ORANGUTAN BATANG TORU
Wanda Kuswanda
FORDA PRESS 2014
ORANGUTAN BATANG TORU: KRITIS DI AMBANG PUNAH Penulis: Wanda Kuswanda Editor: M. Bismark, Agus P. Kartono, dan Pujo Setio Desain Sampul: Wendra S. Manik Tata Letak: FORDA PRESS Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2014 xvi + 188 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-71770-4-8 Diterbitkan oleh: FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62251 7520093 Email:
[email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh: BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI Jl. Raya Parapat Km. 10,5 Sibaganding, Simalungun, Sumatra Utara 21174 Telp./Fax. +62622 5891963 Email:
[email protected] Website: http://bpk-aeknauli.litbang.dephut.go.id/ atau http://balithut-aeknauli.org/
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan KUSWANDA, Wanda Orangutan Batang Toru: Kritis di Ambang Punah / Wanda Kuswanda. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014 xvi, 188 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-4-8 1. Orangutan – Batang Toru, Sumatra Utara – Konservasi I. Kuswanda, Wanda II. Judul
KATA PENGANTAR
Pertama dan yang utama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkah dan karuniaNya sehingga Buku ”Orangutan Batang Toru: KRITIS di ambang PUNAH” telah selesai disusun. Penyusunan buku ini merupakan bentuk tanggung jawab penulis sebagai peneliti dalam upaya menyebarluaskan informasi hasil penelitian. Isi buku ini merupakan rangkaian dari berbagai publikasi dan hasil penelitian penulis yang telah dilakukan mulai tahun 2003– 2011, serta telaahan hasil penelitian dari para pakar lainnya. Kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, menjadi acuan penyusunan kebijakan dan panduan para pihak terkait lainnya dalam pelaksanaan konservasi satwa liar, khususnya orangutan Sumatra. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunannya. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada para narasumber, pejabat struktural dan peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, penelaah ilmiah (Prof. Dr. M. Bismark, Dr. Agus P. Kartono dan Drh. Pujo Setio, M.Si), kontributor data, rekan kerja di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, petugas dan pendamping lapangan (khususnya petugas Seksi Wilayah Pengelolaan Sipirok, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara dan Bang Nasir “ParMawas” Siregar), Sumatra Rainforest Institute (SRI),
v
serta para pihak lainnya yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan buku ini. Semoga Allah SWT dapat membalas kebaikan semuanya. Penulis menyadari bahwa buku ini masih belum sempurna sehingga kritikan dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan kedepannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan dan konservasi satwa liar, khususnya orangutan; yang efektif, efisien, dan partisipatif. Akhirnya, penulis berharap kehadiran buku ini dapat menjadi pemicu keikutsertaan para pihak dalam melestarikan orangutan sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia yang populasinya kritis dan sudah berada di ambang kepunahan. Aek Nauli, Desember 2014 Penulis
vi
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI Orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) merupakan satwa endemik yang sebaran alaminya hanya tersisa di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara, dengan status konservasi sebagai satwa yang kritis terancam punah. Salah satu habitatnya yang masih cukup baik adalah di Hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara. Keberadaan orangutan Batang Toru (sebelah Selatan Danau Toba) telah menarik perhatian banyak pihak karena diduga memiliki pola kehidupan yang berbeda dengan orangutan di Aceh (sebelah Utara Danau Toba). Kualitas dan luas habitat orangutan Batang Toru saat ini diduga terus menurun karena masih maraknya aktivitas konversi hutan menjadi areal perkebunan, pertanian dan pemukiman masyarakat. Sebagian besar penduduk sekitarnya bermata pencaharian sebagai petani. Untuk itu, upaya konservasinya menjadi sangat penting karena sebaran populasinya terus terfragmentasi pada luasan habitat yang sempit, seperti pada kawasan konservasi. Segala upaya sebaiknya terus ditempuh untuk melestarikan orangutan melalui tindakan yang nyata, bijaksana, dan rasional. Kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi bagian solusi bagi para pihak untuk mewujudkan upaya konservasi tersebut. Buku ini menyajikan secara lengkap informasi
vii
tentang bioekologi dan perilaku orangutan, kondisi masyarakat, kelembagaan, sampai strategi konservasi orangutan Batang Toru. Penyusunan buku ini berdasarkan hasil penelitian dan review publikasi penulis selama bekerja di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Buku ini tentunya akan sangat menarik untuk dibaca dan dijadikan referensi bagi para pihak yang terkait dalam upaya konservasi orangutan Sumatra. Penghargaan dan terima kasih, kami sampaikan kepada penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Besar harapan terpublikasinya buku ini dapat bernilai guna bagi para pihak yang membutuhkannya.
Aek Nauli, Desember 2014 Kepala Balai,
Ir. Iton Bambang Partono B. D. NIP. 19581115 198703 1 004
viii
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Hutan
tropis di Pulau Sumatra merupakan habitat
beragam jenis satwa langka dan dilindungi oleh undangundang, seperti orangutan (Pongo abelii Lesson). Degradasi kawasan hutan di Sumatra telah mengakibatkan habitat orangutan berkurang dan terus terfragmentasi sehingga populasi orangutan juga semakin menurun, termasuk di sekitar kawasan Hutan Batang Toru, Sumatra Utara. Saat ini, orangutan Sumatra telah menjadi satwa prioritas untuk dilakukan upaya konservasi oleh Kementerian Kehutanan. Walaupun menjadi maskot pelestarian hutan di Indonesia, prioritas konservasi didasarkan pada statusnya yang sudah termasuk sebagai satwa kritis terancam punah. Hasil penelitian tentang orangutan Sumatra di Hutan Batang Toru belum banyak dipublikasikan dibandingkan dengan orangutan yang berada di Provinsi Aceh. Hal ini tentunya masih menyulitkan bagi para pengambil kebijakan dan praktisi lapangan dalam merumuskan strategi dan aksi konservasi orangutan yang komprehensif di Hutan Batang Toru. Padahal, pelaksanaan konservasi tersebut harus segera diimplementasikan karena sangat rawan akan terjadi kepunahan orangutan Sumatra secara lokal. Isi buku ini mengulas secara lengkap tentang bioekologi orangutan Sumatra berdasarkan hasil kajian ilmiah dan pada bagian akhir dipaparkan berbagai strategi dan teknik untuk
ix
pelaksanaan konservasinya. Untuk itu, buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dan sekaligus solusi bagi para pihak (pemerintah, peneliti, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat) dalam mengembangkan penelitian dan program aksi konservasi orangutan, khususnya di Hutan Batang Toru. Ucapan terima kasih disampaikan kepada penulis, kontributor dan penelaah ilmiah, serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dan penerbitan buku ini. Akhirnya, semoga kehadiran buku ini dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan upaya pelestarian orangutan dan kawasan hutan pada umumnya.
Bogor, Desember 2014 Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
v
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI
vii
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI
ix
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
x
I. A. B. C. D.
PENDAHULUAN Ambang Kepunahan Orangutan Kerusakan Hutan Tropis Habitat Orangutan Perkembangan Penelitian Orangutan Sumatra Perkembangan Paradigma Pelaksanaan Konservasi
1 1 4 6 7
II. A. B.
GAMBARAN HUTAN BATANG TORU Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok
11 19 21
III. A. B. C.
SEJARAH, TAKSONOMI DAN SEBARAN Sejarah Taksonomi dan Morfologi Sebaran
27 27 28 29
IV. A. B. C. D. E.
HABITAT Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan Tumbuhan Pakan Orangutan Daya Dukung Habitat Pemilihan Tipe Habitat Seleksi Sumber Daya Habitat
33 34 39 45 49 52
xi
V. A. B. C.
SARANG DAN POPULASI Karakteristik Sarang Pendugaan Populasi Parameter Demografi
61 61 67 71
VI. A. B. C.
PERILAKU Jenis Perilaku Orangutan Aktivitas Harian Adaptasi Terhadap Perubahan Habitat
75 75 79 88
VII. ANCAMAN KELESTARIAN A. Kerusakan Habitat B. Perburuan VIII. MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA A. Karakteristik Sosial Ekonomi B. Lahan Olahan Masyarakat
99 100 103
IX. PERSEPSI DAN PERANAN PARA PIHAK A. Persepsi Para Pihak B. Peranan Kelembagaan
109 109 117
X. A. B. C. D. E. F. G. H.
125 128 137 146 147 149 151 155 162
STRATEGI KONSERVASI Perlindungan Habitat pada Hutan Konservasi Pengelolaan Habitat di Luar Hutan Konservasi Restorasi Habitat Pembangunan Koridor Monitoring dan Pengembangan Penelitian Pemberdayaan Kelembagaan Terkait Translokasi dan Reintroduksi Penggalangan Dana Konservasi
DAFTAR PUSTAKA
xii
91 91 97
171
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perubahan penutupan lahan hutan primer habitat orangutan Sumatra (2002–2009) 2. Komposisi luasan Blok Hutan Batang Toru pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara 3. Lokasi dan perkiraan luas habitat dan populasi orangutan Sumatra 4. Nilai Chi-square analisis pemilihan tipe habitat oleh orangutan 5. Variable in the Equation dari regresi logistik 6. Kriteria umur sarang orangutan 7. Klasifikasi posisi sarang orangutan 8. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok Sibual-buali 9. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok Sipirok
5 12 30 51 57 63 65 68 70
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Kawasan Blok Hutan Batang Toru 2. Ekosistem hutan alam Blok Hutan Batang Toru 3. Habitat orangutan di kawasan Hutan Batang Toru 4. Peta Kawasan CA Dolok Sibual-buali 5. Tanaman budi daya masyarakat di sekitar CA Sibualbuali 6. Peta kawasan dan ketinggian CA Dolok Sipirok 7. Satwa liar primata yang terdapat di CA Dolok Sipirok: 1) siamang (Hylobates syndactylus) dan 2) ungko (Hylobathes agilis) 8. Peta sebaran habitat orangutan Sumatra 9. Habitat orangutan dataran tinggi CA Dolok Sibual-buali 10. Komposisi tumbuhan pada berbagai tipe habitat di CA Dolok Sipirok 11. Kerapatan tumbuhan pada ketinggian 900–1.200 m dpl di CA Dolok Sipirok 12. Beringin adalah jenis tumbuhan yang dikonsumsi daun dan buahnya 13. Motung, salah satu jenis tumbuhan pakan yang disukai orangutan 14. Penelitian serasah daun pada pohon pakan orangutan 15. Buah asam hing yang banyak dikonsumsi orangutan 16. Komposisi tumbuhan pada ketinggian 600–900 m dpl 17. Kerapatan tumbuhan pada hutan sekunder di CA Dolok Sipirok 18. Sarang orangutan pada tingkat tiang
xiv
13 14 17 18 21 23
24 31 35 36 37 39 40 43 44 53 54 59
19. Sarang khas orangutan; terdapat dua sarang dalam satu pohon 20. Deskripsi sarang pada berbagai kelas umur 21. Orangutan Batang Toru (betina dewasa dan bayinya) 22. Perilaku makan orangutan Batang Toru 23. Perilaku berjalan di batang pohon 24. Orangutan beristirahat siang di atas sarang 25. Durasi aktivitas orangutan pada pagi hari berdasarkan kelas umur 26. Aktivitas makan orangutan pada pagi hari 27. Durasi aktivitas orangutan pada siang hari berdasarkan kelas umur 28. Durasi aktivitas orangutan pada sore hari berdasarkan kelas umur 29. Penebangan liar di sekitar CA Dolok Sipirok 30. Perambahan hutan konservasi untuk lahan perkebunan 31. Jaringan jalan yang membelah Hutan Batang Toru 32. Orangutan sitaan dari peliharaan masyarakat 33. Perkampungan masyarakat penyangga di Desa Hopong, Sipirok 34. Lahan pertanian sawah yang berbatasan langsung dengan hutan cagar alam 35. Hutan rakyat dengan tanaman kayu manis 36. Perkebunan karet campur tanaman aren pada lahan masyarakat 37. Diskusi dan pengisian kuisioner bersama masyarakat dan aparat desa 38. Pengisian kuisioner oleh pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan 39. Habitat orangutan di hutan produksi yang masih primer
61 64 73 75 76 79 80 81 83 84 92 93 95 97 101 102 105 106 111 120 143
xv
I. PENDAHULUAN
A.
Ambang Kepunahan Orangutan
Orangutan
adalah satu-satunya primata jenis kera
besar Asia yang penyebarannya hanya tersisa di Indonesia dan terbatas di Pulau Sumatra (Pongo abelii Lesson) dan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus). Orangutan merupakan jenis satwa liar yang menarik sehingga banyak diburu dan dijadikan satwa peliharaan. Orangutan telah termasuk sebagai jenis satwa liar yang dilindungi berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), orangutan Sumatra (Pongo abelii) dikategorikan sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global (critically endangered) dalam the IUCN Red List of Threatened Species sejak tahun 2000 (Singleton et al., 2008). Populasi orangutan dalam 30 tahun terakhir terus mengalami penyusutan. Populasi orangutan Sumatra pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 7.500 individu (Population and Habitat Viability Assessment/PHVA, 2004) dan diduga berkurang menjadi 6.667 individu pada tahun 2007 (Departemen Kehutanan, 2007). Penyusutan populasi ini terjadi karena masih kurang efektif upaya untuk
1
menghentikan laju kerusakan hutan sebagai habitat orangutan. Selain itu, ancaman bagi kelangsungan hidup orangutan dan habitatnya masih terjadi akibat perburuan liar untuk kebutuhan subsisten atau religius, perdagangan satwa liar; dan konversi hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan, seperti perkebunan, pertanian, dan industri (Kuswanda, 2007a; Wich et al., 2011a). Orangutan pada saat ini sudah berada di ambang kepunahan akibat degradasi dan fragmentasi habitat. Laju degradasi dan fragmentasi hutan sebagai habitat orangutan tersebut masih sulit untuk dihentikan (FAO, 2010). Selain itu, perlindungan habitat orangutan di dalam dan di luar kawasan konservasi masih sangat rendah. Secara umum, pengusahaan hutan atau kegiatan logging belum memenuhi standar pengelolaan hutan lestari. Program Reduce Impact Logging (RIL), High Conservation Value Forest (HCVF), ataupun Restoring Logged Over Land (RLOL) belum sepenuhnya diterapkan dalam pengusahaan hutan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2006). Apabila degradasi hutan terus berlanjut seperti saat ini, orangutan Sumatra mungkin menjadi kera besar pertama yang akan punah dari alam liar (Wich et al., 2008). Kondisi tersebut dapat terjadi walaupun sudah ada arahan strategi konservasi orangutan (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/MenhutIV/2007). Permasalahan konservasi orangutan masih mengalami hambatan dalam penerapan kebijakan, program dan kegiatan oleh berbagai pihak. Peran serta para pihak (stakeholders) dalam konservasi orangutan hingga saat ini dianggap kurang optimal dan belum terintegrasi. Kebijakan dan program yang dilaksanakan stakeholders masih tumpang tindih sehingga
2
sering mengalami kegagalan dalam implementasi di lapangan (Kuswanda & Bismark, 2007a). Kesadaran dan keikutsertaan masyarakat lokal dalam konservasi juga masih sangat terbatas akibat kurangnya pengetahuan untuk mendukung program pelestarian orangutan. Pelaksanaan konservasi yang bersifat kolaboratif dan partisipatif belum banyak diimplementasikan dengan baik. Peraturan dan hukum untuk melindungi keragaman hayati, termasuk orangutan yang telah dirancang dan disahkan oleh pemerintah juga belum dilaksanakan secara konsisten karena tidak adanya koordinasi secara terpadu antar kelembagaan terkait (Meijaard et al., 2001; Wich et al., 2011a). Apabila permasalahan terus berlanjut, fenomena ini akan semakin meningkatkan ambang kepunahan orangutan. Orangutan Sumatra, sebagai kera terbesar yang masih tersisa di Indonesia, memiliki keeksotisan atau daya tarik tersendiri dibandingkan jenis primata lainnya. Satwa liar ini sudah dikenal semua orang dan membuat kagum dunia. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan orangutan sebagai maskot pelestarian hutan Indonesia untuk menarik perhatian internasional dalam membantu upaya konservasinya. Sayangnya, walapun satwa ini bersifat eksotis dan menjadi maskot pelestarian hutan, pada kenyataannya sedang berada dalam kondisi kritis terancam punah. Oleh sebab itu, strategi konservasi orangutan harus terus dikembangkan agar cerita dan keeksotisannya tidak hanya menjadi sejarah belaka. Apalagi, salah satu kelompok populasi orangutan yang hidup di Hutan Batang Toru (kawasan hutan yang terletak di sebelah Selatan Danau Toba, Sumatra Utara)–selanjutnya disebut sebagai ”Orangutan Batang Toru”–kini juga mulai terancam kelestariannya. Saat
3
ini, kondisinya berada di bawah ukuran populasi yang ideal untuk bisa tetap lestari dalam jangka panjang. yaitu kurang dari 500 individu (PHVA, 2004). B.
Kerusakan Hutan Tropis Habitat Orangutan
Hutan tropis ibarat lumbung harta karun dari beragam jenis keragaman hayati; mulai tingkat genetik, spesies, hingga ekosistem. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia (Ewusie, 1990). Ribuan variasi flora dan fauna dapat hidup dan berkembangbiak di dalamnya, termasuk orangutan. Orangutan menempati hutan hujan tropis terutama hutan dataran rendah sebagai habitatnya. Menurut Rijksen (1978) dan Sugardjito (1986), orangutan hanya mampu bertahan hidup dan berkembangbiak pada habitat tropis yang masih primer, seperti yang masih tersisa di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Ekosistem hutan tropis meliputi makhluk hidup dengan komunitas biotik dan lingkungan abiotiknya. Masing-masing komponen saling memengaruhi sifat-sifatnya sehingga interaksinya menjadi penting dalam memelihara kehidupan. Interaksi yang terjadi tersebut menghasilkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian alam (Irwan, 2007). Terjadinya kerusakan dan kehilangan keragaman hayati pada hutan tropis dapat mengurangi produktivitas dan ketahanan spesies beserta ekosistemnya secara menyeluruh (Naeem et al, 2009). Penurunan kualitas hutan primer menjadi hutan sekunder pada habitat orangutan Sumatra di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1.
Perubahan penutupan lahan hutan primer habitat orangutan Sumatra (2002–2009) Pengurangan Luas ha %
Provinsi
Perubahan Hutan
Aceh
Hutan primer menjadi rawa sekunder
2.262,98
2,24
Hutan primer menjadi hutan sekunder
70.868,89
70,02
Hutan primer menjadi HTI
24.147,14
23,86
Hutan primer menjadi lahan pertanian
3.930,21
3,88
Hutan primer menjadi rawa sekunder
31.347,83
14,60
Hutan primer menjadi hutan sekunder
171.560,79
77,88
291,53
0,13
Hutan primer menjadi lahan pertanian
3.646,56
1,68
Hutan primer menjadi semak
7.639,46
3,51
Hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder
588,01
0,27
Hutan rawa primer menjadi semak
10,01
0,00
Sumatra Utara
Hutan primer menjadi HTI
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011
Pemanfaatan kawasan hutan tropis di Sumatra (juga di Kalimantan) yang tidak memerhatikan prinsip keseimbangan ekosistem tentunya akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan orangutan. Penyusutan dan kerusakan kawasan
5
hutan tropis di Sumatra telah menurunkan luas habitat orangutan sebesar 1–1,5% per tahun sehingga populasinya semakin terancam punah (Departemen Kehutanan, 2007). FAO (2010) menyatakan bahwa kerusakan hutan tropis di Sumatra sangat mengkhawatirkan, baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, yang mencapai 43,4% selama periode 1985–2007. C.
Perkembangan Penelitian Orangutan Sumatra
Penelitian tentang orangutan Sumatra telah banyak dilakukan, namun sebagian besar masih terfokus pada hutan dataran rendah. Padahal, orangutan Sumatra (Pongo abelii) banyak menempati habitat dataran tinggi (lebih dari 800 meter di atas permukaan laut/m dpl). Lokus penelitian orangutan Sumatra juga sebagian besar dilakukan di Provinsi Aceh (sebelumnya bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) sebagai habitat orangutan di sebelah Utara Danau Toba, seperti yang dilaporkan oleh Rijksen (1978); Sugardjito (1986), van Schaik et al. (1995); dan Singleton & van Schaik (2001). Sementara itu, penelitian orangutan di Sumatra Utara, terutama di sebelah Selatan Danau Toba, masih sangat sedikit dan baru dimulai sekitar awal tahun 2000-an. Padahal, orangutan di sebelah Selatan Danau Toba diduga memiliki varian genetik yang berbeda dengan orangutan di sebelah Utara Danau Toba (Wich et al., 2011b). Habitat orangutan di sebelah Selatan Danau Toba sebagian besar berada pada dataran dataran tinggi (lebih dari 800 m dpl). Habitat tersebut berada di kawasan Hutan Batang Toru, seperti di kawasan konservasi Cagar Alam (CA) Sibual-buali dan CA Sipirok (Kuswanda, 2006b; Djojoasmoro et al., 2004). Penelitian orangutan di sebelah Selatan Danau
6
Toba (seperti di Hutan Batang Toru) masih sangat terbatas dan tentunya perlu ditingkatkan, terutama untuk mengembangkan teknik konservasi di hutan dataran tinggi. Apalagi, laju kepunahan orangutan di Hutan Batang Toru diduga akan lebih cepat karena sebaran yang terbatas, tingkat kepadatan yang lebih rendah dibandingkan orangutan di habitat dataran rendah, dan terdapatnya ancaman kerusakan habitat yang terus meningkat (Kuswanda & Sugiarti, 2005a). Penelitian orangutan pada habitat dataran tinggi di Hutan Batang Toru (sebelah Selatan Danau Toba) telah dimulai oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan sejak tahun 2003 dan hasilnya diuraikan dalam buku ini. D.
Perkembangan Paradigma Pelaksanaan Konservasi
Konservasi di masa lalu, bahkan sampai saat ini, masih menggunakan pendekatan pengelolaan berbasis kawasan. Model pendekatan ini sering menimbulkan konflik antara pemangku kawasan dengan masyarakat. Begitu pula, penyusunan program konservasi satwa liar, termasuk pada orangutan, sebagian besar masih berlandaskan pertimbangan kondisi ekologis (habitat dan populasi). Program konservasi ini belum dipaduserasikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan peranan para pihak (Kuswanda & Bismark, 2007a). Masyarakat sekitar habitat orangutan seringkali hanya menjadi penonton dan bukan bagian dari pelaksanaan konservasi. Dampaknya, pelaksanaan program konservasi orangutan seringkali mengalami kegagalan karena rendahnya respons dan peran serta masyarakat (van Schaik, 2006) .
7
Pendekatan pengelolaan hutan konservasi dengan sistem kawasan dianggap masih belum optimal seperti taman nasional (TN), cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM). Sistem pengelolaan kawasan hutan konservasi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan habitat yang diperlukan bagi kelangsungan hidup beragam jenis satwa liar, seperti orangutan yang membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas. Risiko pemusnahan orangutan di alam pun secara cepat dapat terjadi karena pembangunan infrastruktur akibat pertumbuhan populasi manusia dan upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hutan konservasi yang salah satunya diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan satwa liar hanya merupakan ”pulau-pulau” habitat (habitas islands) akibat terfragmentasi dan terisolasi oleh kawasan budi daya manusia seperti areal perkebunan, industri, pemukiman, pertanian, atau kawasan hutan produksi yang terdegradasi (Marsono, 2009). Saat ini; perspektif pemikiran, perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi (termasuk dalam melindungi keragaman hayati di dalamnya) mulai bergeser dari paradigma “species and habitat protection” menuju paradigma ”beyond boundary management” dalam skala ekosistem/bioregion/lansekap. Pengelolaan individual kawasan terbukti kurang efektif di lapangan. Hal ini terjadi karena sistem pengelolaan dilakukan layaknya sebuah pulau yang terisolasi dari konteks masalah sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya. Evolusi konsep dalam konservasi orangutan pun mengalami perkembangan; yang sebelumnya hanya memasukkan pendekatan pengelolaan habitat dan populasi, kini bertambah dengan memasukkan konteks sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam tataran ekosistem
8
atau lansekap. Hal ini diharapkan akan lebih menjamin efektivitas konservasi orangutan di habitat alam dalam jangka panjang yang menghendaki pemeliharaan proses dan dinamika interaksi dalam tingkat jenis, antar jenis, dan antara jenis dengan lingkungan abiotik mereka (Perbatakusuma et al., 2006). Kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk konservasi orangutan juga telah mengalami pergeseran dengan tipe pengurusan yang lebih bervariasi. Pengelolaan tidak semata-mata dilakukan oleh pihak pemerintah pusat tetapi juga melibatkan pemerintah daerah, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat setempat, atau kelembagaan kolaboratif yang dikelola bersama-sama para pihak yang berkepentingan. Kecenderungan global semakin muncul bahwa usaha konservasi akan berlanjut ketika para pihak terkait mengakui adanya manfaat yang besar dari investasi yang dikeluarkan untuk kegiatan konservasi, termasuk dalam mengembangkan konservasi satwa liar langka seperti orangutan. Kegiatan konservasi orangutan perlu dilakukan melalui pendekatan bio ekologi, kelembagaan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat, khususnya di kawasan Hutan Batang Toru, Provinsi Sumatra Utara. Oleh sebab itu, Buku ini memberikan informasi tentang kondisi bio ekologi (habitat, populasi dan perilaku), sosial ekonomi masyarakat, persepsi dan peranan para pihak, dan rekomendasi strategi untuk pengembangan konservasi orangutan di dataran tinggi kawasan Hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara. Usulan rekomendasi strategi dan teknik untuk konservasi orangutan tersebut selanjutnya disajikan pada bagian akhir buku ini. Selain itu, buku ini juga sebagai review hasil penelitian dan
9
publikasi penulis dari tahun 2004 hingga tahun 2011, serta referensi lainnya yang terkait dengan konservasi orangutan Sumatra.
10
II. GAMBARAN HUTAN BATANG TORU
Luas kawasan hutan di Provinsi Sumatra Utara saat ini ±3.055.795 ha; yang terdiri atas hutan konservasi seluas ±427.008 ha, hutan lindung (HL) seluas ±1.206.881 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas ±641.769 ha, hutan produksi tetap (HP) seluas ±709.452 ha, dan hutan produksi dapat dikonversi (HPK) seluas ±75.684 ha (Keputusan Menteri Kehutanan No. 579/Menhut-II/2014). Salah satu kawasan hutan di Sumatra Utara yang menjadi habitat orangutan Sumatra di sebelah Selatan Danau Toba adalah Blok Hutan Batang Toru. Berdasarkan pembagian status fungsi kawasan hutan, Blok Hutan Batang Toru menurut Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan (2006) sekitar 105.808 ha; yang terdiri atas kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) seluas 15.020 ha, HL seluas 17.737 ha, HPT seluas 1.483 ha, HP seluas 57.171 ha, dan areal penggunaan lain (APL) seluas ± 14.397 ha. Data luas kawasan hutan pada Blok Hutan Batang Toru tersebut berbeda dengan data menurut Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatra Utara No. 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatra Utara Tahun 2003–2018. Menurut Perda tersebut, Blok Hutan Batang Toru terdiri atas KSA seluas 12.994,7 ha, HL seluas 17.382,7 ha, HPT seluas 2.951,1 ha, dan HP seluas 115.241,6 ha. Sementara itu, sumber lain
11
menyebutkan bahwa luas Blok Hutan Batang Toru sekitar 102.667 ha (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumendasar, 2012). Blok Hutan Batang Toru memiliki tutupan hutan alam primer sekitar 90.000–140.000 ha (Conservation International, 2004 dalam http://pongoabelii.wordpress. com/dokumen-dasar, 2012). Kawasan hutan tersebut secara geografis berada pada koordinat 98˚50’49,9”–99˚17’46,3” Bujur Timur (BT) dan 1˚26’17,7”–1˚55’42,7” Lintang Utara (LU) (Perbatakusuma et al., 2006). Secara administratif, Hutan Batang Toru berada pada tiga kabupaten dan dua kota di Provinsi Sumatra Utara dengan sebaran luasan seperti pada Tabel 2. Tabel 2.
Komposisi luasan Blok Hutan Batang Toru pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara
Kabupaten/Kota
Luas (ha)
Persentase (%)
Tapanuli Selatan
38.570,4
37,6
Tapanuli Tengah
16.932,1
16,5
Tapanuli Utara
46.192,9
45,0
Kota Sibolga
432,2
0,4
Kota Padang Sidempuan
539,4
0,5
102.667,0
100,0
Luas Keseluruhan
Sumber: (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012)
Hutan konservasi yang terdapat di kawasan Hutan Batang Toru adalah CA Dolok Sibual-buali, CA Dolok Sipirok, dan Suaka Alam (SA) Lubuk Raya (Gambar 1). Pada blok ini
12
terdapat pula hutan lindung yaitu HL Batang Toru II, HL Sipirok dan HL Sibolga.
CA Dolok Sipirok
CA Dolok Sibual-buali
SA Lubuk Raya
Sumber peta: Conservation International-Indonesia (2006)
Gambar 1. Peta Kawasan Blok Hutan Batang Toru
13
Secara umum, kawasan hutan alam di DAS Batang Toru merupakan ekosistem yang masih asli dan relatif utuh sebagai perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (300 m dpl), hutan batuan gamping (limestone), hutan pegunungan rendah, hingga hutan pegunungan tinggi (Gambar 2). Kawasan hutan alam memiliki ketinggian mulai dari 50 m dpl (daerah Sungai Sipan Sihaporas, dekat Kota Sibolga) hingga 1.875 m dpl (puncak Gunung Lubuk Raya). Topografi kawasan memiliki kelerengan antara 16% hingga lebih dari 60% yang didominasi oleh areal berbukit dan bergunung (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumendasar, 2012). Kawasan hutan juga memiliki keunikan fenomena geologi berupa sumber-sumber air panas dan geotermal, serta terdapat potensi mineral emas dan perak (Perbatakusuma et al., 2006; Kuswanda, 2006a).
Gambar 2. Ekosistem hutan alam Blok Hutan Batang Toru
14
Kawasan hutan alam Batang Toru mempunyai tingkat keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati, serta ekosistem yang tinggi. Dengan demikian, kawasan hutan tersebut bernilai HCVF dan dapat dinyatakan sebagai kawasan yang penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati (key biodiversity area) di Provinsi Sumatra Utara. Keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan Batang Toru yang telah teridentifikasi adalah 67 spesies mamalia (dari 21 famili), 287 spesies burung, 110 spesies herpetofauna (19 spesies amphibia dari 6 famili dan 49 spesies reptilia dari 12 famili). Selain itu, kekayaan keanekaragaman flora juga sangat tinggi, yaitu sekitar 688 spesies tumbuhan dari 137 famili (Perbatakusuma et al., 2006). Beberapa spesies satwa liar yang menjadi kekayaan keanekaragaman hayati di kawasan Hutan Batang Toru merupakan spesies yang dilindungi sesuai PP Nomor 7 Tahun 1999, statusnya terancam punah sesuai kategori IUCN dan peredarannya dibatasi sesuai kategori CITES (Convention International of Trade of Endagered Species). Secara terinci, status konservasi untuk taksa mamalia tercatat sebanyak 20 spesies (jenis) yang dilindungi, 12 spesies termasuk dalam kategori terancam punah dan 14 spesies termasuk dalam daftar Appendix CITES. Satwa liar mamalia yang terancam bahaya kepunahan dan dilindungi, antara lain orangutan Sumatra (Pongo abelii), harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), kukang (Nycticebus coucang), kambing hutan Sumatra (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), dan kucing emas (Pardofelis marmomata). Taksa herpetofauna yang terancam bahaya kepunahan dan dilindungi diantaranya terdapat 4 spesies bersifat endemik, 5 spesies terancam punah secara
15
global, dan 7 spesies digolongkan ke dalam daftar Appendix CITES. Sementara itu, status konservasi satwa burung tercatat sebanyak 51 spesies yang dilindungi, 61 spesies termasuk dalam kategori terancam punah dan 8 spesies termasuk dalam daftar Appendix CITES. Khusus untuk satwa burung; terdapat 21 spesies migran, 8 spesies endemik dan 4 spesies yang berkontribusi dalam pembentukan kawasan Endemic Bird Area (Perbatakusuma et al., 2006). Selain kekayaan satwa liar, Hutan Batang Toru juga memiliki kekayaan tumbuhan (flora) yang cukup tinggi. Dari sekitar 688 spesies flora yang diketahui, 138 spesies diantaranya diketahui dapat menjadi sumber pakan orangutan Sumatra dan 9 spesies flora merupakan jenis baru. Selain itu, terdapat 8 spesies flora yang terancam bahaya kepunahan, 3 spesies merupakan endemik Sumatra, dan 4 spesies dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999, seperti Rafflesia gadutensis Meijer dan Nepenthes Sumatrana (Miq.) Becc. Kawasan ini juga menyimpan populasi flora yang memiliki bunga raksasa, yaitu Amorphaphalus baccari dan Amorphophalus gigas (Perbatakususma et al., 2006). Kawasan Hutan Batang Toru tidak semuanya merupakan habitat orangutan. Orangutan hanya terdapat di sebagian wilayah kawasan, terutama di bagian Barat, yaitu pada habitat dataran tinggi (sub pegunungan sampai pegunungan) dengan ketinggian >800 m dpl (Kuswanda, 2006b; Simorangkir, 2009). Sementara itu, habitat orangutan di daerah dataran rendah sudah banyak berubah menjadi perkebunan sawit dan karet. Habitat orangutan Batang Toru tersebut tersebar pada berbagai status fungsi hutan (Gambar 3), mulai dari hutan produksi (HPT, HP, dan HPK), HL, hutan konservasi (CA dan SM), dan hutan rakyat (APL).
