CASE REPORT BBLR, IKTERUS NEONATORUM, SEPSIS NEONATORUM, SINDROM DOWN
Oleh: Arlita Aryanti Putri (H1A013008)
Pembimbing: dr. I Wayan Gede Sugiharta, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD PRAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RSU DAERAH PROVINSI NTB 2019
1
BAB I TINJAUAN PUSTAKA
1.1 PENDAHULUAN Berat badan lahir bayi merupakan berat badan bayi yang ditimbang dalam waktu satu jam pertama setelah bayi lahir. Apabila dilihat dari keterkaitan antara waktu kelahiran dengan umur kehamilan, pengelompokkan kelahiran bayi dapat dibagi menjadi tiga. Pertama adalah kelompok bayi lahir kurang bulan (premature) yakni bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan <37 minggu. Kelompok yang kedua adalah kelompok bayi cukup bulan, yakni bayi yang dilahirkan dengan usia kehamilan antara 37-42 minggu. Kelompok ketiga adalah kelompok bayi lahir lebih bulan, adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan >42 minggu. Kepentingan klinis klasifikasi Berat Badan Lahir (BBL) menurut usia kehamilan dan berat lahir berawal dari fakta bahwa bayi yang mengalami gagal tumbuh atau makrosomia dengan usia kehamilan dan berat lahir yang berbeda mempunyai masalah klinis yang serupa, seperti gangguan perkembangan fisik, gangguan perkembangan mental dan neurologic, peningkatan insidensi kelainan kongenital serta gangguan metabolik dan ketidakseimbangan glukosa . Menurut WHO Bayi Bera Lahir Rendah (BBLR) didefinisikan sebagai berat badan pada saat lahir yang kurang dari 2500 gram.BBLR hingga kini masih terus menjadi masalah kesehatan yang signifikan secara global dan dikaitkan dengan konsekuensi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa sekitar 15% hingga 20% dari semua kelahiran diseluruh dunia mengalami BBLR, dengan jumlah kelahiran lebih dari 20 juta dalam setahun. Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil riskesdas pada tahun 2013 menyatakan bahwa presentase kejadian BBLR pada balita usia 0-59 bulan adalah sebesar 10,2%.Ketidakmatangan sistem organ pada bayi yang lahir premature menjadi salah satu penyebab munculnya masalah BBLR.Bayi dengan berat lahir yang rendah memiliki kecenderungan kearah peningkatan terjadinya infeksi dan mudah terserang komplikasi.Masalah yang sering timbul pada BBLR adalah gangguan pada sistem pernapasan, kardiovaskular, susunan saraf pusat, hematologi, gastrointestinal, ginjal serta masalah termoregulasi.
2
DEFINISI Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah keadaan dimana bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memandan usia gestasi atau usia kehamilan. Masa gestasi ini dimulai sejak masa konsepsi sampai dengan saat kelahiran yang dihitung dari hari pertama haid terakhir. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan atau cukup bulan (IUGR/ Intra Uterine Growth Restriction). EPIDEMIOLOGI Hingga saat ini BBLR masih menjadi masalah diseluruh dunia, dikarenakan merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada masa neonatal.Prevalensi BBLR di negara-negara dengan sosio ekonomi rendah masih cukup tinggi. Secara statistik angka kejadian BBLR adalah 15,5% dari seluruh kelahiran, dimana 90% kejadiannya terjadi di negara berkembang. Angka kematian BBLR adalah 20-35 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat lebih dari 2500 gram.Angka kejadian BBLR di Indonesia bervariasi antar tiap daerah yakni berkisar antara 9-30%, dimana penyebab terbanyaknya adalah kelahiran prematur. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi adalah usia ibu yang kurang dai 20 tahun atau lebih dari 40 tahun, serta faktor plasenta berupa penyakit vaskuler atau kehamilan ganda. ETIOLOGI 1. Plasenta Berat lahir memiliki keterkaitan yang bermakna dengan berat plasenta. Pada pertumbuhan intrauterine yang normal, pertambahan berat plasenta akan sebanding dengan pertambahan berat janin. Berbagai penyakit vaskuler yang di derita oleh ibu dapat mempengaruhi aliran darah ke uterus, transfer oksigen serta nutrisi plasenta.Disfungsi pada plasenta seringkali membuat gangguan pertumbuhan bagi janin.Gangguan pertumbuhan janin sebesar 20-35% diakibatkan oleh penurunan aliran darah uteroplasenta pada kehamilan dengan komplikasi penyakit vaskuler.Keadaan klinis yang terkait dengan aliran darah plasenta yang buruk adalah kehamilan ganda, penyalahgunaan obat, penyakit vaskuler seperti hipertensi dalam kehamilan, penyakit ginjal, infeksi atau tumor vaskuler. 3
2. Malnutrisi Gangguan pertumbuhan janin dipengaruhi oleh berat ibu sebelum hamil dan pertambahan berat ibu selama hamil.Ibu dengan berat badan kurang seringkali melahirkan bayi dengan ukuran badan yang kecil bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki berat badan normal atau berlebih.Selama masa embriogenesis status nutrisi ibu memiliki efek yang kecil terhadap pertumbuhan janin.Hal tersebut dikarenakan wanita memiliki simpanan atau cadangan nutrisi yang cukup untuk embrio yang tumbuh lambat.Tetapi pada trimester ketiga kebutuhan nutrisi janin dapat melebihi persediaan ibu apabila asupan nutrisi ibu rendah.Berdasarkan suatu upaya yang dilakukan untuk menekan kelahiran bayi berat lahir rendah dengan memberikan makanan tambahan pada kelompok yang beresiko tinggi (riwayat nutrisi buruk) menunjukkan bahwa kalori tambahan lebih berpengaruh terhadap peningkatan berat janin disbanding dengan peningkatan protein. 3. Infeksi Infeksi
virus
tertentu
dapat
mengakibatkan
gangguan
pertumbuhan
janin.Diketahui wanita-wanita dengan status sosioekonomi rendah diketahui melahirkan bayi dengan gangguan pertumbuhan maupun bayi kecil. Bayi-bayi yang menderita infeksi rubella atau sitomegalovirus umumnya terjadi gangguan pertumbuhan janin dan tidak bergantung pada usia kehamilan. 4. Faktor Genetik Sekitar 40% dari seluruh variasi berate lahir diperkirakan dipengaruhi oleh faktor genetik dari ibu dan janin. Wanita normal tertentu memiliki kecendrungan untuk berulang kali melahirkan bayi kecil masa kehamilan (KMK) dan kebanyakan wanita tersebut dilahirkan dengan BBL KMK.Demikian juga wanita yang memiliki riwayat pernah melahirkan bayi dengan ukuran besar maka memungkinkan untuk melahirkan bayi dengan ukuran besar kembali, dan wanita-wanita tersebut pada dulu dilahirkan cenderung berukuran besar. DIAGNOSIS 1. Anamnesis -
Usia Ibu 4
-
Hari Pertama Haid Terakhir
-
Riwayat Persalinan Sebelumnya
-
Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
-
Kenaikan berat badan selama kehamilan
-
Aktivitas, penyakit yang diderita dan obat-obatan yang diminum selama hamil.
2. Pemeriksaan Fisik -
Berat badan < 2500 gram
-
Tanda prematuritas (bila bayi kurang bulang)
-
Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan ( bila bayi kecil untuk masa kehamilan).
3. Pemeriksaan Penunjang -
Pemeriksaan skor Ballard
-
Test kocok (shake test) dianjurkan untuk bayi kurang bulan
-
Darah rutin, glukosa darah
-
Bila perlu (tergantung klinis) dan fasilitas tersedia, diperiksa kadar elektrolit dan analisis gas darah
-
Foto rontgen thoraks diperlukan pada bayi baru lahir dengan usia kehamilan kurang bulan dan mengalami sindrom gangguan napas
-
USG kepala bayi terutama pada bayi dengan umur kehamilan < 35 minggu, dimulai pada umur 3 hari dan dilanjutkan sesuai hasil yang di dapat.
