Case Based Discussion Dimuthimami.docx

  • Uploaded by: himami
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Based Discussion Dimuthimami.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,709
  • Pages: 64
CASE BASED DISCUSSION SUSPECT GASTRITIS EROSIVA, HIPOKALEMIA, IHIPERNATREMIA, VERTIGO DAN INFEKSI SALURAN KEMIH Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Islam Jemursari Surabaya

Oleh : Dinda Mutiara Sukma Prastika

(6120018031)

Himami Firdausiyah

(6120018017)

Pembimbing : dr. Hari Bagijo Sp.PD.FINASIM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2018

1

DAFTAR ISI COVER DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gastritis erosiva 2.2 Hipokalemia 2.3 Hipernatremia 2.4 Infeksi saluran kemih 2.5 Vertigo BAB III LAPORAN KASUS A. Identitas pasien B. Anamnesis C. Pemeriksaan fisik D. Resume E. Diagnosis banding F. Usulan pemeriksaan penunjang G. Diagnosis kerja H. Tatalaksana I. Prognosis J. Edukasi BAB IV PEMBAHASAN BAB V KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

2

BAB I PENDAHULUAN

Hematemesis (muntah darah) dan melena (berak darah) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (upper gastrointestinal tract). Kebanyakan kasus hematemesis adalah keadaan gawatdi rumah sakit yang menimbulkan 8-14% kematian di rumah sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan1. Di Eropa dan Amerika dalam buku Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology, sebagian besar penyebab perdarahan saluran cerna atas adalah tukak peptik. Hal itu sesuai data penelitian CURE yaitu sekitar 55%pasien perdarahan saluran cerna atas yang disebabkan oleh tukak peptik1. Ari F. Syam (2005) dalam penelitiannya di RSCM Jakarta menyebutkan kebanyakan penderita

perdarahan saluran

cerna

atas disebabkan

oleh varises esophagus (33,5%). Tingginya angka penderita varises esophagus dikarenakan adanya hubungan antara varises esophagus dengan penyakit hepatitis B dan C di Indonesia. Demikian pula pada penelitian Nasrul Zubir dan Julius (1992) di RSU dr. M. Jamil Padang, jenis kelainanyang ditemukan pada pemeriksaan endoskopi yang terbanyak adalah varises esophagus sebanyak 196 penderita (23,17%), gastritis refluks menempatiurutan tertinggi diantara gastritis lainnya (41,21%). Jumlah tukak lambung dantukak duodenum pada penelitian ini hampir sebanding1,2. Di Perancis, sebuah laporan menyimpulkan bahwa jumlah kematiandari perdarahan saluran cerna atas telah turun dari sekitar 11 % menjadi 7%;sebaliknya, dari sumber laporan yang sama dari Yunani mendapatkan tidak adanya penurunan jumlah kematian tersebut. Di Spanyol sendiri mendapatkan bahwa perdarahan saluran cerna atas 6 kali lebih sering terjadi dibandingkandengan perdarahan saluran cerna bawah. Di Amerika Serikat, setiap tahunpasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat dengan sebab perdarahansaluran cerna atas. Sejak tahun 1945, angka kematian di Amerika Serikat olehsebab perdarahan saluran cerna atas mencapai 5 – 10 % dan tidak berubah hingga saat ini1,2. Angka kematian di berbagai belahan dunia menunjukkan jumlah yangcukup tinggi, terutama di Indonesia yang wajib menjadi perhatian khusus.Berdasarkan hasil penelitian di Jakarta didapati bahwa jumlah kematian akibatperdarahan saluran cerna atas berkisar 26 %1,2. 3

Insiden perdarahan saluran cerna atas dua kali lebih sering pada priadaripada wanita dalam seluruh tingkatan usia; tetapi jumlah angka kematiantetap sama pada kedua jenis kelamin. Angka kematian meningkat pada usiayang lebih tua (>60 tahun) pada pria dan wanita1,2. Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dilakukanpemeriksaan endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang penyebab yangdapat menimbulkan perdarahan saluran cerna bahagian atas1,2.

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hematemesis Melena et Causa Gastritis Erosiva 2.1.1 Definisi Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yaitu perdarahan yang berasal dari dalam lumen saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus1. Hal tersebut mengakibatkan muntah darah (hematemesis) dan berak darah berwarna hitam seperti aspal (melena)1. Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalambentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi1,3. Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas sertadicernanya darah pada usus halus 1,3. 2.1.2 Etiologi Beberapa penyebab timbulnya perdarahan di saluran cerna atas yaitu 1,3: 1.

Kelainan di esofagus a) Pecahnya varises esofagus Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif,kehilangan darah gastrointestinal kronik jarang ditemukan. Perdarahanvarises esofagus atau lambung biasanya disebabkan oleh hipertensi portalyang terjadi sekunder akibat sirosis hepatis. Meskipun sirosis alkoholik merupakan penyebab varises esofagus yang paling prevalen di AmerikaSerikat, setiap keadaan yang menimbulkan hipertensi portal dapatmengakibatkan perdarahan varises. Lebih lanjut, kendati adanya varisesberarti adanya hipertensi portal yang sudah berlangsung lama, penyakithepatitis akut atau infiltrasi lemak yang hebat pada hepar kadang-kadangmenimbulkan varises yang akan menghilang begitu abnormalitas hepardisembuhkan. Meskipun perdarahan SMBA pada pasien sirosis umumnyaberasal dari varises sebagai sumber perdarahan, kurang lebih separuh daripasien ini dapat mengalami perdarahan yang berasal dari ulkus peptikum atau gastropati hipertensi portal. Keadaan yang disebut terakhir ini terjadiakibat penggembungan vena-vena mukosa lambung. Sebagaikonsekuensinya, sangat penting menentukan penyebab perdarahan agarpenanganan yang tepat dapat dikerjakan 2 5

Angka kejadian pecahnya varises esophagus yang menyebabkanperdarahan cukup tinggi yaitu 54,8%. Sifat perdarahan hematemesisnyamendadak dan masif, tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarnakehitaman dan tidak akan membeku karena sudah tercampur asamlambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena1,3 b) Karsinoma esofagus Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan melenadaripada hematemesis. Pasien juga mengeluh disfagia, badan mengurusdan anemis. Hanya sesekali penderita muntah darah tidak masif. Padapanendoskopi jelas terlihat gambaran karsinoma yang hampir menutupesophagus dan mudah berdarah terletak di sepertiga bawah esophagus1,3. c) Sindrom Mallory-weis Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi (vomitustanpa darah). Muntah hebat mengakibatkan ruptur mukosa dan submukosa daerah kardia atau esophagus bawah sehingga muncul perdarahan. Karena laserasi aktif disertai ulserasi, maka timbul perdarahan. Laserasi muncul akibat terlalu sering muntah sehingga tekanan intraabdominal naik menyebabkan pecahnya arteri di submukosa esophagus/ kardia. Sifat perdarahan hematemesis tidak masif, timbul setelah pasien berulang kali muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri di epigastrium. Misalnya pada

hiperemesis

gravidarum1,3 d) Esofagogastritis erosiva Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang muntah darahsetelah tidak sengaja meminum air keras untuk patri. Air keras tersebutmengandung asam sitrat dan asam HCl yang bersifat korosif untuk mukosamulut, esophagus dan lambung. Penderita juga mengeluh nyeri dan panasseperti terbakar di mulut, dada dan epigastrium1,3. e) Esofagitis dan tukak esofagus Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering bersifatintermiten atau kronis, biasanya ringan, sehingga lebih sering timbulmelena daripada hemetemesis. Tukak esophagus jarang menimbulkanperdarahan jika dibandingkan dengan tukak lambung dan duodenum1,3. 2.

