Buku Gadar

  • Uploaded by: Suparjo, Skep.Ns
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Buku Gadar as PDF for free.

More details

  • Words: 6,763
  • Pages: 43
1

KONSEP DASAR BANTUAN HIDUP DASAR

PENDAHULUAN Terdapat banyak keadaan yang akan menyebabkan kematian dalam waktu singkat, tetapi kesemuanya berakhir pada satu hasil akhir yaitu kegagalan oksigenasi sel terutama otak dan jantung. Usaha yang dilakukan untuk mempertahankan hidup pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa dikenal sebagai ”Bantuan Hidup Dasar” (Life Support). Bila bantun hidup ini tanpa memakai cairan intra vena, obat, maupun kejut listrik maka dikenal sebagai Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support), sebaliknya dikenal dengan Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support). Yang dikenal sebagai bantuan hidup lanjut adalah ATLS (Advanced Trauma Life Support), ACLS (Advanced Cardiac Life Support) dan PALS (Pediatric Advanced Life Support). Pelaksanaan advanced life support pada tingkat pra rumah sakit dikenal sebagai PHTLS dan PHCLS (Pre Hospital Trauma and Cardiac Life Support). Kematian akan timbul jika sel tidak mendapatkan oksigen, jaringan vital yang akan rusak terlebih dahulu baru kemudian akan mengakibatkan kematian otak. Harus dibedakan antara mati klinis dan mati biologis :  Mati klinis : penderita dinyatakan mati apabila berhenti bernapas dan jantung berhenti berdenyuta, kematian ini masih reversibel bila dilakukan BHD.  Mati biologis : kerusakan sel otak dimulai 4-6 menit setelah berhenti pernapasan dan sirkulasi, setelah 10 menit sudah

dinyatakan kematian biologis. Apabila BHD dilakukan cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari seperti tambak pada tabel tersebut ini. Keterlambatan 1 menit 4 menit 10 menit Catatan :

Kemungkinan berhasil 98 dari 100 50 dari 100 1 dari 100

bila ada tanda kematian pasti seperti kaku mayat atau lebam mayat, sudah sia-sia untuk melakukan BHD

Yang harus diperhatikan pada BHD adalah :  Airway (jalan napas)  Breathing (pernapasan)  Circulation (jantung dan pembuluh darah)

AIRWAY Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada trauma. Pencegahan hipoksia membutuhkan suatu jalan napas yang bebas serta ventilasi yang cukup yang merupakan prioritas di atas segala perlukaan lainnya. Airway harus diamankan, oksigenasi tambahan diberikan dan bantuan ventilasi dimana diperlukan. Tambahan oksigenasi harus diberikan pada semua kasus trauma. Kematian karena masalah airway pada trauma disebabkan oleh :  Kegagalan dalam mengenal airway yang tersumbat sebagian dan atau ketidakmampuan penderita untuk berventilasi dengan cukup. Gabungan obstruksi jalan napas dengan ketidakcukupan ventilasi dapat menyebabkan hipoksia yang mengancam jiwa. Kombinasi ini mungkin terlupakan bila

  



ditemukan perlukaan yang tampaknya serius ; “ingat airway dan ventilasi tetap merupakan prioritas yang pertama.” Terlambatnya menjaga jalan napas Keterlambatan dalam menjaga ventilasi Adanya kesulitan tekhnis dalam menjaga jalan napas dan atau membantu ventilasi ; intubasi yang salah dan masuk ke esofagus akan memperburuk ventilasi dan dengan cepat dapat mengakibatkan kematian bila tidak dikenali secara dini Aspirasi isi gaster

OBSTRUKSI JALAN NAPAS

Obstruksi jalan napas merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat dibandingkan gangguan breathing dan circulation. Lagi pula perbaikan breathing tidak mungkin dilakukan bila tidak airway yang paten. Obstruksi jalan napas dapat total dan parsial  Obstruksi total Pada obstruksi total mungkin penderita ditemukan masih sadar atau dalam keadaan tidak sadar. Pada obstruksi total yang akaut biasanya disebabkan tertelannya benda asing yang lalu menyangkut dan menyumbat di pangkal larink. Bila obstruksi total timbul perlahan (insidious) maka akan berawal dari obstruksi parsial yang kemudian menjadi total. Bila penderita masih sadar, penderita akan memegang leher dalam keadaan sangat gelisah. Sianosis mungkin ditemukan dan mungkin ada kesan masih bernapas (walaupun tidak ada ventilasi). Dalam keadaan ini harus dilakukan Heimlich manuver (abdominal thrust). Kontra indikasi dari Heimlich manuver adalah kehamilan tua (harus dilakukan sternal thrust) dan bayi (dilakukan abdominal thrust dan back thrust).

Bila penderita ditemukan tidak sadar, tidak ada gejala apa pun, mungkin hanya sianosis saja. Pada saat melakukan pernapasan buatan mungkin ditemukan resistensi (tahanan) terhadap ventilasi. Dalam keadaan ini harus ditentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger sweep) ke dalam pharynk sampai di belakang epiglotis. Apabila tidak berhasilmengeluarkan dengan finger sweep dan tidak ada perlengkapan sesuai (faringoskop atau forseps) maka terpaksa dilakukan abdominal thrust dalam keadaan penderita berbaring.  Obstruks parsial Obstruksi parsial dapat disebabkan berbagai hal. Biasanya penderita masih dapat bernapas sehingga timbul beraneka ragam suara, tergantung penyebabnya. Cairan (darah, sekret, aspirasi lambung, dsb) : timbul suara ”gurgling” suara bernapas bercampur suara cairan. Dalam keadaan ini harus dilakukan penghisapan (suksion) Lidah yang jatuh ke belakang : keadaan ini dapat karena keadaan tidak sadar (koma) atau patah tulang rahang bilateral. Timbul suara mengorok (snoring) yang harus diatasi dengan perbaikan airway manual atau dengan alat. Penyempitan di larynk atau trakhea : dapat disebabkan edema karena berbagai hal (luka bakar, radang, dll) ataupun desakan neoplasma. Timbul suara ”crowing” atau stridor respiratoir. Keadaan ini hanya dapat diatasi dengan perbaikan airway distal dari sumbatan misalnya dengan trakheostomi. PENGELOLAAN JALAN NAPAS

Bila ada sumbatan jalan napas, sudah jelas bahwa sumbatan tersebut harus diatasi. Walaupun demikian dalam keadaan tertentu misalnya penderita dengan koma, tetap dilakukan pemasangan alat jalan napas, karena sumbatan dalam keadaan ini adalah mengancam (impending).

