setelah 5 tahun.
KEPUSTAKAAN
1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit Kaki Gajah di Puskesmas, 1988. 2. Liliana Kumiawan. Beberapa aspek imunologi dan bioteknologi dalam penanggulangan masalah filariasis. Seminar Penyakit Menular, Jakarta, Maret 1988. ' 3. Parasitologi Kedokteran. Eds. Srisasi Gandahusada, Wita Pribadi, Herry Ilahude. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. 4. Partono F, Pumomo. Periodicity studies of B. malayi in Indonesia: recent findings and a modified classification of the parasite. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1987; 81: 657-62. 5. Partono F. Lymphatic filariasis. Medicine Intemat 1988. pp 2270-3. 6. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Seminar Penyakit Menular, Jakarta, Maret 1988. 7. WHO. Lymphatic filariasis. Techn Rep Ser 702, 1984. 8. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit Kaki Gajah di Puskesmas, 1992.
Produksi Mikrofilaria B.malayi dalam Ruang Peritoneum Tikus Gurun (Meriones unguiculatus) Rita Marleta D.*, Soeroto A.**, Syahrial H.*, Harijani AM.* * Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta ** Entomology Departement, U.S. Namru-2, Jakarta
ABSTRAK Pengembangan penelitian filariasis secara imunologis banyak menggunakan mikrofilaria sebagai antigen. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut telah dilakukan pengamatan produksi mikrofilaria di ruang peritonium tikus gurun (jird) untuk mendapa
PENDAHULUAN Penelitian imunologi filariasis memerlukan bahan antigen berupa mikrofilaria, makrofilaria dan larva filaria infektif (L3), yang masing-masing berada di aliran darah, aliran getah bening dan di tubuh nyamuk. Mikrofilaria di darah dapat dikumpulkan secara penyaringan darah dengan milipore filter berdiameter 5.0 µ. Dari 1 ml darah maksimum dapat menghasilkan 5.000 mikrofilaria (mf). Dari binatang percobaan jird (Meriones unguiculatus) akan dapat dikeluarkan ± 3 ml darah atau ± 15.000 mf. Jumlah ini masih jauh dari mencukupi keperluan mikrofilaria untuk antigen yang membutuhkan jutaan mikrofilaria. Untuk mengatasinya ditempuh jalan lain dengan cara memproduksi mikrofilaria di rongga peritonium. Teknik ini di luar negeri biasa dikerjakan tetapi di Indonesia belum dilakukan karena hasilnya sangat meragukan. Seekor jird dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria setiap 2 bulan, sehingga
dirasa perlu untuk menyajikan teknik ini agar dapat dikembangkan terus sebagai cara untuk memproduksi mikrofilaria. BAHAN DAN CARA Pada penyediaan mikrofilaria ini hanya digunakan jird jantan, karena jird jantan lebih susceptible dibandingkan dengan jird betina('). Dipilih tikus jantan dewasa berumur sekitar 3-4 bulan. Masing-masing tikus diinokulasi dengan 200 L3 Brugia malayi dengan cara menyuntikkannya ke dalam ruang peritonium. Pemeriksaan mikrofilaria di ronggaperitonium dilakukan mulai minggu ke-10 setelah inokulasi. Bagi jird yang telah positif mengandung mikrofilaria, langsung dilakukan pengambilan produksi (dipanen) dan seterusnya dengan selang waktu setiap 2 bulan. Pada saat pemeriksaan maupun pengambilan produksi, sebelumnya tikus (jird) tersebut dinarkose menggunakan eter.
Dibacakan di Kongres dan Seminar Biologi Nasional ke-9, 10-12 Juli 1989, Padang, Sumatera Barat.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
9
Dengan s y r i n x dimasukkan 10 ml larutan RPMI; kemudian larutan tersebut dikeluarkan kembali dengan cara melepaskan tabung syrin x ; cairan akan menetes melalui lobang jarum yang tetap tertancap pada abdomen jird. Larutan yang menetes ke luar ditunggu sampai 10 ml dan jika jird sudah positif maka larutan tersebut sudah mengandung mikrofilaria (pemeriksaan di bawah mikroskop). Memasukkan larutan RPMI ini dilakukan di daerah abdomen, sekitar umbilikus (± 0,5 cm kaudo-lateral) di daerah linea alba. • Mikrofilaria yang terkumpul disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang dan disisakan endapan sekitar 2-3 ml. Beri larutan Fecoll 10% sebanyak 3 ml, kemudian kembali disentrifuge dengan kecepatan 1200 rpm selama 30 menit. Supernatan dibuang, sedangkan sedimen diambit kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan menggunakan larutan PBS. Setelah pencucian terakhir endapan dihitung dengan cara pengenceran dan dihitung di bawah mikroskop. HASIL DAN PEMBAHASAN Mikrofilaria B. malayi di darah perifer jird dapat ditemui 3 bulan setelah jird tersebut diinokulasi dengan larva infektif (L3)(2). Dari pengamatan yang dilakukan mulai minggu ke-10 ternyata 8 (38,1%) dari 27 ekor jird sudah positif sedangkan kebanyakan jird menjadi positif pada minggu ke-11 dan ke-12 (Tabel 1); menurut Cross (1987)(2) jika jird diinfeksikan secara subkutan dengan B . malayi maka mikrofilaria akan ditemui setelah 3 bulan inokulasi. Jika dibandingkan dengan inokulasi secara subkutan berarti pada penginfeksian cara ini (di ruang peritonium) L3 cenderung berkembang baik sekali dengan pertumbuhan lebih cepat. Tabel 1. Pemeriksaan pertumbuhan mikrofilaria dalam ruang peritonium jird pada waktu yang berbeda. Minggu lie
Kandungan mikrofilaria pada jird n
%
10
8
11
11
40,74
12
27
100
33,1
n 19 16
0
Jumlah %
66,9 59,26 0
27 27 27
Sedangkan untuk B. pahangi, Mc. Call dalam pengamatannya menunjukkan bahwa pada jird yang diinfeksi secara intraperitonial mikrofilaria akan ditemukan 20 hari lebih lambat daripada yang diinfeksi secara subkutan; mikrofilaria pada ruang perotonium akan ditemui sekitar 4–5 bulan setelah inokulasit3>. Tidak ada jird positif mikrofilaria yang menjadi negatif dan tidak ada jird yang mati sehingga angka kematian host akibat perlakuan ini dapat diabaikan; berarti cara ini cukup baik untuk infeksi B. malayi. Dengan memasukkan 10 ml larutan RPMI ke dalam ruang peritonium akan didapati mikrofilaria dalam jumlah yang berbeda. Tikus yang mengandung mikrofilaria akan dikelompokkan dalam 5 kelas; dari tiap kelas dapat dilihat berapa tikus yang menghasilkan mikrofilaria dalam jumlah tertentu. Kelas-kelas tersebut adalah sebagai berikut :
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
1 0 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 Kandungan mikrofilaria padajird
Kelas
0– 500.000 500.001– 1.000.000 1.000.000– 1.500.000 1.500.001– 2.000.000 >– 2.000.001
I
II III IV V
Tabe12. Gambaran jumlah jird yang mengandung mikroflaria pada pengambilan tertentu Jumlah jird pada pengambilan lie Kelas 1 3 5 6 7 2 4 I
12
7
II
11
12
4
6
III IV V
–
1
1
6 6 6 2 –
5
5
4
4
4
1
–
5 –
1
–
–
–
–
–
1
–
–
1
–
Selama produksi ternyata pada pengambilan kedua terjadi peningkatanjumlah total secara maksimal; dari 27 ekor jird dapat dihasilkan 22.565.000 mikrofilaria dengan rata-rata 835.741 mg/ jird. Namun jika dilihat dari basil rata-rata perekor ternyata pengambilan ketiga (6 bulan setelah infeksi) menghasilkan produk tertinggi dari tiap ekor dengan rata-rata 906.400 m g /jird (hanya dari 20 ekor jird) (Grafik 1); sedangkan penurunan jumlah total terjadi pada pengambilan kelima (10 bulan setelah infeksi); lebih dari 50% tikus tersebut mati (kematian selama perlakuan pengambilan produksi) sehingga dapat diduga bahwa daya tahan jird dapat dipengaruhi oleh perlakuan pengambilan produksi tersebut (tabel 3). Grafik 1. Jumlah rata-rata produksi mf/jird di saat pengambilan yang berbeda Rata-rata mf (ratusan ribu)
Tabel 3. Kematian tikus sclama perlakuan produksi di saat yang berbeda
Pengambilan ke Tikus yang mati Tikus yang hidup 1 2 3 4 5 6 7
0 0 7 12 17 22 26
27 27 20 15 10 5 1
Jumlah 27 27 27 27 27 27 27
Selain hal di atas, penurunan produksi juga disebabkan karena terbawanya cacing dewasa pada waktu pengambilan mikrofilaria tidak dapat dihindari. Selama ini ternyata 275 makrofilaria (cacing dewasa) yang terdiri dari 141 cacing jantan dan 132 cacing betina turut terbawa keluar dari ruang peritonium. Hal ini jelas menyebabkan jumlah cacing dewasa dalam ruang peritonium akan berkurang yang secara langsung menyebabkan penurunan produksi (terutama dengan berkurangnya jumlah cacing betina). Dari 18 jird yang teramati, rata-rata dari tiap jird akan terbawa 15 cacing dewasa (dari 7 kali pengambilan) sedangkan dari tiap pengambilan (dari 18 ekor jird) rata-rata didapat 19 cacing dewasa yang terbawa.
KESIMPULAN DAN SARAN Bahan antigen mikrofilariaB. malayi dapatdiproduksi dalam ruang peritonium jird sebagai binatang percobaan. Seekor jird selama hidupnya (± 14 bulan) dapat menghasilkan 400.000– 900.000 mikrofilaria setiap 2 bulannya dan makrofilaria (cacing dewasa) sebanyak 15 ekor. Untuk Wuchereria bancrofti yang tidak dapat hidup di jird (hanya Presbytis cristata yang merupakan binatang pertama di luar manusia yang dapat mendukung kehidupannya), apakah kiranya mikrofilaria akan dapat diproduksi di ruang peritonium P. cristata ?, kiranya perlu dilakukan penelitian akan hal ini. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Kepada Drh. Imelda, NAMRU-2 Jakarta, yang telah memberikan bantuan jird serta tempat untuk memeliharanya selama pengamatan dilakukan. 2. Kepada Dr. Liliana Kurniawan, Puslit Penyakit Menular Badan Litbang Kesehatan, yang telah memberikan kepercayaan untuk memproduksi mikrofilaria. KEPUSTAKAAN
1. Ash LR. Preferential susceptibility of male jirds (Meriones unguiculatus) to infection with Brugia pahangi. J Parasitol, 1971; 57: 777. 2. Cross JH, Hsu M-Y. Development of Brugia malayi in Mongolian gerbils previously exposed to Wuchereria bancrofti. J Trop Med Pub H1th, 1987; 18: 183.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 11
Reaksi Imunologik pada Perjalanan Penyakit Filariasis malayi Hastini, Basundari Sri Utami, Oerip Pancawati, Liliana Kurniawan Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, J a ka rta
ABSTRAK Perbedaan manifestasi klinis dan parasitologis pada filariasis disebabkan oleh perbedaan respons imun hospes terhadap parasitnya. Penelitian reaksi imunologi seluler dan humoral pada transmigran yang memasuki daerah endemik filairiasis di Kendari selama lima tahun menunjukkan adanya beberapa bentuk reaksi imunologik dalam masa prepaten. Untuk memahami kelas IgG dan IgE serta subkelas IgG2, IgG3 dan IgG4 yang berperan pada individu yang memasuki daerah endemik filariasis, dilakukan tes ELISA terhadap transmigran dengan masa tinggal yang berbeda. Mikrofilaria B. malayi dipakai sebagai antigen dalam tes ELISA. IgG spesifik terhadap antigen tersebut terlihat dari adanya respon imun pada masa tinggal 8 dan 54 bulan. IgG4 respon imun tampak pada masa tinggal 8 dan 15 bulan. IgE menunjukkan respon pada seluruh masa pemantauan sedangkan IgG2 dan IgG3 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dibandingkan penduduk daerah non endemik.
PENDAHULUAN Di Indonesia filariasis disebabkan oleh Brugia malayi, Brugia timori dan Wuchereria bancrofti. Di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara, didapatkan Brugia malayi. Pada filariasis sampai saat ini faktor-faktor yang berperan pada terjadinya berbagai manifestasi klinik parasitologik tidak jelas diketahui. Secara umum diketahui adanya hyporesponsiveness spesifik yang terutama menonjol pada mikrofilaremi. Pada kelainan limpatik terlihat reaksi imunologik seluler maupun humoral lebih tinggi daripada pada kelompok asimtomatik. Pada percobaan binatang ditunjukkan bahwa ada hubungan yang jelas antara beratnya gangguan limfatik dan derajat reaksi imunologik terhadap antigen tersebut(1). Gejala klinis filariasis yang dialami oleh penduduk di daerah endemis filariasis seperti: demam, limfangitis dan limfadenitis, biasanya terjadi secara berulang. Penderita yang menunjukkan adanya gejala di atas atau salah satu gejala tersebut dapat di-
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
temukan bersama-sama dengan keadaan mikrofilaremik atau amikrofilaremik. Dengan adanya perbedaan manifestasi klinis dan parasitologis, mungkin gejala klinis yang dialami penderita dalam perjalanan penyakitnya merupakan fase penting, gejala klinis merupakan refleksi respon imun dari hospes terhadap parasitnya(2). Penelitian imunologik menunjukkan bahwa respon imun baik humoral maupun seluler terhadap mikrofilaria pada kelompok amikrofilaremik lebih baik daripada pada kelompok mikrofilaremiko). Penelitian reaksi imunologi seluler dan humoral pada transmigran yang memasuki daerah endemik filariasis di Kendari selama lima tahun menunjukkan adanya beberapa bentuk reaksi imunologik dalam masa prepaten. Bentuk pertama merupakan jumlah yang terbesar, reaksi seluler menonjol pada permulaan kemudian menurun. Bentuk kedua, reaksi seluler menonjol dan bentuk ketiga reaksi seluler rendah. Pembentukan IgG spesifik terhadap filaria terjadi sangat lambat dan meningkat
untuk ketiga kelompok tersebut. Imunoglobulin yang berperan dalam respons imun filariasis tidak terbatas pada IgG saja, tetapi imunoglobulin dari kelas bahkan subkelas lain berperan penting dalam respon imun dari filariasis. Penelitian ini ditujukan untuk melihat lebih lanjut peran berbagai kelas dan subkelas imunoglobulin pada pemaparan terhadap filariasis. BAHAN DAN CARA KERJA Pembuatan antigen Mikrofilaria Brugia malayi digerus dengan tissue grinder kemudian disonikasi 3 x 3 detik. Setelah disuspensikan dengan PBS pH 7,2 dilakukan sentrifugasi. Supernatan dikumpulkan dan kandungan proteinnya diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm. Antigen yang didapat disimpan pada -70°C dalam alikuot. Sera Desa SPG di kabupaten Kendari Sulawesi Selatan merupakan daerah endemis filaria Brugia malayi. Sebagian penduduk desa ini adalah transmigran yang berasal dari Jawa. Sera diambil dari 18 orang transmigran. Kelompok kelola adalah 10 sera dari daerah non endemis Sukabumi. Pengumpulan sera dilakukan dalam kurun waktu 1983–1987 dengan mengambil darah vena sebanyak 10 ml. Serum dipisahkan dari sel darah merah dan disimpan pada -20°C sebelum dilakukan tes ELISA. Tes ELISA Untuk mengukur titer IgG, IgG2, IgG3, IgG4 dan IgE terhadap mikrofilaria dilakukan tes ELISA. Pada tes pendahuluan untuk IgG dan subkelas IgG2, IgG3, IgG4 dan IgE, didapatkan konsentrasi antigen yang optimal sebesar: 2 ug; 32 ug; 32 ug; 8 ug dan 8 ug, dalam 50 ul coating buffer. Antigen ini diinkubasi selama 24 jam dalam 4°C kemudian dicuci dengan PBST 7,4 3x5 menit dan di blocking dengan 0,5% BSA. Setelah dicuci diinkubasikan dengan pengenceran sera 1:200 untuk IgG; IgG4; IgE; IgG2 dan IgG3 1:25 dalam PBST 7,4 selama 2 jam pada temperatur 37°C. Setelah dicuci 3 x 5 menit dengan PBST 7,4 ditambahkan conjugate IgG; IgE dan subkelas IgG2, IgG3, IgG4 yang telah diikat dengan antibiotin (Sigma A4541 lot 028F89321) masing-masing selama 1 jam dengan pengenceran 1:1000. Substrat yang dipakai adalah ABTS (Sigma A4798 lot 5018927), perubahan warna hijau menunjukkan bahwa tes positip dan derajat perubahan warna ini dibaca pada ELISA reader dengan menggunakan filter panjang gelombang 405 nm. HASIL Hasil tes ELISA dari 18 transmigran daerah endemik untuk masa tinggal 8, 15, 26, 39 dan 54 bulan dan 10 penduduk daerah non endemik dapat dilihat pada Tabel 1. Dari basil penelitian terlihat peningkatan respon spesifik IgG yang bermakna pada masa tinggal 8 & 54 bulan (p<0,001). Reaksi subkelas IgG2 dan IgG3 tidak menunjukkan perbedaan, sedang respon spesifik IfG4 menunjukkan peningkatan pada masa tinggal 8 & 15 bulan (p<0,05). IgE menunjukkan perbedaan Tabel 1. Hasil ELISA berbagai subkelas IgG dan IgE terhadap mikrotilaria
pada transmigran untuk masa tinggal 8, 15, 26, 39 dan 54 bulan, Kendari, 1983 - 1987.
B. malayi
Penduduk transmigran yang tinggal di daerah endemi filariasis (bulan)
Imuno globulin
Ig G Ig G2 Ig G3 Ig G4 lgE
8
15
26
39
54
0,246 0,147 0,123 0,277 0,408
0,175 0,182 0,173 0,285 0,360
0,089 0,152 0,168 0,175 0,432
0,126 0,155 0,162 0,151 0,351
0,533 0,162 0,144 0,183 0,329
Non endemi
0,125 0,147 0,143 0,134 0,152
bermakna pada berbagai masa tinggal terhadap serum daerah non endemik (p<0,005) (Grafik I). Grafik I Gambaran Respon Imun berbagai Subkelas IgG dan IgE ter• hadap mikrofilaria B. malayi pada transmigran untuk masa tinggal 8, 15, 26, 39 dan 54 bulan. Densitas Optik 0.6 r
.
Keterangan : –
–~- IgE
0.5 ............................................................................. + IgG2 ................................. –+~ gG3 / /
$ IgG4 Y.
0.4 .................-
_
............................................................
- - ~ ~
------ x
/...................
......................................................................................................................................................
0.3
, •,
__...................... ~ . ~ ............................. ` > ............. z. .. _ . .............................. . ` • • . ~
r 0.1
... `
•
~
~
- ` ` • ' ` • - _ , ~ – . _ - -
.............. 8
PEMBAHASAN Pada basil tidak terlihat peningkatan respon terhadap IgG2 dan IgG3; hal ini mungkin karena peran IgG2 pada filariasis diragukan meningkat kemampuan IgG2 untuk mengikat komplemen sangat rendah sedangkan kemampuan mengikat polisakharida cukup kuat. IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar dibandingkan dengan subkelas yang lain. Aktivitas sistim komplemen pada reaksi antigen antibodi menyebabkan rusaknya sasaran. Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa dalam respon imun pada filariasis IgG3 berperan sebagai imunoglobulin protektorr4l.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 13
Pada penduduk transmigran yang diperiksa IgG meningkat pada masa tinggal 8 dan 54 bulan; sedangkan IgG4 meningkat pada masa tinggal 8 dan 15 bulan. Meningkatnya subkelas IgG4 ini mungkin karenaIgG4 mempunyai jumlah, strukturdan fungsi yang berbeda dengan subkelas IgG yang lain, antara lain kemampuan mengikat komplemen, ikatan dengan membran sel, respon terhadap antigen('). Perbedaan respon subkelas IgG4 ini memungkinkan terjadinya manifestasi penyakit yang berbeda. Pada penelitian ini terlihat IgE yang meningkat pada berbagai masa tinggal. Hal ini agaknya ses'uai dengan penelitian Rabia yang menyatakan bahwa lebih dari 70% IgG dari penderita filariasis adalah subkelas IgG4 yang mempunyai kaitan sangat erat dengan respon IgE. Dinyatakan pula oleh Rabia bahwa komponen-komponen antigen mikrofilaria yang dikenal oleh IgG4 juga dikenal oleh IgE(". Dugaan ini diperkuat karena diketahui bahwa IgG4 mempunyai persamaan sifat dengan IgE yaitu dapat menempel pada sel basofil atau mast cell. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit biasanya berkaitan erat dengan reaksi alergi dan respon IgE; pada penderita filariasis justru gejala klinis yang berupa reaksi alergi sangat jarang terjadi. Hal ini ada hubungannya dengan terdapatnya inhibitor dalam sera penderita filariasis yang dapat mencegah pembebasan histamin, pada sera normal faktor ini tidak ada(12). Beberapa penulis mengemukakan bahwa IgG4 pada reaksi alergi dapat berfungsi sebagai blocking antibody, sehingga menghalangi IgE untuk berikatan dengan mast cell ataupun dengan sel basofil(12). Peningkatan respon imun IgG4 yang hanya terjadi pada masa tinggal 8 dan 15 bulan, sedangkan IgE pada berbagai masa tinggal 8, 15, 26, 39 & 54 bulan belum dapat dinilai kemungkinan mekanismenya. Dengan melakukan pemeriksaan subkelas IgG yang dilaksanakan secara berkala ini, belum dapat disimpulkan reaksi imunologik yang berperan dalam menentukan bentuk manifestasi klinik filariasis. Karena itu diperlukan data klinik, parasitologik dan data imunologik yang lain. KESIMPULAN Respon imun terhadap mikrofilaria Brugia malayi pada penduduk transmigran di daerah endemik filariasis di Kendari yang dipantau dari tahun 1983 - 1987, ternyata untuk subkelas
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
IgG2 dan IgG3 dari masa tinggal 8, 15, 26, 39 & 54 bulan tidak ada perbedaan sedangkan untuk IgG4 respon imun terlihat pada masa tinggal 8 dan 15 bulan; pada IgG respon imun tampak perbedaan pada masa tinggal 8 dan 54 bulan. Pada IgE terlihat perbedaan respon imun pada masa tinggal 8, 15, 26, 39 dan 54 bulan. Belum jelas mekanisme terjadinya perbedaan ini. KEPUSTAKAAN 1. Piessens WF, Mc Greevy PB, Ratiwayanto S, Mc Greevy M, Koiman I, Saroso JS, Dennis DT. Immune responses in human infections with Brugia malayi : Correlation of cellular and humoral reactions to microfilarial antigens with clinical status. Am J Trop Med. Hyg. 1980; 29 (4): 563-70. 2. Mc Greevy P&, Ratiwayanto S, Tuti S, Mc Greevy MM, Dennis DT. Brugia malayi : relationship between antigen-sheath antibodies and amicrofilaria in natives living in an endemic area of South Kalimantan, Borneo.. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1980; 29 (4): 553-62. 3. Kurniawan L, Basundari SU, Hoffman S, Sekar T, Harun S, Ratiwayanto S. The Celluar and humoral immune responses in Bancroftian Filariasis in Flores, Indonesia. Seameo-Tropmed Seminar on Immunology of Tropical Parasitic Infections in Asia and Pasific Region. Oktober 19-22, 1982. 4. Basundari SU, Lilian K. Respon subkelas IgG dan IgE anti komponen protein mikrofilaria B. malayi pada penduduk daerah endemis filariasis di kecamatan Pasir Penyu, Riau. Cermin Dunia Kedokt., sedang diterbitkan. 5. Piessens WF, Partono F, Hoffman S L, et al. Antigen specific suppressor T lymphocytes in human lymphatic filariasis. New Engl Med 1982; 307: 144-48. 6. Piessens WF, Mc Greevy PB, Piessens PW, et al. Immune responses in human infections with Brugia malayi : Specific cellular unresponsiveness to filarial antigen. J. Clin. Invest. 1980; 65: 172-179. 7. Rabia Hussain, Rogl. GM, Ottesen EA. Differential subclass recognition of parasite antigens correlates with different clinical manifestations of infection IgG antibody subclasses in human filariasis. J Immunol 1987; 139 (8): 2794-98. 8. Hussain R, Hamilton RG, Kumaraswami V, Adminson NF, Ottesen EA. IgE responses in human filariasis. I. Quantitation of filaria specific IgE. J Immunol 1981; 127: 373. 9. Hussain R, Ottensen EA. IgE responses in human filariasis. III. Specificities of IgE and IgG antibodies compared by immunoblot analysis. J Immunol. 1985; 135: 1415-20. 10. Ottesen EA, F Skavavil, SP Tripathy, RW Poindexter, Rabia Hussain. Prominence of IgG4 in the IgG antibody response to human filariasis. J. Immunol 1985; 134: 2707-1.2. 11. Hussain R, Ottensen EA. IgE responses in human filariasis. IV. Parallel antigen recognition by IgE and IgG4 subclass antibodies. J Immunol. 1986; 136: 1859-63. 12. Ottesen E, Kumaraswami U, Paranjape R, Poindexter RW, Trypathy SP. Naturally occuring blocking antibodies modulate immediate hypersensitivity responses in human filariasis. J Immunol 1981; 127 (5): 2014.
Respon Imun pada Filariasis Basundari Sri Utami Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Terdapat tiga spesies parasit filaria yang dapat menyebabkan filariasis limfatik pada manusia. Yaitu : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Ketiga parasit ini dapat ditemukan di Indonesia. Immunitas filariasis sudah banyak diteliti, akan tetapi patogenesis filariasis masih belum dapat digambarkan secara jelas. Pada filariasis terdapat perbedaan manifestasi klinis dan parasitologis. Gejala klinis filariasis di daerah endemis seperti : demam, limfangitis dan limfadenitis biasanya terjadi secara berulang. Penderita dengan gejala klinis ini dapat mikrofilaremik atau amikrofilaremik. Adanya perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan respon imun dari masing-masing hospes(1). Pada filariasis sistim imun yang berperan adalah sistim seluler dan humoral, kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh sitokin. Respon imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap mikrofilaria terlihat lebih baik pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan kelompok mikrofilaremik(2). RESPON SELULER Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit pada respon seluler sangatpenting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah dan di organ-organ tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah dibuktikan bahwa bila terdapat antibodi spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel limfosit terangsang untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul matinya mikrofilariao). Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada filariasis. Kegagalan respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan lama (menahun); parasit berhasil hidup dan mem
pertahankan diri di dalam tubuh hospes. Dalam usaha beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat mempengaruhi respon imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel limfosit helper (CD4+) berubah. Sel CD4+ yang jumlahnya rendah mengakibatkan produksi antibodi spesifik rendah. RESPON IMUNOGLOBULIN Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara kuantitatif penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya mempunyai kandungan IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang mikrofilaremik(2). Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan lebih kompleks; yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG anti filaria yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada berat molekul < 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul 180 Kd - 20 Kd; pada penderita tropical eosinophilia (TPE) komponen protein yang dikenal berat molekul 200 Kd - 25 Kd(5). Pada penderita filariasis malayi IgG anti filaria dari penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis mengenal komponen protein mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara mencolok, sedangkan penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada mengenal komponen 75 Kd dan 25 Kd(6). Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan derajat partisipasi pada respon imun yang masingmasing sangat berbeda; hal ini memberi indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan penyakit filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan. Secara kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi dibandingkan pada penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola pengenalan yang ditunjukkan sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa B. malayi yang dikenal oleh IgGl dan IgG3 dari penderita elephantiasis adalah
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 15
berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada penderita yang mikrofilaremik komponen protein yang dikenal < 68 Kd(7). IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara subkelas yang lain(". Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau nonspesifik dapat menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan serangkaian reaksi, hal ini dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut(9). Hasil ini menimbulkan dugaan bahwa peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai imunoprotektor. Tentunya hal ini perlu didukung oleh penelitian lebih lanjut. Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat kemampuan IgG2 untuk mengikāt komplemen sangat rendah(8,9), di samping ternyata IgG2 juga mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharida(10). Respon IgG4 banyak dikaitkan dengan respon IgE. Bila kadar IgG4 tinggi dalam darah, hal ini dapat sebagai indikator keadaan infeksi yang aktif dan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah("). Biasanya keadaan ini disertai dengan rendahnya kemampuan respon seluler(12). Pola pengenalan IgG4 terhadap komponen protein cacing filaria banyak dikaitkan dengan IgE. Komponen protein cacing filaria dewasa maupun mikrofilaria yang dikenal oleh IgG4 juga dikenal oleh IgE(13,14). Seperti diketahui, di permukaan sel basophil dan sel mast terdapat reseptor untuk IgE. Bila ikatan IgE dan sel basophil atau sel mast banyak beredar dalam darah, kemudian bertemu dengan antigen spesifik maka akan terjadi robekan permukaan sel-sel tersebut dan terjadi pembebasan histamin. Bila IgG4 hadir dalam jumlah banyak di dalam darah akan terjadi dua kemungkinan; pertama kompetisi antara IgE dan IgG4 dalam mengikat antigen; bila terjadi ikatan antigen-IgG4 maka ikatan antigen-IgE-sel basophil tidak terjadi sehingga tidak ada pembebasan histamin dan reaksi alergi; kemungkinan ke dua bila IgG4 setelah mengikat antigen kemudian menempel pada reseptor di permukaan sel basophil atau sel mast sehingga IgE tidak dapat menempel pada permukaān sel sehingga pembebasan histamin tidak terjadi(15). Pada filariasis konsentrasi IgE umumnya tinggi. Konsentrasi tertinggi terdapat pada penderita TPE (8630 µg/ml), penderita elephantiasis dan kelompok tanpa gejala klinis baik yang mikrofilaremik maupun amikrofilaremik mempunyai kandungan IgE dua kali normal. Meskipun semua bentuk klinis filariasis mempunyai kadar IgE tinggi, gejala alergi hanya terjadi pada TPE saja; hal ini karena adanya faktor bloking oleh IgG4(13,14). PERAN SITOKIN Fungsi sitokin pada filariasis masih belum banyak diketahui. Pada dasarnya sitokin adalah suatu protein yang diproduksi oleh sel limfosit T dan memegang peran penting pada pengaturan respon imun penyakit. Penelitian tentang respon imun pada infeksi parasit menunjukkan bahwa sel CD+4 dan CD+8 adalah sel limfosit yang berperan sebagai mediator sistim proteksi dan imunopatologik. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dalam kaitannya dengan respon imun, sel CD+4 dibagi menjadi dua kelompok sel : Thl dan Th2. Sitokin penting yang diproduksi oleh sel Thl adalah IL-2 (Interleukin-2) dan IFN gama (Interferon gama). IL-2 terutama berperan dalam proses diferensiasi sel limfosit sitotoksik (CTL),
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
dan sel B. IFN gama berperan terutama untuk mekanisme pertahanan, yaitu: proses aktivasi makrofag, meningkatkan proses killing intraseluler, meningkatkan proses ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity), menstimulasi proliferasi sel B, meningkatkan produksi IgG2 oleh sel B dan menetralkan efek IL-4 pada sel B. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 adalah: IL-4, IL-5 dan IL-6; IL-4 terutama berperan sebagai faktor perkembangan dan aktivasi sel B, perkembangan sel mast, meningkatkan produksi IgE dan MHC kelas II dari sel B. IL-5 berperan pada perkembangan sel B untuk berproliferasi, meningkatkan produksi IgA. Peran IL-6 adalah menstimulasi proliferasi sel-sel plasmasitoma dan hibridoma, timosit dan sel-sel hemipoetik progenitor, stimulasi sel B untuk memproduksi antibodi(16). Dikemukakan 4 macam kemungkinan mekanisme respon imun; mekanisme pertama: dalam respon imun hanya melibatkan sel Th l saja, karena sel Th2 tidak berperan dalam sekresi sitokin maka terjadi sekresi IFN gama, IL-2 dan LT yang berlebih, akibatnya terjadi inaktivasi sel B, tidak ada sekresi antibodi, aktivasi makrofag, respon DTH kuat dan supresi sel Th2; keadaan ini mengakibatkan parasit-parasit intrasel dapat terbunuh dengan efektif (Gambar 1). Gambar 1.
