Calon Independen

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Calon Independen as PDF for free.

More details

  • Words: 938
  • Pages: 3
Calon Independen Oleh; Laode Ida, wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Wajah Parpol dan Konstitusi Arena politik dan pemerintahan seharusnya tidak hanya menjadi otoritas partai politik (parpol), melainkan menjadi bagian dari hak setiap warga negara. Dalam UUD kita pun secara tegas menjamin itu semua. Ketegasan tersebut secara eksplisit terdapat pada pasal 28D UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tetapi, hak dasar rakyat itu telah dibatasi secara tegas pula dalam UU. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), misalnya, calon kepala daerah hanya bisa diajukan parpol atau gabungan parpol. Rakyat dipaksa untuk memilih calon yang disiapkan parpol, sama sekali tak memiliki hak untuk mencalonkan sendiri. Parpol dianggap sebagai satu-satunya saluran aspirasi politik rakyat, yakni semua warga bangsa ini dipaksa untuk tunduk pada kehendak parpol. Padahal, parpol kerap menunjukkan wataknya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai reformasi. Sebagian parpol kurang memiliki kader yang layak jual sehingga hanya menyediakan kendaraan untuk “disewa pakai” orang luar. Pihak parpol, dengan kata lain, memanfaatkan peluang proses-proses pencalonan pilkada sebagai sumber untuk memperoleh keuntungan materi. Pada praktiknya, inilah yang dikeluhkan sebagian figur yang hendak menggunakan parpol-parpol selama masa pilkada langsung ini. Diterima tidaknya figur dari luar itu ditentukan oleh persaingan nilai nominal bayarannya. Semakin banyak bayarannya, semakin berpeluang untuk diterima parpol. Sebaliknya, semakin tak punya uang, jangan bermimpi untuk diakomodasi untuk diusulkan melalui parpol. Tentu saja, realita merupakan kecenderungan umum saat ini. Sejauh yang saya tahu, hanya PDIP dan PKB pada tingkat tertentu melarang untuk memperjualbelikan kendaraannya. DPP PDIP, misalnya, mengeluarkan instruksi atau surat edaran khusus yang melarang para kadernya di lapangan untuk membisniskan partai. Mereka yang “tidak banyak fulus” pun, kalau dilihat potensi untuk menang, selalu diakomodasi alias diusung. Gubernur Sumatera Barat (Gamawan Fauzi) dan Sulawesi Utara (Sarundayang) adalah dua figur kepala daerah terpilih usungan PDIP yang konon bukan saja “gratis” menggunakan partai, melainkan juga didukung pendanaan partai. Tetapi, sekali lagi, kebijakan parpol seperti itu sangat tidak umum. Kalaupun terjadi di parpol lain, hal itu hanya disebabkan faktor keberpihakan pribadi para fungsionaris parpol terhadap figur tertentu. Bukan terbangun menjadi sebuah sistem ideal dalam parpol. Tepatnya, sebagian besar parpol benar-benar menggunakan momentum pilkada sebagai lahan empuk untuk memperoleh fulus. Tidak penting apakah figur itu berpeluang menang atau tidak. Sebab, tujuannya bukan itu. Tujuannya hanya satu, para pengurus partai dapat uang, baik untuk disetorkan ke partai maupun digunakan pribadi-pribadi.

