Bullying Looping Problem.docx

  • Uploaded by: allan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bullying Looping Problem.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,743
  • Pages: 11
TUGAS SENI BERPIKIR DALAM BISNIS PENINGKATAN KASUS BULLYING DI LINGKUNGAN SEKOLAH FORMAL DI INDONESIA

Oleh : Fransiskus Allan Gunawan Irham Dipura Aryoko Aditya

MAGISTER MANAJEMEN WIJAWIYATA MANAJEMEN 80 PPM SCHOOL OF MANAGEMENT 2019

1.

Latar Belakang Secara konsep, bullying dapat diartikan sebagai bentuk agresi dimana terjadi ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan antara pelaku (bullies) dengan korban (victim), diaman pelaku pada umumnya memiliki kekuatan/kekuasaan lebih besar daripada korbannya (Hertinjung, 2013). Menurut Nusantara (2008), tindakan bullying dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni bullying fisik, bullying verbal, dan bullying mental. Perilaku bullying yang terjadi di kalangan pelajar sendiri sudah dianggap seperti tradisi yang berlangsung terus menerus dimana salah satu bentuk yang sering tersamarkan adalah perploncoan yang dilakukan senior terhadap junior dengan dalih mengajarkan sopan santun bagi adik kelas di dalam sekolah (Sari & Azwar, 2017). Bullying menimbulkan dampak yang serius terhadap perkembangan anak, baik terhadap pelaku (bullies) maupun korban bullying (victim). Anak sebagai korban bullying akan cenderung mengalami gangguan psikologis dan fisik, lebih sering mengalami kesepian, dan mengalami kesulitan dalam mendapatkan teman (Dwipayanti & Komang, 2014). Korban bullying tersebut sering merasa cemas berlebihan, ketakutan, depresi, rendah diri, dan merasa tidak berguna bagi lingkungannya (Tumon, 2014). Bullying dalam jangka pendek dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, depresi, atau menderita stress yang dapat berakhir dengan bunuh diri. Dalam jangka panjang, korban bullying dapat menderita masalah emosional dan perilaku (Sari & Azwar, 2017). Sedangkan anak sebagai pelaku bullying cenderung memiliki nilai yang rendah (Dwipayanti & Komang, 2014). Pelaku bullying juga berisiko tinggi terlibat dalam kenakalan remaja, kriminalitas dan penyalahgunaan alcohol (Sugiariyanti, dkk) Contoh kasus terjadi pada seorang siswa sekolah dasar di Ohio yang tewas gantung diri menggunakan dasi karena dibully oleh teman sekolahnya. Bocah berumur 8 tahun ini menjadi korban bullying secara fisik. Ia kerap dipukuli oleh teman-temannya di sekolah. Contoh lain datang dari Texas. Seorang remaja perempuan nekat menembakkan pistol ke dadanya sendiri hingga tewas karena ia merasa dihujat habis-habisan di dunia maya. [ CITATION Ela17 \l 14345 ] Krisis moral atau karakter telah menjadi ancaman serius bagi masa depan anak bangsa Indonesia (Dwiningrum & Purbani, 2012). Fenomena Bullying yang terjadi di satuan pendidikan di Indonesia seolah menjadi persoalan yang tidak pernah habis dan menjadi permasalahan sistemik yang berkelanjutan. Berdasarkan laporan yang disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), KPAI menerima 26 ribu aduan kasus bullying dalam kurun waktu 2011 -2017. UNICEF pada laporan tahunan 2015 juga menyatakan bahwa 40% anak Indonesia mengalami kasus bullying di sekolah. Kasus bullying di sekolah telah menjadi perhatian serius bagi para praktisi pendidikan, orang tua, media, dan para peneliti yang peduli terhadap keamanan siswa di sekolah (Moon et al., 2008). Fenomena bullying yang terjadi di kalangan pelajar dapat disebabkan oleh beberapa fackor seperti perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, gender, etnisitas atau rasisme. Bullying juga dapat disebabkan oleh keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis, dan karakter individua tau kelompok seperti adanya dendam atau iri hati, adanya semangat untuk menguasi korban dengan kekuatan fisik, dan untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainannya (Astuti, 2008). Selain itu, faktor individu (biologi dan temperamen), faktor keluarga, teman sebaya, sekolah dan media juga menjadi penyebab anak melakukan tindakan bullying. Penelitian membuktikan bahwa gabungan faktor individu, sosial, resiko lingkungan,

