Laporan Kasus
SEORANG PEREMPUAN USIA 54 TAHUN DATANG DENGAN KELUHAN SESAK NAPAS YANG SEMAKIN BERAT SEJAK 1 HARI SMRS
Oleh: Evlin Kohar, S. Ked
04054821820019
Fianirazha Primesa Caesarani, S.Ked
04054821820111
Pembimbing: dr. Dini Ardiyani, Sp.PD
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. H. M. RABAIN MUARA ENIM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019
HALAMAN PENGESAHAN Judul Laporan Kasus Seorang Perempuan Usia 54 Tahun Datang Dengan Keluhan Sesak Napas yang Semakin Berat Sejak 1 Hari SMRS
Oleh: Evlin Kohar, S. Ked
04054821820019
Fianirazha Primesa Caesarani, S.Ked
04054821820111
Telah diterima dan disetujui untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 28 Januari – 22 Februari 2019.
Palembang, 14 Februari 2019
dr. Dini Ardiyani, Sp.PD
ii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Seorang Perempuan Usia 54 Tahun Datang Dengan Keluhan Sesak Napas yang Semakin Berat Sejak 1 Hari SMRS”. Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Stase Daerah RSUD Dr. H. M. Rabain Muara Enim Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Dini Ardiyani, Sp.PD, selaku pembimbing, serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasusini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap laporan kasus ini dapat memberi ilmu dan manfaat bagi pembaca.
Palembang, 14 Februari 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................1
BAB II
LAPORAN KASUS ..............................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................13 3.1 Congestive Heart Failure ................................................................................13 3.1.1 Definisi ..................................................................................................13 3.1.2 Epidemiologi .........................................................................................13 3.1.3 Etiologi ..................................................................................................14 3.1.4 Faktor Risiko .........................................................................................15 3.1.5 Patofisiologi ...........................................................................................16 3.1.6 Manifestasi Klinis ..................................................................................18 3.1.7 Diagnosis ...............................................................................................20 3.1.8 Tatalaksana ............................................................................................27 3.1.9 Prognosis ...............................................................................................33 3.2 Fibrilasi Atrial .................................................................................................36 3.3 Kardiomiopati ................................................................................................38 3.3.1 Definisi ..................................................................................................38 3.3.2 Epidemiologi .........................................................................................39 3.3.3 Etiologi ..................................................................................................39 3.3.4 Patofisiologi ...........................................................................................40 3.3.5 Gejala Klinis ..........................................................................................41 3.3.6 Pemeriksaan Fisis ..................................................................................41 3.3.7 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................42 3.3.8 Pengobatan ...........................................................................................43 3.3.9 Prognosis ...............................................................................................44 BAB IV ANALISIS KASUS ..............................................................................45 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................50
iv
BAB I PENDAHULUAN Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri, kanan, dan kombinasi atau kongestif. Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis. Gagal jantung kongestif adalah gabungan dari kedua gambaran tersebut. Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan sering terjadi secara bersamaan.1 Udjianti (2011) menyatakan bahwa Insidensi CHF sulit ditentukan karena CHF adalah suatu simtom atau gejala dan bukan suatu diagnosis. Data pada simtom ini biasanya berhubungan dengan penyebab yang mendasari. Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskular termasuk CHF masih menduduki peringkat yang tinggi, CHF telah melibatkan 23 juta penduduk di dunia. Sekitar 4,7 orang menderita CHF di Amerika (1,5-2% dari total populasi) dengan tingkat insiden 550.000 kasus per tahun. Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta melaporkan sekitar 400-450 kasus infark miokard setiap tahunnya.2,3 CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya;dipsnea, ortopnea, pernapasan Cheyne-Stokes, Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), asites, piting edema, berat badan meningkat, dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak napas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita terbangun.3 Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjutan dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan. Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4
1
tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama.4 Berdasarkan SKDI Konsil Kedokteran Indonesia 2012, gagal jantung kongestif termasuk dalam tingkat kemampuan 3A, sehingga lulusan dokter diharapkan mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
2
BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Identifikasi Nama
: Ny. M
Umur
: 54 tahun (11/07/1964)
Alamat
: Dusun III, Tanjung, Gunung Megang, Muara Enim
Suku
: Sumatera
Bangsa
: Indonesia
Agama
: Islam
Pendidikan
: Tidak Sekolah
Pekerjaan
: Petani/Pekebun
MRS
: 29 Januari 2019 Pukul 14.00 WIB
No. RM
: 190180
2.2 Anamnesis Autoanamnesis dan alloanamnesis dari pasien dan suami pasien a.n. Tn. R (Senin, tanggal 29 Januari 2019, pukul 15.00 WIB)
Keluhan Utama: Sesak napas yang semakin berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan: Dada berdebar-debar.
Riwayat Perjalanan Penyakit: Sejak ±3 minggu SMRS, pasien mengeluh sesak napas, dirasakan terutama saat berjalan jauh dan berkurang dengan istirahat. Timbulnya sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan cuaca maupun paparan debu. Pasien juga mengeluh dada berdebardebar (+) yang dirasakan hilang timbul. Nyeri dada (-), pingsan (-). Keluhan disertai dengan batuk (+) berdahak, dahak berwarna putih kental, darah (-), jumlah 1 sendok makan tiap batuk, timbulnya terutama pada malam hari sehingga pasien sering
3
terbangun dari tidurnya karena batuk dan sesak, berkurang dalam posisi ½ duduk. Pasien masih bisa tidur terlentang namun lebih nyaman dengan 2 bantal. Demam (-), keringat malam (-), penurunan BB (-), penurunan nafsu makan (-). Pasien juga mengeluh bengkak pada kedua kaki dan perut membesar. Sembab pada wajah saat pagi hari (-). Mual (-), muntah (-), nyeri perut (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien belum berobat, keluhan tidak berkurang. Sejak ± 1 minggu SMRS pasien masih merasakan keluhan yang sama. Sesak napas dirasa semakin memberat, timbul bahkan saat beraktivitas ringan seperti mengerjakan tugas rumah tangga, dan berkurang dengan istirahat dalam posisi ½ duduk. Keluhan disertai dengan dada berdebar-debar dan terbangun batuk pada malam hari. Pasien sesak saat tidur terlentang dan lebih nyaman tidur dengan 3 bantal. Bengkak di perut serta kedua kaki dirasakan semakin membesar secara perlahan. Pasien berobat ke Puskemas Telok Lubuk, dikatakan sakit jantung, diberi 3 macam obat jantung, setelahnya pasien sering BAK, keluhan berkurang. Sejak 1 hari SMRS pasien mengeluh sesak napas yang dirasakan semakin memberat, pasien merasa cepat lelah dan kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, tidak berkurang dengan istirahat. Pasien tersengal dan dada semakin berdebardebar. Keluhan disertai dengan batuk berdahak, berwarna putih kental, timbulnya batuk terutama pada malam hari. Pasien sulit tidur karena terbangun dengan sesak napas dan batuk. Pasien tidur dengan 3 bantal. Bengkak di perut serta kedua kaki dirasakan semakin membesar secara perlahan. Pasien kemudian berobat ke RS H.M. Rabain Muara Enim. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat dada sering berdebar-debar yang hilang timbul sejak ± 2 tahun yang lalu Riwayat serangan jantung sebelumnya disangkal Riwayat darah tinggi ada, pasien tidak rutin berobat, minum obat dari bidan Riwayat kencing manis disangkal Riwayat mengi disangkal Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Riwayat penyakit jantung pada anggota keluarga disangkal Riwayat darah tinggi pada anggota keluarga disangkal
4
Riwayat kencing manis pada anggota keluarga disangkal Riwayat mengi pada anggota keluarga disangkal Riwayat Pengobatan Pasien pernah mengonsumsi 3 macam obat jantung, tiap obat diminum 1 kali sehari selama ± 1 minggu, pasien lupa nama obatnya, yang diperoleh dari Puskesmas. Riwayat konsumsi obat di bawah lidah disangkal Riwayat konsumsi obat darah tinggi ada, pasien lupa nama obat, tidak rutin Riwayat rutin suntik (insulin) di perut disangkal Riwayat rutin konsumsi obat tiroid atau PTU disangkal Status Sosial Ekonomi dan Gizi: Pasien bekerja sebagai pekebun. Pasien makan 3-4 kali sehari dengan variasi nasi, ikan, ayam, tempe, tahu, telur, dan buah-buahan. Pasien jarang makan daging merah dan minum susu. Gaji ± 1 juta/bulan. Suami pasien bekerja sebagai pekebun, dengan gaji ±6-7 juta/3 bulan. Riwayat merokok (+), 2-3 batang per hari. Kesan : sosial ekonomi menengah ke bawah.