Kecenderungan seperti itu kemudian banyak menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat, termasuk seperti kasus yang terjadi dalam pencalonan gubernur/wakil gubernur di DKI Jakarta yang baru saja berlangsung. Sejumlah figur yang sudah bersusah payah melakukan pendekatan, bahkan sudah terjaring oleh parpol, terpaksa harus menelan pil pahit atau kekecewaan. Ada yang merasa dipermainkan parpol, ada yang merasa tak bisa memenuhi tuntutan sejumlah uang dari oknum-oknum parpol. Ada juga yang sengaja sejak awal tidak diberi ruang parpol akibat manuver calon lain yang berupaya menghambat munculnya calon bersangkutan lantaran dianggap sebagai pesaing berat. Agum Gumelar, misalnya, kendati dalam beberapa survei namanya menempati ranking teratas, dia tak bisa memperoleh kendaraan parpol. Apa boleh buat, harapan rakyat itu tak bisa disahuti karena pintu parpol sudah tertutup. Demikian juga dengan Sarwono Kusumaatmaja, Faisal Basri, dan Abdul Rojak, semuanya harus sabar melewati proses-proses yang kepastiannya hanya ditentukan sejumlah elite parpol itu. Andai calon independen diberi ruang atau dijamin UU untuk berkompetisi, barangkali ceritanya tak seperti itu. Boleh jadi kasus di Aceh akan terulang di daerah-daerah lain, yakni calon yang diusung secara perorangan, ternyata, diterima luas oleh masyarakat untuk kemudian memimpin daerah. Sebab, bagi masyarakat atau rakyat pada umumnya, sebenarnya bukan soal diusung siapa figur yang bersangkutan, melainkan lebih pada figurnya itu sendiri. Tepatnya, rakyat memilih figur, bukan parpol. Apalagi, kita tahu umumnya masyarakat tidak menjadikan parpol sebagai ideologi rujukannya, melainkan lebih pada derajat kepercayaan mereka terhadap figur-figur yang berkompetisi. Bukti-bukti empiris pun sebenarnya sudah jelas. Beberapa hasil survei lapangan baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin merindukan kehadiran calon independen untuk berkompetisi dalam pilkada. Demikian juga sejumlah talk show yang diadakan media elektronik dengan melibatkan partisipasi publik, semuanya memberikan indikasi kuat bahwa sudah saatnya calon independen diberi ruang yang sama dengan calon kepala daerah dari unsur parpol. Para pengambil kebijakan, termasuk para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya tak bisa lagi berwatak budek terhadap tuntutan masyarakat yang secara fundamental dijamin konstitusi itu. Bahkan, kalau mereka tetap membisu dengan harapan masyarakat, itu sama saja dengan kita menonton para penyelenggara yang melawan konstitusinya sendiri - sesuatu yang seharusnya perlu kita hindari. Apalagi kita berada dalam negara yang demokrasi sebagai produk reformasi. Hakikat demokrasi berfokus pada individu, sudah pastilah calon independen merupakan keniscayaan yang tak perlu diperdebatkan lagi. Tentu saja kita tidak sedang menafikan parpol. Parpol harus diperkuat. Sebab, disadari betul bahwa parpol merupakan bagian dari pilar demokrasi yang dibangun sekelompok elite untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat. Tepatnya, peran eksistensial parpol pada dasarnya sangat besar dalam membangun dan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi. Apalagi kalau

benar-benar parpol sudah berideologi kerakyatan dan memperjuangkannya dengan sungguhsungguh secara konsisten, sudah pastilah rakyat sangat membutuhkannya. Namun, dengan realita yang terjadi di awal-awal era demokratisasi Indonesia ini, kita juga harus berbesar hati menerima kenyataan bahwa masih banyak penyimpangan moralitas yang dilakukan oleh baik para fungsionaris parpol maupun parpol itu sendiri secara kelembagaan. Maka, upaya memperbaiki parpol, terutama perilaku dan pencitraannya, yang terkait pilkada haruslah dimulai dengan menghadirkan figur-figur dari luar parpol sebagai kompetitor. Dengan demikian, parpol akan berupaya menyehatkan dirinya sendiri dengan menghadirkan figur-figur yang bisa diterima masyarakat untuk memenangkan pertarungan. Figur-figur yang menganggap diri layak jadi kepala daerah, memiliki basis dukungan, tak perlu susah-susah mencari parpol karena bisa memunculkan dirinya sendiri. Rakyat juga akan secara bebas menyeleksi dan memilih pimpinan daerahnya yang baik, memiliki kapasitas, moralitas, integritas, dan sebagainya.

(telah dimuat di Jawa Pos, 10 Juni 2007 )

Related Documents

Calon Independen
December 2019 49
Independen Espos
November 2019 23
Solusi Independen
November 2019 21
Independen Parpol Berbenah
November 2019 20