LAPORAN KASUS ANAK
SEORANG BAYI LAKI-LAKI DENGAN DISTRESS RESPIRASI
Pembimbing : dr. Raden Setiyadi Sp.A
Disusun oleh : Mutiara Putri Elda E 030.11.203 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH PERIODE 21 JANUARI 2017 – 1 APRIL 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi laporan kasus dengan judul “Seorang Bayi Laki-laki Dengan Distress Respirasi”
Penyusun: Mutiara Putri Elda Effriant 030.11.203
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 21 Januari 2017 – 1April 2017
Tegal, Maret 2017
dr. Raden Setiyadi, Sp.A
BAB I STATUS PASIEN STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Mutiara Putri Elda Effriant
Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A.
NIM
Tanda tangan :
: 030.11.203
I. IDENTITAS PASIEN Data
Pasien
Ayah
Ibu
Nama
An. A
Tn S
Ny. A
Umur
1 hari
39 tahun
32 tahun
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Jenis Kelamin Alamat
Tegal Wangi RT 17/ RW 05
Agama
Islam
Islam
Islam
Suku Bangsa
Jawa
Jawa
Jawa
Pendidikan
-
Pekerjaan
-
Wiraswasta
Ibu Rumah Tangga
Penghasilan
-
Rp 1.500.000,-
-
Keterangan
SD
Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi
BPJS
No. RM
868822
Tanggal masuk RS
SD
03 November 2016
II. ANAMNESIS Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ibu pasien (Ny. A, 30 tahun) pada tanggal 24 Maret 2017 di Perina RSU Kardinah pukul 14.00 WIB. Keluhan Utama Tampak Sesak
Keluhan Tambahan -
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien seorang bayi laki-laki berusia 0 hari datang ke ruang Dahlia RSUD Kardinah pada tanggal 23 Februari 2017 dari ruang Mawar RSUD Kardinah dengan keluhan utama tampak sesak 9 menit setelah bayi lahir. Menurut perawat os lahir dengan cara Sectio Caesaria atas indikasi bekas Caesar 1 kali, pada pukul 08:06 dengan ketuban jernih, kulit akrosianosis dan langsung menangis kencang, serta tonus otot yang baik. Os tampak sesak, pola nafas ireguller, tampak nafas cuping hidung, dan terdapat retraksi. Kemudian pasien di konsul kan ke dokter spesialis anak dan dilakukan pemasangan CPAP.
Riwayat Penyakit Dahulu Belum dapat dievaluasi. Riwayat Penyakit Keluarga Orang tua pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat hipertensi, asma maupun penyakit jantung bawaan. Riwayat penyakit batuk-batuk lama atau pengobatan flek paru juga disangkal.
Riwayat Lingkungan Rumah Pasien akan tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan 3 saudara kandungnya dirumah pribadi. Rumah berada di kawasan yang padat penduduk dengan luas 15 meter x 10 meter. Tempat tinggal pasien memiliki 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan 1 dapur. Rumah memiliki 5 jendela yang selalu dibuka setiap pagi. Atap dari genteng. Penerangan dengan listrik. Air berasal dari air PAM. Jarak septic tank kurang lebih 10 meter dari sumber air. Air limbah rumah tangga disalurkan melalui selokan di depan rumah. Ada hewan peliharaan burung dirumah. Kucing dan anjing tidak ada. Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah baik.
Riwayat Sosial Ekonomi Ayah seorang wiraswasta dengan penghasilan per bulan Rp 1.500.000 dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga. Orangtuanya menanggung kebutuhan ke 4 orang anaknya. Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang.
Riwayat Kehamilan dan Prenatal Ibu os berusia 32 tahun saat mengandung pasien. Ibu os rutin memeriksakan kehamilannya secara teratur satu kali setiap bulan dibidan. Ibu tidak pernah mendapatkan suntikan TT. Riwayat darah tinggi, kencing manis, perdarahan selama hamil, kejang, traum, keputihan, pijat saat hamil disangkal. Selama hamil, ibu makan 2- 3 kali sehari, berupa nasi, dengan variasi telur atau ikan ibu pasien mengaku tidak mengkonsumsi sayuran dan susu. Kesan: riwayat prenatal kurang baik
Riwayat Kelahiran Tempat kelahiran
: RSUD Kardinah
Penolong persalinan : dr. Indrawan Sp.OG Cara persalinan
: Sectio Cesaria
Masa gestasi
: 39 minggu pada G4P3A0
Keadaan bayi
Berat badan lahir
Panjang badan lahir : 46 cm
Lingkar kepala
: 34 cm
Keadaan lahir
: Langsung menangis, kulit akrosianosis, dan tonus otot baik
Nilai APGAR
: 7-7-8
Plasenta
: Tidak terdapat lilitan tali pusat pada saat kelahiran
Kelainan bawaan
: Tidak ada
Penyulit
: Tidak ada
Air ketuban
: Jernih
Suntik Vit K
: Sudah
Kesan: neonatus preterm, dengan lahir secara SC a/i bekas SC, bayi dalam
: 2500 gram
keadaan bugar.
Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di rumah sakit.
Corak Reproduksi Ibu Ibu P4A0, pasien merupakan anak keempat berjenis kelamin laki-laki. Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien mengaku saat ini tidak menggunakan kontrasepsi.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan: Berat badan lahir 2500 gram. Panjang badan lahir 46 cm. Lingkar kepala 34cm. Perkembangan: Belum dapat dievaluasi.
Riwayat Imunisasi VAKSIN
ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG
-
-
-
-
-
-
-
DTP/ DT
-
-
-
-
-
-
-
POLIO
-
-
-
-
-
-
-
CAMPAK
-
-
-
-
-
-
-
HEPATITIS B
-
-
-
-
-
-
-
Kesan
: Pasien belum diimunisasi
Silsilah Keluarga
Keterangan :
= Laki-laki
III. PEMERIKSAAN FISIK
= Perempuan
= Pasien
Pemeriksaan dilakukan di Ruang Perinatologi Bangsal Dahlia RSU Kardinah Tegal pada hari Jumat tanggal 24 Maret 2017 pukul 15.00 WIB. A. Kesan Umum a. Kesan Umum Menangis
: Kuat
Gerak
: Aktif
Retraksi
: (+)
Kejang
: (-)
Sianosis
: (-)
Pucat
: (-)
Ikterik
: (-)
B. Tanda Vital
Nadi
: 139 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas
: 84 x/menit, reguler.
Suhu
: 36,3˚C
Tekanan darah
: Tidak dilakukan pemeriksaan
SpO2
: 99%
C. Data Antropometri
Berat badan
Panjang badan : 46 cm
: 2360 gr
D. Status Generalis
Kepala
: mesosefali, LK : 34 cm, UUB teraba datar, tegang (-), molase (+), Kaput suksedaneum (-), sefal hematom (-)
Rambut
: berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut
Wajah
: Normal, simetris
Mata
: Mata cekung (-/-), edema palpebra (-/-) : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : Katarak kongenital (-/-),glaukoma kongenital (-/-)
Hidung
: bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)
Telinga
: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-), recoil (segera/segera)
Mulut
: bibir kering (-), bibir sianosis (-), trismus(-)
Labioschizis (-), palatoschizis (-)
Leher
: Simetris, tumor (-), tanda trauma (-)
Kulit
: warna kulit merah muda, lanugo (+) banyak, turgor kulit baik
Thorax
:
Paru
Inspeksi
: Bentuk dada simetris kanan dan kiri : Kulit merah muda, tidak ada efloresensi bermakna : Sternum dan iga normal : Retraksi substernal (+) : Gerak napas simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal
Palpasi
: Simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal,
Areola mammae penuh, benjolan 1-2 mm
Perkusi
: Pemeriksaan tidak dilakukan
Auskultasi
: Vesikuler (+/+), ronki basah halus(-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi
: Iktus kordis tidak tampak
Palpasi
: Iktus kordis tidak teraba
Perkusi
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-). Abdomen
Inspeksi
: datar, tali pusat terawat
Auskultasi
: Bising usus (+)
Palpasi
: Supel, datar, distensi (-), turgor kulit baik
Perkusi
: tidak dilakukan
Vertebrae
: Spina bifida (-), meningocele (-)
Genitalia
: Jenis kelamin laki-laki
Anorektal
: anus (+), diaper rash (-)
Ekstremitas
: keempat ekstrimitas lengkap, simetris
Superior
Inferior
Akral Dingin Akral Sianosis CRT Oedem Tonus Otot Trofi Otot Ref. Fisiologis Ref. Patologis
-/-/<2” -/Normotonus Normotrofi + -
Refleks primitif a) Refleks Oral Refleks Hisap
: (+)
Refleks Rooting
: (+)
b)
Refleks Moro
: Tidak dilakukan
c)
Refleks Palmar Grasp : (+)
d)
Refleks Plantar Grasp : (+)
IV. PEMERIKSAAN KHUSUS
1.
