KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Demam Berdarah Dengue dan Pengembangan Model Preventif dan Promotif di komunitas dapat diselesaikan dengan baik. Pembahasan materi pada buku ini dilakukan dengan cara memaparkan landasan teori terkait demam berdarah dengue dan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan asuhan keperawatan terkait kasus tersebut dengan pendekatan NANDA, NIC dan NOC. Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan untuk di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan bahan ini. Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa keperawatan pada khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Makassar, 27 Januari 2019 Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
1
DEMAM BERDARAH DENGUE
1
A.
Definisi DBD ................................................................. 1
B.
Penyebab DBD .............................................................. 2
C.
Cara penularan DBD ..................................................... 3
D.
Tanda dan gejala DBD .................................................. 4
E.
Komplikasi DBD ........................................................... 5
F.
Patogenisis DBD............................................................ 5
G.
Penatalaksanaan DBD ................................................... 7
H.
Pencegahan DBD ........................................................... 8
BAB II SEGITIGA EPIDEMIOLOGI DBD
10
A.
Host (manusia) ............................................................. 12
B.
Agent ........................................................................... 13
C.
Enviroment (lingkungan) ............................................. 15
D.
Kontrol terhadap Host, Agent dan Lingkungan........... 17
BAB III MODEL PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH
21
A.
Peran Perawat Dalam Pencegahan Demam Berdarah . 30
B.
Asuhan Keperawatan Komunitas ................................ 31
C.
Asuhan Keperawatan Demam Berdarah pada individu38
BAB IV MODEL PROMOSI KESEHATAN
50
BAB V KONSEP DASAR KEPERAWATAN KOMUNITAS
79
A.
Definisi Komunitas ...................................................... 79
B.
Komponen Keperawatan Komunitas ........................... 84
C.
Caring dalam Konteks Komunitas .............................. 87
D.
Kontinuitas Perawatan ................................................. 88
E.
Perawatan kolaboratif .................................................. 88
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
91
A.
Pengkajian Keperawatan Komunitas ........................... 91
B.
Diagnosis Keperawatan Komunitas............................. 96
C.
Perencanaan Keperawatan Komunitas ...................... 100
D.
Pelaksanaan (Implementasi) keperawatan komunitas102
E.
Evaluasi keperawatan komunitas............................... 102
BAB V Aplikasi Asuhan Keperawatan Komunitas DBD
105
A.
Pengkajian ................................................................. 105
B.
Diagnosis dan Perencanaan ....................................... 108
BAB VI
112
BABVI Gambaran Pelaksanaan Juru Pemantau Jentik DBD
126
A.
Latar Belakang Kegiatan ........................................... 126
B.
Tujuan Kegiatan ........................................................ 128
C.
Sasaran Kegiatan ....................................................... 128
E.
Pelaksanaan ............................................................... 135
Daftar Pustaka
152
BAB I DEMAM BERDARAH DENGUE
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
A. Definisi DBD Demam Berdarah Dengue (DBD) dikenal sebagai mosquite-borne disease yakni penyakit yang disebabkan oleh nyamuk yang umumnya terjadi di daerah tropis dan subtropis di dunia. Namun seriring dengan laju migrasi dan perpindahan penduduk DBD menjadi salah satu penyakit yang mendapatkan perhatian khusus di selurh dunia. Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC) (1977), demam berdarah adalah suatu kondisi demam akut yang ditandai adanya dua atau lebih gejala berikut: nyeri retroorbital atau okular, sakit punggung, sakit kepala, ruam, mialgia, artralgia, leukopenia, atau manifestasi hemoragik (misalnya terdapat tes tourniquet positif, petekia; psurpura / ekimosis; epistaksis; perdarahan gusi; dan terdapat darah dalam muntahan, urin, atau tinja).
1
Terdapat pula penjabaran definisi DBD oleh World Health Organization (WHO) (1997), yakni Demam Berdarah (DF) adalah penyakit virus demam akut yang sering disertai dengan adanya sakit kepala, nyeri tulang atau sendi serta nyeri otot, adanya ruam dan gejala leukopenia pada penderitanya. Lebih lanjut WHO (1977) menjabarkan bahwa kondisi DBD ditandai dengan empat gejala utama yaitu: demam tinggi, adanya tanda perubahan hemoragik, sering disertai dengan hepatomegali dan, dalam kasus yang parah, dapat ditemukan tandatanda kegagalan peredaran darah. Pada kondisi tersebut, penderita dapat mengalami hal yang fatal dan mengacam jiwa akibat terjadinya syok hopovolemik akibat kebocoran plasma darah yang seringkali disebut dengan dengue shock syndrome (DSS) sebagaimana yang juga dipaparkan oleh Chakraborty (2008) bahwa DBD merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh virus yang berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yang sangat pendek B. Penyebab DBD Penyebab dari DBD yaitu virus dengue termasuk genus Flafivirus dan family Flaviviridae serta memiliki RNA berantai tunggal. Virus dengue terdiri atas 4 serotipe yaitu virus dengue 1 (DEN-1), virus dengue 2 (DEN- 2), virus dengue 3 (DEN-3), dan virus dengue 4 (DEN -4), yang diklasifikasikan oleh Albert Sabin pada tahun 1944 (Chakraborty, 2008). Orang yang tinggal di daerah endemis DBD dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Sejak tahun 1975, dibeberapa rumah sakit yang ada di Indonesia memiliki 4 serotipe, tetapi serotipe DEN-3 paling dominan dan diasumsikan memiliki gejala yang paling berat setelah terinfeksi (Depkes RI, 2004). Sebagian besar virus ini ditularkan oleh arthropoda (nyamuk) sehingga disebut juga sebagai arbovirus (virus bawaan arthropoda).