TATALAKSANA 1. Pemberian vitamin K -
Injeksi 1 mg IM sekali pemberian
-
Per oral 2 mg 3 kali pemberian (saat lahir, usia 3-10 hari, dan umur 4-6 minggu)
2. Mempertahankan suhu tubuh normal -
Gunakan salah satu cara untuk menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti kontak kulit ke kulit, kangoroo mother care, pemancar panas, inkubator, atau ruangan yang hangat yang tersedia di fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.
5
Tabel 1. Cara Menghangatkan Bayi 4 -
Jangan memandikan bayi dan menyentuh bayi dengan tangan dingin
-
Ukur sesuai tubuh sesuai jadwal
Tabel 2. Pengukuran Suhu Tubuh 3. Pemberian minum -
ASI merupakan pilihan pertama
-
Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang sehari sekali.
-
Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 gram/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.
-
Pemberian minum minimal 8x/hari. Apabila bayi masih menginginkan dapat diberikan lagi.
-
Indikasi nutrisi parenteral yaitu status kardiovaskular dan respirasi yang tidak stabil, fungsi usus belum berfungsi atau terdapat anomaly mayor saluran cerna, NEC, IUGR berat, dan berat lahir <1000 gram.
6
-
Pada bayi sakit, pemberian minum tidak perlu dengan segera ditingkatkan selama tidak ditemukan tanda dehidrasi dan kadar natrium serta glukosa dalam rentang normal.
Panduan Pemberian Minum Berdasar Berat Badan 1. Berat lahir < 1000 gram -
Minum melalui pipa lambung
-
Pemberian minum awal ≤ 10 mL/kg/hari
-
ASI perah/term formula/half-strength preterm formula
-
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik: tambahan 0,5-1 mL, interval 1 jam, setiap ≥ 24 jam.
-
Setelah 2 minggu: ASI perah + HMF (Human Milk Fortifier) sampai berat badan mencapai 2000 gram.
2. Berat lahir 1000 sampai 1500 gram -
Minum melalui pipa lambung
-
Pemberian minum awal ≤ 10 mL/kg/hari
-
ASI perah/term formula/half-strength preterm formula
-
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik: tambahan 1-2mL, interval 2 jam, setiap ≥ 24 jam.
-
Setelah 2 minggu: ASI perah + HMF (Human Milk Fortifier) sampai berat badan mencapai 2000 gram
3. Berat lahir 1500 sampai 2000 gram -
Minum melalui pipa lambung
-
Pemberian minum awal ≤ 10 mL/kg/hari
-
ASI perah/term formula/half-strength preterm formula
-
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik: tambahan 2-4 mL, interval 3 jam, setiap ≥ 12-24 jam.
-
Setelah 2 minggu: ASI perah + HMF (Human Milk Fortifier) sampai berat badan mencapai 2000 gram
4. Berat lahir 2000 sampai 2500 gram -
Apabila mampu sebaiknya diberikan minum per oral 7
-
ASI perah/term formula
5. Bayi Sakit -
Pemberian minum awal ≤ 10 mL/kg/hari
-
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik: tambahan 3-5 mL, interval 3 jam, setiap ≥ 8 jam. 4
Suportif -
Jaga dan pantau kehangatan
-
Jaga dan pantau patensi jalan napas
-
Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit
-
Bila terjadi penyulit segera diatasi sesuai dengan penyulit yang timbul (misalnya kejang, hipotermi, atau hiperbilirubinemia)
-
Berikan dukungan emosional kepada ibu dan keluarga lainnya
-
Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ia berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui
-
Ijinkan dan anjurkan kunjungan oleh keluarga atau teman dekat apabila dimungkinkan. 4
Lain-lain atau rujukan -
Bila perlu lakukan pemeriksaan USG kepala dan fisioterapi
-
Pada umur 4 minggu atau selambat-lambatnya usia koreksi 34 minggu konsultasi ke dokter spesialis mata untuk evaluasi kemungkinan retinopathy of prematurity (ROP)
-
THT : skrining pendengaran dilakukan pada semua BBLR, dimulai usia 3 bulan sehingga apabila terdapat kelainan dapat dikoreksi sebelum usia 6 bulan.
-
Imunisasi yang diberikan sama dengan bayi normal kecuali Hepatitis B.
-
Periksa Alkaline Phosphatase (ALP), P, Ca saat usia kronologis ≥ 4 minggu dan 2 minggu setelah bayi minum secara penuh sebanyak 24 kalori/oz. Jika ALP > 500 U/L berikan fosfat 2-3 mmol/kg/hari dibagi 3 dosis. 4
8
Pemantauan Tatalaksana -
Bila perlu diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan
-
Preparat besi sebagai suplementasi mulai diberikan pada usia 2 minggu. 4
Tumbuh Kembang -
Pantau berat bayi secara periodik
-
Bayi akan kehilangan berat selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk bayi dengan berat ≥ 1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat < 1500 gram). Berat lahir biasanya tercapai kembali dalam 14 hari kecuali bila ada komplikasi.
-
Bila bayi sudah mendapat ASI secara penuh (pada semua kategori berat lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari: - Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 mL/kg/hari sampai tercapai jumlah 180 mL/kg/hari. - Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan kenaikan berat badan bayi agar jumlah pemberianASI tetap 180 mL/kg/hari. - Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian ASI sampai 2000 mL/kg/hari. - Timbang berat badan tiap hari, ukur panjang badan dan lingkar kepala setiap minggu. 4
Pemulangan BBLR dapat dipulangkan apabila: -
Tidak terdapat tanda bahaya atau tanda infeksi berat
-
Berat badan bertambah hanya dengan ASI
-
Suhu tubuh bertahan pada kisaran normal (360C – 370C) dengan pakaian terbuka.
-
Ibu yakin mampu merawatnya. 5
Pemantauan Setelah Pulang Masalah Jangka Panjang yang mungkin timbul: -
Gangguan perkembangan
-
Gangguan pertumbuhan
-
Retinopati karena prematuritas 9
-
Gangguan pendengaran
-
Penyakit paru kronik
-
Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
-
Kenaikan frekuensi kelainan bawaan. 4
Untuk itu perlu dilakukan pemantauan sebagai berikut: -
Kunjungan ke dokter hari ke-2, 10, 20, 30 setelah pulang, dilanjutkan setiap bulan.
-
Hitung umur koreksi
-
Pertumbuhan: berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.
