Buku Panduan Ews 2017 (last).docx

  • Uploaded by: dona
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Buku Panduan Ews 2017 (last).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,336
  • Pages: 20
Buku Pedoman EARLY WARNING & CODE BLUE SYSTEM

RSUD GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA Jl. Tentara Pelajar No. 22 Purbalingga, Jawa Tengah 1

I. APA YANG DIMAKSUD DENGAN EARLY WARNING DAN CODE BLUE SYSTEM RSUD GOETNG TAROENADIBRATA PURBALINGGA? Early Warning System (sistem peringatan dini) merupakan suatu sistem atau strategi untuk memonitor penurunan kondisi pasien di rumah sakit, dan memastikan bahwa tindakan resusitasi dilakukan secara efektif terhadap paasien dengan kegawatan medis termasuk kejadian henti jantung. Suatu kode yang merespon cepat kejadian henti jantung di rumah sakit (termasuk aktivasi tim advance kurang dari 10 menit) disebut dengan code blue. YANG DIMAKSUD DENGAN EARLY WARNING SCORING SYSTEM? Early Warning Score adalah suatu alat yang dikembangkan untuk memprediksi penurunan kondisi pasien yang secara rutin didapatkan dari pemeriksaan tekanan darah, nadi, kesadaran, sistem pernapasan dan lain-lain. Terhadap parameter yang dinilai, dilakukan skoring terhadap perubahan kondisi yang terjadi, semakin tinggi skor semakin menunjukkan kondisi yang mengancam jiwa dan harus dilakukan suatu treatment yang sesuai. Pada skor tertentu di mana kondisi yang mengancam jiwa terjadi maka harus diaktifkan suatu tim dengan kemampuan advance life support untuk

II. APA

MENGAPA EARLY WARNING SYSTEM PENTING? Patient Safety (keselamatan pasien) merupakan komponen dasar dari pelayanan kesehatan yang berkualitas. Prinsip utama pelayanan kesehatan adalah (First, do no harm). Sehingga program keselamatan pasien harus menjadi prioritas pengembangan untuk dapat dilakukan secara optimal di rumah sakit, sehingga upaya-upaya dalam peningkatan keselamatan pasien harus dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

III.

Gambar 1: Chain of Survival (langkah-langkah rantai keselamatan, pengenalan secara dini tanda-tanda kegawatan merupakan komponen dasar/pertama dari ranta keselamatan pasien. Kejadian kegawatan medis termasuk henti jantung dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak terbatas kepada pasien, tetapi dapat terjadi pada keluarga pasien, bahkan karyawan rumah sakit. Sistem pengenalan dini penurunan kondisi pasien (early warning system) adalah komponen pertama dari rantai keselamatan (“Chain of survival. Sebagian besar kasus kardiorespirasi arrest yang terjadi di rumah sakit secara umum didahului dengan periode penurunan kondisi klinis yang harus secara dini dikenali. 2

Diperlukan suatu sistem atau strategi terhadap penurunan kondisi pasien di rumah sakit, resusitasi secara optimal dan memastikan bahwa tindakan bantuan hidup dasar dan lanjut dilakukan secara efektif terhadap pasien dengan kegawatan medis termasuk kejadian henti jantung. Sistem ini melibatkan sumber daya manusia yang terlatih, peralatan dan obatobatan yang lengkap dengan standar operasional prosedur yang baku, yang disebut dengan code blue system. Aktivasi code blue system yang ideal harus mampu memfasilitasi resusitasi pada pasien dengan kegawatan medis dan kondisi henti jantung dengan respon yang adekuat. Meliputi response time, standar tim resusitasi, standar peralatan, dan standar perawatan paska resusitasi. Early Warning Score adalah suatu alat yang dikembangkan untuk memprediksi penurunan kondisi pasien yang secara rutin didapatkan dari pemeriksaan tekanan darah, nadi, kesadaran, sistem pernapasan dan lain-lain. Dengan pengenalan secara dini kondisi yang mengancam jiwa diharapkan dapat dilakukan respon yang sesuai termasuk melakukan assessment ulang secara detail, meningkatkan monitoring pasien, melapor ke kepala perawat atau dokter jaga, melaporkan ke dokter penanggung jawab pasien atau jika diperlukan aktivasi Medical emergency team/code blue team apabila memenuhi kriteria pemanggilan. Diharapkan dengan sistem ini kegawatan secara dini dapat dikenali, dan dapat dilakukan resusitasi segera serta perawatan pasien sesuai dengan level kegawatannya, apakah dapat dilakukan perawatan lanjutan di bangsal atau harus dilakukan perawatan di HCU atau ICU. IV.