Kelainan di lambung

6

a) Gastritis erosiva Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung atau obat yang merangsang timbulnya tukak (ulcerogenic drugs). Misalnya obat-obat golongan salisilat seperti Aspirin,Ibuprofen, obat bintang tujuh dan lainnya. Obatobatan lain yang jugadapat menimbulkan hematemesis yaitu : golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin, spironolakton dan lain-lain. Golongan obat-obat tersebut menimbulkan hiperasiditas2. Gastritis erosiva hemoragika merupakan urutan kedua penyebab perdarahan saluran cerna atas. Pada endokopi tampak erosi di angulus,antrum yang multipel, sebagian tampak bekas perdarahan atau masih terlihat perdarahan aktif di tempat erosi. Di sekitar erosi umumnya hiperemis, tidak terlihat varises di esophagus dan fundus lambung. Sifat hematemesis tidak masif dan timbul setelah berulang kali minum obatobatan tersebut, disertai nyeri dan pedih di ulu hati1,3. Adapun beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis erosif adalah sebagai berikut:1,3 1. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) seperti aspirin, ibuprofen,naproxen dan piroxicam dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer1,3. Beberapa penelitian juga telah dilakukan di RSCM untuk melihat efek samping dari penggunaan obat rematik antara lain pemeriksaan endoskopi pada pasien yang telah menggunakan aspirin selama lebih dari 2 bulan. Penelitian tersebut menunjukan bahwa terjadi kerusakan pada struktur saluran cerna bagian atas yaitu 66,7% pasien, hampir 30 % pengguna aspirin tersebut mengalami tukak pada saluran cerna bagian atas, dan yang menarik adalah 25 % pasien pengguna aspirin tersebut tidak merasakan apa apa walaupun sudah mengalami tukak pada lambung 2. Penggunaan zat korosif, alcohol dan kokain secara berlebihan1,3 Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal sehingga dapat menyebabkan perdarahan1,3 7

b) Tukak lambung Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama di angulus dan pre pilorus bila dibandingkan dengan tukak duodeni. Tukak lambung akut biasanya bersifat dangkal dan multipel yang dapatdigolongkan sebagai erosi1,3. Biasanya sebelum hematemesis dan melena, pasien mengeluh nyeri dan pedih di ulu hati selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sesaat sebelum hematemesis rasa nyeri dan pedih dirasakan bertambah hebat,namun setelah muntah darah rasa nyeri dan pedih tersebut berkurang. Sifat hematemesis tidak begitu masif, lalu disusul melena 1,2. c) Karsinoma lambung Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam fase lanjut dengan keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati, rasa cepat kenyang, badan lemah. Jarang mengalami hematemesis, tetapi sering melena1,3. 3.

Kelainan di duodenum a) Tukak duodenum Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan panendoskopi terletak di bulbus. Sebagian pasien mengeluhkan hematemesis dan melena, sedangkan sebagian kecil mengeluh melena saja. Sebelum perdarahan, pasien mengeluh nyeri dan pedih di perut atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah malam saat sedang tidur pulas sehingga terbangun. Untuk mengurangi rasa nyeri dan pedih pasien biasanya mengkonsumsi roti atau susu1,3. b) Karsinoma ampula veteri Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma di ampula menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pancreasyang umumnya sudah dalam fase lanjut. Gejala yang timbul selainkolestatik ekstrahepatal, juga dapat menimbulkan

perdarahan

tersembunyi

(occult

bleeding),

sangat

jarang

timbul hematemesis. Selain itu pasien juga mengeluh badan lemah, mual dan muntah1,3. 2.1.3 Faktor Resiko a. Lanjut usia

8

Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena dinding mukosa lambung semakin menipis akibat usia tua dan pada usia tua lebih mudah untuk terinfeksi helicobacter pyllori atau penyakit autoimun daripada usia muda1. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Respon dewasa tua terhadap nyeri berbeda beda, sebagian dewasa tua cenderung mengabaikan nyeri dalam waktu yang lama sebelum melaporkan atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari mereka menganggap nyeri sebagai bagian dari proes penuaan yang normal, sebagian orang dewasa lain tidak mencari bantuan perawatan kesehatan karena merasa takut nyeri tersebut manandakan penyakit yang serius1 b. Jenis Kelamin Penyakit gastritis lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini didukung oleh data distribusi penyakit sistem cerna pasien rawat inap menurut golongan sakit di Indonesia tahun 2006, gastritis berada pada urutan ke-5 dengan jumlah penderita laki laki 13.529 orang dan perempuan 19.506 orang, sedangkan data distribusi penyakit sistem cerna pasien rawat jalan menurut golongan sebab sakit di Indonesia tahun 2006 adalah berada pada posisi ke- 5 dengan jumlah penderita lakilaki 57.045 orang dan perempuan 70.873 orang 1. c. Stres fisik Stres fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis, ulkus serta pendarahan pada lambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah termasuk pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan gangguan pada produksi mukus dan fungsi sel epitel lambung1 d. Stres Psikologis Efek stress pada saluran pencernaan antara lain menurunkan saliva sehingga mulut menjadi kering; menyebabkan kontraksi yang tidak terkontrol pada otot esophagus sehingga menyebabkan sulit untuk menelan; peningkatan asam lambung, konstriksi pembuluh darah di saluran pencernaan dan penurunan produksi mukus yang melindungi dinding saluran pencernaan sehingga menyebabkan iritasi dan luka pada dinding lambung dan perubahan motilitas usus yang dapat meningkat sehingga menyebabkan diare atau menurun sehingga menyebabkan konstipasi. Konstipasi biasanya terjadi pada individu yang mengalami depresi sedangkan diare biasanya terjadi pada individu yang berada pada kondisi panik. Hasil penelitian tersbut menunjukan bahwa stres memiliki pengaruh yang negatif terhadap saluran pencernaan antara lain dapat menyebabkan 9

individu mengalami luka (ulcer) pada saluran pencernaan termasuk pada lambung yang disebut dengan penyakit gastritis2,3. 2.1.4 Patofisiologi Patofisiologi

terjadinya

gastritis

dan

tukak

peptik

ialah

bila

terdapat

ketidakseimbangan faktor ofensif (penyerang) dan faktor defensive (pertahanan) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan atau penurunan kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pyllori yang bersifat gram-negatif, OAINS (obat anti inflamasi non steroid), alkohol, dan radikal bebas. Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari 3 lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial2,3. Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen. Mukus tersusun dari lipid, glikoprotein, dan air sebanyak 95%. Fungsi mukus ini menghalangi difusi ion dan molekul, misalnya pepsin. Bikarbonat yang disekresi sel epitel permukaan membentuk gradasi pH di lapisan mukus. Stimulasi sekresi bikarbonat oleh kalsium, prostaglandin, asam, dan rangsang cholinergik. Prostaglandin adalah metabolit asam arakhidonat dan menduduki peran sentral dalam pertahanan epitelial yaitu mengatur sekresi mukus dan bikarbonat, menghambat sekresi sel parietal, mempertahankan sirkulasi mukosa, dan restitusi sel2,3. Lapis pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel. Bila pertahanan preepitelial bisa dilewati akan segera terjadi restitusi, sel sekeliling mukosa yang rusak terjadi migrasi dan mengganti sel-sel epitel yang rusak. Proses ini tidak tergantung pada pembelahan sel, membutuhkan sirkulasi darah yang utuh, dan pH sekitar yang alkali. Pada umumnya sel epitel yang rusak akan sembuh dan mengalami regenerasi selama 3 sampai 5 hari Bila kerusakan mukosa luas dan tidak teratasi dengan proses restitusi akan diatasi dengan proliferasi sel epitel2,3. Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat. Sirkulasi darah ke epitel sangat diperlukan untuk mempertahankan keutuhan dan kelangsungan hidup sel epitel dengan memasok oksigen, mikronutrien, dan membuang produk metabolisme yang toksik sehingga sel epitel dapat berfungsi dengan baik untuk melindungi mukosa lambung2,3.

10

2.1.5 Diagnosis Gejalanya bermacam - macam tergantung jenis gastritisnya. Biasanya penderita gastritis mengalami gangguan pencernaan (indigesti) dan rasa tidak nyaman di perut sebelah atas. Pada gastritis karena stres akut, penyebabnya misalnya penyakit berat, luka bakar atau cedera biasanya menutupi gejala-gejala lambung, tetapi perut sebelah atas terasa tidak enak. Bila penderita tetap sakit, ulkus bisa membesar dan mulai mengalami perdarahan,

biasanya

dalam

waktu

2-5

hari

setelah

terjadinya

cedera.

Perdarahan menyebabkan tinja berwarna kehitaman seperti aspal, cairan lambung menjadi kemerahan dan jika sangat berat, tekanan darah bisa turun. Perdarahan bisa meluas dan berakibat fatal1,2,3. Gejala dari gastritis erosif kronis berupa mual ringan dan nyeri di perut sebelah atas. Jika gastritis menyebabkan perdarahan dari ulkus lambung, gejalanya bisa berupa:- Tinja berwarna kehitaman seperti aspal (melena)- Muntah darah (hematemesis) atau makanan yang sebagian sudah dicerna, yang menyerupai endapan kopi1,2,3. Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti, eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai untuk menyingkirkan diagnosis banding lain1,2,3. Pemeriksaan fisik abdomen yang biasa ditemukan adalah nyeri epigastrium dan pada pemeriksaan rectal touché dapat ditemukan BAB yang berwarna hitam1,2,3. 2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes, diantaranya :1,2,3 1.