-
Tes Perkembangan: Denver development screening test(DDST)
-
Awasi adanya kelainan bawaan. 4
Konseling pada saat BBLR pulang Lakukan konseling pada orang tua sebelum bayi pulang mengenai: -
Pemberian ASI eksklusif
-
Menjaga bayi tetap hangat
-
Tanda bahaya untuk mencari pertolongan. 5
KOMPLIKASI -
Hipoglikemi
-
Hipotermi
-
Hiperbilirubinemia
-
Respiratory Distress Syndrome (RDS)
-
Intracerebral dan intraventricular haemorrhage (IVH)
-
Periventricular leucomalasia
-
Infeksi Bakteri
-
Kesulitan minum
-
Penyakit paru kronis
-
NEC (Necrotizing enterocolitis)
-
AOP (Apnea of Prematurity) terutama terjadi pada bayi dengan berat < 1000 gram\
-
Patent Ductus Arteriosus (PDA) pada bayi dengan berat <1000 gram 10
-
Disabilitas mental dan fisik - Keterlambatan perkembangan - Cerebral palsy - Gangguan pendengaran - Gangguan penglihatan seperti (retinopathy of prematurity). 4
SINDROM DOWN DEFINISI Sindrom Down (Down syndrome) adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21 pada berkas q22 gen SLC5A3, yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas 6.Sindrom down adalah kondisi kelainan kromosom yang berhubungan dengan kecacatan intelektual, penampilan wajah yang khas, dan ritme otot yang lemah (hypotonia) pada masa kanak-kanak. Semua individu yang terkena mengalami penundaan kognitif, namun disabilitas intelektual yang dialaminya biasanya ringan sampai sedang 7. EPIDEMIOLOGI Prevalensi dan insidensi penyakit-penyakit yang diturunkan berdasarkan genetic bervariasi dari berbagai suku bangsa, daerah geografis ataupun jenis kelamin. Prevalensi penyakit genetis adalah 58 daru 1000 kelahiran 8Begitu seorang wanita melahirkan bayi dengan sindrom Down, diperkirakan bahwa risiko memiliki anak kedua dengan sindrom Down adalah sekitar satu dari 100 bayi. Namun, usia ibu juga mungkin merupakan faktor risiko untuk kejadian sindrom Down9. Sindrom down terjadi sekitar 1 dari 800 kelahiran. Sekitar 5.300 bayi dengan sindrom Down terlahir di United States setiap tahunnya. Meskipun semua wanita dengan segala usia mampu memiliki seorang anak dengan sindrom Down, tetapi kesempatannya meningkat seiring dengan bertambah usianya seorang wanita7. Besar insidensi sindrom Down di Indonesia sebesar 5-15%.Sindrom Down merupakan kelainan jumlah kromosom yang paling sering terjadi dengan frekuensi 1 dari 700 kelahiran bayi dan lebih sering terjadi pada ibu hamil dengan usia diatas 35 11
tahun.
8
Berikut merupakan table mengenai hubungan insidensi sindrom Down dengan
usia wanita saat hamil.
Usia Wanita hamil
Insidensi Sindrom Down
20
1 dari 2000
24
1 dari 1300
27
1 dari 1050
30
1 dari 900
33
1 dari 600
36
1 dari 300
40
1 dari 100
42
1 dari 70
45
1 dari 30
47
1 dari 20
48
1 dari 15
49
1 dari 10
ETIOLOGI Down syndrome biasanya disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel yang disebut nondisjunction. Namun, dua jenis kelainan kromosom yakni mosaik dan translokasi lainnya, juga terlibat dalam sindrom Downmeskipun pada tingkat yang jauh lebih rendah. Terlepas dari jenis sindroma Down yang mungkin dimiliki seseorang, semua orang dengan sindrom Down memiliki bagian kromosom 21 ekstra di semua atau beberapa sel mereka. Bahan genetik tambahan ini mengubah jalannya perkembangan dan menyebabkan karakteristik yang terkait dengan sindrom ini.9 1. Nondisjunction Nondisjunction adalah kesalahan pembelahan sel yang menghasilkan embrio dengan tiga salinan kromosom 21, bukan dua yang biasa. Sebelum atau saat pembuahan, sepasang kromosom ke-21 baik sperma atau sel telur gagal untuk memisahkan. Saat embrio berkembang, kromosom ekstra direplikasi di setiap sel tubuh. Kesalahan dalam pembelahan sel bertanggung jawab atas 95 persen kasus sindroma Down. 9 12
2. Mosaicisme Mosaicism terjadi ketika nondisjunction kromosom 21 terjadi di salah satu bagian sel awal setelah pembuahan. Ketika ini terjadi, ada campuran dua jenis sel, beberapa mengandung 46 kromosom dan beberapa mengandung 47. Sel-sel dengan 47 kromosom mengandung kromosom ekstra 21. Karena pola "mosaik" sel, istilah mosaik digunakan . Mosaicism jarang terjadi, hanya bertanggung jawab untuk satu sampai dua persen dari semua kasus sindrom Down. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan sindrom Down mosaik mungkin kurang terpengaruh oleh karakteristik fisik dan mental sindrom Down dibandingkan dengan nondisjunction
13
atau translokasi; Namun, generalisasi yang luas tidak dimungkinkan karena berbagai kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang dengan sindrom Down.9
3. Translokasi Translokasi hanya menyumbang tiga sampai empat persen kasus sindrom Down. Dalam translokasi, bagian dari kromosom 21 terputus saat pembelahan sel dan menempel ke kromosom lain. Sementara jumlah total kromosom dalam sel tetap 46, kehadiran bagian ekstra kromosom 21 menyebabkan karakteristik sindrom Down. Seperti nondisjunction, translokasi terjadi baik sebelum atau saat pembuahan. Tapi, tidak seperti nondisjunction, usia ibu tidak terkait dengan risiko translokasi. Sebagian besar kasus bersifat sporadis, kejadian kebetulan. Namun, sekitar sepertiga dari insiden translokasi, satu orang tua adalah pembawa kromosom translokasi. Untuk alasan ini, risiko terulangnya translokasi pada anak berikutnya lebih tinggi daripada nondisjunction. Konseling genetik dapat menentukan asal translokasi. 9
MANIFESTASI KLINIS Gejala yang muncul pada penderita sindrom down beragam mulai dari tidak tampak sama sekali, tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Contoh tanda khas sangat gampang dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk relatif kecil dari normal (microcephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar, semua penderita sindrom Down yang hampir sama seperti muka orang mongol (Mongolian faced). Tanda-tanda lainnya seperti berikut ini:
14
-
Pada wajah tamapak sela hidung yang datar, jarak diantara 2 mata jauh, Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds) (80%), ukuran mulut kecil disertai dengan lidah yang besar (macroglossia), pertumbuhan gigi terlambat dan tidak teratur, lehernya agak pendek dengan kepala yang biasanya lebih kecil dan sedikit melebar.
-
Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
-
Hypogenitalism (penis, scrotum serta testis kecil) dan adanya keterlambatan pubertas.
-
Tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.
-
Kelainan kromosom yang terjadi juga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem organ lain. Seperti kelainan congenital heart desease seperti Ventricular Septal Defect, Patent Ductus Arteriosus, atau Atrial Septal Defect. Pada sistem lain seperti pencernaan dapat ditemui adanya kelainan berupa sumbatan pada esophagus atau yang dikenal dengan atresia esophagus dan atresia duodenale.
-
Tampilan klinis otot : mempunyai otot yang lemah menyebabkan mereka menjadi lembik dan menghadapi masalah lewat dalam perkembangan motor kasar.
-
Sindrom Down mungkin mengalami Hipotiroidism, masalah ini berlaku pada 10% anak-anak dengan sindrom Down.