 Penghisapan (suksion)  Alat yang dipakai Suksion dapat dilakukan dengan kateter suksion (kateter lunak, soft/flexible tipped) atau alat suksion khusus seperti yang dipakai di kamar operasi (rigid tip, tonsil tip atau Yankauer tip). Untuk cairan (darah, sekret, dll) dapat dipakai soft tip, tetapi untuk materi yang kental (sisa makanan, dll) sebaiknya memakai tipe yang rigid. Soft tip kateter dapat dipakai untuk melakukan suksion daerah hidung atau naso pharynk serta dapat dimasukkan melalui tube endo trakheal. Rigid tip dapat menyebabkan timbulnya refleks muntah bila tersinggung dinding pharinks atau bahkan dapat menimbulkan perdarahan. Walaupun demikian rigid tip lebih disukai karena manipulasi alat lebih mudah dan suksion lebih efisien.

 Cara melakukan suksion Bila memakai rigid tip maka ujung tip harus selalu terlihat (jangan suksion secara membabi buta), bila memakai soft tip boleh sampai masuk secara hati-hati ke belakang pangkal lidah. Bila memakai soft tip masuk ke arah naso pharynk harus selalu diukur, jangan sampai terlalu jauh. Pada fraktur basis cranii alat yang dimasukkan lewat hidung ada kemungkinan masuk rongga tengkorak. Catatan : bila penderita muntah dan nampaknya suksion tidak akan menolong, maka kepala harus dimiringkan, bila penderita trauma maka jangan sekali-kali memiringkan kepala saja tetapi seluruh penderita harus dimiringkan dengan log roll.

 Lamanya suksion

Prosedur suksion akan juga menghisap oksigen yang ada dalam jalan napas karena itu lamanya suksion maksimal 15 detik pada orang dewasa dan 5 detiak pada anak kecil

 Menjaga jalan napas secara manual Pada orang sadar biasanya jalan napas sudah terjaga oleh penderita sendiri, walaupun mungkin terganggu karena sebab lain seperti sumbatan karena neoplasma dll. Bila penderita tidak sadar maka lidah dapat dihindarkan jatuh ke belakang dengan memakai :  Head tilt chin lift manuver Prosedur ini tidak boleh dipakai bila ada kemungkinan patah tulang servikal !! Tangan kanan diletakkan pada dahi penderita, sedangkan tangan kiri pada ujung dagu mengait dagu dan menarik mandibula ke depan. Mulut tidak boleh terkatup. Bila perlu ujung dagu dijepit dan ditarik ke depan. Jangan meletakkan ibu jari dalam mulut penderita bila tidak ingin terluka.

 Jaw thrust Petugas di belakang kepala penderita dan dengan kedua tangan di belakang sudut rahang bawah mendorong rahang bawah ke anterior.

 Jalan napas sementara

Dengan alat dimasukkan lewat hidung (nasopharingeal airway) atau lewat mulut (oro pharingeal airway)  Oro pharingeal airway Alat ini lebih populer sebagai ”guedel” walaupun ada tipe yang lain seperti misalnya tipe mayo atau williams. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa oropharingeal airway tidak boleh dipasang pada penderita sadar atau pada penderita setengah sadar yang berusaha menolak alat ini.

Pemaksaan pemasangan alat ini akan menimbulkan ”gag refleks” atau muntah yang mungkin menyebabkan aspirasi. Ukuran panjang oropharingeal airway dihitung dari sudut mulut ke angulus mandibulae (sudut rahang bawah). Pemasangan alat ini bisa dengan 2 cara : yang pertama, mulut dibuka lalu dimasukkan terbalik dan bila sudah mencapai palatum mole lalu dilakukan rotasi. Yang kedua, mulut dibuka dengan tongue spatel lalu dengan hati-hati dimasukkan ke belakang. Pada anak kecil sebaiknya memakai cara kedua karena proses rotasi mungkin menyebabkan patahnya gigi atau kerusakan pharynks.

 Naso pharingeal airway Alat ini tidak boleh dipsang bila ada kemungkinan fraktur basis kranii anterior (keluar darah dari hidung atau mulut dan ada brill hematom), karena mungkin alat ini bisa masuk ke otak. Pada keadaan ini pemasangan hanya boleh dilakukan oleh dokter dengan memakai mandrin atau stylet. Panjang tube dapat dihitung dari pangkal cuping hidung sampai cuping telinga. Cara pemasangan : dengan selalu mengusahakan masuk melalui lubang hidung sebelah kanan walaupun yang kiri juga diperbolehkan, tube diberi pelumas terlebih dahulu lalu dimasukkan perlahan ke belakang, bila ada hambatan langsung ditarik keluar dan dicoba di sebelahnya. Tube akan terlalu panjang bila setelah pemasangan tidak ada hembusan udara melalui lumen dari tube berarti masuk ke dalam esophagus.

 Jalan napas definitif  Naso tracheal airway  Oro tracheal airway

 Crico thyroidotomy  Tracheostomy BREATHING Bila airway sudah baik, belum tentu pernapasan akan baik sehingga perlu selalu dilakukan pemeriksaan apakah pernapasan penderita sudah adekuat atau belum.

 Pernapasan normal

Kecepatan bernapas manusia adalah : Dewasa : 12-20 kali/menit Anak : 15-30 kali/menit Bayi baru lahir : 30-50 kali/menit Pada orang dewasa, abnormal bila pernapasan >30 kali/menit atau <10 kali/menit. Pernapasan umumnya thoraco abdominal, pada penderita trauma yang tidak sadar akan dijumpai pernapasan abdominal, selalu dipikirkan kemungkinan cedera tulang belakang. Pada anak-anak pernapasan abdominal lebih dominan.

 Sesak napas

Sesak napas dapat dilihat atau mungkin juga tidak, bila terlihat mungkin akan ditemukan :  Penderita mengeluh sesak  Bernapas cepat (takipnea)  Pernapasan cuping hidung  Mungkin dijumpai sianosis  Pemakaian otot bantu pernapasan :  Retraksi supra sternal  Retraksi inter costal

 Retraksi sternum  Retraksi infra sternal

 Pemeriksaan fisik  Inspeksi : rate, ritme dan bentuk pernapasan, juga diperiksa

peranjakan paru apakah simetris atau tidak dan dilihat adanya tanda apnea  Auskultasi : bising napas vesikuler tanpa ronkhi, tempat pemeriksaan dibawah klavikula dan pada garis aksilaris anterior, bising napas harus simetris kanan dan kiri  Perkusi : pada daerah paru selalu sonor, pada daerah jantung menjadi pekak dan di atas lambung menjadi tympani, juga perkusi harus simetris kanan dan kiri.

OKSIGENASI Oksigenasi sebaiknya diberikan melalui suatu masker yang terpasang dengan baik dengan flow 10-12 liter per menit. Cara pemberian oksigen lain adalah dengan nasal kateter, kanul dan sebagainya juga dapat memberikan oksigenasi. Karena perubahan kadar oksigen darah dapat berubah dengan cepat dan tidak mungkin dikenali secara klinis maka harus dipertimbangkan pemakaian pulse oksimetri bila diduga ada masalah intubasi atau ventilasi. Ini termasuk pada saat mentransport penderita luka parah.