16
17
Gambar 3. Habitat orangutan di kawasan Hutan Batang Toru
Sumber peta: Conservation International-Indonesia (2006)
Penelitian orangutan Batang Toru–sebagai fokus bahasan pada buku ini–telah dilakukan oleh penulis pada kawasan hutan konservasi CA Alam Dolok Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok, serta kawasan hutan dan lahan masyarakat sekitarnya. Lokasi ini adalah contoh kawasan konservasi yang penting untuk mengungkap bio ekologi orangutan pada habitat dataran tinggi di sebelah Selatan Danau Toba yang sebelumnya sedikit sekali informasi penelitiannya. Selain itu, orangutan Batang Toru diperkirakan lebih rentan terhadap ancaman kepunahan lokal karena jumlah populasinya sangat rendah (dibahas pada bab-bab berikutnya). Selanjutnya, gambaran umum lokasi penelitian pada dua hutan konservasi tersebut adalah sebagai berikut.
Sumber: Peta RBI skala 1 : 50.000; Peta Register Skala 1 : 20.000 dan Kuswanda (2005a)
Gambar 4. Peta Kawasan CA Dolok Sibual-buali
18
A.
Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali
CA Dolok Sibual-buali merupakan bagian dari kawasan Hutan Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan yang masih merupakan habitat alami orangutan Sumatra. Hutan Sibualbuali ditetapkan sebagai kawasan cagar alam pada tanggal 8 April 1982 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 215/Kpts/Um/14/1982 dengan luas keseluruhan ±5.000 Ha. Secara administratif, kawasan CA Dolok Sibualbuali meliputi Kecamatan Marancar, Sipirok, Batang Toru dan Padang Sidempuan Timur. Kawasan CA Dolok Sibual-buali dapat dicapai menggunakan kendaraan darat melalui rute Medan–Tarutung dan Sipirok dengan jarak ±350 km atau waktu tempuh sekitar 7 jam. Selain itu, kawasan hutan dapat ditempuh melalui rute Medan–Rantau Parapat–Gunung Tua– Sipirok dengan jarak tempuh sekitar 400 km (Balai KSDA Sumut II, 2002). Kawasan CA Dolok Sibual-buali termasuk dalam kelompok tipe hutan pegunungan dengan ketinggian antara 800–1.319 m dpl. Pegunungan di CA Dolok Sibual-buali memiliki lereng agak curam sampai curam yang didominasi oleh lereng >40%. Kondisi topografi sebagian besar kawasan merupakan perbukitan dan pegunungan dan terletak di daerah vulkanis aktif dengan kondisi geologis yang agak labil. Kawasan CA Dolok Sibual-buali sebagian besar berada dalam DAS Batang Toru. Pola aliran sungai di Hutan Batang Toru umumnya mengikuti pola paralel, artinya pola aliran sungai bentuknya memanjang ke satu arah dengan cabang-cabang sungai kecil yang datangnya dari arah lereng-lereng bukit, kemudian menyatu di sungai utama yang mengalir di lembahnya. Pola aliran seperti ini mempunyai risiko bencana banjir dan longsor yang tinggi apabila terjadi pembalakan
19
kayu, konversi hutan alam, atau pembuatan jalan memotong punggung bukit di daerah bagian hulu. Kondisi vegetasi di CA Dolok Sibual-buali masih relatif baik dan banyak dijumpai pohon-pohon yang berdiameter besar. Flora yang mendominasi kawasan CA Dolok Sibualbuali adalah Famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Anacardiaceae, Moraceae, Dipterocarpaceae, dan sebagian yang lain. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah medang nangka (Eleaocarpus obtusus), hau dolok (Syzygium sp.), hoteng (Quercus gemelliflora Bl), dan Hoteng batu (Quercus maingayi Bakh). Pada strata dua, banyak dijumpai anakan pohon dan perdu yang rapat, serta tumbuhan berbunga dan anggrek hutan. Pada kawasan ini dapat ditemukan juga bunga langka (Rafflesia sp.). Selain orangutan, CA Dolok Sibual-buali–yang juga merupakan daerah transisi–memiliki kekayaan dan keanekaragaman jenis satwa langka, endemik, dan dilindungi lainnya seperti siamang (Hylobates syndactylus Raffles, 1821), ungko (Hylobathes agilis Cuvier, 1821), tapir (Tapirus indicus), dan harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae). Selain itu, kawasan CA Dolok Sibual-buali merupakan habitat beragam jenis burung yang dilindungi, seperti poksai jambul putih (Garrulax leucophus), rangkong, enggang, dan elang. Masyarakat yang tinggal di sekitar CA Dolok Sibualbuali pada umumnya adalah suku Batak dan hanya sebagian yang berasal dari keturunan suku Jawa dan daerah lainnya. Mata pencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani, peladang, dan pembuat gula aren. Jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat antara lain padi, kayu manis (Cinammomum burmanii Nees & Th. Nees), kopi (Coffea arabica L.), karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg), salak
20
(Salacca edulis Reinw), dan cokelat (Theobroma cacao L). Sarana dan prasarana kehidupan masyarakatnya relatif masih rendah, jalan transportasi yang masih sulit, dan umumnya tergolong katagori masyarakat desa miskin.
Gambar 5. Tanaman budi daya masyarakat di sekitar CA Sibualbuali
B.
Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok
Kawasan CA Dolok Sipirok ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 226/Kpts/Um/14/1982 tanggal 8 April 1982 dengan luas keseluruhan mencapai 6.970 ha. Lokasi CA Dolok Sipirok dapat dicapai menggunakan kendaraan darat melalui rute
21
Medan–Tarutung dan Sipirok dengan jarak ±350 km atau waktu tempuh sekitar 7–8 jam. Selain itu, lokasi dapat ditempuh melalui rute Medan–Rantau Parapat–Gunung Tua– Sipirok dengan jarak tempuh ±400 km (Balai Konservasi Sumber daya Alam Sumut II, 2002). Kawasan CA Dolok Sipirok berada pada ketinggian antara 600–1.200 m dpl. Topografi kawasan hutan tersebut secara umum memiliki lereng agak curam sampai curam dengan kelerengan >40%, relatif sama dengan CA Dolok Sibual-buali. Kondisi topografi sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan yang terletak di daerah vulkanis aktif dengan kondisi geologis yang relatif labil. Hidrologi CA Dolok Sipirok sebagian besar termasuk dalam DAS Batang Toru, seperti halnya CA Dolok Sibual-buali, dengan pola aliran sungai mengikuti pola paralel. Jenis tanah di CA Sipirok terdiri atas dua tipe: Ma.2.2.4 di bagian Barat dan Utara, dan Vd.1.4.4. di bagian Timur (Gambar 6). Tanah tipe Ma.2.2.4 mencirikan sebagai bagian dari pegunungan, intermediate tuffs (debu), kemiringan (slope) dengan curam sampai sangat curam (25–75%), dan terbelah-belah (dissected) ekstrem. Berdasarkan klasifikasi United States Department of Agriculture (USDA), jenis tanah termasuk kategori humitropepts, halupdults, dan haplohumults. Tekstur tanah lapisan atas (top soil) tergolong bagus (fine) dan sub soil cukup bagus (moderately fine). Kondisi mineral tanah termasuk sangat dalam dan drainase cukup bagus. Tanah tipe Vd.1.4.4. merupakan bagian dari stratovulcanoes, tuff masam, vulcano dengan slope rendah (<16%), dan terbelah-belah ekstrem. Berdasarkan klasifikasi USDA, jenis termasuk dalam kategori dystropepts dan humitropepts dengan tekstur top soil bagus (fine) dan sub soil juga bagus. Mineral tanah termasuk
22
dalam sampai sangat dalam dan drainase cukup baik (Kuswanda, 2011).
Gambar 6. Peta kawasan dan ketinggian CA Dolok Sipirok
Kekayaan flora dan fauna di CA Dolok Sipirok juga beragam. Flora yang mendominasi diantaranya Famili Dipterocarpaceae, Fagaceae, Moraceae, Myrtaceae, Anacardiaceae dan Euphorbiaceae. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah hau dolok (Syzygium sp.), hoteng (Quercus sp.) dan mayang (Palaquium sp.). Pada strata dua
23
banyak dijumpai anakan pohon dan perdu yang rapat, serta tumbuhan berbunga dan anggrek hutan (Balai KSDA Sumatra Utara II, 2002; Perbatakusuma et al., 2006). Sementara itu, jenis-jenis satwa langka, endemik, dan dilindungi (selain orangutan Sumatra) adalah beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), siamang (Hylobates syndactylus), ungko (Hylobathes agilis), beruk (Macaca nemestrina), kambing hutan Sumatra (Naemorhedus sumatrensis sumatrensis), dan harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae).
Gambar 7. Satwa liar primata yang terdapat di CA Dolok Sipirok: 1) siamang (Hylobates syndactylus) dan 2) ungko
(Hylobathes agilis)
Mata pencaharian masyarakat di CA Dolok Sipirok hampir sama dengan masyarakat yang ada di sekitar CA
24
Dolok Sibual-buali yaitu sebagai petani, peladang, dan pembuat gula aren. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain salak (Salacca edulis Reinw), kayu manis (Cinammomum burmanii), dan karet (Hevea brasiliensis). Sarana kesehatan dan ekonomi seperti pasar masih minim sehingga masyarakat harus membawa ke pekan atau pasar mingguan di pusat Kota Sipirok untuk menjual hasil pertaniannya.
25
III. SEJARAH, TAKSONOMI DAN SEBARAN
A.
Sejarah
Orangutan
diperkirakan berasal dari daratan Asia di
sepanjang Pegunungan Himalaya. Orangutan diperkirakan bermigrasi sejauh 3.000 km ke Daratan Sunda yang luas selama masa Pleistosen (2 juta–22 ribu tahun yang lalu). Pola migrasi orangutan mungkin terpusat di sepanjang sungai-sungai dan kaki gunung karena orangutan tidak bisa berenang. Orangutan menyeberangi sungai diperkirakan pada kedua tepi sungainya yang terhubung dengan tajuk pohon, batang yang rubuh, dan/atau bebatuan besar sebagai tempat loncatan (Meijaard et al., 2001). Populasi orangutan di sebagian dataran Asia diperkirakan punah sekitar abad ke-16 dan populasi yang tersisa hingga kini adalah populasi orangutan di Sumatra dan Kalimantan. Penemuan mengenai keberadaan orangutan Sumatra di wilayah Aceh mulai dipublikasikan oleh B. Hagen dari Jerman pada tahun 1890. Pada tahun 1905, Gustav Schneider menemukan bahwa orangutan terlihat di pedalaman Sibolga dan sekitar Sungai Batang Toru. Pada awal tahun 1970-an, rimbawan Indonesia, K.S. Depari, melaporkan kembali bahwa orangutan masih terdapat di hutan sepanjang Sungai Batang Toru (Meijaard et al., 2001). Keberadaan orangutan masih ditemukan di kawasan hutan
27
Batang Toru diperkuat dengan adanya laporan para peneliti yang menemukan orangutan terutama pada awal abad ke-21 (awal tahun 2000-an). B.
Taksonomi dan Morfologi
Orangutan merupakan salah satu anggota suku Pongidae yang mencakup pula tiga spesies kera lainnya, yaitu bonobo Afrika (Pan panicus Schwarz), simpangse (Pan troglodytes Blumenbach), dan gorila (Gorilla gorilla Savage). Menurut Groves (1999), Muir et al., (2000), Zhang (2001), dan Fischer (2006); orangutan di Pulau Sumatra dan Kalimantan telah diidentifikasi sebagai spesies yang berbeda, yaitu orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linneus). Orangutan Kalimantan terbagi lagi menjadi tiga sub spesies yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus (bagian Utara dan Barat Pulau Kalimantan), Pongo pygmaeus wurmbii (bagian Tengah Pulau Kalimantan), dan Pongo pygmaeus morio (bagian Utara dan Timur Pulau Kalimantan). Taksonomi orangutan Sumatra– yang dikenal dengan nama lokal mawas atau orangutan dan nama internasional orangutan–secara lengkap adalah sebagai berikut: Super famili Famili Genus Spesies
: : : :
Hominoidea Pongidae Pongo Pongo abelii Lesson
Secara morfologi, orangutan Sumatra dan orangutan Kalimantan sangat serupa, kecuali sedikit terdapat perbedaan yang dapat dilihat dari warna bulunya. Orangutan Kalimantan
28
setelah dewasa berwarna cokelat kemerah-merahan atau lebih gelap, sedangkan orangutan Sumatra berwarna lebih merah dan cerah, serta kadang-kadang terdapat warna putih pada bagian muka. Perbedaan morfologis orangutan dapat lebih dikenali dari perawakannya, khususnya struktur rambut. Pongo pygmaeus memiliki rambut pipih dengan kolom pigmen hitam yang tebal di tengah; sedangkan Pongo abelii berambut lebih tipis, membulat, memiliki kolom pigmen yang halus dan sering patah di bagian tengahnya. Orangutan Kalimantan jantan dewasa memiliki cheek pad yang lebar, kantung suara yang besar, dan wajah berbentuk segi empat. Sementara itu, orangutan Sumatra jantan dewasa memiliki cheek pad dan kantung suara yang kecil, warna janggut agak kekuningan, dan wajah berbentuk berlian (Napier & Napier, 1967; Sinaga, 1992; van Schaik, 2006). Berat badan kedua spesies tersebut tidak berbeda nyata; orangutan betina berkisar 35–55 kg, sedangkan yang jantan berkisar 85–110 kg (Sudirman & Shapiro, 2007) C.
Sebaran
Pola sebaran satwa liar di alam bebas dapat berbentuk acak, berkelompok, atau sistematik. Bentuk sebaran satwa primata pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh penyebaran sumber pakan, terutama buah dan daun (Alikodra, 1990). Menurut van Schaik et al. (1995), sebaran orangutan semakin sedikit dengan bertambahnya ketinggian tempat karena ketersediaan buah-buahan sebagai makanan pokoknya semakin menurun tajam bersamaan dengan bertambah tingginya suatu tempat. Blouch (1997), Singleton & van Schaik (2001), dan Meijaard et al. (2001) menyatakan bahwa penyebaran orangutan sangat dipengaruhi oleh
29
ketersediaan pakan, kualitas habitat, dan kondisi cuaca terutama suhu di malam hari. Lokasi penyebaran orangutan Sumatra yang masih tersisa disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 8. Tabel 3.
Lokasi dan perkiraan luas habitat dan populasi orangutan Sumatra
No.
Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Aceh (Utara–Timur) Aceh (Utara–Barat) Seulawah Aceh Tengah Leuser bagian Barat Sidiangkat Leuser bagian Timur Rawa Tripa Tromon–Singkil Rawa Singkil Timur Batang Toru Barat Serulla Timur Jumlah
Luas habitat (km2) 1,679 282 85 826 2,547 186 1,467 140 725 80 600 375 8,992
Perkiraan populasi (individu) 654 180 43 440 2,508 134 1,052 280 1,500 160 400 150 7,501
Sumber: Population and Habitat Viability Assessment (2004) dan Wich et al. (2003).
Orangutan cenderung menempati hutan dataran rendah karena pohon-pohonnya menyediakan sumber pakan buah sebagai makanan utamanya. Namun, banyak pula orangutan Sumatra yang hidup dan menempati habitat dataran tinggi (>1.000 m dpl) seperti di kawasan Hutan Batang Toru (Djojoasmoro et al., 2004; Kuswanda, 2006b; Sitaparasti,
30
2007; Perbatakusuma et al., 2006). Pada habitat alaminya, orangutan merupakan satwa liar tipe pengumpul atau pencari makanan yang oportunis (memakan apa saja yang dapat diperolehnya). Distribusi jumlah dan kualitas makanan, terutama buah-buahan sebagai makanan pokok orangutan, sangat memengaruhi perilaku pergerakan, kepadatan populasi dan organisasi sosialnya (Meijaard et al., 2001).
Sumber: Wich et al. (2008)
Gambar 8. Peta sebaran habitat orangutan Sumatra
31
Menurut Kuswanda (2008a), selain sebarannya di Selatan Danau Toba, orangutan ditemukan pula di hutan SM Barumun, Kabupaten Padang Lawas Utara (lebih Selatan dari Hutan Batang Toru). Hal ini diketahui berdasarkan hasil identifikasi terhadap penemuan sarang yang diduga merupakan sarang orangutan. Informasi keberadaan sarang orangutan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti melalui survei oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatra Utara pada tahun 2009 dan melaporkan bahwa petugas di lapangan telah menemukan orangutan secara langsung. Penemuan ini sangat penting karena menjadi informasi baru yang sebelumnya dinyatakan oleh para ahli bahwa sebaran orangutan Sumatra paling Selatan Danau Toba adalah di Hutan Batang Toru (Population and Habitat Viability Assessment, 2004).
32
IV. HABITAT
Habitat
adalah lingkungan tempat tumbuhan atau
satwa dapat hidup dan berkembang secara alami (Departemen Kehutanan, 1990). Habitat merupakan keseluruhan resources (sumber daya), baik biotik maupun fisik, pada suatu area yang digunakan/dimanfaatkan oleh suatu spesies satwa liar untuk bertahan hidup (survival) dan bereproduksi. Habitat dapat diartikan pula sebagai suatu kawasan atau ruang yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar dari suatu populasi spesies tertentu. Ruang tersebut dapat berfungsi sebagai tempat kawin, tidur atau istirahat, bertelur, dan tempat lainnya dimana suatu organisme melakukan segala aktivitas kehidupannya yang tercermin dalam suatu daerah jelajahnya (Bailey, 1984; Alikodra, 1990). Habitat dapat menghubungkan kehadiran spesies, populasi, atau individu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi (Morrison, 2002). Habitat orangutan cukup menyebar, mulai dari hutan dataran rendah sampai pada hutan pegunungan. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Tepi sungai dapat berupa dataran banjir, rawa, atau lembah aluvial; sedangkan dataran tinggi kering biasanya adalah kaki bukit. Habitat orangutan secara umum banyak ditemukan di daerah dataran rendah pada ketinggian
33
200–400 m dpl (Meijaard et al., 2001). Secara keseluruhan habitat orangutan Sumatra diperkirakan hanya tersisa 8,992 km2 (Wich et al., 2003; PHPA, 2004). Selanjutnya, kondisi habitat orangutan Batang Toru, khususnya di CA Dolok Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok diuraikan sebagai berikut. A.
Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan
Hasil penelitian pada habitat orangutan di CA Dolok Sibual-buali yang diklasifikasikan berdasarkan pembagian wilayah telah mengindentifikasi spesies tumbuhan yang ada yaitu wilayah bagian Barat sedikitnya teridentifikasi 53 spesies, bagian Timur 39 spesies, dan bagian Utara 58 spesies. Keragaman tumbuhan yang ditemukan di bagian Utara memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian Barat dan Timur. Hal ini karena bagian Utara umumnya masih merupakan hutan primer. Spesies tumbuhan yang mendominasi antara lain adalah hau dolok (Syzygium sp.), randuk hambing (Alstonis macrophylla), medang nangka (Eleaocarpus obtusus), hau dolok jambu (Choriophyllum malayanum), dan hoteng (Quercus maingayi). Keanekaragaman jenis tumbuhan (H’) berdasarkan hasil perhitungan indeks Shannon untuk setiap tingkat pertumbuhan sangat bervariasi antara 2,46–3,28. Berdasarkan batasan Barbour et al., (1987) dan Samingan (1997), nilai ini menunjukkan bahwa kawasan hutan CA Dolok Sibual-buali masih bisa lestari apabila dilakukan pengamanan terhadap gangguan yang datang dari luar terutama akibat aktivitas manusia seperti perambahan, pengambilan air nira, dan penebangan liar. Berdasarkan analisis indeks kesamaan komunitas Sorensen, kondisi vegetasi di setiap bagian (Barat, Timur, dan Utara) ternyata
34
berbeda nyata untuk setiap tingkat pertumbuhan vegetasi dengan persentase kemiripan <50%. Menurut Meijaard et al. (2001), kekayaan dan komposisi jenis pada suatu kawasan sangat dipengaruhi oleh lokasi tersebut yang berkaitan dengan kondisi tanah dan iklim wilayah tersebut.
Gambar 9. Habitat orangutan dataran tinggi CA Dolok Sibual-buali
Habitat orangutan di CA Dolok Sipirok sedikitnya dapat dibagi menjadi empat tipe ekosistem (Kuswanda, 2011), yaitu sebagai berikut. 1. Hutan primer pada ketinggian di atas 900–1.200 meter dpl yang mewakili tipe vegetasi habitat Montana bagian bawah dengan luas sekitar 5.335 ha.
35
2. Hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl yang mewakili tipe vegetasi habitat Sub Montana dengan luas sekitar 845 ha. 3. Hutan sekunder yang mewakili tipe vegetasi yang telah mengalami gangguan terutama akibat penebangan liar dengan luas sekitar 420 ha. 4. Lahan kering bekas area pertanian-kebun campuransemak belukar yang memberikan gambaran tipe vegetasi pada habitat yang sudah terdegradasi (lahan kritis) dengan luas sekitar 395 ha.
Gambar 10. Komposisi tumbuhan pada berbagai tipe habitat di CA Dolok Sipirok
Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) terhadap tumbuhan pada keempat tipe ekosistem adalah sekitar 2,41– 3,86 dengan nilai indeks tertinggi ditemukan pada tipe
36
habitat hutan primer ketinggian 600–900 m dpl. Nilai keanekaragaman jenis pada tiga tipe habitat (hutan primer pada ketinggian >900–1.200 m dpl, hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl, dan hutan sekunder) termasuk kategori tinggi, sedangkan pada tipe ekosistem lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran-semak belukar tergolong rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi habitat orangutan di CA Dolok Sipirok secara umum masih stabil, kecuali pada ekosistem lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran-semak belukar. Menurut Ives (2007) dan Begon et al. (2006), spesies yang beragam di dalam komunitas akan membentuk suatu hubungan asosiasi yang kompleks satu sama lain. Hubungan yang kompleks ini mengakibatkan suatu komunitas akan lebih tahan terhadap gangguan dibandingkan dengan komunitas dengan hubungan yang sederhana. Oleh karena itu, semakin tinggi keanekaragaman spesies akan meningkatkan kestabilan suatu komunitas. Nilai kelimpahan jenis tumbuhan tertinggi berada pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian >900–1.200 m dpl. Kelimpahan jenis tumbuhan pada hutan primer dan sekunder di CA Dolok Sipirok cukup Gambar 11. tinggi apabila dibandingkan Kerapatan tumbuhan pada dengan kawasan konservasi ketinggian 900–1.200 m dpl di CA Dolok Sipirok di sekitarnya, seperti CA
37
Dolok Sibual-buali. Nilai kelimpahan tumbuhan di CA Dolok Sipirok adalah 34,45–73,98, sedangkan di CA Dolok Sibualbuali hanya 29,26–32,45. Kelimpahan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa penyebaran setiap jenis pohon hampir merata sehingga membuat kawasan tersebut cukup stabil dan mempunyai daya dukung tinggi untuk pemenuhan sumber pakan dan pohon tidur orangutan. Hasil analisis indeks kesamaan komunitas Sorensen menunjukkan terdapat perbedaan komposisi vegetasi pada berbagai tipe habitat, baik pada tingkat pohon maupun tiang. Tipe hutan sekunder memiliki kesamaan jenis sebesar 51,78% (tingkat pohon) dan 39,08% (tingkat tiang) dengan tipe habitat hutan primer di atas ketinggian 900–1.200 m dpl, dan kesamaan jenis sebesar 48,00% (tingkat pohon) dan 48,72% (tingkat tiang) dengan tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga tipe habitat tersebut memiliki perbedaan komposisi jenis vegetasi penyusun komunitasnya rata-rata lebih dari 50%. Rata-rata nilai variabel tumbuhan yang berbeda pada ketiga tipe habitat ini antara lain kerapatan jenis dan jumlah jenis tumbuhan pakan, baik tingkat pohon maupun tiang; rata-rata jarak antar pohon; dan persen penutupan tajuk pohon. Hasil ini menunjukkan pula bahwa perbedaan ketinggian tempat (selang 300 m dpl) dan tipe penutupan lahan di CA Sipirok telah memengaruhi komposisi dan struktur vegetasi di dalam komunitasnya sehingga dapat dikategorikan sebagai tipe habitat yang berbeda.
38
B.
Tumbuhan Pakan Orangutan
1. Proporsi Jenis dan Jumlah Pohon Pakan Tumbuhan yang menjadi sumber pakan orangutan di CA Dolok Sibual-buali telah teridentifikasi sebanyak 33 spesies di bagian Barat, 19 spesies di bagian Timur, dan 28 spesies di bagian Utara. Spesies tumbuhan pakan hampir ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan, baik pada tingkat tiang maupun poGambar 12. hon, atau pada tempat Beringin adalah jenis tumbuhan dimana orangutan mencari yang dikonsumsi daun dan makan maupun bersarang. buahnya Jenis tumbuhan pakan yang banyak dijumpai adalah hau dolok merah (Syzygium sp.), gala-gala (Ficus racemosa) dan medang nangka (Elaeocarpus obtusus), beringin (Ficus benjamina), dan hoteng (Quercus maingayi). Persentase tertinggi bagian tumbuhan yang dimakan oleh orangutan adalah buah (55%), daun dan pucuk (14%), umbut (6%), dan sisanya dalam bentuk kombinasi buah-daun-pucuk-umbut. Sebagai pemakan buah-buahan, orangutan hidup secara nomadis yaitu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Namun demikian, orangutan akan tetap tinggal di suatu daerah selama ketersediaan makanan cukup melimpah. Orangutan sangat menyukai buah-buahan yang berdaging
39
lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tunggal dan buah beri seperti jenis Ficus sp. Namun demikian, orangutan tercatat pula sebagai pemakan telur burung, vertebrata kecil seperti tupai, tokek dan kukang, serta menyukai madu (Meijaard et al., 2001). Pada kawasan CA Dolok Sipirok, sedikitnya teridentifikasi sekitar 55 spesies tumbuhan pakan seperti terep (Artocarpus elasticus), motung (Ficus toxicaria), asam hing (Dracontomelon dao), dan dongdong (Ficus fistulosa). Proporsi jenis dan jumlah pohon pakan orangutan dibandingkan dengan jenis tumbuhan secara keseluruhan yang tertinggi ditemukan pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl dan yang terendah pada tipe habitat lahan kering bekas area pertanian-kebun campuransemak belukar. Pada tingkat pohon, proporsi tertinggi jenis pohon pakan ditemukan pada tipe habitat hutan sekunder, sedangkan proporsi tertinggi jumlah pohon pakan ditemukan pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl. Pada tingkat tiang, proporsi tertinggi jenis dan jumlah pohon pakan ditemukan pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl. Gambar 13. Motung, salah satu jenis tumbuhan pakan yang disukai orangutan
40
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl memiliki kecenderungan sebagai habitat yang paling cocok dan berpeluang paling tinggi untuk ditempati orangutan dibandingkan tipe habitat lainnya. Menurut Meijaard et al. (2001); distribusi jenis, jumlah, dan kualitas makanan terutama buah-buahan akan memengaruhi perilaku pergerakan, kepadatan populasi, dan organisasi sosial orangutan. Selanjutnya, tipe habitat hutan sekunder memiliki proporsi tumbuhan pakan yang lebih tinggi dibandingkan hutan primer pada ketinggian >900–1.200 m dpl. Hal ini disebabkan sebagian besar jenis tumbuhan yang ditebang adalah bukan merupakan pakan orangutan. Pada hutan sekunder banyak ditemukan jenis yang merupakan sumber makanan utama orangutan dan tidak ditemukan pada hutan primer, terutama di atas ketinggian 1.000 m dpl, seperti durian (Durio zibethinus) dan motung (Ficus toxicaria). 2. Produktivitas Pohon Pakan Penyebaran suatu komunitas orangutan dipengaruhi oleh keberadaan dan produktivitas pohon pakan, terutama yang menghasilkan buah. Produktivitas pohon penghasil buah akan menentukan kemampuan suatu habitat untuk mendukung kehidupan orangutan. Singleton & van Schaik (2001) menyatakan bahwa jumlah dan mutu buah sangat dipengaruhi oleh kepadatan pohon-pohon penghasil buah, kesuburan tanah, dan musim. Hasil analisis produktivitas pohon pakan orangutan di CA Dolok Sibual-buali adalah sebagai berikut.
41
a. Produktivitas Daun Pendugaan produktivitas daun dilakukan melalui pengukuran serasah daun dengan menggunakan penampung serasah (litter trap). Menurut Corbeels (2001), produktivitas daun pada hutan primer/stabil dapat didekati dari nilai jatuhan/produktivitas serasahnya. Secara total, produktivitas serasah pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon yaitu sebesar 3,9 gram/m2 per hari berat basah atau setara dengan 1,5 gram/m2 per hari berat kering. Persamaan penduga nilai produktivitas daun berdasarkan nilai diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi tajuk pohon (Dtj) sebagai berikut: 1) Tingkat Tiang a) Berat Basah Pr = 0,697 + 0,0664 Dbh + 0,0086 Dtj [S = 0,06097; R-Sq = 95,5%; R-Sq(adj) = 92,5%] b) Berat Kering Pr = 0,541 + 0,00626 Dbh + 0,0109 Dtj [S = 0,02367; R-Sq = 75,4%; R-Sq(adj) = 59,0%] 2) Tingkat Pohon a) Berat Basah Pr = 1,63 – 0,0897 Dbh + 0,422 Dtj [S = 0,2017; R-Sq = 89,3%; R-Sq(adj) = 82,1%] b) Berat kering Pr = - 0,061 + 0,0189 Dbh + 0,0106 Dtj [S = 0,1933; R-Sq = 70,0%; R-Sq(adj) = 50,0%] Keterangan: Pr = produktivitas daun dan buah (kg/m2 per hari) Dbh = diameter pohon pada 1,30 m dari permukaan tanah (cm) Dtj = rata-rata diameter tajuk (m)
42
Berdasarkan persamaan tersebut, nilai dugaan produktivitas daun dari tingkat tiang dan pohon diketahui sebesar 40,66 kg/ha per hari berat basah atau setara dengan 14,74 kg/ha per hari berat kering. Persentase kandungan air dari daun tumbuhan pakan orangutan relatif kecil yaitu sekitar 36,3%.
Gambar 14. Penelitian serasah daun pada pohon pakan orangutan
b. Produktivitas buah Pendugaan produktivitas buah dilakukan melalui pendekatan nilai potensi/biomassa buah pada beberapa pohon pakan yang sedang berbuah di petak contoh penelitian. Rata-rata biomassa buah pada tingkat tiang dan pohon yaitu sebesar 1.308,1 kg/ha berat basah atau setara dengan 556,8 kg/ha berat kering. Periode berbuah pohon pakan orangutan umumnya mempunyai ritme masing-masing dan dapat menghasilkan buah dalam dua musim atau lebih dalam satu tahun, serta sangat jarang pohon pakan yang menghasilkan buah sepanjang tahun. Kebanyakan jenis tumbuhan pada kanopi atas menunjukkan pola pematangan buah yang tidak teratur sehingga tidak terdapat kemungkinan untuk dikonsumsi dalam satu hari.
43
Hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat setempat menunjukkan bahwa lama waktu ketersediaan buah matang dan siap dikonsumsi orangutan pada beberapa jenis pohon pakan berkisar 3–4 minggu. Rata-rata lama waktu ketersediaan buah matang ±30 hari untuk satu musim berbuah. Gambar 15. Berdasarkan informasi Buah asam hing yang banyak dikonsumsi orangutan tersebut, produktivitas buah dari pohon pakan orangutan (berdasarkan contoh penelitian) adalah 43,6 kg/ha per hari berat basah atau setara dengan 18,6 kg/ha per hari berat kering). Persamaan untuk menduga nilai produktivitas buah adalah sebagai berikut. 1) Tingkat Tiang a) Berat Basah Pr = - 3016 + 280 Dbh + 0.2 Dtj [S = 177,4; R-Sq = 96,9%; R-Sq(adj) = 95,3%] b) Berat Kering Pr = - 986 + 102 Dbh - 6.8 Dtj [S = 84,24; R-Sq = 94,7%; R-Sq(adj) = 92,0%]
44
2) Tingkat Pohon a) Berat Basah Pr = 784 + 135 Dbh - 21 Dtj [S = 2449; R-Sq = 60,7%; R-Sq(adj) = 45,0%] b) Berat Kering Pr = - 1017 + 98 Dbh - 32 Dtj [S = 1190; R-Sq = 76,4%; R-Sq(adj) = 67,0%] Berdasarkan persamaan tersebut, nilai dugaan produktivitas buah dari tingkat pertumbuhan tiang dan pohon diketahui sebesar 43,6 kg/ha per hari berat basah atau setara dengan 18,5 kg/ha per hari berat kering. Nilai ini diasumsikan bila semua jenis pohon pakan berbuah sepanjang tahun (tidak mengenal musim berbuah). Menurut Sugardjito (1986), persentase jenis tumbuhan pakan buah yang berbuah rata-rata hanya berkisar 5–30% dalam setiap bulannya. Apabila mempertimbangkan nilai tersebut dan musim berbuah, nilai produktivitas buah berkisar 2,18–13,07 kg/ha per hari (rata-rata 7,63 kg/ha per hari) berat basah atau setara dengan 0,92–5,55 kg/ha per hari (rata-rata 3,23 kg/ha per hari) berat kering. C.
