LAPORAN KASUS CUTANEOUS LARVA MIGRANS
Pembimbing: dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid
Disusun oleh: Enel Rizka Aulia 030.13.068
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT RSK DR. SITANALA TANGERANG PERIODE 17 FEBRUARI – 23 MARET 2019 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
LAPORAN KASUS
Judul: “CUTANEOUS LARVA MIGRANS”
Disusun oleh: Enel Rizka Aulia (030.13.068)
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid untuk dipresentasikan
Tangerang,
Februari 2019
Mengetahui,
dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid i
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Cutaneous Larva Migrans”. Penulisan laporan kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit di RSK dr. Sitanala Tangerang periode 17 Februari – 23 Maret 2018. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid sebagai dokter pembimbing, dokter dan staf-staf di poliklinik kulit RSK dr. Sitanala, rekan-rekan sesama koasisten ilmu penyakit kulit dan semua pihak yang turut serta berperan memberikan doa, semangat dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan makalah kasus ini. Saya menyadari bahwa makalah kasus ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini, saya memohon maaf kepada para pembaca. Masukan, kritik, dan saran akan saya jadikan bahan pertimbangan agar makalah kasus ini kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih.
Tangerang,
Januari 2019
Enel Rizka Aulia
ii
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERSETUJUAN ...............................................................................i KATA PENGANTAR ........................................................................................ii DAFTAR ISI .......................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1 BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................2 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................7 BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................16
iii
BAB I PENDAHULUAN
Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan suatu penyakit kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Larva cacing beredar di bawah kulit manusia, yang ditandai dengan adanya erupsi kulit berupa garis papula kemerahan.1 Penyakit CLM ini sudah dikenal sejak tahun 1874. Kemudian pada tahun 1929 diketahui bahwa penyakit ini terkait dengan migrasi subkutan dari larva Ancylostoma. Sehingga kemudian penyakit ini dikenal dengan Hookworm-related cutaneous larva migrans (HrCLM). Awalnya penyakit ini hanya ditemukan pada daerah-daerah tropical karena kemudahan transposrtasi ke seluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada daerah-daerah tersebut.2,3 Selama beberapa decade ini, istilah HrCLM dan creeping eruption sering disamaartikan.
Perbedaannya
adalah
HrCLM
menggambarkan
sindrom,
sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginus, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur.3
1
BAB II LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. MM
Tanggal lahir
: 25 Mei 1967
Usia
: 52 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Suka Mulya, Cikupa, Kab. Tangerang
Status Perkawinan
: Kawin
Pekerjaan
: Buruh
II. ANAMNESIA Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di poli kusta RSK dr. Sitanala tanggal 21 Februari 2019 Keluhan Utama Pasien laki-laki berusia 52 Tahun datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan gatal pada jari-jari dan punggung kedua kaki sejak sejak 4 hari yang lalu. Keluhan Tambahan Keluhan disertai bercak hitam kemerahan pada kaki yang semakin melebar. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien laki-laki berusia 52 tahun datang datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan gatal pada jari-jari dan punggung kedua kaki sejak 4 hari yang lalu. Keluhan gatal dirasa hilang timbul namun lebih terasa pada malam hari. Keluhan disertai bercak hitam kemerahan pada kaki yang semakin menyebar ke daerah sekitar. Berdasar pengakuan pasien hal ini tidak terdapat di bagian lain tubuhnya. Sebelumnya pasien sudah berobat ke klinik terdekat, diberi salep namun tidak ada perubahan.
2
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada yang mengalami keluhan serupa pada keluarga pasien. Riwayat penyakit hipertensi, dan diabetes melitus, pada keluarga juga disangkal. Riwayat Alergi Riwayat Pekerjaan Pasien merupakan seorang kuli bangunan. Ia mengaku jarang menggunakan alat pelindung diri terutama alas kaki saat sedang bekerja.