CIRCULATION Sirkulasi terdiri dari jantung dan pembuluh darah.  Frekwensi denyut jantung Frekwensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-80 kali per menit. Bila kurang dari 50 kali per menit disebut

bradikardi dan bila lebih dari 100 kali per menit disebut takikardi. Bradikardi sering ditemukan pada atlit yang terlatih. Pada bayi frekwensi denyut jantung 85-200 kali per menit sedangkan pada anak-anak 2-10 th adalah 60-140 kali per menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi merupakan tanda prognosa yang buruk.  Tekanan darah Tekanan darah sistolik dewasa adalah 90-140 mmHg. Pada anak-anak dapat dipakai rumus : tekanan sistolik minimal = 70 + (2 x usia (th)) Tekanan darah tidak dapat dipercaya sebagai indikator dini pada syok karena  tekanan darah sistolik bisa tidak turun sampai kehilangan darah lenih dari 30% volume darah (baru akan turun jika sudah melebihi ini)  pada penderita hipertensi tekanan darah mungkin turun tetapi masih dapat dianggap normal.  Penentuan denyut nadi Pada orang dewasa dan anak anak denyut nadi diraba pada arteri karotis yaitu medial dari muskulus sterno kledomastoideus. Pada bayi meraba denyut nadi pada arteri brachialis yaitu pada sisi medial lengan atas. Dalam penilaian sirkulasi, nilai apakah ada tanda dan gejala syok dan henti jantung SYOK Syok dapat disebabkan berbagai hal. Apapun penyebabnya penderita selalu dipasang infus. Gejala syok :  Kulit pucat dan dingin (gangguan perfusi kulit)  Takikardi

 Berkurangnya urin (oliguria sampai anuria karena gangguan

perfusi ginjal)  Gangguan kesadaran (gangguan perfusi otak)  Turunnya tekanan darah (bukan merupakan gejala dini) Pengelolaan syok ditujukan pada penyebabnya, misalnya syok karena perdarahan maka perdarahannya harus dihentikan. HENTI JANTUNG Gejala henti jantung adalah gejala syok yang sangat berat. Penderita mungkin masih akan berusaha menarik napas satu atau dua kali setelah itu akan berhenti bernapas. Penderita akan ditemukan dalam keadaan tidak sadar. Pada saat perabaan nadi tidak ditemukan denyut arteri karotis. Bila ditemukan henti jantung maka harus dilakukan masase jantung luar yang merupakan bagian dari resusitasi jantung paru (RJP / CPR). RJP hanya menghasilkan 25-30% dari curah jantung (cardiac output) sehingga oksigen tambahan mutlak diperlukan.

2

RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)

Langkah yang harus diambil sebelum memulai RJP (American Heart Association)  Tentukan tingkat kesadaran (respons penderita) Dilakukan dengan mengoyang penderita, bila penderita menjawab maka ABC dalam keadaan baik, bila tidak ada respon maka :  Panggil bantuan (call for help) Bila petugas sendiri jangan mulai RJP sebelum memanggil bantuan.  Posisi penderita Penderita harus dalam keadaan telentang. Bila telungkup penderita dibalikkan, pada keadaan trauma pembalikan dilakukan dengan “log roll”  Periksa pernapasan Periksa dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pemeriksaan ini paling lama 3-5 detik, bila penderita bernapas tidak memerlukan RJP  Berikan pernapasan buatan 2 kali Bila pernapasan buatan 1 kali tidak berhasil maka posisi kepala diperbaiki atau mulut lebih dibuka.

Bila pernapasan buatan kedua tidak berhasil (karena retensi/tahanan yang kuat) maka airway harus dibersihkan dari obstruksi (Heimlich maneuver, finger sweep, dll)  Periksa pulsasi arteri karotis (5-10 detik) Bila ada pulsasi dan penderita bernapas, dihentikan napas buatan Bila ada pulsasi dan penderita tidak bernapas, diteruskan napas buatan Bila tidak ada pulsasi dilakukan RJP Tekhnik Resusitasi Jantung Paru RJP dapat dilakukan satu atau dua orang.  Posisi penderita Penderita dalam keadaan telentang pada dasar keras (lantai, back board, short spine board). Jangan menunda RJP untuk mencari alas keras, bila perlu penderita dipindah ke lantai. Bila penderita terjepit dalam kendaraan, prinsip ekstrikasi dapat diabaikan kecuali proteksi servikal dengan segera menariknya keluar.

 Posisi petugas

Posisi petugas setinggi bahu penderita bila yang akan melakukan RJP satu orang maka penderita diletakkan di lantai, petugas berlutut setinggi bahu di sisi kanan penderita. Posisi paling ideal adalah jika petugas menunggangi penderita tetapi sering tidak dilakukan karena tidak dapat diterima oleh keluarga penderita

 Tempat kompresi

Tepatnya 2 inchi di atas prosesus xyphoideus pada tengah sternum. Jari tengah kanan diletakkan pada prosesus xyphoideus dan jari telunjuk mengikuti. Telapak tangan kiri diletakkan di sisi tangan kanan dengan tetap mengarah ke depan.

Jari-jari kedua tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada penderita. Pada anak < 8 tahun cukup satu telapak tangan, satu jari di atas prosesus xyphoideus, pada bayi dengan 2 atau 3 jari pada garis yang menghubungkan kedua papila mammae.

 Kompresi

Dilakukan dengan meluruskan siku, beban pada bahu bukan pada siku. Kompresi dilakukan sedalam 2-5 cm. Cara lain untuk memeriksa efisiensi kompresi adalah dengan petugas lain memeriksa pulsasi arteri carotis yang seharusnya ada pada tiap kompresi. Dalamnya kompresi pada bayi dan anak adalah 1/3-1/2 dalamnya dada (1-2 cm pada bayi, 2-3 cm pada anak < 8 tahun). Kompresi dilakukan secara ritmik bukan dengan penekanan tiba-tiba. Baik saat kompresi maupun amengangkat waktunya harus sama (50-50 rule). Pada saat akan dilakukan ventilasi, kompresi berhenti sejenak (1-1,5 detik).

 Perbandingan kompresi-ventilasi

Baik pada dewasa (2 maupun 1 petugas), anak maupun bayi perbandingan kompresi adalah 30 : 2, dengan 4 siklus selama 1 menit sehingga frekwensi resusitasi paru adalah 100x/menit

 Memeriksa pulsasi dan pernapasan

Pada RJP dengan 1 orang, pemeriksaan dilakukan setiap 4 siklus (per menit). Pada RJP dengan 2 orang, petugas yang melakukan ventilasi dapat sekaligus melakukan pemeriksaan pulsasi karotis. Setiap

beberapa menit dapat dihentikan RJP untuk memeriksa apakah denyut jantung sudah kembali.

