Case Portofolio Asma.docx

  • Uploaded by: Anonymous kFG0tEGyvp
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Portofolio Asma.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,816
  • Pages: 22
Topik : Asma Bronkial + Hipertensi Tanggal (kasus) : 10 April 2015

Presentan : Rizky Friska H, dr

Tanggal Presentasi : 27 april 2015 Tempat Presentasi : Ruang rapat RSUD Bayung Lencir Objekttif Presentasi :  Keilmuan

 Keterampilan

 Penyelenggara

 Tinjauan Pustaka

 Diagnostik

 Manajemen

 Masalah

 Istimewa

 Neonatus

 Bayi

 Anak

 Remaja

 Dewasa

√ Lansia

 Deskripsi : Wanita, 60 tahun, datang dengan keluhan sesak napas dan demam sejak satu hari yang lalu. Sesak didahului dengan batuk dan disertai bunyi mengi. Pasien mengeluh sesak terjadi dua kali dalam seminggu ini. Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak tiga hari yang lalu. Pasien mengeluh lemas karena tidak mau makan sejak kemarin. Pasien tidur menggunakan satu sampai dua bantal. Nyeri dada dan bengkak di kaki disangkal. Kelemahan pada satu sisi tubuh disangkal. Riwayat batuk lama dan pernah mengonsumsi OAT disangkal. Pasien memiliki riwayat penyakit asma dan darah tinggi sebelumnya. Pasien mengaku lupa nama obat darah tinggi yang pernah diberikan dokter dan Pasien mengaku tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi.  Tujuan : Tatalaksana Asma Bronkial dan Hipertensi Urgensi Bahan Bahasan

 Tinjauan Pustaka  Riset

Cara

 Diskusi

membahas

 Kasus

 Presentasi dan  Email

 Audit  Pos

diskusi

Data Pasien Nama : Ny.N

Umur : 60 Tahun

No. Reg:

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Status : Menikah

03.-.-

Alamat : Srimaju

Agama : Islam

Kebangsaan : Indonesia RSUD Bayung Lencir

Telp:-

Terdaftar : 10 April 2015

Data utama untuk bahan diskusi 1. Diagnosa /Gambaran klinis Wanita, 60 tahun, datang dengan keluhan sesak napas dan demam sejak satu hari yang

1

lalu. Sesak didahului dengan batuk dan disertai bunyi mengi. Pasien mengeluh sesak terjadi dua kali dalam seminggu ini. Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak tiga hari yang lalu. Pasien mengeluh lemas karena tidak mau makan sejak kemarin. Pasien tidur menggunakan satu sampai dua bantal. Nyeri dada dan bengkak di kaki disangkal. Kelemahan pada satu sisi tubuh disangkal. Riwayat batuk lama dan pernah mengonsumsi OAT disangkal. Pasien memiliki riwayat penyakit asma dan darah tinggi sebelumnya. Pasien mengaku lupa nama obat darah tinggi yang pernah diberikan dokter dan Pasien mengaku tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi. 2. Riwayat Pengobatan : Pasien sudah pernah berobat dengan keluhan darah tinggi ke IGD RSUD Bayung Lencir sekitar 1 bulan yang lalu. 3. Riwayat Kesehatan dan Penyakit : Riwayat Asma Bronkial (+) dan Riwayat Hipertensi (+) 4. Riwayat Keluarga : Tidak diketahui 5. Riwayat Pekerjaan : Tidak diketahui 6. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga : Tidak diketahui Daftar Pustaka DAFTAR PUSTAKA

1. Johnston M.V. Seizures in Childhood. In: Nelson Textbook of Pediatrics. Editor: Behrman, Kliegman, Jenson. Eds 17th. 2004. Pensylvania. Saunder. p 1993-2011. 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. 2002. Jakarta. Percetakan Infomedika. hal 847-55. 3. Rita Dewi. Msy. Kejang Demam. Dalam: Pedoman Standar Penatalaksanaan Anak RSMH Palembang. 2012 Departement Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang. 4. Anonim. Febril Convulsions. www.patient.co.uk/showdoc/40000513/. Access: 27 April 2005. 5. Zempsky

W.T.