Daya Dukung Habitat
Pendugaan nilai daya dukung habitat dilakukan berdasarkan nilai produktivitas tumbuhan pakan (dalam satuan kg/ha per hari) dibagi nilai konsumsi orangutan (dalam satuan kg/hari per individu) dan dikalikan dengan luasan areal potensial sebagai habitat (ha). Penentuan nilai konsumsi pakan orangutan pada penelitian ini didekati dari nilai berat tubuhnya dengan asumsi setiap jenis satwa liar
45
diperkirakan membutuhkan makanan sekitar 10–20% dari berat tubuhnya setiap hari (Santosa, 1993). Hal ini karena pengukuran nilai konsumsi pakan orangutan di habitat alaminya secara kuantitatif sulit dilakukan dengan waktu penelitian yang terbatas. Selain itu, pengukuran nilai konsumsi satwa di alam bebas banyak mengalami kesulitan karena tidak mudah menangkap sejumlah satwa liar untuk dijadikan contoh penelitian dalam pengukuran ransum makanan. Berat badan orangutan bervariasi sesuai dengan struktur umur dan jenis kelaminnya. Rata-rata berat badan orangutan untuk kelas umur anak berkisar 5–20 kg, remaja 20–30 kg, pradewasa 30–50 kg, dan dewasa 50–120 kg (Galdikas, 1978 dan Meijaard et al., 2001). Berdasarkan informasi tersebut, rata-rata berat tubuh orangutan pada suatu populasi yang memiliki struktur umur lengkap diketahui sekitar 40,6 kg. Dengan demikian, nilai konsumsi pakan orangutan diduga sekitar 4,1–8,2 kg/hari per individu atau rata-rata sebesar 6,2 kg/hari per individu. Nilai dugaan daya dukung habitat yang lebih teliti diperoleh dengan mengalikan kembali hasil tersebut dengan berbagai faktor koreksi, yaitu sebagai berikut (Meijaard et al., 2001). 1. Luas kawasan CA Dolok Sibual-buali yang potensial sebagai habitat orangutan (hanya sekitar 1.500 ha). 2. Persentase luas habitat yang dimanfaatkan oleh orangutan di CA Dolok Sibual-buali (sekitar 0,36). 3. Persentase jumlah setiap bagian makanan yang dikonsumsi oleh orangutan (sekitar 0,556 untuk buah dan 0,353 untuk daun [Sinaga, 1992]). Pada waktu musim
46
berbuah, orangutan akan lebih banyak mengonsumsi buah dibandingkan daun. 4. Persentase waktu yang digunakan orangutan untuk mengonsumsi setiap jenis makanannya (sekitar 0,6 untuk buah dan 0,25 untuk daun). 5. Faktor koreksi terhadap jenis makanan dari individu tumbuhan pakan yang kurang disukai, jatuh, dan sebab lainnya (sekitar 0,5 [Takandjandji, 1993]). Berdasarkan analisis data dengan memperhitungkan faktor koreksi diperoleh nilai dugaan daya dukung CA Dolok Sibual-buali bagi populasi orangutan sebagai berikut. 1. Berdasarkan nilai produktivitas daun diperoleh dugaan daya dukung sebesar 56 individu. 2. Berdasarkan nilai produktivitas buah diperoleh dugaan daya dukung sebesar 47 individu. Nilai dugaan daya dukung habitat berdasarkan nilai produktivitas daun lebih besar dibandingkan menurut produktivitas buah. Hal ini karena sumber pakan daun di habitatnya tersedia sepanjang tahun, sedangkan buah hanya tersedia pada musim berbuah. Berdasarkan nilai produktivitas daun dan buah, daya dukung habitat di CA Dolok Sibual-buali diduga sekitar 47–56 individu orangutan. Hasil ini berarti, apabila kawasan CA Dolok Sibual-buali dapat dilindungi dari berbagai ancaman fragmentasi habitat maka populasi orangutan akan terus berkembang–dari populasi sekarang sekitar 27 individu–sampai mencapai ukuran daya dukungnya (Kuswanda & Bismark, 2007b).
47
Nilai dugaan daya dukung orangutan Sumatra mungkin cenderung over estimate. Hal ini dapat disebabkan nilai pendugaan tersebut belum memerhatikan aspek persaingan dalam memperebutkan sumber makanan dalam hutan. Kenyataannya, pada habitat orangutan di CA Dolok Sibualbuali terdapat pula satwa primata lainnya yang mengonsumsi buah dan daun dari jenis tumbuhan pakan yang sama dengan orangutan, seperti owa (Hylobates agilis F. Cuvier), siamang (Hylobates syndactylus Raffles), dan beruk (Macaca nemestrina Linn.). Namun, hasil penelitian ini setidaknya telah menginformasikan gambaran bahwa kawasan CA Dolok Sibual-buali sebenarnya masih dapat mendukung perkembangan populasi orangutan. Dengan demikian, jumlah populasi orangutan sekitar 27 individu (Kuswanda & Sugiarti, 2005a) dapat lebih meningkat bila keadaan kawasan dapat dilindungi lebih optimal. Angka reproduksi dan perkembangan populasi orangutan yang rendah dapat pula disebabkan faktor lainnya. Faktor yang berasal dari kemampuan reproduksi diketahui bahwa orangutan melahirkan anak hanya sekitar 6–8 tahun sekali. Sementara itu, faktor yang mungkin lebih banyak berpengaruh lainnya adalah gangguan terhadap habitat. Pada lokasi penelitian diketahui terdapat aktivitas masyarakat yang sering memasuki habitat orangutan, seperti pengambilan kayu, air nira, dan perambahan lahan. Populasi orangutan pada habitat alam yang relatif terjaga keamanannya pernah diestimasi oleh Bismark (2005) terhadap orangutan Kalimantan, yaitu sekitar 350 individu pada areal eks Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 12.000 ha di Kalimantan.
48
D.
Pemilihan Tipe Habitat
Tipe habitat tidak sama dengan habitat. Istilah tipe habitat tidak dapat dijadikan landasan dalam mempelajari hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Tipe habitat merupakan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai tingkat klimaks; sedangkan habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan bervegetasi, tetapi merupakan jumlah kebutuhan sumber daya khusus suatu spesies. Bailey (1984) menyatakan bahwa tipe habitat dicirikan dengan terdapatnya vegetasi utama yang merupakan faktor kesejahteraan bagi satwa liar, contoh hutan primer, hutan pinus, hutan Dipterocarpaceae, dan yang lainnya. Suatu jenis satwa liar dikatakan memiliki sifat selektif (memilih) apabila menggunakan habitat secara tidak proporsional dengan ketersediaannya. Menurut Morris (1987), sebagian besar satwa liar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan menjadi habitatnya, tetapi hanya menempati beberapa bagian tertentu. Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang sangat penting karena mereka dapat bergerak secara mudah untuk mendapatkan makanan, air, tempat reproduksi, atau menempati tempat baru yang lebih menguntungkan. Menurut berbagai hasil penelitian sebelumnya (Galdikas, 1978; Sinaga, 1992; van Schaik et al., 1995), ketersediaan pakan pada habitat tertentu sangat memengaruhi sebaran dan populasi orangutan. Analisis untuk mengidentifikasi pemilihan dan tingkat kesukaan terhadap tipe habitat (habitat type preference) dilakukan melalui penghitungan nilai indeks seleksi (selection index) dan indeks seleksi terstandar (standardized index). Berbagai analisis untuk menghitung nilai indeks seleksi dan indeks seleksi terstandar telah dinyatakan, seperti oleh Manly
49
et al. (1993), Babaasa (2000), dan Hemami et al. (2004). Nilai rasio seleksi kehadiran orangutan (berdasarkan used plot) terhadap tipe habitat dapat diketahui dengan melakukan pengujian menggunakan metode Neu (indeks preferensi). Menurut Manly et al. (2002), nilai-nilai tersebut dapat menunjukkan tingkat seleksi suatu tipe habitat oleh satwa liar. Metode Neu merupakan cara analisis yang sering digunakan dalam penghitungan indeks preferensi dan standardized index (indeks preferensi yang distandarkan) pada satwa liar (Neu et al., 1974). Kriteria uji metode Neu menurut Hemami et al. (2004) yaitu apabila indeks seleksi lebih dari 1 (wi ≥1) maka habitat tersebut disukai, sebaliknya apabila kurang dari 1 (wi <1) maka habitat tersebut akan dihindari (tidak disukai). Pemilihan dan kesukaan terhadap suatu areal oleh orangutan dapat diindikasikan dengan adanya penemuan individu dan jumlah sarang. Analisis untuk menentukan tipe habitat yang dipilih orangutan menggunakan asumsi bahwa semakin besar penggunaan suatu habitat oleh orangutan maka semakin disukai habitat tersebut. Hal ini karena proporsi penggunaannya (used) lebih besar dibandingkan dengan proporsi ketersediaannya (availability). Menurut Harvey dan Head (2006), nilai availability setiap tipe habitat ditentukan berdasarkan persentase terhadap luas seluruh tipe habitat. Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan pada habitat CA Dolok Sipirok dengan menggunakan uji Chi-square menyimpulkan bahwa terdapat pemilihan tipe habitat tertentu oleh orangutan (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa orangutan tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya, tetapi hanya menempati beberapa bagian habitat secara selektif.
50
51
Analisis terhadap pemilihan empat tipe habitat yang dilakukan orangutan di kawasan CA Dolok Sipirok menunjukkan bahwa nilai rasio seleksi (wi) dan indeks standar seleksi (Bi) tertinggi diperoleh pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl (wi= 2,210; Bi= 0,402), kemudian tipe habitat hutan sekunder (wi= 2,052; Bi= 0,373). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl dan hutan sekunder di CA Dolok Sipirok adalah habitat yang berpeluang paling tinggi untuk dipilih oleh orangutan sebagai habitat yang disukai. Hal ini juga sangat terkait dengan kondisi di lapangan bahwa kecenderungan perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder dalam 10 tahun terakhir di Sumatra Utara adalah 77,88% (Kementerian Kehutanan, 2011). Ketersediaan sumber pakan yang lebih banyak pada tipe habitat hutan primer ketinggian 600-900 m dpl menjadi faktor utama mengapa habitat tersebut paling disukai orangutan. Ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang menjamin keamanan dan kenyamanan satwa juga menjadi faktor utama untuk pemilihan lokasi bersarang orangutan (Dierenfeld , 1997; Kuswanda & Sukmana, 2005). Sebaliknya, tipe habitat lainnya yang kurang atau tidak tersedia sumber daya khusus cenderung dihindari oleh orangutan (tidak disukai), seperti hutan primer pada ketinggian di atas 900–1.200 m dpl dan lahan kering bercampur semak belukar. E.
Seleksi Sumber Daya Habitat
Menurut Morrison (2002), sumber daya merupakan faktor komponen biotik dan fisik yang digunakan langsung oleh suatu satwa liar. Sumber daya merupakan semua faktor
52
lingkungan yang memiliki korelasi dengan distribusi, kelimpahan, dan daya reproduksi suatu spesies. Nilai sumber daya dapat dilihat dari kelimpahan, ketersediaan, dan penggunaannya. Pemilihan beberapa tipe habitat oleh satwa liar berhubungan erat dengan ketersediaan sumber daya di dalamnya. Gambar 16. Pemilihan terhadap sumKomposisi tumbuhan pada ber daya pada berbagai ketinggian 600–900 m dpl tipe habitat dapat dijelaskan dengan menggunakan fungsi pemilihan habitat (Resources Selection Function/RSF). Fungsi pemilihan habitat dapat dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu kategorisasi habitat (habitat categorizing) dan kategorisasi lokasi (site categorizing) (van den Berg et al., 2001; Manly et al., 2002; Purnomo, 2009). Penelitian untuk mengetahui seleksi sumber daya habitat oleh orangutan telah dilakukan di CA Dolok Sipirok menggunakan beberapa variabel. Variabel sumber daya habitat (biotik, fisik, dan faktor spasial) yang diamati dan diduga memengaruhi kehidupan orangutan–yang selanjutnya digunakan sebagai variabel bebas (X) terhadap penempatan sarang (Y)–meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pohon (X1) dan
tingkat tiang (X2). Menurut Rijksen (1978), orangutan merupakan satwa liar arboreal yang menempati tajuk-
53
tajuk pohon, terutama pada tingkat tiang dan pohon. Selain itu, orangutan cenderung menempati habitat yang memiliki variasi jenis dan komposisi tumbuhan yang beragam karena membutuhkan variasi dan jenis makanan yang sangat banyak (Meijaard et al., 2001). 2. Luas total bidang dasar
pada tingkat pohon (X3) dan tingkat tiang (X4). Gambar 17. Orangutan cenderung Kerapatan tumbuhan pada memilih pohon dengan hutan sekunder di CA Dolok ukuran tertentu untuk Sipirok beraktivitas, terutama pada tingkat tiang dan pohon (diameter 10–30 cm); seperti untuk makan, membuat sarang, bergerak, dan aktivitas sosial lainnya (Sinaga, 1992; Kuswanda & Sukmana, 2005). 3. Kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon (X5) dan tingkat
tiang (X6). Orangutan sebagian besar hidup pada habitat yang masih baik atau hutan primer dengan kerapatan tumbuhan yang tinggi (Meijaard et al., 2001). 4. Rata-rata jarak tumbuhan pada tingkat pohon (X7). Jarak
antar pohon dapat memengaruhi pertumbuhan dan regenerasi tumbuhan secara alami (Hadiwinoto, 2008), termasuk pada jenis-jenis tumbuhan sumber pakan dan pohon sarang orangutan. Selain itu, orangutan cenderung
54
memilih ranting-ranting yang berdekatan untuk memudahkan dalam pergerakannya (Sinaga, 1992). 5. Luas penutupan tajuk pohon (X8). Menurut Sugardjito
(1986) dan Meijaard et al. (2001), pergerakan orangutan dalam mencari makanan dan aktivitas lainnya banyak dilakukan pada pohon-pohon strata atas yang tajuknya saling terhubung. Kuswanda dan Sukmana (2005) menyatakan bahwa luas penutupan tajuk memengaruhi perilaku orangutan dalam menempatkan sarangnya. 6. Jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X9) dan tingkat
tiang (X10). Menurut Alikodra (2002), satwa liar yang makanannya beranekaragam akan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Berbagai penelitian menyatakan bahwa pergerakan dan distribusi orangutan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakan pada habitatnya, terutama penghasil buah (Rijksen, 1978; Sugardjito, 1986; Sinaga, 1992; Singleton & van Schaik, 2001; PHPA, 2004). Variasi jenis dan kerapatan tumbuhan pakan berpengaruh terhadap reproduksi dan pertumbuhan orangutan. Tumbuhan yang menjadi sumber pakan dan sering dikonsumsi oleh orangutan termasuk klasifikasi tingkat pohon dan tiang. 7. Suhu (X11) dan kelembaban udara (X12).
Suhu dan kelembaban udara merupakan faktor yang penting karena memengaruhi segala bentuk kehidupan. Jenis dan komposisi tumbuhan, perilaku, dan sebaran satwa liar sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban di sekitarnya (Whitmore, 1986; Alikodra, 2002; Tarumingkeng, 1994; van Schaik et al., 1995).
8. Jarak dari gangguan, seperti
ladang,
dan/atau
jalan
pemukiman, perkebunan/ (X13). Aktivitas manusia
55
merupakan salah satu ancaman utama bagi orangutan, dan orangutan cenderung menjauh dari habitat yang sudah terganggu oleh manusia (Departemen Kehutanan, 2007; Kuswanda, 2007a). Fungsi seleksi sumber daya (RSF) oleh orangutan diketahui dengan menggunakan analisis regresi logistik (Manly et al., 2002). Dalam penyusunan model, variabel yang memiliki korelasi >40% dikeluarkan untuk menghasilkan model yang baik (Ludwig & Reynolds, 1988). Variabel yang dikeluarkan adalah kelembaban udara (X12) dan suhu (X11) yang dapat diwakili/dijelaskan oleh variabel penutupan tajuk. Hal ini karena penutupan tajuk pohon dapat memengaruhi kelembaban dan suhu udara pada lantai hutan (Whitmore, 1986). Selanjutnya, model regresi logistik disusun menggunakan bantuan program SPSS 17 yang dilakukan dengan metode backward stepwise tanpa memasukan variabel kelembaban udara, suhu udara, kerapatan tingkat tiang dan tingkat pohon. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Cox & Snell R Square diperoleh sebesar 0,556 dan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,751. Hal ini berarti variabilitas variabel dependen/terikat yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel bebas sebesar 75,1% atau hanya 24,9% kemungkinan dijelaskan oleh faktor yang lain. Hasil step terakhir dari backward stepwise (Tabel 5) menunjukkan terdapat tiga variabel bebas yang signifikan (nilai Sig <0,05), yaitu jumlah jenis tumbuhan pada tingkat tiang (X2), jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X9), dan jenis tumbuhan pakan pada tingkat tiang (X10). Sementara itu, satu variabel bebas yang tidak signifikan, yaitu luas bidang
56
dasar pada tingkat pohon (X3). Variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dalam penyusunan model karena pengaruhnya akan sangat kecil terhadap perubahan variabel terikat/ kehadiran orangutan (Y). Artinya, pengaruh terhadap variabel terikat cenderung sama (tidak signifikan) dengan atau tanpa memasukan variabel tersebut. Tabel 5. Variable in the Equation dari regresi logistik Step
Variable
β
S.E.
Wald
df
Sig. Exp(β)
95% C.I.for EXP(β) Lower
Step 9a
Upper
X2
-1.383
.421 10.770
1 .001
.251
.110
.573
X3
-2.141 1.216 3.099
1 .078
.117
.011
1.275
4.294
2.423
7.611
X9
1.457
.292 24.914
1 .000
X10
2.682
.455 34.720
1 .000 14.618
Constant -5.472 1.446 14.315
1 .000
5.990 35.674
.004
Pada tiga variabel bebas (X) terpilih berdasarkan uji korelasi peringkat Spearman secara umum memiliki nilai korelasi di bawah 50%. Artinya, kekuatan hubungan antar variabel masih di bawah 50% dan dapat dikatakan bahwa antar variabel X terpilih memiliki sifat saling memengaruhi cukup kecil (saling independen/bebas). Hasil analisis nilai korelasi antar variabel X dengan Y yang tinggi (di atas 50%) hanya pada X9 dan X10, sedangkan dengan X2 hanya 17,5%. Variabel X2 selanjutnya tidak dimasukkan dalam penyusunan model karena nilai pengaruhnya terhadap Y cukup rendah dan dapat dijelaskan oleh variabel X10. Menurut Meijaard et al. (2001) dan Purwadi (2010), jenis tumbuhan pakan
57
merupakan faktor yang sangat memengaruhi distribusi orangutan. Berdasarkan tahapan analisis di atas, model RSF yang terbentuk dari persamaan regresi logistik adalah:
Keterangan: = peluang kehadiran orangutan X9 = jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon X10 = jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat tiang
Hasil analisis model RSF menunjukkan bahwa penggunaan habitat oleh orangutan dipengaruhi oleh variabel pakan. Hasil ini sama dengan yang dinyatakan oleh Purwadi (2010) terhadap orangutan di Kalimantan, yaitu faktor yang menentukan frekuensi kehadiran orangutan pada suatu habitat terpilih adalah jumlah jenis dan kerapatan pohon pakan. Tumbuhan pakan merupakan salah satu komponen biotik dari habitat orangutan yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup sebagaimana satwa herbivora lainnya. Pakan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi suatu jenis satwa liar. Pada kualitas habitat yang baik antara 57–80%, waktu aktivitas satwa digunakan untuk mencari, memproses, dan memakan makanan (Meijaard et al., 2001). Bahkan, pada habitat yang memiliki ketersediaan sumber pakan melimpah sepanjang tahun, terutama buah-buahan, orangutan cenderung akan menetap di kawasan tersebut.
58
Berdasarkan tingkatan struktur vegetasi, tumbuhan pakan pada tingkat tiang memiliki nilai pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pohon terhadap peluang kemungkinan kehadiran orangutan (nilai Exp [β] tingkat tiang sebesar 14,618, sedangkan tingkat pohon sebesar 4,294). Oleh karena itu, kemungkinan besar aktivitas orangutan di CA Sipirok lebih banyak dilakukan pada tumbuhan tingkat tiang, terutama jika proporsi tumbuhan pakannya tinggi. Tumbuhan yang lebih berdekatan pada tingkat tiang, terutama di hutan sekunder, kemungkinan lebih banyak dipilih untuk memudahkan pergerakan atau perpindahan dari pohon ke pohon dengan cara berayun.
Gambar 18. Sarang orangutan pada tingkat tiang
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tingkat tiang memiliki peranan yang lebih besar untuk kehidupan orangutan dibandingkan tingkat pohon, terutama berfungsi untuk memudahkan pergerakan dalam berpindah dan mencari makan. Menurut Perbatakusuma et al. (2006), orangutan Sumatra–terutama di kawasan Hutan Batang Toru–lebih banyak beraktivitas (makan, bergerak, dan membuat sarang) pada strata pohon lapisan B (kanopi tengah) dengan ketinggian
59
pohon mencapai 20 cm (umumnya termasuk kategori tingkat tiang dengan diameter 10–20 cm, seperti hau dolok [Syzigium sp.]). Menurut Sinaga (1992) dan Meijaard et al. (2001), pergerakan orangutan dari suatu pohon ke pohon yang lain sering dilakukan dengan cara berayun dengan menggunakan cabang-cabang pohon yang berdekatan dan dilaluinya dengan cara perlahah-lahan. Menurut Suzuki (1989), ketika ketersediaan makanan menurun, orangutan cenderung menggunakan energi secara efisien untuk pindah atau bermigrasi mengikuti gelombang musim berbuah guna menghindari risiko kompetisi makanan, terutama bagi individu yang posisi status sosialnya rendah. Hasil simulasi model RSF menunjukkan bahwa kehadiran orangutan akan berpeluang besar pada habitat yang memiliki jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X9) minimal satu jenis dengan jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat tiang (X10) minimal dua jenis dalam satuan unit luasan plot penelitian (0,04 ha). Sebagai contoh hasil simulasi, pada area yang memiliki X9 sebanyak 1 jenis/400 m2 dengan jumlah X10 sebanyak 1 jenis/100 m2 memberikan peluang kehadiran orangutan sebesar 98%. Peluang kehadiran orangutan menjadi 100% jika pada plot pengamatan terdapat 2 jenis X10. Dari model RSF tersebut dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan jumlah jenis tumbuhan pakan akan meningkatkan peluang kehadiran orangutan. Oleh sebab itu, ketersediaan tumbuhan pakan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama penetapan tree species matching dalam penyusunan program restorasi habitat orangutan.
60
V. SARANG DAN POPULASI
A.
Karakteristik Sarang
Orangutan selalu membuat sarang di atas pohon setiap harinya, baik untuk istirahat di siang hari maupun tidur. Penelitian untuk menduga populasi orangutan sebagian besar dilakukan dengan metode tidak langsung, seperti berdasarkan penemuan sarang. Hal ini karena pendugaan jumlah populasi orangutan secara langsung dengan waktu penelitian yang terbatas cukup sulit dilakukan. Menurut Meijaard et al. (2001), penelitian kepadatan orangutan secara langsung harus dilakukan dalam waktu yang panjang dan dilaksanakan pada populasi orangutan yang sudah diketahui lokasi dan penyebarannya. Meskipun keberadaan orangutan liar Gambar 19. sulit dideteksi dan ditemuSarang khas orangutan; terdapat dua sarang dalam satu pohon kan secara langsung, ke-
61
hadirannya mudah dipastikan dengan mencari sarang-sarang khas yang dibangun setiap hari oleh orangutan. Menurut van Schaik et al. (1995), sarang orangutan tetap dapat dilihat relatif lama sehingga bisa menjadi dasar dalam menduga jumlah orangutan yang berada di kawasan tertentu. Keberadaan sarang sering dijadikan oleh para peneliti sebagai dasar untuk menduga ukuran populasi orangutan pada suatu kawasan hutan. Orangutan minimal membangun sarang satu kali setiap hari untuk beristirahat dan tidur pada malam hari (van Schaik et al., 1995; Singleton & van Schaik, 2001; Ancrenaz, 2004). Hasil penelitian karakteristik sarang orangutan pada habitat alam di kawasan Hutan Batang Toru, yaitu di CA Dolok Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok dapat diuraikan sebagai berikut. 1.
Jenis Pohon dan Ukuran Sarang
Jenis pohon sarang yang digunakan orangutan cukup bervariasi. Jenis-jenis pohon yang sering digunakan sebagai pohon sarang, antara lain talun (Styrax serrulatus Roxb.), mayang (Palaquium gutta Burch), hoteng (Quercus sp.), meranti (Shorea sp.) medang nangka (Eleaocarpus obtusus), beringin (F. benjamina), dan durian hutan (Durio zibethinus). Jenis-jenis pohon sarang umumnya menyebar pada daerah lintasan orangutan. Sarang yang dibangun orangutan juga memiliki ukuran yang sangat bervariasi dengan panjang sarang berkisar 60– 150 cm. Namun, ukuran sarang ini tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelas umur orangutan. Menurut Galdikas (1978) dan Kabangga (2010), variasi ukuran sarang tidak berbeda nyata antara semua kelas umur, namun hanya
62
berbeda untuk kelas umur anak dan jantan dewasa; sedangkan untuk kelas umur anak, muda, dan betina dewasa tidak berbeda. Perbedaan ukuran sarang pada setiap kelas umur sangat mungkin disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh. Ketinggian sarang orangutan juga sangat bervariasi, meskipun lebih banyak ditemukan pada ketinggian 8–17 m dari permukaan tanah. 2.
Umur Sarang
Kriteria umur sarang orangutan dapat diklasifikasikan (Ancrenaz, 2004), seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria umur sarang orangutan Umur sarang A B C D E
Kriteria Baru, segar, semua daun berwarna hijau. Belum lama, semua daun masih ada, warna daun mulai kecokelatan. Lama (tua), sebagian daun sudah hilang, sarang masih terlihat kokoh dan utuh. Sangat lama, ada lubang-lubang di bangunan sarang. Nyaris hilang, tinggal beberapa ranting dan cabang kayu, bentuk asli sarang sudah hilang.
Merujuk pada kriteria di atas, sarang orangutan yang ditemukan pada saat penelitian di kawasan Hutan Batang Toru umumnya sudah berumur relatif lama. Sebagai contoh, umur sarang yang ditemukan pada kawasan CA Dolok Sipirok paling banyak sudah termasuk kelas C (sebesar 41,98%) dan kelas D (30,86%). Sarang baru, yang termasuk kelas A, hanya
63
Gambar 20. Deskripsi sarang pada berbagai kelas umur
ditemukan sekitar 6,17%. Sarang baru banyak ditemukan, terutama pada tipe habitat hutan primer ketinggian 600–900 m dpl. Penemuan sarang kelas C dan kelas D, terutama pada tipe habitat dengan ketinggian lokasi 900–1.200 m dpl, mengindikasikan jumlah tumbuhan pakan di lokasi tersebut sedikit sehingga orangutan kemungkinan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas untuk mendapatkan makanan yang berkualitas. Menurut Meijaard et al. (2001), panjang jarak
64
pergerakan harian dan luas daerah jelajah orangutan dewasa sangat dipengaruhi oleh sebaran tumbuhan pakan. Wilayah jelajah orangutan jantan dewasa dapat mencapai 2.500 ha dan betina dewasa sekitar 850 ha (Galdikas, 1978). 3.
Posisi Sarang
Kriteria untuk menentukan posisi sarang orangutan dalam penelitian ini merujuk pada Ancrenaz (2004), sebagai berikut. Tabel 7. Klasifikasi posisi sarang orangutan Posisi sarang
Kriteria
1
Letak sarang pada bagian atas tajuk pohon
2
Letak sarang pada percabangan utama pohon
3
Letak sarang pada percabangan pohon (anak cabang) Letak sarang pada lebih dari satu pohon
4
Penelitian di CA Dolok Sipirok menunjukkan bahwa letak sarang yang paling banyak ditemukan adalah pada posisi 2 (percabangan utama pohon), yaitu 40,47%; kemudian posisi 1 (bagian atas tajuk pohon), yaitu 35,80%; dan yang sedikit pada posisi 4, yaitu 3,70%. Hasil pengamatan di CA Dolok Sibual-buali juga menunjukkan bahwa sekitar 46,7% orangutan membuat sarang pada bagian atas tajuk pohon dan 20,0% pada ujung cabang (Kuswanda & Sukmana, 2005). Orangutan lebih banyak memilih bagian tajuk pohon karena pada puncak pohon dan ujung cabang memiliki bahan sarang
65
yang cukup. Cabang dan ranting pohon yang mengelompok secara vertikal dan horizontal pada bagian ini memudahkan pembentukan lingkaran sarang, mangkuk sarang, dan penyangganya yang mampu menopang berat tubuh orangutan. Hasil uji Chi Square di kedua lokasi penelitian menunjukkan adanya pemilihan bagian tertentu pohon sarang yang akan dijadikan tempat bersarang oleh orangutan. Prasetyo et al. (2009) menyatakan juga bahwa posisi pohon memainkan peran utama dalam membangun sarang. Posisi sarang dibuat agar memungkinkan orangutan mendapatkan arah pandang yang baik dan jelas ke sekitar hutan, seperti pada bagian atas tajuk pohon. Sambil berisitirahat di atas sarang, aktivitas lain yang dilakukan oleh orangutan adalah mengamati lingkungan sekitarnya, terutama untuk bersembunyi dan menghindar dari predator (Meijaard et al., 2001). 4.
Diameter dan Tinggi Pohon Sarang
Hasil penelitian di kawasan Hutan Batang Toru menunjukkan bahwa orangutan umumnya menyukai pohon dengan diameter 16–35 cm. Kelompok pohon ini memiliki cabang dan ranting yang kuat dan berdaun lebat sehingga dapat menambah kenyamanan tidur bagi orangutan. Orangutan tidak memilih pohon sarang pada ketinggian tertentu untuk dijadikan lokasi bersarang, meskipun terdapat kecenderungan orangutan menyukai pohon sarang dengan ketinggian bebas cabang di bawah 10 m dari permukaan tanah. Orangutan lebih memilih posisi sarang pada pohon yang memiliki ujung-ujung cabang relatif kecil (Simorangkir, 2009). Hal ini penting sebagai strategi untuk memudahkan
66
mendeteksi kehadiran predator karena ujung cabang yang lebih kecil akan lebih elastis dan mudah bergoyang. B.
Pendugaan Populasi
Pendugaan populasi orangutan berdasarkan temuan sarang perlu memperhitungkan berbagai parameter perilaku orangutan yang memengaruhi proses analisis data. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan nilai dugaan dengan bias yang kecil atau lebih teliti. Data yang digunakan untuk mendapatkan parameter tersebut dilakukan melalui studi literatur hasil-hasil penelitian sebelumnya yang dilaksanakan dalam waktu yang lama dan kontinu. Parameter tersebut adalah rata-rata jumlah sarang (r), umur sarang (t), dan proporsi pembuat sarang (p). Nilai r merupakan rata-rata jumlah sarang/hari per individu yang dibuat oleh orangutan pada suatu populasi di suatu kawasan tertentu. Menurut beberapa hasil penelitian, nilai r di Ketambe diperoleh sebesar 1,8 (Rijksen, 1978); sedangkan di Suaq Belimbing, TN Gunung Leuser, sebesar 1,6 (Rijksen, 1978) dan 1,7 (van Schaik et al., 1995). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nilai rata-rata r yang digunakan untuk menduga populasi orangutan, yaitu sebesar 1,7 sarang/hari per individu. Nilai t adalah lamanya waktu sarang orangutan masih terlihat secara jelas (visibility). Faktor yang memengaruhi lamanya umur sarang, yaitu tipe dan struktur hutan, jenis pohon berkayu, suhu, dan kelembaban. Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka sarang akan terlihat lebih lama atau nilai t akan lebih besar. Nilai t pada tipe hutan sub Montana menurut van Schaik et al. (1995) adalah 170 hari,
67
sedangkan menurut Lubis et al. (2001) adalah 219 hari. Selanjutnya, nilai t yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai t rata-rata dari hasil kedua penelitian tersebut, yaitu 194,5 hari. Nilai p merupakan proporsi pembuat sarang dalam suatu populasi orangutan. Nilai p yang digunakan adalah sebesar 90% atau 0,9 (van Schaik et al., 1995; Buij et al., 2002). Hasil penelitian di Ketambe dan di Suaq Belimbing diketahui bahwa sebanyak 90% dari populasi orangutan membuat sarang setiap hari, sedangkan sisanya (10%) merupakan individu bayi yang masih dalam asuhan induknya yang tidak membuat sarang. Pendugaan ukuran populasi di lokasi penelitian seperti pada Tabel 8 berikut. Tabel 8.
Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok Sibual-buali
Nilai Dugaan Jumlah Rata-rata No. dugaan populasi Lokasi sarang lebar jalur Jalur kepadatan per penelitian (individu/ Habitat Total jalur (m) km2) 1 9 19,22 0,788 11,82 39,4 Wilayah 2 7 20,57 0,572 8,58 28,6 Barat 3 13 21,54 1,014 15,21 50,7 1 2 20,50 0,164 2,46 8,2 Wilayah 2 5 21,80 0,385 5,78 19,3 Timur 3 3 19,00 0,265 3,98 13,2 Total dugaan rata6,5 20,42 0,531 8 27 rata
68
Populasi orangutan di CA Sibual-buali berdasarkan Tabel 8 diketahui memiliki rata-rata kepadatan 0,8 individu/km2 (di wilayah Barat) dan 0,3 individu/km2 (di wilayah Timur), sehingga rata-rata kepadatan di seluruh wilayah sebanyak 0,53 individu/km2. Apabila luas kawasan CA Sibual-buali secara keseluruhan 50 km2, nilai dugaan ratarata populasi orangutan tersebut sebanyak 27 individu. Menurut Meijaard et al. (2001), persentase kawasan yang digunakan sebagai habitat orangutan hanya sekitar 36% atau 15 km2. Namun, pada kawasan cagar alam ini, orangutan dapat menggunakan habitat yang berbatasan dengan kebun atau hutan sekunder sehingga habitat yang ditempati orangutan cukup luas. Dengan demikian, dugaan populasi orangutan di CA Dolok Sibual-buali adalah sebanyak 8–27 individu. Rata-rata kepadatan populasi orangutan di kawasan CA Dolok Sipirok diperkirakan sebanyak 0,47 individu/km2 dengan dugaan populasi sebanyak 22–40 individu (Tabel 9). Kepadatan tertinggi dari populasi tersebut ditemukan pada hutan primer ketinggian 600–900 m dpl (1,02 individu/km2). Penelitian Perbatakusuma et al. (2006) menunjukkan bahwa kepadatan orangutan pada setiap kawasan hutan di bagian Barat Batang Toru berkisar 0,3–1,2 individu/km2. Sementara itu; penelitian LIPI, Newmont Horas Nauli dan Hartfield (2005) dalam Perbatakusuma et al. (2006) memperkirakan bahwa kepadatan populasi orangutan di kawasan hutan alam di lokasi Prospek Martabe, hutan lindung dan konsesi PT. Teluk Nauli di Tapanuli Selatan berkisar 0,1–1,0 individu/km2.