 Menghentikan RJP

Bila RJP dilakukan dengan efektif, kematian biologis akan tertunda. Saat menghentikan RJP merupakan keputusan yang sulit tergantung dari :  Lamanya kematian klinis  Prognosis penderita (ditinjau dari sebab henti jantung)  Penyebab henti jantung (pada henti jantung karena listrik minimal 1 jam)  Sebaiknya keputusan menghentikan RJP diserahkan kepada dokter.

 Komplikasi RJP  Fraktur iga, sering terjadi pada orang tua, RJP diteruskan meskipun ada fraktur iga, fraktur iga mungkin terjadi bila posisi tangan salah  Perdarahan intra abdominal, posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan prosesus xyphoideus ke arah hepar atau limpa  Distensi lambung karena pernapasan buatan

ALUR PEMBERIAN BANTUAN HIDUP DASAR DANGER

Pastikan tidak ada bahaya di tempat kejadian

RESPONSE

Tidak aman Aman

Cek respon/ kesadaran pasien Responsif

Cari bahaya dan singkirkan bahaya yang ada Tidak aman Tunggu bantuan yang lebih ahli

Tidak responsif

TOLOONG !!!

SECONDARY SURVEY

Cari bantuan dan telpon rumah sakit atau petugas medis terdekat

AIRWAY

Buka jalan napas dengan manuver head tilt-chin lift

Kaji riwayat Kaji adanya injury BREATHING Tangani injury Cek pernapasan normal : segera Look, Listen and Feel Monitor vital sign Pernapasan tak Segera rujuk ke POSISIPernapasan STABIL normal normal - Posisikan pasien stabil - Ph RS - Monitor vital sign

RESUSITATE !!! Lakukan Resusitasi Jantung dan Paru

PERHATIKAN 1. Bila tidak yakin menilai pernapasan, anggap TIDAK NORMAL 2. Ada napas normal, STOP cek nadi 3. Ganti penolong tiap 2 menit untuk

2 x napas 30 x buatan 4 sikluskompresi

C E K !!! Life is ok

no life

Gunakan AED bila diperlukan

INITIAL ASSESSMENT

3 PENDAHULUAN Penderita dalam keadaan krisis (emergensi) memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Karena desakan waktu dibutuhkan suatu sistem penilaian yang mudah (initial assesment). Initial assessment adalah proses evaluasi secara cepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi dan dikerjakan secara sistematis. Kegiatannya meliputi : 1. Persiapan 2. Triase 3. Primary survey 4. Resusitasi 5. Secondary survey 6. Pemantauan dan re-evaluasi

7. Penanganan definitif

PERSIAPAN

 Fase pra rumah sakit

Fokus penanganan penderita yaitu di lokasi kejadian. Ada koordinasi petugas lapangan dengan rumah sakit. Penanganan dititik beratkan pada :  Jalan napas  Nadi  Kontrol perdarahan  Penanganan syok  Imobilisasi Kumpulkan keterangan yang dibutuhkan :  Waktu kejadian  Penyebab  Riwayat penderita

 Fase rumah sakit  Petugas rumah sakit melakukan perencanaan sebelum penderita tiba  Persiapan pealatan  Pemberian cairan  Diagnostik  Terapi lanjutan

TRIASE Triase adalah tindakan untuk mengelompokkan penderita berdasarkan pada beratnya cedera yang diprioritaskan berdasarkan ada tidaknya gangguan pada airway, breathing dan circulation (A B C).

Triase juga mencakup pengertian mengatur rujukan sedemikian rupa sehingga penderita mendapatkan tempat perawatan yang selayaknya. Tindakan triase dapat dikerjakan pada sekelompok penderita, misal pada keadaan bencana atau korban massal atau pada penderita tunggal yang berarti menentukan diagnostik. Prioritas utama adalah penderita dengan survival hidup yang terbesar.

PRIMARY SURVEY Primary survey adalah pemeriksaan secara cepat fungsi vital pada penderita dengan cedera berat dengan prioritas pada ABCE dimana pada kasus trauma prioritas tersebut disertai tindakan lain yang sesuai sebagai berikut :

 A : Airway :

adalah mempertahankan jalan napas bersamaan dengan menjaga stabilitas tulang servikal / cervical protection

 B : Breathing :

adalah pernapasan yang disertai dengan ventilasi (oksigenasi)

 C : Circulation :

adalah mempertahankan sirkulasi bersamaan dengan tindakan untuk menghentikan perdarahan ( control of hemorrarghie)

 D : Disability :

adalah pemeriksaan untuk adanya gangguan neurologist

 E : Environment atau Exposure :

mendapatkan

kemungkinan

adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh penderita dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi.

Prioritas penanganan kegawatan dilakukan berdasarkan urutan di atas, namun bila memungkinkan dapat juga dilakukan secara simultan. Prioritas penanganan untuk penderita usia muda maupun usia lanjut adalah sama, salah satu perbedaannya adalah bahwa pada usia muda ukuran organ relatif lebih kecil dan fungsinya belum bekerja maksimal Pada ibu hamil, prioritas tetap sama hanya pada proses persalinan membuat beberapa proses fisiologi berubah karena adanya janin Pada orangtua karena proses penuaan fungsi tubuh menjadi lebih rentan terhadap trauma karena kurangnya daya adaptasi.

 Airway and Cervical control

Pemeriksaan airway bisa dimulai dengan membuka mulut dengan chin lift atau jaw thrust manover untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan oleh benda asing/darah dll. Selama melakukan hal tersebut harus dijaga stabilitas tulah leher. Khususnya pada multiple trauma atau trauma di bagian atas tubuh. Cidera pada tulang leher harus diantisipasi dengan benar sampai terbukti tidak ada. Pada keadaan tertentu dimana airway sukar dipertahankan dengan tindakan biasa, maka harus segera disiapkan untuk membuat surgical airway (punksi cricothyroid, cricothyroidotomy, tracheostomy).

 Breathing and Ventilation Breathing (pernafasan) dan ventilation (ventilasi=proses pertukaran gas) yang baik memerlukan kerja dinding dada, paru dan diafragma yang baik pula. Gangguan pada salah satu organ tersebut dapat menyebabkan gangguan pada pernafasan dan ventilasi.

Beberapa keadaan akut akibat trauma yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang fatal adalah :  tension pneumothoraks,  flail chest yang disertai kontusio pulmonum,  hemothoraks massive dan  pneumothoraks terbuka. Keadaan tersebut memerlukan tindakan segera berupa pemasangan drain thoraks untuk tujuan dekompresi.

 Circulation and Hemorrhage control Penilaian fungsi sirkulasi secara cepat dapat dilakukan dengan menilai kesadaran, warna kulit dan nadi. Menghentikan perdarahan luar dapat dikerjakan selama survey primer. Reaksi tubuh terhadap hilangnya cairan (perdarahan) dapat berbeda :  Pada orang tua kemampuan kompensasi sudah jauh berkurang sehingga resusitasi harus diberikan secara tepat  Pada usia dini kompensasi sangat besar sehingga tanda kegagalan sirkulasi muncul lambat.  Pada olah ragawan daya kompensasi lebih besar dari pada orang biasa dengan ciri khas lebih jarang timbul tackhicardia pada keadaan hipovolemia. Resusitasi cairan diberikan berdasarkan pada derajat shock dan responya terhadap resusitasi cairan, dapat diprediksi apakah suatu perdarahan dalam (internal bleeding) memerlukan tindakan operatif (surgical resuscitation) atau tidak.

