C2 Sken 2.docx

  • Uploaded by: Donna Patandianan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View C2 Sken 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,495
  • Pages: 11
Pendekatan Klinis Pada Pasien Dengan Benjolan di Leher Bagian Depan Harry Sondrio Wibowo 102015109 Bryan Reyes Stephen 102016026 Donna Patandianan 102016225 Angela Christine Virginia 102014080 Feby Christifani Tonapa 102016054 Regina Pongtuluran 102016104 Denara Natalia Djou 102016140 Aprilia Rahmawati 102016201 Nur Umira Binti Mohd Yatim 102016263 Kelompok C2 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia Email: [email protected] Pendahuluan Anamnesis Yang pertama harus kita lakukan adalah anamnesis, dari hasil anamnesis kita dapat mengetahui beberapa hal mengenai keluhan utama pasien untuk membantu kita mendiagnosis. Anamnesis yang perlu ditanyakan pada skenario ini adalah:3 1. Identitas pasien Data identitas pasien yang penting untuk kita ketahui yaitu nama, umur, alamat dan pekerjaannya. Pada skenario ini diketahui bahwa pasien adalah seorang wanita berusia 55 tahun 2. Keluhan utama Keluhan utama adalah gejala atau masalah yang menyebabkan pasien memutuskan untuk dating berobat ke dokter. Keluhan utama pada pasien dalam skenario ini adalah terdapat benjolan dileher bagian depan. 3. Riwayat penyakit sekarang 1

Riwayat penyakit sekarang memuat rincian dari keluhan utama pasien. Yang perlu ditanyakan adalah onset terjadinya keluhan, apa yang diduga sebagai faktor penyebab, gejala lain yang menyertai dan riwayat pengobatan pasien. Rincian keluhan utama yang penting untuk ditanyakan yaitu lokasi, kualitas, keparahan, dimulai sejak kapan, seberapa sering, durasi dan faktor yang meringankan serta memperberat keluhan. Hal penting yang perlu ditanyakan pada pasien dengan benjolan pada leher bagian depan yaitu: a. sejak kapan? (3 tahun lalu, awalnya kecil lalu membesar) b. apakah sering atau mudah bekeringat? (iya) c. apakah terasa berdebar? (iya) d. apakah tangan merasa gemetar? e. Apakah badan terasa panas? f. Apakah ada pengelihatan ganda? (iya) g. Apakah leher terasa membesar? (iya) h. Apakah ada rasa mengganjal atau sulit saat menelan? (iya) i. Apakah berat badannya menurun? (iya) j. keluhan lain: pasien merasa sesak napas dan suara serak 4. Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah pasien derita sebelumnya. Yang penting untuk ditanyakan yaitu apakah dahulu pasien pernah menderita keluhan yang sama seperti sekarang dan apakah pasien memiliki riwayat penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung, kencing manis, keganasan, dan lain-lain. 5. Riwayat keluarga Pada riwayat keluarga perlu ditanyakan mengenai usia dan kesehatan atau penyebab kematian tiap anggota keluarga (orang tua, kakek-nenek, saudara, anak, cucu). Selain itu juga perlu ditanyakan riwayat penyakit kronis di keluarga serta apakah ada anggota keluarga yang memiliki atau pernah mengalami keluhan yang sama. 6. Riwayat pribadi & sosial Hal yang perlu diketahui mengenai riwayat pribadi dan sosial pasien yaitu mengenai pekerjaan, pendidikan, keadaan rumah tangga dan kondisi ekonomi untuk mengetahui apakah ada yang menjadi beban pikiran pasien. Selain itu juga perlu 2

