BAB I PENDAHULUAN
I
lmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu
diturunkan melalui Nabi Muhammmad SAW, karena rujukan utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan diturunkannya Al-quran dan masa kehidupan Rasulullah SAW. Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi
1
kebutuhan hidup aktivitas ekonomi dimulai dari zaman Nabi Adam hingga detik ini. Meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan setiap masa manusia mencari cara untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan ketentuan kebutuhannya. Islam pada awal kejayaannya di masa Rasulullah juga memiliki konsep sistem ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk mengatasai permasalahan ekonomi yang ada saat ini. Istilah ekonomi syariah dalam wacana pemikiran ekonomi Islam kontemporer kerap diidentifikasi dengan berbagai sebutan yang berbeda. Ada yang menyebutnya dengan istilah “Ekonomi Islam”, “Ekonomi Ilahiyah”, atau “ekonomi qurani”. Bahkan ada pula yang menyebutnya “Ekonomi rahmatan lil „alamin”. Dalam pengkajian ilmu ekonomi, subjek tentang sejarah memiliki porsi yang sangat penting. Sejarah pemikiran ekonomi memiliki signifikasi yang sangat kuat dalam pengembangan ilmu ekonomi. Pembahasan tentang sejarah pemikiran ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan pemikiran dan korelasinya antara satu generasi dengan pemikiran
generasi
berikiutnya.
Bagaimanapun,
produk
pemikiran pemikiran yang muncul pada hakikatnya merupakan perkembangan pemeikiran ekonomi sebelumnya. Hal yang sama terjadi pada perkembangan pemikiran ekonomi islam, di
2
mana pemikiran ekonomi islam melalui rangkaian sejarah yang sangat panjang. Perkembangan pemikiran ekonomi islam itu dimulai sejak abad ke-2 H atau abad ke-8 M. Perkembsngsn pemikirsn ini terus tumbuh hingga sampai abad ke-8 H atau abad ke-14 M. Berbagai produk pemikiran yang tercermin dalam kitab telah muncul, baik dalam koteks ekonomi makro ataupun mikro (Yadi Janwari, pemikiran ekonomi Islam, hlm:2).
3
BAB II SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI PADA MASA RASULULLAH SAW
A. Pemikiran Ekonomi Islam Masa Rasulullah Saw Membicarakan
Rasulullah
SAW
dari
sudut
pandang
manapun tidak akan ada habisnya, termasuk membicarakan dari sudut pandang ekonomi. Oleh karena itu pemaparan dalam paket ini hanya point-point pentingnya saja dari pemikiran ekonomi Islam yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Sebenarnya fase Rasulullah SAW dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Beliau (11 H./632 M.). Namun latar belakang budaya dan kehidupan Nabi SAW pada masa kecil sangat mempengaruhi corak pemikiran ekonomi Islam yang kemudian berkembang. Oleh karena itu masa sebelum kenabian mesti dibahas pula dalam paket ini. Yang dimaksud budaya disini adalah perilaku masyarakat yang telah turun temurun dilakukan, 4
misalnya masyarakat Arab ketika berbisnis lebih menekankan pada perdagangan, seperti dilukiskan dalam surat Quraish; َّاِنَّ َعلَ ْينَا َج ْمعَهَّ َوقُ ْر ٰانَهَّ َّۚ فَ ِاذَا قَ َرأْ ٰن َّهُ فَاتبِ َّْع قُ ْر ٰانَه “karena kebiasaan orang-orang Quraish (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas..” (QS Al Quraish: 1-2) Perjalanan yang dilakukan oleh orang-orang Quraish adalah perjalan dagang. Pada musim panas mereka mengadakan perjalan ke negeri Syam dan pada musim dingin mereka mengadakan perjalanan ke negeri Yaman. Demikianlah Rasulullah SAW ketika masih kecil hidup di lingkungan perdagangan sehingga beliau juga memulai profesi bisnisnya sebagai pedagang. Oleh karena itu kita bahas lebih dahulu bagaimana perilaku bisnis Nabi SAW ketika masih kecil hingga menjelang kenabian. Magang (usia 12 tahun) Sebelum Kenabian
Sebelum Menikah (Project Manager) Setelah Menikah (Joint Owner & Supersior)
Aspek Prekonomian Rasulullah Setelah Kenabian
Periode Makkah (untuk perjuangan) Periode Madinah (Membangun Ekonomi)
5
Bisnis Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian sudah maklum bahwa Muhammad SAW sejak kecil tinggal di lingkungan Quraish. Secara umum, bangsa Quraish memiliki rute perjalanan dagang yang didasarkan pada perubahan cuaca. Pada musim panas, dilakukan perjalan dagang ke utara, antara lain ke Syria, Yordania, Palestina dan Lebanon. Bahkan sampai Turki dan perbatasan Eropa Barat. Sementara pada musim dingin, mereka melakukan perjalanan dagang ke selatan, yaitu ke Yaman dan Ethiopia karena cuaca lebih hangat. Selanjutnya, karena tumbuh dalam lingkungan dagang, maka Muhammad SAW pun berprofesi sebagai pedagang. Profesi ini diawali dari aktifitas magang (internship) pada usia 12 tahun saat mengikuti kafilah dagang pamannya yaitu kafilah Abu Thalib ke Syam. Perdagangan ini menempuh jarak lebih dari 1.500 kilometer dan melewati lebih dari tiga negara. Dalam perjalanan dagang tersebut, Muhammad SAW melewati Madyan, Wadil Qura serta peninggalan bangunanbangunan Tsamud. Di Syam, Muhammad SAW juga mendapatkan banyak berita tentang kerajaan Romawi, agama Kristen serta Injil. Jadi walaupun baru berusia 12 tahun, beliau
sudah
mempunyai
persiapan
kebesaran
jiwa,
kecerdasan, ketajaman otak, mempunyai pengamatan yang mendalam serta ingatan yang kuat. Untuk anak usia 12 tahun, magang dagang ke wilayah Syam merupakan hal yang istimewa karena Syam merupakan 6
kota besar dan salah satu kota perdagangan dunia saat itu. Pengalaman dagang inilah yang kelak akan membentuk pribadi Muhammad SAW sebagai seorang entrepreneur sejati dengan segala sikap positif yang dimilikinya. Pada usia 17 tahun Muhammad SAW mulai membuka usaha sendiri di Mekkah. Pada saat itu beliau membeli barang dari pasar dan di jual kepada orang yang membutuhkan. Beliau telah menjadi seorang business manager. Pada usia 24 tahun, beliau sudah mulai mengelola modal dari para investor, seperti Khadijah ra dan titipan dari anak-anak yatim kaya yang tidak mampu mengelola hartanya. Mereka sangat mempercayai Muhammad SAW sehingga mereka menyebut Muhammad SAW sebagai al Amīn. Dalam dunia bisnis modern, posisi ini disebut investment manager. Pada usia 25 tahun saat beliau menikah dengan Khadijah ra, beliau tetap menjalankan bisnisnya dan mengelola bisnis istrinya. Sekalipun demikian beliau juga tetap menjalin aliansi bisnis dengan para investor Mekkah. Pada saat itu beliau sebagai joint owner and business supervisor. Meskipun berbaur dan berinteraksi dengan kaum Quraish, namun dalam aplikasinya praktek dagang yang dilakukan
Muhammad
SAW
terbebas
dari
nilai-nilai
jahiliyah, seperti riba, judi, menipu, menyembunyikan cacat, mencuri, merampok, dan lain-lain. Pada saat itu
7
justru Nabi melakukan praktek jual beli yang benar serta praktek syirkah mudharabah yang pernah dilakukannya bersama dengan Khadijah ra. Baik sebelum menikah maupun setelah menikah, Nabi SAW tetap berprofesi sebagai pedagang. Hanya saja terdapat perbedaan status dalam usaha perdagangan beliau. Jika sebelum menikah, maka posisi Nabi SAW sebagai project manager atau mudharib bagi Khadijah. Setelah menikah, beliau menjadi joint owner dan supervisor bagi agen-agen dagang Khadijah. Pada usia 37 tahun beliau secara ekonomi telah mengalami financial freedom atau kebebasan finansial. Artinya beliau tidak perlu lagi bekerja karena investasi bisnis yang beliau lakukan telah menghasilkan banyak pemasukan. Pada saat itu tersedia cukup banyak waktu bagi beliau untuk memikirkan masyarakat jahiliyah hingga beliau diutus menjadi seorang Rasul.
B. Titik Tolak Penerapan Ekonomi Islam Masa kenabian selama berada di Makkah setelah kenabian, posisi Nabi SAW sebagai pemimpin jamaah dakwah. Belum banyak kebijakan publik yang beliau sampaikan. Beliau masih fokus pada penanaman aqidah dan penguatan ruh keIslaman. Oleh karena itu persoalan ekonomi di masa itu masih sebatas pada aktifitas yang menekankan
8
pada kejujuran dan saling membantu perekonomian sesama muslim. Keadaan jamaah Nabi SAW makin hari makin tertekan karena himpitan, penentangan, provokasi dan boikot dari Quraish. Pada saat seperti ini justru kondisi perekonomian Nabi SAW semakin memprihatinkan. Bahkan pada masa sulit ini paman beliau Abdul Muthalib dan istri tercinta beliau Khadijah wafat. Tidak hanya beliau, kondisi para sahabat juga sangat mengkhawatirkan. Namun keadaan mulai berubah ketika beberapa kelompok penduduk kota Yatsrib yang terdiri dari kaum Aus dan Khajraj yang
selama
ini
bertikai
berinisiatif
menemui
Nabi
Muhammad SAW yang terkenal dengan sifat alamin (terpercaya) untuk memintanya agar menjadi pamimpin mereka. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi SAW dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan Islam. Maka berdasarkan perintah Allah SWT, Muhammad SAW dan para sahabat beliau berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian di kota yang bertanah subur ini Rasulullah SAW disambut hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu, kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah. Keberadaan Rasulullah SAW sebagai kepala negara Madinah membawa perubahan drastis dalam kehidupan masyarakat Madinah. Kehidupan menjadi lebih teratur dan tertata dengan baik. Hal utama yang dilakukan oleh Rasulullah 9
SAW adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik dilingkungan
keluarga,
masyarakat,
institusi,
maupun
pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Adapun sebagian langkah-langkah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai berikut: 1) Membangun masjid Di masjid inilah Rasulullah SAW menjalankan roda pemerintahan dan mengatur kehidupan masyarakat Madinah. 2) Memberdayakan kaum Muhajirin Rasulullah SAW memberdayakan kaum muhajirin dengan cara memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi mereka.
Di
kota
Madinah,
Rasulullah
SAW
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan kaum Muhajirin lebih cepat diraih karena persaudaraan tersebut. Bahkan beberapa orang Muhajirin yang sangat terampil dalam berdagang menjadi pesat perekonomiannya. Diantara mereka adalah Usman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. 3) Membuat konstitusi negara Rasulullah SAW menyusun konstitusi negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi negara Madinah ini, pemerintahan
10
menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik muslim maupun non muslim, serta sistem pertanahan dan keamanan negara. Pada tataran ini Rasulullah SAW telah membangun sebuah sistem ekonomi yang menjadi pondasi bagi pembangunan sistem ekonomi pada masa-masa selanjutnya. Bagaimanapun juga, sebuah sistem ekonomi akan selalu berkaitan dengan sistem-sistem lainnya seperti sistem sosial, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan sistem politik. Diantara sistem ekonomi yang konstitusional adalah perlakuan terhadap anfal, ghanimah, fa‟i, dan kharaj. 4) Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara lebih spesifik Rasulullah SAW meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan al-Quran. Seluruh paradigma berpikir dibidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur‟ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Oleh karena itu segala jenis perekonomian dan transaksi keuangan yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dihapuskan seperti praktek jual beli yang tidak jelas atau gharar, jual beli ribawi, hutang piutang ribawi, dan sebagainya.
11
C. Bangunan Sistem Ekonomi Islam Di Masa Rasulullah SAW Madinah merupakan negara yang baru terbentuk. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar system keuangan negara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu sehingga Islam sebagai sebuah agama dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat. Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Qur‟ani. Al-Qur‟an merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas disetiap aspek kehidupannya, termasuk dibidang ekonomi. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan di dunia ini. Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah manusia diberi kebebasan unutuk mencari nafkah sesuai dengan hokum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam. Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak penuh untuk dapat memiliki penghasilan atau memperoleh harta kekayaan secara legal sehingga dapat menunaikan kewajiban agamanya dengan baik. 12
Disamping
itu,
al-Qur‟an
memerintahkan
kepada
seseorang yang memiliki harta berlimpah agar berwasiat sebelum meninggal dunia. Dari keseluruhan jumlah harta kekayaannya, seseorang diperkenankan berwasiat sebanyak sepertiga dan sisinya yang berjumlah dua pertiga harus dibagibagikan kepada para ahli warisnya sesuai dengan syariah Islam. Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas melarang segala bentuk praktik ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara
ribawi adalah
sah jelas
merupakan
pendapatan yang keliru dan menyesatkan karena praktik – praktik ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apapun. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan al-Qur‟an sebagai berikut: a.
Allah SWT adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolute seluruh alam semesta.
b.
Manusia hanyalah khalifah Allah SWT di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
c.
Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah SWT.
13
d.
Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
e.
Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya merupakan riba yang harus dihilangkan.
f.
Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
g.
Menetapkan berbagai bentuk sedekah baik yang bersifat wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu. Selanjutnya berkaitan dengan bangunan sistem ekonomi
Islam ini, Rasulullah telah menetapkan berbagai kebijakan fiskal sebagai bagian dari politik ekonomi pada saat itu. Secara sederhana kebijakan fiskal di masa Nabi SAW tergambar dalam sistem sebagai berikut:
1.
Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Ansar.
2.
Kaum
Ansar
dihimbau
oleh
Rasulullah
untuk
membukakan lapangan pekerjaan bagi kaum Muhajirin, sehingga
meningkatkan
pendapatan
negara
dengan
mengimplementasikan akad muzara‟ah, musaqah, dan mudarabah. 3.
Kebijakan pajak pada para pedagang dari luar Madinah menyebabkan
terciptanya
kestabilan
harga
dan
mengurangi tingkat inflasi. 14
4.
Pengaturan APBN yang dilakukan Rasulullah SAW secara cermat, efektif dan efisien, menyebabkan jarang terjadi defisit anggaran meskipun sering terjadi peperangan.
5.
Rasulullah menerapkan kebijakan meminta bantuan kaum Muslimin secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslimin serta menerapkan kebijakan insentif untuk menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi kerja dan produksi kaum muslimin.
D. Harta Negara Di Masa Rasulullah SAW Pada masa ini karakteristik pekerjaan masih sangat sederhana dan tidak memperlukan perhatian yang penuh. Rasulullah SAW sendiri adalah seorang kepala Negara yang juga merangkap sebagai ketua Mahkamah Agung, mufti besar, panglima perang tertinggi, serta penanggung jawab seluruh administrasi Negara. Pada masa Rasulullah SAW ini, ketentuan yang mengatur tata cara pembagian harta rampasan perang (ghanimah) sepenuhnya ditentukan oleh Rasulullah SAW berdasarkan wahyu. Sedangkan pengaturan keuangan secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut. Sumber-sumber
pendapatan
negara,
sumber-sumber
pendapatan Negara pada masa Rasulullah SAW adalah zakat dan ushr. Keduanya berbeda dengan pajak sehingga tidak diperlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan salah satunya termasuk rukun Islam. 15
Pengeluaran untuk keduanya sudah diuraikan secara jelas dalam alQuran. Pada masa Rasulullah SAW zakat dikenakan pada hal berikut: 1.
Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
2.
Benda logam yang terbuat dari perak seperti: koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
3.
Binatang ternak seperti: unta, sapi, domba, kambing.
4.
Berbagai jenis barang dagangan, termasuk budak dan hewan
5.
Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6.
Luqathah, harta benda yang ditinggalkan musuh
7.
Barang temuan Selain sumber-sumber
pendapatan Negara
tersebut,
terdapat beberapa sumber pendapatan lainnya yang bersifat tambahan, antara lain sebagai berikut: 1.
Uang tebusan pada tawanan perang, khususnya perang Badar.
2.
Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk pembayaran diyat kaum muslimin bani Judzaimah atau sebelum pertempuran Khawazin sebesar 30.000 dirham dari Abdullah
16
3.
Rabi‟ah serta meminjam beberapa pakaian dan hewan tunggangan dari Abu Sofyan bin Umayyah.
4.
Khums atas rikaz atau harta karun.
5.
Amwal fadhilah yakni harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris/ harta seorang muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkan negaranya.
6.
Waqaf, yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di bayt al-māl.
7.
Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum mulimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat yang pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
8.
Zakat fitrah.
9.
Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kafarat.
E. Pos-Pos Pengeluaran Negara Setalah turunnya surat al-Anfal pada tahun kedua hijriyah, maka tata cara pembagian harta ghanimah ditentukan dengan formulasi sebagai berikut: a.
Seperlima bagian untuk Allah SWT dan Rasul-Nya, dan untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang miskin dan para musafir. Bagian seperlima ini dikenal dengan sebutan atau istilah khums. Rasulullah SAW membaginya menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama untuk dirinya dan
17
keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan bagian ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan para musafir. b.
Empat seperlima bagiannya diberikan kepada anggota pasukan yang terlibat peperangan. Penunggang kuda memperoleh dua bagian, yakni untuk dirinya sendiri dan kudanya. Pada masa Rasulullah SAW catatan keuangan masih
belum terperinci. Namun demikian hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah SAW dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus al-lutbighah, pengumpul zakat dari bani Sulaim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini Rasulullah SAW sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta. Dalam masa ini setiap pembagian disesuaikan dengan kondisi materialnya. Bagi orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum menikah.
F. Bayt Al-Māl Di Masa Rasulullah Saw Sebelum
Islam
hadir,
pemerintahan
suatu
negara
dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan 18
perbendaharaan Negara. Dalam negara Islam kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan perintah al-Quran. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Sebagai seorang kepala Negara, Rasulullah SAW tidak menggangap dirinya sebagai raja, tetapi sebagai seorang yang diberi amanat untuk mengatur urusan Negara dan umat manusia secara keseluruhan. Pada masa Rasulullah, harta yang merupakan sumber pendapatan Negara disimpan di Masjid dalam jangka waktu singkat untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikitpun. Pada masa itu, bayt al-māl belum memiliki bagian-bagian tertentu, walaupun beliau SAW telah mengangkat para penulis yang bertugas mencatat harta. Pada saat itu beliau telah mengangkat Mu‟aiqib bin Abi Fatimah ad-Dausiy sebagai penulis harta ghanimah, al-Zubair bin al-Awwam sebagai penulis harta zakat, Hudzaifah bin alYaman sebagai penulis harga hasil pertanian daerah Hijaz, Abdullah bin Rawahah sebagai penulis harga hasil pertanian daerah Khaibar, al-Mughirah bin Syu‟bah sebagai penulis hutang piutang dan aktivitas muamalah yang dilakukan oleh negara, serta Abdullah bin Arqam sebagai penulis urusan masyarakat yang berkenaan dengan keperluan kabilah-kabilah termasuk kondisi pengairannya. Namun demikian, saat itu belum terbentuk bagian-bagian Baitul Mal, dan juga belum ada
19
tempat tertentu yang dikhususkan untuk penyimpanan arsip maupun ruangan bagi para penulis. Pada perkembangan berikutnya institusi ini berperan penting dalam bidang keuangan dan administrasi Negara terutama pada masa pemerintahan khulafa‟ al-rasyidin. Inilah cikal bakal adanya bayt al-māl dalam sistem ekonomi Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh para penerus beliau
G. Kesimpulan Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammmad SAW. Adapun sebagian langkah-langkah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai berikut. 1) Membangun masjid, 2) Memberdayakan kaum Muhajirin, 3) Membuat konstitusi negara. 4) Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara lebih spesifik. Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Qur‟ani. Al-Qur‟an merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas disetiap aspek kehidupannya, termasuk dibidang ekonomi. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi kehidupan 20
ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan di dunia ini. Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah manusia diberi kebebasan unutuk mencari nafkah sesuai dengan hokum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam
21
BAB III SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
A. Pembentukan Khilafah Pembentukan khilafah terjadi setelah rosululloh saw afatpada tahun 632 M. sebagai konsekuensi dari ajaran islam, dimana tidak boleh ada kekosongan kepemimpinan, maka setelah rasululloh saw
wafat dikursus tentang pengganti rasululloh sebagai
pemimpin umat sudah dimulai. Bahkan jenazah rasululloh tdak dikebumikan sebelum dia diangkat seorang khalifah pengganti sebagai kepemimpina n rasululloh saw. Pada masa itu perdebatan sengit terjadi antara dua kelompok umat
islam, yakni kaum
anshar madinah dan muhajirin mekah. Perdebatan ini selesai setelah abu bakar disepakati dan diangkat menjadi khalifah pertama pada masa khulafaur rasyidin. Dari sekian banyak kekhalifahan yang telah datang dan pergi selama empat belas abad atau lebih, khulafaur rasyidin adalah yang paling dihargai dan dihormati dalam pikiran umat islam. Ini adalah khalifah yang benar benar dibimbing, sebagaimana
22
dimaksud oleh umat islam, dan satu-satu nya masa khalifah terkait dengan kebenaran dan nilai-nilai yang spiritual. Khulafaur rasyidin berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yang terdiri dari abu bakar berkuasa elama 2 tahun, umar bin khattab berkuasa selama 10 tahun, usman bin affan yang berkuasa selama 12 tahun, dan ali bin abi thalib berkuasa selama tahu,. Keeempat khalifah ini adalah sahabat dekat rasulullah saw. Bahkan khalifah terakhir ali bin abi thalib adalah sepupu yang sekaligus menantu rasulullah saw. Abu bakar dan umar adalah ayah mertua rasulullah saw, sedangkan utsman adalah menantu rasulullah saw. Peran para khalifah khulafaur rasyidin dalam pengembangan kosnep-konsep
perekonomian
dalam
islam.hukum
islam
didalmnya termasuk asalah eknomi, pertama kali muncul dan disaksikan pada masa khulafaur rasyidin ini kemunculan regulasi isami terkait dengan ekonomi ini sangat dibutuhkan. Berbagai khalifah meerikan konstribusi terhadap pengembangan hukum ekonomi dalm beberapa cara and tingkatan yag berbeda satu dengan yang lain.
B. Pemikiran Ekonomi Abu Bakar Khalifah abu bakar adalah khalifah yang lembut hati, murah hati, sangat dekat dengan sahabat lain dan saleh,. Semua kutamaan dalam islam selalu dikaitkan dengan dirinya. Abu bakar aalah manusia pertama atau salah seorang dari tiga orang yang memeluk agama isla. Gelar “al-siddiq” selalu melekat pada
23
dirinya, yakni orang yang percaya kepada Nabi tanpa syarat dan apa yang dai katakana tanpa bayang-baang keraguan, terutama setelah informasi isra’ dan mi’raj dari mekah eru salem terus ke surge dan kembali lagi ke mekah dalam satu malam (perjalanan malam). Abu bakar adalah salah satu sahabat terdekat nabi dan orang yang dipilih oleh Muhammad saw. Untuk menemaninya pada saat hijrah ke Madinah kehormatan penting berikutnya datang ketika Nabi Muhammad saw memilihna untuk menjadi imam dlam shalat bejamaah ketika nabi Muhammad saw sakit. Setelah memeluk islam, abu bakar menghabiksan seluruhh kekayaan nya dijalan Allah. Bahkan ketika menghadapi perang suci (jihad), maka menyerahkan seluruh kekayaannya. Abu bakar selalu berkata “aku memerccayakan mereka kepada rasulullah dan Rasul-Nya” ketika ditanya oleh rasulullah tentan apa yang diberikan kepada keluaganya setelah menyumbangkan seua hartanya di jalan Allah. Masa kekhalifahan Abubakar itu haya berlagsung selama 2 tahun. Meskipun kekhalifahannya itu pendek, namun abu bakar telah berhail mendirikan kepemimpinanya pada masa yang krusial di awal islam setelah kematian rasulullah. Di adalah pemimpin yang kharismatik yang membantu mendapatkan penerimaan umum dari umat islam. Kekarismaan ini disebabkan karena kedekatanya dengan rasullah saw selama hidpnya, respons awalnya terhadap panggilan islam sebagai orang pertama yang
24
memeluk islam, pengabdian penuh kepada gerakan islam sejak masa awal, memiliki rasulullah saw. Menjadi imam shalat selama rasulullah saw sakit, dan fakta bahwa ia telah disebut dalam alqur’an pada lebih dari satu kesempatan. Fakta-fakta ini
tlah
memberi abu bakar prasyarat untuk melahirkan karakter pemimpin yang karismatik. Persoalan pertama, yang dihadapi abu bakar etelah diangkat menjadi khalifah adalah kemurtadan yang dilakukan oleh sebagian umat slam, riddah. Setelah rasalullah saw dinyatakan meninggal, maka beberapa saat kemudian suku membeerontak dan membantah untuk membayar zakat. Menurut abu bakar, tindakan ini tidak dapat diterima dan memandang gerakan tersebut sebagai acaman bagi islam, ancaman bagi persatuan umat islam, dan ancama terhadap itegritas agama. Dengan demikian, abu bakar mengamil keputusan untuk memerangi mereka yang berontak dan tida mau membayar zakat. Keputusan khalifah abu bakar pertama untuk memerangi pemberontak meskipun mereka itu muslim harus dilihat dari beberapa perspektif. Pertama faktor agama, dimana abu bakar melihat para pemberontak sepertinya bertujuan untuk memecah nilai-nilai dasar islam sebagai sebuah agama. Kedua, ada sebuah kebutuhan untuk menyatukan semenanjung Arab, khususnya dalam transisi masa Negara islam, dan untuk mengalihkan badui sebagai sebagai entitas politik yang koheren. Ketiga pertarungan
25
tak terletakkan untuk meneknkan peran khusus zakat sebagai alat alokasi dalam proses distribusi kekayaa dan kepedulian social. Zakat merupakan pajak yang mmengalokasikan pendapatan yang akan dibelanjaka dengan cara tertentu yang ditentukan dalam alqur’an. Keempat sumber daya keuangan Negara saat itu sangat terbatas. Negara islam pada khulafaur rasyidin tidak sangat kaya, sementara zakat merupakan sumber keuangan Negara saat itu. Padahal pada saat yang yang sama umat islam saat itu sangat membutuhkan bantuan keuangan yang berasal dari keuangan Negara.
C. Pemikiran Ekonomi Umar Bin Khatab Mekanisme pengangkatan Umar Bin Khattab sebagai khalifah berbeda dengan mekanisme pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Umar Bin Khattab diangkat menjadi khalifah dengan cara ditunjuk oleh khalifah sebelumnya. Kebijakan ini diambil oleh Abu Bakar dalam upaya meminimalisasi terjadinya konflik. Dengan begitu setelah Abu Bakar wafat secara otomatis Umar diangkat dan ditetapkan menjadi khalifah kedua sebagai pengganti Khalifah Abu Bakar. Umar Bin Khattab Lahir menjadi pemimpin yang paling terkemuka dan populer dalam sejarah Islam. Umar Bin Khattab adalah teladan untuk kesalehan, kesederhanaan, menjunjung tinggi keadilan dan kewajaran. Kefasihan bicara dan kemampuan intelektual yang sangat dihormati oleh umat Islam.
26
Pemikiran dan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Umar Bin Khattab sebenarnya merupakan refleksi dari pikirannya sendiri. Pemikiran dan kebijakannya itu terkadang sesuai dengan kebijakan Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar, tetapi terkadang pula menyimpang dari kebijakan-kebijakan yang populis. Perbedaan itu adalah perbedaan pendapat bukan perpecahan prinsip. Semangat Islam sebagai agama dan sistem ekonomi selalu diamati. Pemikiran ekonomi Umar Bin Khattab secara global dapat dieksplorasi sebagai berikut. 1.
Pemilikan sumber daya ekonomi Pemikiran dan kebijakan Umar Bin Khattab terkait dengan
pemilihan sumber daya ekonomi merupakan bentuk pembaharuan dalam sejarah pemikiran ekonomi. kebijakan Umar Bin Khattab yang populer terkait dengan tanah taklukan perang dengan menjadikan
sebagai
faktor
produksi.
Dalam
mengimplementasikan kebijakannya ini, Umar Bin Khattab memilih harta rampasan kepada dua bagian utama yakni harta bergerak dan harta tidak bergerak. Untuk harta bergerak Umar bin khatab memberlakukan ketentuan dalam Alquran, yakni seperlima untuk negara dan 4 per 5 nya lagi dibagikan kepada para prajurit. Untuk harta tidak bergerak seperti tanah ditetapkan untuk menjadi milik negara seluruhnya hak kepemilikan berada ditangan negara, sementara pengelolaan dan pemberdayaan
27
diserahkan kepada pemilik asal. Kemudian pengelola tanah dibebani kewajiban membayar pajak berupa pajak kharaj. Ada beberapa pertimbangan Mengapa Umar Bin Khattab menetapkan tanah rampasan perang menjadi hak negara. a.
Penyerahan tanah Taklukan kepada tentara muslim akan mengubah masyarakat Islam menjadi masyarakat feodal.
b. Kebijakan Umar Bin Khattab itu dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan distribusi kekayaan. c.
Kebijakan
Umar
bin
khatab
mempertimbangkan
kesejahteraan generasi yang akan datang. d. Kebijakan Umar Bin Khattab itu didasari pada pertimbangan untuk menciptakan jaminan sosial. e.
Kebijakan Umar Bin Khattab ini tampaknya mencerminkan bahwa Umar Bin Khattab menyukai bentuk sosialisme berdasarkan ajaran Islam.
f.
Kebijakan Umar bin khattab ini juga berimplikasi ekonomi terutama dapat menjadi sumber pendapatan negara.
2.
Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi dalam konteks peningkatan utilitas
sebenarnya sangat tampak dalam kebijakan Umar Bin Khattab itu.
Kebijakan
Umar
Bin
Khattab
untuk
menyerahkan
Pengelolaan tanah kepada pemilik asal adalah dalam upaya meningkatkan utilitas lahan sebagai faktor produksi. Apabila hak milik dan Pengelolaan tanah itu diserahkan kepada tentara muslim, maka utilitas lahan tidak akan didapat karena tentara 28
muslim akan disibukkan terus dengan urusan ekspansi wilayah dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengelola tanah. Akibatnya tanah akan menganggur dan tidak produktif. Deskripsi sejarah ini jelas menunjukkan bahwa Umar Bin Khattab telah menegaskan pentingnya sumber daya alam sebagai alat produksi dan
berusaha
untuk
memaksimalkan
kemanfaatan
yang
dihasilkan dari sumber daya tersebut. Sebagai
bentuk
implementasi
kepedulian
terhadap
pembangunan ekonomi melalui penekanan pada tenaga kerja dan modal, maka Umar Bin Khattab mengambil kebijakan untuk menyerahkan tanah tandus kepada rakyat yang membutuhkan. Rakyat yang belum memiliki pekerjaan diberi kesempatan untuk bekerja dengan cara mengelola tanah yang diberikan oleh negara selain itu Umar Bin Khattab berkali-kali menawarkan dan memberikan
bantuan
keuangan
kepada
mereka
yang
membutuhkan bantuan untuk mengolahnya. 3.
Distribusi Kekayaan Selain pemikiran tentang pembangunan ekonomi Umar Bin
Khattab pun mengajukan pemikiran tentang distribusi kekayaan ada dua pemikiran yang diajukan Umar Bin Khattab terkait dengan distribusi Kekayaan ini, yakni maksimalisasi zakat dan sistem tunjangan. zakat fitrah maupun Mal merupakan media distribusi kekayaan dari orang kaya kepada pihak lain yang membutuhkan.
29
Selain zakat khums yaitu seperlima harta rampasan perang dijadikan pula sebagai media untuk pendistribusian kekayaan sebagaimana zakat alokasi harta khums juga telah ditetapkan oleh Alquran, yakni "seperlima untuk Alla,
Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnussabil." QS. AlAnfal ayat 41. Alat kedua distribusi kekayaan di masyarakat yang diperkenalkan Umar Bin Khattab adalah sistem jaminan sosial Umar Bin Khattab menggunakan pendapatan kharaj dalam membangun sistem jaminan dengan cara memberikan umat Islam dua jenis tunjangan yakni tunjangan moneter dan tunjangan dalam bentuk lain. 4.
Struktur Pajak Dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan, Umar Bin
Khattab telah mampu merumuskan struktur pajak-pajak yang dikembangkan dan diimplementasikan Umar Bin Khattab adalah pajak dalam bentuk zakat, jizyah, khums, kharaj, dan usyur/bea masuk. tiga bentuk yang pertama sudah diimplementasikan sebelumnya baik pada masa Rasulullah SAW maupun pada masa Khalifah Abu Bakar. Dua pajak berikutnya harus dan unsur diperkenalkan oleh Umar Bin Khattab dan merupakan bagian dari pemikiran ekonomi Umar Bin Khattab. Pada perkembangan berikutnya, pengenaan pajak usyur tidak hanya diberikan kepada pedagang non muslim. Pajak usyur 30
dikenakan pada seluruh pedagang luar muslim maupun nonmuslim yang memasuki wilayah kekuasaan Islam. Namun tarif pajak antara Muslim dan nonmuslim dibedakan oleh Umar Bin Khattab bagi pedagang muslim dikenakan pajak sebesar 2,5% sedangkan kepada pedagang muslim dikenakan pajak sebesar 5%. Ada beberapa pertimbangan yang diperhatikan Umar Bin Khattab ketika menetapkan pengenaan pajak yang berbeda antara pedagang muslim dan pedagang non muslim. bagi pedagang muslim, selain harus membayar pajak usyur juga ada kewajiban membayar zakat, sementara bagi pedagang non muslim tidak memiliki kewajiban membayar zakat. Selain itu pengenaan pajak 5% kepada pedagang non-muslim merupakan respon terhadap penguasa non muslim yang mengenakan pajak kepada pedagang muslim sebesar 5%. 5.
Belanja Negara Jenis belanja publik pada saat Khalifah Umar Bin Khattab
dapat dipilah menjadi 3 Jenis utama: pengeluaran kepedulian sosial, biaya operasional negara dan pengeluaran investasi. a.
Pengeluaran
kepedulian
sosial
dimaksudkan
untuk
membantu rakyat yang mengalami kesulitan secara ekonomi. Rakyat miskin menjadi prioritas untuk mendapatkan bagian dari dana kepedulian sosial ini. b. Biaya operasional adalah biaya negara yang berkaitan dengan biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan urusan 31
kenegaraan. Biaya administrasi negara dan perjalanan dinas kenegaraan merupakan bagian dari belanja negara jenis biaya operasional.
c. Pengeluaran
investasi
digunakan
untuk
melakukan
pembangunan fisik. Pembangunan jembatan, pemeliharaan Jalan, menggali kanal dan sungai sungai merupakan jenis belanja investasi. Pembangunan fisik itu dimaksudkan untuk memperoleh keuangan di masa depan karena membangun infrastruktur berarti mempelajari mekanisme bisnis.
D. Pemikiran Ekonomi Utsman Bin Affan Pemilihan dan pengangkatan Utsman bin Affan menjadi khalifah dilakukan melalui sistem formatur. Ada 6 orang yang diangkat menjadi tim formatur, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi waqas, dan Abdurrahman bin Auf. Hasil musyawarah tim formatur itu menetapkan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga yang menggantikan Khalifah Umar Bin Khattab. Dalam hal pribadi, Utsman bin Affan ini lebih mirip dengan Abu Bakar daripada Umar Bin Khattab. Ada dua kepribadian yang paling menonjol dari diri Utsman bin Affan, yakni lemah lembut dan kedermawanan. Utsman bin Affan dikenal karena toleransinya, kedekatannya, sifat lembut dan kerendahan hati dengan sentuhan rasa malu dalam hal keutamaan memeluk Islam, Khalifah Usman lebih dekat kepada khalifah pertama daripada
32
yang kedua. Ia adalah salah satu muslim awal dan di atas semuanya Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang dipilih oleh Nabi Muhammad SAW. untuk menulis ayat-ayat al-quran ketika diwahyukan. Keunggulan utama dari Utsman bin Affan di bila dibandingkan dengan yang lain adalah kepemilikan kekayaan. Utsman bin Affan termasuk orang kaya pada zamannya Pemimpin kepemimpinan Utsman bin Affan dituduh nepotisme, terutama pada masa kepemimpinan 6 (enam) tahun kedua, ketika usia Utsman bin Affan semakin menua dan penguasaan kerabatnya di lingkungan kekuasaan semakin menguat. Namun demikian, ada beberapa program monumental yang bisa dicapai oleh Khalifah Usman bin Affan, diantaranya menyelesaikan kodifikasi Al-Quran dan perluasan wilayah. Hingga akhir masa jabatannya, wilayah kekuasaan Islam meluas hingga ke Sigistan di Timur, Georgia antara Laut Kaspia dan Laut hitam di utara dan selanjutnya di pantai Afrika Utara di sebelah barat. Dalam bidang ekonomi, kepemimpinan Utsman bin Affan termasuk yang tidak inovatif. Oleh karena itu, kebijakankebijakan ekonomi umumnya merupakan kelanjutan dari pendahulunya. Memang, khalifah sebelumnya Khalifah Umar Bin Khattab telah meninggalkan body yang kokoh tentang kebijakan ekonomi dan keuangan yang akan sulit untuk berubah tanpa
33
pembenaran. Dengan demikian, kebijakan ekonomi Utsman bin Affan tinggal melanjutkan kebijakan khalifah sebelumnya. Sumber utama keuangan publik sebagaimana masa Umar Bin Khattab terdiri dari zakat,khums, jizyah, kharaj dan usyur. Demikian pula dengan Belanja Negara persis sama dengan kebijakan Umar Bin Khattab yakni kepedulian sosial dan pengeluaran tunjangan, biaya operasional, dan pengeluaran investasi. Keadaan ekonomi yang paling menonjol pada masa Utsman bin Affan adalah kepemilikan negara atas tanah. Negara saat itu banyak menguasai tanah dan sekaligus menjadi sumber pendapatan negara yang sangat melimpah. Pemerintahan Utsman bin Affan telah memiliki lahan pertanian yang diwarisi dan pemilik sebelumnya yang melarikan diri dari Irak dan Suriah setelah penaklukan Islam. Meskipun tanah yang disebut tanah sawah yg telah dianggap sebagai milik umat Islam pada umumnya, pandangan Umar bin khotob tampaknya selalu dipertahankan bahwa tanah tersebut diletakkan di bawah administrasi Negara. Namun pada perkembangan berikutnya, Kebijakan Utsman bin Affan terkait dengan penguasaan negara atas tanah itu mengalami
perubahan
yang
drastis.
Utsman
bin
Affan
berpandangan bahwa tanah dapat ditransfer dari negara kepada individu untuk pemberdayaan atas dasar sewa. Oleh karena itu,
34
pada masa Utsman bin Affan banyak individu-individu yang menguasai tanah tanah milik Negara. Di satu sisi memang mendatangkan kemajuan karena tanah tanah negara menjadi produktif, tetapi disisi lain Kebijakan Utsman bin Affan ini telah melahirkan sel dan isme di dunia Islam. Kebijakan Utsman bin Affan untuk menyewakan tanah kepada
individu-individu
itu
didasarkan
pada
beberapa
pertimbangan ekonomi yang masuk akal. Utsman bin Affan berpendapat bahwa tanah itu diberikan kepada individu dengan cara sewa dan bukan menjadi hak milik. Dengan sewa yang berbasis pada prinsip bagi hasil akan mendatangkan keuntungan dan sekaligus menambah pemasukan bagi keuangan Negara. Pada saat yang bersamaan penyewaan tanah kepada individu itu dapat meningkatkan produktivitas tanah sebagai salah satu faktor produksi. Selain itu, Utsman bin Affan juga berargumen bahwa menyewakan pengeluaran
tanah publik
kepada dan
individu
biaya
dapat
administrasi
mengurangi negara
dari
Pengelolaan tanah. Pada perkembangan berikutnya, sebagaimanapun, Kebijakan Utsman bin Affan ini telah melahirkan beberapa kerugian, terutama bagi umat Islam secara keseluruhan. Kebijakan Utsman bin Affan itu awalnya hanya sewa, tetapi kemudian terjadi pemindahan hak milik. Tanah-tanah yang semula disewakan berubah menjadi hak milik individu, terutama oleh kerabat dekat
35
khalifah. Pernyataan ini Kemudian berimplikasi pada nepotisme dalam skala yang lebih besar. Dalam konteks ekonomi modern, kebijakan ekonomi Utsman bin Affan ini secara keseluruhan cenderung mendukung privatisasi. Hal ini berbeda dengan kebijakan Umar Bin Khattab yang lebih mendukung Peran ekonomi kepada Negara. Dengan kata lain, Kebijakan Utsman bin Affan cenderung bersifat kapitalis, sementara Umar Bin Khattab cenderung bersifat sosialis.
E. Pemikiran Ekonomi Ali Bin Abi Thalib Pengangkatan Ali bin Abi Thalib berlangsung sesaat setelah Utsman bin Affan wafat. Masa-masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib disibukkan dengan
upaya
melumpuhkan berbagai
pemberontakan. Pemberontakan yang paling sengit dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Pemberontakan ini diselesaikan melalui mekanisme tahkim, yang menempatkan Ali bin Abi Thalib dalam posisi yang kalah. Setelah tahkim itulah kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir dan kemudian wafat. Ali bin Abi Thalib memiliki kepribadian yang berbeda dan sekaligus kelebihannya dibandingkan dengan khalifah yang lain. Kepribadian utama Ali bin Abi Thalib adalah kebenaran, pengetahuan, dan keberanian. Fitur kebenaran Ali bin Abi Thalib tercermin dari kosistensinya dalam menopang perjuangan
36
Rasulullah Saw dan para khalifah sebelumnya. Sedangkan aspek pengetahuan, Ali bin Abi Thalib termasuk sahabat yang cerdas bahkan
rasulullah
Saw
menyebutnya
sebagai
“Gerbang
Pengetahuan”. Demikian pula dengan fitur keberaniannya, Rasulullah Saw menyebutnya sebagai “Singa Allah”. Pemikiran ekonomi Khalifah Ali bin Abi Thalib yang terbaik diringkas dalam dokumen yang lengkap berupa instruksi kepada gubernur yang baru diangkat di Mesir, Malik al-Asytar. Dibandingkan dengan instruksi yang diberikan kepada gubernur oleh khalifah sebelumnya dalam acara-acara serupa, dokumen khalifah Ali agak panjang dan lebih komprehensif. Dokumen ini mencerminkan pemikiran Ali bin Abi Thalib yang konstitusional dan komprehensif
yang meliputi
masalha
ekonomi
dan
administrasi di negara bagian. Pesan
pertama
yang
disampaikan
Khalifah
adalah
“mencarikan barang bagi rkayat dan membuat kota-kota menjadi makmur’.instruksi khalifah ini hanya bisa dilakukan dengan cara menunaikan kewajiban Allah, perlindungan Hak Asasi Manusia, pemeliharaan fakir miskin, memberikan pertolongan kepada orang yang teraniaya, menciptakan keamanan dan perdamaian, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dari instruksi ini jelas bahwa substantif Khalifah Ali bin Abi Thalib memiliki pemikiran terkait dengan politik ekonomi yang berujung pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
37
Hal lain yang bisa ditangkap dari dokumen itu bah Ali bin Abi Thalib telah membuat struktur dalam kehidupan masyarakat. Struktur yang dibangun itu terdiri dari sektor tentara, hakim, pejabat eksekutif dan pegawai, petani, pedagang, industriawan dan miskin, kaum fakir, kaum miskin dan orang cacat. Dalam konteks ekonomi modern, struktur masyarakat yang dimaksudkan oleh Ali bin Abi Thalib ini mirip dengan profesi dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya, antara satu sektor dengan sektor yang lain saling ketergantungan bagaikan sebuah sistem. Setelah menyoroti struktur umum dari masyarakat dan pentingnya integrasi, maka Ali bin Abi Thalib terus membahas setiap sektor dalam kehidupan masyarakat. Pertanian adalah sektor yang paling awal dikemukakan. Khalifah Ali bin Abi Thalib memberikan penekanan yang lebih pada sektor ini karena berhubungan dengan pendapatan negara. Pendapatan negara akan bertambah apabila ada kenaikan penghasilan dari sektor pertanian. Oleh karena itu, Khalifah menginstruksikan kepada gubernur untuk betul-betul memperhatikan pembangunan di sektor pertanian. Sektor ekonomi selanjutnya yang mendapatkan perhatian Ali bin Abi Thalib adalah sektor perdagangan dan industri. Negara memiliki tanggung jawab terhadap pedagang dan pelaku industri dengan memberinya pelayanan dan informasi yang profesional. Pedagang dan pelaku industri adalah sumber kemanfaatan,
38
keuntungan dan kemakmuran, baik bagi masyarakat maupun bagi negara. Para pedagang adalah distributor harta, sementara pelaku industri adalah produsen yang menciptakan dan mengadakan barang. Apabila para pedagang dan pelaku industri itu menyalahgunakan
kekuatan
ekonominya
melalui
kegiatan
monopoli yang dapat merugikan masyarakat, maka negara memiliki kewajiban bertindak untuk menghentikannya dan memperbaiki keadaan. Pada bagian lain, Ali bin Abi Thalin memiliki pemikiran tentang kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat itu bergantung kepada tiga masalah utama, yakni nilai moral, pembangunan ekonomi, dan distribusi sumber daya ekonomi. Nilai moral berdasarkan pada ajaran Islam memiliki peran yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat, terutama untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kemakmuran ekonomi dan untuk mempertahakan
struktur
sosial
yang
sehaat.
Sedangkan
pembangunan ekonomi bergantung pada pengakuan tentang pentingnya berbagai sektor dalam masyarakat dan kebutuhan untuk mencapai integrasi ekonomi di antara sektor-sektor tersebut. Selain itu, kesejahteraan rakyat bergantung kepada distribusi sumber daya ekonomi. Distribusi ini sangat penting untuk menciptakan kesejahteraan bersama agar kekayaan tidak hanya beredar diantara orang kaya saja.
39
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa Ali bin Abi Thalib telah menawarkan berbagai produk pemikiran terkait dengan masalah ekonomi. Pemikiran yang utama adalah pemikiran tentang sektor-sektor ekonomi yang muncul dalam masyarakat. Sektor ekonomi itu, pada intinya, dapat dipilih pada dua bagian besar, yakni sektor produksi barang dan jasa. Sektor produksi barang bisa dalam bentuk pertanian dan industri, sedangkan sektor jasa bisa dalam profesi sebagai tentara, hakim, dan pegawai negeri lainnya. Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M. Kematian Ali bin Abi Thalib ini bukan saja mengakhiri masa kepemimpinan Khalifah yang keempat, tetapi juga akhir dari kepemimpinan Khulafa’ al-Rasyidin. Kepemimpinan umat Islam berikutnya berada
dibawah
kendali
dinasti,
dimana
kepemimpinan
diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, yakni Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
F. Kesimpulan Pemikiran
ekonomi
pada
masa
khulafa
al-rasyidin
sebenarnya merupakan lanjutan dari pemikiran ekonomi yang muncul pada masa Rasulullah saw. Karakteristik pemikiran ekonomi yang muncul di dua periode sejarah ini, Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dalam banyak hal memiliki kemiripan.
40
Namun demikian, dari masing-masing Khalifah Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib memiliki variasi dan spesifikasi tersendiri dalam kebijakan ekonomi yang diambil. Pada masa Abu Bakar tidak begitu banyak kebijakan ekonomi yang diambil karena pada masa kepemimpinannya lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah riddah, orang yang tidak mau membayar zakat, dan orang yang mengaku sebagai nabi. Kebijakan ekonomi baru banyak diambil oleh Umar Bin Khattab. Bahkan, Umar Bin Khattab memiliki keberanian mengambil kebijakan yang berbeda dengan kebijakan Rasulullah, seperti dalam kasus distribusi Tanah Kharaj.
Kebijakan ekonomi juga banyak diambil oleh
Utsman bin Affan terutama pada 6 tahun pertama kekuasaannya. Namun kebijakan ekonomi ini semakin surut ketika Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah karena kebijakan Ali bin Abi Tholib lebih banyak untuk menyelesaikan konflik di antara umat Islam.
41
BAB IV SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI PADA MASA DINASTI UMAYYAH
A. Ekspansi Perluasan Wilayah Islam Dinasti Umayyah Ekspansi gelombang kedua ini dimulai di zaman Dinasti Umayyah setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sebagai pendiri dan khalifah pertama pada dinasti itu, melanjutkan kebijakan ekspansi Islam yang sempat terhenti sejak tahun-tahun akhir kekuasaan Usman bin Affan hingga kekuasaan Ali bin Thalib tumbang. Mu’awiyah mengutus Uqbah bin Nafi untuk mengadakan ekspansi Islam ke wilayah Afrika Utara hingga berhasil merebut Tunis. Di sanalah pada tahun 50 H, Uqbah mendirikan kota baru bernama Qairawan yang selanjutnya terkenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam. Tidak cukup sampai di situ, Mu’awiyah
42
juga berhasil mengadakan perluasan wilayah Islam dari Khurasan sampai Sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan laut
Muawiyah
juga
dengan
gagah
berani
menyerang
Konstantinopel, ibu kota Bizantium. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad (Turkeministan), Bukhara (Uzbekistan), Khwarezmia (Iran), Fergana (Uzbekistan) dan Samarkand (Uzbekistan). Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan (Pakistan). Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara
lain
upayanya
untuk
terus
merebut
kota
Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua, orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah
Islam. Ketiga, Byzantium
termasuk
wilayah
yang
memiliki kekayaan yang melimpah. Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus
43
memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik. Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Dalam peperangan tersebut, tentara Kristen Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick pun dapat dikalahkan oleh pasukan Islam yang dipimpin Tariq bin Ziad. Dengan kekalahan itu, pintu untuk memasuki Spanyol menjadi terbuka lebar. Toledo –yang notabene
ibukota
Spanyol
waktu
itu—berhasil
direbut.
Sedangkan kota-kota lain seperti Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova, juga tak luput dari penaklukan tentara Islam. Selanjutnya,
Cordova
kemudian
menjadi
ibukota
pemerintahan Islam yang tetap menginduk ke pusat pemerintahan
44
Islam di Kufah. Spanyol yang telah menjadi daerah Islam lantas dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan Al-Andalus. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik, pasukan Islam juga berupaya melakukan ekspansi ke wilayah Perancis. Saat itu, upaya ekspansi terutama dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ekspansi tersebut juga dilakukan alGhafiqi karena termotivasi oleh kesuksesan penaklukan atas Spanyol oleh Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair. Bersama balatentaranya, al-Ghafiqi menyerang kota-kota seperti Bordeux dan Poitiers. Dari kota Poiters, al-Ghafiqi berangkat untuk menyerang kota Tours. Tetapi dalam perjalanan itu antara kedua kota itu, ia ditahan oleh Charles Martel. Ekspansi ke Perancis pun gagal. Al-Ghafiqi bersama pasukannya akhirnya mundur kembali ke Spanyol. Meski sempat gagal karena ditahan Charles Martel, pasukan Islam tetap berupaya menyerang beberapa wilayah di Perancis, seperti Avignon dan Lyon pada tahun 743 M. Pada zaman Dinasti Umayah pula, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, Majorca, Corsica, Sardinia, Crete, Rhodes, Cypurs dan sebagian Sicilla juga berhasil ditaklukkan oleh imperium Islam. Ekspansi yang dilakukan Dinasti Umayyah inilah yang membuat Islam menjadi imperium besar pada zaman
45
itu. Berbagai bangsa yang melintasi berbagai ras dan suku di berbagai pelosok dunia bernaung dalam satu pemerintahan Islam. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
B. Reformasi Administrasi Dinasti Umayyah Pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin (632-661 M), pimpinan pemerintahan pusat hanya terdiri atas khalifah, didampingi seorang pejabat yang disebut al-Katib (sekretaris). Di samping khalifah ada majelis penasehat yang terdiri atas sahabatsahabat
Nabi
Muhammad.
Al-Katib
bertugas
mencatat
penerimaan dan pengeluaran perbendaharaan negara. Mengurus surat menyurat dengan pembesar setempat, mendata nama-nama tentara dan penghasilannya. Pada masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul persoalanpersoalan yang cenderung membawa ketidakstabilan dan perpecahan umat, seperti hancurnya teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, munculnya anarkisme dan ketidak disiplinan kaum nomad. Di sisi lain wilayah kekuasaan umat Islam pada masa Dinasti Umayyah, menurut Annemarie Schimel: “Telah sampai ke Atlantic, perbatasan Bizantium, Selat Gibraltar, (Jabal Tarik) tahun 711.
46
Pada tahun itu juga mereka juga menguasai Transoxiana, Sind, serta Indusvalley (sekarang arah selatan Pakistan). Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut di atas mengakibatkan pemerintahan
terjadinya sesuai
dengan
perkembangan perkembangan
administrasi wilayah
dan
perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin kompleks. Pengelolaan administrasi dalam struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayyah adalah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan khulafaur rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana periode Madinah dibagi menjadi wilayah provinsi. Setiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur atau amir yang diangkat oleh khalifah. Gubernur didampingi seseorang atau beberapa orang katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal), dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya. Pada tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lebaga dan departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari katib al-rasail (sekretaris negara), katib al-kharaj (sekretaris pendapatan negara), katib al-jund (sekretaris militer), katib al-syurthat (sekretaris kepolisian), katib al-qadhi (panitera).