 Disability

Pemeriksaan neurologist secara cepat dapat dilakukan dengan metode AVPU (Allert, Voice respons, Pain respons dan Uniresponsive). Pemeriksaan dengan CGS secara periodic dapat dilakukan untuk hasil yang lebih detail pada survey secunder. Bila hipoksia dan hipovolemia pada penderita dengan gangguan kesadaran dapat disingkirkan, pikirkan adanya kerusakan CNS sampai terbukti lain.

 Environment – Event

Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan disertai tindakan untuk mencegah hipotermia. Pemasangan bidai atau vacuum matras untuk menghentikan perdarahan dapat juga dilakukan pada fase ini. Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak dilakukan pada survey primer. Yang dapat dilakukan pada survey primer adalah ; pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oksimetri, foto cervical, foto thoraks dan foto polos abdomen. Tindakan lainnya yang dapat dilakukan pada survey primer adalah pemasangan monitor EKG, kateter dan NGT. Pemeriksaan dikerjakan tanpa menunda / menghentikan proses survey primer. Untuk dapat melakukan evaluasi lebih baik, perlu diketahui kejadian (ever) dari traumanya.

SECONDARY SURVEY, PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN EVALUASI Prinsip pada pemeriksaan sekunder adalah memeriksa ulang tubuh dengan lebih teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki (head to toe), baik pada tubuh bagian depan maupun belakang.

Dimulai dengan anamnesa singkat yang meliputi AMPLE :  Allergies,  Medication,  Past illness,  Last meal dan  Event of injury Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dapat dilakukan pada fase ini, diantaranya adalah pemeriksaan lab darah rutin, darah kimia, photo thoraks, dll..

TERAPI DEFINITIF Terapi definitive pada umumnya merupakan porsi dari dokter spesialis bedah. Tugas dokter yang melakukan penanganan pertama adalah melakukan resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk tindakan definitive atau untuk di rujuk.

AIRWAY DAN BREATHING

4 AIRWAY PENGENALAN JALAN NAPAS Jalan napas dimulai dari mulut dan hidung, ke pharynx lalu larynx (tempat pita suara) dan trachea. Pada peralihan antara pharynx dan larynx ada tonjolan dibelakang pangkal lidah yang dikenal dengan epiglotis dan merupakan patokan yang penting saat melakukan intubasi orotracheal. Orang dewasa akan bernapas terutama melalui hidung, tetapi tanpa kesulitan akan dapat bernapas melalui mulut. Bayi ada kesulitan bernapas melalui mulut, sehingga bila hidung tersumbat akan ada kesan seolah-olah sesak napas.

Terganggunya jalan napas dapat secara tiba-tiba dan komplit atau perlahan, parsial dan progresif atau rekuren. Takipnea walaupun dapat disebabkan karena nyeri atau pun ketakutan namun harus selalu diingat kemungkinan gangguan jalan napas yang dini. Karena itu penilaian jalan napas serta pernapasan sangat penting. Penderita dengan kesadaran menurun mempunyai risiko tinggi untuk gangguan jalan napas dan kerap kali memerlukan bantuan jalan napas definitif. Penderita tidak sadar, intoksikasi alkohol, atau perlukaan intra thoraks kemungkinan dapat terganggu pernapasannya, pada penderita seperti ini jalan napas definitif ditujukan untuk :  Memberi jalan napas  Dapat memberikan oksigen tambahan  Membantu ventilasi  Mencegah aspirasi Menjaga oksigenasi serta mencegah hiperkarbia sangat penting pada trauma kapitis. Petugas harus mengantisipasi kemungkinan muntah pada semua penderita trauma, adanya cairan gaster di orofarink menandakan kemungkinan aspirasi yang dapat terjadi secara mendadak. Trauma pada wajah merupakan keadaan lain yang memerlukan perhatian segera. Mekanisme perlukaan biasanya karena penumpang mobil tidak menggunakan sabuk pengaman dan kemudian terlempar ke kaca depan saat trubukan, trauma pada bagian tengah wajah (mild face) dapat menyebabkan frakturdislokasi yang dapat mengganggu oro atau nasofaring. Fraktur tulang wajah dapat menyebabkan perdarahan, sekresi yang meningkat, serta avulsi gigi yang menambah masalah pada jalan napas.

Fraktur ramus mandibula terutama bilateral dapat menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan gangguan napas pada posisi telentang. Penderita yang menolak berbaring mungkin ada gangguan jalan napas. Perlukaan daerah leher mungkin dapat terjadi gangguan jalan napas karena rusaknya larink atau trachea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang menekan jalan napas. Pada pemeriksaan awal, bila ditemukan penderita yang sadar yang dapat berbicara untuk sementara dapat menjamin adanya airway yang baik, karena itu tindakan yang pertama adalah berusaha berbicara dengan penderita. Jawaban yang adekuat menandakan bahwa airway dalam keadaan baik, pernapasan baik serta perfusi ke otak juga baik pula. Gangguan dalam menjawab pertanyaan menunjukkan gangguan kesadaran, gangguan jalan napas atau gangguan pada pernapasan.

TANDA OBYEKTIF : (Obstruksi jalan napas)

 LOOK Lihat apakah kesadaran penderita berubah, bila penderita menjadi gelisah kemungkinan besar karena hipoksia. Pada penderita trauma kapitis, penderita yang gelisah dapat disebabkan oleh :  Hipoksia  Buli buli penuh  Nyeri pada tempat lain seperti adanya fraktur, dll  Trauma kapitisnya sendiri SIANOSIS : ini pasti karena hipoksia dapat dilihat pada kuku dan sekitar mulut.

Perhatikan tambahan

juga

adanya

penggunaan

otot

pernapasan

 LISTEN

“Pernapasan yang berbunyi adalah pernapasan yang terobstruksi” :  Mengorok : lidah jatuh ke belakang  Bunyi cairan (gurgling) : darah atau cairan  Stridor disebabkan obstruksi parsial dari pharink atau larynk.