69
Tabel 9.
Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok Sipirok
Lokasi
Jumlah jalur
Rata-rata Rata-rata Kepadatan Dugaan sarang lebar populasi populasi per jalur jalur (individu/ (individu) (km) (m) km2)
Hutan primer di atas 900– 1.200 m dpl
20
2,6
25,8
0,36
19
Hutan primer 600–900 m dpl
4
5,0
16,5
1,02
9
Hutan Sekunder
3
3,0
33,2
0,43
2
Pertanian lahan kering, semak dan kebun campur
2
0,5
10,0
0,08
1
Total
29
2,8
21,4
0,47
31± 9
Kepadatan populasi orangutan di CA Dolok Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok tergolong rendah apabila dibandingkan dengan lokasi lainnya. Menurut van Schaik et al. (1995), kepadatan orangutan di Ketambe dan Mamas (TN Gunung Leuser) pada Zona Sub Montana masing-masing sebanyak 1,2 individu/km2 dan 0,7 individu/km2. Sugardjito (1986) menyatakan bahwa kepadatan populasi orangutan di Sumatra Utara menurun secara bertahap dengan bertambahnya ketinggian tempat dari permukaan laut (altitude). Pada daerah dataran rendah diperkirakan ±5 individu/km2 dan menurun pada daerah pegunungan menjadi 2 individu/km2. Kemudian, kepadatan menurun lagi pada ketinggian 1.000–
70
1.500 m dpl menjadi 0,5 individu/km2 dan di atas 1.500 m dpl tidak terdapat orangutan. Ketersediaan jenis makanan utama yang bervariasi pada setiap ketinggian tempat diduga memengaruhi sebaran populasi orangutan. Pada hutan primer dataran rendah masih banyak ditemukan beragam jenis tumbuhan pakan, terutama penghasil buah-buahan, di antaranya dari Famili Moraceae. Secara keseluruhan, dugaan populasi orangutan di Hutan Batang Toru sekitar 170 individu (Kuswanda, 2006b). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan survey yang difasilitasi oleh Conservation International yang dilakukan pada tahun 2006 (Conservation International-Indonesia, 2006). Dugaan kepadatan orangutan di DAS Batang Toru dikemukakan juga oleh Simorangkir (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan tertinggi diperkirakan sekitar 0,30–0,71 individu/km2. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebaran orangutan di Hutan Batang Toru lebih banyak pada hutan lindung, hutan produksi, dan lahan masyarakat dibandingkan pada hutan konservasi. Populasi orangutan di hutan konservasi diperkirakan hanya 30–40% dari seluruh orangutan yang masih hidup di Hutan Batang Toru. Oleh sebab itu, pengembangan strategi konservasi di luar kawasan konservasi sangat penting dan akan diuraikan pada Bab terakhir dalam buku ini. C.
Parameter Demografi
Karakteristik populasi yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan rencana pengelolaan satwa liar, baik untuk tujuan pelestarian maupun pemanfaatan adalah parameter demografinya. Menurut Tarumingking (1994), beberapa parameter demografi satwa
71
liar yang penting adalah gambaran struktur umur, rasio seks, angka kelahiran, dan angka kematian. Dalam perkembangan hidupnya, orangutan dapat digolongkan berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam 4–5 tahap (Rijksen, 1978; Galdikas, 1978), sebagai berikut. 1. Bayi (infant), umur 0–4 tahun. Warna rambut jauh lebih pucat dan bercak putih meliputi seluruh tubuh. Bayi selalu berpegangan pada induknya, kecuali pada waktu makan di pohon atau saat menyusui. 2. Anak (juvenile), umur 4–7 tahun. Wajah lebih pucat dibandingkan dewasa, tetapi lebih gelap dari bayi; bercak putih di badan sudah tidak jelas. Anak berpindah bersama induk, tetapi sudah terlepas dari pegangan induknya, dan masih menyusui. 3. Remaja (adolescent), umur 7–15 tahun (pada jantan) dan 7–12 tahun (pada betina). Tahap umur ini sudah lepas dari induknya, warna mulai terlihat gelap, dan bantalan pipih pada jantan sudah terbentuk. 4. Dewasa (adult), umur 15–35 tahun (pada jantan) dan 12– 35 tahun (pada betina). Jantan dewasa memiliki ukuran tubuh sangat besar, sudah ada bantalan pipih, berkantong suara, wajah berjanggut, dan sering mengeluarkan suara panjang (long call). Tahap dewasa hidup secara soliter dan hanya berpasangan pada musim kawin. Betina dewasa telah beranak dan sering diikuti anaknya, kadang-kadang berpindah bersama betina lainnya. 5. Tua, berumur di atas 35 tahun. Rambut sudah mulai tipis dan jarang, tidak lagi di ikuti bayi atau remaja, dan gerakannya sudah mulai lamban.
72
Hasil penelitian di Ketambe, Provinsi Aceh, diperoleh informasi bahwa orangutan betina pertama kali melahirkan setelah berumur 14,7 tahun dan terakhir kali melahirkan diperkirakan setelah berumur 43–50 tahun. Umur reproduksi pertama pada jantan diperkirakan setelah berumur 25 tahun. Jarak kelahiran pada orangutan berkisar 8–10 tahun atau rata-rata 9 tahun. Perbandingan rasio seks anak yang lahir dari 28 kasus kelahiran, yaitu 55% jantan dan 45% betina. Kematian bayi (umur 0–1 tahun) sekitar 6,9% dan setelah berumur di atas 15 tahun sekitar 1,75% pada jantan dan 1,25% pada betina. Lama hidup orangutan Sumatra diperkirakan 53 tahun untuk betina dan 53–58 tahun untuk jantan (Wich et al., 2003).
Gambar 21. Orangutan Batang Toru (betina dewasa dan bayinya)
73
VI. PERILAKU
A.
Jenis Perilaku Orangutan
Perilaku orangutan diartikan sebagai semua aktivitas yang dilakukan mulai keluar dari sarangnya pada pagi hari dan berakhir ketika kembali ke sarangnya pada sore hari. Perilaku orangutan secara umum meliputi aktivitas makan, bergerak, istirahat, sosial, dan membuat sarang. Uraian ringkas tentang perilaku orangutan berdasarkan telaah terhadap hasil penelitian dan sumber lainnya (Rijksen, 1978; Galdikas, 1978; Meijaard et al., 2001), sebagai berikut. 1.
Perilaku Makan
Orangutan adalah satwa liar diurnal (aktif siang hari) yang hidup dan mencari makan pada tajuk pohon (arboreal).
Gambar 22. Perilaku makan orangutan Batang Toru
75
Orangutan Sumatra sangat jarang atau mungkin tidak pernah ditemukan mencari makan di atas permukaan tanah. Aktivitas makan merupakan aktivitas yang dimulai ketika orangutan mencari, mengunyah makanan sampai ketika berhenti makan; termasuk pergerakan saat melakukan makan. Orangutan umumnya mencari makan pada pohon yang terdapat di daerah lintasan atau wilayah jelajahnya. Orangutan mencari makan sendiri dan tidak pernah terlihat membentuk kelompok kecil atau sub kelompok. Aktivitas orangutan saat mengambil makanan lebih sering menggunakan satu tangan dibandingkan menggunakan kedua tangannya. Secara umum, terdapat beberapa teknik mengambil dan makan orangutan, yaitu bergelantung dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri mengambil dan memasukan makanannya; bergelantung dengan bantuan kedua kaki yang bertumpu pada satu cabang atau ranting yang tegak lurus; dan duduk pada cabang atau ranting dengan kedua tangan mengambil makanan. 2.
Perilaku Berpindah
Berpindah merupakan semua aktivitas pergerakan orangutan dari suatu tempat/ pohon ke tempat/ pohon yang lain. Pergerakan orangutan sering dilakukan dengan berjalan quadra pedal (menggunakan tangan
76
Gambar 23. Perilaku berjalan di batang pohon
dan kaki) di percabangan kanopi pohon atau berayun dengan menggunakan cabang-cabang pohon yang kuat untuk menyangga tubuhnya. Orangutan terlebih dahulu menguji kekuatan cabang atau ranting yang akan dilaluinya dengan cara bergerak perlahah-lahan. Menurut Meijaard et al. (2001), sistem pergerakan orangutan dalam kegiatan jelajah hariannya sedikitnya terbagi menjadi tiga, yaitu (1) penetap, orangutan yang selama beberapa tahun berada di suatu daerah tertentu; (2), penglaju, orangutan yang secara teratur selama beberapa minggu atau bulan setiap tahun hidup nomadis; (3) pengembara, orangutan yang tidak pernah atau sangat jarang kembali ke tempat semula dalam waktu paling sedikit tiga tahun. Orangutan penetap sangat jarang, terutama pada habitat yang luas. orangutan penetap biasanya menempati habitat yang sempit, tetapi dengan makanan berkualitas baik. 3.
Perilaku Istirahat dan Sosial
Istirahat sering diartikan sebagai semua aktivitas orangutan yang meliputi posisi diam, tidur, duduk, atau bersembunyi di kanopi pohon. Istirahat adalah salah satu aktivitas yang umum dilakukan orangutan. Orangutan umumnya beristirahat sambil duduk di atas cabang pohon atau bergelantung pada cabang atau ranting menggunakan tangannya. Perilaku sosial merupakan aktivitas orangutan yang meliputi kegiatan bersuara, menggaruk badan, mengamati lingkungan sekitar, kencing dan buang kotoran. Orangutan biasanya mempunyai arena sosial dalam sistem perkawinannya. Arena sosial merupakan suatu lokasi peragaan beberapa jantan yang berada dalam satu wilayah
77
jelajah yang tumpang tindih yang digunakan untuk menarik perhatian orangutan betina. Pada arena sosial ini, betina yang lebih muda akan dikawini oleh jantan yang berstatus lebih tinggi. Arena sosial biasanya terdapat pada habitat yang keanekaragaman dan jumlah makanan pokoknya tertinggi, yaitu distribusi buah-buahan tersedia selama satu tahun. Untuk mendapatkan betina yang akan dikawini, orangutan jantan harus aktif dan bersaing dengan individu lainnya. Pemerkosaan sering terjadi pada betina pradewasa dan dewasa muda yang baru bertemu atau bertemu lagi setelah lama berpisah dengan jantan remaja atau dewasa. Perilaku sosial yang sering dilakukan, terutama pada individu dewasa, yaitu bersuara. Bersuara merupakan cara komunikasi pada orangutan, terutama bila merasa terganggu oleh hadirnya satwa lain ataupun manusia. Saat merasa terganggu, orangutan membuat bunyi kecupan dan dengusan, serta reaksi lain seperti “kiss hoot” dan “kiss squek” sambil mematah-matahkan ranting/dahan yang ditujukan kepada manusia. Selain itu, orangutan mempunyai kebiasaan membuang kotoran dan kencing ketika mengawali aktivitas hariannya (baru keluar dari sarang), sebelum bergerak untuk mencari makan. Cara kencing orangutan biasanya sambil bergantung dengan kedua tangan memegang dahan. 4.
Perilaku Membuat Sarang
Membuat sarang merupakan aktivitas orangutan mulai dari membuat sarang sampai selesai sebelum tidur atau istirahat. Orangutan minimal sekali dalam sehari membuat sarang untuk tidur. Orangutan membuat sarang dari rantingranting yang daunnya masih segar dan berukuran sedang. Ukuran sarang disesuaiakan dengan ukuran tubuhnya dengan
78
luasan sarang dapat menutupi tubuh orangutan sehingga tidak terlihat dari permukaan tanah.
Gambar 24. Orangutan beristirahat siang di atas sarang
B.
Aktivitas Harian
Aktivitas harian orangutan merupakan semua perilaku orangutan yang dimulai dari bangun tidur pada pagi hari sampai kembali ke sarangnya untuk tidur pada malam hari. Pengamatan aktivitas harian orangutan biasanya dimulai pukul 06.00 WIB (saat orangutan masih dalam sarangnya atau sudah mulai beraktivitas) sampai pukul 18.00 WIB (ketika orangutan memasuki sarang tidur dan/atau masih beraktivitas). Secara umum, aktivitas harian orangutan yang diamati, antara lain makan, bergerak, istirahat, sosial, dan membuat sarang (Galdikas, 1978). Informasi aktivitas harian orangutan Batang Toru yang dibedakan menurut kelas umur pada setiap periode pengamatan (pagi, siang, dan sore hari) di CA Dolok Sibual-buali, sebagai berikut (Kuswanda & Sugiarti, 2005b).
79
1.
Alokasi Penggunaan Waktu Harian
a. Aktivitas Periode Pagi Hari (Pukul 06.00–10.00 WIB)
33.75
0.00
Jantan Remaja (Sub Adult Male)
0.00
10.0
Betina Dew asa (Adult Female)
0.00
28.75
8.33
11.67
9.58
10.83
20.0
20.00
30.0
Jantan Dew asa (Adult Male)
37.92
36.25
43.75
40.0
18.75
Durasi (%)
50.0
40.42
Orangutan mulai beraktivitas pada pagi hari ketika keluar dari sarang tidurnya. Aktivitas makan pada pagi hari mempunyai alokasi waktu yang paling banyak, yaitu sebesar 34,31%, kemudian berturut-turut aktivitas bergerak 31,39%, sosial 23,61%, dan istirahat 10,69%. Aktivitas makan betina dewasa memiliki alokasi yang paling besar, yaitu 43,75% (Gambar 25). Betina dewasa memiliki ukuran tubuh yang paling besar dibandingkan individu lainnya sehingga membutuhkan makanan untuk menghasilkan energi yang lebih banyak. Pada aktivitas makan, alokasi waktu untuk mencari dan makan buah-buahan memiliki persentase paling besar. Persentase lamanya waktu untuk mengonsumsi buah sebesar 58%, daun sebesar 25%, dan sisanya untuk mengonsumsi bunga, kulit pohon, dan serangga.
0.0 Makan (Feeding) Bergerak(Moving) Istirahat (Resting)
Sosial (Social)
Membuat sarang (Nesting)
Jenis Aktivitas Orang Utan
Gambar 25. Durasi aktivitas orangutan pada pagi hari berdasarkan kelas umur
80
Alokasi waktu total untuk aktivitas bergerak (berjalan di antara tajuk pohon) pada pagi hari adalah 31,39%. Jantan remaja memiliki alokasi waktu bergerak paling tinggi, yaitu sebesar 37,92%. Menurut Sinaga (1992), aktivitas bergerak merupakan kegiatan perpindahan dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mencari makan, mencari individu lainnya, dan/atau mengelilingi wilayah Gambar 26. jelajahnya. Lebih lanjut Aktivitas makan orangutan pada disebutkan, jantan pra- pagi hari dewasa (remaja) memiliki waktu bergerak cukup tinggi, yaitu sebesar 26,3% dari total waktu aktivitas hariannya. Sementara itu, Djojosudharmo (1978) dalam Sinaga (1992) melaporkan bahwa orangutan mulai bergerak sejak matahari terbit sampai terbenam dan selalu berpindah-pindah dengan radius harian rata-rata 500 meter. Berdasarkan hasil penelitian pada periode pagi hari jantan remaja memiliki jarak pergerakan paling jauh 218 m, kemudian jantan dewasa sejauh 178 m, dan yang terpendek adalah betina dewasa sejauh 157 m.
81
Aktivitas istirahat pada betina dewasa memiliki alokasi waktu yang paling tinggi, yaitu 11,67%, disusul jantan dewasa 10,83%, dan yang terendah jantan remaja sebesar 9,58%. Jantan remaja memiliki alokasi waktu istirahat lebih sedikit karena waktunya lebih banyak digunakan untuk bergerak. Alokasi waktu untuk aktivitas sosial pada pagi hari sebesar 23,61%. Jantan remaja memiliki waktu aktivitas sosial yang paling tinggi sebesar 33,75%. Aktivitas sosial jantan remaja yang sering tercatat adalah bersuara, terutama saat bertemu dengan kelompok primata lainnya, seperti beruk (Macaca nemestrina) yang sedang mencari makan di areal teritorial orangutan, dan juga dengan kehadiran manusia. Frekuensi tertinggi aktivitas orangutan pada pagi hari untuk makan frekuensi terdapat pada betina dewasa sebesar 37,50%, sedangkan frekuensi tertinggi pada aktivitas bergerak ditemukan pada jantan remaja sebesar 54,54%. Aktivitas istirahat dan sosial terbanyak dilakukan oleh jantan dewasa masing-masing sebesar 18,52% dan 22,23%. Selama periode pagi hari, setiap individu orangutan tidak melakukan aktivitas membuat sarang. b. Aktivitas Periode Siang Hari (Pukul 10.00–14.00 WIB) Alokasi waktu dalam aktivitas orangutan pada periode siang hari lebih banyak digunakan untuk aktivitas sosial, yaitu sebesar 42,36%. Alokasi waktu tersebut termasuk pula waktu tidur karena aktivitas ini dimasukan pada aktivitas sosial. Alokasi waktu makan pada siang hari lebih sedikit dibandingkan periode pagi hari, yaitu untuk jantan dewasa hanya 13,75% dan betina dewasa 28,75%, sedangkan jantan remaja sebesar 19,58% (Gambar 27). Hal ini disebabkan pada siang hari terjadi kenaikan suhu udara sehingga
82
60
Betina Dew asa (Adult Female)
4.58
10
5.00
3.75
3.33
26.25
Jantan Remaja (Sub Adult Male)
12.08
12.50
17.08
15.00
20
Jantan Dew asa (Adult Male)
37.50
28.75
30
19.58
40
13.75
Durasi (%)
50
47.92
52.92
orangutan lebih banyak melakukan aktivitas sosial, termasuk tidur. Aktivitas istirahat orangutan pada siang hari sangat sedikit karena setelah bangun tidur siang, orangutan cenderung melakukan aktivitas makan, bergerak, dan sosial lainnya.
0 Makan (Feeding) Bergerak(Moving) Istirahat (Resting)
Sosial (Social)
Membuat sarang (Nesting)
Jenis Aktivitas Orangutan
Gambar 27. Durasi aktivitas orangutan pada siang hari berdasarkan kelas umur
Pada siang hari, orangutan membuat sarang untuk tidur siang dengan alokasi waktu sebesar 4,45%. Sedikitnya sekali dalam sehari, orangutan membuat sarang yang dibuat dari ranting-ranting dan daun-daun segar. Pembuatan sarang relatif cepat berkisar 9–12 menit. Jantan dewasa membuat sarang paling cepat, yaitu dalam waktu 9 menit. Hal ini kemungkinan disebabkan jantan dewasa dan jantan remaja mempunyai gerakan yang lebih cepat dan lincah. Pada umumnya, penempatan sarang berada pada pohon yang tajuknya tidak berhubungan dengan pohon lain dan selalu pada ujung-ujung cabang yang relatif kecil sehingga bila ada gangguan segera dapat diketahui dari goyangan ranting ataupun dahannya. Pembuatan sarang untuk tidur siang
83
umumnya sederhana dan dibuat relatif lebih tinggi dibandingkan untuk sarang tidur malam (Kuswanda & Sukmana, 2005). Selain untuk keamanan, cara ini juga terkait dengan iklim mikro setempat. Pada aktivitas makan, bergerak, dan istirahat; frekuensi tertinggi terdapat pada jantan remaja masing-masing sebesar 28,00%, 44,00%, dan 20,00%. Pada aktivitas sosial, frekuensi tertinggi ditemukan pada betina dewasa sebesar 25,00%. Sementara itu, pada aktivitas membuat sarang, masingmasing individu mempunyai frekuensi satu kali. Walaupun mempunyai alokasi waktu yang paling besar, aktivitas tidur– yang dimasukkan dalam aktivitas sosial–ternyata mempunyai alokasi waktu yang cukup lama dibandingkan dengan alokasi untuk aktivitas sosial lain. Tidur siang hari tersebut hanya dilakukan satu kali, namun bisa berlangsung 90–120 menit. 36.25
24.17
Jantan Remaja (Sub Adult Male)
5.00 0.00
10
4.58
11.25
8.75
19.58
34.17
31.67
34.58
Betina Dew asa (Adult Female)
15.83
20
Jantan Dew asa (Adult Male)
17.50
30
23.75
Durasi (%)
40
32.92
50
0 Makan (Feeding) Bergerak(Moving) Istirahat (Resting)
Sosial (Social)
Membuat sarang (Nesting)
Jenis Aktivitas Orangutan
Gambar 28. Durasi aktivitas orangutan pada sore hari berdasarkan kelas umur
c. Aktivitas Periode Sore Hari ( Pukul 14.00–18.50 WIB) Pada periode sore hari, aktivitas bergerak mempunyai alokasi waktu yang paling tinggi, yaitu 34,03% dibandingkan
84
dengan aktivitas lainnya. Jantan remaja tetap mempunyai alokasi waktu bergerak yang paling tinggi (36,15%) dengan jarak tempuh 223 m, disusul jantan dewasa (34,17%) dengan jarak tempuh 198 m dan betina dewasa (31,67%) dengan jarak tempuh 130 m. Aktivitas makan kembali meningkat pada periode sore hari dengan total alokasi waktu sebesar 30,42%. Betina dewasa menggunakan alokasi waktunya paling banyak untuk makan, yaitu sebesar 34,56% (Gambar 28). Lamanya aktivitas makan orangutan pada sore hari digunakan untuk mengembalikan energinya setelah beraktivitas pada siang hari dan untuk persiapan sebelum tidur malam. Aktivitas istirahat meningkat pula pada sore hari dengan total alokasi waktu sebesar 17,64%. Jantan dewasa mempunyai waktu untuk istirahat paling banyak sebesar 19,58%. Aktivitas istirahat pada sore hari yang sering dilakukan adalah duduk, diam, dan melihat lingkungan sekelilingnya. Aktivitas sosial agak menurun pada sore hari dengan total alokasi waktu hanya sebesar 14,72%. Jantan remaja mempunyai alokasi waktu yang paling tinggi untuk aktivitas sosial sebesar 24,17%, yaitu terkait dengan aktivitas bermain dan belajar dengan individu lainnya. Sedikitnya waktu sosial selama periode sore hari karena saat pengamatan tidak ditemukan aktivitas tidur. Alokasi penggunaan waktu untuk membuat sarang pada sore hari untuk tidur malam agak menurun, yaitu hanya sebesar 3,19%. Pada waktu pengamatan, hanya jantan dewasa dan betina dewasa yang sudah membuat sarang tidur, sedangkan jantan remaja masih beraktivitas sampai akhir waktu pengamatan dan tercatat baru membuat sarang sekitar pukul 18.24 WIB. Oleh sebab itu, durasi total aktivitas
85
membuat sarang pada periode sore hari lebih kecil dibandingkan siang hari. Jantan dewasa lebih cepat membuat sarang tidur dibandingkan dengan betina dewasa. Frekuensi paling tinggi untuk aktivitas makan, bergerak, istirahat, dan sosial adalah sebagai berikut. Pada aktivitas makan, frekuensi yang paling tinggi terdapat pada betina dewasa sebesar 30,77%. Pada aktivitas bergerak, frekuensi tertinggi pada jantan remaja sebesar 41,67%. Pada aktivitas istirahat, frekuensi tertinggi terdapat pada jantan remaja dan jantan dewasa, masing-masing 20,83% dan 22,73%. Pada aktivitas sosial, frekuensi tertinggi ditemukan pada betina dewasa sebesar 23,08%. Pada aktivitas pembuatan sarang, masing-masing individu mempunyai frekuensi satu kali, kecuali jantan remaja. Selanjutnya pada sore hari, aktivitas bergerak mempunyai frekuensi yang paling tinggi, yaitu sebesar 31,94% untuk mencari makan, menjelajah, dan mencari pohon sarang untuk tidur pada malam hari. 2.
Hubungan Kelas Umur dengan Aktivitas Harian
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Uji Chi-Square (X2) terhadap alokasi penggunaan waktu individu orangutan dalam beraktivitas menunjukkan bahwa nilai hitung X2 > X2 tab pada setiap periode pengamatan. Hal ini berarti bahwa alokasi penggunaan waktu pada aktivitas harian orangutan berbeda sesuai dengan kelas umurnya. Perbedaan alokasi penggunaan waktu pada setiap kelas umur orangutan dimungkinkan karena adanya perbedaan kepentingan memenuhi kebutuhan pakan dan aktivitas sosial atau individu. Jantan remaja lebih banyak waktunya untuk bergerak (berjalan di antara tajuk pohon) dibandingkan
86
betina dan jantan dewasa karena adanya kepentingan untuk mencari pasangan. Selain itu, jantan remaja memiliki bentuk tubuh dan berat badan yang relatif lebih kecil sehingga membutuhkan kalori yang lebih kecil pula dibandingkan individu dewasa. Menurut Meijaard et al. (2001), alokasi penggunaan waktu orangutan untuk beraktivitas dapat dipengaruhi oleh ketersediaan dan/atau kualitas makanannya, variasi/tipe habitat, dan status sosial dalam komunitas lokal. Frekuensi aktivitas harian menunjukkan bahwa nilai X2 hitung < X2 tab pada setiap periode waktu pengamatan. Hal ini berarti bahwa frekuensi aktivitas harian tidak berhubungan dengan kelas umur orangutan. Berdasarkan pengamatan, banyaknya frekuensi aktivitas orangutan bervariasi pada setiap kelas umur. Frekuensi aktivitas tertinggi periode pagi hari ditemukan pada jantan dewasa sebanyak 27 kali, siang hari pada jantan remaja sebanyak 25 kali, dan sore hari pada betina dewasa sebanyak 26 kali. Banyaknya pengulangan setiap aktivitas orangutan mungkin lebih dipengaruhi oleh kondisi habitat dan gangguan yang dijumpainya. Sebagai contoh, apabila orangutan menemukan jenis pohon pakan yang sedang berbuah dan disukai, orangutan akan terus berada di pohon tersebut sambil makan dalam waktu yang relatif lama. Orangutan tersebut baru makan lagi dalam selang waktu yang lama pula sehingga frekuensi aktivitas makan hanya terhitung beberapa kali. Menurut Suzuki (1989), ketersediaan dan kualitas makanan pada habitatnya akan memengaruhi frekuensi dan jarak pergerakan orangutan. Pada suatu komunitas lokal orangutan yang di areal teritorinya mengalami penurunan ketersediaan makanan, mereka cenderung menggunakan
87
energi secara efisien untuk pindah atau migrasi mengikuti gelombang musim berbuah guna menghindari risiko kompetisi makanan, terutama bagi individu yang posisi status sosialnya rendah. C.
Adaptasi Terhadap Perubahan Habitat
Kerusakan hutan di Sumatra telah mengakibatkan berkurangnya kualitas dan luasan habitat orangutan. Habitat hutan primer yang merupakan tempat tinggal utama orangutan telah banyak berubah menjadi area permukiman, perkebunan, dan prasarana lainnya. Namun, hal yang menakjubkan ternyata orangutan masih berhasil bertahan hidup meskipun tersebar pada habitat yang telah terfragmentasi dengan populasi yang rendah. Menurut Wich et al. (2011b), sebagian besar orangutan Sumatra, termasuk di Hutan Batang Toru, hidup pada habitat yang tidak sesuai, seperti hutan sekunder dan kebun masyarakat. Sejarah kehidupan orangutan yang sangat panjang (puluhan ribu tahun yang lalu [Bab 3]) dan masih bisa bertahan hingga sekarang menunjukkan bahwa jenis primata ini telah melakukan proses adaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Orangutan telah menemukan cara yang unik untuk tetap bertahan hidup pada kondisi habitat yang terbatas, meskipun populasi terus menurun (van Schaik, 2006). Hasil penelitian Lovell (1990) menyatakan bahwa orangutan liar mampu menjaga kesehatan dan lebih kuat (tidak mudah terserang penyakit) bila dibandingkan dengan gorila atau simpanse. Pola hidup orangutan Sumatra yang tetap bertahan sebagai satwa arboreal (hidup di atas pohon dan menjauhi lantai hutan) diduga sebagai salah satu bukti proses adaptasi untuk menghindari sasaran parasit, termasuk
88
cacing usus, dan protozoa. Proses adaptasi dilakukan pula dengan strategi orangutan membuat sarang minimal satu sarang setiap harinya dan tidak ditempati lagi pada hari berikutnya. Salah satu proses adaptasi lain yang dilakukan oleh orangutan adalah menjaga badannya tetap kering, meskipun saat hujan sehingga tidak mudah terserang penyakit, seperti infeksi saluran pernapasan atau flu. Jika hujan, orangutan akan memayungi/menutupi kepalanya dengan daun besar atau dengan pucuk-pucuk daun. Apabila sedang berada di sarang, orangutan akan membuat atap yang rapat dan kedap air dengan cara menumpuk dedaunan di atas sarangnya. Orangutan akan keluar sarang untuk mencari makan dan berpindah setelah hujan sehingga tubuhnya tetap kering. Penemuan sarang orangutan Batang Toru di kebun dan pinggiran lahan pertanian juga menunjukkan bahwa orangutan melakukan proses adaptasi agar tetap bisa mencari makan dan tinggal pada kawasan hutan yang telah dibuka dan dan dikelola manusia. Hal ini dibuktikan pula pada waktu penelitian dengan ditemukan secara langsung orangutan yang menggunakan habitat pada hutan campuran (sebagian telah ditanami kayu manis oleh masyarakat), seperti di sekitar CA Dolok Sibual-buali. Beberapa individu orangutan diduga telah mampu hidup berdampingan dengan manusia, meskipun pada akhirnya sering menjadi sumber konflik, terutama ketika musim buah durian. Perubahan atau adaptasi perilaku telah terjadi pula, terutama pada orangutan yang tinggal atau memiliki wilayah jelajah di sekitar lahan budi daya masyarakat. Orangutan mengunjungi tempat tersebut pada sore hari atau menjelang malam, terutama untuk membuat sarang tidur. Hal ini
89
kemungkinan untuk menghindari terdeteksi langsung oleh masyarakat/pemburu. Orangutan tersebut meninggalkan sarang tidur pada pagi hari (sebelum pukul 06.00 WIB) dan kembali ke dalam hutan untuk melakukan aktivitas makan dan sosial lainnya. Hal ini terbukti dari orangutan yang diamati, yaitu jantan remaja yang membuat sarang setelah pukul 18.00 WIB karena sering tinggal di pinggiran hutan yang berbatasan langsung dengan lahan olahan masyarakat. Masyarakat sekitar Hutan Batang Toru secara umum bekerja di ladang/sawah pada pukul 08.00–17.00 WIB.
90
VII. ANCAMAN KELESTARIAN
A.
Kerusakan Habitat
Ancaman yang mengakibatkan degradasi hutan masih sulit untuk dihentikan. Hal tersebut berdampak pula pada terjadinya kerusakan habitat satwa liar, termasuk habitat orangutan Batang Toru, yang semakin lama semakin meluas. Kerusakan habitat secara langsung akan mengurangi daya dukung dan kemampuan orangutan untuk melakukan reproduksi. Berbagai bentuk ancaman yang dapat mengakibatkan kerusakan habitat orangutan di dalam dan di sekitar Hutan Batang Toru, antara lain sebagai berikut. 1.
Penebangan Hutan
Penebangan hutan berdampak secara langsung terhadap penurunan kualitas habitat satwa liar, baik jangka pendek maupun panjang. Kegiatan eksploitasi kayu, baik secara legal maupun ilegal, telah merusak habitat orangutan antara 50% sampai kerusakan total. Hilangnya hutan akibat penebangan di Sumatra Utara dari tahun 2000–2009 mencapai 2,3% (Wich et al., 2011a). Akibatnya, komunitas orangutan telah terpecah menjadi unit-unit yang lebih kecil dan sulit untuk bertahan hidup sehingga dapat terjadi kepunahan lokal.
91
Aktivitas penebangan kayu secara liar di sekitar hutan konservasi di Batang Toru masih terjadi, meskipun dalam skala yang kecil. Kayu yang ditebang merupakan jenis yang memiliki harga komersial yang tinggi dan banyak digunakan sebagai bahan konstruksi rumah, walaupun jenis tersebut merupakan pohon sumber pakan bagi orangutan. Pohon yang ditebang rata-rata berdiameter 70–100 cm (Kuswanda, 2007a). Aktivitas penebangan–meskipun skala kecil–telah menurunkan produktivitas makanan satwa liar, mengganggu siklus hara, dan keseimbangan ekosistem. Menurut van Schaik et al. (2001), penebangan hutan, seperti di sekitar TN Gunung Leuser, telah mengakibatkan kepadatan orangutan menurun hingga 90%. Sebagai contoh, setelah terjadi penebangan hutan di lokasi penelitian Soraya, kepadatan orangutan berkurang secara dramatis dari 4,2 individu/km2 menjadi 0,4 individu/km2.