ditanyakan kebiasaan makan dan olahraga pasien, ada tidaknya kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol, keadaan atau kondisi lingkungan rumah serta kebersihan diri pasien. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang dilakukan mencakup melihat keadaan umum, kesadaran, pemeriksaan tanda-tanda vital berupa nadi, tekanan darah, frekuensi pernapasan, serta suhu. Dari skenario ini didapat tekanan darah pasien 120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 26 kali/menit, nadi 82 kali/menit dan suhu 36.8oC. Selain tanda-tanda vital, juga dilakukan pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki. Pada pasien dengan benjolan di leher maka kita harus melakukan inspeksi terhadap benjolan tersebut apakah berupa nodul atau difus dengan melihat dari bagian depan dan sisi samping pasien dan juga kita lihat ada tidaknya pergerakan dari kelenjar tiroid yang membesar saat pasien kita minta untuk coba menelan. Setelah inspeksi kita juga harus melakukan palpasi terhadap benjolan tersebut. Palpasi dapat dilakukan dari sisi belakang kanan pasien (dextro posterior approach) dan dari depan pasien (anterior approach). Pada palpasi kita harus memperhatikan ukuran dan konsistensi dari kelenjar, meraba apakah terdapat nodul atau benjolan dan apakah benjolannya memiliki batas atau tidak, selain itu juga kita harus memperhatikan apakah saat kita melakukan palpasi pasien merasakan adanya nyeri tekan pada benjolannya. Pada pembesaran yang bersifat difus kita bisa melakukan pengukuran lingkar leher. Setelah melakukan palpasi kita juga perlul melakukan auskultasi di daerah leher serta benjolan apakah terdapat bruit. Selain pemeriksaan leher, pada pasien yang mengalami gangguan tiroid kita juga perlu melakukan pemeriksaan pada mata pasien. Beberapa pemeriksaan oftalmopati yang perlu dilakukan pada pasien dengan gangguan tiroid yaitu: a. Jofroy sign

: pasien tidak dapat mengerutkan dahi

b. Von Stelwag sign

: mata jarang berkedip

c. Von Grafe sign

: saat pasien melihat ke bawah, palpebra tidak bisa turun

mengikuti gerak bola mata d. Rosenbach sign

: tremor palpebra saat mata tertutup

e. Moebius sign

: mata sulit menjadi dan mempertahankan konvergensi 3

f. Exophtalmus

: keadaan bola mata yang terlalu menonjol

Ada beberapa pemeriksaan lain yang juga terkait dengan penyakit tiroid, yaitu Pemberton sign, tremor kasar, refleks patella, refleks tendo Achilles dan Babinski. Pemberton sign digunakan untuk mengevaluasi obstruksi vena pada pasien dengan goiter, hasilnya positif jika saat pasien mengangkat kedua tangan hingga ke sisi telinga maka muka pasien memerah. Hal tersebut terjadi karena tiroid yang membesar hingga mengobstruksi dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan pembuluh vena.. Dari data anamnesis pada skenario ini didapat bahwa teraba benjolan pada leher berdiameter kurang lebih 12 cm dan mata pasien tampak exophtalmus. Pemeriksaan Penunjang 1. Hormon tiroid Pada pemeriksaan hormon tiroid, yang penting untuk diperiksa adalah kadar TSH dan FT4. Pada pasien grave’s disease, pasien mengalami hipertiroidisme sehingga hasil laboratorium untuk pemeriksaan hormon tiroid biasanya didapatkan kadar FT4 yang meningkat (normal 0.7-1.9 ng/ml) dan TSH yang menurun (normal 0.27 – 4.2 μIU/ml). Namun pada keadaan hipertiroidisme subklinis bisa didapatkan hasil FT4 dan FT3 yang masih dalam batas normal namun TSH menurun. Pada grave disease fase awal juga bisa didapatkan kadar FT3 yang meningkat. Selain pemeriksaan hormon tiroid, untuk kelainan tiroid yang bersifat autoimun juga dapat dilakukan deteksi autoantibodi (TPO antibodi, TSI dan Tg antibodi). Pemeriksaan hormon tiroid merupakan pemeriksaan yang terbaik untuk skrining kelainan tiroid. 2. Radiologi Scanning menggunakan iodin radioaktif dan mengukur uptake iodin berguna untuk menentukan penyebab hipertiroidisme. Pada grave’s disease, uptake iodin meningkat dan terdistribusi secara difus ke seluruh bagian kelenjar tiroid. USG Doppler merupakan modalitas yang paling baik dilakukan pada pasien hipertiroid. Hasil USG Doppler pada pasien grave’s disease biasanya terdapat gambaran struma yang membesar dan menyala seperti lidah api atau disebut inferno thyroid karena pada grave’s disease terjadi hipervaskularisasi kelenjar tiroid (gambar 1).