Inaktivasi sel B oleh : IFN y / LT. Tidak ada sekresi antibodi.
Aktivasi ma'krofag oleh IFN y / LT
Keterangan : Gambar diambil dari: "Heterogeneity of Cytokine Secretion Patterns and Functions of Helper T Cells" (Tim R. Mosmann & Robert LC) Advances in Immunology 1989 (46): 111-147.
Mekanisme kedua, bila terjadi respon sel Th1 yang kuat tetapi disertai dengan sedikit respon sel Th2; pengaruh IFN gama, IL-2 dan LT berkurang karena adanya pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel Th2. Terjadi aktivasi sel B dan produksi antibodi, respon DTH tidak sekuat pada mekanisme pertama (Gambar 2).
Gambar 2. Mekanisme keempat, bila respon imun hanya
melibatkan sel Th2 saja; pada mekanisme ini terjadi sekresi antibodi dalam konsentrasi yang tinggi, tidak terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4 dalam jumlah banyak maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak; makrofag juga teraktivasi tetapi tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel Thl, adanya IL-5 menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil; dengan demikian gambaran klinis yang timbul adalah gejala alergi (Gambar 4)I17I.
Aktivasi sel B oleh: IL-2/4/5/6/IFN y
Aktivasi makrofag oleh: IFN'y / LT
Keterangan : Gambar diambil dari: "Heterogeneity of Cytokine Secretion Patterns and Functions of Helper T Cells" (Tim R. Mosmann & Robert LC) Advances in Immunology 1989 (46): 111-147.
Mekanisme ketiga, yaitu bila terjadi respon sel Th2 yang kuat, tetapi sedikit respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4, IL-5 dan IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan sekresi antibodi lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi pada mekanisme 1 dan 2. Produksi IgG2a, IgG 1 karena pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena masih ada pengaruh IFN gama. Respon DTH
IL-4
IL-5I IL-6l
Aktivasi sel B oleh: IL-i,/4/5/6/IFN y. IgGI tinggi IgE rendah
Sebagian makrofag diaktivasi oleh IL-4
mungkin masih terjadi, mungkin juga tidak (Gambar 3) Gambar 3.
Keterangan : Gambar diambil dari: "Heterogeneity of Cytokine Secretion Patterns and Functions of Helper T Cells" (Tim R. Mosmann & Robert LC) Advances in Immunology 1989 (46): 111-147. Aktivasi sel B oleh: IL-4/5/6. IgGI tinggi, IgEtinggi.
Sebagian makrqfg diaktivasi oleh: IL-4
Keterangan : Gambar diambil dari: "Heterogeneity of Cytokine Secretion Patterns and Functions of Helper T Cells" (Tim R. Mosmann & Robert LC) Advances in Immunology 1989 (46): 111-147.
Penelitian respon sitokin pada filariasis sudah banyak dilakukan, tetapi umumnya belum didapatkan jawaban yang memuaskan. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman dan kawankawan menunjukkan bukti bahwa pada filariasis komponen utama yang terlibat dalam respon imun adalah sel-sel endothelium yang terdapat pada dinding pembuluh vaskuler maupun limfatik, di bawah pengaruh sitokin. Dalam penelitiannya ditunjukkan bahwa bila terdapat kandungan IFN gama yang tinggi, sitokin ini akan menstimulasi sel-sel endothel untuk mengekspresikan MHC kelas I pada permukaan selnya. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya kepekaan anti filaria CTL (sel limfosit sitotoksik), terutama di lokasi radang di mana didapatkan juga agen parasitnyat'gl. Bertambahnya aktivitas CTL spesifik akan meningkatkan pula mekanisme ADCC, yang akan menyebabkan aktivitas killing dari limfosit lebih efektif. Studi awal untuk mendeteksi IFN gama dari 15 sampel daerah endemis filariasis menunjukkan bahwa penderita tanpa gejala klinis mikrofilaremik mēmpunyai kadar IFN gama 238 pg, penderita tanpa gejala klinis amikrofilaremik mempunyai kadar IFN gama 114.8 pg (data belum diterbitkan). Hal ini menunjukkan bahwa IFN gama sangat penting, dan berkaitan erat dengan keadaan tidak adanya gejala klinis. IFN gama dapat merupakan
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 17
sitokin yang sangat penting pada mekanisme pertahanan yang menguntungkan hospesnya. KESIMPULAN Penelitian-penelitian untuk mempelajari mekanisme respon imun pada filariasis telah banyak dilakukan. Meskipun telah banyak basil dan teori yang disusun, hasil-hasil tersebut masih belum dapat dipadukan atau dirangkai secara jelas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan: pada penderita yang mikrofilaremik kegagalan respon seluler disebabkan karena adanya faktor yang disekresikan oleh parasit untuk menekan fungsi sel limfosit. Secara kualitatif respon humoral penderita yang mikrofilaremik menunjukkan kadar IgG yang lebih rendah dibandingkan dengan penderita amikrofilaremik. Secara kuantitatif pengenalan IgG terhadap komponen protein dari agen parasitnya pada masing-masing gejala klinis menunjukkan pola pengenalan yang berbeda. Komponen protein yang dikenal oleh'kelompok amikrofilaremik tanpa gejala klinis mungkin mempunyai arti bahwa komponen-komponen tersebut diduga mempunyai arti sebagai imunogen (75 dan 25 Kd). Empat macam subkelas IgG tidak semuanya menunjukkan arti pada respon imun filariasis. Peran IgG3 dan IgG4 pada respon imun filariasis penting; karena IgG3 mungkin dapat berperan sebagai imunoglobulin protektor, sedangkan IgG4 sebagai penghambat reaksi alergi. Kadar IgE pada filariasis pada umumnya tinggi, akan tetapi reaksi alergi biasanya terjadi pada TPE. Peran sitokin pada filariasis ternyata sangat besar. Empat mekanisme respon imun yang dikemukakan mungkin dapat terjadi pada filariasis. Mungkin hal ini yang menyebabkan ekspresi respon imun yang berlainan. Tentunya hal ini masih harus diteliti lebih lanjut untuk dapat menjawab bagaimana keterkaitan sistim seluler, humoral dan pengaruh sitokin pada mekanisme respon imun filariasis. KEPUSTAKAAN
1. Ottesen EA et al. Immunological aspect of lymphatic filariasis and on-
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
chocerciasis in man. Trans Roy Trop Med Hyg. 1984; 78 (Suppl). Piessens WF et al. Immune responses in human infections with B. malayi: Correlation of cellular and humoral reactions to microfilariae antigens with clinical status. Am J Trop Med Hyg. 1980; 29(4): 563-70. Mc. Greevy PB et at. B. malayi relationship between antigen sheath antibodies and amicrofilaria in natives living in an endemic area of South Kalimantan, Borneo. Am J Trop Med Hyg. 1980; 29(4): 553-62. Piessens WF et al. Antigen-specific suppressor T lymphocyte in human lymphatic filariasis. New Engl J Med. 1982; 307: 144-48. Hussain R, Ottesen. IgE responses in human filariasis. III. Specificities of IgE and IgG antibodies compared by immunoblot analysis. J Immunol. 1985; 135(2): 1415. Basundari SU dkk. Identifikasi komponen protein mikrofilaria B. malayi dan hubungannya dengan status kliniko parasitologik dari filaria. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 22-26. Hussain R et al. IgG antibody subclasses in human filariasis: differentialsubclass recognition of infection. J Immunol. 1987; 39(8): 2794. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology. London, New York: Gower Med Publ. 1989. Law SKA, Reid KBM. Complement. Oxford, Washington DC: IRL Press, 1988. Yount WJR, Hong M, Seligman R et al. Studies on human antibodies. VI. selective in subgroup composition and genetic markers. J Exp Med. 1968; 127: 633. Kurniawan A, Yazdanbakhsh M, Van Ree R, Aalberse R, Selkirk ME, Partono F, Maizels RM. Differential expression of IgE and IgG4 specific antibody responses in asymptomatic and chronic human filariasis. J Immunol. 1993; 150: 3941-50. Yazdanbakhsh M, Paxton WA, Kruize YCM et al. T cell responsiveness correlates differentially with antibody isotype levels in clinical and asymptomatic filariasis. J Infect Dis. 1993; 167: 925-31. Hussain R, Ottesen EA. IgE responses in human filariasis. IV. Parallel antigen recognition by IgE and IgG4 subclass antibodies. J Immunol. 1986; 136: 1859-63. Basundari SU, Liliana K, Soeroto A, Rita M, Yasin M. Gambaran IgG4 dan IgE terhadap protein mikrofilaria pads sera penduduk endemis filariasis di kecamatan Pasir Penyu, Riau. Bull Penelit Kes. 1993; 21(1): 32-9. Ottesen E, Kumaraswami U, Paranjape R, Poindexter RW, Trypathy SP. Naturally occuring blocking antibodies modulate immediate hypersensitivity responses in human filariasis. J Immunol. 1987; 139(8): 2794. Sher A, Coffman RL. Regulation of immunity to parasites by T cells and T cell-derived cytokines. Ann Rev Immunol. 1992; 10: 385-95. Mosmann TR, Coffman RL. Heterogeneity of cytokine secretion pattern and functions of helper T cells. Adv Immunol. 1989; 46: 111-47. Freedman DO, Nutman TB, Jamal S, Kumaraswami V, Ottesen EA. Selective up-regulation of endothelial cell class I MHC expression by cytokines from patients with lymphatic filariasis. J Immunol. 1989; 142: 653-8.
Pola Pengenalan IgG terhadap Komponen Protein Mikrofilaria B.malayi dan W.bancrofti pada Sera Filariasis malayi dan Filariasis bancrofti Harli Novriani, Basundari Sri Utami, Oerip Pancawati, Syahrial Harun, Liliana Kurniawan Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK IgG sera penduduk endemis malayi dengan uji imunotransblot mengenal komponenkomponen protein tertentu dari mikrofilaria malayi. Hal ini tidak terlihat pada sera penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis bancrofti. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan respon imun terhadap antigen yang bukan spesiesnya. Pada penelitian ini dilakukan tes imunotransblot pada 16 sera dari penduduk daerah endemis Wuchereria bancrofti di Tangerang dan 20 sera dari penduduk daerah endemis B. malayi di Pulau Buton, dan 4 sera dari daerah non endemis Sukabumi sebagai kontrol. Hasil penelitian pada sera daerah endemis W. bancrofti mengenal komponen protein mikrofilaria W. bancrofti dengan berat moleku189, 79, 63, 50, 44 dan 39 Kd. Sera daerah endemis B. malayi mengenal komponen protein mikrofilaria B. malayi dengan berat molekul 158, 125, 112, 100, 79, 63, 50, 39, 25 dan 15 Kd. Pada penelitian ini juga dilakukan uji silang antara antigen B. malayi dengan sera daerah endemis W. bancrofti dan antara antigen W. bancrofti dengan sera daerah endemis B. malayi. Komponen protein berat molekul 125, 112, 100, 89, 79, 63, 44, 39, 25 dan 15 Kd dari mikrofilaria malayi dikenal oleh sera W. bancrofti, sedang komponen protein bancrofti berat molekul 89, 63 dan 19 Kd dari mikrofilaria bancrofti dikenal oleh sera malayi. Komponen protein berat molekul 63 Kd terdapat pada dua spesies mikrofilaria B. malayi dan W. bancrofti dikenal secara paralel dan secara silang oleh sera dari daerah endemis B. malayi dan daerah endemis W. bancrofti. Komponen protein ini kemungkinan dapat dikembangkan ke arah immunodiagnosis atau pengembangan vaksin.
PENDAHULUAN Penyakit infeksi akibat parasit dan ditularkan oleh nyamuk di Indonesia, selain malaria adalah filariasis. Tiga spesies cacing filaria dikenal sebagai penyebab penyakit filariasis limfatik di Indonesia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Filariasis yang disebabkan B. timori ditemukan terutama di Indonesia bagian Timur • : Infeksi filariasis W. bancrofti dan B. malayi pada umumnya berlangsung menahun di suatu daerah endemis yang dikenal sebagai kantong-kantong filariasis. Daerah endemis ini merupakan sumber infeksi bagi para pendatang/ o 2>
transmigran. Pengobatan massal penyakit ini merupakan pendekatan dalam program pemberantasan filariasis. Untuk melaksanakan program pemberantasan ini diperlukan diagnosis yang tepat. Diagnosis klinis filariasis pada B. malayi dan W. bancrofti diketahui dari adanya demam, limfadenitis dan limfangitis. Dalam. keadaan menahun dapat ditemukan elephantiasis. Gejala klinis W. bancrofti ditandai dengan adanya chyluria dan hidrocele, hal ini berbeda dengan penderita filariasis yang disebabkan B. malayt(34). Diagnosis filariasis dipastikan secara parasitologik (pe-
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 19
meriksaan darah tepi) dan didukung secara imunologik. Diagnosis parasitologik mempunyai keterbatasan karena hanya mampu mendeteksi penderita mikrofilaremia. Diagnosis yang lebih sensitif dan spesifik memerlukan pemahaman aspek immunopatologik mengingat eratnya hubungan reaksi imunologik dan patologik yang terlihat dalam bentuk spektrum penyaKit(5). Dengan teknik ELISA, Western Blot, elektrophoresis, teknik kultur, hibridoma, DNA cloning dapat dikembangkan cara deteksi antigen atau metabolit parasit dengan lebih spesifik, dikembangkan yang untuk dapat mendeteksi infeksi dini, infeksi prepaten, infeksi menahun. Pada individu amikrofilaremik terdapat mekanisme immunoprotektif karena dalam tubuhnya terdapat antibodi terhadap filaria(5). Dalam penelitian Kazura diketahui bahwa antigen dengan berat moleku1 60 Kd dan 25 Kd dapat merangsang terbentuknya antibodi yang dapat menurunkan mikrofilaria dalam tubuh jird(6). Canlas dan Kazura menyatakan bahwa IgG anti komponen 70, 75 dan 25 Kd dapat menurunkan mikrofilaria dalam darah gerbil dan mencit(7,8). Morgan dan Lal menyebutkan bahwa protein dari permukaan luar cacing dewasa W. bancrofti dan pada L3 B. malayi pada umumnya mempunyai berat moleku158, 67 dan 72 Kd(9,13). Pada kenyataannya di antara spesies cacing filaria terdapat reaksi silang pada tes-tes immunologik. Cross JH. dan Hsu MY. menemukan reaksi silang imunopatologik pada filariasis, khususnya antara W . bancrofti dan B. malayi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daya tahan khusus terhadap B. malayi bila terjadi infeksi W. bancrofti sebelumnya(11'). Reaksi silang antara antigen B. malayi dengan sera W. bancrofti pada kasus elephantiasis juga terlihat pada penelitian PB. Parab dan kawan-kawan; dinyatakan bahwa sera dari daerah endemis W . bancrofti mengenal komponen B. malayi berat moleku125, 58 dan 68 Kd. Dinyatakan pula bahwa antibodi yang berasal dari sera ini dapat menginduksi sel limfosit untuk berperan sebagai sel sitotoksik(11). Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan silang sera dari daerah endemik dengan kedua antigen terkait untuk filariasis bancrofti dan filariasis malayi dengan tujuan melihat pola pengenalan komponen proteinnya. BAHAN DAN CARA KERJA Persiapan Antigen Mikrofilaria B. malayi dan W. bancrofti digunakan sebagai antigen pada tes Western Blot. Mikrofilaria digerus dengan tissue grinder, kemudian disonifikasi 3 x 3 detik. Setelah disuspensi dengan PBS pH 7,2 dilakukan sentrifugasi. Supernatan dikumpulkan dan kandungan proteinnya diukur dengan spetrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm. Antigen yang didapat disimpan pada -70°C dalam alikuot. Pengumpulan serum Serum didapatkan dari daerah Tangerang dengan endemisitas W . bancrofti antara 17–20% dan di P. Buton dengan microfilarial rate B. malayi berkisar antara 10-15%. Acute disease rate berkisar antara 14–17,5%(2). Serum berasal dari enam belas penduduk daerah endemis W. bancrofti dan dua puluh sera penduduk daerah endemis B. malayi
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
(Buton) serta empat sera penduduk daerah non endemis dari Sukabumi. Tes Western Blo t Deteksi antibodi terhadap komponen protein mikrofilaria dilakukan dengan teknik Western Blot. Tahap pertama dilakukan penguraian ekstrak mikrofilaria dan pemindahan protein dari poly-acrylamide ke atas kertas nitroselulose dengan menggunakan susu skim dan serum domba dengan perbandingan 1 : 1000 (5 gram susu + 2,5 ml serum domba). Setelah itu dilakukan inkubasi dengan serum (pengenceran 1 : 200) selama 90 menit pada temperatur kamar sambil digoyangkan, dicuci dengan PBS Tween 4 x 20 menit. Konjugat yang ditambahkan adalah peroxidase anti human IgG (Miller Scientific) dengan pengenceran 1 : 1000 selama 60 menit pada temperatur kamar. Setelah dilakukan pencucian ditambahkan diaminobenzidene. Bila tes positif akan timbul pita-pita berwarna coklat pada kertas nitroselulose. Dengan pedoman berat molekul standar (Biorad) berat molekul pita-pita tersebut ditentukan. HASIL Hasil pemeriksaan Western-blot dari sera daerah endemik filariasis bancrofti dan malayi dan daerah non endemik terlihat pada Tabel 1. PEMBAHASAN Sera penduduk daerah endemis filariasis bancrofti ternyata mengenal komponen protein antigen W . bancrofti dengan berat moleku189, 79, 63, 50, 44 dan 39 Kd, sedangkan sera penduduk daerah endemis filariasis malayi mengenal komponen protein antigen B. malayi dengan berat molekul 158, 125, 112, 100, 79, 63, 50, 39, 31, 25 dan 15 Kd. Dari basil di atas terlihat bahwa sera dari daerah endemis W. bancrofti dan B. malayi masing-masing mempunyai pola pengenalan tertentu terhadap antigennya. Jumlah dan macam komponen protein W. bancrofti yang dikenal oleh IgG ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan komponen protein B. malayi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kazura yang menyatakan bahwa paling sedikit terdapat 6 macam antigen yang terdapat pada kutikula mikrofilaria B. malayi yang dapat dikenali oleh sera W. bancrofti, Loa-Loa dan O. volvulus(111). Terdapat beberapa komponen protein yang berat molekulnya sama dari dua spesies mikrofilaria ini, yaitu berat molekul 79, 63, 50, dan 39 Kd. Terdapatnya persamaan ini menimbulkan dugaan bahwa letak reaksi silang kemungkinan terjadi pada salah satu dari komponen ini. Dari basil uji silang antara sera dari daerah endemis W. bancrofti dengan antigen B. malayi terlihat bahwa komponen B. malayi yang dikenal adalah berat molekul 89, 63, dan 19 Kd. Sedangkan komponen protein W . bancrofti yang dikenal sera dari daerah endemis B. malayi lebih banyak yaitu dari 125 Kd 15 Kd (Tabel ). Komponen protein yang dikenal relatif berbeda kecuali komponen berat molekul 89 dan 63 Kd. Parab menyatakan bahwa sera dari daerah endemis W . bancrofti mengenal
Tabel I. Perbedaan pola pengenalan IgG terhadap Komponen Protein Mikrofilaria Brugia malayi dan Wuchereria bancrofti pada sera flariasis malayi dan filarasiasis bancrofti. Sera dari daerah Sera dari daerah Kontrol dari daerah endemis B . malayi X Sukabumi X Ag endemis W. bancrofti X Ag B . malayi Ag B . malayi B . malayi (20 sampel) (6 sampel) (4 sampel) 158 Kd 125 Kd 112 Kd 100 Kd
(60%) (95%) ( 5%) (10%) -
79 Kd 63 Kd 50 Kd
(25%) (15%) (25%)
39 Kd 31 Kd 25 Kd
(30%) (15%) (15%)
15 Kd (10%) Sera dari daera endemis B . malayi X Ag W. (9 sampel) 125 Kd (60%) 112 Kd (44,4%) 100Kd (11,1%) 89 Kd (11,1%) 79 Kd (50%) 63 Kd (33,3%) 50 Kd (44,4%) 44 Kd (11,1%) 39 Kd (44,4%) 31 Kd (33,3%) 25 Kd (55,5%) 15 Kd
(33,3%)
– – – – 89 Kd (16,6%) 63 Kd (100%) -
– – – 89 Kd (25%) 79 Kd (50%) -
– 19 Kd (16,6%) -
– 25 Kd (25%) -
Sera dari daerah endemis W. bancrofti X Ag W. bancrofti (16 sampel) – 89 Kd (50%) 79 Kd (87,5%) 63 Kd (31,25%) 50 Kd (81,25%) 44 Kd (50%) 39 Kd (81,25%) -
Kontrol dari daerah Sukabumi X Ag W. bancrofti (4 sampel) – 89 Kd (25%) 79 Kd (75%) – -
analisa karena adanya masalah reaksi silang antar kedua jenis Sera endemis B. malayi
Prosentase
158 125 112 100 89 79 63 50 44
39 31 25 15
Berat molekul
protein
Keterangan :
lx~ Ag. B . malayi .............Ag. W . bancrofti
Sera endemis W. bancrofti
Prosentase
-
komponen B . malayi berat molekul 68, 58 dan 25 Kd; ditambahkan bahwa antibodi yang berasal dari sera ini dapat menginduksi sel limfositnya untuk berperan sebagai sel sitotoksik(11). Kazura menyebutkan bahwa antigen berat molekul 25 dan 60 Kd dapat merangsang terbentuknya antibodi yang dapat menurunkan jumlah mikrofilaria dalam tubuh jird(6). Dari uji statistik terbukti bahwa komponen berat moleku163 Kd yang dimiliki dua spesies mikrofilaria ini dan dikenal oleh sera dari dua daerah endemis tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hal ini membuktikan bahwa komponen protein 63 Kd pada penelitian ini atau 68 Kd atau 60 Kd, adalah komponen yang memang dimiliki oleh dua spesies mikrofilaria ini dan dikenal oleh sera baik dari daerah yang endemis B. malayi maupun W. bancrofti. Dengan kata lain letak reaksi silang terdapat pada komponen ini dan kemungkinan besar komponen ini dapat dimanfaatkan sebagai imunogen. Komponen protein berat moleku189 Kd, yang terdapat pada mikrofilaria B. malayi dan juga terdapat pada mikrofilaria W. bancrofti ternyata dikenal juga oleh kontrol sera dari daerah non endemis. Kemungkinan komponen 89 Kd sebagai bahan asal parasit yang terlarut dan beredar memang dipakai untuk mendeteksi adanya infeksi aktif filaria. Bahan ini sering menyulitkan
158 125 112 100 89 79 63 50 44 39 31 25 19
Berat molekul
15
protein
Ketc,angan
Ag. B . nutlayi ..v.: Ag. W. bancrgfti
filaria bahkan dengan cacing-cacing lainnya(14'15'. Hal ini juga tampak pada penelitian Renu B. Lal dkk. (1987) yang menemukan reaksi silang antara CA2 dari cacing strongyloides dan parasit schistosomia. Morgan dan Lal menyebutkan bahwa protein dari permukaan luar dari cacing dewasa W. bancrofti dan pada L3 B . malayi pada umumnya mempunyai berat moleku158, 67 Kd dan 72 Kd(9.13). Sedangkan Aggarwal menyebutkan bahwa antibodi monoklonal terhadap komponen 110 Kd dari permukaan kulit mikrofilaria B . malayi dapat menurunkan mikrofilaria pada tikus(1'). Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya komponen protein dengan berat molekul antara 110 Kd - 58 Kd adalah berasal dari permukaan kulit parasit. Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa antara mikrofilaria B . malayi dan W. bancrofti terdapat beberapa komponen protein yang menyebabkan reaksi silang; komponen-komponen tersebut adalah berat molekul 89 Kd dan 63 Kd.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 21
Dalam penelitian ini, setelah diuji statistik terbukti bahwa pengenalan komponen 89 Kd oleh sera kontrol tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan sera W. bancrofti dan sera B . malayi (p>0,05). Besar dugaan bahwa komponen protein 89 Kd dapat menyebabkan reaksi silang pada uji laboratorium yang lebih besar dibandingkan komponen 63 Kd. Komponen protein 89 Kd terdapat pada sebagian besar parasit dan kemungkinan dapat menyebabkan reaksi silang yang besar. Komponen 63 Kd hanya terdapat pada mikrofilaria W. bancrofti dan B . malayi, setidaknya tidak terdapat pada parasit lain karena tidak dikenal oleh sera kontrol. Dengan terdapatnya bukti-bukti bahwa komponen 68 Kd dan 60 Kd mempunyai sifat immunogenik, kemungkinan besar komponen berat moleku163 Kd juga mempunyai sifat tersebut. Hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. KESIMPULAN 1) Sera kontrol dengan antigen B. malayi mengenal komponen protein dengan berat molekul 89, 79, dan 25 Kd, sedangkan sera kontrol dengan antigen W. bancrofti mengenal komponen protein dengan berat molekul 89 dan 79 Kd. 2) Serum dari sera endemis W. bancrofti kelompok mikrofilaremik mengenal komponen protein dengan berat molekul 79 Kd, 50 Kd dan 39 Kd lebih menonjol dibandingkan dengan kelompok amikrofilaremik. 3) Serum dari daerah endemis B. malayi baik kelompok mikrofilaremik dan amikrofilaremik mempunyai pola komponen protein yang sama pada 79 dan 63 Kd dan berbeda pada 125, 70, 50, 39 dan 35 Kd. 4) Hasil reaksi silang tersebut baik sera endemis B. malayi maupun sera endemis W. bancrofti, kedua-duanya mengenal 63 Kd. Sehingga diharapkan 63 Kd dapat dikembangkan untuk
penelitian lebih lanjut, baik immunodiagnosis atau perkembangan vaksin. KEPUSTAKAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
Ilyas I. Program Pemberantasan Filaria di Indonesia, Cermin Dunia Kedokt 1990; 64: 3-6. Arbain J, Cross JH. Distribution and prevalence cases of microfilaria in Indonesia Oemiyati S. Masalah dalam Pemberantasan Filariasis di Indonesia, Cermin Dunia Kedokt 1990; 64: 7-10. Kurniawan L dkk. Pengembangan antibodi monoklonal untuk filaria, Cermin Dunia Kedokt 1975; 45: 44. Kurniawan L. Beberapa aspek imunologi dan bioteknologi dalam penanggulangan Filariasis, Cermin Dunia Kedokt 1990; 64: 18-21. Kazura JW, Cicirelo H, Forsyth K. Diafferential recognition of a protective filarial antigen by antibodies from human with bancroftian filariasis. J Clin Invest 77 : 1985-1992. Canlas M, Wadee A, Lamontagne L, Piessens WF. Monoclonal antibodies of B. malayi reduces microfilaremia in jirds. Am J Trop Med Hyg 1984; 33: 420-4. Basundari SU et al. Identifikasi komponen protein mikrofilaria B. malayi dan hubungannya dengan status kliniko parasitologik filaria. Cermin Dunia Kedokt 1990; 64: 22-6. Morgan TM, Sutanto I, Pumomo, Sukartono, Parton F, Maizels RM. Antigenic characterization of adult W. bancrofti filarial nematodes. Parasitol 1986; 93: 559. Cross JH, Hsu MY. Development of Brugia malayi in Mongolian Gerbils previously exposed to Wuchereria bancrofti. US Naval Medical Research Unit No. 2, Manila, Philippines, 1987: 183-185. Parab PB, Rajasekariah GR, Carvalho PA, Subrahmanyam D. Differential recognition of Brugia malayi antigens by Bancroftian filariasis sera, JMR J Med Res IA] 91, pp 138-143. Aggarwal A, Cuna W, Haque A, Dissous C, Capron A. Resistance against Brugia malayi microfilariae induced by a monoclonal antibody which promotes killing by macrophages and recognizes surface antigens. Immunology 1985; 54: 655. Lal RB, Ottesen EA. Characterization of stage specific antigens of infective larvae of the filarial parasite, Brugia malayi. J Immunol 1988; 140: 2032.