2
C. Cara penularan DBD Terdapat 3 (tiga) faktor yang dapat menyebabkan penyakit DBD, diantaranya yaitu faktor manusia, virus, dan vektor perantara (nyamuk). Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti adalah vektor utama demam berdarah. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi. Setelah inkubasi virus selama 4-10 hari (WHO, 2017) atau 3-14 hari (Chakraborty, 2008), nyamuk yang terinfeksi mampu mentransmisikan virus selama sisa hidupnya. Hal ini disebabkan karena nyamuk aedes aegypti dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia (positif terinfeksi virus dengue) dan nyamut tersebut mampu menularkan virus dengue setelah 8 sampai 12 hari virus berkembang biak dalam kelenjar ludah yang dikenal sebagai extrinsic incubation period), kemudian nyamuk yang sudah terinfeksi virus dengue bisa menularkan ke manusia lain yang bukan bersifat viremik (Chakraborty, 2008).
Gambar 1. Cara penularan virus dengue (Chakraborty, 2008
3
Nyamuk aedes aegypti menggigit sepanjang hari - terutama pagi dan malam hari. Setelah menggigit, nyamuk aedes aegypti betina dapat bertelur saat bertemu dengan wadah yang mengandung air. Telur menetas menjadi 'wrigglers' atau larva, yang berkembang menjadi nyamuk dewasa selama satu atau dua minggu. D. Tanda dan gejala DBD Tanda dan gejala penyakit DBD yaitu sangat bervariasi berdasarkan usia. Pada anak-anak sangat rentan terhadap demam berdarah. terkadang anak hanya memiliki suhu tubuh yang tinggi tetapi tidak menimbulkan gejala khas yang lain. Gejala khas demam berdarah yaitu suhu tubuh yang tinggi saat awal terinfeksi kemudian menurun sementara waktu dan tiba-tiba suhu tubuh menjadi sangat tinggi lagi. Gejala ini disertai dengan sakit kepala berat, nyeri otot, nyeri tulang atau nyeri sendi, mual dan muntah, dan timbul ruam (kemerahan), serta hingga mengalami perdarahan kulit (Chakraborty, 2008). Sedangkan menurut CDC (2017) karakterisktik demam berdarah dengue yaitu demam yang berlangsung 2-7 hari, terdapat bukti manifestasi hemoragik atau dengan adanya hasil tes tourniquet positif, terjadinya trombositopenia (≤100.000/mm3) dan bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20% di atas rata-rata usia atau penurunan hematokrit ≥20% setelah terapi penggantian cairan), atau efusi pleura, atau asites atau hipoproteinemia. Gejala awal demam berdarah dengue biasanya dimulai sekitar empat sampai tujuh hari setelah infeksi awal. Gejala umumnya dan khasnya berlangsung sekitar 7 hari dan bisa meliputi: demam mendadak, kelelahan, sakit kepala hebat (terutama dibalik mata), nyeri otot dan sendi (pergelangan kaki, lutut dan siku), kehilangan nafsu makan, muntah, diare, sakit perut, kulit memerah pada wajah dan leher, ruam merah pada lengan dan kaki, gatal, kulit mengelupas dan rambut
4
rontok, perdarahan ringan (hidung atau gusi) dan periode menstruasi yang berat (Queensland Health, 2017). E.
Komplikasi DBD Komplikasi demam berdarah dengue meliputi syok (kolaps dari kehilangan cairan internal) dan perdarahan (perdarahan berat). Anakanak umumnya memiliki risiko komplikasi berat yang lebih besar, (meskipun gejala awal umumnya ringan tapi termasuk demam tinggi),sehingga perlu diwaspadai tanda-dan gejalanya agar segera mendapat penangan yang tepat. Selain itu, DBD yan parah adalah komplikasi yang berpotensi mematikan akibat adanya kebocoran plasma, akumulasi cairan, gangguan pernapasan, pendarahan hebat, atau gangguan organ. Tanda peringatan terjadi 3-7 hari setelah gejala pertama meliputi: sakit perut parah, muntah terus-menerus, pernapasan cepat, gusi berdarah, kelelahan, gelisah dan darah di muntahan. 24-48 jam berikutnya dari tahap kritis yang dapatmengancam nyawa; Perawatan medis yang tepat diperlukan untuk menghindari komplikasi dan risiko kematian (WHO, 2017).
F.
Patogenisis DBD WHO (2013) telah membagi secara singkat tentang patogenesis demam berdarah dalam 3 fase yaitu fase demam (dimulai pada saat timbulnya gejala awal), fase kritis (dimulai pada saat suhu tubuh mengalami penurunan dan kembali normal), dan fase pemulihan (dimulai pada saat tidak terjadi lagi pemecahan plasma). Untuk fase demam, disebut juga sebagai fase febrile yang melibatkan demam tinggi yang berpotensi diatas 40oC dan berhubungan dengan dua gejala berikut yaitu sakit kepala parah, nyeri di belakang mata, nyeri otot dan sendi, mual, muntah, kelenjar bengkak atau ruam. Gejala biasanya berlangsung selama 2-7 hari, setelah masa inkubasi 410 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi (WHO, 2017). Ruam 5
terjadi pada 50-80% orang dengan gejala pada hari pertama atau kedua, gejala seperti kulit memerah. Beberapa petechiae (bintik merah kecil yang tidak hilang saat kulit ditekan, yang disebabkan oleh kapiler yang rusak) juga dapat muncul pada fase ini (Fried, 2010).