4

Gambar 1. USG grave’s disease. Sumber: openi.nlm.nih.gov 3. Histopatologi Dalam beberapa kasus hipertiroidisme berat yang dilakukan tiroidektomi, pada hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan sel epitel yang berbentuk torak, folikel yang tampak pucat dengan tepi bergerigi (scalloping) dan infiltrat limfoid (gambar 2).

Gambar 2. Mikroskopik grave’s disease. Sumber: buku ajar patologi robbins Diagnosis Banding 1. Struma multinodusa toksik (Plumme’s disease)

2. Tiroiditis akut 3. Hashimoto disease (hipotiroidisme) Grave’s Disease (Struma Difusa Toksika) Etiologi 5

Kerentanan seseorang terhadap grave’s disease dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu genetik, lingkungan dan faktor endogen yang dapat memicu autoreaktivitas sel B dan T terhadap thyrotropin receptor. Faktor genetik yang berperan pada grave’s disease yaitu polimforfisme HLA-DR, CTLA-4, PTPN22. Stress merupakan faktor lingkungan yang juga berperan pada grave’s disease melalui efek neuroendokrin terhadap sistem imun. Kondisi stress akut dapat memicu terjadinya hipersensitivitas sistem imun yang kemudian menimbulkan penyakit autoimun tiroid. Faktor luar lain yang turut serta berkontribusi di dalam penyakit Graves adalah infeksi (oleh Yersinia enterocolitica dan Borrelia burgdorferi–karena struktur protein yang homolog dengan autoantigen tiroid), intake iodin (suplementasi iodin meningkatkan resiko grave’s disease), jenis kelamin perempuan (karena modulasi respon autoimun oleh hormon estrogen) dan penggunaan steroid, sementara merokok dianggap bersangkutan dengan perburukan ophthalmopathy penyakit Graves. Konsumsi obat-obatan antiretroviral yang merupakan prekursor terjadinya rekonstruksi imun, juga dapat mengakibatkan terjadinya penyakit Graves karena diduga berhubungan dengan terjadinya perubahan jumlah dan fungsi CD4+ pada sel T. Epidemiologi 60-80% kasus hipertiroid adalah Grave’s disease. Prevalensi grave’s disease di tiap wilayah berbeda, tergantung dengan faktor genetik dan konsumsi iodium (asupan iodium yang berlebihan dapat meningkatkan resiko terkena grave’s disease). Grave’s disease biasanya lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki (5:1) dan sering terjadi pada rentang usia 20-50 tahun. Patofisiologi Secara fisiologis, kelenjar tiroid mendapat perintah untuk menghasilkan hormon tiroid melalui TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang diproduksi oleh hipofisis anterior. Hipofisis anterior sendiri mendapat perintah untuk menghasilkan TSH melalui perantara TRH (Thyrotropin Releasing Hormone) yang dihasilkan oleh hipotalamus. Hormon tiroid (T3 dan T4) yang sudah disekresikan oleh kelenjar tiroid kemudian akan berperan sebagai umpan balik negatif terhadap hipofisis anterior dan hipotalamus. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan kadar hormon di dalam tubuh agar jumlahnya tidak berlebihan. 6

Hipertiroidisme adalah istilah yang merujuk pada fungsi berlebihan kelenjar tiroid yang kemudian akan memicu terjadinya thyrotoxicosis (kelebihan kadar hormon tiroid di dalam tubuh).2 Penyebab tersering dari hipertiroidisme adalah Grave’s disease, dimana tubuh akan menghasilkan suatu protein yang dikenal dengan nama thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) atau yang juga dikenal dengan long acting thyroid stimulator (LATS). TSI akan merangsang sekresi dan pertumbuhan tiroid, mirip seperti yang dilakukan TSH secara fisiologis, namun tidak seperti TSH, TSI tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik negatif hormon tiroid yang sudah disekresikan sehingga sekresi hormon tiroid dan pertumbuhan tiroid akan terus berlanjut tanpa terkendali (gambar 3).

