Bulan Rajab - Hotd

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bulan Rajab - Hotd as PDF for free.

More details

  • Words: 9,521
  • Pages: 27
Hadith of the Day

[HOTD] bulan Rajab Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orangorang yang bertakwa. (QS. At Taubah, 9 : 36)

Hadist riwayat Abu Hurairah ra. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada lagi fara` (anak unta pertama yang disembelih untuk berhala-berhala mereka) dan tidak pula atirah (hewan ternak yang disembelih pada sepuluh hari pertama dari bulan Rajab). Ibnu Rafi` menambahkan dalam riwayatnya: Fara` adalah anak ternak pertama yang disembelih oleh pemiliknya Links: [penjelasan paRa ulama tentang masalah Rajab] http://www.almanhaj.or.id/content/1525/slash/0 [membahas amalan bulan Rajab] http://baiturrahmah.blogsome.com/2006/07/17/membahas-amalan-bulan-rajab/ [hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab] http://www.almanhaj.or.id/content/1523/slash/0 [tentang puasa Rajab] http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9 21&Itemid=30 [fenOmena bid’ah di bulan Rajab] http://vbaitullah.or.id/downloads/ebooks/bidah-rajab.pdf [setiap perkaRa baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid'ah] http://www.almanhaj.or.id/content/1399/slash/0 [wajib menjelaskan hadits-hadits dha'if kepada umat islam] http://www.almanhaj.or.id/content/1359/slash/0 -perbanyakamalmenujusurga-

http://www.almanhaj.or.id/content/1525/slash/0

Penjelasan Para Ulama Tentang Masalah Rajab Selasa, 9 Agustus 2005 07:26:52 WIB HADITS-HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHALAT DAN PUASA DI BULAN RAJAB Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Bagian Terkahir dari Dua Tulisan 2/2 PENJELASAN PARA ULAMA TENTANG MASALAH RAJAB [1]. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa'ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul. [Lihat al-Maudhu’at (II/123-126)]

http://orido.wordpress.com

1

Hadith of the Day

[2]. Kata Imam an-Nawawy: “Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 140)] Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam Khilidhir, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab, semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh diamalkan.” [ Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141)] [3]. Kata Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut: “Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.” [Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157)] [4]. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun shalat Raghaa'ib, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan termasuk bid’ah.... Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam...” Selanjutnya beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa'ib adalah BID’AH menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyu-ruh melaksanakan shalat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan selain mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan tentang itu adalah dusta menurut Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga shalat malam pertama bulan Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban, shalat Ahad, Senin dan shalat hari-hari tertentu dalam satu pekan, meskipun disebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidak diragukan lagi oleh orang yang mengerti hadits-hadits tentang hal tersebut, semuanya adalah hadits palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka) menyunnahkan shalat ini... Wallahu a’lam.” [Lihat Majmu’ Fataawa (XXIII/132, 134)] [5]. Kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah: “Semua hadits tentang shalat Raghaa'ib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab adalah dusta yang diada-adakan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang diada-adakan.” [Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif (hal. 95-97, no. 167-172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu Ghaddah] [6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab: “Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab.” [7]. Imam al-‘Iraqy yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadits tentang puasa dan shalat Raghaa'ib adalah hadits maudhu’ (palsu). [Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin (I/202)]

http://orido.wordpress.com

2

Hadith of the Day [8]. Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibra-him al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 381)] [9]. Syaikh Abdus Salam, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at menyatakan: “Bahwa membaca kisah tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya pada malam tang-gal dua puluh tujuh Rajab adalah BID’AH. Berdzikir dan mengadakan peribadahan tertentu untuk merayakan Isra’ dan Mi’raj adalah BID’AH, do’a-do’a yang khusus dibaca pada bulan Rajab dan Sya’ban semuanya tidak ada sumber (asal pengambilannya) dan BID’AH, sekiranya yang demikian itu perbuatan baik, niscaya para Salafush Shalih sudah melaksanakannya.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 143)] [10]. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts ‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata dalam kitabnya, at-Tahdzir minal Bida’ (hal. 8): “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak pernah mengadakan upacara Isra’ dan Mi’raj dan tidak pula mengkhususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika peringatan malam tersebut disyar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Jika pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti diketahui dan masyhur, dan ten-tunya akan disampaikan oleh para Shahabat kepada kita... Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memberi nasihat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya sebaik-baik penyampaian dan telah menjalankan amanah Allah dengan sempurna. Oleh karena itu, jika upacara peringatan malam Isra’ dan Mi’raj dan merayakan itu dari agama Allah, ten-tunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, maka jelaslah bahwa upacara tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali. Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini, mencukupkan nikmat-Nya dan Allah mengingkari siapa saja yang berani mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah: “Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3] KHATIMAH Orang yang mempunyai bashirah dan mau mendengarkan nasehat yang baik, dia akan berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Artinya : Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.” [HSR. An-Nasa'i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan an-Nasa'i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)] Para ulama, ustadz, kyai yang masih membawakan hadits-hadits yang lemah dan palsu, maka mereka digo-longkan sebagai pendusta. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

http://orido.wordpress.com

3

Hadith of the Day

Dari Samurah bin Jundub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang-siapa yang menceritakan satu hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari dua pendusta.” [HSR. Ahmad (V/20), Muslim (I/7) dan Ibnu Majah (no. 39)] [Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

_______ MARAJI’ [1]. Shahih al-Bukhari. [2]. Shahih Muslim. [3]. Sunan an-Nasaa-i. [4]. Sunan Ibni Majah. [5]. Musnad Imam Ahmad. [6]. Shahih Ibni Hibban. [7]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H. [8]. Maudhu’atush Shaghani. [9]. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim alJauziyyah. [10]. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H. [11]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr. [12]. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky. [13]. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Ma’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H. [14]. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani. [15]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah. [16]. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i. [17]. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri. [18]. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin alAlbany. [19]. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy. [20]. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i. [21]. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy. [22]. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khilidhir. [23]. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut. [24]. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [25]. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim alJauziyyah. [26]. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rajab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany. [27]. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly. [28]. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz. [29]. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin alAlbany.