- Sebagian kecil mereka mempunyai risiko untuk mengalami kanker sel darah putih yaitu leukemia. -
Penderita sindrom Downsecara keseluruhannya mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal. Pada peringkat awal pembesaran mereka mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motor halus dan bercakap. Perkembangan sosial mereka agak menggalakkan menjadikan mereka digemari oleh ahli keluarga. Mereka juga mempunyai sifat periang. Perkembangan motor kasar mereka lambat disebabkan otot-otot yang lembek tetapi mereka akhirnya berjaya melakukan hampir semua pergerakan kasar. 6 15
DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik adalah tes paling sensitif dalam 24 jam pertama kehidupan untuk mendiagnosis trisomi 21 pada bayi. Jika klinisi merasa cukup kriteria pada penderita sindrom Down baik yang khas maupun tidakada dalam pemeriksaan fisik yang , sampel darah harus dikirim untuk evaluasi kromosom. Dokter harus segera memberikan info ke laboratorium dan meminta hasil yang cepat. Sebuah studi yang menggunakan teknologi fluentouryyybridization (FISH) harus tersedia dalam waktu 24 hingga 48 jam untuk memfasilitasi diagnosis dan konseling orang tua. Sebuah studi FISH hanya dapat menunjukkan bahwa ada salinan tambahan dari kromosom 21; Itu tidak bisa mendeteksi translokasi.6,10 2. Pemeriksaan Kromosom 3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) 4. Pemeriksaan Ekokardiogram (ECG)
5. Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling) TATALAKSANA Tatalaksana yang diberikan pada anak dengan sindrom Down bertujuan untuk meningkatkan harapan hidup serta kualitas kehidupannya. Perbaikan kualitas hidup dapat terjadi karena baiknya perawatan kesehatan yang dilakukan, pendekatan pengajaran serta penanganan yang efektif. Berikut tatalaksana yang dapat diberikan pada penderita sindrom Down : 1. Stimulasi Dini Stimulasi dilakukan sedini mungkin pada bayi dengan sindrom Down, dapat dilakukan terapi bicara maupun olah tubuh untuk melatih otot-ototnya yang lemah. Pada bayi bisa diberikan stimulus dari mainan-mainan sama seperti pada anak yang normal meskipun respon yang dimiliki oleh penderita sindrom Down terbatas dikarenakan oleh keterbatasan intelektualnya. Program ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberi lingkungan yang memadai bagi anak dengan syndrom down, bertujuan untuk latihan motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak mampu berbahasa. Selain itu agar anak mampu melakukan 16
hal-hal mandiri seperti berpakaian, makan, belajar, BAB/BAK, mandi,yang akan memberi anak kesempatan untuk hidup lebih baik. 2. Pembedahan Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat. 3. Fisioterapi Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk mencapai
manfaat
yang
maksimal
dan
menguntungkan
untuk
tahap
perkembangan yang berkelanjutan. Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk menggerakkan tubuhnya dengan cara/gerakan yang tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.Fisioterapi dapat dilakuka seminggu sekali untuk terapi, tetapi terlebih dahulu fisioterapi melakukan pemeriksaan dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang dibutuhkan anak dalam seminggu. Disini peran orangtua sangat diperlukan karena merekalah nanti yang paling berperan dalam melakukan latihan dirumah selepas diberikannya terapi. Untuk itu sangat dianjurkan untuk orangtua atau pengasuh mendampingi anak selama sesi terapi agar mereka mengetahui apa-apa yg harus dilakukan dirumah. 4. Terapi Wicara Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata 5. Terapi Remedial Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa 6. Terapi Sensori Integrasi 17
Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat. 7. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy) Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
IKTERUS NEONATORUM DEFINISI Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis “jaune” yang berarti kuning. Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis bayi berusia 0-28 hari yang ditandai dengan warna kuning pada kulit dan sklera atau jaringan lainnya (membran mukosa) akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir apabila kadar bilirubin dalam darah >5 mg/dl
EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ikterus neonatorum di dunia cukup tinggi. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupan. Di Indonesia didapatkan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir di tahun 2007 sebesar 32,1% pada bayi cukup bulan dan 42,95% pada bayi kurang bulan Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ikterus neonatorum patologis menyebabkan kematian neonatus sebesar 6% dari tujuh penyebab tertinggi kematian neonatus. Hal ini disebabkan karena pada beberapa bayi yang mengalami ikterus neonatorum, serum bilirubinnya terus meningkat sampai kadar berbahaya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak yaitu acute 18
bilirubin encephalopathy yang dapat mengalami progresi menjadi kern icterus. Keadaan kern icterus terjadi kerusakan otak secara kronis yang permanen dan dapat mengakibatkan terjadinya cerebral palsy, retardasi mental, gangguan pendengaran bahkan kematian akibat bilirubin induced cell toxicity 1.1 KLASIFIKASI Klasifikasi Berdasarkan Faktor Penyebab a. Ikterus fisiologis Merupakan ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar bilirubin indirek pada minggu pertama >2 mg/dl. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. Umumnya ikterus ini ringan dan dapat membaik tapa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin indirek dalam sirkulai bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin Tabel 1.1 Penyebab Ikterus Fisiologis1,3,7 Dasar
Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia Peningkatan produksi bilirubin
Peningkatan jumlah eritrosit Pendeknya usia eritrosit Peningkatan early bilirubin Peningkatan
aktivitas
enzim
β-
glukoronidase Peningkatan
resirkulasi
melalui Tidak adanya flora bakteri Pengeluaran
entero-hepatic shunt
terlambat 19
mekonium
yang
Defisiensi protein karier Penurunan aktivitas UDPGT Penurunan klirens bilirubin Penurunan klirens dari plasma Penurunan metabolism hepar
b. Ikterus patologis Suatu ikterus kemungkinan bersifat patologis apabila terdapat salah satu dari hal berikut Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan 1. Setiap ikterus yang memerlukan fototerapi 2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12.5 mg/dl pada neonatus cukup bulan dan melebihi 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan 3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin ≥5 mg/dlsetiap 24 jam 4. Ikterus yang disertai oleh: a. Berat lahir <2000 gram b. Masa gestasi <36 minggu c. Asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan (RDS/respiratory distress syndrome) d. Infeksi e. Trauma lahir pada kepala f. Hipoglikemia, hiperkarbia g. Hiperosmolalitas darah h. Defisiensi enzim G6PD 5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dl 6. Peningktan bilirubin total serum >0,5 mg/dl per jam 7. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menyusu, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu tubuh yang tidak stabil) 8. Ikterusyang menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi yang kurang bulan 20
Klasifikasi Berdasarkan Pemberian ASI5,6 a. Breast-feeding-associated jaundicedisebabkan karena pemberian ASI yang tidak adekuat dan buruknya intake cairan yang menyebabkan starvation dan tertundanya pengeluaran mekonium pada neonatus. Hal tersebut akan meningkatkan sirkulasi enterohepatik b. Breast milk jaundice, keadaan dimana terjadi pengingkatan absorpsi bilirubin di dalam usus (sirkulasi enterohepatik) karena aktivitas enzim β-glukoronidase yang bisa terdapat pada ASI yang abnormal.