perlindungan berinteraksi dalam menentukan etiologi tindakan bullying (Verlinden, Hersen dan Thomas, 2000). Data selanjutnya berdasarkan hasil riset lembaga swadaya masyarakat (LSM) Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW), menemukan bahwa tujuh dari 10 anak di Indonesia terkena tindak kekerasan di sekolah (Hariandja, 2015). Bahkan, menurut hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter pada 2014, hampir setiap sekolah di Indonesia terjadi bullying dalam bentuk bullying verbal maupun bullying psikologis/mental (Rini, 2014). Berdasarkan pemaparan kasus bullying yang kompleks tersebut, Indonesia sudah masuk kategori "darurat bullying di sekolah" (Rini, 2014). Dalam kasus yang cukup langka, anak-anak korban bullying mungkin akan menunjukkan sifat kekerasan. Seperti yang dialami seorang remaja 15 tahun di Denpasar, Bali, yang tega membunuh temannya sendiri karena dendamnya kepada korban. Pelaku mengaku kerap menjadi target bullying korban sejak kelas satu SMP. Akibat perbuatannya, pelaku yang masih di bawah umur ini dijerat dengan Pasal 80 ayat 3 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta KUHP Pasal 340, 338, dan 351. 2.

Bukti Pendukung Maraknya kasus Bullying Tak sedikit dari kasus bullying yang berujung pada hilangnya nyawa korban. Dalam sebuah jurnal yang dirilis UNICEF (United Nations Children’s Fund), hampir 30% anak-anak sekolah di seluruh dunia menjadi target bullying. Angka kekerasan terhadap anak lewat bullying juga cenderung mengalami peningkatan dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Statistik tersebut dapat dilihat dalam infografis berikut ini:

Gambar 1: Data Trend Kasus Bullying menurut UNICEF Tahun 2011 – 2016

Kasus Bullying sendiri tidak hanya terjadi di kalangan sesama siswa saja, melainkan juga siswa terhadap guru sekolah. Masalah yang paling parah terjadi di dunia pendidikan adalah kasus

penganiayaan murid yang berujung pada tewasnya Guru hanya karena murid tidak terima ditegur guru karena ramai dikelas. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya karena faktor didikan didalam keluarga yang selalu diisi dengan didikan kekerasan atau bahkan terlalu dimanja oleh orangtuanya. Sumber berita tertera pada gambar 2 berikut :

Gambar 2. Kasus penganiayaan siswa terhadap guru hingga guru tewas

Faktor keluarga sangatlah penting, karena keluarga adalah tempat pertama anak dididik dan dikenalkan oleh norma dan aturan dalam pergaulan dan kehidupan. Apabila orang tua terlalu mendidik anak dengan manja dan overprotective, akan menyebabkan siswa selalu dibenarkan tindakan nakalnya. Terbukti dengan berita di gambar 3, dimana orang tua ikut terlibat dalam menganiaya guru akibat tidak terima anaknya ditegur guru dengan dijewer akibat anaknya melakukan keramaian dikelas. Peristiwa tersebut mengakibatkan korban bernama Drs. Dasrul terluka dan tidak bisa mengajar selama beberapa waktu terakhir.

Gambar 3. Siswa dan orangtua murid menganiaya guru

Gambar 4. Siswa Menantang Guru karena tidak terima ponsel disita

Gambar 5. Data gabungan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah

Berdasarkan Ikhtisar Eksekutif Startegi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 oleh Kemen-PPPA, terlihat bahwa kekerasan di dunia pendidikan terbilang tinggi, baik yang dilakukan guru pada siswa, siswa terhadap guru, maupun siswa terhadap siswa lainnya. Adapun datanya adalah sebagai berikut: ● 84% Siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah ● 45% siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan ● 40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya ● 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah ● 22% siswa perempuan menyebutkan guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan

● 50% anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah Kasus bullying di Indonesia sendiri sudah menjalar ke dunia pendidikan dari SD hingga SMA, dari data yang diperoleh tim Hitam Putih, berikut adalah fakta dan data tentang kasus bullying beserta jumlah kasus yang ditangani pemerintah :

Gambar 6. Fakta Kasus bullying di Indonesia

3.