47
Para katib bertugas mengurusi administrasi negara secara baik dan rapi untuk mewujudkan kemaslahatan negara. Al-hajib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal di zaman negara Madinah, karena siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hajib, yaitu muazin untuk memberi tahukan waktu shalat pada khalifah, shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal ikhwal makanan dalam istana. Dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu al-Nidzam alQadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha dipimpin seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan membuat peraturan-peraturan yang digali langsung dalam al-Qur’an, sunnah Rasul, Ijma’, atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum, baik terhadap pejabat atau pagawai negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-Hisbat disebut al-Muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera. Sedang pejabat al- Mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari alqadha dan al-hisbat, karena badan ini bertugas meninjau kembali
48
akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib. Jika terjadi kasus tentang perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali, baik rakyat maupun pejabat yang menyalah gunakan jabatan, badan ini menyelenggarakan mahkamah al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid. Sidang inni dihadiri oleh lima unsur lengkap yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para saksi. Di dalam tubuh pemerintahan Bani Umayyah terdapat beberapa diwan atau departeman yaitu: 1) Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat negara dari khalifah kepada gubernur atau menerima suratsurat dari gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunakan bahasa Arab, dan daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia.49 Philip K. Hitti mengatakan bahwa: The Arabization in changing the language of the public registers (diwan) from Greek to arabic in Damascus and from Pahlavi to Arabic in Al-Iraq and Easten provinces and in the creation of an Arabic coinage with the charge in personal naturally took place. Berdasarkan kepada pendapat Philip K. Hitti di atas, menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Abdul Malik telah diterapkan peraturan gerakan Arabisasi yaitu dengan hanya menggunakan bahasa Arab dalam penulisan surat-
49
surat negara. Bahkan pengaruh gerakan Arabisasi masih terlihat hingga sekarang, sebagaimana yang dikemukakan oleh M.A. Shaban: “this was most evident froom the fact that the language of public record, which until then had been copric, Greek, or Pahlavi change to Arabic”. 2) Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau oereturan-
peraturan
pemerintah
untuk
dikirim
pada
pemerintah daerah. 3) Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang diperoleh dari kharaj, zakat, ghanimah, dan sunmber-sumber lain. Semua pwmasukan dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal. 4) Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas malayani informasi tentang berita-berita penting dari daerah kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Pelayanan ini sudah diperkenalkan pada masa Mu’awiyah. 5) Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas mengorganisir militer. Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan administrasi pada masa Dinasti Bani Umayyah sudah semakin kompleks, mengingat munculnya berbagai persoalan yang
crusial
yang
menuntut
adanya
kebijaksanaan-
kebijaksanaan. Namun secara prinsip kebijaksanaan yang dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan pengembangan
50
dan
penyempurnaan
dari
administrasi
ynang
pernah
diciptakan oleh Khalifah Umar ibn Khattab.
C. Kebijakan Ekonomi Dinasti Umayyah Sekalipun tidak langsung berhubungan dengan ekonomi, dinasti umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang bias memperlancar mekanisme ekonomi. Sebut saja kebijakan mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro negara tidak berhubungan
langsung
dengan
kegiatan
kehadiran dua pranata tersebut ternyata
ekonomi.
Tetapi
bisa memperlancar
mekanisme ekonomi, baik bagi negara maupun bagi masyarakat pada umumnya . Namun demikian , ditemukan pula beberapa kebijakan dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan masalah ekonomi,seperti kebijakan moneter. 1.
Munculnya Layanan Pos Pada masa umayyah juga dibangun layanan pos sebagai alat
pertukaran informasi. Dengan adanya sistem ini, masyarakat bisa dimudahkan untuk menyampaikan beberapa informasi kepada keluarganya yang jauh. Layanan ni juga berdampak pada komunikasi yang baik dalam bidang ekonomi. Jasa pos yang digagas Muawiyyah ini kemudian ditata secara rapih pada masa Abd-Malik. Pada saat itu jasa pos yang ditawarkan adalah antara Damaskus dan Ibu kota provinsi lainnya. Adapun media yang digunakan dalam proses pengantaran surat-surat dandokumen lainnya dilakukan dengan menggunakan hewan. Adapun hewan yang digunakan adalah ‘ fresh animals,
51
mules and horses in Persia, and camels in Syriaand Arabia’ Kuda dan unta memang menjadi hewan yang biasa digunakansebagai alat transportasi pada jaman tersebut. Namun memang proses pengiriman tidak begitu singkat, melainkan butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menyampaikan sebuah surat.Selain mengantarkan paket kiriman, para petugas pos pada masa tersebut juga ditugasi untuk mencatat dan mengirimkan kepada khalifah beberapa pristiwa penting yang terjadi di wilayah mereka masingmasing. Dengan kata lain, dalam sistem pos yang digunakan tidak sepenuhnya bersifat rahasia, namun ada beberapa kebijakan untuk wajib lapor kepada khalifah. 2.
Pendirian Biro Negara Pembentukan biro negara bisa dikatakan telah dimulai oleh
khalifah umar bin khattab. Dengan kompleksitas administrasi negara selama umayyah dan abbasiyah sebagai akibat dari ekspansi negara, maka ada kebutuhan untuk membangun sistem administrasi.
Administrasi
baru
didirikan
seperti
biro
korespondensi (diwan al-rasail), dan biro segel (diwan al-khatim). Fungsi utama biro korespondensi adalah: (a) mengawasi korespondensi antara khalifah dan gubernur provinsi, (b) menyimpan salinan dari surat keluar khalifah dalam file khusus untuk kontrol dan referensi di masa mendatang, (c) mengawasi arsip negara, (d) mengatur pengumuman dan pernyataan publik yang dikeluarkan oleh khalifah untuk rakyatnya. Tujuan dari biro segel yaitu: (a) mencegah penyalahgunaan cap persetujuan
52
khalifah, (b) memastikan bahwa surat khalifah yang di segel cap khusus dan akibatnya, (c) mencegah operator dari membuka surat dan mengubah isinya. Sistem administrasi ini diorganisasi lebih lanjut pada masa dinasti abbasiyah biro yang pertama terkait dengan urusan administrasi, sedangkan biro yang terakhir berkaitan dengan aspek pengawasan keuangan dan akuntansi berbagai kegiatan. 3.
Reformasi Moneter Seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan, perubahan
signifikan dalam bidang moneter telah terjadi pada masa khalifah umar bin khattab. Perubahan atau reformasi moneter pada masa abdul malik, yang merupakan refleksi dari pembentukan konsolidasi negara pada dinasti umayyah memilik konsekuensi politik dan ekonomi. Diantara konsekuensi politik dan ekonomi tersebut adalah: (1) penguatan kedaulatan negara sebagaimana tercermin dalam mata uang sendiri yang independen, (2) pengumpulan pajak pada unit moneter terpadu bukan mata uang persia dan romawi di siria dan mesir, (3) penekanan lebih pada kebutuhan akan penukaran uang, (4) munculnya bentuk operasional perbankan, (5) penyebaran instrumen keuangan seperti ruq’a (perintah pembayaran) dan sakk (penarikan uang). 4.
Reformasi Budaya Pertanian Dalam bidang pertanian, ada kebijakan reformasi yang cukup
hebat membantu warga dalam mengolah tanahnya. Hal ini dilakukan dengan baik setelah dilakukan kebijakan pembatasan
53
urbanisasi. Pemerintahan pada masa Abd-al Malik membangun perubahan atau mereformasi bidang pertanian. Jika sebelumnya warga mengolah lahan pertanian mereka dengan bergantung pada musim hujan,kini praktek bertani bisa dilakukan kapan saja karena ketersediaan air yang cukup melimpah.Kebijakan yang dilakukan adalah dengan menggali sejumlah kanal yang dialirkan dari Sungai Tigris dan Efrat. Tanah rawa yang ada kemudian di keringkan agar kemudian bisa dibajak. Selain itu, beberapa tanah kering yang terlantar juga diairidan dioptimalkan sebagai lahan pertanian. Kebijakan ini memang cukup berpengaruh signifikan terhadap kondisi prekonomian warga sehingga bisa menghasilkan keuangan yang melimpah. Tidak hanya untuk warga namun juuga masuk pada kas keuangan negara. Tekhnik pengairan yang dilakukan pada zaman umayyah ini adalah yang terbaik dan tak tertandingi pada masa itu khususnya di dinia timur. Kita maih bisa lihat peninggalannya hingga saat ini yang masih berfungsi dengan baik. Oasis subur dan taman-tamannya yang indah adalah hasil peninggalan pada dinasti umayyah. Disana, ada kanal yang namanya Nahr-Yazid sebagai penghargaan terhadap khalifah yazid sebagai pemimpin yang membuat kanal tersebut untuk menyempurnakan irigasi di wilayah Gutah
54
5.
Reformasi Fiskal Pada masa umayah, ada juga kebijakan reformasi fiskal
degan merubah tata kelola keuangan. Reformasi fiskal ini dilakukan setelah adanya pembatasan urbanisasi dan reformasi budaya pertanian. Sebelumnya, memang ada kemudahan yang diberikan pada umat islam khususnya warga arab asli seperti bebas pajak. Berbeda dengan warga non muslim yang diwajibkan untuk membayar pajak lebih besar. Namun kemudian, ada kebijakan reformasi dimana hampir se mua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim diwajibkan membayar pajak tanah.Kemudian, pada masa Umar bin Abdul Aziz,
beliau
memiliki
pandangan
bahwa
menciptakan
kesejahteraan masyarakat bukan dengan cara mengumpulkan pajak,melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang ada.
Umar
percaya jika
hal itu
bisa dilakukan
dengan
mengelola keuangan negara dengan efektif danefisien. Umar bin Abdul Aziz tidak hanya layak disebut sebagai pemimpin negara, tetapi
juga
sebagai
fiskalis
muslim.
Dia
mempunyai
kemamampuan untuk merumuskan, mengelola, dan memutuskan kebijakan fiskal dengan baik.Kebijakan fiskal ini cukup berdampak pada perekonomian warga sehingga banyaky ang mendapatkan manfaat. Dalam bidang ekonomi, Umar bin Abdul Aziz telah memberikan banyak sumbangan pemikiran yang sangat bagus apalagi pemikiran tersebut telah berhasil diterapkan dalam sistem ekonomi yang berkadilan.Dikabarkan pada masa
55
ini, Umar bin Abdul azis kesulitan untuk mendapatkan penerima zakat. Ini bisa dijadikan indikator keberhasilan pemerintahannya dalam menyejahterakan rakyatnya. 6.
Urbanisasi dan Kegiatan Ekonomi Kebijakan ini muncul akibat banyaknya orang yang baru
masuk islam terutama yang tinggal di Irak dan Khurasan, mereka meninggalkan desa tempat mereka berkerja sebagai petani. Mereka berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan bisa bergabung menjadi prajurit. Tentu fenomena ini memberikan dampak yang buruk terhadap pembendaharaan negara dimana pemasukan keuangan menjadi berkurang. Al-Hajjaj (wakil Abd Malik
di
irak
kemudian
membuat
kebijakan
untuk
mengembalikan orang-orang tersebut ke ladang-ladang mereka untuk mengolah pertaniannya. Mereka kemudian kembali diwajibkan untuk membayar pajak. Warga irak berbondong-bondong ingin menjadi prajurit dikarenakan mereka melihat ada keuntungan yang lebih yang didapatkan oleh para prajurit waktu itu.Selain itu, mereka juga melihat ada ketidakadilan dalam pembayaran pajak dimana pada waktu
itu
oang-orang
Islam-arab
lebih
mendapatkan
keistimewaan dibanding dengan islam wilayah lainnya. Namun dengan adanya penyelesaian kasus ini, maka kemudian orang Arab-Islam-pun kembali diwajibkan untuk membayar pajak tanah.
56
D. Pranata Ekonomi Di Masa Bani Ummayah Pada masa pra-Islam, uang Romawi dan Persia digunakan di Hijaz, di samping beberapa uang perak Himyar yang bergambar burung hantu Attic. Umar, Muawiyah, dan para khalifah terdahulu lainya merasa cukup dengan mata uang asing yang beredar, dan mungkin pada beberapa kasus, terdapat kutipan ayat Al Quran tetentu pada koin-koin itu. Sejumlah uang emas dan perak pernah dicetak sebelumnya pada masa Abd Al Malik, tetapi cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Pada tahun 695, Abd Al Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Di samping membuat uang Islam, dan melakukan arabisasi administrasi keeajaan, Abd Al Malik juga mengembangkan sistem layanan pos, dengan menggunakan kuda antara Damaskus dan ibukota provinsi lainya. Layanan itu dirancang, terutama untuk
memenuhi
kebutuhan
transportasi
para
pejabat
pemerintahan dan persoalan surat-menyurat mereka. Semua kepala pos bertugas untuk mencatat dan mengirimkan kepada khalifah semua peristiwa penting yang terjadi di wilayah mereka masing-masing. Dalam kaitanya dengan perubahan mata uang, kita perlu memperhatikan pembaruan sistem keuangan dan administrasi yang terjadi pada masa ini. Pada dasarnya, tidak ada seorang muslim pun, dari bangsa mana pun, yang dibebani membayar pajak, selain zakat ataupun santunan untuk orang miskin,
57
meskipun pada praktikya, hak-hak istimewa sering diberikan kepada segelintir orang Islam-Arab. Bersadarkan teori itu, banyak orang yang baru masuk Islam, terutama dari Irak dan Khursan, mulai meninggalkan desa tempat mereka berkerja sebagai petani, dan pergi ke kota-kota, dengan harapan bisa bergabung menjadi prajurit mawali. Fenomena ini akhirnya menyebabkan kerugian ganda bagi perbendaharaan kerajaan. Hal tersebut karena setelah masuk Islam, pendapatan pajak sangat berkurang, dan setelah menjadi prajurit, mereka berhak mendapatkan subsidi. Al Hajj kemudian membuat kebijakan penting untuk mengembalikan orang-orang ke ladangladang mereka, dan kembali mewajibkan mereka membayar pajak tanah dan pajak kepala. Ia bahkan mengharuskan orangorang Arab yang menguasai tanah di wilayah wajib pajak untuk membayar pajak tanah. Setelah Daulah Umawiyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera kr Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian. Perkembangan perdagangan itu telah mendorong meningkatnya kemakmuran bagi Daulah Umawiyah Bidangbidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu: Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap
pembangunan
sektor
pertanian,
beliau
telah
58
memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian. Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraf tangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, kebijakan ekonomi banyak dibentuk berdasarkan ijtihad para fuqoha dan ulama sebagai konsekuensi semakin jauhnya rentang waktu (lebih kurang satu abad) antara zaman kehidupan Rasulullah saw dan masa pemerintahan tersebut. Beberapa tradisi dan praktek yang di lakukan oleh Bani Umayyah pada masa daulah al-Islam, yaitu: a)
Ketika diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan menyerahkan
rakyat seluruh
dan harta
mengumumkan kekayaan
pribadi
serta dan
keluarganya yang diperoleh secara tidak wajar kepada baitul maal, seperti; tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai tunjangan yang di Yamamah, Mukaedes, Jabal Al Wars, Yaman dan Fadak, hingga cincin berlian pemberian Al Walid. b) Selama berkuasa beliau juga tidak mengambil sesuatupun dari baitul maal, termasuk pendapatan Fai yang telah menjadi haknya. c)
Memprioritaskan pembangunan dalam negeri. Menurutnya, memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan negeri-negeri Islam adalah lebih baik daripada menambah perluasan
59
wilayah. Dalam rangka ini pula, ia menjaga hubungan baik dengan pihak oposisi dan memberikan hak kebebasan beribadah kepada penganut agama lain. d) Dalam melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih bersifat melindungi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. e)
Menghapus pajak terhadap kaum muslimin, mengurangi beban pajak kaum Nasrani, membuat aturan takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa.
f)
Memperbaiki tanah pertanian, menggali sumur-sumur, pembangunan
jalan-jalan,
pembuatan
tempat-tempat
penginapan musafir, dan menyantuni fakir miskin. Berbagai kebijakan ini berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat. g) Menetapkan gaji pejabat sebesar 300 dinar dan dilarang pejabat tersebut melakukan kerja sampingan. Selain itu pajak yang dikenakan kepada non-muslim hanya berlaku kepada tiga profesi, yaitu pedagang, petani, dan tuan tanah. Dari perspektif Sejarah Peradaban Islam, pemerintahan Bani Umayyah disebut sebagai masa keemasan pencapaian kejayaan pemerintahan Islam. Meskipun masa pemerintahannya tidak cukup satu abad (90-91 tahun), tetapi berbagai kemajuan yang dicapai selama pemerintahan ini dapat dikatakan sangat luar biasa termasuk ke dalamnya adalah kesuksesan dalam perluasan
60
wilayah pemerintahan Islam dan jumlah penduduk yang masuk Agama Islam. Sebaliknya, disamping dicap sebagai pemerintahan yang membidani lahirnya pemerintahan monarchie heredetis (kerajaan turun temurun) juga seperti disebut oleh Dr. Muhammad Quthb, bahwa pada masa kekhalifahan Umayyah telah terjadi kemunduran Islam, sehingga pada saat berakhirnya masa pemerintahaan ini muncul anggapan bahwa Islam akan hilang dari permukaan bumi. Dibandingkan
dengan
bidang-bidang
keilmuan
lain,
sumbangan pemerintahan kekhalifahan Bani Umayyah di bidang ekonomi memang tidak begitu monumental, karena pada zaman pemerintahan ini, pemikiran-pemikiran ekonomi lahir bukan berasal dari ekonom murni intelektual muslim, tetapi berasal dari hasil interpretasi kalangan ilmuan lintas-disiplin yang berlatar belakang fiqh, Tasawuf, filsafat, sosiologi, dan politik. Namun demikian, terdapat beberapa sumbangan pemikiran mereka terhadap kemajuan ekonomi Islam, di antaranya adalah perbaikan terhadap konsep pelaksanaan transaksi salam, murabaha, dan muzara'ah, serta kehadiran Kitab al Kharaj yang ditulis oleh Abu Yusuf yang hidup pada masa pemerintahan khalifah Hasyim secara eksklusif membahas tentang kebijaksanaan ekonomi, dipandang sebagai sumbangan pemikiran-pemikiran ekonomi yang cukup berharga. Perbaikan sistem politik negara pada masa Bani Umayyah dilakukan dengan pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan.
61
Hal itu banyak membawa pengaruh positif bagi kehidupan masyarakat terutama dengan dibentuknya Lembaga Keuangan Negara (Nizam Mal), yang tugasnya adalah sbb : a)
Mengatur gaji tentara dan pegawai negara
b) Mengatur biaya tata usaha negara c)
Megatur biaya pembangunan sarana pertanian, seperti penggalian terusan dan perbaikan sarana irigasi
d) Mengatur biaya untuk orang-orang hukuman dan tawanan perang e)
Mengatur biaya untuk perlengkapan perangMengatur hadiah untuk ulama dan satrawan negara Dengan adanya lembaga keuangan tersebut pemerintah
mempu membangun panti untuk orang jompo, dan anak yatim. Selain itu dibangun sarana-sarana umum, seperti masjid, jalan, dan saluran air.
E. Kemajuan
dan Kemunduran
Perekonomian
pada Masa Dinasti Umayyah Kemajuan pemerintahan bani umayah telah terjadi di berbagai bidang, salah satunya yaitu bidang ekonomi. Di bidang perekonomian, selama masa bani umayyah telah melahirkan berbagai kebijakan yang membawanya pada arah kemajuan, namun juga membawa pada arah kemunduran. Untuk lebih mengetahui bagaimana perekonomin bani umayah terutama yang membawanya pada kemajuan dan kemunduran, kali ini kami
62
akan
membagikan
keadaan
ekonomi
pada
masa
bani
umayyaheadaan Ekonomi Pada Masa Bani Umayyah Ketika
pemerintahan bani umayyah berada di tangan
Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan, kondisi dinasti umayah ini relative stabil. Kondisi ini terjadi, karena bani Umayyah mendapatkan dukungan al-hajjaj, seorang panglima penakluk mekah yang bertangan besi, memimpin wilayah sebelah timur yang merupakan propinsi yang sangat berbahaya dari segi keamanan. Dengan
adanya
kerjasama
tersebut,
menghasilkan
pemerintahan yang kuat yang ditandai dengan meningkatkan anggaran pemerintahan untuk berbagai macam pekerjaan umum, diantaranya adalah pembangunan prasarana dan masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid al-aqsha di Jerusalem. Upaya pembangunan prasarana di atas, menjadikan pertanian dapat berkembang dengan pesat hasil uang menonjol seperti gandum, padi, tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Demikian juga, industri kulit, dan tenun mengalami kemajuan yang cukup bagus. Hasil pertanian dan perindrustrian dipasarkan sampai ke india dan Asia Tenggara. Pengganti khalifah Abd al-Malik adalah anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik, yang mewarisi dua hal penting. Pertama,
kekayaan
yang
melimpah
dari
hasil
berbagai
63
penaklukan. Kedua, mata uang arab yang telah dibakukan. Karena itu, masa pemerintahan Walid ini dipandang sebagai puncak kejayaan dinasti umayah, sedangkan pada masa-masa kekalifahan sesudahnya mulai terlihat tanda-tanda kemerosotan dan hampir tak terlihat lagi peristiwa-peristiwa penting yang dapat dikatakan sebagai kemajuan ekonomi. Di zaman walidlah ekspansi pasukan islam ke wilayah barat dilakukan. 1.
Faktor Kemajuan Ekonomi Pada Masa Daulah Bani Umayyah Selama dinasti bani Umayyah memerintah, kemajuan di
bidang ekonomi didukung oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mendukung kemajuan bani Uamyyah antara lain: a.
Kemajuan perekonomian dari sektor perdagangan. Setalah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang
cukup luas, maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak, baik melalui jalan darat maupun laut. Pada jalan darat umat islam mendapatkan keamanan untuk melewati jalan sutra menuju tiongkok guna memperlancar perdagangan sutra, keramik, obatobatan, dan wangi-wangian. Pada jalur laut kea rah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Sehingga dengan demikian basrah di teluk Persia pada saat itu menjadi pelabuhan dagang yang cukup ramai.
64
b.
Kemajuan perekonomian dari sektor pertanian dan industry. Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan
terhadap
pembagunan
di
sector
pertanian,
beliau
telah
memperkenalkan sistem irigrasi (pengairan) yang bertujuan meningkatkan hasil pertanian. c.
Kemajuan perekonomian dari sektor reformasi fiscal. Selama pemerintahan Umayyah semua pemilik tanah baik
yang muslim dan nonmuslim, diwajibkan membayar pajak tanah, sementara itu pajak kepala tidak berlaku lagi bagi penduduk muslim, sehingga banyak penduduk yang masuk islam secara ekonomi
hal
ini
yang
melatar
belakangi
berkurangnya
penghasilan Negara. Namun demikian, dengan keberhasilan Umayyah
melakukan
penaklukan
imperium
Persia
dan
Byzantium maka sesungguhnya kemakmuran daulah ini sudah melimpah ruah. Pada masa umar bin abdul aziz, beliau memiliki pandangan bahwa menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan dengan cara mengumpulkan pajak sebanyak-banyaknya seperti yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelum Umar, melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang ada, dan mengelola keuangan Negara dengan efektif dan efisien. Keberhasila dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat inilah yang membuat Umar Bin Abdul Aziz tidak hanya disebut sebagai pemimpin Negara, tetapi juga sebagai fiskalis muslim yang mampu merumuskan, mengelola, dan mengeksekusi kebijakan fiskal pada masa kekhalifahannya.
65
d.
Kemajuan perekonomian dari sektor pembuatan mata uang. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86H),
beliau membuat kebijakan untu memakai mata uang sendiri. Pemrintah saat itu mendirikan tempat percetakan mata uang di Daar idjard. Mata uang dicetak secara terorganisir dengan control pemerintah, kemudian pada tahun 77H/697M, khalifah Abdul Malik mencetak dinar khusus yang bercorak islam yang khas, berisi teks islam, ditulis dengan tulasan kufi. Gambar-gambar dinar lam diubah dengan lafadz-lafadz islam seperti Allahu Ahad, Allah Baqa’. Sejak saat itulah umat islam memiliki dinar dan dirham islam sebagai mata uangnya dan meninggalkan dinar Bezantium dan dirham Kirsa. 2.
Faktor Kemunduran Ekonomi Pada Masa Daulah Bani Umayyah Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dinasti bani
umayyah telah mengalami kemunduran dan kehancuran. Ada beberapa
faktor
yang
menjadi
alasan
kemunduran
dan
kehancuran bani umayyah, antara lain: a.
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan system pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
66
b.
Pertentangan etnis antara suku Arab Utara (Bani Qays) dan Arabia selatan (Bani Kalb).
Pada masa kekuasaan Bani
umayyah, pertentangan etnis antara suku Arab Utara (Bani Qays) dan Arabia selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan mawali (non-Arab), terutama di irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah. c.
Gerakan para golongan syi’ah dan khawarij. Latar belakang terbentuknya dinasti umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi yang terjadi dimasa Ali. Sisa-sisa syi’ah (para pengikut Ali) dan khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka, seperti di masa awal dan akhir maupun secara sembunyi seperti dimasa pertengahan
kekuasaan
Bani
Umayyah.
Penumpasan
gerakan-garakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah. d.
Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Almunthalib. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Almunthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
67
dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Umayyah. e.
Sikap hidup yang mewah di lingkungan istana. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup yang mewah di lingkungan istana sehingga anakanak khalifah tidak sanggup mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi
satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan Orang-orang Bani Abbasiyah yang menjalar-jalar dan membunuh setiap orang dari Bani Umayyah yang dijumpainya. Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan sesudahnya
dipengaruhi
oleh
pengaruh-pengaruh
yang
melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa Khalifah Marwan bin Muhammad pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah terakhir dari Bani Umayyah). F. Kesimpulan Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani
68
Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti umayyah. Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah. Perkembangan dalam bidang administrasi dinasti umayyah sudah semakin kompleks. Namun secara prinsip perkembangan dan kebijaksanaan administrasi pada dinasti ini adlah merupakan penyempurnaan administrasi yang pernah dikelola oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Dinasti Umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang bisa memperlancar mekanisme ekonomi baik bagi Negara maupun bagi masyarakat pada umumnya. Yaitu kebijakan mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro Negara, tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Kebijakan
69
dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan masalah ekonomi seperti kebijakan moneter. Pada
masa
Daulah
Umayyah
keadaan
ekonominya
tergantung pada pemasukan pertanian, seperti gandum, padi, tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Pembangunan prasarana dan masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid al-aqsha di Jerusalem. Ini semua disebabkan kerjasama yang dilakukan dengan baik antara Abd al-Malik dan al-hajjaj. Setelah Abd al-Malik lengser dari jabatannya sebagai khalifah kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik. Yang mana pada masa perintahannya mengalami puncak kejayaan Daulah Umayyah. Ada beberapa factor yang menjadi penyebab kemajuan daulah Umayyah. Secara garis besar yaitu pada bidang perdagangan, bidang Pertanian dan industry, Reformasi fiscal dan Pembuatan mata uang. Sedangkan factor yang menjadi penyebab runtuhnya Daulah Umayyah adalah system pemerintahan yang turun temurun, gaya hidup mereka yang bermewah-mewahan, terjadinya
peperangan
yang
sangat
panjang
sehingga
menyebabkan krisis ekonomi. Dan munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd AlAlmunthalib.
70
G. Kesimpulan Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti umayyah. Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah. Perkembangan dalam bidang administrasi dinasti umayyah sudah semakin kompleks. Namun secara prinsip perkembangan dan kebijaksanaan administrasi pada dinasti ini adlah merupakan penyempurnaan administrasi yang pernah dikelola oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Dinasti Umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang bisa memperlancar mekanisme ekonomi baik bagi Negara
71
maupun bagi masyarakat pada umumnya. Yaitu kebijakan mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro Negara, tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Kebijakan dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan masalah ekonomi seperti kebijakan moneter. Pada
masa
Daulah
Umayyah
keadaan
ekonominya
tergantung pada pemasukan pertanian, seperti gandum, padi, tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Pembangunan prasarana dan masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid al-aqsha di Jerusalem. Ini semua disebabkan kerjasama yang dilakukan dengan baik antara Abd al-Malik dan al-hajjaj. Setelah Abd al-Malik lengser dari jabatannya sebagai khalifah kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik. Yang mana pada masa perintahannya mengalami puncak kejayaan Daulah Umayyah. Ada beberapa factor yang menjadi penyebab kemajuan daulah Umayyah. Secara garis besar yaitu pada bidang perdagangan, bidang Pertanian dan industry, Reformasi fiscal dan Pembuatan mata uang. Sedangkan factor yang menjadi penyebab runtuhnya Daulah Umayyah adalah system pemerintahan yang turun temurun, gaya hidup mereka yang bermewah-mewahan, terjadinya
peperangan
yang
sangat
panjang
sehingga
menyebabkan krisis ekonomi. Dan munculnya kekuatan baru
72
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd AlAlmunthalib.
LATIHAN SOAL
73
BAB V SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASYAH
A. Sejarah Kelahiran Dinasti Abbasyah Awal
kekuasaan
pembangkangan yang
Dinasti
Abbasiyah
ditandai
dengan
dilakukan oleh Dinasti Umayyah di
Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar Amir (jabatan kepala wilayah ketika wilayah ketika itu), tidak
tunduk
kepada khalifah yang
ada
di
Baghdad.
Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Ali Bin Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Abbasiyah termasuk lama yaitu sekitar lima abad. Kekuasaan Dinasti
Abbasiyah
atau khalifahAbbasiyah,
melanjutkan
kekuasaan dinasti Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah
74
karena para pendiri dan penguasa ini adalah keturunan al-Abbas paman nabi Muhammad SAW. Kelahiran bani Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh golongan syi’ah terhadap pemerintahan
Bani
Umayyah.
Golongan
Syi’ah
selama
pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan tersingkir karena kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal ini bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di Karbela. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani Abbasiyah telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbasiyah telah
mulai
melakukan
masa khalifah Umar
bin
perebutan Abdul
Aziz
kekuasaan (717-720
sejak M)
berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurrungan karena melakukan gerakan makar, barulah usaha perlawanan itu berhasil di tangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasukkhalifah Marwan II yang sedang berkuasa.
75
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah. Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah menjelang berakhirnya Bani Umayyah terjadi bermacam-macam kekacauan antara lain: 1.
Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim.
2.
Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab.
3.
Pelanggaran terhadap agama Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan. Gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang
syi’ah dipimpin oleh Muhammad Bin Ali, ia telah di bai’ah oleh orang-orang syi’ah sebagai imam. Tujuan utama dari perjuangan Muhammad
Bin
Ali
untuk
merebut
kekuasaan
dan
jabatankhalifah dari tangan Bani Umayyah, karena menurut keyakinan orang syi’ah keturunan Bani Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan Bani Umayyah bukan berasal dari
76
keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini memakai nama Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi’ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk mencari dukungan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah. Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun: 1.
Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
2.
Keturunan Abbas (Abbasiyah), pemimpinnya Ibrahim alIman;
3.
Keturunan bangsa Persia, pemimpinnya Abu Muslim alKhurasany. Strategi
yang
digunakan
untuk
menggulingkan
Bani
Umayyah ada dua tahap : 1.
Gerakan secara rahasia Propoganda Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang
cukup matang sebagai gerakan rahasia, akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifahUmayyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh
77
pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke Koufah. 2.
Tahap terang-terangan dan terbuka secara umum Tahap ini dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin
Muhammad yang ditujukan kepada Abu Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan. Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahui isi surat rahasia tersebut ia menangkap Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara Ibrahim bin Muhammad. Abdul Abbas sangat beruntung, karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong
semangat
menggulingkan khalifah Marwan
Abul bin
Abbas Muhammad
untuk dari
jabatannya. Untuk maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya yaitu Abdullah bin Ali untuk menumpas pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran akhirnya terjadi antara pasukan yang dipimpin olehkhalifah Marwan bin Muhammad
78
dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab AlShagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris tahta kekhalifahan Umaiyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumurt 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh ini yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayyah di seberang lautan, yaitu di Keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayyah dengan
nama
kekhalifahan
Andalusia.
Pada
awalnya
kekhalifahan Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemertintahan dengan Abu Abbas As-Safah (750-754m) sebagai khalifah pertama. Kemudian khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (750-775m) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah
79
bin Muhammad diangkat dan dibai’ah menjadi khalifah, dalam pidato pembaitan tersebut, ia antara lain mengatakan: “Saya berharap semoga pemerintahan kami (Bani Abbas) akan mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai penduduk Koufah, bukan intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan kami beserta ahlul Bait adalah berkat pertolongan Allah SWT. Hai penduduk Koufah, kalian adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah berubah dalam pandangan kami, walaupun penguasa yang zalim (Bani Umayyah) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian telah dipertemukan oleh Allah dengan Bani Abbas, maka jadilah kalian orang-orang yang berbahagia dan yang paling kami muliakan..... ketahuilah, hai penduduk Koufah, saya adalah alSaffah”. Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam. Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai pusat pemerintahan tetapi ia memilih
Koufah sebagai
pusat
pemerintahannya, dengan
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
80
1.
Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus.
2.
Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan
tulang
punggung
Bani
Abbas
dalam
menggulingkan Bani Umayyah 3.
Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium
yang
pemerintahannnya,
merupakan akan
tetapi
ancaman pada
bagi masa
pemerintahankhalifah Al-Mansur (754-775 M) dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang baru. Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan Usaha ini, pada tahun 132 H/750 M, tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu a-Abbas ashShaffah, pada tahun 132-136 H/750-754 M.
B. Masa Awal Dinasti Abbasiyah Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbasiyah melewati rentang waktu yang sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan
81
pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Koufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas asSaffah (750-754 M) sebagai khalifah pertama. Akan tetapi pemerintahannya begitu singkat, as-Saffah meninggal (754-755 M)
karena
terkena
cacar
air
ketika
berusia
30an. Kemudian khalifah penggantinya adalah saudara sendiri Abu Ja’far An-Mansur (754-755 M) memindahkan pusat pemerintahan
ke
Baghdad.
Kekhilafaan ini
lahir
setelah
melakukan perjuangan panjang dan revolusi sosial melawan kehilafahan Dinasti Umayyah. Pendirian dinasti ini sebagai bentuk reaksi terhadap kehilafahan Bani Umayyah yang mengalami kemerosotan dimata rakyat. Obsesi kehilafahan ini adalah jika Dinasti Umayyah pemerintahannya bercorak Arab, Militeristik
dan
sekularistik.
Maka
pemerintahan
Dinasti
Abbasiyah bercorak pluralistik etnis, saintifik dan religius. Pada Masa pemerintahan dua khalifah yang pertama Abu Abbas As-Saffah (750-754 M) dan saudaranya Abu Ja’far AlMansur (754-775 M) merupakan masa pembentukan dan konsolidasi orientasi pemerintahan. Di antara kedua khalifah ini
82
Al-Mansurlah yang paling gigih dan pembina yang sesungguhnya di Dinasti Abbasiyah. Untuk memantapkan posisi Dinasti ia menghadapi
lawan-lawannya
dengan
keras
seperti
Bani
Umaiyyah, Khawarij dan Syi’ah. Untuk mengokohkan posisi dinastinya, Al-Mansur mulai mengambil strategi yang berbeda dengan Dinasti Umayyah yang bercorak ke Arab-an. Ia mengambil hubungan dengan Persia dan melengkapi struktur pemerintahan. Pertama ia memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad, dekat ibukota Persia, Ctesiphon, pada 762 M. Kedua tentara pengawal tidak lagi diambil lagi dari orangorang Arab tetapi dari orang-orang Persia. Ketiga seperti dalam administrasi pemerintahan Persia, Al-Mansur membuat tradisi baru mengangkat wazir (Menteri) yang membawahi kepalakepala Departemen yaitu Khalid Bin Barmak seorang dari Balkh di Persia. Keluarga Khalid bin Barmak ini kelak menjadi salah satu sumber perkembangan ilmu pengetahuan di Bani Abbas. Saat propaganda Abbasiyah sampai ke khurasan, Khalid bin Barmak merupakan propagandis Abbasiyah paling besar. Kemudian Abu Abbas As-saffah mengangkatnya sebagai menteri sehingga Khalid Bin Barmak memegang banyak kedudukan dengan catatan baik dan ia memegang pemerintahan dengan terpuji hingga meninggal dunia tahun 163 H. Pada 7 Oktober 775 M, Al-Mansur meninggal di dekat Mekkah dalam perjalanan ibadah haji ketika usianya lebih dari 60 tahun. Pengganti Al-Mansur yakni Al-Mahdi (775-785)M, Al-
83
Mahdi mempercayakan pendidikan anaknya, Harun kepada putra Khalid Bin Barmak yakni Yahya bin Khalid Al-Barmaki. Kemudian Khalifah Al-Mahdi meninggal ketika sedang berburu dan jatuh dari kuda yang ditungganginya. Pengganti Al-Mahdi ialah Al-Hadi sebagaimana wasiat yang diterima dari Ayahnya bahwa sepeninggalnya dialah yang menjadi khalifah sedangkan saudaranya yang bernama harun ArRasyid akan memangku jabatan khalifah pada masa berikutnya. Al-Hadi meninggal pada malam sabtu 16 Rabiul Awal 170 H yakni pada umur 26 tahun, Sesudah memerintah dinasti Abbasiyah selama satu tahun tiga bulan akibat diracun oleh ibunya sendiri Khaizuran. Sebelum khalifah Al-Hadi meninggal khalifah Al-Hadi berbuat tidak jujur dan menyalahi wasiat ayahnya. Dengan keinginannya untuk mengangkat anaknya sendiri bernama Ja’far yang masih dibawah umur sebagai penggantinya nanti dan mengucilkan Harun. Semula maksudnya itu disetujui oleh pembesar-pembesar istananya. Hanya seorang dari mereka yang tidak menyetujuinya yaitu Yahya bin Khalid Al-Barmaki
yang
berani
menasehati
agarkhalifah Al-Hadi
mengurungkan niatnya karena Ja’far masih kanak-kanak. Akan tetapi nasehat itu tidak diindahkannya. Bahkan Yahya sendiri dimasukkan ke dalam penjara dan akan dibunuhnya. Akan tetapi beruntung
niat khalifah Al-Hadi
tidak
terlaksana
karena khalifah Al-Hadi telah menemui ajalnya. Kemudian kepemimpinan dinasti Abbasiyah digantikan oleh khalifah Harun
84
Ar-Rasyid. Bukan anaknya Khalifah Al-Hadi karena anak AlHadi masih kecil. Ketika
Harun
menjadi khalifah ia
juga
mengangkat
keturunan Barmak yang tetap ia panggil bapak dengan penuh hormat, yakni Yahya bin Khalid bin Barmak sebagai wazir dengan kekuasaan yang terbatas. Yahya bin Kalid bin Barmak, putra khalid bin Barmak adalah manusia paling tinggi moralnya, keutamaannya dan kemurahan hatinya. Ia menduduki jabatan sejak tahun 158 H, ia dicintai dan dia sendiri yang berperan mendidik Harun Ar-Rasyid, Yahya juga adalah sosok yang memberi kuasa kepada Harun Ar-Rasyid menjadi khalifah meskipun ia tidak disukai Al-Hadi.
C. Masa Kekuasaan Bani Abbasiyah Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode : 1) Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya Dinasti Abbasiyah
tahun
132
H/750
M
sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M. 2) Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
85
3) Masa
Abbasiyah
III,
yaitu
dari
berdirinya
Daulah
Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M. 4) Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M. a.
Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M ) Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan
berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah AlWatsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah.
Hal
ini
disebabkan
karena
keberhasilannya
memperluas wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi dalam penyebaran Islam mereka adalahkhalifah Abul Abbas ashshaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M). b. Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M) Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah.
86
Sepeninggal Al-asiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki. Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari pada pemerintahanyang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara. c.
Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M) Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah,
yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai
dengan khalifah Al-Qaim
(1075
M).
Kekuasaaan
Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir. Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah
87
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (9241003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M). d. Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M ) Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama bagian timur.
D. Perkembangan Ekonomi Dinasti Abbasiyah 1.
Kegiatan Ekonomi Pada masa dinasti Abbasiyah ini telah terjadi spesialisasi dari
profesi sebagai konsekuensi dari perbedaan kondisi geografis. Pada kondisi geografis wilayahnya berupa padang pasir, maka kegiatan ekonomi yang banyak ditekuni masyarakat adalah perdagangan. Dengan sendirinya di daerah ini profesi yang paling banyak adaah profesi pedagang. Di wilayah yang subur kegiatan ekonomi yang banyak ditekuni masyarakat adalah pertanian, perkebunan, dan perternakan. Sebagai konsekuensi logis dari bervariasinya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat
88
maka produk yang dihasilkannya menjadi bervariasi. Keragaman ini dapat dikaitkan dengan dua alasan utama; lokasi geografis yang luas dan perdagangan yang aktif. Lokasi geografis yang luas dari negara memungkinkan penggabungan berbagai musim dan kondisi cuaca yang pada gilirannya memungkinkan menghasilkan berbagai produk. Di samping itu, perluasan perdagangan antardaerah serta dengan negara lain telah membantu untuk menciptakan kondisi bagi keragaman aktivitas ekonomi dan produk yang dihasilkan. Jalur perdagangan yang membentang dari India di Timur hingga ke Mesir di Barat telah menampilkan berbagai aktivitas ekonomi dan menawarkan sejumlah komoditas yang bervariasi. Pada ute perdagangan itu, terutama di pasar-pasar sebagai tempat bertemunya
penjual
keanekaragaman
dan
pembeli,
komoditas
yang
akan
ditemukan
diperjualbelikan.
Keanekaragaman komoditas ini, pada gilirannya, mencerminkan variasi kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai produsen. 2.
Peningkatan Kekayaan Negara Peningkatan penerimaan negara dari zaman Khulafa al-
Rasyidin sampai dinasti Abbasiyah, mencapai apa yang dikenal sebagai
zaman keemasan, pendapatan negara mengalami
peningkatan yang sangat dramatis. Kenaikan ini mereflesikan pertumbuhan ekonomi, baik negara secara keseluruhan maupun masyarakat secara personal-personal. Kekayaan negara, terutama
89
yang bersumber dari pajak, pada masa dinasti Abbasiyah mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Persoalan pajak pada masa ini tampaknya telah mendapatkan perhatian yang sangat serius. Hal ini disebabkan karena masalah regulasi pajak semakin hari semakin bias. Ada ketidakjelasan terkit dengan masalah tarif pajak, basis pajak, efesiensi pengumpulan pajak, alokasi beban pajak, efesiensi distribusi penerimaan pajak, dan sebagainya. 3.
Perubahan Struktur Kepemilikan Tanah Ada tiga isu utama yang muncul pada masa Dinasti
Abbasiyah yang terkait dengan struktur kepemilikan tanh antara Muslim dan non-Muslim. Perrtama, hak umat Islam untuk memperoleh tanah dari non-Muslim, hak pengelolaan menjadi lebih penting selama Bani Ummayah dan Abbasiyah. Kedua, hak khalifah untuk memberikan tanah muslim sebagai penghargaan atas jasa. Ketiga, hak kepemilikan atas tanah yang tidak ada pemilik sebelumnya yang diabikan oleh siapa pun untuk dihidupkan kembali. Penggeserah gak milik ini, akan mengubah pula jenis pajak yang akan diterima oleh negara. Apabila tanah itu milik negara dan dikelola oleh individu, maka pajak yang diterima oleh negara adalah pajak Kharaj. Perkembangan peradaban Islam terjadi pada banyak sektor terutama pada periode awal Dinasti Abbasiyah. Upaya ke arah kemajuan ini sebenarnya sudah mulai sejak masa pemerintah alMansur. Yaitu dengan dipinahkannya pusat pemerintahan ke
90
Baghdad
tiga
tahun
setelah
dia
dilantik
menjadi khalifah. Dijadikannya kota Baghdad sebagai pusat kendali pemerintahan itu mempunyai arti tersendiri bagi perkembangan dan kemajuan di bidang ekonomi. Baghdad merupakan sebuah kota yang terletak di daerah yang sangat strategis bagi perniagaan dan perdagangan. Sungai Tigris bisa dilayari sampai kota ini. Begitu juga terdapat jalur pelayaran ke sungai Eufrat yang cukup dekat, sehingga barang-barang perdagangan dan perniagaan dapat diangkut mengalir menghilir sungai Eufrat dan Tigris dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Di samping itu, yang terpenting adalah terdapatnya jalan nyaman dan aman dari semua jurusan. Baghdad akhirnya menjadi daerah yang sangat ramai karena di samping sebagai ibukota kerajaan juga sebagai kota niaga yang cukup marak pada masa itu. Dari situlah negara akan dapat devisa yang sangat besar jumlahnya. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa Dinasti Abbasiyah, diiringi pula dengan bertambahnya jumlah penduduk , yang di mana semakin pesat pertumbuhan penduduk maka semakin besar dan banyak pula faktor permintaan pasar (demand). Hal ini pada gilirannya memicu produktivitas ekonomi yang tinggi. Adapun komoditi yang menjadi primadona pada masa itu adalah bahan pakaian atau tekstil yang menjadi konsumsi pasar asia dan eropa. Sehingga industri di bidang penenunan seperti
91
kain, bahan-bahan sandang lainnya dan karpet berkembang pesat. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri ini adalah kapas, sutra dan wol. Industri lain yang juga berkembang pesat adalah pecah belah, keramik dan parfum. Di samping itu berkembang pula industri kertas yang dibawa ke Samarkand oleh para tawanan perang Cina tahun 751 M. Di Samarkand inilah produksi dan ekspor kertas dimulai. Hal ini rupanya mendorong pemerintah pada masa Harun al-Rasyid melaluiwazirnya Yahya untuk mendirikan pabrik kertas pertama di Baghdad sekitar tahun 800M. Komoditas lain yang berorientasi komersial selain logam, kertas tekstil, pecah belah, hasil laut dan obat-obatan. Kemajuan di bidang ekonomi tentunya berimbas pada kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Puncak kemakmuran rakyat dialami pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang melimpah pada masa ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan di berbagai bidagn
seperti
sosial,
pendidikan,
kebudayaaan,
ilmu
pengetahuan, kesehatan, kesusastraan dan pengadaan fasilitasfasilitas umum. Pada masa inilah berbagai bidang-bidang tadi mencapai puncak keemasannya.
E. Kesimpulan Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbasiyah melewati rentang waktu yang sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258
92
M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa ini telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam bidang matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashawuf, yang juga melairkan tokohtokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah,
93
pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum. Dinasti
Abbasiyah
menjadikan
Islam
sebagai
pusat
perkembangan ilmu pengetahuan dan hal itu menjadi faktor berkembangnya perekonomian Islam pada masa itu. Dapat dikatakan bahwa, ada suatu kisah yang tak terharga nilainya dari peninggalan sejarah Dinasti Abbasiyah. Hal ini harus menjadi motivasi untuk membangun visi umat dalam mengembangkan perekonomian dunia.
LATIHAN SOAL
94
BAB VI SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA MASA ABAD PERTENGAHAN (DINASTI MAMLUK DAN UTSMANI)
A. Dinasti Mamluk 1.
Sejarah Terbentuknya Dinasti Mamluk (648 H/1250 M923 H/1517 M) Kata Mamluk berarti budak dan hamba yang di beli dan di
didik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai pemerintahan. Seorang mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba). Ini berbeda dengan abd yang berarti hamba sahaya yang di lahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus hamba dan kemudian dijual. Perbedaan lain adalah mamluk berkulit putih dan abd yang berkulit hitam. Sebagian mamluk berasal dari mesir, dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir pada kesultanan bani ayub. Para
95
mamluk dinasti Ayubi’yah berasal dari Asia Kecil, Persia (Iran), Turkistan dan Asia Tengah (Transoksiana), mereka terdiri atas suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa. Dinasti Mamluk atau mamalik didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayubi’yah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat, oleh penguasa Ayubi’yah yang terakhir, Al-Malik Al-Shaleh, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan materiil. Di Mesir, mereka di tempatkan di pulai Raudhah di sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan, karena itulah mereka dikenal dengan Mamluk Bahri (laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku kurdi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dinasti mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama di sebut dengan Mamluk Bahri, golongan pertama ini berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol dan Kurdi, tetapi kebanyakan dari budak/budak ini berasal dari Mongol dan turki. Mereka di tempatkan dipulau Raudhoh di
96
pinggiran sungai Nil. Disinilah mereka menjalani pelatihan militer dan pelajaran keagamaan. Karena penempatan inilah mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (budak laut atau air). Sementara itu, golongan yang kedua dinamakan Mamluk Burji. Para budak ini berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukakus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk. Kelompok ini dibentuk oleh Qallawun, raja mamluk bahri (1279-1290). Ketika Al-Malik AlSalih meninggal (1249 M), anaknya Turansyah naik tahta sebagai sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Istri Al-Malik Al-Salih, Syajarah Al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamluk berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik. Kepemimpinan Syajaruh AlDurr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajaruh Al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan Syar’I (formal) di samping dirinya bertindak sebagai penguasa
97
yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamluk. Kaum Mamluk berkuasa di Mesir sampai tahun 1517 M. merekalah yang membebaskan Mesir dan Suria dari peperangan Salib dan juga membendung serangan-serangan kaum Mongol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, sehingga Mesir terlepas dari penghancuran-hancuran seperti yang terjadi di dunia Islam lain. Dinasti Mamluk adalah kerajaan Islam yang mampu bertahan dari serangan Mongol dan Timur Lenk serta mereka juga mampu memporak-porandakan tentara Salib. Dengan kemenangan itu Dinasti Mamluk mampu menyatukan kembali Mesir dan Syam di bawah naungan Dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk berkuasa kurang lebih selama 265 tahun yang dimulai pada tahun 1250 M sampai tahun 1517 M. Di mana jumlah sultannya sebanyak 47 sultan. System pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer dan ada juga yang bersifat turun temurun. Kerajaan Dinasti Mamluk terbagi menjadi dua periode yaitu periode pertama dinamakan dengan Mamluk Bahri yang berkuasa mulai tahun 1250 – 1389 M. Pada masa ini banyak sultan-sultan yang terkenal diantaranya adalah Quruz, Baybars, Qalawun dan Nasir Muhammad bin Qalawun. Namun diantara sultan-sultan tersebut yang paling lama memerintah adalah Baybars yang mampu berkuasa selama tujuh belas tahun.
98
Kemudian periode kedua yaitu Mamluk Burji yang berkuasa mulai tahun 1389 – 1517 M. 2.
Karya-karya serta kemajuan pada Dinasti Mamluk
1) Bidang Ekonomi Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Itali melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fatimiyyah di Mesir sebelumnya. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan pengangkutan dan komunikasi antara kota, baik laut maupun darat. Keteguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan ekonominya. Kemajuan dalam bidang ekonomi yang dicapai oleh dinasti Mamluk lebih besar diperoleh dan sektor perdagangan dan pertanian. Di sektor perdagangan, pemerintah dinasti Mamluk memperluas hubungan dagang yang telah dibina sejak masa Fatimiyah, misalnya dengan membuka jalur dagang dengan Italia dan Prancis. Setelah jatuhnya Bagdad, Kairo menjadi kota yang penting dan strategis karena jalur perdagangan dan Asia Tengah dan Teluk Persia hampir dipastikan
melalui
Bagdad.
Keadaan
ini
menjadikan
berlimpahnya devisa negara terutama dan sektor perdagangan. Untuk mendukung kelancaran sektor ini, dinasti Mamluk memperbaiki sarana transportasi untuk memperlancar perjalanan 99
pedagang-pedagang terutama antara Kairo dan Damaskus. Dalam sektor pertanian, pemerintah mengambil kebijakan pasar bebas kepada petani, artinya petani diberi kebebasan untuk memasarkan sendiri hasil pertaniannya. Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H-689 H/1280M -1290 M) juga telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan administasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional. 2) Bidang Pembangunan Dinasti Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang pembangunan. Banyak juru bina dibawa ke Mesir untuk membangunkan sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah, rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah, dan menara masjid. Situs yang dapat dilihat sampai sekarang dari dinasti Mamluk yaitu Masjid Qal’ah (Benteng) yang berada di Yerussalem. Masjid yang dibangun oleh Sultan al-Nashir Muhammad bin Qalawun, salah satu penguasa Dinasti Mamluk ini pada 1310 M, kini diubah menjadi Museum Benteng Dawud oleh Zionis Israel setelah direbut dari rakyat Palestina pada Perang 1967. Lokasi situs bersejarah ini terletak di dalam benteng kawasan kampung lama, Yerussalem, di Perempatan Armenia. 100
3) Bidang Ilmu Pengetahuan Di dalam ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuan-ilmuan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena
itu,
ilmu-ilmu
banyak
berkembang
di
Mesir.
Seperti sejarah, perobatan, astromi, matematika dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama Nasir Al-Din Al-tusi. Di bidang perobatan Abu Hasan ‘Ali Al-Nafis. Sedangkan, dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Ibn Taimiyah, Al-Sayuthi, dan Ibn Hajar Al‘Asqalani. 4) Bidang Militer Pemerintahan dinasti ini dilantik dari pengaruhnya dalam militer. Para Mamluk yang dididik haruslah dengan tujuan untuk menjadi pasukan pendukung kebijaksanaan pemimpin. Ketua Negara atau sultan akan diangkat di antara pemimpin tentera yang
terbaik,
yang
paling
berprestasi,
dan
mempunyai
kemampuan untuk menghimpun kekuatan. Walaupun mereka adalah pendatang di wilayah Mesir, mereka berhasil menciptakan ikatan yang kuat berdasarkan daerah asal mereka. Dinasti Mamalik juga menghasilkan buku mengenai ilmu militer.Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu.Perbahasan yang sering 101
dibahas adalah mengenai seluk-beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa Mongol. Pada lingkungan ketenteraan Dinasti ini, menghasilkan banyak karya tentang ketenteraan, khususnya keahlian menunggang kuda. 5) Bidang Budaya Politik Daulah Mamalik atau Dinasti Mamluk membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, Bentuk pemerintahan oligarki militer adalah suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan kepemimpinan berdasarkan kekuatan dan pengaruh, bukan melalui garis keturunan, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan. Sistem Oligarki Militer lebih mementingkan kecakapan, kecerdasan, dan keahlian dalam peperangan. Sultan yang lemah bisa saja disingkirkan atau diturunkan dari kursi jabatannya oleh seorang Mamluk yang lebih kuat dan memiliki pengaruh besar di
102
tengah-tengah masyarakat. Kelebihan lain dari sistim oligarki militer ini adalah tidak adanya istilah senioritas yang berhak atas juniornya untuk menduduki jabatan sultan, melainkan lebih berdasarkan keahlian dan kepiawaian seorang Mamluk tersebut. 6) Bidang Agama Ajaran sunni dikembangkan di kalangan masyarakat oleh ulama-ulama dan mubaligh yang dididik di universitas Al-Azhar. Untuk melayani perkara yang muncul, pemerintahan dinasti mamluk mangangkat Qadhi atau Hakim untuk tiap-tiap mazhab fiqh sunni, yaitu: qadhi Mazhab hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. 3.