2.3 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum Keadaan Umum
:
Tampak sakit sedang
Kesadaran
:
Compos mentis
Habitus
:
Astenikus
Tekanan Darah
:
100/50 mmHg
Nadi
:
100 x/menit, isi/kualitas cukup, reguler
Pernapasan
:
32 x/menit, reguler, tipe pernapasan thorako abdominal
Suhu
:
36,5oC
5
Pemeriksaan Khusus Kepala
:
Normochepali, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, alopesia (-), nyeri tekan supra dan infra orbita (-), deformitas tulang kepala (-)
Mata
:
Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)
Hidung
:
Deviasi septum nasal (-), sekret (-)
Mulut
:
Sianosis (-), stomatitis (-), atrofi papil lidah (-), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Telinga
:
MAE lapang, sekret (-), nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik auricula (-)
Leher
:
JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB(-)
Thoraks Pulmo Inspeksi
: Statis simetris, dinamis simetris, kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-), batas paru hepar ICS V linea midclavicularis dextra, peranjakan 1 sela iga
Auskultasi
: Vesikuler (+) normal, rhonki (+) basah halus pada basal kedua lapangan paru, wheezing (-)
Cor Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba di ICS IV linea midclavicularis sinistra
Perkusi
: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis sinistra Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dextra Batas jantung kiri ICS V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi
: HR 104 x/menit, ireguler, BJ I dan II (+) normal,murmur(-), gallop (+)
Abdomen Inspeksi
: cembung, asimetris, venektasi (-)
6
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Palpasi
: Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 1 cm di bawah arcus costae, lien tidak teraba
Perkusi
: Timpani, shifting dullness (+)
Ekstremitas Atas
: Palmar pucat (-), palmar eritema (-), clubbing finger (-), koilonychia (-), edema (-), deformitas (-)
Bawah
: Akral pucat (-), akral hangat (+), edema pretibial (+) pitting, deformitas (-), ulkus (-)
2.4
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (Tanggal 29 Januari 2019) Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Hemoglobin
12,8 g/dL
12-16 g/dL
WBC (Leukosit)
8,40 x 103/uL
5-10 x 103/uL
RBC (Eritrosit)
5 x 106/mm3
4,00-5,50 x 106/mm3
HCT
40,2%
36 - 48%
MCV
82,4 fL
82 – 92 fL
MCH
27,6 pg
27 – 31 pg
MCHC
32,8 g/dL
32- 36 g/dL
Darah Rutin
PLT (Thrombosit)
371 x 10 /uL
150 – 450 x 103/uL
RDW-SD
38,5 fL
35 – 47 fL
RDW-CV
13,5 %
11,5 – 14,5%
PDW
9,8 fL
9,0 – 13,0 fL
MPV
8,9 fL
7,2 – 11,1 fL
P-LCR
16,4%
15,0 – 25,0%
PCT
0,33%
0,150 – 0,400%
Diff count
0,2/0,8*/79,8*/9,8*/9,4*
0-1/1-3/50-70/20-40/2-8
3
Interpretasi: diff count shift to the right Kimia Klinik BSS
Hasil
Nilai Normal
101 mg/dL
76 – 115 mg/dL
7
Total Kolesterol
179 mg/dL
< 200 mg/dL
Trigliserid
86 mg/dL
< 200 mg/dL
Cholesterol HDL
45 mg/dL
35 – 79 mg/dL
LDL
117 mg/dL
< 130 mg/dL
Ureum
17 mg/dL
10 – 50 mg/dL
Creatinin
0,9 mg/dL
0,6 – 1,1 mg/dL
Albumin
3,3 mg/dL
3,5 – 5,2 mg/dL
Interpretasi: hipoalbuminemia
Elektrolit Darah
Hasil
Nilai Normal
Natrium (Na)
136 mmol/L
136 – 146 mmol/L
Kalium (K)
3,7 mmol/L
3,5 – 5,0 mmol/L
Chlorida (Cl)
98 mmol/L
96 – 106 mmol/L
Interpretasi: normal elektrolit darah
Tabel Kriteria Framingham Tabel 1. Kriteria Framingham KRITERIA MAJOR Paroksismal Nokturnal Dispnea (+) Distensi Vena Leher (+) Ronkhi Paru (+) Edema Paru Akut (-) Gallop S3 (+) Peninggian Tekanan Vena Jugularis (+)
KRITERIA MINOR Edema ekstremitas (+) Batuk malam hari (+) Dispnea d’effort (+) Hepatomegali (+) Efusi Pleura (-) Penurunan kapasitas vital 1/3 normal
Refluks Hepatojugular
Takikardia (>120x/menit)
Interpretasi: -
Terdapat 5 kriteria mayor dan 4 kriteria minor pada pasien ini
8
EKG (30/01/2019)
Dari hasil pemeriksaan EKG maka didapat: Interpretasi : Atrial Fibrilasi, HR 80 x/menit ireguler, gelombang P tidak teridentifikasi (fibrilatory wave), PR interval tidak dapat dinilai, QRS kompleks sempit, R-S progression normal, Q patologis tidak ada, ST-T changes: sagging ST depression with T inversion Kesan: Atrial Fibrilasi Normoventricular Response (AFNR) + Digoxin Suggestive Effect
9
Echocardiography (30/01/2019)
Dari hasil pemeriksaan Echocardiography maka didapat: Dimensi
: dalam batas normal
Wall motion
: global hipokinetik
Fungsi sistole
: moderately reduced (EF 41%)
Disfungsi diastole
: (+) grade II
Katup
: Normal
Tapse
: 2.25
Kesan
: Kardiomiopati
10
Rontgen Thoraks PA (30/01/2019)
CTR > 50%, batas jantung kiri membesar dengan apeks tertanam pada diafragma, pinggang jantung menonjol. Trakhea di tengah, mediastinum superior tidak melebar. Sinuses lancip, diafragma normal. Pulmo: kedua hilus tidak melebar, corakan bronkhovaskuler meningkat. Tampak infiltrat di perihiler bilateral. Kranialisasi (-) Tulang-tulang dan jaringan lunak baik Kesan: Kardiomegali dan Elongasi Aorta.
2.5 Diagnosis Sementara Congestive Heart Failure (CHF) ec Hypertension Heart Disease (HHD) NYHA IV + Atrial Fibrilasi Normoventricular Response (AFNR)
11
2.6 Diagnosis Banding - CHF ec CAD
2.7 Rencana Pemeriksaan -
CAG (coronary arteriography)
-
Analisa gas darah
2.8 Prognosis Quo ad Vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad Functionam
: Dubia ad malam
Quo ad Sanationam
: Dubia ad malam
2.9 Tatalaksana Non Farmakologi:
Farmakologi:
- Tirah baring posisi semi fowler
- Oksigen 3-4 l/m via nasal kanul
- Diet Jantung III Garam Rendah
- IVFD NaCl 0,9% gtt V x/m mikro
(makanan lunak, rendah garam, rendah
- Inj. Furosemid 2 x 40 mg (IV)
energi dan kalsium, tetapi cukup zat
- Letonal 1 x 25 mg tab PO
gizi lain)
- Digoxin 1 x 1 tab PO
- Pasang kateter (untuk menghitung
- Candesartan 1 x 8 mg tab PO
balans cairan → negatif) - Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatan
12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Congestive Heart Failure 3.1.1 Definisi Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah definisi gagal relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium. Gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung. Gagal Jantung adalah sindrom klinis kompleks berupa disfungsi ventrikel kanan, ventrikel kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan pengaturan neurohormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi aktivitas, retensi cairan dan upaya untuk bernapas normal. Umumnya terjadi pada penyakit jantung stadium akhir setelah miokard dan sirkulasi perifer mengalami kekurangan cadangan oksigen dan nutrisi serta sebagai akibat mekanisme kompensasi.7 Pasien gagal jantung memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (napas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat beraktivitas dengan disertai kelelahan atau tidak), tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.5,6 3.1.2 Epidemiologi Gagal jantung merupakan masalah yang sedang berkembang di seluruh dunia, dengan jumlah pasien di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang. Prevalensi pasien gagal jantung secara keseluruhan pada populasi pasien dewasa di negara-negara berkembang adalah 2%.6 Berdasarkan hasil Riset
13
Kesehatan Dasar pada tahun 2013 di Indonesia, prevalensi pasien gagal jantung pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar 0,13%.7 Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring dengan usia, dan mempengaruhi sekitar 6-10% pasien dengan usia di atas 65 tahun. Prevalensi dari gagal jantung diduga meningkat karena penatalaksanaan penyakit jantung yang semakin maju, seperti infark miokard, penyakit katup jantung, dan aritimia, yang menyebabkan pasien bertahan lebih lama.6 Jumlah pasien yang dirujuk ke departemen emergensi dengan gagal jantung akut juga meningkat secara paralel dengan meningkatnya populasi individu usia lanjut, sesuai dengan meningkatnya pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung yang asimtomatis.8 Usia pasien gagal jantung di Indonesia relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.9 Penderita penyakit jantung dan gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter maupun diagnosis/gejala diperkirakan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.5 3.1.3 Etiologi Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut. Penyebab Gagal jantung dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang terdiri dari: 1) Kerusakan kontraktilitas ventrikel, 2) Peningkatan afterload, dan
14
3) Kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel. Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan coronary arteri disease (miokard infark dan miokard iskemia), chronic volume overload (mitral dan aortic regurgitasi dan cardiomyopathies). Peningkatan afterload terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi, hipervolemia, defek septum ventrikel, defek septum atrium, paten duktus arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi berat. Sedangkan kerusakan pengisian diastolik pada ventrikel disebabkan karena hipertrofi ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosis miokard, transient myocardial ischemia, dan kontriksi perikardial. Penyebab
gagal
jantung
antara
lain
disfungsi
miokardium,
endokardium, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup jantung, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika, disfungsi miokardium paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokardium, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Di Indonesia belum memiliki data yang pasti, sementara di Palembang, hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.10 Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung, edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi terutama yang bersifat irreversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.5 3.1.4 Faktor Risiko 1. Usia: penyakit yang serius jarang sebelum usia 40 tahun. 2. Jenis kelamin: wanita relatif terlindung sampai setelah menopause (akibat efek perlindungan estrogen). 3. Riwayat keluarga: dapat akibat kelainan genetik (gangguan lipid familial) atau lingkungan (gaya hidup). 4. Ras: Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih. 5. Peningkatan lipid serum.