Pediatrics,

Febril

Zeisures.

www.emedicine.com/emerg/topic376.htm. Last updated: October 14, 2004. Access: April 27, 2005. 6. Anonim.

Management

&

Tratment

of

Febrile

Seizures.

2

http://home.coqui.net/myrna/febsrz.htm. Access: April 27, 2005. 7. Baumann R. Febrile Sizures. www.emedicine.com/neuro/topic134.htmLast updated: February 14, 2005. Access: April 27, 2005. 8. Camfield

C.S.,

Camfield

P.R.

Febrile

Seizures.

www.ilae-

epilepsy.org/ctf/febrile_convulsions.htmlLast updated: December 1, 2002. Access: April 27, 2005.

Hasil pembelajaran 1. Asma Bronkial dan Hipertensi Urgensi 2. Tatalaksana Asma Bronkial dan Hipertensi Urgensi 3. Pemilihan obat-obatan

1. Subjektif Pasien datang dengan keluhan sesak napas dan demam sejak satu hari yang lalu. Sesak didahului dengan batuk dan disertai bunyi mengi. Pasien mengeluh sesak terjadi dua kali dalam seminggu ini. Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak tiga hari yang lalu. Pasien mengeluh lemas karena tidak mau makan sejak kemarin. Pasien tidur menggunakan satu sampai dua bantal. Nyeri dada dan bengkak di kaki disangkal. Kelemahan pada satu sisi tubuh disangkal. Riwayat batuk lama dan pernah mengonsumsi OAT disangkal. Pasien memiliki riwayat penyakit asma dan darah tinggi sebelumnya. Pasien mengaku lupa nama obat darah tinggi yang

pernah

diberikan dokter dan Pasien mengaku tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi.

3

2. Objektif Status Present Kesadaran

: E4V5M6 (Compos Mentis)

Tekanan darah

: 220/110 mmhg

Nadi

: 116x/menit

Pernafasan

: 31x/menit

Suhu

: 38,6° C

Status Generalis Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), nafas cuping hidung (-)

Leher : dalam batas normal

Thorax : bentuk normal, retraksi intercosta (+), krepitasi (-)

Paru : I; simetris P; dalam batas normal P; dalam batas normal A; vesikuler N/N, ronchi +/-, wheezing +/+

Jantung I; dalam batas normal P; dalam batas normal P; dalam batas normal A; S1-S2 normal, murmur (-), gallop (-), HR 116x/menit

Abdomen : I; cembung A; bising usus (+) normal

4

P; lemas P; timpani

Ekstremitas : Dalam batas normal

Pemeriksaan penunjang : Leukosit

: 19.200 rb sel

Hemoglobin : 12,9 gr/dl Eritrosit

: 4,47 juta sel

Hematokrit

: 36%

Trombosit

: 209.000 rb sel

3. Assesment Dari kasus di atas, Ny. N, perempuan, 60 tahun, sudah menikah, bekerja sebagai ibu rumah tangga, datang dengan keluhan utama sesak nafas disertai mengi yang didahului dengan batuk berdahak dan demam sejak satu hari yang lalu. Hal ini sesuai dengan teori bahwa asma bronkial diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu asma ekstrinsik dan asma intrinsik. Asma intrinsik atau idiopatik sering ditimbulkan karena faktor yang non spesifik seperti infeksi saluran nafas, latihan fisik, atau emosi yang dapat memicu serangan asma. Pada pasien ini sebelumnya memiliki infeksi saluran nafas yang ditandai dengan batuk berdahak sejak tiga hari yang lalu dan demam sejak satu hari yang lalu. Asma intrinsik ini lebih sering timbul pada individu yang usianya diatas 40 tahun. Serangan asma ini berlangsung lama dan disertai adanya mengi tanpa faktor atopi. Hal ini sesuai dengan umur pasien yaitu 60 tahun dan sesak nafas yang timbul pada pasien disertai dengan mengi. Akan tetapi, faktor atopi pada pasien ini tidak diketahui secara pasti. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik auskultasi thorakal didapatkan keluhan dan bunyi mengi pada saat ekspirasi. Dari keluhan dan dari pemeriksaan yang didapat ini menunjukkan adanya gejala klinis umum yang sering ditemukan. Sewaktu mengalami serangan, jalan nafas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran nafas, adanya edema jaringan saluran nafas, dan hipersekresi mukus.