Berakhirnya Dinasti Mamluk Setelah memiliki kemajuan-kemajuan diberbagai bidang,
yang tercapai berkat kepribadian dan wibawa sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Namun faktor-faktor tersebut menghilang, dinasti Mamluk sedikit demi mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama Mamluk Burji, yang untuk pertama kalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antarsesama militer menurun, terutama setelah Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan.
103
Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Di samping itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa melalui Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit. Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran menentukan di luar kota Kairo tahun 1517 M. Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Utsmani sebagai salah satu provinsinya.
B. Dinasti Utsmani 1.
Sejarah Singkat Terbentuknya Dinasti Utsmani Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabilah Oghuz
(Ughuj) yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Pada abad ke-13 M, Jengis Khan mengusir orang-orang Turki dari Khurasan dan sekitarnya. Kemudian, mereka bermukim di Asia kecil. Di sana mereka mengabdi di bawah pimpinan Sultan Alauddin Kaikobad, yang berperang melawan Bizantium (Romawi Timur). Saat Mongol menyerang Sultan Alauddin di Angkara, Ertogrul (Al-Thugril) membantu mengusir Mongol. Atas bantuannya juga, Alaudin Kaikobad menang
104
melawan Bizantium. Sehingga berkat jasanya itu, Alauddin memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya. Ertogrul, mendirikan ibukota bernama Sungut, di sana lahir anak pertama bernama Usman pada 1258 M. Al-Thugril meninggal pada 1288 M. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Pada tahun 1300 M, Sultan Alauiddin Kaikobad terbunuh saat melawan bangsa Mongol. Kerajaan terpecah-belah, akhirnya Usman mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan, maka sejak itulah berdiri Dinasti Turki Usman. 2.
Perkembangan Pemikiran Ekonomian Utsmani Sebutan dari Bani Utsmani adalah Turki Utsmani yang biasa
disebut bangsa Eropa sebagai Ottoman. Menurut Ash-Shalabi keadaan
ekonomi
pemerintahannya
Turki
justru
Utsmani
terbalik
di
dengan
periode
akhir
saat-saat
awal
pemerintahannya. Terungkap pada kisah saat delegasi Yahudi Theodore Hertzl meminta kepada Sultan Abdul Hamid II agar kaum Yahudi dibolehkan untuk menduduki tanah Palestina dengan
menawarkan
dengan
berbagai
tawaran.
Sejarah
perekonomian Utsmani dibagi kedalam dua periode. Pertama periode klasik yang mana berbasis kepada pertanian, khalifah utsmani memberikan keleluasaan kepada setiap wilayah untuk
mengembangkan
potensi
pertaniannya.
Kedua
era
reformasi yaitu era perbaikan pengaturan sistem pemerintahan, terdiri dari perbaikan sistem administrasi publik dan perubahan
105
sistem politik pada masa itu dari tangan militer kepada publik, tujuannya untuk memberikan fungsi layanan publik yang lebih baik. Sumber pendapatan Utsmani banyak diperoleh dari perluasan wilayah (ekspansi militer) serta dari sektor fiskal yaitu pajak. kekuatan ekonomi khilafah Utsmani berasal dari sumber daya ekonomi yang terdapat di wilayah Utsmani, berikut ini adalah berbagai kekuatan ekonomi di wilayah Turki : a.
Daratan Di Anatolia, Khalifah Utsmani diwarisi sebuah jalur
Caravanserai dari pendahulu mereka yaitu Seljuk Turks. Jalur ini menjadi semacam keuntungan bagi Utsmani, karena menjamin keamanan pengantaran barang dan rombongan karapan dagang dengan disediakannya penginapan bagi para pedagang serta hewan-hewan tunggangannya di wilayah Jalur Caravanserai. b.
Laut Dibawah kepemimpinan Sultan Bayazid
II, Utsmani
mempunyai kekuatan angkatan laut yang kuat. Angkatan laut ini ditugaskan untuk memberantas perompak. Secara dimplomatik, dengan kekuatan angkatan laut maka akan menguntungkan para pedagang baik dari dalam maupun dari luar, sehingga pengembangan perekonomian bisa dilakukan.
106
c.
Pertanian Khilafah
Utsmani
adalah
negara
pertanian
karena
mempunyai lahan yang subur, hal ini bisa dilihat dari pajak yang dihasilkan pertanian sekitar 40% bagi pendapatan pajak negara. Daerah yang menjadi sumber pertanian Utsmani ini diantaranya Anatolia. Dari
penjelasan
pemerintahan
Bani
diatas,
maka
Utsmani
masih
dapat
dilihat
meneruskan
bahwa kegiatan
perekonomian di masa sebelumnya. Berikut beberapa pemikir dalam masa Utsmani yang berkontribusi pada pemikiranpemikiran ekonomi diantaranya adalah sebagai berikut : a.
Hajji Khalifah Bangsa Turki mengenalnya dengan katib chelebi. Pada tahun
1630 M, bersama Kocu Bey menulis tentang feomena ekonomi Utsmani dalam perdagangan internasional
serta ekonomi
domestik. b.
Cemal Kafadar Salah seorang pemikir Utsmani yang cenderung pada
pemikirian ekonomi ialah Cemal Cafadar walaupun belliau tidak sehebat Ibn Khaldun atau Al-Maqrizi. Kafadar mengkritik kebijakan penurunan nilai terhadap mata uang logam yang diterapkan oleh pemerintah pusat Utsmani untuk mengatasi Inflasi.
107
c.
Mustafa Ali Mustafa Ali mengkritik kebijakan ekonomi pemerintahan
pusat Utsmani yang terlalu bergantung pada jumlah perputaran uang beredar dalam mengendalikan iflasi, melalui pemikiran politik, sosial dan analisis sejarah. 3.
Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Utsmaniyah
a.
Kebijakan Moneter Pada abad ke-16 merupakan era kecemerlangan daulah
Ustmaniyah sebagai sebuah daulah Islam yang besar dan dianggap sebagai pemimpin dunia Islam. Pada masa itu pula kita bisa
menyaksikan
pencapaian
daulah
Ustmaniyah
dalam
perluasan kuasa politik yang meliputi benua Asia dan Eropa, pembangunan sosial dan juga ekonomi. Skop ekonomi terfokus membincangkan sejarah mata uang daulah Ustmaniyah dari segi pembuatan, penggunaan material, nilai mata uang dan juga transaksi yang dilakukan. Di samping itu, tinjauan juga dilakukan terhadap penggunaan mata uang daulah Ustmaniyah serta hubungannya terhadap perkembangan sistem mata uang Eropa. b.
Kebijakan Fiskal Sumber pemasukan uang hasil pajak pada pemerintahan
Ustmaniyah bersumber dari 3 sektor, yaitu: pajak langsung, pajak tidak langsung dan keuntungan ekonomi. Pajak langsung merupakan pendapatan utama kerajaan Ustmaniyah yang
108
diperoleh dari pajak sektor pertanian, pendapatan, kambing Agnam dan lain sebagainya. Sedangkan pajak tidak langsung hanya mampu dijadikan sebagai pemasukan tingkat ketiga, yang mana pajak ini bersumber dari biaya masuk petani tembakau selain penduduk Istanbul. Pajak terakhir dari keuntungan ekonomi bersumber dari produksi garam, penjualan hasil tambang, hutan dan perikanan. Pada hakikatnya pendapatan dari ke 3 sektor ini akan bertambah, apabila pada masa bersamaan kerajaan Ustmaniyah mampu menguasai wilayah baru, sehingga pendapatan akan bertambah.
C. Kesimpulan Dinasti Mamluk adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh para budak yang berasal dan Turki yang dijadikan tentara oleh Malik as-Shalih Najamuddin Ayyub sebagai pengawal kerajaan, akan tetapi mereka diberi kebebasan dan kesempatan yang luas untuk mencapai kedudukan dalam jajaran militer. Mereka akhimya mendirikan suatu kelompok militer yang terorganisir lalu kemudian merebut kekuasaan, sehingga menjadikan Syajarat al-Dur sebagai orang pertama yang memegang jabatan sultan pada dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk juga membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti yang bersifat oligarki militer dapat memberikan kemajuan-kemajuan di capai dalam berbagai
109
bidang, seperti konsiladasi pemerintahan, perekonomian, dan Ilmu pengetahuan. Peran dinasti Mamluk dalam menjaga peradaban di Mesir dibuktikan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahannya. Pada masa dinasti Mamluk berkuasa benyak kemajuan yang dicapai, hal tersebut memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan dunia Islam. Adapun kemajuan yang dicapai pada saat itu adalah di bidang militer, politik, ekonomi, pendidikan dan ilmu pengetahuan dan seni arsitektur. Pada masa itulah banyak sekali ilmuan handal yang lahir dan memberi sumbangan pemikiran yang begitu besar terhadap peradaban Islam. Kemunduran dinasti Mamluk dikarenakan berbagai faktor antara lain faktor internal yaitu perebutan kekuasaan, kehidupan yang
bermewa-mewahan
dikalangan
pemimpin,
korupsi,
merosotnya sistem ekonomi. Dan faktor eksternal penyebab kemunduran dinasti Mamluk adalah munsulnya gejolak politik baru yakni Turki usmani kemudian menguatnya Turki Usmani dalam berbagai bidang sehingga dapat memukul mundur kekuatan dinasti mamalik sampai menghancurkannya. Sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Mamalik. Kerajaan Turki Utsmani merupakan kerajaan yang dipimpin oleh 40 sultan. Pada abad pertengahan memang masa yang paling bersejarah bagi bangsa arab, bahkan kemunduran bagi bangsa
110
barat, dalam segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah yang penting. Turki Utsmani yang memimpin selama kurang lebih 6 abad memberi bukti kejayaan nya sampai ke Eropa, akan tetapi dari stagnisasi bangsa Utsmani mereka lebih memajukan kemiliteran nya adalah satu hal yang terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin, dengan orientasi penaklukan konstatinopel, membuat mereka menjadi bersemangat menjadi kerajaan Turki Utsmani menjadi simbol kejayaan Islam. Karya-karya serta Kemajuan Dinasti Mamluk di Berbagai Bidang Bidang Ekonomi
➢ membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Itali melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh
dinasti
Fatimiyyah
di
Mesir
sebelumnya. ➢ pembangunan jaringan pengangkutan dan komunikasi antara kota, baik laut maupun
darat,
transportasi
memperbaiki untuk
sarana
memperlancar
perjalanan pedagang-pedagang terutama antara Kairo dan Damaskus ➢ Dalam sektor pertanian, pemerintah mengambil
kebijakan
pasar
bebas
kepada petani, artinya petani diberi
111
kebebasan untuk memasarkan sendiri hasil pertaniannya. Bidang
▪
Pembangunan ▪
Bidang Ilmu
•
Pengetahuan
membangunkan sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah, rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah, dan menara masjid. Situs yang dapat dilihat sampai sekarang dari dinasti Mamluk yaitu Masjid Qal’ah (Benteng) yang berada di Yerussalem. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama Nasir Al-Din Al-tusi.
•
Di bidang perobatan Abu Hasan ‘Ali AlNafis. Sedangkan, dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Ibn Taimiyah, Al-Sayuthi, dan Ibn Hajar Al‘Asqalani.
Bidang Budaya Politik
❖ Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan. ❖ Kelebihan lain dari sistim oligarki militer ini adalah tidak adanya istilah senioritas yang berhak atas juniornya untuk menduduki jabatan sultan, melainkan lebih berdasarkan keahlian dan kepiawaian seorang Mamluk 112
•
Bidang Agama
tersebut. mangangkat Qadhi atau Hakim untuk tiap-tiap mazhab fiqh sunni, yaitu: qadhi Mazhab hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Bidang
✓ Pada lingkungan ketenteraan Dinasti ini,
Militer
menghasilkan banyak karya tentang ketenteraan,
khususnya
keahlian
menunggang kuda. Perkembangan Pemikiran Ekonomian Utsmani Periode
berbasis kepada pertanian, khalifah utsmani
klasik
memberikan keleluasaan kepada setiap wilayah untuk mengembangkan potensi pertaniannya.
Era
era perbaikan pengaturan sistem pemerintahan,
reformasi
terdiri dari perbaikan sistem administrasi publik dan perubahan sistem politik pada masa itu dari tangan militer kepada publik, tujuannya untuk memberikan fungsi layanan publik yang lebih baik.
Kebijakan
- Penemuan Uang Akce, Studi kasus kebijakan
Moneter
moneter masa Ustmaniyah ditemukan pada tahun 2000 M, berupa ditemukannya 60.000
koin
Akce,1[1] tepatnya di wilayah Becin Kalesi Turki
113
oleh Prof Unal, Ege University Of Izmir. (Agoston & Masters, 2009, p. 616) Arkeologi berhipotesis bahwa koin ini merupakan uang Akce pada masa pemerintahan Ustmaniyah yang diproduksi pada abad ke-16 dan ke-17 M, -Kemerosotan Mata Uang Ustmaniyah Kebijakan
Sumber pemasukan uang hasil pajak pada
Fiskal
pemerintahan Ustmaniyah bersumber dari 3 sektor, yaitu: pajak langsung, pajak tidak langsung dan keuntungan ekonomi.
Latihan Soal 1. Apa kelebihan dari sistem pemerintahan yang bersifat oligarki militer? 2. Apakah inti dari pemikiran ekonomi pada masa dinsti Utsmani?
114
BAB VII SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA MASA PARA FUQAHA (IMAM ABU HANIFAH, IMAM MALIK, IMAM SYAFI’I & IMAM AHMAD BIN HANBAL)
A. Pengertian Ekonomi Kata Ekonomi berasal dari bahasa yunani (Greelj: Oikos dan Nomos, Oikos
berarrti rumah tangga (house-hold),
sedangkan Nomos berararti aturan, kaidah, atau pengelolaan. Dengan demikian secara sederhana ekonomi dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau cara pegelolahan rumah tangga.
115
Dalam bahsa Arab, ekonomi sering di terjemahkan dengan Al-iqtishadi yang berarrti hemat, dengan penghitungan, juga mengandung makna rasionalitas dan nilai secara implisit. Jadi, ekonomi adalah mengatur urusan rumah tangga, dimana anggota keluarga yang mampu, ikut terlibat dalam menghassilkan barangbarang berharga dan membantu menberikan jasa, lalu seluru yang ada, ikut menikmati apa yang mereka. Dari pengetian di atas sejalan denga tuuan ekonomi islam yang menurut Nik Mustafa, islam berorientasi pada tujuan (goal oriented).
Prinsip-prinsip
yang
mengarahka
dan
kolektif
bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan menyeluruh dalam tata sosial islam dan pengorganisasian kegiatan-kegiatan ekonomi pada tingkat individu Yusuf Al-Qardawi menyatakan bahwa ekonomi islam adalah ekonomi yang berasaskan ketuhanan, berasaskan kemanusiaan, berahklaq, dan ekonomi pertengahan. Dari pengertian yang di kemukakan oleh yusuf Al-Qardawi muncul 4 nilai-nilai utama yang terdapat dalam ekonomi islam sehingga menjadi karakteristik ekonomi islam, yaitu : 1.
Iqtishad rabbani (Ekonomi Ketuhanan)
2.
Iqtishad Akhlaqi (Ekonomi Akhlaq)
3.
Iqtishad Insani (Ekonomi Kerakyatan)
4.
Iqtishad Washati (Ekonomi pertengahan)
116
B. Sejarahwan Ekonomi dalam islam Sejalan dengan ajaran islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada al-qur'an dan hadist nabi, konsep dan teori ekonomi dalam islam pada hakikatnya merupan respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi islam sesuai islam itu sendiri. Karana pada hakikatnya ekonomi islam adalah metamorfosa nilai-nilai islam yang digunakan untuk menepis anggapan bahwa islam tak hanya membahas tentang ubudiyah atau komonikasi vertikal antara Allah dengan manuisa. Dari kutipan di atas terlihat bahwa pemikian ekonomi Islam di zaman klasik sangat maju dan berkembang sebelum para ilmuwan barat membahasnya di abad 18-19. Fakta ini harus diperhatikan para ahli ekonomi kontemporer tidak saja ekonom muslim tetapi juga yang non muslim di seluruh dunia. Dalam kajian ekonomi islam banyak terjadi perbedaan pendapat dari beberapa lmuan baik dari ilmuan muslim maupun dari ilmuan non muslim. Sebagai mana yang di jela maha pemilik seluruh apa dan siapa di dunia ini, langit bumi, manusia, hewan tumbuhan, batu-batuan, dan sebagainya, baik benda hidup maupun benda mati yang terlihat ataupun yang tidak terlihat, "Dan hanya kepunyaan allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi." (an-Najam: 3)
117
Semangat berijtihad di kalangan ulam sangat menonjol pada masa ini Kondisi ini mendorong pesatnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan termasuk bidang fiqih. Para fuqaha pada saat ini melakukan ijtihad untuk mencari formulasi fiqih guna menghadapi persoalan-persoalan sosial yang kompleks, dengan menggali dan menyikap sinar ajaran islam yang ada dalam al qur'an dan sunnah, mengenai masalah hukum yang ada termasuk masalah ekonomi. Periode keemasan ini di tandai dengan penyusunan beberapa kitab-kitab fiqih dan usul fiqih, seperti kitab muawatta' karya imam malik, kitab al umm karya imam syafi'i. C. Sejarah pemikiran ekonomi islam para fuqaha Untuk mendukung perkembangan ekonomi islm pada abad pertengahan yang di sebut dengan masa keemasan ini, para ulamak fiqih juga melakukan beberapa ijtihad, sehingga munculah beberpa kitab yang sudah di jelasakan di atas, setelah habis masa keemasan, muncul masa kemunduran fiqih yang diawali dengan melemahnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqih. Hal ini terjadi karena sikap taqlid dan tingginya rasa fanatisme madzhab dikalanagan mereka yang diperkuat dengan munculnya statemen bahwa pintu ijtihad telah tertup.
118
1.
Imam Hanifah
a.
Biografi Imam Hanifah Abu Hanifah Abu hanifah al-nu'man ibn sabit bin zauti, ahli
hukum agama islam dilahirkan dikufah pada 699 M masa pemerintahan abdul malik birn Marwan. Ia banyak meninggalkan karya tulis, antara lain AI-makharif fi Al-fiqh, Al-musnad, dan Al-figh Al-akbar. Abu hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam Namun abu hanifah lebih di kenal sebagai Imam Madzhab hukum yang sangat rasionalitas dan dikenal juga sebagai penjahit pakayan dan pedagang dari khufah. Semula Abu hanifah adalah seorang pedagang, sesudah tu ia beralih ke bidang ilmu pengetahuan. la seorang yang amanah pemah mewakili perdagangan pada waktu itu, ia berhasil meraih ilmu pengetahuan dan perdagangan sekaligus. Abu Hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang di beli di kirimkan setelah di bayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu hanifah mengkeritik prosedur kontrak tersebut yang cendrung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang
dengan
cara
membayar
dulu,
beliau
mencoba
menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam
119
kontrak, seerti jenis komoditi, kualitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan waktu pengiriman Abu Hanifah meninggal pada tahun 150 H, tahun dimana masa imam Syafi'i lahir, beliau di makamkan di pemakaman umum khaizaran. Beliau meninggalkan beberpa karya tulis diantaranya, al-makharif fi al fiqh, al-musnad, sebuah kitab hadist yang di kumpulkan oleh murid muridnya dan al-fiqh al-akbar. 2.
Imam Malik
a.
Biografilik Imam Malik Abu abdulillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin
Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Justail bin Amr bin al-Haris Dzi
Ashbah.
Imama
malik
dilahirkan
di
Madinah
al
Munawwaroh. Imam Malik adalah seorang imam dari kota madinah dan imam bagi penduduk hijaz, beliau salah seorang dari ahli fiqih yang terahir bagi kota Madinah dan juga yang terahir bagi fuqaha Madinah. Dalam buku giografi yang ditulis oleh Abu Zahra dijelaskan bahwa Malik bin Anas adala pendiri sekolah Hukum Islam dan a pakar tradisi kehidupan madinah. Beliau berumur hampir 90 tahun. Dan di lahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah, di suatu tempat yang benama Zulmarwah 120
disebelah utara kota Madinah dan kemudian beliau tinggal di AlAkik untuk sementara waktu yang kemudian beliau menetap di madinah. Imam Malik hidup di dua masa pemerintahan yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasyiyah, dimana pada masa itu terjadi perselisihan di antara kedua pemerintahan tersebut. Di samping tu pula beliau dapat menyaksikan percampuran antara bangsa dan keturunan yaitu orang arab persi, romawi, dan hindia. Beliau meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun Alrasyid di masa pemerintahan Abbasyiyah. Meninggal di madinah, pada tanggal 14 bulan Rabi ul Awwal tahun 179 H. Ada juga yang berpendapat beliau meninggal pada 11, 13 dan 14 bulan Rajab. 3.
Imam Syafi'i
a.
Biografiafi imam syaf’i Imam syafi'i di lahirkan di kota Ghazzah dalam palestina pada
tahun 105 H. Pendapat ini yang termasyhur di kalangan ahli sejarah
Tatkala
umurnya
mencapai
dua
tahun,
ibunya
memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman.Ada pula yang berpendapat beliau di lahirkan di Asqalan yaitu sebuah kota yang jauhnya kurang lebih tiga kilometer dari kota Gozzah dan tidak jauh dari Baitul Makdis, dan ada juga pendapat beliau dilahirkan di kota Yaman.
121
Imam Syafi'i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, ketika beliau diserahkan ke bangku pemdidikan, para pendidik tidak mendapat upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Kecerdasan dan ketajaman akalnya yang memilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setelah menginjak umur yang ketujuh Imam Syafi'i telah menghafal seluruh al-qur'an dengan baik. Imam Syafi'i jug mempunyai suara yang sangat merdu, tatkala beliau menginjak umur ke tiga belas beliau memperdengarkan bacaan-bacan alqur'annya di masjid alharam. Hakim mengeluarkan hadist yang yang di riwayatkan oleh Bahr ingin menangis kami mengatakan kepada sesama kami, "pergilah kepada pemuda syaf" apabila kami telah sampai kepadanya ia mulai membuka al-qur'an dan membaca al-qur'an sehingga manusia yang ada di sekelilingnya banyak yang berjatuhan di hadapannya karna kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan kemerduan suara yang dimilikinya, sedemikian tingginya ia memahami al qur'an sehingga sangat berkesan bagi para pendengarnya." Pada masa remaja Imam Syafi'i memegang jabatan di "Najran" setelah orang Quraisy memberitahukan kepada gubenur Yaman untuk mengambil Imam syafi'i untuk bekerja di Negri Yaman. Keadailan dan kejujuran Imam syafi'i di ketahui oleh orang banyak. Banyak dari penduduk Najran yang mencoba mengusir kedudukan beliau, tetapi mereka tidak berhasil. Imam Syafi'i berkata apabila gubenur datang kepada mereka,mereka
122
mencari muka mencoba sedimikian dengan ku, tetapi mereka gagal. 4.
Imam ahmad bin Hambal
a.
Biografi imam ahmad bin Hambal Ahmad bin Hambal di lahirkan di kota baghdad, pada bulan
Rabiul Awwal tahun 164 H, yaitu setelah ibunya berpindah dari kota Murwa tempat tinggal ayahnya. Beliau ialah: Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyin bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Syaiban, mendapat gelar Al-Mururi kemudian Al- Baghdadi. Keturunan Ibnu Hambal bertemu dengan keturunan Rasulullah. Bapaknya adalah seorang pejuang yang handal sementara datuknya adalah seorang gubenur di
wilayah
Sarkhas
dalam
jajahan
Kharasan,
di
masa
pemerintahan Umawiyyin. Ibnu Hambal mengalami sakit yang membawa kepada kematian yang membuat hatinya Ketika beliau dalam keadan sakit tidak ada perkara selalu berfikir kecuali beberapa perkara: yaitu sholat, memikirkan tentang permbagian hart padanya. Beliau terkena penyakit demam panas pada hari pertama di bulan Rabi'ul awwal tahun 240 H, sehingga beliau tidak bisa kemanmana kecuali dengan pertolongan.
123
Ahmad bin Hambbal meninggal dunia pada pagi hari jum'at tanggal 12 bulan Rabi'ul Awwal tahun 241 H, mayatnya di mandikan oleh Abu Bakar Ahmad bin Al-hujjaj Al-Maruzi, beliau sangat terkesan dengan kematiannya. Jenazahnya di kebumikan setelah sholat jum'at di Baghdad dan juga di iringi oleh puluhan rakyat jelata.
D. Studi komparasi pemikiran abu hanifah, imam malik, imam syafi'i, imam ahmad ibnu hambal Komparasi pemikiran adalah sebuah perbandingan pemik antara satu para fuqaha tidak memberikarn ngan yang lainnya. Setelah abat kedua sumbangsi pemikirannya tentang ekonomi secara utuh. Para fuqaha hanya menganalis isi bagaimana transaksi yang di lakukuan oleh rasul melalui leteratur fiqih dan berdasarkan Al-qur'an dan hadist. Kama Al-qur'an dan hadis banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya ummat islam berperilaku sebagai produsen, konsumen, dan pemilik modal. Oleh kama itu para fuqaha mengkaji lebih mendalam lagi melalui prosedur ijtihad yang sudah di tetapkan oleh syara hususnya masalah akad dalam transaksi. Karna Transaksi yang berlandaskan syari'ah sangat di tentukan dengan akad dan ni yang membedakan dengan transaksi secara komersial, yang tidak terlalu mempermasalahkan dengan akad.
124
Dalam bertransaksi (Mu'amalah) para ulamak fiqih berbedabeda dalam mendefinisikan di antaranya : Imam Abu Hanifah mengatakan dalam jual beli "menjual barang dengan salah satu mata uang mas dan perak" imam Hanifah memandang akan terjadi jual beli secara syah jika jual beli tersebut menggunakan mas dan perak tidak dengan barter. Imam Malik mengatakan dalam jual beli "sesuatu yang di pahami dari jual beli secara mutlak. Imam Syafi'i mengatakan dalam jual beli "jual beli adalah tukar menukar barang pada saat tertentu" maksudnya adalah jual beli secara syara' adalah tukar menukar barang dengan apa saja yang bermilai akan tetapi menghususkan harus ada sebuah tempat dan waktu, karna madzhab imam syaff'i melarang jual beli jika di antara keduanya tidak ada kejelasan. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan dalam jual beli "jual beli adalah tukar menukar barang pada saat tertentu kecual riba dan hutang. Dalam mendefinisikan jual beli para ulamak fiqih sudah berbeda pandangan, sudah barang tentu dalam masalah akad perbedaan ni akan terjadi namun pada dasarnya perbedaan ini tidak akan melenceng dari praktek yang sudah di tetapkan, hanya saja para ulama' berbeda dalam menafsiri ayat-ayat alqur'an dan hadis nabi.
125
1.
Pemiikiran fuqaha tentang harta Harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting dan
merupakan salah satu perhiasan dunia. Secara literal harta (almal) berarti sesuatu yang naluri manusia condong kepadanya. Dalam terminologi fiqh Para imam mazhab memiliki pandangan yang berbeda tentang harta. Imam Hanafi menekankan batasan harta pada term "dapat disimpan Hal ni mengisyaratkan pengecualian aspek manfaat. Manfaat bukan merupakan bagian dari konsep harta, melainkan masuk dalam konsep milkiyah. Berdasarkan pendapat ini, harta diartikan sebagai sesuatu (yang selain manusia) yang manusia mempunyai keperluan terhadapnya dapat disimpan untuk ditasharufkan (digunakan pada saat diperlukan). Jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi'i, dan imam Hambali) berpendapat bahwa harta tidak hanya terbatas pada materi tetapi juga manfaat. Menurut pandangan jumhur, kegunaan atau manfaat barang merupakan unsur terpenting dari harta karena nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas manfaatnya. 2.
Pemikiran Fuqaha tentang riba Dalam penetapan hukum bahwa riba itu haram, seluruh
ulama telah sepakat tentang hal tersebut. Banyak pandangan yang berbeda di kalangan ulama fiqh mengenai konsep riba, dalam
126
tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan pendapat yang dianggap paling berdampak pada praktik keuangan baik dalam dimensi pemikiran klasik maupun kontemporer. Hal tersebut adalah tentang pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman riba. Imam Hanafi, imm Malik dan imam Hambali membagi riba menjadi dua bagian, yaitu riba fadhI jaul beli barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satunya) dan riba nasi'ah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan). Sedang imam Syaff'i membagi riba menjadi tiga bagin, yaitu riba fadhl (menjual barang dengan sejenisnya tetapi yang satu dilebihkan), riba yad (jual beli dengan mengakhirkan penyerahan barang tanpa harus timbang terima), dan riba nasi'ah jual beli yang pembayarannya diakhirkan tetapi harganya ditambah). Pendapat yang berbeda juga terdapat pada alasan (illat) yang dikemukakan dalam pengharaman riba. Menurut imam Syafi’i dan imam Hambali: dalam emas dan perak, alasannya berkisar masalah perbedaan harga atau sejenisnya. Sedang dalam gandum, kurma dan sejenisnya, karena itu merupakan bahan makanan (yang mengandung rasa manis dan minyak), dapat ditakar atau dapat ditimbang. Menurut imam Hanafi: illat riba dalam emas dan perak, karena keduanya termasuk barang yang bisa ditimbang maka riba masuk dalam segala barang yang bisa ditimbang,
127
termasuk gandum, kurma dan sejenisnya. Sedang menurut imam Malik: dalam masalah gandum, kurma dan sejenisnya, illat ribanya adalah karena merupakan bahan kebutuhan pokok. Imam Syafi'i menemukan dua hal/barang riba (barang ribawi), yaitu mata uang dan maknn. Imam Malik menambahkan sifat tertentu pada makanan: bahan makanan pokok dan yang dapat diawetkan Imam Hanafi dan imam Hambali hanya melihat satu sebab, barang-barang yang dijual dengan ditimbang (bobot) atau ditakar (isi). 3.
Pemikiran Fuqaha Tentang Jual Beli Jual
beli
disyari'atkan
berdasarkan
konsensus
kaum
muslimin. Karena kehidupan manusia tidak bisa lepas dari aktivitas tersebut. Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda. Ada beberapa perbedaan pandangan antar ulama yang menjadi landasan penetapan hukum jual beli pada masa dahulu dan praktiknya terus berjalan hingga sekarang dengan berbagai bentuk modifikasi. Tentang jual beli yang dilakukan hanya dengan serah terima barang tanpa kata akad terdapat perbedaan pandangan. Imam Hanafi, imam Syafi'i dan mam Hambali menyatakan jual beli tersebut tidak sah berdasarhan hadits, "jual beli dilakukan atas dasar saling rela". Rela adalah persoalan hati yang samar, tidak bisa diketahui kecuali diucapkan. Sedang menurut imam Malik 128
jual beli tersebut sah meski tanpa akad karena serah terima barang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah rela dan menerima hal tersebut. Dalam jual beli dikenal adanya khiar Tentang hal ini juga ada perbedaan pandangan. Menurut imam Syafi'i dan imam Hambali jika kesepakatan jual beli terjadi, masing-masing penjua dan bembeli punya hak khiyar (hak pilih) selama belum berpisah atau punya hak untuk memastikan jadi tidaknya transaksi. Sedang menurut imam Hanafi dan imam Malik jika transaksi jual be terjadi, mas ing-masing penjual dan pembeli sudah tidak mempunyai hak khiyar Transaksi telah sempurna dan telah terjadi dengan adanya akad. Lebih jauh, tentang khiyardalam hal jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau belum pernah diperiksa menurut imam Hanafi, imam Malik dan mam Hambali pembeli mempunyai hak khiyar untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli ketika melihatnya. Sedang menurut imam Syafi'i jual beli terhadap benda yang ghaib tidak sah sehingga tidak ada hak khiyar di dalamnya. 4.
Pemikiran Fuqaha dalam Usaha Kemitraan Kerjasama
usaha
yang
umum
dilakn
dalam
bisnis
diantaranya syirkah mudharabah, wakalah dan sebagainya. Di sini akan dikemukakan tentang perbedaan pendapat di antara ulama dalam beberapa aspek kerjasama usaha. 129
Tentang pembagian keuntungan yang tidak sama dalam sirkah, imanm Malik dan imam Syafi'i menyatakan bahwa dalam syirkah 'inan, jika modal masing-masing sama tetapi pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak (batal) Menurut Syafi'i, dalam syirkah 'inan modal masingmasing harus dicampur sampai tidak bisa dibedakan lagi satu dengan lainnya dan tidak ditentukan pembagian hasilnya. Sedang menurut imam meski modal masing-masing pihak sama adalah boleh, jika memang telah ditentuk an demikian. Pembagian Hanafi pembagian keuntungan yang tidak sama, keuntungan tidak hanya didasarkan atas modal, tapi juga atas masa kerja, besarmya tanggung jawab dan lainnya. Dalam mudharabah, terdapat beberapa perbedaan pendapat dalanm beberapa aspek. Tentang pembatasan masa kerjasama, menurut imam Malik imam Syafl'i dan imam Hambali tidak dibolehkan karena tujuan mudharabah adalah untuk mendapatkan keuntungan. Batasan waktu akan menghilangkan tujuan tersebut. Sedang menurut imam perjanjian kerjasama mudharabah boleh dilakukan dalam jangka waktu tertentu karena pemilik modal mempunyai
hak
untuk
menghentikan
atau
membatalkan
perjanjian kapan saja. Selain itu, tentang kerugian yang disebabkan oleh p engelola imam Malik, imam Syafi'i dan imam Hambali berpendapat bahwa kerugian itu adalah tanggung jawab pengelola bukan pemilik
130
modal. Sedang menurut imam Hanafi, tanggung jawab atas kerugian ada pada pemilik modal bukan pada pengelola karena itu adalah kelalaian pemilik modal yang menyerahkan modal tanpa memperhitungkan kemungkinan baik buruknya. Dalam pengelolaan usaha mudharabah, menurut imam Hanafi dan imam Syaff'i pemilik modal boleh ikut bekerja. Kerugian dan keuntungan yang diakibatkan adalah tanggung jawabnya sendiri. pengelola tidak ikut menanggung kerugian dan tetap mendapat upah atas kerjanya. Sedang menurut imam Malik, pemilik modal tidak boleh ikut bekerja karena akan mempersulit posisi pengelolah. Dalam penentuan kegiatan pengelola (manajerial usaha), imam Malik dan imam Syafi'i berpendapat bahwa pemilik modal tidak boleh membatasi gerak kegiatan pengelola karena pemilik modal belum tentu lebih pandai dari pengelola. Sedang imam Hanafi dan imam Hambali berpendapat bahwa pemilik modal boleh membatasi gerak kegiatan bisnis pengelola sebab pemilik modal pasti lebih mengerti daripada pengelola. 5.
Pemikiran fuqaha tentang Gadai Dalam operasional gadai terdapat bebe cara pandang berbeda
pada kalangan ulama. Menurut Imam Malik; jaminan dengan akad (janji) saja telah dianggap cukup, meski barang yang dijadikan jaminan tidak diserahkan pada pihak pemberi utang. Ini untuk orang-orang tertentu yang bisa dipercaya kata-kata dan 131
janjinya. Sedang menurut imam Hanafi, Syaffi dan Hambali akad jaminan atau gadai tidak sah tanpa penyerahan barangnya. Ini untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkn. Mereka biasanya hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan rapa aspek esensial yang membawa orang lain. Tentang penguasaan kreditur atas barang jaminan terdapat perbedaan pandangan. Menuut Imam Syafi'i penguasaan kreditur atas barang jaminan (gadaian) tidak termasuk syarat akad gadai. Ini
untuk
orang
kebanyakan
yang
biasanya
kurang
memperhatikan persoalan keadilan dan agama. Sedang Menurut Imam Hanafi dan Malik; kreditur harus menguasai barang yang digadaikan barang yang dijadikan jaminan utang). la termasuk syarat sah gadai. Jika barang gadai lepas dari tangannya, batal akad gadainya. Tetapi, jika kembalinya barang kepada pemberi gadai tersebut karena persoalan utang atau titipan, akad gadai memperhatikan agama dan keadilan. Sungguh, kreditur tidak mengambil barang kecuali sebagai jaminan atas hak-haknya. Jika barang yang digadaikan (yang dijadikan jaminan) lepas dari tangannya berarti sama dengan tidak menerima jaminan dan ia tidak dapat ganti rugi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Sedemikian, sehingga penguasaan kreditur atas barang jaminan termasuk syarat sah akad gadai.
132
Dalam praktek gadai, jika terjadi satu barang dipergunakan sebagai jaminan atas dua macam utang, maka Menurut imam Hanafi, Syaff'i’i dan Hambali barang gadaian tetap hanya menjadi jaminan atas utang yang pertama, tidak termasuk utang kedua. Sedang menurut Imam Malik menjadikan barang jaminan untuk dua macam utang pada orang yang sama adalah boleh, jika pihak kreditur memang mau menerima hal tersebut. Apalagi bagi orang-orang yang jujur dan bisa dipercaya. Mereka bahkan mau menerima meski tanpa ada jaminan sekali pun. Tentang pemanfaatan barang gadai, menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik; kedua Imam tersebut sependapat bahwa manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan (pemilik barang). Murtahin tidak dapat mengambi manfaat daripadanya, kecuali atas izin dari pihak yang menggadaikan. Menurut imam Hambali penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat dari barang gadaian apabila barang yang digadaikan itu hewan yang tidak bisa ditunggangi dan diperah. Sedangkan apabila barang yang digadaikan itu hewan yang dapat ditunggangi dan diperah, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dengan menunggangi dan memerah susunya sesuai dengan biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Sedang menurut Imam Hanafi manfaat dari barang gadaian adalah hak penerima gadai, karena barang gadaian berada di tangan dan kekuasaan penerima gadai.
133
E. Pengaruh Pemikiran 4 Imam Mazhab tentang
Ekonomi Terhadap Perkembangan Pemikiran Ekonomi Kontemporer 1.
Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Harta Perbedaan konsep tentang harta dari para imam mazhab ini
menimbulkan pengaruh yang berbeda pula. Contohnya: tentang pemanfaatan seseorang terhadap harta orang lain (ghasab), jika mengikuti pendapat jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi'i dan imam Hambali) maka pemilik barang berhak menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tersebut. sedang menurut imam Hanafi, pemilik tidak berhak menuntut ganti rugi karena aspek manfaat tidak termasuk dalam harta. Contoh lain adalah tentang wakaf Menurut imam Hanafi kepemilikan barang yang diwakafkan tidak harus lepas dari wakif dan dibenarkan bagi wakifuntuk menariknya kembali serta boleh menjualnya. Sedang menurut jumhur fuqaha, harta wakaf tidak lagi menjadi milikwakif melainkan secara hukum menjadi milik Allah atau secara terminologi sosiologis harta wakaf menjadi milik masyarakat umum dan wakif tidak boleh menariknya kembali apalagi menjualnya. 2.
Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Riba Semua mazhab menyatakan bahwa larangan riba berlaku
bagi barang yang memiliki satu (sub) sebab tunggal. Imam
134
Hanafi dan imam Hambali melarang ual beli makanan dengan tembaga
secara
kredit
(keduanya
ditimbang)
namun
membolehkan jual beli makanan dengan garam secara kredit (salah satunya ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik dan imam Syafi'i, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara makanan
atau
mata
uang,
mempunyai
pendapat
yang
bertentangan dengan Imam Hanafi dan imam Hambali. Yang lebih kontemporer misalnya tentang minyak mentah. Menurut imam Hanafi dan imam Hambali minyak mentah termasuk ribawi, tetapi tidak menurut Syaff'i dan Maliki. Masih dalam konteks riba, pandangan para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi pemikiran para pakar dalam menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur'an dan Hadits yang sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy. yang berada di balik ketentuan riba adalah tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran. Ini juga yang kemudian mempengaruhi pemikiran bahwa pinjaman qard tanpa bunga sah sedang jual beli dengan penangguhan barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan harga sama yang dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur ketidak setaraan dalam jual beli yang akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam analisis teknis fiqh, pinjaman selalu siap dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu,
135
sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi pinjaman dan mengurangi risiko pasamya. Ibn Qayyim dari mazhab Hambali juga memaparkan bahwa dali bagi pelarangan adalah untuk mencegah eksploitasi dari kaum yang kuat atas kaum yang lemah, memaksa investor menanggung risiko investasi, meminimalkan perdagangan uang dan bahan makanan, serta mengaitkan keabsahan tungan dengan pengambilan risiko. 3.
Implikasi perbedaan Konsep tentang Jual Beli Pada masa kini praktik jual beli telah mengalami berbagai
perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sesuai dengan perubahan zaman. Perbedaan pendapat tentang keabsahan jual beli hanya dengan serah terima barang tanpa akad dalam praktik kekinian memunculkan implikasi yang berbeda pula. Jika menurut jumhur, maka praktik jual beli dengan sistem swalayan seperti dilakukan di minimarket /supermarket departement store yang hanya dilakukan dengan melihat, memilih dan diakhiri dengan pembayaran tanpa akad adalah tidak sah. Jika ada percekcokan antara penjual dan pembeli di kemudian hari, hakim tidak bisa memeriksa dan menyelesaikan persoalan itu karena tidak ada saksi atau bukti. Dalam konteks kekinian dengan kian maraknya unsur wanprestasi dalam perjanjian jual beli kata-kata akad saja belum memadai dan didukung bukt lain seperti kuitansi, akte dan sejenisnya untuk memperkuat akad. Sedang jika
136
menurut imam Malik jual beli dengan sistem swalayan sah karena dengan adanya serah terima barang berarti sudah menunjukkan kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela mereka tidak akan melakukannya. Praktik jual beli pada masa modem tidak lagi selalu mengikuti tradisi masa lalu yang dilakukan di suatu tempat tertentu (pasar) antara penjual dan pembeli yang bertemu dan bertransaksi.
Kini,
jual
beli
dilakukan
tanpa
harus
mempertemukan penjual dan pembeli dalam satu majelis. Jual beli dapat dilakukan melalui telepon nternet, dan berbagai sarana komunikasi/perhubungan lainnya. Jika mengikuti pendapat imam Syafi'i, praktik jual beli tersebut tidak sah karena tidak berada dalam satu majelis dan barangnya pun tidak ada di tempat akad. Namun jika menurut jumhur, praktik tersebut sah dan diikuti oleh hak khiyar bagi pembeli untuk membatalkan atau meneruskan akad saat barang dilihatnya. 4.
Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan) Dalam aktivitas ekonomi terutama bidang keuangan dan
perbankan konsep kerjasama usaha (kemitraan) ini akan selalu ada. Dalam praktik pembiayaan musyarakah di bank Syariah dua pendapat berbeda ini sama-sama memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap kebijakan penetapan nisbah bagi hasl dan risiko kerugian antara pihak bank dan nasabah. Jika menurut
137
pendapat imam Hanaf pembagian keuntungan yang berbeda dibolehkan. Ini diterapkan dalam pembagian keuntungan secara unproporsional sesuai kesepakatan. Jadi dapat terjadi antar pihak yang bekerjasama menperoleh alokasi keuntungan yang tidak sama. Menurut pendapat imam Malik dan imam Syaffi keuntungan harus dibagi sama karena modal usaha pihak-pihak yang bekerjasama sudah menyatu dan tidak terpisah lagi. Namun jika dianalisis lebih lanjut, mekanisme pembagian keuntungan usaha dalam musyarakah lebih cenderung mengikuti pendapat imam Hanafi, yaitu boleh berbeda sesuai dengan kontribusi (modal atau tenaga) yang diberikan. Dalam
praktik
mudharabah,
teknis
yang
diterapkan
diperbankan mengikuti pendapat imam yariah untuk penetapan jangka waktu kerjasama Hanafi yakni kerjasama tersebut harus ditentukan batas waktunya dan bukan unlimited time agreement. Dalam hal penanggungan risiko kerugian yang disebabkan kesalahan pengelola, ketetapan bank mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi'i dan imam Hambali yaitu menjadi tanggung jawab pengelola bukan pemilik dana. Teknis lain di bank Syariah tentang keikut sertaan pemilik dana dalam operasional usaha. Dalam mudharabah pemilik dana tidak turut dalam pengelolaan usaha. Pengelolaan sepenuhnya dilakukan pengelola dana. Ini merupakan implikasi dari pendapat imam Malik.
138
Mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah mutlaqah (jenis usaha/kegiatan pengelolaan dana tidak dibatasi/ditentukan oleh pemilik dana) Ini menurut pendapat mam Malik dan imam Syafi'i. Selain tu, ada mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana
boleh
menetapkan
jenis
usaha/kegiatan
pengelola
(managerial). Ini sealan dengan pendapat imam Hanafi dan imam Hambali. Kedua pendapat mpunyai implikasi yang sama terhadap kebijakan mudharabah di bank Syariah karena kedua jenis mudharabah tersebut dipraktikkan. 5.
Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Gadai Gadai mempunyai dua nilai akad yang berjalan beriringan.
Di satu sisi, diberikan penggadai kepada penerima gadai tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan penerima gadai kepada penggadai adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan. Di sisi lain, dapat dimengerti bahwa akad ni juga bersifat berakad tidak boleh saling merugikan. Kebolehan memanfaatkan barang jaminan meski dengan syarat tertentu juga mengisyaratkan adanya unsur tersebut dalam akad ini. Dikenakan biaya jasa untuk prosedur gadai di pegadaian juga menunjukkan indikasi komersialnya akad ini. Pengenaan biaya jasa ini kemudian tidak menjadikan praktek ini berbeda dengan praktek pinjam meminjam uang di bank. Secara umum praktik gadai tidak terpengaruh oleh perbedaan pendapat para ulama. Yang menjadi esensi implikasi pendapat
139
para ulama fih ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah mengenai penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang umum dipraktikkan di Indonesia adalah barang gadai (yang menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti pendapat imam Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya adalah tentang pemanfaatan barang gadai. Umumnya, yang dipraktikkan adalah pihak penerima gadai selalu memanfaatkan barang gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti pendapat imam Hanafi. Implikasi pendapat para imam fiqh ni banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, di mana praktik gadai bukanlah sesuatu yang tabu. Aktivitas gadai dilakukan dalam hubungan orang perorang dan kelembagaan. Yang sedikit membedakan adalah dari sisi pemanfaatan barang gadai, di pegadaian barang gadai yang dikuasai tidak dimanfaatkan dan hanya
disimpan
sampai
ditebus
kembali
oleh
yang
menggadaikan. Ini mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi'i dan imam Hambali.
140
JUAL BELI MENURUT MAZHAB PARA IMAM MAZHAB IMAM
1
IMAM MALIK
2
IMAM HANBALI
3
IMAM HANAFI
4
IMAM SYAFII
PENJELASANNYA Memiliki 2 pengertian yaitu : 1). Pengertian untuk seluruh satuan ba'I (jual beli) yang mencakup akad sharaf,salam dan lain sebagainya. 2).Pengertian untuk satu satuan dari beberapa satuan dari beberapa satuan yaitu sesuatu yang dipahamkan dari lafal ba'I secara mutlak menurut Menukarkan harta dengan harta atau dengan menukarkan manfaat yang mubah dengan suatu manfaat yang mubah pula untuk selamanya. Mengandung 2 makna yaitu : 1). Makna khusus yaitu menukarkan barang dengan 2 mata uang, yakni emas dan perak atau sejenisnya. 2). Makna umum yaitu terbagi dalam 12 macam dan diantaranya ada makna khusus Adalah suatu perjanjian tukar menukar benda yang
141
mempunyai nilai ,atas dasar kerelaan antar dua belah pihak sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara'.
Latihan Soal 1. Bagaimana pengapkasian berbagai riba pada kehidupan sehari-hari? 2. Bagaimana pengaruh, cara, serta dampak jual beli minyak mentah jika pelaku berbeda madzhab? 3. Apakah maksud dari ekonomi pertengahan? 4. Jelaskan mengenai apa itu makna umum dan makna khusus pada jual beli menurut imam Hanafi!
142
BAB VIII PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF DAN MOH. AL-SYALBANI
A. Abu Yusuf 1.
Riwayat Hidup Abu Yusuf Nama lengkap Abu Yusuf adalah Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim al-Ansari (113/731-182/798), seorang murid dan seorang teman Abu Hanifah pendiri Madzhab Hanafi. Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya disebut Anshari karena pihak Ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshar (pemeluk Islam pertama dan penolong Nabi Muhammad SAW di Madinah) di masa hidupnya di Kufah, yang terkenal
143
sebagai daerah pendidikan yang diwariskan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud (w. 32 H) seorang sahabat besar Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang penganut mazhab rasional Hanafi, ahl alra’y, Abu Yusuf mengambil metode penalaran hukum dalam hal yang berkaitan dengan isu-isu duniawi. Hal ini dilakukan apabila sumber hukum islam utama, Al-Qur’an dan Sunnah, juga Ijma’, tidak mengungkapkannya secara Sharih. Namun demikian, penalaran hukum yang digunakan Abu Yusuf itu tidak bebas dari pembatasan. Apabila sebuah persoalan tidak ditemukan pada ketiga sumber hukum itu, maka penetapan hukumnya harus didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran analogis (qiyas), preferensi hukum (istihsan), dan kemaslahatan umum (istisla). Pendekatan Hanafi tercermin dalam bukunya yaitu Kitab alKharaj. Ketika mendiskusikan masalah yang kontroversial akan ditemukan keputusan Abu Yusuf yang didahului atau dilanjutkan dengan ungkapan “menurut saya’. Selain itu, ditemukan pula ungkapan Abu Yusuf, “jika hal ini mengarah pada kemajuan rakyat”, ketika menyarankan tindakan untuk khalifahnya yang mungkin berbeda dari pemikiran sebelumnya, yang menujukkan efek dari prinsip kemaslahatan umum (istislah) dalam mencapai keputusan. Abu Yusuf mengungkapan pendapat yang berbeda dengan gurunya. Hal ini ditemukan dalam deskripsi yang menyatakan persetujuanya terhadap guru tetapi kemudian Abu Yusuf memilih pendapat yang lain. Dengan perbedaan ini tidak menjadikan dia
144
keluar dari Madzhab Hanafi tetapi menujukkan independensi berfikir Abu Yusuf dan menunjukkan perbedaan dengan tingkat intensitas dan frekuensi yang tinggi tidak menciptakan jurang atau menimbulkan kontroversi antara murid dan guru. Hal ini juga disebabkan karena faktor profesinya sebagai hakim. Sebagai seorang ulama
Abu Yusuf menyimpulkan
pernyataanya dengan “Allah Maha Tahu yang terbaik”, ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dan gurunya. Adapun Khalifah, itu terserah dia, penguasa, untuk mengambil tindakan yang dilihatnya cocok, “Aku telah menjelaskan hal tersebut kepada Anda Amiru Mukminin dan terserah kepada Anda, dengan kebijaksanaan Anda, untuk mengambil tindakan yang akan bermanfaat bagi umat Islam”. Ungkapan yang selalu digunakan dalam bukunya. Metode penyajian yang digunakan Abu Yusuf adalah metode edukatif. Abu Yusuf tampaknya menikmati penghargaan yang diberikan dari khalifahnya. Hal ini disimpulkan dari dua poin dalam bab pengantar dari bukunya. Pertama, ketika ia mengacu pada tindakan yang ditugaskan oleh khalifah-Nya, maka ditemukan ungkapan menggunakan kata kerja “minta”, misalnya Amirul Mu’minin telah meminya saya”. Hanya pada bagian akhir saja Abu Yusuf menggunakan kata “memerintahkan” muncul. Rasa hormat, sopan santun, etika dan seni diplomasi diperlihatkan oleh Abu Yusuf kepada khalifah dei sepanang bukunya. Hal ini
145
sebagai implikasi dari penghargaan khalifah yang begitu tinggi kepada seorang hakim atau ahli hukum Islam. Kedua, Abu Yusuf tampaknya telah mengambil peran sebagai penasihat, pengacara, dan bahkan penceramah bagi khalifah dalam bukunya. Karena Abu Yusuf dalam bukunya terus menerus mengingatkan khalifah akan tanggung jawab, tugas, dan kewajibannya terhadap rakyatnya, perintah Allah dan Nabi-Nya yang berkaitan dengan “gembala, rakyat, dan pemilik rakyat”, dan pahala serta sanksi Allah dalam segala hal yang berkaitan. 2.
Karya Abu Yusuf Karya utama Abu Yusuf adalah Kitab al-Kharaj. Buku ini
adalah karya yang ditugaskan oleh Khalifah Harun al-Rasyid kepada Abu Yusuf. Hal ini ditunjukan dalam paragraf kedua dari bab
pengantarnya,
“Amirul
Mukminin,
semoga
Allah
meguatkannya, telah meminta saya untuk menulis baginya”. Buku ini lahir sebagai akibat dari Abu Yusuf yang ditugaskan oleh khalifah Harun al-Rasyid (786-809) ketika beliau ingin mengatur sistem baitul mal, sumber pendapatan negara seperti kharaj, usyur, dan jizyah. Demikian pula cara pendistribusian harta-harta tersebut untuk kepentingan penguasa. Tema besar buku ini adalah untuk memberikan kajian yang komprehensif tentang “… pengumpulan kharaj, persembahan, ‘usyur, jizyah, sedekah dan hal-hal lain yang dari apa yang ia (khalifah) harus lihat ke dalam dan bertindak berdasarkan”, dan
146
tujuannya adalah untuk “menghindari penekanan dari rakyatnya, dan menguntungkan kepentingan mereka”. Buku yang diarahkan kepada khalifah sendiri, Abu Yusuf memberikan aturan syariah, saran dan pendapat, bukankeputusan. Keputusan diberikan kepada khalifah “terserah Anda, wahai Amirul Mukminin, untuk memutuskan apa yang dilihat untuk diikuti”; Abu Yusuf selalu mengakhiri keputusannya. Pendekatan Abu Yusuf untuk menulis tentang masalah alkharaj adalah pendekatan pragmatis. Dia melihat pada praktik yang berlaku, memeriksa aplikasi terakhir, mempelajari masalah yang timbul dari kebijakan sekarang dan masa lalu, meneliti aturan al-qur’an, hadis dan yurisprudensi untuk memastikan sesuai dengan syariah dan kemudian mencapai suatu pendapat yang akan menyediakan dalam pandangannya satu jawaban yang masuk akal. Pendekatan deduktif yang digunakannya adalah untuk membuktikan titik, perdebatan masalah, membela ide, atau mengkritik penghakiman. Namun pendekatan pragmatis ilmiah umum yang diikutinya. Dalam arti bahwa hal itu dapat dikatakan bahwa Abu Yusuf adalah penulis pertama tentang ekonomi islam secara “ilmiah” dan merupakan subjek yang tepat untuk penelitian ilmiah. 3.
