tarif iklan hu pikiran rakyat 2007 <../../../iklan/index.html>
berita sms - pr mobile <../../../iklan/sms.htm>
*edisi cetak - kamis, 02 agustus 2007* sekilas pikiran rakyat <../../sekilas_pr.htm> <mailto:
[email protected]>
halaman utama
kontak redaksi
> *rubrik* utama <01-utama.htm> bandung raya <02-bandung.htm> jawa barat <03-jabar.htm> dalam negeri <04-dalamnegeri.htm> ekonomi & keuangan <06-ekonomi.htm> pendidikan <07-pendidikan.htm> olah raga <08-olahraga.htm> opini <09-opini.htm> > *sub rubrik* tajuk rencana <99tajuk.htm> kolom <99kolom.htm> info kita <99infokita.htm> berita keluarga <99beritakeluarga.htm> forum guru <99forumguru.htm> manajemen qalbu <99qalbu.htm> apa & siapa <99apasiapa.htm> surat pembaca <99suratpembaca.htm> sekilas bandung <99sekilasbandung.htm> sekilas daerah <99sekilasdaerah.htm> sekilas dalam negeri <99sekilasdalamnegeri.htm> sekilas ekonomi <99sekilasekonomi.htm> sekilas pendidikan <99sekilaspendidikan.htm> sekilas olah raga <99sekilasolahraga.htm> > *webmail* pikiran-rakyat.co.id > *arsip* pikiran rakyat <../../2007-pr.htm> teropong <../../2007-teropong.htm> selisik <../../2007-selisik.htm> belia <../../2007-belia.htm> gelora <../../2007-gelora.htm> kampus <../../2007-kampus.htm> cakrawala <../../2007-cakrawala.htm> otokir <../../2007-otokir.htm> khazanah <../../2007-khazanah.htm> geulis <../../2007-geulis.htm> pe er kecil <../../2007-percil.htm> pakuan <../../2007-pakuan.htm> bekasi raya-purwasuka <../../2007-purwasuka.htm> > *opini*
buku teks pelajaran yang merusak mutu pendidikan oleh tonggo anthon keluhan, seputar ekonomi, tentang peredaran buku teks pelajaran (btp) lewat sekolah sudah amat sering, dari masa pakai yang singkat hingga lebih dari harga pasar. dimensi lain adalah guru-guru "sok hebat" di mana orang tua murid dianggap tidak tahu cara membeli btp di toko/kota, padahal orang tua murid tidak meminta mereka untuk mencarikan btp. dimensi pertama berhubungan dengan kemiskinan merebak sehingga pelaku "memaksa" dan "dagang" oleh para guru akan memperparah ekonomi keluarga sehingga semakin banyak anak yang tidak bisa sekolah. akan tetapi, dimensi kedua berhubungan dengan etika (moral), di mana orang tua murid tidak dibiarkan berkembang sebagai manusia yang mandiri dan memiliki otoritas atas hidupnya. sebagai salah satu elemen proses, apakah kehadiran btp di sekolah menjamin tercapainya tujuan pendidikan? atau, btp dapat memperburuk mutu pendidikan kita? buku yang baik adalah buku yang berisi tentang kebenaran fakta, yang disusun dengan sistematika yang bagus, dan yang menggunakan bahasa yang baik dan benar. kebenaran fakta menyangkut keutuhan konsep sebab-akibat yang memuat tentang apa dan mengapa serta bagaimana. bahasa yang baik dan benar adalah yang memenuhi asas gramatikal, yang menggunakan kalimat, kata, tanda baca, ejaan yang benar, logis, dan (konteks pendidikan) menumbuhkembangkan sikap kritis anak serta merangsang anak untuk kreatif. ini berarti, selain btp harus menyampaikan tentang perkembangan terkini, juga mengondisikan anak-anak untuk berpikir bebas. selama mendampingi putra-putri belajar, saya belum temukan btp (termasuk yang dikeluarkan/disahkan pemerintah) yang baik. dari ketuntasan konsep, banyak btp membahas sebuah konsep tidak tuntas materi. yang paling sering dibahas adalah nama dan manfaatnya, misalnya air (nama) untuk minum-cuci-mandi-menyiram (manfaat). ketika ditanya "apa itu air", anak menjawab "air adalah untuk minum, mandi, cuci, dan siram". namun, ketika ditanya "apa guna air", jawabnya, "untuk mandi, cuci, minum, dan siram". dari "apa itu" dan "apa gunanya", jawabnya sama! ketika btp tidak membahas tuntas konsepnya, sulit bagi anak untuk memahami secara benar sesuai dengan faktanya. btp pun tidak membangun argumentasi yang kuat tentang