Gambar 3. Kerja TSI pada Grave’s disease. Sumber: fisiologi manusia Sherwood Gejala Klinis Sesuai dengan efek yang ditimbulkan hormon tiroid terhadap tubuh, manifestasi klinis penyakit Graves tidak jauh menyimpang dari efek fisiologis yang ditimbulkan hormon tersebut, hanya saja karena kadarnya berlebihan, maka efeknya pun menjadi berlebihan. Oleh karena itu, penyakit Graves akan bermanifestasi sebagai berikut: 

Peningkatan lajut metabolik basal. Hal ini mengakibatkan turunnya berat badan meski nafsu makan meningkat.



Kulit akan menjadi lembab dan hangat, akan terjadi juga keringat berlebih karena pasien menjadi tidak tahan cuaca panas.



Gejala kardiovaskular yang paling umum terjadi adalah sinus takikardia yang identik dengan perasaan berdebar-debar. Pada pasien dengan usia >50 tahun, fibrilasi atrium menjadi lebih sering terjadi. Selain itu, kelainan irama jantung juga dapat terjadi.

7



Pasien perempuan akan sering mengalami oligomenorrhea atau bahkan amenorrhea; sementara pasien laki-laki dapat terjadi disfungsi seksual.



Gejala gastrointestinal yang umum terjadi adalah hiperaktifitas usus yang dapat berujung pada BAB berlebih atau diare.



Pada regio ekstremitas dapat terjadi oedema, tremor bilateral dan hiperrefleks tendon.



Pasien penyakit Graves juga dapat merasakan gejala psikiatri seperti misalnya insomnia, depresi dan kecemasan.

Gambaran mencolok pada penyakit Graves dan tidak dijumpai pada hipertiroidisme lain adalah exophtalmus atau yang dikenal dengan nama Graves ophthalmopathy. Hal ini terjadi karena infiltrasi terhadap otot-otot ekstraokuler oleh sel T yang teraktivasi akibat adanya reaksi silang dengan autoantigen tiroid yang diduga diekspresikan juga di orbita. Sel T yang teraktivasi kemudian akan melepaskan cytokine seperti misalnya IFN-γ, TNF dan IL-1 yang akan

mengaktifkan

fibroblast

dan

meningkatkan

sintesis

glikosaminoglikan.

Glikosaminoglikan sendiri bersifat osmotik (menarik air) sehingga dampaknya terhadap tubuh penderita adalah pembengkakan jaringan otot terutama di daerah orbita karena daerah orbita lebih sensitif terhadap sitokin (gambar 4). Pembengkakan inilah–yang bila terjadi retrobulbar–akan mendorong mata ke depan sehingga mereka akan menonjol dari tulang orbita, terkadang hingga ke titik dimana kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, selain itu karena bola mata yang membesar juga pasien dapat mengalami diplopia atau pengelihatan ganda terutama ketika melihat ke atas dan lateral. Untuk menentukan keparahan grave’s ophtalmopathy dapat digunakan sistem skoring “NO SPECS” yaitu: 

0 = No sign or symptom



1 = Only lid retraction/lag



2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)



3 = Proptosis (>22mm)



4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)



5 = Corneal involvement



6 = Sight loss

8

Gambar 4. Patofisiologi terjadinya grave’s ophtalmopathy. Sumber: medscape Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien grave’s disease yaitu krisis tiroid (thyroid storm). Krisis tiroid adalah eksaserbasi akut dari semua gejala dan tanda tirotoksikosis, hal ini merupakan sesuatu yang mengancam nyawa. Manifestasi klinis krisis tiroid yaitu hipermetabolisme dan respon adrenergik yang berlebihan. Pasien bisa mengalami demam tinggi (38-41oC), muka memerah dan berkeringat, bisa juga terdapat jaundice. Sering juga terdapat gejala atrial fibrilasi dan denyut nadi yang sangat meningkat bahkan bisa sampai menyebabkan gagal jantung. Gejala neurologisnya terjadi penurunan kesadaran dari delirium hingga koma. Hal ini dapat berujung sangat fatal, yaitu gagal jantung bahkan hingga syok. Tatalaksana Hipertiroidisme pada grave’s disease dapat ditangani dengan mengurangi produksi hormon tiroid menggunakan obat anti tiorid atau mengurangi jumlah jaringan tiroid dengan radioiodine atau tiroidektomi. 1. Obat anti tiroid (lini pertama untuk pasien anak, remaja dan dewasa dengan gejala yang tidak berat dan struma leher kecil) a. Metimazol