Maturitas Bayi (Lubchenko)
Berat badan lahir
: 2500 gr
Usia kehamilan
: 39 minggu
-/-/<2” -/Normotonus Normotrofi + -
Kesan
: Neonatus Aterm, kecil untuk masa kehamilan
2.
New Ballard Score
New Ballard score
= maturitas fisik + maturitas neuromuskular
= 16 + 13 = 29 usia ± 36 minggu
3.
Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan dengan kurva nellhaus karena hasil dari perhitungan ballard score pasien didapatkan hasil pasien Preterm.
4.
Kurva Fenton Berat Badan Sekarang: 2360 gram Panjang Badan: 46 cm Lingkar Kepala: 34 cm
Panjang badan lahir dan lingkar kepala menurut kurva Fenton sesuai usia bayi, namun untuk berat badan di dapat berat badan bayi BBLR
5.
Downe Score (Ruangan Dahlia) 0
1
2
Frekuensi Napas
< 60 x/menit
60-80 x/menit
> 80 x/menit
Retraksi
Tidak ada retraksi
Retraksi ringan
Retraksi berat
Sianosis
Tidak sianosis
Sianosis hilang
Sianosis menetap
dengan O2
walaupun diberi O2
Udara masuk
Penurunan ringan
Tidak ada udara
bilateral baik
udara masuk
masuk
Dapat didengar
Dapat didengar
dengan stethoscope
tanpa alat bantu
Air Entry
Merintih
Tidak merintih
Downe score 4 Distress pernafasan
1.
Bell Squash Score o Partus tindakan (SC, vakum, sungsang) o Ketuban tidak normal o Kelainan bawaan o Asfiksia o Preterm o BBLR o Infus tali pusat o Riwayat penyakit ibu o Riwayat penyakit kehamilan Bell Squash score 1 observasi neonatal infeksi
7 Faktor Resiko Pemberian Antibiotik Bayi Baru Lahir Untuk Infeksi
Demam pada ibu > 38o C
Ketuban pecah > 18 jam
Nyeri tekan uterus
Air ketuban hijau kental
Berbau
Bila ada salah satu faktor risiko dan ibu mendapat antibiotik < 4 jam maka beri ampicillin dan gentamicin sesuai protokol, namun pada pasien tidak terdapat factor resiko seperti diatas.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 23/03/2017 Pukul 15.44 WIB
Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Eritrosit KRDW k MCV MCH k MCHC k GDS k CRP
Hasil
Hematologi Satuan
12,3 (↓) 15,7 35,9(↓) 278 3,4(↓) 16,9(↑) 107,2 36,7 34,2 864(↑) Negative
g/dL 103/uL % 103/uL 106/uL % U Pcg g/dl mg/dl mg/dl
Rujukan 15,2 – 23,6 13,0 – 38,5 44 – 72 217 – 497 4,3 – 6,3 11,5 – 14,5 98 – 122 33 – 41 31 – 35
Pemeriksaan baby gram (20.02.2017)
Kesan: HMD grade 2 BNO tak Nampak kelainan
VI.
RESUME Pasien seorang bayi laki-laki berusia 0 hari datang ke ruang Dahlia RSUD Kardinah pada
tanggal 23 Februari 2017 dari ruang Mawar RSUD Kardinah dengan keluhan utama tampak sesak 9 menit setelah bayi lahir. Menurut perawat os lahir dengan cara Sectio Caesaria atas indikasi bekas Caesar 1 kali dengan usia kehamilan 39 minggu. Pasien lahir pada pukul 08:06 dengan ketuban jernih, kulit akrosianosis dan langsung menangis kencang, serta tonus otot yang baik. Apgar score 7-7-8 dengan berat lahir 2500 gram dan air ketuban jernih. 9 menit setelah dilahirkan Os tampak sesak, pola nafas ireguller, tampak nafas cuping hidung, dan terdapat retraksi. Kemudian pasien di konsul kan ke dokter spesialis anak dan dilakukan pemasangan CPAP. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan saat hari ke 2 pasien dirawat, didapatkan keadaan umum pasien menangis kuat, gerak aktif, namun tampak sesak., pemeriksaan tanda vital dengan nadi : 139 x/menit, reguler, kuat, isi cukup, laju nafas: 84 x/menit, regular, suhu : 36,3˚C, berat badan sekarang : 2360 gr, panjang badan : 46 cm dengan status neonatus aterm, dan kecil masa kehamilan menurut Lubchenko. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan new ballard score menunjukkan os berusia 36 minggu (preterm). Lingkar kepala dan panjang badan sesuai dengan usia bayi menurut kurva fenton , namun berat badan bayi didapat rendah dari usia bayi. Pada perhitungan Downe score didapat score 4, terdapat distress pernapasan ringan. Bell squash score = 1 observasi neonatal infeksi. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan peningkatan nilai RDW dan GDS pasien juga tinggi, serta penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan eritrosit. Sedangkan pada pemeriksaan rontgen didapat kesan HMD Grade 2.