Kegiatan Ilmiah Oktober 8 – 9, 1994 ILMIAH
PERTEMUAN TAHUNAN PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA Palembang, INDONESIA
Topik : Kosmetika Sekr. : Dr. M. Athuf Thaha Perdoski cabang Palembang/UPF IP Kulit dan Palembang/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya JI. Jend. Sudirman Km. 3 Palembang 30126, INDONESIA Telp. (0711) 24088 pes. 328
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
Kelamin
RSU
Respon Subkelas IgG dan IgE Anti Komponen Protein Mikrofilaria B.malayi pada Penduduk Daerah Endemis Filariasis di Kecamatan Pasir Penyu, Riau Basundari Sri Utami*, Liliana Kurniawan*, Suroto**, Rita Marleta*, M. Yasin*** * Pusat Penelitian Penyakit Menular; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta * * Namru 2, Jakarta • *** P2M dan PLP, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Terdapat lima kelompok penduduk di daerah endemis filariasis, yaitu kelompok penduduk dengan atau tanpa gejala klinis, disertai dengan mikrofilaremia atau amikrofilaremia, dan kelompok elefantiasis. Spektrum ini merupakan refleksi dari perbedaan respon imun yang terjadi pada hospes. Mekanisme respon imun yang terjadi pada filariasis melibatkan sistem seluler dan humoral. Pada umumnya respon seluler dan humoral terlihat lebih menonjol pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan pada kelompok mikrofilaremik. Untuk mempelajari gambaran subkelas Imunoglobulin dan IgE pada penderita filariasis, telah dilakukan uji Western Blot terhadap 12 sera mikrofilaremik, 13 sera amikrofilaremik dan 6 sera elefantiasis. Hasil yang didapat menunjukkan IgG2 mengenal komponen protein mikrofilaria pada berat molekul antara 158 Kd - 12 Kd. Peran dari IgG2 pada mekanisme respon imun masih diragukan. IgG3 mengenal komponen protein mikrofilaria terutama pada berat molekul besar (158 Kd - 79 Kd), dan diduga peran IgG3 adalah sebagai imunoglobulin protektor. IgG4 dan IgE menunjukkan gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria yang mirip. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa peran IgG4 adalah sebagai penghambat reaksi alergi dimana IgG4 memblokir IgE untuk berikatan dengan antigennya, sehingga tidak terjadi pembebasan histamin.
PENDAHULUAN Di daerah endemis filariasis ditemukan beberapa macam bentuk manifestasi klinik yang berhubungan erat dengan perbedaan respons imun hospes. Ottesen menyimpulkan bahwa perbedaan manifestasi klinis yang terjadi pada filaniasis merupakan refleksi respon imun dan imunopatologi; hal ini dapat diasosiasikan dengan berat ringan infeksi(". Atas dasar itu dapat ditentukan 5 kelompok; kelompok I adalah penduduk yang sering mengalami gejala demam yang berulang dengan limfadenitis/limfangitis. Keadaan ini dapat disertai dengan keadaan amikrofilanemik atau mikrofilaremik. Kelompok kedua yaitu
kelompok tanpa gejala klinis dan di dalam darah tepi terdapat mikrofilaria, kelompok ini disebut asimtomatik mikrofilaremik. Kelompok ke tiga menunjukkan gejala menahun pada saluran limfe, sehingga terjadi pembesaran tungkai atau organ seksual, berupa elefantiasis, hydrocele atau chyluria. Pada kelompok ini mikrofilaria jarang ditemukan. Kelompok ke empat adalah kelompok "normal", yang asimtomatik amikrofilanemik. Kelompok ke lima menunjukkan gejala asma pada malam hari dengan mikrofilania pada paru atau jaringan lain, dan disebut sebagai TPE (tropical eosinophilia) dan biasanya amikrofilanemik. Pada filariasis mekanisme respon imun yang terjadi meliCermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 23
batkan sel limfosit T dan B, eosinofil dan berbagai kelas dan sub kelas imunoglobulin. Pada umumnya respon seluler dan humoral terlihat lebih menonjol pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan dengan mikrofilaremik. Pada uji transformasi limfosit terlihat bahwa reaksi limfosit dari kelompok mikrofilaremik terhadap mikrofilaria dan cacing dewasa kurang, namun terhadap mitogen tetap normalm. Pada filariasis terlihat kenaikan kadar IgE dalam darah(3), berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah IgG4(4). Kenaikan IgG4 ini dapat mencapai 95% dari total IgG15>. Ditunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pada filariasis adalah melalui proses Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) dengan IgG sebagai penangkap antigen(61, akan tetapi subkelas IgG mana yang berperan masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan memahami imunopatogenesis filariasis dengan mempelajari respon subkelas IgG dan IgE terhadap komponen-komponen protein mikrofilaria B. malayi, melalui teknik Western Blot. BAHAN DAN CARA Telah dikumpulkan 12 sera penduduk mikrofilaremik, 13 sera amikrofilaremik dan 6 sera penduduk dengan gejala klinis elephantiasis dari daerah endemis filariasis malayi di Pasir Penyu, Riau. Pada 31 sera tersebut dilakukan uji Western Blot, menggunakan ekstrak mikrofilaria B. malayi sebagai antigen, sedang konjugat untuk mengidentifikasi sub kelas IgG2, IgG3, IgG4 adalah antibodi monoklonal yang diikatkan dengan biotin dan petanda anti biotin alkalin phosphatase (Sigma Cat. No. B3648, B3523, B3648). Untuk mengidentifikasi IgE dipakai konjugat anti human IgE (Sigma: A9667). Antigen Antigen didapatkan dari ekstraksi mikrofilaria B. malayi, yang didapatkan dari gerbil yang diinfeksi dengan B. malayi. Delapan puluh mikrogram protein ekstraksi B. malayi dielektrophoresis pada agar polyacrylamide. Protein yang telah terurai kemudian dipindahkan ke atas kertas nitroselulose untuk digunakan sebagai antigen pada tes Western Blot. Uji Western Blot Kertas nitroselulose mengandung ekstrak B. malayi yang terurai diinkubasi dengan serum (1:200) selama 3 jam pada temperatur kamar. Setelah dilakukan pencucian 3 X 10 menit dengan PBS Tween, kertas nitroselulose tersebut diinkubasi dengan anti IgG2, IgG3, IgG4 (Sigma B-3398, B-3523, B-3648) yang terkonjugasi pada biotin dan anti IgE (Sigma A-9667) yang terkonjugasi pada peroksidase selama 2 jam pada temperatur kamar. Setelah dilakukan pencucian, kertas diinkubasi dengan antibiotin alkaline phosphatase (Sigma A-7064) selama 2 jam pada temperatur kamar. Untuk IgG2, 3, 4 setelah pencucian ditambahkan substrat BCIP (Promega S-381 c) dan NBT (Promega S-380c). Untuk IgE ditambahkan 3'3 diamino benzidine. Tes yang positif menunjukkan gambaran pita-pita berwarna ungu kebiruan untuk subkelas IgG dan berwarna coklat untuk IgE; berat molekul pita-pita ini ditentukan dengan berpedoman pada berat molekul standar (Sigma MW-SDS-200 dan MW-
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
SDS-70L)(7). HASIL Dari Gambar 1 terlihat pola pengenalan IgG2 terhadap komponen protein mikrofilaria B. malayi dari kelompok amikrofilaremik, mikrofilaremik dan elefantiasis. IgG2 dari kelompok amikrofilaremik mengenal komponen protein dari BM 158 kd 12 kd. 10 penderita mikrofilaremik mengenal komponen protein dalam range yang sama dengan penderita amikrofilaremik kecuali berat moleku179 Kd, 31 Kd, 19 Kd, 17 dan 15 Kd. Komponen 63 Kd dikenal oleh kelompok mikrofilaremik tetapi tidak dikenal oleh kelompok amikrofilaremik. IgG2 dari penderita elefantiasis ternyata tidak mengenal komponen 158 Kd dari mikrofilaria. Gambar 1. Komponen Protein mf. B. malayi yang dikenal oleh IgG2
158 141 125
25 25 75
123 112 25
104 100 89 -
•g
~ -a
Ē
75 50
79 70 63 31 28 25 19 17 15 1412
25
25 25 25 50 (Persen (%)
158
10
141 125
10
123
158 141 125 123
30
112 104 100 89 79 75 70
10 10
63
10
28 25 19 15 14 12
30
33 33
112 104 100 89 79 75 70 '" 63 39 28 --
16 16 33 16 16 16
0
a 25-
Y 19 15 -
10 -
c 14 ā 12
-
Persen (%)
aa
-
16
Persen (%)
16
Pola pengenalan IgG3 terhadap komponen protein mikrofilaria B. malayi dari kelompok amikrofilaremik, mikrofilaremik dan elefantiasis terlihat pada Gambar 2. IgG3 ternyata mempunyai kecenderungan mengenal komponen protein dengan BM yang besar. Pada kelompok amikrofilaremik IgG3 mengenal pada BM 158 Kd - 104 Kd, kelompok mikrofilaremik pada BM 158 Kd - 79 Kd, dan kelompok elefantiasis pada BM 158 Kd - 79 Kd. Gambar 2. Komponen Protein mf. B. malayi yang dikenal oleh IgG3 66 112100-
100 89
158 141 125 50 123 50 112 104 100 89 -
16 16 50
- Al
158 _______ 10 158 141 141 125 ________________________ 40 125 123 _________________________ 40 123 112 104 104 ____________ 20 100 100 89 89 79 79 ________ 10 75 75 70 70 63 D 63 28 c 25 c 28-
Eō 2
16 50 50 33
19
100 50 50
8 19
x 15 - 14 -
• E E
-
oā
Persen (%)
14 14 57
79 75 70 63 28
57 28
25 19
44
a
25
50 50 50 50 50
100
25
Pola pengenalan IgG4 terhadap komponen protein mikrofilaria B. malayi dari kelompok amikrofilaremik, mikrofilaremik dan elefantiasis, terlihat pada Gambar 3. Terlihat bahwa kelompok amikrofilaremik, mikrofilaremik dan elefantiasis mempunyai IgG4 yang mengenal komponen protein mikrofilaria yang sama. Tidak terlihat adanyaperbedaan pada pola pengenalan terhadap komponen protein dari ketiga kelompok ini. Komponen protein yang dikenal adalah 158 Kd - 14 Kd. Pola pengenalan IgE pada kelompok amikrofilaremik dan mikrofilaremik terlihat pada Gambar 4. Dari Gambar 3 dan 4 terlihat bahwa pola pengenalan komponen protein IgG4 dan IgE sangat mirip. Mayoritas komponen yang dikenal oleh IgG4 sama dengan yang dikenal oleh IgE. Terlihat komponen 125 Kd yang dikenal IgG4 tidak dikenal oleh IgE (p<0,05) dan komponen 112 Kd yang dikenal IgE tidak dikenal IgG4 (p<0,05).
1 '
-
42
Persen (%)
16
Persen (%) 89 79 75 70 63 28 25
158141125 112 100 -o 44 E
8979 75 70 63 28 25 19 1514
-
ā 19- 15 14 -
co
Persen (%)
~
(Persen (%)
25-
_
aa
17E 15-14-
ō
~ ae ō E
Ē
63-o 28 Q 25 -
Ei
14 50 Komponen Protein mf.āB. malayi yang dikenal oleh IgG4
25
79 75 •v 70 -
°' s 19
15 14 14 42 Gambar 3.
16 16
33
33 50 50 50
PEMBAHASAN Pola pengenalan tiga kelompok klinis filariasis terhadap komponen protein mikrofilaria terlihat sangat berbeda. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa perbedaan respon imun dari berbagai subkelas imunoglobulin merupakan salah satu manifestasi dari perbedaan refleksi respon imun pada patogenesis filariasis. IgG2 mengenal beberapa komponen protein yang ada (dari
15 -
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 25
Gambar 4. Komponen Protein mf. B. malayi yang dikenal oleh IgE Persen (%)
berat molekul 158 Kd - 12 Kd), dan gambaran pengenalan komponen protein ini terlihat sama pada kelompok elefantiasis dan amikrofilaremik. Peran IgG2 pada mekanisme proteksi pada 25
158 154 141 125 112 100 89 79 70 63 61 56 50 44 39 35 31 30 25 22 17 15 14
50 91,6
16,6 16,6 16,6 16,6 16,6
25 33,3 25 33,3
8 3 16,6 16,6
50
25
8,3
58,3
25
83 Persen (%)
158 154 141 125 112 100 89 79 70 63 61 56 - 50 - 44-
7,6
15,3
15,3
23 23
38,4
30,7
39 ~ 35
31 30 ~ 25 1o . 2 2 17 15 m 14
100
23 23 23
76
23 30,7
76 76
46,1 38,4
23
filariasis sangat diragukan, mengingat kemampuan IgG2 untuk mengikat komplemen sangat rendah") serta mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharidau01. Dari penelitian ini terlihat bahwa IgG3 mengenal mayoritas ekstrak protein mikrofilaria pada BM besar (158 Kd - 79 Kd).
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
Dari pustaka yang ada ditunjukkan bahwa IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar dibandingkan dengan subkelas yang lain"). Disebutkan pula bila terjadi ikatan antigen-antibodi spesifik, sistem komplemen teraktivasi dengan rangkaian reaksi yang menyebabkan rusaknya sasaran/target(9). Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa peran IgG3 pada respon imun filariasis adalah sebagai imunoglobulin protektor. Menurut Boyer, penduduk daerah endemis onchocerciasis yang amikrofilaremik tetapi nodul positif, menunjukkan kadar IgG3 spesifik yang tinggi dalam darahnya. Ditambahkan bahwa adanya IgG3 spesifik ini mungkin ada hubungannya dengan tidak dapat ditemukannya mikrofilaria dalam darah, meskipun mereka mempunyai nodul pada kulitnya, yang di dalamnya biasa ditemukan cacing dewasa("). Cabrera menyebutkan bahwa pada penderita onchocerciasis-hiperreaktif kronik onchocerca-dermatitis (SOWDA) yang karakteristik dengan rendahnya densitas mikrofilaria, IgG3 mengenal antigen BM rendah, yang tidak terlihat pada keadaan densitas mikrofilaria tinggil1'1. Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat ditarik suatu hipotesis bahwa pengenalan IgG3 terhadap komponen protein mikrofilaria pada berat molekul tertentu dapat diasosiasikan sebagai sasaran atau target IgG3 dalam mengekspresikan respon imun dari individu untuk menurunkan densitas mikrofilaria dalam darah; adapun target atau sasaran IgG3 pada filariasis terutama pada berat molekul yang besar dari mikrofilaria (> 79 Kd). IgG4 mengenal komponen protein yang mirip dengan yang dikenal oleh IgE; mulai dari berat moleku1158 Kd - 14 Kd. Teori yang pernah dikemukakan menyatakan bahwa pada filariasis jumlah IgG4 spesifik secara kuantitatif meningkat, akan tetapi karena valensi dari imunoglobulin ini satu (monovalen)(8) sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk mengikat komplemen191, peran IgG4 pada mekanisme pertahanan tubuh kurang. Tetapi di sisi lain kenaikan jumlah IgG4 spesifik ini seiring dengan kenaikan jumlah IgEo1. Dari bukti yang telah ditunjukkan terlihat bahwa komponen protein yang dikenal oleh IgE ternyata dikenal IgG4. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa IgG4 merupakan penghambat ikatan antara IgE dengan alergennyao,'3), sehingga pembebasan histamin tidak terjadi(i4)
KESIMPULAN 1) Subkelas IgG2 mengenal komponen protein mikrofilaria dalam range (158 Kd - 12 Kd), tetapi peran IgG2 pada imun respon masih diragukan. 2) IgG3 mengenal komponen protein mikrofilaria terutama pada berat molekul besar (158 Kd - 79 Kd); diduga bahwa pada komponen protein ini IgG3 berperan sebagai imunoglobulin protektor. 3) Pengenalan IgG4 terhadap komponen protein mikrofilaria sangat mirip dengan gambaran pengenalan yang ditunjukkan IgE. Hal ini memūngkinkan IgG4 berperan sebagai penghambat IgE untuk berikatan dengan antigennya, sehingga tidak terjadi pembebasan histamin.
KEPUSTAKAAN
1. Ottesen EA. Immunological aspects of lymphatic filariasis and onchocerciasis in man. Trans Roy Soc Trop Med Hyg. 1984; 78: Suppl. 2. Piessens WF, Mc Greevy PB, Ratiwayanto S et al. Immune response in human infections with B. malayi. Correlation of cellular and humoral reactions to microfilarial antigens with clinical status. Am J Trop Med Hyg 1980; 29(4): 563. 3. Husain R. Hamilton RFG et al. IgE response in human filariasis. I. Quantitation of filaria specific IgE. J. Immunol. 1981; 127(4): 1623. 4. Rabia H, Ottesen EA. IgE responses in human filariasis. IV . Parallel antigen recognition by IgE and IgG4 subclass antibodies. J. Immunol. 1986; 136(5): 1859. 5. Ottesen EA, Skvaril F et al. Prominence of IgG4 in the IgG antibody response to human filariasis. J. Immunol. 1985; 134(4): 2707. 6. Mc. Greevy PB, Ratiwayanto S, Tuti S, Mc. Greevy MM, Dennis DT. B. malayi : Relationship between antigen sheath antibodies and amicrofilaria in natives living in an endemic area of South Kalimantan, Borneo. Am J Trop Med Hyg. 1980; 29(4): 553. 7. Utami BS. Tes Imuno Transbloting dan aplikasinya. Medika 1989; 2: 175.
8. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology. London, New York: Gower Medical Publ 1989. 9. Law SKA, Reid KBM. Complement. Oxford, Washington DC: IRL Press 1988. 10. Yount WJR, Hong M, Seligman R et al. Studies on human antibodies. VI. Selective variations in subgroup composition and genetic markers. J Exp Med 1968; 127: 633. 11. Boyer AE, Tsang VCW, Eberhard ML et al. Guatemalan human onchocerciasis. II. Evidence for IgG3 involvement in acquired immunity to Onchocerca volyulus and identification of possible immune associated antigens. J. Immunol. 1991; 146(11): 4001. 12. Cabrera ZDW, Buttner, Parkhouse RME. Unique recognition of a low molecular weight Onchocerca volvulus antigen by IgG3 antibodies in chronic hyperreactive onchodermatitis (SOWDA). Clin Exp Immunol. 1988; 74: 223. 13. Basundari SU, Liliana K. IgG4 dan IgE Spesifik terhadap protein mikrofilaria pada sera penduduk endemis filariasis di kecamatan Pasir Penyu, Riau. Bul Kes, sedang diterbitkan. 14. Ottesen EA, Kumaraswami et al. Naturally occurring blocking antibodies modulate immediate hypersensitivity responses in human filariasis. J. Immunol. 1981; 127(5): 2014.
Kegiatan Ilmiah October 9–14, 1994 – 20th INTERNATIONAL CONGRESS OF THE INTERNATIONAL ACADEMY OF PATHOLOGY & 11th WORLD CONGRESS OF ACADEMIC AND ENVIRONMENTAL PATHOLOGY Hong Kong Information : Congress Coordinator, Department of Anatomical and Cellular Pathology, The Chinese University of Hong Kong, Room 38019, 1/F, Prince of Wales Hospital, Shatin, Hong Kong. November 26-30, 1994 – 10th ASEAN CONGRESS OF CARDIOLOGY Bangkok . Information : Secretariat, Dr Y Sahasakul, Division of Cardiology, Department of Medicine, Siriraj Hospital, Bangkok 10700, Thailand. Desember 9–11, 1994: KONGRES NASIONAL I PERHIMPUNAN PENELITI PENYAKIT TROPIK DAN INFEKSI INDONESIA Hotel Borobudur, Jakarta INDONESIA Sekr.: Sub bagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM J1. Salemba 6, Jakarta 10430 INDONESIA Telp./Fax : 021 - 3908157
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 27
Malaria pada Anak di RSU Ternate Husain Albar*, Agustina IS*, Paris Hangewa**, Ismail Syamsiah*** * UPF Anak Rumah Sakit Umum Ternate, Ternate * * Laboratorium Rumah Sakit Umum Ternate, Ternate * * * P3M Dinas Kesehatan Kabupaten M a l u k u Utara ABSTRAK Telah dilaporkan hasil pengamatan klinik terhadap 38'penderita malaria yang dirawat nginap di UPF Kesehatan Anak RSU Ternate sejak 1 Agustus 1988 sampai dengan 31 Juli tahun 1989; umur berkisar antara 5 bulan dan 13 tahun; 57,89% balita dan 44,74% gizi buruk. Keluhan yang menonjol yaitu demam (100%), muntah (55,26%), menggigil (42,11%), banyak keringat (36,84%), batuk (34,21%), dan diare (31,58%). Hati teraba pada 97,37% kasus dan limpa pada 71,05% kasus. Anemia ditemukan path 89,47% kasus. Pola demam bervariasi antara demam ireguler (73,69%), demam kontinua (18,42%) dan demam quotidian (7,89%). Jenis plasmodium yang banyak ditemukan yaitu falciparum (92,10%) dan vivax (5,26%). Dari pengamatan ini ternyata manifestasi klinik malaria bervariasi sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan malaria terhadap penderita-penderita di Ternate dan sekitarnya maupun yang baru mengunjungi daerah Ternate:
PENDAHULUAN Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan baik di pulau Jawa dan Bali maupun di luar Jawa dan Bali. Pada akhir Pelita III, di pulau Jawa dan Bali terdapat 1–2 penderita per 1000 penduduk, sedangkan di luar Jawa dan Bali sepuluh kali lebih besar(1,2,3). Tujuan pemberantasan malaria di luar Jawa dan Bali ialah menurunkan prevalensi menjadi kurang dari 5% di daerah prioritas(4). Prevalensi di daerah Indonesia Bagian Timur umumnya masih di atas 5% karena masih banyak daerah baru dibuka untuk pemukiman transmigrasi(4); di propinsi Maluku pada akhir Pelita III tercatat sebesar 11%(1) dan dari hasil survai malariometrik di daerah Maluku Utara ditemukan 14,64%(5). Malaria ialah suatu penyakit yang disebabkan oleh Plasmodium melalui gigitan nyamuk dengan gejala demam periodik, menggigil, banyak keringat, anemia, ikterus, splenomegali yang Dibacakan di KONIKA V111, 13 September 1990, Ujung Pandang.
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
sering kambuh berulang-ulang (dikutip dari 20). Gejala trias klasik (stadium rigoris, akme dan sudoris) biasanya jarang dijumpai pada bayi dan anak('). Anak yang menderita malaria sering menunjukkan gejala atipik(y). Berikut ini dilaporkan hasil penganiatan kami terhadap penderita malaria yang dirawat di UPF Anak RSU Ternate. BAHAN DAN CARA Diamati semua penderita malaria yang dirawat inap di UPF Anak RSU Ternate sejak 1 Agustus 1988 sampai dengan 31 Juli 1989. Penderita dengan hasil pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya parasit malaria dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan darah tepi dilakukan beberapa kali berturut-turut sewaktu puncak demam(7) selama 3 hari secara sediaan tetes tebal dengan pewarnaan Giemsa dan dilihat melalui lensa obyektif biasa dengan minyak imersio). Bila ditemukan parasitemia dibe-
Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk
8 13 17
21,05 34,21 44,74
Jumlah
38
100,00
Normal PEM ringan PEM berat
Tabel 3. Prevalensi Jenis Gizi Buruk Penderita Malaria Jenis gizi buruk
n
%
Kwashiorkor Marasmus Marasmus-kwash Marasmus-anth
1 16 0 0
2,63 42,11 100,00 100,00
Jumlah PEM berat
17
44,77
Jumlah kasus malaria
38
100,00
Dari 38 penderita, 30 (78,95%) menunjukkan malnutrisi, di antaranya 17 kasus PEM berat (44,74%). Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa semua PEM berat ditentukan secara klinik, terdiri dari 1 (2,63%) kwashiorkor dan 16 (42,11%) marasmus.
rikan klorokuin atau kina parenteral bila disertai penyulit berat(9). Dicatat umur, jenis kelamin, keluhan selama dirawat, pengobatan yang telah diberikan di rumah, berat badan dan tinggi badan serta suhu badan penderita. Suhu diukur secara rektal empat kali sehari setiap 6 jam (jam 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00) serta bila ada keluhan demam dari penderita maupun orang tua. Juga dicatat jumlah pemeriksaan darah tepi sampai positif, kadar Hb, dan ada-tidaknya pembesaran hati dan limpa. Anemia ditentukan menurut criteria WHO yaitu untuk umur 6 bulan sampai 6 tahun, di bawah 11 g% dan umur 6-14 tahun, di bawah 12 g% (dikutip dari 10). Status gizi dinilai berdasarkan parameter berat badan dan tinggi badan menurut buku Pedoman Ringkas Cara Pengukuran Anthropometri dan Penentuan Keadaan Gizi(11). Diagnosis malaria serebralis ditegakkan bila ditemukan parasitemia, demam tinggi, manifestasi serebral dan basil pemeriksaan cairan otak tidak menunjukkan kelainan(12).
Tabel 4. Sebaran Tanda dan Gejala Penyakit
HASIL Sejak 1 Agustus 1988 sampai dengan 31 Juli 1989 telah dirawat inap sebanyak 434 penderita; 38 di antaranya menderita malaria dengan parasitemia positif (8,7%); terdiri dari 23 lakilaki (68,53%) dan 15 perempuan (39,47%). Umur berkisar antara 5 bulan sampai 13 tahun. Balita 22 (57,89%) dan atas lima tahun (alita) 16 (42,11%) orang. Dua anak meninggal masing-masing karena malaria serebral (perempuan, 4 tahun) dan penyakit penyerta bronkopneumoni (perempuan, 9 bulan).