TUJUAN a. Tujuan secara khusus 1. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam mengenali tanda kegawatan dan aktivasi sistem emergenSI 2. Mempercepat Response time tim resusitasi (tim medis reaksi cepat/tim henti jantung) 3. Meningkatkan kualitas resusitasi, stabilisasi, monitoring dan evaluasi pasien kritis 4. Meningkatkan kualitas kontrol dan evaluasi early warning dan code blue system Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan adalah area perawatan maupun non perawatan. Hal ini tidak termasuk area perawatan pasien kritis (IGD/ICU/ICU/NICU/HCU), yang tentunya telah memenuhi standar-standar pelayanan pasien kritis termasuk SDM, Sarana dan sistem nya.

Standar PAP 3.1 Staf klinis dilatih untuk mendeteksi (mengenali) perubahan kondisi pasien memburuk? dan mampu melakukan tindakan.

3

Maksud dan Tujuan PAP 3.1 Staf yang tidak bekerja di daerah pelayanan kritis/ intensif mungkin tidak mempunyai? pengetahuan dan pelatihan yang cukup untuk melakukan assesmen serta mengenali pasien yang akan masuk dalam kondisi kritis. Padahal, banyak pasien di luar dari? pelayanan kritis mengalami keadaan kritis selama dirawat inap. Sering kali pasien memperlihatkan tanda bahaya yang memburuk dan perubahan kecil status neurologis sebelum mengalami penurunan kondisi klinis yang meluas sehingga mengalami kejadian yang tidak diharapkan. Ada kriteria fisiologis yang dapat membantu staf untuk mengenali sedini-dininya pasien yang kondisinya memburuk. Sebagian besar pasien yang mengalami gagal jantung atau gagal paru sebelumnya memperlihatkan tanda-tanda fisiologis di luar kisaran normal yang merupakan indikasi keadaan pasien memburuk. Hal ini dapat diketahui dengan early warning system (EWS). Penerapan early warning system (EWS) membuat staf mampu mengidentifikasi keadaan pasien memburuk sedini-dininya dan bila perlu mencari bantuan staf yang kompeten. Dengan demikian hasil asuhan akan lebih baik. Pelaksanaan early warning system (EWS) dapat dilakukan menggunakan sistem skor. Semua staf dilatih untuk menggunakan early warning system (EWS).

Elemen Penilaian PAP 3.1 1. 2. 3. 4.

Ada regulasi pelaksanaan early warning system (EWS) (R) Ada bukti staf klinis dilatih menggunakan early warning system (EWS). (D,W) Ada bukti staf klinis mampu melaksanakan early warning system (EWS). (D,W S) Tersedia pencatatan hasil early warning system (EWS). (D,W)

PELAYANAN RESUSITASI Standar PAP 3.2 Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area rumah sakit Maksud dan Tujuan PAP 3.2 Pelayanan resusitasi diartikan sebagai intervensi klinis pada pasien yang mengalami kejadian mengancam hidupnya seperti henti jantung atau paru. Pada saat henti jantung atau paru maka 4

pemberian kompresi dada atau bantuan pernafasan akan berdampak pada hidup dan matinya pasien, setidaknya menghindari kerusakan jaringan otak. Resusitasi yang berhasil pada pasien dengan henti jantung atau paru bergantung pada intervensi yang kritikal/penting seperti secepat-cepatnya dilakukan defibrilasi dan bantuan hidup lanjut (advance) yang akurat (code blue). Pelayanan seperti ini harus tersedia untuk semua pasien selama 24 jam setiap hari. Sangat penting untuk dapat memberikan pelayanan intervensi yang kritikal, yaitu tersedia dengan cepat peralatan medis terstandar, obat resusitasi, dan staf terlatih yang baik untuk resusitasi. Bantuan hidup dasar harus dilakukan secepatnya saat diketahui ada tanda henti jantung-paru dan proses pemberian bantuan hidup kurang dari 5 (lima) menit. Hal ini termasuk review terhadap pelaksanaan sebenarnya resusitasi atau terhadap simulasi pelatihan resusitasi di rumah sakit. Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area rumah sakit termasuk peralatan medis dan staf terlatih, berbasi bukti klinis, dan populasi pasien yang dilayani (contoh, jika rumah sakit mempunyai populasi pediatri, peralatan medis untuk resusitasi pediatri). (Lihat PAB 3; KPS 8.1; TKP 9; MFK 8). Catatan: seluruh area rumah sakit tempat tindakan dan pelayanan diberikan, termasuk area tindakan diagnostik di gedung terpisah dari gedung rumah sakit. Elemen Penilaian PAP 3.2 1. Ada regulasi pelayanan resusitasi yang tersedia dan diberikan selama 24 jam setiap hari di seluruh area rumah sakit, serta peralatan medis untuk resusitasi dan obat untuk bantuan hidup terstandar sesuai dengan kebutuhan populasi pasien (lihat PAP 3, EP 3). (R) 2. Di seluruh area rumah sakit bantuan hidup dasar diberikan segera saat dikenal henti jantung-paru dan tindak lanjut diberikan kurang dari 5 menit. (W,S) 3. Staf diberi pelatihan pelayanan resusitasi. (D,W)