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
a.
Pengeluaran Negara dan Distribusi Pendapatan Pembagian rampasan perang adalah titik awal perlakuan Abu
Yusuf tentang topik ini. Alasannya :
147
1) Bagaimana proporsi Nabi Muhammad SAW dan kerabatnya yang tidak berhak menerima zakat, tetapi kemudian diberikan setelah Nabi wafat. Pada pertanyaan ini ia menyatakan bahwa jatah Nabi Muhammad SAW harus dibagikan kepada sanak saudaranya. 2) Apakah variasi dari apa yang dialami oleh Khulafa’ alRasyidin, terutama Umar bin Khathab dapat diadopsi. Pada penrtanyaan ini setelah menjelaskan beberapa masalah yang timbul setelah Nabi Muhammad SAW dan Khulafa; alRasyidin, mengusulkan distribusi yang sedikit bervariasi dari apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab. Abu Yusuf menekankan tiga poin tentang masalah distribusi pendapatan zakat : 1) Pendapatan zakat tidak boleh dicampur dengan pendapatan dari pendapatan lainnya. 2) Pendapatan dari zakat harus secara ketat didistribusikan sebagaimana diatur dalam al-Qur’an. 3) Pendapatan ini harus didistribusikan kepada penerima local di
tempat,
kota,
atau
wilayah
darimana
zakat
itu
dikumpulkan. Pengumpul zakat (amilin) juga harus diberikan bagiannya dari pendapatan sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, tetapi tidak cukup untuk memberi mereka, sumber umum zakat atau bahkan sumber lain dapat digunakan untuk membayar mereka secukupnya.
148
Berbeda dengan hakim dan pejabat, upah mereka harus dibayar dari keuangan pusat. Hal ini akan menjamin bahwa layanan yang diberikan tidak akan terbatas pada pedapatan yang dikumpulkan
dari
daerah,
sehingga
semua
daerah
akan
mendapatkan layanan yang sama. b.
Pajak Tanah Abu Yusuf membagi pajak tanah kepada dua bagian, yakni
pajak kharaj dan pajak ‘usy’ur. ‘Usy’ur adalah pajak yang dikenakan pada tanah milik umat islam sedangkan kharaj adalah pajak atas tanah dibawah pendudukan non muslim yang muncul setelah penaklukan Islam. Namun demikian, pemahaman ini tidak selalu terjadi karena tanah di tangan non- muslim bisa dikenakan pajak ‘usy’ur´ juga. Ketentuan ini dikenakan pada tanah milik Ahli Kitab di Arab, yaitu Kristen dan Yahudi, dan masyarakat lain di luar Arab yang memiliki perjanjian perdamaian dengan tentara Muslim menetapkan ‘usy’ur sebagai upeti. Demikian pula tanah milik umat Islam juga bisa dikenakan pajak kharaj, jika umat islam membeli tanah dari pemilik yang dikenakan pajak kharaj. 1) Pajak Kharaj Argumen yang digunakan Abu Yusuf adalah pada saat itu tanah tersebut mampu menanggung pajak Kharaj yang dikenakan padanya. Selain itu, Abu Yusuf
berargumen dengan riwayat
menjelaskan bahwa sekembalinya Hudzaifah dan Utsman, administrator Khalifah Umar, dari survei tanah dan pengadaan
149
pajak. Dalam penentuan tarif pajak penguasa memiliki hak untuk menurunkan atau menaikkan pajak kharaj tetapi ia harus menghindari membebani pembayar pajak tanah dengan pajak secara berlebihan. Abu Yusuf berpendapat bahwa tarif pajak atas tanah kharaj itu harus ditetapkan berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketika Nabi Muhammad SAW menaklukkan Khabyar dengan kekuatan, beliau tidak memungut pajak kharaj atas tanah dalam bentuk pajak moneter tetap. Sebaliknya, ia memberikannya kepada penjaga tanah, orang-orang Yahudi, atas kesepakatan musaqamah dimana setengah dari hasil itu harus diambil dalam bentuk pajak. Dalam pajak ini bagi hasil proporsional, Abu Yusuf mengusulkan tingkat variabel yang bergantung pada kemampuan lahan untuk membayar pajak dan beban yang harus ditanggung saat bertani. Dia menyarankan harga menjadi sebagai berikut : a)
Dua perlima (40%) pada gandum dan jelai dari tanah yang diairi secara alami, yaitu dengan curah hujan dan air dari mata air alami.
b) Satu setengan per sepuluh (15%), dan tiga per sepuluh (30%) pada tanaman dari lahan yang diairi artifisial, tergantung pada jumlah kerja keras yang ditanggung dan metode irigasi yang diperlukan. c)
Sepertiga pada pohon-pohon palem, kebun-kebun anggur, sayuran dan buah-buahan, tetapi hanya seperempat akan diambil dari tanaman pada musim panas.
150
d) Sepersepuluh pada tanah qatha’i yang diairi secara alami dan satu dua puluh pada artisifal irigasi. Tanah qatha’i itu, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tanah yang diberikan oleh khalifah untuk layanan pembedaan penyerahan untuk negara Islam. e)
Sepersepuluh (10%) dan zakat pada tanah ‘usy’ur yang dimiliki oleh umat islam, jika tanah diairi secara alami dan setengah sepuluh (5%) jika irigasi artisifal. Selain menentukan porsi bagi hasil dalam menentukan pajak,
Abu Yusuf juga menentukan ambang batas atau batas minimal bayar pajak. Pajak itu hanya dikenakan pada 5 wasaq, maka tidak ada pajak yang dikenakan. Dalam menghitung ambang batas, kuantitas produk yang berbeda itu ditambahkan jika tanah menghasilkan dua setengah wasaq gandum dan dua setengah wasaq jelai (total 5 wasaq) atau jika produk tersebut terdiri dari satu wasaq gandum, salah satu jelai, salah satu beras, salah satu kurma, dan salah satu dari kismis (total 5 wasaq), maka pajak itu dikenakan. Jika total tidak 5 wasaq, maka tidak ada pajak yang dikenakan kecuali untuk produk yang mahal, seperti kunyit, yang dikenakan pajak dengan tarif di atas, sekalipun produk itu kurang dari 5 wasaq asalkan nilai produk itu setara dengan 5 wasaq dari produk tanah termurah. Untuk memperjelas unit pengukuran, pengukuran timbangan ditetapkan langkah-langkah berikut : 1 wasaq terdiri dari 60’sha, sedangkan 1 ‘sha terdiri dari 5 ruti dan 1 ruti sama dengan 1 pon
151
berat dari biji gandum. Dengan kata lain, ambang berat sekitar 1600 pon gandum. Jika ada £ 2,2 dalam 1kg, ambang batas akan menjadi setara dengan sekitar 727kg gandum sekarang. Ada pengecualian yang diberikan Abu Yusuf dalam menambah atau mengurangi tarif kharaj, yakni tanah yang berada di bawah perjanjian damai. Tanah ini harus dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perjanjian perdamaian, yang tidak boleh diubah. Satu-satunya faktor yang akan menyebabkan perubahan adalah jika orang-orang tanah itu memeluk Islam maka tariff pajak dikenakan sesuai kesepakatan. 2) Pajak ‘Usy’ur Pajak ‘Usy’ur adalah pajak lahan dengan tariff pajaknya sebesar sepersepuluh atau setengah dari itu, seperdua puluh, tergantung pada keadaan tanah dan irigasi. Tanah-tanah yang dimasukan pada pajak ini adalah : a)
Tanah milik umat Islam Dasar pajak tanah ini dikenalan tarif pajak sebesar 10% jika
tanah diairi secara alami, dengan curah hujan atau kanal. Tetapi jika pengairan tanah dilakukan secara artisifal seperti dengan menggunakan tenaga kerja dan mesin, maka tariff pajak hanya dikenakan seperlima (5%). b) Tanah milik ahl al-kitab – Yahudi dan NasraniPenentuan tarif pajak ini berbeda dengan tanah yang dimiliki oleh orang yang tidak memiliki agama monoteis, di mana tarif
152
pajaknya ditetapkan hanya sepersepuluh (10%) tidak ada tarif seperlima (5%). c)
Tanah qatha’i Dasar pajak tanah ini dikenakan tarif pajak sebesar
sepersepuluh (10%) bahkan, penguasa deberikan hak untuk menentukan tarif pajak lebih tinggi, seperti seperlima (20%). Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan tarif lebih tinggi adalah bahwa tanah qatha’i diberikan tanpa pengorbanan keuangan kembali dan tidak ada modal disetor dalam perolehannya. d) Tanah yang dihidupkan kembali Penentuan tarif ini Abu Yusuf menetapkan sesuai dengan status dari tanah itu sendiri. Pada tanah yang dihidupkan kembali setelah digarap, maka dikenakan tarif pajak ‘usy’ur (10%) jika tanah milik itu dikategorikan pada tanah ‘usy’ur. Sedangkan apabila status tanah yang dihidupkan kembali itu tanah kharaj, maka atas tanah itu pun dikenakan tarif pajak kharaj. Demikian pula jika tanah itu sebagian dari harta rampasa perang yang didistribusikan kepada para prajurit, maka dikenakkan tarif pajak ‘usy’ur (10%) atau setengahnya tergantung keadaan irigasi. c.
Administrasi Pajak Tanah Hal yang paling menarik dari dari administrasi pajak tanah
ini bahwa tidak ada satu otoritas pun yang berwenang untuk mengubah status hukum tanah. Status tanah kharaj tidak boleh diubah menjadi tanah ‘usy’ur begitupun sebaliknya. Menurut Abu
153
Yusuf,konversi status tanah baru diperbolehkan apabila seorang pemilik tanah ‘usy’ur membeli tanah kharaj dan menggabungkan kedua tanah itu menjadi satu dan kemudian membayar pajak ‘usy’ur atasnya. Abu Yusuf berpendapat bahwa tidak ada administrator kharaj atau gubernur diberi hak untuk membebaskan seseorang dari pajak kharaj tanpa izin dari Khalifah. Demikian pula tidak ada seorang pun yang diizinkan untuk menerima pembebasan dari pajak kharaj yang dikenakan padanya tanpa ada izin yang diberikan dari otoritas untuk melepaskannya. Pembebasan dari pajak kharaj dapat diberikan kepada seseorang jika hal itu dilakukan demi kepentingan masyarakat umum. Selain itu Abu Yusuf juga menentang adanya perantara dalam pembayaran pajak tanah khususnya dan pajak secara umum. d.
Pajak atas Produk yang Dihasilkan
1) Produk yang berasal dari pertanian 2) Produk yang diambil dari tanah 3) Produk yang dihasilkan dari laut Untuk produk yang berasal dari pertanian Abu Yusuf mengalihkan pada produk sperti madu dan kacang-kacangan dan menjelaskan bagaimana itu harus dikenakan pajak. Khususnya Abu Yusuf menyarankan bahwa tidak ada yang harus dikenakan pajak atas tebu, kayu bakar, rumput, jerami, atau atas dahan kelapa, kecuali untuk kayu manis karena itu adalah tanaman yang berguna meskipun tidak dapat dimakan dan tebu yang dapat
154
dimakan. Juga tidak dikenakan pajak atas minyak bumi, tar, merkuri, atau aspal, yang ditemukan didalam tanah. Berkenaan dengan barang yang dikeluarkan dari laut seperti perhiasan dan tambang, Abu Yusuf menetapkan tarif pajak sebesar seperlima (khums). Bahkan, dalam kesimpulan besarnya Abu Yusuf mengatakan bahwa semua yang dihasilkan dari laut, apapun itu, harus dikenakan tarif pajak sebesar seperlima (khums) atau 20% dari penghasilan. e.
Zakat Abu Yusuf menekankan beberapa isu penting berkaitan
dengan administrasi zakat. 1) Ketika zakat dikenakan pada hewan, maka hal yang harus dipertimbangkan : a)
Dasar pajak tidak boleh diperbesar atau dikurangi oleh kolektor untuk mendapatkan keuntungan dan tunjangan ambang batas
b) Zakat pada ternak yang dimiliki bersama akan dibagi samarata diantara para pihak. c)
Tidak ada zakat yang dikenakan pada hewan yang digunakan untuk budidaya.
2) Perlunya
mengamati
efisiensi
administrasi
dalam
pengumpulan dan distribusi pendapatan zakat. Abu Yusuf berpendapat : a)
Orang yang bertugas sebagai pengumpul dan pengelola pajak haruslah orang yang jujur dan diangkat oleh khalifah.
155
b) Pengumpul dan pengelola yang jujur di tingkat pusat harus memilih orang yang jujur disetiap kota yang dipercaya untuk mengumpulkan zakat c)
Administrasi pengumpulan zakat harus dipisahkan dari lainnya karena pendapatan zakat harus didistribusikan dengan cara tertentu dalam Al-Qur’an.
d) Pendapatan zakat yang berasal dari wilayah yang berbeda harus digabungkan bersama-sama dan secara khusus digunakan untuk para mustahik. e)
Pengumpul zakat harus dibayar secara cukup untuk mempertahankan mereka
f.
Jizyah Pajak jizyah ini dibebankan kepada non-Muslim. Berkenaan
tarif pajak jizyah, Abu Yusuf menetapkan 48 dirham per tahun bagi orang kaya, 24 dirham bagi golongan menengah, dan 12 dirham bagi buruh kecuali dia punya kekayaan. Anak-anak, perempuan, kaum miskin dan penerima zakat, biarawan kecuali yang kaya dibebaskan. g.
Iuran Khusus Aspek yang paling penting yang dikemukakan Abu Yusuf
adalah terkait dengan masalah tarif pajak, dasar pajak, ambang batas, dan peristiwa pajak. Kriteria subjektif mungkin akan diandalkan, maka penekanan Abu Yusuf pada keadilan dan para pejabat takut akan Tuhan. Selain itu, Abu Yusuf juga menetapkan
156
ambang batas wajib pajak, yang berbeda dengan praktik modern, dimana pajak itu dikenakan setiap tahunnya. Dalam menetapkan barang kena pajak,
Abu Yusuf
memberikan pengecualian pada hewan yang tidak dimaksudkan untuk menjadi perdagangan, seperti domba, sapi dan unta yang tidak digembalakan. Dalam penentuan ini para pihak yang terlibat harus mengambil sumpah menurut agamanya untuk menyatakan bahwa barang itu bukan untuk perdagangan. h.
Masalah Lain
1) Sewa Abu Yusuf focus pada penyewaan lading dan kebun sawit, dengan referensi khusus pada pengolahan tanah tandus atas dasar sewa. Abu Yusuf menjelaskan bahwa para ahli hukum di Hijaz (Maliki) memiliki pandangan yang berbeda dari para ulama di Kufah. Di Hijaz dan Madinah, para ulama tidak membolehkan sewa lahan tandus atas dasar bagi hasil, karena mereka berpendapat bahwa tanah tandus tidak seperti kebun dan tamantaman lainnya dimana mereka membolehkan sewa dengan prinsip bagi hasil. Pandangan Abu Yusuf semua sewa diperbolehkan dna valid. Ia menganggapnya sebagai bagi hasil dalam kontrak kemitraan di mana salah satu pihak berpartisipasi dalam kemitraan dengan modal dan yang lain dengan pekerjaan dan keahliannya. Keuntungan bahkan jika itu masih belum diketahui dibagi atas dasar profit and loss sharing. Bentuk kemitraan ini secara bulat
157
diterima oleh para ulama. Untuk menegakkan pandangannya, Abu Yusuf mengandalkan atas preseden Nabi Muhammad SAW di tanah Khaybar. Menurut Abu Yusuf, hadits yang mendukung noleh sewa lebih kuat dan umum daripada hadist yang tidak membolehkan. Abu Yusuf menjelaskan berbagai kontrak sewa dimana ia menjelaskan hubungan antara mitra dalam kontrak dan posisi pajak masing-masing. 2) Pekerjaan Umum Abu Yusuf menekankan pentingnya pekerjaan umum oleh negara dalam memperbaiki kondisi pertanian. Ini akan memiliki tiga efek yaitu: a)
Membantu penyusutan luas lahan yang produktif
b) Membantu peningkatan produktivitas lahan budidaya c)
Membantu peningkatan penerimaan pajak. Abu Yusuf menyatakan bahwa pekerjaan umum adalah salah
satu tugas utama negara karena pekerjaan umum membutuhkan biaya besar melampaui kemampuan pemilik lahan tanah. Dalam menandaskan prinsip-prinsip islam, Abu Yusuf mengacu pada kepemilikan publik dari tiga jenis barang khas yaitu air, api, dan padang rumput. 3) Harga, Kelangkaan, dan Nilai Aturan penentuan harga oleh kekuatan pasar juga ditegaskan oleh Abu Yusuf. Pemikirannya tentang ini adalah persediaan (supply) tidak memengaruhi harga : pasokan barang bisa tinggi dan barang melimpah, namun harga bisa tinggi, sementara
158
persediaan dapat rendah dan barang tidak dalam kelimpahan dan harga bisa rendah. Ketika berhadapan dengan harga, Abu Yusuf menyentuh titik yang sangat penting di bidang ekonomi, yakni hubungan antara barang, kelangkaan, dan nilai ekonomi. Dalam membahas masalah ini, Abu Yusuf memberikan ilustrasi dengan air sungai. Abu Yusuf menjelaskan ada tiga faktor penting yang akan menciptakan nilai yang baik, yakni kelangkaan, biaya peralatan, dan biaya transportasi.
B. Al-Syaibani 1.
Riwayat Hidup Al-Syaibani Abu Abdilah Muhamad Bin Al Hasan bin Fargad Al
Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota washit, ibu kota irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di jazirah Arab. Bersama orang tuanya, Asy Syaibani pindah ke kota Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqh, sastra, bahasa, dan hadis kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Maqhul Pada usia 14 tahun Asy Syaibani berguru kepada Abu Hanifah selama 4 Tahun. Setelah itu Ia berguru kepoada Abu Yusuf. Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Asy Syaibani kembali ke Bagdad yang pada saat itu berada pada kekuasaan Daulah Bani Abasiyah. Ia mempunyai peranan penting dalam
159
majelis ulama dan kerap didatangi penuntut ilmu. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia, Khalifah Harun Al Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Hal ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqh. Asy Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota Al-Ray, dekat Teheran, dalam usia 58 tahun.
160
2.
Karya Al-Syaibani Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku. Kitab-
kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut: a.
Zhahir al-Riwayah Yakni Buku-buku yang ditulis berdasarkan pelajaran yang
diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fiqh. Namun, pokok-pokok pikiran Abu Hanifah itu direkam dan diresume oleh al-Syaibani dalam Zhahir al-Riwayah. Buku zhahir al-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-jami’ al-Shagir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Shagir, dan al-Ziyadat. Keenam buku ini berisikan pendapatan Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, ushul al-fiqh, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam buku ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad alMaruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi. b.
Al-Nawadir Yakni buku-buku yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan
pandangannya sendiri. Buku-buku yang termasuk dalam anNawadir adalah ‘Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asySyaibani tentang berbagai masalah fikih), ar Ruqayyat (himpunan 161
keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl alMadinah (penolakan
pandangan
orang-orang
Madinah), al-
Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Atsar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non-muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm. Imam asySyafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asySyaibani
dengan
judul ar-Radd
‘ala
Muhammad
bin
Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani). Asy-Syaibani telah menulis beberapa buku antara lain Kitab al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab (book on Earning a clean living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah (perdagangan) yaitu suatu tansaksi dengan cara tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha dengan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah (industri). Perilaku konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka
162
meminta-minta.
Buku
kedua
membahas
berbagai
bentuk
transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya saham (prepaid order), syirkah (partnership), dan mudharabah. Buku yang ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normative sekaligus positif. Dan buku al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin, musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya membahas tentang tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik, keamanan mereka, utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb, kuda-kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang, perdamaian dan perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata, budak, tanah yang dikuasai oleh musuh di negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian, kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai. Asy-Syaibani bersandar sepenuhnya kepada alquran dan hadis yang meriwayatkan peperangan Rasul yang berbicara tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan penaklukan
wilayah
yang
mereka
lakukan.
Dia
juga
menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun
163
al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika mereka berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah salah seorang tokoh penulis dalam hukum internasional. 3.
Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi Secara garis besar, pemikiran ekonomi Asy Syaibani dibagi
menjadi 4 kelompok yaitu antara lain: a.
Al-Kasb (Kerja) Dalam pembahasan ekonomi dalam al-kasb, al-syaibani
memulainya dengan memberikan definisi tentang kasb (kerja) itu sendiri. Kasb merupakan usaha untuk mencari perolehan harta dengan berbagai cara yang halal. Kerja dalam kerangka mikro merupakan bagian dari aktivitas produksi. Penjelasan ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional yang tidak membedakan apakah hasil produksi itu halal atau haram. Dalam perspektif ekonomi konvensional, kerja sebagai bagian dari aktivitas produksi itu hanya diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan semata. Dalam ilmu ekonomi dinyatakan bahwa produksi dilakukan
164
karena barang atau jasa itu mempunyai nilai guna, sedangkan di dalam Islam bahwa suatu barang atau jasa itu mempunyai nilai guna jika mempunyai unsur kemaslahatan. Seorang muslim memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki tujuan maslahah. Pandangan Islam tersebut berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya.
Dengan
kata
lain,
dalam
ekonomi
konvensional nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif. Selanjutnya, al-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya. Dalam konteks kerja, menurut alSyaibani, untuk menunaikan berbagai kewajiban, maka seseorang memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri akan muncul apabila mengonsumsi makanan yang diperoleh melalui kerja. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunaikan sebuah kewajiban. Oleh karena itu, hukum bekerja adalah wajib, seperti halnya kewajiban thahârah ketika akan melaksanakan shalat. Hukum kerja itu wajib didasarkan pada dali-dalil sebagai berikut. Firman Allah Swt:Al-Jumu'ah 62:10 ۟ َّوٱذْ ُك ُر ۟ َُّوٱ ْبتَغ ۟ ضيَتَِّٱلصلَ ٰوةَُّفَٱنتَش ُِر ْ ِواَّف يرا ْ ََّمنَّف ِ وا ً ِواَّٱَّللََّ َكث ِ ىَّٱْل َ ْر ِ ُفَإِذَاَّق َ ِض ِلَّٱَّلل َ ض َّون َ ل َعل ُك ْمَّت ُ ْف ِل ُح
165
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak agar kamu beruntung.” Sabda Rasulullah Saw : َ َّلىَّ ُك ِلَّ ُم ْس ِل َِّم َُّ َطل َ بَّفَ ِرَّ ْي ِ س َ بَّاْل َك َ ضةٌَّ َع “Mencari pendapatan adalah wajib bagu setiap Muslim” Umar ibnu Al-Khattab r. a. lebih mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayidina Umar menyatakan dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt. di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt. mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktuwaktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi 166
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman Kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Al-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup para rasul tersebut. Bahkan alSyaibani mengatakan bahwa kerja dalam Islam itu hukumnya wajib. Orientasi kerja dalam perspektif al-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah Swt, baik dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, kerja dalam perspektif al-Syaibani adalah keseimbangan, terutama keseimbangan duniawi dan ukhrawi. Kerja yang dilakukan tidak hanya diorientasikan untuk tujuan duniawi semata, tetapi juga harus ada orientasi ukhrowi. Demikian pula sebaliknya, kerja tidak hanya diorientasikan untuk tujuan ukhrawi semata, tetapi juga harus ada orientasi duniawi. b.
Teori produksi Konsep kasb yang dikemukakan al-Syaibani di atas
sebenarnya merupakan benih-benih bagi lahirnya teori produksi karena hakikat dari produksi adalah kerja. Dalam kajian ekonomi
167
kontemporer, kerja merupakan salah satu faktor produksi yang paling dominan. Dalam teori ekonomi modern, faktor produksi itu terdiri dari tenaga kerja, modal, dan sumber daya alam. Pada perkembangan berikutnya, faktor-faktor produksi itu dipilah menjadi dua, yakni faktor produksi asli dan faktor produksi turunan. Faktor produksi asli terdiri dari sumber daya manusia dan sumber daya alam, sedangkan faktor produksi turunan terdiri dari sumber daya modal dan kewirausahaan. Sebagai produksi yang paling dominan, kerja (sumber daya manusia) telah mendapatkan perhatian serius dari al-Syaibani. Menurut al-Syaibani usaha produktif (iktisâb) adalah usaha untuk menghasilkan harta melalui cara-cara yang diperbolehkan berdasarkan syar'i (halal). Pengertian ini menjelaskan bahwa iktisâb merupakan salah satu cara untuk mendapatkan harta atau kekayaan. Cara perolehan kekayaan itu baru dikategorikan kepada iktisâb apabila tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan Syara. Ketentuan Syara menjadi pengendali bagi usaha pencarian harta yang dilakukan oleh seorang Muslim. Dalam ekonomi konvensional, produsen dikatakan rasional dengan melakukan usaha produktif dengan satu tujuan, yaitu memaksimalkan
profit.
Dengan
menggunakan
pendekatan
rational economic man, seorang produsen akan berusaha secara maksimal
untuk
memperoleh
keuntungan.
Maksimalisasi
keuntungan dalam kegiatan ekonomi merupakan bagian dari self interest yang akan selalu diperjuangkan seorang produsen dalam
168
perspektif ekonomi konvensional. Berbeda dengan pandangan konvensional tentang produksi, al-Syaibani mengatakan bahwa tujuan utama dari usaha produktif adalah bukan hanya sekadar mengejar keuntungan semata, tetapi juga untuk membantu orang lain melakukan ketaatan dan ibadah dengan niat menolong diri sendiri dan orang lain dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Dengan niat luhur tersebut dalam usaha produktif, produsen tidak hanya mendapatkan keuntungan yang bersifat duniawi, tetapi juga mendapatkan balasan kebaikan dari Allah. Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan dalam memperoleh harta adalah pendekatan Islamic man. Pada saat yang sama, orientasi yang dibangun dalam kegiatan ekonomi adalah keseimbangan antara self interest dengan public interest atau altruistic. Dalam Kitâb al-Kasb, al-Syaibani menyatakan "Mencari (rezeki) dengan usaha produktif (kasb) adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Ini merupakan penjelasan bahwa seseorang yang melakukan kasb akan dapat mencapai derajat di atasnya. Kedudukan di atasnya ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan melakukan kewajiban. Dan oleh karena, tidak mungkin melakukan suatu kewajiban kecuali dengan melakukan hal tersebut (kasb), maka kasb hukumnya adalah wajib ain seperti kewajiban untuk melakukan thahârah untuk menunaikan shalat. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa jalan, di antaranya orang dapat melaksanakan kewajiban agama dengan kekuatan
169
badannya. Kekuatan badan tidak akan dapat dicapai kecuali dengan makan dan makan hanya dapat dipenuhi dengan kasb. Demikian juga, shalat tidak dapat ditunaikan kecuali dengan menutup aurat. Menutup aurat tidak mungkin bisa direalisasikan kecuali dengan kasb. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memungkinkan dipenuhinya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga". c.
Teori Konsumsi Dalam kajian konsumsinya, al-Syaibani memulai dengan
membagi kebutuhan pokok manusia (dharůriyah) menjadi empat, yakni makanan minuman, pakaian, dan tempat tinggal. AlSyaibani menyatakan, "Kemudian Allah Swt. menciptakan anak cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik) mereka tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara yaitu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal (rumah). Pemikiran tentang basic human needs yang dikemukakan oleh alSyaibani
tampaknya
selaras
dengan
pemikiran
ekonomi
kontemporer yang menyatakan bahwa keempat hal itu merupakan kebutuhan dasar manusia. Al-Syaibani lebih lanjut menyatakan, "Adapun tempat tinggal, maka mereka telah diciptakan dengan suatu ciptaan di mana fisiknya tidak mampu menahan teriknya panas sehingga dapat menunaikan amanat Allah Ta'ala yang dipikulnya dan hal itu tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan terpenuhinya
170
kebutuhan tempat tinggal. Dengan demikian, kebutuhan ini sama kedudukannya dengan kebutuhan makan dan minum". Berdasarkan tulisan al-Syaibani tersebut, dapat dipahami bahwa inti konsumsi dalam Islam itu tidak hanya untuk memenuhi dan melampiaskan kebutuhan hidup semata. Menurut al-Syaibani, hakikat konsumsi adalah agar tetap prima sehingga bisa melaksanakan kewajiban utama manusia di dunia, yaitu beribadah kepada Allah. Konsumsi (nafaqah) sangat pokok karena selain untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk bertahan hidup juga ada keterkaitannya dengan penunaian kewajiban yang lain. Dengan demikian, konsumsi dapat diposisikan sebagai wasilah untuk bisa melaksanakan ibadah kepada Allalh wt. Oleh karena hukum ibadah itu wajib, maka pemenuhan terhadap kebutuhan dasar manusia juga menjadi wajib hukumnya. Selanjutnya, al-Syaibani merumuskan tingkatan konsumsi yang berbeda dengan rumusan ulama sebelumnya yang mengacu pada dharuriyah, hajah, dan tahsiniyah. Al-Syaibani menjelaskan tingkatan konsumsi itu lebih rinci dan mendetail. Tingkat pemenuhan kebutuhan menurut al Syaibani terbagi menjadi tiga. Pertama, konsumsi dilakukan dengan kadar yang memungkinkan dapat melangsungkan ibadah dan ketaatan. Menurut al-Syaibani, tahapan ini hukumnya fardh ‘ain karena dengan tidak memenuhi konsumsi ini seseorang tidak bisa menjalankan ibadah. Kedua, tingkatan kecukupan (kifayah) yang dimulai dari batas teratas tingkatan pertama taqtir (kikir) dan berakhir pada tingkatan israf
171
(berlebih-lebihan) batas atas. Hukum dari tingkatan konsumsi ini adalah
mubah
(boleh).
Sekalipun
demikian,
al-Syaibani
cenderung mengutamakan pemenuhan tuntutan konsumsi yang lebih dekat kepada batas bawah dari tingkatan kifayah. Ketiga, israf (berlebih-lebihan) yang dimulai dari ujung atas dari tingkatan kedua. Keseluruhan wilayah ini tidak diperbolehkan bagi hamba yang beriman dan menyerahkan dirinya kepada Allah swt. Pada tingkatan konsumsi pertama, al-Syaibani membagi konsumsi kepada dua, yakni mutadanni dan sad al-ramq. Tingkatan mutadanni adalah tingkat konsumsi yang tidak melakukan konsumsi sedikitpun. Sedangkan tingkatan konsumsi terendah kedua adalah konsumsi hanya sebatas kebutuhan perut dengan takaran yang memungkinkan untuk bisa menjalankan ibadah saja. d.
Klasifikasi dan Hukum Usaha Menurut al-Syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi
menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Rumusan usaha perekonomian ini berbeda dengan usaha perekonomian yang dirumuskan oleh ekonom kontemporer yang membagi usaha perekonomian menjadi tiga macam, yaitu pertanian, industri, dan jasa. Di antara keempat
usaha
perekonomian
tersebut,
al-Syaibani
lebih
memprioritaskan usaha pertanian dari usaha yang lain, karena pertanian memproduksi berbagai kebutuhan primer manusia yang
172
menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Usaha pertanian ini dianggap unggul karena pada masa al-Syaibani dipandang sebagai usaha yang paling banyak yang dilakukan oleh masyarakat.
Sewa-menyewa
dan
perdagangan
al-Syaibani
tampaknya dikategorikan ke dalam bisnis jasa perspektif ekonom kontemporer ini. Jika dilihat dari segi hukumnya, al-Syaibani membagi usahausaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardh kifayah dan fardh ain. Usaha perekonomian termasuk fardh kifayah ketika dalam usaha
perekonomian
mengusahakannya
tersebut
atau
telah
ada
menjalankannya,
orang
maka
yang
aktivitas
perekonomian itu akan terus berjalan . Sebaliknya, jika tidak ada seorangpun
yang
menjalankannya,
tatanan
aktivitas
perekonomian akan berjalan tidak baik yang berakibat pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kemerosotan ekonomi. Pada jenis usaha yang sama sekali tidak ada orang yang melakukannya, maka pada saat itu usaha perekonomian diberi hukum fardh kifayah. Sedangkan usaha perekonomian yang diberi hukum fardhu 'ain apabila usaha-usaha perekonomian itu hanya dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang
yang
ditanggungnya.
Jika
tidak
dilakukan
usaha
perekonomian itu, maka kebutuhan diri dan orang-orang yang ditanggungnya tidak akan terpenuhi, sehingga akan menimbulkan
173
kebinasaan bagi diri dan tanggungannya. Dalam keadaan seperti ini, hukum usaha perekonomian menjadi fardhu 'ain.
C. Kesimpulan Jadi dapat disimpulkan bahwa Sebagai seorang penganut mazhab rasional Hanafi, ahl al-ra’y, Abu Yusuf mengambil metode penalaran hukum dalam hal yang berkaitan dengan isuisu duniawi. Hal ini dilakukan apabila sumber hukum islam utama,
dan
Al-Qur’an
Sunnah,
Ijma’,
juga
tidak
mengungkapkannya secara Sharih. Al-Syaibani salah satu rekan sejawarat Abu Yusuf disekolah Abu Hanifah. Kerja kerasnya tetap menyisakan begitu banyak ide perekonomian yang belum tergali. Tetapi ia tetap diperhitungka sebagai ahli ekonomi Islam. Risalahnya yang kecil membahas pendapatan dan belanja rumah tangga. Dan pada kahirnya ia menilai bahwa pertanian sebagai lapangan pekerjaan yangterbaik padahal masyarakat Arab pada saat itu lebih tertarik untuk berniaga, itu dikarenakan kondisi dan keadaan di Arab yang membuat masyarakat memilih untuk berdagang. Tabel Pemikiran Ekonomi Nama
Karya –
Tokoh
Karya
Abu Yusuf
Kitab alKharaj
Cara Berfikir •
metode
Pemikiran Ekonomi Islam •
Berkaitan
penalaran
dengan
hukum
perpajakan
dalam hal
•
Pengeluaran
174
yang
dan distribusi
berkaitan
pendapatan
dengan isu-
pajak
isu duniawi •
•
Pajak tanah kharaj
penetapan hukumnya
•
Ushr
didasarkan
•
Reformasi
pada prinsip-
Administrasi
prinsip
perpajakan
penalaran
tanah
analogis
•
Pajak lainnya
(qiyas),
atas produk
preferensi
turunan
hukum
•
Zakat
(istihsan),
•
Jizyah
dan
•
Iuran Adat
kemaslahatan
•
Hukum dan
umum (istisla).
ketertiban •
Sewa tanah
•
Barang dan fasilitas publik
•
Harga, kelangkaan dan nilai
175
Al –
•
Syaibani • •
• •
Zhahir al-
•
lebih
•
Lebih
Riwayah
mengedepan
cenderung
Al-
kan istihsan
pada
Nawadir
dalam
ekonomi
al-Iktisab
istinbath al-
mikro
fiil rizq
ahkam
•
Diawali
al-
dengan
Mustahab
menyajikan
Kitab al-
konsep
Asl.
“kerja”.
al-Siyar
•
Hukum kerja itu adalah
al-Kabir
wajib •
Sewamenyewa (ijarah)
•
Perdagangan (tijarah)
•
Pertanian (zira’ah)
•
Perindustrian (sina’ah)
•
Teori produksi
•
Teori
176
Konsumsi •
Klasifikasi dan Hukum Usaha
Latihan Soal 1. Jelaskan apa yang menjadi pada masa Al-Syalbani cara berfikirnya lebih mengedepankan istihsan dalam istimbath al-ahkam 2. Jelaskan mengapa pemikiran ekonomi pada masa AalSyaibani lebih cenderung pada ekonomi mikro dari pada ekonomi makro 3. Apakah jizyah itu wajib bagi seluluh umat non muslim, dan apa sanksinya apabila tidak membayar pajak jizyah tersebut
177
BAB IX PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID DAN AL-MAWARDI
A. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid 1.
Riwayat Hidup Abu Ubaid Nama lengkap Abu Ubaid adalah Abu Ubaid al-Qasim bin
Sallam (w. 224 H / 838 M),
Seperti penulis sebelumnya,
merupakan seorang hakim meskipun
tidak mencapai posisi
hakim seperti Abu Yusuf. Keberadaan Abu Ubaid sangat dihargai oleh orang sezamannya karena kesalehan dan pengetahuannya tentang hukum, sunnah, sejarah, dan sastra Arab. Dari
Kitab
pemikirannya
itu
al-Amwâl, berasal
tidak dari
tampak
mazhab
secara
tertentu.
nyata Dalam
deskripsinya, Abu Ubaid melihat kebiasaan orang-orang Irak yang menganut Mazhab Hanafi dan juga memperhatikan Mazhab Maliki, yang kemudian memunculkan pendapatnya sendiri. Dalam arti bahwa Abu Ubaid adalah seorang inovator atau
178
seorang pengikut. Dia menulis banyak buku tentang al-Quran, Sunnah, hukum, dan syair, selama satu masa jabatan Abu Ubaid telah mampu mencurahkan seluruh waktu untuk menulis, yang dibantu dengan dukungan keuangan seorang Gubernur kaya. Gubernur tampaknya mengapresiasi atas kemampuan, kemuliaan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh Abu Ubaid. 2.
Karya Abu Ubaid Dalam sebuah karya tiga kali ukuran Kitâb al-Kharåj karya
Abu Yusuf, Abu Ubaid menulis Kitâb al-Amwål . Buku ini memiliki tiga ciri khas yang tidak dikehendaki oleh buku-buku sebelumnya tentang kharaj. Pertama, tidak fokus pada satu jenis kekayaan, meleluasakan segala sesuatu yang dapat diperoleh dari pertanian, perdagangan, atau lain. Misalnya, berbeda dengan karya sebelumnya, terlihat menjadi kekayaan yang dihasilkan dari perdagangan, serta pertanian, dan aturan pajak yang dikenakan dalam arti. Dalam arti buku ini lebih komprehensif dalam memadukan ekonomi makro dan mikro dibandingkan karyakarya sebelumnya. Kedua, buku ini telah menjadi lebih baik dokumentasinya isi yang lain. Isi buku tersebut telah digunakan dengan jelas isnad, kutipan dari rantai informan dari sabda dan perilaku Rasul, surat yang dikirim oleh Nabi Muhammad Saw. dan Khulafa 'alRasyidin untuk pejabat dan pemimpin musuh-musuh mereka, dan memeriksa perjanjian antara Muslim dan non-Muslim. Hal ini
179
sangat baik dilakukan dokumentasi. Dalam arti bahwa Abu Ubaid lebih banyak waktu untuk memberikan bukti apa yang dipraktikkan di masa lalu Dan mungkin harus dipraktikkan di masanya. Dokumentasi inilah yang menjadi unggulan utama karya Abu Ubaid ini dibandingkan dengan karya-karya sebelumnya atau bahkan dengan karya sesudahnya. Ketiga, buku ini memberikan berbagai informasi yang luas dan luas tentang subjek yang dibahas. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa tulisan Abu Ubaid berasal dari yang lain, sekitar tiga puluh tahun atau empat puluh tahun setelah Abu Yusuf. Selama ini, tentu saja, lebih dari sekedar sosial, khususnya di bidang ekonomi, dimungkinkan sudah lebih besar lagi. Buku karya Abu Ubaid ini telah dapat memenuhi kebutuhan sumber secara meluas, bukan saja bagi negara dalam konteks makro, tetapi juga bagi masyarakat dalam konteks mikro. Kitâb al-Amwál karya Abu Ubaid adalah sebuah manual tentang keuangan masyarakat. Rincian praktis dijelaskan dan di dokumentasikan dengan baik, dengan apa yang seharusnya dikenakan pajak, faktor-faktor yang membenarkan pengenaan pajak, dan bagaimana orang harus mendistribusikan di antara kategori pengeluaran. Secara keseluruhan buku ini menunjukkan bahwa pemikiran Abu Ubaid dalam bidang keuangan sangat instruktif. Selain itu, karya-karya Abu Ubaid ini banyak membahas tentang masalah ekonomi yang terjadi dalam
180
kehidupan masyarakat luas. Bahkan, Abu Ubaid memberikan kesan khusus yang berhubungan dengan masalah pertanian, karena pada masa itu pertanian adalah bidang yang menyediakan kebutuhan dasar dan sumber utama pendapatan negara. 3.
Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid Sebagaimana
telah
dikemukakan
sebelumnya
bahwa
pemikiran ekonomi Abu Ubaid dapat ditemukan karyanya yang berjudul Kitab al-Amwál. Ada banyak pemikiran ekonomi Abu Ubaid yang bisa diketahui dari Kitâb al-Amwál di dapat diuraikan sebagai berikut. a.
Filsafat Ekonomi Pemikiran
memberikan
awal landasan
yang
disajikan
filosofi
bagi
Abu
Ubaid
pemikiran
adalah ekonomi
selanjutnya. Fisafat ekonomi merupakan fondasi bagi pemikiran ekonomi, baik dalam kerangka makro maupun mikro ekonomi. Dalam pandangan Abu Ubaid, pengembangan pemikiran ekonomi tanpa dilandasi oleh landasan filosofis yang kuat, maka pemikiran ekonominya akan kehilangan fondasi. Pemikiran ekonomi yang dikemukakan Abu Ubaid diakui bermuara pada konsep keadilan. Keadilan bagi Abu Ubaid merupakan prinsip utama dalam filsafat ekonomi, yang dapat diimplementasikan akan membawa ke dalam ekonomi dan keselarasan sosial. Keadilan dalam perspektif Abu Ubaid adalah keseimbangan antara hak individu, masyarakat dan negara. Namun demikian, kepentingan publik merupakan tujuan prioritas,
181
yang bertujuan untuk individu-individu yang berkeyakinan dengan kepentingan publik, maka yang harus didahulukan adalah kepentingan publik. Dalam konteks negara, Abu Ubaid memberikan kebebasan kepada kepala negara (khalifah) untuk mengambil berbagai kebijakan berdasar pada ajaran islam dan berorientasi pada kemanfaatan
umat
islam.
Sebagai
ilustrasi,
Abu
Ubaid
berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara atau penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Ilustrasi lainnya dapat dilihat pada pemikiran Abu Ubaid tentang pembagian tanah taklukan kepada para penakluk atau pemiliknya pada penduduk setempat atau lokal. Pemikirannya yang menarik tentang hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa pemerintah memiliki hak dalam memperluas batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam alokasi khams apabila kepentingan publik sangat mendesak. Sehubungan dengan itu, maka perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik bukan untuk kepentingan pribadi. Keadilan sebagai hakikat dari filsafat ekonomi Abu Ubaid juga mengeluarkan dalam pemikiran tentang tarif dan persentase untuk pajak tanah. Menurut Abu Ubaid, dalam memberlakukan tarif pajak hendaknya Memperhatikan keseimbangan antara kekuatan finansial dari subjek non-Muslim, capacity to pay dalam
182
finansial modern, dan kepentingan umat Islam sebagai penerima (mustahiq). Pasukan Islam yang lewat di atas tanah non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa inti dari filsafat ekonomi Abu Ubaid yang terangkum dalam konsep keadilan. Hak ini tercermin dalam pandangannya bahwa dalam hal pengumpulan kharáj, jizyah, dan zakat tidak bisa menyiksa pihak wajib pajak dan pada sisi lain, para wajib pajak harus memenuhi syarat keuangan secara teratur dan pantas. Hal ini arti bahwa Abu Ubaid tidak menghendaki terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan. Selain itu, Abu Ubaid juga memberikan ruang ijtihad tersebut didasarkan pada nash yang ada dalam al-Quran dan al -Sunnah. b. Sumber Pendapatan dan Belanja Keuangan Negara Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Kitâb al-Amwál karya Abu Ubaid itu lebih memusatkan perhatiannya sekitar keuangan masyarakat (keuangan publik). Dalam buku ini dideskripsikan tentang praktik yang dilakukan Rasulullah Saw. dan Khulafa 'al-Rasyidin, terutama Umar bin Khathab sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan masyarakat. Semua keuangan publik ditampung dalam sebuah gerakan yang disebut dengan Baitul Mal. Sedangkan keuangan publik pada mulanya hanya berasal dari zakat, ghanimah, shadaqah dan fa'i. Setelah melalui perkembang beberapa saat kemudian sumber penerimaan
183
keuangan publik pun bertambah, seperti kharáj, usyùr dan khums. Pada masa Khalifah Umar bin Khathab Sumber pendapatan negara hanya terdiri dari shadaqah, fa'i dan khums. Kemudian sumber pendapatan keuangan yang dilakukan lebih jauh oleh Abu Ubaid yang berisi kharaj, jizyah, khumus, dan usyùr. Dalam membahas tentang pembelanjaan keuangan publik, Abu Ubaid mengutip pendapat Umar bin Khathab yang diriwayatkan Aslam sebagai berikut: "Telah mengatakan Umar ra bahwa tidak muslim akan hak atas harta untuk menerima atau menolaknya" Setelah itu Umar membacakan surah al-Hasyr ayat 7-10 dan mengatakan Umar, "Ayat ini memuat semuanya (manusia) dan tidak termasuk seorang muslim kecuali ia mendapatkan hak akan harta itu (harta fa 'i). Menurut riwayat Ibnu Syibah yang menyatukan Umar membagi dewan membagi 12.000 dirham untuk para istri Rasulullah Saw., Bagian juwairiyah dan shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya dari Allah untuk Rasul-Nya) kaum Muhajirin syahid Badar masingmasing 5.000 dirham dan kaum Anshar yang syahid 4.000 dirham”. Sehubungan dengan pendapatan publik yang berasal dari zakat, Abu Ubaid menekankan pembelanjaannya pada delapan golongan yang disebut dalam al-Quran. Sedangkan dalam pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khums (khums ghanimah, khums barang tambang dan rikaz serta khums lainnya) adalah ketentuan dari Rasulullah Saw. dan pendistribusiannya
184
kapan dan untuk siapa tentu juga dengan ketentuan Rasulullah Saw. Karena keuangan publik adalah kekayaan publik, maka dialokasikan bagi masyarakat seperti kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya. c.
Dikotomi Badui dan Masyarakat Kota Persoalan menarik lainnya yang dibahas oleh Abu Ubaid
adalah masalah dikotomi masyarakat Badui dan masyarakat kota, terutama ketika menyoroti alokasi pendapatan fa'i. Abu Ubaid menegaskan bahwa antara kaum urban (masyarakat kota) memiliki perbedaan dengan masyarakat badui. Masyarakat kota, menurut Abu Ubaid, memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: 1) lkut berpartisipasi dalam keberlangsungan negara dengan berbagi
kewajiban administrasi.
2) Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil
melalui
mobilisasi jiwa dan harta mereka. 3) Menggalakkan
pendidikan
dan
pengajaran
melalui
pembelajaran dan pengkajian al-Quran dan al-Sunnah dengan menyebar keunggulan kualitas isinya. 4) Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran
dan
penerimaan
hudud
(Akhir
yang
ditentukan). 5) Memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamah pada waktu Jumat. d. Kepemilikan Publik
185
Abu Ubaid mengakui keberadaan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas luas oleh banyak ulama. Pengakuannya ini dibuat dalam pernyataan: "Saya ingin mengatakan hal yang dapat mencukupi yang pertama dan yang terakhir". Pernyataan Abu Ubaid ini mengisyaratkan bahwa keuntungan yang dihasilkan dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. e.
Kepemilikan Kebijakan Pertanian Abu Yusuf tampaknya
telah membangun formulasi
hubungan kepemilikan dengan kebijakan negara
tentang
perbaikan pertanian. Menurutnya, kebijakan pemerintah tentang perbaikan tanah gurun dan pernyataan resmi tentang kepemilikan individu atas tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya
atau
diperbaiki
sebagai
insentif
untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan untuk ditanami itu mesti dibebaskan dari pajak yang digunakan sebagai insentif, maka tanah yang diberikan untuk ditanami itu mesti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Apabila tanah sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian dijalankan dengan benar, makan atas tanah itu Dibebaskan dari kewajiban dibayar pajak. Tetapi jika tanah itu dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, maka harus dikenakan denda dan kemudian kepemilikan dialihkan kepada orang lain oleh penguasa. Bahkan tanah gurun milik pribadi yang tidak diberdayakan dan ditanami dalam waktu yang
186
sama dapat dialihkan kepemilikannya kepada orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya dilakukan pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering, atau rawa-rawa. Ada beberapa hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid, diantaranya adalah sebagai berikut. 1) lqtha Iqtha adalah tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasainya dengan mengabaikan yang lainnya. Dalam Kitab al-Amwál, Abu Ubaid menjelaskan bahwa tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya sehingga keputusan hukum tanah itu menjadi kepala negara. Kebolehan iqtha 'karya pada surat Umar bin Khathab yang dikirim kepada Abu Musa, "Jika tanah itu tidak tanah yang dialiri air jizyah, maka aku akan mengiqha tanah itu baginya”. Hal ini selaras dengan peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Ketika meng -'iqtha-kan tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah Rasulullah Saw. iqtha-kan kepada kaum Anshar untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu kosong, Rasulullah meng'iqtha-kannya kepada Zubair. Namun demikian, menurut Abu Ubaid, pemerintah seharusnya tidak meng-iqtha tanah kharaj karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif yang dapat memberikan hasil dan menambahkan devisa negara.
187
2) Ihya al-Mawât Ihya 'al-mawât adalah menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak digunakan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat. Kebolehan ihya 'al-mawâat ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Hisyam, Rasulullah Saw. bersabda, "siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak untuk irai zhalim. 3) Hima (perlindungan) Hima adalah lahan yang tidak berpenduduk untuk negara yang menggembala hewan-hewan ternak. Tanah hima ini adalah tanah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, tetapi hasil yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman, dapat dimanfaatkan oleh umat. Hal-hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.” Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, yang memberi mereka keleluasaan udara dan rumput " f.
Fungsi Uang Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak
memiliki nilai intrinsik, yaitu sebagai standar dari nilai tukar (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Dengan pendekatan ini, tampak bahwa
188
Abu Ubaid menggunakan teori ekonomi uang logam. Ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstan Nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas
yang lain. Jika kedua benda
digunakan sebagai komoditas yang lain, maka nilainya
tidak
akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian
dari barang lainnya.
Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value)
dari emas dan perak ia secara implisit
mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya. g.
Ekspor Impor Pemikiran abu ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam perdagangan internasional, cukai bahan makanan pokok lebih murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai. Tidak adanya nol tarif dalam perdagangan internasional dikarenakan tidak adanya pungutan cukai atas muslim dan mujahid. Berkaitan dengan bahan makanan pokok, abu ubaid berpendapat bahwa cukai untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan makanan pokok banyak berdatangan ke madinah sebagai pusat pemerintahan saat itu. sedangkan berkaitan dengan batas tertentu untuk cukai, abu ubaid berpendapat bahwa tidak semua barang dagangan dipungut cukainya. Yaitu, pada setiap du puluh dinar
189
mesti dikenakan ukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah engkau memungut apapun darinya.
B. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi 1.
Riwayat Hidup al-Mawardi Nama lengkap al-Mawardi adalah Ali bin Muhammad bin
Habib al-Mawardi al-Basri, al-Syafie. Para ahli sejarah dan tabâqat memberi gelar untuk beliau dengan sebutan al-Mawardi, Qâdi al-Qudhât, al-Basri dan al-Syáfi'i. Nama Al-Mawardi dinisbahkan kepada udara mawar al-wardi) oleh bapak dan datuknya adalah penjual udara mawar. Gelar Qudi al-Qudhât bahwa beliau adalah ketua Qâdi yang alim dalam bidang fikih. Gelar ini diterima pada tahun 429 hijrah. Gelar al-Basri adalah karena beliau lahir di Basrah. Sementara nama penggantinya (nama kinayah) adalah Abu Hassan. Al-Mawardi dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H bertepatan dengan tahun 974 M. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Al-Mawardi wafat pada tanggal 30 bulan Rabi'ul Awwal tahun 450 H bertepatan dengan 27 Mei 1058 M dalam waktu ke-86. Jenazah Al-Mawardi dimakamkan di pekuburan Bab Harb di Baghdad. Kewafatannya terpaut 11 hari dari
190
kewafatan Qadi Abu Taib. Setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana di berbagai negeri Islam untuk menuntut ilmu Di antara guru-guru Al-Mawardi adalah al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali , Muhammad bin Adi bin Zuhar al-Manqiri, Jafar bin Muhammad bin
Al-Fadhl
Al-Baghdad,
Abu
Al-Qasim
Al-Qusyairi,
Muhammad bin Al Ma "ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini. Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar Mazhab Syaf'i ini dipercaya memangku jabatan Qadi (hakim) di berbagai negeri secara bergantian.17 Setelah itu al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat sebagai hakim agung di masa pemerintahan al-Qaim bin Amrillah AlAbbasi. Sekalipun hidup di dunia Islam terbagi ke dalam tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu Dinasti Abbasiyah di Mesir, Dinasti Umayyah di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, al-Mawardi diangkat kedudukan yang tinggi di mata para penguasa di masanya; Bahkan, para penguasa Bani Buwaih, selaku
pemegang
menjadikannya sebagai
kekuasaan
pemerintah
Baghdad,
mediator mereka dengan musuh-
musuhnya. Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi dan Abu al-zza Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid al-Mawardi.
191
Temukan banyak pekerjaan yang mencakup berbagai bidang kajian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh al-Mawardi, seperti: Tofsir al-Qur'án al-Karim al-amtsal, wa al-Hikâm al-Hówi alKabir, al-iqna, Adab al-Dunyá wa al-Din, Siyâsâh al-Maiki, Nasihat al-Mulük, alAhkâm al Sulthaniyyah, al-Nukat wa alUyůn, dan Siyâsâh al-Wizárah wa a-Siyâsâh al-Måliki. 2.