VII.
MASALAH
Tampak sesak
Nafas > 80x
Retraksi substernal
Kecil masa kehamilan
Hasil perhitungan Ballard score 36 minggu
Hasil Pengukuran berat badan didapat rendah dari kurva fenton
VIII. DIAGNOSA KERJA Distress Respirasi Neonatus Preterm kecil Masa Kehamilan
IX.
DIAGNOSIS BANDING Gangguan pernapasan
- Faktor Intrapulmonal 1.HMD 2.Aspirasi Mekonium 3.TTN (Transient Tachypnea of the new born) 4.Pnemonia 5.Displasia Bronkopulmoner - Faktor Ekstrapulmonal 1.Hernia Diagfragmatika 2.Gagal Jantung kongestif 3.Sumbatan Jalan Napas 4.Syok 5.Instabilitas suhu tubuh - Faktor Metabolik 1.Asidosis 2.Kelainan susunan saraf pusat
Neonatus Preterm
- SMK(Sesuai Masa Kehamilan) - BMK(Besar Masa Kehamilan ) - KMK(Kecil Masa Kehamilan)
X. PENATALAKSANAAN Medikamentosa: IVFD D10% + Ca Glukonat 20cc diberikan 8 tpm Inj. Neo K 1 x 1 mg Inj. Pycin 2 x 150 ml Inj. Aminophilin 2 x 4 mg
Non-medikamentosa Diet ASI / PASI 8 x 5 cc O2 CPAP – PEEP 7 FiO2 30% Rawat intensif monitor keadaan umum dan tanda vital Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
XI.
PROGNOSA Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: dubia ad bonam
XII. PERJALANAN PENYAKIT
S
O
23 Maret 2017 pkl. 09.30 WIB (R. Dahlia) Hari Perawatan ke-0 Demam(-) Kejang (-)Tampak sesak (+), S BAB (-), BAK (-), pucat (-), kuning (-), biru (-), ASI (-), R.Hisap (+) KU: Tampak sakit sedang, sesak, gerak O aktif, menangis kuat, retraksi (+) TTV: HR 145x/m, RR 80x/m, S 36,2 0C, SpO2 : 93% Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (+) Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (-/-) Hidung : Nafas cuping hidung (-) Toraks: Retraksi substernal (+), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-) Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) , Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT 2 detik. DS: 4
A
-Neonatus Preterm -Distress Respirasi
A
P
• Pasang CPAP PEEP 7, FiO2 30%
P
• IVFD D10% + Ca Glukonat 20 cc 8 tpm
24 Maret 2017 pkl. 06.00 WIB (R. Dahlia) Hari Perawatan ke-1 Demam (-), kejang (-), sesak (+), BAB (), BAK (-), pucat (-), kuning (-), biru (-), ASI (-), R.Hisap (+) KU: Compos mentis, menangis kuat, tampak sesak, TSS, Gerak aktif, retraksi (+) TTV: HR 139x/m,RR 82x/m, S 36,30C SpO2 : 99% Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (+) Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (-/-) Hidung : Nafas cuping hidung (-) Toraks: Retraksi subcostae (+/+), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-) Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT 2 detik. Kebutuhan Cairan : 188,8 cc/hari DS: 4 Terpasang CPAP PEEP 7, FiO2 30% Distress Respirasi BBLR Neonatus Preterm • Pasang CPAP PEEP 7, FiO2 30% • IVFD D10% + Ca Glukonat 20 cc 8 tpm
• Inj Pycin 2 x 150 ml
• Inj Pycin 2 x 150 ml
• Inj.Aminophilin 2 x 4 mg
• Inj.Aminophilin 2 x 4 mg
• Inj. Neo K 1 x 1 mg
• Inj. Neo K 1 x I mg
BAB II ANALISA KASUS Pasien bayi laki-laki usia 1 hari, dengan diagnosis distress respirasi, diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis distress respirasi berdasarkan anamnesis pasien didapat pasien terlahir dengan bugar, langsung menangis, tonus otot cukup kuat namun 9 menit setelahnya berdasarkan hasil anamnesis didapat pasien tampak sesak, pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak sesak dengan nafas cepat, 80x/menit dan terlihat retraksi pada substernal pasien. Diagnosis preterm didapat dari hasil ballard score dimana hasil perhitungan pada pasien berusia 36 minggu serta dilihat dari klinis pasien tampak preterm, pada hasil perhitungan kurva fenton didapat berat badan bayi rendah dari umur. Prognosis ad vitam pada pasien adalah dubia ad bonam karena gangguan napas yang dialami pasien adalah gangguan nafas ringan, maka dengan pengobatan tepat maka pasien dapat sembuh dan tidak menimbulkan kematian. Sedangkan pada ad sanationam adalah ad bonam sedangkan pada ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena dengan penatalaksaan awal yang cepat kurang dari 3 bulan maka belum didapatkan kerusakan lebih lanjut pada fungsi otak akan tetapi masih besar kemungkinan didapatkan kelainan seiring dengan perkembangan anak.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Definisi
Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark 1986). Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak, 2005). Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005).
