Case Kolesistitis.docx

  • Uploaded by: Suchy Manda
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Kolesistitis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,026
  • Pages: 37
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah

kolesistitis akut, kolangitis ascenden, danpankreatitis akut. Kolesistitis adalah inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis akalkulus.1 Kira-kira 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis akut. Kolesistektomi untuk kolik bilier rekuren atau kolesistitis akut adalah prosedur penatalaksanaan bedah utama yang dilakukan oleh ahli bedah umum, dan kurang lebih 500.000 operasi dilakukan per tahunnya.2 Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia. Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada. Peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio androgen-estrogen.2,3 Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki, sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan, kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut.2,3 Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis meningkat prevalensinya pada orang Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun menurun dan jarang pada individu yang berasal dari sub-sahara Afrika dan Asia. Di Amerika Serikat, penduduk kulit putih lebih sering terkena kolesistitis daripada penduduk kulit hitam.2,3

Meskipun telah ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk kolesistitis namun penyakit ini masih memiliki tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang cukup tinggi terutama pada orang lanjut usia. Referat ini membahas mengenai kolesistitis dengan batasan-batasan tertentu. 1.2

Rumusan Masalah Case report ini membahas tentang definisi, patogenesis, diagnosis dan

penatalaksanaan kolesistitisakutdanhipertensi stage 1 essensialdan fatty liver 1.3

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan referat ini adalah : 1. Memahami patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan kolesistitis akut dan hipertensi stage 1 essensil dan fatty liver 2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. 3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. 1.4

Metode Penulisan Penulisan case ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu

kepada beberapa literatur.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA KOLESISTISIS 2.1

KOLESISTITIS

2.1.1

Definisi Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan

nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi: 1.

Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung

empedu yang berada di duktus sistikus. 2.

Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1 Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan

kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1 2.1.2

Patogenesis Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah

stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.1,2

3

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.4 Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari tertahannyaempedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekattersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.5 Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang

4

luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.5 2.1.3

Diagnosis Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian

atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam.Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.6,7

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis8

5

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.6,7 Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.2,6,7 Pemeriksaan

pencitraan

untuk

kolesistitis

diantaranya

adalah

ultrasonografi (USG), computed tomography scanning (CT-scan) danskintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.1,7

Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak

terlihat

dengan

pemeriksaan

USG.

Skintigrafi

saluran

empedu

6

mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah dari pada USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1,3

Gambar 2.3 Koleskintigram normal9

7

Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus9

Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:10 

Gejala dan tanda lokal

o

Tanda Murphy

o

Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen

o

Massa di kuadran kanan atas abdomen



Gejala dan tanda sistemik

o

Demam

o

Leukositosis

o

Peningkatan kadar CRP



Pemeriksaan pencitraan

o

Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

8

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau skintigrafi yang mendukung.10 2.1.4 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah: 

Aneurisma aorta abdominal



Iskemia messenterium akut



Apendisitis



Kolik bilier



Kolangiokarsinoma



Kolangitis



Koledokolitiasis



Kolelitiasis



Mukokel kandung empedu



Ulkus gaster



Gastritis akut



Pielonefritis akut3

2.1.5

Komplikasi Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:

1. Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka. 2. Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus. 3. Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan

9

diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien. Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3

2.1.6

Penatalaksanaan Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan

ada tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat diberikan:3 

Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada

kasus berat yang mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilastatin. 

Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan

metronidazol. 

Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.



Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin

intravena.3 Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan dengan syarat: 1. Tidak demam dan tanda vital stabil 2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium. 3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG. 4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi imunokompromis.

10

5. Analgesik yang diberikan harus adekuat. 6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik. 7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.3

Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut8

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan: 

Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.



Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.



Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.3

Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi. Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.

11

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi: 

Resiko tinggi untuk anestesi umum



Obesitas



Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau fistula



Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.



Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang berat.3

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini.3 Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaanendoscopic retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.3

2.1.7

Prognosis Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung

empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang

12

menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.1 2.2HIPERTENSI 2.2.1 Definisi Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan sistolik yang terusmenerus >140 mmHg dan/atau tekanan diastolik yang >90 mmHg. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. 1,2

2.2.2 Epidemiologi Hipertensi mengenai lebih dari 20% populasi dan merupakan faktor risiko utama banyak penyakit kardiovaskular. Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Data dari The National Health and Nutrition Examination Srvey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 19992000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.1,2

2.2.3 Klasifikasi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:1 1.

Hipertensi esensial/primer

Hipertensi primer merupakan tipe hipertensi yang paling sering itemukan dan 95% kasus hipertensi adalah penderita hipertensi primer. Meskipun tidak terdapat penyebab tunggal yang dapat diidentifikasi, namun faktor genetik, asupan garam

13

yang berlebihan dan peningkatan tonus adrenergik semuanya terlibat dalam hipertensi primer. 2.

Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder merupakan keadaan meningkatnya tekanan arterial sistemik sebagai akibat dari keadaan lain yang dapat diidentifikasi. Gambaran hipertensi sekunder dapat meliputi mulai timbul hipertensi pada usia <20 tahun atau >50 tahun, TD >180/110 mmHg, bunyi bruit abdomen, dan/atau riwayat keluarga penyakit renal atau hipertensi yang tidak terkonrol kendati sudah diberikan tiga obat antihipertensi dengan dosis maksimal.

MenurutThe Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII),

klasifikasihipertensipada

orang

dewasadapatdibagimenjadikelompok

normal, prehipertensi, hipertensiderajat I danderajat II. (Tabel 2.1) 2

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII Klasifikasi

Systolik

Diastolik

(mmHg)

(mmHg)

Normal

<120

Dan <80

Pre hipertensi

120-139

atau 80-89

Hipertensi stage 1

140-159

atau 90-99

Hipertensi stage 2

160

Atau100

Sumber : Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edsi V, hal.1079 tahun 2010

2.2.4 Patogenesis Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah : 2 1.

Faktor risiko, seperti : diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,

merokok, genetis. 2.

Sistem saraf simpatis 14

-

Tonus simpatis

-

Variasi diurnal

3.

Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi; endotel

pembuluh darah berpran utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan interstitium juga memberikan kontribusi akhir. 4.

Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin,

angiotensis dan aldosteron. Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perife (Gambar 2.1). 2

Gambar 2.1 : Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah Sumber : Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edsi V, hal.1080 tahun 2010

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung mapun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah : 2

15

1.

Jantung

-

Hipertrofi ventrikel kiri

-

Angina atau infark miokardium

-

Gagal jantung

2.

Otak

-

Strok atau transient ischemic attack

3.

Penyakit ginjal kronis

4.

Penyakit arteri perifer

5.

Retinopati

Faktor risiko kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain : 2 1.

Merokok

2.

Obesitas

3.

Kurangnya aktivitas fisik

4.

Dislipidemia

5.

Diabetes melitus

6.

Mikroalbuminuria atau perhitungan LFG <60 ml/menit

7.

Umur (laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun)

8.

Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki-

laki <55 tahun, perempuan <65 tahun)

2.2.5 Diagnosis Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk : 1) Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan. 2) Mencari penyebab kenaikan tekanan darah. 3) Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular. 2 Anamnesis meliputi : 2 1.

Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah.

2.

Indikasi adanya hipertensi sekunder. o Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal.

16

o Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat analgetik dan obat/bahan lain. o Episoda

berkeringat,

sakit

kepala,

kecemasan,

palpitasi

(feokromasitoma)

3.

Faktor-faktor risiko. 

Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien.

4.



Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya.



Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya.



Kebiasaan merokok.



Pola makan.



Kegemukan, intensitas olahraga.



Kepribadian.

Gejala kerusakan organ. 

Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA, defisit sensoris dan motoris.



Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki.



Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri.



Arteri perifer : ekstremitas dingin, kaludikasio intermitten.

5.

Pengobatan antihipertensi sebelumnya.

6.

Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan.

Pemeriksaan fisis selain pemeriksaan tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder. Pengukuran tekanan darah : 2 1.

Pengukuran rutin dikamar periksa

2.

Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-APBM)

3.

Pengukuran tekanan darah sendiri.

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari : 2 1.

Tes darah rutin

2.

Glukosa darah (sebaiknya puasa)

17

3.

Kolesterol total serum

4.

Kolesterol LDL dan HDL serum

5.

Trigliserida serum (puasa)

6.

Asam urat serum

7.

Kreatinin serum

8.

Kalium serum

9.

Urinalisis

10.

Elektrokadiogram

Beberapa penanganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti : 2 1.

Ekokardiogram

2.

USG karotis (dan femoral)

3.

C-reactive protein

4.