III. PEMERIKSAAN FISIK a. Status Generalis Keadaan Umum
: Sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital - Tekanan Darah
: 127/74 mmHg
- Nadi
: 85x/menit
- Suhu
: 36,5 C
- Pernafasan
: 20x/menit
- Berat Badan
: 67 kg
Kepala
: Rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, skuama (-), krusta (-)
Leher
: Tidak didapati pembesaran KGB
Thorax
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
: Tidak dilakukan pemeriksaan
3
b. Status Dermatologikus
Gambar 1. Regio dorsum lateralis pedis dextra dengan creeping eruption
Regio
: Dorsum lateralis pedis bilateral
Efloresensi primer
: Papul linier eritematus
Efloresensi sekunder : Skuama, krusta disertai hiperpigmentasi Distribusi
: Regio pedis
Bentuk
: Serpiginosa
Batas
: Tegas membentuk terowongan (burrow)
Ukuran
: Panjang ± 4cm
Efloresensi
: Regio dorsum pedis bilateral: Tampak papul linier
eritematosa, region pedis, bentuk serpiginosa, membentuk terowongan, dengan panjang ± 4cm disertai skuama, krusta dan hiperpigmentasi di sekitar lesi.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG -
Tidak dianjurkan pemeriksaan penunjang
4
V. RESUME Pasien laki-laki usia 52 tahun dating ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan gatal pada jari dan punggung kedua kaki sejak 4 hari lalu. Gatal hilang timbul, terasa terutama pada malam hari. Semakin hari gatal dan bercak hitam kemerahan semakin menyebar ke area sekitar kaki. Sudah pernah berobat ke klinik namun tidak ada perubahan. Pada pemeriksaan fisik didapati keadaan umum pasien tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis, tekanan darah 127/74 mmHg, nadi 85/menit, suhu afebris, pernapasan 20x/menit. Pada status dermatologi region dorsum pedis bilateral: Tampak papul linier eritematosa, region pedis, bentuk serpiginosa, membentuk terowongan, dengan panjang ± 4cm disertai skuama, krusta dan hiperpigmentasi di sekitar lesi.
VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG -
Pemeriksaan lab eosinofilia
VII. DIAGNOSIS BANDING -
Skabies
-
Dermatofitosis
-
DKA
VIII.
DIAGNOSIS KERJA
Cutaneous Larva Migrans
IX. PENATALAKSANAAN a. Non-medika mentosa -
Edukasi tentang penyakit pasien.
-
Edukasi agar minum obat teratur.
5
-
Jaga kebersihan diri; selalu menggunakan alas kaki terutama bila sedang bekerja, cuci tangan sebelum dan sesudah makan, sesudah bekerja, sesudah aktivitas dari luar.
-
Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah/pasir yang terkontaminasi.
b. Medikamentosa -
Albendazol 1x400mg selama 3 hari
-
Cetirizine 1x 10 mg
X. PROGNOSIS Ad vitam
: Ad bonam
Ad fungsionam
: Ad bonam
Ad sanationam
: Dubia ad bonam
6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Cutaneous Larva Migrans Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum. Selama beberapa dekade, istilah CLM dan creeping eruption sering disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom, sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur.1 II. Epidemiologi CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di daerah yang lembab dan terdapat pesisir pasir. CLM endemik di masyarakat kurang mampu di negara berkembang, seperti Brazil, India, dan Hindia Barat. Sebuah studi di Manaus, Brazil, menunjukkan prevalensi CLM pada anak-anak selama musim hujan berkisar 9,4%. Di daerah perkumuhan di Timur Laut Brazil, didapati lebih dari 4% dari keseluruhan populasi dan 15% pada anak-anak menderita CLM.4 Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang. Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan kucing tidak diberikan antihelmintes secara teratur.4 III. Faktor Risiko Faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:5 Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki. Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan CLM. Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing. Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk deworming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan larva cacing tambang.
7
Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai. Kondisi biogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis. Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai. Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama liburannya.