Gambar 29. Penebangan liar di sekitar CA Dolok Sipirok
92
2.
Perambahan
Pertumbuhan penduduk telah mendorong perkembangan infra struktur sehingga lahan menjadi langka. Salah satu lahan yang mudah direbut adalah hutan negara, yang menurut sebagian masyarakat merupakan tanah terbuka; baik pada hutan yang berfungsi konservasi, lindung, maupun produksi. Peningkatan jumlah penduduk yang relatif cepat di sekitar hutan konservasi, seperti cagar alam atau suaka marga satwa sering memberikan implikasi adanya perambahan lahan terutama oleh masyarakat pendatang karena tidak mempunyai lahan olahan. Aktivitas tersebut terjadi juga di sekitar Hutan Batang Toru. Penduduk di Kabupaten Tapanuli Selatan sekitar 80% masih bermata pencaharian pada sektor pertanian (BPS Sumatra Utara, 2012). Bertani merupakan aktivitas sebagian besar masyarakat yang Gambar 30. telah terjadi secara Perambahan hutan konservasi turun-temurun. Sebauntuk lahan perkebunan gian besar masyarakat tersebut membuka hutan dengan cara tebas bakar kemudian baru dibersihkan menggunakan parang babat dan cangkul. Berdasarkan hasil pengamatan, lahan yang dibuka umumnya pada areal datar sampai kemiringan 20% dengan luas lahan yang dibuka sangat bervariasi antara 500–2.000 m2 per keluarga (Kuswanda, 2007b). Aktivitas ini secara nyata telah
93
mengakibatkan hilang, rusak, dan terfragmentasi habitat orangutan. Berkurangnya kawasan hutan untuk berbagai kebutuhan manusia, seperti lahan pertanian, perkebunan, dan pertambangan terbuka akan menyebabkan kepunahan orangutan karena regenerasi hutan secaraa alami sulit terjadi kembali. 3.
Pendirian Gubuk Liar
Gubuk liar dibangun oleh masyarakat di hutan Batang Toru sebagai tempat peristirahatan, menunggu ladang, dan memproduksi gula aren. Luas gubuk yang dibangun sangat bervariasi antara 10–25 m2 dengan tinggi gubuk rata-rata 3,5 meter. Penghuni gubuk hampir setiap hari memasuki habitat orangutan untuk ”maragat” atau mengambil air nira dan kayu bakar untuk memproduksi gula aren. Di sekitar gubuk, mereka membuka areal pekarangan yang dimanfaatkan untuk menanam berbagai jenis tanaman, baik tanaman palawija maupun perkebunan, dengan luas 30–200 m2 (Kuswanda, 2007b). Jenis-jenis tanaman yang dipelihara oleh masyarakat, antara lain singkong, cabe, talas, sayuran, dan tomat dengan tanaman batas/pinggir berupa aren, kayu manis, kopi, dan tembakau. Keberadaan gubuk semakin bertambah dan telah menjadi pemutus lintasan jelajah orangutan. 4.
Perluasan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari proses pembangunan, seperti pembangunan pemukiman dan perluasan jaringan jalan. Pengembangan infrastruktur, seperti jalan merupakan salah satu alternatif untuk membuka akses
94
masyarakat lokal ke desa atau kota sehingga memudahkan menjual hasil panen yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Saroso, 2010). Pembangunan jalan akan menimbulkan permasalahan ketika melintas hutan konservasi yang menjadi habitat satwa langka. Pembukaan jalan memfasilitasi pergerakan manusia ke daerah baru yang secara langsung akan mengakibatkan kegiatan merusak, seperti pembukaan lahan perkebunan. Sebagai contoh, terbukanya jalan dari Kota Sipirok menembus Kota Batang Toru melalui Daerah Aek Nabara telah memicu masyarakat luar datang dan membuka hutan untuk dijadikan areal perkebunan karet, kopi, dan sawit yang luas dengan pengelolaan secara intensif.
Gambar 31. Jaringan jalan yang membelah Hutan Batang Toru
Dampak negatif perluasan jaringan jalan dapat dikurangi apabila terdapat perencanaan penataan dan
95
pemanfaatan ruang secara cermat dan terpadu. Pembukaan jalan di Hutan Batang Toru sebaiknya tidak memotong habitat orangutan atau diupayakan membangun koridor-koridor karena sebagian habitat termasuk lahan masyarakat. Begitu pula, pembangunan infrastruktur desa di sekitar hutan konservasi tetap memerhatikan kepentingan konservasi, bukan hanya sekedar untuk peningkatan sarana ekonomi. Pola pengembangan dan pengelolaan desa konservasi perlu dikenalkan dan diterapkan di daerah penyangga atau desa sepanjang sarana jalan. 5.
Aktivitas Lainnya
Berbagai aktivitas, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat, yang dapat mengancam kelestarian habitat orangutan Batang Toru, antara lain sebagai berikut. a. Pembalakan kayu legal yang dilakukan oleh perusahaan konsesi IUPHHK PT Teluk Nauli, terutama di Blok Anggoli seluas 30.000 ha. Penebangan pada kawasan ini sudah dilakukan sejak 1999–2001 dan saat ini tidak dilanjutkan karena masih menunggu izin perpanjangan dari Kementerian Kehutanan. b. Aktivitas perusahaan pertambangan emas PT Dharma Persada Bhakti yang berpotensi akan merusak kawasan hutan dengan adanya kegiatan penggalian dan penimbunan area eksploitasi tambang. Intensitas pengeboran akan memengaruhi penurunan kepadatan orangutan karena tingginya aktivitas manusia di area tersebut yang dapat memengaruhi penurunan kesempatan untuk melakukan aktivitas kawin. Orangutan sangat sensitif dan cenderung akan menghindar dari manusia.
96
c. Pengambilalihan hutan atau okupasi kawasan untuk pertanian dan perkebunan, terutama setelah kehadiran pengungsi Nias yang membuka hutan untuk perladangan dan pemukiman baru. d. Berbagai aktivitas masyarakat lainnya, seperti mengambil kayu bakar, bahan obat-obatan tradisional, dan pembakaran lahan yang dilakukan di habitat orangutan. B.
Perburuan
Perburuan orangutan untuk kepentingan subsistensi, religius, koleksi ilmiah, maupun komersial masih terus berlangsung sampai sekarang. Sebagai contoh, Ketua Suku Batak Toba dan Karo sering menggunakan hiasan rambut orangutan pada tongkat tua atau tongkat malehat (Meijaard et al., 2001). Bahkan, beberapa kelompok masyarakat dan oknum pejabat masih mengambil orangutan untuk dijual atau dijadikan hewan peliharaan, terutama dari Provinsi Aceh (Wich et al., 2003). Walaupun perburuan orangutan di sekitar Hutan Batang Toru sudah menurun, apabila perburuan di daerah lain masih terus dibiarkan, hal tersebut tetap akan menjadi ancaman serius terhadap penurunan populasi.
Gambar 32. Orangutan sitaan dari peliharaan masyarakat
97
Pemburuan orangutan masih terjadi terutama ketika orangutan memasuki area pertanian dan perkebunan di pinggiran hutan, serta ketika musim buah durian. Orangutan dewasa ditembak dan dibunuh, sedangkan bayinya ditangkap untuk diperjualbelikan sebagai binatang peliharaan (Nijman, 2009). Orangutan yang bernasib baik hanya diusir sehingga masih ada peluang hidup bagi mereka. Masyarakat sering mengusir orangutan menggunakan api atau membakar kayu ketika sedang mencari makan di sekitar ladang mereka. Terjadinya konflik kepentingan antara manusia dan orangutan tentunya akan mengakibatkan orangutan tersisih karena–bagaimanapun–konflik tersebut akan dimenangkan oleh manusia. Kenyataannya, kebutuhan lahan dan makanan bagi manusia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, sedangkan bagi orangutan adalah pilihan untuk bertahan hidup atau mati (Kuswanda, 2007a).
98
VIII. MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA
Masyarakat
di sekitar Hutan Batang Toru tercatat
jumlahnya sebanyak 38.622 jiwa dengan 10.316 kepala keluarga. Masyarakat ini tersebar di 53 desa dalam 10 kecamatan dan tiga kabupaten. Secara administratif, sebanyak 21 desa masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, 28 desa di Kabupaten Tapanuli Utara, dan 4 desa di Kabupaten Tapanuli Tengah. Penduduk yang mendiami kawasan di sekitar hutan Batang Toru umumnya berasal dari kawasan dataran tinggi sekitar Danau Toba dan wilayah Tapanuli Selatan, serta pendatang dari Pulau Nias (Perbatakusuma et al., 2006). Sebagian besar penduduk tinggal dan menggantungkan kehidupannya di sekitar hutan konservasi, seperti CA Dolok Sipirok dan CA Dolok Sibualbuali. Akibatnya, aktivitas mereka akan menjadi salah satu penentu keberhasilan konservasi orangutan di Hutan Batang Toru (Kuswanda, 2007c). Keberadaan masyarakat di daerah penyangga hutan konservasi sangat penting untuk mendukung keberhasilan pengelolaan hutan konservasi dan pelestarian jenis, seperti orangutan (Kuswanda & Mukhtar, 2006a). Pengelolaan daerah penyangga yang tepat diharapkan dapat mengurangi tekanan penduduk terhadap hutan konservasi, sekaligus memberikan kegiatan ekonomi kepada masyarakat dan kawasan yang memungkinkan adanya interaksi manfaat
99
secara berkelanjutan bagi masyarakat (MacKinnon et al., 1993). Karakteristik masyarakat di daerah penyangga sekitar hutan konservasi di Kawasan Batang Toru adalah sebagai berikut. A.
Karakteristik Sosial Ekonomi
Masyarakat di daerah penyangga umumnya beragama Islam yang merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru bagian Barat. Komposisi umur sebagian besar kepala rumah tangga yang menjadi responden termasuk dalam golongan produktif (15– 64 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat bekerja secara optimum dalam mencari nafkah hidup untuk keluarga. Jumlah anggota keluarga termasuk kategori besar, yaitu 5–7 orang (memiliki anak sebanyak 3–5 orang). Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat desa belum mengikuti program Keluarga Berencana (Kuswanda, 2007d). Masyarakat yang menjadi responden penelitian sebagaian besar (>60%) hanya berpendidikan sampai sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SLTP). Masyarakat yang berpendidikan sampai perguruan tinggi/akademi masih jarang. Sarana pendidikan masih sangat kurang, sebagai contoh di Desa Hopong hanya terdapat sarana SD. Untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP, anak-anak harus rela berjalan kaki ke kota kecamatan; seperti di Daerah Marancar, Sipirok, dan Arse. Keadaan ini mengakibatkan pendidikan sulit untuk berkembang dan sebagian anak-anak menjadi malas untuk melanjutkan sekolah dan lebih memilih mengikuti orangtuanya ke sawah atau kebun.
100
Gambar 33. Perkampungan masyarakat Hopong, Sipirok
penyangga
di
Desa
Selain bertani di sawah atau berkebun, mata pencaharian masyarakat lainnya adalah membuat gula aren. Sebelum pergi ke ladang atau sawah, masyarakat biasanya memasang garung (tempat mengambil air nira yang terbuat dari bambu) pada pagi hari dan baru diambil kembali pada sore hari. Pendapatan rata-rata masyarakat yang tinggal di sekitar Hutan Batang Toru masih tergolong rendah, rata-rata Rp1.000.000–Rp2.000.000 per bulan. Hanya sedikit masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp2.000.000 per bulan. Rendahnya pendapatan masyarakat ini mengakibatkan ketergantungan terhadap sumber daya hutan masih cukup tinggi. Sebagai contoh, masyarakat umumnya masih memasak menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu. Kayu
101
tersebut mereka ambil dari kawasan hutan yang juga merupakan habitat orangutan (Kuswanda, 2007d).
Gambar 34. Lahan pertanian sawah yang berbatasan langsung dengan hutan cagar alam
Masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru juga telah memanfaatkan satwa liar secara turun-temurun. Mereka menangkap satwa liar dari habitat alaminya sehingga sebagian populasi satwa menjadi terancam, seperti rusa dan kambing hutan. Untuk memenuhi kebutuhan protein dengan keterbatasan biaya, mereka terpaksa menangkap satwa liar, baik yang ditemukan secara sengaja (ketika menginap di dalam hutan) maupun dengan sengaja dan terencana memasuki kawasan hutan untuk berburu satwa liar. Masyarakat sebenarnya berminat untuk mengembangkan
102
penangkaran satwa liar, seperti rusa dengan alasan untuk mendapatkan hasil tambahan dan memenuhi kebutuhan protein keluarga. B.
Lahan Olahan Masyarakat
Informasi karakteristik lahan adalah salah satu aspek yang dibutuhkan dalam perencanaan pengelolaan lahan, terutama pada lahan olahan yang berbatasan langsung dengan hutan konservasi. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengembangkan konservasi tanah yang sangat strategis karena selain berfungsi ekologis juga berfungsi ekonomi. Lahan olahan masyarakat secara umum termasuk klasifikasi datar sampai bergelombang, meskipun saat ini lahan yang kemiringan tinggi pun di buka untuk area perkebunan. Areal datar dimanfaatkan untuk lahan pertanian/sawah dan ladang, sedangkan pada areal bergelombang dimanfaatkan untuk perkebunan dan hutan rakyat. Masyarakat lebih banyak memanfaatkan areal datar agar lebih mudah dalam pengelolaan dan pemeliharaan tanaman. Masyarakat belum menerapkan teknik konservasi tanah, seperti pembuatan guludan atau terasering pada lahan olahan yang agak terjal. Hasil pengamatan secara deskriptif menunjukkan bahwa sebagian besar lahan yang dikelola oleh masyarakat terletak pada kelas kemiringan 0–25%. Lahan pertanian umumnya dibuat pada kemiringan 0–8%, lahan perkebunan 0–15%, dan areal hutan rakyat 8–25%. Habitat orangutan pada lahan masyarakat sebagian besar ditemukan pada areal kemiringan 8–25% (hutan rakyat) yang tanamannya masih merupakan campuran antara pohon yang tumbuh secara alami dan yang ditanam oleh masyarakat, seperti kayu manis
103
(Cinnamomum. burmannii), karet (Hevea brasiliensis), dan durian. Orangutan masih sering mengunjungi hutan rakyat terutama ketika musim buah durian (Kuswanda, 2007b). Luas lahan yang dimiliki masyarakat cukup bervariasi, namun umumnya kurang dari 2,5 ha per kepala keluarga. Jenis-jenis lahan yang dimiliki oleh masyarakat juga cukup bervariasi, sangat sedikit masyarakat yang memiliki satu tipe/jenis lahan. Asal usul kepemilikan lahan masyarakat berasal dari membuka hutan, warisan orang tua, dan/atau membeli dari orang lain. Namun demikian, kegiatan membuka hutan saat ini jarang dilakukan kembali oleh masyarakat desa karena mereka sudah mengetahui bahwa hutan yang terdapat di sekitar lahan yang dikelolanya merupakan kawasan yang dilindungi. Masyarakat sudah mulai sadar bahwa sebagian kawasan hutan harus dijaga dan dilindungi karena merupakan sumber air bagi lahan pertanian dan habitat beragam satwa langka dan dilindungi oleh undang-undang, seperti orangutan. Pembukaan lahan justru banyak dilakukan oleh masyarakat pendatang, terutama yang memiliki modal yang besar. Hasil panen dari lahan olahan sebagian besar untuk dikonsumsi dan sisanya dijual, khususnya hasil perkebunan. Hanya sedikit masyarakat yang tidak menjual hasil panennya (untuk dikonsumsi), terutama masyarakat yang hanya mengelola sawah. Pendapatan yang diperoleh dari menjual hasil panennya berbeda-beda, namun rata-rata lebih dari Rp1.000.000 per bulan. Untuk menambah penghasilan keluarga, mereka biasanya membuat gula aren dan menjadi buruh atau kuli angkut pada masyarakat lain yang memiliki perkebunan cukup luas.
104
Tipe-tipe lahan olahan masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut (Kuswanda, 2007b). 1.
Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan lahan masyarakat berupa hutan yang tumbuhannya adalah campuran pohon alami dengan tanaman budi daya masyarakat. Areal hutan rakyat sebagian besar berbatasan langsung dengan kawasan hutan konservasi. Tumbuhan yang mendominasi pada lahan hutan rakyat adalah jenis tumbuhan hasil hutan non kayu yang ditanam oleh masyarakat, seperti kayu manis, aren, dan Gambar 35. Hutan rakyat dengan tanaman kayu karet. Hasil ini telah manis membuktikan bahwa pohon penghasil kayu sudah banyak ditebang oleh masyarakat dan hanya meninggalkan beberapa jenis kayu yang bermanfaat sebagai bahan perumahan, seperti hoteng (Quercus gemelliflora Bl.) dan hau dolok (Syzygium sp.).
105
2.
Lahan Perkebunan
Masyarakat di Hutan Batang Toru telah mengelola tanaman perkebunan secara turuntemurun. Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat pada lahan perkebunan cukup beragam dan ditanam dengan cara kombinasi/campuran. Sistem penanaman oleh masyarakat sudah menerapkan pola agroforestry (campuran tanaman semusim dan tahunan) dengan tujuan agar mendapatkan penghasilan harian, bulanan, dan tahunan.
Gambar 36. Perkebunan karet campur tanaman aren pada lahan masyarakat
Selain tanaman kayu manis, jenis tanaman perkebunan yang cukup banyak dibudidayakan oleh masyarakat adalah karet, salak (Salacca edulis), dan kopi (C. arabica). Namun, masyarakat pada beberapa daerah sudah mulai membudidayakan tanaman cokelat (Theobroma cacao) dan cengkeh (Eugenia aromatica). 3.
Areal Perladangan
Selain kebun, sebagian masyarakat membuka lahan untuk areal perladangan. Pada areal ladang secara umum
106
ditanam tanaman palawija atau semusim dengan pola tanam campuran. Sangat jarang ditemukan tanaman yang sejenis pada ladang masyarakat. Tanaman yang banyak dikelola masyarakat adalah tomat (Solanum lycopersicum ), cabai (Capsicum annum), ubi jalar (Ipomoea batatas), bayam (Amaranthus blitum), kunyit (Curcuma domestica), pisang (M. brachycarpa) , kacang-kacangan (Arachis sp.), dan umbiumbian. 4.
Areal Pertanian Sawah
Areal sawah banyak ditemukan di sekitar hutan konservasi dan posisinya ada di sekitar pemukiman. Varietas padi yang banyak ditanam masyarakat adalah jenis Sipulo pandan dan Pulau manggis. Hasil pertanian dipanen oleh masyarakat rata-rata dua kali dalam setahun. Padi dari sawah dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi dan sebagian untuk dijual. 5.
Areal Pemukiman
Penggunaan lahan lainnya oleh masyarakat adalah untuk perumahan, pekarangan, jalan, sarana, dan prasarana. Secara umum, penggunaan lahan perumahan dengan pekarangan tersebut diolah untuk menghasilkan bahan tambahan untuk kebutuhan sehari-hari yang mendatangkan nilai ekonomi. Luas lahan yang dibuka semakin meluas seiring dengan pertambahan penduduk sehingga di sebagian wilayah sudah memasuki kawasan konservasi yang menjadi bagian habitat orangutan. Masyarakat di sekitar Hutan Batang Toru, seperti CA Dolok Sibual-buali memiliki tingkat persepsi yang berbeda-
107
beda dalam rencana pengembangan daerahnya. Namun, lebih dari 65% responden memiliki tingkat persepsi yang tinggi dan setuju apabila kawasan desa mereka dikategorikan sebagai daerah penyangga. Persepsi responden yang kurang setuju akan pembangunan daerah penyangga karena masih memiliki asumsi bahwa pembentukan daerah penyangga hanya akan membatasi ruang gerak dan mata pencaharian mereka dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Masyarakat akan menanggapi secara positif apabila pengelolaan daerah penyangga bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan mereka dilibatkan sebagai pelaku, bukan obyek pelaksanaan program kegiatan. Masyarakat sangat mengharapkan adanya bantuan ekonomi untuk meningkatkan kehidupannya. Responden mengakui bahwa sebagian besar dari mereka memiliki pendidikan formal yang rendah (hanya sampai SD/SLTP) sehingga hanya mampu untuk mengelola lahan yang telah dilakukan secara turun-temurun dengan tata kelola yang masih tradisional. Masyarakat berharap adanya bantuan modal usaha untuk mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan, baik dari instansi pemerintah maupun lembaga lainnya. Dengan demikian, lahan mereka dapat dikelola dengan intensif dan mengurangi laju ekstensifikasi pembukaan lahan yang mengokupasi kawasan hutan. Begitu pula, keberadaannya dapat menjadi bagian dalam melaksanakan program konservasi orangutan yang selama ini hanya menjadi penonton, bukan pelaku, sehingga peranserta terhadap program sangat rendah. Hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan, bukan akibat ketidakpedulian untuk melindungi konservasi satwa liar, seperti orangutan.
108
IX. PERSEPSI DAN PERANAN PARA PIHAK
A.
Persepsi Para Pihak
Persepsi
para pihak (stakeholder) sangat penting
diketahui untuk merencanakan penyusunan teknik konservasi orangutan secara terpadu. Informasi persepsi para pihak dapat menjadi bahan acuan dalam penyusunan rencana strategi untuk mengurangi laju kerusakan habitat dan penurunan populasi orangutan. Hasil penelitian tingkat persepsi dari stakeholder atau lembaga yang diidentifikasi terkait dalam konservasi orangutan Batang Toru, antara lain sebagai berikut. 1.
Masyarakat Desa
Masyarakat di sekitar hutan sering mengalami posisi yang dilematis. Mereka kerap menjadi sorotan sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan dan kepunahan beragam spesies. Di sisi lain, mereka pun dituntut untuk menjadi ujung tombak program pelestarian hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya (van Schaik, 2006). Sorotan tersebut dialami juga oleh masyarakat di kawasan Hutan Batang Toru yang sebagian besar sumber kehidupannya masih bergantung pada sumber daya hutan yang merupakan habitat bagi orangutan.
109
Persepsi masyarakat yang menjadi responden sebenarnya bersifat positif dan menganggap penting orangutan untuk dilindungi. Masyarakat telah mengetahui status dan keberadaan orangutan sebagai satwa yang dilindungi (Kuswanda, 2007d). Masyarakat berharap bahwa kawasan hutan di daerahnya tetap lestari, namun penghidupan mereka juga dapat meningkat. Sebagian masyarakat telah menyadari keberadaan hutan harus dijaga untuk mencegah bencana alam, menjaga sumber air dan kayu bakar, serta pemandangan yang menarik. Begitu pula, adanya orangutan di daerahnya telah menarik perhatian berbagai instansi/peneliti untuk mengunjungi desanya. Masyarakat secara tidak langsung mendapatkan penghasilan tambahan sebagai pemandu (guide), porter, dan bantuan lainnya dalam program pemberdayaan masyarakat sekitar habitat orangutan, seperti di Desa Aek Nabara, Tapanuli Selatan. Masyarakat di Kawasan Hutan Batang Toru pada dasarnya mengetahui bahwa kondisi hutan akan memengaruhi keberadaan orangutan karena umumnya mereka menemukan orangutan pada hutan yang masih baik/primer. Namun, ketakutan mereka dengan keterbatasan pemanfaatan lahan di sekitar desa, terutama pada lahan yang telah dibuka dan diolah sebagai areal pertanian, sering kali mengurangi respon mereka terhadap kegiatan konservasi hutan dan orangutan. Kegelisahan ini sangat wajar karena masyarakat desa umumnya tidak memiliki sertifikat hak milik lahan dan hanya mewarisi lahan olahan dari orangtua atau membeli dari tetangganya. Apalagi, tata batas kawasan konservasi dan hutan lindung yang tidak jelas sering membingungkan masyarakat untuk melakukan pengelolaan lahan karena mereka khawatir jika sewaktu-waktu ada
110
pengambilalihan lahan olahan yang secara hukum termasuk hutan negara, seperti hutan konservasi.
Gambar 37. Diskusi dan pengisian kuisioner bersama masyarakat dan aparat desa
Menurut masyarakat, pelaksanaan program konservasi orangutan–bagaimanapun–harus melibatkan masyarakat lokal. Sekitar 72% responden menyatakan bahwa sangat penting masyarakat diikutsertakan dalam konservasi orangutan. Program yang ada selama ini hanya menyentuh kepentingan orangutan, sedangkan keberadaan dan kepentingan perekonomian masyarakat kurang diperhatikan sehingga seringkali mereka kurang mendukungnya. Menurut mereka pengambilan sumber daya hutan, seperti kayu bakar, buah-buahan, dan air nira karena tidak ada lagi mata pencaharian lain yang dapat meningkatkan penghasilannya.
111
Keterbatasan penghasilan dari mengelola lahannya sering mendorong mereka untuk memanfaatkan sumber daya hutan, termasuk dari hutan konservasi. Kondisi ini merupakan alternatif yang paling memungkinkan dan mudah dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, selain kegiatan pertanian dan jasa lainnya. Menurut masyarakat, pemerintah sangat berkepentingan untuk melindungi orangutan. Habitat orangutan yang sebagian besar berada pada kawasan hutan konservasi merupakan hak dan tanggung jawab pemerintah untuk mengelolanya. Masyarakat akan mendukung program konservasi orangutan di daerahnya, baik itu oleh pemerintah maupun lembaga lainnya, dengan catatan terlebih dahulu dilakukan sosialisasi maupun penyuluhan. Hal ini agar tidak menimbulkan salah pengertian dan masyarakat dapat mengetahui kegiatan yang akan dilaksanakan di desanya. Bahkan, lebih dari 90,0% responden menyatakan akan merasa dirugikan apabila orangutan punah atau hilang dari daerah mereka. Namun, catatan dari responden juga menyatakan bahwa mereka pun dapat dibantu untuk mengembangkan sumber pendapatan lain sehingga ketergantungan terhadap sumber daya hutan dapat berkurang. 2.
Pemerintah Daerah
Pegawai pemerintah daerah (Pemda), seperti di Kabupaten Tapanuli Selatan, memiliki tingkat persepsi yang positif atau tinggi terhadap program pelestarian orangutan Sumatra. Mereka menyatakan bahwa sangat penting untuk melakukan pelestarian hutan dan orangutan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dari responden yang terpilih, secara
112
keseluruhan tidak ada yang memiliki persepsi rendah. Mereka telah mengetahui bahwa orangutan merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang sehingga pemburu atau orang yang menangkap, bahkan yang memelihara orangutan tanpa izin harus dikenakan sangsi sesuai ketentuan hukum yang berlaku (Kuswanda, 2007d). Pemerintah Daerah, seperti di Kabupaten Tapanuli Selatan secara prinsip sangat mendukung untuk melakukan kegiatan pelestarian hutan, termasuk habitat orangutan. Saat ini, program perlindungan hutan sebagai habitat satwa liar langka telah menjadi salah satu prioritas visi Kabupaten Tapanuli Selatan. Responden juga menganggap bahwa masyarakat setempat perlu dilibatkan dalam program konservasi orangutan karena keberadaan masyarakat dianggap penting sebagai sarana untuk menyukseskan program tersebut. Pemerintah Daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan juga mengharapkan program pelestarian orangutan perlu dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai instansi terkait. Mereka menyadari untuk melaksanakan program konservasi pada daerah yang masyarakatnya berpendidikan dan perekonomiannya relatif rendah membutuhkan kerjasama dengan stakeholder lain. Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan akan terbuka dan bersedia berkoordinasi dengan pihak lain untuk mengimplementasikan program konservasi orangutan, khususnya di sekitar Hutan Batang Toru dan mengatasi permasalahanpermasalahan yang muncul sesuai dengan kedudukan dan kewenangan masing-masing instansi. Apalagi, sebagian besar habitat orangutan berada di kawasan konservasi yang
113
pengelolaannya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan). 3.
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatra Utara
BBKSDA Sumatra Utara mempunyai tugas untuk melaksanakan pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan tersebut. Responden pada BBKSDA Sumatra Utara menyatakan bahwa habitat orangutan harus dilindungi karena kualitas hutan akan memengaruhi perkembangan orangutan. Program untuk menggalakkan upaya konservasi orangutan sangat penting ditengah perubahan sosial kehidupan manusia dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrialis dan konsumtif. Untuk itu, penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi merupakan salah satu cara terpenting untuk menjamin sumber daya alam dapat dilestarikan sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia sekarang dan di masa mendatang. Saat ini, pandangan sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa pelestarian alam dan keanekaragaman hayati adalah usaha perlindungan yang menutup peluang pemanfaatan sumber daya alam perlu segera diluruskan karena akan menjadi kendala dalam pelaksanaan konservasi. Fungsi kawasan konservasi tidak hanya untuk memelihara stabilitas lingkungan, tanah, dan iklim, serta tetap menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem. Akan tetapi, kawasan konservasi juga menyediakan kesempatan bagi kegiatan penelitian dan pemantauan spesies yang terkait dengan kebutuhan manusia, menyediakan kesempatan bagi
114
terlaksananya pembangunan pedesaan yang kondusif dan terhindar dari kemungkinan bencana alam, serta menyediakan lokasi bagi pengembangan rekreasi dan wisata. BBKSDA Sumatra Utara secara prinsip sangat mendukung apabila terdapat instansi lain yang tertarik untuk turut serta dalam program pelestarian keanekaragaman hayati, termasuk orangutan. Mereka sering mengalami kesulitan untuk memantau kawasannya yang mencapai 161.477,05 ha dengan personil polisi hutan dan anggaran yang terbatas (Balai Besar KSDA Sumatra Utara, 2010). BBKSDA telah memberikan izin dan bantuan tenaga untuk mendukung beberapa lembaga swadaya masyarakat yang saat ini telah menunjukan dedikasinya untuk melakukan penelitian, sosialisasi, dan pemantauan tentang orangutan di wilayah kerjanya. 4.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Persepsi tentang pelestarian orangután dari beberapa LSM, antara lain Conservation International-Indonesia (CI-I) dan Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) sangat positif dan mendukung upaya program konservasi orangutan. Populasi orangutan Sumatra, yang hanya sekitar 6.500 individu, bila dibiarkan seperti kondisi sekarang akan mengalami kepunahan dalam beberapa tahun ke depan. Padahal, orangutan merupakan spesies “payung” (umbrella spsies) bagi jenis satwa liar lainnya sehingga perlindungannya akan mencakup komunitas alam di kawasan Hutan Batang Toru. Menurut beberapa LSM tersebut, meskipun sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan dan
115
satwa yang tinggi, Indonesia tetap akan mengalami kerugian apabila orangutan sampai punah. Orangutan telah menjadi maskot yang sangat menarik untuk memperoleh perhatian publik dan paling memikat untuk mencari dukungan dana internasional, seperti World Bank. Berbagai dukungan internasional untuk konservasi satwa liar selama ini hampir tidak berarti karena bantuan tidak terpadu dan tidak dikelola secara profesional. Responden berpendapat pula bahwa pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah dapat meminta dukungan dan membagi tanggung jawabnya dengan lembaga nasional maupun internasional sehingga masa depan orangutan akan penuh harapan. Kebijakan untuk menjalin kemitraan yang efektif dari pemerintah sangat diperlukan untuk meningkatkan peranan berbagai lembaga yang bergerak dalam bidang konservasi dalam menjalankan aktivitasnya dan diikuti kontrol, serta pengawasan yang ketat. Responden juga menyatakan bahwa perusahaan, seperti perusahaan pertambangan dan air minum di sekitar Hutan Batang Toru, harus diberi tanggung jawab untuk melindungi habitat orangutan. Pembebanan biaya untuk pelaksanaan konservasi orangutan dapat dijadikan sebagai bagian biaya tambahan operasional perusahaan yang dapat diatur melalui peraturan daerah. Perusahaan juga diharuskan untuk membantu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal melalui perekrutan tenaga kerja dan sumbangan pembangunan desa agar aktivitas masyarakat mengokupasi hábitat orangután menurun.
116
B.
Peranan Kelembagaan
Berbagai perundang-undangan yang mengatur konservasi keanekaragaman hayati telah diberlakukan, seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Namun demikian, implemetasi peraturan tersebut masih sulit dilakukan karena peranan dan tanggung jawab antar lembaga terkait belum terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Perbedaan kewenangan dalam pengelolaan suatu kawasan habitat yang terdiri dari berbagai status hutan, juga sering menyulitkan upaya konservasi satwa dan habitatnya. Sebagai contoh, HL merupakan kewenangan pemerintah daerah, CA dan SM merupakan kewenangan pemerintah pusat, dan HP merupakan kewenangan pemerintah pusat yang pengelolaannya diserahkan kepada pemegang IUPHHK. Tumpang tindih kebijakan dan program antar lembaga sering terjadi sehingga konservasi satwa kurang efektif dan berujung pada kegagalan. Informasi peranan para pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan di kawasan Hutan Batang Toru berdasarkan hasil penelitian, antara lain sebagai berikut (Kuswanda & Bismark, 2007b). 1.