3 Tabel 5. Pola Demam Penderita Malaria Tabel 6. Pola Plasmodium Penderita Malaria Tabel 7. Frekuensi Pemeriksaan Parasit dalam Darah Tepi PositSebaran Anemi menurut Status Gizi
Tabel 1. Sebaran Penderita Malaria menurut Umur dan Jenis Kelamin Lelaki Umur 0- 5 tahun 5 - 10 tahun 10 - 14 tahun Jumlah
Perempuan
Jumlah
n
%
n
%
n
%
9 8 6
50,90 80,00 100,00
13 2 0
59,19 20,00 00,00
22 10 6
57,89 21,31 15,80
23
60,53
15
39,97
38
100,00
Tabel 2. Pola Status Gizi Penderita Malaria Status gizi n
%
Keterangan
Tanda dan Gejala Penyakit
n
%
Demam Mual muntah Menggigil Banyak keringat Batuk Diare Kejang Pilek Obstipasi Hati teraba Limpa teraba Anemia Ikterus Gangguan kesadaran
38 21 16 14 13 12 7 5 3 37 27 34 1 1
100,00 55,26 42,11 36,84 34,21 31,58 18,42 13,69 7,89 97,37 71,05 89,94 2,63 2,63
Pola plasmodium n Falciparum
Anemia
Gizi batik
Gizi kurang
Gizi buruk %
Jumlah
n
%
n
%
n
n
%
Ya Tidak
7 1
20,5 25,0
10 3
29,41 75,00
17 0
50,00 0,00
34 4
89,47 10,53
Jumlah
8
21,0
13
34,21
17
44,74
38
100,00
Tabel 9. Derajat Splenomegali dan Hepatomegali Splenomegali
n
Hackket 0 Hackket 1 Hackket 2 Hackket 3 Hackket 4
11 7 15 4 1
28,95 18,42 39,47 10,35 2,63
%
Jumlah
38
100,00
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 29
Hepatomegali
n
%
Tidal( teraba 1 jari bac 2 jari bac 3 jari bac
1 23 9 5
2,63 60,53 23,68 13,16
Jumlah
38
100,00
Keterangan : * bac = bawah arcus costae
PEMBAHASAN Pada penelitian ini tampak sebaran penderita pada berbagai kelompok umur relatif tidak merata, terbanyak balita (57,89%), termuda 5 bulan (tabel 1). Ongkie dkk menemukan 54,81% balita, termuda 1 bulan(". Hal ini mungkin karena balita lebih banyak yang masuk rumah sakit karena gambaran klinik biasanya lebih berat daripada alita(10,12). Dan 38 kasus, 30 malnutrisi (78,59%) terdiri dari 17 PEM berat (44,74%) dan 13 gizi kurang (34,21%) (tabel 2). PEM berat menyebabkan resistensi tubuh menurun dan memudahkan terjadinya infeksi. Kesemuanya ini menambah jumlah kasus yang masuk rumah sakit. Dilaporkan bahwa faktor predisposisi terjadinya malaria berat antara lain tidak adanya imunitas dan keadaan umum yang jelek(12). Pada pengamatan kami, gejala klinik yang menonjol yaitu demam (100%), muntah (55,26%), menggigil (42,11%), banyak keringat (36,84%), batuk (34,21%) dan diare (31,58%). Pengamatan kami tidak jauh berbeda dari pengamatan Ongkie dkk(10) dan Ariyanto dkko3). Menggigil dan banyak keringat hanya ditemukan pada alita (42,11%, 36,84%). Penderita yang masuk rumah sakit biasanya dicurigai menderita gastroenteritis, bronkitis, demam tifoid dan hepatitis maupun penyakit lain yang mengalihkan perhatian pengamat ke arah diagnosis malaria. Hal ini dilaporkan pula oleh Ariyanto dkk". Menurut Flegel, diagnosis malaria harus ditegakkan bila gejala klinik menyokong, terutama bila gejala menghilang dengan obat antimalaria saja atau bila ditemukan parasitemia dalam darah tepi (dikutip dari 13). Pola demam bervariasi dan terbanyak demam ireguler (73,68%); menyusul demam kontinua (18,42%) dan demam quotidian (7,89%). Ariyanto dkk menemukan yang terbanyak
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
demam quotidian, menyusul demam kontinua dan biquotidian(13) Dari pengamatan penulis, jenis plasmodium yang terbanyak yaitu Plasmodium falciparum (92,10%) dan sisanya Plasmo dium vivax (5,26%) dan campuran falciparum-vivax (2,64%). Laporan dari India menunjukkan Plasmodium falciparum terbanyak (65,10%) dan Pl. vivax pada urutan kedua (31,80%); sedangkan Ariyanto dkk menemukan vivax yang dominan (64%), menyusul falciparum (36%)(13). Anemi pada malaria dapat disebabkan karena hemolisis eritrosit, hipersplenisme, perubahan volume plasma, anemia defisiensi maupun proses otoimun (dikutip dari 10). Dari 38 penderita, ternyata 89,47% mengidap anemi; demikian pula Ongkie dkk menemukan 79,20% dari kasus yang diamatinya menderita anemi(". Anemi pada kasus penulis dipengaruhi juga oleh faktor PEM berat akibat defisiensi. RINGKASAN Telah dilaporkan basil pengamatan klinik terhadap 38 penderita malaria yang dirawat inap di UPF Anak RSU Ternate sejak 1 Agustus 1988 sampai dengan 31 Juli 1989. Umur berkisar antara 5 bulan dan 13 tahun; balita 57,89% dan gizi buruk 44,74%. Keluhan yang menonjol yaitu demam (100%), mual muntah (55,26%), menggigil (42,11%), banyak keringat (36,84%), batuk (34,21%) dan diare (31,58%). Hati terabapada 97,37% kasus dan limpa pada 71,05% kasus. Anemi ditemukan pada 89,47% kasus. Pola demam yang menonjol yaitu demam ireguler (73,69%), menyusul demam kontinua (18,42%) dan demam quotidian (7,89%). Jenis plasmodium yang ditemukan yaitu Plasmodium falciparum 92,10%, Pl. vivax 5,26% dan campuran Pl. falci parum-vivax 2,64%. Dari pengamatan kami ternyata manifestasi klinik malaria bervanasi sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan malaria terhadap setiap penderita di daerah Ternate maupun sekitarnya dan mereka yang baru mengunjungi daerah Ternate. KEPUSTAKAAN 1. DepKes RI, DitJen P3M. Malaria, Epidemiologi. Jilid 1, 1983. DepKes RI, DitJen P3M. Malaria, Pemberantasan. Jilid 2, 1983.
Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia Emiliana Tjitra Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Sejak diketahui adanya penyakit demam keong atau schistdsomiasis di daerah danau Lindu pada tahun 1937, telah dilakukan beberapa penelitian epidemiologi, pemberantasan dan lain-lain. Schistosomiasis didapatkan endemis di daerah lembah danau Lindu, lembah Napu, lembah Palu dan lembah Besoa, Sulawesi Tengah. Angka infeksi sebelum dilakukan pemberantasan adalah 0,8–65,9% dan setelah pemberantasan adalah 0,9–1,1% (1986/ 1987). Diagnosis schistosomiasis dapat ditegakkan selain dengan perrteriksaan tinja, juga dapat dengan biopsi rektum atau biopsi hati atau Circumoval Precipitin Test (COPT). Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam, sakit perut, dermatitis, diare dan mual-muntah. Umumnya penderita dengan gejala ringan yaitu 41,5%, sedangkan yang berat hanya 25,4%. Pengobatan dengan praziquante160 mg/kgBB, dibagi dalam 2 dosis selama 1 hari, cukup efektif dan aman dan memberi angka kesembuhan > 95% sampai 6 bulan setelah pengobatan. Pemberantasan multi-intervensi dengan pengobatan penderita, pemberantasan keong dengan molluscide dan kebersihan lingkungan, serta penyuluhan kesehatan, berhasil menurunkan angka infeksi schistosomiasis dari 65,9% menjadi 1%. Walaupun schistosomiasis terdapat di daerah yang terbatas, tetapi dengan adanya migrasi penduduk, pembangunan dan perkembangan ekonomi, serta banyaknya hewan mamalia yang menjadi hospes reservoir, maka perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ini dapat meluas dan meledak.
PENDAHULUAN Schistosomiasis atau bilharziasis adalah penyakit demam keong yang disebabkan karena manusia terinfeksi cercaria dari Schistosoma species (the blood fluke) melalui kulit tubuh. Penyakit ini merupakan penyakit parasit terpenting selain malaria di daerah tropis dan subtropis. Di samping itu schistosomiasis juga merupakan penyakit yang ditularkan melalui air. Di antara ke tiga Schistosoma species (S. japonicum, S. mansoni dan S. haematobium), hanya S. japōnicum yang dilaporkan ada di Indonesia. Hospes tetap S. japonicum adalah manusia, sedangkan hospes reservoirnya adalah sapi, babi, anjing, tikus, kucing, dan binatang ternak lainnya. Hospes perantaranya adalah keong. Pada manusia, cacing dewasa S. japonicum hidup di vena mesenterica superior (Gambar 1). Manifestasi klinis penderita schistosomiasis tergantung
dari hasil metabolisme cacing dewasa yang dikeluarkan, jumlah telur yang terjerat di dalam jaringan, dan reaksi umum yang ditimbulkan. Gejala klinis yang pernah ditemukan adalah tidak nafsu makan, demam, mual, urtikaria, disentri, hepatomegali, splenomegali, ascites,,dan melena(1). Penyakit ini mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1937 oleh Muller dan Tesch(?). Penderita berasal dari desa Tomado, di lembah danau Lindu, Sulawesi Tengah (Gambar 2). Selain pada
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 31
Gambar 1. Daur hidup Schistosoma species (The blood flukes) Sumber : Jeffrey & Leach, Atlas of Medical helminthology & Protozoology.
manusia, S. japonicum juga kemudian diketahui ada pada rusa Setelah itu (1972) suatu daerah baru schistosomiasis ditemukan liar dan anjing sebagai hospes reservoirt3.41. Pada tahun 1959, lembah danau Lindu dinyatakan sebagai Linde). Beberapa penelitian yang kemudian dilakukan dengan daerah endemis satu-satunya schistosomiasis di Indonesiat5>. pemeriksaan tinja hanya menemukan fokus-fokus schistosomia-
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
di lembah Napu yaitu lebih kurang 50 km tenggara dari lembah
bangkan dan mendapatkan kasus schistosomiasis 15,8%, angka infeksi keong 0,3% (1982), dan angka infeksi tikus 2,44% (1984)07). Penelitian dilanjutkan pada tahun 1984 di desa Langko, dan mendapatkan kasus schistosomiasis 64,8% dengan pemeriksaan tinja, sedangkan dengan teknik - Circumoval Precipitin Test (COPT) 64,4%. Kasus penderita berat yang dilaporkan adalah 25,4%, sedang 30,3%, ringan 41,5%, dan tanpa gejala 2,8%. Gejala klinis dari penderita-penderita tersebut adalah : demam (83,4%), sakit perut (70,2%), dermatitis (56,4%), diare (50,3%), mual-muntah (41,1%), nafas pendek (39,1%), perut tegang (35,1%), lemah (33,1%), splenomegali (27,8%), hepatomegali (25,2%) dan lain-lain. Hepatomegali terbanyak diketemukan pada kelompok umur lebih 50 tahun yaitu 25,8%, sedangkan splenomegali terbanyak pada kelompok umur 10-19 tahun yaitu 28,8%(18). Setelah dilakukan usaha pemberantasan dengan pengobatan, molluscicide, perbaikan lingkungan dan penyuluhan kesehatan (1987), angka infeksi schistosomiasis menjadi 1,14%, angka infeksi keong 1,14% dan angka infeksi tikus 0%(17).
Gambar 2. Peta Wilayah Schistosomiasis
sis dengan angka infeksi rendah yaitu di lembah Besoa (0,9%)(7), dan Lembah Palu (0,8%)(g), Sulawesi Tengah. Di lembah danau Lindu, Carney dkk (1971) menemukan hospes perantara schistosomiasis yang termasuk spesies Oncomelania hupensis(9). Keong ini kemudian diberi nama Oncomelania hupensis lindoensis yang mirip dengan O. h. quadrasi di Filipina(10). Sejak itu telah dilakukan banyak penelitian-penelitian epidemiologi dan pemberantasan di daerah-daerah tersebut. A. PENELITIAN EPIDEMIOLOGI 1) Lembah danau Lindu Pada tahun 1937, survei tinja dengan pemeriksaan langsung di daerah danau Lindu mendapatkan angka infeksi telur S. japonicum 8%(3). Kemudian berturut-turut pada tahun 1940 dan 1956 dilakukan survei ulang dan didapatkan angka infeksi schistosomiasis yang lebih tinggi yaitu 55% dan 26%(11.12). Pada tahun 1971, penelitian di 3 desa (Tornado, Langko dan Anca) dengan jumlah penduduk 1458 dan mendapatkan kasus schistosomiasis 53% dari 126 tinja yang diperiksao3). Setahun kemudian (1972), penelitian diperluas menjadi 4 desa (Tornado, Langko, Anca dan Puroo) dengan jumlah penduduk 1500 orang dan mendapatkan angka infeksi 37,9% dari 141704). Penelitian tersebut diikuti dengan penelitian klinis (1972) tanpa mengidentifikasi tanda-tanda dan gejalapositip dari penderita schistosomiasis(15). Pada tahun 1974, penelitian diperluas lagi menjadi 5 desa (Tornado, Langko, Anca, Puroo dan Paku) dengan jumlah penduduk 1515 dan mendapatkan angka infeksi 37,5% dari 1423 tinja yang diperiksao6) Pada tahun 1981, penelitian di daerah danau Lindu dikem
2) Lembah danau Napu Pada tahun 1972, penelitian di 5 desa (Watumaeta, Wuasa, Alitupu, Winowonga dan Maholo) yang jumlah penduduknya 1843, mendapatkan angka infeksi S. japonicum 43% dari 583 tinja yang diperiksa(19). Pada tahun 1974, penelitian di 4 desa lain (Kaduwaa, Tamadue, Sedoa dan Watutau) dengan jumlah penduduk 1214, mendapatkan angka infeksi 31% dari 1003 tinja yang diperiksa(20). Penelitian ini kemudian (1981) dikembangkan di 3 desa (Maholo, Tamadue dan Winomanga) dengan jumlah penduduk 755 dan mendapatkan angka infeksi schistosomiasis 56% dari 633 tinja yang diperiksa. Angka infeksi schistosomiasis tertinggi didapatkan pada golongan umur 10 -14 tahun yaitu 73%. Angka infeksi tikus yang didapatkan adalah 1,5%, dan angka infeksi keongnya adalah 4%. Di samping itu juga ditemukan 14 fokus keong yang positip. Setelah 6 bulan dilakukan pengobatan dengan praziquantel, kasus schistosomiasis menjadi 5%, angka infeksi tikus 4,8%, dan angka infeksi keong 6%, sedangkan fokus keong yang positip menjadi tinggal 7. Kenaikan angka infeksi tikus dan keong karena adanya variasi musim, yaitu penelitian dilakukan pada akhir musim panas(21). Penelitian lain di lembah Napu (1982) mendapatkan kasus schistosomiasis 35,8%, angka infeksi keong 1,7%, dan angka infeksi tikus 11,9% (1983)(17). Penelitian ulang (1983) di 3 desa Maholo, Winowanga dan Tamadue) dengan jumlah penduduk 708, mendapatkan angka infeksi schistosomiasis lebih tinggi yaitu 65,9% dari 241 tinja yang diperiksa. Pada penelitian ini, angka infeksi tertinggi tidak pada golongan umur 10-14 tahun tetapi pada golongan umur 20-29 tahun yaitu 78,6%. Angka hepatomegalinya adalah 68%. Setelah 8 bulan dilakukan pengobatan dengan praziquantel, angka infeksi schistosomiasis dan angka hepatomegali menjadi 2,5% dan 51%(22). Pada tahun 1987, setelah dilakukan pemberantasan dengan multiintervensi yaitu pengobatan, molluscicide, perbaikan lingkungan dan penyuluhan kesehatan, kasus schistosomiasis
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 33
menurun menjadi 1%, angka infeksi keong 1,8%, dan angka infeksi tikus 13,2%(17). 3)
Lembah Palu Pada tahun 1971, penelitian di dua desa (Ruwali dan Pakuli) yang berdekatan dengan lembah danau Lindu dan jumlah penduduknya 7.000, mendapatkan kasus schistosomiasis 0,8% dari 2433 tinja yang diperiksa(8). 4)
Lembah Rampi dan Seko Semua penduduk di lembah Rampi dan Seko, Sulawesi Selatan, ternyata berasal dari lembah Napu. Pada penelitian tahun 1973 di 3 desa (Singkalong, Eno dan Dodolo) dengan jumlah penduduk 640, juga hanya mendapatkan 0,9% kasus schistosomiasis dari 640 tinja yang diperiksa(23). Lembah Besoa Lembah Besoa letaknya berdekatan dengan lembah Napu. Pada tahun 1986–1987 dilakukan survei dengan pemeriksaan tinja di 10 desa dengan jumlah penduduk 3064. Kasus schistosomiasis yang ditemukan juga rendah yaitu 0,9% dari 2307 tinja yang diperiksa. Angka infeksi tikus didapatkan 2,7%, dan ditemukan 4 fokus keong yang positip. Dari 10 desa yang diteliti, hanya 3 desa yang positip schistosomiasis yaitu : Torire dengan angka infeksi 1,5%, Talabosa 0,4%, dan Betue 9,9%. Gejala klinis yang ditemukan antara lain : splenomegali 6,8%, hepatomegali 1,1%, dan disentri 4%(7).
penyemprotan, kepadatan keong di Anca dikurangi 78,4% (dari 89,9 menjadi 19,4 keong/m2), dan di Paku 95,3% (dari 90,9 menjadi 4,2 keong/m2). Angka infeksi keongpun menurun di Anca 78,8% (dari 3,4% menjadi 0,7%), dan di Paku 32,3% (dari 1,3% menjadi 0,88%)(25). Pada tahun 1979 dilakukan pemberantasan dengan pengobatan praziquantel terhadap 82 penderita schistosomiasis yang Tabel 1. Angka infeksi S. japonicum pada manusia di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan Lembah Lindu
5)
B. PENELITIAN PEMBERANTASAN 1) Lembah danau Lindu Di lembah danau Lindu, pada tahun 1974 dilakukan proyek percontohan pemberantasan dengan pendekatan multidisplin, di Anca dan Langko. Adapun kegiatan proyek tersebut adalah : mengurangi sumber infeksi dengan mengobati penderita positip schistosomiasis, mengurangi hospes perantara (keong) dengan molluscicide dan mengubah lingkungan hidup keong dengan teknik agro - e n g i n e e r i n g , mengurangi kontak manusia dengan cercaria yaitu dengan memperbaiki kebersihan lingkungan, dan penyuluhan kesehatan. Penelitian ini berlangsung 2 tahun dan sukses, karena dapat menurunkan kasus schistosomiasis pada manusia dari 71% menjadi 26%. Bila dibandingkan dengan daerah yang tidak dilakukan intervensi, insiden (kasus baru) yang timbul hanya 1/3 dari daerah yang tidak dilakukan intervensi. Angka infeksi tikus juga turun 50%(16). Karena hanya merupakan proyek percontohan yang tidak berkesinambungan, maka kasus schistosomiasis setelah selesai proyek akan kembali seperti sebelum dilakukan intervensi. Pada tahun 1975, dilakukan pemberantasan dengan pengobatan untuk yang pertama kalinya. Pengobatan menggunakan Niridazole 100–150 mg/kgBB terhadap 154 penderita di Anca. Angka kesembuhan pada bulan ke 3 adalah 76-83%, pada bulan ke 9 adalah 64–80%, dan pada bulan ke 14 adalah 57–88%. Efek samping obat adalah sakit kepala (75%), muntah (37%) dan mual (23%), yang segera hilang setelah pengobatan selesai(24). Pada tahun 1978 dilakukan pemberantasan schistosomiasis hanya dengan menggunakan molluscicide (Bayluscide/niclosamide) di Anca dan Paku, lembah danau Lindu. Pada 2 kali
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
Napu
Palu Rampi dan Seko Besoa
Tahun
Angka infeksi (%)
1937 1940 1956 1971 1972 1974 1981 1984 1987 1972
8 55 26 53 39,9 37,5 15,8 64,8 1,1 43
1974 1981 1981 1982 1483 1983 1987 1971 1973
31 56 5 35,8 65,9 2,5 1 0,8 0,9
1986
0,9
Keterangan/Desa
Tornado, Langko, Anca Tornado, Langko, Anca, Puroo Tornado, Langko, Anca, Puroo, Paku Setelah dilakukan pemberantasan Watumaeta, Wuasa, Alitupu, Winowonga dan Maholo Kaduwaa, Tamadue, Sedoa, Watutau Winowonga, Maholo dan Tamadue Setelah dilakukan pemberantasan
Setelah dilakukan pemberantasan Setelah dilakukan pemberantasan Ruwali dan Pakuli Singkalong, Eno dan Dodolo (penduduk berasal dari Napu) Torire, Talabosa dan Betue (dari 10 desa yang diteliti)
Tabel 2. Angka infeksi S. japonicum pada keong di Sulawesi Tengah Angka infeksi Lembag Tahun Keterangan (%) Lindu Napa
1982 1987 1981 1981 1982 1987
0,3 1,1 4 6 1,7 1,8
Setelah dilakukan pemberantasan Setelah dilakukan pemberantasan Setelah dilakukan pemberantasan
Tabel 3. Angka infeksi S. japonicum pada tikus di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan Lembag
Tahun
Lindu
1984 1987 1981 1981 1982 1987 1986/87
Napu
Besoa
Angka infeksi (%) 2,4 0 1,5 4,8 11,9 13,2 2,7
Keterangan Setelah dilakukan pemberantasan Setelah dilakukan pemberantasan Setelah dilakukan pemberantasan
berumur 3–50 tahun. Dosis yang diberikan 35 mg/kgBB, diberi-
kan 2 kali sehari, selama 1 hari. Angka kesembuhan yang didapat setelah 6 bulan adalah 88,6%(26).
buhan praziquantel terhadap hewan piaraan adalah 87,9%(27).
2) Lembah Napu Pada tahun 1981, dilakukan pemberantasan dengan pengobatan masal praziquantel terhadap 547 penderita di 3 desa (Maholo, Tamadue dan Winowanga) dengan jumlah penduduk 755 orang. Setiap penderita yang berumur lebih 4 tahun, tidak sakit berat dan tidak hamil, diberi praziquantel dengan dosis 60 mg/kgBB, dibagi dalam 2 dosis dan diberikan dalam satu hari. Setelah 6 bulan didapat angka kesembuhan 95,5% dan angka hepatomegali menurun dari 59% menjadi 49%(21). Pada tahun 1983 dilakukan pengobatan masal kembali dengan praziquantel di 3 desa tersebut dengan jumlah penduduk 708 orang. Dosis praziquantel yang dipakai adalah sama yaitu 30 mg/kgBB, diberi 2 kali dalam 1 hari. Angka kesembuhan adalah 96,2%. Pada penelitian ini kasus schistosomiasis dari penderita yang tidak diobati juga menurun dari 34% menjadi 9%. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan masal dengan praziquantel juga dapat menurunkan transmisi(22). Pada tahun 1988–1989 dilakukan uji coba pengobatan terhadap 35 hewan piaraan yang positip telur S . japonicum yaitu 31 ekor anjing, 2 ekor sapi, dan 2 ekor babi; dengan praziquantel 20 mg/kgBB, dosis tunggal. Setelah 3 minggu, 4 (anjing) dari 33 ekor hewan yang dapat dievaluasi masih positip. Angka kesem-
C. PENELITIAN LAIN Penelitian kliniko-patologis dengan biopsi hati dari 52 penderita schistosomiasis yang berasal dari lembah danau Lindu menunjukkan 96% positip telur S . japonicum. Hal ini menunjukkan bahwa diagnosis schistosomiasis selain dengan pemeriksaan tinja dan biopsi rectum, juga dapat dilakukan dengan cara biopsi hati(28). Aplikasi biakan keong di laboratorium juga sudah dapat dilakukan dengan menggunakan keong yang berasal dari Lindu sebagai induknya(17). Demikian pula telah berhasil dilakukan penelitian laboratoris untuk mempelajari daur hidup parasit seperti pada biakan keong. Parasit yang diketemukan yaitu S . japonicum strain Lindu adalah sama dengan S . japonicum yang ditemukan di Asia(').
Tabel 4. Penelitian pemberantasan schistosomiasis di Sulawesi Tengah Cara Parameter Sebelum Sesudah Tahun pemberantasan (desa)h Lindu (Anca dan Langko)
Lindu (Anca) Lindu (Anca dan Paku) Lindu Lindu
1974/76 Pengobatan (niridazole dan stibophen) Molluscide Agroengineering Kebersihan lingkungan Penyuluhan kesehatan 1975 Pengobatan (niridazole) 1978 Molluscide
1979
Pengobatan (praziquantel) 1988/89 Pengobatan hewan piaraan (praziquantel) 1981 Pengobatan (praziquantel)
Napu (Maholo, Tamadue dan Winowonga) Napu 1983 (Maholo, Tamadue dan Winowonga)
Pengobatan (praziquaptel)
Infeksi manusia
71%
26%
KESIMPULAN 1) Lembah danau Lindu, lembah Napu, dan Lembah Besoa, Sulawesi Tengah, merupakan daerah endemis schistosomiasis dengan angka infeksi setelah pemberantasan adalah 0,9% – 1,1% (1986/87). 2) Diagnosis dapat ditegakkan selain dengan pemeriksaan tinja, juga dapat dengan biopsi rectum atau biopsi hati atau Circumoval Pr e c ip i tin T es t (COPT). 3) Gejalaldinis yang ditemukan terutama : demam, sakit perut, dermatitis, diane, dan mual-muntah. Umumnya penderita dengan gejala ringan yaitu 41,5%, sedangkan yang berat hanya 25,4%. 4) Praziquantel 60 mg/kgBB, dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 1 hari, cukup efektif untuk pengobatan schistosomiasis dengan angka kesembuhan > 95% pada 6 bulan setelah pengobatan. 5) Pemberantasan multiintervensi dengan pengobatan penderita, pemberantasan keong dengan molluscicide dan perbaikan kebersihan lingkungan serta penyuluhan kesehatan, berhasil menurunkan angka infeksi schistosomiasis dari 65,9% menjadi 1%. 6) Walaupun schistosomiasis terdapat di daerah yang terbatas, tetapi dengan adanya migrasi penduduk, pembangunan dan perkembangan ekonomi, serta banyaknya hewan mamal yang menjadi hospes reservoir, perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ini dapat meluas dan meledak.
Infeksi tikus
Turun 50%
Angka kesembuhan Kepadatan 89,9 – keong 90,9/m' Infeksi 1,3 – keong 3,4 % Angka kesembuhan Angka kesembuhan
57 – 88% (3 – 14 bl) 4,2 – 19,4/m' 0,7 – 0,88 % 88,6 % (6 bl) 87,9 %
Angka kesembuhan Angka hepatomegali
95,5 % (6 bl) 49 %
1.
96,2 %
2.
Angka kesembuhan
59 %
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Bapak D r . Suriadi Gunawan DPH dan /bu Dra. Harijani A M y an g mengijinkan makalah ini diterbitkan.
KEPUSTAKAAN
3.
Hadidjaja P. Beberapa penelitian mengenai aspek biologik dan klinik schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia, 1982. Thesis Doktor Universitas Indonesia. Muller H, Tesch JW. Autochthone infectie met Schistosoma japonicum of Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch India 1937; 77: 2143. Brag SL, Tesch JW. Parasitaire wormen aan het Lindoe meer (Oa Paloe, Celebes). Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1937; 77: 2151.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 35
4. Bonne C, Borstlap JP, Lie KJ, Molenkamp WJJ, Nanning W. Voortgezet bilharzia onderzoek in Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1942; 82: 21. 5. Pemijati S, Schistosomiasis in Indonesia: A review Proceedings of the fourth Southeast Asian Seminar on Parasitology and Tropical Medicine, Schistosomiasis and other snail-transmitted helminthiasis (Chamlong Harinasuta, Ed), Bangkok 1953: 59–63. 6. Carney WP, Putrali J, Caleb JM. Intestinal parasites and malaria in the Poso valley, Central Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1974; 5: 368. 7. Renymanora, Arwati, Titi Indijati, Wardijo, Wowan, Febryalin, Isrin Ilyas. Survei schistosomiasis di lembah Besoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah. Maj Parasitol Indon 1988; 2 (1 & 2): 15–23. 8. Cross JH, Michael D, Clarke W dkk. Parasitological survey in the Palu valley, Central Sulawesi (Celebes), Indonesia Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1975; 6: 366–375. 9a. Carney WP, Hadidjaja P, Davis GM, Clarke MD, Djajasasmita M, Nalim S. Oncomelania hupensis from the schistosomiasis focus in Central Sulawesi (Celebes), Indonesia. Parasitol 1972; 59: 210. 10. Davis GM, Carney WP. Description of Oncomelania hupensis lindoensis: first intermediate host of Schistosoma japonicum in Sulawesi (Celebes). Proc Acad Nat Sci Philadelphia 1973; 125: 1–34. 11. Bonne C, Sandground JH. Billharzia ja ponicum aan het Lindoe meer. Geneesk Tijdschr Ned Indie 1940; 80: 477. 12. Buck von AA, dan Uhlmann G. Untersuchungen uber den befall mit Echinostoma lindoensis and Schistosoma japonicum bei der Bevolkerung des Lindusees (Mittel Celebes). Z Tropenmed Parasitol 1956; 7: 110. 13. Hadidjaja P, Carney WP, Clarke MD, Cross JH, Joesoef A, Suroso JS, Oemijati S. Schistisoma japonicum and intestinal parasites of the inhibitants of Lake Lindu, Sulawesi (Celebes). A preliminary report. Southeast Asian Journal of Trop Med and Pub Hlth 1972; 3: 594–599. 14. Clarke MD, Carney WP, Cross JH, Oemijati S, dan Joesoef A. Schistosomiasis and other human parasitoses of Lake Lindu in Central Sulawesi (Celebes), Indonesia. American J Trop Med and Hyg 1974; 23: 385. 15. Gunning JJ, Anderson KE, Oemijati S, Hadidjaja P, Joesoef A, Caleb JM. Clinical evaluation of schistosomiasis at lake Lindu, Central Sulawesi (Celebes), Indonesia. Am Soc Trop Med Hyg Meeting 1972, Miami. 16. Dazo BC, Sudomo M, Hardjawidjaja L, Joesoef A, Barodji A. Control of Schistosoma japonicum infection in Lindu valley, Central Sulawesi, Indo-
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
nesia. Southeast Asian J Trop Med and Pub Hlth 1976; 7: 330-340. 17. Hadidjaja P. Important trematodes in man in Indonesia. Proceedings Indonesia-USA Confrence Application of Biotechnology on the study of animal parasites and their vectors. Jakarta, Yogyakarta, Denpasar. June 26 – July 3 1989. Bulletin Penelitian Kesehatan 1989; 17(2): 107–113. 18. Hadidjaja P. Clinical study of Indonesian schistosomiasis at Lindu lake area, Central Sulawesi. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1984; 15(4): 507–514. 19. Carney WP, Sjahrul M, Salludin, Putrali J. The Napu valley, a new schistosomiasis area in Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1974; 5: 246–251. 20. Carney WP, Van Peenen PFD, See R, Hegelstein E, Lima B. Parasites of man in remote areas of Central and South Sulawesi Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1977; 8: 380-389. 21. Putrali J, Syamsudin N, Sudomo M, Hadidjaja P, Ismid IS. Schistosomiasis control by mass treatment using Indonesia. praziquantel in Maj Parasitol Indon 1988; 2(1 & 2): 25–32. 22. Hadidjaja P, Syamsudin N, Ismid IS, Sudomo M, Campbell J, Putrali J. The impact of schistosomiasis mass treatment on hepato-splenomegaly in Napu valley, Central Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1985; 16(3): 401-404. 23. Carney WP, Sjahrul M, Stafford E, Putrali J. Intestinal and blood parasites in the North Lore district, Central Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1977; 8: 655–672. 24. Kurniawan L, Dazo BC, Putrali J, Nahu S. Pengobatan Schistosoma japonicum dengan niridazole di dataran Lindu, Sulawesi Tengah. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta, 24–27 Juni 1981. 25. Barodji, Sudomo M, Putrali J, Joesoef A. Molluscicide field trials on snails of schistosomiasis (Oncomelania hupensis lidoensis) with Bayluscide in Lindu valley, Central Sulawesi, Indonesia. Health Studies in Indon 1983; 9(2): 27–34. 26. Joesoef A, Syamsuddin N, Salman K, Oman K, Holz J. Praziquentel trial in treating Schistosoma japonicum infection in Indonesia. WHO Manila. Philippines, 1980. 27. Subdit Filariasis dan Schistosomiasis, Direktorat Jenderal PPM & PLP, Depkes RI. Jakarta, 1990. 28. Kurniawan AN, Hardjawidjaja L, Clarke RT. A clinicopathologic study of ;ase with Schistosoma japonicum infection in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1976; 7: 263–269.