http://baiturrahmah.blogsome.com/2006/07/17/membahas-amalan-bulan-rajab/

Membahas Amalan Bulan Rajab 17 July 2006 | Miscelanous |

http://orido.wordpress.com

4

Hadith of the Day Dear Friends, Sebenarnya memang masih agak lama sih, tapi kayaknya waktu 10 hari dah cukup waktu untuk tahu beberapa hal mengenai banyaknya amalan/ibadah yang biasa, kita, kaum muslimin lakukan di bulan Rajab tahun ini. Berikut ada beerapa amalan yang harus kita pertimbangkan untuk tidak kita amalkan berkaitan dengan tidak ada asalnya menurut Islam ataupun ada asalnya namun memiliki derajat lemah atau palsu. Pertama : Shalat 20 rakaat setelah Sholat Maghrib di malam pertama bulan Rajab Sumber Hadits : "Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian."ン Kami berkata: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui", dan berkata: "Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa." Keterangan: Hadits ini Maudhu’ Kata Ibnul Jauzi: ‘Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).’ン [Lihat : Al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), Al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), Al-Fawaa’idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144), dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).] Kedua : Puasa satu hari di bulan Rajab Sumber Hadits : "Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan."ン Keterangan : Hadits ini sangat lemah Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’. Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa’ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)] Kata Imam an-Nasa’i: "Furaat bin as-Saa’ib Matrukul hadits."ン Dan kata Imam alBukhari dalam Tarikhul Kabir: "Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam adDaraquthni. [Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa’i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).] Ketiga : Puasa satu hari dan sholat 4 rakaat dengan bacaan tertentu Sumber Hadits : "Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ayat Kursiy seratus kali dan di raka’at kedua baca

http://orido.wordpress.com

5

Hadith of the Day surat al-Ikhlas seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)." Keterangan : Hadits ini Maudhu’ Kata Ibnul Jauzy: "Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits."ン [Al-Maudhu’at (II/123-124).] Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)] Keempat : Puasa dengan jumlah hari tertentu Sumber Hadits : "Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barang siapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah." Keterangan: Hadits ini Palsu Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa’idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: "Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: "Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’." Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah: [1]. ‘Amr bin al-Azhar al-’Ataky. Imam an-Nasa-i berkata: "Dia Matrukul Hadits."ン Sedangkan kata Imam al-Bukhari: "Dia dituduh sebagai pendusta."ン Kata Imam Ahmad: "Dia sering memalsukan hadits."ン [Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353)] [2]. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir. Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: "Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya)." Kata Yahya bin Ma’in: "Dia matruk." Dan beliau pernah berkata: "Dia rawi yang lemah." [Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142)] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: "Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits." [Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288).

http://www.almanhaj.or.id/content/1523/slash/0

Hadits-Hadits Palsu Tentang Keutamaan Shalat Dan Puasa Di Bulan Rajab Senin, 8 Agustus 2005 07:07:19 WIB HADITS-HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHALAT DAN PUASA DI BULAN RAJAB

http://orido.wordpress.com

6

Hadith of the Day

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2 Apabila kita memperhatikan hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, sepanjang tahun serta malam dan siangnya, niscaya kita akan mendapatkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mengistimewakan sebagian dari sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari bulan lainnya, misalnya bulan Ramadhan dengan kewajiban puasa pada siangnya dan sunnah menambah ibadah pada malamnya. Di antara bulan-bulan itu ada pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan yang dihormati, dan diharamkan berperang pada bulan-bulan itu. Allah juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepekan untuk berkumpul shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah yang berisi peringatan dan nasehat. Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad,[1] bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengkhususkan ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah dari malam-malam yang lain dan jangan pula kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari-hari yang lainnya, kecuali bila bertepatan (hari Jum’at itu) dengan puasa yang biasa kalian berpuasa padanya.” [HR. Muslim (no. 1144 (148)) dan Ibnu Hibban (no. 3603), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 980)] Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan sebagian waktu malam dan siang dengan menjanjikan terkabulnya do’a dan terpenuhinya permintaan. Demikian Allah mengutamakan tiga generasi pertama sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka dianggap sebagai generasi terbaik apabila dibandingkan dengan generasi berikutnya sampai hari Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang diutamakan oleh Allah dibandingkan tempat dan masjid lainnya. Semua hal tersebut kita ketahui berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan contoh yang benar. Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam masalah shalat dan puasa padanya dibanding dengan bulan-bulan yang lainnya, semua haditsnya sangat lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus pada bulan Rajab. Di bawah ini akan saya berikan contoh hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab. HADITS PERTAMA “Artinya : Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku” Keterangan: HADITS INI “ MAUDHU’

http://orido.wordpress.com

7

Hadith of the Day

Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)] Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazh: “Artinya : Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaaib...” Keterangan: HADITS INI MAUDHU’ Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid Ath-Thawil dari Anas, secara marfu’. [AlManaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no. 168-169)] Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy] Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.” Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat arRaghaa'ib.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879)] HADITS KEDUA “Artinya : Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan alQur'an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.” Keterangan: HADITS INI MAUDHU’ Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu.” [Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H)] HADITS KETIGA: “Artinya : Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan alIkhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’” Keterangan: HADITS MAUDHU’

http://orido.wordpress.com

8

Hadith of the Day Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).” [Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).] HADITS KEEMPAT “Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat alIkhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)” Keterangan: HADITS INI MAUDHU’ Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124).] Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)] HADITS KELIMA “Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.” Keterangan: HADITS INI SANGAT LEMAH Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’. Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa'ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)] Kata Imam an-Nasa'i: “Furaat bin as-Saa'ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam alBukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam adDaraquthni.” [Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa'i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).] HADITS KEENAM “Artinya : Sesungguhnya di Surga ada sungai yang dinamakan ‘Rajab’ airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari air sungai itu.” Keterangan: HADITS INI BATHIL Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailamy (I/2/281) dan al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib (I-II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, ...” Imam adz-Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al-Asadiy meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan khabar (hadits) ini adalah bathil.” [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]

http://orido.wordpress.com

9

Hadith of the Day Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin ‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.” [Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1898)] HADITS KETUJUH. “Artinya : Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barang siapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.” Keterangan: HADITS INI PALSU Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’.’” Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah: [1]. ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky. Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.” [Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353)] [2]. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir. Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.” [Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142)] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits.” [Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288). Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa'ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu, penulis mencukupkan tujuh hadits saja. [Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

_________ Foote Note [1]. Zaadul Ma’aad (I/375) cet. Muassasah ar-Risalah.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9 21&Itemid=30