Gambar 2. Fase-fase patogenesis DBD (WHO, 2013)
Fase selanjutnya yaitu fase kritis (critical phase) dimana ditanda dengan penurunan demam atau penurunan suhu tubuh. Selama periode ini, dapat terjadi kebocoran plasma dari pembuluh darah yang biasanya berlangsung satu sampai dua hari. Hal ini dapat menyebabkan akumulasi cairan di dada dan rongga perut serta penipisan cairan dari sirkulasi dan penurunan suplai darah ke organ vital. Pada fase ini juga dapat terjadi disfungsi organ dan pendarahan hebat, yang biasanya terjadi di dari saluran cerna (CDC, 2014). Shock (dengue shock syndrome) dan perdarahan (demam berdarah dengue) terjadi pada kurang dari 5% kasus demam berdarah, namun perlu diwaspadai bagi penderita yang sebelumnya telah terinfeksi dengan serotipe virus dengue lainnya ("infeksi sekunder") karena hal itu dapat menjadi salah satu peningkatan risiko. Fase kritis yang berujung komplikasi ini dapat dicegah dengan penanganan yang tepat. 6
Gambar 3: Fase infeksi pada DBD (CDC, 2014)
Fase selanjutnya yaitu fase pemulihan dengan penyerapan cairan yang bocor ke dalam aliran darah. Fase ini juga disebut dengan fase reabsorbsi yang umumnya berlangsung dua sampai empat hari. Adapun fase ini dtandai dengan penyerapan kebocoran plasma dan pendarahan, stabilisasi tanda-tanda vital, penyerapan kembali cairan yang terakumulasi, dan peningkatan selera makan dari si penderita. Namun perlu diwaspadai, kemungkinan terjadinya komplikasi pada fase ini yaitu terjadinya overload cairan intravaskuler (CDC, 2014). G. Penatalaksanaan DBD Adapun penatalaksanaan dilakukan untuk mengurangi gejala DBD (WHO, 1997) diantaranya:. 1) Penurunan demam dengan melakukan kompres dan pemberian paracetamol untuk menurunkan demam. Penggunaan salisilat lainnya seharusnya tidak diberikan karena bisa menyebabkan perdarahan dan menyebabkan iritasi lambung dan asidosis. 2) Terapi rehidrasi oral harus diberikan pada tahap awal demam.
7
3) Pasien harus segera diurus ke rumah sakit jika ada bukti perdarahan 4) Rujuk
ke
rumah
sakit
atau
pusat
kesehatan
untuk
penatalaksanaan pemberian cairan intravena jika suhu tubuh menurun, ektremitas dingin, dan bila pasien terlihat gelisah. H. Pencegahan DBD Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan demam berdarah. Hal yang terpenting adalah dengan menghindari gigitan nyamuk, sehingga beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk diantaranya: 1) Menggunakan obat pengusir serangga/ anti nyamuk 2) Menggunakan kelambu/ tirai saat tidur 3) Sadar akan lingkungan untuk mengurangi populasi nyamuk 4) Menggunakan pakaian lengan panjang dan celana panjang 5) Pastikan bahwa jendela dan pintu aman, dan lubang apapun diberikan penyaring/pelindung 6) Mengurangi populasi nyamuk dengan menyingkirkan peralatan yang memungkinkan pembiakan nyamuk. Metode
utama
pengendalian
Aedes
aegypti
adalah
dengan
menghilangkan habitatnya. Hal ini dilakukan dengan menyingkirkan sumber air terbuka, atau jika hal ini tidak memungkinkan, dengan menambahkan
insektisida
atau
agen
pengendali
biologis
berupa
penggunaan bahan kimia. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan penyemprotan. Selain itu, mengurangi penampungan air yang tidak terpakai metode pengendalian vektor yang cukup mudah dan lebih disukai mengingat kekhawatiran masih terdapat banyak kekhawatiran terkait penggunaan insektisida yang merupakan bahan kimia terhadap kesehatan. Beberapa metode pengendalian nyamuk vektor (WHO, 2017) melalui:
8
a) Mencegah nyamuk memeiliki tempat/wadah untuk bertelur melalui pengelolaan lingkungan dan modifikasi lingkungan b) Membuang limbah padat dengan benar, meliputi: mengosongkan dan membersihkan wadah penyimpanan air secara rutin c) Menggunakan insektisida atau bahan kimia yang sesuai untuk wadah penyimpanan air di luar ruangan d) Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk pengendalian vektor yang berkelanjutan e) Melakukan penyemprotan saat terjadi wabah DBD sebagai salah satu tindakan pengendalian vektor darurat f) Melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap perkembangan vektor nyamuk g) Menggunakan vaksin Dengvaxia yang saat ini disetujui untuk digunakan pada usia 9 sampai 45 tahun yang tinggal di daerah dengan tingginya tingkat demam dengue. Vaksin diberikan dalam tiga dosis selama 12 bulan. Dengvaxia mencegah infeksi dengue sedikit lebih dari separuh waktu (WHO, 2017)
9
BAB II SEGITIGA EPIDEMIOLOGI DBD
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan yang berkembang pesat dengan perkiraan 2,5 miliar orang yang berisiko, terutama di Asia Tenggara, Asia Timur, Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, dan juga di Afrika, dimana penyebaran demam berdarah diperkirakan karena kombinasi beberapa faktor diantaranya peningkatan urbanisasi, pertumbuhan penduduk, migrasi dan perjalanan internasional dan sulitinya dalam pengendalian vektor (Whitehorn & Farrar, 2010). Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan mobilitas orang perkotaan dan pedesaan telah meningkatkan jumlah epidemi dan virus yang beredar. Bahkan demam berdarah, yang dulunya terbatas di beberapa negara di Asia Tenggara, kini telah menyebar ke negara lain termasuk China dan Amerika. Diperkirakan 500.000 orang dengan demam berdarah parah memerlukan rawat inap setiap tahunnya, dan sekitar 2,5% dari mereka yang terkena meninggal (WHO, 2017).
10
Pada epidemiologi penyakit menular, epidemiologic triangle atau segitiga epidemiologi terdiri dari host (orang yang rentan), agent (agen eksternal) dan environment (tempat host dan agen berada). Segitiga epidemiologi membantu kita untuk senantiasa berupaya untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sehingga tidak memberikan efek negative atau timbulnya masalah kesehatan (Swarjana, 2017). Untuk lebih memahami tentang penyebab dan faktor yang mempengaruhi kejadian DBD, gambar berikut menampilkan triad atau segitiga epidemiologi yang memegang andil dalam interkasi dan terjadinya DBD.