Penularan Schistosomiasis dan Penanggulangannya - pandangan dari ilmu perilaku Kasnodihardjo Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit schistosoma, sejenis parasit berbentuk cacing yang menghuni pembuluh darah usus atau kandung empedu orang yang dijangkiti. Di Indonesia daerah yang dijangkiti schistosomiasis hanyalah di dataran tinggi Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah. Jenis cacing di daerah ini adalah Schistosoma japonicum yang terdapat di dalam pembuluh darah sistim pencernaan(1). Gejala-gejala umum yang terdapat pada penderita schistosomiasis adalah gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan, kurang nafsu makan, kurus yang berlebihan dan lambatnya pertumbuhan badan bila penderita masih tergolong anak-anak. Sedang pada penderita yang sudah kronis, gejala yang tampak adalah pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan kematian. Secara epidemiologi penularan schistosomiasis tidak terpisahkan dari faktor perilaku atau kebiasaan manusia. Parasit Schistosoma seolah-olah ditakdirkan untuk mendapatkan manfaat dari perilaku atau kebiasaan manusia yang tidak terpisahkan dari air (human water contact). Tulisan ini membahas penularan schistosomiasis dan penanggulangannya ditinjau dari ilmu perilaku. DAUR HIDUP DAN PENULARAN SCHISTOSOMIASIS Mula-mula schistosomiasis menjangkiti orang melalui kulit dalam bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti garpu. Pada saat memasuki kulit manusia, parasit tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing. Selanjutnya cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam hati orang yang dijangkiti, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa dalam bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang
merupakan tempat persembunyian bagi pasangan-pasangan cacing Schistosoma sekaligus tempat bertelur. Di dalam tubuh orang yang dijangkiti, tiap cacing Schistosoma betina bisa bertelur ratusan sampai ribuan butir setiap harinya. Sebagian besar telur tetap berada di dalam tubuh dan lainnya memasuki kandung empedu atau usus dan kemudian keluar bersama kotoran manusia. Bila telur cacing Schistosoma masuk ke dalam air, akan menetas menjadi seekor larva kecil yang disebut miracidium. Miracidium ini dapat berenang kesana-kemari dengan panjang sekitar dua milimeter. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup, larva kecil tersebut harus bisa secepatnya menemukan siput Oncomelania, karena bila tidak, maka larva miracidium akan mati. Bila berhasil menemukan siput, maka larva kecil tersebut akan dengan segera mengalami metamorfosis yaitu berubah menjadi menyerupai binatang berkantung yang melahirkan cacing muda yang disebut cercaria. Cercaria ini disebarluaskan oleh siput dan siap memasuki kulit manusia. Pada umucr.nya orang yang dijangkiti schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air. Mereka ini biasanya bekerja di sawah atau biasa mencuci pakaian, mandi, buang air besar dan mengambil air untuk keperluan sehari-hari di sungai atau di perairan yang terinfeksi parasit Schistosoma; juga mereka yang sering menyusuri sungai untuk berburu binatang atau mencari ikan sepanjang daerah yang telah terinfeksi parasit Schistosoma atau merupakan tempat perindukan alamiah parasit itu. Dari sudut pandang ilmu perilaku dapat dikatakan bahwa dalam kaitan ini manusia merupakan induk semang antara serta penyebar parasit Schistosoma. Karena kebiasaan-kebiasaan manusia yang tidak terpisahkan dari air sangat erat kaitannya dengan penularan schistosomiasis. Oleh karena itu seringnya kontak dengan perairan atau memasuki perairan yang terinfeksi parasit Schistosoma menyebabkan tingginya penderita schistosomiasis di dalam masyarakat. Hubungan erat antara kebiasaan manusia yang tidak terpisahkan dengan air, hewan reservoir
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 37
penular dan daerah persawahan di mana pembuangan kotoran manusia masih di sebarang tempat menyebabkan penularan terus menerus schistosomiasis(2). Terhentinya kontak antara manusia dan perairan yang terinfeksi parasit Schistosoma atau setidak-tidaknya terhentinya siklus manusia yang membawa telur parasit dalam perairan yang dihuni siput Oncomelania akan mengurangi penyebaran schistosomiasis. MASALAH DALAM PENANGGULANGAN SCHISTOSOMIASIS Salah satu kegiatan program pemberantasan schistosomiasis adalah peningkatan pengadaan sarana air bersih/jamban disertai dengan penyuluhan masyarakat tentang upaya pencegahan penularan schistosomiasis. Diharapkan dengan program ini prevalensi penyakit di bawah 1% dapat tercapai pada akhir Pelita IV Dengan demikian schistosomiasis tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di Sulawesi Tengah. Pada prinsipnya, tersedianya air bersih serta fasilitas sanitasi dapat mengurangi penyebarluasan schistosomiasis; namun dirasakan penyediaan dan fasilitas tersebut bagi penduduk di daerah yang dijangkiti schistosomiasis tidak ada manfaatnya jika perilaku atau kebiasaan-kebiasaan penduduk yang erat kaitannya dengan penularan penyakit tersebut belum diubah. Air bersih dan fasilitas sanitasi seperti jamban baru ada artinya jika selalu digunakan oleh semua penduduk di daerah endemis schistosomiasis. Ini semua tentu memerlukan perubahan perilaku/kebiasaan penduduk. Bila setiap orang di daerah endemis schistosomiasis mau membiasakan buang air besar di jamban dan meninggalkan kebiasaan buang air besar di sungai atau di pant, setidak-tidaknya angka kesakitan penyakit tersebut akan turun. Mengubah perilaku/kebiasaan penduduk yang erat kaitannya dengan penularan schistosomiasis tidak mudah dan membutuhkan waktu relatif lama. Penduduk yang buang air besar di sebarang tempat seperti di sungai atau di pant-pant dan persawahan merupakan masalah sosial budaya yang sulit pemecahannya, yang memerlukan proses waktu yang relatif lama. Tidak jarang di suatu daerah pola perilaku demikian sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Kebiasaan adalah suatu tindakan yang dilakukan berulang-ulang dan merupakan suatu hal yang rutin sehingga kadang-kadang tanpa disadari(3). Menuntutpenduduk di daerah endemis schistosomiasis yang terbiasa buang air besar di sungai atau di pant-pant agar menggunakan jamban, memerlukan waktu lama karena merupakan proses pengenalan habit baru. Suatu habit baru akan diterima oleh seseorang/masyarakat apabila habit tersebut lebih bermanfaat atau menguntungkan dibanding dengan yang lama. Mungkin di daerah endemis schistosomiasis jamban oleh sebagian penduduk belum dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak, karena ada alternatif lain; alternatif itu dapat di sungai, di parit atau di perairan persawahan. Penelitian di daerah pedesaan Sumatera Barat dan Jawa Barat menghasilkan bahwa karena ada alternatif lain dalam membuang kotoran manusia yaitu di sungai atau di persawahan/di kebun, penggunaan jamban belum dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh penduduk di daerah tersebut.
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
Hasil penilaian pemberantasan schistosomiasis di Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh Ditjen P2M PLP dan Badan Litbang Kesehatan, Dep.Kes RI pada tahun 1988 menunjukkan bahwa sekitar 25% penduduk masih buang air besar di sungai atau pant, sedangkan sekitar 52% masih memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci pakaian atau mencuci alat-alatrumah tangga. Sementara itu prevalensi penyakit di dataran tinggi Lindu 1,35% dan di lembah Napu 3,52%. Ini menunjukkan bahwa kontak antar manusia dalam hal ini penduduk setempat dengan air yang mungkin terinfeksi parasit Schistosoma masih terjadi; dengan demikian penularan schistosoiniasis masih terus berlangsung. PENUTUP Pada prinsipnya, tersedianya air bersih serta fasilitas-fasilitas sanitasi dapat mengurangi penyebarluasan schistosomiasis; Akan tetapi dirasakan tidak ada manfaatnya bila perilaku atau kebiasaan-kebiasaan penduduk yang erat kaitannya dengan proses penularan penyakit tersebut belum berubah; air bersih dan jamban baru bermanfaat jika selalu digunakan oleh semua orang di daerah schistosomiasis berjangkit. Ini bisa terjadi bila sejak dini penduduk sudah memahami nilai-nilai di bidang kesehatan terutama yang berkaitan dengan masalah schistosomiasis; sehingga timbul kesadaran untuk berperilaku sehat dalam arti mengurangi kontak dengan air, mengurangi pencemaran air dan membantu upaya penanggulangan/pemberantasan schistosomiasis. Penanaman nilai-nilai di bidang kesehatan merupakan proses yang penting, karena nilai yang melekat pada diri seseorang mendasari sikap dan perilaku seseorang. Penanaman nilai-nilai tersebut yang tepat melalui pendidikan di Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP); melalui pendidikan semacam itu nilai-nilai kesehatan akan lebih terpatri di alam pikiran karena di sini terjadi proses belajar. Pendidikan tersebut bukan hanya sekadar penyampaian pengetahuan tentang masalah schistosomiasis, tetapi seorang anak/siswadiajak untuk berpikir; diberi kesempatan untuk mengevaluasi masalah-masalah yang berkaitan dengan schistosomiasis, misalnya mengenai cara penularan, faktor yang mempermudah penularan dan cara pencegahan penyakit tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, maka seorang anak/siswa akan menentukan sikap dan selanjutnya membentuk kecenderungan untuk bertindak. Bila masalah schistosomiasis sejak dini sudah diperkenalkan kepada penduduk, dalam hal ini murid-murid sekolah melalui pendidikan di SD hingga SMP, maka akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis. Berdasarkan pengetahuan ini maka tumbuh kesadaran akan bahaya schistosomiasis yang kemudian menentukan sikap untuk berperilaku sehat. Jika keadaan seperti ini terus berlangsung, maka jumlah penderita dan
penyebaran schistosomiasis akan terus berkurang. I.itbang Kesehatan, Dep. Kes, Jakarta, 1987. NotoatmodjoS.Beberapaaspeksosiobudayadalampemberantasan penyakit KEPUSTAKAAN parasit. Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional ke II. Jakarta, 1981. Sudomo M. Bahaya Schistosomiasis, Maj Kes Mas, 1984. 4. Eckholm PE. Masalah Kesehatan, Lingkungan sebagai Sumber Penyakit. P2 Schistosomiasis Prop. Sulteng, Palu, 19–22 Nopember
Sudomo M. Schistosomiasis dan masalah sosial dan ekonomi yang berhu- Jakarta: PT Gramedia, 1981. bungan dengan pemberantasannya, Prosiding Lokakarya Penelitian Sosial 5. Kanwil Depkes. Prop. Sulteng., Hasil rapat lintas program dan lintas sektoral dan Ekonomi Penyakit Tropis di Indonesia, Puslit Ekologi Kesehatan, Badan 1988.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 39
Anti Parasite Immunoglobulin A Antibodies Muhammad Hasylmi Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Antibodi Immunoglobulin A (IgA) dihasilkan oleh sel plasma pada lamina propria usus halus. IgA ini merupakan pertahanan pertama path permukaan mukosa, dan merupakan immunoglobulin yang dominan pada kelenjar-kelenjar, seperti air maw, air susu, air liur dan vagina. Beberapa infeksi oleh parasit tertentu menyebabkan bertambahnya IgA. Mempelajari IgA dari sudut immunologi adalah penting sebab dalam beberapa hal deteksi IgA lebih berarti daripada deteksi immunoglobulin yang lain, misalnya untuk mengidentifikasi bayi yang terinfeksi oleh suatu parasit. Tinjauan pustaka ini meliput tulisan-tulisan yang berhubungan dengan produksi IgA dari pasien yang terinfeksi parasit dan nilai-nilai diagnosisnya.
PENDAHULUAN Immunoglobulin A is synthetized and secreted by local plasma cell in the lamina propria of the intestine. IgA molecule in animal is found in the dimeric form (IgA)2, whereas in human serum, IgA is primarily monomeric (IgA). Immunoglobulin A have been identified on the basis of differences in structure of the heavy alpha chain into IgAI and IgA2. The primary role of IgA is to clear from circulation, soluble and small particulate material that have crossed the epithelia of various mucosal surface. IgA is a first line defence at mucosal surfaces and it is a predominant immunoglobulin in secretions such as in tear, saliva, colostrum and vagina. IgA is therefore found in low concentration in the serum of human with parasitic infections. IgA does not bind complement but protects against invading organisms at the mucosal site. However, because the local concentration of IgA is much higher than that of other IgS at this epithelial site, the concentration of IgA in extracellular fluid bathing epithelial cells is also much greater. There are a number of parasitic infections that caused an increase in production of IgA antibodies and this is of diagnostic value. The following review will summarize studies related to IgA production in some infections, namely, Toxoplasma sp,
Ostertagiasp, Giardiasp, Schistosomasp, Entamoeba sp, Strong
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
yloides sp, Hymenolepis sp, Nippostrongylus sp. TOXOPLASMA IgA antibodies directed against a major Toxoplasma gondii surface antigen of molecular weight of 30 x 10' (P30) were identified"). A total of 189 serum samples were analysed, classified into six groups on the basis of serological and clinical data. These antibodies were detected by double-sandwich, enzymelinked immunosorbent assay in all cases of acute toxoplasmosis but were not detected in cases of chronic toxoplasmosis nor in seronegative patient. They were not detected in samples from patients with Natural IgM antibodies or in those containing rhematoid factor or antinuclear antibodies. Among 26 infants whose mothers were infected during pregnancy, anti P30 IgA antibodies were exclusively detected in the samples from the 8 infected infants; nō uninfected infant had IgA. Thus, the detection of specific antibodies appear to be a better means than the detection of IgM antibodies in the identification of infected
infants for treatment. During the course of T. gondii infection serum IgA antibodies were analysed in 50 immunocompetent patients with acquired infection and 19 immunocompromised patients with evidence of reactivated toxoplasmosis. By using ELISA, IgA antibodies were found in sera of all patients. The IgA antibody rise was lower in HIV infected patients with clinical toxoplasmosis(2). Secretory IgA specific for T. gondii was identified in the intestinal secretions of mice infected by oral route with bradyzoites (encysted in brain) of the Me 49 strain of T. gondii using immunofluorescence microscopy and ELISA. To determine whether the increased total amount of intestinal IgA might cause a non specific reaction in ELISA for T. gondii specific IgA, mice were immunized per orally with cholera toxin. This immunization produced intestinal IgA antibody to cholera toxin and increased the total amount of intestinal IgA, but there was no reactivity of intestinal secretions obtained from mice infected with T. gondii(3). Specific IgA was detected in serum and cerebrospinal fluid in acquired and congenital toxoplasmosis. An antihuman IgA monoclonal antibody was coated onto a polysterene plate to capture IgA. Suspension of T. gondii were used as a visible antigen; 800 specimens were collected from 300 patients with acquired toxoplasmosis. In acquired toxoplasmosis, the assay allowed early detection of specific IgA which could be detected in the cerebrospinal fluid of infected newborn children(4). OSTERTAGIA Sheep rendered immune to Ostertagia circumcincta were challenged with 50,000 larvae, and lymphocytes were collected from the gastric lymph up to eight days after challenge for intravenous transfer to genetically identical worm-free sheep. Comparison of the IgA concentrations in the gastric lymph of recipient and control sheep showed that a local IgA response had also been transferred. Enumeration of mucosal mast cell suggested that a mastocytosis had been transfered to the two recipients which were most immune to challenge(6). GIARDIA An ELISA was described for trophozoite-specific IgA in the intestinal secretions of mice infected with Giardia muris. Trophozoite-specific IgA was demonstrated in intestinal secretion of Giardia-infected immunocompetent Balb/C mice(6). Intestinal IgA was demonstrated by Flow Cytometry from G. muris-infected mice, but not from uninfected mice, became bound to trophozoite surface in vitro. Western blot analysis of trophozoite proteins with mouse intestinal secretions showed that IgA from Giardia-infected mice reacted specifically with a broad protein band of approximately 30,00 MW. This finding suggests that one or more trophozoite proteins approximately 30,000 MW are targets for intestinal antibody in mice infected with G. muris(7). In murine giardiasis, specific IgA and IgG cell mediated toxicity studies show that both antitrophozoite IgG, secretory IgA, and mouse phagocytic cell interact in. vitro to promote
parasite clearance. As both the humoral and cellular components of this system are found intraluminally in the small intestine and in milk, they may represent a biologically relevant protective response against giardiasiso). The level of specific secretory IgA in human milk was measured by ELISA. In this study G. lambiainfected and uninfected mothers were studied to determine the role of IgA in providing protection against Giardia infection in infants. Titers of specific secretory IgA in the milk of infected mothers were significantly higher than those of uninfected mothers (P < 0.01). Only 16% of infants of mothers with high titers of antibodies (higher OD) in their milk were infected with Giardia. In contrast, there was an infection rate of 63.0% in infants of mothers with low titers of antibody in their milk (lower OD < 0.01)(9). SCHISTOSOMA El-Sherif and Befus (1988) found that IgA was predominant among the immune deposits in the renal glomeruli of mice infected with Schistosoma mansoni. Intestinal mucosal immune responses to schistosoma antigens may also be important in the evolution of renal disease(10). ENTAMOEBA Del Muro et al. (1990) investigated whether detection of salivary IgA antibodies to Entamoeba histolytica could identify intestinal amoebic infections among 233 school children. The search for salivary IgA antibodies to Entamoeba histolytica by IgA ELISA was done according to standard procedures. No significant difference in IgA antibody activity was observed between those children infected only with E. histolytica and those who had intestinal amoebiasis associated with other parasites, such as E. coli or G. lamblia. IgA antibodies to E. histolytica were present in saliva samples from 85% children infected with this parasite. IgA antibody activity to the membrane extract was found in saliva samples from two children whose stools were negative for E. histolytica, yielding a false-positive rate of only 2%. On the other hand, 18 children infected with E. histolytica showed no IgA antibody activity in saliva, a false-negative rate of 15%(11).
STRONGYLOIDES Genta et al. (1987) focused on characterization of serum IgA against larval antigens in a large number of patients with different forms of strongyloidiasis. Using ELISA, parasite specific IgA response in 104 immunocompetent individuals with chronic, uncomplicated strongyloidiasis were compared with 15 immunosuppressed patients. There was no significant difference between the two groups of patients. The levels of total IgA were measured in all patients with strongyloidiasis, in parasite-infected controls, and in random ly selected nonparasite-infected controls. There was no correlation between the levels of total IgA and the concentration of specific IgA in the infected patients(12).
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 41
HYMENOLEPIS Infection of mice with Hymenolepis diminuta affects the number of eosinophils and non-eosinophil cells with IgA on their surface in the lamina propria. Presence of IgE on eosinophils is basically a primary infection response, while after reinfection the response is primarily characterized by IgA. For IgE as well as for IgA bearing eosinophils the response is most abundant in the second quarter of the intestine which is the parasite's prefered habitat. For non-eosinophilic cells the effects is smaller and limited to the IgE-bearing cells with the most significant effect in the second quarter of the intestine(13). NIPPOSTRONGYLUS Factors influencing lung IgA antibody responses to Nippostrongylus brasiliensis infections and the role of lung and fecal IgA antibodies in immunity to this nematode were studied in rats. Hooded Lister rats were vaccinated subcutaneously with infective larvae radio-attenuated at 80–180 Kr or with single dose of infective larvae somatic proteins administered intravenously or intragastrically, and then challenged 14 days later with normal larvae. It was found that optimal lung IgA antibody responses depended more on the duration of the antigenic stimulation than on quantity of antigenic material present, although a threshold amount was required. However, comparisons of lung anti-larval IgA antibody levels in rat resistant or susceptible to challenge indicated that these antibodies were not directly involved in specific host protective immunity(14). CONCLUSION The above studies suggest that some parasitic diseases are known to be associated with circulating IgA immune complexes. Hence there is a low concentration of IgA in the patients serum. All major classes of immunoglobulin can be detected in the intestinal secretions and their concentrations are enhanced by local inflammatory processes; however, IgA in its dimerized form predominates in these secretions. Circulating immunoglobulins, apart from dimeric IgA which is selectively removed from the blood stream and concentrated in the bile, do not normally enter the intestinal lumen and would not be expected to have a role in protection against intestinal parasites. In some situations, detection of IgA antibodies appears to be better than the detection of IgM antibodies in identifying infected
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
infants. Finally, I hope that this speculative review will stimulate others to explore further the anti-parasites role of immunoglobulin.
REFERENCES 1. Decoster A, Darcy F, Caron A, Capron A. IgA antibodies against 30P as makers of congenital and acute toxoplasmosis. Lancet 1988; 2(8620): 1104-7. 2. Derouin F, Sulcebe G, Ballet B. Sequential determination of IgG subclasses and IgA specific antibodies in primary and reactivating toxoplasmosis. Bio-Med. Pharmacother. 1987; 41(8): 429-33. 3. Mc Leod R, Mack DG. Secretory IgA specific for Toxoplasma gondii. J. Immunol. 1986; 136(7): 2640-3. 4. Pinon JM, Thoannes H, Pouletty PH, Poirriez J, Damiens J, Pelletier P. Detection of IgA specific for toxoplasmosis in serum and cerebrospinal fluid using a non enzymatic IgA capture assay. Diagn. Immunol. 1986; 4(5): 223-7. 5. Smith WD, Jackson E, Graham R, Williams J, Wiladsen SM, Tehilly CB. Transfer of immunity to Ostertagia circumcineta and IgA memory between identical sheep by lymphocytes collected from gastric lymph. Res. Vet. Sci. 1986; 4(3): 300-6. 6. HeyworthMF, Kung JE, Caplin AB. Enzyme-linked immunosorbent assay for Giardia-specific IgA in mouse intestinal secretions parasite. Immunol. 1988; 10(6): 713-7. 7. Heyworth MF, Pappo J. Recognition of a 30,000 mw antigen of Giardia muris trophozoites by intestinal IgA Giardia-infected mice. Immunol. 1990; 70(4): 535-9. 8. Kaplan BS, Uni S, Aikawa M, Mahmoud AA. Effector mechanism of host resistance in murine giardiasis : Specific IgG and IgA cell mediated toxicity. J. Immunol. 1985; 134(3): 1975-81. 9. Nayak N, Ganguly NK, Walia BN, Wahi V, Kanwar SS, Mahajan RC. Specific secretory IgA in the milk of Giardia lambia infected and uninfected women. J. Infect. Dis. 1987; 155(4): 724-7. 10. El-Sherif AK, Befus D. Predominance of IgA deposite in glomeruli of Schistosoma mansoni infected mice. Clin. Exp. Immunol. 1988; 71(1): 39-44. 11. Del Mum R, Acosta E, Merino E, Glender W, Ortizortiz L. Diagnosis of intestinal (amoebiasis using salivary IgA antibody detection. J. Infect. Dis. 1990; 162(6): 1360-4. 12. Genta RM, Frei DF, Linke MJ. Demonstration and partial characterization of parasite specific immunoglobulin A responses in human strongyloidiasis. J. Clin. Microbiol. 1987; 25(8): 1505-10. 13. Van der Vorst E, Dhont H, Cesbron JY, Capron M, Dessaint JP, Capron A. Influence of an Hymenolepsis diminuta infection on IgE and IgA bound to mouse intestinal eosinophils. Int. Arch. Allergy Appl. Immunol. 1988; 87(3): 281-5. 14. Wedrychowicz HZ, Maclean JM, Holmes PH. Some observations on a possible role of lung and fecal IgA antibodies in immunity of rats to Nippostrongylus brasiliensis. J. Parasitol. 1988; 71(1): 62-9.
Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status (SADIS) following Various Kinds of Microbial Infections - 5b.The clinical management of diseases that may produce SADIS with lymphocyte depletion R.A. Handojo*, Anggraeni Inggrid Handojo** * The Indonesian Association of Pulmonologists, Malang, Indonesia ** The TB Centre of Surabaya, Indonesia PENDAHULUAN D The leprosy bacillus, the human immunodeficiency virus type I (HIV-1) and the human immunodeficiency virus type II (HIV-2) are microbial pathogens that may bring about the development of the leprosy-type (L-type) of SADIS, which is characterized by the existence of lymphocyte depletion and the predominance of humoral over the cellular immune system. The leprosy bacillus is the prototype of microbial pathogens that may produce the Lp-type of SADIS. Like in diseases that may cause the development of the tuberculosis-type (Tb-type) and the leukemia-type (Lk-type) of SADIS, the main purpose of clinical management in diseases that may give rise to Lp-type of SADIS is based on the achievement of the goals of "back to basic" which means back to the L-type from the K-type or the KK-type immune status. Unlike in the Tb-type and in the Lk-type of SADIS where principle of "back to the L-type immune status" is based on normalisation of lymphocyte predominance, the same principle in the Lp-type of SADIS is based on normalisation of lymphocyte depletion. I. THE CLINICAL MANAGEMENT OF LEPROSY DISEASE Based on the characteristics of the immunologic fingerprint, the clinical management of leprosy disease can be divided into the following : 1) The clinical management of diseases that emerge as disease manifestation of the acute (L-type) and the chronic (K-type) immune status. 2) The clinical management of diseases that emerge as disease expression of the chronic advanced (KK-type) immune status. A) The clinical management- of leprosy disease as disease expression of the L-type immune status (fig. 1). a) the institution of the "early kill" of causative microbial pathogens through the advent of specific anti-leprosy chemo-
therapy for the duration of six months (multi-drug therapy). b) the use of immuno-modulator for the acceleration of the achievement of cure is not needed as L-type is the prevailing immune status. c) the advent of immunotherapy for the stabilization of cure achieved following successful chemoterapy is not needed as L-type is the prevailing immune status. Fig. I. The clinical management of leprosy as disease expression of the Ltype immune status.
B) The clinical management of leprosy disease that emerges L-type (acute stage) "Early kill" of causative microbial pathogen through specific anti-microbial treatment (multi-drug treatment). − Immuno-modulator not needed. − Immuno-therapy not needed.
as disease expression of the K-type immune status. Method 1. (fig. 2) : a) the institution of the "early kill" of causative microbial pathogens through the advent of specific anti-leprosy chemotherapy for the duration of nine months (multi-drug treatment). b) the acceleration of the "early kill" of causative microbial pathogens through the concomitant use of immuno-modulators during the early phase of anti-microbial chemotherapy. c) the advent of immuno-therapy following cessation of a successful anti-microbial chemotherapy for the stabilization of cure. Method 2 (fig. 3) :
Fig. 2. The clinical management of leprosy as disease expression of the Ktype immune status. Method 1 :
Prevailing Immune Status K-type (chronic stage) –
"Early kill" of causative microbial pathogen through specific antimicrobial treatment. The acceleration of the "early kill" of causative microbial pathogen through the advent of immuno-modulator. The stabilization of cure through the advent of immuno-therapy.
− −
Fig. 3. The clinical management of leprosy as disease expression of the Ktype immune status. Method 2 :
a)
the institution of the "early kill" of causative microbial Prevailing Immune Status K-type (Chronic stage)
"Early kill" of causative microbial pathogen through the advent of immuno-therapy. − The stabilization of cure through the advent of specific antimicrobial treatment (multi-drug treatment).
pathogens through the advent of immunotherapy. b) the institution of anti-leprosy chemotherapy for the duration of six months (multi-drug treatment) for the stabilization of cure. The leprosy bacillus and the tubercle bacillus are of the genus mycobacterium. The goals of anti-microbial chemotherapy of leprosy are similar to those of tuberculosis, i.e. the bactericidal activity of the treatment regimen which brings about destruction of all sensitive bacilli, the prevention of the emergence of drugresistant strains of bacilli and the regression of immune status from the K-type to the L-type. Dapsone (DDS) is the mainstay of anti-leprosy chemotherapy as monotherapy and as component of multi-drug regimens as well. The advent of DDS as a cheap and effective drug for antileprosy chemotherapy has done much to dispel the therapeutic gloom.that prevailed prior to 1948(0. The disadvantage of monotherapy with DDS is the relapse rates that are high and ranging from 1 to 6% per year(2). Dapsone resistance in leprosy is no different from resistance to anti-tuberculosis drugs(3). Like in tuberculosis, primary as well as secondary drugresistance may be encountered in leprosy. Primary drug-resistance means the existence of resistance to drug that has never .been taken by the patient. The existence of primary drug-resistance is based on infection with drug-resistant strains of bacilli. Secondary drug-resistance means the existence of resistance to drug following treatment failure. Patients once found to have bacilli resistant to a certain drug must therefore be assumed to remain so for life; back-mutation is an impossibility(3).