1.2 METABOLISME BILIRUBIN Sebelumnya, perlu diketahui bahwa metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus sedikit berbeda. Perbedaan utama metabolisme ini ialah bahwa pada janin plasenta menjadi tempat utama eliminasi bilirubin indirek, sedangkan pada neonatus bilirubin yang sudah terkonjugasi (direk) akan diekskresikan dari hepar ke dalam sistem biliaris kemudian ke dalam saluran pencernaan. Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut a. Produksi Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial (RES) dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoiesis yang tidak efektif. Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Pembentukan bilirubin indirek tersebut dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin indirek (bilirubin IX α). Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena memiliki sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak serta bersifat non polar (bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo/reaksi Hymansvan dan Bergh) b. Transportasi Bilirubin indirek tersebut kemudian diikat oleh albumin dan dibawa ke hepar. Sel parenkima hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil 21
bilirubin dari plasma. Melalui membran sel, bilirubin indirek akan berikatan dengan reseptor membran sel untuk ditransfer ke dalam sel hepar sedangkan albumin tidak berikatan dengan reseptor tersebut. Di dalam sel hepar, bilirubin indirek akan terikat terutama pada ligandin (protein Y, glutation S-transferase β) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z untuk dibawa ke retikulum endoplasma hepar. Proses ini merupakan proses 2 arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam sel hepar Sebagian besar bilirubin indirek tersebut yang masuk ke dalam sel hepar akan dikonjugasi menjadi bilirubin direk oleh enzim dan diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam sistem biliaris c. Konjugasi Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide walaupun ada sebagian kecil dikonjugasi dalam bentuk monoglukoronide. Ada 2 enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide yaitu enzim UDPGT (uridin difosfat glukoronide transferase)dan enzim β-glukoronil transferase. Enzim UDPGT merupakan enzim yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide, sedangkan enzim βglukoronil transferase merupakan enzim yang merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Sintesis dan ekskresi bilirubin diglukoronide terjadi di membran kanalikulus
d. Ekskresi Sesudah terkonjugasi menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, bilirubin direk tersebut diekskresi dengan cepat ke dalam sistem biliaris kemudian ke dalam saluran pencernaan (usus). Di dalam usus, bilirubin direk tersebut diuraikan oleh bakteri usus menjadi urobilinogen kemudian urobilinogen keluar bersama feses sebagai sterkobilin. Selain itu, sebagian kecil dari bilirubin direk ini dihidrolisis oleh enzim β-glukoronidase menjadi bilirubin indirek dan diabsorpsi kembali oleh mukosa usus kemudian masuk ke dalam vena porta (siklus ini disebut siklus enterohepatik). Setelah itu, sebagian dari bilirubin indirek tersebut 22
diekskresikan ke dalam sistem biliaris dan sebagian kecil mencapai ginjal dan diekskresi bersama urin
Gambar 1.1 Metabolisme Bilirubin Secara Umum Pada neonatus, aktifitas enzim β-glukoronidasemeningkat sehingga bilirubin direk banyak yang tidak diubah menjadi urobilinogen dan jumlah bilirubin yang terhidrolisis menjadi bilirubin indirek meningkat dan terabsorpsi sehingga sirkulus enterohepatik pun menjadi meningkat
23
24
Gambar 1.2 Grafik Metabolisme Bilirubin (Prehepatik, Intrahepatik dan Posthepatik) METABOLISM BILIRUBIN PADA JANIN DAN NEONATUS Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion kemungkinan besar melalui mukosa saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kemampuan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Begitu juga dengan kemampuan hepar untuk menkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta masuk ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibu Dalam keadaan fisiologis pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin, proses tersebut dikendalikan oleh hepar ibu, tetapi pada masa neonatus hal ini mengakibatkan penumpukan bilirubin disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat 25
gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kurangnya glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meningkat. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga kadar bilirubin indirek yang bebas dapat meningkat dan sangat berbahaya arena bilirubin indirek inilah yang dapat melekat pada sel otak. Karena itu, salah satu cara yang digunakan untuk mencegah kern icterus yaitu dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai
1.3 FAKTOR RISIKO Peningkatan bilirubin yang berlebihan pada bayi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut, yaitu a. Berat lahir <2000 gram (BBLR) b. Masa gestasi <36 minggu (prematur) c. Riwayat asfiksia d. Riwayat hipoksia e. Sindrom gawat nafas pada neonatus (RDS/respiratory distress syndrome) f. Infeksi g. Trauma pada kepala h. Hipoglikemia i. Hiperkarbia j. Proses hemolisis akibat inkompatibilitas darah Menurut American of Pediatric (2004), faktor risiko hiperbilirubinemia pada bayi usia kehamilan >35 minggu antara lain a.
Faktor risiko mayor Sebelum pulang, kadar bilirubin total dalam darah atau bilirubin transkuteneus terletak pada daerah risiko tinggu Ikterus yang muncul pada 24 jam pertama kehidupan 26
Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO) Usia kehamilan 35-36 minggu Riwayat anak sebelumnya mendapat fototerapi Cephalhematom atau memar yang bermakna ASI eksklusif dengan cara perawatan yang tidak baik Kehilangan berat badan yang berlebihan b.
Faktor risiko minor Sebelum pulang, kadar bilirubin total dalam darah atau bilirubin transkuteneus terletak pada daerah risiko sedang Usia kehamilan 37-38 minggu Bayi tampak kuning Riwayat anak sebelumnya kuning Bayi makrosomia dari ibu dengan Diabetes Mellitus Usia ibu >25 tahun
c.
Faktor risiko kurang Faktor ini berhubungan dengan menurunnya risiko yang signifikan, besarnya sesuai dengan urutan yang tertulis “semakin ke bawah maka risiko semakin rendah”. Kadar bilirubin total serum atau bilirubin transkuteneus berada pada daerah risiko rendah Usia kehamilan >41 minggu Bayi mendapat susu formula penuh Kulit hitam Bayi dipulangkan setelah 72 jam
27
Gambar 1.3 Normogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia
Gambar 1.4 Normogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia
28
1.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat diebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi menjadi 4 yaitu 1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom CriglerNajjar). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar 3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke otak.
4. Gangguan dalam ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
1.5 MANIFESTASI KLINIS Gejala utama pada ikterus neonatorum adalah kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa
29
Gambar 1.5 Manifestasi Klinis Ikterus Selain gejala tersebut, pada ikterus neonatorum dapat pula disertai dengan gejala-gejala berikut a. Dehidrasi Dehidrasi dapat terjadi apabila asupan kalorinya tidak adekuat. Misalnya kurang minum, muntah, dan lain-lain. b. Pucat Keluhan pucat ini sering berkaitan dengan anemia hemolitik. Misalnya ketidakcocokan (inkompatibilitas) golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD atau kehilangan darah ekstravaskular c. Trauma lahir Trauma lahir dapat
mengakibatksn
terjadinya
bruising, sefalhematoma,
perdarahan tertutup lainnya. d. Pletorik Terjadinya polisitemiayang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat atau bayi kecil masa kehamilan (KMK) e. Letargis dan gejala klinis sepsis lainnya f. Petekie Gejala ptekie ini sering berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis. g. Mikrosefali, korioretinitis
30
Gejala ini sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, dan penyakit hepar h. Hepatosplenomegali i. Omfalitis j. Hipotiroidisme k. Massa abdominal kanan atas sering berkaitan dengan duktus koledokus l. Feses dempul disertai urinberwarna coklat tua Gejala klinis ini mengarahkan kita kepada ikterus yang disebabkan karena adanya obstruksi
1.6
DIAGNOSIS a. Menentukan derajat ikterus secara klinis Menentukan derajat ikterus dapat dilakukan pada saat pemeriksaan fisik. Derajat
ikterus
ditentukan
dengan
penilaian
menurut
Kramer.
Cara
pemeriksaannya yaitu menekan jari telunjuk pada bagian tubuh yang tulangnya menonjol seperti pada hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Pada bayi dengan ikterus maka pada saat dilakukan penekanan tersebut maka kulit akan tampak pucat dan kuning WHO menjelaskan bahwa cara menentukan ikterus secara visual sebagai berikut 1. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih pada jika dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang 2. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan 3. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
31
Gambar 1.6 Derajat Ikterus Menurut Kramer
Tabel 1.2 Derajat Ikterus Menurut Kramer Derajat Ikterus
Daerah Ikterus
Perkiraan Kadar Bilirubin
I
Kepala dan leher
5.4 mg/dl
II
I + sampa pusat
9.4 mg/dl
III
II + sampai lutut
11.4 mg/dl
IV
III + sampai lengan dan tungkai
13.3 mg/dl
V
IV + sampai telapak tangan dan kaki
15.8 mg/dl
b. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya, pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan ialah saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon (1974), yaitu
32
Tabel 1.3 Tabel Pendekatan Penentuan Kemungkinan Penyebab Ikterus Waktu
Muncul Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Ikterus
(Kemungkinan Penyebab)
Hari ke-1
Inkompatibilitas
darah
yang Disarankan (Rh, Kadar
ABO)
berkala,
bilirubin Hb,
serum
golongan
Sferositosis
darah ibu dan bayi, uji
Infeksi intrauterin (TORCH)
Coombs
Anemia
non- Darah
hemolitik
tepi
lengkap,
sferositosis (misalnya defisiensi
riwayat
keluarga,
IgM,
G6PD)
serologi, trombosit, biakan Uji tapis defisiensi enzim
Hari ke-2 s/d 3
Biasanya
fisiologis Bila keadaan bayi baik dan
ikterus
peningkatan ikterus tidak
Infeksi
Keadaan-keadaan seperti hari cepat, dapat dilakukan: ke-1,
tetapi
baru
timbul Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan
kemudian Kemungkinan inkompatibilitas
bilirubin berkala
darah ABO/Rh/ golongan lain. Pemeriksaan Hal ini dapat diduga kalau peningkatan
cepat misalnya melebihi 5 mg/dl per 24 jam Defisiensi enzim G6PD Polisitemia Perdarahan tertutup (perdarahan perdarahan
hepar subkapsular dan lain-lain). Hipoksia
33
penyaring
enzim G6PD
bilirubin Pemeriksaan lainnya bila
kadar
subaponeurosis,
kadar
diperlukan.