Tentang Puasa Rajab Oleh: Dewan Asatidz

http://orido.wordpress.com

10

Hadith of the Day

Bapak Ustad, saya mendapatkan informasi kalau puasa Rajab tanggal 1 akan menghapus dosa selama 3 tahun, tanggal 2 akan menghapus dosa 2 tahun, tanggal 3 akan menghapus dosa 1 tahun, tanggal 4 akan menghapus dosa selama 1 bulan, dan amal di bulan rajab akan diberi pahala 70 kali lipat. Tanya: Bapak Ustad, saya mendapatkan informasi kalau puasa Rajab tanggal 1 akan menghapus dosa selama 3 tahun, tanggal 2 akan menghapus dosa 2 tahun, tanggal 3 akan menghapus dosa 1 tahun, tanggal 4 akan menghapus dosa selama 1 bulan, dan amal di bulan rajab akan diberi pahala 70 kali lipat. Saya tidak tahu dasar hukumnya puasa Rajab dan kebenaran informasi tsb. Saya sudah mencoba mencari di buku Fiqh Islam karangan H. Sulaiman Rasjid dan buku Riadhus Shalihin karangan Ust. Al Hafidh. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan saya sehingga tidak mengetahuinya. Atas bantuannya saya ucapkan banyak terimakasih. Budi Fachrudin - Depok Jawab: Bulan Rajab merupakan salah satu bulan Muharram yang artinya dimulyakan (Ada 4 bulan: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Puasa dalam bulan Rajab, sebagaimana dalam bulan-bulan mulya lainnya, hukumnya sunnah. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram(mulya)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah Riwayatnya al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi saw, 'Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunat) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban.' Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'" Menurut al-Syaukani (Naylul Authar, dalam bahasan puasa sunat) ungkapan Nabi "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya. Adapun hadis yang Anda sebut itu, kami juga tak menemukannya. Ada beberapa hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Rajab. Seperti berikut ini: •





"Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu sorga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan." Riwayat al-Thabrani dari Sa'id bin Rasyid: Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab maka laksana ia puasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka Jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu sorga, bila puasa 10 hari Allah akan mengabulkan semua permintaannya....." "Sesugguhnya di sorga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa

http://orido.wordpress.com

11

Hadith of the Day



sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut". Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi saw berkata: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."

Hadis-hadis tersebut dha'if (kurang kuat) sebagaimana ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi. Ibnu Hajar, dalam kitabnya "Tabyinun Ujb", menegaskan bahwa tidak ada hadis (baik sahih, hasan, maupun dha'if) yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Rajab. Bahkan beliau meriwayatkan tindakan Sahabat Umar yang melarang menghususkan bulan Rajab dengan puasa. Ditulis oleh al-Syaukani, dlm Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat. Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis yang umum (spt yang disebut pertamakali di atas) itu cukup menjadi hujah atau landasan. Di samping itu, karena juga tak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab. Muhammad Niam & Arif Hidayat

http://vbaitullah.or.id/downloads/ebooks/bidah-rajab.pdf Fenomena Bid’ah di Bulan Rajab

Didownload dari http://www.vbaitullah.or.id

Fenomena Bid’ah di Bulan Rajab Abu Ubaidah Al-Atsari

Disalin dari majalah Al-Furqon Edisi 12 Th. I 1423H hal 9 - 13.

30 Juli 2004 Memang benar, keutamaan bulan dalam (kalender hijriyah) itu bertingkattingkat, begitu juga hari-harinya. Misalnya bulan Romadhon lebih utama dari semua bulan, hari Jum'at lebih utama dari semua hari, malam Lailatul Qodar lebih utama dari semua malam dan lain sebagainya. Namun, harus kita fahami bersama bahwa timbangan keutamaan tersebut hanyalah syari'at, yakni Al-Qur'an dan hadits yang shohih, bukan haditshadits dho'if dan maudhu' (lemah dan palsu). Diantara bulan Islam yang ditetapkan kemuliaannya dalam Al-Qur'an dan sunnah adalah bulan Rojab. Namun sungguh sangat disesalkan beredarnya riwayat-riwayat yang dho'if dan palsu seputar bulan Rojab serta amalanamalan khusus di bulan Rojab di tengah masyarakat kita, sehingga digunakan http://orido.wordpress.com

12

Hadith of the Day senjata oleh para pecandu bid'ah dalam mempromosikan kebid'ahankebid'ahan ala jahiliyyah di muka bumi ini. Dari sinilah, terasa pentingnya penjelasan secara ringkas tentang pembahasan seputar bulan Rojab dan amalan-amalan manusia yang menodainya dengan riwayat-riwayat yang lemah dan palsu. Rojab, Definisi dan Keutamaannya Rojab secara bahasa diambil dari kata "Rojaba ar-rajulu rajaban", artinya mengagungkan dan memuliakan. Rojab adalah sebuah bulan. Dinamakan dengan Rojab dikarenakan mereka dulu sangat mengagungkannya pada masa jahiliyah yaitu dengan tidak menghalalkan perang di bulan tersebut. (Lihat AlQomus Muhith 1 / 74 dan Lisanul Arob 1 / 411, 422.)

Tentang keutamaannya, Alloh telah berfirman, Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Alloh adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Alloh di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS At-Taubah: 36). Imam At-Thobari berkata, Bulan itu ada dua belas, empat diantaranya merupakan bulan harom (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharomkan peperangan pada bulan tersebut hingga seandainya ada seseorang bertemu dengan pembunuh bapaknya, dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu adalah Rojab Mudhor, dan tiga bulan berurutan: Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharrom. Demikianlah yang dinyatakan dalam hadits-hadits Rasulullah. (Lihat Jami'ul Bayan 10 / 124 - 125.) Imam Bukhori meriwayatkan dalam Shohihnya (4662) dari Abu Bakroh bahwasanya Nabi bersabda, Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya tatkala Alloh menciptakan langit dan bumi, setahun ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan harom, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya'ban. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa bulan Rojab sangat diagungkan oleh manusia pada masa jahiliyah adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam AlMushonnaf (2 / 345) dari Khorosyah bin Hurr, ia berkata, Saya melihat Umar memukul tangan-tangan manusia pada bulan Rojab agar mereka meletakkan tangan mereka di piring, kemudian beliau (Umar) mengatakan, Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya Rojab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah (Atsar shohih, dishohihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 25 / 291 dan Al-Albani dalam Irwa'ul Ghalil no. 957.) A. Riwayat Seputar Rajab Al-Ha_zh Ibnu Hajar berkata, dalam kitabnya Tabyin 'Ajab Bima Waroda Fi Rojab (6):