15
6. Hipertensi: mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan sheer stress (robekan), meningkatkan pembentukan hidogen peroksida dan radikal bebas, mengurangi pembentukan nitrit oksida oleh endotelium dan meningkatkan adhesi leukosit. 7. Merokok: tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan pada lamanya), mereka yang merokok satu pak rokok 2x lebih rentan dibandingkan dengan yang tidak merokok. Asap rokok dapat menyebabkan pembentukan oxidatively modified LDL. 8. Gangguan toleransi glukosa: penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi lebih tinggi, mekanismenya belum pasti tapi mungkin akibat kelainan metabolisme lemak atau predisposisi degenerasi vaskular berkaitan dengan gangguan toleransi glukosa. Hiperglisemia dapat memacu glukosilasi non enzimatik dari LDL yang menginisiasi terjadinya atherosklerosis dengan cara yang sama dengan oxidatively modified LDL. 9. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori 10. Obesitas: meningkatkan beban kerja jantung dam kebutuhan akan oksigen 3.1.5 Patofisiologi Gagal jantung merupakan suatu gangguan progresif pada jantung yang dimulai setelah serangkaian peristiwa terjadi, seperti kerusakan otot jantung, hilangnya fungsi sel otot jantung, atau hilangnya kemampuan otot jantung dalam berkontraksi secara normal. Peristiwa-peristiwa ini dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan.6 Mekanisme kompensasi tubuh (mekanisme neurohormonal) dalam menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun, meliputi pengaktivasian:6,13 1. Sistem saraf simpatis, dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung
16
2. Sistem renin-angitensin-aldosteron (RAA), sistem saraf adrenergik, dan sistem ADH. Sistem-sistem ini melalui ginjal dapat meningkatkan retensi natrium dan air sehingga dapat meningkatkan tekanan pengisian jantung. 3. Sistem-sistem vasodilator seperti ANP, BNP, prostaglandin, dan NO yang dapat mengimbangi vasokonstriksi perifer yang berlebihan.
Gambar 1. Aktivasi Sistem Neurohormonal Jantung Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition. 2015. Section 279. Heart Failure: Pathophysiology and Diagnosis.6
Pasien gagal jantung mengalami penurunan curah jantung yang dapat memicu disfungsi baroreseptor pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arkus aorta. Disfungsi tersebut menyebabkan hilangnya inhibisi tonus parasimpatis terhadap sistem saraf pusat, sehingga tonus saraf simpatis eferen dapat meningkat secara general. Peningkatan tonus simpatis eferen menyebabkan pelepasan ADH (vasokonstriktor poten) dan terjadi retensi air. Aktivasi sistem saraf simpatis juga dapat menyebabkan pelepasan sistem RAA yang dapat menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron melalui
17
ginjal. Kedua aktivasi RAA dan ADH dapat meningkatan retensi air dan natrium tubuh serta memicu vasokonstriksi perifer, hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis miokardium. Mekanisme kompensasi neurohormonal sebenarnya hanya dapat memfasilitasi adaptasi turunnya curah jantung dalam waktu yang singkat dengan mempertahankan tekanan darah, sehingga mempertahankan perfusi ke organ-organ vital. Aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus dapat menyebabkan perubahan pada jantung dan sitem sirkulasi, meliputi retensi natrium dan air yang berlebihan pada gagal jantung lanjut. Aktivasi sistem-sistem neurohormonal dalam waktu yang lama dapat menginduksi proses maladaptif yang dapat menyebabkan remodelling ventrikel dan disfungsi organ.6,13 Edema jaringan terjadi ketika transudasi cairan dari kapiler ke jaringan interstisial melebihi kapasitas drainase sistem limfatik, meningkatnya tekanan hidrostatik transkapiler, dan menurunnya tekanan onkotik transkapiler. Pada individu yang sehat, peningkatan retensi natrium biasanya tidak akan disertai pembentukan edema karena jaringan glikosaminoglikan akan menyangga retensi natrium tersebut. Retensi natrium terjadi secara terus menerus pada pasien gagal jantung sehingga jaringan glikosaminoglikan akan mengalami gangguan fungsi dan sistem sangga ini tidak akan terjadi. Hal ini memudahkan terjadinya edema paru dan edema sistemik.13 Pasien gagal jantung akut dengan hipertensi, terjadi perubahan yang dapat meningkatan afterload dan menurunkan kapasitas vena (peningkatan preload).13 3.1.6 Manifestasi Klinis Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling pressure).
18
Pada gagal jantung kronik, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat dikategorikan berdasarkan kriteria New York Heart Association (NYHA) Functional Classification.10 Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung Berdasarkan NYHA Classification
NYHA I
NYHA II
NYHA III
NYHA IV
Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa, misalnya berjalan, naik tangga, dan sebagainya. Gejala ringan (sesak napas ringan dan/atau angina) serta terdapat keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa) Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung pada tingkatan yang lebih ringan, misalnya berjalan 20-100 m. Pasien hanya merasa nyaman saat istirahat. Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul saat istirahat.
Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Gejala Tipikal - Sesak napas - Ortopneu - Paroxysmal nocturnal dyspneu - Toleransi aktivitas yang berkurang - Cepat lelah - Bengkak di pergelangan kaki Kurang Tipikal - Batuk di malam hari/ dini hari - Mengi - BB bertambah > 2 kg/minggu - BB turun/ gagal jantung stadium lanjut - Perasaan kembung/begah - Nafsu makan menurun - Perasaan bingung (terutama usia lanjut) - Depresi - Berdebar - Pingsan
Tanda Spesifik - Peningkatan JVP - Refluks hepatojugular - Suara Jantung SIII (gallop) - Apex jantung bergeser ke lateral - Bising jantung Kurang Tipikal - Edema paru - Krepitasi pulmonal - Suara pekak di basal paru pada perkusi - Takikardi - Nadi irreguler - Napas cepat - Hepatomegali - Asites
Dikutip dari ESC Guidelines for diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2016.