Sferositsis,
esliptositosis
dan
lain-lain Dehidrasi asidosis Defisiensi
enzim
eritrosit
lainnya Hari ke-4 s/d 7
Biasanya karena infeksi (sepsis) Dehidrasi asidosis Defisiensi enzim G6PD Pengaruh obat Sindrom Criggler-Najjar Sindrom Gilbert
Pemeriksaan
urin
(midstream urine) Pemeriksaan darah tepi (untuk infeksi laten), Pemeriksaan
golongan
darah Uji
Coombs
(untuk
penyakit hemolitik ringan dan defisiensi enzim) >7
hari
atau Obstruksi
Pemeriksaan
Menetap s/d 10 Breast milk jaundice hari
bilirubin
(direk dan indirek) berkala
Infeksi bakteri/virus
Pemeriksaan darah tepi
Neonatal hepatitis
Pemeriksaan
Galaktosemia
penyaring
G6PD
Anemia hemolitik Hipotiroidisme Pengaruh obat-obatan
Biakan darah dan biopsi hepar bila ada indikasi Pemeriksaan lainnya yang
Sindrom Lucey-Driscoll
berkaitan
Fibrosis kistik
kemungkinan penyebab
Penyakit Gilbert
34
dengan
1.7
TATALAKSANA TERAPI SINAR (FOTOTERAPI) Prinsip Fototerapi Prinsip fototerapi yaitu isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15Ebilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam sistem biliaris. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu akan menyebabkan bertambahnya pengekskresian cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic meningkan dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus
Gambar 1.8 Prinsip Fototerapi Mekanisme kerja terapi sinar fototerapi Cara kerja fototerapi adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui sistem biliaris kemudian masuk ke saluran pencernaan dan diekskresikan bersama feses dan sebagian kecil akan ke ginjal untuk diekskresikan bersama urin. Ketika bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Selain itu, terdapat konversi ireversibel 35
menjadi isomer kimia lainnya yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui sistem biliaris. Lumirubin adalah produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat fototerapi yang diberikan. Sejumlah kecil bilirubin indirek diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa diekskresikan melalui sistem biliaris. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin
SEPSIS NEONATORUM Pendahuluan Sepsis neonatorum merupakan SIRS yang terjadi akibat infeksi yang ditemukan pada 1 bulan pertama kehidupan. Sepsis neonatorum terbagi menjadi dua klasifikasi yaitu sepsis awitan lambat di sebabkan oleh lingkungan rumah sakit dan sepsis awitan dini yang dapat di sebabkan oleh infeksi transplasenta. Sepsis: adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah atau jaringan kehidupan Faktor risiko sepsis neonatal dapat berasal dari faktor ibu. Korioamnionitis adalah ibu demam pada saat intrapartum dengan suhu >38ºC ditambah lebih dari 2 gejala sebagai yaitu maternal takikardi >100x/menit, fetal takikardia >160x/menit, uterine tenderness, dan leukositosis pada ibu (leukosit >15.000). Gold standard diagnostik korioamnionitis adalah dengan menggunakan metode kultur cairan amnion.
36
Pemeriksaan Fisik - Status Generalis: Letargi/Tidak sadar, Hipo/hipertermia, Takipnea/apnea - K/L: Oral thrush, Konjungtivitis, Sianosis sentral - Thoraks: Retraksi, Gruntung ekspirasi, Abses - Abdomen: Distensi, Omfalitis - Ekstremitas: Pustula, Purpura
3. Penunjang a) Kultur Darah: Gold Standar untuk bakteremia Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan hasil kultur negatif: Ibu mendapatkan antibiotik selama persalinan sehingga dapat menyamarkan adanya bakteremia Bayi mungkin sudah mendapatkan antibiotik sebelum dilakukan kultur darah Volume darah yang diambil untuk kultur darah terlalu sedikit. b) Hitung Leukosit Jumlah leukosit < 5000 / L Jumlah neutrofil absolut : <1500/ L 37
IT Ratio abnormal pada usia 12 sampai 24 jam Perlu diingat bahwa manifestasi klinis tidak dapat digantikan dengan temuan hasil laboratorium Jumlah leukosit mungkin normal pada bayi dengan sepsis c) C- Reactive Protein
Reaktan fase akut: sintesis dalam waktu 6 sampai 12 jam
4. Terapi Pilihan antibiotik: a) Ampisilin + Gentamisin b) Ampisilin + Kloramfenikol/Eritromisin/Sefalasporin Dosis: Ampisislin 200 mg/kgBB/hari (dalam 4 dosis) Gentamisin 5 mg/kg BB/hari (dalam 2 dosis) Kloramfenikol 25 mg/kg BB/hari (dalam 4 dosis) Sefalasporin 100 mg/kg BB/hari (dalam 2 dosis) Eritromisin 500 mg/kg BB/hari (dalam 3 dosis).
GIT Bleeding Perdarahan saluran cerna adalah hilangnya darah dalam jumlah tidak normal pada saluran cerna mulai dari rongga mulut hingga ke anus. Normalnya, volume darah yang hilang dari saluran cerna sekitar 0,5 – 1,5 mL per hari.1 Berdasarkan lokasi anatomi sumber perdarahannya, perdarahan saluran cerna terdiri dari perdarahan saluran cerna atas dan perdarahan saluran cerna bawah. Perdarahan saluran cerna atas merupakan perdarahan di atas ligamen Treitz di distal duodenum, yaitu pada rongga mulut, esofagus, gaster, dan duodenum. Sedangkan perdarahan saluran cerna bawah merupakan perdarahan di bawah ligamen Treitz, yaitu pada usus halus, kolon, rektum, dan anus. Pada kasus pediatri lebih sering ditemukan perdarahan saluran cerna bawah, sebagian besar ringan dan dapat sembuh sendiri. Insidensnya sebesar 0,3% dari seluruh kasus di instalasi gawat darurat anak dan hanya 4,2% nya yang mengancam nyawa; perdarahan saluran cerna atas lebih jarang dengan insidens 1 – 2 kasus per 10.000 anak tiap tahun.