Gambar 4: Segitiga epidemiologi Gambar di atas menggambarkan interaksi dari ketiga komponen yang ada. Host merujuk pada seorang individu atau kelompok yang kemungkinan berisiko atau rentan terkena penyakit yang dalam konteks DBD yakni individu yang rentan terkena DBD. Sementara agent dalam hal ini merujuk pada faktor baik itu internal ataupun eskternal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit. Komponen environment merujuk pada berbagai faktor baik itu faktor fisik, sosial, ekonomi, emosi dan spiritual) yang dapat meningkatkan atau menjadi predisposisi seorang individu terjangkit suatu penyakit (Mengistu, 2016). Interaksi antara agent, host, dan faktor lingkungan saling terkait satu sama lain sehingga pengembangan tindakan promosi atau
11
pendidikan kesehatan masyarakat yang tepat, praktis, dan efektif untuk mengendalikan atau mencegah DBD memerlukan perhatian khusus terhadap ketiga komponen tersebut. A. Host (manusia) Virus dengue dapat menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata. Manusia merupakan reservoir utama virus dengue di daerah perkotaan. Beberapa variabel yang berkaitan dengan karakteristik pejamu adalah umur, pendidikan, pekerjaan, imunitas, status gizi, ras dan perilaku (Widodo, 2012), termasuki lokasi tempat tinggal. Umur adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Semua golongan umur dapat terserang virus dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Djati, Rahayujati & Raharto, (2010) didapatkan data bahwa kelompok umur < 12 tahun terhadap kelompok umur > 45 tahun memiliki resiko terkena DBD sebesar 10 kali lebih besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa resiko terkenda DBD juga bergantu umur dimana dengan semakin mudanya usia, maka semakin risiko terkena DBD juga akan semakin tinggi. Imunitas dan status gizi juga akan mempengaruhi transimisi demam berdarah, karena dengan kurangnya tingkat imunitas dan gizi yang buruk dapat membuat individu menjadi lebih rentan terhadapt pajanan penyakit.
Meskipun faktor lingkungan cukup memengang peranan
penting, virus juga memegang andil sebagai faktor yang penting saat transmisi demam berdarah, begitupun jumlah manusia yang rentan dan adanya kontak antara orang-orang yang rentan tersebut dengan vektor nyamuk. Baru-baru ini seperti tahun 1940-an, wabah demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan iklim, perkembangan nyamuk yang cukup cepat dan akibat perpindahan penduduk dan kunjungan wisatawan yang cukup besar ke 12
Amerika Serikat. Namun, penularan di Amerika Serikat jarang terjadi karena tidak ada kontak yang cukup antara manusia yang terinfeksi, termasuk kontak dengan spesies nyamuk vektor, dan dengan imunitas yang baik yang mampu mencegah transmisi terjadi. Terkait hal ini. studi di perbatasan AS-Meksiko, misalnya, menunjukkan bahwa pembatasan penularan terjadi karena keterbatasan kontak antara host manusia dan vektor nyamuk yang ditandai dengan kepadatan rumah yang rendah dan penggunaan air conditioning (AC) serta jendela di perumahan penduduk (CDC, 2012). Dengue ditularkan oleh manusia melalui nyamuk Aedes aegypti, yang ditemukan di seluruh dunia yang merupaka serangga yang menularkan penyakit atau sebagai vector DBD. Gejala infeksi biasanya dimulai 4 - 7 hari setelah gigitan nyamuk dan biasanya berlangsung 3 10 hari. Selanjutnya, dalam kasus yang jarang terjadi, demam berdarah juga dapat ditularkan melalui transplantasi organ atau transfusi darah dari donor yang terinfeksi, dan ada bukti penularan dari ibu hamil yang terinfeksi ke janinnya. Tapi pada sebagian besar infeksi, yang paling memegang andil yakni dengan adanya gigitan nyamuk Aedes aegypti. B. Agent WHO (2011) menyatakan bahwa penularan virus dengue bergantung pada faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi virus, vector (nyamuk) dan host (manusia). Faktor abiotik meliputi suhu, kelembaban dan curah hujan. Virus dengue merupakan penyebab terjadinya penyakit DBD. Virus dengue termasuk dalam genus Flafivirus dan family Flaviviridae serta memiliki RNA berantai tunggal. Virus dengue terdiri atas 4 serotipe yaitu virus dengue 1 (DEN-1), virus dengue 2 (DEN- 2), virus dengue 3 (DEN-3), dan virus dengue 4 (DEN -4), yang diklasifikasikan oleh Albert Sabin pada tahun 1944 (Chakraborty, 2008). 13
WHO (2013) mengklasifikasikan infeksi virus dengue (lazim disebut virus demam berdarah) menjadi 2 kategori umum yaitu Asymptomatic dengue infection or dengue without symptoms and the symptomatic dengue. Sedangkan infeksi virus dengue dengan gejala (the symptomatic dengue) dibagi menjadi 3 kelompok yaitu demam dengue tanpa gejala spesifik, demam dengue dengan demam di tambah 2 gejala spesifik yakni pendarahan berat, serta demam berdarah dengue dengan atau tanpa shock syndrome. DBD ditularkan melalui nyamuk yang terjangkit virus dengue. Terdapat 2 (dua) tipe nyamuk yang bisa menularkan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus dengan tingkat efisiensi yang berbeda. Kedua spesies nyamuk ini sering berkembang biak di sekitar tempat tinggal manusia dalam hal ini tampungan air yang dibuat manusia seperti ban bekas dan wadah atau kontainer jenis lainnya (Chakraborty, 2008). Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes, terutama Aedes Aegypti yang umumnya menggigit pada pagi hari dan di malam hari, namun tidak menutup kemungkinan dapat menggigit dan menyebarkan infeksi setiap saat. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, spesies Aedes lain yang menularkan penyakit ini meliputi A. Albopictus A. polynesiensis dan A. scutellaris. Aedes albopictus, merupakan sebuah vektor demam berdarah yang sangat adaptif dan, oleh karena itu, dapat bertahan di daerah beriklim dingin sekalipun (WHO, 2017). 1. Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan nyamuk yang berasal dari Afrika dan sebagai spesies liar yang berkembang biak di hutan tanpa kontak manusia. Pada tahap selanjutnya, Ae. aegypti berkembang biak pada Tempat Penyimpanan Air (TPA) seiring dengan perubahan lingkungan. Pada tahun 1800, Ae. aegypti tersebut menyebar daerah tropis dan kota-kota pesisir di seluruh dunia. Sesuai dengan catatan terkait distribusi, Ae. aegypti merupakan spesies 14
kosmotropik antara garis lintang 45 ° LU dan 35 ° S (WHO, 2013).