 FEEL “Rasakan pergerakan udara ekspirasi” Dan tentukan apakah trachea terletak di tengah

Anatomi airway :

Airway bersih Obstruksi airway total Obstruksi airway parsial

VENTILASI PENGENALAN MASALAH VENTILASI Penentuan adanya jalan napas yang baik barulah langkah pertama yang penting, langkah kedua adalah memastikan bahwa ventilasi cukup. Ventilasi dapat terganggu karena sumbatan jalan napas tetapi dapat juga terganggu oleh mekanika pernapasan atau depresi susunan saraf pusat (ssp). Bila pernapasan tidak bertambah baik dengan perbaikan jalan napas maka penyebab lainnya dari gangguan napas ini harus dicari. Trauma langsung pada thoraks dapat mematahkan iga dan menyebabkan nyeri pada saat bernapas sehingga pernapasan menjadi dangkal dan selanjutnya terjadi hipoksia. Perlukaan intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang berubah sehingga mengganggu ventilasi. Kerusakan pada vertebrae servikal dapat menyebabkan pernapasan diafraghma sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi.

TANDA OBYEKTIF MASALAH VENTILASI

 LOOK Perhatikan peranjakan thoraks, simetris atau tidak, bila simetris pikirkan kelainan intra thorakal ata flail chest. Setiap pernapasan yang sesak harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi

 LISTEN

Auskultasi kedua paru, bising napas yang berkurang atau menghilang pada satu atau kedua hemithoraks menunjukkan kelainan intra thorakal. Berhati-hatilah terhadap takipnea karena mungkin disebabkan oleh hipoksia PENGELOLAAN Penilaian patensi jalan napas serta cukupnya ventilasi harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Bila ditemukan atau dicurigai gangguan jalan napas atau ventilasi harus segera diambil tindakan untuk memperbaiki oksigenasi dan mengurangi risiko penurunan keadaan. Tindakan ini meliputi tekhnik menjaga jalan napas, jalan napas definitif (termasuk surgical airway) dan cara untuk membantu ventilasi. Karena semua tindakan tadi akan menyebabkan gerakan pada leher maka harus diberikan proteksi pada servikal terutama bila dicurigai atau diketahui adanya fraktur servikal. Proteksi servikal ini harus dipertahankan sampai adanya foto servikal dan dinyatakan tidak ada kelainan. Kepala penderita yang memakai helm harus dipertahankan dalam posisi netral sampai helm dapat dilepas. Ini adalah tindakan yang membutuhkan 2 orang petugas dimana petugas pertama melakukan imobilisasi segaris (inline mobilization) dari bawah (dari balik helm) sedangkan petugas kedua melakukannya dari atas, melebarkan helm dan membukanya. Imobilisasi segaris kemudian dilakukan dari arah kepala penderita sewaktu diatasi jalan napasnya. Membuka helm memakai alat pemotong dilakukan bila diketahui adanya patah tulang servikal. Pemberian oksigen harus diberikan sebelum dan sesudah tindakan mengatasi masalah airway. Suction harus selalu tersedia dan sebaiknya dengan ujung penghisap yang kaku. Penderita

dengan perluakaan wajah mungkin ada fraktur lamina cribosa, sehingga pemasukan alat suksion dengan ujung lunak melalui hidung mungkin akan masuk ke dalam kranium.

TEKHNIK MENJAGA JALAN NAPAS Pada penderita tidak sadar, lidah dapat jatuh ke belakang dan kemudian menyebabkan obstruksi jalan napas. Hal ini dapat diatasi dengan cara chin lift atau jaw thrust, untuk kemudian dipasang oropharyngeal atau nasopharyngeal airway.

 CHIN LIFT

Memakai jari satu tangan diletakkan di bawah mandibula untuk kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka mulut. Bila diperlukan ibu jari dapat diletakkan di dalam mulut di belakang gigi seri untuk mengangkat dagu. Tindakan chin lift ini juga bermanfaat pada penderita trauma karena tidak mengakibatkan kelumpuhan bila terdapat fraktur servikal.

Manuver Manuver Jaw Thrust

Head

Tilt

Chin

Lift

 JAW THRUST Tindakan ini dilakukan memakai 2 tangan, masing-masing satu tangan di belakang angulus mandibulae dan menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini dilakukan memakai face mask akan dicapai penutupan sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik.

 ORO PHARYNGEAL AIRWAY “Guedel”

Oro pharyngeal airway dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di belakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah memakai tongue spatel dan memasukkan alat ke arah posterior. Alat tidak boleh mendorong lidah ke belakang karena akan menyumbat pharynk. Alat ini tidak boleh dipakai pada penderita yang tidak sadar karena akan menyebabkan muntah dan kemudian terjadi aspirasi. Cara lain dapat dilakukan dengan memasukkan alat secara terbalik sampai menyentuh pallatum mole lalu alat diputar 180 derajat dan diletakkan di belakang lidah. Tekhnik ini tidak boleh dipakai pada anak kecil karena kemungkinan dapat mematahkan gigi.

Tekhnik pemasangan Oropharingeal airway

 NASO PHARYNGEAL AIRWAY Alat ini dimasukkan pada salah satu lubang hidung lalu secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya terletak di pharynk. Alat ini lebih baik dari pada guedel karena pada penderita yang sadar tidak menyebabkan muntah dan lebih ditolerir oleh penderita. Alat ini harus diberi pelumas dengan baik dan dimasukkan pada lubang hidung yang tidak tersumbat. Bila pada saat pemasangan ditemui hambatan maka berhentilah dan pindah ke lubang hidung yang lain. Bila alat ini tampak di oro pharynk maka mungkin dapat dipasang NGT pada penderita dengan fraktur tulang wajah.

JALAN NAPAS DEFINITIF Jalan napas definitif memerlukan suatu tube dalam trakhea yang terfiksasi dengan baik, balon berkembang dan biasanya memerlukan suatu bentuk ventilasi bantuan dan juga memakai oksigen. Ada 3 jenis airway definitif yaitu : Naso trakheal, oro trakheal atau surgical (crico thyroidotomi atau trakheostomi). Indikasi untuk pemasangan jalan napas definitif adalah :  Apnea  Kegagalan menjaga jalan napas dengan cara lain  Proteksi jalan napas terhadap aspirasi darah atau muntahan  Kemungkinan terganggunya jalan napas karena perlukaannya sendiri seperti pada luka bakar inhalasi, fraktur tulang wajah atau kejang-kejang  Trauma kapitis yang memerlukan hiperventilasi  Kegagalan memberikan cukup oksigen melalui face mask

Urgensi dan keadaan saat itu menentukan pilihan airway. Ventilasi assisted dapat dibantu sedasi, analgesi atau muscle relaxant. Pemakaian pulsa oxymetri dapat membantu dalam menentukan indikasi jalan napas definitif, urgensi pemasangan jalan napas definitif dan efektifitas pemasangannya. Diantara jalan napas definitif yang sering dipakai adalah naso trakheal dan oro trakheal. Kemungkinan adanya fraktur servikal merupakan perhatian utama. INTUBASI ORO TRAKHEAL Pada setiap penderita tidak sadar dengan trauma kapitis tentukanlah perlunya intubasi. “INGAT KONTROL SERVIKAL TERLEBIH DAHULU PADA TRAUMA” Bila penderita dalam keadaan apnea, intubasi dilakukan oleh 2 orang dengan satu petugas melakukan imobilisasi segaris. Setelah pemasangan oro trakheal tube, balon dikembangkan dan dimulai ventilasi assisted. Penempatan ETT yang tepat dapat diperiksa dengan auskultasi kedua paru, bila terdengar bunyi pernapasan pada kedua paru tanpa borborigmi dapat diduga bahwa pemasangan ETT sudah benar. Terdengarnya suara dalam lambung terutama pada inspirasi memperkuat dugaan bahwa ETT terpasang dalam esophagus dan diperlukan intubasi ulang.