Karya al-Mawardi Pemikiran ekonomi al-Mawardi tercermin pada tiga buah
karya tulisnya, yaitu Adab a-Dunyá wa al-Din, al-Hawi al-Kabir, dan al -Ahkâm al-Sulthâniyyah wa Wilâyah al-Diniyah. Dalam Adab al-Dunyah wa al-Din, al-Mawardi memaparkan tentang perilaku ekonomi muslim dan empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri. Dalam al-Háw al-Kabîr, salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa Wilayah al-Diniyah, al-Mawardi banyak menguraikan tentang sistem pemerintahan dan administrasi, seperti hak dan kewajiban pemerintahan rakyat, berbagai lembaga Negara, penerimaan dan bergulir negara, serta babak hibah. Namun, buku Yang paling representatif menjelaskan arti ekonomi Islam al-Mawardi adalah al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Tema besar yang diusung oleh al-Mawardi dalam bukunya itu berhubungan dengan masalah keuangan, terutama masalah sumber pendapatan dan belanja. Diskusi tentang zakat, ghanimah,
192
jizyah, dan kharáj, mendapatkan porsi yang sangat luas tentang ekonomi Islam. 3.
Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi
a.
Negara dan Kegiatan Ekonomi Menurut Al- Mawardi negara memiliki peran penting dalam
mewujudkan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan, peran negara ini bukan saja dari perspektif ekonomi, tetapi juga menjadi sesuatu yang bermoral dan agama yang memiliki tugas untuk melakukan pembangunan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan rakyat. Salah satu alternatif yang bisa diambil tetapi adalah menyediakan infrastruktur yang luas. Menurut alMawardi, jika hidup di kota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas air minum, atau Rusaknya kota, maka negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan jika tidak memiliki dana, negara harus menemukan jalan untuk memerolehnya. Menurut
al-Mawardi,
layanan
terhadap
masyarakat
merupakan kewajiban sosial (fardh kifâyah). Oleh karena itu, pemenuhan terhadap kebutuhan dan biaya publik merupakan kewajiban negara. Hal ini disebabkan karena individu-individu masyarakat tidak mungkin dapat memenuhi layanan dan kebutuhan tersebut. Dalam upaya layanan dan kebutuhan, negaranegara menggunakan dana yang tersedia di Baitul Mal. Lebih lanjut, al-Mawardi menyebutkan tugas-tugas dalam pemenuhan kebutuhan dasar sebagai berikut: (1) melindungi 193
agama; (2) menegakkan hukum dan stabilitas; (3) menjaga batas negara Islam; (4) menyediakan iklim ekonomi yang kondusif; (5) menyediakan administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan hukum Islam; (6) mengumpulkan dari berbagai sumber yang tersedia dan ditingkatkan dengan menerapkan pajak baru jika pikiran menuntutnya; dan (7) membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajiban. Oleh karena negara memiliki tugas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, menciptakan kesejahteraan rakyat, dan membangun ekonomi pada umumnya, mewujudkan tugas yang membutuhkan sumber pendanaan atau pendapatan. Sehubungan dengan itu, al-Mawardi
menyatakan
bahwa
Islam
telah
memberikan banyak alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber pendapatan. Di antara orang-orang semacam ini adalah zakat, ghanimah, kharaj, jizyah, dan usyür. Dalam pembahasan tentang zakat, al-Mawardi memilah kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak. Kekayaan yang muncul adalah kesan yang berbeda secara umum. Adalah aset yang sulit ditemukan umum. Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian harus dilakukan langsung oleh negara. Selain itu, tidak ada yang lain, seperti perhiasan dan barang dagangan, termasuk untuk kaum Muslimin. Menurut al-Mawardi, Ghanimah adalah harta rampasan yang bersinar
pada
Islam
melalui
peperangan.
Al-Mawardi
194
menjelaskan bahwa harta ghanimah itu ada empat macam yaitu: harta, tanah, tawanan perang, dan tawanan anak-anak atau wanita. Distribusi harta dan tanah telah diatur dalam Islam, yaitu seperlima bagi negara dan empat perlima bagi para tentara lamanya. Untuk tawanan perang, para ulama telah menyediakan keputusan untuk keputusan kepemimpinan. Sedangkan untuk tawanan anak-anak atau wanita tidak boleh dibunuh jika mereka termasuk ahlul kitab. Sedangkan selain ahlul kitab, kedua tawanan ini memungkinkan mereka untuk tetap bertahan dalam kekafirannya. Kharaj adalah pungutan yang harus dibayar atas tanah. Oleh karena tidak ada ketentuan yang pasti dalam al-Quran dan Hadis, maka ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk memerintah. Menurut al-Mawardi, pemerintah berhak untuk pajak dan kondisi masyarakat,
dan
pajak
ini
menjadi
wajib
bagi
negara
membutuhkan. Al-Mawardi membagi tanah yang dikenakan pajak itu menjadi dua macam, yaitu: (1) tanah wakaf, yaitu tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya tanah yang direbut oleh kaum muslimin tanpa melalui peperangan, dan tanah yang ditempati oleh pemiliknya, mereka berdamai dengan pasukannya Iblam dan bersedia membayar kharaj. Jizyah adalah sesuatu yang diwajibkan terhadap harta yang dimilik setiap individu dari golongan ahli dzimmah (non-Muslim) yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam dan telah mengikat perjanjian dengan pemerintahan. Berkaitan dengan jizyah ini,
195
menurut al-Mawardi, orang-orang yang termasuk golongan dzimmah, terutama ahi al-kitab, memungkinkan mereka tinggal di wilayah Islam dan memenuhi haknya, seperti tidak menganiaya dan juga melindunginya. Sumber pendapatan
negara terakhir adalah usyur. Usyur
adalah pungutan sejenis cukai bagi barang-barang yang masuk ke wilayah padatnya Islam dari wilayah lain. Usyùr adalah pungutan terhadap para ahli yang berasal dari daerah ardh al-harb atau dari negara Islam itu sendiri. Pemungutan itu dilakukan sepersepuluh dari modal (barang) dagangan para kafir yang berasal dari dar alharb. usyür hanya diberlakukan untuk kafir harb dan kafir zimmi, karena mereka tidak dikenakan kewajiban zakat. Selanjutnya, al-Mawardi mengatakan bahwa sumber-sumber yang ada atau yang lebih tinggi akan digunakan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman publik. Secara historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. untuk membiayai kepentingan dan kebutuhan sosial di masa awal pemerintahan Madinah. Menurut al-Mawardi, masyarakat umum harus berurusan dengan kepentingan publik. Namun demikian, tidak semua kepentingan masyarakat dapat dibiayai dari dana belanja masyarakat. Al-Mawardi menyatakan bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan masyarakat, yaitu biaya untuk pelaksanaan fungsi-fungsi dan biaya untuk umum. Dana pinjaman publik hanya dapat digunakan untuk berbagai fungsi keuangan. Sebagai
196
jelas, al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa tanggung jawab yang timbul dari pembayaran berdasarkan biaya, biaya dan biaya. Kewajiban seperti ini harus tetap berhubungan terlepas dari apakah keuangan negara mencukupi atau tidak. Sumber dana yang ada tidak mencukupi, negara dapat melakukan pinjaman kepada publik untuk memenuhi kewajiban tersebut. Oleh karena itu, pinjaman publik dapat dilakukan oleh negara hanya untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari danadana lain, seperti pajak. Hal ini berarti bahwa implementasi pinjaman publik baru
dapat dilakukan dalam keadaan benar-
benar defisit anggaran. Selain itu, pinjaman publik tidak dapat digunakan untuk kepentingan yang bersifat konsumtif. b. Regulasi Pajak Tanah Beberapa ulama sebelumnya, telah dikemukakan pada babbab sebelumnya, telah banyak berbicara tentang pajak tanah kharáj Hal yang mirip dengan yang dikemukakan pula oleh alMawardi. Menurut al-Mawardi, atas fakta-fakta ini harus bervariasi
sesuai
dengan
faktor-faktor
yang
menentukan
kemampuan dalam kamar, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi. Kesuburan tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan pengukuran karena kesuburan tanah sangat menentukan pada tingkat hasil produksi tanah itu
197
sendiri. Jenis tanaman juga mempengaruhi terhadap ketebalan karena berbagai jenis bangunan dan harga yang berbeda. Sedangkan masalah irigasi sebagai faktor utama karena biaya operasional yang dikeluarkan. Faktor-faktor lain yang dapat digunakan dalam al-Mawardi adalah jarak antara tanah garapan kharâj dengan pasar di mana hasil produksi itu dijual. Hal ini berarti biaya distribusi merupakan salah satu variabel yang menentukan pada tingkat harga. Jika jarak tempuh distribusi dekat, maka biaya akan lebih sedikit, sehingga penilai kharaj bisa jadi biaya lebih tinggi. Namun sebaliknya, jika jarak tempuh distribusi jauh, akan lebih banyak, lebih mudah. Regulasi ini dilakukan untuk menciptakan efek bagi para wajib pajak kharáj. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penetapan tarif pajak, yaitu: (1) metode masaih al-ardh, yaitu metode penetapan kharáj berdasarkan ukuran tanah secara keseluruhan; (2) metode mosa ih al-zar’i, yaitu penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami; dan (3) metode muqásomah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan jumlah dari hasil produksi. Menurut al-Mawardi, penguasa atau pejabat pemungut pajak, seminkanlah satu demi satu dari berbagai alternatif pajak. Metode pertama, metode masá'ih al-ardh- adalah metode mu 'tabar yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. Dan dilanjutkan oleh Umar bin Khathab. Pada masa ini pajak ditetapkan pada
198
tingkat yang berbeda dan tetap atas setiap tanah yang produktif. Metode kedua -metode masa'ih al-zar- juga dimungkinkan oleh Umar bin Khathab yang diberlakukan atas tanah-tanah tertentu, terutama tanah yang berlokasi di Syiria. Sedangkan metode ketiga metode muqasamah untuk pertama kalinya diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, terutama pada masa Khalifah alMahdi dan Harun al-Rasyid. c.
Bayt al-Mal Bayt a-mál adalah lembaga atau pihak yang memiliki tugas
Khusus menangani harta, baik berupa pendapatan negara. Selain itu, bayt al-mál juga dapat diartikan secara fisik sebagai tempat untuk menyimpan dan mengelola berbagai macam harta yang menjadi pendapatan negara. Dalam konteks negara itu sendiri bayt al-mal adalah lembaga negara yang mengelola penerimaan dan belarja negara yang bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, fa’i, ghanimah, dan lainnya yang dibenarkan Syara dan digunakan untuk kepentingan umat. Menurut al-Mawardi, negara keuangan yang ada di Bayt almål dapat digunakan untuk membiayai belanja negara dalam rangka kebutuhan dasar setiap warganya. Kewenangan fungsi sumber pendapatan dari selain zakat -kharaj, jizyah, fa'l, ghanimah, dan lain-lain yang bersumber daya dalam upaya menciptakan
kesejahteraan
rakyat
dan
mobilitas
negara.
Sedangkan sumber pendapatan dari zakat hanya digunakan untuk bagian yang telah ditentukan oleh al-Quran.
199
Pada bagian lain, al-Mawardi menyatakan bahwa pendapatan bayt al-mål di daerah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja masyarakat di daerahnya masing-masing. Jika ada kelebihan barulah Pendapatan daerah itu disetor ke bayt almal pusat. Jika pembayaran lebih dari satu kali, maka biaya tersebut akan dibebankan ke daerah lain yang mengalami defisit. Sebagai intuisi keuangan Negara, maka bayt al-mal memiliki beberapa tanggung jawab. Berkaitan dengan tanggung jawab bayt al-mal ini, Al-Mawardi membaginya kepada
dua klasifikasi
tanggung jawab, yaitu: (1) tanggung jawab yang Muncul sebagai nilai yang lebih tinggi (bada), seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan pembiayaan senjata dan (2) tanggung bertanggung jawab atas dana bantuan dan pertanggungjawaban umum. Tanggung jawab pertama dalam rangka jaminan lingkungan atas jalannya Alokasi dana yang dikeluarkan dari bayt al-mál ini sebagai biaya operasional pemerintahan. Sedangkan tanggung jawab bayt al-mal bagi kami untuk perubahan Rakyat negara bayt al-mål kedua digunakan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci dalam kebijakan Negara dalam mengalokasikan sumber keuangan bayt al-mal adalah mashlahah. Negara hanya boleh menggunakan dana bayt a-mål untuk kemaslahatan umum. Belanja
harta
bayt
al-mál
hanya
diorientasikan
untuk
pembangunan dalam rangka untuk semua orang. Memungkinkan
200
mengalokasikan harta bayt al-mal hanya untuk kepentingan tertentu atau bagi komunitas tertentu. Menurut al-Mawardi, untuk menjamin pendistribusian harta bayt al-mál sesuai dengan ketentuan dan tepat sasaran, sudah bertentangan pemberdayaan dewan hisbah. Oleh karena itu, salah satu fungsi muhtasib adalah orang-orang yang berkepentingan dengan kebutuhan umum dan proyek-proyek untuk masyarakat umum. Atas rekomendasi muhtasib, negara harus menjamin tersedianya fasilitas umum yang diperbolehkan oleh masyarakat luas. Selain itu, negara juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan minimal dari masyarakat miskin. Kewajiban orang-orang yang memenuhi kebutuhan individu-individu, tidak ada yang menjadi bersumber dari bayt a-mal.
C. Kesimpulan Pemikiran ekonomi Abu Ubaid tercermin dalam karyanya yang berjudul Kitab al-Amwal. Pertama, Abu Ubaid menyajikan tentang filsafat hukum ekonomi dengan pokok pikiran sebagai berikut : 1. Prinsip utama dalam filsafat hukum ekonomi adalah keadilan, 2. Kevdilan yaitu keseimbangan antara hak-hak individual, publik, dan negara, 3. Implementasi keadilan akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Sumber pendapatan negara, Abu Ubaid menetapkan kharaj, jizyah, khums, dan ‘usyur. Menurut Abu Ubaid, uang memiliki tiga fungsi utama, yaitu Standard of Exchange Value, Medium of Exchange, dan Store of Value. 201
Pemikiran ekonomi al- Mawardi tercermin dalam karyanya yang berjudul Adab al-Dunya wa al-Din, al-Hawi al-Kabir, dan al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa Wilayah al-Diniyah. Menyatakan bahwa negara dan kegiatan ekonomi memiliki korelasi yang kuat, yaitu sebagai berikut : 1. Pembentukan imamah merupakan suatu keharusan
demi
terpeliharanya
agama
dan
kepentingan
masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, 2. Negara harus menyediakan infrastuktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum, 3. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, 4. Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik, 5.
Negara
dapat
menggunakan
dana
baitul
mal
atau
membebankan kepada individu-individu yang kaya untuk mengadakan proyek pemenuhan umum, 6. Negara diperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada publik. Tabei Pemikiran Ekonomi No. 1.
Tokoh
Karya
Pemikiran Ekonomi
Abu Ubaid Kitab Al-Amwal •
Filsafat
ekonomi,
(keuangan
bermuara
publik)
konsep keadilan. •
Sumber
pada
pendapatan
negara berasal dari
202
kharaj,
jizyah,
khums, dan ‘usyur. •
Pembelanjaan negara terdapat dua bagian besar: 1. Pendapatan publik berasal dari zakat dialokasikanpada
8
asnaf, 2. Pendapatan publik yang berasal dari
khums
dialokasikan
untuk
kesejahteraan publik. •
Dikotomi badui dan masyarakat
kota
(antara kaum urban memiliki perbedaan dengan
masyarakat
badui). •
Kepemilikan publik (keuntungan
yang
dihasilkan
dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan
umat
islam).
203
•
Kebijakan pertanian meningkatkan produksi maka
pertanian,
tanah
yang
diberikan
untuk
ditanami
itu mesti
dibebaskan
dari
kewajiban membayar pajak. hukum
Beberapa pertahanan
yaitu Iqtha, Ihya alMawat,
Hima
(perlindungan). •
Fungsi
uang :
1.
Sebagai standar dari nilai pertukaran, 2. Sebagai
media
pertukaran. •
Ekspor impor : 1. Tidak
adanya
tarif
nol
dalam
perdagangan internasional, Cukai
2. bahan
makanan pokok lebih
204
murah, 3. Ada batas tertentu
untuk
dikenakan cukai. 2.
•
Al-
Adab al-Dunya
Mawardi
wa al-Din
menyediakan
(perilaku
infrastuktur
ekonomi
dibutuhkan
seorang muslim
masyarakat luas.
dan 4 jenis mata •
Sumber pendapatan
pencaharian).
berasal dari zakat,
Al-Hawi al-
ghanimah,
Kabir
jizyah, dan ‘usyur.
(Mudharabah
•
Negara
yang
kharaj,
Regulasi
pajak
dalam
tanah,
untuk
perbandingan
meniptakan keadilan
berbagai
bagi
mazhab).
pajak
kharaj.
Al-ahkam al-
Beberapa
metode
Sultaniyyah wa
yang
Wilayah al-
yaitu
Diniyah (Sistem
masa’ih
a
l-ardhi
pemerintahan
(penetapan
kharaj
dan
berdasarkan ukuran
administrasi).
tanah
para
wajib
digunakan 1.
Metode
keseluruhan,
secara 2.
205
Metode masa’ih alzar’i kharaj
(penetapan berdasarkan
ukuran tanah yang ditanami) 3. Metode muqasamah (penetapan
kharaj
berdasarkan persentase dari hasil produksi). •
Keuangan yang
negara
terdapat
di
bayt al-mal dapat digunakan
untuk
membiayai
belanja
negara dalam rangka memenuhi kebutuhan
dasar
setiap warganya.
Latihan Soal 1. Apa yang dimaksud konteks melinfdungi agama 2. Bagaimana jika salah satu tugas yang terdapat dalam pemikiran ekonomi Al-Mawardi tidak terpenuhi?
206
BAB X PEMIKIRAN EKONMI ISLAM ALGHAJALI DAN IBN RUSYD
A. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali 1.
Biografi Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali
lahir di Tus sebuah kota kecil di Khurasan Iran pada tahun 450H (1058M). Karena ayahnya penjual benang, ia diberi nama panggilan Ghazali yang dalam bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Sejak kecil, imam Ghazali hidup dalam dunia tasawuf. Beliau tumbuh dan berkembang dalam asuhan seorang sufi, setelah ayahnya yang juga seorang sufi menggal dunia. Sejak muda Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa arab dan fiqih di kota Tus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul Fiqh. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Al207
Ghazali belajar kepada Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali AlJuwaini. Setelah itu ia berkunjung ke kota Baghdad, ibu kota Daulah Abbasyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham Al-Mulk. Darinya Al-Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar. Pada tahun 483 H (1090 M), ia diangkat menjadi guru di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan ini dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masanya itu menjadikannya sebagai referensi utama. Al-Ghazali juga melakukan bantahan-bantahan terhadap berbagai pemikiran batiniyah, ismailiyah, filosof, dan lain-lain. Pada masa ini, sekalipun telah menjadi guru besar, ia masih merasakan kehampaan dan keresahan dalam dirinya. Akhirnya, setelah merasakan bahwa hanya kehidupan Sufistik yang mampu memenuhi kebutuhan rohaninya, Al-Ghazali memutuskan untuk menempuh tasawuf sebagai jalan hidupnya. Pada tahun 488 H (1050 M), atas desakan penguasa pada masa itu, yaitu Wazir Fakhr Al-Mulk, Al-Ghazali kembali mengajar di madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Akan tetapi, pekerjaanya itu hanya berlangsung selama dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para Fuqaha dan Mutashawwifin. Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir H (Desember 1111 M).
208
2.
Karya-karya Al-Ghazali Selain dikenal sebagai ulama sufi, Al-ghazali juga banyak
memikirkan fiqih berbagai bidang termasuk diantaranya fiqih muamalah. Beliau merupakan sosok ilmuan dan penulis yang sangat produktif. Berbagai tulisannya banyak menarik perhatian dunia, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Alghazali diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya yang meliputi berbagai disiplin ilmu seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiqih, ilmu-ilmu Al-Qur’an, tasawuf, politik, administrasi, dan pelaku ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini hanya 84 buah. Diantaranya adalah Ihya’ Ulum al-Din, alMunqidz min al-Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Minhaj Al-‘Abidin, Qawa’id Al-‘Aqaid, al-Mushtasfamin ‘Ilm al-Ushul, Mizan al‘Amal, Misykat al-Anwar, Kimia al-Sa’adah, al-Wajiz, Syifa alGhalil, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk. 3.
Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali Sebagaimana halnya para cendekiawan muslim terdahulu,
perhatian Al- Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Pemikiran ekonomi Al- Ghazali didasarkan pada pendekatan Tasawuf. Corak pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al- Mustashfa, Mizan Al- ‘Amal, dan At- Tibr al Masbuk fi Nasihat Al- Muluk. Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial” yakni
209
sebuah konsep yangmencakup semua aktifitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara indifidu dengan masyarakat. Fungsi kesejahteraan ini sulit diruntuhkan dan telah dirindukan oleh para ekonomi kontemporer. Al-Ghazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut
Al-Ghazali,
kesejahteran
(maslahah)
dari
suatu
masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan intelek atau akal (aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahat al-dinwa aldunya). Al-Ghazali juga mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam sebuah kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartie yakni kebutuhan (daruriat), kesenangan
atau
kenyamanan
(hajat),
dan
kemewahan
(tahsinaat). Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis.
210
Menurut Al-Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh islam. Al-Ghazali membagi manusia dalam tiga kategori, yaitu:
pertama, orang yang mementingkan
kehidupan duniawi golongan ini akan celaka. Kedua, orang yang mementingkan tujuan akhirat daripada tujuan duniawi golongan ini kan beruntung. Ketiga, golongan yang kegiatan duniawinya sejalan dengan tujuan-tujuan akhirat. Al-Ghazali menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien karena
merupakan
bagian dari
pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Ia mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi, yaitu:[7]pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang
bersangkutan. Kedua, untuk
keluarga. Ketiga, untuk
membantu
mensejahterakan orang
lain
yang
membutuhkan. Manusia dipandang sebagai maximizers dan selalu ingin lebih. Al-Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan kekayaan tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan dimasa depan. Namun demikian ia memperingatkan bahwa jika semangat selalu ingin lebih ini menjurus kepada keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi, hal itu pantas dikutuk. Dalam hal ini, ia memandang kekayaan sebagai ujian terbesar. Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan melalui tenaga individual, laba perdagangan, dan pendapatan
211
karena nasib baik. Namun, ia menandaskan bahwa berbagai sumber pendapatan tersebut harus diperoleh secara sah dan tidak melanggar hukum agama. Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum alDin. Bahasan
ekonomi
Al-Ghazali
dapat
dikelompokkan
menjadi: pertukaran sukarela dan evolusi pasar, produksi, barter dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik. a.
Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual
dengan pembeli. Proses timbulnya pasar yang beradasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Semangat Kapitalisme”. Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Menurut Ghazali setiap perdagangan harus menggunakan cara yang terhormat. Sesungguhnya para pedagang pada hari kiamat nanti akan dibangkitkan seperti para pelaku dosa besar, kecuali yang bertaqwa pada Allah,berbuat kebajikan dan jujur. Penimbunan barang merupakan tindakan kriminal terhadap moral dan sosial. Hal tersebut merupakan jalan pintas untuk memakan harta
orang
lain,dengan
cara
bathil.
Kejahatan
paling
212
membahayakan yang dilakukan para pelaku bisnis pada zaman modern ini adalah membakar sebagian hasil pertanian sehingga harganya di pasar tidak menurun, justru akan melonjak tinggi. 1) Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba Sepanjang tulisannya, Al- Ghazali berbicara mengenai “harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh praktek-praktek pasar”, sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai altsaman al- adil(harga yang adil) dikalangan ilmuan Muslin atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan ilmuan Eropa kontemporer. Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Ia menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. AlGhazali juga secara eksplisit menjelaskan mengenai perdagangan regional. Waleupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa tulisannya jelas menjelaskan bentuk kurva permintaan dan penawaran. Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Sementara itu untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan oleh beliau sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”. Al-Ghazali
juga
telah
memehami
konsep
elastisitas
permintaan, yang dinyatakan dengan “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan
213
meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan
keuntungan”. Al-Ghazali
juga
menyadari
permintaan “harga inelastis”. Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang berlebihan. Ia menyatakan bahwa laba normal berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh ia menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh laba yang akan diperoleh dari pasar yang hakiki yakni akhirat. 2) Etika Perilaku Pasar Dalam pandangan Al- Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Secara khusus, ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya, memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan harga
barangnya,
melakukan
praktik-praktik
pemalsuan,
penipuan dalam mutu barang dan pemasaran, serta melarang pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi harga. Pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala bentuk penipuan, serta para perilaku pasar harus mencerminkan kebajikan seperti bersikap lunak ketika berhubungan dengan orang miskin dan fleksibel dalam transaksi utang, bahkan membebaskan utang orang-orang miskin tertentu.
214
b. Aktivitas Produksi Al Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan berbagai macam aktifitas produksi dalam sebuah masyarakat, termasuk
hirarki
dan
karakteristiknya.
Fokus
utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasasdasar ekonomi islam. 1) Produksi
Barang-barang
Kebutuhan
Dasar
Sebagai
Kewajiban Sosial Seperti yang telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap kerja adalah sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan dimintai pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada prinsipnya negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-barang pokok. 2) Hierarki Produksi Secara garis besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi kedalam tiga kelompok:
215
•
Industri
dasar,
yakni
industri-industri
yang
menjaga
kelangsungan hidup manusia •
Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar.
•
Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan industri dasar Kelompok pertama adalah kelompok yang paling penting
dan peranan pemerintah sebagai kekuatan mediasi dalam kelompok ini cukup krusial. Ketiga kelompok ini harus ditingkatkan secara aktif untuk menjamin keserasian lingkungan sosioekonomi. 3) Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya Adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerja sama. Beliau juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga. Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu persaingan yang berhubungan dengan
kewajiban
agama
dalam
rangka
memperoleh
keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga membantu
pemenuhan
kebutuhan
orang lain.
Sedangkan
persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan dengan barang-barang mewah.
216
c.
Barter dan Evolusi Uang Salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah
uang. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter, akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, serta observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad kemudian yang dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard Cantilon. 1) Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang Al-Ghazali
mempunyai
wawasan
terhadap
mengenai
berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut sebagai: •
Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of common denominator)
•
Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods)
•
Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants) Pertukaran barter menjadi tidak efisien karena adanya
perbedaan karakteristik barang-barang. Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama.
217
2) Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan dengan Hukum Ilahi Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka yang menimbun keping-kepingan uang. 3) Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang Uang dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan membawa emas dan perak yang sudah ditambang ke percetakan. Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu koin sama nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Jika ditemukan emas dan perak lebih banyak, persediaan uang akan naik. Harga juga akan naik, dan nilai uang akan turun. Perhatiannya ditujukan pada problem yang muncul akibat pemalsuan dan penurunan nilai, karena mencampur logam kelas rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan logamnya. Pemalsuan uang bukan hanya dosa perorangan tetapi berpotensi merugikan masyarakat secara umum. Penurunan nilai uang karena kecurangan pelakunya harus dihukum. Namun, bila pencampuran logam dalam koin merupakn tindakan resmi negara dan diketahui oleh semua penggunanya, hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang representatif (token money) yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk
218
mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa foedal. 4) Larangan Riba Riba merupakan praktik penyalahgunaan fungsi uang yang berbahaya, sebagaimana penimbunan barang untuk kepentingan individual. Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada umumnya mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara bunga dapat muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul jika ada pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan waktu penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang diperlukan tidak sama, kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua bentuk transaksi tersebut hukumnya haram. Jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang sama, seperti logam (emas dan perak) atau bahan makanan (gandum atau gerst), hanya riba al-nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila pertukarannya antara komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan) keduanya diperbolehkan.
219
d. Peran Negara dan Keuangan Publik Negara dan agama merupakan tiang yang tidak dapat dipisahkan. Negara sebagai lembaga berjalannya
aktivitas
ekonomi.
fondasinya dan penguasa
yang penting bagi
Sedangkan
agama
adalah
yang mewakili negara adalah
pelindungnya. Apabila salah satu dari tiang tersebut lemah, masyarakat akan runtuh. 1) Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas Untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, serta stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka penduduk akan berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu mengakibatkan pendapatan publik menurun dan kas negara kosong, sehingga kebahagiaan dan kemakmuran menghilang. Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga harus mengambil tindakan untuk menegakan kondisi keamanan secara internal dan eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat dari kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan sengketa, serta hukum dan peraturan untuk mengawasi perilaku orang-orang agar mereka tidak berbuat seenaknya. Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah – sebuah badan pengawas yang dipakai banyak negara Islam pada waktu itu, dan berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-
220
praktik yang perlu diawasi diantaranya seperti timbangan serta ukuran yang tidak benar, iklan palsu, pengakuan laba palsu, transaksi barang haram, kontrak yang cacat, kesepakatan yang mengandung penipuan, dan lain-lain. 2) Keuangan Publik Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna. a)
Sumber Pendapatan Negara Hampir seluruh pendapatan yang ditarik oleh para penguasa
dizaman Ghazali melanggar hukum. Sumber-sumber yang sah seperti zakat, sedekah, fa’i, dan ghanimah tidak ada. Hanya diberlakukan jizyah tetapi dikumpulkan dengan cara yang tidak legal.
Dalam
memanfaatkan
pendapatan
negara,
negara
seharusnya bersifat fleksibel serta berlandaskan kesejahteraan. Al-Ghazali menjelaskan: “kerugian yang diderita orang karena membayar pajak lebih kecil bila dibandingkan dengan kerugian yang muncul akibat resiko yang mungkin timbul terhadap jiwa dan harta mereka jika negara tidak dapat menjamin kelayakan penyelenggaranya.”
221
Yang dikemukakan Ghazali merupakan cikal bakal dari apa yang sekarang disebut sebagai analisis biaya-manfaat, yakni pajak dapat dipungut untuk menghindari kerugian yang lebih besar di masa yang akan datang. b) Utang Publik Utang publik diizinkan jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. Contoh utang seperti ini adalah Revenue Bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat. c)
Pengeluaran Publik Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang
direkomendasikan Al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan sosioekonomi, keamanan dan stabilitas negara, sera pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Walaupun memilih
pembagian
sukarela
sebagai
suatu
cara
untuk
meningkatkan keadilan sosioekonomi, Al-Ghazali membolehkan intervensi negara sebagai pilihan bila perlu, untuk mengeliminasi kemiskinan
dan
kesukaran
yang
meluas.
Mengenai
perkembangan masyarakat secara umum, Al-Ghazali menunjukan perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Ia berkata bahwa sumber daya publik “seharusnya dibelanjakan untuk pembuatan jembatan-jembatan, bangunan keagamaan (masjid), pondok, jalan, dan aktivitas lainnya yang senada yang manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umum.”
222
Al-Ghazali menekankan kejujuran dan efisiensi dalam urusan di sektor publik. Ia memandang perbendaharaan publik sebagai amanat yang dipegang oleh penguasa, yang tidak boleh bersikap boros.
B. Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd 1.
Biografi Ibn Rusyd Nama asli Ibn Rusyd adalah Abu al-Wahid Muhammad ibn
Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Beliau lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. Memiliki keluarganya yang terkenal alim dalam hal ilmu Fiqh. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalausia. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi-studi keislaman. Ibn Rusyd hidup dalam situasi politik yang sedang berkecamuk. Dia lahir pada masa pemerintahan Almurafiah yang digulingkan oleh golongan Almuhadiah di Marrakusy pada tahun 542 H/1147 M, yang menaklukkan Cordova pada tahun 543 H / 1148 M. Gerakan Almuhadiah dimulai oleh Ibn Tumart yang menyebut dirinya sebagai Al-Mahdi. Dia berupaya meniru golongan Fatimiyah, yang muncul seabad sebelumnya dan berhasil mendirikan sebuah kekaisaran di Mesir dalam hal semangat berfilsafat mereka. Penafsiran-penafsiran rahasia mereka serta kehebatan mereka dalam bidang astronomi dan astrologi. Tiga orang pewarisnya, dari golongan Almuhadiah ‘Abd Al-Mu’min, Abu Ya’qub, dan Abu Yusuf, yang diabdi oleh
223
Ibn Rusyd, terkenal karena semangat berilmu dalam berfilsafat mereka. Dia lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur dikarenakan beberapa sebab, antara lain: a.
Tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diedarkan serta dilestarikan, sedangkan teks asli dalam bahasa Arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantaran mengandung semangat anti filsafat dan filosof.
b.
Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metode ilmiah sebagaimana yang dianut Ibn Rusyd, sedangkan di Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Aib dan siksaan yang diterimanya serta diusirnya dia dari
tanah kelahirannya pada tahun 593 H/1196 M merupakan akibat dari pertentangan. Pertarungan antara kaum agamawan dan filosof untuk mendapatkan kekuasaan politik, tidak pernah reda sejak abad ke-3 H/ke-9 M. Beberapa penjelasan mengenai dibuangnya ibn Rusyd ke Lucena, dekat Cordova. Tipu daya yang dilancarkan oleh kaum agamawan itu berhasil. Hal itu mengakibatkan Ibn Rusyd bukan saja dihukum buang tapi juga tulisan-tulisannya dibakar dimuka umum. Tapi aib yang diderita oleh ibn Rusyd tidak berlangsung lama. Ibn Rusyd pergi ke Marrakusy, dan dia meninggal pada tahun 595 H/1198 M.
224
2.
Karya-Karyanya Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat,
Ibn Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibn Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut : a.
Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali tentang keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional.
b.
Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min alIttishal
(Kitab ini berisikan
tentang hubungan antara
filsafat dengan agama) c.
Al-Kasyf’an
Manahij
al-Adillat
fi
’Aqa’id
al-Millat,
(berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi) d.
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian
di bidang fiqih).
Dan masih banyak lagi. 3.
Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd
a.
Mudharabah dalam Pandangan Ibn Rusyd Ibn Rusyd menyamakan istilah mudharabah (dormant
partnership) dengan qiradh atau muqaradhah. Ibn Rusyd, ketika memulai perbincangannya tentang akad al-mudharabah tidak mendefinisikannya secara khusus. Baik dari sudut bahasa maupun istilah fiqh sebagaimana kebiasaan para ulama’ fiqh yang lain.
225
Namun,
menurut
pendapat
al-Imam
al-Sarakhsi,
al-
mudharabah dari sudut bahasa diambil dari ayat “al-dharb fi alard”. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan adanya perjalanan, usaha, dan aksi oleh pelaku bisnis atau usahawan (mudarib) yang berhak atas kadar tertentu dari keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha perjalanannya dalam penyertaan modal (shahib almal/rabb al-mal). Dasar
akad mudharabah adalah ijab (offer) dan qabul
(acceptance). Jika pemilik harta, dana, atau modal (rabb al-maal) berkata kepada seseorang (usahawan atau agen) untuk mengambil modal dan menginvestasikannya dalam usaha tertentu, dan sepakat untuk berkongsi dalam kadar keuntungan tertentu seperti ½ : ½ atau 50:50 atau 70:30, maka akad al-mudharabah antara kedua belah pihak telah terjadi. Secara umum, mudharabah merupakan akad perkongsian antara pemilik modal (rabb al-mal) atau beberapa orang pemilik (arbab al-amwal) dengan usahawan, pekerja, atau siapapun (amil, mudharib, muqaridh) yang diamanahkan untuk menjalankan usaha dengan modal tersebut kemudian mengembalikan kapital kepada pemilik harta dengan kadar keuntungan yang disetujui bersama. Bagian keuntungan yang dimiliki oleh usahawan adalah dalam kadar tertentu yang disetujui bersama semasa akad. Kerugian yang dialami oleh usahawan ialah kerugian dari sudut waktu dan tenaga yang dicurahkan dalam aktivitas usaha yang tidak mendapat keuntungan apa-apa.
226
Dalam hal mengemukakan konsep dan teori mudharabah, pandangan Ibn Rusyd sama persis dengan penjelasan di atas. Dalam pandangannya, semua umat Islam sepakat atas kebolehan akad ini. b. Legitimasi Akad Mudharabah Dalam keabsahan akad mudharabah, Ibn Rusyd tidak mengemukakan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW yang menjadi dasar keabsahan sebagaimana kebiasaan fuqaha’ lain dalam penulisan mereka. Namun demikian, dapat dipahami
dari
pandangannya
bahwa
hadits-hadits
yang
dikemukakan oleh para ulama tidak perlu diungkap lagi karena sudah disetujui dan digunakan secara umum di kalangan fuqaha’. Menurut para ahli fikih (fuqaha’), keabsahan akad ini mensyaratkan adanya kemampuan manajerial yang bertendensi pada profit atau laba (al-ribhu). Menurut al-Sarakhsi, masyarakat memerlukan akad ini karena adanya simbiosis mutualisme antara pemilik modal yang ingin berinvestasi dan pekerja atau manajer yang cakap dalam mengurus modal. Jadi, akad mudharabah ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (growth) yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat luas. c.
Modal Investasi Mudharabah Berkenaan dengan modal al-mudharabah, Ibn Rusyd
menyatakan bahwa fuqaha’ telah bersepakat membolehkan modal akad al- mudharabah dalam bentuk uang atau alat tukar (aldananir dan al-darahim). Sementara, mereka berbeda pendapat
227
jika modal yang diinvestasikan dalam bentuk barang (al-‘arud/alsila’). Para Fuqaha’ dan penulis menyatakan alasan mengapa uang dijadikan modal dalam mudharabah karena memiliki nilai yang bisa dijadikan alat transaksi abadi. Berdasarkan alasan inilah para fuqaha’ dalam mazhab Maliki, termasuk Ibn Rusyd dan Syafi’I tidak membolehkan penggunaan al-fulus (mata uang lokal) atau jenis mata uang yang tidak diakui sebagai modal dalam akad al-mudharabah. Dalam hal modal investasi barang dan jasa, Ibn Rusyd menyatakan bahwa Jumhur Fuqaha’ tidak membolehkannya. Argumen atau hujjah yang digunakan yakni karena bisa membawa kepada unsur gharar dan ketidakpastian dalam akad. Ini berlaku apabila barang yang dijadikan modal dinilai berdasarkan jumlah atau harga yang berbeda oleh orang lain. Ketidakpastian nilai barang (modal) akan menimbulkan perselisihan ketika akhir transaksi. Selain Ibn Rusyd, dalam hal ini para fuqaha’ mengemukakan alasan bahwa kemungkinan harga barang tidak stabil dalam pasar yang hanya akan menguntungkan satu pihak (instabilitas). Misalnya, jika harga barang naik, ia akan memberi keuntungan lebih kepada pekerja, hal yang sama juga berlaku jika harga barang jatuh, maka pihak pemilik modal dan pekerja akan rugi. Menurut Ibn Rusyd, Imam Malik dengan jelas menyatakan bahwa akad al-qiradh (al-mudharabah) sah jika modal investasi menggunakan mata uang (al-dananir dan al-darahim) dan tidak boleh dalam bentuk barang (‘urud) ataupun (sila’). mazhab
228
Maliki lainnya membenarkan penggunaan barang sebagai modal dengan syarat investor meminta pekerja menjual barang itu terlebih dahulu dan menggunakan uang tunai hasil penjualan sebagai modal. d. Bentuk Akad Mudharabah Dalam fikih, dikenal banyak usaha dan transaksi yang berkaitan dengan aktifitas investasi sebagai upaya untuk mendapatkan laba yang halal bagi semua pihak. Dengan menggunakan modal dari shahib al-mal, seperti mudharabah, musyarakah, rahn, dan sebagainya. Dalam tulisannya, Ibn Rusyd telah menyentuh perkara tersebut secara ringkas sebagaimana fuqaha’ lain dalam mazhab Maliki dan Syafi’i. Hanya fuqaha’ mazhab Hanafi telah menjelaskan dengan detail tentang peranan dan kebebasan yang bisa dimainkan oleh pekerja semasa mengoperasikan atau memutar modal shahib al-mal dan meletakkannya dalam kategori mudharabah muthlaqah (unlimited mudharabah)
dan
mudharabah
muqayyadah
(limited
mudharabah). Ibn Rusyd menegaskan bahwa setiap usaha dari pemilik modal atau investor untuk menentukan atau membatasi aktifitas perputaran modal hanya akan menyusahkan dan menyempitkan peranan pekerja atau usahawan. Oleh karena itu, dapat dipahami manakala beliau membagi jenis akad al-mudharabah ke dalam dua jenis sebagaimana pemikiran mazhab Hanafi, walau ia sendiri bermazhab Maliki. Dan sebaliknya, meletakkan akad ini
229
dalam kategori yang umum atau unlimited mudharabah. Fuqaha’ kalangan Syafi’iyah mempunyai pemikiran yang berbeda sehubungan dengan akad mudharabah secara dua peringkat (twotier mudharabah) seperti yang dibincangkan oleh fuqaha’ Hanafi dan Maliki. Mereka berpendapat bahwa pekerja atau mitra shahibul mal tidak dibenarkan terlibat dalam akad seperti ini. Jika hal itu dilakukan, akad dianggap batal. Namun, walaupun trend umum pemikiran Syafi’iyah seperti itu, terdapat sebagian kecil ulama Syafi’iyah yang membenarkan. Kalangan Hanafiyah membagi jenis akad mudharabah ke dalam dua jenis. Mudharabah muthlaqah (unlimited mudharabah) dan
mudharabah
Mudharabah
al-
muthlaqah
muqayyadah ialah
(limited
mudharabah
mudharabah). yang
pemilik
modalnya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pekerja atau usahawan untuk melakukan investasi. Kebebasan yang dimaksud seperti: 1) Membeli dan menjual semua jenis barang maupun jasa; 2) Membeli dan menjual secara tunai; 3) Menjadikan modal (barang) sebagai deposit atau barang gadai dalam al-rahn; 4) Mengangkat pekerja/karyawan jika diperlukan; 5) Membeli atau menyewa peralatan; 6) Membawa modal dalam perjalanan;Mencampurkan modal mudharabah dengan modal kepemilikan;
230
7) Menginvestasikan modal mudharabah dengan pihak ketiga; dan 8) Menginvestasikan
modal
mudharabah
dalam
akad
musharakah dengan pihak ketiga. Dengan kata lain, perbincangan mudharabah dalam kategori ini memperbolehkan pekerja atau mitra untuk mengurus modal dalam perniagaan yang tidak terikat dengan tempat, lokasi, waktu, industri, dan pelanggan tertentu. Sesuai dengan konteks dan kesepakatan yang biasa dilakukan. Sementara, mudharabah muqayyadah
(limited
mudharabah)
berlaku
sebaliknya,
ditentukan dan dibatasi di awal. e.
Pembiayaan dan Pembagian Untung-rugi Dalam hal pembiayaan (expenses) dalam “memutar” modal
mudharabah seperti tempat tinggal, makan, minum dan ongkos perjalanan, Ibn Rusyd menyatakan pendapat fuqaha’ terbagi ke dalam tiga pandangan: 1) Dipelopori oleh Imam Syafi’i, usahawan tidak perlu diberikan biaya kecuali atas izin dan sepengetahuan pemilik modal; 2) Usahawan boleh diberikan biaya sebagaimana pendapat Ibrahim al-Nakha’i dan al-Hasan al-Basri; 3) Usahawan berhak terhadap biaya hidup sehari-hari seperti pakaian dan makanan jika musafir. Sebaliknya, jika bermukim di suatu kawasan, maka tidak perlu diberikan.
231
Pandangan ini dikutip dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan mayoritas ulama. Mayoritas fuqaha’ termasuk Ibn Rusyd menyepakati bahwa keuntungan yang diperoleh dalam akad almudharabah dibagi antara pemilik modal dan pekerja berdasarkan persetujuan bersama dengan prosentase 50 : 50, 70 : 30 dan sebagainya.
Sebagaimana
praktik
yang
ditunjukkan
oleh
Rasulullah SAW dalam bertransaksi mudharabah dengan Khadijah binti Khuwaylid sebelum masa kenabian. Prinsip umum yang diaplikasikan dalam akad mudharabah ialah kedua pihak menanggung resiko. Oleh karena itu, kadangkadang akad mudharabah disebut juga sebagai “partnership in profit” atau “profit-sharing” atau “profit and loss-sharing”. Dalam kitab-kitab fikih, sangat sedikit disinggung tentang penyelesaian akad mudharabah. Secara umum, perkongsian mudharabah diselesaikan sesegera mungkin oleh kedua pihak yang terlibat dalam kontrak yaitu setelah tujuan (keuntungan) tercapai atau diketahui dengan pasti jumlah kerugian (jika ada). f.
Hukum Kausalitas Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd Ibn Rusyd membahas mengenai hukum kausalitas (sebab-
akibat) yang menyinggung pada sektor perekonomian yaitu mengenai permintaan dan penawaran suatu barang secara umum, namun secara terperinci akan dibahas oleh tokoh selanjutnya seperti Ibn Khaldun, dan tokoh lainnya.
232
g.
Fungsi Uang Ariestoteles telah menyebutkan bahwa uang memiliki tiga
fungi yaitu: (1) sebagai alat tukar; (2) sebagai alat mengukut nilai; (3) sebagai cadangan di masa depan. Ibn Rusyd menyumbangkan pemikirannya mengenai fungsi uang yang keempat yaitu (4) sebagai alat simpanan daya beli konsumen, hal tersebut menekankan bahwa uang dapat digunakan kapan saja oleh konsumen untuk membeli kebutuhan hidup. Disisi lainnya Ibn Rusyd membantah pemikiran dari Ariestoteles mengenai teori uang yang mengatakan bahwa nilai uang tidak boleh berubah-ubah. Ibn Rusyd dengan bantahannya, beliau memiliki dua alasan, yaitu: (1) uang merupakan alat untuk mengukur nilai, Allah tidak berubah-ubah karena Allah Maha Pengukur. Maka uang sebagai alat pengukur tidak boleh berubahubah pula; (2) fungsi cadangan untuk konsumsi masa depan, sangat tidak adil jika terjadi perubahan. Nilai nominal yang tertera pada uang harus sama dengan nilai intrinsik yang terkandung dalam nilai dari uang tersebut. Berdasarkan pemikirannya mengenai uang, Ibn Rusyd mengatakan bahwa uang emas mempunyai nilai intrinsik dan nominalnya sama. Hal ini berbeda dengan uang dinar yang akan naik sesuai dengan kandungannya C. KESIMPILAN Bahwa pemikiran Al-Ghazali mengenai perekonomian Islam yaitu Pemikiran sosioekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah
233
konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”. AlGhazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa mashalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan intelek atau akal (aql). Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din. 1.
Pertukaran sukarela dan evolusi pasar, yang meliputi;
a.
Permintaan,penawaran,harga,dan laba
b.
Etika perilaku dasar
2.
Produksi barang, yang meliputi;
a.
Produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial
b.
Hierarki produksi
c.
Tahapan produksi,spesialisasi,dan keterkaitannya
3.
Barter dan Evolusi barang, yang meliputi;
a.
Problema Barter dan kebutuhan terhadap uang
b.
Uang yang tidak bermanfaat dan penimbunan bertentangan dengan hukum illahi.
c.
Pemalsuan dan penurunan nilai uang
d.
Larangan Riba’
234
4.
Peran Negara dan Keuangan Publik,yang meliputi;
a.
Kemajuan ekonomi melalui keadilan, kedamaian, dan stabilitas
b.
Keuangan publik ( sumber negara, utang publik, dan pengeluaran publik) Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama
ensiklopedis yang disegani, telah memberikan sumbangan pemikiran yang amat besar terhadap bidang ekonomi Islam. Utamanya dalam bab yang sedang diperbincangkan, yaitu akad mudharabah secara khusus, dan bidang kajian fikih muamalah secara umum. Sebagaimana tertuang dalam kitabnya Bidayah alMujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, walaupun dalam diskursus yang cukup ringkas dalam perspektif perbandingan mazhab fikih. Sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh ulama dari kalangan Hanafi, seperti al-Sarakhsi dalam kitabnya al-Mabsut. Sumbangan pemikiran dan kontribusi Ibn Rusyd ini sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor keuangan dan ekonomi Islam atau sektor muamalah secara umum, utamanya jika dikaitkan dengan implementasinya dalam negara “Islam” yang sedang menggeliat seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Iran. Dan yang lebih penting lagi, sistem ini akan menjadi rujukan bagi negara-negara non Muslim lainnya, dan akan berlaku secara global. 1.
Akad, legistimasi, dan modal
investasi Mudharabah,
meliputi:
235
a.
Pentingnya akad karena adanya simbiosis mutuaslisme antara pemilik modal yang ingin berinvestasi dan pekerja dalam mengurus modal
b.
Modal bisa dalam bentuk uang/alat tukar
2.
Pembiayaan dan pembagian untung dan rugi
a.
Usahawan boleh diberikan biaya
b.
Usahawan tidak perlu diberikan biaya kecuali atas izin pemilik modal
c.
Usahawan berhak terhadap biaya hidup
3.
Sebab- akibat mengenai Hukum Permintaan dan Penawaran
4.
Fungsi Uang
a.
Alat pengukur nilai, Allah tidak berubah-ubah karena Allah Maha Pengukur. Maka uang sebagai alat pengukur tidak boleh berubah-ubah pula.
b.
Fungsi cadangan untuk konsumsi masa depan, sangat tidak adil jika terjadi perubahan
Tabel Pemikiran Ekonomi
PEMIKIRAN EKONOMI AL- PEMIKIRAN GHAZALI
EKONOMI
IBN
RUSYD 1.
Pertukaran
sukarela
dan 1. Akad, legistimasi, dan
evolusi pasar, yang meliputi;
modal
A.
Mudharabah, meliputi :
Permintaan,penawaran,harga,dan A.
investasi
Pentingnya
akad 236
laba
karena adanya simbiosis
B. Etika perilaku dasar
mutuaslisme pemilik
modal
antara yang
ingin berinvestasi dan pekerja
dalam
mengurus modal B. Modal bisa dalam bentuk uang/alat tukar 2.
Produksi
barang,
yang 2.
meliputi; d. A.
pembagian untung dan
Produksi
kebutuhan
Pembiayaan dan
barang-barang rugi dasar
sebagai A.
kewajiban sosial
Usahawan
boleh
diberikan biaya
e. B. Hierarki produksi
B.
Usahawan
tidak
f. C.Tahapan produksi, spesialisasi, perlu diberikan biaya dan keterkaitannya
kecuali atas izin pemilik modal C.
Usahawan
berhak
terhadap biaya hidup 3. Barter dan evolusi barang, 3. yang meliputi; A.
Problema
barter
Sebab-
mengenai dan Permintaan
kebutuhan terhadap uang
akibat Hukum dan
Penawaran
B.Uang yang tidak bermanfaat dan penimbunan bertentangan
237
dengan hukum ilahi 4. Peran negara dan keuangan 4. Fungsi Uang publik yang meliputi;
A. Alat pengukur nilai,
A. Kemajuan ekonomi melalui Allah keadilan,
kedamaian,
dan ubah
stabilitas B.
berubah-
karena
Allah
Maha Pengukur. Maka
Keuangan
negara,
tidak
publik
utang
(sumber uang
sebagai
alat
politik, pengukur tidak boleh
pengeluaran publik)
berubah-ubah pula. B.
Fungsi
cadangan
untuk konsumsi masa depan, sangat tidak adil jika terjadi perubahan
Latihan Soal 1. Apa yang menjadi pondasi tentang kebutuhan individu dan sosial menurut Ibn Rasyd? 2. Mengapa Al-Ghazali lebih menganjurkan spesialisasi aktivitas produksi? 3. Jelaskan pemikiran ekonomi menurut Ibn Rasyd dan AlGhazali
yang
dari
dulu
sampai
sekarang
masih
diaplikasikan?
238
BAB XI PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBNU TAIMIYAH DAN AL-MAQRIZI
A. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiya 1.
Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiy al-Din Abd al-
‘Abbas Ahmad Ibnu Abd Al-Halim ibnu Abd al-Salam ibnu Abi al-Qasim ibnu Muhammad ibnu Taimiyah al-Harrani alDimasyqi. Ia lahir di Harran pada 22 Januari 1263 M (10 Rabi ‘al-Amwal, 661 H). Keluarganya telah lama dikenal untuk pembelajarannya. Ayahnya ‘Abd al-Halim, paman Fakhr al-Din dan kakek Majd al-Din seorang ulama besar dari Mazhab Hanbali dan penulis banyak buku. Orangtuanya membawa Ibnu Taimiyah ke Damaskus ketika berusia 7 tahun karena Khurasan diserang oleh pasukan Tartar Mongol dibawah komando Hulagu Khan (1256-1265 M).
239
Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga intelektual islam, sebuah keluarga yang dihargai dan dihormati masyarakat luas pada saat itu. Ayahnya Syihabuddin bin Abd al-Abbas Ahmad bin Abd alHalim ibnu Taimiyah (1284 m). Kakeknya Majuddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdulloh binTaimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqh, hadits, tafsir, ilmu ushul, dan penghafal al-quran (hafidz). Beliau
hijrah
ke
Damaskus
bersama
orangtua
dan
keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinya. Begitu tiba di Damaskus, Ibnu Taimiyah segera menghafalkan al-Quran dan mencari berbagai cabang ilmu kepada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Diantara guru Taimiyah adalah ‘Abd al-Da’im, alQasim al-Irbili, al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnu al-Munja, al-Majd ibnu ‘Asakir, dan Ibnu abi ‘Umar serta para syaikh lainnya yang bahkan sebagian mereka telah sampai pada tingkatan mujtahid. Diantara murid Ibnu Taimiyah yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmunya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ibnu Taimiyah meninggal di penjara Qal’ah Damaskus yang disaksikan oleh seorang muridnya Ibnu Qayyim, ketika dia sedang membaca Al-Quran surah al-Qamar yang berbunyi “inna al-Muttaqina fi jannatin wanaharin”. Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit.
240
Dia dipenjara karena berseberangan dengan pemerintah di zamannya. Ibnu Taimiyah wafat pada tanggal 20 Djulhijjah 728 h dan
dikuburkan
pada
waktu
Ashar
disamping
kuburan
saudaranya, Syaikh Jamal al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya dishalatkan di masjid Jami’ Bani Umayyah sesudah shalat Zuhur yang dihadiri oleh para pejabat pemerintah, ulama, tentara, serta para penduduk. 2.