Medical Emergency Team/Rapid Response Team RRT maupun MET, merupakan tim yang melakukan intervensi secara dini pasien-pasien yang mengalami penurunan kondisi dengan tujuan untuk mencegah kejadian henti jantung di rumah sakit, tim ini terdiri dari petugas kesehatan yang memiliki keahlian dalam penatalaksanaan pasien kritis untuk bisa melakukan assessment secara dan memberikan intervensi secara cepat pada kondisi yang mengancam jiwa. Tim ini dilengkapi dengan peralatan resusitasi dan monitoring yang diperlukan pada saat resusitasi. Rata-rata publikasi penelitian tentang MET atau rapid response system dilaporkan telah menurunkan 17-65% angka kejadian henti jantung di rumah sakit setelah intervensi. Keuntungan lain yang telah didokumentasikan meliputi: 5

 Penurunan angka transfer emergensi yang tidak direncanakan ke ICU  Penurunan ICU dan total lama perawatan di rumah sakit  Penurunan angka mortalitas dan morbiditas post operatif di rumah sakit  Meningkatkan angka harapan hidup paska henti jantung di rumah sakit Implementasi dari rapid response sistem memerlukan edukasi yang berkelanjutan, evaluasi data, review dan feedback. Pengembangan dan pemeliharaan sistem ini memerlukan perubahan kultur jangka panjang dan komitmen finansial dari rumah sakit untuk mewujudkan kultur patient safety dengan tujuan utama untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. RSUD GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA merupakan rumah sakit daerah tipe C yang memberikan pelayanan pasien dengan problem kesehatan yang cukup komplek, sehingga harus memiliki kemampuan yang optimal dalam melakukan resusitasi pasien kritis dengan permasalahan yang komplek. Sebagai upaya untuk antisipasi kejadian henti jantung di rumah sakit, telah di bentuk code blue system dengan pusat pelayanan di UGD (Telp. 555). Tim code blue (tim sekunder) akan merespon panggilan spesifik dari tim primer apabila terjadi kondisi henti jantung atau henti napas. Respon time yang diharapkan dari tim sekunder adalah 10 menit. Tim sekunder terdiri dari seorang dokter umum dan 2 orang perawat. a. USULAN REDESAIN EARLY WARNING DAN CODE BLUE SYSTEM RSUD GOETENG PURBALINGGA. Melihat banyaknya kesenjangan antara sistem code blue yang baku dengan sistem code blue di RSUP dr Sardjito saat ini, maka beberapa pembenahan yang harus dilakukan meliputi: 1) Standarisasi sistem Early Warning dan Code Blue System



  

 

Secara prinsip Code Blue System di RSUP dr Sardjito harus mempunyai fungsi pencegahan adverse event berupa Early Warning System termasuk pengaktifan tim Medis Reaksi Cepat pada kondisi peri arrest Adanya 1 nomor telepon panggilan code blue system yang memudahkan petugas mengakses tim code blue rumah sakit Adanya standar pelayanan medis/Panduan praktek klinis untuk tim medis reaksi cepat (TMRC) dan tim henti jantung sehingga tim dapat bekerja dengan optimal. SOP pasien dengan terminal ill/DNR perlu ditegakkan di RSUP dr Sardjito, sehingga pasien kondisi terminal yang mengalami henti jantung-henti napas tidak pelu dilakukan aktivasi code blue system Perlunya penggolongan pasien berdasarkan kondisi klinis dan level perawatannya (penggunaan istilah LOC (level of Care) Adanya rekam medis Early Warning dan code blue system

2) Standarisasi Petugas (Tim medis reaksi cepat/dan tim henti jantung)



Perlu dibentuk tim medis reaksi cepat/TMRC (komponen terdiri dari residen senior dan perawat 2 orang (dengan kemampuan advance life support). Shift jaga diatur sehingga dapat memberikan pelayanan selama 24 jam.

