erBAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Dokter memiliki tanggung jawab terhadap beberapa aspek, baik dokter
sebagai tenaga kesehatan professional,1 hubungan dokter dengan pasien.2 Pasien yang ditangani oleh dokter memiliki hukum pelindung,sehingga apabila terjadi kelalaian tindakan professional dokter, terdapat hukum yang mengatur pertanggung jawaban dokter.3 Dalam melakukan tindakan apabila seorang dokter melampaui batas kewenangannya dapat berakibat pula seorang dokter itu akan berurusan dengan aparat penegak hukum guna mempertanggung jawabkan tindakan terlebih lagi bila tindakan tersebut berakibat merugikan pasien ataupun masyarakat lainnya sehingga dalam hubungan dokter dan pasien diperlukannya Persetujuan tindakan kedokteran (PTK) sebelum melakukan tindakan. Persetujuan tindakan Kedokteran adalah merupakan terjemahan yang dipakai untuk istilah informed consent. Konsep tentang informed consent mempunyai dua unsur : (1) informed atau informasi yang harus diberikan oleh dokter dan (2) consent atau persetujuan yang diberikan pasien, dalam arti pasien harus mengerti untuk apa persetujuan itu diberikan. Jadi informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.1,2,3 Istilah Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTK) resmi dipakai setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang mendefinisikan bahwa “Persetujuan tindakan kedokteran adalahpersetujuan yang diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”.4 Prosedur medikolegal merupakan tatacara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan 1
2 peundang undangan yang berlaku di Indonesia dan pada beberapa bidang juga mengacuh kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.5 1.2
Rumusan masalah Referat ini membahas mengenai aspek medikolegal dan tatalaksana
informed consent. 1.3
Tujuan penulisan
1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui aspek medikolegal dan tatalaksana informed consent. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui ruang lingkup medikolegal. 2. Mengetahui aspek medikolegal persetujuan tindakan kedokteran . 3. Mengetahui definisi informed consent. 4. Mengetahui Tata Cara Persetujuan Tindakan Kedokteran. 1.4
Manfaat penulisan Referat ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah
pengetahuan tentang aspek medikolegal dan tatalaksana informed consent serta meningkatkan keterampilan dalam menyusun tulisan ilmiah. 1.5
Metode penulisan Referat ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Medikolegal Medikolegal secara harfiah berasal dari dua pengertian yaitu medik yang berarti profesi dokter dan legal yang berarti hukum. Sehingga batasan medikolegal adalah ilmu hukum yang mengatur bagaimana profesi dokter ini dilakukan sehingga memenuhi aturan-aturan hukum yang ada. Hal ini untuk mencegah penyelewengan pelaksanaan profesional medis maupun mengantisipasi dengan berkembang serta lajunya ilmu-ilmu kedokteran yang tentunya terdapat hal-hal yang rawan terhadap hukum.5 Prosedur medikolegal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.5 Ruang lingkup prosedur medikolegal yaitu: pengadaan visum et repertum, pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka, pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan ahli dalam persidangan, kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran, tentang penerbitan surat keterangan kematian dan suraat keterangan medis, tentang fitness/kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik.5
2.2 Bentuk persetujuan Bentuk Persetujuan Informed Consent 1. 1.Implied Consent (dianggap diberikan)Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera
4
sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. 2. Expressed Consent (dinyatakan)Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yangbersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.6 2.3 Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak.8Seseorang dokterapabilaakan memberikan informasi dan menerima persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya–untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.7 2.4 Aspek Medikolegal Persetujuan Tindakan Kedokteran a. Elemen persetujuan tindakan kedokteran Menurut Beuchamp dan Childress,3 persetujuan tindakan kedokteran (baca: Informed consents) memiliki 3 elemen, yaitu: (A) Threshold elements (precondition) 1. Competence (to understand & decide) 2. Voluntariness (in deciding) (B) Information elements 1. Disclosure (of material information) 2. Recommendation (of a plan)
5