INTUBASI NASO TRAKHEAL Intubasi naso trakheal bermanfaat pada fraktur servikal. Catatan : disini dimaksudkan “blind naso trakheal intubation” Apnea adalah kontra indikasi intubasi naso trakheal. Kontra indikasi yang lain adalah fraktur tulang wajah yang berat atau

fraktur basis cranii anterior. Perhatian akan adanya fraktur servikal adalah sama seperti pada intubasi oro trakheal. Pemilihan jenis intubasi terutama tergantung pada pengalaman dokter. Kedua tekhnik tersebut adalah aman bila dipraktekkan dengan benar dan dengan semestinya. Oklusi kartilago cricoid oleh seorang asisten bermanfaat untuk mencegah aspirasi dan ventilasi jalan napas yang lebih baik. Malposisi ETT harus dipertimbangkan pada semua penderita yang datang dengan sudah terpasang ETT. Malposisi dapat terjadi karena ETT yang terdorong lebih jauh masuk ke dalam bronkhus atau tercabut selama transportasi. Kembungnya daerah epigastrium harus diwaspadai kemungkinan malposisi ETT. Foto thoraks dapat mengetahui posisi dari ETT yang benar namun tidak menyingkirkan kemungkinan intubasi masuk ke esophagus. Bila keadaan penderita memungkinkan, dapat dipakai tekhnik endoskopi fiberoptik dalam pemasangan ETT, seperti pada fraktur maksilofasial dan fraktur servikal serta penderita dengan leher pendek. Bila keadaan di atas menghambat intubasi oro atau naso trakheal, dokter dapat langsung melakukan surgical airway dengan needle atau surgical cricothyroidotomy.

SURGICAL AIRWAY Ketidakmampuan intubasi trakheal adalah indikasi jelas untuk melakukan surgical airway. Bila terdapat edema glotis, fraktur larynk, atau perdarahan oropharyngeal yang berat menghambat intubasi trakhea, dapat dipertimbangkan untuk melakukan surgical airway.

Pemasangan jarum (needle crico thyroidotomy) merupakan cara sementara dalam keadaan emergency untuk memberikan oksigen sampai dapat dipasang surgical airway. JET INSUFFLATION JALAN NAPAS Jet insufflation dapat memberikan 45 menit tambahan waktu untuk menunggu intubasi dilakukan. Jet insufflation dilakukan dengan memakai jarum ukuran 12 atau 14 (anak dengan jarum 16/18) ditusukkan melalui membran crico thiroid, jarum kemudian dihubungkan dengan oksigen pada flow 15 liter permenit (40-50 psi) dengan suatu Y connector atau dengan tube yang dilubangi pada sisinya, kemudian dilakukan insufflasi 1 detik tutup 4 detik buka dengan ibu jari. Pada penderita dengan cara seperti ini hanya dapat dilakukan oksigenasi selama 30-45 menit, karena CO2 akan terakumulasi secara perlahan (yang akan berbahaya terutama pada penderita trauma kapitis). Jet insufflation harus hati-hati bila ada obstruksi total glotis oleh benda asing walaupun ada kemungkinan benda asing akan terdorong keluar oleh tekanan oksigen, namun ada kemungkinan lain yaitu ruptur paru dengan pnemothoraks, dalam keadaan ini flow oksigen hanya 5-7 liter per menit.

SURGICAL CRICOTHYROIDOTOMY Surgical needle cricothyroidotomy dilakukan dengan insisi kulit sampai membrana cricothyroid.

VENTILASI DAN OKSIGENASI

Tujuan utama dari ventilasi adalah memberikan oksigenasi sel yang cukup dengan cara memberikan oksigen dan ventilasi yang cukup. Pemberian oksigen selalu diperlukan bila keadaan pederita buruk. Indikasi pemberian oksigen antara lain :  Pada saat resusitasi jantung paru (RJP)  Setiap penderita trauma berat  Setiap nyeri precordial  Gangguan paru seperti asma, COPD, dll  Gangguan jantung seperti dekompensasi kordis Pemberian oksigen tidak perlu disertai pelembab (humidifier) karena pemberian singkat. Cara pemberian oksigen dapat dengan :

 Canul

hidung (nasal kanul), lebih ditolerir anak, face mask akan ditolak karena merasa dicekik sedang pada orang dewasa kadang menolak face mask karena dianggap mencekik, kekurangan pada kanul hidung adalah dalam konsentrasi oksigen yang dihasilkannya (tabel 1). Pemberian oksigen melalui kanul tidak bisa lebih dari 6 liter per menit karena tidak berguna untuk meningkatkan oksigen dan iritatif untuk penderita.

 Face

mask (rebreathing mask) : masker dengan lubang pada sisinya, pemakaiannya pada pemberian oksigen lebih baik dibandingkan pada kanul hidung karena konsentrasi oksigen yang dihasilkan lebih tinggi (tabel 1).

 Non

rebreating mask : pada face mask dipasang reservoir oksigen yang mempunyai katup, bila diinginkan konsentrasi oksigen yang tinggi maka non rebreathing mask paling baik (tabel 1)

Tabel 1. Konsentrasi oksigen menurut cara pemberiannya : Udara bebas 21% Kanul hidung dengan 02 2 liter per menit 24% Kanul hidung dengan 02 6 liter per menit 44% Face mask (rebreathing) dengan 6-10 liter per menit 35-60% Non rebreathing mask dengan 8-12 liter per menit 80-90% PERNAPASAN BUATAN Bila ditemukan gangguan pernapasan maka hampir selalu memerlukan koreksi, yang pertama selalu harus dipastikan adalah airway dalam keadaan baik (paten). Bila perlu maka pernapasan buatan dapat diberikan dengan cara :

 Mouth to mouth ventilation (mulut ke mulut)

Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya terinfeksi (terutama hepatitis/ HIV) karena itu harus selalu memakai barier device (alat perantara) yang terbuat dari plastik yang dapat ditempatkan antara mulut penderita dan mulut penolong. Alat ini mempunyai katup yang mencegah gas maupun cairan masuk mulut penolong. Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi oksigen yang hanya 18% (konsentrasi udara paru saat ekspirasi). Jumlah ventilasi yang diberikan sesuai dengan umur (tabel 2) Tabel 2. Frekwensi ventilasi buatan Dewasa 10-12 kali per menit Anak 20 kali per menit Bayi 20 kali per menit

 Mouth to mask ventilation

Pada cara ini udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face mask. Bila dipasang saluran oksigen pada sisi face mask maka konsentrasi oksigen dapat mencapai 55%.