Karya Ibnu Taimiyah Ibnu Taimiyah meninggalkan karya sekitar 500 jilod dalam
berbagai disiplin ilmu yang mayoritas masih bias dibaca sampai saat ini. Ibnu al-Wardi (d. 749 H) menyatakan bahwa dalam satu hari dan malam, Ibnu Taimiyah dapat menulis empat buku. Tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah mencakup berbagai bidang ilmiah seperti tafsir, hadits, ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, akhlak, tasawuf, mantiq (logika), filsafat, politik, tauhid (kalam), ekonomi dan lain-lain. Sebagian karyanya telah dikumpulkan dalam “majmu al-Fatawa” sebanyak 37 volume, tidak termasuk beberapa karyanya yang dikategorikan sebagian besar sebagai Minhaj al-Sunnah” dan lain-lain. Karya-karya Ibnu Taimiyah meliputi berbagai bidang keilmuan, anatara lain di bidang politik terdapat al-Siyasah alSyar’iyyah fi Islah wa al-Ra’iyyah, dalam bidang tauhid terdapat Iqtida’ al-Rasa’il al-Kubra, al-Fatawa, Minhaj al-Sunnah, al-
241
Nabawiyyah fi Naqd al-Kalam al-Syi’ah wa al-Qadhariyah, dan dalam bidang tafsir terdapat Tafsir Al-Kabir. Disamping itu, ditemukan pula karya Ibnu Taimiyah yang cenderung mengkritisi fenomena keagamaan yang terjadi di zamannya. Karya Ibnu Taimiyah yang bersifat polemic dan bernada panas adalah Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, Ma’arij al-Wusul, Minhaj al-Sunnah dan Kitab Bughyah al-Murtad. Buku-buku ini dianggap polemic karena ditulis oleh Ibnu Taimiyah sebagai koreksi dan kritik terhadap berbagai teori keagamaan yang dipandang tidak benar, tidak sesuai dengan alQuran dan al-Sunnah.Buku lain yang dianggap ‘panas” adalah Jawab fi al-Ijma’ wa al-Khabr al-Mutawatir. Buku ini membahas tentang metode pengambilan keputusan hukum berdasarkan nash dan ijma’ yang merupakan sanggahan terhadap mereka yang berpendapat
bahwa
dilalah
lafziyyah
tidak
memberikan
pengetahuan yang meyakinkan. Sedangkan pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah terkandung di dalam karya monumentalnya, yakni Majmu al-Fatwa, al-Siyasah al-Syari’iyyahfi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah dan al-Hisbah fi al-Islam. Kitab Majmu’ al-Fatwa sebenarnya bukan buku khusus tentang ekonomi, tetapi merupakan berbagai kumpulan fatwa keagamaan dari Ibnu Taimiyah. Hanya saja dalam beberapa bagian secara farsial Ibnu Taimiyah menyampaikan gagasannya tentang ekonomi. Demikian pula dengan al-Siyasah al-Syar’iyyah
242
fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah bukan buku khusus tetang ekonomi. Namun, didalam buku tersebut ditemukan pemikiran ekonomi terutama terkait dengan keuangan Negara. Buku khusus tentang ekonomi tampak dalam al-Hisbah fi al-Islam. 3.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
a.
Harga yang Adil, mekanisme Pasar, dan Regilasi Harga
1) Harga yang Adil Konsep tentang “harga yang adil” merupakan kontribusi terbesar dari pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah. Ada dua tema penting dalam pembahasan masalah tentang harga yang adil. Pertama, kompensasi yang setara atau adil (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara atau adil (tsaman al-misl). Kompensasi setara diukur dan dinilai oleh hal-hal yang sama dan itu merupakan esensi dari keadilan (nafs al-‘adl). Kompensasi yang adil adalah pengganti sepadan yang merupakan harga yang sama dengan nilai dari suatu objek menurut adat. Kompensasi setara diukur dan dinilai oleh barang serupa tanpa penambahan dan pengurangan, dan ini merupakan esensi dari leadilan. Kedua, harga yang setara sebagai harga yang adil. Kesederhanaan adalah kuantitas objek tertentu dalam penggunaan umum dikaitkan dengan nilai dasar (rate/si’r) dan adat (‘urf). Evaluasi hak untuk kompensasi yang adil dan perkiraan berdasarkan analogi barang dengan barang lain yang setara (ekuivalen).
243
Menurut Ibnu Taimiyah, kompensasi yang adil (‘iwad almitsl) dan harga yang adil (tsaman al-mitsl) itu tidak sama. Pertanyaan tentang kompensasi yang adil atau “kompensasi setara” muncul ketika keluarnya kewajiban moral atau hukum yang menjadi masalah, mungkin (tetapi tidak harus) sehubungan dengan barang-barang. Bagi Ibnu Taimiyah, prinsip ini terlibat dalam
kasus-kasus
berikut.
(1)
ketika
seorang
dimintai
pertanggungjawaban karena menyebabkan melukai kehidupan (nufus) yang lain, atau harta (amwal), atau keperawanan, atau keuntungan (manafi) orang lain; (2) ketika seseorang dibawah kewajiban untuk membayar barang atau keuntungan yang setara, atau untuk membalas cedera beberapa bagian tubuh (ba’dh alNafs0; dan (3) ketika seseorang diminta untuk menyelesaikan kontrak yang tidak sah (‘uqud al-fasidah) dan kontrak yang sah (‘uqud al-shohihah) dalam hal cacat (arsy) dalam kehidupan dan harta. Karena kompensasi yang setara adalah konsep moral dan hukum, ia berbicara minimum secara hukum yang diperlukan, dan yang diinginkan atau moral yang sangant baik. Dia mengatakan: “Untuk mengimbangi sesuatu dengan yang setara adalah keadilanwajib (wajib ‘adl) dan jika pembayaran secara sukarela meningkat, itu jauh lebih baik dan kebajikan yang diinginkan (ihsan mustahab), tetapi untuk mengurangi kompensasi adalah
244
ketidakadilan yang dilarang. Demikian juga, untuk melawan sesuatu yang buruk dengan setaranya adalah keadilan yang diizinkan (‘adl ja’iz), tetapi untuk meningkatkan kerusakan adalah melanggar hukum (muharram), dan untuk menguranginya adalah kebajikan yang diinginkan (ihsan mustahab). Pada perbedaan antara kompensasi tyang setara dan harga yang setara, ia mengamati: “jumlah yang tercatat dalam kontarak terdiri dari dua jenis. Pertama, jumlah dengan mana orang yang akrab dan yang terbiasa. Ini adalah kompensasi adat umum yang diterima. Kedua adalah jenis yang jarang (nadir), yang dating sebagai hasil kenaikan atau penurunan kemauan (roghbah) atau beberapa factor lain. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang setara”. Tampak jelas bahwa bagi Ibnu Taimiyah kompensasi yang setara adalah fenomena yang relative tahan lama, yang dihasilkan dari penegakan adat, sedangkan harga yang setara adalah sebuah variabel yang ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan dan dipengaruhi oleh kehendak dan keinginan dari orang yang bersangkutan. Bagian lain dari al-Hisbah mengungkapkan bahwa dengan harga yang setara ia berarti, lebih tepatnya, bahwa harga yang ditetapkan oleh permainan kekuatan pasar yang bebas-penawaran dan permintaan. Misalnya, menggambarkan perubahan harga pasar, ia menulis: “jika orang berurusan dengan barangbarangnya dengan cara yang normsl (wajh ma;ruf) tanpa keadilan
245
dibagian mereka dan harga naik baik karena kekurangan barang, yaitu penurunan pasokan atau karena peningkatan populasi, yaitu peningkatan permintaan, maka itu adalah dari Allah swt. Dalam kasus tersebut, untuk memaksa penjuah agar menjual barangbarannya dengan harga tertentu adalah tekanan yang salah (ikrah bi ghayr haqq). Selain berbicara tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah juga membahas tentang upah yang adil dan upah yang setara. Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai harga yang berlaku di pasar tenaga kerja (tas’ir fi al-a’mal) dan menggunakan istilah “upah yang setara” (ujrah al-mitsl). Seperti harga, prinsip-prinsip dasar yang harus diamati adalah definisi penuh tentang kuantitas dan kualitas: Upah dan harga, ketika mereka tidak pasti ditentukan, atau tidak terlihat, atau jenis mereka tidak diketahui, maka itu merupakan ketidakpastian dan perjudian, (harus diingat bahwa selam beberapa hari, upah serta harga yang kadang-kadang dibayar dalam bentuk barang). Karena “upah yang setara” diatur oleh aturan yang sama dengan “harga yang setara”, maka dapat disimpulkan bahwa pencari nafkah atau buruh diperbolehkan dalam kondisi normal untuk mengenakan upah yang ditentukan oleh tawar-menawar kedua belah pihak antara majikan dan karyawan. Dengan kata lain, tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas, tunduk pada hukum ekonomi yang sama dari penawaran dan permintaan,
246
dalam kasus ketidaksepurnaan di pasar, “upah yang setara” akan tetap dengan cara yang sama sebagai “harga yang setara”. Misalnya, jika seseorang yang membutuhkan jasa penggarap atau mereka yang terlibat dalam produksi tekstil atau konstruksi, tetapi merek
tidak
siap
untuk
memberikan
layanannya,
pihak
berwenang dapat memperbaiki “upah yang setara” sehingga majikan
tidak
dapat
mengurangi
upah
pekerja
maupun
permintaan pekerjaan lebih dari mendirikan upah yang adil”. Hal lain yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah adalah laba yang setara atau laba yang adil. Penentuan laba, menurut Ibnu Taimiyah, seorang penjual mesti mendapatkan keuntungan dengan cara yang umum diterima (ribh ma’ruf) tanpa ,erusak kepentingannya sendiri maupun kepentingan konsumen. Ketika merumuskan harga yang adil, maka secara otomatis akan disinggung masalah keuntungan yang adil atau “keuntungan yang stara” sebagai keuntungan yang normal yang umumnya diperoleh dalam perdagangan dengan tanpa merugikan orang lain. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui tingkat profit yang tidak normal, eksploitatif (ghabn fahisy) dari sebuah situasi dimana orang tidak mengetahui kondisi pasar (mustarsil). Dia menulis: “Seseorang yang memperoleh barang untuk memperoleh pendapatan dan berdagang
dengannya
dilain
waktu
diizinkan
untuk
melakukannya tetapi ia tidak memungut biaya dari orang miskin (nuhtaj) sebuah keuntungan yang lebih tinggi daripada harga
247
yang umum (ribh al-mu’tad), dia seharusnya tidak meningkatkan harga karena kebutuhannya (dhsrursh)”. Dan lagi: “Seorang pedagan tidak boleh menambah biaya dari orang yang tidak menyadari keuntungan yang lebih tinggi daripada yang ia tetapkan dari orang lain. Dalam cara yang sama, jika ada orang miskin (mudta) yang terikat untuk membeli barang untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu permintaannya akan barang adalah benar-benar in elastic, penjual harus menetapkan keuntungan setara dengan keuntungan yang ditetapkan dari seseorang yang tidak begitu terikat”. Ibnu Taimiyah menganggap bahwa keuntungan itu sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal bersama-sama. Oleh karena itu, pemilik dari kedua factor produksi berhak untuk berbagi keuntungan. Memberikan pendapatnya tentang masalah yang disengketakan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan mode umum yang diterima oleh kedua belah pihak, salah satu pihak menginvestasikan tenaga kerja dan yang lain yang menginvestasikan uangnya. Ibnu Taimiyah menulis: “karena keuntungan adalah tambahan yang disebabkan oleh kerja dari satu pihak dan modal (mal) dari pihak yang lain, sehingga ditribusinya akan dengan cara yang sama seperti setiap kenaikan diciptakan oleh dua faktor”.
248
2) Mekanisme Pasar Ibnu Taimiyah memiliki pemahaman yang jelas tentang bagaimana dalam sebuah pasar bebas harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Pemikirannya dapat ditangkap dari pernyataannya, “naik turunnya harga tidak selalu disebabkan karena ketidakadilan (zhulm) oleh orang-orang tertentu. Kadang-kadang alas an untuk itu adalah kekurangan produksi atau penurunan impor barang dalam permintaan. Jadi, jika keinginan terhadap barang itu berkurang, maka harga akan naik. Disisi lain, jika ketersediaan barang meningkat dan keinginan pada barang berkurang, maka harga akan turun. Kelangkaan atau kelimpahan ini mungkin tidak disebabkan oleh tindakan dari perorangan, mungkin karena penyebab yang tidak melibatkan keadilan apapun atau kadang-kadang mungkin memiliki penyebab yang tidak melibatkan keadilan. Ini adalah Allah swt. yang menciptakan keinginan dalam hati orang-orang”. Menurut Ibnu Taimiyah, harga di pasar itu ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam hal pasokan Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber pasokan produksi, yakni produksi local dan barang impor. Untuk mengungkapkan
permintaan
akan
barang
tertentu,
ia
menggunakan frase “roghbat fi al-syai’”, yaitu keinginan akan sesuatu. Keinginan akan sesuatu mencerminkan kebutuhan atau
249
“rasa” yang merupakan salah satu penentu yang paling penting dari permintaan. Menurut laindisebabkan
Ibnu Taimiyah, kenaikan harga karena
adanya
penurunan
itu antara
komoditas
dan
pertumbuhan penduduk. Penurunan komoditas dapat secara tepat dimaknai sebagai penurunan pasokan, sedangkan pertumbuhan penduduk dapat dimaknai dengan peningkatan permintaan. Kenaikan harga karena penurunan pasokan atau kenaikan permintaan ditandai sebagai kehendak Allah untuk menunjukan sifat dari mekanisme pasar. Dalam membedakan antara kenaikan harga karena kekuatan pasar dan satu lagi karena ketidakadilan, seperti penimbunan, Ibnu Taimiyah telah meletakkan sebuah landasan pada regulasi harga oleh pemerintah. Pada kesempatan lain, Ibnu Taimiyah merinci beberapa faktor yang memengaruhi permintaan dan akibatnya terhadap harga: keinginan masyarakat (raghbah), jumlah permintaan (thulab), kekuatan atau kelemahan dari kebutuhan akan barang (qilah al-hajah wa katsrauha atau quwwah al-hajah wad ha’fuha), kualitas pelanggan atau partner transaksi (mu’awid), jenis uang yang dibayarkan dalam pertukaran (naqd ra’ij atau naqd ghayr ra’ij), kualitas pelaku transaksi (al-taghabudh min altharapayn), dan biaya yang dikeluarkan (qimah al-manfaah).
250
3) Regulasi Harga Pada masa Ibnu Taimiyah telah terjadi penurunan nilai mata uang secara berulang kali. Ibnu Taimiyah memina penguasa saat itu untuk memeriksa penurunan nilai mata uang itu yang telah mengganggu roda perekonomian. Menurutnya penguasa harus mencetak koin (selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adi dari transaksi masyarakat. Penguasa mesti merumuskan kebijakan yang rinci tentang pengendalian harga dengan tujuan untuk menjaga keadilan dan memungkinkan orang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni “harga tidak adil atau tidak sah” dan “harga yang adil dan sah”. Penetapan harga yang dilarang dan tidak adil adalah yang telah berlaku di tengah kenaikan harga yang disebabkan oleh permainan kekuatan pasar kompetitif yang bebas kekurangan pasokan atau kenaikan permintaan. Meskipun Ibnu Taimiyah tidak menggunakan istilah “kompetisi” secara eksplisit, tetapi tampak dalam penjelasannya mengenai kondisi persaingan sempurna dan tidak menyebutkan semua kondisi persaingan sempurna (prefect competition), khususnya ketika membahas tentang fungsi pasar. Hal ini tampak pada pernyataannya, “Memaksa masyarakat untuk menjual barang-barang dagangan tanpa ada pasar yang mewajibkannya merupakan sebuah kezaliman yang diharamkan”. Hal ini berarti
251
bahwa setiap orang memiliki kebebasan penuh untuk masuk atau keluar
dari
pasar.
Ibnu
Taimiyah
mendukung
untkuk
mengesampingkan unsure monopoli dalam pasar. Selain itu, Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya pengetahuan tentang pasar dan komoditas. Penjual dan pembeli dituntut mengetahui kualitas barang yang ada di pasar sehingga terhindar dari penipuan, ketidakjujuran dan ketidakadilan, serta memiliki kebebasan untuk memilih. Tapi di saat-saat darurat, seperti kelaparan, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah dan penjualan paksa atas komoditas yang merupakan hajat hidup orang banyak. Ibnu Taimiyah menyatakan, “Ini adalah bagi penguasa untuk memaksa seseorang untuk menjual barangbarangnya dalam sebuah harga yang adil ketika orang yang membutuhkannya. Misalnya ketika ia memiliki kelebihan makanan dan orang didekatnya dalam kelaparan, dia akan dipaksa untuk menjual pada harga yang adil”. Dalam melakukan penetapan harga, harus dibedakan antara pedagang local yang memiliki persediaan barang dengan para importer. Dalam hal ini, para importer tidak boleh dikenakan kebijakan tersebut. Namun, mereka dapat diminta untuk menjual barang dagangannya
seperti
halnya rekanan importirnya.
Penetapan harga akan menimbulkan dampak yang merugikan persediaan barang-barang impor mengingat penetapan harga tidak
252
diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia di tempat itu karena akan merugikan para pembeli. b. Pasar Tidak Sempurna Menurut Ibnu Taimiyah, dalam kondisi tertentu pemerintah memiliki
kewenangan
untuk
menetapkan
harga
apabila
ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual di pasar tidak mau menjual barangnya kecuali dalam harga yang lebih tinggi dari harga yang normal (qimah ma’rufah) dan pada saat yang bersamaan masyarakat luas sangat membutuhkan barang-barang tersebut. Dalam keadaan ini, maka pemerintah berhak memaksa para pedagang untuk menjual barangnya dengan “harga yang setara’. Masih menurut Ibnu Taimiyah, apabila di pasar telah terjadi monopoli maka bias dipastikan bahwa pasar itu tidak sempurna. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) atas jual beli di pasar. Praktik monopoli ini tidak boleh dibiarkan karena akan mendatangkan ketidakadilan, “Jika penhapusan seluruh ketidakadilan tidak mungkin, seseorang diwajibkan untuk menghilangkannya sejauh dia bias”. Apabila praktik monopoli itu tidak dapat dicegah sama sekali, maka minimalisasi kerugian rakyat menjadi kewajiban pemerintah, sehingga regulasi harga oleh pemerintah menjadi tak terelakkan. Untuk menghindari terjadinya pasar tidak sempurna, maka Ibnu Taimiyah menentang diskriminasi harga terhadap pembeli 253
atau penjuayang tidak tahu harga yang berlaku di pasar. Menurut Ibnu Taimiyah, “seorang penjual tidak memungut biaya harga selangit, tidak umum dalammasyarakat, dari orang yang tidak menyadari (mustarsil) tetapi harus menjual barangnya dengan harga adat (qimh mu’tadah) atau dekat dengan itu. Jika pembeli telah mengenakan harga selangit seperti itu, ia memiliki hak untuk meninjau kontrak bisnisnya. “… seseorang diketahui melakukan diskriminasi dengan cara ini harus dihukum dan kehilangan hak untuk masuk pasar”. c.
Musyawarah dalam Penetapan Harga Sepertinya Ibnu Taimiyah tidak menghendaki pemerintah
untuk
menjadi
otoriter
dalam
bentuk
apapun,
termasuk
didalamnya saat menentukan harga pasar. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah memberikan rekomendasi agar pada saat menetapkan harga pemerintah perlu melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait. Menurut Ibnu Taimiyah, “Imam (pemerintah) harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh yang merupakan wakildari pelaku pasar (wujuh ahl al0suq). Anggota masyarakat lainnya juga diperkenankan untuk menghadiri musyawarah tersebut sehingga dapat membuktikan pernyataan
mereka.
Setelah
melakukan
musyawarah
dan
penyelidikan terhadap pelaksanaan transaksi jual beli mereka, pemerintah harus meyakinkan mereka pada suatu tingkat harga yang dapat membantu mereka dan masyarakat luas, hingga dapat
254
menyetujuinya. Harga tersebut tidak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka. Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah ini didasarkan pada logika
dalam
musyawarah
dalam
penetapan
harga
ini
dimaksudkan agar para pihak tidak merasa dirugikan, keinginan penjual bias terakomodasi dan kebutuhan pembeli bias terealisasi. Apabila harga ditetapkan tanpa melalui musyawarah terlebih dahulu akan berbahaya, karena penjual bias menahan barang untuk tidak dijual di pasar. Hal ini akan menyebabkan kelangkaan barang di pasar dan berimplikasi pada kenaikan harga. Apabila terjadi kenaikan harga, maka pihak yang akan merasa dirugikan adalah masyarakat luas. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah telah menunjukan dengan jelas tentang kelemahan dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang. Sebab menurutnya, pada tingkatan tertentu akan berdampak pada munculnya pasar gelap. d. Uang dan Kebijakan Moneter 1) Fungsi Uang Menurut Ibnu Taimiyah, ada dua fungsi penting dari uang, yakni sebagai alat pengukur nilai dan alat tukar. Ibnu Taimiyah menyatakan, “Harga (tsaman), yaitu harga atau yang dibayar sebagai harga, uang dan sebagainya yang dimasudkan untuk menjadi pengukuran nilai barang (mi’yar al-amwal), melalui jmlah benda nilai (maqadir al-amwal) dikenal, dan uang tidak
255
boleh dimaksudkan untuk dikonsumsi”. Dengan demikian, fungsi penting dari uang adalah untuk mengukur nilai barang dan harus dibayar dalam pertukaran untuk jumlah barang yang berbeda. Berkaitan dengan fungsi uang ini, Ibnu taimiyah menentang perdagangan uang. Hal ini disebabkan karena telah mengalihkan fungsi uang sebagai alat tukar menjadi komoditas. Menurut Ibn Taimiyah, apabila uang harus ditukar dengan yang lain. Maka dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Jika ada dua orang saling menukar uang, dimana salah satu dari mereka membayar tunai sementara [ihak lain berjanji untuk membayar kemudian belakangan, maka orang pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dianjikan untuk transaksi sampai dia benar-benar dibayar. Menurut Ibnu Taimiyah, ini adalah alas an mengapa Nabi melarang transaksi tersebut. 2) Penurunan nilai mata uang Pada masa Sultan Mamluk, Mesir berulangkali dilanda penurunan nilai mata uang. Ibnu Taimiyah meminta Sultan untuk mengevaluasi penyusutan nilai uang tersebut yang telah menyebabkan gangguan, terutama dalam bidang perekonomian. Ibnu Taimiyah termasuk ekonom pada zamannya yang sangat khawatir dengan terjadinya penurunan nilai mata uang ini. Sehubungan dengan itu, Ibnu Taimiyah menyatakan “penguasa harus mencetak koin (selain emas dan perak) sesuai dengan nilai
256
transaksi masyarakat, yang tidak berdampak pada ketidakadilan didalam masyarakat”. Menurut Ibnu Taimiyah, ada hubungan yang signifikan antara kuantitas uang, volume transaksi dan tingkat harga. Kuantitas uang yang dicetak harus sesuai dengan volume transaksi yang terjadi dalam masyarakat untuk memastikan harga yang adul dapat terealisasi. Hal ini berarti bahwa nilai intrinsic dari mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar. Menuerut Ibnu Taimiyah, pemerintah tidak boleh mencetak mata uang selama tidak ada kenaikan daya serap sector riil terhadap uang yang dicetak tersebut. 3) Uang Jelek Mengalahkan Uang Baik Dalam kajian ekonomi konvensional sangat mengenal Hukum Gresham yang dikemukakan Thomas Gresham pada tahun 1857. Hukum ini menyatakan bahwa dua koin memiliki nilai nominal yang sama tetapi terbuat dari niali logam yang berbeda, yang lebih murah cenderung akan mengalahkan yang lain dari peredaran. Hal ini disebabkan karena ada kecenderungan untuk menimbun uang baik atau dilebur kemudian diekspor untuk medapatkan keuntungan lebih. Dalam persoalan ini, Ibnu Taimiyah menyatakan, “Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jathnya 257
nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena telah menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai-nilai intrinsic mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan nilai mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur”. Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa mata uang yang jelek (bad money) akan menggeser keberadaan mata uang yang baik (good money). Apabila keadaan ini terjadi, pada perkembangan berikutnya bad money ini akan diperlakukan sebagai komoditas yang mungkin tidak memiliki nilai yang sama seperti ketika digunakan debagai mata uang. Disisi lain, orang akan mendapatkan harga yang lebih rendah untuk barangbarangnya dalam hal uang baru. e.
Peranan Negara dalam Kehidupan Ekonomi Neara merupakan sebuah organ yang sangat dibutuhkan
dalam kehdupan masyarakat dan manusia pada umumnya. Sehubungan dengan itu, Ibnu Taimiyah menyatakan, “Perlu dicatat untuk mengatur urusan rakyat adalah salah satu persyaratan yang paling penting dalam agama (wajibat al-din).
258
Benar-benar bericara, din tidak dapat dibangun tanpa Negara. Kesejahteraan anak-anak Adam tidak dapat dicapai melalui organisasi masyarakat yang baik (ijtima’), karena mereka membutuhkan satu sama lain, dan untuk masyarakat seperti itu, penguasa sangat diperlukan”. Namun demikian, menuerut Ibnu Taimiyah, kekuasaan yang dilakukan oleh Negara itu tidak mutlak, tetapi merupakan makna dari Allah dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam syari’ah. Peran Negara dalam kehidupan rakyat itu meliputi berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, social, budaya, dan lain sebagainya. Aspek ekonomi merupakan bidang yang paling penting karena akan berimplikasi pada bidang-bidang yang lainnya. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran terkait dengan pemikiran Negara dalam bidang ekonomi ini, diantaranya sebagai berikut. 1) Pemberantasan Kemiskinan Menurut Ibnu Taimiyah, Negara memiliki kewajiban untuk menyejahterakan
rakyatnya.
Kekuasaan
sebagai
amanah
menghendaki eharusn mengelola kekayaan Negara secara proposional dan bertanggungjawab untuk kemaslahatan rakyat yang sebenar-benarnya. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, Negara memiliki tugas untuk menciptakan kesejahteraan dan menghindarkan diri dari 259
kemiskinan. Sehubungan dengan itu, rakyat miskin memiliki hak atas kekayaan yang diperoleh dan dimiliki oleh Negara. Pendapatan Negara harus dialokasikan utuk menciptakan kesejahteraan dan memberantas kemikinan. Rakyat yang lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya wajib dibantu oleh Negara. Bantuan yang diberikan Negara itu baik dalam bentuk bantuan yang bersifat konsumtif maupun yang bersifat produktif. Peranan Negara dalam bidang ekonomi bukan hanya memenuhi standar kebutuhn minimal rakyat, melainkan standar hidup yang layak dan juga membantu rakyat untuk menjadi mandiri. Konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyah adalah pengembangan institusi zakat, kafarat atau denda, shodaqoh dan hibah oleh pemerintah. Menurut Ibnu Taimiyah: Negara atau pemerintah dituntut untuk bisa membedakan antara layak dan tidak layak dan untuk meakukan keadilan dalam distribusi mata pencaharian dan jabatan public. Redistribusi pendapatan antara kaya dan miskin demi keadilan dan tingkat emerataan adalah tanggungjawab
khusus
Negara.
Negara
bertugas
untuk
mengumpulkan uang dan menggunakannya secara adil dan tepat sasaran. 2) Regulasi Pasar Diskursus tentang masalah ini telah dikemukakan pada bahasan sebelumnya. Ibnu Taimiyah memiliki pandangan bahwa
260
Negara memiliki hak untuk melakukan intervensi di pasar apabila pasar telah berjalan secara tidak normal. Misalnya, harga di pasar menjadi tinggi akibat disengaja oleh pihak-pihak tertentu sehingga mempersulit kehidupan konsumen. Dalam kondisi seperti ini, maka Negara berhak melakukan intervensi. Namun, menurut Ibnu Taimiyah, penetapan harga oleh Negara itu tetap harus didahului oleh musyawarah dengan perwakilan dari produsen dan konsumen, sehingga penetapan harga oleh Negara itu bisa diterima oleh semua pihak dan terhindar dari eksis negatif dari penetapan harga tersebut. Menurut Ibnu Taimiyah, selain penetapan harga Negara juga perlu menetapkan standar upah. Penetapan upah oleh Negara ini dimaksudkan untuk mengindari terjadinya konflik antara majikan dan karyawannya. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa tenaga kerja itu sebagai bagian dari produk jasa akan memengaruhi harga pasar. Oleh karena itu, perlakuan terhadap upah dapat dianalogikan pula pada penetapan harga :harha tenaga kerja” (ta’sir fi al-‘amal). Menurut Ibnu Taimiyah, sebenarnya penetapan upah itu harus diserahkan kepada kekuatan pasar. Hal ini berlangsung apabila penetapan upah di pasar terjadi secara normal. 3) Kebijakan Moneter Sebagaiman telah dikemukakan diatas Ibnu Taimiyah berpendapat bahawa Negara memiliki tanggungjawab untuk
261
mengendalikan ekspansi mata uang dan mengevaluasi penurunan nilai mata uang. Apabila dalam sebuah Negara telah terjadi ekspansi mata uang, maka akan berdampak pada terjadinya inflasi dan merupakan trust terhadap mata uang. Tanggungjawab lain dari Negara terkait dengan kebijakan moneter adalah mengendalikan mata uang agar tidak dijadikan sebagai komoditas. Apabila mata uang telah dijadikan sebagai komoditas, maka akan menyebabkan ketidakstabilan moneter yang memungkinkan terjadinya krisis moneter. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah memiliki perhatian yang serius terkait dengan stabilitas ekonomi. Stabilitas nilai mata uang sangat penting karena mata uang merupakan ukuran nilai dan alat tukar. Berbagai perilaku ekonomi yang mengganggu fungsi uang ini sangat berbahaya bagi kehidupan ekonomi. 4) Perencanaan Ekonomi Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran ekonomi terkait dengan perencanaan
pembangunan
ekonomi.
Perencanaan
dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi merupakan persyarat bagi sebuah Negara yang stabil. Perencanaan pembangunan ekonomi ini sangat penting agar pembangunan ekonomi itu dapat dilaksanakan
secara
sistematis
dan
struktur,
sehingga
hasilpembangunan dapat menyentuh kebutuhan masyarakat, terutama tersedianya fasilitas umum. Menurut Ibnu Taimiyah,
262
sebagian besar dari pendapatan Negara harus dibelanjakan untuk pembangunan kanal, jembatan, jalan dan sebagainya. Hal yang paling menarik dari gagasan Ibnu Taimiyah terkait dengan perencanaan pembangunan ekonomi ini adalah pemikiran tentang pembangunan dalam bidang pendidikan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan merupakan tanggungjawab Negara. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah, Negara harus mengatur untuk pendidikan dan pelatihan generasi mudanaya untuk mempersiapkan orang-orang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, pendidikan dan pelatihan perlu diberikan kepada para calon pejabat Negara sehingga mereka memiliki kualifikasi penting yang dibutuhkan untuk kinerja urusan Negara dan lainnya. f.
Institusi Hisbah Institusi hisbah (wilayah al-hisbah0 adalah lembaga yang
memiliki wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf dannahyi munkar selain dari wewnang peradilan, pejabat administrasi, dan yang sejenis dengan itu. Menurut Ibnu Taimiyah, “yang dimaksud dengan muhtasib adalah yang diberi wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahyi munkar tidak termasuk wewenang peradilan, pejabat administrasi, dan sejenisnya. Institusi hisbah ini merupakan wakil Negara yang berwenang untuk mengontrol praktik perdagangan dan ekonomi. Secara rinci, institusi hisbah ini bertugas dan berfungsi sebagai berikut. 263
1) Persediaan dan Pengadaan Kebutuhan Muhtasib bertugas memeriksa ketersediaan barang yang merupakan kebutuhan pokok. Ketersediaan sandang dan pangan merupakan prioritas yang harus diawasi oleh muhtasib. Demikian pula dengan ketersediaan jasa, seperti jasa konstruksi, budidaya dan pembuatan koin, merupakan tugas pertama dari muhtasib. 2) Pengawasan Industri Muhtasib bertugas mengawasi standar produk industry. Selain itu, muhtasib juga berwenanguntuk memberlakukan larangan pada industry yang berbahaya bagi masyarakat umum. Demikian pula muhtasib berwenang untuk menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dan karyawannya. 3) Pengawasan pelayanan Muhtasib bertugas untuk memeriksa apakah pemberi produk jasa layanan melaksanakan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Profesi dokter, ahli bedah, farmasi, guru, penggiling, dan penginapan merupakan objek yang harus diawasi dan dikontrol oleh muhtasib. 4) Pengawasan Perdagangan Muhtasib bertugas untuk mengawasi pasar pada pada umumnya
dan
praktik
perdagangan
yang
berbeda
pada
khususnya. Pengawasan terhadap standardisasi transaksi dan
264
kualitas produk merupakan tugas utama muhtasib. Pengawasan yang dilakukan muhtasib ini diarahkan agar pasar terhindar dari monopoli, penimbunan, dan tindakan ekonomi lain yang dapat merugikan baik untuk konsumen maupun bagi pedagang itu sendiri. g.
Keuangan Publik Secara teoritis, keuangan public adalah salah satu cabang
ekonomi yang membahas tentang pengadaan, pemeliharaan, dan pengeluaran sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Selain itu, sumber bisnis atau usaha pemerintah yang hasilnya bertujuan untuk menyejahterakan rakyat juga merupakan wilayah kajian keuangan publik. Keuangan publik juga berhubungan dengan peran Negara dalam menganalisis dampak-dampak perpajakan dan pembelanjaan Negara terhadap situasi ekonomi individu dan lembaga, juga menyelidiki dampaknya terhadap situasi ekonomi individu dan lembaga, juga menyelidiki dampaknya terhadap ekonomi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, ibnu Taimiyah telah memiliki pemikiran terkait dengan sumber pendapatan Negara dan belanja Negara. Selain itu, Ibnu Taimiyah menawarkan beberapa regulasi terkait dengan masalah ini. 1) Pendapatan Negara Masalah pendapatan Negara ini, sebenarnya telah banyak oleh ekonom Muslim sebelumnya. Bahkan, hamper semua 265
ekonom Muslim menyajikan pemikiran tentang pendapatan Negara ini. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah sendiri ikut mendiskusikannya sekalipun tidak terlalu rinci dan mendetail. Menurut Ibnu Taimiyah, Negara berhak untuk mendapatkan sumber-sumber penghasilan dan pendapatan yang diperlukan untuk melaksanakan kewajibannya. Sumber utama dari kekayaan Negara adalah zakat, ghanimah, dan fa’i. selain dari sumber ini, Negara juga bisa menambah pemasukannya dengan menerapkan pajak-pajak lain ketika kebutuhan mendesak muncul. a)
Zakat Menurut Ibnu Taimiyah, zakat merupakan landasan dari
fiskal Negara berbasis Islam. Kewajban zakat ini hanya dibebankan kepada orang kaya yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya. Zakat ini dikenakan pada kekayaan berupa tanaman, hewan, barang dagangan, serta dua logam berharga; emas dan perak. Palam prespektif Ibnu taimiyah, seluruh pajak dalam islam termasuk
didalamnya
zakat
disyariatkan
dalam
rangka
menunaikan dua tujuan utama, yakni memenuhi keuangan Negara dan pengurangan kesenjangan antara kaya dan miskin. Oleh karena itu, zakat menjadi kewajiban rakyat kepada negaranya. Penunaian zakat merupakan bukti komitmen rakyat terhadap negaranya. Rakyat yang tidak menunaikan zakat berarti telah melakukan pembangkangan terhadap Negara.
266
b) Ghanimah Ibnu
Taimiyah
mengatakan
bahwa
ghanimah
(harta
rampasan perang) adalah kekayaan yang diperoleh dari nonMuslim setelah perang. Keabsahan ghanimah didasarkan pada alquran surat al-Anfal ayat 41: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Alah, Rasul, Kerabat Rasul, anakanak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Ghanimah adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum kafir melalui peperangan. Inilah sumber pendapatan utama dari Negara islam pada periode awal. Al-Quran surat al-anfal ayat 41 menetapkan bahwa ghanimah itu didistribusikan sebagai berikut: 4/5 adalah hak pasukan, dan 1/5 dibagi untuk Allah swt., Rasulullah dan kerabatnya, anak yatim, miskin dan ibnussabil. Dari ghanimah inilah dibayar gaji tentara, biaya perang, biaya hidup Nabi dan keluarganya, dan alat-alat perang, serta berbagai keperluan umum. c)
Fa’i dan Pendapatan Lain Berbeda dengan ghanimah dan zakat yang dialokasikan
untuk kategori orang tertentu, distribusi pendapatan dari fa’I lebih 267
luas bagi seluruh rakyat. Bagi Ibnu Taimiyah, semua pendapatan selain ghanimah dan zakat termasuk kategori ini. Diantara pendapatan Negara berupa fa’i terdiri dari: (1) jizyah yang dikenakan kepada orang Yahudi dan Nasrani; (2) upeti yang dibayarkan oeh musuh; (3) hadiah yang diberikan kepada kepala Negara; (4) bea cukai (‘usyr) atau pajak yang dikenakan kepada pedagang dari Negara lain; (5) denda berupa uang; (6) kharaj; 97) harta yang tidak ada pemiliknya (luqathah); (8) harta warisan yang tidak ada ahli warisnya; (9) simpanan atau uang atau barang rampasan yang pemilik sebenarnya tidak diketahui lagi dank arena itu tidak bisa dikembalikan lagi; (10) shadaqah; (11) wakaf; (12) kifarat. Selain mengemukakan sumberpendapatan Negara diatas, Ibnu Taimiyah juga memberikan ruang kepada Negara untuk menentukan jenis pajak lain. Pendapatan pajak baru, menurut Ibnu Taimiyah, baru boleh dilakukan apabila situasi dan kondisi Negara benar-benar membutuhkan. Selain itu, penetapan pajak baru inipun apabila sumber pendapatan diatas tidak bisa memenuhi kebutuhan keuangan Negara. 2) Belanja Negara Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa sumber pendapatan Negara, menurut Ibnu Taimiyah, terdiri dari zakat, ghanimah, dan fa’i. Oleh karena itu, belanja Negara juga harus bersumber dari pendapatan tersebut. Bagi pendapatan zakat dan
268
ghanimah telah ditentukan secara pasti di dalam al-Quran, sedangkan pendapatan Negara dari fa’i diserahkan sepenuhna kepada pemerintah. Berkaitan dengan belanja Negara bersumber dengan zakat telah ditetapkan didalam al-quran. Allaah swt. berfirman, “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. Berdasarkan ayat ini maka pendapatan yang berasal dari zakat dialokasi untuk delapan ashnaf, yakni: (1) fakir, yaitu orang yang sangat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya; (2) miskin, yaitu orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan; (3) pengurus zakat (amilin), yaitu orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat; (4) muallaf, yaitu orang yang kafir yang ada harapan masuk islam dan orang yang baru masuk islam yang imannya masih lemah; (5) memerdekakan budak; (6) orang yang berhutang (gharimin), yaitu orang yang berhutang karena untuk kepentingan
yang
bukan
maksiat
dan
tidak
sanggup
membayarnya; (7) untuk jalan Allah (fisabilillah), yaitu untuk keperluan pertahanan islam dan kaum muslimin; dan (8) ibnu al-
269
sabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. Demikian pula dengan belanja yang berasal dari pendapatan ghanimah telah ditetapkan di dalam al-Quran Swt. berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Alah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Berdasarkan ayat ini, pendapatan yang berasal dari ghanimah dialokasikan sebesar 20% (1/5) bagi Allah, rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miski dan ibnussabil, dan 80% (4/5) bagi bala tentara yang ikut terlibat dalam peperangan. Sedangkan belanja Negara yang berasal dari pendapatan fa’i, menurut Ibnu Taimiyah, sepenuhnya diserahkan kepada Negara atau pemerintah. Pendapatan Negara yang berasal dari fa’i digunakan untuk biaya operasional Negara, gaji pegawai, dan pembangunan
fasilitas
umum.
Pembangunan
infrastruktur
misalnya, sumber pendanaannya tidak boleh diambil dari zakat dan ghanimah, tetapi harus diambil fa’i. demikian pula dengan upaya meningkatkan kesejahteraan umum harus diambil dari pendapatan fa’i.
270
h. Regulasi Pajak Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran terkait dengan regulasi pajak. Pertama, para wajib zakat dan kolektor tidak diperbolehkan melakukan ketidakadilan. Ketidakadilan yang dilakukan oleh para wajib pajak adalah dengan cara menghindar atau menguragi kewajiban bayar pajak. Sedangkan ketidakadilan yang dilakukan oleh kolektor adalah melakukannya dengan menekan para wajib pajak dan harus membayar di atas kewajibannya sendiri. Ibnu Taimiyah melarang penggelapan pajak terutama ketika pajak dikenakan secara kolektif pada kelompok. Alasan untuk ini adalah bahwa jika seseorang menhindari bagiannya dari pajak, bagian itu akan jatuh pada orang lain dalam kelompoknya, sehingga orang lain memiliki beban yag lebih besar. Istilah yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah adalah muzhalim musytarakah (ketidakadilan kolektif). Menurutnya, orang-orang tersebut berada dalam kelompok yang tidak adil dan dipaksa untuk membayar sejumlah tertentu diluar kewajibannya. Ibnu Taimiyah menyarankan otoritas pajak berlaku adil dalam prosedur perpajakannya dan tidak boleh merekrut pajak secara illegal. Mereka harus mengenakan pajak atas setiap orang yang bertanggungjawab untuk membayar dan tidak membuat pengecualian atau pembebasan kepada orang-orang tertentu yang disebabkan karena telah memberikan sesuatuatau pertimbangan
271
lainnya. Oleh karena itu, Negara memiliki kewajiban untuk mengangkat para kolektor pajak yang amanah dan dapat menunaikan kewajibannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Pada
saat
yang
bersamaan,
Ibnu
Taimiyah
juga
mengingatkan tentang pentingnya administrasi perpajakan. Pertama, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa pajak yang dipungut oleh Negara harus sesuai dengan ketentuan syariah. Ketiga sumber pajak zakat, ghanimah dan fa’I harus menjadi sumber pendapatan Negara utama. Kecuali apabila dari ketiga sumber pendapatan Negara ini tidak bisa memenuhi keuangan Negara, maka Negara boleh menetapkan pajak baru. Kedua, dalam pengalokasianpendapatan atau belanja Negara harus sesuai dengan ketentuan syariah. Bagi pendapatan Negara yang berasal dari zakat dan ghanimah harus dilokasikan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam al-quran, sedangkan untuk pendapatan Negara yang berasal dari fa’i sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Menurut Ibnu Taimiyahm pemerintah memiliki kewenangan yang bebas dalam menjalankan tertib administrasi pajak dan mengangkat para pejabat pajak. Para pejabat yang diangkat hendaklah orang-orang yang jujur dan mampu merealisasikan tugas dan kewajibannya dengan baik.
272
B. Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi 1.
Riwayat Hidup Al-Maqrizi Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Tqiyuddin Abu Al-Abbas
Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Al-Husaini. Ia lahir di desa Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H (1364-1365). Keluarganya berasal dari Maqarizah sebuah desa yang terletak di kota Ba’lakbak. Maqarizah bermakna terpencil dari kota sehingga ia cenderung dikenal sebagai al-Maqrizi. Sejak kecil ia gemar melakukan rihlah ilmiah seperti fiqh, hadits dan sejarah dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Tokoh terkenal yang sangat memengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun (seorang ulama besar, penggagas ilmu sosila dan ekonomi). Interaksinya dengan Ibnu Khaldun dimulai ketika Ibnu Khaldun dimulai ketika Ibnu Khaldun ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung
(Qadhi
Al-Qudah)
Mazhab
Maliki
pada
masa
pemerintahan Sultan arquq (784-801 H). Pada usia 22 tahun tepatnya pada tahun 788 H (1386 M), alMaqrizi memulai kirahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya semacam sekretaris Negara pada masa pemerintahan dinasti mamluk. Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo. Pada tahun 811 H (1408 M), al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit An-nuri, Demaskus.
273
Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadits di Madrasah Asyrafiyyah dan Madrasah Iqabliyyah. Pada tahun 834 H (1430 M), al-Maqrizi bersama keluarganya menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama beberapa waktu untuk menuntuk ilmu serta mengajarkan hadits dan menulis sejarah. Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442. Al-Maqrizi adalag seorang sejarawan Mesir lebih dikenal sebagai a-Maqrizi atau Makrizi. Meskipun ia adalh “seorang sejarawan Mamluk dan dirinya seorang Muslim Sunni, tetapi dalam konteks ini dia luar biasa tajam di dinasti Ismaili Fatimiyah dan perannya dalam sejarah Mesir. 2.
Karya Al-Maqrizi Menurut Shakir Mustafa, ada sekitar 27 buku yang ditulis
oleh al-Maqrizi yang saat ini bisa ditemukan. Buku-buku tersebut adalah al-Mawa’izh wa al-I’tibar bi Dzikr al Kithath wa al-Atsar, al-Suluk fi Ma’rifah Duwal al-Muluk, Itti’azh al-Hunafa bi Akbar al-A’immah al-Fatimiyyin al-Khulafa, kitab al-Muqaffa fi Tarajum Ahl Mishr wa al-Waridin ilayha, kitab Syudzur al-‘Uqud fi Dzikr al-Nuqud, Ighatsah al-‘Ummah bi Kasyf al-Ghummah, al-Khabar ‘an al-Basyar, Imna al-Asma’mfi ma li al-Rasul min al-Hafadah wa al-Atba’, al-Ilmam bi man fi Ardh al-Habasyah min Muluk al-Islam, al-Turfah al-Gharibah fi Akhbar Hadrmawt 274
al-‘Ajibah, al-Bayan wa al-I’rab ‘amma fi Ardh Mishr mi alA’rab, al-Dzihb al-Masbuk fi Dzikr man Hajja min al-Khulaffa wa al-Muluk, al-Niza wa al-Takhasum fi ma bayn Bani Umayyah wa Bani Hasyim, al-Duwar al-Mudi’ah fi Tarikh al-Duwal alIslamiyyah, al-Du’ al-Sari fi Khabr Tamim al-Dari, Dawr alUqud al-Faridah fi Tarajum al-A’mal al-Mufidah, ‘Aqd alJawahir al-Asfath fi Akhbar Madinah al- Fusthath, Muntakhab al-Tadhkirah fi al-Tarikh, Nubdzah Tarikhiyyah, Mukhtashar alKamil fi al-Du’affa’, Risalah fi al-Mawazin wa al-Makayil, Tarajum Muluk al-‘Arab, Dzikr ma Warada fi Bani Umayyah wa Bani al-‘Abbas mi al-Aqwal, Ma’rifah ma Yajib li Al al-Bayt mi al-Haq ‘ala man “Adahum, Izalah al-Ta’b wa al-‘Ina fi Ma’rifah Hal al-ghina, Dzikr Bina’ al-Ka’bah wa al-Bayt al-Haram, dan al-Bayan al-Mufid fi al-Farq Bayn al-Tawhid wa al-Talhid. Dari buku-buku terebut, buku al-Maqrizi yang membahas masalah ekonomi adalah Ighatsah al-‘Ummah bi Kasyf alhummah, Kitab Syudzur al-‘Uqud fi Dzikr al-Nuqud, dan Risalah fi al-Mawazin wa al-Makayil. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa hanya dalam kitab-kitab ini saja al-Maqrizi berbicara tentang ekonomi. Bahkan, dalam karyanya al-Suluk fi Ma’rifah Duwal al-Muluk dan al-Mawa’izh wa al-I’tibar bi Dzikr al-Khithath wa al-Atsar banyak ditemukan pemikirannya mengenai teori-teori ekonomi terutama ketika menceritakan krisis yang terjadi saat itu.
275
3.
Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi Al-Maqrizi berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran
ekonomi Islam, sebuah fase yang mulai terlihat tanda-tanda melambatnya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif dalam dunia islam. Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi. Fokus perhatian Maqrizi terhadap dua aspek ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai islam yang dilakukan
oleh
para
pemerintahan
Bani
Umayyah
dan
selanjutnya. Al-Maqrizi telah melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga yang terjadi secara berkala ditengah terjadinya kelaparan dan kekeringan. Rafuq al-Misri mencatat bahwa selain kelangkaan alam yang disebabkan oleh kegagalan hujan, alMaqrizi mengidentifikasi penyebab fenomena ini, yakni korupsi dan administrasi yang buruk, beban berat dari pajak pada petani, dan peningkatan pasokan uang selain emas dan perak. Membahas penyebab ketiga, Maqrizi menekankan bahwa emas dan perak adalah satu-satunya uang yang bisa menjadi standar nilai. Harga jarang naik dalam hal emas batangan, meskipun emas dalam bentuk mata uang melambung tinggi. Solusi yang tepat, menurut Maqrizi,
untuk
membatasi
pasokan
mata
uang
adalah
minimalisasi penggunaan kecuali untuk transaksi dalam skala kecil.
276
a.
Konsep Uang Pemikiran al-Maqrizi tentang uang ini dimulai dengan
pembahasan tentang sejarah dan fungsi uang, implikasi penciptaan uang buruk, dan daya beli uang. 1) Sejarah dan Fungsi Uang Menurut al-Maqrizi, baik pada masa sebelum maupun setelah kedatangan islam, mata uang sudah digunakan oleh umat manusia untuk menentukan berbagai harga barang dan upah tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak. Menurut al-Maqrizi, emas dan perak itu merupakan uang riil dan alami. Al-Maqrizi mendukung pendiriannya oleh fakta bahwa setiap bangsa digunakan sebagai uang. Nabi Muhammad Saw. menyebutkan zakat dalam istilah dirham perak. Umumnya kedua mata uang itu berbentuk dinar dengan menggunakan bahan emas dan dirham dari bahan perak. Sedangkan mata uang yang telah umum diterima di Mesir adalah fulus. Mata uang ini digunakan dalam pertukaran untuk segala macam yang dimakan, semua jeni minuman, dan barang-barang umum lainnya. Fulus juga diterima untuk pembayaran pajak tanah, persepuluhan pada keuntungan pedagang, dan pungutan lain karena sultan. Mereka digunakan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja untuk semua karya, apakah signifikan atau
277
tidak signifikan. Memang orang-rang Mesir tidak memiliki mata uang selain fulus, dengan fulus inilah kekayaan mereka diukur. Dalam
sejarah
perkembangannya,
bangsa
Arab
menggunakan dinar emas dan dinar perak sebagai mata uang mereka yang diadopsi dari Romawi dan Persia. Penggunaan mata uang emas dan perak ini kemudian dijustifikasi oleh Rasulullah Saw. bahkan penggunaan kedua mata uang tersebut terus berlanjut tanpa perubahan sedikitpun sehingga tahun 18 H ketika Khalifah Umar bin Khattab menambahkan lafz-lafaz islam pada kedua mata uang tersebut. Perubahan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 76 H. khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham islam. Dalam sejarah islam, perkembangan uang sempat mengalami kekacauan. Kekacauan melanda masalah uang ini terjadi karena pencetakan mata uang dilakukan dengan bahan campuran, tidak lagi murni terbuat dari emas atau perak. Pencetakan mata uang seperti ini terjadi sejak pemerintahan Dinasti Ayyubiyah Sultan Muhammad al-Kamil ibnu al-Adil al-Ayyubi sebagai alat tukar terhadap
barang-barang
yang
tidak
signifikan.
Pasca
pemerintahan Sultan al-Kamil, pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut hingga pejabat di tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas ini. Kebijakan sepihak mulai diterapkan dengan meningkatkan volume percetakan. Akibatnya, rakyat
278
mengalami banyak kerugian karena harga barang-barang yang dulu berharga ½ dirham menjadi 1 dirham. Keadaan ini semakin buruk ketika aktivitas percetakan uang meluas pada masa pemerintahan Sultan al-Adil Kitbugha dan Sultan al-Zahir Barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan kelangkaan
barang-barang.
Menurut
al-Maqrizi,
sirkulasi
berlimpah fulus menghancurkan hubungan nilai antara logam dan ditambahkan ke bencana umum. Memang, al-Maqrizi menyatakan bahwa perbahan standar moneter dari emas dan perak kepada mata uang tembaga pada masa pemerintahan Muhammad al-Kamil bin al-‘Adil (615-35 H/1218-1238 M) di mesir dan Suriah, yang salah satu alas an untuk cobaan berat yang dihadapi Mesir pada waktu itu, termasuk inflasi dan kelangkaan kebutuhan hidup yang membawa kepada hilangnya kegembiraan hidup dan kehancuran kekayaan serta membawa masyarakat pada serba kekurangan, kemiskinan dan kebinaan. Berdasar fakta sejarah uang diatas, dapat dipahami bahwa kekacauan mata uang itu muncul apabila mata uang dicetak bukan berbahan emas dan perak. Sehubungan dengan itu, alMaqrizi , mata uang yang dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika, maupun tradisi, hanya yang terdiri dari emas dan perak. Menurut al-Maqrizi, mata uang yang menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak sebagai
279
mata uang. Keberadaan mata uang ini tetap siperlukan sebagai alat tukar terhadap barang-barang dan untuk berbagai biaya kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, penggunaan mata uang hanya diizinkan dalam berbagai transaksi yang berskala kecil. Penggunaan mata uang emas dan perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa. 2) Implikasi Penciptaan Mata Uang Buruk al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk (bad money) akan menyelapkan mata uang yang berkualitas baik (good money). Menurutnya, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh pergantian penguasa dan dinasti yang menerapkan kebijakan yang berbeda dalam pencetakan bentuk serta
nilai
dinar
dan
dirham.