Penyebab Gangguan Nafas pada BBL RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan
pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, sectio caesaria. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
Etiologi
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34 minggu. Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Surfaktan tampak dalam cairan amnion antara 28 dan 32 minggu. Kadar surfaktan yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi. Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) – 80 %, phosphatidylglycerol – 7 %, phosphatidylethanolamine – 3 %, apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II.(9) Protein merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin.
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.
Epidemiologi Respiratory Distress syndrome merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Di Amerika Serikat diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya. RDS pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. RDS lebih jarang ditemukan di Negara berkembang dibanding lainnya, terutama karena sebagian besar infant premature yang kecil untuk masa kehamilan mengalami stress didalam rahim karena diinduksi oleh hipertensi. Tambahan, juga dikarenakan padawilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan didalam rumah, sehingga pencatatatannya buruk Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami RDS. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Patofisiologi Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang
sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Manifestasi Klinis
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak nafas pada
bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu : pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, kedua, bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru. ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Score Downes : 0
1
2
< 60 x/menit
60-80 x/menit
> 80 x/menit
Retraksi
Tidak ada retraksi
Retraksi ringan
Retraksi berat
Sianosis
Tidak sianosis
Sianosis hilang
Sianosis menetap
dengan O2
walaupun diberi O2
Air Entry
Udara masuk
Penurunan ringan
Tidak ada udara
udara masuk
masuk
Merintih
Tidak merintih
Dapat didengar
Dapat didengar
dengan stethoscope
tanpa alat bantu
Frekuensi Napas
Skor < 4
gangguan pernafasan ringan
Skor 4 – 5
gangguan pernafasan sedang
Skor > 6
gangguan pernafasan berat (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
Penunjang / Diagnostik a. Pemeriksaan Foto Thorax
Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari.
Gambar 2. RDS klasik. Thoraks berbentuk seperti lonceng karena aerasi tidak adekuat ke seluruh bagian paru. Volume paru berkurang, parenkim paru menunjukkan pola retikulogranular difus, serta adanya gambaran air bronchogram sampai ke perifer.
Gambar 3. RDS sedang. Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi secara uniform. Paru mengalami hipoaerasi disertai peningkatan air bronchogram.
Gambar 4. RDS berat. Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air bronchogram nyata, gambaran jantung sukar dinilai. Terdapat area kistik di paru kanan, menunjukan alveoli yang berdilatasi atau awal dari pulmonary interstitial emphysema (PIE). b. Laboratorium Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi. c. Echocardiografi Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. d. Pemeriksaan darah untuk skrining sepsis : termasuk pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan elektrolit. Pemeriksaan
Kegunaan
Kultur darah
Menunjukkan keadaan bakteriemia
Analisis gas darah
Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa
Glukosa darah
Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat menyebabkan atau memperberat takipnea
Rontgen toraks
Mengetahui etiologi distress nafas
Darah rutin dan hitung jenis Leukositosis menunjukkan adanya infeksi Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri
Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis Pulse oximetry
Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen
Diagnosis banding a. Pneumonia neonatal Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.
b. Transient Tachypnea of The Newborn Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan.
c. Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan.