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
In areas endemic for leprosy, the existence of primary drugresistance to dapsone does not necessarily mean that dapsone is no longer useful. In endemic areas, population of bacilli may be heterogenous related to drug-susceptibility which means that there are strains of bacilli that are sensitive and other strains that are resistant to dapsone in the body of the host. In patients with dapsone-resistance, considered to be of secondary resistance, dapsone is no longer effective to kill leprosy bacilli; the population of bacilli is a homogeneous population related to drugsusceptibility. As in tuberculosis, multi-drug therapy is essential for treatment in leprosy. Multi-drug treatment with bactericidal drugs is given to patients with paucibacillary as well as to patients with multibacillary form of leprosy. (WHO 1974; quoted from Klatser et al.: Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991, 135, 932-934). Dual drug therapy consisting of dapsone and rifampicin for the period of six months is given to patients with paucibacillary form of leprosy. Patients with multibacillary form of leprosy are put under treatment with triple drug chemotherapy of Dapsone (D), clofazimine (C) plus rifampicin (R) for the duration of two years("). To negate the existence of dapsone-resistant strains of leprosy bacilli which may be prevalent in areas endemic for leprosy, anti-leprosy chemotherapy at present should be a triple drug regimen (DCR). This triple drug regimen has to be much more standardized and be based on the same principles as those determining the anti-tuberculosis chemotherapy. Short course chemotherapy of 6 to 9 months would be highly desirable in leprosy if adequate treatment regimen with high. bactericidal activity has to be formulated. Rifampicin is a drug with high bactericidal activityt3>, which means it kills leprosy bacilli in vivo rapidly. Together with dapsone, a drug with low bactericidal activity and clofazimine, also a drug with low bactericidal activityt3l, rifampicin makes a very effective antileprosy short course treatmnt regimen. Ethionamide and prothionamide are drugs with intermediate bactericidal activity(3) and are eligible alternatives to clofazimine, if the latter can not be tolerated. Paucibacillary cases of leprosy can be put under treatment with the triple therapy (DCR) for the duration of 6 months (D7C.,R7/5D7C,R2), which means dapsone, clofazimine and rifampicin are given daily for the duration of one month, followed by dapsone plus clofazimine given daily and rifampicin given twice weekly for the duration of five months. Prolongation of the duration of the mentioned triple therapy to nine months is needed for treatment of multibacillary cases of leprosy. Among untreated patients or patients with drug-resistant bacilli, deterioration of cell mediated immunity may be signaled by the development of a down-grading reaction in which the number of lymphocytes within granulomas decreases concomitantly with an increase in the number of bacilli('). During treatment of lepromatous leprosy patients, there is in general a lowering of the levels of antibody parallel with decreased numbers of bacillitsl, resulting in a predominance of the cell mediated over the humoral immunity. Abnormalities of T:B cell ratios appear to be corrected by successful anti-leprosy chemotherapy(6).
It is unusual for lepromatous patients to recover skin reactivity even though successful chemotherapy have eradicated identifiable bacilli from biopsy specimens(7). This may imply that although complete recovery from bacteriological point of view has been made, no complete recovery has been made from immunological point of view. The Mitsuda reaction is the classical reaction to lepromin, appearing as an indurated nodule 7 to 10 days following intradermal inoculation of the reagent and persisting for month or more). Amongst healthy members of a population in an area where leprosy is endemic, the Mitsuda reaction is positive in up to 90% of people(9 . Amongst leprosy patients themselves, virtually all those suffering from tuberculoid or borderlime tuberculoid disease, are Mitsuda positive whereas those suffering from lepromatous or borderline lepromatous disease are Mitsuda negative(9). Another shortcoming of chemotherapy in lepromatous patients worth to be noted is the emergence of an inflammatory reaction known as the "reversal reaction". These "reversal reactions" emerge following the development of an up-grading reaction from lepromatous to tuberculoid leprosy which takes place following abrupt reduction of bacterial load by successful chemotherapy or occasionally spontaneously"). The consequences from neurological point of view of these reactions is an aggrevating outcome of otherwise improving immunological response(10). The "reversal reaction" which is an acute inflammatory reaction in the dermis(2) is characterized by the emergence of an acute inflammatory reaction in the lesions which shows presence of an influx of lymphocytes and of increased numbers of epitheloid and giant cells'° . This reaction suggests a sudden increase in activity of the T-cells(11) during restoration of the Tlymphocyte mediated response. During "reversal reaction", the serum of patients with the reaction enhances lympho-proliferative response in vitro". "Reversal reaction" may signal improvement in the patient's immunological status(1). It is intriguing to speculate that the "reversal reaction" is the result of work of the cell mediated immune response, known as the delayed hypersensitivity reaction (Cooms and Gell) that recognizes and entraps extracellular organisms which derive from the persisters and from the dormant bacilli. Similar finding has been observed in lungs of tuberculosis patients on chest x-ray following several months of successful anti-tuberculosis chemotherapy (unpublished data). The persisters and the dormant bacilli are organisms that although sensitive to anti-microbial therapy, are not killed by many years of adequate chemotherapy; they may even contribute to the emergence of "silent bacterial shedding". The "reversal reaction" may also be generated by "dead bacilly" on account of the use of rifampicin which is a drug with high bactericidal activity. In tuberculosis, this reaction is called the "phenomenon of tuberculin reaction" which may take place during anti-tuberculosis chemotherapy. As much as 50% of patients still demonstrating acidfast bacilli in sputum at end of a 6-month anti-tuberculosis chemotherapy with isoniazide plus rifampicin, have "dead bacilli" in their sputa (unpublished data). Like in tuberculosis, the use of immunomodulators at start of chemotherapy, can be expected to acceler-
ate the achievement of cure and the advent of immunotherapy following successful chemotherapy may stabilize the achievement of cure in patients with the multibacillary form of leprosy. Intensive immuno-therapy with repeated BCG inoculations is worthy of further investigation and conceivably could prove to be of value especially as an adjunct to chemotherapy"12" that has to be successful. Another way to obtain the goals of "back to the L-type immune status" in lepromatous leprosy patients and in addition to preclude the emergence of the "reversal reaction" and to prevent failure to recover skin-reactivity, is the advent of active immuno-therapy with M . l e p r a e vaccine plus BCG vaccine. (fig. 3). In lepromatous leprosy patients, the regeneration of responsiveness upon active immuno-therapy with M. leprae vaccine plus BCG vaccine has been associated with improved clinical signs without corollary neuropathological complications which are characteristic for tuberculoid leprosy"). If BCG is injected into lepromatous leprosy lesions, leprosy bacilli appear to be destroyed by neighbouring macrophages which become activated as a result of the response to BCGt12>. That BCG can be administered for immuno-therapy against leprosy at all is evidence for the importance of the common mycobacterial antigen shared between the leprosy and the tubercle bacillus. Recognition of the common antigens by immuno-competent cells enhances subsequent recognition of the species-specific antigens(10). The prospects of such therapeutic immunological intervention are particularly attractive since it may be expected that complete recovery in terms of bacteriological and immunological parameters can be obtained following active immuno-therapy. The rationale behind the above finding must be based on the fact that there is "lymphocyte depletion" in lepromatous leprosy and that active immuno-therapy may dispel the mentioned "lymphocyte depletion". Efforts to induce positive skin test reactivity to lepromin through inoculation of BCG to lepromatous leprosy patients have succeeded in approximately 50% of cases(13). Histological examination reported the existence of difference between lepromin tests performed before and after BCG inoculation. An increase in lymphocyte infiltration is frequently found at ,the test site following BCG inoculation often in association with giant cell formation(14). Massive numbers of allogeneic cells have recently been given to patients suffering from lepromatous leprosy in an effort to increase their cell mediated immunity response to M. l e p r a e ( 1 5 . As has been reported such therapy will result in rapid destruction of bacilli, partial healing of lesions and restitution of lymphocytes to the thymus-dependent areas of lymph nodes all within a period of several weeks."5>. In other words, active immunotherapy may result in the regression of immune status from the K-type, of which lepromatous leprosy is the disease manifestation, to the L-type, of which tuberculoid leprosy is the diseaseexpression, the latter being characterized by the existence of better protective immunity which means higher bactericidal activity of the macrophages. Interest in the possibility of manipulation of the immune response in leprosy is on the increase. If
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 45
T-lymphocyte mediated response could be restored, patients with lepromatous leprosy would presumably make more rapid recovery and the possibility exists that the persisters also would be destroyed('') by the macrophage to avoid the development of relapse cases. Following the regression of immune status from the K-type to the L-type, short course anti-leprosy chemotherapy for tuberculoid leprosy has to be given for the eradication of the remaining leprosy bacilli that have escaped bactericidal activity of the macrophage. As BCG is a vaccine containing ettenuated whole bacilli, M. leprae vaccine for the purpose of immunetherapy should contain attenuated whole bacilli also. Leprosy bacilli purified from armadillo tissues can induce high levels of delayed type hypersensitivity in guinea pigs in the absence of oil adjuvants and without inducing sensitization to armadillo tissues("). Adjuvanticity which reflects the potency of substances to enhance antibody response to antigens, represents a wellknown activity of mycobacteria(o. The role of mycobacterial substance as adjuvants for the augmentation of immune response to various other antigens rather than to mycobacteria per se, has been brought forward by White(18). Past attempts to do immuno-therapy have included BCG(19) and more recently iniculation of BCG mixed with killed leprosy bacillit20>. Results with the latter one are reported to be encouraging(1t) as M. leprae and BCG share common mycobacterial antigen. Armadillo-derived 'M. leprae vaccine developed by WHO has been used in a trial conducted in Chingleput district (South India) to prevent the acquisition of leprosy (quoted from Asian Medican News, December 3, 1985). It is intriguing to speculate that this vaccine may be useful for immuno-therapy as it is very likely to be a whole bacillus vaccine. Another vaccine developed at the Cancer Research Institute in Bombay is made from cultivated mycobacterium belonging to M. avium intracellulare group (atypical mycobacterium) which is isolated from human leproma and showing extensive crossreactivity with M. leprae (quoted from Asian Medical News, December 3, 1985. This vaccine, derived from human leproma, has both prophylactic and therapeutic effects as was reported on the result of a trial conducted in Wardha (South India) where vaccine was given to 116 cases of lepromatous leprosy. Clinical improvement and reduction of bacterial load were observed in vaccinated patients who have been followed up for 5 years (quoted from Asian Med. News Dec 3, 1985). This M. avium intracellulare is very likely the leprosy bacillus itself. Warsa and The Kie Sine21) succeeded in isolating nonacid-fast and acid-fast organisms in 89 out of 93 leprosy patients (96%) and in 22 out of 23 leprosy patients (96%) from respectively venous blood and biopsied tissue by way of culturing in blood broth and Tarozzi medium followed by repeated subculturing in modified Wherry medium. All of the acidfast organisms were reported to be scotochromogenic (atypical mycobacterium). Atypical mycobacteria are at the edge of pathogenecity. This point of view is supported by the fact that transmission is ezctremely unusual from man to man(22.23,24). It is probably therefore that atypical mycobacterium may be used as vaccine Repeated injection of a combination of killed leprosy bacilli with
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
BCG has been used for the treatment of certain leprosy patients mainly those suffering from lepromatous leprosy. Clinical and immunological improvements of the lepromatous state of the patients were observed. As long-lasting improvement was reported that patients moved nearer to the tuberculoid end of the spectrum (quoted from Medical Forum 1984, 13, 12). Following successful immuno-therapy, which means following regression of immune status from the K-type to the Ltype that can be assessed on the basis of clinical and immunological parameters, anti-leprosy chemotherapy may be given for the duration of 6 months as immune status is now of the L-type. Antileprosy chemotherapy as multidrug chemotherapy is needed for the stabilization of cure achieved through the advent of successful immuno-therapy. The remaining leprosy bacilli may be eradicated by the anti-leprosy chemotherapy. C. The clinical management of leprosy disease that emerges as disease expression of the KK-type immune status (the Lp-type of SADIS). (fig. 4). a) the institution of the "early kill" of causative microbial pathogens through the advent of immuno-therapy. b) the advent of anti-leprosy chemotherapy following regression of immune status from the KK-type to the L-type. The existence of adequately functioning immune defense system is essential for the proper functioning of anti-leprosy chemotherapy. The advent of anti-leprosy chemotherapy in patients suffering from leprosy in the chronic advanced stage of the disease (KK-type immune status) is like doing shadowboxing. Much energy has been spent without ever hitting the opponent. As "lymphocyte depletion" is characteristic for leprosy in the chronic advanced stage, immuno-therapy is the method of choice for the normalization of the "lymphocyte depletion" which is needed for the achievement of complete recovery from clinical as well as form immunological point of view. Following regression of immune status from the KK-type to the L-type, antileprosy chemotrherapy as multi-drug chemotherapy for the duration of six months can be given for the stabilization of cure achieved following successful immuno-therapy. Fig. 4. The clinical management of leprosy as disease expression of the KKtype immune status.
II. THE CLINICAL MANAGEMENT OF HIV-DISEASE The human immunodeficiency virus type 1 (HIV-1), formerly called the human T-cell lymphotropic virus type III Prevailing Immune Status KK-type (Chronic advanced stage) "Early kill" of causative micorbial pathogen through the advent of immuno-therapy. The stabilization of cure through the advent of specific anti-microbial treatment (multi-drug treatment).
(HTLV-III) or the lymphadenopathy associated virus (LAY), is
the causative microbial pathogen of HIV-disease. The virus is a member of the group of microbial pathogens that may give rise to the development of the leprosy-type (Lp-type) of specific acquired deficient immune status (SADIS) which has the acquired immune deficiency syndrome (AIDS) or the AIDS related complex (ARC) as disease-expression. The Lp-type of SADIS is characterized by the existence of lymphocyte depletion and predominance of the humortal over the cellular immune response; the Lp-type of SADIS caused by HIV-1 is in addition characterized by a selective loss of CD+4 cells (the T-helper cells). Like in patients with the tuberculosistype (Tb-type) of SADIS, in patients with the leukemia-type (Lktype) of SADIS, and in patients with leprosy-disease, the main purpose of clinical management in patients suffering from HIVdisease is "back to basic" which means back to the Listeria-type (L-type) immune status (the acute stage of disease) or back to the immune status of healthy vaccinated subjects from the Kochtype (K-type) or the KK-type immune status (the chronic advanced stage of the disease), the latter known as SADIS. The goals to be achieved from anti-microbial chemotherapy in HIV-disease are similar to those of tuberculosis and of leprosy, i.e. the elimination of microbial pathogens by the killing capacity of drugs known as the microbicidal activity of drugs and in addition the enhancement of protective immunity for the stabilization of cure achieved through the. advent of anti-microbial chemotherapy. Unfortunately, drugs with virucidal effect on HIV-1 are not (yet) available hitherto. Zidovudine (AZT), dideoxyinosine (ddl) , and dideoxycytidine (ddC) are all virustatic drugs which means they do not kill HIV1 in vivo. Their anti-microbial activity is based on the inhibition of the enzyme reverse transcriptase, and they can thus interfere with the build up of the viral DNA("). In vivo as well as in vitro, AZT is a potent inhibitor of the multiplication (replication) of HIV-1. The clinical value of ddl is in fact not yet fully clear. The Food and Drug Administration has decided to release ddI on the market for treatment of adult and paediatric patients (older than 6 months) with advanced HIV-infection who could not tolerate AZT or in whom AZT is no longer effective(26). Fewer data have been reported regarding ddC as mono-therapy. Good effects on indicators were observed as was reported on the basis of the results of some phase-I examinations; much toxicity was however found in the form of painful peripheral neuropathy(27). The drug is probably useful especially in combination treatment. DdI and ddC are additionally toxic as to the induction of peripheral neuropathy(27). As in tuberculosis and leprosy, multi-drug therapy in HIVdisease may be expected to be superior to mono-therapy, particularly related to the achievement of higher cure rates and to better prevention of the emergence of drug-resistant strains of HIV-1. The anti-HIV therapy which until now is the most successful therapy is the inhibition of the enzyme reverse transcriptase by means of nucleoside analogues(28,29). An additive or synergistic effect was noted in vitro without cross-resistance(28,29) for the combination of AZT with interferon-alpha(30), with interferon-
side reverse transcriptase inhibitors(26). The anti-herpetic drug aciclovir potentiates in vitro the activity of inhibition of AZT on the replication of HIV-1(31). Herpes viruses activate HIV-transcription in vivo(32'33) and for that reason treatment with aciclovir might have a favourable effect on the course of HIV-disease(34) Immunological status is the primary determinant for the initiation of AZT therapy. There is no laboratory marker other than the CD4cell count that is necessary to be used as criterium to decide when to start AZT therapy. Laboratory examination of peripheral blood during primary and acute HIV-disease (CDC-I-HIVdisease) may reveal the presence of normal CD4 cell counts or a decrease in CD4cell counts up to 80/mm3 which return to normal in the course of primary or acute HIV-disease(35). Normal CD+8 cell counts(36) or increased CD8-cell counts may be encountered during primary HIV-disease("'"). An inversion of the CD4:CD8 ratio may therefore be encountered in CDC-I-HIV-disease which may indicate that there is already impairment of the immune defense mechanism especially related to cell mediated immune response during the acute stage of HIV-disease. Given the implication of the above findings, it is reasonable to suggest to start anti-HIV chemotherapy soon after transmission of HIV-1. Based on the characteristics of the immunologic fingerprint, the clinical management of HIV-disease can be divided into the following : 1) the clinical management of diseases that emerge as disease expression of the L-type (acute stage) and the K-type (chronic stage) immune status. 2) the clinical management of diseases that emerge as disease expression of the KK-type (chronic advanced stage) immune status.
alpha or soluble CD4, foscarnet, ddl, ddC and with non-nucleo-
A prospective study on the efficacy of anti-HIV chemo-
A. The clinical management of HIV-disease as disease expression of the L-type immune status (fig. 5). A key issue in the investigation of anti-HIV chemotherapy is the determination of when to start treatment following transmission of HIV-1. Fig. S. The clinical management of HIV-disease as disease expression of the L-type, the LK/KL-type and the K-type immune status. Prev ailin
L-type (Acute stage)
Immune Status LK/KL-type (Asymptomatic stage)
– tive microbial pathogen through the advent of specific anti-microbial treatmeat (multi -drug treatment).
K-type (Chronic advanced stage)
– "Early kill" of – "Early kill" of causative micorbial causative micorbial pathogen through pathogen through the advent of imthe advent of immuno-therapy. muno-therapy. – Stabilization of – Stabilization of cure through the cure through the advent of specific advent of specific and-microbial treanti-microbial trerapy (multi-drug rapy (multi-drug therapy). therapy).
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 47
therapy has to be conducted to assess whether multidrug antiHIV chemotherapy given during the acute stage of the disease (CDC-I-HIV-disease) can result in the achievement of complete recovery in terms of clinical, bacteriological and immunological cure. The result of a first examination on the effect in persons with primary HIV-infection reveals that mono-therapy with AZT is of no clinical benefit; the course of the disease was no milder and persistent infection was not precluded(26'. Mono-therap, with AZT is not the answer to CDC-I-HIV-disease. B. The clinical management of HIV-disease as disease expression of the LK/KL-type immune status (fig. 5). As was pointed out by Anthony Fauzi, HIV-1 has no quiescent stage of replication. Instead, replication takes place at .all stages of the disease. When untreated, the disease may progress from the acute stage (CDC-I) to the asymptomatic stage (CDCII), to the chronic stage (CDC-III) and even further to the chronic advanced stage (CDC-1V). Mathilda Krim reported that even during the asymptomatic stage of HIV-disease, the virus is mutating, multiplying and building reservoirs in lymph nodes (quoted from Asian Medical News, December 1991). This may imply that already in the asymptomatic stage of HIV-disease, there may be a defective immune defense response against HIV-1 which may influence the outcome of chemotherapy particularly when virustatic instead of virucidal drugs are used. The existence of an optimally functioning immune defense system is imperative for the proper functioning of microbicidal activity of drugs. The institution of anti-HIV chemotherapy can therefore be considered justified in patients with the asymptomatic stage of HIV-disease when prevention of disease progression is the ultimate goal of therapy. Volberding et al.(32) recommended treatment with anti-HIV agents be started already in the asymptomatic stage of the disease. Late treatment using AZT is associated with rapid emergence of resistant strains of HIV-1 to zidovudine(32.33) For patients in the asymptomatic stage of HIV-disease as disease expression of theLK/KL immune status, also designated as the CDC-II-HIV-disease("), with CDā cell counts below 500/ mm3, AZT therapy has to be initiated (quoted from JAMA SEA 1990, 6, 17-19). The result of mono-therapy with AZT in asymptomatic patients with CDā cell counts of fewer than 500/mm3, has revealed that CDā cell counts were significantly increased and HIV-p24-antigen levels were significantly decreased in patients that received AZT when compared to those that received placebo°° . The overall benefit of the treatment of early HIVdisease with AZT must be weight against potential toxicity and costs associated with treatment as well as the uncertainty that it will confer long-term benefit in survival(39) Zidovudine delays disease progression from asymptomatic (CD4-cell counts of less then 500/mm') to symptomatic HIVdiseasee". Zidovudine can halve the likelihood of disease progression for patients with asymptomatic HIV-disease and CD+4 cell counts greater than 400/mm3 before appreciable impairment
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
of the immune system has taken place. This benefit was evident over three years follow-up (quoted from Wellcome Journal of Health 1993, No 4, 8-12). Like in tuberculosis and in leprosy, the treatment regimen of choice in HIV-disease is the multi-drug therapy which can consist of AZT as the mainstay of chemotherapy plus ddC and/ or ddI, preferably for the duration of at least six months. The first results of examination regarding combination-therapy of AZT plus ddC or ddl in HIV-disease are encouraging(41). The result of a phase I/II examination on different AZT-ddC combinations was reported in 56 asymptomatic patients following 41 weeks of treatment. Hematologic toxicity was observed in 18% of patients under-treatment and severe peripheral neuropathy in four participants, not more than can be expected during mono-therapy with either drug. The most important increase in CD+4-cell counts was found in patients that received the highest daily dosage of both drugs. This increase. was greater and was of longer duration than that observed in patients with mono-therapy with zidovudine(42). Further evaluation of combination-treatment with 2 or more nucleoside analogues is at the moment indicated and examination of this in the form of large clinical trials is now also going on(26). The achievement of cure or complete remission of the disease was however not reported which means that anti-HIV chemotherapy is not the answer to CDC-II-HIV-disease. C. The. clinical management of HIV-disease as disease expression of the K-type immune status (fig. 5). The result of treatment with AZT in patients with early symptomatic disease (CDC-III-HIV-disease), known as disease expression of the K-type immune status; revealed that AZT delays disease progression from early symptomatic to chronic advanced HIV-disease. This finding was observed, in subjects with early symptomatic HIV-disease and CDā cell counts between 200/mm3 and 800/mm3. For subjects with 200-500 CD+4 cell/ mm3, the number of subjects who progressed to AIDS or ARC was reduced by approximately two thirds in the AZT treated group when compared to the placebo group(43). In addition, results from this placebo controlled study(43) conducted by the ACTG in people with early symptomatic HIV-infection indicated that: 1) zidovudine increased CDā cell counts. 2) zidovudine decreased p24 antigen levels in serum. 3) zidovudine was related to weight gain. 4) zidovudine was in general well tolerated. If treatment begins prior to diagnosis of AIDS, zidovudine gives rise to prolongation of survival and delays disease progression in people with HIV-disease and CDā cell counts of fewer than 350-400/mm3(44). Early treatment with AZT reduced the risk of mortality by 57% at six months and by 33% at two years (with or without PCP prophylaxis) compared with patients not taking AZT prior to diagnosis of AIDS(44). In a study on the use of anti-retroviral drugs in patients with CDC-II and CDC-III-HIV-disease, de Wolf et al.(4) reported the finding of a decrease of the levels of HIV-Ag in serum in the
greater part of patients that received AZT as mono-therapy, and in all of them that received the combination therapy of AZT plus aciclovir. It is important to note that in 9 of 13 patients with CDC-III-HIV-disease, lymphadenopathy was no longer detected during treatment of 24 weeks duration and lymphadenopathy was found to be smaller in the remaining four patients(34). The anti-herpetic agent aciclovir enhances in vitro the inhibitory action of AZT on the multiplication of HIV-1 X31). Herpes viruses activate HIV-transcription in vitro(32.33) and for that reason, treatment with aciclovir might have a favourable effect on the course of HIV-diseasel341. With regard to aciclovir, it can be noted that only in combination with AZT, an obviously favourable effect may be observed. It can not be precluded that anti-herpetic treatment may have a favourable effect on the progression of HIV-disease in the long run(32133) The undesirable effect of AZT is however transitory and the best moment to atart and end chemotherapy with AZT is not yet established with certainty. These beneficial effects of AZT alone or in combination with aciclovir were however accompanied neither by the evidence of the achievement of virologic cure nor by the evidence of the achievement of clinical cure in patients with CDC-IIIHIV-disease. Anti-HIV chemotherapy is not the answer to CDCIII-HIV-disease. Given the implication of the above findings and the results of clinical management of lepromatous leprosy using antileprosy chemotherapy alone or immuno-therapy alone, and on the basis of M. leprae and HIV-1 being in the same category of microbial antigens that may give rise to the development of the Lp-type of SADIS, it may be worth considering the use of immuno-therapy with HIV-vaccine in the clinical management of CDC-II and CDC-HI-HIV-disease prior to the advent of antiHIV chemotherapy (fig. 6). Leprosy disease and HIV-disease are chatacterized by the existence of T-lymphocyte depletion; both diseases progress or advance from the acute stage (L-type immune status) through the chronic stage (K-type immune status) to the chronic advanced stage (KK-type immune status). Through the advent of immuno-therapy using HIV-vaccine, regression of immune status may take place from the K-type through the KL/LK-type to the L-type immune status, which means regression of disease from CDC-III through CDC-II to CDC-I-HIV-disease. Following the regression of immune status from CDC-III and CDC-II to CDC-I-HIV-disease, anti-HIV chemotherapy is essential for the elimination of the remaining microbial pathogens (HIV-1) needed for the stabilization of the Fig. 6. The clinical management of HIV-disease as disease expression of the KK-type immune status.