Tim residen senior (dengan kemampuan Advance Life Support) terdiri dari: 6

   

Residen anestesia: untuk merespon panggilan code blue kegawatan medis pasien dewasa non cardiac Residen cardiologi: untuk merespon panggilan code blue kegawatan medis pasien dewasa non cardiac Residen anak: untuk merespon panggilan code blue kegawatan medis pasien dewasa non cardiac Perawat (2 personel) Dengan komponen tim seperti di atas maka, penatalaksanaan pasien kritis akan sesuai dengan bidang keilmuannya, selain itu untuk akses paska resusitasi ke bangsal intensif (ICU/ICCU/PICU/NICU) dapat dilakukan secara langsung oleh tim resusitasi.

   

Tim medis reaksi cepat tidak bertugas di tempat lain sehingga saat ada panggilan code blue dapat fokus melakukan resusitasi pada pasien hingga fase transport. Perlunya ada pelatihan teknis medis dan sistem pada Tim medis reaksi cepat/tim henti jantung Perlunya sosialisasi sistem ke seluruh petugas (perawat bangsal, dokter jaga, DPJP)

3) Standarisasi Sarana

1. Perlu adanya markas tim medis reaksi cepat 2. Sarana komunikasi (1 nomor panggilan (999) 3. Perlunya area yang sesuai untuk pasien paska resusitasi (HCU yang mengakomodasi pasien bangsal dan area paliatif) 4. Perlengkapan emergency (kit emergency) dan monitor portabel 5. Adanya poster/buku saku panduan Early Warning dan Code Blue System b. ALUR/SISTEM EARLY WARNING DAN CODE BLUE (gambar 5)

Mengacu pada standar Early Warning System yang baku (NEWS, Wellington Early Warning Score) berikut kami sampaikan usulan alur Code Blue System yang tentunya disesuaikan dengan kondisi dan situasi di RSUP Dr Sardjito. 1) Pada pasien yang stabil di bangsal (parameter putih (skor 0)), maka monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala setiap 12 jam, adanya perubahan parameter fisiologis dan keluhan pasien akan selalu di monitor dan di evaluasi 2) Apabila terjadi penurunan kondisi pasien, maka lakukan pemeriksaan tanda vital secara menyeluruh meliputi 7 parameter yaitu laju pernapasan, saturasi oksigen, penggunaan suplementasi O2, tekanan darah sisolik, temperatur, laju jantung dan kesadaran. 3) Tentukan skor pasien, apakah skor 1-4 (resiko rendah), jika ya, maka respon selanjutnya adalah, assessment segera oleh perawat senior (response time maksimal 5 menit), eskalasi perawatan (manajemen nyeri, demam, terapi oksigen dll), jika diperlukan assessment oleh dokter jaga (residen senior) jika tidak, langkah selanjutnya.... 7

4) Apakah skor 5-6 (resiko sedang) jika ya, maka respon selanjutnya adalah assessment segera oleh dokter jaga bangsal (residen senior) dengan response time maksimal 5 menit , eskalasi perawatan dan terapi, dan tingkatkan frekuensi monitoring, minimal setiap 1 jam (pindahkan ke area yang sesuai/area dengan fasilitas bed side monitor (HCU)). jika tidak, langkah selanjutnya... 5) Apakah skor 7 atau lebih (resiko tinggi), jika ya, maka respon selanjutnya adalah lakukan resusitasi dan monitoring secara kontinyu, aktivasi tim medis reaksi cepat (telepon 999), jika waktu telah memungkinkan panggil dokter jaga bangsal dan konsultasikan ke dokter penanggung jawab pasien (DPJP) jika tidak, langkah selanjutnya.. 6) Apakah pasien mengalami henti jantung (nadi karotis tidak teraba), jika ya lakukan RJP (Resusitasi Jantung dan Paru) dengan high quality, ambil troli emergency termasuk defibrilator. Panggil/aktivasi henti jantung ke nomor telepon 999. Penerima telepon (tim medis reaksi cepat/TMRC) akan menganalisis informasi dan mengaktifkan tim henti jantung terdekat untuk menuju lokasi (response time maksimal 5 menit). Tim medis reaksi cepat segera menuju lokasi kejadian henti jantung untuk melakukan resusitasi lanjutan. 7) Manajemen paska resusitasi, tentukan Level of care pasien (LOC), transport ke area yang sesuai  Pasien dengan LOC (0) yaitu pasien dengan kondisi stabil dilakukan perawatan di 