Mikroalbuminuria dan perbandingan albumin/kreatinin

5.

Proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif)

6.

Funduskopi (pada hipertensi berat)

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu : 2 

Aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak)



Diabetes (terutama pemeriksaan gula darah)



Fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus)

Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi : 2 1.

Jantung 

Pemeriksaan fisis



Foto polos dada (untuk melihat pembesaran jantung, kondisi arteri intratoraks dan sirkulasi pulmoner)



Elektrokardigrafi (untuk deteksi iskemi, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri)

 2.

Ekokardigrafi

Pembuluh darah 

Pemeriksaan fisis termasuk perhitungan pulse pressure

18

3.



Ultrasonografi karotis



Fungsi endotel (masih dalam penelitian)

Otak 

Pemeriksaan neurologis



Diagnosis strok ditegakkan dengan menggunakan cranial CT scan atau MRI (untuk pasien dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau gangguan kognitif)

4.

Mata 

5.

Funduskopi Fungsi ginjal 

Pemeriksaan

fungsi

ginjal

dan

penentuan

adanya

proteinuria/mikro-makroalbuinuria serta ratio kreatinin urin. 

Perkiraan laju filtrasi glomerulus.

2.2.6 Penatalaksanaan Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah : 2 1.

Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi

(diabetes, gagal ginjal proteinuria) <130/80 mmHg. 2.

Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.

3.

Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.

Pengobatan

hipertensi

terdiri

dari

terapi

nonfarmakologis

dan

farmakologis. Terapi nonfarmakologis terdiri dari : 2 1.

Menghentikan merokok

2.

Menurunkan berat badan berlebih

3.

Menurunkan konsumsi alkohol berlebih

4.

Latihan fisik

5.

Menurunkan asupan garam

6.

Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII : 2

19

1.

Diuretika, terutama jenis thiazide (thiaz) atau aldosteron atagonist (Aldo

Ant) 2.

Beta bloker (BB)

3.

Calcium channel blocker atau calcium antagonist (CCB)

4.

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACEI)

5.

Angiotensin II receptor blocker

atau AT1receptor antagonist/blocker

(ARB) Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivita dan keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : 1.

Faktor sosioekonomi

2.

Profil faktor risiko kardiovaskular

3.

Ada tidaknya kerusakan organ target

4.

Ada tidaknya penyakit penyerta

5.

Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi

6.

Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk

penyakit lain 7.

Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam

menurunkan risiko kardiovaskular Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus (Special Considerations), yaitu kelompok indikasi memaksa (Compelling Indications) dan keadaan khusus lainnya (Special Situations). Indikasi yang memaksa meliputi : 1.

Gagal jantung

2.

Pasca infark miokardium

3.

Risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi

4.

Diabetes

5.

Penyakit ginjal kronis

6.

Pencegahan strok berulang

20

Tabel 2.2 Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas Utama Obat Antihipertensi Menurut ESH

Sumber : Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edsi V, hal.1084 tahun 2010

Gambar 2.2 Kombinasi obat antihipertensi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien Sumber : Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edsi V, hal.1083 tahun 2010

21

Tabel 2.3 Tatalaksana Hipertensi Menurut JNC VII

Sumber : Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edsi V, hal.1084 tahun 2010

2.3 FATTY LIVER 2.3.1 Definisi Perlemakan hati adalah penumpukan lemak yang berlebihan dalam sel hati. Batasan penumpukan lemak adalah jika jumlah lemak melebihi 5% dari total berat hati normal atau jika lebih dari 30% sel hati dalam lobulus hati terdapat penumpukan lemak. Perlemakan hati bervariasi mulai dari perlemakan hati saja (steatosis) dan perlemakan hati dengan inflamasi (steatohepatitis) (Patel dan Tushar 2001).Perlemakan hati berati adanya pengumpulan lemak yang berlebihan di dalam sel-sel hati kita.Pada kondisi ini, hati mengandung lemak yang berlebihan dan sebagian jaringan normal hati diganti dengan lemak yang tidak sehat.Dalam hal ini, sel-sel hati dan ruang di hati diisi dengan lemak sehingga hati menjadi sedikit membesar dan lebih berat.Hati menjadi berminyak dan berwarna kekuningan.Kondisi ini membuat keluhan yang tidak enak di daerah organ hati, yang terasa dibagian perut kanan atas.Mungkin juga didalam hati terdapat batu empedu, yang tersusun dari kolesterol dan garam empedu.Kelebihan lemak di hati

22

ini bisa dilihat dengan USG.Mungkin juga pada kondisi ini terjadi peningkatan enzim hati.Disfungsi hati sangat sering terjadi dan merupakan masalah yang terus meningkat.