Konsekuensinya,
terjadi
ketidakseimbangan dalam kehidupan ekonomi ketika persediaan logam bahan mata uang tidak mencukupi untuk memproduksi sejumlah unit mata uang. Begitu pula, ketika harga emas atau perak mengalami penurunan. Al-Maqrizi melihat bahwa pada masa Sultan Shalahuddin alAyubi dicetak mata uang dengan kualitas yang sangat rendah dibandingkan dengan mata uang yang telah ada di peredaran. Pada saat itu, masyarakat pada umumnya memilih untuk menyimpan mata uang yang berkualitas baik dan meleburnya
280
menjadi perhiasan serta melepaskan mata uang yang berkualitas buruk ke dalam peredaran. Melebur mata uang yang baik untuk menjadi perhiasan lebih mengntungkan daripada menjadikan uang sebagai alat tukar. Oleh karena itu, uang yang beredar dalam masyarakat hanyalah mata uang yang berkualitas rendah. 3) Konsep Daya Beli Uang Menurut al-maqrizi, pencetakan uang oleh Pemerintah perlu dipertimbangkan secara matang dan tidak dilakukan secara sembarangan. Pencetakan mata uang oleh Pemerintahan ini harus ditindaklanjuti
dengan
menggunakannya
dalam
bisnis
selanjutnya. Apabila tidak diperhitungkan secara saksama, sehingga ada ketidakseimbangan antara jumlah uang dengan aktivitas produksi, maka akan berimplikasi pada penurunan daya beli riil dari uang itu sendiri. Ada hubungan yang signifikan antara stabilitas pemerintah dengan kondisi ekonomi. Pemerintahan yang buruk akan berdampak pada keterpurukan ekonomi Negara. Apabila pejabat administrasi public korup dan tidak berjalan secara efektif, maka akan terjadi stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi. Apalagi ketika terjadi pemaksaan dan penindasan dalam bidang pajak, maka pelaku ekonomi akan menghentikan aktivitas ekonominya. Hal ini kemudian berimplikasi pada menurunnya produktivitas. Kemudian produktivitas itu tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk, sehingga pada gilirannya akan terjadi kelangkaan
281
pasokan dan kelangkaan pasokan akan berdampak pada eskalasi harga. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk mempertahankan kualitas daya beli dari uang yang dicetaknya. b. Teori Inflasi Secara umum, inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli. Selain itu, inflasi juga sering diartikan sebagai kecenderungan kenaikan harga secara umum dan
terus
menerus,
dalam
waktu
dan
tempat
tertentu.
Keberadaannya sering diartikan sebagai salah satu masalah utama dalam
perekonomian
Negara,
selain
pengangguran
dan
ketidakseimbangan neraca pembayaran. Menurut al-Maqrizi, inflasi terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus menerus. AlMaqrizi menyatakan bahwa peristiwa inflasi pada fenomena social ekonomi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan masyarakat. Inflasi menurutnya, terjadi ketika harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Persediaan barang mengalami kelangkaan dan konsumen harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sejumlah barang yang sama. Selanjutnya, al-Maqrizi membagi inflasi kepada dua jenis, yakni inflasi akibat berkurangnya persediaan barang (natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia (hunman error 282
inflation). Ilustrasi yang diberikan oleh al-Maqrizi terkait dengan jenis inflasi yang pertama ini bahwa ketika sebuah bencana alam terjadi akan menyebabkan gagal panen sehingga persediaan barang akan mengalami penurunan yang sangat drastic dan terjadi kelangkaan. Namun, pada saat yang bersamaan permintaan terhadap berbagai permintaan barang it uterus mengalami peningkatan. Oleh karena barang langka sementara permintaan tinggi, maka harga kemudian akan naik dengan cepat dan tinggi, jauh melebihi daya beli masyarakat. Hal ini akan berimplikasi pada kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya. Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan,
wabah
penyakit,
dan
kematian
di
kalangan
masyarakat. Sekalipun bencana alam sudah berlalu, menurut al-Maqrizi, inflasi dalam bentuk kenaikan harga bisa jadi terus berlangsung karena bencana alam itu masih memengarui pada aktivitas ekonomi., terutama pada sector produksi. Produksi barang belum bisa secara efektif, sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan pasokan barang. Tetapi pada saat yang bersamaan, permintaan masyarakat terhadap barang tetap berlangsung dan bahkan meningkat. Akibatnya, harga barang-barang mengalami kenaikan yang kenudian diikuti oleh kenaikan harga berbagai jenis barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para pekerja. Oleh
283
karena itu, penyelesaian inflasi yang disebabkan oleh bencana ala mini membutuhkan waktu yang relative lama. Menurut al-Maqrizi, untuk jenis inflasi yang kedua sama dengan penyeabab yang mendasari terjadinya krisis di Mesir, yakni korupsi dan administrasi pemerintahan yang buruk, pajak berlebihan yang memberatkan petani, dan jumlah mata uang yang berlebihan. Pemikiran al-Maqrizi ini tampak lebih komprehensif bila dibandingkan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Milton Friedman (bapaknya kaum monetaris) yang menganggap bahwa inflasi hanyalah semacam fenomena moneter. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan buruknya administrasi pemerintah merupakan salah satu penyebab dari terjadinya
inflasi.
Menurut,
al-Maqrizi,
pemborosan
dan
penyalahgunaan keuangan public oleh para penguasa menjadi sebab terjadi di Mesir. Karpet sutra yang ditetapkan bagi penguasa ultan agar berjalan diatasnya sementara rakyat menderita dan harus menjalani hidup dengan keras. Al-maqrizi melihat efek yang merugikan dari pajak yang berlebihan dan penurunan dalam pengumpulan sebuah gagasan yang kemudian dikenal sebagai Laffer’s Curves pada abad ke-20 ini. Ketika penduduk terbebani dengan meningkatkan pajak, pengumpulan pendapatan berkurang karena orang meninggalkan budidaya, meninggalkan pertanian dan berimigrasi dari daerah.
284
Selain itu, pencetakan mata uang yang berlebih juga bisa menjadi penyebab terjadinya inflasi. Beredarnya mata uang yang berlebihan mendapat perhatian khusus dari al-Maqrizi. Dalam pengamatannya, ternyata kenaikan harg-harga (inflasi) yang terjadi dalam bentuk terlalu banyaknya jumlah mata uang. Misalnya, untuk pakaian yang sama ternyata dibutuhkan lebih banyak uang. Akan tetapi apabila nilai barang diukur dengan dinar atau emas, jarang terjadi kenaikan harga. Untuk itulah alMaqrizi menyarankan agar sejumlah uang dubatasi secukupnya saja, sekedar untuk melayani transaksi pecahan kecil. Kajian dampak inflasi, menuru al-Maqrizi, dengan membagi masyarakat Mesir menjadi tujuh kelompok sastra social. Dengan pembagian itu, tampaknya ia ingin melihat segmen masyarakat mana yang paling parah terkena dampak inflasi yang menggila itu. Upaya semacam ini merupakan gagasan orisinilnya yang sangat boleh jadi belum pernah dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya, antaralain: (1) penguasa dan para pembantunya; (2) para penguasa, pedagang besar dan orang yang hidupnya mewah; (3) golongan menengah dari penguasa dan pedagang besar termasuk kaum professional; (4) petani yang umumnya hidup di pedesaan; (5) golongan fakir yang menurut al-Maqrizi adalah semua fuqaha; (6) mahasiswa dan prajurit; (7) para pekerja kasar dan para nelayan; (8) golongan papa dan meminta-minta.
285
Setelah membagi sastra masyarakat Mesir menjadi tujuh kelompok, al-maqrizi kemudian melihat satu persatu kelompok tersebut dan menegaskan intensitas kepedihan dan penderitaan yang dialaminya akibat inflasi yang sangat hebat. Golongan pertama, mereka menerima nominal income lebih tinggi, tetapi purchasing power mereka menurun drastic karena real income mereka merosot tajam akibat inflasi. Golongan ini tidak terlalu parah terkena inflasi. Golongan kedua yang terdiri dari para pedagang dan penguasa besar ini, menurut al-Maqrizi, aset mereka mengalami penurunan karena dimakan oleh biaya yang terus membengkak dan inflasi. Golongan yang ketiga yang merupakan kaum professional mendapat upah yang mengikat secara nominal, tetapi karena melonjaknya harg-harga yang menyebabkan tingkat kehidupannya tetap seperti sebelumnya. Untuk golongan keempat, al-maqrizi membaginya menjaf=di dua kelompok yaitu petani menengah atas dan petani menengah bawah. Kelompok pertama diuntungkan oleh krisis moneter sehingga aset kekayaan mereka meningkat. Sedangkan kelompok yang kedua, sangat dirugikan karena harga yang begitu tinggi tidak sebanding dengan gasil pertanian mereka. Golongan kelima yang terdiri dari para guru, fuqaha, mahasiswa dan tentara ini, golongan yang paling menderita dari lima golongan yang pertama. Hal ini umumnya disebabkan karena pendapatan mereka yang berupa gaji dan upah bersifat tetap. Golongan yang keenam dan ketujuh mereka adalah segmen masyarakat yang tidak saja
286
terparah penderitaannya bahkan kebanyakan dari mereka terutama golongan ketujuh mati kelaparan. Berdasarkan pada penggolongan sastra masyarakat Mesir ini dapat dipahami dampak krisis moneter pada masa itu bergantung pada hakikat pendapatan (income) dan kekayaan (wealth) masing-masing golongan itu. Jika pendapatan bersifat tetap atau meningkat tetapi lebih rendah dari laju inflasi, maka kondisinya akan
terasa
sangat
parah.
Namun,
sebaliknya
apabila
pendapatannya meningkat lebih tinggi dari laju inflasi, maka kesejahteraan material mereka akan meningkat. Begitu juga kekayaan yang berupa uang, mereka juga akan mengalami kerugian disamping itu juga harus meningkatkan biaya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan yang harganya terus mengalami kenaikan.
C. Kesimpulan Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak di jelaskan mengenai harga yang adil, mekasnisme pasar, dan regulasi harga. Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan akibatnya terhadap
harga:
keinginan
masyarakat
(raghbah),
jumlah
permintaan (thulab), kekuatan atau kelemahan dari kebutuhan akan barang (qilah al-hajah wa katsrauha), kualitas pelanggan atau partner transaksi (mu’awid), jenis uang yang dibayarkan dalam pertukaran (naqd ra’ij atau naqd ghayr ra’ij), kualitas pelaku transaksi (al-taghabudh), dan biaya yang di keluarkan
287
(qimah al-manfaah). Pemikiran ekonomi lain dari Ibnu Taimiyah yaitu mengenai pasar tidak sempurna, musyawarah dan penetapan harga, uang dan kebijakan moneter, peranan negara dalam kehidupan ekonomi, institusi hibah, keuangan publik dan regulasi harga. Pemikiran ekonomi al-Maqrizi lebih menekankan kepada masalah uang dan inflasi, dimana al-Maqrizi berpendapat bahwa emas dan perak merupakan uang riil dan alami serta penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk (bad money) akan melenyapkan mata uang yan berkualitas (good money). Tabel Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah dan AlMaqrizi Nama Tokoh Ibnu Taimiyah
Karya
Pemikiran Ekonomi Islam
• Al-Siyasah al-
• kompensasi yang adil (iwad
Syar’iyyah fi
al-mitsl) dan harga yang adil
Islah wa al-
(tsaman al-mitsl)
Ra’iyyah • Iqtidha al-
• upah yang adil dan upah yang setara (ujrah al-mitsl)
Rasa’il al-
• laba yang setara atau laba
Kubra, al-
yang adil dengan diterima
Fatawa,
(ribh ma’ruf) tanpa merusak
Minhaj al-
kepentingan sendiri maupun
288
Sunnah, al Nabawiyyah fi
konsumen • harga di pasar ditentukan
Naqd al-
oleh
Kalam al-
(suppl)
Syi’ah wa al-
(demand)
Qadhariyah
kekuatan dan
penawaran permintaan
• kenaikan harga di sebabkan
• Tafsir al-Kabir
karena
• Kitab al-Radd
komoditas dan pertumbuhan
‘ala alMantiqiyyin • Ma’arij alWusul
adanya
penurunan
penduduk • beberapa
faktor
mempengaruhi dan
akibatnya
yang
permintaan terhadap
• Minhaj al-
harga: keinginan masyarakat
Sunnah
(raghbah), jumlah permintaan
• Bughyah alMurtad • Jawab fi al-
(thulab), kelemahan
kekuatan
atau
dari kebutuhan
akan barang (qilah al-hajah
Ijma wa al-
wa
katsrauha),
Khabar al-
pelanggan
Mutawatir
transaksi, jenis uang yang
atau
kualitas partner
• Majmu’ al-
dibayarkan dalam pertukaran,
Fatawa, al-
kualitas pelaku transaksi, dan
Siyasah al-
biaya yang di keluarkan
Syar’iyyah fi
• penetapan dua jenis harga
Ishlah al-Ra’i
yakni “harga tidak adil atau
289
wa al-
tidak sah” dan “harga yang
Ra’iyyah dan
adil dan sah”
al-Hisbah fi al-Islam
• menekankan
pentingnya
pengetahuan tentang pasar dan komoditas • perekomendasian penetapan harga oleh pemerintah dan penjualan paksa di saat-saat darurat • apabila monopoli
telah
terjadi
maka
bisa
di
pastikan bahwa pasar itu tidak sempurna • musyawarah
dalam
penetapan harga • Uang Moneter:
dan
Kebijakan
Fungsi
uang,
Penurunan nilai mata uang dan uang jelek mengalahkan uang baik • Peranan
negara
kehidupan
ekonomi:
Pemberantasan regulasi moneter,
dalam
pasar,
kemiskinan, kebijakan dan
290
perencanaanekonomi • Institusi Hisbah: Persediaan dan oengadaan kebutuhan, pengawasan
industri,
pengawasan
pelayanan,
pengawasan perdagangan • Keuangan publik: pendapatan negara (zakat, Ghanimah, fa’i dan pendapatan lain), belanja negara • Regulasi pajak : pelarangan penggelapan pajak terutama ketika
pajak
secara
kolektif
dikenakan kepada
kelompok
Latihan Soal 1. Apa solusi al-Maqrizi setelah adanya inflasi ekonomi pada masanya? 2. Jelaskan perbedaan mengenai uang jelek dan uang baik beserta contohnya! 3. Jelaskan perbedaan harga yang adil dan yang tidak adil beserta contohnya!
291
BAB XII PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBNU KHALDUN DAN AL-SYATIBI
A. PEMIKIRAN EKONOMI IBNU KHALDUN 1.
Riwayat Hidup Ibnu Khaldun Nama lengkap dari Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd ‘Abd al-
Rahman ibnu Muhammad ibnu Khaldun al-Hadrami. la lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M dan meninggal pada 19 Maret 1406 M dalam usia 73 tahun. Saat kecil ia biasa dipanggil dengan nama Abdurrahman. Sedangkan lbnu Zaid adalah panggilan keluarganya. la bergelar Waliyudin dan nama populernya adalah lbnu Khaldun. Gelar Waliyudin merupakan gelar yang diberikan orang sewaktu lbnu Khaldun memangku jabatan hakim (qâdhi) di Mesir. Ibnu Khaldun berasal dari keturunan bangsawan Bani Khaldun. Bani Khaldun ini bermigrasi ke Tunisia setelah
292
jatuhnya Saville ke tangan Reconquista pada pertengahan abad ke-13 M. Pada awalnya, keluarga Ibnu Khaldun terlibat dalam jabatan-jabatan politik, namun belakangan menarik diri dari dunia politik tersebut dan menjalani spiritual. Seperti tradisi Arab lainnya, lbnu Khaldun juga dibesarkan dalam keluarga ulama dan terkemuka. Dari ayahnya ia belajar ilmu qira'at. Sementara ilmu hadis, bahasa Arab, dan fikih diperoleh dari para gurunya, Abu al-Abbasal Qassar dan Muhammad bin Jabir al-Rawi. la juga belajar kepada lbnu 'Abd al-Salam, Abu Abdullah bin Haidarah, al-Sibti dan lbnu 'Abd alMuhaimin. Kemudian memperoleh ijazah hadis dari Abu alAbbas al-Zawawi, Abu Abdullah al-lyli, Abu Abdullah Muhammad, dan lain-lain. la pernah mengunjungi Andalusia dan Maroko. Di kedua negara itu ia sempat menimba ilmu dari para ulamanya, antara lain Abu Abdullah Muhammad al-Muqri, Abu al-Qosim Muhammad bin Muhammad al-Burji, Abu al-Qasim alSyarif al-Sibti, dan lain-lain. Kemudian mengunjungi Persia, Granada, dan Tilimsin. Pada perkembangan berikutnya, Ibnu Khaldun lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan kepandaiannya untuk terjun ke dunia politik praktis. Ia pernah bekerja untuk Pemerintah Tunisia dan Fez (Maroko), Granada (Islam Spanyol) dan Biaja (Afrika Utara). Pada tahun 1375, lbnu Khaldun melarikan diri dari Afrika Utara, karena ketidakjelasan situasi di sana. Ia lalu menuju kota Granada di Spanyol dengan maksud mengasingkan diri. Namun,
293
karena kegiatan politiknya di masa lalu, Pemerintah Granada menolak kedatangannya. lbnu Khaldun kemudian menuju Aljazair dan tinggal di sebuah desa kecil bernama Qalat lbnu Slama empat tahun. Di sana Ibnu Khaldun mulai menulis karya sastra terbesarnya, Muqaddimah. Karya ini kelak menempatkan namanya di antara nama besar para sejarawan, Qalat Ibnu Salama sosiolog, dan filsuf dunia. 2.
Karya lbnu Khaldun Karya-karya Ibnu Khaldun termasuk karya-karya yang
monumental. lbnu Khaldun menulis banyak buku, antara lain Syarh al-Burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya lbnu Rusyd, sebuah catatan atas buku Mantik, ringkasan (mukhtasor) kitab al-Mahsul karya Fakhr al-Din al-Razi (Ushul Fiqh), sebuah buku lain tentang matematika, sebuah buku lain lagi tentang ushul fiqh dan buku sejarah yang sangat dikenal luas. Buku sejarah tersebut berjudul al-‘lbar wa Diwân al-Mubtada’ wa alKhabár fi Tarikh al- Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Ibnu Khaldun
melalui
penguasaannya
atas
buku
ini
sejarah
benar-benar dan
berbagai
menunjukkan bidang
ilmu
pengetahuan. Di samping kitab tersebut, al-Muqaddimah Ibnu Khaldun merupakan karya monumental yang mengundang para pakar untuk meneliti dan mengkajinya. Karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi di antaranya, at-Ta-rif bi lbnu Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya), Muqaddimah (pendahuluan atas
294
kitab al-Ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis), Lubáb al-Muhassal fi Ushůl ad-Din (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab "Muhassal Afkâr al-Mutaqaddimin wa alMuta'akhirin" karya Imam Fakhruddin al-Razi). Karya terbesar Ibnu Khaldun adalah Muqaddimah, yakni sebuah buku terlengkap pada abad ke-14 M yang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa memuat pokok-pokok pikiran tentang gejala-gejala sosial kemasyarakatan, sistem pemerintahan dan politik di masyarakat, ekonomi, bermasyarakat dan bernegara, gejala manusia dan pengaruh faktor lingkungan geografis serta pedagogik dan ilmu pengetahuan beserta alatnya. Kontribusi pemikiran dalam ekonomi telah dituangkannya dalam buku Muqaddimah yang sekaligus merupakan karya monumental bagi perkembangan keilmuan menuju reformasi ekonomi Islam. 3.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun Secara umum pemikiran Ibnu Khaldun cenderung rasional,
yang selalu ditunjang oleh bukti-bukti autentik. Apa yang terjadi pada zamannya tidak selalu dijelaskannya sebagai kehendak Allah. Menurut lbnu Khaldun, pada berbagai peristiwa yang terjadi itu berlaku hukum kausalitas. Sebab, alam semesta itu telah diatur oleh sistem yang akurat dimana berlaku hukum sebab dan akibat. Sehubungan dengan itu, pemikiran ekonomi yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun juga cenderung rasional. Berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi pada zamannya dianalisis sebagai
295
satu
kesatuan
yang
utuh,
dimana
peristiwa
yang
satu
berhubungan dengan peristiwa yang lain. a.
Hubungan antara Ilmu Ekonomi dengan Ilmu Lain Ketika membangun fondasi ekonomi tampaknya Ibnu
Khaldun telah menggunakan berbagai pendekatan. Pemikiran ekonominya dinyatakan di tempat yang berbeda dari bukunya. Ibnu Khaldun membahas banyak masalah ekonomi berdasarkan pada apa yang sekarang dikenal sebagai fenomena sosial, faktafakta tentang pembangunan manusia atau kondisi sosial manusia. Ibnu Khaldun dianggap sebagai orang pertama yang membawa ekonomi ke dalam sejarah. Dengan kata lain, ia menunjukkan peran ekonomi yang signifikan dalam menafsirkan sejarah. Namun, ini tidak berarti bahwa Ibnu Khaldun percaya bahwa ekonomi adalah satu satunya paradigma yang akan digunakan untuk menginterpretasikan sejarah. Sebaliknya, bentuk ekonomi hanya salah satu bagian penting dari sejarah. Ibnu Khaldun datang dengan ide-ide ekonomi brilian yang pantas mendapat gelar ‘master ekonomi’. Atas dasar ini, tampaknya sudah cukup untuk mengakui bahwa pandangan ekonomi lbnu Khaldun telah mendahului Adam Smith sekitar empat abad sebelumnya. Dengan demikian, ekonomi memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan sejarah. Misalnya, ada beberapa gerakan yang diselenggarakan oleh orang miskin yang berhasil mengubah sejarah.
Selanjutnya,
pemikiran
ekonomi
kadang-kadang
296
menciptakan
persepsi
ekonomi,
masyarakat,
politik
dan
pengetahuan itu sendiri seperti komunisme dan kapitalisme. Selain itu, Ibnu Khaldun juga menjelaskan ada hubungan yang erat antara ilmu ekonomi déngan sosiologi. Dalam kajian ekonominya, Ibnu Khaldun sering menelusuri reaksi antara peristiwa ekonomi dan masalah- masalah sosial. Hal ini disebabkan karena korelasi yang kuat antara ekonomi dengan sosiologi sejauh bahwa seseorang tidak dapat disebut dalam ketiadaan yang lain. Menurut Ibnu Khaldun, makna hidup adalah terkait erat dengan kehidupan. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun yang merupakan sosiolog, sejarawan dan filsuf, memiliki kemampuan untuk belajar gerakan sosial secara mendalam untuk mengeksplorasi unsur efektif, ideologi dan tujuan di belakangnya. Metode ini diterapkan di seluruh bagian al-Muqaddimah. Misalnya, ia mengatakan: "Sadarilah bahwa orang secara alami membutuhkan makanan pada seluruh fase kehidupannya; sejak masih bayi, pemuda dan sampai mereka menjad tua". Dia mengadopsi pendekatan serupa dalam kategorisasi dan analis dari jenis pendapatan. b. Teori Nilai dalam Ekonomi Teori Nilai membentuk dasar ekonomi politik klasik dan Marxis. Sebuah diskusi tentang teori nilai hadir dalam alMuqaddimah tetapi tidak menempati seperti peran penting dalam tulisan-tulisan Ibnu Khaldun seperti dalam sistem klasik dan Marxis. Perlakuannya tentang faktor-faktor penentu nilai
297
komoditas dalam banyak hal menyerupai tetapi tidak sertaberkembang seperti teori nilai oleh Smith, Ricardo, dan Marx. Selain itu, sambutannya terhadap utilitas asosiasi yang berasal dari properti dan harganya yang merupakan awal teori utilitas nilai. 1) Teori Nilai Kerja Meskipun penulis muslim telah menyinggung kerja sebagai sumber penting dari nilai pada awal abad ke-7, Ibnu Khaldun tampaknya telah mengembangkan dasar-dasar teori nilai kerja. Kesejajaran antara teori nilai kerja Adam Smith dan teori nilai kerja lbnu Khaldun sangat tampak. Smith memulai teori nilai kerjanya dengan menyatakan: "Kerja adala harga pertama, pembelian awal -uang yang dibayar segala sesuatu. Itu bukan dengan emas atau perak, tapi oleh kerja bahwa semua kekayaan dunia ini pada awalnya dibeli". Ibnu Khaldun mengembangkan teori nilainya dengan mengindikasikan: “Tidak ada di sini pada awalnya kecuali kerja, dan kerja tidak diinginkan oleh dirinya sebagai yang diperoleh, tetapi nilai menyadari darinya”. Ibnu Khaldun lebih memperluas tema ini dengan menulis, "Pertukangan dan tenun, misalnya, berhubungan dengan kayu dan benang (kerajinan masing-masing diperlukan untuk produksinya). Namun, dalam dua kerajinan (pertama disebutkan) kerja (yang memasukinya) lebih penting, dan nilainya lebih besar”. Selanjutnya, lbnu Khaldun menulis, "Ini telah demikian menjadi jelas bahwa laba atau keuntungan,
298
secara keseluruhan atau untuk sebagian besar, adalah nilai realisasi dari kerja manusia". Namun, di sini Ibnu Khaldun membagi produk total, keuntungan, menjadi bagian-bagian yang digunakan dan tidak digunakan. la menyebut bagian yang digunakan sampai "rezeki", sebuah konsep yang disebutkan Karl Marx dengan "tenaga kerja yang diperlukan". Dengan kata Ibnu khaldun "rezeki"…. adalah (bagian dari keuntungan) yang digunakan. Untuk para pembaca modern penggunaan istilah keuntungan Ibnu Khaldun adalah problematik. Namun, itu menjadi jelas bahwa apa yang disebut Ibnu Khaldun sebagai laba atau keuntungan sebenarnya adalah produksi total. Dalam membahas bagian komponen dari laba, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa keuntungan seseorang akan dianggap sebagai kehidupannya jika mereka berhubungan dengan kebutuhan dan keperluannya. Mereka akan mengakumulasikan modal, jika mereka lebih besar dari kebutuhannya. Oleh karena itu, pembagian Ibnu Khaldun terhadap produk total kerja menjadi "rezeki" dan "akumulasi modal" mirip dengan gagasan Markis tentang tenaga kerja yang "dibutuhkan" dan "surplus". Dalam mempertimbangkan kerja sebagai komoditas, lbnu Khaldun lebih dahulu daripada Karl Marx dalam hal lain. Menurut Ibnu Khaldun, kerja adalah sebuah komoditas sebanyak pendapatan dan keuntungan yang mewakili nilai kerja dari penerimaannya.
299
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang aspek lain dari teori nilai menyerupai
ide
David
Ricardo.
David
Ricardo,
dalam
pembangunan teori nilai kerja, secara sadar dalam pencarian sebuah unit pengukuran "tetap" dan secara sembarangan memilih emas sebagai komoditas yang dihasilkan oleh metode produksi yang merupakan rata-rata dua ekstrem. "…. pertama modal tetap sedikit yang digunakan, dan yang lainnya kerja sedikit digunakan, dapat terbentuk hanya di antara mereka?” Demikian pula dengan Ibnu Khaldun memilih emas dan perak sebagai ukuran nilai "tetap". Menurut Ibnu Taimiyah, Allah telah menciptakan dua bahan batu, emas dan perak, sebagai ukuran nilai. Selanjutnya, emas dan perak merupakan jiwa dunia, dengan preferensi, mempertimbangkan sebagai harta dan kekayaan. Bahkan jika, dalam keadaan tertentu, hal-hal lain yang diperoleh, hanya untuk memperoleh emas dan perak. Semua halhal lain tergantung pada fluktuasi pasar, dimana emas dan perak dibebaskan. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa Ibnu Khaldun memilki teori nilai kerja. Sekalipun, memang teori nilai kerja yang dikemukakan Ibnu Khaldun ini belum sempurna. Namun, pemikiran Ibnu Khaldun ini merupakan sebuah awal dari teori yang konsisten, dirumuskan dengan baik, yang kemudian disempurnakan oleh ekonom berikutnya. 2) Teori Nilai Utilitas
300
Selain teori nilai kerja, Ibnu Khaldun telah menyentuh utilitas sebagai sumber nilai dan penentu harga produk. Ketika membahas masalah fluktuasi nilai dan harga harta telah menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun telah menguraikan hubungan antara utilitas dari sebuah harta dan harganya. Menurut Ibnu Khaldun, menjelang akhir sebuah dinasti, kekayaan kehilangan daya tarik karena orang miskin diberikan perlindungan oleh negara sehingga utilitas berkurang dan harganya pun turun. Ketika negara baru muncul dan stabil, serta kesejahteraan telah kembali, maka harta kekayaan menjadi lebih menarik sekali karena utilitas yang tinggi dan harganya naik. Seperti dengan teori nilai kerja, teori nilai utilitas yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun pun belum sempurna. Namun demikian, pemikiran Ibnu Khaldun tentang utilitas telah memberikan
landasan
bagi
pengembangan
teori
utilitas
berikutnya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Ibnu Khaldun, ada korelasi yang signifikan antara utilitas sebuah barang dengan harga barang itu sendiri. Dengan pemikiran ini, Ibnu Khaldun telah berupaya pula untuk mempertahankan teori nilai kerja. c.
Teori Distribusi dan Pertumbuhan Pendapatan Ibnu Khaldun telah menyajikan unsur-unsur teori distribusi
pendapatan yang agak mirip dengan teori produktivitas distribusi pendapatan marginal. Dalam sebuah bagian yang dikutip sebelumnya, Ibnu Khaldun menganggap kerja sebagai komoditas
301
dan menyatakan, “pendapatan dan keuntungan mewakili nilai kerja penerimanya". Bahkan, di bagian lain Ibnu Khaldun berpendapat bahwa "penghasilan seorang yang berasal dari kerajinan, oleh karena itu adalah nilai dari kerjanya”. Hal ini berarti bahwa tingkat upah riil itu sama dengan produk kerja fisik marginal dalam keseimbangan. Namun demikian, seseorang dapat membedakan dasar-dasar teori tersebut dengan meninjau asosiasi Ibnu Khaldun dari nilai kerja dan pendapatan buruh. Ibnu Khaldun tidak membedakan antara pendapatan upah dan pendapatan keuntungan, terbukti dari pernyataannya tentang kerja sebagai sumber pendapatan dan keuntungan. Meskipun mengakui kontribusi modal yang beredar pada proses produktif, Ibnu Khaldun tidak dapat membedakan antara sumber pendapatan upah dengan keuntungan. Selanjutnya, dalam membahas produksi pertanian umat Islam di daerah dengan tanah yang tidak produktif, Ibnu Khaldun sekali lagi menegaskan bahwa harga produk harus mencakup semua biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi produk. Dalam hubungan ini Ibnu Khaldun menulis bahwa umat Islam dipaksa untuk menerapkan dirinya sendiri untuk meningkatkan kondisi lahan dan pertaniannya. Hal ini mereka lakukan dengan menerapkan kerja yang berharga dan pupuk kandang dan bahan mahal lainnya. Semua ini menaikkan biaya produksi pertanian, biaya yang mereka perhitungkan ketika memperbaiki harganya untuk penjualan.
302
Secara umum, Ibnu Khaldun membahas akumulasi modal dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Ibnu Khaldun, akumulasi modal itu berhubungan dengan ekspansi modal komersial melalui fluktuasi dalam harga komoditas yang ditimbun dan peningkatan kekayaan. Berkaitan dengan akumulasi modal ini, Ibnu Khaldun menulis, "... dicapai hanya dengan beberapa dan jarang melalui fluktuasi pasar, perolehan banyak (kekayaan), dan melalui peningkatan (kekayaan) seperti itu dan bernilai di kota tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun telah merumuskan teori harga biaya produksi pada akhir abad ke14. Selanjutnya, Ibnu Khaldun memahami dengan cukup jelas total produksi dibagi menjadi upah dan bagi hasil. Meskipun teorinya sangat pendek, tetapi secara eksplisit menyatakan bahwa berbagi faktor ditentukan oleh produktivitas marginal dari faktorfaktor produksi. Secara kebetulan, hal tersebut merupakan instruksi untuk melihat deskripsi Ibnu Khaldun tentang hubungan antara kualitas lahan dan harga produk pertanian. Teorinya dapat dibandingkan dengan Teori Sewa Ricardian yang menjelaskan sewa sebagai keuntungan ekonomi murni yang diperoleh pada pertanian yang subur. Menurut teori ini, harga pasar dari produk pertanian ditentukan oleh biaya produksi marginal yang lebih tinggi dari tanah yang subur sehingga tanah yang paling subur dengan biaya marginal produksi yang lebih rendah mendapatkan
303
perbedan antara biaya dan harga pasar lebih tinggi sebagai sewa atas lahan. d. Teori Pembangunan Ekonomi Ibnu Khaldun memiliki teori yang luar biasa tentang siklus sosial- politik-ekonomi. Dia mulai teorinya dengan terlebih dahulu menjelaskan bagaimana meningkatkan hasil produktivitas dari spesialisasi, pembagian kerja, dan pertukaran. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa produktivitas dan pertukaran yang lebih tinggi
meningkatkan
memungkinkan
para
kesejahteraan anggota
masyarakat
ekonomi
untuk
dengan memenuhi
kebutuhannya serta memungkinkan mereka untuk mengonsumsi komoditas yang mewah. Ibnu Khaldun menguraikan teori ini sebagai berikut: "Manusia sebagai individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh semua kebutuhan hidupnya. Semua manusia
harus
bekerja
sama
dengan
yang
lain
dalam
peradabannya. Tapi apa yang diperoleh melalui kerja sama sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan waktu lebih dari diri sendiri. Selanjutnya, ‘Jika kerja dari penduduk sebuah kota didistribusikan sesuai dengan keperluan dan kebutuhan orang-orang penduduk,
minimal
kerja
yang dibutuhkan’.
Akibatnya, dihabiskan untuk menyediakan kondisi dan kebiasaan mewah dan untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota-kota lain. Mereka mengimpor hal-hal yang mereka butuhkan dari orang yang memiliki surplus melalui pertukaran atau pembelian.
304
Dari pernyataan ini, Ibnu Khaldun memunculkan dua konsep penting. Dari
konsep ‘kebutuhan' dan konsep 'kenyamanan'.
Konsep 'kebutuhan’ adalah sesuatu yang sangat diperlukan di dalam kehidupan. Bahan makanan merupakan bagian dari 'kebutuhan' ini. Sedangkan konsep 'kenyamanan' adalah sesuatu yang bisa melengkapi atau menyempurnakan 'kebutuhan’. Bumbu, buah-buahan, pakaian, peralatan, kendaraan, semua kerajinan, dan bangunan merupakan bagian dari ‘kenyamanan' ini. Deskripsi Ibnu Khaldun tentang proses produksi menyiratkan fungsi produksi dengan variabel input tunggal, yakni variabel kerja. Ibnu Khaldun berargumen bahwa input kerja dari sebuah kota menentukan total output dari masyarakatnya. Ketika ada lebih banyak tenaga kerja, maka nilai itu menyadari dari peningkatan di antara penduduk. Keluaran yang tinggi berarti output yang lebih tinggi dari barang-barang mewah. Selanjutnya, pendapatan yang lebih tinggi berasal dari input tenaga kerja yang lebih tinggi akan menghasilkan permintaan agregat yang efektif yang menyerap seluruh surplus produk. Peningkatan
dalam
kesejahteraan
akan
menyebabkan
peningkatan lebih lanjut dalam kegiatan ekonomi yang mengarah pada peningkatan pendapatan dan kemewahan, keinginan baru sehingga penciptaan akan mengarah pada penciptaan industri dan layanan baru, dengan konsekuen peningkatan dalam pendapatan dan kesejahteraan. Dan proses ini bisa berlangsung dua atau tiga
305
kali, karena semua kegiatan baru melayani pada kemewahan, tidak seperti kegiatan asli yang melayani kebutuhan. Ibnu Khaldun adalah benar dalam menyatakan bahwa pendapatan dan belanja itu setara dalam pengertian expost, dengan menyatakan bahwa pendapatan dan belanja itu seimbang satu sama lain di setiap kota. Jika pendapatan besar, maka belanja pun akan besar, dan demikian pula sebaliknya. Jika pendapatan dan belanja besar, maka penduduk menjadi lebih beruntung, dan kota pun akan tumbuh. Kutipan sekarang sangat jelas menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun melihat permintaan agregat sebagai penentu yang penting dari pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi, sebuah konsep yang merupakan pusat Teori Keynesian Modern tentang teori penentuan pendapatan nasional dan pertumbuhan. e.
Teori Moneter Ibnu Khaldun, sebagaimana ulama-ulama sebelumnya,
memiliki pemahaman yang jelas tentang fungsi uang. Dia secara eksplisit membahas uang dalam hal fungsinya sebagai tolok ukur dan penyimpanan nilai. Menurutnya, Allah telah menciptakan dua logam mulia, emas dan perak untuk melayani sebagai tolak ukur nilai semua komoditas. Logam itu pun umumnya digunakan oleh orang sebagai penyimpanan harta. Kontribusi pemikiran Ibnu Khaldun tentang masalah ini memang sangat terbatas. Namun demikian, ia memiliki wawasan yang tajam terhadap peranan uang dalam memainkan sirkulasi
306
komoditas. Menurutnya, kuantitas uang beredar yang ada di tangan orang-orang dan ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal itu mungkin beredar dari satu daerah ke daerah lain dan dari negara ke negara lain. Jadi jika kekayaan tersebut telah turun di Afrika Utara, itu tidak berkurang di tanah kaum Frank atau Slavia. Untuk itu adalah upaya sosial, pencarian keuntungan dan penggunaan alat-alat yang menyebabkan kenaikan atau penurunan kuantitas logam mulia yang beredar. Pemikiran yang paling menarik dari lbnu Khaldun terkait dengan moneter ini bahwa keberadaan uang itu tidak akan merangsang kegiatan ekonomi. Menurut lbnu Khaldun, motif keuntungan, organisasi dan upaya sosial, dan penggunaan modal merupakan faktor yang menentukan volume perdagangan dan karena itulah jumlah uang menjadi beredar. Untuk mendukung teorinya ini,
Ibnu Khaldun memberikan ilustrasi bahwa
adakalanya perekonomian sebuah negara itu makmur sekalipun tidak memiliki tambang emas -tambang emas menjadi sumber supply uang dan adakalanya sebuah negara dengan pasokan emas (uang) yang banyak tetapi perekonomiannya tidak makmur. Kutipan
tersebut
menunjukkan
bahwa
Ibnu
Khaldun
memahami permintaan transaksi terhadap uang. Selanjutnya, keterangan menyiratkan bahwa permintaan akan keseimbangan riil berubah hanya dengan ekspansi pada tingkat kegiatan ekonomi, dan meningkatnya permintaan akan saldo nominal adalah karena tekanan inflasi. Tentu saja, Ibnu Khaldun tidak
307
menganggap inflasi menjadi fenomena moneter murni; baginya, tariknya permintaan dan tekanan biayalah yang menyebabkan inflasi. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa teori moneter Ibnu Khaldun secara umum bertentangan dengan teori kuantitas uang. Namun,
Ibnu
Khaldun
membuat
satu
pernyataan
yang
menyinggung persamaan pertukaran: "… uang yang dihabiskan di setiap pasar sesuai dengan volume bisnis yang dilakukan di dalamnya. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, ia tidak mengklaim bahwa ada korespondensi satu per satu atau bahkan hubungan kasual antara jumlah uang dan tingkat harga umum. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pemikiran moneter Ibnu Khaldun terkait dengan pemahamannya tentang fungsi uang, uang
memainkan
peran
dalam
sirkulasi
komoditas,
dan
permintaan transaksi akan uang. Pemikiran penting dari Ibnu Khaldun bahwa uang tidak memengaruhi kegiatan ekonomi secara umum. f.
Teori Penawaran dan Permintaan Dalam Muqaddimah, lbnu Khaldun mengaitkan pandangan
ekonomi dengan kondisi sosial. Tampaknya seolah-olah ia bermaksud untuk menerapkan semua ilmu yang disebutkan dalam Muqaddimah untuk melayani pembangunan manusia. Ibnu Khaldun dianggap penggagas sosiologi. Pandangan ekonominya biasanya berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan daripada anggapan dan tebakan. Dia menyadari sebelum Marx bahwa harga akan naik apabila ada permintaan yang tinggi dan akan
308
turun ketika permintaan rendah: "Jika manufaktur berada dalam permintaan dan biaya terpenuhi, maka produksi akan mirip dengan barang-barang yang dibawa untuk dijual. Oleh karena itu, orang akan melakukan yang terbaik untuk mempelajari bahwa profesi untuk mencari nafkah. Namun, jika barang tidak dalam permintaan dan biaya tidak terpenuhi, maka orang tidak akan belajar profesi itu sehingga akan diabaikan". Perlu dicatat bahwa lbnu Khaldun itu berpandangan jauh. Dia bertujuan untuk menguraikan gambar tiga dimensi untuk pembangunan
dan
peradaban
berdasarkan
manufaktur,
perdagangan, dan sifat manusia. Dia juga berfokus pada peran ekonomi dalam mendorong orang untuk terlibat dalam profesi sesuai dengan status pasar. Dia mengatakan: “Profesi biasanya tersedia jika itu membutuhkan dan permintaan. Tapi jika negaranegara mendapatkan kelemahan, pembangunan regresi dan penduduk menjadi kurang, maka kemewahan menurun dan orang menjadi membutuhkan kebutuhannya hanya untuk mengurangi berbagai profesi yang biasanya hasil dari kemewahan". g.
Interjensi Pemerintah dalam Kegiatan Ekonomi Ibnu Khaldun tidak setuju pada campur tangan pemerintah
dalam pemasaran untuk bertindak sebagai pedagang yang membeli barang pada harga terendah kemudian menunggu kesempatan untuk menjualnya dengan harga yang sangat tinggi ketika ada kebutuhan akan produk. Menurutnya, ini merupakan pelanggaran yang melanggar hukum pada uang rakyat. Dia
309
mengatakan: "Lebih buruk dari ketidakadilan dan korupsi di negara-negara dan peradaban adalah kekerasan uang rakyat melalui membeli barang di pasar untuk harga terendah kemudian memaksakan pada mereka untuk harga yang jauh lebih tinggi … Ini
sering
mengakibatkan
jatuhnya
negara
dan
efek
perkembangannya secara bertahap tanpa menyadari hal itu". Hal ini merupakan analisis ekonomi secara tepat yang menunjukkan peran pemerintah dalam kehidupan dan ekonomi masyarakat dan hubungan langsung di antara keduanya. Aturan ekonomi ini hadir sepanjang sejarah dan merupakan salah satu fondasi bagi peradaban. Meskipun beberapa ulama Maroko membahas aturan dan kondisi pemasaran, Ibnu Khaldun membahas pengaruh ekonomi pada pembangunan dan sejarah. Ibnu
Khaldun
sedang
mencoba
untuk
menekankan
perdagangan bebas dari gangguan apapun yang dapat merusak pasar dengan memasukkan objek yang tidak berhubungan dengan teori penawaran dan permintaan dan unsur-unsurnya seperti keberadaan pedagang dan barang serta keadaan tertentu pada harga barang. Dia juga menekankan tentang larangan monopoli. Lebih
dari
sekali
Ibnu
Khaldun
mengungkapkan
ketidaksetujuannya pada gangguan negatif dari pemerintah dalam proses jual beli. Sebagai contoh, ia mengatakan di salah satu bab yang berjudul "Perdagangan Sultan Berbahaya bagi Rakyat dan Korupsi Pajak". Sadar bahwa ketika pajak pemerintah menurun karena barang mewah dan penghasilan dan pengeluaran yang
310
tinggi maka hanya akan mengumpulkan pajak sesuai dengan kebutuhannya. Namun, jika membutuhkan lebih banyak uang dan pengumpulan pajak maka akan lebih baik tempat pabean atas barang dan pasar, seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya masyarakat, memberikan judul yang berbeda adat, pekerja saham dan pemungut pajak uang mereka ketika mereka mendapatkan uang dalam jumlah besar dan kadang-kadang berpura-pura perdagangan dan pertanian untuk Sultan bawah judul kebiasaan ketika mereka menemukan pedagang dan petani mendapatkan keuntungan meskipun sejumlah kecil uang dari mereka. Keuntungan biasanya dihitung sesuai dengan modal. Pemerintah percaya bahwa apa yang mereka lakukan adalah dengan cara mengumpulkan lebih banyak pajak dan penurunan keuntungan sedangkan sangat salah dan tidak dapat diterima untuk melakukannya karena merugikan orang dari beberapa aspek.
B. PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATHIBI 1.
Riwayat Hidup Al-Syathibi Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq bin Musa bin
Muhammad al-Lakhmi al-Syathibi. Ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Ia tinggal di Granada yang waktu itu merupakan sebuah kerajaan Islam yang berada di bawah pemerintahan Daulah Umawiyah yang mengikuti aturan-aturan Andalusia selatan. AlSyathibi lahir menjadi seorang ulama dan cendekiawan yang populer pada zamannya.
311
Sebagai penuntut ilmu, al-Syathibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibnu Fakhkarm Al-Biri dan Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadits dari Abu Qasim ibnu Bina dan Syamsudin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad alMiqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-Syarif alTilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya seperti ilmu korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi yaitu Abu Abdillah ibnu Ibad al-Nafsi al-Rundi. Sebagai pengembang ilmu, al-Syathibi bertindak sebagai pengajar dan juga menulis beberapa buku. Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai disiplin ilmu, al-Syathibi lebih cenderung untuk mempelajari bahasa Arab dan ushul fiqh. Baginya ushul fiqih merupakan metodologi dan falsafah fiqih yang merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terhadap kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial. Al-Syathibi wafat pada 790 H (1388 M). 2.
Karya Al-Syathibi Pemikiran al-Syathibi dapat ditelusuri melalui karya-karya
ilmiahnya. Dua karyanya yang diterbitkan dan beredar di masyarakat luas yakni al-Muwafakat fi Ushul al-Syariah sebagai
312
kitab paling monumental sekaligus paling dikenal dan alI’tisham.
Dalam
al-Muwafakat
ini,
Syathibi
telah
mempertemukan dua mazhab pemikiran, yakni mazhab Maliki dan mazhab Hanafi. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Imam Malik. Buku ini dilihat dari segi temanya terbagi ke dalam lima bagian, yakni muqaddimah, ahkam, maqashid, adilah, dan ijtihad wa tajdid. Sedangkan kitab al-I’tisham adalah buku yang mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Dengan demikian, dalam buku ini sama sekali tidak menyinggung persoalan ekonomi sehingga tidak bisa dijadikan referensi dalam kajian tentang pemikiran ekonomi al-Syathibi. 3.
Pemikiran Ekonomi Al-Syathibi Pemikiran al-Syathibi dalam bidang ekonomi adalah
kemampuan
menghubungkan
konsep
maqashid
al-syariah
dengan konsep kepemilikan harta, perpajakan, kebutuhan produksi,
distribusi,
dan
konsumsi.
Al-Syathibi
mampu
menjelaskan konsep kepemilikan harta melalui pendekatan maqashid al-Syariah. Menurutnya, kepemilikan harta tidak boleh beredar hanya di kalangan orang kaya agar terwujud keadilan sosial dan ekonomi di antara umat. Komitmen al-Syathibi dengan konsep maqashid al-Syariah juga tercermin ketika menjelaskan bahwa pajak harus dibebankan kepada rakyat dan kemudian digunakan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umum.
313
Dalam bidang kebutuhan konsumsi, produksi, dan distribusi, al- Syathibi berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan menjadi tanggungjawab dan kewajiban bagi personal dan doktrin agama untuk memenuhinya, baik yang bersifat primer (dharuriyah), sekunder (hajiyah), dan tersier (tahsiniyah) demi terpeliharanya nafs (jiwa) dari ancaman penyakit kematian. a.
Maqashid al-Syariah dan Ekonomi Menurut al-Syathibi, tujuan dari syariah adalah kemaslahatan
umat manusia. Kemaslahatan yang dimaksud adalah segala sesuatu
yang
menyangkut
rezeki
manusia,
pemenuhan
penghidupan manusia, dan perolehan apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Sehubungan dengan itu bahwa ada korelasi antara penerapan maqashid al-syariah dalam bentuk maslahah dengan aktivitas ekonomi. Hal ini bisa berarti bahwa semua aktivitas ekonomi itu bisa dibenarkan sepanjang bisa mewujudkan maqashid al-syariah lebih khusus menciptakan mashalih bagi umat manusia. Namun, menurut al- Syathibi, kemaslahatan manusia itu dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dharuriyat adalah segala aspek kehidupan yang bersifat esensial sehingga wajib ada sebagai syarat mutlak bagi
314
terwujudnya kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Apabila tingkatan ini diabaikan, maka akan menimbulkan kerusakan dan kerugian. Sehubungan dengan itu, dalam berbagai aktivitas ekonomi hendaknya mempertimbangkan tingkatan maqashid al-syariah dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Hajiyat adalah segala sesuatu yang menjadi kebutuhan primer kehidupan manusia agar tercipta kebahagiaan dan kesejahteraan, serta terhindar dari kemelaratan baik di dunia maupun
di
akhirat.
memberikan
Tingkatan
kemudahan
bagi
ini
dimaksudkan kehidupan
untuk
manusia,
menghilangkan kesulitan dan menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Dalam konteks aktivitas ekonomi, Islam telah memberikan beberapa pranata ekonomi yang bisa memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia. Misalnya dalam melaksanakan aktivitas ekonomi,
khususnya
menggunakan
akad
kontrak mudharabah
ekonomi, dan
diperbolehkan
musyarakah
dalam
perniagaan dan musaqah, muzara’ah atau mukhabarah dalam pertanian. Tahsiniyat adalah suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Apabila kemaslahatan ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia menjadi kurang indah dan kurang nikmat, tetapi tidak sampai kemudaratan dan kebinasaan
315
hidup
manusia.
Dalam
konteks
ekonomi,
maka
Islam
memberikan tuntunan yang mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak ekonomi, serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan. Secara umum, al-Syatibi menyatakan bahwa ketiga tingkatan maqashid al-syariah ini memiliki korelasi antara satu dengan yang lainnya. Dharuriyat merupakan dasar dari hajiyat dan tahsiniyat. Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada hajiyat dan tahsiniyat. Namun tidak sebaliknya, kerusakan pada hajiyat dan tahsiniyat tidak berimplikasi secara signifikan pada kerusakan dharuriyat. Kerusakan pada hajiyat dan tahsiniyat, barangkali hanya mengurangi kualitas dari implementasi dharuriyat. Hal ini berarti bahwa
pemeliharaan
hajiyat
dan
tahsiniyat
tetap
perlu
diwujudkan agar implementasi dharuriyat dapat dicapai secara maksimal. Konsep maqashid al-syariah yang dikemukakan al-Syatibi dalam konteks ekonomi sebenarnya merupakan roh dari aktivitas ekonomi.
Dengan
kata
lain,
maqashid
al-syariah
bisa
ditempatkan sebagai spirit dalam menjalankan seluruh aktivitas ekonomi. Dalam konteks ekonomi modern, maqashid al-syariah merupakan konsep motivasi. Setiap kebutuhan yang belum terpenuhi akan menjadi motivasi bagi individu untuk melakukan aktivitas ekonomi. Jadi maqashid al-syariah ini merupakan alat
316
ukur kebutuhan yang harus dipenuhi dan sekaligus menjadi motivasi individu untuk melakukan aktivitas ekonomi tersebut. Tingkatan maqashid al-syariah ini dalam konteks ekonomi modern dikenal dengan kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang dasar ataupun kebutuhan minimal yang harus dipenuhi manusia agar layak hidup. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka yang terjadi adalah kelangsungan hidup manusia akan terganggu. Kebutuhan sekunder
adalah
kebutuhan
yang
pemenuhannya
setelah
kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan tersier atau kebutuhan mewah adalah kebutuhan yang biasanya dipenuhi setelah kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder dipenuhi. Sementara terkait dengan unsur-unsur yang mesti dipenuhi dalam maqashid al-syariah menurut al-Syatibi adalah agama (din), jiwa (nafs), keturunan (nashl), akal (‘aql), dan harta (mal). Terpenuhinya kelima unsur ini menjadi indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan (mashlahah) yang diperoleh oleh seseorang. Sedangkan dalam konteks ekonomi modern, berkaitan dengan kebutuhan dasar yang dikemukakan oleh alSyatibi hampir selaras dengan teori kebutuhan dasar -hierarchy of needs- yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Maslow mengatakan bahwa garis hierarki kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari kebutuhan fisiologi (physiological needs), kebutuhan keamanan (safety needs), kebutuhan sosial
317
(social needs), kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), dan kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs). Kebutuhan fisiologi (physiological needs) adalah kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi, maka kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya. Kebutuhan keamanan (safety needs) adalah kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi. Kebutuhan sosial (social needs) adalah kebutuhan akan cinta, kasih sayang, dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan akan penghargaan
(esteem
needs)
adalah
kebutuhan
terhadap
penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan memengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang. Kebutuhan aktualisasi diri ( self-actualization needs) adalah kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Teori hierarchy of needs yang dikemukakan oleh Maslow ini tampaknya telah terakomodasi oleh teori maqhasid al-syariah yang dikemukakan oleh al-Syatibi. Bahkan, maqhasid al-syariah lebih universal dibandingkan dengan hierarchy of needs. Keuniversalan ini tampak dalam menempatkan agama (din) sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Dalam teori hierarchy of needs, agama bukan merupakan kebutuhan dasar manusia. Padahal agama dianggap sebagai sesuatu yang dapat
318
memberikan
petunjuk
kepada
manusia
dalam
memenuhi
kebutuhan dasar, yakni keselamatan dunia dan akhirat. b. Objek Kepemilikan Dalam pandangan al-Syatibi, setiap individu memiliki hak yang sama atas kekayaan. Hal ini berarti bahwa beliau mengakui hak milik individu. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemubaziran. Namun pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu, seperti membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar sejumlah kewajiban. Namun demikian, al-Syatibi menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Pemilikan dan penguasaan sumber daya tersebut harus diserahkan kepada masyarakat umum bukan dimiliki dan dikuasai oleh individu. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaan tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase, dan air yang yang dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw., “Tiga hal yang tidak boleh
319
dimiliki oleh siapapun, yaitu air, padang rumput, dan api”. Hal yang sama juga terjadi pada fasilitas yang dipergunakan oleh masyarakat umum, seperti jalan raya, sungai, masjid, dan lainlainnya tidak boleh dikuasai oleh individu dan kepemilikannya diserahkan kepada umum. c.