bangsal umum. Pasien dengan LOC (1) yaitu pasien dengan potensial penurunan kondisi tetapi masih cukup stabil dilakukan perawatan di bangsal umum dengan pengawasan khusus dari tim spesialis.

Pasien dengan LOC (2) pasien yang memerlukan observasi ketat dan intervensi termasuk support untuk single organ dilakukan perawatan di HCU (High Care Unit)  Pasien dengan LOC (3) yaitu pasien dengan support pernapasan lanjut atau support pernapasan dasar dengan sekurang-kurangnya support 2 organ sistem lainnya dilakukan perawatan di bangsal perawatan intensif.  Pasien dengan problem stadium terminal/DNR (do not resuscitate) dilakukan perawatan lanjutan di ruang paliatif. Keterangan: Penentuan resiko pasien dan aktivasi/assessment termasuk pemanggilan tim medis reaksi cepat termasuk kegawatan lain yang tidak tercantum dalam parameter fisiologis di atas (misal low urine output, chest pain, obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa, kejang dll), dan keputusan klinis dilakukan oleh tim yang melakukan assessment pasien. 

8

Gambar 4: Pasien paska resusitasi harus mendapatkan tempat sesuai dengan level kegawatannya. HCU (untuk pasien LOC 2) dan area paliatif (untuk pasien DNR, terminal ill) mutlak harus disediakan oleh rumah sakit sardjito sehingga penatalaksanaan pasien paska resusitasi lebih optimal.

c. ALUR AKTIVASI TIM MEDIS REAKSI CEPAT & TIM HENTI JANTUNG OPSI 1 : Aktivasi kegawatan medis (gambar 5) Apabila terjadi kondisi dengan kegawatan medis, maka langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut: 1) Petugas primer menjumpai skor EWS > 7 atau salah satu kriteria blue skor, meminta bantuan petugas lain , melakukan resusitasi ABC 2) Minta petugas lain untuk mengaktifkan code blue 999 (dengan kegawatan medis) dan mengambil troli emergency terdekat. 3) Telepon diterima oleh anggota Tim Medis Reaksi Cepat (TMRC), dilakukan analisis terhadap informasi yang masuk (kondisi pasien, lokasi dll). 4) Tim medis reaksi cepat segera datang (response maksimal 10 menit) 5) Dilakukan resusitasi secara optimal oleh Tim Medis Reaksi Cepat dan petugas primer 6) Paska resusitasi pasien ditentukan level perawatannya (Level of Care) dan dilakukan transport jika telah memenuhi kelayakan transport baik kondisi pasien, peralatan dan obat-obatan dan kesiapan area yang akan dituju. 7) Mengisi lembar rekam medik resusitasi code blue secara lengkap 8) Informasikan/konsultasikan ke DPJP

Bb Gambar 5: Alur Early Warning dan Code Blue System RSUP dr Sarjdito

9

Gambar 6: Alur aktivasi Tim Medis Reaksi Cepat dan Tim Henti Jantung RSUP Dr Sardjito OPSI 2 : Aktivasi henti jantung/henti napas (gambar 6) Apabila terjadi kondisi henti napas dan henti jantung, maka langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut: 1) Petugas primer (yang pertama kali menjumpai kondisi henti jantung) meminta bantuan penolong lain dan melakukan RJP dengan kualitas tinggi 2) Minta penolong lain untuk mengaktifkan code blue 999 (dengan henti jantung) dan mengambil troli emergency terdekat. 3) Telepon diterima oleh anggota Tim Medis Reaksi Cepat (TMRC), dilakukan analisis terhadap informasi yang masuk (kondisi pasien, lokasi dll). 4) Anggota tim medis reaksi cepat akan melakukan aktivasi tim henti jantung (telepon sesuai lokasi/area yang yang terdekat), contoh di area/bangsal dekat dengan PICU maka panggilan/aktivasi ke tim henti jantung PICU (736). 5) Tim Henti jantung dari PICU harus merespon dan datang ke pasien dalam waktu kurang dari 5 menit (response time maksimal 5 menit) 6) Resusitasi dilakukan secara adekuat oleh tim primer dan tim henti jantung. 10