Tatalaksana
Penatalaksanaan Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi : 1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat. 2) Mempertahankan keseimbangan asam basa. 3) Mempertahankan suhu lingkungan netral. 4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat. 5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum : a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga kepatenan jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu o Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan o Lakukan penilaian lanjut c. Bila terjadi kejang potong kejang d. Segera periksa kadar gula darah e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
Gangguan nafas ringan Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.2 Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis. o Suhu aksiler > 39˚C
o Air ketuban bercampur mekonium o Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam) Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam. Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar sepsis. Jika suhu normal, pantau bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tandatanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi O2 secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
Gangguan nafas berat Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis: Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah: Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru Fenobarbital Vitamin E menurunkan produksi radikal bebas oksigen
Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992) Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ). Sedangkan sumber lain mengatakan, terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia. Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting. Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU
1. Resusitasi di tempat melahirkan Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya hipotermia dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada pada batas minimum. Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan. Pemberian obat selama resusitasi :
Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi, dosis ketiga dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila situasi sangat buruk.
Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20 mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.
Volume expander 10 ml/kg
Algoritma diagnosis dan Tatalaksana Gagal nafas pada Neonatus Neonatus dengan distress nafas Berat (PCH, grunting, apneu, sianosis Ringan (Takipneu ringan)
Resusitasi: • Bersihkan jalan nafas, hisap lendir (suction) • Pemberian oksigen , pasang OGT Disesuaikan • Pasang akses intra vena : menurut usia • D10% 60 ml/kgBB • Ca-Gukonas 10% 6-8 ml/kgBB • Monitor temperatur • Monitor saturasi • Rontgen toraks (Bila memungkinkan)
Evaluasi menggunakan skor Downes
Perbaikan klinis
YA
Observasi 30 menit Membaik
TIDAK ( Ancaman gagal nafas/DS≥6) • •
Intubasi Pemberian antibiotik spektrum luas:
Ampicillin & Gentamicin (inisial) •
Pemeriksaan penunjang:
Darah rutin & hitung jenis, AGD, GDS, elektrolit, rontgen toraks •
Konsul NICU/rujuk ke RS yang memiliki NICU
Hasil AGD: Asidosis metabolik/respiratorik Bila pH ≤ 7,25 NaBikarbonat 1-2 mEq/kgBB dlm 30 menit
Hipoglikemi bolus D10% 2cc/kgBB, dilanjutkan infus kontinyu kec 6-8 mg/kgBB/mnt Hiperglikemi kuranngi konsentrasi infus glukosa (D5%)
Perawatan di NICU
TIDAK • • •
YA
Pemberian O2 dilanjutkan Monitoring saturasi Rontgen toraks
Evaluasi menggunakan skor Downes
Perawatan bayi rutin
Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.
2. Surfaktan Eksogen Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari paru sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan oksigen alveoli – arteri dalam 48 – 72 jam pertama kehidupan, menurunkan tidal volume ventilator, meningkatkan compliance paru, dan memperbaiki gambaran rontgen dada. Pemberian surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun tidak berpengaruh terhadap insidensi PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Terdapat penigkatan insiden perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %. Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan pulse oxymetri. Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta,
ekstrak
dari
paru-paru
sapi
dengan
penambahan
3
jenis
lipid
(phosphatidylcholine, asam palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan SP-C dengan proporsi yang berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung
protein.
Exosurf
merupakan
gabungan
phospholipid
dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol, diberikan 5 ml/kg.
Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara alveolus. ALEC (artificial
lung
expanding
compound)
merupakan
gabungan
DPPC
and
phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang sedang diteliti adalah Infasurf (alami) Komplikasi pemberian surfaktan antara lain hipoksia transien dan hipotensi, blok ETT, dan perdarahan paru. Perdarahan paru terjadi akibat menurunnya resistensi pambuluh darah paru setelah pemberian surfaktan, yang menimbulkan pirau kiri ke kanan melalui duktus arteriosus. 3. Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 – 70 mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen dengan konsentrasi 70%, merupakan indikasi menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP). Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit, gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan kateterisasi arteri umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk memantau oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi informasi berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti pneumotoraks, juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 – 80 mmHg, dan Sa O2 antara 90 – 94 %. Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP). Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto rontgen setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas bifurkasio aorta atau di atas aksis celiaca (T6 – T10). Penempatan harus dilakukan oleh orang yang ahli. Kateter harus diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %. Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH adalah bagian yang penting dari penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal –
hal tersebut harus dilakukan. Darah diabil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan kontra indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu dipantau dari elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi oksigen). Darah kapiler tidak berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk memantau PCO2 dan pH. 4. Fluid and Nutrition Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus (PDA). Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapt menurunkan insidensi NEC. 5. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 <>> 50%. Pemakainan secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai analisa gas darah yang memuaskan. CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan. 6. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2
(fractional
concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. Derajat distress pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan. Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan. 7. Keseimbangan asam basa Asidosis respiratoar mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek atau jangka panjang. Pada asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia, terapi dengan sodium karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. Asidosis metabolik harus dicegah karena dapat menggangu produksi surfaktan, meningkatkan resistensi pembuluh darah paru, dan memberi pengaruh buruk pada sistem cardiovaskular. Meski demikian infus cepat sodium bikarbonat harus dihindari karena meningkatkan insidensi perdarahan intraventrikular. Asidosis metabolik pada HMD bisa merupakan hasil asfiksia perinatal, sepsis, perdarahan intraventrikular dan hipotensi (kegagalan sirkulasi), dan biasanya muncul saat bayi telah membutuhkan resusitasi. Sodium bicarbonat 1 – 2 mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama 10 – 15 menit melalui vena perifer, dengan pengulangan kadar asam – basa dalam 30 menit atau dapat pula diberikan selama beberapa jam. Sodium bikarbonat lebih sering diberikan pada kegawatan melalui kateter vena umbilikalis. Terapi alkali dapat menimbulkan kerusakan kulit akibat terjadinya infiltrasi, peningkatan
osmolaritas serum, hipernatremia, hipokalsemia, hipokalemia, dan kerusakan hepar bila larutan berkonsentrasi tinggi diberikan secara cepat melalui vena umbilikalis. 8. Tekanan darah dan Cairan Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena umbilikalis atau oscillometric dapat berguna dalam menangani keadaan yang menyerupai syok yang dapat muncul selama 1 jam atau lebih setelah kelahiran prematur dari bayi yang telah mengalami asfiksia atau mengalami distres nafas. Monitor tekanan darah arteri diperlukan. Hipotensi arterial memfasilitasi pirau kanan ke kiri melalui PDA lalu menimbulkan hipoksemia. Hipotensi juga dapat menimbulkan perdarahan serebral. Hipotensi umumnya ditimbulkan oleh asfiksia perinatal, sepsis dan hipotensi. Terapi lini I adalah dengan memberikan volume expander (10 – 20 mls/kg larutan saline atau koloid). Terapi lini II dengan memberi obat inotropik. Dopamin lebih efektif disbanding dobutamin. Dopamin meningkatkan tahanan sistemik, sementara dobutaminmeningkatkan output ventrikel kiri. Dosis dopamine 10 micrograms / kg / menit. Dosis > 15 micrograms / kg / menit meningkatkan tahanan paru, menimbulkan hipertensi paru. Terapi lini III diberikan pada kasus yang resisten. Mulamula dapat dicoba menambahkan dobutamin 10-20 micrograms / kg / menit pada dopamine. Dapat pula dicoba memberikan hydrocortisone, adrenaline dan isoprenaline. Edema paru merupakan bagian dari patofisiologi HMD, bayi yang mengalaminya cenderung menghasilkan sedikit urin output selama 48 jam pertama, diikuti fase diuretik dengan penurunan berat badan. Pemberian cairan berlebih harus dihindari, masukan cairan biasa dimulai dengan 60 – 80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap. Asupan cairan lebih tinggi diperlukan untuk bayi dengnan berat lahir sangat rendah dengan insensible water loss tinggi. Asupan cairan harus selalu dikoreksi bila terdapat perubahan pada berat badan, output urin, dan kadar elektrolir serum. Penggunaan fototerapi, kelembaban rendah, dan penghangat radiant meningkatkan kebutuhan cairan. Pemberian cairan berlebih pada hari pertama dapat menimbulkan PDA dan BPD. Penggunaan diuretik tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan deplesi volume yang tidak diinginkan. 9. Antibiotik
Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup B atau infeksi lain dari HMD, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai hasil kultur darah selesai. Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau gentamisin dapat diberikan, tergantung pola sensitivitas bakteri di rumah sakit tempat perawatan. Hal –hal yang diasosiasikan dengan peningkatan insidensi infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang lama, ibu demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni, hipotensi dan asidosis. 10. Inhaled Nitric Oxide Inhaled nitric oxide (iNO) dapat memperbaiki vasodilatasi paru dan oksigenisasi pada bayi cukup bulan dengan gagal nafas yang berat. Beberapa penelitian multisenter menyebutkan bahwa iNO akan mengurangi kebutuhan akan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Penggunaan iNO pada terapi gagal nafas pada bayi berdasar kepada kemampuannya sebagai vasodilator di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO dipertimbangkan karena memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular resistance (PVR). Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan salah satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah dalam batas normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos pembuluh darah dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari cGMP, cGMP kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase dependent cGMP, yang secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan menyebabkan relaksasi otot polos. Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida endogen secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida menyebabkan angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal. Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas
Komplikasi Komplikasi jangka pendek (akut) dapat terjadi : 4 a) Ruptur
alveoli
:
Bila
dicurigai
terjadi
kebocoran
udara
(
pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap. b) Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2 respirasi. c) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik. d) PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi : 4 a) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 35 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.5 Dysplasia bronkopulmonum (DBP) akibat pemberian tekanan positif akibat ketergantungan oksigen dan gagal perkembangan jantung sisi kanan. Bayi yang beresiko DBP menderita kegawatan pernafasan yang berat memerlukan ventilasi mekanis yang lama dan terapi oksigen. Komplikasi DBP meliputi: gagal tumbuh, retardasi psikomotor nefrolitiasis, osteopenia, dan stenosis subglotis b) Retinopathy premature Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
Komplikasi RDS akibat perawatan intensif yaitu: 6 a) Intubasi trakea dapat menyebabkan asfiksia karena obstruksi pipa, henti jantung selama intubasi atau pengisapan, dan selanjutnya dapat menyebabkan stenosis subglotis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dan trauma selama intubasi (ulserasi lubang hidung, ekstubasi yang sulit dan membutuhkan trakeostomi, penyempitan permanen lubang hidung, erosi palatum, penarikan plika vokalis, serak persisten, stridor, edema laring. b) Kateterisasasi arteri umbilkalis dapat beresiko menyebabkan emboli vaskular, thrombosis, spasme, perforasi, nekrosis iskemik dan infeksi c) Ekstravasasi udara ekstrapulmonal
DAFTAR PUSTAKA 1. F. Gary Cunningham., Kenneth J. L., Stephen L. B., Dwight J. Rouse., John C. H., Catherine Y. Spong. 2010. Fetal Growth Diorder Dalam : EBook Williams Obstetric. 23st edition. New York : Mc graw Hill
2. Current : Pediatric Diagnosis and Treatment: Neonatal Intensive Care, page 22-30. Edition 15 Th 2001 Mc Graw Hill Companies. 3. Markum A.H. Prematuritas dan Retardasi Pertumbuhan Intrauterine. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid I, cet.3, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996; 221-36 4. Wood David and Malan Atties : Notes On The Newborn Infant Fifth Edition.1996. 5. Rudolf’s Fundamental Of Pediatric, Page 161-164 Mc Graw Hill Companies 2002. 6. Stell BJ. The-High Risk Infant. Nelson Textbook of Pediatrics 19th edition. Dalam Kliegman RM, editor. Philadelphia, USA: Saunders 2011. 7. S a i f u d d i n , A B , A d r i a n z , G . M a s a l a h B a y i
Baru
Lahir.
Dalam:Buku
A c u a n Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; edisi ke-1. Jakarta :yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2000;376-8. 8. IDAI. Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010 9. Rennie MJ, Roberton NRC. A manual of neonatal intensive care; edisi ke-4. London:Arnold, 2002; 62-88. 10. Ann
L,
Ted
R.
Neonatal
Sepsis.
2011.
Avalaible
at http://emedicine.medscape.com/article/964312 accessed at Oktober 10th, 2011 11. Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam : Update in Neonatal Infection. Pendidikan Berkelanjutan IKA XL VIII.Jakarta 2005:1-13 12. 2. The College of Emergency Medicine and Doctors. 2011. Diakses dari: . [08 Januari 2015]. 13. Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007;63(269-72). 14. Field D. Alternative strategies for the management of respiratory failure in the newborn – clinical realities. Semin Neonatol 2002. 2002;7:429-36. 15. Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician. 2007;76:987-94.
16. Carlo W. Assisted ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the high-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders; 2001. h. 277-300. 17. Allen M. Follow-up of high-risk infants. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. Edisi 6. USA; 2009. h. 179. 18. AAP Committe on fetus and newborn. Use of Inhaled Nitric Oxide. Pediatrics. 2000;106(2).