2.3.2Faktor Resiko Faktor risiko yang memiliki hubungan dengan perlemakan hati adalah : umur, hiperlipidemia, diabetes melitus dan kegemukan, sedangkan jenis kelamin, pola konsumsi makan, aktivitas fisik dan olahraga tidak berhubungan dengan kejadian perlemakan hati. Faktor yang paling dominan dan berisiko paling tinggi pada kejadian perlemakan hati adalah kegemukan (Patel dan Tushar 2001).sangat umum dijumpai pada mereka yang mengalami kegemukan, dan banyak di jumpai pada umur diatas 30 tahun.

2.3.3 Etiologi Perlemakan hati secara garis besar dibagi 2, yaitu penyakit perlemakan hati alkoholik dan penyakit perlemakan hati non alkoholik. Penyakit hati alkoholik berkembang karena kelebihan minum alkohol. Di sisi lain, perlemakan hati non alkohol dihubungkan dengan kelebihan berat badan atau kegemukan yang disebabkan karena terlalu sering makan makanan berlemak tinggi dan berkalori tinggi. Penyebab-penyebab dari fatty liver adalah sebagai berikut: 

Kegemukan (obesitas)



Kencing manis (diabetes)



Bahan kimia dan obat-obatan (contohnya alkohol, kortikosteroid, tetrasiklin, asam valproat, metotreksat, karbon tetraklorid, fosfor kuning)



Kurang gizi dan diet rendah protein



Kehamilan



Keracunan vitamin A



Operasi bypass pada usus kecil

23



Fibrosis kistik (bersamaan dengan kurang gizi)Kelainan bawaan pada metabolisme glikogen, galaktose, tirosin atau homosistin



Kekurangan rantai-medium arildehidrogenase



Kekurangan kolesterol esterase



Penyakit penumpukan asam fitanik (penyakit Refsum)



Abetalipoproteinemia



Sindroma Reye.

2.3.4 Patogenesa NAFLD (non-alcoholic fatty liver disease) merupakan suatu kondisi medis dari penyakit hati yang mempunyai spectrum sangat luas, mulai dari perlemakan hati yang bersifat ringan (steatosis) tanpa adanya bukti kelainan biokimia atau histologi akibat dari peradangan hati ataupun fibrosis, sampai perlemakan hati yang disertai adanya nekroinflamasi dengan atau tanpa fibrosis (steatohepatitis) dapat juga berkembang menjadi fibrosis hati yang berat bahkan sirosis. Sedangkan NASH (Non alcoholic steato hepatitis) adalah merupakan bagian dari spektrum NAFLD. Mekanisme terjadinya NALFD tersebut berdasarkan teori “2 – Hits Hypothesis”. Hit pertama adalah terjadinya steatosis (akumulasi lemak intraseluler) yang dipengaruhi oleh banyak kondisi, sedangkan hit kedua adalah kerusakan sel hati yang disebabkan oleh adanya radikal bebas akibat peningkatan B-oksidasi pada mitokondria. Perlemakan hati disebabkan karena kelebihan jaringan lemak di hati. Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa terdapat sel-sel lemak yang infiltrasi atau masuk ke dalam hati. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya peningkatan pengiriman lemak atau asam lemak dari makanan ke hati, serta adanya gangguan pengeluaran jenis lemak trigliserida keluar dari sel hati. Gangguan pengeluaran lemak trigliserida tersebut akan menyebabkan sel-sel lemak menetap di hati.