Lembaga Masyarakat
Peranan lembaga masyarakat merupakan posisi sentral dalam mendukung konservasi orangutan Sumatra. Lembaga masyarakat secara langsung bersentuhan dengan masyarakat yang beraktivitas dan memanfaatkan sumber daya hutan dan
117
lahan. Kelembagaan masyarakat yang terdapat di sekitar Hutan Batang Toru, seperti di Desa Aek Nabara dan Desa Bulu Mario, yaitu 1) lembaga formal, lembaga ini terdiri atas Kepala Desa dengan Badan Perwakilan Desa (BPD); dan 2) lembaga informal, seperti lembaga adat yang dipimpin oleh ketua adat dan lembaga agama. Pengambilan keputusan yang terkait dengan pembangunan desa, seperti pembangunan jalan dan tempat ibadah biasanya dilakukan secara musyawarah antara kepala desa dan ketua adat, serta tokoh masyarakat Peranan lembaga masyarakat, baik formal maupun informal, dalam mendukung pengelolaan hutan dan konservasi orangutan yang terdapat pada kedua desa tersebut masih rendah. Menurut responden, belum ada tata aturan, kebijakan, ataupun peranan lembaga desa dalam mengatur pengambilan kayu dan satwa, pengelolaan lahan, dan perlindungan hutan. Desa-desa di sekitar Hutan Batang Toru secara umum belum memiliki peraturan desa (Perdes) untuk menjadi pedoman dalam pemanfaatan dan konservasi sumber daya hutan di desanya. Menurut Kepala Desa Aek Nabara dinyatakan bahwa di desanya pernah melakukan musyawarah untuk membuat aturan tersebut, namun tidak ada kesepakatan bersama karena sebagian masyarakat merasa ketakutan akan dibatasinya pengambilan sumber daya hutan yang secara signifikan memengaruhi sumber kehidupannya. Begitu pula halnya dalam pemanfaatan sumber daya lahan beserta hasil-hasilnya, termasuk untuk mencegah kekuatan-kekuatan merusak yang berasal dari luar. Lembaga desa umumnya belum memiliki kekuatan dan kebijakan dalam pemanfaatan lahan sehingga lahan begitu
118
mudah beralih tangan kepada masyarakat pendatang atau pemodal dari luar. 2.
Pemerintah Daerah
Secara umum, peranan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, khususnya dalam konservasi orangutan masih rendah. Program Pemda saat ini masih berorientasi pada pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Program konservasi hutan, termasuk pada hutan lindung masih belum mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan daerah. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Tapanuli Selatan, saat ini lembaganya sedang menyusun rencana strategis program pelestarian hutan yang di dalamnya tercantum program untuk melestarikan satwa langka. Beberapa program yang sudah dilaksanakan antara lain: a. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pemanfaatan hutan secara lestari; b. Mengawasi peredaran kayu secara ketat dan menangkap oknum yang terlibat dalam pembalakan dan perambahan hutan secara liar; c. Memberikan izin kepada pengusaha atau masyarakat dari kawasan hutan yang status dan pengelolaan sudah jelas; d. memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan memberikan sumbangan bibit melalui Program GERHAN; e. Memberikan izin dan terlibat kerjasama dengan beberapa LSM yang menjalankan programnya di sekitar Hutan Batang Toru, seperti dengan Sumatran Orangutan Conservation Programme.
119
Untuk mendukung pelestarian hutan, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2006 mengusulkan empat calon taman nasional kepada Kementerian Kehutanan yang meliputi TN Batang Toru-Sipirok seluas ±148.000 ha, TN Siondop-Angkola seluas ±195.000 ha, TN Saipar Dolok Hole seluas ±99.800 ha, dan TN Barumun Rokan seluas ±352.000 ha (Dinas Kehutanan Tapanuli Selatan, 2007). Namun demikian, usulan tersebut tidak ditindaklanjuti setelah terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi tiga kabupaten–termasuk kabupaten induk sendiri–yaitu, Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Padang Lawas.
Gambar 38. Pengisian kuisioner oleh pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan
Peranan Pemda yang masih rendah harus mendapat perhatian serius karena–bagaimanapun–tanpa dukungan Pemda, konservasi orangutan di era otonomi daerah ini akan
120
sulit berhasil. Apalagi, kondisi saat ini semakin kuat gelombang sosial ekonomi untuk mengokupasi hutan dan lahan basah. Selain itu, landasan hukum bagi konservasi masih belum jelas, khususnya dalam hal kepemilikan lahan dan perlindungan hutan di luar kawasan konservasi dan lahan masyarakat. Keterbatasan pendidikan masyarakat subsisten dan persepsi yang rendah dalam menilai jasa lingkungan dan nilai ekologi hutan seringkali menjadi kendala dalam pengembangan konservasi. Hutan masih dianggap sebagai sumber daya dengan akses terbuka yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan produksi. 3.
BBKSDA Sumatra Utara
Perlindungan terhadap satwa liar di Indonesia telah di mulai sejak zaman kolonial Belanda dengan adanya Peraturan Perlindungan Binatang Liar pada tahun 1931, yaitu dengan menetapkan aturan pelarangan untuk memburu, menangkap, dan memperdagangkan 36 jenis binatang liar, baik hidup maupun mati. Selanjutnya, Pemerintah Republik Indonesia telah mendeklarasikan strategi konservasi melalui UU No. 5 Tahun 1990, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Kementerian Kehutanan, peranan BBKSDA dalam pelestarian hutan dan orangutan cukup tinggi. Beberapa wilayah kerja BBKSDA Sumatra Utara di Tapanuli yang merupakan habitat orangutan adalah, CA Dolok Sibual-buali, CA Dolok Sipirok, SA Lubuk Raya, dan SM Barumun. Berbagai peranan BBKSDA Sumut sesuai tugas pokok oraganisasi (tupoksi) dalam
121
beberapa tahun terakhir untuk mendukung pelestarian orangutan adalah: a. Menyusun rencana dan program perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati; b. Melakukan inventarisasi potensi tumbuhan, satwa liar, dan ekosistemnya pada kawasan konservasi di Sumatra Utara; c. Melakukan pengelolaan kawasan konservasi; d. Melakukan pengawasan pemanfaatan dan peredaran tumbuhan dan satwa liar; e. Memberikan izin dan bantuan tenaga pada lembaga lain untuk melakukan penelitian di wilayah kerjanya; f. Melakukan kerjasama dengan lembaga lain untuk melakukan pemantauan dan monitoring kawasan konservasi di Sumatra Utara; g. Melakukan program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi, seperti pemberian bibit dan pelatihan pengembangan ekowisata. 4.
LSM
Peranan LSM yang menjadi responden penelitian dalam mendukung perlestarian orangutan cukup tinggi. LSM yang fokus dan telah berperan aktif untuk turut serta dalam melestarikan orangutan di sekitar Hutan Batang Toru adalah CI-I, SOCP, Sumatra Rainforest Institute (SRI), ICRAF, Perkumpulan Pengembangan Partisipasi Rakyat (PETRA), dan Yayasan Pekat Indonesia. Program yang dikembangkan oleh LSM tersebut dalam mendukung konservasi orangutan sampai tahun 2013, antara lain: a. Melakukan kajian bioekologi dan perlindungan habitat orangutan di DAS Batang Toru;
122
b. Melakukan pemantauan menyeluruh terhadap penyebaran geografi populasi orangutan Sumatra di kawasan ekosistem Hutan Batang Toru; c. Melakukan kampanye, sosialisasi, dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan mengenai penyelamatan orangutan dan habitatnya di Sumatra Utara; d. Melakukan rehabilitasi hutan bersama masyarakat, terutama pada lahan masyarakat yang berada di sekitar habitat orangutan; e. Melakukan penguatan masyarakat dalam menyelaraskan upaya konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; f. Melakukan investigasi dan monitoring kegiatan-kegiatan perusakan hutan dan perdagangan satwa; g. Mengembangkan karantina dan reintroduksi orangutan Sumatra hasil sitaan bersama BBKSDA Sumatra Utara. Strategi pengembangan kelembagaan terkait, seperti terhadap lembaga masyarakat dan pemerintah daerah yang masih rendah dalam upaya mendukung konservasi orangutan perlu mendapat perhatian serius. Kegagalan program konservasi yang sering terjadi merupakan akibat dari kekurangpedulian lembaga terkait terhadap perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati, kesalahpahaman dalam menilai jasa lingkungan, dan pandangan yang mementingkan kepentingan ekonomi sesaat (Meijaard et al., 2001). Strategi peningkatan peranan lembaga terkait untuk mengembangkan kegiatan konservasi orangutan Batang Toru akan diulas dalam Bab terakhir dari buku ini.
123
X. STRATEGI KONSERVASI
Konservasi
sumber
daya
alam
hayati
adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Undang-Undang No 5. Tahun 1990 [Departemen Kehutanan, 1990]). Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan 1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, 2) pengawetan keanekaragaman jenis dan satwa beserta ekosistemnya, dan 3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati besarta ekosistemnya. Dengan kata lain, konservasi merupakan pengelolaaan kehidupan alam oleh manusia untuk memperoleh manfaat dan memelihara potensinya secara berkelanjutan guna menjamin kebutuhan generasi yang akan datang. Sumber daya alam hayati merupakan unsur-unsur hayati yang terdiri atas tumbuhan dan satwa, bersama unsur nonhayati yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Untuk menjamin sumber daya alam hayati dapat dilestarikan dan bermanfaat secara berkelanjutan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan sebagian wilayah hutannya sebagai hutan konservasi, baik sebagai Kawasan Suaka Alam (KSA) maupun Kawasan Perlindungan Alam (KPA). Status hutan konservasi dapat berupa CA dan SM (KSA); TN, Tahura, dan TWA (KPA),
125
dan taman buru (TB). Pengelolaan KSA, KPA dan TB dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan [kini Kementerian Kehutanan] (Departemen Kehutanan, 1999). Salah satu sumber daya alam hayati yang saat ini telah terancam punah dan terus dilindungi adalah orangutan Sumatra. Orangutan Sumatra telah ditetapkan sebagai spesies prioritas karena merupakan satwa endemik, kritis terancam punah, dan tingkat ancaman yang tinggi akibat kerusakan habitat. Arahan strategis konservasi prioritas secara nasional telah disusun Kementerian Kehutanan melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional. Begitu pula, Departemen Kehutanan (2007) telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007–2017 yang dapat menjadi acuan pelaksanaan konservasi secara nasional. Arahan strategis sebagaimana Permenhut Nomor 57/Menhut-II/2008 dan SRAK Orangutan Indonesia 20072017 masih bersifat nasional dan menyeluruh sehingga perlu disusun arahan teknis dalam pelaksanaan strategi tersebut. Arahan strategi dan teknik konservasi harus disusun lebih spesifik sesuai dengan karakteristik spesies, habitat, populasi, sosial ekonomi, dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Hal ini untuk lebih memudahkan para pengambil kebijakan, terutama di tingkal lokal/daerah dalam merumuskan strategi konservasi yang tepat dan lebih terarah. Sebagai contoh, orangutan Batang Toru sebagian besar tersebar pada habitat sub pegunungan dan pegunungan (ketinggian >600 m dpl); jenis ini memiliki kekhasan genetik dan perilaku sosial yang
126
berbeda dengan orangutan di wilayah lainnya (sebelah Utara Danau Toba), seperti di TN Gunung Leuser, Provinsi Aceh. Strategi dan teknik konservasi orangutan Batang Toru sampai saat ini belum ada, padahal, ancaman kepunahan lokal sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan pada Bab sebelumnya teridentifikasi bahwa populasi orangutan Batang Toru pada setiap area hutan konservasi, seperti CA Dolok Sipirok dan CA Dolok Sibual-buali di bawah 50 individu (Kuswanda, 2005 dan 2011). Tingkat ancaman perubahan habitat oleh aktivitas konversi hutan dan penebangan kayu sangat tinggi, serta peran serta kelembagaan lokal dalam upaya konservasi satwa masih rendah. Untuk mengantisipasi kepunahan orangutan Batang Toru, rekomendasi strategi dan teknik konservasi yang spesifik perlu segera disusun dan seyogyanya dituangkan dalam peraturan daerah. Selain itu, penjabaran Permenhut terkait strategi konservasi orangutan perlu dibuat, antara lain melalui surat keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Strategi terbaik jangka panjang dalam mengupayakan konservasi orangutan adalah mengembangkan kegiatan konservasi secara in situ, baik di dalam kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi, seperti hutan rakyat atau hutan produksi (Primarck et al., 1998; PHPA, 2004; Ditjen PHKA, 2006). Untuk itu, Bab terakhir dalam buku ini akan menjabarkan usulan strategi dan teknik konservasi orangutan di kawasan Hutan Batang Toru dan habitat dataran tinggi pada umumnya. Hasilnya diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan bagi Kementerian Kehutanan (BBKSDA Sumatra Utara), Pemerintah Daerah lingkup Provinsi Sumatra Utara, LSM, dan lembaga terkait
127
lainnya dalam upaya menyukseskan program konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia, khususnya orangutan Sumatra. Merujuk hasil penelitian dan paparan dari Bab sebelumnya, rekomendasi strategi dan teknik konservasi orangutan Batang Toru adalah sebagai berikut. A.
Perlindungan Habitat pada Hutan Konservasi
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya. Penetapan hutan konservasi bertujuan untuk mengelola sumber daya alam hayati secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Upaya konservasi pada hutan konservasi bertujuan untuk memelihara proses ekosistem hutan secara alami yang menunjang kelangsungan kehidupan orangutan secara alami. Hutan konservasi di Kawasan Batang Toru yang merupakan habitat orangutan adalah CA Dolok Sibual-buali, CA Dolok Sipirok, dan SA Lubuk Raya. Namun, menurut Departemen Kehutanan (1999), pada kawasan suaka alam tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan, dan pengayaan tanaman. Untuk itu, strategi konservasi terutama pada kawasan CA yang paling tepat adalah meningkatkan perlindungan terhadap habitatnya. Perlindungan habitat bertujuan untuk melindungi, memelihara, mempertahankan, dan mengamankan habitat orangutan sehingga daya dukung kawasan meningkat dan populasinya berkembang secara alami. Habitat ideal bagi
128
orangutan berupa hutan primer dengan ketersediaan pohon pakan yang cukup dan terbebas dari berbagai ancaman manusia. Hasil analisis pendugaan daya dukung habitat, seperti di CA Dolok Sibual-buali dapat mendukung populasi orangutan sekitar 47–56 individu (Kuswanda & Bismark, 2007b), sedangkan populasinya masih di bawah 30 individu (Kuswanda & Sugiarti, 2005a). Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah populasi yang ada saat ini dapat lebih meningkat bila keadaan kawasan dapat dilindungi lebih optimal. Rendahnya reproduksi dan perkembangan populasi orangutan mungkin lebih banyak disebabkan karena faktor gangguan terhadap habitatnya, terutama dari aktivitas masyarakat yang sering memasuki habitat orangutan, seperti pengambilan kayu bakar, air nira, dan perambahan lahan. Teknik untuk mengembangkan strategi perlindungan habitat orangutan pada kawasan konservasi, terutama di kawasan Hutan Batang Toru, antara lain sebagai berikut. 1.
Penataan dan Pemeliharaan Batas Kawasan
Polemik dalam pengelolaan hutan di Indonesia, khususnya pada hutan konservasi adalah masih belum jelasnya tata batas kawasan terutama yang berbatasan langsung dengan lahan masyarakat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan banyak areal yang belum ditata batas secara permanen dan temu gelang, seperti di sekitar kawasan Aek Nabara, CA Dolok Sibual-buali. Kondisi ini sering mengakibatkan masyarakat memasuki dan membuka hutan yang sebenarnya sudah termasuk hutan konservasi. Sosialisasi di tingkat masyarakat dan multi stakeholder guna
129
menata ulang batas kawasan harus menjadi prioritas pengelola kawasan konservasi agar tidak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan petugas (Polisi Hutan/Polhut) apabila akan ada penertiban perusakan lahan pada kawasan konservasi. Rekonstruksi batas kawasan juga diperlukan karena beberapa tanda/pal batas telah rusak/hilang, tergeser atau dipindahkan, seperti di bagian Utara CA Dolok Sibual-buali dan bagian Selatan CA Dolok Sipirok. Rekonstruksi tata batas dapat dilaksanakan minimal lima tahun sekali guna memberikan jaminan mengenai kejelasan posisi dan tanda batas dari hutan konservasi. Program selanjutnya yang harus terus dikembangkan adalah pemeliharaan pal batas untuk mempertegas batas serta meningkatkan pengawasan dan pengamanan kawasan. Kegiatan pemeliharaan dilaksanakan paling tidak 2–3 tahun sekali untuk mengganti pal yang rusak atau hilang dan memperjelas identitas pal yang sudah pudar. Pada areal yang belum ada pal batas dan belum temu gelang, pemeliharaan dapat berupa pembersihan jalur rintis batas kawasan selebar 1–2 meter. Adanya tata batas yang jelas diharapkan dapat meminimalisasi kesalahpahaman masyarakat sehingga dapat mengurangi ancaman perambahan lahan dan aktivitas lainnya di hutan konservasi. 2.
Penguatan Kelembagaan dan Kapasitas SDM
Sumber daya manusia (SDM) yang memahami makna, tujuan, dan manfaat pengelolaan hutan konservasi sampai saat ini belum mencukupi, terutama petugas di daerah dan lapangan yang bersentuhan langsung dengan hutan konservasi. Hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa petugas lapangan untuk memantau dan melindungi CA Dolok
130
Sibual-buali (±5.000 ha) dan CA Dolok Sipirok (±6.900 ha) hanya terdapat satu sampai dua orang petugas dari BBKSDA Sumatra Utara. Padahal, permasalahan dan tanggung jawab untuk pengamanan kawasan sangat besar. Pada masa mendatang, penguatan kelembagaan perlu disinkronkan dengan program/pola pengelolaan hutan berbasis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang mencakup keseluruhan kawasan Hutan Batang Toru. Bentuk kelembagaan ini sebagai KPH Konservasi (KPHK) model yang mencakup pengelolaan fungsi produksi, lindung, dan konservasi. Pengembangan SDM, baik dari lembaga pemerintah (pusat dan daerah) maupun masyarakat, di bidang konservasi sangat penting seiring meningkatnya tantangan dan ancaman terhadap upaya konservasi keanekaragaman hayati. Peningkatan pengetahuan melalui pelatihan dan pendidikan harus dilakukan secara kontinu. Penyuluhan dan penyadartahuan terhadap masyarakat lokal yang kurang memahami dengan baik tentang konservasi, peningkatan keterampilan masyarakat, dan bantuan modal finansial perlu menjadi program berbagai lembaga terkait dalam meningkatkan peranan kelembagaan di bidang pelestarian hutan. Pemerintah daerah dan perusahaan setempat juga dapat menciptakan program-program yang tepat guna, tepat sasaran, dan berkelanjutan dalam mengembangkan SDM maupun ekonomi, khususnya bagi masyarakat. Program tersebut dapat membantu keterbatasan anggaran, ketersediaan petugas, ataupun prasarana lapangan dari pemerintah pusat dalam menjaga keutuhan hutan konservasi. Untuk meningkatkan kapasitas SDM pengelola hutan konservasi, Kementerian Kehutanan dapat menambah
131
pegawai dan mengarahkan tenaga fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) membentuk beberapa specialist group, seperti spesialis flora, fauna, dan pemberdayaan masyarakat. Mereka sebaiknya ditempatkan di kantor resor, sebagai unit pengelolaan terkecil dengan manajemen berbasis resor, sehingga lebih dekat untuk melakukan pengamanan, sosialaisasi, dan penyuluhan kepada masyarakat. Kehadiran petugas di kantor resor akan memudahkan menanggulangi berbagai ancaman yang dapat terjadi sewaktu-waktu, seperti kebakaran hutan dan pencurian kayu. 3.
Pengamanan kawasan
Pengamanan di dalam dan sekitar hutan konservasi untuk menjaga keutuhan hutan konservasi harus dilakukan secara periodik. Namun harus disadari, terdapatnya keterbatasan SDM dan dana operasional sering berakibat pengamanan kawasan sulit dilakukan secara berkesinambungan. Di sisi lain, aktivitas pelanggaran dan ancaman terhadap keutuhan kawasan semakin hari semakin meningkat sehingga banyak hutan konservasi yang telah terdegradasi. Strategi pengamanan hutan konservasi sebaiknya tidak perlu langsung dilakukan secara represif apabila masih memungkinkan pendekatan secara preventif dan persuasif. Berbagai teknik pengamanan yang dapat dilakukan untuk melindungi habitat orangutan Batang Toru di hutan konservasi, antara lain sebagai berikut. a. Pemasangan papan nama/petunjuk dan papan larangan, terutama di daerah-daerah yang rawan terhadap aktivitas pelanggaran.
132
b. Pembangunan menara pengawas dan pondok jaga pada kawasan yang sangat rawan terhadap pencurian kayu. c. Penggunaan material edukasi dan penyadartahuan untuk perbaikan dan penguatan pengelolaan hutan di tingkat komunitas. d. Pengembangan sistem pelaporan perusakan hutan dan perburuan liar oleh para petugas lapangan. e. Pengembangan sistem informasi respon cepat pada media untuk mengangkat isu kegiatan ilegal yang berdampak terhadap orangutan dan habitatnya. f. Penguatan koordinasi dengan lembaga penegak hukum untuk menyamakan persepsi dan tindakan dalam menangani pelanggar, seperti pencuri kayu.
Petugas lapangan (Polhut) harus mampu mendorong masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan secara mandiri sehingga dapat mengefektifkan program pengamanan kawasan hutan. Pembentukan sebuah lembaga pengamanan masyarakat yang dikenal dengan Pengamanan Hutan Swakarsa (Pamhut Swakarsa) perlu lebih dioptimalkan di desa-desa sekitar hutan konservasi. Untuk meningkatkan keterampilan masyarakat yang tergabung dalam Pamhut Swakarsa, pelatihan tentang perlindungan dan pengamanan hutan, serta pendampingan yang dapat bekerjasama dengan LSM perlu difasilitasi. Pamhut Swakarsa dapat dilibatkan dalam pengawasan dan menjadi informan lapangan untuk melaporkan aktivitas ancaman apabila saat itu tidak ada petugas yang sedang berpatroli di lapangan. Alokasi anggaran
133
untuk petugas Pamhut Swakarsa juga perlu ditingkatkan, baik oleh Kementerian Kehutanan maupun pemerintah daerah. 4.
Sosialisasi Peraturan dan Penegakan Hukum
Kerangka hukum untuk melindungi orangutan di Indonesia antara lain tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 5 Tahun 1990, dan PP Nomor 7 Tahun 1999. Namun menurut Meijaard et al. (2001), lemahnya kualitas pengawasan dan kontrol dari lembaga terkait sering berakibat implementasi undang-undang tersebut tidak konsisten dan akhirnya masyarakat tetap tidak memahami, apalagi berperan serta dalam perlindungan satwa liar. Persepsi masyarakat yang masih rendah, bahkan salah mengartikan penetapan hutan konservasi dan program pelestarian satwa liar, seringkali menyebabkan aktivitas konservasi hanya sebatas pada pelaksanaan keproyekan saja. Sosialisasi peraturan dan penegakan hukum dalam perlindungan hutan konservasi akan berhasil apabila didukung oleh semua lapisan/lembaga terkait karena pada dasarnya penetapan hutan konservasi untuk kepentingan masyarakat dalam jangka panjang. Manfaat jangka panjang dari kawasan konservasi, seperti menjaga stabilitas lingkungan dan keseimbangan O2 dan CO2, habitat bagi beragam tumbuhan dan satwa langka, serta pengendali bencana erosi dan kekeringan harus disosialisasikan secara benar terhadap masyarakat sehingga dapat merubah persepsi dalam menilai keberadaan hutan konservasi, termasuk CA. Kawasan CA sangat penting bagi suatu bangsa agar dapat menjamin terpeliharanya contoh hutan alami, terjaganya keanekaragaman biotik dan fisik, dan kelestarian keanekaragaman hayati di dalamnya, seperti orangutan.
134
Peranan pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan sosialisasi dan koordinasi melalui petugas di lapangan, terutama kepada masyarakat sekitar hutan konservasi perlu ditingkatkan. Ketidaktahuan masyarakat sering menjadi awal penyebab aktivitas pelanggaran terhadap hutan konservasi. Sebagai contoh, masyarakat di sekitar CA Dolok Sipirok sering mengambil kayu bakar, daun-daunan, air nira, bahkan sampai mendirikan gubuk untuk memproduksi gula aren karena menganggap sumber daya hutan di sekitar desanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hanya mencontoh aktivitas di sekitar desanya, seperti perusahaan yang mengambil kayu tanpa adanya larangan dari petugas, padahal aktivitas tersebut terjadi di hutan produksi dan sudah memiliki izin pemanfaatan hasil hutan. Untuk itu, penilaian ekonomi sumber daya yang dimanfaatkan perlu dilakukan agar nilai kawasan dapat dipahami masyarakat. Selain itu, perusahaan setempat dilibatkan dalam pembinaan dan membantu peningkatan sistem perekonomian masyarakat sekitar, sekaligus aktif dalam membantu upaya konservasi yang melindungi habitat dan populasi orangutan. Berbagai aktivitas menjarah pada hutan konservasi masih terjadi juga akibat penegakan hukum yang masih lemah. Kurangnya jumlah personil Polhut dan masih minimnya kerjasama dengan instansi penegak hukum mengakibatkan pelanggar tidak mendapatkan efek jera, terutama yang memiliki modal besar untuk membangun perkebunan. Peningkatan upaya penegakan hukum dapat dikembangkan, seperti melalui penyusunan mekanisme pelaporan kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh oknum pelaku sehingga dapat segera diproses secara hukum. Selain
135
itu, upaya peningkatan penegakan hukum dapat dilakukan melalui penyelenggaraan pelatihan bagi petugas dan anggota komunitas masyarakat (Pamhut Swakarsa), pelengkapan prasarana pengamanan bagi petugas dan masyarakat, dan peningkatan pengetahuan aparat penegak hukum tentang identifikasi satwa dilindungi dan aturan hukum yang mengaturnya. Pihak LSM maupun Lembaga Adat juga dapat lebih meningkatkan pengawasan dan membantu pemantauan hutan konservasi. Perlindungan hutan konservasi hendaknya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah karena tanpa partisipasi masyarakat lokal dan lembaga lainnya, upaya ini akan sulit untuk dicapai. 5.
Pembinaan Habitat
Pembinaan habitat melalui campur tangan manusia dapat dilakukan pada berbagai hutan konservasi, kecuali pada area zona inti taman nasional dan cagar alam (Departemen Kehutanan, 2009). Pembinaan habitat pada hutan konservasi di Hutan Batang Toru dapat dilakukan pada kawasan SA Lubuk Raya. Populasi orangutan pada kawasan ini diduga kurang dari 15 individu yang tersebar pada habitat yang sangat sempit (Kuswanda, 2006b). Kawasan SA Lubuk Raya ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005 seluas 3.050 ha (Balai Besar KSDA Sumatra Utara, 2010). Kawasan ini berada pada ketinggian 1.060–1.862 m dpl dengan kelerengan 10–60%. Sebagian besar kawasan SA Lubuk Raya sudah mengalami kerusakan sehingga populasi orangutan hanya tersebar pada habitat yang sempit di daerah yang berlereng terjal. Kaki bukit SA Lubuk Raya sebagian besar telah berubah menjadi areal perkebunan cokelat, salak,
136
dan karet. Areal yang tidak dikelola masyarakat juga telah berubah menjadi semak belukar dan lahan kritis. Pembinaan habitat di kawasan SA Lubuk Raya dapat dilakukan untuk memulihkan kembali habitat terdegradasi melalui kegiatan rehabilitasi dan pengayaan tanaman, termasuk pada lahan yang sudah dikelola oleh masyarakat. Pelaksanaan program pembinaan habitat pada kawasan yang kritis diharapkan dapat menjadi habitat baru yang mampu mendukung pertumbuhan populasi orangutan dan memperbaiki proses dan fungsi ekosistem. Pemilihan jenis dapat dilakukan melalui survei potensi tanaman dan karakteristik lahan sehingga diperoleh jenis tanaman yang cocok untuk dibudidayakan, baik tanaman kehutanan maupun tanaman pertanian/perkebunan. Jenis tanaman yang berfungsi sebagai sumber pakan orangutan dapat menjadi prioritas dalam pemilihan jenis tanaman untuk mempercepat peningkatan daya hukung habitat bagi orangutan (Kuswanda, 2006c). Pembinaan habitat dan restorasi habitat orangutan di CA dapat dilakukan dalam konteks penelitian yang dilakukan dalam plot yang cukup luas untuk memacu pertumbuhan suksesi alam di areal sekitarnya (Bismark, komunikasi pribadi). B.
Pengelolaan Habitat di Luar Hutan Konservasi
Populasi orangutan di kawasan Hutan Batang Toru juga tersebar pada berbagai status hutan di luar hutan konservasi. Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar sebaran orangutan Batang Toru berada di luar hutan konservasi (Kuswanda, 2006b; van Schaik, 2001; http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012). Kawasan hutan di luar hutan konservasi tersebut meliputi HL,
137
HP/HPT dan APL (lahan budidaya masyarakat). Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Sumatra Utara, sekitar 14% (±14.410 ha) kawasan Hutan Batang Toru merupakan APL. Selain itu, terdapat juga beberapa permasalahan tumpang-tindih penataan kawasan, seperti kawasan yang ditetapkan sebagai HL seluas 7.800 ha ternyata bertumpangtindih dengan kawasan eksplorasi pertambangan emas dan perak, serta kawasan HL yang bertumpang-tindih dengan kawasan eksplorasi/eksploitasi geothermal, yang rencananya akan dibangun menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012). Terlepas dari status, peruntukan, dan pemanfaatan hutan dan lahan yang masih tumpang-tindih; upaya konservasi orangutan pada habitatnya di luar hutan konservasi di Batang Toru tetap harus menjadi prioritas berbagai kelembagaan yang diberi kewenangan untuk mengelola hutan, seperti pola KPH. Padahal, orangutan tidak mengenal batas dan status kawasan dalam kehidupannya dan kenyataannya sekarang mereka sudah berada di ambang kepunahan. Upaya pengembangan konservasi orangutan pada habitat di luar hutan konservasi harus menjadi tanggung jawab semua pihak karena kondisi ancaman kepunahan yang diduga lebih tinggi dibandingkan pada hutan konservasi. Perubahan areal hutan di luar hutan konservasi di Batang Toru lebih cepat dan terus meningkat seiring berkembangnya aksesibilitas jalan dan pertumbuhan penduduk. Strategi pengelolaan habitat pada habitat yang masih tersisa merupakan salah satu solusi yang tepat untuk mempertahankan populasi orangutan di luar hutan konservasi (Departemen Kehutanan, 2007). Menurut
138
Alikodra (1990), pengelolaan habitat merupakan kegiatan untuk mengatur kombinasi faktor habitat dan lingkungannya, termasuk manusia di dalamnya, sehingga dicapai perkembangan populasi yang optimal. Permasalahannya adalah bagaimana teknik konservasi yang tepat dalam mengembangkan strategi pengelolaan habitat sesuai karakteristik kawasan dan orangutan di Batang Toru. Untuk itu, pada Bab ini penulis mengusulkan konsep pemikiran dan rekomendasi teknik pengelolaan habitat di luar hutan konservasi, sebagai berikut. 1.
Pembentukan Forum Pengelolaan Hutan Berbasis Multipihak
Status kawasan hutan di Batang Toru sangat beragam sehingga kewenangan pengelolaannya berada pada instansi yang berbeda-beda. Untuk itu, pengembangan strategi dan rencana pengelolaan multipihak dengan melibatkan berbagai kelembagaan; mulai dari pemerintah, swasta, dan masyarakat; harus dilakukan untuk meminimalisasi konflik kepentingan pemanfaatan hutan. Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolabaratif dapat menjadi landasan hukum dan acuan pelaksanaan untuk mengembangkan pengelolaan hutan secara kolaboratif (Departemen Kehutanan, 2004). Pembentukan organisasi multipihak dimaksudkan untuk memaduserasikan aspirasi, peranan, tugas, dan tangungjawab antar lembaga dalam menciptakan kesepakatan program bersama dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara kolaboratif. Pada akhirnya, sistem manajemen pengelolaan secara terpadu (collaborative management) dapat terbangun,
139
terutama dalam mengurangi beban pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi, yang semula hanya ditanggung oleh pemerintah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membentuk Forum Bersama untuk pengelolaan hutan Batang Toru. Pembentukan Forum Bersama Pengelolaan Hutan Batang Toru dapat diprakarsai oleh BBKSDA Sumatra Utara dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Utara karena kawasan ini meliputi beberapa wilayah kabupaten/kota (lintas kabupaten/kota). Untuk menjalankan kelembagaan ini, setiap lembaga yang terlibat diwajibkan untuk mengalokasikan anggaran dalam menjalankan rencana dan program yang telah disepakati dalam Forum Bersama dan disesuaikan dengan tupoksi masing-masing lembaga. 2.
Peningkatan Pengamanan pada Hutan Lindung
Hutan lindung (HL) adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan memelihara kesuburan tanah (Departemen Kehutanan, 1999). Pengelolaan HL berada di bawah kewenangan Pemerintah Daerah di tingkat Kabupaten. Kondisi HL saat ini sebagian besar telah terdegradasi dan banyak berubah menjadi areal perkebunan dan pemukiman. Kawasan HL yang masih baik (primer dan sekunder) merupakan benteng terakhir bagi satwa liar untuk mempertahankan hidupnya, termasuk orangutan di Batang Toru. Tata batas HL yang belum jelas telah menyebabkan penyerobotan lahan, terutama oleh perambah yang datang dari luar/pendatang. Pengelolaan HL yang masih dianggap
140
“anak tiri” juga menyebabkan perhatian untuk melestarikannya menjadi kurang serius (Marsono, 2009), termasuk di wilayah Hutan Batang Toru. Sebagian besar HL tidak lagi berfungsi sebagai pemelihara kesuburan tanah atau sumber air karena unsur haranya hilang akibat ekosistemnya sudah rusak atau terdegradasi berat, akibatnya areal tersebut harus diberi pupuk agar tanahnya tetap subur. Untuk mengembalikan fungsi HL, langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan penataan batas kawasan tersebut. Pemerintah Daerah dapat mengusulkan pelaksanaan penataan batas kepada Kementerian Kehutanan. Apapun pengelolaan yang akan dilakukan, tentunya sulit berhasil apabila tata batas kawasan tidak jelas. Langkah selanjutnya yang penting adalah mengintensifkan kegiatan pengamanan kawasan. Program pengamanan kawasan harus mendapat prioritas dalam pengusulan rencana kerja di Dinas Kehutanan Kabupaten. Pengadaan personil Polhut dan anggaran untuk pengamanan perlu ditingkatkan dan seyogyanya menjadi bagian dari APBD. Untuk jangka panjang, membentuk dan memberdayakan Pamhut Swakarsa dari masyarakat merupakan alternatif yang bisa dilakukan, seperti untuk pengamanan hutan konservasi. Program pengamanan dapat difokuskan untuk menanggulangi perambahan, pembakaran lahan, dan illegal logging. Minimal pada masa mendatang, HL yang masih baik tidak bertambah rusak dan bisa menjadi perluasan habitat orangutan, serta menjadi penyangga kehidupan masyarakat sekitarnya. 3.