38
BAB II LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk RSUD PRAYA
: 30 Desember 2018
No. RM
: 464171
Diagnosis Masuk
: Sepsis Neonatorum
Tanggal Pemeriksaan
: Kamis, 3 Januari 2019
I. IDENTITAS Identitas Pasien Nama Lengkap
: By. R.D.M
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tanggal lahir
: 20 Desember 2018
Umur
: 14 hari
Status
: Anak kandung
Alamat
: Leneng
Identitas Keluarga Identitas
Ibu
Ayah
Nama
Yesi
Triwahyudi
Umur
28 tahun
36 tahun
Pendidikan
SMA
S1
Pekerjaan
IRT
Wiraswasta
II. HETEROANAMNESIS Anamnesis Lengkap Keluhan Utama : kuning
39
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan kuning, keluhan kuning muncul seminggu setelah pasien lahir. Ibu pasien juga mengeluhkan pasien malas minum ASI dan BB tidak naik sejak lahir. Ibu pasien juga mengeluhkan pasien demam. Riwayat Penyakit Dahulu: Tidak terdapat adanya riwayat penyakit dahulu Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak terdapat adanya riwayat penyakit yang sama pada keluarga. Riwayat Kehamilan Ibu: Ini merupakan kehamilan yang kedua bagi ibu pasien. Ibu pasien mengaku rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter hampir setiap bulan. Selama kehamilan berat badan ibu naik. Ibu pasien menyangkal adanya riwayat tekanan darah tinggi selama kehamilan. Ibu pasien tidak ada mengeluh sakit lain yang memerlukan rawat inap. Menurut pengakuan ibu, selama hamil kurang makanan yang bergizi sehingga sering mengeluhkan lemas saat beraktivitas. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan selain dari bidan disangkal oleh ibu pasien. Riwayat perdarahan, nyeri BAK, demam, trauma selama kehamilan disangkal. Riwayat Persalinan: Pasien lahir pada tanggal 20 Desember 2018 pukul 08.10 WITA. Bayi lahir secara SC ditolong oleh dokter dengan berat badan lahir 2.300 gram, panjang badan 45 cm, lingkar kepala 32 cm, dan usia kehamilan 40 minggu. Bayi langsung menangis saat lahir, tidak tampak kuning. Riwayat persalinan dibantu oleh alat (vakum, forceps) disangkal. Anak pertama lahir SC ditolong oleh dokter. Riwayat Imunisasi (Vaksinasi): Pasien belum mendapatkan imunisasi apapun, hanya di berikan vit K dan salwp mata saat baru lahir.
III. PEMERIKSAAN FISIK Status Present
Keadaan umum
: sedang, menangis
HR
: 144 x/menit
RR
: 42 x/menit
Suhu
: 37oC
SpO2
: 95% 40
CRT
: <3 detik
Penilaian Pertumbuhan Berat Badan sekarang : 1700 gram
Status Generalis 1. Kepala Bentuk kepala normocephali, simetris, teraba datar, sefal hematom (-),caput succedaneum (-). 2. Wajah : warna kulit kemerahan, wajah tampak mongoloid
Mata
: konjungtiva anemis(-), sklera ikterus (-), R. pupil (+/+) isokor
Telinga
: bentuk dalam batas normal, simetris (+), deformitas (-)
Hidung
: bentuk dalam batas normal, deformitas (-),nafas cuping hidung (-),
rhinorrhea (-/-)
Mulut
: sianosis (-),mukosa bibir kering (+), refleks menghisap (-)
3. Leher :
Pembesaran KGB
: (-)
Kaku kuduk
: (-)
4. Thoraks
Inspeksi
: pergerakan dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-), nafas teratur (+), areola mama puting susu tampak jelas
Auskultasi ~ Cor
: S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
~ Pulmo
:bronkovesikuler (+/+), rhonki(-/-), wheezing(-/-), stridor (-/-)
5. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi
: distensi (-), pelebaran vena (-), kelainan (-)
: massa (-),turgor kulit normal, hepar-lien-ren tidak teraba
6. Genitalia
:dalam batas normal (+)
7. Anus dan rektum
:Anus (+)
8. Ekstremitas 41
Atas
: akral hangat (+/+), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-/-)
Bawah
: akral hangat (+/+), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-/-)
9. Kulit
:kulit kering keriput dan mengelupas
10. Kelainan bawaan
: (-)
IV. DIAGNOSIS KERJA : BBLR+Sepsis Neonatorum+ikterus neonatorum+GIT bleeding
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Pemeriksaan Laboratorium Parameter
30/12/2018
31/12/2018
02/01/2019
HGB
18.1 g/dL
-
15.2 g/dL
RBC
4.85 x 106
-
4.48 x 106
HCT
46.7 %
-
43.5 %
WBC
40.6 x 103
-
39.0 x 103
MCV
96.3 fL
-
96.9 fL
MCH
37,4 pg
-
33.9 pg
MCHC
38.8 g/dL
-
35.0 g/dL
PLT
320 x 103
-
116 x 103
GDS
78 g/dL
-
-
BIL. TOTAL
-
17.24mg/dL
-
BIL. DIREK
-
1.47 mg/dL
-
TSH
-
-
9.15 µIU/ml
VI.
RESUME Pasien datang dengan keluhan kuning, keluhan kuning muncul seminggu setelah pasien lahir. Ibu pasien juga mengeluhkan pasien malas minum ASI dan BB tidak naik sejak lahir. Ibu pasien juga mengeluhkan pasien demam. Keadaan umum sedang, bayi
42
menangis, kuning pada tubuh (+), demam (-), kejang (-), muntah (-), perut kembung (), BAB(+) berwarna hitam dan BAK (+). Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkankeadaan umum pasien sedang, suhu: 37oC, H :144 x/menit, Respiration rate: 42 x/menit, SpO2: 95%, Kepala: tampak wajah mongoloid, Leher: pembesaran KGB (-),Thoraks: takipneu (+), nafas teratur (+), retraksi dinding dada (-), Abdomen : distensi (-), Ekstremitas : teraba hangat, kulit tampak kering, keriput, dan lemak subuktan sedikit. Dari hasil pemeriksaan Darah Lengkap didapatkan kadar Hemoglobin: 18.1 gr/dL, Hematokrit: 46,7%, Leukosit: 40,06 103/uL, Bil Total 17.24 mg/dL, Bil Direk 1.47 mg/dL, GDS 78 g/dL VII.
DIAGNOSIS Ikterus Neonatorum+Down Sindrom+Sepsis Neotarorum+GIT Bleeding DD : - NEC
VIII.