suatu pendapat. misalnya, anak-anak harus hormat pada orang tua dan guru, tetapi tidak menjawab tuntas kenapa anak-anak harus menghormati orang tua dan guru? paling jauh menyampaikan bahwa karena orang tualah yang melahirkan/membesarkan dan gurulah yang mendidik mereka. argumen ini membuat anak memahami dan mempraktikkan secara salah, terhadap orang yang tidak melahirkan dan mendidiknya, tidak perlu menghormatinya, termasuk orang tua dan guru pun tidak layak menghormati anak-anak. ingat, pelaku kejahatan di luar rumah dan sekolah sering kali mencengangkan orang tua dan guru karena terhadap merekalah anak-anak menghormati, tetapi terhadap orang lain malah membuas! banyak orang tua teroris kaget dan tidak percaya kalau anak-anak mereka membunuh karena yang mereka alami adalah anak-anak mereka ramah, sopan, dan menghormati mereka. dalam argumentasi yang tidak logis akan menghasilkan sikap fatal bagi masa depan anak. btp pun memuat informasi yang menyesatkan! gosok gigi dua kali sehari, warna genteng coklat, gizi harus "empat sehat lima sempurna", dll. bila
sudah maju, makan lebih dari dua kali sehari dan tidur lebih dari satu kali sehari, maka sikat gigi dua kali sehari mengakibatkan gigi rusak! artis sudah sikat gigi dua kali sehari, tetapi giginya tetap coklat, kuning, hijau. zaman dulu masih miskin, makan paling banyak dua kali sehari, jarang tidur siang sehingga sikat gigi dua kali sehari pun tidak ada masalah! dulu genteng dari tanah liat yang dibakar sehingga warnanya selalu coklat seperti yang ditulis dalam btp! kini genteng masuk pabrik dan terbuat dari semen (jadi abu-abu), aluminium (jadi putih), kaca (jadi bening), dan dari plastik (warnanya suka-suka). jadi, btp mengatakan warna genteng selalu coklat atau merah sudah salah. anak menjawab warna genteng sesuai dengan kenyataan perkembangan iptek, dianggap salah oleh gurunya. banyak anak makan "empat sehat lima sempurna", namun kesehatannya tetap buruk (kekurusan, kegemukan, dll)! hal ini karena salah satu atau hanya sebagian aspek gizi yang dominan, sedangkan aspek lainnya minim! paradigma yang baru adalah 'gizi seimbang', di mana komposisi (jumlahnya) sesuai dengan keadaan tubuh orang. jadi, btp yang menganut paradigma yang salah akan merusak kehidupan dan menyulitkan anak dalam komunikasi. banyak btp menggunakan bahasa yang salah, baik tata paragraf, kalimat, maupun penggunaan terminologinya! bagi anak yang berbahasanya sudah baik dan benar dari rumah, akan kesulitan memahami isi buku yang ditulis dengan bahasa yang rusak. padahal sekolah harus menjadi agen pembudayaan berbahasa yang baik dan benar. terakhir, btp tidak mengindahkan metodologi pengembangan sikap akademik anak. antara lain, pertanyaan terbuka, tetapi jawabannya tertutup. misalnya, pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat untuk soal "apa rasa pisang", jawaban yang tersedia: (a) asam, (b) pahit, (c) manis, dan (d) pedas. btp dan guru mengklaim bahwa jawaban c (manis) yang paling tepat sehingga anak yang memilih a, b, atau d akan salah. "rasa pisang" di sini tidak dapat diartikan sebagai buah pisang yang matang. maknanya ganda! pisang terdiri atas akar, batang, daun, jantung, dan buah. bisa juga dalam keadaan mentah, matang, bahkan kering. rasa akar (basah/kering), batang (basah/kering), daun (basah/kering), jantung (basah/kering), buah (basah/mentah/matang/kering) sudah bermacam-macam. bila setiap bagiannya dicicipi dalam keadaan berbeda-beda, rasanya pun bermacam-macam, bisa asam, pahit, manis, dan cepat. ketika soalnya ganda (terbuka), sedangkan jawabannya tunggal (tertutup), akan merusak proses berpikir kritis (sikap ilmiah) anak, termasuk tidak memberi stimulasi pembelahan sel otak anak (terutama paud, /play group/, tk, sd, smp, dan sma). dalam soal terbuka, jawabannya