Upaya yang Sudah Dilakukan untuk Mencegah Bullying Menurut pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan: “Anak di dalam dan dilingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya. Hasil konsultasi Komisi Nasional Perlindungan Anak dengan anak-anak di 18 provinsi di Indonesia pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa sekolah juga bisa menjadi tempat yang cukup berbahaya bagi anak-anak, jika ragam kekerasan di situ tidak diantisipasi (MG. Endang Sumiarni, 2009). Kasus kekerasan terhadap anak-anak di sekolah menduduki peringkat kedua setelah kekerasan pada anak-anak dalam keluarga. Padahal, jika siswa kerap menjadi korban kekerasan, mereka dapat memiliki watak kekerasan di masa depan. Hal ini secara kolektif akan berdampak buruk terhadap kehidupan bangsa (Jolliffe & Farrington, 2006). Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mendirikan Sekolah Ramah Anak (SRA) di beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki tingkat kasus bullying paling tinggi. Landasan hukum penyelenggaraan Sekolah Ramah Anak meliputi, (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 tentang perlindungan anak, “bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Disebutkan di atas salah satunya adalah berpartisipasi yang dijabarkan sebagai hak untuk berpendapat dan didengarkan suaranya.”(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Pemenuhan Hak Pendidikan Anak adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik pada usia anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian

diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat bangsa dan negara”. Memperhatikan definisi di atas, dapat dimaknai bahwa adanya kebijakan Sekolah Ramah Anak dilatarbelakangi oleh banyaknya tindak kekerasan yang dialami siswa. Di Indonesia, tidak sedikit sekolah yang mempraktikkan cara-cara yang kurang ramah dengan anak. Sering sekali didengar berita kekerasan dan bullying terhadap anak di sekolah, baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis bahkan sampai pada pelecehan seksual. Sekolah, sebagai miniature masyarakat, tempat pendidikan anak berimplikasi untuk menyediakan wahana yang ramah anak. Selanjutnya, kebijakan Sekolah ramah Anak menjadi dasar hukum penyelenggaraan di masyarakat untuk mengatur sehingga tujuan menjamin kesejahteraan anak tercapai. Dalam hal ini, usaha mewujudkan Sekolah Ramah Anak perlu didukung oleh berbagai pihak antara lain keluarga dan masyarakat yang sebenarnya merupakan pusat pendidikan terdekat anak. Lingkungan yang mendukung, melindungi memberi rasa aman dan nyaman bagi anak akan sangat membantu proses mencari jati diri. [ CITATION Uri15 \l 14345 ] Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dioptimalkan efektivitasnya dalam implementasi program Sekolah Ramah Anak. 1. Pembelajaran, ini berkaitan dengan upaya-upaya: (1) Mempromosikan proses pengajaran dan pembelajaran yang berkualitas dengan instruksi individual yang sesuai dengan tingkat perkembangan, kemampuan, dan gaya belajar anak dan metode belajar aktif, kooperatif, dan demokratif. (2) Menyediakan konten terstruktur dan bahan dan sumber yang berkualitas (3) Mempromosikan hasil belajar yang berkualitas dengan mendefinisikan dan membantu anak belajar apa yang mereka butuhkan untuk belajar dan mengajari mereka cara belajar. 2. Perlindungan anak (1) Memastikan lingkungan belajar yang sehat, higienis, dan aman, dengan fasilitas air dan sanitasi yang memadai dan kelas yang sehat, kebijakan dan praktik yang sehat (misalnya, sekolah yang bebas dari narkoba, hukuman fisik, dan pelecehan), dan penyediaan layanan kesehatan. (2) Mempromosikan kesehatan fisik dan psiko-sosial-emosional guru dan peserta didik (3) Membantu melindungi dan melindungi semua anak dari penyalahgunaan dan kekerasan. 3. Kepekaan gender (1) Mempromosikan kesetaraan jender dalam seleksi dan pencapaian prestasi. (2) Menjamin fasilitas, kurikulum, buku teks, dan proses belajar-mengajar yang ramah perempuan. (3) Mensosialisasikan anak perempuan dan anak laki-laki di lingkungan tanpa kekerasan. (4) Mendorong penghormatan terhadap hak, martabat, dan persamaan sesama orang lain. 4. Pelibatan (1) Partisipasi anak yang berpusat pada anak dalam semua aspek kehidupan sekolah. (2) Fokus pada keluarga - bekerja untuk memperkuat keluarga sebagai pengasuh dan pendidik utama anak dan membantu anak, orang tua, dan guru membangun hubungan yang harmonis.