7) Tim medis reaksi cepat segera datang untuk bergabung dan menggantikan peran tim henti jantung sebagai leader tim (response maksimal 10 menit) 8) Paska resusitasi pasien ditentukan level perawatannya (Level of Care) dan dilakukan transport jika telah memenuhi kelayakan transport baik kondisi pasien, peralatan dan obat-obatan dan kesiapan area yang akan dituju. 9) Mengisi lembar rekam medik resusitasi code blue secara lengkap Informasikan/konsultasikan ke DPJP

11

DEFINISI LEVEL PERAWATAN

Kriteria Level 0 Memerlukan rawat inap Kebutuhan dapat dipenuhi melalui perawatan bangsal biasa

Contoh  Terapi intravena  Observasi yang dibutuhkan kurang dari setiap 4 jam

12

Kriteria Level 1

Contoh

Pasien yang baru saja keluar dari level perawatan yang lebih tinggi

 Pasien yang membutuhkan observasi minimal setiap 4 jam

Pasen yang memerlukan monitoring/intervensi klinis tambahan, masukan klinis atau saran

 Membutuhkan observasi minimal setiap 4 jam berdasarkan kebutuhan klinis.  Membutuhkan terapi oksigen kontinyu.  Bolus cairan intravena (kebutuhan tidak ditentukan oleh CVP).  Analgesia epidural atau sedang menggunakan PCA (Patient Controlled Analgesia)  Nutrisi parenteral.  Pasien bedah pasca operasi yang masih membutuhkan pengamatan setiap 4 jam.  Memerlukan administrasi obat bolus intravena bolus melalui Central Venous Catheter (CVC)  Dengan trakeostomi.  Dengan drain dada in situ.  Memerlukan penilaian GCS minimal setiap 4 jam.  Dengan diabetes yang menerima infus insulin kontinyu.  Pasien yang berisiko mengalami pneumonia aspirasi.  Dukungan stabilisasi ginjal intermiten  Membutuhkan fisioterapi pernafasan untuk mengobati atau mencegah gagal napas.  Memerlukan pengukuran laju Peak Expiratory Flow (PEF) untuk alasan klinis yang sering (> 2x hari)  Tanda vital yang tidak normal namun tidak memerlukan tingkat perawatan kritis yang lebih tinggi.  Resiko kemunduran klinis dan kebutuhan potensial untuk naik ke perawatan level 2. Pasien yang memenuhi kategori risiko "medium" seperti yang didefinisikan oleh NICE Guideline No: 50.

Pasien yang membutuhkan dukungan pelayanan di luar perawatan kritis

Kriteria Level 2

Contoh

Pasien yang membutuhkan optimasi pra operasi

 Optimasi kardiovaskular, ginjal atau respirasi diperlukan sebelum operasi.  Pemantauan invasif dimasukkan untuk membantu optimasi (jalur arteri, dan CVP seminimal mungkin).

Pasien yang memerlukan perpanjangan

 Perawatan segera setelah operasi elektif mayor. 13

waktu perawatan pasca operasi

 Operasi darurat pada pasien yang tidak stabil atau berisiko tinggi.  Bila terdapat risiko komplikasi pasca operasi atau kebutuhan untuk intervensi dan monitoring yang lebih.

Pasien yang turun dari level 3 ke level 2

 Memerlukan minimal pengamatan per jam.  Berisiko mengalami kemunduran dan membutuhkan perawatan level 3 lagi

Pasien yang mendapat Single Organ Support Pengecualian: Dukungan Pernapasan dan Kardiovaskular Dasar yang terjadi bersamaan tanpa dukungan organ lain harus dipertimbangkan sebagai Level 2 dan Dukungan Respirasi Lanjutan (Advanced Respiratory Support) sendiri masuk di Level 3 Pasien yang menerima Basic Respiratory Support

(NB: Bila Dukungan Pernapasan dan Kardiovaskular Dasar diberikan bersamaan pada saat perawatan kritis yang sama dan tidak diperlukan dukungan organ lain, perawatan dianggap sebagai perawatan Level 2)