http://orido.wordpress.com

13

Hadith of the Day Tidak ada hadits shohih yang dapat dijadikan hujjah seputar amalan khusus di bulan Rojab, baik puasa maupun sholat malam dan sejenisnya. Dan dalam menegaskan hal ini, aku telah didahului oleh Al-Imam Abu Isma'il Al-Harowi Al-ha_dz. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad shohih, demikian pula kami meriwayatkan dari selainnya. Al-Ha_zh Ibnu Hajar juga berkata, Hadits-hadits yang datang secara jelas seputar keutamaan Rojab atau puasa di bulan Rojab terbagi menjadi dua, dho'if (lemah) dan maudhu' (palsu). Al-Ha_zh telah mengumpulkan hadits-hadits seputar Rojab, maka beliau mendapatkan sebelas hadits berderajat dho'if dan dua puluh satu hadits berderajat maudhu'. Berikut ini kami nukilkan sebagian hadits-hadits dho'if dan maudhu' tersebut: Sesungguhnya di Surga ada sebuah sungai yang dinamakan "Rojab", warnanya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa berpuasa satu hari di bulan Rojab, niscaya Allah akan memberinya minum dari sungai tersebut. (Hadits dho'if / lemah) Rasulullah apabila memasuki bulan Rojab, beliau berdo'a, "Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rojab dan Sya'ban dan pertemukanlah kami dengan Romadhon." (Hadits dho'if / lemah) Bulan Rojab adalah milik Alloh, Sya'ban adalah bulanku dan Romadhon adalah bulan umatku. (Hadits maudhu' / palsu) Keutamaan bulan Rojab dibandingkan semua bulan seperti keutamaan AlQur'an terhadap semua dzikir. (Hadits maudhu' / palsu) Barangsiapa berpuasa pada bulan Rojab dan sholat empat rokaat pada bulan tersebut,... niscaya dia tidak menginggal dunia hingga melihat tempat tinggalnya di Surga, atau diperlihatkan untuknya (Hadits maudhu' / palsu) Itulah sedikit contoh dari hadits-hadits dho'if dan maudhu' seputar bulan Rojab. Sengaja kami nukil secara ringkas karena maksud kami hanya untuk dapat memberikan syara'at dan perhatian saja, bukan membahas secara detail dan terperinci. B. Sholat Roghoib Sholat Roghoib adalah sholat yang dilaksanakan pada malam Jum'at pertama bulan Rojab, tepatnya antara sholat maghrib dan isya' dengan didahului puasa hari Kamis, dikerjakan dengan dua belas rakaat. Pada setiap rakaat membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qodar tiga kali dan surat Al-Ikhlas dua belas kali... dan seterusnya. Sifat sholat seperti di atas tadi didukung oleh sebuah riwayat oleh sahabat Anas bin Malik yang dibawakan secara panjang oleh Imam Ghozali (bukan Moh Ghozzali Al-Mishri) dalam Ihya' Ulumuddin (1 / 203) dan beliau http://orido.wordpress.com

14

Hadith of the Day menamainya dengan "Sholat Rojab" seraya berkata "ini adalah sholat yang disunnahkan"!!! Demikianlah perkataannya -semoga Allah mengampuninya- padahal para pakar ahli hadits telah bersepakat dalam satu kata bahwa hadits-hadits tentang "Sholat Roghoib" adalah Maudhu' (palsu). Di bawah ini, penulis nukilkan sebagian komentar ulama' ahli hadits tentangnya: 1. Imam Ibnu Jauzy berkata: Hadits sholat Roghoib adalah palsu, didustakan atas nama Rasulullah. Para ulama mengatakan bahwa hadits ini dibikin oleh seseorang yang bernama Ibnu Juhaim. Dan saya mendengar syaikh (guru) kami Abdul Wahhab Al-Ha_zh mengatakan, Para perowinya majhul (tidak dikenal), saya telah memeriksa seluruhnya dalam setiap kitab, namun saya tidak mendapatkan- nya. (Al-Maudhu'at (2 / 124 - 125).) 2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Sholat Roghoib adalah bid'ah menurut kesepakatan para imam agama, tidak disunnahkan oleh Rasulullah, tidak pula oleh seorangpun dari khalifahnya serta tidak dianggap baik oleh para ulama panutan, seperti Imam Malik, Sya_'i, Ahmad, Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Auza'i, Laits dan sebagainya. Adapun hadits tentang sholat Roghoib tersebut adalah hadits dusta, menurut kesepakatan para pakar ahli hadits (Majmu' Fatawa (23 / 134)). 3. Imam Dzahabi berkata tatkala mebceritakan biogra_ imam Ibnu Sholah: Beliau (Ibnu Sholah) tergelincir dalam masalah sholat Roghoib, beliau menguatkan dan mendukungnya padahal kebatilan hadits tersebut tidak diragukan lagi. (Siyar A'lam Nubala' (23 / 142 - 143)) 4. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Demikian pla hadits-hadits tentang sholat Roghoib pada awal malam Jum'at bulan Rojab, seluruhnya dusta, dibuat-buat atas nama Rasulullah. (Al-Manar Munir (no. 167)) 5. Al-Ha_dz Al-'Iroqi berkata: "hadits maudhu' (palsu)." (Takhrij Ihya' (1 / 203)) 6. Al-Allamah Asy-Syaukani berkata: Maudhu', karena para perowinya majhul. Dan inilah sholat Roghoib yang masyhur, para pakar telah bersepakat bahwa hadits tersebut maudhu', kepalsuannya tidak diragukan lagi, hingga orang yang baru dalam ilmu hadits sekalipun... Berkata Al-Fairuz Abadi dalam AlMukhtashor bahwa hadits tersebut maudhu' menurut kesepakatan, demikian pula dikatakan oleh Al-Maqdisi. (Al-Fawaidul Majmu'ah (47 - 48)) Apabila telah jelas derajat Sholat Roghoib sebagaimana di atas, maka mengerjakannya merupakan kebid'ahan dalam agama, yang harus diwaspadai oleh setiap insan yang hendak meraih kebahagiaan.

http://orido.wordpress.com

15

Hadith of the Day Untuk menguatkan kebid'ahan sholat Roghoib ini, penulis nukilkan perkataan dua imam masyhur di kalangan madzhab Sya_'i yaitu Imam Nawawi dan Imam Suyuthi - semoga Allah merahmati keduanya. Imam Nawawi berkata, Sholat yang dikenal dengan Sholat Roghoib, dua belas rakaat antara Maghrib dan Isya' awal malam Jum'at bulan Rojab dan sholat Nisfu Sya'ban seratus rakaat, termasuk bid'ah mungkar dan jelek. Janganlah tertipu dengan disebutkannya kedua sholat tersebut dalam Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin (karya Al-Ghozali) dan jangan tertipu [ula oleh hadits yang termaktub pada kedua kitab tersebut. Sebab, seluruhnya merupakan kebatilan. (Al-Majmu' Syarh Muhadzab (3 / 549)) Imam Suyuthi berkata, Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa mengagungkan hari dan malam ini (Rojab) merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam, yang bermula setelah 400H. Memang ada riwayat yang mendukungnya, namun haditsnya maudhu' (palsu) dengan kesepakatan para ulama', riwayat tersebut intinya tentang keutamaan puasa dan sholat pada bulan Rojab yang dinamai dengan Sholat Roghoib. Menurut para pakar, dilarang mengkhususkan bulan ini (Rojab) dengan puasa dan sholat bid'ah (sholat Roghoib) serta segala jenis pengagungan terhadap bulan ini seperti membuat makanan, menampakkan perhiasan dan sejenisnya. Supaya bulan ini tidak ada bedanya seperti bulan-bulan lainnya. (Al-Amru

Bil Ittiba' hal. 166 - 167.)