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:5 Keberadaan anjing dan kucing. Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM. Cuaca atau iklim lingkungan Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia. Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM. Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:5 Usia CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa 8
usia merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan kejadian CLM (p<0.0001). Pekerjaan Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir. Tingkat pendidikan Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%) penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang menderita CLM.5
IV. Etiologi Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing (Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga seperti Hypoderma dan Gasterophilus. Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar.6 Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.6 V. Siklus Hidup Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa
9
larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah bermigrasi di kulit.7
Gambar 2. Siklus hidup7 VI. Pathogenesis Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia. Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya.8 Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir.8
10
VII. Gejala Klinis Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari, jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter. Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul.1,7 Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan. Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi. CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir. Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha. Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui.1,7
Gambar 3. Gambaran klinis CLM (creeping eruption)7
11
VIII. Diagnosis Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan disertai dengan riwayat berjemur, berjalan tanpa alas kaki di pantai atau aktivitas lainnya di daerah tropis, biopsi tidak diperlukan. Prosedur invasif jarang digunakan untuk mengindentifikasi parasit pada CLM. Hal ini disebabkan karena ujung anterior lesi tidak selalu menunjukkan tempat dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan, namun tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada wisatawan dengan CLM, hanya pada 8 (20%) dari 40 orang didapatkan eosinofilia. Namun, peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi ini termasuk komplikasi yang jarang terjadi.8 CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui.8 IX. Diagnosis Banding Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium awal.8,9 Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak alergi, dermatitis fotoalergi, loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea korporis, dan ganglion kista serpiginius. Kondisi lain yang bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut secara horizontal di kulit.8,9 X. Terapi Obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal (200 µg/kg berat badan) dapat membunuh larva secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat. Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar 77% sampai 100%. Dalam hal kegagalan pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan offlabel pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan tanpa adanya laporan kejadian merugikan yang signifikan.10 Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol, tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral albendazol
12
(400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat kesembuhan yang sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal albendazol memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pendekatan alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan.10 Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan secara luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah, dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol secara oral menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol secara oral tidak direkomendasikan.10 Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10- 15% tiga kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati tidak memiliki efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik. Tiabendazol topikal terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan pada folikulitis. Ivermectin dan albendazol adalah gabungan yang menjanjikan untuk penggunaan topikal, terutama untuk anak-anak, namun data efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas. Infeksi sekunder harus ditangani dengan antiobiotik topical.10 Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturutturut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan.10 XI. Pencegahan Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara lain: 10 - Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi. - Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah. - Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan antihelmintik. - Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain.
13
-
Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk defekasi di lubang tersebut. - Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai dan menggunakan kursi saat berjemur. Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk memberikan pengobatan yang teratur terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing tambang pada binatang hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan pengontrolan yang terintegrasi antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis medis, dokter hewan, dan masyarakat.10 XII. Prognosis CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya, larva akan mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan karena larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia. Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan penyakit.10
14
BAB IV KESIMPULAN
Cutaneous larva migrans yang disebabkan cacing tambang adalah suatu penyakit kulit akibat parasite yang disebabkan oleh migrasi dari larva cacing tambang binatang pada epidermis kulit manusia. Larva ini tidak mampu melakukan penetrasi membrane basalis dari kulit manusia, sehingga mereka tidak mampu berkembang dan melanjutkan siklus hidupnya. Penularan terjadi ketika kulit terbuka berkontak dengan tanah yang terkontaminasi. Gejala klinis berupa papula kecil berwarna kemerahan yang diikuti dengan jalur kemerahan, berbentuk garis, sedikit menonjol menjalar pada kulit. Obat pilihan pada penyakit ini yaitu invermektin dalam dosis tunggal atau albendazol dalam dosis berulang. Pemberian albendazol secara topical dapat dipertimbangkan bagi orang-orang yang memiliki kontraindikasi terhadap invermektin dan albendazol oral. CLM sebenarnya termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan penyakit. Terdapat beberapa upaya untuk mencegah kejadian penyakit ini, utamanya adalah menghindari kontak dengan tanah yang terkontaminasi cacing tambang dengan menggunakan alas kaki.
15
DAFTAR PUSTAKA 1.
Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2010. 2. Leventhal R, Russel FC. Medical parasitology;a self instructional text. Edisi ke-6. Philadelphia: FA Davis Company;2010. 3. Bava J, Gonzales LG, Seley CM, Lopes GM, Troncoso A. A case report of cutaneous larva migrans. Asian pacific journal of tropical biomed. 2011;1(1);81-2. 4. Eckert J. Larva migrans externa or cutaneour larva migrans. Dalam: Bienz KA, editor. Medical microbiology. New York: Thieme Medical Publisher;2005. 5. Palgunadi BU. Cutaneous larva migrans. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2010; 2(1):31-3. 6. Centers for Disease Control and Prevention. Parasite-zoonotic hookworm. USA: Centers for disease control and prevention; 2012. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/. 7. Hochedez P, Caumes E. Hookworm related cutaneous larva migrans. J Travel Med. 2007: 14(1):326-33. 8. Heukelback J, Feldemeier H. Epidemiological and clinical characteristics of hookworm related cutaneous larva migrans. Lancet Infect Dis. 2008: 8(2);302-9. 9. Heukelbach J, Jackson A, Ariza L, Feldeimer H. prevalence and risk factors of hookworm-related cutaneous larva migrans in a rural community in brazil. Annual tropical medicine parasitology. 2008; 31:493-8. 10. Dourmishev AL, Schwartz RA. Invermectin: pharmacology and application in dermatology. Int J Dermatol. 2005; 44:981-8.
16