Mempertahankan Habitat pada Hutan Produksi
Hutan produksi tetap (HPT dan HP) merupakan kawasan hutan yang berfungsi untuk memproduksi hasil
141
hutan, terutama kayu (Departemen Kehutanan, 1999). Namun, lebih dari 70% areal hutan produksi menjadi rusak karena sistem pengelolaan oleh pemegang IUPHHK tidak berjalan semestinya. Banyak kawasan yang dilindungi, seperti sumber mata air, sempadan sungai, dan areal dengan kelerengan >40% mengalami penebangan dan terdegradasi. Adanya hutan yang masih utuh pada areal IUPHHK biasanya karena ada tuntutan dari masyarakat untuk tidak merusak hutan karena dianggap sebagai sumber air atau tempat budaya masyarakat. Menurut Meijaard et al. (2001), sedikitnya terdapat 28 perusahaan IUPHHK yang wilayahnya hampir tumpang-tindih dengan areal distribusi orangutan dan sebagian besar telah terfragmentasi. Salah satu perusahaan IUPHHK yang memiliki izin pengelolaan kawasan hutan di Hutan Batang Toru adalah PT Teluk Nauli. Perusahaan ini mendapat izin pengelolaan hutan sejak tahun 1979 sesuai SK HPH Nomor 161/Kpts/Um/3/1979 dan selanjutnya Perusahaan ini mendapatkan perpanjangan IUPHHK pada hutan alam berdasarkan SK Nomor 414/Kpts-II/2004 tertanggal 19 Oktober 2004 dengan areal operasi seluas 83.000 hektar, yang meliputi wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Nias Selatan. Namun hingga saat ini, PT Teluk Nauli belum melakukan ekstraksi kembali karena masih menunggu persetujuan rencana kerja umum (RKU)/redesain dari Kementerian Kehutanan, yang selanjutnya harus pula diikuti dengan rencana kerja tahunan (RKT) dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Utara (Butarbutar, 2007). Untuk pelestarian orangutan, kawasan ini perlu diusulkan sebagai IUPHHK Restorasi Ekosistem (RE) pada masa mendatang.
142
Gambar 39. Habitat orangutan di hutan produksi yang masih primer
Areal hutan produksi yang masuk dalam wilayah kerja PT Teluk Nauli, tetapi kondisi hutannya masih utuh dan merupakan habitat orangutan, antara lain terdapat di sekitar CA Dolok Sipirok dan Blok Hutan Anggoli. Kawasan hutan produksi yang masih primer–walaupun areal konsesi IUPHHK–seyogyanya diusulkan untuk menjadi areal plasma nutfah atau areal pelestarian sebagai koridor satwa atau areal perluasan cagar alam. Kementerian Kehutanan melalui Pemerintah Daerah merekomendasikan tidak mengeluarkan izin penebangan hutan (RKT) pada areal hutan produksi yang merupakan habitat orangutan.
143
4.
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Masyarakat
Menurut PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dinyatakan bahwa perencanaan ruang/lahan pada prinsipnya adalah bagaimana menetapkan dan menata kawasan lindung dan kawasan budidaya secara tepat. Penataan kawasan lindung berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya binaan, nilai sejarah, dan budaya bangsa untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan. Sementara itu, penataan kawasan budidaya adalah untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya binaan, dan sumber daya manusia. Kawasan hutan yang berada di lahan masyarakat (APL), seperti di sekitar CA Dolok Sipirok belum tertata dan termanfaatkan secara optimal. Kebiasaan masyarakat untuk membuka hutan dan kerakusan perambah yang memiliki modal melakukan aktivitas perambahan hutan menyulitkan untuk menata peruntukan lahan. Padahal, lahan-lahan yang hanya ditumbuhi semak belukar dan alang-alang (tidak dikelola) masih luas sehingga akan semakin banyak lahan yang tidak bernilai guna secara ekonomi ataupun untuk fungsi lindung (ekologi). Menurut Groves (1999), penataan kawasan lahan pada areal budi daya dengan menyediakan sedikit areal untuk tetap menjadi kawasan hutan sangat penting, terutama bagi satwa liar maupun rintangan fisik bagi manusia. Beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan untuk membangun fungsi lindung pada APL, antara lain 1) kawasan yang berbatasan langsung dengan cagar alam; 2) kawasan yang merupakan daerah resapan air, sumber mata air, sempadan sungai, sempadan pantai, dan kawasan sekitar danau; 3) kawasan
144
yang mempunyai kelerengan >40%; 4) kawasan rawan bencana alam, seperti gerakan tanah, longsoran, dan banjir bandang. Penyuluhan intensif kepada masyarakat untuk meningkatkan nilai manfaat lahan di APL perlu dilakukan dengan melibatkan BBKSDA, Dinas Kehutanan dan Dinas Pertanian setempat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat memanfaatkan lahan masih bersifat tradisional dan hasil panennya tidak optimal (Kuswanda, 2007b). Kebijakan untuk memanfaatkan secara optimal pada lahan yang kritis secara ekonomi sangat penting, baik pada lahan yang dimiliki oleh masyarakat setempat maupun yang dikelola perantau. Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat regulasi terkait optimalisasi pemanfaatan lahan pada areal budi daya dan melarang pemanfaatan intensif pada daerah yang mempunyai fungsi lindung. Pengembangan model alternatif penambahan pendapatan lainnya, seperti peternakan dan perikanan juga dapat menjadi solusi bagi pemerintah daerah untuk meningkatan perekonomian masyarakat. Masyarakat pada akhirnya tidak hanya menggantungkan pendapatan dari hasil perkebunan–yang tentunya membutuhkan lahan yang luas– dan pembukaan hutan dapat berkurang. Pengaturan pemanfaatan lahan dan larangan membuka hutan pada areal dengan fungsi lindung di sekitar habitat orangutan diharapkan dapat mengurangi konflik manusia dan orangutan, mengurangi gangguan terhadap daya reproduksi, dan peningkatan daya dukung habitat. Orangutan yang masih menempati sebagian habitat di APL dapat tumbuh dengan normal dan tidak melakukan migrasi pada areal hutan konservasi yang sempit yang dapat meningkatkan persaingan,
145
baik dengan orangutan maupun dengan satwa lainnya. Masyarakat yang mempertahankan sebagian lahannya untuk habitat orangutan dijadikan prioritas untuk mendapatkan bantuan atau biaya kompensasi dari pemerintah. C.
Restorasi Habitat
Restorasi habitat dimaksudkan untuk membantu mencegah dan membatasi kerusakan kawasan, mengurangi pemungutan hasil hutan dari dalam kawasan, mencegah kebakaran, meningkatkan pemulihan hutan yang kritis atau tidak produktif untuk perlindungan dan konservasi, dan mengembalikan fungsi ekosistem hutan sebagai habitat satwa (Kuswanda, 2009). Restorasi habitat orangutan pada berbagai status kawasan hutan sangat diperlukan karena sebagian besar habitat telah mengalami kerusakan, terutama pada areal hutan produksi dan lahan masyarakat (APL). Pengembangan program restorasi sangat penting karena membiarkan suksesi secara alami membutuhkan waktu yang sangat panjang. Marsono (2009) menyatakan bahwa program restorasi merupakan upaya untuk pemulihan struktur dan fungsi ekosistem dan menjaga eksistensi peranan hutan sebagai penyangga kehidupan. Restorasi habitat dapat dilakukan pada berbagai status hutan di luar hutan konservasi, terutama hutan lindung dan areal hutan produksi yang sudah ditinggalkan oleh pemegang izin usahanya. Hutan lindung di kawasan Batang Toru telah banyak yang berubah fungsi menjadi areal perkebunan dan lahan olahan lainnya. Perambahan pada hutan lindung sangat tinggi karena dijadikan perkebunan karet dan sawit (Kuswanda, 2010). Kegiatan restorasi pada tahap pertama dapat dilakukan di sekitar kawasan hutan yang masih utuh
146
dan mempunyai fungsi lindung. Tujuannya adalah untuk menyediakan habitat tambahan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh orangutan dalam jangka waktu pendek. Jenis tumbuhan yang direkomendasikan dalam restorasi habitat orangutan adalah tanaman asli atau endemik untuk menghindari kemungkinan invasi jenis tumbuhan baru. Kriteria pemilihan jenis tumbuhan yang dapat digunakan adalah sebagai sumber pakan, pohon sarang bagi orangutan, dan bernilai ekonomi bagi masyarakat. Kuswanda dan Sukmana (2009) menyatakan bahwa jenis tumbuhan yang cocok untuk pengayaan habitat pada hutan lindung dan sisa hutan produksi, antara lain durian hutan (Durio zibethinus), hoteng (Quercus sp.), aren (Arenga pinnata Merr), dan meranti (Shorea sp.). Pada daerah penyangga yang statusnya sebagai lahan masyarakat, kgiatan pengayaan dapat ditumpangsarikan dengan jenis tanaman yang merupakan sumber perekonomian, seperti karet (Hevea brasiliensis), cokelat (Theobroma cacao), petai (Parkia speciosa), kopi (Coffea arabica ), ataupun kayu manis (Cinammomum burmanii). D.
Pembangunan Koridor
Koridor merupakan daerah penghubung satwa antara satu habitat dengan habitat yang lain, ataupun antara satu patch terhadap patch yang lain maupun antara matriks satu dengan matriks yang lain. Patch adalah kawasan yang permukaannya tidak linear, memiliki perbedaan tumbuhan dan lansekapnya dibandingkan dengan sekitarnya. Patch juga merupakan unit-unit lahan atau habitat-habitat yang memiliki perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan keseluruhan kawasan. Patch dalam konteks ini adalah areal yang dapat
147
menjadi habitat pilihan dan (Pudyatmoko, 2009).
koridor bagi orangutan
Pembangunan koridor dapat memfasilitasi terjadinya pergerakan satwa yang mempunyai daerah jelajah yang luas, penyebaran tumbuhan, dan pertukaran genetik, serta populasi dapat bergerak untuk merespons terjadinya perubahan lingkungan dan bencana alam dan populasi yang terancam punah dapat terpulihkan di kawasan lain (Perbatakusuma et al., 2006). Koridor biodiversitas atau koridor konservasi–dalam konteks konservasi hidupan liar telah dibuktikan para peneliti–sangat bermanfaat dalam meningkatkan populasi jenis secara lokal dan regional, khususnya populasi yang kecil dan terisolasi dengan terlanjutkannya hubungan individu suatu jenis ketika fragmen-fragmen populasi dapat terkoneksi kembali (Gilbert & Sezt, 2001). Selain itu, pergerakan individu antar subpopulasi dapat mengurangi laju pemusnahan jenis regional melalui beberapa mekanisme, yaitu berkurangnya inkonsistensi laju kelahiran dan kematian, meningkatnya laju rekolonisasi suatu jenis, berkurangnya depresi perkembangbiakan dengan meningkatnya aliran gen, meningkatkan variasi adaptasi genetik untuk pemeliharaan kesehatan populasi, dan meningkatkan proses penyerbukan dan pemencaran biji tumbuhan. Pembangunan koridor pada lansekap Hutan Batang Toru adalah salah satu strategi dalam konservasi orangutan. Koridor dapat dibangun untuk menghubungkan antar hutan konservasi maupun antar status hutan lainnya yang telah terpisahkan oleh berbagai lahan olahan dan pemukiman masyarakat, seperti antara CA Dolok Sibual-buali dan SA Lubuk Raya. Untuk kepentingan jangka panjang,
148
pembangunan koridor sebaiknya dipilih pada hutan negara atau lahan yang tidak dibebani hak. Hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya pengambilalihan lahan oleh masyarakat. Pada tahap pertama, koridor dapat dibangun pada lahan yang penutupan hutannya masih merupakan hutan sekunder atau hutan campuran (sebagian areal sudah ditanami tanaman budi daya masyarakat). Hal ini untuk mempersingkat terbentuknya koridor dalam jangka pendek yang dapat dimanfaatkan oleh orangutan. Pembangunan koridor juga dapat menjadi bagian dalam kegiatan pengayaan habitat, terutama di sisa areal hutan produksi. Pada proses penyusunan desain, perencanaan dan pelaksanaan dapat melibatkan pemerintah desa dan masyarakat lokal untuk menjaga ancaman dan meningkatkan peran serta masyarakat (Depertemen Kehutanan, 2007). Untuk mendukung keberhasilan pembangunan koridor orangutan di Hutan Batang Toru, kelembagaan lainnya perlu pula dilibatkan, terutama dari sektor perkebunan dan pertambangan. Kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan koridor kepada unit manajemen perkebunan dan pertambangan sangat penting karena koridor antar habitat orangutan kemungkinan besar akan berada di daerah hak guna usaha (HGU) perusahaan, seperti PT Agincourt Resources Limited dan perusahaan perkebunan sawit yang wilayah kerjanya bersentuhan dengan hábitat orangutan. E.
Monitoring dan Pengembangan Penelitian
Monitoring merupakan suatu cara yang efektif untuk mengetahui reaksi suatu populasi terhadap perubahan
149
lingkungannya. Hasil monitoring secara berkala dalam jangka panjang dapat mengetahui perubahan pola-pola populasi yang mungkin disebabkan oleh gangguan manusia ataupun perubahan cuaca dan peristiwa alami yang terjadi tiba-tiba (Alikodra, 2002). Hasil monitoring dapat dijadikan dasar identifikasi permasalahan yang dapat menjadi acuan untuk pengembangan penelitian dalam mengevaluasi teknik konservasi orangutan yang sedang dijalankan oleh berbagai kelembagaan. Program monitoring, seperti pemantauan terhadap populasi orangutan dan aktivitas perusakan habitat meliputi inventarisasi atau sensus untuk mengetahui perubahan kepadatan dan perilaku orangutan, pengkajian mengenai potensi ancaman terhadap populasi orangutan yang ada saat ini, dan memastikan populasi minimum orangutan yang mampu bertahan hidup untuk menjamin keberadaan orangutan dalam jangka panjang. Program tersebut dapat dilaksanakan secara rutin maupun insidental. Kegiatan rutin dapat dilakukan 4–5 tahun sekali untuk satu jenis kegiatan yang sama, sedangkan kegiatan insidental dapat dilakukan sewaktu-waktu apabila muncul perubahan dramatis terhadap kondisi alami kawasan yang diakibatkan oleh bencana alam dan adanya kebijakan atau aktivitas yang dapat merusak habitat orangutan secara luas. Pelaksanaan program monitoring konservasi orangutan dapat menjadi bagian dalam pengembangan penelitian untuk mendapatkan informasi yang lengkap, akurat, dan proporsional. Penelitian ekologi di lapangan dalam jangka panjang terbukti berpengaruh kuat terhadap konservasi. Berbagai penelitian dapat memberikan data dan informasi terbaru, memberikan kontribusi pengawasan, dan
150
memberikan kesan adanya pihak yang berkepentingan sehingga dapat mengurangi aktivitas ancaman terhadap kawasan. Pelaksanaan penelitian dapat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai lembaga penelitian; baik dari pemerintah pusat, daerah, maupun lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional. Hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh berbagai kelembagaan, secara singkat maupun jangka panjang, termasuk data dan hasil penelitiannya harus dikelola dengan baik dan dibuat data base yang dapat dikelola oleh BBKSDA Sumatra Utara sebagai dasar pelaksanaan monitoring. Membangun dan memperbaiki fasilitas/prasarana penelitian orangutan yang sangat terbatas di Hutan Batang Toru juga harus segera diimplementasikan untuk lebih memudahkan para peneliti melaksanakan kegiatan penelitiannya. Penelitian orangutan yang masih sedikit pada habitat di luar hutan konservasi perlu disebarluaskan kepada berbagai lembaga riset, terutama perguruan tinggi untuk mendorong para mahasiswa, baik untuk Strata 1 maupun S2, agar tertarik untuk melakukan penelitian orangutan. F.
Pemberdayaan Kelembagaan Terkait
Pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati, termasuk orangutan pada kawasan konservasi di masa mendatang seyogyanya dilakukan secara terpadu sesuai Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif, baik pada hutan konservasi maupun di luar hutan konservasi. Koordinasi dan konsolidasi antar lembaga terkait perlu ditingkatkan untuk menyusun program dan peranan yang terintegrasi. Hasil penelitian di sekitar kawasan CA Dolok Sibual-buali terhadap peran berbagai lembaga terkait,
151
seperti BBKSDA Sumatra Utara, Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, LSM CI-I, IUPHHK PT Teluk Nauli, dan perusahaan pertambangan PT Agincourt Resources Limited menunjukkan bahwa lembaga-lembaga tersebut masih cenderung menjalankan program dan kewenangannya masing-masing akibat koordinasi antar lembaga belum optimal (Kuswanda & Bismark, 2007b). Pemberdayaan kelembagaan di bidang pelestarian keanekaragam hayati, termasuk dalam konservasi orangutan cenderung masih mengalami berbagai kendala. Kendala tersebut disebabkan beberapa hal, sebagai berikut. a. Landasan hukum untuk pengelolaan lingkungan dan konservasi jenis, terutama pada lahan hak milik belum jelas. b. Koordinasi antar lembaga terkait masih lemah. c. Penyuluhan dan sosialisasi, serta mekanisme umpan balik dalam pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum masih kurang. d. Konflik kepentingan antara kegiatan konservasi dan pembangunan dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan masih terjadi. e. Peningkatan pendidikan, pelatihan, dan disiplin petugas konservasi masih kecil dan tidak kontinu. f. Pengetahuan yang terbatas dan masih sedikit staf terlatih dalam menangani pelestarian keanekaragaman hayati yang permasalahannya sangat beragam.
Padahal, partisipasi dari berbagai lembaga terkait dalam pelaksanaan konservasi orangutan sangat diperlukan,
152
yang selama ini masih rendah dan tidak terkoordinasi. Tanpa dukungan dan peranan yang nyata dari berbagai kelembagaan terkait, program konservasi orangutan sulit untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu, upaya memberdayakan berbagai peranan kelembagaan dapat direkomendasikan berbagai program, sebagai berikut. 1.
Pembinaan Lembaga Masyarakat
Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan, termasuk di kawasan konservasi merupakan aktor utama terhadap keberhasilan atau kegagalan program konservasi. Namun, secara umum lembaga masyarakat belum memiliki kebijakan ataupun peraturan desa untuk mengatur pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan di sekitar kawasan konservasi. Saat ini, peran lembaga masyarakat dalam mendukung konservasi masih relatif rendah (Kuswanda & Bismark, 2007a). Teknik pembinaan lembaga masyarakat lokal dapat dimulai dari pengembangan program sosialisasi dan penyuluhan oleh pemerintah daerah dan pusat untuk menyelaraskan pemanfaatan ruang dan rencana pembangunan daerah dengan kondisi dan harapan masyarakat. Menurut Kuswanda dan Mukhtar (2006b), strategi yang paling penting dalam mengembangkan lembaga masyarakat yang masyarakatnya memiliki ketergantungan terhadap sumber daya hutan dari kawasan konservasi adalah menciptakan kemandirian dan kesempatan usaha dalam memanfaatkan sumber daya hutan ataupun lahan. Dalam hal ini, Pemerintah dapat berperan untuk membuat peraturan tentang akses dan mekanisme pemanfaatan sumber daya hutan secara adil dan berkelanjutan, menciptakan usaha
153
alternatif, atau mengembangkan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Lembaga lokal sudah selayaknya diberi kesempatan untuk merencanakan, mengelola, dan mengatur pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi. 2.
Pengembangan SDM dan Prasarana Konservasi
Sumber daya manusia yang memahami makna, tujuan, dan manfaat pengelolaan kawasan konservasi sampai saat ini belum mencukupi, terutama petugas di daerah dan lapangan yang bersentuhan langsung dengan kawasan konservasi. Petugas lapangan yang bertugas memantau dan melindungi hutan konservasi pada umumnya masih berpendidikan setingkat SLTA. Pengembangan jumlah, pengetahuan, maupun keterampilan petugas lapangan, terutama pada instansi Pemda dan masyarakat perlu lebih ditingkatkan. Begitu pula, pengadaan sarana pendukung yang memadai untuk mendukung pengelolaan hutan harus menjadi prioritas program lembaga terkait. Program pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan, penyuluhan, atau kampanye penyadartahuan tentang konservasi secara berkesinambungan. 3.
Pembentukan Kader Konservasi Orangutan
Tim Kader Konservasi Orangutan (KKO) dapat dibentuk dengan memadukan dan melibatkan berbagai institusi atau kelembagaan, mulai Polisi Hutan, pemimpin adat, ataupun masyarakat lokal. Tim KKO dapat difungsikan untuk memantau orangutan, sekaligus melakukan patroli kawasan,
154
monitoring aktivitas illegal logging, kegiatan pengawasan, sosialisasi, penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat. Tim KKO dapat menjadi mitra kerja Pamhut Swakarsa di setiap desa. G.
Translokasi dan Reintroduksi
Strategi translokasi (pemindahan) orangutan Batang Toru merupakan solusi terakhir untuk diterapkan apabila masih bisa dikembangkan strategi konservasi lainnya, seperti telah disebutkan pada bahasan terdahulu. Menurut Alikodra (2002), program translokasi harus dihindari apabila masih memungkinkan adanya strategi yang lain dalam upaya penyelamatan satwa liar. Program translokasi harus mempertimbangkan berbagai hal, antara lain apabila perkembangan penggunaan lahan akan menghancurkan habitat satwa liar, suatu populasi liar tidak mampu untuk hidup dan berkembang biak secara normal, dan pengelola ingin meningkatkan jumlah populasi dengan tujuan untuk mengurangi risiko kepunahan seluruh populasi. Untuk saat ini, translokasi orangutan Batang Toru belum tepat untuk dikembangkan karena kawasan hutan di dalamnya masih memungkinkan untuk dijaga dan dikelola secara tepat dan habitat masih mampu mendukung pertumbuhan populasi orangutan. Strategi kegiatan melepasliarkan kembali orangutan atau dikenal dengan reintroduksi sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun LSM yang peduli terhadap pelestarian orangutan. Sebelum dilepasliarkan, orangutan hasil sitaan dari peliharaan masyarakat, perburuan ilegal, dan perdagangan satwa liar, harus direhabilitasi terlebih dahulu. Kegiatan rehabilitasi orangutan sudah
155
banyak dilakukan, seperti di TN Gunung Leuser, Provinsi NAD dan Pusat Rehabilitasi Nyarumenteng, Kalimantan Tengah. Program rehabilitasi merupakan tahap awal untuk menyiapkan orangutan untuk diliarkan kembali ke alam bebas. Permasalahan seringkali dihadapi setelah orangutan siap untuk diliarkan, yaitu kendala dalam mencari dan menetapkan habitat yang cocok sebagai lokasi pelepasliaran orangutan. Hal tersebut karena belum adanya panduan dan kriteria yang komprehensif sebagai acuan untuk menetapkan habitat yang tepat dan layak dalam mendukung perkembangbiakan orangutan dalam jangka panjang. Akibatnya, program pelepasliaran orangutan sering mengalami kegagalan karena masih terbatas kerangka acuan dan kekurangtepatan dalam pemilihan habitat yang layak bagi orangutan. Kuswanda et al. (2008) memberikan alternatif rekomendasi penetapan kriteria pemilihan habitat untuk reintroduksi atau sebagai lokasi translokasi orangutan Batang Toru, sebagai berikut. 1.
Prioritas Status Kawasan Merupakan Hutan yang Dilindungi
Pertimbangan pertama yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi pelepasliaran orangutan adalah status dan fungsi kawasan hutan. Hal ini akan memudahkan dalam penyusunan rencana dan sistem pengelolaan lebih lanjut, serta meminimalkan kemungkinan adanya konflik atau gugatan fungsi kawasan pada waktu mendatang. Kawasan yang dapat menjadi prioritas sebagai lokasi pelepasliaran orangutan adalah hutan negara yang berfungsi sebagai kawasan lindung atau konservasi. Bukan tidak mungkin,
156
pelepasliaran orangutan dilakukan pada lahan yang dibebani hak atau hutan milik (APL). Namun, hal ini tentunya memerlukan adanya komitmen bersama dengan pemilik lahan dalam jangka panjang dan hal tersebut sulit untuk diimplemetasikan seiring kebutuhan terhadap lahan olahan semakin meningkat. Status kawasan prioritas di hutan negara dapat berupa TN, SM, HL, TWA, atau areal lindung di hutan produksi, seperti sempadan sungai, kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN), dan daerah kantong satwa. 2.
Lokasi Habitat Merupakan Habitat Baru Bagi Orangutan
Habitat yang ideal untuk pelepasliaran orangutan adalah habitat yang baru (bukan habitat orangutan). Hal ini untuk menghindari adanya persaingan dengan orangutan liar di dalamnya, seperti persaingan ruang/wilayah jelajah, pakan, ataupun aktivitas sosial lainnya dalam memperoleh pasangan. Peluang orangutan hasil rehabilitasi untuk memenangkan persaingan dengan orangutan liar sangat kecil. Orangutan rehabilitasi kemungkinan masih terbiasa dengan perlakuan atau bantuan ”pengasuh” dalam memperoleh makanan sehingga memerlukan waktu adaptasi dalam kehidupan liar di alam bebas, termasuk dalam hal ini orangutan translokasi. Selain itu, pelepasliaran dikhawatirkan akan menimbulkan penularan penyakit yang masih terbawa oleh orangutan rehabilitasi kepada orangutan liar. 3.
Penutupan Lahan Masih Berhutan
Kualitas hutan sangat memengaruhi daya reproduksi dan perkembangan orangutan (Meijaard et al., 2001).
157
Komposisi tumbuhan pada hutan primer atau sekunder tua eks IUPHHK yang tidak terganggu akan memberikan peluang lebih cepat dalam membantu proses adaptasi dan meningkatkan daya reproduksi orangutan. Selain itu, sebagian besar orangutan yang masih tersisa dan hidup secara liar sebagian besar berada di hutan primer. 4.
Ekosistem Berupa Hutan Dataran Rendah sampai Pegunungan
Lokasi habitat untuk pelepasliaran orangutan dapat berupa hutan dataran rendah sampai pegunungan, terutama bagi orangutan Sumatra. Namun demikian, lokasi pelepasliaran orangutan Batang Toru bila memungkinkan diprioritaskan pada ekosistem dengan ketinggian yang sama seperti habitat asalnya. Hal ini akan lebih mendekati habitat alami yang paling disukai karena kemungkinan jenis pepohonannya tidak jauh berbeda, terutama pohon-pohon penghasil buah yang merupakan makanan utama bagi orangutan. Distribusi jumlah dan kualitas makanan yang melimpah, terutama buah-buahan akan memudahkan orangutan untuk memperoleh dan mendapatkan makanan seperti ketika dalam tahap rehabilitasi. 5.
Luasan Habitat yang Cukup Ideal
Habitat ideal untuk kelangsungan hidup orangutan adalah hutan primer atau memiliki ketersediaan pohon pakan yang cukup dan terbebas dari berbagai gangguan. Pada kondisi habitat yang ideal, satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luas teritori sekitar 100 ha atau 1 km2 (PHVA, 2004). Namun demikian, pertimbangan luas
158
habitat dapat dikaji ulang melalui studi pendugaan daya dukung habitat, yang salah satunya dapat dilakukan melalui pendekatan nilai produktivitas tumbuhan pakan (daun dan buah) dan ketersediaan jumlah pakan lainnya. Hal ini mengingat pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5–6 individu pada habitat seluas 1 km2, contohnya di Ketambe (TN Gunung Leuser) yang mencapai kepadatan 5,5 individu/km2. Secara teoritis, semakin luas habitat dan berupa hamparan hutan yang kompak (tidak terpisah) tentunya memberikan peluang lebih cepat bagi orangutan untuk berkembangbiak. Namun, lokasi seperti itu tentunya akan sulit ditemukan, apalagi kebutuhan terhadap lahan budi daya terus meningkat. Dalam hal ini, apabila masih memungkinkan, luas habitat diharapkan minimal sekitar 350–400 km2 dan berupa kawasan hutan yang masih utuh dan tidak terfragmentasi. Hal ini memungkinkan karena luas areal hutan produksi (IUPHHK) seperti PT Teluk Nauli mempunyai luas 830 km2. Selain itu, jumlah populasi orangutan yang dianggap mampu bertahan dalam jangka panjang dalam satu unit habitat, yaitu minimal 500–600 individu (PHVA, 2004). Pertimbangan lain yang cukup penting pula adalah jumlah orangutan yang akan diliarkan dalam satu unit habitat tidak melebihi 40–50% kapasitas atau daya dukung habitat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan pakan, terutama dengan jenis satwa lainnya yang sudah hidup secara alami di kawasan tersebut. 6.
Kerapatan Vegetasi yang Tinggi
Komposisi vegetasi pada habitat alami orangutan secara umum termasuk kategori rapat dan stabil. Hasil
159
penelitian Kuswanda dan Sugiarti (2005a) di Sekitar Hutan DAS Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi pada habitat alami orangutan mencapai 350–550 pohon/ha. Indeks keragaman maksimal (H maks.) berdasarkan batasan Samingan (1997) pada setiap tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, dan pohon) berada pada selang 2,5 ≤ H maks. ≤ 3,5 sehingga kondisi hutannya masih tergolong sebagai habitat tidak terkendala/ stabil. 7.
Persentase Pohon Sumber Pakan Orangutan
Habitat yang akan dipilih untuk pelepasliaran orangutan sebaiknya habitat yang jenis pohonnya (diameter pohon >10 cm) telah teridentifikasi minimal 60–80% sebagai sumber pakan orangutan. Sekitar 80–90% jenis pohon sumber pakan tersebut sebaiknya merupakan jenis penghasil buah-buahan dan sekitar 30–40% di antaranya adalah jenis pohon penghasil buah dengan musim berbuah yang berbeda dan/atau jenis-jenis pohon yang berbuah sepanjang tahun. Jumlah, mutu, dan musim berbuah pohon sumber pakan yang tersedia secara merata sepanjang tahun dapat mengurangi kemungkinan migrasi orangutan ke tempat lain. 8. Sebaran Pohon Sarang yang Cukup Karakteritik pohon sarang yang sangat disukai oleh orangutan adalah berdiameter sekitar 22,4–32,2 cm, luas penutupan tajuk sekitar 8,56–37,00 m2, dan ketinggian tajuk sekitar 2,8–7,1 m (Kuswanda & Sukmana, 2005). Pada habitat untuk lokasi pelepasliaran orangutan, sebaran pohon yang memiliki karakteristik tersebut sebaiknya terdapat sedikitnya
160
40–50% dari seluruh jumlah pohon di dalam kawasan. Keberadaan pohon sarang sangat penting karena orangutan merupakan satwa yang membuat sarang setiap hari, baik untuk istirahat/tidur siang maupun tidur malam. 9.
Tingkat Ancaman Terhadap Perubahan Habitat yang Rendah
Lokasi pelepasliaran orangutan yang diutamakan adalah kawasan yang memiliki tingkat ancaman terhadap perubahan fungsi lahan yang rendah. Apabila memungkinkan, pada habitat terdapat batas/rintangan alam yang sulit untuk dijangkau oleh manusia, seperti sungai yang lebar atau tebing yang curam. Hal ini mengingat orangutan merupakan salah satu satwa yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. 10. Habitat Terdapat Tumbuhan Obat bagi Orangutan Orangutan rehabilitasi kemungkinan masih mengidap berbagai penyakit menular. Penyakit tersebut dapat menular secara alami ke individu orangutan atau jenis satwa liar lainnya sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Untuk itu, pada lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit 30– 40% dari jenis tumbuhan pakan yang berfungsi pula sebagai sumber obat alami bagi orangutan. Jenis tumbuhan yang diduga sebagai obat bagi orangutan adalah teureup (Artocarpus elasticus Reinw.) dan ropas para (tumbuhan liana).
161
Untuk mendapatkan habitat ideal bagi pelepasliaran orangutan tentunya sangat sulit di tengah perkembangan pembangunan yang membutuhkan banyak lahan, seperti perkebunan dan pertanian. Untuk itu, penelitian yang konprehensif perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum memutuskan atau menetapkan suatu kawasan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Syarat minimum yang seyogyanya dapat dipenuhi adalah kondisi hutan yang memenuhi minimal 70% dari seluruh kriteria di atas. Hal ini untuk memudahkan dalam program pembinaan habitat, pengelolaan populasi, dan membantu mempercepat perkembangbiakan orangutan. H. Penggalangan Dana Konservasi Strategi penting lain dalam pengembangan konservasi orangutan adalah ketersediaan anggaran/dana. Pelaksanaan konservasi orangutan membutuhkan pendanaan yang besar yang harus tersedia secara berkesinambungan dan dalam jangka panjang. Menurut Indrawan et al. (2007), pendanaan untuk konservasi selama ini sebagian besar masih bersumber dari dana pemerintah, baik APBN maupun APBD; dana perimbangan maupun dari pinjaman luar negeri; dan hibah. Selama ini, dana hibah untuk kegiatan konservasi terbanyak berasal dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (USAID), Jepang (JICA), Norwegia dan Masyarakat Uni Eropa lainnya. Perkembangan lain dalam pendanaan konservasi adalah pinjaman dari beberapa bank, seperti World Bank dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Beberapa organisasi internasional lainnya juga membentuk konsorsium untuk penggalangan dana konservasi, seperti World Wildlife Fund (WWF), Biodiversity Support Program (BSP), dan The Nature Conservancy (TNC).