2. Aedes albopictus Aedes albopictus termasuk dalam kelompok scutellaris subgenus Stegomyia. Ae. albopictus berasal dari Asia terutama Asia Tenggara dan pulau-pulau di Pasifik Barat serta Samudera Hindia. Namun, selama beberapa dekade terakhir, spesies tersebut telah menyebar ke Afrika, Asia Barat, Eropa dan Amerika (Utara dan Selatan) pada awal abad ke-20 (WHO, 2013).
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain yang kurang berperan. Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes sp. betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita baru. Nyamuk Aedes aegypti sering menggigit manusia pada pagi dan siang hari (Shidiq, 2010), Vektor virus dengue berkembang biak di dalam dan sekitar rumah dan, pada prinsipnya, bisa dikendalikan meskipun tindakan individu dan masyarakat. Pendekatan pencegahan harus diadopsi dalam memperluas upaya pengendalian vektor kepada masyarakat yang melakukan tidak secara rutin diuntungkan dari kontrol vektor terorganisir. Mungkin diasumsikan bahwa vektor adalah Ae. aegypti, yang makan siang hari, berada di dalam rumah dan bertelur dalam wadah air buatan. C. Enviroment (lingkungan) Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 30° Lintang Utara dan 40° Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Caribbean dengan tingkat kejadian sekitar 50-100 juta 15
kasus setiap tahunnya (Djunaedi, 2006). Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk yang relatif cepat, dan akibat adanya mobilisasi penduduk (Chandra, 2010) baik itu antar negara atau antar daerah. Hal ini bermanifestasi terhadap munculnya kawasan perumahan yang relatif padat penduduk dengan jarak yang relative dekat, sehingga kebersihan antar satu rumah akan berdampak pada rumah lain disekitarnya seperti keberadaan tempat penampungan air tanaman hias dan sebagainya yang bila tidak dilakukan tindakan 3M dapat memudahkan berkembangnya jentik nyamuk yang berdampak pada lingkungan sekitarnya. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan dengan terjadinya infeksi dengue. Lingkungan pemukiman sangat besar peranannya dalam penyebaran penyakit menular. Kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat rumah sehat apabila dilihat dari kondisi kesehatan lingkungan akan berdampak pada masyarakat itu sendiri. Dampaknya dilihat dari terjadinya suatu penyakit yang berbasis lingkungan yang dapat menular seperti DBD (Maria, Ishak, & Selomo, 2013) Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes, yang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan. Suhu, presipitasi, dan kelembaban sangat penting untuk
kelangsungan
hidup
nyamuk,
reproduksi,
dan
perkembangan dan dapat mempengaruhi kehadiran nyamuk dan kelimpahan. Selain itu, suhu yang lebih tinggi mengurangi waktu yang dibutuhkan agar virus dapat meniru dan menyebarluaskan nyamuk. Proses ini, disebut sebagai "masa inkubasi ekstrinsik", harus terjadi sebelum virus bisa mencapai kelenjar ludah nyamuk dan ditransmisikan ke manusia. Jika nyamuk menjadi menular lebih cepat karena suhu lebih hangat, ia memiliki kesempatan lebih besar untuk menginfeksi manusia sebelum mati (CDC, 2012). Suhu, curah hujan, dan kelembaban, sering berkorelasi dengan kejadian demam berdarah. Asosiasi ini, bagaimanapun, tidak 16
menggambarkan kejadian beberapa tahun epidemi besar di daerah ini, menunjukkan bahwa variabilitas iklim jangka panjang tidak mengatur pola transmisi jangka panjang. Regulator epidemi yang lebih penting mungkin merupakan interaksi dari empat serotipe dengue yang berbeda. Tingkat paparan sebelumnya populasi manusia terhadap masing-masing serotipe dengue mungkin merupakan penentu yang lebih penting apakah epidemi besar terjadi daripada siklus iklim. Secara global, kejadian demam berdarah telah meningkat. Meskipun iklim dapat berperan dalam mengubah kejadian dan distribusi dengue, ini adalah salah satu dari banyak faktor; Dengan korelasi buruk dengan perubahan historis dalam kejadian, perannya mungkin kecil. Faktor penting lain yang berpotensi berkontribusi terhadap perubahan global pada kejadian demam berdarah dan distribusi meliputi pertumbuhan populasi, urbanisasi, kurangnya sanitasi, peningkatan perjalanan jarak jauh, pengendalian nyamuk yang tidak efektif, dan peningkatan kapasitas laporan (CDC, 2012). D. Kontrol terhadap Host, Agent dan Lingkungan WHO (2017) merekomendasikan program Pengendalian Vektor Terpadu yang terdiri dari lima elemen: 1. Advokasi, mobilisasi sosial dan peraturan perundang-undangan untuk memastikan bahwa badan kesehatan masyarakat dan masyarakat diperkuat; 2. Kolaborasi antara sektor kesehatan dan sektor lainnya (publik dan swasta) 3. Pendekatan
terpadu
pengendalian
penyakit
untuk
memaksimalkan penggunaan sumber daya 4. Pengambilan keputusan berbasis bukti untuk memastikan setiap intervensi ditargetkan dan dilakukan secara tepat
17
5. Pengembangan kapasitas untuk memastikan respon yang memadai terhadap situasi yang terjadi
Program pengendalian vektor berusaha mengurangi jumlah nyamuk dewasa yang bisa menularkan demam berdarah. Tindakan pengendalian vektor berfokus pada tahap larva dan pupal (tahap perairan) nyamuk, karena lebih mudah mengendalikan kontainer yang menampung air tempat mereka berada daripada menyingkirkan nyamuk dewasa. WHO merekomendasikan
penggunaan
dua
atau
lebih
pendekatan
pengendalian vektor, yang dikenal sebagai pengendalian vektor terpadu, untuk meminimalkan hasil negatif seperti resistensi insektisida dan untuk meningkatkan efektivitas biaya. Pendekatan yang digunakan dalam pengendalian vektor terpadu mencakup tindakan pengendalian lingkungan seperti menghancurkan, membalik, atau mengeluarkan barang yang dapat menumpuk air (reduksi sumber); mencegah nyamuk memasuki wadah penampung air sehingga mereka tidak dapat bertelur di dalamnya, dengan memasang yang ketat. menutupi pembukaan stoples air atau dengan cara lain; atau memilah-milah dan mengisi ulang wadah penyimpanan air setiap 7 hari sehingga larva nyamuk dan pupa dilempar saat wadah dikosongkan. Tindakan pengendalian mekanis mencegah akumulasi air dengan memodifikasi desain rumah, seperti menghilangkan selokan hujan dimana air bisa mandek. Pendekatan lain termasuk metode pengendalian
biologis
seperti
penggunaan
ikan
guppy
atau
Mesocyclops, copepoda, untuk memakan bakteri nyamuk, atau bakteri Bacillus thuringiensis israelensis (Bti), yang mengeluarkan racun yang membunuh larva setelah tertelan. Kontrol kimia melalui penggunaan insektisida, beberapa di antaranya membunuh larva nyamuk dan lainnya yang membunuh nyamuk dewasa, juga afektif bila digunakan propely dan dalam kondisi yang sesuai.