5

Keadaan ini dapat menyumbat saluran nafas sebagai kompensasi penderita akan bernafas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan nafas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa sesak nafas dan mengi. Pasien juga mengeluh lemas karena tidak mau makan sejak satu hari yang lalu. Ini menunjukkan bahwa ketika sesak nafas terjadi perut yang terlalu penuh dengan makanan dapat menekan diafragma dan membuat lebih sulit bernafas. Menahan nafas ketika mengunyah atau menelan mungkn tidak nyaman jika sudah merasa sesak nafas. Dan ketika sesak berlangsung tubuh membutuhkan lebih banyak energi untuk bernafas. Karena hal ini lah pasien merasa lemas dan tidak mau makan. Pada anamnesis didapatkan informasi bahwa pasien tidur menggunakan satu sampai dua bantal. Nyeri dada dan bengkak di kaki disangkal. Kelemahan pada satu sisi tubuh disangkal serta riwayat batuk lama dan pernah mengonsumsi OAT disangkal. Hal ini untuk menyingkirkan penyulit yang dapat memperburuk keadaan pasien dengan keluhan sesak nafas. Hal ini juga ditujukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari sesak nafas seperti sindrom koroner akut, congestive heart failure, stroke, tuberkulosis paru, hypertensi heart disease, dsb. Mengingat pasien ini datang dengan tensi darah 220/110 mmhg dan memiliki riwayat hipertensi. Pada riwayat penyakit dahulu pasien memiliki riwayat penyakit asma dan darah tinggi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kasus ini memang mengarah pada kelainan di paru yaitu asma bronkial dan memiliki penyakit penyerta yaitu hipertensi urgensi. Dari anamnesis pasien mengaku lupa nama obat darah tinggi yang pernah diberikan dokter dan pasien mengaku tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa jika pasien rutin mngonsumsi obat darah tinggi, tensi darah pasien bisa terkontrol dan hipertensi urgensi dapat dihindari. Dokter juga dapat menentukan obat hipertensi pilihan untuk pasien atau dokter akan meneruskan pengobatan yang telah didapatkan pasien sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 220/110 mmhg, frekuensi nadi 116x/m, frekuensi pernafasan 31x/m, suhu 38,6°C. Pada pemeriksaan inspeksi thorakal didapatkan retraksi intercosta (+) dan aukultasi paru ditemukan ronchi (+) pada paru kanan bagian tengah serta wheezing (+) pada paru kanan dan kiri. Hal ini sesuai dengan gejala pada

6

asma bronkial dan pasien ini juga sudah termasuk hipertensi urgensi. Pada pemeriksaan laboratorium yaitu darah rutin didapatkan leukosit 19.200 rb sel, hemoglobin 12,9 gr/dl, eritrosit 4,47 juta sel, hematokrit 36%, trombosit 209.000 rb sel. Data ini menunjukkan bahwa pasien mengalami infeksi dengan jumlah leukosit 19.200 rb sel. Infeksi tersebut dapat ditunjukkan dari gejala yang ada pada pasien yaitu batuk berdahak sejak tiga hari yag lalu dan adanya demam sejak satu hari yang lalu dengan suhu 38,6°C. Akan tetapi membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pasti terjadinya infeksi pada pasien ini. Dari identifikasi, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang laboratorium dapat ditegakkan diagnosa sementara pasien menderita asma bronkial dan hipertensi urgensi.

7

4. Planning Diagnosa : Asma bronkial dengan Hipertensi urgensi

Tatalaksana :  Medikamentosa : o O2 3 L/menit Nasal kanul o Nebulizer ventolin dan Nacl 1:1 (1x) o IVFD RL gtt xv/mnt o ISDN 5mg sublingual o Injeksi cefotaxim 1 ampul o Injeksi ranitidin 1 ampul  Non Medikamentosa : o Tirah baring o Diet rendah garam

Prognosis : Qua ad vitam : dubia at bonam Qua ad fungsionam : dubia at bonam

8

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis, dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.