Darah rutin. Digunakan untuk mengetahui apakah pasien mengalami anemia agar segera mendapatkan terapi lanjut.

2.

Rontgen. Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih

11

dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di rontgen. 3.

Endoskopi. Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam.

2.1.7 Tatalaksana 1. Tatalaksana Umum Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-circulation (ABC). Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi1. Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti(10): a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal no 18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu ETT c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai komorbid e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat diberikan terapi1 : a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25% b. Pemberian vitamin K 3x1 amp c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI) d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid 2. Tatalaksana Khusus a. Varises gastroesofageal1 12

1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta menurun. Pemberian dengan mengencerkan vasopressin 50 unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,5–1 mg/menit/iv selama 20–60 menit dan dapat diulang tiap 3–6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,1–0,5 U/menit1,2,3 b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih selektif daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises atau nonvarises. Dosis pemberian awal dengan bolus 250 mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam selama 12–24 jam atau sampai perdarahan berhenti. 2) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota 3) Terapi endoskopi1,2,3 a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1–2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau ditemukan tanda baru saja mengalami perdarahan (bekuan darah melekat, bilur merah, noda hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari, mengurangi frekuensi ulserasi dan striktur. b) Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena perdarahan masif, terus berlangsung atau teknik tidak memungkinkan. Yang digunakan campuran yang sama banyak antara polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alcohol absolute; dibuat sesaat sebelum skleroterapi. Penyuntikan dari bagian paling distal mendekati cardia, lanjut ke proksimal bergerak spiral sejauh 5cm. 4) Terapi radiologi(9) : pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic shunting (TIPS) & perkutaneus obliterasi spleno-porta. 5) Terapi pembedahan1 a) Shunting b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi c) Devaskularisasi + splenektomi b. Gastritis erosifa1 1) Terapi medikamentosa a. Penyebab OAINS 1. Jika mungkin menghentikan pemakaian OAINS, walaupun biasanya tidak memungkinkan pada penyakit seperti RA ataupun OA.

13

2. Penggunaan preparat OAINS (prodrug, OAINS terikat pada bahan lain seperti Nitrit Oxide 3. Pemberian obat spesifik COX-2 inhibitor walaupun hal ini tidak 100% mencegah efek samping pada gastroduodenal b. Penyebab non-OAINS1,2,3 1. Antasida : untuk menetralisir asam cukup diberikan 120-240 mEq/hari dalam dosis terbagi 2. H2 Receptor Antagonist (H2RA). Obat ini berperan menghambat pengaruh histamine sebagai mediator untuk sekresi asam melalui reseptor histamine-2 pada sel parietal. Beberapa jenis preparat yang dapat digunakan adalah: Ranitidin 2 x 150 mg/hari, Famotidin 2 x 20 mg/hari 3. PPI. Dapat diberikan sekali sehari atau dua kali sehari. Adapun sediaan yang tersedia adalah: Omeprazole 20 mg, rabeprazol 10 mg, pantoprazol 40mg, lanzoprazol 30mg. 4. Obat lain seperti sucralfat 2 x 2 gr/hari atau 4 x 1 gr sehari berfungsi untuk menghindari iritasi.pengaruh asam-pepsin dan garam empedu. Untuk mengatasi perdarahan dapat diberikan beberapa obat berikut ini:1,2,3 1. Injeksi Kalnex Digunakan untuk menghentikan perdarahan pada gastritis erosif. Diberikan 50 mg injeksi. Sehari 1-2 ampul (5-10 mL) disuntikkan secara intravenous atau intramuskular, dibagi dalam 1-2 dosis. Pada waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan intravenous sebanyak 2-10 ampul (10-50 mL) dengan cara infus. 2. Injeksi Vitamin K Membantu menyembuhkan luka. Inflamasi, infeksi, dan sebagai hemostatik. Dapat diberikan oral ataupun intravena. Sediaan tablet 10 mg (4xsehari) atau injeksi 10 mg (4 x sehari). 2) Terapi endoskopi1 a) Injeks : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5–1 ml/suntik dengan batas 10 ml atau alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser c) Mekanik : hemoklip, stapler 3) Terapi bedah 14

e. Memulangkan pasien1 Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1–4 perawatan. Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa perawatan. Bila tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena itu selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe. Non Medikamentosa :1,2,3 a. Edukasi terhadap pasien beserta keluarga mengenai penyakit yang dialami sehingga dapat menghindarkan dari penyebab awal terjadinya gastritis erosif b. Pasien dianjurkan untuk beristirahat. c. Diberikan makanan halus, dalam porsi kecil, dan cukup cairan. 2.1.8 Komplikasi 1. Syok hipovolemik 2. Aspirasi pneumonia 3. Gagal ginjal akut 4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum 5. Anemia karena perdarahan

15

2.2 Hipokalemia 2.2.1 Definisi Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium dalam plasma lebih rendah dari 3,5 mEq/L dan terjadi karena:4,5 1. Perpindahan antar kompartemen dari kalium 2. Meningkatanya kehilangan kalium. atau 3. Asupan kalium yang tidak adekuat Hubungan Kadar kalium dalam plasma berhubungan kurang baik dengan defisit total kalium. Menurunnya kadar kalium dalam plasma dari 4 mEq/L menjadi 3 mEq/L biasanya mereprentasikan defisit 100 – 200 mEq, sedangkan kadar kalium dalam plasma di bawah 3 mEq/L bisa menggambarkan defisit sebesar 200 mEq dan 400 mEq4,5. 2.2.2 Etiologi 4,5 Excess renal loss Mineralocorticoid excess Primary hyperaldosteronism (Conn's syndrome) Glucocorticoid-remediable hyperaldosteronism Renin excess Renovascular hypertension Bartter's syndrome Liddle's syndrome Diuresis Chronic metabolic alkalosis Antibiotics (Carbenicillin, Gentamicin, Amphotericin B) Renal tubular acidosis

16

Gastrointestinal losses Vomiting Diarrhea, particularly secretory diarrheas ECF - ICF shifts Acute alkalosis Hypokalemic periodic paralysis Barium ingestion Insulin therapy Vitamin B12 therapy Thyrotoxicosis (rarely) Inadequate intake

2.2.3 Tanda dan Gejala Hipokalemia bisa menyebabkan disfungsi organ. Kebanyakan pasien tidak mempunyai gejala sampai kadar kalium plasma dibawah 3 mEq/L. Efek kardiovaskuler merupakan yang paling menonjol dan termasuk abnormalitas EKG, aritmita, menurunnya kontraktilitas jantung dan tekanan darah yang labil karena disfungsi autonomik. Hipokalemia kronik dilaporkan juga bisa menyebabkan fibrosis miokardial. Manifestasi yang terdapat dalam EKG disebabkan tertundanya repolarisasi dan termasuk gelombang T yang mendatar dan terbalik, meningkatnya gelombang U, depresi segmen ST, meningkatnya amplitudo gelombang P dan interval P-R yang memanjang. Meningkatnya automatisasi sel miokardial dan tertundanya repolarisasi menimbulkan aritmia baik atrium maupun ventrikel4,5,8. Efek neuromuskular dari hipokalemia termasuk kelelahan otot – otot skelet (terutama quadriceps), ileus, kram otot, tetani dan yang lebih jarang yaitu rhabdomyolysis. Hipokalemia disebabkan karena diuretik seringkali berhubungan dengan alkalosis metabolik; dimana ginjal mengabsorbsi natrium untuk mengkompensasi deplesi volume

17

intravaskular dan dalam diuretik yang disebabkan hipokloremia, bikarbonat diabsorbsi kembali4,5. Efek hipokalemia 1.

Kardiovaskular : perubahan pada EKG / aritmia, disfungsi miokard

2.

Neuromuskular : skeletal muscle weakness, tetany, rhabdomyolisis,

3.

Renal : poliuria, peningkatan produksi amonia, peningkatan reabsorbsi bikarbonat

4.

Hormonal : penurunan sekresi insulin dan aldosteron

5.