19
Tabel 3. Organ yang Terkongesti dan Manifestasi Klinisnya
Organ yang Terkongesti Jantung
Paru-paru
Ginjal Hepar
Saluran cerna
Manifestasi Klinis Suara jantung ke-3, distensi vena jugular, refluks hepato-jugular, regurgitasi mitral dan trikuspid, peningkatan kadar peptida natriuretik (BNP >100 pg/mL, NT-proBNP >300 pg/mL) Dispnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, rales, crackles, mengi, takipnea, kelainan gambar radiologis toraks (efusi pleura, edema alveolar/interstisial) Penurunan BAK, peningkatan kreatinin, hiponatremia Hepatomegali, rasa tidak nyaman pada perut kanan atas, ikterus, peningkatan kadar bilirubin (mengindikasikan kolestasis) Mual, muntah, nyeri abdomen, asites, peningkatan tekanan abdomen
Sumber: Arrigo, Mattia, dkk. 2016. Understanding acute heart failure: pathophyisiology and diagnosis. European Heart Journal Supplements.13
3.1.7 Diagnosis Diagnosis gagal jantung kronik dapat ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor.8 Tabel 4. Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Kriteria Mayor - Paroxysmal nocturnal dispnea - Distensi vena-vena leher - Peningkatan vena jugularis - Ronkhi - Kardiomegalli - Edema paru akut - Gallop bunyi jantung III - Refluks hepatojugular positif
Kriteria Minor - Edema ekstremitas - Batuk malam - Sesak pada saat aktivitas - Hepatomegalli - Efusi pleura - Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal - Takikardia (>120 denyut per menit)
20
Gambar 2. Algoritma diagnostik gagal jantung. Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2016
Anamnesis Pada anamnesis pasien didapatkan pasien lemas, anoreksia dan mual, gangguan mental pada usia tua.8 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, pada pasien gagal jantung kronik didapatkan takikardia, gallop bunyi jantung ke tiga, peningkatan/ekstensi vena jugularis, refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegalli, ronkhi basah halus di basal paru dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat, edema pretibial pada pasien dengan rawat jalan dan edema sakral pada pasien yang tirah baring.8
21
Didapatkan juga efusi pleura yang lebih sering terjadi pada paru kanan daripada paru kiri dan asites yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif, hepatomegali, dan nyeri tekan dan juga dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin. Dapat ditemukan juga ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat.8 Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen dada Rotgen thoraks digunakan untuk menilai ukuran dan bentuk jantung, serta vaskularisasi paru dan kelainan non-jantung lainnya (hipertensi pulmonal, edema interstitial, edema paru).10 Rontgen toraks merupakan komponen penting untuk mendiagnosis gagal jantung karena dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak napas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.6 Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Kardiomegali
Hipertropi Ventrikel Tampak Paru Normal Kongesti Vena Paru Edema Intersital Efusi Pleura
Garis Karley B
Gambaran Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atria, efusi perikard Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi Bukan kongesti paru
Anjuran dan interpretasi Ekokardiografi, doppler
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Gagal jantung dengan bilateral, Infeksi paru, pasca bedah/ keganasan
Mendukung diagnostik gagal jantung kiri Mendukung diagnostik gagal jantung kiri Pikirkan etologi nonpeningkatan tekanan kardiak (jika efusi pengisian jika efusi banyak) Mitral stenosis/ gagal jantung kronik
Peningkatan tekanan limfatik
22
Ekokardiografi, doppler Nilai ulang diagnostik
Area Paru Hiperlusen Infeksi Paru
Infiltrat Paru
Emboli paru atau emfisema Pemeriksaan CT, Ekokardiografi, Spirometri Penumonia sekunder Tatalaksana kedua penyakit: akibat kongesti paru gagal jantung dan kongesti paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostik lanjutan
Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 201611
Elektrokardiografi Pada gagal jantung, interpretasi EKG yang perlu dicari adalah ritme, ada/tidaknya hipertropi ventrikel kiri, serta ada/tidaknya infark (riwayat atau sedang berlangsung). Meski tidak spesifik, EKG normal dapat mengekslusi disfungsi sitolik.10 Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).6 Tabel 6. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Sinus Takikardia
Penyebab Gagal Jantung dekompensasi, anemia, demam, hipertiroidisme Sinus Bradikardia Obat penyekat b, anti aritmia, hipotiroidisme, sindroma sinus sakit Atrial Takikardia/ Hipertiroidisme, infeksi gagal Futer/ Fibrilasi jantung dekompensasi, infark miokard Aritmia Ventrikel Iskemia, infark, kardiomiopati, miokarditis, hipokalemia, hipomagnesemia, overdosis digitalis Iskemia/ Infark Penyakit jantung koroner
23
Interpretasi Klinis Penilaian klinis, Pemeriksaan Laboratorium Evaluasi terapi obat, Pemeriksaan Laboratorium Perlambatan konduksi AV, konversi medik, elektroversi ablasi kateter, anti koagulasi Pemeriksaan laboratirium, tes latihan beban, pemeriksaan perfusi, angiografi koroner, ICD Ekokardiografi, troponin, angiografi koroner, revaskularisasi
Gelombang Q
Infark, kardiomiopati, hipertropi, Ekokardiografi, angiografi LBBB, preexitasi koroner Hipertropi Hipertensi, penyakit katup aorta, Ekokardiografi, doppler Ventrikel Kiri kardiomiopati hipertropi Blok Infark miokard, Intoksikasi obat, Evaluasi penggunaan obat, Atrioventrikuler miokarditis, sarkoidosis, pacu jantung, penyakit penyakit lyme sistemik Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi, rontgen perikard, amiloidosis thorax Durasi QRS >0,12 Diskroni elektrik dan mekanik Ekokardiografi, CRT-P, detik dengan CRT-D morfologi LBB LBBB = Left Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioventer Defbrillator CRT-P = Cardiac Resynchronization Therapy-PACEmaker; CRT-D = Cardiac Resynchronization Therapy-Defbrillator Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 201611
Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium dinilai darah tepi lengkap, elektrolit, BUN, kreatinin, enzim hepar, serta urinalsis. Pemeriksaan untuk diabetes melitus, dislipidemia, dan kelainan tiroid juga penting dilakukan.10 Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEi (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.6 - Hematologi rutin Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghilangkan kemungkinan, terutama, anemia pada pasien gagal jantung lanjut. Anemia juga
24
merupakan penyebab kesulitan bernapas dan gagal jantung high output. - Urinalisis Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat pada pemeriksaan urin rutin. - Elektrolit serum Hiponatremia,
hipokalemia,
hiperkalemia,
dan
hipomagnesia
mungkin terjadi akibat penggunaan diuretik. Ketidakseimbangan elektrolit ini dapat memicu aritmia. Hiponatremia juga merupakan pertanda tingkat keparahan gagal jantung. - Profil Lipid Meupakan serangkaian pemeriksaan yang menentukan risiko penyakit jantung koroner. Pemeriksaan ini meliputi kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, dan juga perbandingan HDL / kolesterol - Tes fungsi hati Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan enzim hati dan penurunan albumin. - Tes fungsi ginjal Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus dilakukan sebelum memulai pengobatan gagal jantung. Peningkatan kadar kreatinin serum menandakan : Pengobatan ACEI Pengobatan diuretik dosis tinggi Azotemia pre-renal Stenosis arteri ginjal - Hormon stimulasi tiroid Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high output. Oleh karenanya, pemeriksaan profil tiroid disarankan pada pasien yang baru didiagnosis gagal jantung. - Peptida natriuretik
25
Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal jantung yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan pada keadaan gawat darurat dan rawat jalan. Kelompok peptida natriuretik terdiri dari peptida natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain natiuretic peptide, BNP), natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat, urodilatin dari ginjal, dan peptida natriuretik dendroaspis. BNP dan bagian ujung aminonya dari projormon N-terminal-pro-BNP (NTproBNP) juga penting dalam diagnosis dan pengobatan gagal jantung. BNP berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung dan memperkirakan prognosis. Tabel 7. Kadar peptida natriuretik pada diagnosis gagal jantung
BNP NTproBNP
Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai untuk diagnosis gagal jantung Kemungkinan Usia Cenderung Kemungkinan besar gagal (tahun) bukan gagal gagal jantung jantung jantung semua <100 pg/mL 100-500 pg/mL >500 pg/mL < 50 <300 pg/mL 300-450 pg/mL >450 pg/mL 50-75 >75
<300 pg/mL <300 pg/mL
450-900 pg/mL 900-1800 pg/mL
>900 pg/mL >1800 pg/mL
Ekokardiografi Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour
Doppler dan Tissue
Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
26
3.1.8 Tatalaksana Pengobatan gagal jantung memiliki beberapa tujuan yaitu: a. Menurunkan mortalitas b. Mempertahankan/ meningkatkan kualitas hidup c. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresifitas kerusakan miokard, remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi cairan, dan perawatan di rumah sakit. Non Farmakologi Perawatan Mandiri Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhankeluhan pasien, kapasitas fungsional, well being, morbiditi dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Topiktopik penting dan perilaku perawatan mandiri sebagai berikut: Tabel 8. Topik-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan yang diperlukan dan perilaku perawatan mandiri Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri Definisi dan etiologi Memahami penyebab gagal jantung dan mengana gagal jantung keluhan-keluhan timbul Gejala-gejala dan tanda- Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung tanda gagal jantung Mencatat berat badan setiap hari Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan Mengenal efek samping yang umum obat Modifikasi faktor risiko berhenti merokok, memantau tekanan darah Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor progmostik dan membuat keputusan realistik
27
Farmakologi Sudah diakui bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung membaik.12 Angiotensin converting enzyme (ACEI) Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A) Pasien yang harus mendapatkan ACEi: - LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala - Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi Memulai pemberian ACEi: - Periksa fungsi renal dan elektrolit serum - Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam - Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia - Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF <40% yang masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker serta antagonis aldosteron. Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). ARB direkomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). ARB menurunkan
28
risiko kematian dengan penyebab kardiovaskular (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). Pasien yang harus mendapatkan ARB : - LVEF < 40% - Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI - Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA) walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker Memulai pemberian ARB: - Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum - Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam - Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia - Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat Diuretik Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda klinis/ gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). Memulai pemberian diuretik : - Periksa fungsi renal dan elektrolit serum - Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide karena efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis - Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian dan tanda klinis lainnya dari retensi cairan. Antagonis Aldosteron Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI. Jika tidak ada kontraindikasi, aldosteron antagonis ditambahkan pada keadaan LVEF <35% dengan gejala gagal jantung yang berat (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
29
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron: - LVEF < 35% - Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA) - Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB Memulai pemberian spironolakton: - Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum - Pertimbangkan
peningkatan
dosis
setelah
4-8
minggu.
Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi pernurukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Beta bloker Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik dan LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup pasien, menurunkan angka masuk RS untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan harapan hidup. Terapi beta bloker seharusnya sudah dimulai di RS sebelum pasien dipulangkan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A) Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui: - Mengurangi detak jantung: memperlambat pengisian diastolik sehingga memperbaiki perfusi miokard - Meningkatkan LVEF - Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure Pasien yang harus mendapatkan beta bloker : - LVEF <40% - Gejala ringan sampai berat - ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal - Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari dosis diuretik) Memulai pemberian beta bloker : - Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada pasien yang dikompensasi dengan hati-hati.(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A)
30
- Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Jangan meningkatkan dosis jika terdapat tanda-tanda perburukan gagal jantung, hipotensi gejala atik (perasaan melayang) atau bradikardi berat (nadi < 50 x / menit) pada tiap kunjungan. Glikosida jantung Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel. Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan untuk mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C). Pada penderita gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi dengan digoksin (sebagai tambahan ACEI) memperbaiki fungsi ventrikel, mengurangi angka masuk RS karena perburukan gagal jantung namun tidak berpengaruh terhadap survival (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B). Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal: - Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi ventrikel kiri - Menstimulasi baroreseptor jantung - Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal - Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal tone. - Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin - Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta
31
bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan Senyawa amin simpatomimetik Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan agonis beta1 selektif yang dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel. - efek inotropik positif - efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload Efek dopamin sangat tergantung dosis: - dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan diuresis - dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dan detak jantung - dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tekanan darah. Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi10 Terapi vasodilator a. Antagonis kalsium Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki efek inotropik negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung. Amlodipin merupakan satu-satunya antagonis kalsium yang dapat menurunkan mortalitas pada gagal jantung. b. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung dan kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan dalam afterload menimbulkan peningkatan curah jantung11. Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya kondisi hipotensi, karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan infark miokard akut. Pada saat memberikan nitroprusid, sebaiknya dilakukan monitoring tekanan darah intra arteri.
32
c. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN) Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko kematian (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan memperbaiki fungsi ventrikel dan kapasitas latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A). Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN : - Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi - Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun sudah mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis aldosteron. Memulai pemberian H-ISDN dengan mempertimbangkan peningkatan dosis setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis pada hipotensi yang simtomatis. d. Nitrogliserin intravena Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan nitrogliserin merupakan terapi dengan kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afterload. Oleh karena itu, nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien dengan gagal jantung dekompensasi berat. Peptida natriuretik Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa peptida ini bekerja menyebabkan : - Natriuresis - Diuresis - Dilatasi vena dan arteri - Penghambatan sistem saraf simpatis - Antagonis protein pada rantai RAAS - Penghambatan kontriksi otot polos vaskular
33
Trombolitik a. Antiplatelet Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan. Aspirin memperlihatkan perburukan gagal jantung berdasarkan pada proses penghambatan prostaglandin. Penelitian lain memperlihatkan bahwa efikasi ACEI dapat menurun jika diberikan bersamaan dengan aspirin12. Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau
paroksismal
Penyesuaian
dosis
tanpa
kontraindikasi
antikoagulan
terhadap
menurunkan
risiko
antikoagulan. komplikasi
tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). b. Antikoagulan Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan: -
Fibrilasi atrial
-
Riwayat tromboembolik
-
Trombus pada ventrikel kiri Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis
antikoagulan menurunkan
risiko
komplikasi
tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). Antikoagulan juga direkomendasikan pada penderita dengan trombus intrakardiak yang dideteksi dengan imaging atau bukti emboli sistemik (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
34
Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung Obat Dosis awal Dosis target ACEI Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg ARB Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg Beta bloker Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg Metoprolol succinat 1 x 12,5 – 25 mg 200 mg Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg Hidralazin – ISDN Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg Antagonis aldosteron Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg
3.1.9 Prognosis Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit jantung yang mendasari dan pada ada atau tidaknya faktor pencetus yang dapat diobati. Jika salah satu dari yang terakhir dapat diidentifikasi dan dibuang, hasil kelangsungan hidup segera jauh lebih baik daripada jika gagal jantung terjadi tanpa penyebab pencetus yang terlihat. Dalam situasi terakhir, kelangsungan hidup biasanya berkisar 6 bulan sampai 4 tahun bergantung pada keparahan gagal jantung. Prognosis jangka panjang untuk gagal jantung adalah paling baik jika bentuk penyakit jantung yang mendasari dapat diterapi.5 Jika perbaikan klinis terjadi hanya dengan pembatasan garam dalam diet dan digitalis atau diuretik dosis kecil, hasilnya jauh lebih baik daripada jika sebagai tambahan pengobatan, diperlukan terapi diuretik intensif dan vasodilator. Faktor lain yang terlihat berkaitan dengan prognosis buruk dalam gagal jantung mencakup waktu olah excercise yang singkat (<3 menit),
35
berkurangnya konsentrasi natrium serum (<133 mEq/L), berkurangnya konsentrasi kalium serum (<3 mEq/L), meningkatnya peptida natriuretik atrium dalam sirkulasi dan konsentrasi norepinefrin, demikian juga adanya ekstrasistole ventrikel yang sering pada pemantauan Holter. Suatu fraksi yang besar dari pasien dengan gagal jantung kongestif meninggal secara mendadak, kemungkinan karena fibrilasi ventrikel.5 Prognosis pasien dengan gagal jantung ditentukan oleh status jantung (cardiac status).8 Tabel 10. Status Jantung Cardiac Status
Prognosis
Uncompromised Slightely compromised Moderately compromised Severe compromised
Baik Baik dengan pengobatan Gagal dengan pengobatan Quard e derpite therapy
3.2 Fibrilasi Atrial Fibrilasi atrial didefinisikan sebagai aritmia jantung yang memiliki karakteristik, RR interval ireguler dan tidak repetitif pada gambaran EKG, tiadk terdapatnya gelombang P yang jelas pada gambaran EKG, siklus atrial (interval diantara dua aktivasi atrial) bila dapat dilihat, bervariasi dengan kecepatan >300x/ menit (<200ms). Penyakit jantung yang berhubungan dengan fibrilasi atrial, antara lain penyakit jantung koroner, kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofik, penyakit katup jantung: reumatik maupun non reumatik, aritmia jantung: takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome, dan perikarditis. Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan fibrilasi atrial, antara lain hipertensi sistemik, diabetes melitus, hipertiroidisme, penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut, neurogenik: sistem saraf autonom seperti peninggian tonus vagal atau adrenergik. Pada fibrilasi atrial terjadi eksitasi dan recovery yang sangat tidak teratur dari atrium. Oleh karena itu impuls listrik yang timbul dari atrium juga sangat cepat dan sama sekali tidak teratur. Pada pemeriksaan EKG tampak gelombang fibrilasi (fibrillation wave) yang berupa gelombang yang sangat tidak teratur dan sangat
36
cepat dengan frekuensi dari 300 sampai 500 kali per menit. Bentuk gelombang fibrilasi dapat kasar (coarse atrial fibrillation) dengan amplitudo lebih dari 1 mm, atau halus (fine atrial fibrillation) sehingga gelombangnya tidak begitu nyata. Biasanya hanya sebagian kecil dari impuls tersebut yang sampai di ventrikel karena dihambat oleh nodus AV untuk melindungi ventrikel supaya denyut ventrikel antara 80-150 per menit.