RENCANA TERAPI
Rawat di inkubator
Pemberian O2
Pemberian infus D10%
Pemasangan OGT
Injeksi ampicillin 3x85 mg
Injeksi gentamicin 1x5 mg
Zamel drop 2x0,2cc
Fototerapi
Estazor 3x6mg
43
IX. FOLLOW UP Tanggal
Subjective
31/12/2018 Menangis
Objective
(+) Pucat (+)
Ikterik (+) berkurang
Assessment
KU :
Sepsis neonatorum+
sedang
Ikterus neonatorum
Planning
inkubator
RR: 42
Demam (-)
Pemberian O2
x/mnt
Rawat di
HR: 144
Pemberian infus D10%
x/mnt
Sianosis (-)
T: 37oC
Muntah (-)
BB: 1650
ampicillin
gr
3x85mg
ASI (+)
Wajah
Injeksi
Inj
mongoloid
gentamicin
Retraksi (-)
1x5mg
Sianosis (-)
Distensi (-)
Akral
2x0,2cc
hangat
Zamel drop
Kulit
ASI
Fototerapi
Estazor 3x6mg
kering, keriput
Kuku panjang
02/01/2019 Menangis(+ )
KU: sedang Sindrom
RR: 40
Down+icterus
x/mnt
neonatorum+sepsis
HR: 138
neonatorum+GIT
x/mnt
bleeding
Pucat (+) Ikterik (-)
Demam (-) Sianosis (-)
T : 36,8oC
Muntah (-)
Wajah 44
Rawat di inkubator
Pemberian O2 1 lpm
Pemberian infus D10%
Injeksi
ASI (+) BAB hitam
mongoloid
ampicillin
Retraksi (-)
3x100mg
Sianosis (-)
(ganti
Distensi (-)
cebactam
Akral
3x100mg)
hangat
Kulit
gentamicin
kering,
1x10mg
keriput,
Inj
Vit K 1x2mg
Kuku
panjang
Ranitidine 2x2mg
03/01/2019 Menangis (+)
KU: sedang Sindrom
RR: 46
Down+sepsis
x/mnt
neonatorum+Ikterus
HR:
neonatorum+GIT
143x/mnt
Bleeding
Pucat (+) Ikterik (-)
Demam (-) Sianosis (-)
T : 36,7oC
Muntah (-)
Retraksi (-)
ASI (+)
Sianosis (-)
BAB hitam
Distensi (-)
Akral
Rawat di inkubator
Pemberian O2
OGT
Pemberian infus D10%
Injeksi cebactam
Injeksi gentamicin
Kulit kering, keriput
ASI
3x100mg
hangat
1x8,5mg
Ranitidine 2x2mg
Kuku panjang 45
Vit K 2mg
46
ASI
BAB III MASALAH DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien diatas, adapun permasalahan medis yang terdapat pada pasien adalah: 1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR 2300) 2. Pasien kuning (ikterus neonatorum) 3. Pasien demam dan leukosit meningkat (sepsis neonatorum) 4. Wajah Mongoloid (Down Sindrom)
Pasien merupakan bayi dengan berat lahir rendah yaitu 2300 gram, dengan usia kehamilan 40 minggu yang menunjukkan bahwa pasien sesuai dengan masa kehamilan. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab berat lahir rendah pada pasien berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik. Dari anamesis didapatkan selama kehamilan ibu kurang makanan yang bergizi, sehingga asupan nutrisi pada bayi tersebut juga kurang sehingga dapat menyebabkan terjadinya berat badan lahir rendah.Kelangsungan suatu kehamilan sangat bergantung pada keadaan dan kesehatan ibu, plasenta serta keadaan janin. Jika ibu sehat dan didalam darahnya terdapat zat-zat makanan dan bahan-bahan organis dalam jumlah yang cukup, maka pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan akan berjalan baik Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis bayi berusia 0-28 hari yang ditandai dengan warna kuning pada kulit dan sklera atau jaringan lainnya (membran mukosa) akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir apabila kadar bilirubin dalam darah >5 mg/dl. Ikterus ada yang fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar bilirubin indirek pada minggu pertama >2 mg/dl. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. Ikterus patologis Suatu ikterus kemungkinan bersifat patologis apabila terdapat salah satu dari hal berikut Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan 47
1. Setiap ikterus yang memerlukan fototerapi 2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12.5 mg/dl pada neonatus cukup bulan dan melebihi 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan 3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin ≥5 mg/dlsetiap 24 jam 4. Ikterus yang disertai oleh: a. Berat lahir <2000 gram b. Masa gestasi <36 minggu c. Asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan (RDS/respiratory distress syndrome) d. Infeksi e. Trauma lahir pada kepala f. Hipoglikemia g. Hiperosmolalitas darah h. Defisiensi enzim G6PD 5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dl 6. Peningktan bilirubin total serum >0,5 mg/dl per jam 7. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menyusu, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu tubuh yang tidak stabil) 8. Ikterus yang menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi yang kurang bulan Pada pasien ini yang terjadi adalah ikterus neonatorum patologis karena kadar bilirubin total pasien 17.24mg/dL pada bayi cukup bulan, terdapat adany infeksi pada bayi yang di tandai dengan meningkatnya nilai leukosit pada pasien yaitu 40.6 dan pasien malas menyusu. Namun sudah di lakukan fototerapi dan sekarang ikterus sudah membaik. Sepsis neonatorum terbagi menjadi dua klasifikasi yaitu sepsis awitan lambat di sebabkan oleh lingkungan rumah sakit dan sepsis awitan dini yang dapat di sebabkan oleh infeksi transplasenta. Gejala klinis sepsis neonatorum awitan dini yaitu terdapat sumber infeksi dari ibu seperti KPD >12 jam, Partus lama, Cairan ketuban hijau/berbau, Korioamnionitis, Persalinan dengan instrumentasi, ISK ibu, Persalinan premature, namun semua disangkal oleh ibu pasien. 48
Gejala klinis pada anak dengan sindrom down ini sangat khas. Kepala agak kecil dengan daerah oksipital yang mendatar. Mukanya lebar, tulang pipi tinggi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan serta sipit miring ke atas dan samping (seperti mongol). Lidah besar, kasar dan bercelah-celah (scrotal tongue). Pada jari tangan tampak kelingking yang pendek dan membengkok ke dalam.Jarak antara jari I dan II, baik pada tangan maupun kaki agak besar. Gambaran telapak tangan tampak tidak normal, yaitu terdapat satu garis besar melintang (simian crease). Diagnosis dari pasien Sindrom Down terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik ditemukan fisura palpebra yang miring (slanting), lipatan epikantus bilateral, gangguan refraksi, strabismus, nistagmus, dan katarak kongenital. Pada hidung dapat ditemukan tulang hidung hipoplastik dan flat nassal bridge. Pada lidah dapat ditemukan lidah yang cenderung menjulur, anak bernafas dengan mulut, sering berliur, dan malformasi gigi. Dapat juga ditemukan adanya kelainan jantung bawaan, sekitar 40-50%. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah Fluorescence In Situ Hybridization (FISH): digunakan untuk mendeteksi Trisomi 21 secara cepat, baik pada masa prenatal maupun masa neonatal. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan Thyroidstimulating hormone (TSH) and Thyroxine (T4): untuk menilai fungsi kelenjar tiroid. Dilakukan segera setelah lahir dan berkala setiap tahun. Pada pasien ini ditemukan mongol face yaitu fisura palpebra yang miring, lipatan epikantus bilateral, simian crease, lidah besar. Pada pasien ini diagnosis sindrom down sudah dapat ditegakan. Tidak ada pengobatan untuk memperbaiki Sindrom Down. Prinsip pengobatan medis digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia penderita dengan cara : pencegahan terhadap infeksi, rehabilitasi medis, alat bantu pendengaran bila didapatkan gangguan pendengaran, hormon tiroid diberikan bila didapatkan tanda-tanda hipotiroid.
49
DAFTAR PUSTAKA
1.Sutarjo, et al. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Badan Penerbit Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. 2. Kosim MS, et al. 2010. Buku Ajar Neonatologi.Badan Penerbit IDAI: Jakarta. 3. Bagla P. 2014. WHA Global Nutrition Targets 2025: Low Birth Weight Policy Brief. Badan Penerbit WHO 4. Pudjiadi, et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia:Jakarta. 5. Roespandi, et al. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Badan Penerbit WHO Indonesia: Jakarta. 6. Jurnal Pediatri. 2016. Down Syndrome : Deteksi Dini, Pencegahan dan Penatalaksanaan. [Online]. Available fromhttps://jurnalpediatri.com/ 7.
Genetic
Home
Reference.
2012.
Down
Syndrome.
https://ghr.nlm.nih.gov/condition/down-syndrome 8. Laksono, et al. 2011. Persentase Distribusi Penyakit Genetik dan Penyakit Yang Dapat Disebabkan Oleh Faktor Genetik Di RSUD Serang. [Online]. 9. National Down Syndrom Society. About Down Syndrom. [Online]. 10. Bull MJ. 2011. Clinical Report-Health Supervision for Children with Down Syndrome. American Academy of Pediatrics. 11. Saifuddin. 2010. Ilmu Kebidanan. Ed. 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 12. Respatiningrum, Nainggolan dan Lestari. 2012. Hubungan Kejadian Asfiksia Neonatorum dengan Perkembangan Bayi Usia 6-12 Bulan di RSUD Kota Tanjung Pinang Tahun 2012.
50