3. Understanding (of 3 & 4) (C) Consent elements 4. Decision (in favor of a plan) 5. Authorization (of the chosen plan) Urutan elemen di atas merupakan suatu hierarkisitas,dengan kata lain harus dipenuhi berdasarkan urutanyang telah ditentukan. Pasien yang kompeten menurut Permenkes adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturanperundangundangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.4 Batas umur pasien dikategorikan kompeten menurut peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia adalah berusia 18 tahun atau lebih. Tiga kata kunci untuk kriteria pasien kompeten yaitu: dewasa, sadar, dan sehat secara mental. Ketiga hal ini harus terpenuhi, apabila salah satu tidak terpenuhi maka informasi dan persetujuan, diberikan dan dimintakan kepada keluarga terdekat. Selain syarat kompeten, maka sebelum diberikan informasi, pasien juga harus berada dalam keadaan bebas atau sukarela untuk menerima informasi dan member persetujuan.1,6,3,7,8 Informasi yang diberikan harus dapat membuat pasien memahami akan situasi dan kondisi penyakitnya, memahami risiko atas keputusan yang akan dibuatnya dan berkomunikasi dengan dokter perihal keadaannya dengan dasar pemahaman. Telah ditegaskan bahwa informasi ini harus diberikan baik diminta atau tidak diminta oleh pasien atau keluarga. Informasi ini harus diberikan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan acuan bagi pasien atau keluarganya untuk mengambil keputusan, yaitu menerima atau menolak tindakan medis.1,2,3 Dalam pasal 45 ayat 3 UU No. 29/2004 penjelasan atau pemberian informasi kepada pasien sekurang kurangnya mencakup:12 a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
6
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Informasi yang diberikan haruslah informasi yang adekuat, dalam hal ini seberapa baik informasi yang harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3standar, yaitu:13,14,6,1,15 a. Reasonable physician standard, bahwa kewajiban memberikan informasi dan criteriake-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada dalam komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima informasi tersebut. b. Subjective standard, bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Standar ini sangat sulit dilaksanakan atau hamper mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien. c. Reasonable patient standard, standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang awam. 2.5 Informed consent Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika. Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok, yakni:
7
1.
Hak
pasien
(atau
subjek
manusiawi
yang
akan
dijadikan
kelinci
percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien. 2.
Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien. Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien
untuk menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001). Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F Childress, dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh
pasien
atau
subyek
riset
medis
dapat
disebut
suatu
persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni: a.
Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b.
Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c.
Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard) Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent. Informed Consent
hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
8
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu: a.
Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b.
Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Persetujuan memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan, serta penting diperhatikan disini adalah siapa yang berhak memberikan persetujuan. Apabila pasien tidak diberikan informasi sebelumnya, maka PTK yang walaupun sudah ditandatangani tidak merupakan bukti kuat bagi dokter, karena pasien dianggap belum informed sehingga belum terdapat persetujuan dalam arti yang sebenarnya. Seperti halnya pemberian informasi atau penjelasan, maka untuk persetujuan juga harus dilakukan atau diberikan oleh pasien yang kompeten. Apabila pasien tidak kompeten maka persetujuan dapat dilakukan atau diberikan oleh keluarga terdekat (next of kin).3,2,4,8 a. Bentuk persetujuan tindakan kedokteran Terdapat 2 bentuk persetujuan tindakan kedokteranyaitu: 1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (impliedconsent) Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisanmaupun tertulis, namun melakukan tingkah laku(gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipunpersetujuan jenis ini tidak memiliki bukti, namun jenisinilah yang paling banyak dilakukan dalam prakteksehari-hari. Misalnya seseorang yang menggulungbaju dan mengulurkan lengannya untuk diambil darahnya. 2. Dinyatakan (expressed consent): lisan atau tulisan Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan invasif atau yang berisiko tinggi mempengaruhi kesehatan pasien
9
secara bermakna. Dalam Permenkes menyatakan bahwa setiap tindakan bedah (operasi) dan tindakan beresiko tinggi lainnya harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan. Selain keadaan di atas persetujuan tindakan medik dapat diberikan secara lisan atau tersirat.1,3,