24

2.3.5 Gejala dan Tanda Fatty liver umumnya tidak bergejala. Orang baru mengetahuinya saat melakukan tes kesehatan (pemeriksaan fisik), dan selanjutnya dipastikan dengan menjalani tes darah (Lab Darah lengkap, SGOT/SGPT, bilirubin, kolesterol) atau pemeriksaan USG bila hati membesar. Tetapi kadang bisa menimbulkan sakit kuning (jaundice), mual, muntah, kembung dan yang paling sering terjadi yaitu nyeri tumpul di perut kanan atas ( terasa panas di kulit perut), terutama hal ini saat kecapekan dan habis makan terlalu banyak. Jika pemeriksaan fisik belum menunjukkan pembesaran hati, maka perlu diagnosis penjunjang yaitu dengan pemeriksaan SGOT/SGPT, Bilirubin, kolesterol (TG, LDL, HDL) dan USG Abdomen. Gambaran USG Abdomen dari fatty liver menunjukkan echoparenkim hepar yang meningkat (hepar terlihat lebih gelap), dan dari sini bisa ditentukan derajat keparahan dari fatty liver 2.3.6 Patogenesa NAFLD (non-alcoholic fatty liver disease) merupakan suatu kondisi medis dari penyakit hati yang mempunyai spectrum sangat luas, mulai dari perlemakan hati yang bersifat ringan (steatosis) tanpa adanya bukti kelainan biokimia atau histologi akibat dari peradangan hati ataupun fibrosis, sampai perlemakan hati yang disertai adanya nekroinflamasi dengan atau tanpa fibrosis (steatohepatitis) dapat juga berkembang menjadi fibrosis hati yang berat bahkan sirosis. Sedangkan NASH (Non alcoholic steato hepatitis) adalah merupakan bagian dari spektrum NAFLD. Mekanisme terjadinya NALFD tersebut berdasarkan teori “2 – Hits Hypothesis”. Hit pertama adalah terjadinya steatosis (akumulasi lemak intraseluler) yang dipengaruhi oleh banyak kondisi, sedangkan hit kedua adalah kerusakan sel hati yang disebabkan oleh adanya radikal bebas akibat peningkatan B-oksidasi pada mitokondria.

25

Perlemakan hati disebabkan karena kelebihan jaringan lemak di hati. Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa terdapat sel-sel lemak yang infiltrasi atau masuk ke dalam hati. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya peningkatan pengiriman lemak atau asam lemak dari makanan ke hati, serta adanya gangguan pengeluaran jenis lemak trigliserida keluar dari sel hati. Gangguan pengeluaran lemak trigliserida tersebut akan menyebabkan sel-sel lemak menetap di hati 2.3.7 Penatalaksanaan Sampai saat ini belum ada pengobatan NALFD yang baku, namun dengan diketahuinya patogenesis dan beberapa kondisi yang meningkatkan terjadinya perlemakan hati maka pendekatan multikondisi dilakukan untuk penatalaksaan perlemakan hati. Manajemen Berat Badan, Perbaikan Resistensi Insulin, Penurunan hiperlipidemia, Pemberian obat-obat hepatoprotektor (betaine, vitamin E, UDCA, lechitine, B-carotene, dan selenium). Betaine (trimethylglycine) merupakan asam amino hasil metabolisme choline, yang berguna dalam proses transmetilasi proses fisiologis di dalam tubuh manusia, dan mempunyai potensi sebagai: a. Lipotrofik, Efek lipotrofik ini disebabkan adanya kemampuan donor metil (CH3) dari betaine dengan bantuan enzim Betaine homocystein methyl transferase (BHMT) yang akan merubah homosistein menjadi methionine, dan selanjutnya menjadi SAM-e, yang merupakan donor metil untuk berbagai proses dalam tubuh, misalnya: sintesa protein, fosfolipid, hormon, DNA, dsb. Konsumsi betaine akan meningkatkan proses sekresi VLDL dengan cara metilasi fosfatidiletanolamin menjadi fosfatidilkolin yang merupakan komponen pembentuk apoprotein yang berikatan dengan trigiserida membentuk VLDL, sehingga betaine mempunyai potensi sebagai lipotrofik yang dapat digunakan untuk mencegah dan menurunkan akumulasi lemak dalam sel hati. b. osmolit, sebagai osmolit betaine berfungsi mengatur kadar air dalam sel sehingga fungsi sel optimal, melindungi sel terhadap stresor dari luar (stres osmotik, misalnya: kadar air yang rendah, kadar garam yang tinggi, temperatur yang ekstrem, dsb). Betaine juga mempunyai potensi untuk melindungi “denaturasi protein” dan sering disebut sebagai bahan kimia pengawal (chemical chaperone).