Kesimpulannya, riwayat tentang Sholat Roghoib adalah maudhu' (palsu) dengan kesepakatan para pakar ahli hadits. Oleh karena itu, beribadah dengan hadits palsu merupakan kebid'ahan dalam agama, apalagi sholat Roghoib ini baru dikenal mulai tahun 448H. C. Perayaan Isra’ Mi’raj Setiap tanggal 27 Rojab, perayaan Isro' Mi'roj sudah merupakan sesuatu yang tidak dapat terlupakan di masyarakat kita sekarang. Bahkan, hari tersebut menjadi hari libur nasional. Oleh karena itu, mari kita mempelajari masalah ini dari dua tinjauan. 1. Tinjauan Sejarah Munculnya Perayaan Isro' Mi'roj Dalam tinjauan sejarah waktu terjadinya Isro' Mi'roj masih diperdebatkan oleh para ulama. Jangankan tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan hingga kini. Al-ha_zh Ibnu Hajar Al-Atsqolani memaparkan perselisihan tersebut dalam kitabnya, Fathul Bari (7 / 203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat! Ada yang berpendapat bahwa Isro' Mi'roj terjadi pada bulan Romadhon, Syawal, Robi'ul Awal, Robi'ul Akhir ... dan seterusnya. Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari Zuhri dan 'Urwah bahwa Isro' Mi'roj http://orido.wordpress.com

16

Hadith of the Day terjadi setahun sebelum keluarnya Nabi ke kota Madinah yaitu bulan Robi'ul Awal, adapun pendapat Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijroh, yaitu bulan Dzulqo'dah. Al-Ha_dz Abful Ghoni bin Surur Al-Maqdisi membawakan dalam sirohnya hadits yang tidak shohih sanadnya tentang waktu isro' mi'roj pada tanggal 27 Rojab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa isro' mi'roj terjadi pada hari Jum'at pertama bulan Rojab, yaitu malam Roghoib yang ditunaikan pada waktu tersebut sebuah sholat masyhur, tetapi tidak ada asalnya. (Al-Bidayah Wa Nihayah (3 / 108 - 109))

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, -sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah-, Tidak ada dalil shohih yang menetapkan bulan maupun tanggalnya, seluruh nukilan tersebut munqothi' (terputus) dan berbeda-beda. (Zadul Ma'ad (1 / 57)) Bahkan Imam Abu Syamah menegaskan, Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isro' Mi'roj terjadi pada bulan Rojab, hal itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata. (Al-Baaits, hal. 171) Dari perkataan para ulama' di atas dapat disimpulkan bahwa Isro' Mi'roj merupakan malam yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca memahami masalah ini, dengan mudah saya katakan, Ada sebagian ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, kita tidak boleh melangkahinya seperti sholat lima waktu. Ada sebagian ibadah lainnya, Allah menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kepada kita untuk berlomba- lomba mencarinya seperti malam Lailatul Qodar. Dan sebagian waktu yang mulia derajatnya di sisi Allah dan tidak ada ibadah khusus (seperti sholat dan puasa) untuknya, oleh karena itu Allah menyembunyikan waktunya, seperti malam Isro' Mi'roj. (Lihat majalah At-Tauhid, Mesir, hal. 9 edisi 7 th. 28, Rojab 1420H)

2. Tinjauan Syari'at Ditinjau dari segi syari'at, kalau toh memang benar bahwa Isro' Mi'roj terjadi pada 27 Rojab, namun kalau kemudian waktu tersebut dijadikan sebagai malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang Isro' Mi'roj, maka seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan ragu bahwa hal tersebut termasuk perkara bid'ah dalam Islam. Sebab, perayaan tersebut tidaklah dikenal di masa sahabat, tabi'in dan para pengikut setia mereka. Islam hanya memiliki tiga hari raya; yakni Idhul Fitri, Idhul Adha setiap satu tahun, dan hari Jum'at setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak termasuk agama Islam secuilpun. (Lihat At-Tamassuk bis Sunnah Nabawiyah (33 - 34) oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al- Utsaimin.)

Ibnu Hajj berkata, "Termasuk perkara bid'ah yang diada-adakan oleh orangorang pada malam 27 Rojab adalah ..." Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh bid'ah pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di masjid, ikhthilath (campur baur antara laki-laki dengan perempuan), menyalakan lilin dan pelita; beliau juga menyebutkan perayaan malam Isro'

http://orido.wordpress.com

17

Hadith of the Day Mi'roj termasuk perayaan yang dinasabkan kepada agama, padahal bukan darinya. (Al-Madkhol: 1 / 294 - 298 dinukil dari Al-Bida' Al-Hauliyah hal. 275 - 276 oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri.)

Ibnu Nuhas berkata, Sesungguhnya perayaan malam ini (Isro' Mi'roj) merupakan kebid'ahan besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara syetan. (Tanbih Al-Gho_lin, (379 - 380))

Penulis kitab As-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad bin Ahmad As Sya_'i (murid Syaikh Rosyid Ridho) hal 127 menegaskan, Pembacaan kisah Mi'roj dan perayaan malam 27 Rojab merupakan perkara bid'ah... Dan kisah Mi'roj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas, seluruhnya adalah kebatilan dan kesesatan. Tidak ada yang shohih kecuali beberapa huruf saja. Demikian pula dengan kisah Ibnu Shulthon, seorang penghambur yang tidak pernah sholat kecuali di bulan Rojab saja, namun tatkala hendak meninggal dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan sehingga ketika Rasulullah ditanya perihalnya, beliau menjawab, Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo'a pada bulan Rojab. Semua ini merupakan kedustaan dan kebohongan. haram hukumnya membacakan dan melariskan riwayatnya kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan Azhar membacakan kisah-kisah palsu seperti ini kepada manusia. Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, Malam Isro' Mi'roj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh riwayat tentangnya tidak ada yang shohih menurut para pakar ilmu hadits. Di sisi Alloh-lah hikmah dibalik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya, tetapi tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan. Karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Seandainya disyari'atkan, pastilah Nabi menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan... Kemudian beliau berkata, Dengan penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits di atas sudah cukup bagi para pencari kebenaran untuk mengingkari bid'ah malam Isro' Mi'roj yang memang bukan dari Islam secuilpun... Sungguh amat menyedihkan, tatkala bid'ah ini meruyak segala penjuru negeri Islam, sehingga diyakini oleh sebagian orang bahwa perayaan tersebut merupakan Agama. Kita berdo'a kepada Alloh agar memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia kepada mereka berupa ilmu agama dan

http://orido.wordpress.com

18

Hadith of the Day tau_q serta istiqomah di atas kebenaran. (At-Tahdzir Minal Bida', hal. 9 oleh Syaikh Ibnu Baz.)