162
Untuk waktu mendatang, ketersediaan dana konservasi tidak bisa hanya mengandalkan dari pemerintah yang anggarannya semakin terbatas maupun hibah dari luar negeri. Penggalangan dana konservasi harus terus dikembangkan karena tantangan pelaksanaan konservasi akan semakain berkembang seiring masih rendahnya kesadaran manusia dalam menjaga kelestarian hutan dan lemahnya kebijakan yang mendukung konservasi satwa liar. Sumber dana konservasi pada masa depan harus dilakukan melalui penjualan produk berupa jasa yang dihasilkan dari manfaat aktivitas konservasi itu sendiri (ekonomi kreatif). Untuk itu, solusi alternatif sumber dana bagi pelaksanaan konservasi di masa mendatang dapat dilakukan, antara lain sebagi nerikut. 1.
Penerapan Pembayaran Hutan Sebagai Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Services/PES)
Penilaian jasa lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan konservasi hutan sangat penting karena–seperti hasil hutan lainnya–secara bersama-sama dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat, bahkan memberikan kontribusi bagi sumber pendapatan daerah dan nasional. Beragam jenis jasa lingkungan yang dihasilkan oleh keberadaan hutan yang lestari dapat digunakan sebagai dasar perhitungan manfaat hutan yang lebih realistis untuk mendapat dukungan pentingnya aktivitas konservasi. Hasil hutan nonkayu dan jasa lingkungan lainnya harus divaluasi secara ekonomi sehingga siapa pun yang memanfaatkannya harus membayar sebagai biaya kompensasi atas keberadaan hutan.
163
Habitat orangutan pada dasarnya memiliki manfaat jasa lingkungan yang secara tidak langsung bernilai guna untuk mendukung kebutuhan dan kehidupan manusia. Menjaga habitat orangutan berarti turut serta melindungi hutan yang memiliki beragam manfaat yang dapat dijadikan sebagai sumber dana bagi kegiatan konservasi. Pembayaran untuk jasa lingkungan yang dihasilkan (Payment for Environmental Services/PES) dari hutan harus dikembangkan dan hasilnya dikembalikan untuk kegiatan konservasi. Model PES bukan hanya diberlakukan untuk menilai hutan sebagai sumber air saja, tetapi untuk semua sektor usaha yang keberlanjutan operasional usahanya sangat bergantung dari kelestarian hutan, seperti perlindungan keragaman hayati, penyimpan karbon, dan ekowisata. Menurut Winrock International (2004) dalam (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012) dinyatakan bahwa lima komponen penting yang harus ada dalam sebuah model PES, yaitu 1) penilaian pembayaran dan royalti yang didefinisikan dengan jelas, 2) dana peruntukan dengan prosedur dan proses yang transparan untuk pembayaran, 3) sebuah komite multipihak harus dibentuk secara partisipatif dan membuka konsultasi bagi para pihak, 4) mekanisme dan prioritas ditentukan secara lokal, dan 5) perencanaan yang partisipatif dan memiliki sistem pengawasan kinerja. Untuk mendukung PES di Indonesia, pemahaman menyangkut aturan PES diperlukan bagi pihak pemerintah, legislatif, dan masyarakat. Dengan demikian, sinergisme aturan perundangan dapat dilakukan untuk mengindari tumpang-tindih kebijakan dan membangun regulasi nasional ataupun lokal yang lebih fleksibel.
164
2.
Pembayaran Jasa Hutan Sebagai Penyerap Karbon
Isu perdagangan karbon yang dihasilkan dari hutan muncul sejak ditandatanganinya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Pengurangan dampak perubahan iklim telah disepakati bersama negara-negara di dunia untuk ditangani secara serius melalui kerangka mitigasi dan adaptasi emisi gas rumah kaca (Angelsen et al., 2010). Emisi gas rumah kaca sebagai dampak dari perkembangan industri merupakan sumber kerusakan utama dengan terbentuknya karbon di atmosfir yang menyebabkan pemanasan global (Venter, 2009). Upaya untuk mengurangi pemanasan global yang dapat dilakukan saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon dengan mempertahankan atau merehabilitasi kawasan hutan dan menurunkan emisi karbon (Lasco et al., 2004). Kementerian Kehutanan, selaku pemegang kewenangan dalam pengelolaan hutan, telah mengeluarkan Permenhut Nomor P.20/Menhut-II/2012 sebagai payung hukum yang menjadi pedoman mekanisme semua kegiatan terkait penurunan emisi karbon hutan. Mekanisme ini diharapkan dapat mendukung dan mempermudah pelaksanaan proyekproyek REDD+. Peraturan tersebut mengatur mengenai pelaksanaan kegiatan pengelolaan karbon hutan di wilayah hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan rakyat. REDD+ adalah skema mitigasi perubahan iklim yang memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang untuk mempertahankan keberadaan hutan. Negara Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebanyak 26% dari tingkat business-as-usual pada tahun 2020. Keberadaan hutan alam yang masih sangat luas tentunya memiliki prospek yang besar untuk mendapatkan tambahan anggaran
165
dari perdagangan karbon yang hasilnya dapat dikembalikan untuk pelaksanaan konservasi hutan dan satwa liar di dalamnya. 3.
Penggalangan Dana dari Perlindungan Keindahan Lansekap
Perlindungan lansekap merupakan bentuk PES yang paling banyak dilakukan saat ini di Indonesia. Beberapa kasus di Indonesia telah menerapkan model pembayaran untuk keindahan lansekap yang dinilai berhasil, seperti di TN Komodo, TN Gunung Halimun-Salak, serta Pengembangan Ekowisata di Pulau Togean dan Pulau Gili. Pemerintah mengeluarkan perizinan untuk layanan lingkungan selama kurun waktu lebih dari 10 tahun untuk kawasan hutan di atas 1.000 ha. Mekanisme untuk pembayaran layanannya berupa bea masuk dan bea pemakai (http://pongoabelii.wordpress. com/dokumen-dasar, 2012). Ekosistem Hutan Batang Toru juga memiliki keindahan lansekap yang lengkap; mulai dari perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah dan perbukitan, hutan batuan gamping (limestone), hutan pegunungan rendah sampai hutan pegunungan tinggi. Beragam satwa langka dan endemik, yang hidup didalamnya, seperti orangutan dan harimau Sumatra tentunya menarik sebagai peluang yang dapat dijadikan untuk menggalang dana konservasi. Selanjutnya, tergantung bagaimana Pemerintah dan lembaga terkait lainnya dapat terus menyosialisasikan dan mempromosikan keindahan hutan Batang Toru sehingga menjadi perhatian dunia dan menarik negara dan masyarakat internasional memberikan dananya bagi upaya kelestarian Hutan Batang Toru sebagai warisan dunia.
166
4.
Pengembangan Ekowisata
Prospek pengembangan ekowisata setiap tahun terus meningkat di Indonesia. Fenomena alam yang sangat berkualitas dan menarik masih cukup banyak, seperti keunikan dan kelangkaan atraksi satwa liar (Fandeli, 2002). Pengembangan ekowisata pada kawasan hutan, seperti di hutan konservasi sangat penting sebagai bagian pemanfaatan kawasan hutan secara lestari dan bernilai guna bagi masyarakat sesuai amanah UU No. 41 Tahun 1999 (Departemen Kehutanan, 1999). Kondisi alam yang alami, indah, dan langka, serta keunikan satwa liar sering menjadi tujuan utama wisatawan, yang semuanya dapat dinikmati di Hutan Batang Toru. Pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi tentunya memerlukan pendekatan yang sedikit berbeda dengan pengembangan konsep pada kawasan wisata massal, seperti hutan kota, kebun raya ataupun kebun binatang. Pada hutan konservasi, potensi yang dapat di jual dalam aktivitas wisata adalah jasa lingkungannya, seperti antraksi beragam jenis satwa liar langka. Kuswanda (2008b) memberikan rekomendasi strategi untuk pengembangan ekowisata di dalam dan sekitar hutan konservasi, antara lain sebagai berikut. a. Pengembangan kegiatan yang melindungi keutuhan hutan sebagai habitat satwa liar. b. Pemetaan sebaran satwa liar karena merupakan obyek ekowisata yang selalu bergerak. c. Penetapan spesies satwa unggulan sebagai obyek ekowisata. Penetapan spesies unggulan dapat dijadikan dasar dan fokus dalam dalam rencana pengelolaan
167
kawasan konservasi secara menyeluruh. Kriteria yang digunakan dalam penetapan spesies unggulan sebagai obyek ekowisata, antara lain endemisitas, status konservasi satwa (dilindungi dan langka), keunikan dan keindahan morfologi dan perilaku; seperti orangutan. d. Peningkatan promosi dan sosialisasi obyek dan destinasi sebagai bagian dari strategi pemasaran melalui media massa (cetak dan elektronik) dan di tempat-tempat umum atau kegiatan massal, seperti bandara dan lokasi pameran (expo). e. Pengembangan pola kemitraan dengan melibatkan pihak swasta untuk berinvestasi dalam kegiatan ekowisata. f. Pengembangan aksesibilitas menuju destinasi ekowisata karena keberadaan kawasan habitat satwa liar sering kali sulit untuk dijangkau, bahkan harus ditempuh dengan berjalan kaki. g. Pengembangan obyek dan sarana pendukung ekowisata, seperti keindahan bentang alam, gejala dan fenomena alam, sistem pengelolaan hutan, mata air, sungai dan air terjun, sosial dan budaya masyarakat sekitar hutan, serta aktivitas kearifan lokal masyarakat. Sarana pendukung ekowisata yang dapat dikembangkan, antara lain base camp, shelter (tempat peristirahatan), pondok wisata, rumah jaga, dan penginapan di rumah penduduk. h. Pengoptimalan pemanfaatan obyek dan hasil ekowisata bagi kesejahteraan masyarakat dengan membuka kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi pelaku ekonomi kegiatan ekowisata sehingga mereka dapat berperan dalam upaya konservasi yang lebih luas.
168
5.
Pemanfaatan Dana Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) Perusahaan untuk Konservasi Hutan
Pengertian CSR adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap sosial atau lingkungan sekitar di mana perusahaan tersebut berada. Dana CSR dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa, dan pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Perusahaan di sekitar hutan Batang Toru, seperti perusahaan pertambangan dan air minum harus diwajibkan untuk menyalurkan dana CSR untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan alam yang diakibatkan aktivitas perusahaannya. Kehilangan habitat akibat aktivitas pertambangan harus diperbaiki dan menjadi kewajiban perusahaan, atau dapat pula perusahaan membantu menghijaukan kembali hutan di luar wilayah kerjanya. Dana CSR perusahan sebaiknya dipergunakan untuk melakukan rehabilitasi dan kegiatan konservasi lainnya yang secara langsung dapat menjaga fungsi kawasan Hutan Batang Toru, menyediakan pendanaan bagi kegiatan penelitian, pengembangan masyarakat di sekitar kawasan, atau membantu pengamanan keragaman hayati yang ada di dalam kawasan hutan, termasuk untuk program konservasi orangutan. Dalam hal ini, pemerintah daerah diharapkan dapat menyusun regulasi untuk menjamin kepastian hukum dan ketertiban sosial, serta mengawasi penggunaan dana CSR sehingga tepat sasaran. Pemerintah dapat berperan pula
169
untuk memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada pengusaha yang mau terlibat dalam upaya konservasi hutan.
170
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwliar Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Alikodra, H.S. 2002. Teknik Pengelolaan Satwa Liar: dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ancrenaz, M. 2004. Orangutan nesting behavior in disturbed forest of Sabah, Malaysia: Implications for nest sensus. Journal Primatol, 25(5): 983–1000. Angelsen, A. dan S. Atmadja [eds.]. 2010. Melangkah Maju dengan REDD: Isu, Pilihan dan Implikasi. CIFOR. Bogor. Babaasa, D. 2000. Habitat selection by elephants in Bwindi Impenetrable National Park, south-western Uganda. Journal Ecology, 38: 116–122. Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley & Sons. Network. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara. 2010. Buku Informasi Kawasan Konservasi. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara. Kementerian Kehutanan. Medan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Sumatra Utara. 2002. Buku Informasi Kawasan Konservasi di Sumatra Utara. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Medan.
171
Balai Pemetaan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan. 2006. Status Terkini Penggunaan Kawasan Hutan dan Implikasi terhadap Konservasi Habitat Orangutan di Kawasan Hutan Sebagian DAS Batang Toru. Makalah pada Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan Pembangunan di Kawasan Hutan DAS Batang Toru, 17–18 Januari 2006. Sibolga. Barbour, G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. The Benyamin/Cummings Publishing Inc, New York. Begon, M., C.R. Townsend and J.L. Harper. 2006. Ecology from Individual to Ecosystem. Fourth edition. Malden: Blackwell Publishing. Bismark, M. 2005. Estimasi populasi orangutan dan model perlindungan di komplek hutan Muara Lesan, Brau, Kalimantan Timur. Buletin Plasma Nutfah, 11(2): 74– 80. Blouch, R.A. 1997. Distribution and abundance of orangutans (Pongo pygmaeus) and other primates in the Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary, Sarawak, Malaysia. Tropical Biodiversity, 4: 259–274. BPS (Balai Pusat Statistik) Sumatra Utara. 2012. Provinsi Sumatra Utara Dalam Angka 2012. BPS Kantor Sumatra Utara. Medan. Buij, R., S.A Wich, A.H. Lubis and E.H.M. Sterck. 2002. Seasonal movement in the Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and Consequences Biological for Conservation. Biological Conservation, 107: 83–87. Butarbutar, M. 2007. Pelaksanaan Tanggung jawab Sosial HPH. PT. Teluk Nauli dalam Melindungi Habitat Orangutan. Makalah pada Lokakarya “Membangun Kolaborasi Para Pihak dalam Strategi Konservasi Habitat Orangutan Sumatra di Daerah Aliran Sungai
172
Batang Toru. Kerjasama Dishut Provinsi Sumatra Utara, Departemen Kehutanan, Conservation International Indonesia, USAID Indonesia dan ICRAF. Medan. Conservation International-Indonesia. 2006. Memadukan Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kawasan Konservasi Alam di Kawasan Hutan DAS Batang Toru. Makalah pada Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan Pembangunan di Kawasan Hutan DAS Batang Toru, 17–18 Januari 2006. Sibolga. Corbeels, M. 2001. Plant Litter and Decomposition: General Concepts and Model Approach. NEE Workshop Proceeding, 18–20 April 2001. Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tanggal 10 Agustus 1990. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan pelestarian Alam, tanggal 19 Agustus 1998. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tanggal 30 September 1999. Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolabaratif. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2005. Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut–II/2005 dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatra Utara, tanggal 16 Pebruari 2005. Departemen Kehutanan. Jakarta.
173
Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007–2017. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dierenfeld, E.S. 1997. Orangutan Nutrition. In: Orangutan SSP Husbandry Manual. C. Sodaro [Ed]. Orangutan SSP and Brookfield Zoo. Brookfield, Illinois. Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Selatan. 2007. Kawasan Taman Nasional Untuk Kehidupan Lebih Baik Bagi Semua. Makalah pada Lokakarya “Membangun Kolaborasi Para Pihak dalam Strategi Konservasi Habitat Orangutan Sumatra di Daerah Aliran Sungai Batang Toru”. Kerjasama Dishut Provinsi Sumatra Utara, Departemen Kehutanan, Conservation International Indonesia, USAID Indonesia dan ICRAF. Medan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2006. Kebijakan dan strategi pemerintah dalam konservasi in situ orangutan Sumatra. Makalah pada Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan Pembangunan di Kawasan Hutan DAS Batang Toru”, 17–18 Januari 2006. Sibolga. Djojoasmoro, R., C.N. Simanjuntak, B.M.F. Galdikas and T. Wibowo. 2004. Orangutan Distribution in North Sumatra. Jurnal Primatologi Indonesia, 4(1): 2–6. Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika: Membicarakan alam ekologi tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia Baru. Terjemahan Usman Tabuwidjaja. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. FAO. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010.
174
Galdikas, B.M. 1978. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press. Jakarta Gilbert, K.A. dan E.Z.F. Sezt. 2001. Primates in a fragmented landscape: Six species in Central Amazonian. Yale University Press, New Haven. USA. Groves, C.P. 1999. The taxonomy of orangutans. In. C. Yeager (Ed). Orangutan Action Plan. Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta, WWF Indonesia and Center for Environmental Research and Conservation (CERC) Colombia University. New York. Hadiwinoto, S. 2008. Bahan Ajar Mata Kuliah Silvikultur Hutan Tropika. Pascasarjana Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Harvey, D.S. and P.J.W. Head. 2006. A test of the hierarchical model of habitat selection using eastern massasauga rattlesnakes (Sistrurus c. catenatus). Biological Conservation, 130: 206–216. Hemami, M.R., A.R. Watkinson, P.M. Dolman. 2004. Habitat selection by sympatric muntjac (Muntiacus reevesi) and roe deer (Capreolus capreolus) in a lowland commercial pine forest. Forest Ecology and Management, 194: 49–60. http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar. 2012. Orangutan Sumatra di Batang Toru. Diakses tanggal 13 Juli 2013. Indrawan, M. B., R. Primarck, J. Supriatna dan P. Kramadibrata. 2007. Biologi Konservasi Edisi ke II. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Irwan,
Z.D. 2007. Prinsip-prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
175
IUCN. 2002. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.redlist.org/. Diakses tanggal 15 Pebruari 2005. Ives, A.R. 2007. Diversity and Stability in Ecological Communities. In: R.M. May and A.R. McLean [Eds]. Theoretical Ecology. Oxford: Oxford. Kabangga, Y. 2010. Pendugaan Umur dan Laju Pembuatan Sarang Orangutan Pongo pygmaeus morio, Grove 2001 di Stasiun Penelitian Frefab dan Mentoko, Taman Nasional Gunung Putting. Thesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kementerian Kehutanan. 2011. Laporan Kajian Perubahan Kondisi Hutan Primer Sumatra. Kementerian Kehutanan-UGM. Jakarta. Kementerian Kehutanan. 2014. Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, tanggal 24 Juli 2014. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Kuswanda, W. 2005. Strategi Perlindungan Orangutan Liar di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. INOVASI Media Litbang Provinsi Sumatra Utara Vol. 2 No. 3. Medan. Kuswanda, W. 2006a. Kajian Potensi Keanekaragaman Hayati di Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatra Utara. INOVASI Media Litbang Provinsi Sumatra Utara Vol. 3 No. 4. Medan. Kuswanda, W. 2006b. Status Terkini Populasi dan Ancaman Fragmentasi Habitat Orangutan (Pongo abelii lesson 1827) di Kawasan Hutan Batang Toru. Proseding Hasil Lokakarya Para Pihak “Masa Depan Habitat Orangutan dan Pembangunan di Kawasan Hutan Daerah Aliran Sungai Batang Toru”, tanggal 17–18 Januari 2006.
176
Kuswanda, W. 2006c. Strategi Rehabilitasi Lahan di Sekitar Kawasan Konservasi (Studi kasus: Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Sumatra Utara). Proseding Ekspose Hasil-hasil Penelitian “Optimalisasi Program GERHAN dan Hasil-hasil Penelitian dalam Upaya Mendukung Kelestarian Hutan dan Lahan”. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Parapat. Kuswanda, W. 2007a. Ancaman Terhadap Kelangsungan Hidup Orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 4. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. 2007b. Karakteristik dan Penggunaan Lahan Sekitar Habitat Orangutan (Pongo abelii Lesson), Cagar Alam Dolok Sibual-Buali. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 3. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. 2007c. Teknik Konservasi Orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) pada Kawasan Konservasi: Kasus Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Tapanuli Selatan. Proseding Ekspose hasil-hasil Penelitian “Peran Litbang Kehutanan dalam Mendukung Rehabilitasi dan Kawasan Konservasi di Sumbagut”. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Medan. Kuswanda, W. 2007d. Persepsi berbagai stakeholder terhadap Pelestarian Orangutan. Info Hutan Vol. IV No. 4. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. 2008a. Kajian Populasi dan Habitat Satwa Langka di Suaka Margasatwa Barumun. Laporan Akhir Penelitian Tahun 2008. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Departemen Kehutanan. Pematangsiantar. Kuswanda, W. 2008b. Potensi dan Strategi Pengembangan Ekowisata Satwa liar pada Hutan Konservasi: Suaka Margasatwa Barumun, Sumatra Utara. Prosiding
177
Ekspose Hasil-hasil Penelitian ”Peran Penelitian dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan di SumBagUt”. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Medan Kuswanda, W. 2009. Strategi Pemulihan Kawasan Yang Dilindungi Dalam Mendukung Pelestarian Satwa liar Langka di DTA Danau Toba. 2009. Proseding Workshop Seri Laporan No. 21 Kerjasama ITTO, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Utara. Kuswanda, W. 2011. Pemilihan Habitat oleh Orangutan Sumatra Orangutan (Pongo abelii Lesson) di Cagar Alam Sipirok, Sumatra Utara. Thesis Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kuswanda, W. dan A. Sukmana. 2005. Karakteristik Pohon Sarang Orangutan Liar: Kasus di Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Sumatra Utara. Konifera No. 1/Tahun XX/Desember 2005. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematangsiantar. Kuswanda, W. dan A. Sukmana. 2009. Kesesuaian Jenis Untuk Pengkayaan Habitat Orangutan Terdegradasi di Daerah Penyangga Cagar Alam Dolok Sibual-Buali. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VI No. 2. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. dan A. S. Mukhtar. 2006a. Potensi Masyarakat dan Peranan Kelembagaan di Zona Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No. 4. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. dan A.S. Mukhtar. 2006b. Strategi Pengembangan Kelembagaan Zona Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No. 5. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
178
Kuswanda, W. dan M. Bismark. 2007a. Pengembangan Strategi Konservasi dan Peran Kelembagaan dalam Pelestarian Orangutan Sumatra. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 6. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. dan M. Bismark. 2007b. Daya Dukung Habitat Orangutan (Pongo abelii Lesson), Di Cagar Alam Dolok Sibual-Buali, Sumatra Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 1. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. dan Sugiarti. 2005a. Potensi Habitat dan Pendugaan Populasi Orangutan (Pongo abelii, Lesson 1827) di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. II No. 6. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W. dan Sugiarti. 2005b. Aktivitas Harian Orangutan Liar (Pongo abelii Lesson 1827) di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. II No. 6. Departemen Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W., M. Bismark dan S. Iskandar. 2008. Analisis Habitat Lokasi Pelepasliaran Orangutan (Pongo sp.). Proseding Ekspose Hasil-hasil Penelitian ”Peran Penelitian dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Potensi Sumber daya Hutan di Sumbagut”. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Medan. Lasco, RD., FB. Pulhin, JM Roshetko, MRN. Banaticla. 2004. LULUCF Climate Change Mitigation Project in the Philippines: a Primer. World Agroforestry Centre. Southeast Asia Regional Research Programme. Lovell, N.C. 1990. Patterns of Injury and Illness in Great Apes. Smithsonian Institution Press. Washington, DC.
179
Lubis, A. H., S. A. Wich, E. H. M. Sterck, and R. Buij. 2001. Population Estimates and Seaseonal Movement in Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii). Proseding Seminar Primatologi Indonesia 2000. Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on method and computing. A Wiley - Inter science Publication. John Wiley and Sons, Inc. New York. MacKinnon, K., J. MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Manly, B.F.J, L.L McDonald and D. L. Thomas. 1993. Resource selection by animals: statistical design and analysis for field studies. Chapman and Hall, London, United Kingdom. 175 pp. Manly, B.F.J., L.L McDonald, D.L. Thomas, T.L. McDonald and W.P. Erickson. 2002. Resource Selection by Animal Statistical Design and Analysis for Field Studies. 2nd Edition. Dordrecht, Boston, London: Kluwer Academic Publishers. Marsono, J. 2009. Bahan Mata Kuliah Ekologi Vegetasi. Program Pascasarjana, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Morris, D.W. 1987. Test of density-dependent habitat selection in a patchy environment. Ecological Monographs, 57(4): 269–281. Morrison, M.L. 2002. Wildlife Restoration : Technique for Habitat Analysis and Animal Monitoring. Island Press. Washington DC.
180
Muir, C.C., B.M. Galdikas and A.T. Beckenbach. 2000. mtDNA sequence diversity of orangutans from the islands of Borneo and Sumatra. J. Mol. Evol., 51: 471–480. Naeem, S., D.E. Bunker, A. Hector, M. Loreau and C. Perrings. 2009. Introduction: social implications of changing the ecological and biodiversity. Oxford University Press, Oxford. Pp: 3–13. Napier, J.R and P.H. Napier. 1967. A handbook of Living Primates: Morfology, Ecology and Behaviour of NonHuman Primates. Academic Press. London. Neu, C.W., C. R. Byers and J.M. Peek. 1974. A Technique for Analysis of Utilization-Availability Data. The Journal of Wildlife Management, 38(3): 541–545. Nijman, V. 2009. An assessment of trade in gibbons and orangutans in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Malaysia. Perbatakusuma, E.A, J. Supriatna, R.S.E. Siregar, D. Wurjanto, L. Sihombing dan D. Sitaparasti. 2006. Mengarustamakan Kebijakan Konservasi Biodiversitas dan Sistem Penyangga Kehidupan di Kawasan Hutan Alam Sungai Batang Toru Provinsi Sumatra Utara. Laporan Teknik Program Konservasi Orangutan Batang Toru. Conservation International Indonesia- Departemen Kehutanan. Pandan. Population and Habitat Viability Assessment (PHVA). 2004. Orangutan. Laporan Akhir Workshop tanggal 15–18 Januari 2004. Jakarta. Prasetyo, D., M. Ancrenaz, C. Helen, Morrogh-Bernard, S.S.U. Atmoko, S.A. Wich and C.P. van Schaik. 2009. Nest building in Orangutan dalam Orangutans Geographic Variation in Behavioral Ecology and Conservation. Oxford University Press. New York.
181
Primarck, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pudyatmoko, S. 2009. Bahan Mata Kuliah Desain Riset Konservasi Sumber daya Hutan. Program Pascasarjana-Fakultas Kehutanan Universitas Gajdah Mada. Yogyakarta. Purnomo, D.W. 2009. Seleksi Habitat oleh Rusa Timur (Rusa timorensis) di Hutan Wanagama I. Tesis Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Purwadi. 2010. Karakteristik Habitat Preferensial Orangutan Pongo pymaeus wurmbii di Taman Nasional Sebangau. Thesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rijksen, H.D. 1978. A Field Study on Sumatran Orangutans (Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1872): Ecology, Behavior and Conservation. H. Veenman & Zonen, Wegeningen. Samingan, T. 1997. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi Fakultas MIPA-IPB. Bogor. Santosa, Y. 1993. Strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa parameter demografi dan kuota pemanenan populasi satwa liar berdasarkan pendekatan ekologi perilaku: Studi kasus terhadap populasi kera individu panjang (Macaca fascicularis). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saroso,
O. 2010. Governors Want Speedy Sumatra Development. http://www.thejakartapost.com/news/ 2010/07/24.
Simorangkir, R. A. 2009. Kajian Habitat dan Estimasi Populasi Orangutan (Pongo abelii Lesson) di Kawasan Hutan
182
Batang Toru, Sumatra Utara. Tesis Program Pascasarjana. Institit Pertanian Bogor. Bogor. Sinaga, T. 1992. Studi Habitat dan Perilaku Orangutan (Pongo abelii) di Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan Singleton, I. and C. van Schaik. 2001. Orangutan home range size and its determinants in a Sumatran swamp forest. International Journal of Primatology, 22: 877–911. Singleton, I., S.A. Wich & M. Griffiths. 2008. Pongo abelii. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 24 November 2014. Sitaparasti, D. 2007. Status Terkini Habitat dan Populasi Orangutan di DAS Batang Toru. Makalah pada Lokakarya “Membangun Kolaborasi Para Pihak dalam Strategi Konservasi Habitat Orangutan Sumatra dan Pembangunan Ekonomi Masyarakat Berkelanjutan di Daerah Aliran Sungai Batang Toru”. Hasil Kerjasama Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Utara, Dirjen PHKA-Departemen Kehutanan, Conservation International Indonesia, USAID Indonesia dan ICRAF. Medan. Sugardjito, J. 1986. Ecological Constrains on the Behaviour of Sumatran Orangutan in the Gunung Leuser National Park, Indonesia. Thesis Utrecht. Suzuki, M. 1989. Socio-ecological studies of orangutans and primates in Kutai national Park, East Kalimantan in 1988-89. Overseas Res. Rep. of studies on Asian NonHuman Primates, 7: 1–42. Takandjandji, M. 1993. Pengaruh perbedaan manajemen terhadap pertumbuhan rusa timor (Cervus timorensis) di Oilsonbai dan Camplong, Nusa Tenggara Timur.
183
Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Santalum 12. Kupang. van den Berg, L.J.L., J.M. Bullock, R.T. Clarke, R.H.W. Langston and R.J. Rose. 2001. Territory selection by the Dartford warbler (Sylvia undata) in Dorset, England: the role of vegetation type, habitat fragmentation and population size. Biological Conservation, 101: 217228. van Schaik, C.P. 2001. Dramatic decline in orangutan numbers in the Leuser Ecosystem, Northern Sumatra. Oryx, 35(1): 14–25. van Schaik, C.P. 2006. Diantara Orangutan: Kera merah dan bangkitnya kebudayaan manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Kalimantan (BOS). Jakarta. van Schaik, C.P., A. Priatna and D. Priatna. 1995. Population Estimates and Habitat Preferences of Orangutans Based on Line Transects of Nest. Plenum Press. New York and London. Whitmore, T.C. 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. 2nd ed. Oxford Universities Press, London. Wich, S.A., E. Meijaard, A.J. Marshall, S. Husson, M. Ancrenaz, R.C. Lacy, C.P. van Schaik, J. Sugardjito,T. Simorangkir, K.T. Holzer, M. Doughty, J. Supriatna, R. Dennis, M. Gumal, C.D. Knott and Ian Singleton. 2008. Review: Distribution and conservation status of the orang-utan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: how many remain? Oryx, 42(3): 329–339. Wich, S.A., I. Singeleton, S.S.A. Utami, M.L. Geurts, H.D. Rijksen and C.P. van Schaik. 2003. The Status of the Sumatran Orangutan (Pongo abelii): An update. Oryx, 37(1): 49– 54. Wich, S., Riswan, J. Jonsen, J, Refisch dan C. Nellemann (Editor). 2011a. Orangutan dan Ekonomi Pengelolaan
184
Hutan Lestari di Indonesia. Alih Bahasa : Gunung Gea. UNEP. Penerbit Barragraphia. Hal: 1–83. Wich, S.A., S.S.A. Utami, T.M. Setia and C.P. van Schaick. 2011b. Orangutans: Geographic variation in behavioural ecology and conservation. Oxford University Press, New York. Pp: 1–440. www.forestgama.blogspot.com. tanggal 4 Agustus 2009.
2009.
Habitat.
Diakses
Zhang, Y.W. 2001. Genetic divergence of orangutan species. Molecular Evolution, 52: 516–526.
185
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 (1)
Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72
(1)
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
RIWAYAT HIDUP PENULIS WANDA KUSWANDA; lahir di Subang-Jawa Barat pada tanggal 06 Agustus 1977 dari pasangan Dahri Rukmana (ayah) dan Cahti (ibu). Penulis menikah dengan Eulis Susanti pada tahun 2004 dan telah dikarunia dua orang putri: Sylvi Amalisti Kuswandani dan Salvia Raihanah Kuswandani. Anak pertama dari dua bersaudara ini menyelesaikan pendidikan SD (1989) dan SMP (1992) di Kabupaten Subang, serta SMA (1995) di Kabupaten Sumedang. Meraih gelar Sarjana di Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor (2000) pada Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Pada April 2011 mendapatkan gelar Master of Science (M.Sc) dengan predikat sebagai lulusan terbaik dari Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas KehutananUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pria ini mulai berkarir sebagai Peneliti pada Yayasan Mitra Rhino, sebuah lembaga yang bergerak di bidang konservasi badak di Indonesia (1999–2002). Perjalanan karir selanjutnya adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan (2002–sekarang). Jabatan sebagai Peneliti Madya bidang Konservasi Sumber Daya Hutan didapat pada tahun 2010 dengan masa kerja sekitar delapan tahun. Prestasi sebagai salah satu Peneliti Terbaik lingkup Kementerian Kehutanan juga telah diperolehnya pada tahun 2011. Selama berkarir sebagai peneliti, penulis sedikitnya telah mempublikasikan 30 karya tulis ilmiah pada berbagai jurnal terakreditasi dan 35 karya tulis pada media publikasi lainnya (proseding dan majalah populer). Penelitian yang banyak dilakukan
adalah bidang ekologi dan konservasi satwa liar, jasa lingkungan, dan pengelolaan kawasan konservasi. Selain meneliti, pria yang hobi menjelajahi hutan ini juga sering diminta sebagai narasumber dan pembimbing mahasiswa. Penulis aktif juga pada berbagai organisasi, antara lain sebagai Anggota Dewan Kehutanan Daerah Provinsi Sumatra Utara, Pengurus Forum Komunikasi Orangutan Sumatra-Provinsi Sumatra Utara, dan Anggota Asosiasi Pemerhati dan Ahli Primata Indonesia. Siapa pun dapat berkomunikasi dengannya melalui email:
[email protected] atau
[email protected].