9

Metimazol bekerja dengan menghambat iodinasi tiroglobulin yang dibantu TPO sehingga mempengaruhi pembentukan T3 dan T4 di kelenjar tiroid. Efek samping obat ini adalah hipotiroid sementara, agranulositosis, ruam kulit dan pembesaran kelenjar tiroid. Obat ini diekskresikan melalui urin sehingga dosisnya harus disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Metimazol dikontraindikasikan pada wanita yang kemungkinan hamil dalam waktu tiga tahun karena dapat mengganggu kelenjar tiroid janin. Dosis obat ini adalah 1020 mg/hari peroral sehari sekali. b. propylthiouracil (PTU) cara kerja PTU mirip dengan metimazol, namun PTU juga menghambat proses konversi T3 menjadi T4. Selain efek samping yang sama seperti metimazol, PTU juga bersifat hepatotoksik oleh karena itu pada pasien yang menggunakan PTU perlu diawasi dengan memonitor fungsi hati. Dosis obat ini adalah 50-150 mg peroral sehari tiga kali. 2. Radioiodine Radioiodine menyebabkan kerusakan progresif dari sel tiroid dan dapat digunakan sebagai terapi awal atau pada kekambuhan setelah menggunakan obat anti tiroid. Iodium radioaktif yang umumnya digunakan untuk terapi yaitu

131

I dalam

bentuk kapsul. Terapi radioiodine biasanya dianjurkan pada pasien berusia lebih dari 21 tahun. Untuk mengurangi resiko krisis tiroid setelah terapi dengan radioiodine dapat diberikan obat anti tiroid kurang lebih 1 bulan sebelum terapi radioiodine, selain itu pada pasien lanjut usia juga dianjurkan pemberian obat anti tiroid terlebih dahulu namun metimazol harus diberhentikan 3-5 hari sebelum terapi radioiodine dan PTU harus dihentikan > 5 hari sebelum terapi radioiodine agar uptake iodine nya maksimal. Terapi ini di kontraindikasikan pada pasien grave’s disease dengan gejala oftalmopati karena dapat memicu eksaserbasi. 3. Pembedahan Thyroidetomy merupakan terapi pilihan untuk pasien dengan kelenjar tiroid yang sangat besar atau gondok multinodular. Sebelum dilakukan pembedahan, pasien akan diberikan obat anti tiroid selama kurang lebih 6 minggu hingga kondisinya menjadi eutiroid. Sebagai tambahan, 10-14 hari menjelang operasi, pasien akan menerima larutan potassium iodida yang diberikan lima tetes sehari dua kali. Hal ini

10

dilakukan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar tiroid sehingga pembedahan menjadi lebih sederhana. Kesimpulan

Daftar Pustaka 1. Drake RL, Vogl AW, Mitchell ADM. Thoraks : In : Grays Anatomy For Students. 2nd ed. Canada : Churchill Livingstone Elsevier, 2010. p310-312 2. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6 Jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2014. hlm.86772 3. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6 Jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2014. hlm. 125-27 4. Daniel TM. Tuberkulosis. Dalam: IsselbacherKJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kesper DL. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyaki dalam. Edisi 13 Volume 2. Jakarta: EGC; 2017. 5. Herchline TE. Tuberculosis. Medscape [seri online] 9 Nov 2017 [diunduh 11 Jul 2018]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview#a4

6. Baer SL. Community acquired pneumonia (CAP). Medscape [seri online] 16 Jun 2017

[diunduh

11

Jul

2018].

Available

from:

https://emedicine.medscape.com/article/234240-overview#a1

7. KEMENKES RI. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014 8. WHO. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th ed. Geneva: World Healh Organization; 2010

11

Related Documents

C2 Sken 2.docx
June 2020 6
C2
June 2020 23
C2
December 2019 32
C2
November 2019 38
C2
April 2020 28
C2
November 2019 29

More Documents from ""