harus terbuka! apa pun jawaban anak, sepanjang masih sesuai dengan faktanya, sah-sah saja. oleh karena itu, btp harus siapkan jawaban alternatif untuk anak menjawab sesuai dengan pengalamannya, misalnya: (e) semua jawaban tadi salah, (f) semua jawaban tadi benar, dan (g) ... (diharapkan anak isi sendiri). atau, soalnya dibuat pemahaman tunggal, misalnya rasa akar pisang mentah, rasa buah pisang matang, rasa daun pisang kering, dstnya. jadi, dalam membuat soal membutuhkan dimensi yang luas, termasuk tumbuh kembang sel otak dan sikap ilmiah anak. btp selama ini masih jauh dari ideal!
realitas mutu btp seperti itu, berarti peredaran btp jelek sangat leluasa masuk sekolah! ini berarti tidak ada filterisasi terhadap buku "sampah" masuk sekolah. regulasi yang tidak tuntas mekanisme masuknya btp ke sekolah sudah diatur melalui peraturan mendiknas (permendiknas) no. 11 tahun 2005, tentang buku teks pelajaran. pasal 3 mengamanatkan bahwa btp harus ditetapkan oleh menteri atas rekomendasi badan standar nasional pendidikan (bsnp) (ayat 1), untuk muatan lokal ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota (ayat 2), dan penerbit selalu mencantumkan label harga (ayat 3). meski demikian, tidak semua btp yang masuk sekolah adalah yang ditetapkan mendiknas dan tidak berlabel harga, dan ada yang nama dan alamat penerbitnya tidak ada. masuknya btp harus melalui rapat dewan guru dan komite sekolah (pasal 5 ayat 1, 2, dan 3). bahkan pelajaran tertentu yang btp-nya belum ditetapkan mendiknas, rapat dewan guru, dan komite sekolah boleh menentukan sendiri (pasal 6). walau demikian, guru tidak berhak mewajibkan (termasuk mengirim buku lewat anak) orang tua untuk membeli (pasal 8 ayat (1 dan 2), melainkan membeli sendiri di pasar (pasal 8 ayat (3)). bagi anak yang tidak mampu, sekolah wajib menyediakan (pasal 8 ayat (4)). jadi, kunci utamanya dalam memasukkan buku-buku sampah adalah guru. regulasi ini mengasumsikan dua realita lapangan yang /visible/, yaitu: (1) kualitas guru harus memadai untuk menilai btp yang baik dan yang jelek, dan (2) kedudukan riil komite sekolah memiliki kekuatan yang sejajar atau lebih tinggi dari dewan guru sehingga suara atau persetujuan mereka menjadi mutlak bagi kebijakan sekolah/guru. data empiris menunjukkan, misalnya sering dikemukakan prof. ki supriyoko, bahwa 60-an persen guru-guru kita (kualifikasinya) tidak layak. realita ini berarti menilai sebuah buku (materi, sistematika, dan bahasa) adalah pekerjaan yang sulit dilakukan oleh para guru. guru berkualitas (30-an persennya) bisa saja memiliki kemampuan memilih buku bermutu, tetapi mereka pun (mungkin) tergoda dengan diskon dan hadiah yang diberikan penerbit. hal ini berhubungan dengan gaji yang kecil dan gaya hidup ingin tampil mewah. sementara itu, kebanyakan penulis btp berasal dari guru, baik dengan motivasi pengembangan diri maupun sekadar memenuhi syarat bahwa guru golongan iv wajib menulis buku (bila ingin naik pangkat). kebutuhan guru dipahami oleh penerbit sehingga dengan bayaran kecil dan kekuasaan guru, maka naskah para guru dan btp mudah beredar di sekolah. apa lagi banyak orang tua murid yang mendewakan nilai, peringkat, dan kelulusan anaknya, maka perilaku guru dalam menghadirkan btp jelek sulit dibendung. keputusan mendiknas (kepmendiknas) no. 044/u/2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah memberi kekuasaan kepada komite sekolah cukup tinggi. dari proses pembentukannya yang demokratis, keanggotaannya yang terdiri atas masyarakat-guru/yayasan-pemerintah, fungsinya (pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol, dan mediator antara pemerintah dan masyarakat), hingga tata hubungannya yang koordinatif /(panduan umum dewan pendidikan dan komite sekolah, /dirjen dikdasmen. 2002. 17 & 51).