26

Pola hidup sehat dapat menjadi suatu cara dalam mencegah atau menangani penyakit perlemakan hati. Pola makan yang digunakan sehari-hari harus diperhatikan dengan labih seksama. Pencegahan dan penanganan penderita fatty liver dapat dilakukan dengan menghindari konsumsi makanan hewani terutama yang berlemak, menghindari gorengan dan makanan proses, mengurangi konsumsi karbohidrat yang sudah direfined misalnya gula putih, roti putih, nasi putih, mie, kue-kue, biskuit, pudding dll, menghindari produk susu seperti susu sapi, cheese, cream atau butter, menghindari semua margarine dansejenisnya, menghindari semua makanan dan minuman manis-manis, menghindari pemanis buatan, mem Perbanyak makan buah-buahan dan sayuran mentah, dan dianjurkan untuk Minum paling sedikit 2 liter air sehari. Menurut Prof. Zhang (2010), penanganan apabila sudah terkena perlemakan hati adalah dengan :Pertama, perlu mencari penyebab penyakit dan mengambil langkah yang bersasaran. Pengarak dianjurkan menghentikan kebiasaan minum arak. Penderita kencing manis yang juga mengidap perlemakan hati harus aktif dan efektif mengontrol gula darah. Penderita perlemakan hati yang malagizi selayaknya menambah penyerapan gizi, khususnya penyerapan protein dan vitamin. Singkat kata, menghilangkan patogeni terlebih dahulu baru dapat mengobati perlemakan hati.

27

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien Nama

:

Tn.Y

Umur

:

40 tahun

Jenis Kelamin

:

Laki-laki

Pekerjaan

:

Petani

No. RM

:

128714

Alamat

:

Sandiangbaka

Ruangan

:

Interne Pria

Tanggal Masuk RS

:

11 juni 2016

NamaRs

:

RSUD Solok

3.2 Anamnesis : Autoanamnesis  Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas sejak ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit  RiwayatPenyakitSekarang : -

Nyeri perut dirasakan sejak ± 5hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan tiba-tiba dengan intensitas berat seperti rasa ditusuk-tusuk di perut bagian kanan atas, Nyeri tidak menghilang dengan perubahan posisi tubuh ataupun dengan istirahat. tetapi kadang nyeri menjalar ke bahu kanan.

-

Muntah 2 x sebelum masuk rumahsakit, memuntahkan apa saja yang dimakan

-

BAB warna kekuningan dengan konsistensi cair 3 x sejak 5 hari yang lalu

-

BAK seperti the sudah 1 minggu yang lalu, frekuensi 2-3 kali/hari

-

Nafsu makan menurun, berat badan tidak menurun.

28

 RiwayatPenyakitSebelumnya :



-

Riwayat pasien pernah dirawat dengan panyakit liver 1 tahun yang lalu

-

Riwayat hipertensi tidak terkontrol semenjak 1 tahun yang lalu

-

Riwayat DM disangkal

-

Riwayat kolesterol disangkal

Riwayatpenyakitkeluarga : - Tidak ada keluarga pasien mengalami penyakit yang sama dengan pasien. - Riwayat penyakit diabetes pada keluarga disangkal - Riwayat penyakit HT pada keluarga disangkal





Riwayatpsikososial : -

Pasien memiliki 1 orang istri dan tidak memiliki anak

-

Pasien bekerja sebagai petani dengan social ekonomi yang cukup

-

Pasien peminum kopi 1 gelas/hari sejak 12 tahun yang lalu

-

Merokok disangkal

-

Konsumsi minuman beralkohol disangkal

Status Generalisata

1. Keadaanumum

:Tampaksakit sedang

2. Kesadaran

: Compos mentis kooperatif

3. Tanda vital

:



Tekanan darah

: 190/120 mmHg

Nadi

: 82x/ menitv

Pernapasan

: 22x/menit

Suhu

: 36,80 C

Status Antopometri  Berat badan  Tinggibadan

: 65 kg : 160 cm

IMT : 26.03 (Normoweight)

29

3.3 PemeriksaanFisik : •

Kulit

: ikterik (-), sianosis (-)



Kepala

: Normocephale



Rambut

: hitam, tidakmudahdicabut



Wajah

: edema (-), nyeritekan (-)



Mata

:KonjungtivaAnemis (-), Sklera Ikterus (-)



Telinga

: dalam batas normal



Hidung

: Dalam batas normal



Mulut

: Dalam batas normal



Gusi Perdarahan (-)



Leher

: JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran (KGB)

submandibula ,sepanjang submandibula sepanjang M.sternocleidomastoideus,Supra/infraclavikula kiri dan kanan. 