Metabolik : ensefalopati pada pasien dengan penyakit hati

2.2.4 Tatalaksana Penggantian secara oral dengan kalium klorida merupakan yang teraman (60 – 80 mEq/hari). Pengganti dengan oral biasanya membutuhkan beberapa hari. Selain kalium klorida, bisa digunakan cairan kalium fosfat (berisi 4,5 mEq kalium dan 3 μM fosfat per mL) yang dipilih untuk menggantikan kalium pada penyakit ketoasidosis diabetik (karena deplesi fosfat yang menyertai ketoasidosis)4,6. Tabel 2.2 Defisit kalium pada Hipokalemia Serum

Potassium Deficit

Potassium

mEq

% total body K

(mEq/L) 3,0

175

5

2,5

350

10

2,0

470

15

1,5

700

20

1,0

875

25

estimasi defisit pada dewasa dengan berat badan 70 kg dengan total kalium dalam tubuh sebesar 50 mEq/kg4,5,6. Penggantian secara intra-vena dengan kalium klorida biasanya diperlukan untuk pasien dengan atau tanpa manifestasi kardio yang serius. Tujuan terapi melalui intra-vena adalah menyelamatkan pasien agar tidak dalam kegawatan dan tidak dibutuhkan koreksi seluruh defisit kalium. Kecepatan penggantian secara Intravena di vena perifer seharusnya tidak lebih dari 8 mEq/ jam karena efek iritatifnya pada vena – vena perifer. Dosis bisa dinaikkan hingga 40 mEq/ jam jika memang diperlukan (seperti pada keadaan kadar kalium dalam plasma 18

dibawah 1,5 mEq/L atau aritmia yang serius). Cairan yang isinya dekstrosa harus dihindari karena berakibat pada hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder akan menyebabkan turunnya kadar kalium dalam plasma 4,7. Kalium Klorida merupakan pilihan saat alkalosis metabolik terjadi karena cairan tersebut juga meng-koreksi defisit klorida. Kalium bikarbonat atau ekuivalennya (K+ asetat atau K+ sitrat) lebih dipilih untuk pasien – pasien dengan asidosis metabolik7,8. 2.3. Hipernatremia 2.3.1 Definisi Hipernatremia (kadar natrium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan dimana kadar natrium dalam darah lebih dari 145 mEq/L darah. Hipernatremia atau hypernatraemia adalah sebuah gangguan elektrolit yang didefinisikan oleh tingkat natrium tinggi dalam darah. Hipernatremia ini umumnya tidak disebabkan oleh kelebihan natrium, melainkan dengan defisit relatif gratis air dalam tubuh. Untuk alasan ini, hipernatremia sering sinonim dengan istilah dehidrasi9,10. Air hilang dari tubuh dalam berbagai cara, termasuk keringat, kerugian insensible dari bernapas, dan dalam tinja dan urin. Jika jumlah air yang tertelan secara konsisten berada di bawah jumlah air yang hilang, tingkat natrium serum akan mulai meningkat, yang mengarah ke hipernatremia. Jarang, hipernatremia dapat disebabkan oleh konsumsi garam besar, seperti yang mungkin terjadi dari minum air laut9,10. Biasanya, bahkan peningkatan kecil di konsentrasi natrium serum di atas hasil batas normal pada sensasi kuat haus, peningkatan asupan air bebas, dan koreksi abnormalitas. Oleh karena itu, hipernatremia paling sering terjadi pada orang-orang seperti bayi, yang dengan status mental terganggu, atau orang tua, yang mungkin memiliki mekanisme haus utuh tetapi tidak dapat meminta atau mendapatkan air9,10. Natrium adalah salah satu elektrolit yang amat dibutuhkan tubuh untuk menjaga metabolisme tubuh. Salah satu fungsi elektrolit ini adalah untuk kontraksi dan pergerakan manusia, dan juga untuk menjaga cairan tubuh karena fungsi dari natrium ini yang dapat menarik air9,10. Hipernatremia dan hiponatremia sering terjadi pada usia lanjut. Hpernatremia pada usia lanjut paling sering disebabkan oleh kombinasi dari asupan cairan yang tidak adekuat dan bertambahnya kehilangan asupan kehilangan cairan. Gangguan mekanisme dari rasa haus dan 19

hambatan akses terhadap cairan (sekunder dari gangguan mobilitas atau menelan) terur berkontribusi dalam timbulnya hipernatremia pada usia lanjut selain adanya keterlambatan eskresi natrium. Kehilangan air murni pada keadaan demam, hiperventilasi dan diabetes insipidus. Lebih sering, kehilngan airhipoteonik disebabkan oleh problem saluran cerna. , luka bakar, terapi diuretika atau dieresis osmotic. Seringkali deteksi hipernatremia pada usia lanjut terlambat dilakukan sehingga usia lanjut yang lemah dapat jatuh pada keadaan hipernatremia yang bermakna. Pada penderita dengan demensia sangat mudah mengalami hipernatremia karena penurunan rasa haus, gangguan kemampuan untuk meminta air karenan penurunanrasa haus, gangguan kemampuan untuk meminta air dan mungkin, rendahnya kadar vasopressin. Penyebab penting lainnya adalah hiperkalsemia yang mungkin dapat menyebabkan kerusakan sel pada gelung Henle dan berinteraksi dengan vasopressin pada tingkat duktus kolektus. Hipokalemia yang bermakna juga dapat menyebabkan hipernatremia9,10. 2.3.2 Etiologi Pada hipernatremia, tubuh mengandung terlalu sedikit air dibandingkan dengan jumlah natrium. Konsentrasi natrium darah biasanya meningkat secara tidak normal jika kehilangan cairan melampaui kehilangan natrium, yang biasanya terjadi jika minum terlalu sedikit air. Konsentrasi natrium darah yang tinggi secara tidak langsung menunjukkan bahwa seseorang tidak merasakan haus meskipun seharusnya dia haus, atau dia haus tetapi tidak dapat memperoleh air yang cukup untuk minum11. Hipernatremia juga terjadi pada seseorang dengan:11 – fungsi ginjal yang abnormal – diare – muntah – demam – keringat yang berlebihan. Hipernatremia paling sering terjadi pada usia lanjut. Pada orang tua biasanya rasa haus lebih lambat terbentuk dan tidak begitu kuat dibandingkan dengan anak muda11. Usia lanjut yang hanya mampu berbaring di tempat tidur saja atau yang mengalami demensia (pilkun), mungkin tidak mampu untuk mendapatkan cukup air walaupun saraf-saraf hausnya masih berfungsi11. 20

Selain itu, pada usia lanjut, kemampuan ginjal untuk memekatkan air kemih mulai berkurang, sehingga tidak dapat menahan air dengan baik. Orang tua yang minum diuretik, yang memaksa ginjal mengeluarkan lebih banyak air, memiliki resiko untuk menderita hipernatremia, terutama jika cuaca panas atau jika mereka sakit dan tidak minum cukup air11. Hipernatemia selalu merupakan keadaan yang serius, terutama pada orang tua. Hampir separuh dari seluruh orang tua yang dirawat di rumah sakit karena hipernatremia meninggal. Tingginya angka kematian ini mungkin karena penderita juga memiliki penyakit berat yang memungkinkan terjadinya hipernatremia11. Hipernatremia dapat juga terjadi akibat ginjal mengeluarkan terlalu banyak air, seperti yang terjadi pada penyakit diabetes insipidus. Kelenjar hipofisa mengeluarkan terlalu sedikit hormon antidiuretik (hormon antidiuretik menyebabkan ginjal menahan air) atau ginjal tidak memberikan respon yang semestinya terhadap hormon. Penderita diabetes insipidus jarang mengalami hiponatremia jika mereka memiliki rasa haus yang normal dan minum cukup air11. Tubuh kita ini adalah ibarat suatu jaringan listrik yang begitu kompleks, didalamnya terdapat beberapa ‘pembangkit’ lokal seperti jantung, otak dan ginjal. Juga ada ‘rumah-rumah’ pelanggan berupa sel-sel otot. Untuk bisa mengalirkan listrik ini diperlukan ion-ion yang akan mengantarkan ‘perintah’ dari pembangkit ke rumah-rumah pelanggan. Ion-ion ini disebut sebagai elektrolit. Ada dua tipe elektrolit yang ada dalam tubuh, yaitu kation (elektrolit yang bermuatan positif) dan anion (elektrolit yang bermuatan negatif). Masing-masing tipe elektrolit ini saling bekerja sama mengantarkan impuls sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan tubuh11. Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na+), Kaalium (K+), Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl–), HCO3–, HPO4–, SO4–. Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel (cairan diluar sel), kation utama adalah Na+ sedangkan anion utamanya adalah Cl-. Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation utamanya adalah kalium (K+)11. Disamping sebagai pengantar aliran listrik, elektrolit juga mempunyai banyak manfaat, tergantung dari jenisnya. Contohnya :11 Ø Natrium

: fungsinya sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan volume ekstra sel. 21

Ø Kalium Ø Klorida

: fungsinya mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh. : fungsinya mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada berbagai cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan ekstrasel.

Ø Kalsium

: fungsi utama kalsium adalah sebagai penggerak dari otot-otot, deposit utamanya berada di tulang dan gigi, apabila diperlukan, kalsium ini dapat berpindah ke dalam darah.