2. Epidemiologi Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik barubaru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA). Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma

9

sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.

3. Etiologi dan Patofisiologi Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, infeksi virus atau bakteri, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 1624 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan

10

vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.

4. Klasifikasi Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat terjadinya asma dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya. 4.1. Klasifikasi menurut etiologi Pada klasifikasi ini, asma bronkial dibedakan antara faktor–faktor yang menginduksi inflamasi dan menimbulkan penyempitan saluran nafas dan hiperaktivitas (inducers) dengan faktor yang dapat mencetuskan konstriksi akut pada penderita yang sensitif (inciters). Pada klasifikasi ini, asma terbagi menjadi 2 macam, yaitu asma ekstrinsik dan asma intrinsik. a. Asma ekstrinsik Asma ekstrinsik, sebagian besar ditemukan pada pasien anak. Jenis asma ini disebabkan oleh alergen. Gejala awal dapat berupa hay fever atau ekzema yang timbul karena alergi (imunologi individu peka terhadap alergen) dan dalam keadaan atopi. Alergen yang menyebabkan asma ini biasanya berupa protein dalam bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, kain pembalut, atau

11

yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat. Perlu diketahui meskipun alergen tersebut dalam jumlah yang sedikit tetap dapat menyerang asma pada anak. Namun demikian, jenis asma ini dapat sembuh seiring dengan pertumbuhan usia. b. Asma intrinsik Asma intrinsik atau idiopatik, sering tidak ditemukan faktor pencetus yang jelas. Faktor yang non spesifik seperti infeksi saluran nafas, latihan fisik, atau emosi, dapat memicu serangan asma. Asma intrinsik cenderung lebih lama berlangsung dibandingkan dengan asma ekstrinsik. Asma intrinsik ini lebih sering timbul pada individu yang usianya di atas 40 tahun. Biasanya penderita asma ini juga terserang polip hidung, sinusitis berulang, dan obstruksi saluran pernafasan berat yang memberikan respons pada aspirin yang telah dicampur dalam berbagai macam kombinasi. Serangan asma ini berlangsung lama dan disertai adanya mengi tanpa faktor atopi. Terjadinya serangan asma yang terus menerus dapat menyebabkan bronkitis kronik dan emfisema. 4.2. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gejala Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.

12

Derajat Asma

Gejala

Gejala malam

Faal paru

Intermiten

Bulanan

<2 kali sebulan

APE >80%

-Gejala <1x/minggu

- VEP1 >80% nilai

tanpa gejala diluar

prediksi APE

serangan

>80% nilai terbaik

-Serangan singkat

- Variabiliti APE <20%

Persisten ringan

Persisten sedang

Mingguan

>2 kali sebulan

APE >80%

-Gejala >1x/minggu

- VEP1 >80% nilai

tetapi <1x/hari

prediksi APE

-Serangan dapat

>80% nilai terbaik

mengganggu

- Variabiliti APE

aktivitas dan tidur

20-30%

Harian

>2 kali sebulan

APE 60-80%

-Gejala setiap hari

- VEP1 60-80%

-Serangan

nilai prediksi APE

mengganggu

60-80% nilai

aktivitas

terbaik

dan tidur

- Variabiliti APE

-Bronkodilator

>30%

setiap hari Persisten berat

Kontinyu

Sering

APE <60%

-Gejala terus

- VEP1 <60% nilai

menerus

prediksi APE

-Sering kambuh

<60% nilai terbaik

-Aktivitas fisik

- Variabiliti APE

terbatas

>30%

13

5. Diagnosis Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang. 5.1. Anamnesis Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, infeksi virus atau bakteri berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.

14

5.2. Pemeriksaan Fisik Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang. 5.3. Pemeriksaan Penunjang A. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. B. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. C. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma dan dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di paru atau komplikasi Asma, seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. D. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). E. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semikuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.