18
Metode pengendalian vektor dapat berhasil jika dukungan administratif dan politik memadai diberikan untuk implementasi penuh mereka. Pengendalian vektor terpadu saat ini merupakan satu-satunya cara yang tersedia untuk mengendalikan demam berdarah. Saat ini tidak ada vaksin untuk mencegah infeksi dan penyakit. Obat spesifik untuk mengobati demam berdarah dan demam berdarah. Sebagian besar program bergantung pada tindakan pengendalian lingkungan atau kimia yang sering dilakukan oleh staf lapangan kontrol vektor, dan upaya untuk melibatkan penduduk dalam mengurangi jumlah kontainer penahan air menghadapi banyak hambatan (WHO, 2013). Hambatan ini termasuk kebutuhan masyarakat untuk menyimpan air karena air ledeng tidak dapat diandalkan atau tidak tersedia, keengganan warga untuk membuang berbagai kontroversi karena hal ini dapat digunakan untuk banyak tujuan lain, kurangnya layanan pengumpulan sampah yang mengakibatkan akumulasi sampah. pada banyak properti, dan pendapatan dari recyclin berbagai logam, dan kaca (WHO, 2013). Lebih lanjut, terdapat beberapa hal spesifik yang dapat dilakukan untuk mengontrok terjadinya DBD (WHO, 1997) diantaranya: 1. Pengelolaan limbah padat Untuk pengendalian agent atau vector DBD, upaya pengelolaan limbah padat yang efektif dan ramah lingkungan perlu diupayakan. Dalam hal ini bentuk edukasi ataupun demonstrasi
pemanfaatan
barang-barang
bekas
tempat
bersarangnya nyamuk atau tempat berkembanganya larva perlu diberikan
kepada
masyarakat
agar
upaya
pengendalian
berkembangnya nyamuk sebagai agent DBD dapat ditekan dari segi jumlah. Pengelolaan limbah dengan memanfaatkan sistem 3 R yakni: Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang) perlu dipromosikan secara luas.
2. Penyemprotan bahan kimia 19
Meskipun langkah penyemprotan dikatakan cukup efektif, tetapi karena terdapat beberapa pertimbangan kesehatan, untuk menekan jumlah perkembangan nyamuk Aedes aegypti, penyemprotan umumnya baru akan dilakukan saat terjadi wabah DBD di suatu lingkungan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat dilakukan penyemprotan bahan kimia yaitu:
Gunakan sarung tangan atau masker saat akan melakukan penyemprotan
Lindungi barang-barang dari paparan semprotan bahan kimia
Saat akan menggunakan kembali barang-barang yang telah terkena paparan semportan bahan kimia, dilakukan pencucian dengan air dan sabun saat akan kembali digunakan
Mengubah dan mencuci fasilitas dengan cukup air dan sabun
20
BAB III MODEL PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
Menurut Asmadi (2005) pencegahan penyakit merupakan salah bentuk usaha yang dilakukan dengan mengadakan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk melindungi seseorang dari penyakit. Pencegahan penyakit meliputi beberapa kegiatan yang dilakukan untuk mengekang perkembangan peyakit, menghambat proses kemajuan penyakit, serta melindungi tubuh dari komplikasi yang dapat timbul akibat suatu penyakit. Strategi pencegahan penyakit Demam Berdarah (DBD) merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat guna menghambat perkembangbiakan vektor penyebab DBD. Strategi pencegahan DBD telah banyak diupayakan oleh beberapa Negara di dunia termasuk di Indonesia. Jumlah penderita DBD setiap tahunnya selalu di data oleh pemerintah. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2017 mengungkapkan bahwa angka kejadian DBD setiap tahun yang terhitung sejak tahun 1968 terkadang mengalami peningkatan dan terkadang juga mengalami 21
penurunan. Data yang diperoleh dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kemenkes RI pada tahun 2014 mencatat jumlah kasus DBD mencapai 100,347 dan sebanyak 907 kasus diantaranya tidak tertolong. Data kejadian DBD pada tahun 2015 yang diperoleh sebayak 129,650 kasus dan sebanyak 1,071 kasus tidak tertolong. Angka kejadian kasus DBD pada tahun 2016 kembali mengalami peningkatan dengan jumlah kasus sebanyak 202,314 kejadian dan 1,593 kasus tidak tertolong atau meninggal dunia. Pada tahun 2017 yang terhitung sejak Januari hingga Mei, tercatat sebanyak 17,877 kasus dengan 115 kasus yang tidak tertolong. World Health Organization (WHO) tahun 2012 mengatakan bahwa tujuan dari strategi pencegahan demam berdarah adalah menurunkan angka kejadian demam berdarah dengan tujuan spesifik yang meliputi: 1. Menurunkan angka mortalitas demam berdarah pada tahun 2020 dengan angka penurunan minimal 50%. 2. Menurunkan angka morbiditas demam berdarah pada tahun 2020 dengan angka penurunan minimal 50%. 3. Mengetahui angka kejadian demam bedarah secara pasti pada tahun 2015. Peningkatan angka mortalitas dari demam berdarah dapat dicegah dengan manajamen yang baik meliputi pemeriksanan sedini mungkin, penanganan rehidrasi yang baik, serta didukung oleh adanya staf rumah sakit yang terlatih. WHO (2012) mengatakan bahwa untuk menjalankan strategi pencegehan demam berdarah yang baik, diperlukan koordinasi dan kerja sama dari seluruh sektor. Beberapa faktor yang dapat mendukung efektifitas pelaksanaan strategi pencegahan demam berdarah meliputi: 1. Advokasi dan mobilisasi sumber daya yang baik 2. Koordinasi, kemitraan, dan kolaborasi yang baik dari semua sektor 3. Komunikasi yang baik guna mencapai perubahan perilaku menjadi lebih sehat 22