b. Persetujuan tindakan kedokteran pada keadaan emergensi dan khusus Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkanjiwa pasien dan atau mencegah kecacatan tidakdiperlukan PTK. Pada keadaan emergensi dimanadidampingi oleh keluarga terdekat, maka persetujuandapat dimintakan kepada keluarga terdekat (next ofkin) dengan urutan sebagai berikut : suami/isteri yangsah, anak kandung, ayah atau ibu kandung, saudarakandung atau pengampunya.13,1,12,15 Demikian juga hal nya dalam hal tindakan kedokteranharus dilaksanakan sesuai dengan programpemerintah dimana tindakan medik itu untukkepentingan masyarakat banyak, maka PTK tidakdiperlukan.13 Sanksi-sanksi Apabila tindakan medik dilakukan tanpa persetujuanpasien maka dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagaiberikut:10,12,14 1. Sanksi etik, mulai dari teguran lisan sampaidengan rekomendasi pencabutan surat ijin praktik. 2. Sanksi administratif, dapat berupa teguran lisan,teguran tertulis sampai dengan pencabutan suratijin praktik. 3. Sanksi disiplin, dapat berupa tegulisan lisan,tertulis, rekomendasi pencabutan surat ijinpraktik dan atau kewajiban mengikuti Pendidikanatau pelatihan di institusi Pendidikan kedokteran. 4. Sanksi PerdataSuatu tindakan medik terhadap seorang pasientanpa memperoleh persetujuan dahulu daripasien tersebut dapat dianggap sebagaipenyerangan atas hak orang lain atau perbuatanmelanggar hukum (tort). Dalam hal ini dokterdapat menerima sanksi sebagaimana
10
diungkapkan dalam ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :“Tiapperbuatan melanggar hukum, yang membawakerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu,mengganti kerugian tersebut”. 5.Sanksi PidanaSuatu tindakan medik yang dilakukan oleh doktertanpa persetujuan pasien dapat dianggap melanggarperaturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal351 mengenai penganiayaan. Menyentuh ataumelakukan tindakan terhadap pasien tanpapersetujuan dapat dikategorikan sebagai“penyerangan” (assault).
c. Contoh Tindakan Kedokteran yang Memerlukan Persetujuan Sesuai Undang – Undang no 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, terdapat beberapa tindakan kedokteran dan kedokteran gigi yang wajib diberikan informed consent. Tindakan tersebut yaitu : A. Semua Tindakan Pembedahan dan Tindakan Invasive B. Semua Tindakan Anestesi & Sedasi ( Sedasi Sedang dan Sedasi Dalam ) C. Semua Tindakan Pemberian Produk Darah & Komponen Darah D. Semua Tindakan Yang Berisiko Tinggi.
2.6 Tata Cara Persetujuan Tindakan Kedokteran Hal pertama yang harus dilakukan untukmempermudah dan menghindari kealfaan dalammelaksanakan PTK adalah mencari format yang tepat,benar, dan sesuai dengan peraturan perundangundanganyang berlaku di Indonesia. Sepanjangpengetahuan penulis, format yang memenuhi criteria tersebut adalah contoh format PTK yang dikeluarkanoleh Konsil Kedokteran Indonesia yang dimuat dalambuku Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran. (Gambar 1) Langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapatkanPTK yang baik adalah:1,7-9,13,14 1. Evaluasi kompetensi pasien apakah pasienkompeten untuk dapat menerima informasi dan
11
memberi persetujuan. Bila tidak kompeten makaproses PTK dilakukan pada keluarga terdekat atauwali nya. 2. Lakukan penilaian keadaan apakah informasi akanmemperburuk kondisi pasien. 3. Lakukan pada tempat dan situasi yang membuatpasien nyaman untuk menerima informasi. 4. Tanyakan kepada pasien apakah membutuhkanpendampingan dari keluarga terdekat. 5. Dalam melakukan proses PTK sebaiknya dokterdidampingi oleh tenaga kesehatan lain. 6. Berikan informasi secara jelas, adekuat, sertamenggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh pasien, bila diperlukan dapat digunakan alat bantuuntuk menjelaskan. 7. Tanyakan kembali pemahaman pasien atasinformasi yang telah diberikan. 8. Beri kesempatan kepada pasien untuk bertanyadan berdiskusi. 9. Beri kesempatan kepada pasien, apabila mereka membutuhkan waktu untuk mendiskusikan informasi tersebut dengan keluarga, akan tetapi berikan juga batas waktu kapan keputusan akan didapatkan. 10. Bila pasien menyatakan persetujuan atau penolakan maka mintalah tanda tangan pasien dan 1 orang saksi dari keluarga pasien pada tempat yang telah disediakan. 11. Dokumentasikan dengan baik proses PTK tersebut sesuai format yang digunakan, serta catatlah waktu kapan tahapan proses pemberian informasi diberikan dan kapan persetujuan atau penolakan dari pasien diputuskan. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: 1).Sedapat mungkin informasi dijelaskan oleh dokteryang akan melakukan tindakan kedokteran, 2). Bila dokter berhalangan maka pemberi informasi dapatdidelegasikan pada dokter lain yang kompeten, 3) Diakhir proses pemberian informasi, dokter dan pasienmembubuhkan tanda tangan pada kolom yangdisediakan,
12
4).