Gambar 3. Klasifikasi Fibrilasi Atrial dan Perkembangannya
Pada pemeriksaan klinis ditemukan irama jantung yang sama sekali tidak teratur dengan bunyi jantung yang intensitasnya tidak sama. Seringkali didapatkan adanya defisit pulsus. Diagnosis dapat dengan mudah dilakukan dengan pemeriksaan EKG. Fibrilasi atrial dapat berlangsung sebentar (paroksismal) atau menetap. Fibrilasi atrial dapat disebabkan karena penyakit katup mitral, seperti stenosis mitral atau insufisiensi mitral, penyakit jantung iskemia, infark miokard akut, tirotoksikosis, dan infeksi akut pada jantung. Pengobatan tergantung pada cepatnya denyut jantung, penyebab dan keadaan pasien. Bila denyut jantung cepat sekali, lebih dari 150 per menit dan pasien dalam keadaan shock, mungkin perlu segera dilakukan kardioversi dengan direct current counter shock (DC shock). Bila denyut jantung cepat sekali dan pasien dengan gagal jantung diberikan digoksin IV secara bersamaan dengan furosemid dan amiodaron secara IV.
37
Bila denyut jantung tidak terlalu cepat dapat diberikan digoksin secara oral untuk mengontrol denyut jantung, kadang perlu diberikan bersama penyekat beta misalnya pada tirotoksikosis atau diberikan verapamil kalau ada kontraindikasi pemberian penyekat beta. Untuk mengonversi fibrilasi menjadi irama sinus dapat diberikan amiodaron secara IV, rhythmonom propafenon per oral atau disopiramid secara oral. Beberapa obat baru yang lebih efektif untuk konversi fibrilasi atrial seperti dofetilid dan ibutilid. Fibrilasi atrial dapat menimbulkan komplikasi yang berkaitan dengan frekuensi ventrikel yang sangat cepat sehingga terjadi hipotensi, edema paru, angina pektoris dan dapat menyebabkan karidomiopati akibat takikardia (tachycardia-mediated), bila terlalu lambat dapat menyebabkan sinkop, emboli sistemik yang biasanya terjadi pada pasien dengan demam reumatik jantung dan sebagai penyebab tersering stroke non hemoragik, hilangnya kontraksi atrial sehingga mengurangi curah jantung output dengan akibat terjadinya fatigue, rasa khawatir (ansietas) dengan palpitasi. Pada gambaran EKG gelombang P tidak terlihat dengan jelas. Respons aksi ventrikel (gelombang kompleks QRS) tidak teratur (iregular). Hal ini terjadi karena dari sekian banyak aksi atrial, tetapi hanya sebagian impuls yang dapat melewati nodus AV, sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih lambat dari aksi atrial.
3.3 Kardiomiopati Dilatasi 3.3.1 Definisi Kardiomiopati adalah sekumpulan kelainan otot jantung dengan kelainan utama terbatas pada miokardium, sering kali berakhir menjadi gagal jantung. Kardiomiopati dilatasi adalah jenis kardiomiopati dengan ciri terdapatnya dilatasi ruang ventrikel progresif diertai disfungsi kontraksi ventrikel saat sistolik. Dilatasi ruang yang terjadi lebih sering mengenai satu ventrikel saja dan biasanya diikuti pembesaran dinding ventrikel namun pembesaran yang terjadi masih lebih kecil dibanding dilatasi ruang ventrikel.
38
3.3.2 Epidemiologi Penyakit ini dapat mengenai segala usia, namun kebanyakan usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan perempuan. Insiden kejadian dilaporkan 5-8 kasus per 100.000 populasi per tahun dan kejadian ini terus meningkat jumlahnya. Kejadian pada pria dan kulit hitam dikatakan tiga kali lebih sering dibandingkan populasi kulit putih dan perempuan, dan angka kelangsungan hidup pada kulit hitam dan pria lebih buruk dibandingkan kulit putih dan perempuan. 3.3.3 Etiologi Etiologi
kardiomiopati
dilatasi
tidak
diketahui
pasti,
namun
kemungkinan besar disebabkan oleh kerusakan miokard akibat produksi toksin, zat metabolit atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi viral akut pada miokard akhirnya menyebabkan kardiomiopati dilatasi melalui mekanisme imunologis. Hal ini banyak ditemukan pada populasi pria usia pertengahan, terutama yang berasal dari Amerika Afrika dibanding yang berkulit putih. Prevalensinya semakin lama semakin meningkat. Kardiomiopati dilatasi yang disebabkan oleh penggunaan alkohol, kehamilan, penyakit tiroid, penggunaan kokain dan keadaan takikardi kronik yang tidak terkontrol, dikatakan kardiomiopati bersifat reversibel. Obesitas meningkatkan risiko gagal jantung, sebagaimana juga gejala sleep apnea. Sekitar 20-40% pasien memiliki kelainan yang bersifat familial akibat mutasi genetik. Kelainan dapat terjadi pada sitoskeletal gen (seperti gen distrofin dan desmin), kontraktilitas dan membran sel (seperti gen lamin A/C) dan protein-protein lainnya. Penyakit ini bersifat genetik heterogen, namun transmisinya kebanyakan secara autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosomal resesif dan x-linked inheritance. Sampai saat ini belum diketahui
bagaimana
menentukan
seseorang
memiliki
predisposisi
kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini dalam keluarganya.
39
3.3.4 Patofisiologi Penyebab gejala klinis yang tampak pada kardiomiopati dilatasi adalah adanya penurunan fungsi kontraksi miokardium diikuti adanya dilatasi pada ruang ventrikel. Penurunan fungsi kontraksi miokardium disebabkan karena adanya kerusakan kardiomiosit sehingga kontraksi ventrikel menurun, diikuti penurunan volume sekuncup dan curah jantung. Jika penurunan kontraksi ventrikel tidak dapat diatasi lagi, kompensasi (baik dengan peningkatan simpatis,
mekanisme
Frank-Starling,
sistem
renin-angiotensin-
aldosteron/RAA dan vasopresin), ventrikel hanya dapat memompa sejumlah kecil darah ke sirkulasi sehingga darah banyak tertimbun di ventrikel, timbunan ini menyebabkan dilatasi ruang ventrikel yang bersifat progresif. Dilatasi ruang yang progresif nantinya menyebabkan disfungsi katup mitral (katup mitral tidak dapat tertutup sempurna), kelainan katup mitral ini menyebabkan regurgitasi darah ke atrium kiri. Regurgitasi darah ke atrium kiri menyebabkan peningkatan tekanan dan volume yang berlebihan di atrium kiri sehingga atrium kiri membesar dan stroke volume semakin menurun, sehingga diastolik volume darah yang masuk ke atrium kiri menjadi lebih besar karena mendapat tambahan darah akibat regurgitasi ventrikel kiri yang pada akhirnya menambah jumlah darah di ventrikel krii dan memperparah dilatasi ventrikel.