4. Pembangunan kapasitas yang baik 5. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara rutin dan berkala. Strategi lain yang juga dijalankan untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan meningkatkan jumlah penelitian terkait penyakit tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi dari beberapa tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit demam beradrah. A.Bentuk Strategi Pencegahan Demam Berdarah WHO (2002) mengungkapkan bahwa untuk menjalankan strategi pencegahan demam berdarah diperlukan partisipasi dari masyarakat. Pemerintah yang bertugas menangani kasus demam berdarah perlu memahami kepercayaan dan pengetahuan masyarakat terkait penyakit tersebut. Begitu pula dengan masyarakat yang sebaiknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang penyakit demam berdarah. Hal ini diperlukan demi kesuksesan jalannya strategi pencegahan demam berdarah. Beberapa bentuk strategi pencegahan demam berdarah dapat meliputi: 1. Pengendalian lingkungan Lingkungan tertentu dapat mendukung berkembang biaknya vektor nyamuk aedes aegypti. Ginanja (2009) mengungkapkan bahwa nyamuk aedes aegypti menyukai tinggal di genangan air yang bersih dan tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Jika nyamuk aedes aegypti sudah tinggal digenangan air yang bersih maka ia akan mengembang biakkan telurnya di genangan tersebut. Beberapa tempat genangan air bersih yang disukai oleh vektor demam berdarah dapat berupa sisa kaleng bekas, tempat penampungan air yang terbuka, bak mandi, ban bekas, dan lain sebagainya.
23
Gambar 1. Pengendalian lingkungan yang dapat dilakukan masyarakat Pengendalian lingkungan di Indonesia dikenal dengan istilah 3M yang terdiri dari menguras, menutup, dan mengubur. Kampanye 3M sudah sering dilakukan dengan maksud agar masyarakat mampu mengendalikan lingkungan dengan cara menguras bak mandi secara rutin, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat tergenangnya air hujan seperti botol, kaleng, atau ban bekas.
2. Pemberdayaan Masyarakat Kesadaran masyarakat untuk dapat menjaga lingkungan agar terhindar dari penyakit demam berdarah sangat diperlukan. WHO (2002) mengungkapkan bahwa kampanye yang intensif terkait pencegahan demam berdarah dapat dilakukan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi aktif dalam mengendalikan lingkungan. Dalam kampanye tersebut, masyarakat dapat diajak untuk melakukan beberapa langkah pencegahan yang meliputi pemberantasan sumber habitat larva aedes aegypti dengan mengosongkan
24
atau menutup wadah air, membuang materi sampah termasuk ban bekas, atau mengenakan kelambu. Pemberdayaan
masyarakat
untuk
mengendalikan
penyebaran
penyakit demam berdarah juga telah dilakukan oleh beberapa negara lain. Negara Mexico mengadakan kampanye pencegahan demam berdarah dengan sebutan Patio Limpio. Strategi Patio Limpio dibahas oleh artikel dari Conyer et al (2012) sebagai salah satu upaya pencegahan DBD di masyarakat. Kampanye Patio Limpio memiliki konsep berupa peningkatan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang DBD. Patio Limpio merupakan kegiatan yang dilakukan dengan cara melatih masyarakat agar mampu mengidentifikasi, mengeliminasi, memonitor, dan mengevaluasi pengembangan vektor dibawah pengawasan pemerintah. Conyer et al (2012) mengatakan bahwa pelaksanaan strategi Patio Limpio dimulai dengan mengadakan pertemuan di masing-masing wilayah untuk meminta kesediaan dan komitmen dari warga setempat untuk menurunkan angka kejadian DBD. Setelah ada komitmen dari warga setempat, kemudian akan dipilih 1 orang yang bertanggung jawab atas 1 wilayah. Penanggung jawab dari masing-masing wilayah akan diberikan pengetahuan tentang DBD, diberikan pemahaman tentang manfaat menjaga kebersihan rumah, serta dilatih untuk mencegah perkembangbiakan DBD. Para penanggung jawab terlatih kemudian akan di beri tanggung jawab untuk menyalurkan pengetahuannya kepada masing-masing keluarga di wilayahnya. Penanggung jawab kemudian juga diberi tugas untuk mengunjungi setiap rumah dan melakukan penilaian bulanan yang kemudian dilaporkan kembali pada pertemuan masyarakat.