Pajak Pajak merupakan kewajiban setiap warga negara kepada
negaranya atau kewajiban rakyat kepada pemerintahannya. Kewajiban itu dilakukan dalam bentuk menyerahkan sebagian hartanya kepada negara sesuai dengan kuantitas kepemilikan hartanya. Menurut al-Syathibi, pemungutan pajak oleh negara terhadap warga negaranya harus dilihat dari sudut pandang mashlahah (kepentingan umum). Dalam pemikiran al-Syathibi bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial merupakan tanggungjawab masyarakat. Dalam kondisi masyarakat tidak mampu melaksanakan tanggungjawab ini, maka tanggungjawab ini dapat dialihkan ke Baitul Mal sebagai institusi keuangan negara yang juga merupakan milik masyarakat umum. Hal yang paling menarik dari pemikiran al-Syathibi tentang pajak ini adalah bahwa al-Syathibi membolehkan negara untuk mengenakan pajak-pajak baru terhadap warga negaranya sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam. Negara diberikan kewenangan untuk menentukan jenis pajak, baik tarif pajaknya, jenis pajak, maupun ruang lingkup
320
pajak lainnya. Literasi pajak yang pernah terjadi di dunia Islam hanya merupakan referensi bagi pengembangan pajak berikutnya. Penentuan pajak disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan.
C. Kesimpulan Kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut.
1. Pemikiran ekonomi menurut Ibnu Khaldun bermuara pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan teori nilai, distribusi, pertumbuhan, dan perkembangan, uang, harga, keuangan public, siklus bisnis inflasi, sewa, dan manfaat dari perdagangan. Ada beberapa kontribusi Ibnu Khaldun
pada
pemikiran
ekonomi
kontemporer.
Kontribusi teori ekonomi Ibnu Khaldun disebut dengan “pemikiran ekonomi Islam” yang mewarnai pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh Smith,
Malthus,
Ricardo, Marx, dan Keynes. Pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun merupakan sebuah sistem yang logis, pikiran kohesif yang didasarkan pada pengamatan ekonomi pada abad ke-14. Ibnu Khaldun seorang pengamat fenomena sosial, ekonomi, politik, dan sejarah. Dengan kekuatan abstraksinya,
Ibnu
Khaldun
telah
mampu
mengidentifikasi dan mengartikulasikan hubungan antara variabel penting dari realitas ekonomi. Hanya saja, karya Ibnu Khaldun ini tidak diketahui secara cepat oleh para ekonom barat. Padahal, bila terjemahan al-Muqaddimah
321
ke dalam bahasa Eropa itu dilakukan sejak awal, maka pemikiran ekonomi Barat tidak akan terhindarkan. 2. Pemikiran ekonomi al-Syatibi tercermin dalam pemikiran utamanya maqashid al-syariah. Hakikat dari Syariah adalah maslahah (kemaslahatan atau kesejahteraan). Oleh karena itu, aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia diorientasikan dalam upaya perolehan maslahah tersebut. Implementasi dari perolehan maslahah tersebut adalah pemenuhan terhadap kebutuhan dasar (basic need) manusia, yang oleh al-Syatibi dirumuskan menjadi lima kebutuhan, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pemikiran tentang basic need yang dikemukakan alSyathibi ini tampaknya lebih universal bila dibandingkan oleh teori hierarchy of needs yang dikemukakan Maslow. Maslow merumuskan
hierarchy of
needs
dengan
kebutuhan fisiologi, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Selain itu, al-Syatibi juga telah merumuskan tingkatan kebutuhan hidup manusia dalam aktivitas ekonominya. Menurut al-Syathibi, kebutuhan manusia itu dapat dipilah menjadi tiga tingkatan yaitu dharuriyah,
hajjiyah,
dan
tahsiniyah.
Tingkatan
kebutuhan ini tampaknya langsung atau tidak langsung telah diakomodasi dalam kajian ekonomi kontemporer. Dalam kajian ekonomi kontemporer, kebutuhan manusia
322
itu dipilah menjadi tiga yakni primer, sekunder dan tersier. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh al-Syathibi telah memengaruhi pemikiran ekonomi modern atau kontemporer.
No. 1.
Tokoh Ibnu Khaldun
Karya • Syarh
Pemikiran al-
Burdah.
• Peristiwa ekonomi yang terjadi pada
• Al-‘Ibar
wa
zamannya dianalisis
Diwan
al-
sebagai
Mubtada’
wa
kesatuan yang utuh.
al-Khabar
fi
Tarikh
al-
• Beberapa
satu
gerakan
yang
‘Arab wa al-
diselenggarakan
Ajam wa al-
oleh orang miskin
Barbar.
berhasil mengubah
• At-Ta’rif
bi
Ibnu Khaldun. • Lubab
al-
Muhassal
fi
Ushul ad-Din. • Muqqadimah (buku terlengkap dan
sejarah
ekonomi
menjadi lebih baik (hubungan
yang
erat
ilmu
antara
ekonomi
dengan
sosiologi). • Laba
atau
keuntungan (rezeki)
323
karya
secara keseluruhan
terbesarnya).
atau untuk sebagian besar adalah nilai realisasi dari kerja manusia. • Utilitas
sebagai
sumber nilai dan penentu
harga
produk. • Sumber pendapatan berasal
dari
kerajinan,
oleh
karena itu adalah nilai dari kerjanya. • Pembangunan ekonomi
dengan
cara meningkatkan produktivitas pertukaran lebih
dan yang tinggi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. • Fungsi
uang
sebagai tolak ukur
324
dan
penyimpanan
nilai. • Harga
akan
naik
jika
permintaan
tinggi
dan
turun
akan ketika
permintaan rendah. • Tidak adanya
menyukai campur
tangan pemerintah dalam
pemasaran
untuk
bertindak
sebagai
pedagang
yang tidak baik.
Latihan Soal 1. Apakah fokus utama dai pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun dan Al Syathibi? 2. Apa korelasi antara teori nilai kerja dan teori nilai utilitas dari pemikiran Ibnu Khaldun?
325
BAB XIII PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KONTEMPORER/MODERN
A
bad ke 20 m dipandang sebagai abad kebangkitan kembali dunia Islam setelah terpuruk beberapa abad yang lalu. kebangkitan dunia islam ini
ditandai dengan kemampuan umat Islam merdekakan negerinya dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa barat. manifestasi dari kebangkitan dunia Islam tersebut menurut Lothrop, berupa tumbuhnya potensi luar biasa bagi pembentukan dunia baru. Islam menurut Badri yatim kebangkitan dunia islam adalah bangkitnya nasionalisme di dunia Islam dan tumbuhnya gerakan multipartai yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya. kebangkitan dunia Islam pada abad ini lebih didominasi oleh kebangkitan intelektual. pada abad ini muncul sejumlah pemikir 326
muslim dengan beberapa produk pemikirannya. di Arab Saudi misalnya muncul Muhammad bin Abdul Wahab, di Mesir muncul Muhammad Abduh, di India muncul Muhammad Iqbal, di Aljazair muncul Muhammad Sanusi dan di Indonesia sendiri muncul Ahmad Dahlan. secara umum gagasan mereka bermuara pada dua persoalan pokok, yang diverifikasi dan pembaharuan. purifikasi berarti memurnikan kembali ajaran Islam yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah, sedangkan pembaharuan adalah muncul kan berbagai gagasan dan implementasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Di samping gagasan berupa pemikiran dan gerakan islam kebangkitan Islam, pada abad ke-20 ini ditandai dengan lahirnya beberapa karya yang monumental terkait dengan hazanah intelektual umat Islam. pada bagian yang parsial, Khazanah intelektual ini berkaitan pula dengan masalah ekonomi. dari paruh kedua abad ke-20 sejumlah besar karya tentang ekonomi Islam mulai berdampak pada pemikiran ekonomi, khususnya di kalangan umat Islam Siddiqi mengutip sekitar 700 judul asli dan karya komentar tentang ekonomi Islam, sebagian besar yang ditulis pada periode awal 1950 an sampai tahun 1970 an. juduljudul tersebut mencakup berbagai topik filosofi ekonomi Islam (80 kutipan), sistem ekonomi Islam (418 judul), kritik Islam terhadap ekonomi kontemporer (lebih dari 100), kutipan analisis ekonomi dalam kerangka Islam (sekitar 50 kutipan), sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam (40 kutipan) dan bibliografi.
327
Uraian ini mempertegas bahwa pada abad ke 20 M atau masa kontemporer ini telah muncul beberapa pemikir muslim dan pemikirannya terkait dengan masalah ekonomi Islam. dengan dengan itu pada deskriptif berikut akan disajikan beberapa pemikir muslim dan pemikirannya tentang ekonomi Islam. A. M Nejatullah Siddiqi 1.
Riwayat hidup Mohammad nejatullah siddiqi adalah seorang ekonom india
dan pemenang hadiah internasional raja faisal untuk studi islam. Lahir di india pada tahun 1931, ia didik di Aligarh Muslim university serta rampur university dan Azamgarh university. Ia menjabat sebagai asosiasi profesor ekonomi di Aligarh Muslim university dan sebagai profesor ekonomi di king abdul aziz university, jeddah, Arab Saudi di pusat penelitian ekonomi islam. Dia kemudian menjadi anggota di pusat studi timur dekat di university of california, los angeles, dan setelah itu visiting scholar di the islamic research dan training institut, islamic development bank, jeddah. Dia adalah seorang penulis yang produktif dalam Bahasa Urdu dan bahasa Inggris. Menurut WorldCat, Ia memiliki 63 Karyadi 177 publikasi dalam 5 bahasa dan 1301 saham perpustakaan. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia ,Turki, Indonesia, Malaysia, Thailand dan lain-lain. Mungkin bukunya yang paling banyak dibaca adalah
328
banking without interest yang diterbitkan di 27 edisi antara tahun 1973 sampai 2000 dalam tiga bahasa dan dipegang oleh 2200 perpustakaan di seluruh dunia. Selama karier akademis yang panjang, ia telah menyupervisi sejumlah tesis Ph.D. di universitas di India, Arab Saudi dan Nigeria. Dia telah dan terus dikaitkan dengan sejumlah jurnal akademik sebagai editor atau penasihat. la telah bertugas di berbagai komite dan berpartisipasi dalam banyak konferensi di berbagai belahan dunia. Dia sangat membantu untuk semua dan berbagi pengetahuan berharga di masyarakat. Saat ini ia tinggal di Aligarh, India. Dia adalah Profesor Emeritus di Departemen Studi Manajemen, Universitas Aligarh Muslim, India. la telah menulis setidaknya 10 buku dalam bahasa Inggris. Karyanya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam lebih dari 100 edisi Karya-karya besarnya tentang perbankan Islam telah ditulis dalam bahasa Ingris. Di antaranya adalah: Recent Theories of Profit: A Critical Examination (1971) Economic Enterprise in Islam (1972); Muslim Economic Thinking (1981) nking Without Interest (1983); Issues in Islamic banking: selected papers (1983) Partnership and profit-sharing in Islomic law (1985); Insurance in an islamic Economy (1985); Teaching Economics in Islamic Perspective (1996; Role of State in islamic Economy (1996); Dialogue in Islamic Economics (2002); dan Islam's View on Property (1969).4" b. Pemikiran Ekonomi Sebagai ekonom
329
Muslim kontemporer, Nejatullah Siddiqi telah menawarkan beberapa pemikiran fundamental tentang ekonomi Islam. Diskursus Siddiqi tentang ekonomi Islam diawali dengan menyajikan tema tentang ciri-ciri ekonomi Islam. 2.
Pemikiran Ekonomi Sebagai ekonom muslim kontemporer, nejatulllah Siddiqi
telah menawarkan beberapa pemikiran fundamental tentang ekonomi Islam diskursus sedikit tentang ekonomi Islam diawali dengan menyajikan tema tentang ciri-ciri ekonomi Islam. Ciri pertama ekonomi Islam adalah hak relatif dan terbatas bagi individu, masyarakat, dan negara. Menurut Siddiqi, setiap orang diberi kebebasan untuk memiliki, memanfaatkan dan mengatur hak miliknya. Namun, semua hak itu memancar dari kewajiban manusia sebagai kepercayaan dan khalifah Allah Swt. di muka bumi.
Dengan
demikian,
menurut
Siddiqi,
kepemilikan
merupakan suatu hak individual selama ia melaksanakan kewajibannya serta tidak menyalahgunakan haknya itu. Ciri kedua dari sistem ekonomi Islam menurut Siddiqi adalah negara memiliki peranan yang positif dan aktif dalam kegiatan ekonomi. Siddiqi memberikan dukungan yang kuat terhadap peran aktif dan positif negara di dalam sistem ekonomi. Pada prinsipnya, Siddiqi menyetujui dan membela bahwa sistem pasar itu harus berfungsi dengan baik. Namun jika pasar gagal mencapai keadilan, negara memiliki hak untuk intervensi. Dalam
330
keadaan ini negara berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar bagi semua orang. Selain itu, negara dalam bentuk lembaga Hisbah juga berkewajiban melakukan amar ma'ruf nahyi munkar apabila terjadi ketidak adilan di pasar. Menurut Siddiqi, ciri ketiga dari sistem ekonomi Islam adalah
mengimplementasikan
zakat
dan
pelarangan
riba.
Implementasi kedua pranata ekonomi ini merupakan ciri khas ekonomi Islam karena disebutkan secara eksplisit di dalam alQuran dan Sunnah. Bahkan, siddiqi berpandangan secara pasti bahwa bunga itu adalah riba, dan oleh karenanya harus dilenyapkan Sebagai alternatifnya, Siddiqi mengusulkan akad mudharabah.
Dengan
mengimplementasikan
akad
ini
di
perbankan, maka bank tidak hanya berfungsi sebagai lembaga perantara melainkan juga sebagai agen ekonomi dan harus terlibat secara langsung dalam penciptaan kegiatan ekonomi. Ciri keempat dari sistem ekonomi Islam menurut Siddiqi adalah harus adanya jaminan kebutuhan dasar bagi manusia. Pemikiran ekonomi penyediaan kebutuhan dasar ini mirip dengan strategi kebutuhan dasar dan program-program kesejahteraan dalam sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis. Jaminan kebutuhan dasar ini dapat diimplementasikan dengan cara mendistribusikan aset dan kekayaan yang berimplikasi pada perolehan pendapatan yang adil dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
331
Setelah diskursus tentang ciri sistem ekonomi Islam, Nejatullah Siddiqi melanjutkan pemikiran ekonominya yang berkaitan dengan masalah distribusi. Bagi Siddiqi, distribusi merupakan konsekuensi dari kegiatan konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran). menurut Siddiqi, kepemilikan terbatas dalam pengertian bahwa hak itu ada jika kewajiban-kewajiban sosial sudah ditunaikan. Kekayaan swasta dipandang sebagai suatu hal yang mengandung maksud tertentu yakni untuk memberi kebutuhan materil kepada manusia pada waktu yang sama bekerja bagi kebaikan masyarakat. Penggunaan kekayaan swasta harus benar bersamaan dengan norma-norma kerja sama, persaudaraan, simpati, dan pengorbanan diri. Setiap pelanggaran terhadap semua persyaratan tersebut seperti penimbunan, eksploitasi dan penyalahgunaan akan menyebabkan hilangnya hak
memiliki.
Negara
dan
masyarakat
adalah
penjaga
kepentingan sosial dalam hal ini. Tema lain yang disajikan dalam pemikiran ekonomi Nejatullah Siddiq adalah masalah produksi. Pemikiran tentang produkis yang dibangun Siddiqi mengalami transformasi dari paradigma neoklasik. Baginya, memaksimalkan laba bukanlah satu-satunya motif dan bukan pula motif utama produksi. Tujuan utama produksi adalah pemenuhan kebutuhan seseorang secara sederhana, mencukupi tanggungan keluarga, persediaan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan masa depan, persediaan
332
untuk keturunan dan pelayanan sosial, serta infak di jalan Allah Swt.
B. M. Umer Chapra 1. Riwayat hidup M. Umer Chapra, lahir di Bombay India 1 Februari 1933, adalah salah seorang ekonom Muslim kontemporer yang paling terkenal pada zaman modern, baik di Timur maupun di Barat. la meraih gelar S2 dari Universitas Karachi pada tahun 1954 dan 1956 dengan gelar B.Com/B.BA (Bachelor of Business Administration)
dan
M.Com/M.BA
(Master
of
Business
Administration) dan gelar Ph. D. dari Universitas Minnesota. M. Umer Chapra terlibat dalam berbagai organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam. Saat ini dia menjadi penasihat pada Islamic Research and Training Institute (IRTI), Islamic Development Bank, Jeddah. Sebelumnya ia menduduki posisi sebagai Penasihat Peneliti Senior di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA), Riyadh selama hampir 35 tahun. Aktivitasnya di lembaga-lembaga ekonomi Arab Saudi ini membuatnya diberi kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja Khalid atas permintaan Menteri Keuangan Arab Saudi. Lebih kurang selama 45 tahun dia menduduki profesi di berbagai lembaga yang berkaitan dengan persoalan ekonomi di antaranya 2 tahun di Pakistan, 6 tahun di Amerika Serikat, dan 37 tahun di Arab Saudi. Selain profesinya itu banyak kegiatan ekonomi yang
333
dikutinya, termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga ekonomi dan keuangan dunia seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB, OIC dan lain-lain. Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi Islam yang sudah diterbitkan. Hingga saat ini telah terhitung sebanyak 11 buku, 60 karya ilmiah dan 9 resensi buku. Buku dan karya ilmiahnya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk juga bahasa Indonesia. Buku yang telah ditulisnya dan sangat populer adalah Toward a Just Monetary System (1985), islam and Economic
Challenge
(1992),
Isiam
and
the
Economic
Development (1994) dan The Future of Economics, an islamic Perspective (2000). 2.
Pemikiran Ekonomi Pemikiran ekonomi Umer Chapra sebenarnya tercermin
dalam buku-buku yang ditulisnya. Pemikiran pertama terkait dengan masalah sistem moneter menurut Islam. Tema ekonomi ini terefleksi dalam bukunya yang berjudul Towards a Just Monetary System. Ada beberapa tema yang disajikan dalam buku ini. Pertama, sasaran dan strategi sistem perbankan dan keuangan dalam perekonomian Islam. Ada lima hal yang dibahas pada bagian ini, yaitu (1) kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja penuh dan laju pertumbuhan ekonomi yang optimal; (2) keadilan sosioekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata: (3) stabilitas nilai mata uang untuk
334
memungkinkan alat tukar sebagai satuan unit yang dapat diandalkan,
standar
yang
adil
bagi
pembayaran
yang
ditangguhkan, dan alat penyimpan nilai yang stabil; (4) mobilisasi
dan
investasi
tabungan
untuk
pembangunan
perekonomian dalam suatu cara yang adil sehingga pengembalian keuntungan
dapat
dijamin
bagi
bersangkutan;
dan
(5)
memberikan semua bentuk pelayanan yang efektif yang secara normal diharapkan berasal dari sistem perbankan. Kedua, hakikat riba dalam Islam, baik yang terdapat di dalam al- Quran dan Hadis maupun dalam literatur fikih. Menurut Chapra, Islam melarang keras praktik riba dan sebagai solusinya diberikan beberapa alternatif bagi riba, seperti pembiayaan lewat penyertaan modal (equity financing), membuat saluran untuk penyertaan modal (sole proprietorship), partnertship (kemitraan), mudharabah, musyarakah, dan perusahaan perseroan, serta koperasi. Ketiga, reformasi fundamental sebagai solusi selanjutnya untuk keluar daripraktik riba. Beberapa reformasi fundamental tersebut adalahtabungan dan investasi, pembiayaan lewat penyertaan modal, mengurangi kekuasaan bank, dan menciptakan bursa yang sehat. Dengan pengenalan berbagai reformasi fundamental tersebut, sistem perbankan dapat berfungsi untuk mencapai sasaran-sasaran sosioekonomi Islam. Suatu perubahan yan hanya menggantikan riba dengan bagi hasil tidak akan dapat
335
mencapai tujuan meskipun hal tersebut merupakan perubahan yang perlu disambut sebagai cara yang digunakan oleh para bankir
muslim
untuk
mencari
pengalaman
menjalankan
perbankan bebas riba dan memberikan jalan bagi beberapa reformasi di kemudian hari. Keempat, M. Umer Chapra membantah para pihak yang merasa keberatan akan pelarangan bunga bank. Keberatan tersebut menurut Chapra, dianggap tidak berdasar karena buktibukti empiris tidak menunjukkan adanya suatu korelasi positif yang signifikan antara bunga dan tabungan bahkan di negara industri sekalipun. Dampak suku bunga pada tabungan di negaranegara berkembang ditemukan sangat kecil (negligible) dalam banyak studi. Keberatan ketika yang dituduhkan adalah bahwa keseluruhan sistem yang berbasis pada penyertaan modal akan sangat tidak stabil. Tuduhan ini, oleh Umar Chapra dianggap sebagai tuduhan yang tidak berdasar, tanpa dukungan empiris, dan tidak logis. Keberatan yang selanjutnya adalah bahwa prospek pertumbuhan akan redup dalam sebuah perekonomian Islam setelah penghapusan bunga yang oleh Umar Chapra hal ini dianggap sebagai kritikan yang tidak valid. Kelima pendirian lembaga institusional yang secara prinsip berbeda dengan institusi konvensional dalam hal lingkup dan tanggung jawab. Selain itu, Umer Chapra juga membahas tentang pengelolaan kebijakan moneter dalam lembaga yang baru.
336
Kemudian mengevaluasi program yang diajukan sesuai dengan tujuan yang dibahas pada pembahasan sebelumnya. Pemikiran ekonomi M. Umer Chapra lainnya terkait dengan masalah islam dan tantangan ekonomi sebagaimana trcermin dalam bukumya yang berjudul "Islam and Economic Challenge” dalam buku ini, Chapra mengkaji tiga sistem ekonomi Barat yaitu Kapitalisme, Sosialis dan gabungan dari dua sistem tersebut yaitu "negara kesejahteraan”. Chapra mengemukakan neraca ketiga sistem tersebut dan segi prestasi- prestasinya maupun kegagalankegagalannya. Menurut Chapra, ketiga sistem yang gagal itu harus
dihindari
oleh
negara-negara
Muslim
jika
ingin
mengaktualisasikan tujuan sosio-ekonominya. Pada kajan selanjutnya, M Umer Chapra mengemukakan pandangan dunia Islam dan strateginya dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Pandangan dunia Islam ini didasarkan pada tiga prinsip yang paling pokok, yaitu tawhid, khilafah, dan adalah. Pada bagian akhir, M. Umer Chapra menjelaskan bagaimana cara menghidupkan faktor-faktor kemanusiaan. Di antaranya dengan pemberian motivasi, keadilan sosioekonomi, perbaikan kondisi pedesaan, dimensi moral, meningkatkan kemampuan dengan memberikan pendidikan keuangan. dan latihan serta memperluas akses kepada keuangan. Pada buku lain, "Islam and the Economic Development”. M Umer Chapra berbicara tentang Islam dan pembangunan
337
ekonomi. Gagasannya ini didasarkan pada empat pertanyaan: (1) bagaimana jenis pembangunan yang dinginkan oleh Islam?. (2) apakah jenis pembangunan ini dapat direalisasikan dengan pendekatan sekuler yang percaya pada sistem pasar atau sosialisme atau strategi-strategi yang diformulasikan oleh para ekonom pembangunan dalam kerangka kerja dua sistem itu. (3) bagaimana strategi Islam? Apakah dapat membantu negaranegara
muslim
memformulasikan
kerangka
aktualisasi
pembangunan yang dinginkan oleh Islam dengan tujuan menanggulangi ketidakseimbangan makro ekonomi? dan (4) mengapa selama ini negara-negara muslim gagal merumuskan dan mengimplementasikan strategi tersebut? Menurut M. Umar Chapra, sistem Kapitalisme laissez-faire dan Sosialisme telah gagal merealisasikan pemenuhan kebutuhan dasar kesempatan kerja penuh, distribusi pendapatan, dan kekayaan
yang
merata.
Kedua
sistem
itu
tidak
dapat
mengantarkan perubahan struktural radikal yang diperlukan untuk
merealisasikan
pertumbuhan
dengan
keadilan
dan
stabilitas. Oleh karena itu, kedua sistem itu tidak mungkin dapat berfungsi sebagai contoh bagi negara yang sedang berkembang, khususnya negara-negara muslim karena komitmen Islam yang tegas terhadap keadilan sosioekonomi. M. Umar chapra bukan hanya mengkritik kedua sistem diatas tanpa solusi. la menawarkan lima tindakan kebijakan sebagai solusi bagi pembangunan yang disertai keadilan dan stabilitas. Kelima
338
kebijakan tersebut adalah: (1) memberikan kenyamanan kepada faktor manusia, (2) mereduksi konsentrasi kekayaan; (3) melakukan restrukturisasi ekonomi; (4) melakukan restrukturisasi keuangan; dan (5) melakukan rencana kebijakan strategis. Bagi Chapra, Islamlah satu-satunya alternatif untuk menggantikan Kapitalisme dan Sosialisme.
C. Nawab Haider Naqvi 1. Riwayat Hidup Syed Nawab Haider Naqvi lahir di Maraith, pada tahun 1935 kemudian pindah ke Karachi, Pakistan pada tahun 1950. Haider Naqvi meraih gelar master dari Yale University pada tahun 1961 dan meraih gelar doktor dari Princeton University pada tahun 1966. Setelah menyelesaikan penelitian posdoktoralnya dari Harvard University pada tahun 1970. Haider Naqvi mulai meniti karier dengan menulis berbagai karya ilmiah yang berhubungan dengan masalah ekonomi. Haider Naqvi pernah menjabat sebagai Direktur Pakistan Institute of Development Economics (Lembaga Ekonomi Pembangunan Pakistan), Penasihat Ekonomi Senior pada National Electric Power Regulatory Authority (NEPRA) dan Rektor Kausar University of Sciences, Islamabad. Sebagai seorang akademisi, Haider Naqvi terlibat dalam beberapa lembaga penelitian, di antaranya sebagai Penasihat Ekonomi Senior pada National Electric Power Regulatory Authority (NEPRA), Penasehat Ekonomi pada MCB Institute for
339
Development
Research,
Direktur
Pakistan
Institute
of
Development Economics, Islamabad, Kepala Economic Affairs Division, Government of Pakistan, serta Pejabat dan Ekonom Peneliti
Senior pada Pakistan
Institute of Development
Economics. Selain itu, Haider Naqvi juga terlibat dalam keanggotaan dan asosiasi, di antaranya yang penting adalah: anggota National Geographic Society, Washington, D.C, Presiden Pendiri Pakistan Society of Development Economists, Islamabad, Ketua the Committee on Economic and Social wellbeing for the Eighth Five Year Plan, Ketua Board of Management, Asian and Pacific Development center, The United Nations, Kuala Lumpur. Malaysia, Ketua Asian Sub-link Center project, ESCAP. Bangkok Thailand, dan Ketua Committee on islamization, appointed by the Finance Minister, Government of Pakistan. Selain keterlibatannya dalam lembaga penelitian dan lembaga-lembaga kajian, Haider Naqvi terlibat dalam penerbitan jurnal la pernah menjadi editor darı jurnal nasional dan internasional, di antaranya The Pakistan Development Review. Pakistan institute of Development Economics islamabad, Managing International Development (M.I.D) The United Nations New York, dan South Asia journal. The Sage Publishers. New Delhi.
340
Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi Islam yang sudah diterbitkan, di antaranya Perspectives on Morality and Human well-being (2003), Development Economics Nature and significance (2002). The Crisis of Development Planning in Pakistan (2000), External Shocks and Domestic Adjustment Pakistan's Case 1970-1990 (1997) islam Economics, and Society (1994), Development Economics A New Paradigm (1993), SAARC Link An Econometric Approoch (1992), MocroEconomic Framework for the Eighth Five Year Plan islamabad Pakistan institute of Develo Economics (1992), On Raising the Level of Economic and Social WelBeing of the People (1992), Structure
of
Protection
and
Allocative
Efficency
in
Manufacturing San Francisco International Center for Economic Growth (1991), Structural Change in Pakiston's Agriculture (1989), Land Reforms in Pakistan A Historical Perspective (1987), Preliminary Revised PIDE Macro-Econometric Model of Pakistan's Economy (1986), dan Ethics and Economics. An Islamic Synthesis (1981). 2.
Pemikiran Ekonomi Dalam tulisannya yang tersebar, Nawab Haider Naqvi
mengajukan beberapa pemikiran tentang ekonomi Pemikiran pertama terkait dengan masalah hakikat ilmu ekonomi Islam. Menurut Naqvi, ilmu ekonomi Islam merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan syariat Islam yang representatif dalam masyarakat Musim. Ekonomi Islam dapat 341
didefinisikan
sebagai
sebuah
studi
tentang
pengelolaan
hartabenda menurut perspektif islam. Secara epistemologis menurut Naqvi ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin limu Pertama, ekonomi Islam normatif vaitu studi tentang hukumhukum syanah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda. Kedua ekonomı islam positif yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya adalah segala macam cara dan sarana vang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa. Dalam kaitannya dengan ilmu ekonomi Islam normatif. Haider Naqvi mengecam paradigma klasik dan neo-klasik yang mengabaikan dimensi moral. Bahkan, Haider Naqvi mengatakan bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomı Islam ditentukan oleh sejauh mana nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam kehidupan ril. Di samping itu untuk melengkapi sagasannya tentang ekonomi Islam juga telah ditulis karyanya Ethics and Economics An islamic Synthesis. Haider Naqvi berhasil mengembangkan suatu frame-work atau bingkai analitiksistematik yang bersi sebagian besar nila-etik-dasar islam, yang bisa digunakan sebagai dasar dalam melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi. Pada
kajian
berikutnya,
Haider
Naqvi
melakukan
perbandingan sistem ekonomi. Sistem ekonomı Islam adalah
342
sebuah sistem yang berdasar pada ajaran agama. Ekonomi Islam merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan syariat Isiam, yang tentu saja berpedoman kepada al- Quran dan Hadis Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi lain, Kapitalis dan Sosialis, yang cenderung sekuler di mana ekonomi terpisah dan ajaran agama Sistem ekonomı islam meletakkan syariah sebagai landasan normatif bagi seluruh aktivitas ekonomi Sedangkan sistem ekonomi Kapitalisme cenderung posítivistik. Islam sebagai way of life, menurut Haider Naqvi memiliki dua dimensı alam pada dirinya, yaitu alam materil dan alam immateril (dunia dan akhirat) Kedua ini berimplikasi pada sebuah tanggung jawab bagi penganutnya, yaitu reword atau punishment dari Allah. Oleh karena itu dalam Islam segala hal yang terkait dengan kepentingan umat diatur didalamnya, mulai dari hubungan dengan Tuhan, hingga hubungan interaksi kepada sesama umat manusia dan makhluk lainnya, dengan berbagai aturan dan tata caranya yang disusun secara tertib dan rapi. Islam dalam pengertian universal bahwa Islam tidak hanya mengatur masalah ritual semata, yakni hubungan antara hamba dan Tuhannya, tetapi juga mengatur masalah-masalah sosial yang ada.
343
D. M. Abdul Manan 1.
Riwayat Hidup Muhammad Abdul Mannan lahir di Bangladesh pada tahun
1938. Abdul Mannan meraih gelar master di bidang ekonomi dari Rajshahi University pada tahun 1960 Setelah menerima gelar master di bidang ekonomi, ia bekerja di berbagai kantor ekonomi pemerintah di Pakistan, di antaranya sebagai Asisten Pimpinan di the Federal Planning Commission of Pakistan pada tahun 1960an Pada tahun 1970, Abdul Mannan melanjutkan studinya di Michigan State University Amerika Serikat untuk program MA dalam ilmu ekonomi Setelah mendapatkan gelar MA (economics) pada tahun 1973, Abdul Mannan mengambil program doktor di bidang industri dan keuangan pada universitas yang sama. Setelah menyelesaikan program doktor, Abdul Mannan menjadi dosen senior dan aktif mengajar di Papua New Guinea University of Technology Pada tahun 1978, ia ditunjuk sebagai profesor di Internasional Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul Azis University di leddah Selama periode tersebut Mannan juga aktif sebagai visiting professor pada Moeslim Institute di London dan Georgetown University di Amerika Serikat Melalui pengalaman akademiknya yang panjang, Abdul Mannan memutuskan bergabung dengan Istamic Development Bank dan sejak 1984 ia menjadi ahli ekonomi (Islam) senior di iDB Bahkan, ia merupakan seorang tokoh
344
ekonomi islam yang menganjurkan pembentukan Bank Dunia Islam, Mustim World Bank lima tahun sebelum pembentukan slamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di jeddah, Arab Saudi. Sebagai ilmuwan dan sekaligus akademisi, Abdul Mannan telah menulis sejumlah buku. Buku yang paling popular dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa adalah buku islamic Economics Theory and Practice pada tahun 1970 di Pakistan Dari penerbitan buku ini, Abdul Mannan mendapat penghargaan pemerintah Pakistan sebagai Highest Academic Award of Pakistan pada tahun 1974 Adapun hasil karya Mannan yang lainnva adalah: An Introduction to Applied Economy (1963). Economic Problem and Planning in Pakistan (1968), The Making of islamic Economic Society Islamic Dimensions in Economic Analysis (1984) dan The Frontier of Islamic Economics (1984), Economic Development and Sosial Peace in Islam (1989), Management of Zakah in Modern Society (1989), Developing a System of Islamic Financial Instruments (1990), Understanding Islamic Finance A Study of Security Market in an Islamic Framework (1993), International Economic Relation
from
Islamic
Perspectives
(1992),
Structural
Adjustments and Islamic Voluntary sector with special reference to Bangladesh (1995), The Impact of Single European Market on
345
OIC Member Countries (1996), dan Financing Development in islam (1996) 2.
Pemikiran Ekonomi M. Abdul Mannan membangun pemikiran ekonominya
dengan merumuskan dulu asumsi dasar ekonomi Islam. Menurutnya, ada lima asumsi dasar yang harus dibangun dalam ekonomi Islam. Pertama, Abdul Mannan mengkritik konsep harmony of interests yang terbentuk oleh mekanisme pasar menurut Adam Smith. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai naluri untuk menguasai terhadap yang lain. Hawa nafsu ini jika tidak dikendalikan maka akan cenderung merugikan yang lain. Oleh karena itu, Abdul Mannan menekankan pada perlunya beberapa jenis intervensi pasar. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia secara pribadi tidak bisa menciptakan keadilan yang sesungguhnya. Manusia cenderung menindas pada manusia yang lain Oleh karena itu, ekonomi Islam diharapkan akan bekerja pada irisan antara mekanisme pasar dan perencanaan terpusat. Kedua, Abdul Mannan mengkritisi Marxis yang tidak akan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik Teori Marxis ini cenderung tidak manusiawi karena mengabaikan naluri manusia yang fitrah, di mana setiap manusia mempunyai kelebihan antara satu dengan yang lainnya. Abdul Mannan berpendapat
bahwa
hanya
ekonomi
1slam
yang
dapat
memberikan perubahan yang lebih baik. Alasan utamanya, karena
346
ekonomi Islam memiliki nilai-nilai etika dan kemampuan motivasional.
Namun
demikian,
Abdul
Mannan
tidak
memberikan penjelasan yang signifkan tentang perbedaan antara nilai etika Islam dan kemampuan motivasional tersebut dengan nilai-nilai Maris beserta motivasinya. Ketiga, Abdul Mannan mengkritisi paradigma ekonomi kaum neoklasik sitivistik, di mana teori ekonomi dirumuskan berdasarkan data dan fakta empirik Menurutnya, teori ekonomi itu harus dirumuskan berdasarkarn data historis dan wahyu. Abdul Mannan telah menempatkan wahyu sebagai penunjukan dan pelengkap dalam arah penelitian ekonomi. Dengan demikian, penelitian ekonomi mesti didasarkan pada norma-norma yang dibe
rikan oleh wahyu Oleh karena itu, ekonomi Islam harus
dibangun dari fondasi utama yaitu dalil-dalil Syara yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah. Menurutnya, penelitian ekonomi yang meninggalkan wahyu akan kehilangan roh dari ekonomi Islam tersebut. Keempat, Abdul Mannan menolak gagasan kekuasaan produsen atau kekuasaan konsumen. Hal tersebut menurutnya akan memunculkan dominasi dan eksploitasi. Dalam kenyataan, sistem kapitalistik yang ada saat ini dikotomı kekuasaan produsen dan kekuasaan konsumen tak terhindarkan. Oleh karena itu, Mannan mengusulkan perlunya keseimbangan antara kontrol pemerintah dan persaingan dengan menjunjung nila-nilai dan
347
norma-norma sepanjang dizinkan oleh syariah. Hanya saja, mekanisme kontrol dengan upaya menjunjung nilal-nilaı dan norma yang sesuai dengan syariah belum dijabarkan dengan baik. Artinya, mekanisme ini akan sangat beragam sesuai dengan persepsi dan sistem kekuasaan yang ada di tiap-tiap negara. Kelima, Abdul Mannan berpendapat bahwa mengizinkan pemilikan swasta sepanjang tunduk pada kewajiban moral dan etik. Menurutnya, semua bagian masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan bagian dalam harta secara keseluruhan. Namun, setiap individu tidak boleh menyalahgunakan kelas kepercayaan yang dimilikinya dengan cara mengeksploitasi pihak lain Menurut Abdul Mannan, kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada tangan orang-orang kaya saja. Zakat dan shadagah memegang
peranan
penting
untuk
memainkan
peranan
distributifnya sehingga paham kapitalis yang mengarah pada individualisme tidak ada dalam ekonomi Islam. Keenam, dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam langkah pertama Abdul Mannan adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi, yaitu konsumsi, produksi, dan distribusi Ada lima prinsip dasar yang berakar pada Syanah untuk basic economic functions berupa fungsi konsumsi, yakni prinsip righteousness, cleanliness moderation, beneficence dan morality Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara
348
umum adalah kebutuhan manusia yang terdin dan necessities, comforts, dan luxuries. Setelah merumuskan asumsi dasar ekonomi Islam, Abdul Mannan kemudian menjelaskan cin dan kerangka institusional Menurut Abdul Mannan, sifat, ciri dan kerangka institusinal ekonomi Islam, sebagai berikut (1) kerangka sosial Islam dan hubungan yang terpadu antara individu, masyarakat, dan negara, (2) kepemilikan swasta yang relatif dan kondisional: (3) mekanisme pasar didukung oleh kontrol, pengawasan dan kerja sama dengan perusahaan negara terbatas, dan (4) implementasi zakat dan penghapusan riba. Setelah
menjelaskan
ciri
dan
kerangka
institusional,
kemudian Abdul Mannan menjelaskan tentang distribusi dan produksi Menurut Abdul Mannan, distribusi merupakan basis fundamental bagi alokasi sumber daya tslam menekankan pada distribusi pendapatan secara merata dan merupakan pusat berputarnya pola produksi dalam sebuah negara Islam Sementara berkaitan dengan produksi, Abdul Mannan berpendapat bahwa terkait dengan utilitas atau penciptaan nilai guna. Konsep islam mengenai kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui peningkatan
produksi
barang
yang
baik
saja,
melalui
pemanfaatan sumber sumber serta tenaga kerja dan modal serta alam secara maksimal maupun melalui partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses produksi.
349
E. Monzer Kahf 1.
Riwayat Hidup Monzer Kahf dilahirkan di Damaskus, Syria, pada tahun
1940. Kahf menerima gelar B.A (setara 51) di bidang Bisnis dari Damaskus University pada tahun 1962 serta memperoleh penghargaan langsung dari presiden Syria sebagai lulusan terbaik. Pada tahun 1975, Kahf meraih gelar Ph.D ilmu ekonomi untuk spesialisasi ekonomi international dari University of Utah, Salt Lake City, USA. Selain itu, Kahf juga pernah mengikuti kuliah informal dalam training and knowledge of Islamic Jurisprudence (Fiqh) and Islamic Studies di Syria. Sejak tahun 1968, ia telah menjadi akuntan publik yang bersertifikat. Pada tahun 2005, Monzer Kahf menjadi seorang guru besar ekonomi Islam dan perbankan di The Graduate Programm of Islamic Economics and Banking, Universitas Yarmouk di Jordan. Lebih dari 34 tahun Kahf mengabdikan dirinya di bidang pendidikan. Ia pernah menjadi asisten dosen di fakultas ekonomi University of Utah, Salt Lake City (1971-1975). Kahf juga pernah aktif sebagai instruktur di School of Business, University of Damascus (Syria. 1962-1963). Pada tahun 1984, Kahf memutuskan untuk bergabung dengan Islamic Development Bank dan Sejak 1995 ia menjadi ahli ekonomi (Islam) senior di IDB .
350
Monzer Kahf merupakan seorang penulis yang produktif dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran di bidang ekonomi, keuangan, bisnis, fikih dan hukum, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggris. Pada tahun 1978 Kahf menerbitkan buku tentang ekonomi Islam yang berjudul The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning of the Islamic Economic System. Buku ini dianggap menjadi awal dari sebuah analisis matematika ekonomi dalam mempelajari ekonomi Islam, sebab pada tahun 1970-an, sebagian besar karya-karya mengenai ekonomi Islam masih mendiskusikan masalah prinsip dan garis besar ekonomi. Adapun hasil karya Kahf yang lain adalah: A Contribution to the Theory of Consumer Behavior in an Islamic Society (1984), Principles of Islamic Financing : A Survey (19921) Zakah Monagement ih Some Muslim Societies (1993) the Calculation of Zakah for Muslim in North Amenika (19961) Financing Development in Islam (1996), dan The Demand Side or Consumer in Ielarmic Perspective. 2.
Pemikiran ekonomi Pemikiran ekonomi yang paling utama dan terpenting dari
Monszer Kahf adalah pandangannya terhadap ekonomi sebagai bagian tertentu dari agama. Selain itu, Monzer mengatualhasikan analisis pengunaan beberapa institusi islam (seperti zakat) terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan, Ivestasi, konsumsi dan pendapatan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya yang
351
berjudul “The Islomic Econormy Anolytical Study of the Functioning of the hlone Economic System”. Dalam membangun pemikiran ekonominya, Monzer Kahf mendanarkan pemiirannya pada asumsi islamic man. Islamic man dianggap perlakunya rasional jka konsisten dengan prinsipprinsip Islam yang bertujuan untu menciptakan manyarakat yang seimbang Tauhidnya mendorong untuk yakin, Alah-lah yang berhak membuat aturan untuk mengantarkan kesuksesan hidup Islamic man dalam mengonsumsi suatu barang tidak semata- mat bertujuan memaksimalkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, isyrof atau tabzir, memudaratkan masyarakat atau tidak dan lain-lain. Islamic man tidak materialistik, la senantiasa memperhatian anjuran syariat untuk berbuat kebajkan untuk masyarakat Oieh karena itu, ia baik hati, suka menolong, dan peduli kepada masyarakat sekitar, la ählas mengorbankan kesenangannya untuk menyenanglan orang lain (QS 2:215, QS 92: 18-19. Motifnya dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma, bersedekah, menyantuni anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan sebagainya, tidak dlanda motif ekonomi sebagaimana dalam doctrine of sosial responsibility, tetap orang lain, semata-mata berharap keridhaan Allah SWT. Selaras dengan itu, Monzer Kahf mengedepankan konsep "slomic rationalism” rasionalismr dalam islam dinyatakan
352
sebagal alternatif yang konsisten dengan nillai-nilal Islam, unsurunsur pokok rasionalisme ini adalah sebagal berikut: (1) Islam membenarkan individu untuk mencapal kesuksesan di dalam hidupnya melalui tindakan ekonomí, baik kesuksesan materi maupun kesuksesan di akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Alah Swt (2) kehidupan di dunia itu bersifat sementara dan ada kehidupan yang kekal, yatu kehidupan akhirat: (3) kekayean dalam honsep islam adalah amanah dani Allah Swt dan sebagai alat bag individu untuk mencapai kesuksesan di akhirat (4) dalam mengunakan barang senanitiasa memperhatikan maqashid alsyariah
dan
(5)
Islam
tidak
melarang
individu
dalam
mengzunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak . Selanjutnya, Monzer Kahf menyajikan etika konsumsi dalam Islam mengembangkan pemikirannya tentang konsumsi dengan memperkenalkan final spending (FS) sebagal variabel standar dalam melihat kepuasaan maksimum yang diperoleh konsumen muslim. Salah satunya dimulai dergan melihat adanya asumsi bahwa secara khusus institusi zakat dasumsikan sebagai sebuah bagian dari struktur sosioekonomi. Kahf berasumsi bahwa zakat merupakan keharusan bagi muzakki Oleh karena tu, meskipun rakat sebagai spending yang memberkan keuntungan, sifat dar zakat yang tetap, maka diasumsikan d hi luar final spending.
353
Dalam masalah produksi menurut Monzer Kahf, teori produksi memiliki aspek aspek sebagal berikut (1) motif-motit Produksi yaitu pengambilan manfaat setiap partkel dari alam semesta adalah tujuan ideologi umat islam (2) tujuan produksi adalah sebagai upaya manusia untuk meningkatian kondisi materialnya selaligus moralnya dan sebagai sarana untuk mencapal tuuannya d Ahirst 3) tujuan badan usaha dalam proses maksimalkan keuntungan dengan mengats namaka badan usaha tidak boleh melanggar aturan- atturan permainan dalam ekonomi (4) faktor faktor produksi(4) ; modal sebagai kerja yang diakumulasikan dan (5) hak milk sebagai akibat wajar. Monzer Kahf juga memiliki pemikiran ekonomi tentang pasar. Menurut Monzer Kahf, ekonomi islam adalah ekonomi yang bebas tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk (persaingan) individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah Swt. Keterlibatan pemenintah dalam pasar hanyalah pada saat tertentu
atau
bersifat
temporer
Sistem
ekonomi
Islam
menganggap islam sebagai sesuatu yang ada di pasar bersamasama dengan unit-unit elektronik lainnya berdasarkan landasan yang tetap dan stabil ia dianggap sebagai perencana, pengawas, produsen dan juga sebagai konsumen Dalam mekanisme pasar dibutuhkan regulasi pasar yang dirumuskan oleh negara dengan
354
bersumber pada sumber hukum slam, yakni al-Quran dan alSunnah. Pada bagian akhir, Monzer Kahf juga berbicara tentang ekonomi makro. Ada beberapa tema makro ekonomi yang disajikan oleh Moneer Kahf. Menurutnya, implementasi zakat dan larangan riba merupakan aspek terpenting dalam ekonomi makro, di samping implementasi akad berbasis syariah lainnya. Selain itu, Monzer Kahf juga berbicara tentang uang dan otoritas moneter, struktur kredit dan keuangan Islam, hutane negara dan hutang pasar uang, dan kebijakan ekonomi
F. Kesimpulan Pada abad ke-20, sebagai abad kebangkitan kembali dunia Islam, telah muncul beberapa ekonom Muslim. kebangkitan dunia Islam in ditandai, antara lain dengan lahirnya beberapa karya yang monumental terkait dengan khazanah intelektual umat Islam. Pada bagian yang parsial, khazanah intelektual ini berkaitan pula dengan masalah ekonomi. Dari paruh kedua abad kedua puluh sejumlah besar karya tentang ekonomi Islam mulai berdampak pada pemikiran ekonomi, khususnya di kalangan umat Islam. Seiring dengan perkembangan karya tulis itu, maka pada masa in muncul sejumlah pemikir atau ekonom Muslim. Di antara ekonom yangpetisi erjalin yang orang rintah istem pasar paling populer saat ini adalah Muhammad Nejatullah Siddiai M. Umer Chapra, M. Abdul Mannan, Nawab Haider Naqvi, dan
355
Monzer Kahf Para ekonom Muslim ini telah menawarkan ekonomi Islam sebagai alternatif bagi sistem ekonomi vang selama ini ada Mereka telah menunjukkan berbagai kelebihan sistem ekonomi Islam daripada sistem ekonomi yang lain Berbagai aspek yang terkait dengan masalah ekonomi telah menjad bagian dari produk pemikiran para ekonom Muslim kontemporer. Mereka berbicara tentang mikro ekonomi berbasis Islam, seperti produksi, konsums dan distribusi Selain itu, mereka juga telah berbicara tentang makro ekonom Islam, seperti negara dan pembangunan ekonomi, sumber pendapatan negara, alokasi dana publik, fiskal, moneter, dan yang berbasis Islam. Namun, secara umum, pemikiran dari para ekonom ini cenderung menganut Mazhab Mainstream, yang mengonvergensik n ekonomi yang berbasis Islam dengan ekonomi konvensional yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Tabel Pikiran Ekonomi Para Ekonom Modern TOKOH PEMIKIR M. Nejatullah Siddiqi
PIKIRAN EKONOMI •
peran aktif dan positif negara
dalam
sistem
ekonomi •
hak
relatif
terbatas
bagi
dan
hak
individu,
masyarakat dan negara •
mengimplementasikan
356
zakat dari pelarangan riba •
adanya
jaminan
kebutuhan
dasar
bagi
manusia M. Umar Capra
•
sasaran sistem
dan
strategi
perbankan
keuangan
dan dalam
prekonomian islam •
solusi alternatif riba
•
reformasi
pundamental
sebagai solusi keluar dari praktik riba •
pendirian
lembaga
intitusional Nawab Haider Naqvi
•
hskikst
ilmu
ekonomi
islam •
mengecam
paradigma
klasik-neoklasik •
mengembangkan
nilai
etik dasar islam M. Abdul Manan
•
Mengkritik
konsep
harmony of interests •
Mengkritisi marxis
•
Mengkritisi kaum
paradigma neoklasik
357
positvistik •
Menolak
gagasan
kekuasaanprodusen
atau
konsumen •
Mengizinkan
pemilikan
swasta sepanjang tunduk pada
kewajiban
moral
dan etik •
Mengembangkan
ilmu
ekonomi Monzer Kahf
•
Mengedepankan
konsep
islamic rationalism •
Menyajikan
etika
konsunmsi dalam islam teori produksi •
Struktur pasar akonomi makro uang dan otoritas moneter
Soal Latihan 1. Menurut pendapat anda dari kelima pemikiran ekonomi islam kontemporer, tokoh manakah yang paling unggul? 2. Apa yang dimaksud dengan hak milik sebagai akibat?
358
DAFTAR PUSTAKA
•
Adiwarman,Karim.2008.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Jakarta:Raja Grafindo Persada
•
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam : Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2
•
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok: Gramata Publishing, 2005.
•
Amir , Faishol, Makalah Ekonom, http://makalahfifacom.blogspot. com/2018/11/28 /pem-ikiran-eekonomial-syaibani.html
•
Amzah Harun, Maidir dan Firdaus, 2001, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAINIB Press.
•
Amzah.Hakim, Moh. Nur, 2004, Sejarah dan Peradaban Islam, Jakarta: UMM Press.
•
Antonio, Muhammad Syafi’i dan Tim TAZKIA, 2012 Ensiklopedia Peradaban Islam Baghdad, Jakarta: Tazkia Publishing.
•
Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
•
Asy’ari, Hasyim. 2017. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
•
Asy-syurbasi, Ahmad. 2008. Sejarah dan Biografi Imam Empat Mazhab. Jakarta
359
•
As-Sirjani, Raghib, 2005, Ensiklopedi Sejarah Islami, Jakarta: Muassasah Iqra, 2005.
•
Biografi M umer Chapra daam “introduction Of Dr.M Umer
Chapra”,
http://www.google.com/M.umer
chapra/biografi.htm
• Boedi,Abdullah.2011.Peradaban
Pemikiran
Ekonomi
Pemikiran
Ekonomi
Islam.Bandung:Pustaka Setia.
• Boedi,Abdullah.2011.Peradaban Islam.Bandung:Pustaka Setia. •
Harun Nasution, islam ditinjau dari berbagai aspeknya (jakarta : UI press, 2002)Badri yatim, sejarah peradaban Islam, dirasa islamiyah ii (jakarta: Raja Grafindo persada, 2008)
•
https://en.wikipedia.org/wiki/mohammad_najtullah_siddi qui
•
http://en.wikipedia.org/wiki/nawab_haider_naqvi
•
http://ekonomipolitikislam.blogspot.co.id/2012/09/sejarah -lahirnya-ekonomi-islam.html
•
http://farikihsan.blogspot.co.id/2015/03/normal-0-falsefalse-false-en-us-x-none_13.html
•
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994).
•
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Umayyah I (Jakarta: Bulan Bintang,1977).
360
•
Janwari,Yadi. 2016. Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
• • •
Khallaf, Abdul Wahab. 1968. ‘Ilm Ushul Fiqh. Kairo: Dar al Kuwaitiyah Karim, Adiwarman Azhar. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Karya Toha Putra.
• Munawir,Sjadzali.2003.Islam dan Tata Negara: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:UI Press. •
Muhammad Husei Haikal, H. M. (2002). Terjemah Ali Audah . Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa.
•
(n.d.)http://www.iaei-pusat.org/article/ekonomisyariah/peranan-negara-dalam-perekonomianperspektif-islam-part-1-1?language=id.
•
Nasution, Zulfikar, Makalah Ekonom, https://zulfikarnasution.wordpress.com/2018/11/28/pemik iran-ekonomi-asy-syaibani/
•
Nasir, Syed Mahmudun, Islam its Concept and History (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981)
•
Philip K. Hitti, History of the Arab: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta , 2013) h. 271
•
Philip K. Hitti, History of The Arab, Macmillan Press td., 1970.
361
•
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, Edisi ke-5
•
Sunanto, Musyrifah, 2003, Sejarah Islam Klasik, Bogor: Prenada Media.
•
Supriyadi, Dedi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
•
Su’ud, Abu Su’ud, 2003, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
•
Tazkia, M. S. ( 2010). Ensiklopedia Ledership and Managemen Muhammad saw, The Super Leader Super Manager, Jilid 2. Jakarta: Tazkia Publishing.
•
Wahid, N. Abbas dan Suratno, 2009, Khazanah Sejarah Kebudayyan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
•
Watt, W. Montogomery, 1990, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,Yogyakarta: Tiara Wacana.
•
Thoir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
•
Yatim, Badri, 1993, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
•
Zubair. 2008. Kontribusi Abu Ubaid Ibn Salman Dalam Pengembangan Ekonomi Islam. Jakarta: Rabbani Pers.
•
Zallum, A. Q. (1983). Al Amwal fi Daulat al-Khilāfah . Beirut: Darul Malayin.
362