Paru-paru

:

-

Inspeksi

:Simetris kiri dan kanan

-

Palpasi

:fremitus kiris dan kanan sama

-

Perkusi

: Sonor di kedua lapangan paru

-

Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler, ronki -/-, Wheezing -/-

Jantung

:

-

Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

-

Palpasi

: Iktus kordis teraba1 jaridi linea mid clavicularis sinistra

RIC V -



Perkusi -

Batas jantung kiri

: Linea mid cklavukulasinistra RIC V

-

Batas jantung kanan : Linea sternalisdekstra RIC IV

-

Batas jantung atas

: Linea parasternalissinistra RIC II

Auskultasi : irama murni , regular, M1>M2, P1
Abdomen

:

- Inspeksi

: Cembung, asites (-), venektasia(-), massa (-)

- Palpasi

: Nyeri tekan (+) pada regio hipokondrium dextra

30

-

Hepar

: teraba 3 jari di bawah arcus costarum, konsistensi

kenyal,permukaan rata, tepi tumpul dan nyeri tekan (+)



-

Lien

: tidak teraba

-

Ginjal

: bimanual (-) ,ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

-

Kandung empedu: Murphy Sign (+)

- Perkusi

: Timpani

- Auskultasi

: bising usus (+) normal

Ekstremitas superior 

Inspeksi

: edema (-), Sianosis (-)



Palpasi

: Perabaan hangat



Tes sensibilitas

: sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)



Refleksfisiologis Kanan

kiri

Refleksbiseps

+

+

Reflekstriseps

+

+

Refleksbrachioradialis

+

+



Refleks patologis

Refleks Hoffman-Tremor



Kanan

Kiri

-

-

Ekstremitas inferior 

Inspeksi

: edema(-), sianosis (-)



Palpasi

: perabaanhangat

31

palpasia.dorsalispedis,

a

tibialis

posterior,

a

popliteakuatangkat 

Tes sensibilitas: sensibilitashalus (+), sensibilitas (+)



Refleks fisiologis Kanan

Kiri

Refleks Patella

+

+

RefleksCremaster

+

+

Reflkes Achilles

+

+



Refleks patologis Kanan

Kiri

Refleks Babinski

-

-

Refleks Gordon

-

-

Refleksoppeinheim

-

-

Reflekschaddoks

-

-

3.4 Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan yang telahdilakukan: 3.4.1Pemeriksaan Darah Rutin Tanggal 11 juni 2016 Hemoglobin

: 15,8 g/dl

Hematokrit

: 45,7%

Leukosit

: 12.250 mm3

Trombosit

: 331.000 mm3

3.4.2 .PemeriksaanFaalGinjal -

ureum

: 31,5 mg/dl

-

creatinin

: 0,98 mg/dl

Guloksa ad random

: 78 mg%

EKG

32

3.5 Diagnosa Kerja Diagnosa Primer :Kolesistitis akut dan hipertensi stage 1 essensial

3.6 Diagnosis Banding -

Perforasi kandung empedu

-

abseshati

-

empyema kandung empedu

-

empisematous kolesistitis

3.7 Penatalaksanaan : 1. Nonfarmakologi -

Bed rest

-

Diet hati II (DH II)

2. Farmakologi -

IVFD RL 12 jam/kolf 20 tpm

-

cefotaxime 2 x 1 gr (iv)

-

sucralfat 3 x 1 (PO)

-

Tramadol 2 x 50 mg (PO)

-

Ranitidine inj 2x1 Amp/IV

33

3.8 PemeriksaanAnjuran -

USG Abdomen

-

Faal Hepar

-

Ct Scan

-

Biobsi hepar

3.9 Prognosa Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam Quo ad fungtionam : dubia ad bonam 3.10Follow up Hari / Subject Tangga l - nyeriperutkana Sabtu natas (+) 12/06/2 - demam (-) 016 - mual (+) - muntah (-)

Object

KU : sakitsedang TTV : Kesadaran: CMC Tek.darah :170/130 mmHg Nadi : 80 x/menitreguler Nafas : 22 x/menit Suhu : 36.8 °C