Prevailing Immune Status KK-type (Chronic advanced stage) "Early kill" of causative micorbial pathogen through the advent of immuno-therapy. Stabilization of cure through the advent of specific anti-microbial trerapy (multi-drug trerapy).
achievement of cure. Immuno-therapy using whole bacilli or whole viruses is needed for the normalization of T-lymphocyte depletion which is inherent in the Lp-type of SADIS. Vaccine development may be important in the clinical management of HIV-disease but it lags behind that of anti-viral chemotherapy. Advances made in molecular virology have partially defined the antigens on the surface of the virus which may be important determinants of immunity and some preparations have already been given to experimental animals and to man(4s). Desrosiers et al.(46 showed that multiple intramuscular injections of killed whole virus (prepared by formalin inactivation or detergent disruption) and adjuvants, protected monkeys against infection and disease compared with controls. When challenged with live simian immuno-deficiency virus (SlV), Murphey-Corb et a1.(47) have shown similar protective effects using a different formalininactivated whole SIV-vaccine plus adjuvant. Studies using whole virus are important because they show that neutralizing antibody and other protective immunologic elements can develop in response to this family of viruses(47). Many have been afraid to inject whole virus, even if killed, into humans, because of the oncologic potentials of retroviruses. However, such concerns will have to be reevaluated in view of these new fi ndings(47). The Salk AIDS-vaccine uses a killed virus that is stripped on the outside layer. It is designed to protect subjects who have already been infected with HIV-1 from becoming ill. (quoted from Asian Medical News, August 8, 1989). An investigational AIDS-vaccine given to patients with asymptomatic HIV-infection continues to be well tolerated and appears to contribute to the stabilization of CD+4 cell counts. Robert Redfield reported that vaccine derived from HIVenvelope protein gp160 appears to have the capacity to modify the immune response in a majority of (infected) individuals. Researchers found that 19 patients with CD+4 cell counts of greater than 600 x 106/L out of 30 patients with asymptomatic HIV-disease, treated with the vaccine showed increase in humoral as well as in cellular immunity to HIV-envelope protein. They reported further that CD+4 cell counts remained stable among responders after 10 months of follow-up, whereas CD+4 cell counts fell by 7.3% among those who did not respond. It is not yet clear whether this is the result of the vaccination or of preselection of persons. Among volunteers who received six injections, 87% responded compared to only 40% of those who had received a series of three shots, suggesting that the six-shot immunization regimen is more immunogenic when compared to three immunizations, as was reported by Redfield (quoted from Asian Medical News, December 7, 1991). Redfield went on to report that nine out of the eleven original non-responders have been re-examined. Of six who have completed the series of 6 injections, all of them have become responders thereafter. It is of interest to note that T-cell proliferative responders among the responders have been monitored for as long as 30 months by administering boosters every four months. (quoted from Asian Medical News, December 7, 1991). The critical issue in the search for an effective HIV-vaccine is to produce a vaccine that from theoretical point of view can be inoculated to combat
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 49
HIV-disease in "naive recipients" and in "post sero-conversion recipients" as well, as have been shown by BCG-vaccine which is eligible to be used for immuno-vaccination as well as for immuno-therapy. Like in tuberculosis, leprosy and other contagious diseases, one of the sources of worry in the advent of antimicrobial chemotherapy in HIV-disease is the emergence of drug-resistant strains of HIV-1 before treatment, known as the primary drug-resistance, and during treatment, known as the secundary drugresistance. It is plausible to accept that drug-resistance may play a role in the diminished effectiveness of anti-microbial chemotherapy. In tuberculosis disease, secundary drug-resistance begins to develop after 2 months of anti-TB chemotherapy (unpublished data). The favourable effects of AZT are however of temporary nature(48,49,59); its anti-microbial effect is of limited duration(51). In subjects with few symptoms of HIV-disease and with CDā-cell counts not yet sharply lowered, resistance to AZT develops less rapidly and in a lower degree when compared to subjects in later stage of HIV-disease(52). There is however no cross-resistance to AZT on the one hand and to ddI and ddC on the other hand(41). Larder and coworkers pointed out that most isolates obtained after a treatment period of 6 months or more with zidovudine, were less sensitive than those obtained before or during the first few months of chemotherapy. The use of drug combination given simultaneously in HIV-disease may preclude the development of drug-resistance like in tuberculosis and leprosy. Virus resistance has been demonstrated in around onethird of patients suffering from ARC or AIDS after having been put under treatment for 6 months. This virus resistance became almost universal in those put under treatment with zidovudine for 12–18 months. Resistance, however, appears to be an in vitro phenomenon; no clear correlation with the development of resistance and subsequent clinical deterioration or change in the markers of virus proliferation has been found(53) D. The" clinical management of HIV-disease as disease expression of the KK-type immune status. The acquired immuno deficiency syndrome (AIDS) and the AIDS related complex (ARC) are disease manifestations of the KK-type immune status (Lp-type of SADIS) in HIV-disease which is characterized by the existence of lymphocyte depletion(38). On the basis of the unsatisfactory results obtained in the clinical management of CDC-II and CDC-III-HIV-disease using anti-HIV chemotherapy, it can be forecasted that patients with CDC-IV-HIV-disease (ARC/AIDS) that receive anti-HIV chemotherapy may fail to make complete recovery in terms of clinical, virological and immuno-logical cure, as AIDS and ARC are manifestations of a more advanced and chronic stage of HIVdisease than the CDC-II and the CDC-III-HIV-disease. It is therefore of interest to suggest that immuno-therapy with HIVvaccine is the method of choice for the institution of the "early kill" of HIV-1 in patients with CDC-IV-HIV-disease through the normalization of T-lymphocyte depletion (fig. 6). Immuno-therapy with HIV-vaccine is expected to bring about regression of immune status from the KK-type through the
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
K-type to the L-type immune status. Following regression of immune status to the L-type, anti-HIV chemotherapy using multi-drug regiments has to be initiated to eliminate the remaining viruses for the stabilization of cure (fig. 6). The extensive clinical trials programme, together with five years of clinical experience with AZT in CDC-IV-HIV-disease(54) has indicated that: 1) zidovudine gives rise to significant reduction of the risk of mortality in patients suffering from the advanced HIV-disease. 2) zidovudine reduces the frequency and severity of opportunistic infections in people with advanced HIV-disease. 3) patients under treatment with AZT showed delayed progression from ARC to AIDS. In addition, these patients showed overall weight gain, whereas placebo recipients generally lost weight. 4) quality of life (measured by Karnofsky score) was maintained in the AZT group but declined in the placebo group. 5) CDā lymphocytes increased, delayed hypersensitivity skin reactivity tended to return, clinical functional states improved in treated subjects as compared with controls(54). In addition, AZT can have beneficial effect in HIV-neurological syndromes(55). Zidovudine is not the answer to AIDS but it is a start(56). Treatment of HIV-disease using AZT plus granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) has resulted in the enhancement of the activity of AZT. A beneficial effect of GMCSF was reported by Perno et al. in patients with neutropenia as side-effect of AZT. They pointed out further that GM-CSF has to be administered always in combination with anti-retroviral drug as AZT (quoted from J.W. Mulder; Nederl. Ti jdschr. v. Geneesk. 1989, 133, 1664–1666). Gotlieb et al. reported that following treatment with ddC. a decrease of the level of HIV-p24-antigenemia and a transient increase of CDā-cell counts were observed in patients with ARC or AIDS (quoted from J.W. Mulder; Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1989, 133, 1664-1666). As a component of combination therapy, ddC appeared to be a valuable drugl57j. A significant decrease of the level of HIV-p24antigenemia and a significant increase of CDā-cell counts were observed by Yarchoan et al.(57) in patients with ARC or AIDS when ddI was given alternating with AZT. Yarchoan et al. reported further the achievement of good results in the treatment of ARC or AIDS patients with ddI in terms of a significant increase of CDā cell counts and a decrease of the level of HIVp24-antigenemia when higher dosage of ddI was given(57). Soluble CD4 (sCD4) was reported to be able to bind the envelope of HIV-1 in vitro and thus prevent the attachment of HIV-1 to the cellular CDā receptor of the lymphocytes and the monocytes. A decrease in the level of HIV-p24-antigenemia was observed only in the group of patients with the highest dosage of sCD4. There was no decrease of the CDā cell counts and no toxicity was observed. Gallo called this sCD4 "the magic bullet" but it is not yet so far (quoted from J.W. Mulder; Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1989, 133, 1664–1666. REFERENCES I. Ward E. Bulllock. Immunobiology of leprosy. Immunology of human
2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
9. 10. 11. 12.
13.
14.
15.
16. 17.
infection. Part I: Bacteria, Mycoplasmae, Chlamidiae and Fungi. Ed: Andre/Nahmias & Richard J.O. Reilly. Plenum Medical Book Company, New York & London. Ridley DS. Reaction in leprosy. Lepr. Rev. 1964; 40:77-81. Quoted from: Ward E. Bullock: Immunobiology of leprosy. Immunology of human infection. Part I. Waters MFR. The treatment of leprosy. Tubercle 1983; 64: 221-232. Ivanyi J. Pathogenic and protective interactions in mycobacterial infection. Clin Immunol Allerg 1986; 6: 127-57. Klatser PR, WitMijl de, Fajardo TT et at. Evaluation of M. leprae antigen in the monitoring of a dapsone-based chemotherapy of previously untreated lepromatous patients in Cebu, Philipines. Lepr. Rev. 1989; 60: 178-186. Quoted from Klatser PR et al. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991; 135: 932-34. Lim SD, Kiszkiss DF, Jacobson RR et al. Thymus-dependent lymphocytes of peripheral blood in leprosy patients. Infect. Immun. 1974; 9: 194-99. Quoted from: Ward E. Bullock: Immunobiology of leprosy. Immunology of human infection. Part I. Bjune G. Barnetson R. St. C. Plasma factors in delayed hypersensitivity. Augmentation of lymphocyte responses in borderline leprosy reactions. Clin and Exprimental 1976; 26: 397. Quoted from: G.A.W. Rook. Tubercle 1983; 64: 297-312. Mitsuda K. Les lespreux maculo-nerveus, d'une part, les tubereus, d'autre part, se comportent differemment a la suite dune inoculation d'emulsion de tubercle lepreux. Proceedings of the 2nd International Leprosy Conference, Strasburg, p. 219. Quoted from: Stanford J.L. Tubercle 1984; 65: 63-74. Stanford JL. Skin-testing with mycobacterial reagens in leporsy. Tubercle 1984; 5: 62-74. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity. A five group system. Internat. J. Leprosy 1966; 34: 255. Quoted from: Rook GAW. Tubercle 1983, 64, 297-312. Hirschberg H. The role of macrophage in the lymphoproliferative response to M. leprae in vitro. Experimental Immunol. 1978; 34: 46. Quoted from: Rook GAW. Tubercle 1983, 64, 297-312. Convit J, Pinardi M, Roidriguez-Ocha et at. Elimination of M. leprae subsequent to local in vitro activation of macrophages in lepromatous leprosy by other mycobacteria. Clin. Exp. Immunol. 1974; 17: 261-265. Quoted from: Ward E. Bullock: Immunobiology of leprosy. Immunology of human infection. Part I. Schujman S. Subsequent evolution of the induced Mitsuda reaction in clinically and bacteriologically negative lepromatous cases. Int. J. ;.epr. 1956; 24:51-6. Quted from: Ward E. Bullock: Immunobiology of leprosy. Immunology of human infection. Part I. Kuper SWA. Histological changes in the lepromin reaction induced by BCG in leprosy patients. Transaction of Chest and Heart Disease Conference. p. 67-71. London 1958. Quoted from: Ward E. Bullock. Immunobiology of leprosy. Immunology of human infection. Part I. Lim SD, Fusero R, Good RA. Leprosy VI. The treatment of leprosy patients with intravenous infusion of leucocytes from normal persons. Clin. Immunopathol. 1972, 1, 122-139. Quoted from: Ward E. Bullock. Immunobiology of leprosy, Immunology of human infection. Part I. Rook GAW. The immunology of leprosy. Tubercle 1983; 64: 297-312. Mehre V, Bloom BR. The induction of cell mediated immunity to human M. leprae in the guinea pig. Infect. Immun. 1979, 23, 787-794. Quoted
from: Ward E. Bullock. Immunobiology of leprosy. Immunology of human 22. Francis J. Abrahams W. The pathogenecity and nomenclature of the infection. Part I. mycobacteria. (Letter to theeffect Editor). Tubercle 1982; 63: 309-310. 18. White RG. of mycobacterial effects on the immune 23 . Chapman IS.The Theadjuvant atypical mycobacteria (Koch centennial supplement). response. Ann. Rev. Microbiol. 1976; 30: 570-600. Quoted from: Ivanyi J. Am. Rev. Respir. Dis. 1982, 125, 119-24. 1986; 6: 127-157. Tubercle 1981; 62: 295Clin. Immunol. and Allerg 24. Leading article: Typical or atypical mycobacteria. 19. 296. Schujman S.: Subsequent evolution of the induced Mitsuda reaction in clinically bacteriologically negative Int. J.Nederl. Lepr. 25. Mulder JW.and Nieuwe ontwikkelingen in delepromatous behandeling cases. van AIDS. 1956, 24,v.51-6. Quoted from: GAW. Tubercle 1983; 64: 297-312. Tijdschr. Geneesk. 1992; 136:Rook 1496-1500. 20. Richman Convit J,DD. Aranzazu M, Pinardi M,resistance. Ultich M.AIDS Immunological changes 28. Anti-retroviral drug 1991, 5. (Suppl. 1), in observed in indeterminate and lepromatous leprosy patients and Mitsudapress. Quoted from: Danner SA. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1992; 136: negative contacts after the inoculation of a mixture of M. leprae and BCG. 1495-1500. Clinical and Experimental Immunity 1979; Quotedtofrom: Rook 29. St. Clair MH, Martin JL. Tudor-Williams F. et36:al.214. Resistance ddl and GAW. 1983, 64, 297-312. sensitivity to AZT induced by a mutation in HIV-1 reverse transcriptase. 21. Science Warsa R, The253: Kie1557-59. Sing. Isolation offrom: acid-fast organisms from leprosyv. 1991; Quoted Danner. Nederl. Tijdschr. patients (preliminary report). Maj. Kedokt. Indon. 1969; 7: 237-239. Geneesk. 1992, 136, 1495-1500. 30. Hartshorn KL, Vogt MW, Chou TC. et al. Synergistic inhibition of human immunodeficiency virus in vitro by azidothymidine and recombinant alpha A interferon. Antimicrobial Agents Chemotherapy 1987, 31, 168-172. Quoted from: Danner SA. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1992; 136: 14951500. 31. Mitsuya H, Matsukura M, Broder S. Rapid in vitro systems for assessing activity of agents against HTLV-III/LAV. In: Broder S. ed. AIDS; Modem Concept and therapeutic challenges. New York; Marcel Dekker Inc. 1987, 303-333. Quoted from: de Wolf et al. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132; 1295-300. 32. Gendelman HE, Phelps W, Feigenbaum L et al. Transactivation of the human immunodeficiency virus long terminal repeat sequence by DNA viruses. Proc. Natl. Acad. Sci USA 1986; 83: 9759-9763. Quoted from: de Wolf et al.: Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132: 1295-1300. 33. Mosca JD, Bednarik DP, Raj NBK et al. Herpes simplex virus type 1 can reactivate transcriptio of latent human immunodeficiency virus. Nature 1987; 325; 67-70. Quoted from: de Wolf et al. Nederl. Tijdschr. v Geneeslk. 1988; 132: 1295-1300. 34. De Wolf F, Lange JMA, Goudsmit J. et al. Het effect van zidovudine op HIV-antigeen spiegels in het serum van personen zonder tekenen van HIV35. Claessen FAP, Goudsmit J, Lange JMA Primaire infectie met het humane immunodeficiency virus. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1990; 22: 1073-77. 36. Tindall B, Barkes S, Donovan B et al. Characterization of the acute illness associted with human immunodeficiency virus infection. Arch. Intern. Med. Quoted from: Claessen FAP. et al. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1990; 22: 1073-1077. 37. Cooper DA, Gold J, Maclean P et al. Acute AIDS retrovirus infection. Definition of a clinical illness associated with seroconversion. Lancet 1985; 1: 537-540. Quoted from: Claessen FAP. et al. Nederl. Tijdschr. v Geneesk. 1990; 22: 1073-1077. 38. Handojo RA, Handojo Al. Various types of specific acquired deficient immune status (SADIS) following various kinds of microbial infection. 4a. the leprosy type of SADIS caused by HIV-1. Cermin Dunia Kedokteran; in 39. Volberding PA, Lagokos SW, Koch MA wt al. Zidovudine in asymptomatic human immunodeficiency virus infection. A controlled trial in persons with fewer than 500 CD4'-cells/mm'. N. Engl. J. Med. 1990; 322: 941-49. Quoted from: Medical Progress 1991, 18, 63-64.
37. Quoted from: Willcome J. of Health 1993; 6: 8-12. 44. Graham NMH et al. N. Engl. J. Med. 1992; 326; 1037-42. Quoted from: Wellcome J. of Health 1993; 6: 8-12. 45. Gordon Douglas R. Jr. Infectious diseases. JAMA SEA Contempo 1987; 3: 31-2. 46. Desrosiers RC, Wyand MS, Kodama T. et al. Vaccine protection against simian immunodeficiency virus infection. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 1989; 86: 6353-57. Quoted from: Gordon Douglas R. Jr. JAMA SEA 1990; 61: 29-30. 47. Murphy-Cor*; M, Marten LN, Davison-Fairburn B. et al.: A formalininativated whole SIV-vaccine confers protection in macaques. Science 1989; 246: 1193-97. Quoted from: Gordon Douglas R. Jr. JAMA SEA
40. Vol hum few 41. Lar zido fom 136 42. Me ine cien 20.
43. Fisc in t dou
50. Dournon E, Matheron S, Rozenbaum Wet al. Effects of zidovudine in 365 consecutive patients with AIDS and AIDS related complex. Lancet 1988, 11, 1297-1302. Quoted from Lange JMA, Van der Noordaa. Nederl. Tijdschr. v Geneesk. 1992; 136: 958-64. 51. Gordon Douglas R. Jr. Infectious Diseases. JAMA SEA 1990; 6: 29-30. 52. Richman DD, Grimes JM, Lagakos SW. Effect of stage of disease and drug dose on zidovudine susceptibility of isolates HIV. J. AIDS 1990.3.743-46. Quoted from: Lange JMA, van der Noordaa J. Nederl. Tijdschr. v. 1992; 136: 958-64. 53. Meech RJ. Tile role of antiretroviral therapy in HIV-infection. Med Profr 1991; 18: 5-8. 54. Fischl MA. at al, N. Engl. J. Med. 1987; 317: 185-91. Quoted from:
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 51
1990; 6: 29-30. Wellcome J of Health 1993; 6: 8-12. 48. Fischl MA, Richman DD, Grieco MH et al. The efficacy of azidothymidine 55. Yarchoan R, Browers P, Spitzer et al. The effeicacy of AZT in the treatmen of patients with AIDS and AIDS related complex. A double-blind, (AZT) in the treatment of patients with AIDS and AIDS related complex; placeboa double-blind, placebo-controlled trial. N. Engl. J. Med. 1987; 317: 185controlled trial. N. Engl. J. Med. 1987; 317: 185-91. Quoted from: Gordon 91. Quoted from: JMA Lange, Van der Noordaa: Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1992; 136: 958-64. 56. Hirsch MS, Kaplan JC. Treatment of human immunodeficiency virus infection. antimicrobial Agents Chemotherapy 1987; 31: 839-43. 49. Fischl MA, Richman Dd, Causey DM et al. Prolonged zidovudine therapy 57. Yarchoan R, Perno CF, Thomas RV et al. Phase I studies of ddC in severe in patients with AIDS and advanced AIDS related complex. JAMA 1989; 262: 2405-10. Quoted from Lange JMA, Van derNoordaa. Nederl. Tijdschr. HIV-infection as a single agent and alternating with AZT. Lancet 1988; 1: v. Geneesk. 1992; 136; 95$-64. 70-80. Quoted from: Mulder JW Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1989; 133: 1664-66.
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
Kesehatan Para Manusia Usia Lanjut di Puskesmas Tentena, Sulawesi Tengah Dr. Aryawan Wichaksana, D. Pokalose, E. Teppe Puskesmas Tentena Kec. Pamona Utara – Kab. Poso, S u l a we s i Tengah
PENDAHULUAN Dalam kehidupan dan budaya tradisional, menjadi Manula merupakan figur tersendiri dalam kaitan dengan sosial budaya; menjadi figur yang dihormati, diperhitungkan dan didengar dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat. Mereka termasuk golongan yang patut dihargai dan dihormati sesuai dengan eksistensinya dalam strata kemasyarakatan. Bila demikian halnya maka menjadi tua akan mendatangkan berbagai keistimewaan, karena dianggap lebih bijaksana, lebih berwibawa sehingga dipercaya memikul tugas sosial kemasyarakatan dalam keluarga atau lungkingan sekitar. Dalam kehidupan masyarakat luas (Nasional), usia lanjut merupakan sumber daya yang bernilai sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat luas. Sebagai salah satu hasil pembangunan adalah meningkatnya umur harapan hidup waktu lahir, sejalan dengan hal tersebut maka jumlah usia lanjutpun meningkat. Berdasarkan Undangundang No. 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan, setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya begitu pula yang dimaksud oleh Sistim Kesehatan Nasional (SKN) bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan Nasional. Dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia, maka dilakukan upaya pembinaan kesehatan bagi Manula yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan usia lanjut agar selama mungkin dapat aktif mandiri dan berguna. PENGERTIAN Upaya Kesehatan : Upaya kesehatan lanjut di Puskesmas adalah upaya kesehatan paripurna di bidang kesehatan usia lanjut yang diselenggarakan secara khusus maupun umum terintegrasi
dengan kegiatan pokok puskesmas Iainnya. Upaya ini dilakukan petugas puskesmas dengan dukungan peranserta masyarakat baik di dalam maupun di luar gedung. Sasarannya adalah kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi tanpa mengabaikan kelompok Iainnya. Kegiatan khusus ialah penyuluhan„ deteksi dan diagnosis dini kelainanusia lanjut, proteksi, tindakan khusus dan pemulihan. Sedangkan secara umum, dilaksanakan terpadu dengan kegiatan pokok Puskesmas yang terkait. Usia Lanjut : Batas usia lanjut bervariasi, walaupun proses menua sudah mulai terjadi padausia40 tahun. Batasan usia lanjut di sini adalah setiap pengunjung Puskesmas yang berusia mulai 50 tahun, mengingat daerah kerja Puskesmas adalah pedesaan yang sebagian besar penduduknya bertani dan berladang sehingga pada usia 50 tahun sudah mulai ada gangguan kesehatan akibat pekerjaan berat dengan asupan gizi seadanya. KEADAAN DAN PERMASALAHAN 1) Secara demografis pada sensus nasional tahun 1980, jumlah penduduk usia 55 tahun ke atas ± 7,7% dari jumlah penduduk (± 11.319.000 jiwa). Perkiraan tahun 2000, jumlahnya menjadi ± 9.9% dari jumlah penduduk (±22.277.700 jiwa), dengan angka harapan hidup 65–70 tahun menurut Bappenas. Hal ini berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan usia lanjut, baik secara individu maupun kaitannya dengan kehidupan keluarga dan masyarakat. 2) Survei kesehatan rumah tangga tahun 1980 mendapatkan angka kesakitan 55 tahun ke atas 25,7%, dan diharapkan menjadi 12,3% pada tahun 2000. 3) Penyebab kematian no. 3 di Indonesia saat ini adalah penyakit kardiovaskuler, terbanyak diderita oleh usia lanjut. 4) Secara individu, pengaruh proses ketuaan menimbulkan
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 53
berbagai masalah baik secara fisik, biologis, mental maupun sosialnya. 5) Banyak usia lanjut yang masih produktif belum dimanfaatkan menunjang pembangunan. 6) Belum ada upaya khusus dalam meningkatkan peranserta masyarakat di bidang pelayanan kesehatan usia lanjut, yang meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan. 7) Belum terselenggara kerjasama lintas program maupun lintas sektoral dalam pembinaan kesehatan usia lanjut. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan Umum : meningkatnya derajat kesehatan usia lanjut untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan eksistensinya dalam strata masyarakat. Khusus : — meningkatnya jangkauan pelayanan dan perhatian kesehatan usia lanjut. — meningkatnya kesadaran para usia lanjut untuk membina sendiri kesehatannya. Sasaran Langsung: — kelompok usia lanjut dalam keluarga, masyarakat dengan usaha KIE dan pelayanan agar dapat mempertahankan kesehatannya, produktif dan mandiri. Tidak Langsung : — keluarga tempat usia lanjut berada agar turut berperan dalam perawatan para usia lanjut di lingkungannya. — peningkatan peran dan kepedulian organisasi sosial/Dep. Sosial yang berkaitan dengan pembinaan usia lanjut. KEGIATAN PUSKESMAS — Jumlah Usia lanjut yang berkunjung ke Puskesmas Tentena. — Keluhan dan jenis penyakit. — Lingkungan tempat tinggal orang usia lanjut tersebut. KEGIATAN DI PUSKESMAS TENTENA Wilayah kerja Puskesmas Tentena Kecamatan PamonaUtara mencakup 19 desa, 2 desa hanya dapat dikunjungi dengan jalan kaki (ke gunung, ± 30 km) lewat jalan setapak, 1 desa hanya dengan perahu (pesisir Danau Poso), lainnya (16 desa) dapat dilalui kendaraan roda 4. Jarak desa terdekat dengan Puskesmas ± 3 km, dan terjauh ± 32 km. Jumlah penduduk (1992) 20.346 jiwa. Jumlah kunjungan dan data kesehatan para Usia lanjut didapat dari basil pencatatan dan pemeriksaan oleh dokter Puskesmas di Poliklinik saat jam kerja dan hari kerja. Kegiatan ini dilakukan sejak September 1991 s/d September 1992, dibantu 2 orang staf Puskesmas sebagai pencatat. Para Manula, selain diperiksa sesuai keluhannya, juga dilakukan : — Pemeriksaan fisik. — Pengukuran tekanan darah sebanyak 3 x (YAMASU) pada posisi duduk, di lengan kanan. Kemudian diambil nilai rata-
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
ratanya. — Diukur tinggi badan dengan ukuran permanen di dinding poliklinik. — Ditimbang berat badannya dengan timbangan berdiri (SOEHNLE) skala 1 kg.
HASIL PENELITIAN Tabel 1. Jumlah Kunjungan Pertama Manula (September 91 s/d September 92) Jenis Kelamin Jumlah Umur (th) Laki-laki Perempuan N % 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 -- 69 70 – 74 75 – 79 80 – 84 85 ke atas Jumlah
34 21 32 30 12 5 6 –
21 21 23 16 23 3 – –
55 42 55 46 35 8 6 –
22,3 17,04 22,3 18,62 14,17 3,23 2,42 –
140
107
247
100,00
Tabel 3. Sepuluh Penyakit Terbanyak Diderita Manula yang Berkunjung ke Puskesmas Sentena Jenis Kelamin No.
Jenis Penyakit
1 Bronchitis 2 Tukak lambung 3 Penyakit tekanan darah tinggi 4 TB Para Klinis 5 Penyakit kulit dan jaringan bawah kulit 6 Penyakit saluran kencing 7 Penyakit saluran pernapasan bagian atas 8 Artritis 9 Asma 10 Penyakit peredaran darah paru & penyakit jantung lainnya Jumlah
Jumlah
L
P
N
%
28 20 13 11
9 16 8 6
37 36 21 17
14,97 14,57 8,50 6,88
8 8
7 4
15 12
6,07 4,85
5 4 4
4 4 3
9 8 7
3,64 3,23 2,83
5
2
7
2,83
106
63
169
68,37
Keterangan : Jumlah Laki-laki Manula = 140 orang = 56,68% Jumlah Perempuan Manula = 107 orang = 43,32% Penyakit lain-lain = 31,63% ( 78 orang). Tabel 4. Lingkungan Hidup (Tempat tinggal Manula) Jumlah Tempat tinggal a. b. c. d.
N
%
Hidup sendiri Tinggal dengan keluarga Suami Istri bersama Lain-lain (Panti Werdha)
9 112 54 72
3,65 45,35 21,86 29,14
Jumlah
247
100,00
Tabel 2. Jenis Penyakit (Menurut Formulir Laporan Bulanan Kesakitan di P uskesmas) No. Unit Jenis Penyakit 60-64 65-69 70-74 50-54 55-59 L 01 Penyakit Infeksi pada usus 0102 Diare (tersangka kolera) 02 Penyakit Tuberkulosa 0201 TB Paru BTA (+) 0202 TB Paru Klinis 0203 TB Alat tubuh lain 04 Penyakit Virus 0404 Radang hati menular 05 Riketsiasis& Penyakit arto poda lain 0505 Malaria Mix 0506 Malaria klinis (tanpa Lab.) 08 Penyakit Endokrin & metabolik serta gangguan kekebalan 0802 Kencing manis 09 Defisiensi Gizi 0905 Defisiensi Vit. lain 10 Gangguan Jiwa 1002 Psikosa 1003 Neurosa 1006 Penyakit yang lain 12 Penyakit Mata 1202 Katarak 1204 Konjungtivitis 1207 Penyakit lain (pterygium) 13 Penyakit pada telinga & mastoid 14 Demam rematik & penyakit jantung rematik 15 Penyakit tekanan darah tinggi 16 Penyakit peredaran darah paru & penyakit jantung lainnya 18 Penyakit saluran pernapasan bagian atas 19 Penyakit lain pada saluran pernapasan 1902 Bronkhitis 1903 Influensa 1904 Asma 1905 Penyakit lain 21 Penyakit lain pada sistem pencernaan 2101 Tukak lambung 2102 Appendicitis 2104 Penyakit hati menahun 2105 Penyakit lain 22 Penyakit pada saluran kencing 27 Penyakit kulit & jaringan bawah kulit 31 Kecelakaan + luka 30 Neoplasma 3002 Tumor ganas 32 Penyalcit lain-lain 3201 Gangguan ginjal 3202 Artritis Jumlah
1 2 1
1
P
1
L
P
L
1
1
1
1
3
4
1
1
2
1
1
1 1
2
1
P
L
P
L
P
75-79 80 ke atas Jumlah Keterangan L
P
L
P 3
-
2
1
1 17 1
1
1
5 1 6
1
1
1 1
1 1
1 1
1
1
2
1 2 2
1 2 1
2 4 1
~ 1
1
1 2
3
1 4
3 3 10 2 1
4
3
2
2 1
2
2
1
1
1
3
2
1
2
2 1 2• 1
8
1
4 1 1
7 1 2 1
3
1
4
1
2
1
1
2
2
1
1
1
2 1
2 2
2
1
7
1
3
3
2 1
1
4
1
4 2
1
1
21
1
7
1 1
4
9 3 1
1
39 6 7 3
1
36 1 2 7
1
3
4
3
6
2 1
1
2
3 1
12
1
18 6 1 (+) Meninggal
1 1 2
1
2
39
20
22
59
1
1
1
1 2
21 43
33
22 55
30
15 45
6 8
1 10
21 31
5
3 8
6
-
247
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 55
Tabe15. Pekerjaan Manula Sebelumnya Jenis Pekerjaan
a. b. c.
N
%
Pet ani Pensiunan (PNS + ABRI + Veteran) Swasta (dagang + lain-lain)
126 99
51,00 50,10
22
8,90
Jumlah
247
100,00
PEMBAHASAN 1. Jumlah Manula Dari data yang dikumpulkan, jumlah manula yang datang ke Puskesmas karena keluhan sakitnya sebanyak 247 orang, lakilaki 140 orang (56,68%) dan perempuan 107 orang (43,32%). Menurut statistik 7,7% jumlah penduduk adalah berusia 55 tahun ke atas, sehingga diperkirakan dari 20.246 jiwa penduduk Kecamatan Pamona Utara terdapat 1567 orang manula. Ini memberikan gambaran sementara, baru 15,76% (247 orang) yang merasa perlu mengobati gangguan kesehatannya ke Puskesmas. Hal ini dapat terjadi oleh berbagai sebab, antara lain, sudah adanya Puskestu di desa masing-masing, masalah transportasi, karena sosial ekonomi ataupun karena pendidikan dan pengetahuan manula seperti sikap pasrah terhadap gangguan kesehatannya. Jumlah manula yang berobat ke Puskesmas, lebih banyak laki-laki (56,68%), kemudian di atas usia 65 tahun makin sedikit manula yang datang ke Puskesmas. 2. Jenis Penyakit Dari jenis penyakit yang didapat (tabel 2), dikumpulkan 10 penyakit terbanyak (tabel 3); banyak di antara para manula menderita lebih dari satu penyakit, yang dicatat adalah penyakit utama/dirasakan sangat mengganggu penderita. a) Kelainan pada traktus respiratorius cukup menonjol; bila dikelompokkan merupakan (39 + 17 + 9 + 8 = 73 orang) = 29,55% dari keseluruhan manula yang berobat. Proses menjadi manula mempengaruhi fungsi paru, yaitu pada saluran napas, jaringan paru, otot pernapasan secara langsung dan akibat sistim lain secara tidak langsung(3). Di samping proses ketuaan, dapat pula akibat faktor lain seperti merokok dan penyakit lain. b) Penyakit tukak lambung (14,57%) menempati urutan ke dua; ini akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal, kemampuan spingter gastro-oesophageal menurun, juga waktu pengosongan lambung memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi(3). c) Penyakit tekanan darah tinggi menduduki urutan ke tiga (8,5%). Hipertensi membawa keluhan subyektif seperti debaran jantung, sulit tidur, kepala pusing dan lemah. Dua orang di antaranya telah meninggal (tahun 1993) dengan CVA. d) Penyakit kulit dan jaringan bawah kulit diderita oleh 18 orang manula (7,28%). Umumnya kulit manula kering dan kasar, sering disertai rasa gatal dan terjadi peradangan (infeksi sekunder) dan berakibat luka-luka kecil. Keadaan ini terjadi di seluruh bagian tubuh, tersering di daerah tungkai bawah.