Diindikasikan oleh satu atau beberapa hal berikut:  Tekanan udara positif dengan mask/hood CPAP atau mask/hood bi-level (ventilasi non-invasif)  Pasien yang diintubasi untuk melindungi jalan napas tapi tidak memerlukan bantuan ventilasi  CPAP melalui trakeostomi  Lebih dari 50% oksigen diberikan dengan face mask. (Catatan, lebih dari 50% telah dipilih untuk mengidentifikasi pasien yang sakit parah di rumah sakit). Peningkatan jangka pendek FiO2 untuk memudahkan prosedur seperti transfer atau fisioterapi tidak memenuhi syarat.  Observasi yang ketat karena potensi kerusakan akut sampai memerlukan dukungan pernafasan lanjut. (mis., jalan napas terganggu atau fungsi otot pernafasan yang memburuk).  Fisioterapi atau suction untuk membersihkan sekret setidaknya setiap dua jam, baik melalui trakeostomi, minitrakeostomi, atau dengan tidak adanya jalan nafas buatan.  Pasien yang baru (dalam waktu 24 jam) diekstubasi setelah ventilasi mekanis selama lebih dari 24 jam menggunakan ET.

NB: Adanya trakeostomi yang digunakan untuk akses jalan nafas jangka panjang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan pernafasan dasar.

14

Pasien yang menerima Basic Cardiovascular Support

(NB: Bila Dukungan Pernapasan dan Kardiovaskular Dasar diberikan bersamaan pada saat perawatan kritis yang sama dan tidak diperlukan dukungan organ lain, perawatan dianggap sebagai perawatan Level 2)

Pasien yang menerima Advanced Cardiovascular Support

(NB: Dukungan Kardiovaskular Dasar akan sering terjadi sebelum Dukungan Kardiovaskular Lanjutan, sehingga seharusnya Dukungan Kardiovaskular Lanjutan dan Dukungan Kardiovaskular Dasar tidak tercatat pada hari yang sama. Apabila hal tersebut terjadi, maka Dukungan Kardiovaskular Lanjutan menggantikan Dukungan Kardiovaskular Dasar)

Pasien yang menerima Renal Support

Pasien yang menerima Neurological Support

Diindikasikan oleh satu atau beberapa hal berikut:  Penggunaan jalur CVP untuk memantau tekanan vena sentral dan/ atau pemberian akses vena sentral untuk memberikan cairan yang dititrasi untuk mengatasi hipovolemia.  Penggunaan jalur arterial untuk memantau tekanan arteri dan/ atau pengambilan sampel darah arteri.  Obat vasoaktif intravena tunggal yang digunakan untuk mendukung atau mengendalikan tekanan arteri, curah jantung atau perfusi organ.  Obat pengontrol irama jantung intravena tunggal/multipel untuk mengendalikan aritmia jantung Diindikasikan oleh satu atau beberapa hal berikut:  Obat vasoaktif intravena multtipel dan/ atau obat pengontrol irama jantung ketika digunakan secara bersamaan untuk mengendalikan tekanan arterial, curah jantung atau perfusi organ/ jaringan (misalnya inotrop, amiodarone, nitrat). Untuk memenuhi syarat status dukungan lanjutan, setidaknya satu obat harus bersifat vasoaktif.  Observasi kontinyu curah jantung dan indeks turunan (misalnya kateter arteri pulmonalis, dilusi lithium, analisis kontur nadi, Doppler esofagus, metode impedansi dan konduktansi).  Balon intra aorta (IABP) dan alat bantu lainnya.  Penyisipan alat pacu/pacemaker jantung sementara (kriteria berlaku untuk setiap penghubungan terapeutik ke unit alat pacu jantung eksternal yang berfungsi) Diindikasikan oleh:  Terapi penggantian renal akut (misalnya, hemodinamik, hemofiltrasi dll) atau  Pemberian terapi penggantian ginjal kepada pasien gagal ginjal kronis yang membutuhkan dukungan akut organ lainnya di tempat perawatan kritis. Diindikasikan oleh satu atau beberapa hal berikut:  Depresi sistem saraf pusat yang mengurangi jalan nafas dan refleks pelindung, tidak termasuk yang disebabkan oleh sedasi yang dilakukan untuk memudahkan ventilasi mekanis atau keracunan (misalnya overdosis, alkohol, obat-obatan terlarang 15