Gambar 4. Patofisiologi Kardiomiopati Dilatasi
40
Penurunan
stroke
volume
karena
menurunnya
kontraktilitas
miokardium dan ditambah dengan regurgitasi katup mitral menimbulkan kelelahan dan kelemahan otot rangka karena suplai darah ke otot rangka berkurang. Kardiomiopati dilatasi juga menyebabkan peningkatan tekanan pengisian ventrikel yang menimbulkan gejala kongesti paru, seperti dispnea, ortopnea, ronki basah dan gejala-gejala kongesti sistemik seperti peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer. 3.3.5 Gejala Klinis Gejala klinis yang menonjol adalah gagal jantung kongestif yang timbul secara bertahap. Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun sebelum timbul gejala. Pada beberapa kasus sering ditemukan gejala nyeri dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada yang tipikal kardiak tidak lazim ditemukan. Keluhan sering timbul secara gradual, bahkan sebagian besar awalnya asimptomatik walaupun telah terjadi dilatasi ventrikel kiri. Dilatasi kadang diketahui bila telah timbul gejala atau secara kebetulan dilakukan pemeriksaan radiologi. 3.3.6 Pemeriksaan Fisis Pembesaran jantung dengan derajat bervariasi dapat ditemukan, disertai gejala yang menyokong diagnosis gagal jantung kongestif. Pada penyakit yang lanjut dapat ditemukan tekanan nadi sempit akibat gangguan pada isi sekuncup. Pulsus alternans dapat terjadi bila terdapat gagal ventrikel kiri yang berat. Tekanan darah dapat normal atau rendah. Jenis pernapasan Cheyne-Stokes menunjukkan prognosis yang buruk. Peningkatan tekanan vena jugularis bila terdapat gagal jantung kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat dapat pula terdengar, serta dapat ditemukan regurgitasi mitral ataupun trikuspid. Hati akan membesar dan seringkali teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan timbul pada gagal jantung kanan yang lanjut. Pada pemeriksaan fisis jantung dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
Prekordium bergeser ke arah kiri
41
Impuls pada ventrikel kanan
Impuls apikal bergeser ke lateral yang menunjukkan dilatasi ventrikel kiri
Gelombang presistolik pada palpasi, serta pada auskultasi terdengar presistolik gallop (S4)
3.3.7
Split pada bunyi jantung kedua
Gallop ventrikular (S3) terdengar bila terjadi dekompensasi jantung
Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung akibat dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali terjadi pembesaran pada seluruh ruang jantung. Pada lapangan paru akan terlihat gambaran hipertensi pulmonal serta edema alveolar dan interstitial. Elektrokardiografi akan menunjukkan gambaran sinus takikardia atau fibrilasi atrial, aritmia ventrikel, abnormalitas atrium kiri, abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik dan kadang-kadang tampak gambaran gangguan konduksi intraventrikular dan low voltage. Sedangkan dari pemeriksaan ekokardiografi dan ventrikulografi radionuklir menunjukkan dilatasi ventrikel dan sedikit penebalan dinding jantung atau bahkan normal atau menipis, gangguan fungsi dengan penurunan fraksi ejeksi. Dapat pula ditemukan peningkatan kadar brain natriuretic peptide dalam sirkulasi akan membantu diagnostik pasien dengan gejala sesak napas yang tidak jelas etiologinya. Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi koroner sering kali dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan penyakit jantung iskemia. Pada angiografi akan terlihat dilatasi, hipokinetik difus dari ventrikel kiri dan regurgitasi mitral dalam derajat bervariasi. Modalitas pemeriksaan lain seperti biopsi endomiokardial transvena tidak diperlukan untuk kardiomiopati dilatasi familial atau idiopatik. Tetapi pemeriskaan dibutuhkan untuk diagnosis kardiomiopati sekunder seperti amloidosis dan miokarditis akut.
42
3.3.8 Pengobatan Karena penyebab dari kardiomiopati dilatasi idiopatik maka tidak ada pengobatan khusus yang dilakukan. Pengobatan ditujukan sesuai gambaran klinis yang timbul, sebagian besar timbul gejala gagal jantung kongestif. Pengobatan standar untuk gagal jantung kongestif diberikan seperti diuretik untuk mengurangi gejala, ACE inhibitor, dan penghambat beta. Digoksin merupakan pilihan pengobatan lini kedua, dimana dosis optimal dicapai bila kadar dalam serum mencapai 0,5-0,8ng/mL. Pengobatan farmakologis bertujuan untuk modifikasi secara langsung akibat aktivasi lama sistem adrenergik dan renin angiotensin. Pengobatan non-farmakologis seperti pengaturan diet, latihan fisik dan pengobatan farmakologis yang disebutkan diatas bertujuan untuk membantu mengontrol gejala yang mungkin timbul. Latihan fisik teratur sesuai toleransi masingmasing individu meningkatkan kapasitas latihan dengan memperbaiki disfungsi endotel dan meningkatkan aliran darah di otot-otot skeletal. Kematian sering terjadi akibat gagal jantung kongestif atau bradi-takiaritmia. Risiko emboli sistemik juga harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan. Modalitas pengobatan yang terbukti memperpanjang usia harapan hidup dengan menurunkan hampir 50% mortalitas akibat gagal jantung adalah dengan transplantasi jantung dan pengobatan farmakologis spesifik seperti vasodilator hidralazin ditambah nitrat, ACE inhibitor (enalapril), penghambat beta (karvedilol dan metoprolol) serta penghambat aldosteron (spironolakton). ARB II dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap golongan ACEi. Golongan calcium antagonist tidak dianjurkan untuk dikombinasi pemberiannya dengan pengobatan standar seperti di atas, dan bukan merupakan pengobatan lini pertama. Kemungkinan terdapatnya hubungan antara kardiomiopati dilatasi dengan abnormalitas sirkulasi mikrovaskular, gangguan pada kanal kalsium merupakan alasan pertimbangan pemberian golongan obat ini sebagai salah satu pilihan pengobatan. Secara umum
43
penggunaan obat-obat golongan ini dapat ditoleransi dengan baik, walaupun efek depresi miokardium yang merupakan efek samping penting yang harus dipertimbangkan dalam pilihan pengobatan. 3.3.9
Prognosis Secara umum prognosis penyakit ini jelek. Beberapa variasi klinis yang dapat menjadi prediktor pasien kardiomiopati dilatasi yang mempunyai risiko kematian tinggi antara lain, terdapatnya gallop protodiastolik (S3), aritmia ventrikel, usia lanjut dan kegagalan stimulasi inotropik terhadap ventrikel yang telah mengalami miopati tersebut. Walaupun akurasi dan gambaran pada masing-masing individu akan berbeda dalam menentukan prognosis tersebut, tetapi dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang disertai disfungsi yang semakin berat berhubungan erat dengan prognosis yang semakin buruk. Khususnya bila terdapat dilatasi ventrikel kanan disertai gangguan fungsinya. Uji latih kardiopulmonal juga berguna sebagai gambaran prognostik. Keterbatasan yang bermakna dari kapasitas latihan yang digambarkan dengan penurunan ambilan oksigen sistemik maksimal merupakan penurunan ambilan oksigen sistemik maksimal merupakan perdiktor mortalitas dan dipergunakan sebagai indikator dan pertimbangan untuk transplantasi jantung.
44
BAB IV ANALISIS KASUS Gagal jantung adalah kondisi patologis di mana jantung sebagai pompa tidak mampu lagi memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk metabolisme jaringan tubuh, namun tekanan pengisian ke dalam jantung masih tinggi. Gagal jantung memiliki beberapa etiologi dan faktor risiko dengan dampak masing-masing. Pada pasien, didapatkan faktor risiko hipertensi dan perempuan sudah menopause. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung, baik secara langsung dengan peningkatan afterload, maupun secara tidak langsung dengan perubahan neurohormonal dan pembuluh darah. Pada peningkatan tekanan darah awal, terjadi disfungsi diastolik. Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang disertai hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan afterload, penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi sistolik asimtomatis biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Terjadi remodelling sebagai mekanisme adaptif terhadap perubahan hemodinamik jangka waktu lama. Salah satu kompensasi yang dilakukan adalah dengan hipertrofi kardiak, untuk mengatur cardiac output. Hipertrofi ventrikel berupa penebalan dinding atau pelebaran ventrikel tergantung hipertrofi yang terjadi, baik eksentrik maupun konsentrik. Pasien dengan yang hanya mengalami LVH biasanya asimtomatik, sampai LVH berkembang menjadi disfungsi diastole dan gagal jantung. Hipertrofi awal terjadi pada tipe konsentrik, yaitu peningkatan massa ventrikel dengan penebalan dinding ventrikel. Setelah beberapa lama, hipertrofi ventrikel kiri gagal mengompensasi peningkatan tekanan darah sehingga lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Lama-kelamaan fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun. Penurunan ini mengaktifkan sistem neurohormonal dan renin angiontensin, sehingga terjadi retensi garam dan air dan meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang akhirnya memperburuk keadaan dan
45
menyebabkan disfungsi sistolik. Apoptosis (kematian sel terprogram yang dirangsang oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan stimulus dan inhibitornya) diduga memainkan peranan penting dalam peralihan fase “terkompensasi” menjadi fase “dekompensasi”. Disfungsi ventrikel kiri serta dilatasi septal dapat menyebabkan penebalan ventrikel kanan dan disfungsi diastolik.