Assesment

Plan danAnjuran

Kolesistitisa Terapi kutdanhiper -IVFD RL 12 jam/kolf tensiurgensi -cefotaxime 2 x 1 gr (iv) -sucralfat 3 x 1 (PO) -Tramadol 2 x 50 mg (PO) -Ranitidine inj 2x1 Amp/IV

EKG : Irama Sinus

Senin 13/06/2 016

- nyeriperutkana natas (+) - demam (-) - mual (+) - muntah (-)

KU : sakitsedang TTV : Kesadaran: CMC Tek.darah :160/120 mmHg Nadi : 81 x/menitreguler Nafas : 20 x/menit Suhu : 36.5 °C

Kolesistitisa kutdanhiper tensi stage 1 essensial

Terapi -IVFD RL 12 jam/kolf -cefotaxime 2 x 1 gr (iv) -sucralfat 3 x 1 (PO) -Tramadol 2 x 50 mg (PO) -Ranitidine inj 2x1 Amp/IV

Urinalisa Warna: kuning

34

Bilirubin: ++

Selasa 14/06/2 016

- nyeriperutkana natas (+)

KU : sakitsedang TTV : Kesadaran: CMC Tek.darah:160/100 mmHg Nadi : 80 x/menitreguler Nafas : 20 x/menit Suhu : 36.5 °C

Kolesistitisa kutdanhiper tensi stage 1 essensial

Terapi IVFD RL 12 jam/kolf -cefotaxime 2 x 1 gr (iv) -sucralfat 3 x 1 (PO) -Tramadol 2 x 50 mg (PO) -Ranitidine inj 2x1 Amp/IV Anjuran: USG Abdomen

- nyeriperutkana Rabu 15 / 06/ natas (+) 2016

KU : sakitsedang TTV : Kesadaran: CMC Tek.darah:170/100 mmHg Nadi : 80 x/menitreguler Nafas : 16 x/menit Suhu : 36.5 °C

Kolesistitisa Terapilanjut. kutdanhiper tensi stage 1 Pasienbolehpulanglanj essensial utkankepolipenyakitda lam.

Pemeriksaan USG Abdomen pada tanggal 14 juni 2016

35

Kesan Kesan :hydrops KE dengansuspeklesihiperekoikkecil-kecildiduktuscyctikus, batu? fatty liver (moderate severe.

36

Kesimpulan

Telah dilaporkan seorang laki-laki usia 40 tahun masuk bangsal pria penyakit dalam di Rumah sakit Umum Daerah Solok dengan diagnose Kolesistitis akut dan hipertensi stage 1 essensial dab fatty liver. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dan penunjang. Dari

anamnesa

di

dapatkan

keluhan

nyeritiba-

tibadenganintensitasberatseperti di tusuk-tusuk di perutbagiankananatas sejak ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeritidakmenghilangdenganperubahanposisi tubuh ataupun dengan istirahat. tetapi kadang nyeri kanan.Muntah

2

x

sebelummasukrumahsakit,

menjalar ke bahu

memuntahkanapasaja

yang

dimakan. BAB warnakekuningandengankonsistensicair 3 x sejak 5 hari yang lalu.BAK sepertitehsudah 1 minggu yang lalu, frekuensi 2-3 kali/hari, Nafsu makan menurun, tapi berat badan tidak turun. Dari pemeriksaan fisis didapatkan gambaran umumTanda vital: TD = 190/120 mmHg, nadi: 82x/menit, pernapasan: 22 x/menit, suhu: 36,80C. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan,NT (+) di regio hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul), dan peristaltik (+) kesan normal. . Dari pemeriksaan USG Abdomen pada Kandung empedu ada pembesar dengan dinding lebih hiperekoik, disusuri ke dista tampak struktur hiperkoik kecil kecil di duktuscistikus. Dan dengan kesan hydrops kandung empedu dengan suspek lesi hiperekoik kecil-kecil diduktuscyctikus dan fatty liver. Untuk pemeriksaan di sarankan untuk melakukan USG Abdomen dengan sensitivitas 90% dan selanjutnya melakukan pemeriksaan CT scan dengan sensitivitas 60%, Skintigrafi saluran empedu menggunakan zat radioaktif HIDA dengan sensitivitas 70% dan biobsi hepar dengan sensitivitas 90%.

37

Related Documents

Case
November 2019 51
Case
May 2020 48
Case
May 2020 37
Case
November 2019 57
Case
July 2020 25
Case
May 2020 23

More Documents from ""