15

Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. F. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

6. Diagnosis Banding -

Penyakit paru obstruksi kronik

-

Bronkitis kronik

-

Gagal jantung kongestif

-

Batuk kronik karena penyebab lain

-

Disfungsi laring

-

Obstruksi mekanis (misal tumor)

-

Emboli paru

7. Tatalaksana Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

16

7.1. Medikasi Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breath– actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol (controller) adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari: 1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik 2. Leukotriene modifiers 3. Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral) 4. Metilsantin (teofilin) 5. Kromolin Pelega (reliever) adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari: 1. Agonis β-2 kerja singkat 2. Kortikosteroid sistemik 3. Antikolinergik (Ipratropium bromide) 4. Metilsantin

17

7.2. Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1. Asma Intermiten a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan

2. Asma Persisten Ringan a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: 

Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi



Budenoside : 200–400 μg/hari



Fluticasone propionate : 100–250 μg/hari



Teofilin lepas lambat



Kromolin



Leukotriene modifiers

b. Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu

3. Asma Persisten Sedang a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: 

Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi



Budenoside: 400–800 μg/hari



Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari

18



Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas lambat



Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis β-2 kerja lama oral



Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)



Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene modifiers

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu 

Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau



Agonis β-2 kerja singkat oral, atau



Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat



Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah 4. Asma Persisten Berat a. Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin b. Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: 

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi



Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari



Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi

19



Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas

8. Komplikasi Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah : 8.1. Pneumothoraks Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas. 8.2. Pneumomediastinum Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.

20

8.3. Atelektasis Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. 8.4. Aspergilosis Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat

oleh

adanya

gangguan

pernapasan

yang

berat.

Penyakit

ini

juga

dapatmenimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp. 8.5. Gagal napas Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh. 8.6. Bronkhitis Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.

Krisis Hipertensi Krisis hipertensi dapat terjadi dalam bentuk hipertensi emergensi atau pun hipertensi urgensi. Hipertensi urgensi didiagnosis ketika tekanan darah sistolik 180 mmhg atau lebih tinggi, 110 mmhg atau lebih tinggi untuk diastolik, namun tanpa disertai kerusakan organ (AHA, 2014). Hipertensi urgensi dengan atau tanpa simptom di bawah ini : 1. sakit kepala 2. gelisah 3. sesak nafas 4. epistaksis

21

Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik diatas 180 mmhg diastolic diatas 120 mmhg atau bahkan bisa lebih rendah. Namun dapat terjadi pada tekanan yang lebih rendah pada pasien yang memiliki tensi yang lebih rendah. Keadaan ini diikuti dengan kerusakan organ (AHA, 2014). Simptom dari hipertensi emergensi : 1. stroke 2. penurunan kesadaran 3. kerusakan memori 4. kerusakan ginjal danmata 5. diseksi aorta 6. angina unstable 7. chest pain 8. edema paru 9. keruskan fungsi ginjal 10. eklampsia

Tatalaksana Hipertensi Hipertensi diklasifikasikan menjadi 4 staging berdasarkan tekanan darah. Hipertensi kronis yang tidak mendapatkan tatalaksana dapat berakibat kerusakan organ. Hipertensi haruslah ditatalaksana karena dapat meningkatkan reisko kejadian gagal jantung, gagal ginjal dan paling sering gangguan serebrovaskular. Hipertensi urgensi ditatalaksana dengan obat antihipertensi oral, dimulai dengan dosis rendah, target kerja adalah tekanan darah mencapai 160/110 mmhg, MAP (mean arterial pressure) 25% dalam 24 jam. Kaptropril diberikan 25 mg secara oral, dan dievaluasi dalam 30-90 menit. Efek samping dari kaptopril adalah batuk dan angioedema. Bisa juga menggunakan calcium channel bloker (nicardipine), dapat diulangi dalam 8 jam, efek dicapai setelah 30 menit sampai 2 jam. Efek samping golongan ini adalah palpitasi, flushing, pusing dan sakit kepala, atau nifedipine efek dicapai dalam waktu 10-20 menit. Golongan labetalol memilikki onset kerja 1-2 jam diberikan secara oral 300 mg atau 200 mg diulangi tiap 3 jam. Klonidin merupakan obat simpatetik sentral onset kerja dicapai dalam 15-30 menit diberikan 0,1-0,2 mg loading dose setiap satu jam hingga target tekanan darah dicapai.

22

Related Documents

Portofolio
May 2020 23
Portofolio Kds.docx
April 2020 20
Portofolio Bp.docx
June 2020 11

More Documents from "Dwi Widya Hariska"