D. Mengkhususkan Puasa di Bulan Rojab Termasuk perkara bid'ah di bulan Rojab adalah mengkhususkan puasa bulan Rojab, karena tidak ada hadits shohih yang mendukungnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Adapun mengkhususkan puasa di bulan Rojab, maka seluruh haditsnya adalah lemah dan palsu, ahli ilmu tidak menjadikannya sebagai sandaran sedikitpun. (Majmu' Fatawa 25 / 290) Imam Suyuthi berkata, Mengkhususkan bulan Rojab dengan puasa adalah dibenci. Sya_'i berkata, Aku membenci bila seseorang menyempurnakan puasa sebulan penuh seperti puasa Romadhon, dimikian pula mengkhususkan suatu hari di hari-hari lainnya. Dan Imam Abdullah Al-Anshori -seorang ulama dari Khurosan- tidak berpuasa bulan Rojab bahkan melarangnya seraya berkata, Tidak satu hadits pun shohih dari Rosululloh tentang keutamaan bulan Rojab dan puasa Rojab. Bila dikatakan, Bukankah puasa termasuk ibadah dan kebaikan?" Jawabnya, "Benar. Tapi ibadah harus berdasarkan contoh dari Rosululloh. Apabila diketahui hadits-nya dusta, berarti tidak termasuk syari'at." Bulan Rojab diagung-agungkan oleh Bani Mudhor di masa jahiliyah sebagaimana dikatakan Umar bin Khoththob. Bahkan beliau memukul tangan orang-orang yang berpuasa di bulan Rojab. Demikian pula Ibnu Abbas apabila melihat manusia berpuasa Rojab, beliau membencinya seraya berkata, "Berbukalah kalian, sesungguhnya Rojab adalah bulan yang diagungkan oleh ahli jahiliyah." (Al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 2 / 346. Lihat pula Al-Amru Bil Ittiba', hal. 174 - 176 oleh Imam Suyuthi, di tahqiq oleh Syaikh Mashur bin Hasan Salman.)

Imam Thurthusi mengatakan -setelah membawakan atsar-atsar di atas, Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa pengagungan manusia terhadap Rojab sekarang ini, merupakan sisa-sisa peninggalan zaman jahiliyah dahulu. Kesimpulannya, berpuasa di bulan Rojab adalah dibenci dan apabila seorang berpuasa dalam keadaan yang aman, yaitu bila manusia telah mengetahuinya dan tidak menganggapnya wajib atau sunnah, maka hukumnya tidak apa- apa. (Lihat Al-Hawadits Wal Bida', hal. 141 - 142, tahqiq Syaikh Ali Al-Halabi.)

Kesimpulan dari perkataan para ulama' di atas: tidak boleh mengkhususkan puasa di bulan Rojab sebagai pengagungan terhadapnya. Sedangkan apabila seseorang telah bterbiasa / rutin berpuasa sunnah (puasa Daud atau Senin Kamis misalnya, baik di bulan Rojab maupun tidak) dan tidak beranggapan sebagaimana anggapan salah masyarakat awam sekitarnya, maka ini diperbolehkan.

http://orido.wordpress.com

19

Hadith of the Day

E. Sembelihan Rojab Termasuk adat Jahiliyah dahulu adalah menyembelih hewan di bulan Rojab sebagai pengagungan terhadapnya, disebabkan Rojab merupakan awal bulan harom sebagaimana dikatakan Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya (4 / 496). Tatkala Islam datang, secara tegas telah membatalkan acara sembelihan Rojab serta mengharomkannya sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rosulullah, diantaranya, Dari Abu Huroiroh ia berkata, Rosululloh bersabda, "Tidak ada Faro' dan 'Athiroh." (HR. Bukhori 5473, 5474; Muslim 1976; Abu Dawud 2831; Tirmidzi 1512; Nasa'i 4219 dan Ibnu Majah 3168)

Dalam riwayat lainnya dengan lafadz "larangan", Rosululloh melarang dari Faro' dan 'Athiroh. (HR. Nasa'i 4220; Ahmad 2 / 409 dan Al-Isma'ily sebagaimana dalam Fathul Bari 8 / 596.)

Dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (2 / 229) dengan lafadz, "Tidak ada 'Athiroh dan Faro' dalam Islam." Berkata Abu 'Ubaid -seorang ulama pakar bahasa-, 'Athiroh adalah sembelihan yang biasa dilakukan di masa jahiliyah pada bulan Rojab untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada patungpatung mereka. (Fathul Bari 8 / 598, oleh Ibnu Hajar.) Abu Daud juga berkata, Faro' adalah unta yang disembelih oleh orang-orang jahiliyah yang diperuntukkan bagi tuhan-tuhan, kemudian mereka makan, lalu kulitnya dilemparkan ke pohon. Adapun 'Athiroh adalah sembelihan pada sepuluh hari pertama bulan Rojab(Lihat 'Aunul Ma'bud 7 / 341, 8 / 24 oleh Abu Abdir Rohman Syaroful Haq Azhim Abadi –bukan Syamsul Haq Adzim Abadi sebagaimana tertulis dalam sampul kitab.).