4.

(3) Community-based - mendorong kemitraan lokal dalam pendidikan, bertindak di masyarakat untuk kepentingan anak-anak, dan bekerja dengan pelaku lain untuk memastikan pemenuhan hak anak-anak. (Khan, 2015). PEMBAHASAN Dari hasil peninjauan masalah yang ada, telah dirumuskan komponen-komponen yang akan dibahas dalam pembahasan ini, pembahasan ini akan menggunakan dua metode, yaitu causal looping diagram dan behavior over time. Untuk menggunakan dua metode ini, hubungan antar komponen akan dibahas di bagian ini. Rumusan masalah yang dibahas diantaranya adalah tentang bullying dan faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan bullying beserta tindakan pemerintah mengatasi kasus bullying agar tidak mengalir ke tingkat yang lebih parah. Bullying sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor keluarga, terutama anak dari kalangan brokenhome. Akibatnya, korban yang tertekan dendam dan melakukan bullying balik atau bahkan melakukan bullying ke orang lain yang tidak bersalah. Selain itu, faktor SARA juga menjadi latar belakang siswa melakukan bullying. Di Indonesia, kebanyakan korban bullying adalah yang berasal dari suku dan agama minoritas dan ras tertentu. Akibat dari bullying sendiri adalah depresi dan pertikaian yang berujung pada tindakan kekerasan dan kriminalitas, bahkan korban cenderung akan melakukan tindakan bunuh diri. Pemerintah juga memiliki peran untuk meredam tindakan bullying sendiri, dengan mendirikan sekolah ramah anak agar kasus bullying berkurang. Berikut adalah Causal Loop diagram kasus bullying itu sendiri:

Gambar 7: Causal Loop Diagram dari Kasus Bullying

Penjelasan Causal Loop Diagram gambar 7 adalah sebagai berikut R1 = Bullying mengakibatkan 2 belah pihak berselisih, sehingga menyebabkan pertengkaran besar. Sang korban bullying akan merasa rendah diri yang meningkat pasca pertengkaran akibat bullying. Dampak setelah rendah diri yang dialami adalah sang korban mengalami penurunan akan motivasi belajarnya sehingga ia menjadi depresi. Di dalam depresinya, ia memiliki dendam yang dimana ia akan melakukan bully kepada korban selanjutnya, tidak menutup kemungkinan bentuk pelampiasan dendam ini dilakukan tidak hanya kepada sang pelaku awal, namun dapat terjadi juga kepada pihak yang baru. B1 = Akibat kejadian bullying yang terjadi di lingkungan sekolah, pihak sekolah pun melakukan bentuk penertiban yang sifatnya memberikan efek jera kepada sang pelaku bullying. Sang pelaku bullying mendapatkan perilaku dikucilkan di lingkungan sekolah dan masyarakat yang membuat ia merasa terpojok dan sehingga meningkatkan keinginan ia untuk bullying kembali di lingkungan dan situasi yang berbeda. B2 = Menurut data, pemerintah tidak berpangku tangan atas kejadian bullying yang marak di tingkat pendidikan. Maka dari itu, pemerintah menciptakan program sekolah ramah anak yang dimana guru sebagai fasilitator pun juga diberi pelatihan untuk pendisiplinan anak muridnya. Namun sekolah ramah anak ini memiliki standar yang tidak seluruh sekolah di Indonesia dapat memenuhinya. Sehingga trend pengadaan sekolah ramah anak menurun karena kurang pemerataan pendidikan Sekolah Ramah Anak yang sesuai dengan tujuan pemerintah.

Pihak – pihak yang terkait atas kasus bullying Murid (Pelaku) Murid (Korban) Orang tua murid Guru