Ø Magnesium : Berperan penting dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur pergerakan Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung dan kekuatan pembuluh darah tubuh. Ada dua macam kelainan elektrolit yang terjadi kadarnya terlalu tinggi (hiper) dan kadarnya terlalu rendah (hipo). Peningkatan kadar konsentrasi Natrium dalam plasma darah atau disebut hipernatremia akan mengakibatkan kondisi tubuh terganggu seperti kejang akibat dari gangguan listrik di saraf dan otot tubuh. Natrium yang juga berfungsi mengikat air juga mengakibatkan meningkatnya tekanan darah yang akan berbahaya bagi penderita yang sudah menderita tekanan darah tinggi. Sumber natrium berada dalam konsumsi makanan sehari-hari kita; garam, sayur-sayuran dan buah-buahan banyak mengandung elektrolit termasuk natrium11. Banyak kondisi yang mengakibatkan meningkatnya kadar natrium dalam plasma darah. Kondisi dehidrasi akibat kurang minum air, diare, muntah-muntah, olahraga berat, sauna menyebabkan tubuh kehilangan banyak air sehingga darah menjadi lebih pekat dan kadar natrium secara relatif juga meningkat. Adanya gangguan ginjal seperti pada penderita Diabetes dan Hipertensi juga menyebabkan tubuh tidak bisa membuang natrium yang berlebihan dalam darah. Makan garam berlebihan serta penyakit yang menyebabkan peningkatan berkemih (kencing) juga meningkatkan kadar natrium dalam darah11. Sedangkan hiponatremia atau menurunnya kadar natrium dalam darah dapat disebabkan oleh kurangnya diet makanan yang mengandung natrium, sedang menjalankan terapi dengan obat diuretik (mengeluarkan air kencing dan elektrolit), terapi ini biasanya diberikan dokter kepada penderita hipertensi dan jantung, terutama yang disertai bengkak akibat tertimbunnya cairan. Muntah-muntah yang lama dan hebat juga dapat menurunkan kadar natrium darah, diare apabila akut memang dapat menyebabkan hipernatremia tapi apabila berlangsung lama dapat mengakibatkan hiponatremia, kondisi darah yang terlalu asam (asidosis) baik karena gangguan 22

ginjal maupun kondisi lain misalnya diabetes juga dapat menjadi penyebab hiponatremia. Akibat dari hiponatremia sendiri relatif sama dengan kondisi hipernatremia, seperti kejang, gangguan otot dan gangguan syaraf11. Disamping natrium, elektrolit lain yang penting adalah kalium. Fungsi kalium sendiri mirip dengan natrium, karena kedua elektrolit ini ibarat kunci dan anak kunci yang saling bekerja sama baik dalam mengatur keseimbangan osmosis sel, aktivitas saraf dan otot serta keseimbangan asam – basa11. Penyebab utama dari hipernatremi:11 1.

Cedera kepala atau pembedahan saraf yang melibatkan kelenjar hipofisa

2.

Gangguan dari elektrolit lainnya (hiperkalsemia dan hipokalemia)

3.

Penggunaan obat (lithium, demeclocycline, diuretik)

4.

Kehilangan cairan yang berlebihan (diare, muntah, demam, keringat berlebihan)

5.

Penyakit sel sabit

6.

Diabetes insipidus.

Penyebab umum hipernatremia meliputi:11 1.

Hipovolemik

a.

Kurangnya asupan air, biasanya pada pasien lanjut usia atau cacat yang tidak dapat mengambil air sebagai kehausan mereka menentukan. Ini adalah penyebab paling umum hipernatremia.

b.

Berlebihan kerugian air dari saluran kencing, yang mungkin disebabkan oleh glycosuria, atau diuretik osmotik lainnya.

c.

kerugian air yang terkait dengan berkeringat ekstrim.

d.

diare berair parah

2.

Euvolemic. Ekskresi berlebihan o air dari ginjal yang disebabkan oleh diabetes insipidus, yang melibatkan baik produksi memadai dari vasopressin, hormon, dari kelenjar pituitari atau respon gangguan ginjal untuk vasopresin11.

3.

Hypervolemic 23

a.

Pengambilan cairan hipertonik (cairan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi daripada sisa tubuh). Ini relatif jarang, walaupun bisa terjadi setelah resusitasi yang kuat di mana pasien menerima suatu volume besar dari larutan natrium bikarbonat terkonsentrasi. menelan air laut juga menyebabkan hipernatremia karena air laut adalah hipertonik.

b.

Karena keadaan penyakit seperti sindrom Conn atau Cushing’s Disease Mineralcorticoid kelebihan.

2.3.3 Tanda dan Gejala Gejala utama dari hipernatremia merupakan akibat dari kerusakan otak. Hipernatremia yang berat dapat menyebabkan:10 – kebingungan – kejang otot – kejang seluruh tubuh – koma – kematian. Manifestasi klinis dari hipernatremia bisa halus, terdiri dari kelesuan, kelemahan, lekas marah, dan edema. Dengan peningkatan yang lebih berat dari tingkat natrium, kejang dan koma dapat terjadi10. Gejala berat biasanya karena elevasi akut konsentrasi natrium plasma di atas 158 mEq/L (Normal biasanya sekitar 135-145 mEq/L [rujukan?]). Nilai di atas 180 mEq / L. Yang berhubungan dengan tingkat kematian tinggi, terutama pada orang dewasa. tingkat tinggi Namun seperti natrium jarang terjadi tanpa parah kondisi medis berdampingan10. 2.3.4 Tatalaksana Dasar tatalaksana adalah pemberian air untuk memperbaiki defisit air relatif. Air dapat diganti oral atau intravena. Air saja tidak dapat diberikan sebagai intravena (karena masalah osmolaririty) bukan dapat diberikan dengan tambahan dekstrosa atau salin larutan infus. Namun, koreksi hipernatremia yang terlalu cepat berpotensi sangat berbahaya. Tubuh (di otak khususnya) menyesuaikan dengan konsentrasi natrium yang lebih tinggi. Cepat menurunkan konsentrasi natrium12

24

Dengan air, sekali adaptasi ini telah terjadi, menyebabkan air mengalir ke dalam sel otak dan menyebabkan pembengkakan. Hal ini dapat mengakibatkan edema serebral, berpotensi mengakibatkan kejang, kerusakan otak permanen, atau kematian. Oleh karena itu, hipernatremia signifikan harus diperlakukan dengan hati-hati oleh dokter atau profesional medis lainnya dengan pengalaman dalam pengobatan ketidakseimbangan elektrolit12. Hipernatremia diobati dengan pemberian cairan. Pada semua kasus terutama kasus ringan, cairan diberikan secara intravena (melalui infus). Untuk membantu mengetahui apakah pembelian cairan telah mencukupi, dilakukan pemeriksaan darah setiap beberapa jam. Konsentrasi natrium darah diturunkan secara perlahan, karena perbaikan yang terlalu cepat bisa menyebabkan kerusakan otak yang menetap12. Pemeriksaan darah atau air kemih tambahan dilakukan untuk mengetahui penyebab tingginya konsentrasi natrium. Jika penyebabnya telah ditemukan, bisa diobati secara lebih spesifik. Misalnya untuk diabetes insipidus diberikan hormon antidiuretik (vasopresin)12. 2.4. Infeksi Saluran Kemih 2.4.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu organisme.(14) Beberapa istilah yang sering digunakan dalam klinis mengenai infeksi saluran kemih :13,12 1) ISK uncomplicated (sederhana), yaitu infeksi saluran kemih pada pasien tanpa disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih. 2) ISK complicated (rumit), yaitu infeksi saluran kemih yang terjadi pada pasien yang menderita kelainan anatomis/ struktur saluran kemih , atau adanya penyakit sistemik. Kelainan ini menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika. 3) First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection, yaitu infeksi saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah sekurang – kurangnya 6 bulan bebes dari ISK. 4) Infeksi berulang, yaitu timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya dapat dibasmi dengan pemberian antibiotika pada infeksi yang pertama. 5) Asymtomatic significant bacteriuria (ASB), yaitu bakteriuria yang bermakna tanpa disertai gejala. 25

2.4.2 Klasifikasi Infeksi saluran kemih (ISK) diklasifikasikan berdasarkan :13,12,14 1. Anatomi a. Infeksi Saluran kemih (ISK) bawah, Presentasi klinis infeksi saluran kemih (ISK) bawah tergantung dari gender. 

Perempuan Sistitis, adalah presentasi klinis infeksi saluran kemih disertai bakteriuria bermakna Sindroma uretra akut (SUA), adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril)



Laki – laki Presentasi ISK bawah pada laki – laki dapat berupa sistitis, prostatitis, epidimidis, dan uretritis.

b. ISK atas 

Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri.