http://www.almanhaj.or.id/content/1399/slash/0

Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama Adalah Bid'ah Jumat, 8 April 2005 15:43:03 WIB PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Bagian Kelima dari Enam Tulisan 5/6

http://orido.wordpress.com

20

Hadith of the Day

Penjelasan Kaidah Kesepuluh “Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama Adalah Bid‘ah. Setiap Bid‘ah Adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka.” [A]. Pengertian Bid‘ah. Bid’ah berasal dari kata al-ikhtira’ yaitu yang baru yang dicip-takan tanpa ada contoh sebelumnya.[1] Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna[2]. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wa-fatnya Nabi j berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan. [3] Bila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya[4]. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala "Artinya : Allah pencipta langit dan bumi...” [Al-Baqarah : 117] Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.[5] Bid’ah menurut istilah memiliki beberapa definisi di kalangan para ulama yang saling melengkapi. Di antaranya: Al-Imam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah. Beliau Rahimahullah mengungkapkan: “Bid’ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran.[6] Bid’ah itu sendiri ada dua macam: Bid’ah dalam bentuk ucapan atau keyakinan, dan bentuk lain dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua. [7] Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Asal dari ibadah adalah tidak disyai’atkan, kecuali yang telah disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan asal dari kebiasaan adalah tidak dilarang, kecuali yang dilarang oleh Allah[8]. Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal masalah keduniaan adalah dibolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Beliau (Ibnu Taimiyah Rahimahullah) juga menyatakan: “Bid’ah adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau ijma’ para Ulama as-Salaf berupa ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, dan mereka yang beribadah dengan tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka yang

http://orido.wordpress.com

21

Hadith of the Day beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai bid’ah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallaahu a’lam.”[9] Imam Asy-Syathibi (wafat tahun 790 H) Rahimahullah.[10] Beliau menyatakan: "Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah". Ungkapan ‘cara baru dalam agama’ itu maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari’at. Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at. Ungkapan ‘menyerupai syari’at’ sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diadaadakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syariat, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya. Ungkapan ‘untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah’, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepadaNya seperti disebutkan dalam firmanNya : “Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” [AdzDzariyaat : 56]. Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah seba-gaimana maksud ayat tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta dia mengulang-ulanginya.[11] Beliau Rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at.” [12] Beliau menetapkan definisi yang kedua tersebut, bahwa kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengan-dung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah mengkorelasikan berbagai definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum pidana,... karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, persyaratan dan kaidah-kaidah syariat yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang muslim selain ketetapan baku itu. [13] Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah[14] (wafat th. 795 H).

http://orido.wordpress.com

22

Hadith of the Day Beliau Rahimahullah menyebutkan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikata-kan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun batin. Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at. Contohnya adalah ucapan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (Shalat Terawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu 'anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah yang semacam ini.” [15] [Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

_________ Foote Note [1]. Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawadits wal Bida’ (hal. 40) dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary. [2]. Mukhtarush Shihah (hal. 44). [3]. Al-Qamus al-Muhith, Lisanul ‘Arab dan Fataawaa Ibnu Taimiyyah. [4]. Mu’jamul Maqaayis fil Lughah (hal. 119). [5]. Mufradaat Alfaazhil Qur-an (hal. 111) oleh ar-Raaghib al-Ashfahani, materi kata bada’a. [6]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/107-108). [7]. Ibid, (XXII/306). [8]. Ibid, (IV/196). [9]. Ibid, (XVIII/346) dan lihat juga (XXXV/414). [10]. Al-I’tisham (hal. 50) oleh Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathy asySyathibi tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly. Daar Ibni ‘Affan Cet. II, 1414 H. [11]. Lihat Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid. [12]. Al-I’tisham (hal. 51). [13]. Al-I’tisham (II/568, 569, 570, 594). Lihat juga Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid’ah (hal. 30-31) oleh Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthany. [14]. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (hal. 501, cet. II, Daar Ibnul Jauzi-1420 H) tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad. Lihat Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid’ah (hal. 30-31). [15]. Shahih al-Bukhari (no. 2010)

http://www.almanhaj.or.id/content/1359/slash/0

Wajib Menjelaskan Hadits-Hadits Dha'if Kepada Umat Islam Jumat, 25 Februari 2005 11:20:10 WIB

http://orido.wordpress.com

23

Hadith of the Day BOLEHKAH HADITS DHA’IF DIAMALKAN DAN DIPAKAI UNTUK FADHAA-ILUL A’MAAL [KEUTAMAAN AMAL] ? Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan 3/3 TIDAK BOLEH MENGATAKAN HADITS DHA'IF DENGAN LAFAZH JAZM [LAFAZH YANG MEMASTIKAN ATAU MENETAPKAN] [a]. Ada (lafazh yang digunakan dalam menyampaikan (meriwayatkan) hadits menurut pendapat Ibnush Shalah Apabila orang menyampaikan (meriwayatkan) hadits dha’if, maka tidak boleh anda berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Atau lafazh jazm yang lain, yakni lafazh yang memastikan atau menetapkan, seperti: "Fa'ala, rawaya, qola". Boleh membawakan hadits dha’if itu dengan lafazh: “Telah diriwayatkan atau telah sampai kepada kami be-gini dan begitu.” Demikianlah seterusnya hukum hadits-hadits yang masih diragukan tentang shahih dan dha’ifnya. Tidak boleh kita berkata atau menulis: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [b]. Pendapat Imam an-Nawawi rahimahullah Telah berkata para ulama ahli tahqiq dari pakar-pakar hadits, “Apabila haditshadits itu dha’if tidak boleh kita katakan: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” atau: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan,” atau: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan,” atau: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang,” atau: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum.” Dan lafazh-lafazh lain dari jenis lafazh jazm (pasti atau menetapkan). Tidak boleh juga mengatakan: “Telah meriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” atau: “Telah menyebutkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” Dan yang seperti itu dari shighat-shighat (bentuk-bentuk) jazm. Tidak boleh juga menyebutkan riwayat yang lemah dari tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya dengan shighat-shighat jazm. Seharusnya kita mengatakan hadits atau riwayat lemah dan hadits atau riwayat yang tidak kita ketahui derajat-nya dengan perkataan: "Telah "Telah "Telah "Telah

diriwayatkan. dinukil darinya. disebutkan. diceritakan.