Polisi Pihak Sekolah Pemerintah

Model-Mental yang tidak efektif pada kasus Bullying ini: a. Pihak murid sebagai pelaku bullying berasumsi bahwa cara terbaik agar saya ditakuti oleh orang lain adalah dengan melakukan penindasan secara massif kepada orang-orang disekitar saya. b. Pihak murid sebagai pelaku bullying berasumsi bahwa saya dahulu pernah dibully oleh teman, oleh karena itu saya berhak melakukan bullying agar orang lain merasakan apa yang saya rasakan. c. Pihak murid sebagai pelaku bullying berasumsi bahwa dengan membully orang lain, maka derajat saya akan jauh lebih tinggi dan saya mendapat banyak pengakuan di lingkungan pergaulan, sehingga saya akan banyak dianggap oleh banyak orang. d. Pihak murid sebagai korban bullying berasumsi bahwa banyak orang membully dia, karena dia memiliki kekurangan yang tidak sewajarnya dan tidak bisa diterima di lingkungan masyarakat sekitar. e. Pihak Murid sebagai Korban bullying berasumsi bahwa melaporkan kejadian bullying yang menimpa dirinya ke pihak berwajib menyebabkan dia akan mendapat perlakuan lebih keji dari pelaku atau tidak akan diproses secara hukum. f. Pihak sekolah sebagai mediator kedua siswa yang terlibat bullying berasumsi bahwa sanksi tertulis ataupun skorsing membuat siswa semakin jera untuk tidak melakukan bullying. g. Pihak Guru sebagai mediator dan fasilitator di sekolah yang melihat kedua siswa yang berselisih berasumsi bahwa apabila mereka ikut campur dalam masalah murid, maka mereka akan diancam dilaporkan oleh orang tua dari siswa pelaku bullying, sehingga mereka cenderung pasif menanggapi kasus bullying antar siswa. h. Pihak Polisi sebagai penegak hokum berasumsi bahwa siswa masih berada dibawah umur yang matang, sehingga menganggap kasus bullying sebagai kasus yang ringan dan tidak butuh penanganan yang serius. Akibatnya, kasus bullying merambat hingga siswa terhadap guru bahkan menjurus pada penganiayaan fisik i. Pihak orang tua murid (murid yang sebagai korban bullying) sebagai Pendidik utama di keluarga berasumsi bahwa anaknya akan selalu aman di lingkungan sekolah karena ada guru dan karyawan sekolah lain yang memantau anaknya dari kejadian yang tidak menyenangkan j. Pihak orang tua murid (murid sebagai pelaku bullying) sebagai pendidik utama didalam keluarga berasumsi bahwa anaknya tidak akan melakukan tindakan bullying, karena merasa sudah mendidik anak dengan benar. k. Pihak orang tua murid (murid sebagai pelaku bullying) sebagai pendidik utama didalam keluarga berasumsi bahwa yang berhak untuk menegur atau mendidik anaknya adalah orang tua sendiri, sehingga ketika guru memberi sanksi atau teguran tentang perilaku anak, maka orang tua berhak untuk menghadap guru karena dianggap lancang. l. Pihak pemerintah sebagai lembaga yang menaungi pendidikan di Indonesia berasumsi bahwa seluruh sekolah di Indonesia memiliki standar yang sama. Namun kenyataanya, sekolah di pelosok masih membutuhkan pertolongan ramah anak.

DAFTAR REFERENSI http://jatim.tribunnews.com/2018/03/02/siswa-yang-aniaya-guru-budi-hingga-tewas-dituntut-75-tahunpenjara-ini-pertimbangan-jaksa?page=2 http://jatim.tribunnews.com/topic/kasus-siswa-aniaya-guru https://www.merdeka.com/peristiwa/keroyok-guru-siswa-dan-ayahnya-resmi-jadi-tersangka.html Republik Indonesia. 2002. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (2004). In H. V. Haraldsson, Introduction to System Thinking and Causal Loop Diagram (p. 50). Lund University. Zakiyah, E. Z., Humaedi, S., & Raharjo, M. B. (2017). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REMAJA DALAM MELAKUKAN BULLYING. Research Journal, 7

Jolliffe, D., & Farrington, D. P. (2006). Examining the relationship between low empathy and bullying. Aggressive Behavior, 32, 540-550. Nwagboso, C.I. (2012). Public Policy and the Challenges of Policy Evaluation in the Third World, British Journal of Humanities and Social Sciences, 5 (1), p 69-77. Republik Indonesia. 1979. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Khan, Sana Ahmad. 2015. Concept Of Child Friendly Schools. Tisngati, U. (2015). Sekolah Ramah Anak: Upaya Mengembangkan Sekolah yang Efektif dan Berkualitas. 8

Related Documents

Looping
June 2020 16
Looping
May 2020 13
Bullying
April 2020 20
Bullying
November 2019 28
Bullying
November 2019 17

More Documents from ""