Gambar 3. Derajat Hypertensive Heart Disease
Menurut epidemiologi, perempuan yang sudah menopause lebih berisiko terkena gagal jantung dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya efek perlindungan estrogen pada orang yang sudah menopause, yang meningkatkan risiko aterosklerosis. Pada kasus, pasien mengeluh sesak napas sejak ± 3 minggu SMRS, sesak dirasakan terutama setelah aktivitas seperti berjalan jarak jauh dan membaik dengan istirahat pasien lebih nyaman pada posisi ½ duduk. Pasien juga mengeluh dada berdebar yang hilang timbul, batuk berdahak putih kental, serta sering terbangun karena batuk pada malam hari. Pasien masih dapat tidur terlentang, nyaman dengan 2 bantal. Pasien juga mengeluh bengkak pada kedua kaki dan perut membesar.
46
Sejak ± 1 minggu SMRS, pasien masih merasakan keluhan yang sama, sesak dirasakan semakin berat, terutama saat beraktivitas ringan seperti mengerjakan tugas rumah tangga, dan berkurang dengan istirahat dalam posisi ½ duduk. Keluhan batuk masih sama. Pasien lebih nyaman tidur dengan 3 bantal. Bengkak semakin membesar di perut dan kedua kaki secara perlahan. Sejak 1 hari SMRS, pasien mengeluh sesak napas semakin memberat, cepat lelah dan sulit melakukan aktivitas sehari-hari, tidak berkurang dengan istirahat. Pasien tersengal dan dada semakin berdebar. Keluhan batuk masih ada. Pasien mengeluh sulit tidur karena terbangun dengan sesak napas dan batuk. Bengkak pada kaki dan perut semakin membesar. Pasien memiliki riwayat dada sering berdebar yang hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu. Pada penderita CHF, akan terjadi suatu pembengkakan (edema) yang dimulai dari pergelangan kaki atau perut, karena penimbunan cairan dalam tubuh akibat gagal jantung kongestif. Jika cairan berakumulasi dalam paru-paru, penderita akan mengalami sesak napas terutama selama olahraga atau latihan dan ketika berbaring rata. Pada beberapa kasus, pasien bisa jadi terbangun pada malam hari karena sesak napas. Berdasarkan anamnesis, dapat ditentukan sekitar 3 minggu yang lalu hingga 1 minggu yang lalu pasien tergolong dalam NYHA II, sedangkan sekarang tergolong dalam NYHA IV. Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama, yaitu reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen dan efektor. Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non-mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks, terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Batuk disebabkan oleh edema paru yang pada pasien. Aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus dapat menyebabkan perubahan pada jantung dan sistem sirkulasi, meliputi retensi natrium dan air yang berlebihan pada gagal jantung lanjut. Edema jaringan terjadi ketika transudasi cairan dari kapiler ke jaringan interstisial melebihi kapasitas drainase sistem
47
limfatik, meningkatnya tekanan hidrostatik transkapiler, dan menurunnya tekanan onkotik transkapiler. Pada individu yang sehat, peningkatan retensi natrium biasanya
tidak
akan
disertai
pembentukan
edema
karena
jaringan
glikosaminoglikan akan menyangga retensi natrium tersebut. Retensi natrium terjadi secara terus menerus pada pasien gagal jantung sehingga jaringan glikosaminoglikan akan mengalami gangguan fungsi dan sistem sangga ini tidak akan terjadi. Hal ini memudahkan terjadinya edema paru dan edema sistemik. Edema yang terus menerus menyebabkan keluhan sesak napas yang semakin berat meskipun dengan aktivitas minimal. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kelainan pada keadaan umum, leher, paru, jantung, abdomen, dan ekstremitas. Pada tanda-tanda vital, didapatkan takikardi dan takipnea. Pada kasus ini, terjadi aktivitas neuroendokrin, dengan cara peningkatan aktivitas simpatetik dan sirkulasi chatecholamine yang akhirnya menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dan peningkatan denyut jantung. Peningkatan frekuensi napas (diatas 24 kali/menit) merupakan salah satu manifestasi klinis dari edema paru. Pada pemeriksaan fisik spesifik leher didapatkan JVP meningkat yaitu (5+2) cmH2O. Hal ini berarti adanya peningkatan tekanan vena jugular akibat bendungan sistemik. Pada pemeriksaan paru dengan auskultasi didapatkan ronkhi basah halus di basal kedua paru. Hal ini mendukung kemungkinan terjadinya edema paru sebagai manifestasi dari CHF. Pemeriksaan fisik spesifik jantung didapatkan batas jantung yang membesar ke lateral sehingga mendukung terjadinya hipertrofi ventrikel kiri. Auskultasi jantung didapatkan HR 104x/m yang ireguler dengan bunyi jantung I dan II normal disertai bunyi jantung tambahan gallop. Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan pembesaran hepar yang teraba 1 cm dibawah arcus costae yang berarti terdapat hepatomegali dan pada perkusi didapatkan shifting dullness yang menandakan adanya ascites. Pemeriksaan ekstremitas ditemukan edema pretibial dengan pitting (+) pada ekstremitas inferior. Berdasarkan kriteria Framingham, maka pasien memenuhi 5 kriteria mayor yaitu paroksismal nokturnal dispnea, distensi vena leher, ronkhi paru, gallop S3 dan
48
peninggian tekanan vena jugularis serta 4 kriteria minor yaitu edema ekstremitas, batuk malam hari, dispnea d’ effort, dan hepatomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan hipoalbuminemia yang mendukung klinis ascites pada pasien. Pada pemeriksaan rontgen thorax AP didapatkan kesan kardiomegali. Pada EKG juga ditemukan gambaran atrial fibrilasi normoventricular response disertai digoxin suggestive effect. Pada pemeriksaan echocardiography didapatkan adanya global hipokinetik dengan ejeksi fraksi 41% dengan kesan kardiomiopati. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis sementara berupa Congestive Heart Failure e.c. Hypertensive Heart Disease NYHA IV disertai Atrial Fibrilasi Normoventricular Response (AFNR). Kompetensi dokter umum untuk tatalaksana CHF termasuk dalam tingkat kompetensi 3A, dimana mampu mendiagnosa, memberi terapi awal, lalu merujuk pasien. Tatalaksana yang dilakukan antara tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. Pada tatalaksana non farmakologis terutama dilakukan edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang dialami, prognosis, rencana pengobatan, diet, dan cara pencegahan. Pasien juga disarankan untuk bed rest posisi semi fowler, Diet Jantung III Garam Rendah dan pemasangan kateter untuk pemantauan diuresis. Untuk farmakologis, pasien diberikan IVFD NaCl 0,9% gtt V x/m mikro, oksigen 3-4 l/m via nasal kanul, Inj. Furosemid 2 x 40 mg IV, Letonal 1 x 25 mg tab PO, Digoxin 1x1 tab PO, dan Candesartan 1 x 8 mg tab PO.
49
DAFTAR PUSTAKA 1. McPhee, S. J., & Ganong, W. F. Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta: EGC; 2010. 2. American Heart Association. Statistic fact sheet 2015 update women & cardiovascular disease. 2015. Diakses tanggal 13 Januari 2019 dari http://ahajournal.org.com. 3. Irnizarifka. Buku saku jantung dasar. Bogor: Ghalia Indonesia; 2011. 4. Kumalasari, E. Y. Angka kematian pasien gagal jantung kongestif di HCUdan ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang. 2013. Diakses tanggal 13 Januari 2019 dari http://eprints.undip.ac.id/43854/1/Etha_Yosy_K_Lap.KTI_BAB_0.pdf. 5. Ponikowski, dkk. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 2016. 27: 2129-2200. 6. Mann, Doglas L., dan Chakinala, Murali. Section 279. Heart Failure: Pathophysiology and Diagnosis. Dalam: Kasper Dennis L., dkk (Editor). Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition; 2015. 7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin: Situasi Kesehatan Jantung, Jakarta. 2014; p.3. 8. Ural, Dilek, dkk. Diagnosis and management of acute heart failure. Anatolian Journal of Cardiology, 2015. 15: 860-869. 9. Siswanto, Bambang Budi, dkk. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI); 2015. 10. Kurmani, Sameer, dan Squire, Iain. Acute Heart Failure: Definition, Classification, and Epidemiology. Current Heart Failure Report, 2017; 14: 385-392. 11. Dickstein K., dkk. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 2008; 29: 2388-2442. 12. Yancy, dkk. 2013 ACCF/AHA Heart Failure Guidelines: Executive Summary. Journal of the American College of Cardiology,2013; 62: 1495-1539. 13. Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I. Jakarta: InternaPublishing. 2014; p.1148-1160.
50