Pielonefritis kronik (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih serta refluk vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik.

2.4.3 Etiologi Penyebab terbanyak adalah bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus kemudia naik ke sistem saluran kemih. Dari gram negatif tersebut, Escherichia coli menduduki tempat teratas kemudian diikuti oleh :13 No

Mikroorganisme

Presentase biakan (%)

26

1.

Eschrichia coli

50 – 90

2.

Klebsiela atau enterobacter

10 – 40

3.

Proteus sp

5 – 10

4.

Pseuomonas aeroginosa

2 – 10

5.

Staphylococcus epidermidis

2 – 10

6.

Enterococci

1–2

Jenis kokus gram positif lebih jarang sebagai penyebab ISK sedangkan Enterococci dan staphylococcus aureus sering ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih. Lelaki usia lanjut dengan hiperplasia prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter urin. Demikian juga dengan pseudomonas aeroginosa dapat mnginfeksi saluran kemih melalui jalur hematogen pada kira – kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi salmonella dalam urin13.

2.4.4 Patogenesis Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui 4 cara, yaitu :12 1. Asending 2. Hematogen 3. Limfogen 4. Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen sebagai akibat dari pemakaian instrumen. Sebagian besar mikroorgnisme memasuki saluran kemis melalui cara ascending. Kuman ogen penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang bersal dari flora normal usus dan hidup secara komensal di introitus vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui uretra – prostat – vas deferens – testis (pada pria) – buli –buli – ureter dan sampai ke ginjal.12 Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending, etapi dari kedua cara ini ascending-lah yang paling sering terjadi : 27

1. Hematogen Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah karena menderita sesuatu pnyakit kronis atau pada pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain. Misalnya infeksi Staphilococcus Aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau tempat lain. Salmonella, pseudomonas, candida, dan proteus sp termasuk jenis bakteri/ jamur yang dapat menyebar secara hematogen. 12,13 Walaupun jarang terjadi penyebaran hematogen ini dapat mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi staphylococcus dapat menimbulkan abses pada ginjal.13,12 2. Infeksi Infeksi secara ascending (naik) dpat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :\ -

Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina.

-

Masuknya mikroorganisme ke dalam buli – buli

-

Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih .

-

Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal. Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena pertahanan tubuh dari host yang menurun atau karena virulensi agent yang meningkat.12

a. Faktor host Kemampuan host ntuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih disebabkan oleh beberpa faktor yaitu pertahanan lokal dari host dan peranan sistem kekebalan tubuh yang terdiri dari imunitas selular dan humoral. Pertahananan lokal sistem saluran kemih yang paling baik adalah mekanisme wash out urin, yaitu aliran urin yang mampu membersihkan kuman –kuman yang ada di dalam urin. 12 b. Faktor agent (mikroorganisme) 28

Bakteri dilengkapi dengan pili atau fimbriae yang terdapat di permukaannya. Pili berfungsi untuk menempel pada urotelium melalui reseptor yang ada dipermukaan urotelium.12 Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat membentuk antigen, menghasilkan toksin (hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang dapat merubah suasana urin menjadi basa.12 2.4.5 Diagnosis 1) Gambaran klinis Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan, disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis. Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi, yaitu :12 a. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra pubik, disuria, frekuensi, hematuri, dan urgensi, b. Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri punggung, muntah 2) Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium14 Pemeriksaan labortorium yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih, antara lain :14 1. Urinalisis a. Eritrosit. Ditemukan eritosit dalam urin (hematuria) dapat merupakan penanda bagi berbagai penyakit glomeruler maupun non-gromeruler. Penyakit non-gromeruler seperti batu saluran kemh dan infeksi saluran kemih. b. Piuria. Piuria atau sedimen leukosit dalam urin yang didefinisikan oleh Stamn, bila ditemukan palin sedikit 8000 leukosit per ml urin yang tidak

29

disentrifus atau setara dengan 2-5 leukosit perlapangan pandang besar pada urin yang disentrifus. 2. Bakteriologis a.

Mikroskopis. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunkan urin segar tanpa diputar atau pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan positif bila dijumpai satu bakteri lapangan pandang minyak emersi.

b. Biakan bakteri, pembiakan bakteri sedimen urin dimaksudkan untuk memstikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan akteri dalam jumlah bermakna 3. Tes Plat – celup (Dip - slide) Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa lempengan plastik bertangkai dimana pada kedua sisi permukaannya dilpisi pembenihan padat khusus. Lempengan tersebut dicelupkan kedalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkn pola pertumbuhan kuman dengn serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan kepadaan koloni yang sesuai dengan jumlah antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa.14 b. Radiologi Pemeriksaan radiologi pada infeksi saluran kemih dimaksudkan unuk mengetahui adanya,

batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor

presdiposisi infeksi saluran kemih. Pemeriksaan ini dapat berupa foto polos abdomen, pielonegrafi intravena, demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan CT-scan14. 2.4.6 Tatalaksana Prinsip umum penatalaksanaan infeksi Saluran kemih adalah :14 1) Eradikasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang sesuai. 2) Mengkoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor prediposisi. Tujuan penatalaksanaaan infeksi saluran kemih adalah mencegah dan menghilangkan gejala, mencegah dan mengobati bakteriemia dan bakteriuria, mencegah dan mengurangi 30

risiko kerusakan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian obat – obatan yang sensitif, murah, aman dengan efek samping yang minimal15. 1.

Infeksi saluran kemih (ISK) bawah Prinsip penatalaksanaan ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak,

antibiotik yang adekuat, dan bila perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin :12,15 1) Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotika tunggal, seperti ampisilin 3 gram, trimetropim 200 mg. 2) Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (leukosuria) diperlukan terapi konvensional selama 5 – 10 hari. 3) Pemeriksaan mikroskopis urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa leukosuria. 4) Bila pada pasien reinfeksi berulang (frequent re-infection) :15 a) Disertai faktor predisposisi, terapi antimikroba yang intenssif diikuti dengan koreksis faktor resiko. b) Tanpa faktor predisposisi, terapi yang dapat dilakukan adalah asupan cairan yang bayak, cuci setlela melakukan senggama diikuti dengan terpi antimikroba dosis tunggal (misal trimetroprim 200 mg) c) Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan. d) Pasien sindroma uretra akut (SUA) dengan hitungan kuman 103 – 105 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klamidia memberikan hasil yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi yang disebabkan miikroorganisme anaerobik diperlukan antimikroba yang serasi (golongan kuinolon.) 2.

Infeksi saluran kemih (ISK) atas Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam.12 The infection Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi antibiotika intravena sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui mikroorganisme penyebabnya :14 31



Flurokuinolon



Aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin



Sefalosporin berspektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida Antimikroba

Dosis

Interval

Sefepim

1 gram

12 jam

Siprofloksasin

400 mg

12 jam

Levofloksasin

500 mg

24 jam

Ofloksasin

400 mg

12 jam

3-5 mg/kgBB

24 jam

1 mg/ kg BB

8 jam

Ampisilin (+gentamisin)

1-2 gram

6 jam

Tikarsilin – klavulanat

3, 2 gram

8 jam

Gentamisin (+ ampisilin)

Piperasilin – tazobaktam

3, 375 gram

2–8 jam

Imipenem – silastarin

250-500mg

6-8 jam

3.

Infeksi saluran kemih berulang Untuk penanganan ISK berulang dapat dilihat pada gambar berikut : Terapi jangka panjang yang dapat diberikan antara lain trimetroprim – sulfametoksazol dosi rendah (40 – 200 mg) tiga kali seminggu setiap malam, flurokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat dipepanjang 1-2 tahun lagi.13,15

2.4.7 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi saluran kemih antara lain batu saluran kemih, obstruksi salran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multisitem, gangguan fungsi ginjal11. 2.5. Vertigo 2.5.1 Definisi Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang berputar. Keluhan yang paling sering dijumpai dalam praktek. Vertigo berasal dari bahasa latin 32

“vertere” yaitu memutar. Vertigo termasuk ke dalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti berjungkir balik. Vertigo paling sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Menutur penelitian pasien yang datang dengan keluhan pusing berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun penyakit ini sering disertai penyakit lainnya.16,17 2.4.2 Patofisiologi Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. 16,18,19 Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut : 1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation) Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah. 2. Teori konflik sensorik. Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nnistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab. 3.

Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru

33

tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala. 4. Teori otonomik Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan. (Gb.3) 5. Teori neurohumoral Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo. 6. Teori Sinap Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis. 2.4.3 Diagnosis ANAMNESIS Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya, melayang, goyang, berputar, tujuh keliling, rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo. Perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan ketegangan. Profil wakti, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronikm progresif atau membaik.18,19 Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang karakteristik (Gb. 4). Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai/ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik/vestibulotoksik dan adanya 34

penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru dan kemungkinan trauma akustik. 17,21 PEMERIKSAAN FISIK Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologik-vestibuler atau serebeler, dapat berupa pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab, apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat (korteks serebrim serebelum, batang otak atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik, selain itu harus dipertimbangkan pula faktor psiikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut.18,19 Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai. 19,18 PEMERIKSAAN FISIK UMUM Pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik, tekanan darah diukur dalam posisi berbaring, duduk dan berdiri, bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada : 1. Fungsi vestibuler/serebeler a. Uji Romberg (Gb. 5) : penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mulamula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.16,17 35

Gambar 5. Uji Romberg

b.

Tandem gait. Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.16,17 c. Uji Unterberger Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.16,17

36

37

d.

Past-ponting test (Uji Tunjuk Barany). (Gb. 7)

Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.16,17

e. Uji Babinsky-Weil (Gb. 8) Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang selama setengan menit; jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.16,17

PEMERIKSAAN KHUSUS OTO-NEUROLOGI Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer.16,19,21 1. Fungsi Vestibuler a. Uji Dix Hallpike (Gb. 9) Perhatikan adanya nistagmus, lakukan uji ini ke kanan dan kiri. 38

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45° di bawah garis horizontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45° ke kanan lalu ke

39

kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral Perifer, vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral, tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue). b. Tes Kalori Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30°C) dan air hangat (44°C) masingmasing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis adalah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masingmasing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labarin atau n.VIII, sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral. c. Elektronistagmogram Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif. 2. FUNGSI PENDENGARAN a. Tes Garpu Tala Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada 40

tuli konduktif, tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke yang tuli dan schwabach memendek. b. Audiometri Ada beberapa macam pemeriiksaan audiometri seperti Ludness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebelar (tremor, gangguan cara berjalan) 2.5.4 Tatalaksana Tujuan pengobatan vertigo, selain kausal (jika ditemukan penyebabnya), ialah untuk memperbaiki ketidak seimbangan vestibuler melalui modulasi transmisi saraf; umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik. (Tabel 3).

41

BAB 3 TINJAUAN KASUS Identitas Nama

: Ny. S

Usia

: 63 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Surabaya

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Status perkawinan MRS

: Kawin

Ruangan

: Dahlia 207.3 (19 Desember 2018)

KRS

: KRS (22 September 2018)

: 19 Desember 2018

Subjective Keluhan utama

: Pusing berputar

Keluhan

:

Lemas, muntah berwarna hitam, buang air besar

tambahan

berwarna hitam,

Riwayat penyakit sekarang :

Pusing berputar sejak 3 hari yang lalu, pasien sempat lemas sampai tidak kuat berdiri. Pasien merasa mual. Pasien mengaku muntah hanya sekali sebanyak satu gelas aqua. Pasien mengaku baru pertama kali mengalami hal tersebut. Pasien juga buang air besar berwarna hitam dengan konsistensi lembek seperti petis sebanyak tiga kali. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi tetapi pasien tidak mengonsumsi obat antihipertensi secara teratur. Pasien hanya minum obat hipertensi jika terdapat keluhan seperti nyeri kepala dan badan terasa sakit. Selain itu pasien juga mempunyai riwayat penyakit maag. Pasien mengaku dahulu sering mengonsumsi jamu pegal linu, namun sekarang sudah tidak lagi. Buang air kecil lancar

42

berwarna kuning, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Riwayat penyakit keluarga

Demam disangkal, batuk : Hipertensi disangkal. (+), DM (-)

disangkal,

pilek

Riwayat obat : : Obat antihipertensi Riwayatpenggunaan penyakit dahulu Hipertensi sejak 5 tahun yang lalu tetapi tidak mengonsumsi obat antihipertensi secara teratur Dispepsia sejak masih muda Riwayat kebiasaan : Riwayat konsumsi jamu pegal linu dahulu Alergi makanan tidak ada Alergi obat tidak ada Riwayat merokok tidak ada Lingkungan : -Riwayat hipertensi tidak ada

Objective Keadaan umum

: Pasien tampak lemah

Kesadaran

: Compos mentis, GCS 456

Berat badan/tinggi badan

: 60 kg/150 cm

Status gizi

: IMT 26,6 (BB lebih)

Tekanan darah

: 170/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit, reguler, kuat angkat

Suhu

: 36,6 °C

Frekuensi napas

: 18 x/menit

Pemeriksaan fisik Kepala/Leher

: Anemis/Icterus/Cyanosis/Dyspneu: -/-/-/Pembesaran KGB (-)

Thoraks

: Cor

: I: iktus kordis tidak terlihat P: iktus kordis tidak teraba P: batas jantung normal A: S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : I: normochest, retraksi (-) P: gerak napas simetris

+

+

43

Fremitus raba

+

+

+

+

+

+

P: Sonor/sonor

-

-

-

-

-

-

A: Vesikuler/Vesikuler

+

+

+

+

+

+

Ronkhi basah halus

-

-

44

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Wheezing

Abdomen: Inspeksi : flat Auskultasi : bising usus normal Palpasi : supel, nyeri tekan -

-

-

-

-

-

-

-

-

hepar/lien/ginjal tidak teraba P: timpani seluruh abdomen

Ekstremitas

: Hangat Kering Merah

+

+

45

+

+

-

-

-

-

Edema

46

Pemeriksaan Penunjang

DL

Imunose rologi

Fungsi Hati

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Leukosit

16,29

ribu/uL

3,6-11

Basofil

0,453

%

0-1

Neutrofil

87,54

%

39,3-73,7

Limfosit

7,495

%

25-40

Eosinofil

1,227

%

2-4

Monosit

3,290

%

2-8

Eritrosit

4,71

juta/uL

3,80-5,20

Hemoglobin

11,78

g/dL

11,7-15,5

Hematokrit

35,9

%

35-47

MCV

76,2

fL

80-100

MCH

25,0

pg

26,0-34,0

MCHC

32,8

%

32-36

Trombosit

395

ribu/uL

150-440

HCV (Rapid)

Non Reaktif

Non Reaktif

HbsAg Rapid

Non Reaktif

Non Reaktif

3.9

g/Dl

3,4-4,8

Albumin

3,2

g/Dl

1,8-5,1

Globulin

22

U/L

<35

AST (SGOT)

15

U/L

<35

ALT (SGPT)

47

Fungsi Ginjal

11,6

mg/dL

10-20

Creatinin

0,80

mg/dL

0,45-0,75

Natrium

146,90

mEq/L

135-147

Kalium

2,38

mEq/L

3,5-5,0

Chlorida

104,2

mEq/L

95-105

BUN

Elektroli t

UL

Sedimen : Eritrosit

1-2

Plp

0-1

Lekosit

2-3

Plp

0-1

Epithel

2-4

Plp

0-1

Kristal

Amorf urat +

Negatif

Bakteri

Positif

Negatif

Cast

Negatif

Negatif

Jamur

Negatif

Negatif

Parasit

Negatif

Negatif

Warna

Kuning

Kuning

Kejernihan

Agak keruh

Jernih

Glukosa

1+

Negatif

Protein

2+

Negatif

Bilirubin

Negatif

Negatif

Ketone

2+

Negatif

Specific gravitry 1,010

Negatif

Blood

Negatif

1+

48

Urobilinogen

3,2

Umol/L

3,6-16

Lekosit

Negatif

Negatif

Nitrit

Negatif

Negatif

pH

8,0

5-8

EKG

GDA : 159 mg/dL

49

Assesment Daftar Masalah Sementara

Daftar Masalah Permanen

Initial Assesment

(TPL)

(PPL)

(Diagnosis)

Muntah darah hitam

Hematemesis

Buang air besar hitam

Melena

Riwayat konsumsi jamu

History of herbs consumtion

Badan lemas

Malaise

Kalium 2,38

Kalium ↓

Natrium 146,90

Natrium ↑

TD 170/80 mmHg

Hipertensi

Riwayat penyakit hipertensi

History of hipertension

Mual

Nausea

Leukosit 16,29

Leukositosis

Kejernihan urin : keruh

Urin keruh

Bakteri urin (+)