Pasien yang menerima Dermatological Support

atau disengaja).  Monitoring atau tindakan neurologis invasif, mis. ICP, sampling jugular bulb, drainase ventrikel eksternal.  Obat intravena kontinu untuk mengendalikan kejang dan/ atau monitoring kontinyu serebral.  Hipotermia terapeutik dengan menggunakan protokol atau perangkat pendingin. Diindikasikan oleh satu atau beberapa hal berikut  Pasien dengan ruam kulit mayor, pengelupasan kulit atau luka bakar. (misalnya lebih dari 30% luas permukaan tubuh yang terpengaruh).  Penggunaan dressing kompleks (misalnya area kulit lebih besar dari 30% luas permukaan tubuh, abdomen terbuka, dressing vakum, atau trauma besar seperti anggota gerak multipel atau anggota gerak dan pembalut kepala).

Kriteria Level 3 Pasien yang menerima Advanced Respiratory Support saja

(NB: Dukungan Pernapasan Dasar akan sering terjadi sebelum Dukungan Pernapasan Lanjutan, sehingga seharusnya Dukungan Pernapasan Lanjutan dan Dukungan Pernapasan Dasar tidak tercatat pada hari yang sama. Apabila hal tersebut terjadi, maka Dukungan Pernapasan Lanjutan menggantikan Dukungan Pernapasan Dasar)

Contoh Diindikasikan oleh salah satu dari berikut ini:  Dukungan ventilasi mekanik invasif menggunakan translaryngeal tracheal tube atau melalui trakeostomi.  Tekanan udara positif bi-level yang diberikan melalui trans-laryngeal tracheal tube atau melalui trakeostomi.  CPAP melalui trans-laryngeal tracheal tube.  Dukungan pernapasan extracorporeal.

ATAU

Contoh:

Pasien yang menerima minimal 2 Organ Support

 Dukungan Pernapasan dan Neurologis Dasar  Dukungan Pernapasan dan Hepatik Dasar  Dukungan Pernapasan dan Ginjal Dasar 16

(NB: Pernapasan dan Kardiovaskular Dasar tidak dihitung sebagai 2 organ jika terjadi bersamaan (lihat di atas di bagian perawatan Level 2), namun akan dihitung sebagai Level 3 jika terdapat organ lain yang memerlukan dukungan pada saat yang bersamaan)

    

Dukungan Kardiovaskular dan Hepatik Dasar Dukungan Kardiovaskular dan Ginjal Dasar Dukungan Kardiovaskular dan Hepatik Lanjutan Dukungan Kardiovaskular dan Hepatik Lanjutan Dukungan Kardiovaskular dan Neurologis Lanjutan

Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif a. Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. b. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien memasuki atau memulai perawatan paliatif. c. Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya. d. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk pengesahannya. e. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.

17

18

Referensi: American Heart Association. 2015 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care in : Circulation 2015 European Resuscitation Council (ERC), (2015), Guidelines for Resuscitation:Executive summary, Resuscitation pp. 1-80 Graves, J. (2007). Code blue manual, Royal Brisbane & Womens Hospital Service District, Quensland ICSI (Institut for Clinical System Improvement) 2011, Health care protocol: Rapid Response Team, Fourth edition. Intensive Care Society, (2009), Levels of Critical Care for Adult Patients: Standard and guideline Keputusan Menteri Kesehatan RI no HK 03.05/I/2063/11 tentang petunjutk Teknis High Care Unit (HCU) di Rumah sakit DeVita, MA, M.D. Hillman, K, M, Bellomo, R, 2006, Medical Emergency Teams Implementation and Outcome Measurement Springer Science+Business Media, Inc National Early Warning Score (NEWS), 2012 Standardising the assessment of acute-illness severity in the NHS, Royal College of Physicians, London Psirides, A, Pedersen A, 2015, Proposal for A National New Zealand Early Warning Score & Vital Sign Chart, Wellington Regional Hospital KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan Palliative Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2010 American Academy of Pediatrics. Akre M, Finkelstein M, Erickson M, Liu M, Vanderbilt L, Billman G. Sensitivity of the Pediatric Early Warning Score to Identify Patient Deterioration.

19

20

Related Documents

Panduan Ews Nabire.docx
April 2020 20
Ews
August 2019 35
Buku Panduan Skripsi
December 2019 53

More Documents from "hidayatzahir"