http://orido.wordpress.com

24

Hadith of the Day Dan yang seperti itu disebut shighat tamridh (bentuk lafazh yang berarti ada penyakitnya), dan tidak boleh dengan shighat jazm. PERKATAAN PARA ULAMA AHLI HADITS Shighat jazm seperti: "qola, rawaya"ó dan lainnya hanya digunakan untuk haditshadits shahih dan hasan saja. Sedangkan shighat-shighat tamridh, seperti: "ruwiya", atau "dukira"ó dan lainnya digunakan selain itu. Karena shighat jazm berarti menun-jukkan akan sahnya suatu khabar (berita) yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab itu tidak boleh dimutlakkan. Jadi, bila ada ulama yang masih menggunakan shighat (lafazh) jazm untuk berita yang belum jelas, berarti ia telah berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adab meriwayatkan ini banyak dilanggar oleh para penulis kitab-kitab fiqh dan juga jumhur Fuqahaa’ dari madzhab Syafi’i, bahkan dilanggar pula oleh jumhur ahli ilmu, kecuali sebagian kecil dari ahli ilmu dari para Ahli Hadits yang mahir. Perbuatan tasaahul (menggampang-gampangkan) dalam masalah yang hadits merupakan perbuatan yang jelek. Kebanyakan dari mereka menyebutkan hadits shahih dengan shighat tamridh: “Diriwayatkan darinya.” Sedangkan dalam menyebutkan hadits dha’if, maka mereka menyebutkan dengan shighat yang jazm: "rawaya fulanun" atau qola". Hal ini sebenarnya telah menyimpang dari kebenaran yang telah disepakati oleh Ahli Hadits. [Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzhab, oleh Imam an-Nawawi (I/63), cet. Daarul Fikr.] WAJIB MENJELASKAN HADITS-HADITS DHAI'F KEPADA UMAT ISLAM [a]. Perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah Ada yang perlu saya tambahkan dari perkataan Imam an-Nawawy di atas tentang penggunaan lafazh tamridh:"ruwiya, yuhkay, dzukira" dan yang seperti itu untuk hadits dha’if. Zaman sekarang ini penggunaan lafazh-lafazh itu tidak-lah mencukupi, karena ummat Islam banyak yang tidak mengetahui hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan tidak faham pula kitab-kitab hadits sehu-bungan dengan masalah itu dan tidak mengerti pula apa maksud perkataan khatib di mimbar mengucapkan: “Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Bahwa yang dimaksud khatib yaitu hadits itu dha’if, sedangkan mereka banyak yang tidak faham. Maka, wa-jib bagi ulama untuk menjelaskan hal yang demikian itu sebagaimana yang disebutkan oleh Atsar dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Artinya : Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa-apa yang mereka ketahui, apakah kamu suka mereka itu dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya?!” [HR. Al-Bukhari, Fat-hul Bari (I/225), lihat Shahih Targhib wat Tarhiib (hal. 52), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1421 dan Tamaamul Minnah (hal. 39-40) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany] [b]. Perkataan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir Aku berpendapat (sekarang ini) wajib menerangkan hadits-hadits yang dha’if di

http://orido.wordpress.com

25

Hadith of the Day dalam setiap keadaan (dan setiap waktu), karena bila tidak diterangkan kepada ummat Islam tentang hadits-hadits dha’if, maka orang yang mem-baca kitab (atau mendengarkan) akan menyangka bahwa hadits itu shahih, lebih-lebih bila yang menukilnya atau menyampaikannya itu dari kalangan ulama Ahli Hadits. Hal tersebut karena ummat Islam yang awam menjadikan kitab dan ucapan ulama itu sebagai pegangan bagi mereka. Kita wajib menerangkan hadits-hadits dha’if dan tidak boleh mengamalkannya baik dalam ahkam maupun dalam masalah fadhaa-ilul a’maal dan lain-lainnya. Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah (berdalil) melainkan dengan apa-apa yang sah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari haditshadits shahih atau hasan. [Lihat al-Ba’itsul Hadits Syarah Ikhtishar ‘Uluumil Hadits oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal. 76), cet. Maktabah Daarut Turats th. 1399 H atau I/278, ta’liq: Syaikh Imam al-Albany cet. I Daarul ‘Ashimah th. 1415 H] AKIBAT TASAAHUL DALAM MERIWAYATKAN HADITS DHAIF Tasaahul (bermudah-mudah)nya para ulama, ustadz, kyai, dalam menulis dan menyampaikan hadits dha’if tanpa disertai keterangan tentang kelemahannya merupakan faktor penyebab yang terkuat yang mendorong ummat Islam melakukan bid’ah-bid’ah di dalam agama dan ke-banyakan dalam masalah-masalah ibadah. Umumnya ummat Islam menjadikan pokok pegangan mereka dalam masalah ibadah dari hadits-hadits lemah dan bathil bahkan maudhu’ (palsu), seperti melaksanakan shalat dan puasa Raghaa-ib di awal bulan Rajab, malam pertengahan (nisfu Sya’ban), berpuasa di siang harinya, mengadakan perayaan maulud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Diba’an, baca Barzanji, Yasinan, malam Isra’ Mi’raj dan lain-lain. Akibat tasaahul-nya para ulama, ustadz dan kyai, maka banyak dari ummat Islam yang masih mempertahankan bid’ah-bid’ah itu dan menghidup-hidupkannya. Berarti ada dua bahaya besar yang akan menimpa ummat Islam dengan membawakan hadits-hadits dha’if: Pertama. Terkena ancaman berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diancam masuk Neraka. Kedua Timbulnya bid’ah yang berakibat sesat dan di-ancam masuk Neraka, na’udzubillah min dzaalik. "Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.” [Hadits shahih riwayat an-Nasa-i (III/189), lihat Shahih Sunan Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)] KHATIMAH Mudah-mudahan kita terpelihara dari berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari me-lakukan bid’ah yang telah membuat ummat mundur, terbelakang, berpecah belah dan jauh dari petunjuk al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Keadaan seperti merupakan kendala bangkitnya ummat Islam. Wallaahu a’laam bish Shawaab. [Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M] ________ MARAAJI’ 1. Shahih al-Bukhari.

http://orido.wordpress.com

26

Hadith of the Day 2. Fat-hul Baari Syarah Shahiihil Bukhary, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar as-Asqalany. 3. Shahih Muslim. 4. Syarah Shahih Muslim, oleh Imam an-Nawawy. 5. Sunan Abi Dawud. 6. Sunan an-Nasa-i. 7. Sunan Ibnu Majah. 8. Jaami’ at-Tirmidzi. 9. Musnad Imam Ahmad. 10. Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim. 11. Majmu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. 12. Manaarul Munif fis Shahih wad Dha’if, oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. 13. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzhab, oleh Imam Nawawy. 14. Lisanul Mizaan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany. 15. Al-Qaulul Badi’ fii Fadhilas Shalah ‘ala Habibisy Syafi’i, oleh al-Hafizh as-Sakhawy. 16. Tanzihusy Syari’ah al-Marfu’ah, oleh Ibnu ‘Araq. 17. Ad-Dhu’afa Ibnu Hibban. 18. Qawa’idut Tahdits, oleh Jamaluddin al-Qasimy. 19. Al-Ba’itsul Hatsits fii Ikhtishaari ‘Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir. 20. Silsilah Ahaadits ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbany. 21. Dha’iif Jami’ush Shaghiir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany. 22. Shahiih Jami’ush Shaghiir oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany. 23. Tamaamul Minnah fii Takhriji Fiqhis Sunnah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbany. 24. Shahiih at-Targhib wat Tarhiib oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany. 25. ‘Uluumil Hadits wa Musthalahuhu oleh Dr. Subhi Shalih. 26. Al-Adzkaar, oleh Imam an-Nawawy.

http://orido.wordpress.com

27

Related Documents