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
3. Keadaan Sosial a) Dari lingkungan hidup manula, terbanyak tinggal dengan keluarga (45,35%), sedangkan yang masih hidup bersama suamiisteri ada 21,86%, mereka tinggal serumah dan terpisah dengan anak-anak yang sudah berkeluarga, kecuali anak mereka yang belum atau tidak menikah. Yang cukup banyak adalah para manula yang tinggal di Panti Werdha (29,14%), walaupun sebagian besar ada anak dan keluarga di desanya. Alasan para manula sebagian besar karena jaminan sosial (tempat tinggal, makan dan pengobatan) ditanggung Dep. Sosial. Dan mereka yang tinggal di Panti Werdha ini masih berladang, berkebun (bagi yang ada) untuk menambah uang saku mereka, dan kadang berkumpul dengan handai tolannya bila sore kembali ke Panti Werdha. Yang hidup sendiri mempunyai alasan, antara lain tidak punya anak, anaknya jauh di Iuar Propinsi/Kabupaten dan ada yang memang suka hidup sendiri walau janda/duda. b) Pekerjaan para manula sebelumnya kebanyakan para petani (51%) dan sebagian besar mereka ini yang tinggal di Panti Werdha, kemudian pensiunan Pegawai (40,10%), hanya sebagian kecil tinggal di Panti Werdha, karena sebagian besar mereka punya tempat tinggal cukup layak dan anak-anak keluarganya masih merasa mau jika orang tuanya tinggal di Panti Werdha. Para manula Swasta 8,9% tidak ada yang tinggal di Panti Werdha. Belum ditemukan perbedaan penyakit antara para manula yang berbeda keadaan sosialnya, ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut lagi. KESIMPULAN — Dari data yang terkumpul, baru 15,76% (247 orang) manula yang datang mengobati keluhan sakitnya, dari perkiraan statistik sebesar 1576 orang se Kecamatan Pamena Utara. — Lebih banyak laki-laki yang datang berobat daripada perempuannya, di atas usia 65 tahun kunjungan para manula menurun jauh sampai usia 75 tahun ke atas, diduga makin tua usianya makin kurang jumlahnya. — Penyakit menonjol yang diderita para manula, yaitu kelainan traktus respiratorius (29,55%), kemudian penyakit tekanan darah tinggi (8,5%), 2 orang di antaranya telah meninggal, dan penyakit kulit dan penyakit jaringan bawah kulit (7,28%), penyakit tukak lambung (14,57%). — Sebagian besar (45,35%) para manula masih tinggal dengan keluarganya, 29,14% tinggal di Panti Werdha Dep. Sosial walau masih ada keluarganya, 21,86% masih tinggal bersama-sama suami istri dan yang hidup menyendiri 3,65%. — Pekerjaan sebelumnya para manula adalah 51% petani, 40,10% pensiunan Pegawai Negeri dan 8,9% Swasta. Kemajuan teknologi kedokteran dan keberhasilan keluarga berencana akan menghasilkan peningkatan umur harapan hidup sehingga jumlah para manula di dalam masyarakat akan bertambah pula. Para manula ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat Indonesia, sehingga tidak ada salah-
nya mengharapkan perhatian dan usaha kesehatan bagi para manula baik dari pemerintah ataupun swasta. Tak kalah pentingnya, pendidikan di dalam keluarga dan lingkungan pendidikan sekolah untuk memahami bahwa proses menua adalah proses alamiah sehingga perhatian dan kepedulian kepada para manula sesuai dengan harapan. KEPUSTAKAAN
1. SKN. Departemen Kesehatan RI. Jakarta : 1990. 2. Pedoman Kerja Puskesmas, Jilid IV. Bab. I. Departemen Kesehatan RI. Jakarta : 1990/1991. 3.Cermin Dunia Kedokteran. Usia lanjut. Jakarta : 1988; No. 48.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 57
Anthropometric Measurement of Women and Children 0-4 Years - old in Oksibil Subdistrict, Irian Jaya Saptono*, Dollarina*, Darius Salamuk**, Paulus Gatot***, Sugiyanto**, Sukwan Handali* *) WATCH Project, Wamena, Irian Jaya, Indonesia **) Puskesmas Oksibil, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia ***) Puskesmas Oksibab, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia
PENDAHULUAN Oksibil is one of the subdistrict in Central Highland Irian Jaya which has a border with PNG. It lies in the eastern side of Wamena (capital of Jayawijaya district), about 1 hour flight by Cessna (a single propeller airplane) from Wamena, about 1 hour 20 minutes flight from Jayapura. Oksibil is located in a valley amidst the Star mountain, began to have contact with the outside world in 1958. The altitude is 1260 m above sea level. The people who lives there is Ngalum people. The educational level is good, people can speak or at least listen to Indonesian language conversation. The people lives in a community with a strong motivation to develop. The staple food of the population is sweet potato, with two meals per day. The health facilities there consist of a health centre (one doctor and 9 health workers) and occasional health service by the church. This report describes the nutritional status of the Ngalum community in Oksibil area in January 1993.
RESULT Nutritional adequacies in children 0–4 years are measured by calculating the WAZ, HAZ and WHZ. The means of WAZ, HAZ, and WHZ could be seen in table 1. Malnutrition was defined as below 2 Standard Deviation (Z score below -2)(2,3). Malnutrition rate according to W/A in children 0–4 years in Oksibil is 23.8%. The malnutrition rate in boys is 11.9%, and in girls is 11.9%. According to H/A, malnutrition rate is 53.6% (boys = 25%, girls = 28.6%). And according to W/H, malnutrition rate is 2.4% (boys = 2.4%, girls = 0%). All of the sex differences are not statistically significant (Table 1, 2, 3, 4). The mean height, weight and MUAC of women in Oksibil area are 148.48 cm (± 4.13 cm), 47.77 kg (± 4.89 kg), 22.83 cm (± 1.48 cm) respectively. Malnutrition in women was determined by calculating the Body Mass Index and it was defined as below 20 kg/m2 (1). Malnutrition rate among women in Oksibil is 15.5%. Compared
METHOD AND MATERIAL All women with their children (0–4 years) who visited the clinic in January 1993 were included in the sample. Up to 84 children (36 boys and 48 girls) took a measurement of their body weight (using a'Dacin'-balance scale into the nearest 100 grams), their height/length (using centimeter tape, in cm) and their age (in month); also 79 women took the same measurement of their body weight (bathroom scale into the nearest 1 kg), height (using centimeter tape, in cm), mid-upper arm circumference (MUAC) (using a TALC tape - in cm). Body Mass Index (BMI) was calculated from women's body weight and height – (BMI = Wt (kg)/Ht2(m)('~. For the children, Weight-for-Age Z-score (WAZ), Height-for-Age Z-score (HAZ) and Weight-for-Height Z (WHZ) score were counted (using EPIINFO version 5.01a)(23). All data analysis were run on a SPSS/ PC+version 3.1 software.
Table 1. Means of WAZ, HAZ and WHZ of Children 0-4 Years in Oksibil, 1993
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
WAZ HAZ WHZ
Boys
Girls
P*
-1.2432±1.012 -2.3068±1.206 -0.2061±1.146
-1.1805±1.118 -2.1442±1.474 -0.1977±0.902
0.804 0.613 0.970
Note : * = probability calculated from t-test Table 2. Malnutrition Rate in Children 0-4 Years according to W/A in Oksibil, 1993 Malnutrition
Good
E
Boys Girls
10 10
26 38
36 48
E
20
64
84
Note : chi-square = 0.23105; p = 0.6307
Table 3. Malnutrition Rate in Children 0-4 Years according to H/A in Oksibil, 1993 Malnutrition Good Boys Girls
21 24
15 24
36 48
E
45
39
84
Note : chi-square = 0.28818; p = 0.5914
Table 4. Malnutrition Rate in Children 0-4 Years according to W/H in Oksibil, 1993 Malnutrition Good Boys Girls
2 0
34 48
36 48
E
2
82
84
Note : chi-square = 0.86433; p = 0.3525
with other study (which said that malnutrition among lactating women is if MUAC < 23.5 cm), the percentage of women with MUAC < 23.5 cm is 58.3%. In order to find which anthropometric measurement in women related to the W-for-Age indicator in children 0-4 years, correlations were calculated between women's height, weight, MUAC and BMI with WAZ, HAZ and WHZ. It was found that women's height significantly correlated with WAZ and HAZ, women's weight with WAZ (see table 5). Table 5. Relationship between Women Anthropometric Measurement and Children's WAZ WAZ HAZ WHZ Women's height Women's weight Women's MUAC BMI
0.3393* 0.3620* 0.2445 0.2502
0.3575* 0.2183 0.1781 0.0533
0.0885 0.2701 0.1451 0.2947
Note: * = p = 0.01
As the women's nutritionalstatus may be influenced by parity, t-test were calculated for the relationship between parity and women's weight, BMI, MUAC and children's WAZ, HAZ and WHZ. It was found that none of the variable were influenced by parity (see table 6). Table 6. Means Difference of Women and Children Anthropometric Measurement related to Parity 5 Parity > 2 p P it 2 Women's weight 48.22 37.50 0.534 (ns) Women's height 148.21 148.65 0.647 (ns) Women's MUAC 23.21 22.58 0.068 (ns) BMI 21.97 21.47 0.215 (ns) WAZ -1.34 -1.11 0.356 (ns) HAZ -2.16 -2.25 0.794 (ns) WHZ -0.06 -0.30 0.284 (ns)
We also would like to see whether the short stature is caused by chronic nutritional inadequacies or genetically predetermined (table 7). There is a highly statistically significant differences between HAZ in baby and in children 1-4 years (p = 0.004). Table 7. Comparison of Anthropometric Measurement between Children 0-11 months and Children 1-4 years in Oksibil, 1993 0–11 Months 1–4 Years P Value WAZ HAZ WHZ
-0.8971 1-0.803 -1.3227±0.862 0.1130±0.994
-1.2774±1.114 -2.4289±1.382 0.2346±1.018
0.232 0.004 0.625
DISCUSSION The malnutrition rate in children 0-4 years in Oksibil is surprisingly low compared with other places in Central Highland Irian Jaya. As from table 1, 2, 3 and 4, it can be seen that malnutrition rate according to HAZ is very low (53.6%), to WAZ 23.8% and WHZ 2.4%. From these data, it could be said that at this moment, nutritional adequacies of children in Oksibil are good, but, there is a problem of chronic nutritional inadequacies causing poor growth of children 0-4 years in Oksibil (HAZ). The problem of chronic nutritional inadequacies is supported by the data from table 7. At first, children in Oksibil grow very well with HAZ (-1.3227); but, then, poor growth intervenes so that HAZ decrease to -2.4289 (p = 0.004). The nutritional inadequacies might be related to a low frequency of feeding - (two times daily), high infection rate (especially URI and malaria), the staple food itself (sweet potatobulky masses and low energy density) and the nutritional status of women (women's height and weight influenced the WAZ and HAZ of children 0-4 years in Oksibil). The malnutrition among lactating women in Oksibil is not very prevalent according to BMI (15.5%). But, according to MUAC (< 23.5 cm), the malnutrition rate is a bit high (58.3%), although it is still lower than the malnutrition rate in Tiom and in Bomela areat(5)(76.9% in Tiom with MUAC < 23.5 cm, 58.5% in .Bomela area with MUAC < 23 cm). This malnutrition problem in lactating women did not aggravated as the parity increases, it might be that the malnutrition has already present even without any pregnancy. REFERENCES 1. Anon. Overview of overweight. Medicine Digest Asia 1991; 9(2): 11–16. 2. Dean Ag, Dean JA, Burton AH, Dicker RC. Epi Info, Version 5: a word processing, database, and statistics program for epidemiology on microcomputers. Centers for Disease Control, Atlanta, Georgia, U.S.A., 1990. 3. World Health Organization. Measuring Change in Nutritional Status. Geneva: WHO, 1983. 4. Handali S. Malnutrisi Energi di kecamatan Tiom. Medika 1987. 5. Altena M, Voorhoeve HWA. Women in the Central Highlands of Irian Jaya, Indonesia. Unpublished report, 1992.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 59
Pengalaman Praktek
LHO KOK NGONO Sirkumsisi lumrah dijalankan oleh dokter praktek swasta. Tapi kalau yang saya ceritakan hanya masalah sirkumsisi saja itu kuno. Seperti biasanya sehari sebelum pelaksanaan sunatan, si anak saya surah periksa dulu dengan maksud apakah si anak laik sunat. Pada hari itu kebetulan 4 anak yang akan saya khitan, tiga anak berjalan mulus. Tiba giliran anak yang ke-4 : "apakah ini yang akan sunat pak?" kata saya. "Betul pak dokter," jawab si ayah. Kemudian si anak saya telentangkan penis saya periksa sebentar, keadaan semuanya baik, kemudian saya bersihkan dengan antiseptik di area sasaran. Sampai disini suasana adem-adem saja, tenang tanpa komentar. Sebentar kemudian saya ambil sunti"kan dan saya lakukan anestesi lokal. Suasana tetap tenang hanya di anak merem melek sedikit menahan sakit. Preputium kami jepit di dua tempat, skalpel bekerja secara cepat dan bret, preputium lepas dari penis. "Attoo." 'Wallah" "Ya Robbi." "Minta ampun." Demikian para pengiring si anak saling sahut menyahut dengan mimik yang berbedabeda, bingung, aneh, kecewa segala macam jadi satu. Seperti orang tanpa dosa begitulah saya saat itu, pekerjaan khitan segera saya selesaikan. "pak Dokter anak ini khitannya bukan hari ini tapi besok pagi" kata sang ayah agak memelas. "Lho la kok ngono , kenapa tadi saya bersihkan, saya suntik bapak diam saja" kilah saya agak kecewa. "Lho wong katanya pak dokter sehari sebelum dikhitan harus diperiksa dulu ya saya manut, berhubung saya orang awam yang namanya diperiksa itu yang bagaimana saya nggak ngerti, mungkin saja disuntik, dimasuki jepitan tadi merupakan rangkaian pemeriksaan. Setelah pisau maju baru saya sadar, tetapi sudah kebacut putus." Demikian si ayah menerangkan. Ya karena semuanya sudah terjadi, maka diambil kompromi sunatan dapat diterima tanpa biaya karena memang hari itu sang ayah tidak membawa uang sama sekali. Pratomo DW Pemalang
60 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
DIBULATKAN Setelah selesai memeriksa ' pasien. Pasien : "Dokter saya minta kwitansi (bukti pembayaran) dan tolong dibulatkan (dilebihkan)." Dokter : "apakah yang dibulatkan ?" (Berlagak tidak mengerti maksud pasien). Pasien : "Biasa dok, bulatkan saja tulisnya" (tanpa merasa malu). Dokter : (Dengan tenang "Enak saja cari untung dan dokter diatur-atur. Kalau penyakitnya dibulatkan oleh Tuhan baru deh kwitansinya juga saya bulatkan. Pasien : (Tekejut dan tak berani lagi berkomentar).
HAMIL DI BAWAH Seorang ibu muda primigravida, datang memeriksakan kandungannya. Primigravida : "Dokter, kok peranakan saya turun ? (sambil menunjukkan perut bagian bawah). Dokter . "(Setelah selesai pemeriksaan dengan fundus uteri 3 jari di bawah pusat dan ballotement positip) Kandungan ibu baik". Primigravida : (Tidak puas) Ini lho dokter, hamilnya kok di bawah (sambil menunjukkan kandungannya). Dokter (Mengerti maksud pasien) Kalau hamil muda, kandungannya memang teraba di perut bagian bawah dan bila bertambah umur kehamilannya, membesar ke bagian atas perut sampai di bawah rongga dada (diterangkan dengan gambar). Primigravida : Oh, saya kira kalau hamil di sini (menunjuk daerah pusat). Dokter : (Beginilah kalau a n a k kecil hamil). Emiliana Tji tra
Jak art a
Emiliana Tjitra Jaka rta DAMPAK PENINGKATAN UMUR KARENA AIDS HARAPAN HIDUP Di suatu pertemuan kedokteran, seorang dokter hewan terlibat pembicaraan Dalam suatu seminar kesehatan, dengan teman barunya. dialporkan bahwa umur harapan hidup "Apakah anda menyukai dengan bidang anda?" tanya teman Indonesia meningkat. Ini berarti pembarunya. "Ya, tentu saja ...!" jawab sang dokter hewan. bangunan kesehatan cukup berhasil. "Apa karena itu anda menjadi seorang dokter hewan?" tanya temannya Teman sejawat terkenal usil memkembali. "Tidak juga, di antaranya ya. Tetapi yang paling utama adalah bisiki saya : "Wah yang tua-tua pasti karena AIDS." "Lho! apa hubungannya dengan bidang anda?!" tanya senang, sedangkan kita kena dampaknya?" teman barunya heran. "Sebab dengan begitu, saya bebas dari AIDS." Menyadari tidak nyambung, ia berTajud bisikkembali : "Lapangan kerja menjadi in. lebih sulit terutama untuk yang mudaH muda. Kita menjadi anak kecil terus, Ja sedangkan yang tua-tua merasa muda ka terus." rt a Emiliana
Tjitra
Jakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 61
ABSTRAK LIGNOKAIN UNTUK TAKIKARDI VENTRIKULER Lignokain saat ini merupakan obat yang biasa digunakan untuk mengatasi takikardi ventrikuler, meskipun tidak selalu efektif. Para peneliti di Australia mencoba menggunakan sotalol untuk pasienpasien takikardi ventrikuler spontan tanpa henti jantung. Sejumlah 33 pasien (26 pria, 7 wanita) berusia 21–90 tahun yang mengalami takikardi ventrikuler secara acak mendapat 100 mg. lignokain iv. (16 orang) atau 100 mg. sotalol iv. (17 orang) diberikan dalam waktu 5 menit. Mereka yang masih mengalami takikardi ventrikuler setelah 15 menit, menerima obat jenis ke dua (cross-over). Analisis intention-to-treat menunjukkan bahwa sotalol lebih efektif daripada lignokain (69% vs. 18%, 95%CI untuk 51% perbedaan absolut: 22–80%, p = 0,003). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada analisis atas 31 pasien yang diagnosisnya diperkuat dengan EKG (69% vs. 20%). Masing-masing satu pasien dari tiap kelompok memerlukan kardioversi. Takikardi menetap pada 14 pasien kelompok lignokain dan pada 4 pasien kelompok sotalol setelah 15 menit; menghilang pada 7 (50%) pasien yang kemudian diberi sotalol, dan pada 1 (25%) pasien yang kemudian diberi lignokain. Terjadi masing-masing 1 kematian pada tiapkelompokdan 1 kematian padakasus yang menerima kedua obat tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sotalol lebih baik daripada lignokain dalam mengatasi takikardi ventrikel yang menetap. Lancet 1994; 344: 18–23
cotecxin yang mengandung dihidroartemisinin, suatu derivat artemisinin yang ke tiga, setelah artemisinin suksinat (sodium artesunat) dan artemisinin metileter (artemeter). Produk ini dipasarkan dalam bentuk tablet 20 mg., mempunyai mula kerja yang cepat, dapat menyembuhkan hampir semua kasus malaria dengan tingkat kekambuhan dan efek samping yang rendah. Obat ini juga dilaporkan efektif untuk pasien yang resisten terhadap klorokuin dan pada kasus malaria serebral. Scrip 1994; 1902:25 id
OMEPRAZOL DAN RANITIDIN UNTUK GASTRO-OESOPHAGEAL REFLUX Anak-anak penderita gastro-oesophageal reflux (GOR) oesophagitis berat yang tidak responsif terhadap ranitidin dosis konvensional, dapat diobati dengan ranitidin dosis tinggi atau ome prazol dengan basil baik. Demikian kesimpulan penelitian di Italia yang dilakukan atas 32 anak berusia 6 bulan 13 tahun yang menderita GOR oesophagitis. Selama 8 minggu anak-anak tersebut diobati denganomeprazo140 mg/ 1,73 m2/hari tiap pagi atau ranitidin 20 mg/kg.bb/hari dibagi dalam dua dosis pagi dan sore. Kedua cara itu dapat menurunkan keasaman lambung dan pengaruh asam pada oesophagus. Beberapa pasien memerlukan pengobatan jangka panjang. Inpharma 1994; 920:16 id
Hk
ANTIMALARIA BARU Para peneliti di Institute of Traditional Chinese Medicine telah mengembangkan antimalaria oral baru, yaitu
KOMBINASI GEMFIBROZIL DAN SIMVASTATIN Tujuhbelas pasien hiperkolesterolemi primer diberi simvastatin 20 mg/hari selama 8 minggu, diikuti dengan plasebo atau gemfibrozi1900 mg/hari selama 12
minggu berikutnya. Ternyata gemfibrozil dapat mempertahankan kadar kolesterol total dan LDL, sementara kadar HDL meningkat secara bermakna dan kadar trigliserida turun secara bermakna. Geinfibrozil mempertahankan rasio TC:HDL dan LDL:HDL yang dihasilkan oleh simvastatin. Inpharma (Oct.) 1993; 907: 15 id n
AUDIT PEMAKAIAN ANTIBIOTIKA DI UNIT PENYAKIT DALAM RSUP Dr. SARDJITO Pola pemakaian obat, khususnya antibiotika, di unit pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit, umumnya tergantung dari kebiasaan atau minat individu penulis resep. Sehubungan dengan itu dilakukan penelitian untuk meningkatkan rasionalitas pengobatan. Penelitian deskriptif dan eksperimental tanpa kelompok kontrol dilakukan dengan mengembangkan pedoman pemakaian antibiotika yang merupakan sarana intervensi untuk meningkatkan kerasionalan pemakaian. Kemudian dibandingkan antara pola pemakaian sebelum dan sesudah ada pedoman pengobatan. Dari 11 dokter yang diteliti, tercatat 7 orang yang mengikuti penelitian secara penuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 35,6% kekurangan sebelum pedoman dan 21% kekurangan sesudah pedoman. Jadi pedoman dan penilaian bersama yang dilakukan dapat menurunkan "kekurangan" pemakaian antibiotika. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan mutu pengobatan. Adanya proporsi kekurangan yang tetap dan lebih besar mungkin akibat pedoman itu sendiri atau proses audit masih perlu diperbaiki. I.M. Sunarsih, FPS-UGM, Yogyakarta, 1988
sS
ABSTRA K RESISTENSI DAN RELAPS TUBERKULOSIS Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, antara lain akibat adanya resistensi dan kemungkinan relaps Tarrant County di Texas, AS telah mengubah cara pengobatan dari pemberian obat biasa menjadi pemberian obat yang langsung diamati oleh petugas kesehatan sejak bulan November 1986. Pembandingan antara 407 pengamatan yang dilakukan sebelum November 1986 dengan 581 pengamatan yang dilakukan sesudah masa tersebut memperlihatkan bahwa meskipun terdapat peningkatan angka penyalahgunaan obat dan tunawisma, frekuensi resistensi primer turun dari 13% menjadi 6,7% (p<0,001) dan frekuensi resistensi didapat turun dari 14% menjadi 2,1% (p<0,001).. Angka relaps turun dari 20,9% menjadi 5,5% (p
OBAT ANTIEPILEPSI BARU Saat ini ada beberapa obat antiepilepsi baru yang sedang dikembangkan; lima di antaranya;vigabatrin, lamotrigin, gabapentin, felbamat dan oxkarbazin - telah luas dicoba dengan basil yang positif. Vigabatrin efektif terutama untuk epilepsi parsiil yang resisten, selain itu juga berguna untuk spasme infantil' tetapi mempunyai efek yang merugikan terhadap epilepsi mioklonik dan se-. rangan absence. Lamotrigin dan felba
mat agaknya efektif untuk epilepsi parsiil yang resisten. Bertambahnya obat antiepilepsi baru dengan mekanisme kerja yang berbeda memungkinkan pengobatan yang lebih spesifik dan kombinasi beberapa obat secara rasional.
Neurology 1993;43(2): 301-5 brw
Drugs 1993; 66(6):100924 Br w
PRESKRIPSI BENZODIAZEPIN Para dokter di Belanda cenderung lebih sering memberi preskripsi benzodiazepin kepada pasien-pasien wanita daripada pasien pria. Suatu survai menunjukkan bahwa wanita usia 4564 tahun menerima hampir dua kali lebih sering preparat benzodiazepin dibandingkan dengan pria dengan usia dan kelu.han yang sama (relative risk 1,88, 95%CI: 1,15-3,08). Benzodiazepin digunakan pada 10% populasi di Eropa dan di AS, sepertiga di antaranya penggunaan jangka panjang. Scrip 1993;1846:21 Brw PIRASETAM UNTUK ALZHEIMER Meskipun studi preklinik menunjukkan manfaat pirasetam dalam memperbaiki fungsi kognitif, penelitian atas . 33 pasien Alzheimer selama satu tahun secara buta ganda dengan plasebo menunjukkan bahiva pirasetam dengan dosis 8 gram/hari per oral tidak menghasilkan perbaikan klinis yang nyata. Pirasetam mungkin dapat memperlambat progresivitas penyakit dan dalam penelitian ini dapat memperbaiki daya ingat jangka pendek. Selain itu tidak ditemukan efek samping yang berarti.
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 63
RISIKO KEJANG BERULANG Sekelompok peneliti di AS mengadakan uji klinik multisenter atas 397 pasien berusia 2-70 tahun yang mengalami kejang untuk pertama kali (first unprovoked tonic-clonic seizure). Di antara 204 pasien yang langsung diberi pengobatan antiepilepsi (karbamazepin, fenitoin, fenobarbital atau asam valproat), 36 orang mengalami kejang berulang, sedang di antara 193 pasien yang tidak diberi pengobatan setelah kejang, 75 orang menderita kejang berulang. Perhitungan statistik menunjukkan bahwa risiko kumulatif dalam 24 bulan adalah sebesar 25% di antara kelompok
64 Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994
yang diobati, dan sebesar 51% di antara kelompok yang tidak segera diobati. Risiko relaps 2,8 kali lebih tinggi di kalangan yang tidak segera diobati. (95% CI : 1,9-4,2). Kejadian relaps ini tidak berkaitan dengan usia ataupun kelalaian EEG. Neurology 1993;43(3) ; 48388 br w
MEROKOK DAN ALZHEIMER Para peneliti di AS yang membandingkan 152 pasien Alzheimer dengan 180 kontrol dalam suatu populasi mendapatkan bahwa riwayat merokok berkaitan dengan risiko menderita penyakit Alzheimer yang
lebih kecil (odds ratio : 0,61; 95% CI : 0,37 - 0,99). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang makin tinggi dan adanya riwayat hipertensi akan makin mengurangi risiko. Fakta ini mungkin berhubungan dengan peranan reseptor nikotinik (kolinergik) di dalam otak. Meskipun demikian merokok tetap tidakdapatdianjurkan sebagai salah satu cara untuk mengurangi risiko menderita penyakit Alzheimer. Neurology 1993;43(2): 293-300 brw
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Gejala menahun filariasis akan muncul setelah : a) 1 – 5 tahun b) 5 – 10 tahun c) 10 – 15 tahun d) 15 – 20 tahun e) 20 – 25 tahun 2. Gejala tersebut berupa hal di bawah ini, kecuali : a) Hidrokel b) Hematuri c) Chyluria d) Elefantiasis e) Tanpa kecuali 3. Filaria terutama menyerang sistim : a) Limfatik b) Pembuluh darah c) Sel darah d) Otot e) Saraf 4. Penularan parasit filaria dapat melalui nyamuk : a) Culex spp. b) Anopheles spp. c) Aedes spp. d) Mansonia spp. e) Semua bisa 5. Hidrokel terutama ditemukan sebagai gejala dari : a) Filaria bancrofti b) Filaria malayi c) Filaria timori d) Mikrofilaremi e) Hipereosinofili 6. Pengobatan filariasis dengan dietilkarbamazin mempunyai hambatan berupa :
a) Dosis sulit ditentukan b) Efek samping yang berat c) ()bat diberikan parenteral d) Adanya resistensi e) Semua benar 7. Di laboratorium, filaria/mikrofilaria dipelihara/dibiakkan dalam binatang : a) Tikus (rat) b) Tikus gurun (jird) c) Marmot d) Hamster e) Kelinci 8. Jenis schistosoma yang ditemukan di Indonesia : a) S. japonicum b) S. mansoni c) S. haematobium d) Semua ditemukan e) Semua salah 9. Kecenderungan pembentukan kista di otak ditemukan pada penyakit : a) Filariasis b) Malaria c) Taeniasis d) Schistosomiasis e) Fasciolopsiasis 10. Hematuri merupakan salah satu gejala dari : a) Filariasis b) Taeniasis c) Schistosomiasis d) Fasciolopsiasis e) Semua salah
Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994 65