sayangnya kedudukan ini masih di atas kertas, belum sampai pada tingkat implementasi. realitanya, komite sekolah dibentuk oleh guru dan fungsinya untuk "menyetujui" dan "mendukung" setiap keputusan sekolah/guru. ditambah dengan (di banyak sekolah) mutu sdm komite sekolah cukup rendah dan pengurus/anggotanya terdiri atas orang tua murid (yang "mendewakan" para guru), maka setiap btp yang diinginkan guru dengan leluasa beredar di sekolah. orang tua murid yang gigih membela kebenaran dipandang sebagai perusuh /status quo/ di sekolah. jadi, regulasi tentang btp memiliki dua kendala: (1) tidak dituntaskan oleh pemberdayaan guru agar memiliki kemampuan akademik memadai sehingga bisa memilah btp yang baik dan yang jelek, dan (2) pemerintah belum serius melaksanakan kepmendiknas no. 044/u/2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah, sehingga realita kedudukan dan fungsi komite sekolah sangat lemah di mata para guru. fenomena ini menunjukkan bahwa bsnp, guru, dan komite sekolah masih belum bisa dipercayakan sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam menilai mutu btp. lewat uu no. 14 tahun 2005 (tentang guru dan dosen) dan permendiknas no. 18/2007 (tentang sertifikasi guru dalam jabatan) sudah mengatur soal peningkatan mutu guru. namun, mutu guru masih ditentukan oleh pendidikan formal sarjana (s-1) dan akta mengajar (d-4). peningkatan mutu guru tidak sama dengan program sertifikasi s-1 dan d-4 yang membuat guru melanjutkan studi ke universitas kelas rendah dan dengan etos belajar rendah (hanya berorientasi administratif). program ini menghambur biaya. hal ini termasuk dengan setiap guru s-1 dan d-4 belum tentu terampil menilai kualitas btp. oleh karena itu, dalam meletakkan peran positif btp, program yang harus dilakukan di masa depan adalah: (1) harus ada doktrin formal dari pemerintah agar para guru tidak menjadikan btp sebagai buku-suci yang sepi dari kritikan, melainkan btp hanya sebagai pegangan, sedangkan dalam proses belajar-mengajar (pb) guru dan murid bisa mengkritisi isinya, (2) harus ada program sertifikasi editorial untuk para guru maupun calon guru, (3) pemerintah memprakarsai agar setiap sekolah harus memiliki komite penilai kelayakan btp yang anggotanya dari tim independen yang ahli, (4) segera mereformasi bsnp (rekrutmennya), dan (5) pemberdayaan komite sekolah di mana pemerintah melaksanakan program sosialisasi dan implementasi kepmendiknas no. 044/u/2002 (termasuk mengawal implementasinya di setiap sekolah).*** /penulis/, /mantan pengurus komite sekolah di salah satu sekolah di yogyakarta./ > *suplemen* suplemen kampus suplemen cakrawala > *iklan mini baris* hotel komputer lowongan kerja mobil
rumah sepeda motor telepon (c) 2006 - pikiran rakyat bandung dikelola oleh pusat data redaksi <mailto:[email protected]> (unit: cyber media-dokumentasi digital) kembali ke atas <#atas>