 Bag-valve-mask ventilation (ambubag)

Dipakai alat yang ada bag and mask dengan diantaranya ada katup. Konsentrasi oksigen tergantung dari adanya suplementasi oksigen (tabel 3). Untuk mendapatkan penutupan masker yang baik maka sebaiknya masker dipegang petugas sedangkan petugas lainnya memompa. Tabel 3. Konsentrasi oksigen pada pemakaian BVM Tanpa oksigen tambahan 21% (konsentrasi oksigen udara) Dengan tambahan 50% oksigen Dengan pemasangan 100% reservoir

 Flow-restricted oxygen-powered device (FROP)

Pada ambulans dikenal sebagai Oxy-viva. Alat ini secara otomatis akan memberikan oksigen sesuai dengan ukuran aliran (flow) yang diinginkan. Alat ini tidak boleh dipakai pada anak-anak

VENTILASI Ventilasi yang cukup dapat tercapai dengan tekhnik mouth to face atau bag-valve-mask. Seringkali hanya satu petugas yang ada, akan lebih efektif jika ada petugas kedua yang memegang face mask. Intubasi mungkin memerlukan beberapa kali usaha dan tidak boleh mengganggu oksigenasi. Dengan demikian lebih baik pada saat mulai intubasi, petugas menarik napas dalam dan menghentikan usaha pada sat petugas harus inspirasi. Bila sudah intubasi, ventilasi dapat dibantu dengan bagging atau lebih baik memakai respirator. Dokter harus selalu waspada terhadap baro trauma (akibat positif pressure ventilation) yang

dapat mengakibatkan pneumothoraks atau malah tension penumothoraks akibat bagging yang terlalu bersemangat.

Alat ETT

LAMPIRAN PERUBAHAN MENDASAR DALAM PERTOLONGAN

BANTUAN HIDUP DASAR DAN KEGAWAT DARURATAN KARDIOVASKULAR PERUBAHAN MENDASAR DALAM PERTOLONGAN BANTUAN HIDUP DASAR DAN KEGAWAT DARURATAN KARDIOVASKULAR Pendahuluan Bantuan hidup dasar merupakan usaha yang dilakukan untuk mempertahankan hidup pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam jiwa Dalam bantuan hidup dasar, perlu diperhatikan secara berurutan adalah A (airway/jalan napas), B (breathing/ pernapasan), dan C (circulation/jantung dan peredaran darah). Perubahan dalam BHD : Perubahan yang ada meliputi : Perubahan pedoman menurut American Heart Association

Perubahan umum bagi semua penolong

 Petunjuk dalam meningkatkan efektivitas pemberian kompresi dada  Rasio kompresi-ventilasi untuk semua 1 penolong untuk semua korban (kecuali bayi baru lahir)  Rekomendasi dalam memberikan pernapasan dengan melihat pengembangan dada dan lebih dari 1 detik  Rekomendasi 1 kali shock langsung diikuti oleh CPR, dengan defibrilasi untuk VF henti jantung. Cek irama setiap 2 menit  Rekomendasi menggunakan automated external defibrilasi (AED) untuk anak usia 1-8 th dan menggunakan dosis anak Perubahan bagi penolong CPR (awam)

 Lakukan BHD dengan 5 siklus selama 2 menit pada pasien tidak respons sebelum menelpon 118  Tidak membuka jalan napas dengan manuver jaw thrust, gunakan head tilt chin lift untuk semua pasien cedera  Cek pernapasan 5-10 detik (kurang dari 10 detik)  Ambil pernapasan biasa (bukan napas dalam) dalam memberikan resusitasi napas  Berikan setiap pernapasan lebih dari 1 detik dan lihat pengembangan dada  Patensi jalan napas sebelum memberikan pernapasan kedua  Langsung lakukan kompresi setelah memberi 2 kali napas, tidak perlu mengecek nadi  Tidak mengajarkan resusitasi napas dengan tidak disertai dengan kompresi dada  Gunakan rasio kompresi : napas = 30:2  Kompresi pada anak gunakan 1 atau 2 tangan tepat di garis niple, bayi kompresi 2 jari tulang tepat di1 bawah untuk Pedoman CPR bagidengan kategori anakpada mulai usia kosta 1 th sampai th onset garis niple pubertas Penggunaan AED, berikan 1 shocksituasi dengan diikuti CPR,menyebabkan mulai Penolong sendiri menyesuaikan yang adayang dengan Cek irama tiap 2 menit arrest kompresi. pada semua pasien Tindakan mudah membebaskan obstruksi Gunakanyang headlebih tilt chin lift dalam bila manuver jaw thrust tidak bisa membukakepala jalan napas, meskipun curiga cedera cervikal  Stabilisasi dan leher yang telah dikembangkan  Cek pernapasan apakah adekuat pada dewasa, cek ada/tidaknya pernapasan pada bayi dan anak sebelum memberikan resusitasi. Pada penolong yang lebih mahir akan melihat adekuasi pernapasan pada semua usia  Buka jalan napas dan berikan ventilasi, evaluasi pengembangan dada  Kompresi dengan melihat pengembangan dada dan minimal penghentian kompresi (kurang dari 10 detik)  Gunakan 1 atau 2 tangan dalam kompresi dada anak, tekan pada sternum tepat di garis niple. Pada bayi kompresi pada sternum di bawahPerubahan garis niple bagi penolong BLS dan ALS (nakes)  Penolong menggunakan 2 ibu jari dalam kompresi  Setelah terpasang airway paten, kompresi dilaksanakan tanpa berhenti, ventilasi diberikan 8-10 kali per menit (1 napas tiap 6-8 detik)  Pergantian penolong tiap dua menit

BLS Basic Life Support 2005 Berdasarkan AHA 2005

AKADEMI KEPERAWATAN

PEMERINTAH KOTA TEGAL BLS BASIC LIFE SUPPORT AHA 2005 Berdasarkan referensi dari American Heart Association 2005 dan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta Penerjemah dan editor : 1. Sadar Prihandana, ns

Hak Cipta © 2007 Tim Keperawatan Medikal Bedah Akademi Keperawatan Pemerintah Kota Tegal JL. Dewi Sartika No. 1 Kota Tegal Email: [email protected] Desain kulit muka : Dana Layout : Dana Cetakan 1 :

Related Documents

Buku Gadar
June 2020 18
Gadar Rpl.ppsx
October 2019 33
Dok. Gadar
June 2020 27
Gadar Urgent.docx
November 2019 35
Buku-buku
November 2019 64
Buku-buku
June 2020 49

More Documents from ""

Leaflet Ibu Hamil
July 2020 26
Lp_fraktur
June 2020 12
Demam Tipoid
June 2020 13
Lp_gagal Ginjal
June 2020 12
Askep Nyeri
June 2020 19