Bakteriuria

Protein 2+

Proteinuria

Glukosa urin 1+

Glukosuria

Keton urin 2+

Ketonuria

Pusing berputar

Dizziness

Mual

Nausea

Suspect Gastritis Erosiva DD: Sirosis Hepatis

Hipokalemia Hipernatremia Hipertensi

Infeksi Saluran Kemih

Vertigo

50

Planning

Planning

Diagnostik

Terapi Pasang NGT Inj. Ranitidine 25mg 2 dd 1 Inj. Omeprazole 40mg 2 dd 1 Inj. As. Tranexamat 1g 2dd1 Inf. RL 14 tpm

Suspect Gastritis Erosiva (DD: Sirosis Hepatis)

Endoskopi Albumin SGOT, SGPT USG Abdomen HbSAg Anti HCV

Hipokalemia

Serum Elektrolit

Hipernatremia

Serum Elektrolit

Hipertensi

TD, BUN, SK

Tab. Furosemide 40mg 1 dd 1

Infeksi Saluran Kemih

Vertigo

Inf. KCl 50 mEq dalam 500cc PZ dalam 24 jam

Monitoring

Edukasi

Klinis setelah koreksi Vital Sign setelah koreksi

Makan makanan lembut

SE ulang setelah koreksi

Makan makanan tinggi kalium (pisang)

SE ulang setelah koreksi Tekanan Darah

Diet makanan rendah garam

Kultur Urin

Inj. Ciprofloxacin 400mg 2 dd 1

UL ulang setelah koreksi

Beri penjelasan tentang cara cebok yang benar

Dix Hallpike Manuver

Inj. Diphenhidramin 10mg 1 dd 1

Klinis setelah koreksi

Istirahat cukup

51

FOLLOW UP 20 Desember 2018 S: Pasien mengatakan masih lemas dan masih pusing. Mual masih dirasakan. Muntah disangkal. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal. O: KU: cukup TTV : TD

K/L

: 160/90 mmHg

T

: 36,5 °C

N

: 89 x/menit

RR

: 18 x/menit : A/I/C/D -/-/-/-

Pernapasan cuping hidung (-/-)

Pembesaran tiroid (-)

Pembesaran KGB (-)

VOD : 2/60; VOS : 3/60 Thorax

: Simetris, retraksi (-) Sonor +

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

Vesikuler

52

Ronkhi

-

-

-

-

-

-

Wheezing

-

-

-

-

-

-

A

Abdomen

: Flat, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar lien ginjal

tidak teraba, turgor normal, timpani Extremitas : Hangat Kering Merah

53

+

+

+

+

-

-

-

-

Edema

Pemeriksaan penunjang Na: 138,10 K: 3,00 Cl: 97,50 GDP : 143 mg/dL

FOLLOW UP 2 21 Desember 2018 S: Pasien mengatakan masih lemas dan masih pusing. Mual masih dirasakan, tetapi sudah lebih baik. Muntah disangkal. Nyeri perut disangkal. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.

O: KU: baik TTV : TD

: 160/70 mmHg

T

: 36,5 °C

N

: 76 x/menit 54

RR K/L

: 18 x/menit

: A/I/C/D -/-/-/-

Pernapasan cuping hidung (-/-)

Pembesaran tiroid (-) T

Pembesaran KGB (-)

: Simetris, retraksi (-) Sonor

+

+

+

+

+

+

-

-

-

-

-

-

Vesikuler

Ronkhi basah halus

-

-

-

-

-

-

55

Wheezing

-

-

-

-

-

-

FOLLOW UP 3 21 Desember 2018 S: Pasien mengatakan masih lemas, namun sudah tidak mual dan tidak pusing. Nyeri perut disangkal. Buang air besar , buang air kecil dalam batas normal. P: KU: cukup TTV : TD

K/L

: 170/90 mmHg

T

: 36,5 °C

N

: 88 x/menit

RR

: 20 x/menit : A/I/C/D -/-/-/Pembesaran tiroid (-)

Thorax

Pernapasan cuping hidung (-/-) Pembesaran KGB (-)

: Simetris, retraksi (-)

56

Sonor +

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

-

-

-

-

-

Vesikuler

Ronkhi

57

Wheezing

-

-

-

-

-

-

A

BAbdomen

: Flat, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar ,

lien, ginjal tidak teraba, turgor normal, timpani Extremitas : Hangat Kering Merah

+

+

+

+

-

-

-

-

Edema

58

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Suspect gastritis erosiva Pada pasien diduga mengalami gastritis erosiva karena dalam anamnesis didapatkan pasien muntah darah dan berak darah hitam. Selain itu pasien mempunyai riwayat mengonsumsi jamu pegal linu. Dari hasil pemeriksaan tidak didapatkan ikterus, spider naevi, palmar eritema, hiperpigmentasi kulit, caput medusa, dan asites. 4.2 Hipokalemia Pada pasien didiagnosis hipokalemia karena dari anamnesis pasien mengeluhkan lemas, dan dari pemeriksaan laboratorium didapatkan kaliumnya 2,38 mEq/L. 4.3 Hipernatremia Pada pasien didiagnosis hipokalemia karena dari hasi hasil pemeriksaan laboratorium 146,90 mEq/L. 4.4 Infeksi Saluran Kemih Pada pasien diduga mengalami infeksi saluran kemih karena dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan mual. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit yang meningkat yaitu, 16,29 ribu/Ul. Dari hasil pemeriksaan urin lengkap didapatkan, warna urin agak keruh, protein urin 2+, glukosa urin 1+, keton urin 2+, darah +1, eritrosit urin 1-2 plp, leukosit urin 23 plp, sel epitel 2-4 plp, amorf urat positif, dan bakteri positif. 4.5

Vertigo Pada pasien diduga mengalami vertigo karena dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan pusing berputar yang tidak menghilang dengan istirahat dan perubahan posisi.

59

DAFTAR PUSTAKA

1. Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 53 – 62. 2. Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259 – 62. 3. Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga. 2006 : 36 – 7. 4. Hines & Marschall, 2008. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, fifth edition.Churchill Livingstone Elsevier. Chapter 15. 5. Kathryn E. Roberts , 2004. Fluid and Electrolyte Regulation ,Edisi ke-3.Bab 11 6. Kristen M. Rhoda, 2011 .Fluid and Electrolyte Management : Putting a Plan in Motion JPEN J Parenter Enteral Nutr 35: 675 7. Marino, Paul L., 2007. The ICU book, third edition. Lippincott Williams and Wilkins. Chapter 33. 8. Morgan Jr., G. Edward, Mikhail, Maged S., Murray, Michael J. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th edition. McGraw-Hill companies. Chapter 28. 9. Adrogue, HJ; and Madias, NE. 2000. Primary Care: Hypernatremia. New England Journal of Medicine; 342(20):1493-1499 10. Aiyagari V, Deibert E, Diringer MN. 2006. Hypernatremia In the Neurologic Intensive Care Unit: How High is too High?. Journal of Critical Care. Vol. 21, Page: 163–172 11. Pizzaro D, posada G, levine, MM. 1984. Hypernatremic Diarrheal Dehydration Treated

With “ Slow” (12 hour) Oral Rehydration Therapy : a Pleliminari

Report. 12. Pizarro D, Posada G, Mahalanabis D, Sandi L.. 1988. Comparison of efficacy of a Glucose/Glycine/Glycylglycine electrolyte solution versus the standard WHO/ORS in diarrheic dehydrated children, 1988 60

13. Tessy A, Ardaya, Suwanto. Infeksi Saluran Kemih. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Edisi 3. Jakarta. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ; 2015 14. Sukandar E. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI; 2017 15. Gardjito W. Puruhito, Iwan A et all. Saluran Kemih dan Alat Kelamin lelaki. In Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit EGC;2016 16. Rani HAA, Soegondo S. Nasir AU et al. Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2004. Jakarta : Pusat Penerbit an IPD FKUI; 2015 17. Rani HAA, Soegondo S. Nasir AU et al. Panduan Pelayanan Medik

-

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi 2004. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006 18. Wreksoatmojo BR. Vertigo-Aspek Neurologi. [online] 2009 [cited 2018 Desember 25th]. Available from : URL:http://www.google.com/vertigo/cermin dunia kedokteran .html 19. Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59 20. Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar N, Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9 21. Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited 2009 May 20th]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/884261overview 22. Johnson J & Lalwani AK. Vestibular Disorders. In :5. Johnson J & Lalwani AK. Vestibular Disorders. In : Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & treatment in Otolaryngology- Head & Neck Surgery. New York : Mc Graw Hill Companies. 2004. p 761-5 23. Bashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Gangguan Keseimbangan. Dalam : Arsyad E, Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 94-101

61

24. Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi 25. Santoso R, Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta : EGC. 1997. h 39-45

62

63

64

Related Documents


More Documents from "Shanmuka Sreenivas"