Persetujuan
sebaiknya
diberikanlangsung
oleh
pasien,
namun
tidakmemungkinkan dapat diwakili oleh keluarga, Dan 5).Dokter tidak perlu membubuhkan tanda tangan padabagian persetujuan.1,7,8,13
bila
13
BAB III PENUTUP
3.1
KESIMPULAN 1. Medikolegal adalah sesuatu yang berhubungn dengan kesehatan dan hukum dimana seorang dokter berfikir tentang infestigasi hukum yang dibutuhkan untuk dipertanggungjawabkan. 2. Informed consent adalah istilah yang berasal dari Bahasa Inggris yang dalam Bahasa Indonesia sering disebut dengan persetujuan tindakan medis. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata, yaitu: informed dan consent. Informed berarti telah mendapat informasi atau penjelasan. Sedangkan consent berarti memberi persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien/ keluarga setelah mendapat informasi/ penjelasan. 3. Persetujuan dalam informed consent dianggap sah apabila: pasien telah diberi penjelasan/ informasi, dan pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap/ kompeten untuk memberikan keputusan/ persetujuan
14
3.2
SARAN Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah dalam memahami
tentang penjelasan tentang aspek medikolegal dalam persetujuan informed consent.
15
Gambar 1. Contoh format persetujuan tindakan kedokteran1
16
DAFTAR PUSTAKA 1. Sampurna B, Siswaja TD SZ. Bioetik dan hokum kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2005. p 75- 84. 2.
Guwandi J. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004. 50 p.
3. . Beauchamp TL, Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 7 Ed. New York: Oxford University Press;2013. p. 120-5. 4. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. 5. Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis 6. Rathor MY, Rani MFA, Shah AM, Akter SF. Informed consent: A Socio-legal study. Med J Malaysia. 2011;66(5):423–8. 7. Raab EL. The parameters of informed consent. Trans Am Ophthalmol Soc. 2004; 102:225-32. 8. Kluge EHW. Incompetent patients, substitute decision making, and quality of life:
some
ethical
considerations.
Medscape
J
Med.
2008;10(10):237.PMC2605131. 9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 10. White MK, Keller V, Horrigan LA. Beyond informed consent: The shared decision-making process. JCOM. 2003;10(6):323–8. 11. Murray B. Informed Consent: What Must a Physician Disclose to a Patient? Virtual Mentor. 2012;14(7):563–6. 12. Jones JW, McCullough LB. How informed need be informed consent? J Vasc Surg. 2011;54(6):1830–1. 13. Konsil Kedokteran Indonesia. Manual persetujuan tindakan kedokteran. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006. 36 p. 14. Abolfotouh MA, Adlan AA. Quality of informed consent for invasive procedures in central Saudi Arabia. Int J Gen Med. 2012; 5:269–75.
17
15. Sivalingam N. Medical paternalism and patient autonomy; The dualism doctors contend with. Med J Malaysia. 2011;66(5):421–2. 16.