Catatan Untuk Seorang Kawan Satu hal yang ingin saya tulis, bahwa ternyata, harapan-harapan itu, bisa menjadi sebuah semangat tersendiri untuk tetap merangkai waktu dalam hidup, walau itu juga bisa berarti awal dari sebuah keterhempasan yang menyakitkan, Sunyi yang tinggal di jiwaku, telah sedemikian menciptakan suasana dalam hatiku untuk menghidupkan bendabenda di sekitar ruang keberadaanku, menjadikannya sahabat-sahabat setia yang sangat menyenangkan ketika mereka kusaksikan seolah benar-benar mengabdi dan memberikan cintanya padaku, sedemikian hidup kurasakan mereka dalam jiwaku, kondisi ini membuatku menyayangi dan mencintainya, ketika aku hanya bisa berbicara terhadap diriku sendiri, dan kusaksikan mereka menyadari diriku sepenuh apa adanya, Jiwaku yang menghendaki kebebasan dalam hidupku, kusadari untuk siap menerima segala konsekuensi, bahkan kalau akhirnya aku harus jauh dari jiwa-jiwa, Coretan-coretanku ini, siapa tahu bisa berguna bagimu, ketika suatu saat nanti jiwaku telah terlepas dari keberadaan bumi, dan engkau ingin mengurai kembali tentang perjalanan hidupku, Mungkin engkau bisa menulis, bahkan ia (aku) adalah sepotong jiwa yang senantiasa kesepian, yang sadar bahwa semua itu akibat dari hasratnya yang menggebu untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginan yang membakar jiwanya, Ia-lah jiwa yang senantiasa memendam hasrat cintanya dalam perih dan kembali menemukan sunyi ketika semua itu terbang dari sisinya, Ia-lah jiwa yang teramat malu untuk berurusan dengan segala kemajuan dan keanekaragaman zaman, dan ingin benar-benar menikmati hidup sesuai dengan kebebasan yang ia damba, Ia-lah jiwa yang berharap bahwa cinta adalah penyatuan keindahan, walau itu hanya sempat hidup dalam bayang khayalnya, ketika jiwa-jiwa pergi dari hadapan wajah hidupnya, dan menganggap bahwa kesatuan dengannya adalah terlalu memalukan untuk dihadapkan pada wajah bumi, Ia hanyalah seorang bocah yang tidak memiliki pegangan, atau sebenarnya bukan itu, ketika ia telah mengetahui semuanya, dan merasakan bahwa semua itu tak memuaskannya, dan akhirnya ia lalaikan, untuk mencari jalan sendiri, Ia-lah jiwa yang teramat malu dengan kesegaran, atau apapun namanya, ketika ternyata ia tak membutuhkan semuanya, atau bisa jadi karena ia tak mampu memilikinya untuk ia rangkul di ketiak jiwanya, Atau engkau bisa menuliskan bahwa jiwaku yang memendam perih dari hari ke hari , sedemikian larutkan hidupku dalam ketiadaan pada setiap detiknya yang berlalu dalam tatapan kosong mata jiwaku, yang ku tak tahu lagi, entah sudah kemana perginya, Bahwa aku adalah jiwa yang tidak sabar untuk mendapatkan kebaikan itu mampir dihadapan wajah hidupku, sehingga mengajakku untuk mencari dalam ruang jiwaku sendiri dan segera raih itu di tanganku, Atau ketika sepotong jiwa menegurku, dan kurasakan itu sebagai sebuah godam yang menikan diriku, setelah ku tahu, bahwa dalam hidupku tak pernah kurasakan jiwa-jiwa menyakitiku sedemikian, dan kusadari bahwa aku tak pernah mengusik kediaman jiwanya, Bahwa jiwaku adalah jiwa yang tak bisa membedakan mana yang sebenarnya kenyataan dan mana yang semuanya khayalanku semata, dan kondisi ini memaksaku untuk berfikir , apakah aku sedemikian pantas hidup bersama jiwa-jiwa , ketika kutemukan jiwaku tak sebagai mana jiwa mereka, Bahwa aku adalah jiwa yang bodoh , pemalas, namun penuh cinta, walau aku tak tahu akan hakekat cinta, selain bahwa cinta itu biarlah cinta saja, cinta itu biar tumbuh begitu saja, dan jangan ia dibebani dengan beragam syarat yang memberatkan jiwanya, Atau aku adalah jiwa yang sedemikian hidup dalam kebohongan, yang semua itu hanyalah bayangan dari khayal ketakutanku saja, Atau engkau akan mengatakan bahwa aku adalah sekuntum jiwa yang terlalu mendamba sebuah mikjizat untuk hidup dalam jiwaku, Atau engkau bisa mengatakan bahwa aku adalah jiwa yang sengaja memelihara lapar dalam tubuhku, dan kautak bisa berbuat apa-apa terhadap keputusanku ini, dan akhirnya engkau membenci diriku, ketika melihatku tak
berbuat apa-apa untuk itu, apalagi berkaitan dengan nasehatmu, Mungkin aku hanyalah sepotong jiwa kerdil yang mendamba hidup di awan-awan dan sedemikian kurasakan jiwaku telah terbang, walau aku sadar, bahwa kakiku masih sebagaimana manusia lain, mengenakan terompah dan menginjak lantai bumi, Atau aku sebenarnya adalah jiwa yang teramat miskin yang tak bisa mengandalkan apa-apa selain belas kasih alam yang mungkin suatu saat tiba-tiba berpihak padaku, memberiku inspirasi, sebuah keindahan.