25
Gambar 1. Perencanaan Patio Limpio Allerano et al (2015) dalam penelitiannya menggunakan metode Focus Group Disccussion (FGD) untuk mengetahui kesadaran pencegahan DBD di masyarakat Hermosillo, Sonora Mexico. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengkaji pengetahuan dan kepercayaan masyarakat tentang penularan DBD serta untuk mengetahui strategi pencegahan DBD yang dilakukan oleh masyarakat Hermosillo. Penelitian ini dilakukan dengan metode membentuk 6 kelompok FGD yang meliputi 3 kelompok dari wilayah dengan angka kejadian DBD yang tinggi dan 3 kelompok dari wilayah dengan angka kejadian DBD yang rendah. Masing-masing kelompok beranggotakan 6-10 orang yang bertetangga. Materi yang di diskusikan oleh masing-masing kelompok meliputi persepsi tentang DBD, kesadaran dan pengetahuan yang dimiliki tentang DBD, faktor risiko terjadinya penyakit DBD, serta strategi pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Allerano et al (2015) berfokus pada 2 hal utama yang meliputi kepercayaan masyarakat tentang penularan 26
DBD serta strategi pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempercayai bahwa penyebaran penyakit DBD disebarkan oleh nyamuk walaupun masih ada yang beranggapan bahwa DBD dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa secara umum upaya pencegahan yang telah dilakukan oleh masyarakat adalah dengan menjaga kebersihan rumah seperti kebersihan dalam rumah, kebersihan halaman atau penggunaan bubuk abate pada tanaman.
Gambar 2. Pelaksanaan Patio Limpio Negara lain yang ikut menerapkan pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu upaya untuk mencegah DBD adalah negara Cina. Lin et al (2016) dalam artikelnya juga membahas tentang strategi dalam menurunkan angka kejadian DBD di Cina. Strategi yang dilaksanakan merupakan strategi ketat berbasis pemberdayaan masyarakat yang mewajibkan seluruh elemen masyarakat terlibat dalam pengendalian DBD. Dalam strategi ini digunakan kolaborasi multi-sektoral dengan sektor kesehatan sebagai penanggung jawab. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada strategi ketat ini meliputi pemberantasan larva, penggunaan peptisida untuk membunuh nyamuk dewasa, pendidikan kesehatan, serta kepemimpinan administrasi yang ketat seperti pengelolaan sumber dana khusus untuk pemberantasan DBD. 27
Strategi pemberantasan ini di awasi oleh Pemerintah Provinsi dan Kota di Cina dengan membentuk Komite Pengawasan Demam Berdarah yang khusus bertugas untuk melakukan pengawasan dan pelatihan teknis pencegahan. Komite ini akan berkoordinasi langsung dengan departemen kesehatan setempat terkait pelaksanaan strategi pencegahan DBD. Setelah berkoordinasi, para tenaga kesehatan setempat akan membentuk tim pengendali khusus di setiap komunitas masyarakat yang bertugas untuk melaksanakan pengendalian DBD dibawah standar pemerintah. Tim pengendalian ini juga bertugas untuk melakukan inspeki berkala terhadap rumah-rumah di wilayahnya, melakukan larvaciding pada berbagai wadah, melakukan pengendalian nyamuk dewasa, serta memberikan edukasi terkait pencegahan DBD. Semua tempat umum termasuk rumah sakit, sekolah, taman, lapangan, dan lokasi wisata akan disurvei setiap hari terkait adanya kepadatan nyamuk dan hasilnya dilaporkan kepada departemen kesehatan setempat. Para guru dan siswa sekolah juga dituntut untuk berpartisipasi pada pelaksanaan kampanye pencegahan DBD. Bentuk kampanye yang dapat dilakukan di wilayah sekolah dapat meliputi partisipasi dalam pembuatan drama, lagu, maupun kuis yang berorientasi pada pencegahan DBD. 3. Pengendalian biologis Hastuti (2008) dalam bukunya menyebutkan bahwa salah satu bentuk tindakan pencegahan penyakit demam berdarah yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pengendalian biologis. Pengendalian biologis yang dimaksud seperti menggunakan jenis ikan pemakan jentik atau larva seperti ikan nila merah, ikan guppy, dan sebagainya.
28
Gambar 3. Penggunaan Guppy Fish untuk memberantas jentik/larva nyamuk World Health Organization (WHO). WHO yang bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) menerbitkan sebuah buku yang berjudul Managing Regional Public Goods For Health, Community-Based Dengue Vector Control tahun 2013. Dalam buku ini disebutkan bahwa salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit DBD adalah dengan mengontrol vektor penyebab DBD. Program untuk mengendalikan vektor nyamuk DBD dikenal dengan Integrated Vector Management (IVM) yang berfokus untuk menurunkan angka penyebaran virus oleh nyamuk dewasa. Strategi IVM berfokus pada pengendalian larva dan pupa nyamuk. WHO mengatakan bahwa IVM dilakukan dengan merekomendasikan dua atau lebih pendekatan pengendalian vektor nyamuk. 29
Pendekatan pengendalian vektor yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode kontrol biologis seperti penggunaan guppy fish yang dapat memakan larva nyamuk, atau penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) yang dapat melepaskan racun untuk membunuh larva.
Gambar 4. Penggunaan Bacillus thuringiensis israelensis A. Peran Perawat Dalam Pencegahan Demam Berdarah Efendi & Makhfudli (2009) mengatakan bahwa perawat
komunitas
memiliki peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan berfokus sebagai pendidik atau penyuluh kesehatan, penemu masalah kesehatan di masyarakat, penghubung dan koordinator di masyarakat, pelaksana konseling keperawatan, dan sebagai role model di masyarakat. Dalam pencegahan kasus demam 30
berdarah, perawat komunitas memiliki peran sebagai penyuluh atau pemberi edukasi kesehatan terkait demam berdarah, pelaksana konseling keperawatan pada kasus-kasus demam berdarah, penghubung antara masyarakat dalam tindakan pencegahan demam berdarah, serta sebagai role model dalam hal pengendalian lingkungan. Audain & Maher (2017) dalam artikelnya menyebutkan bahwa perawat sebaiknya dilatih untuk dapat menyampaikan informasi ilmiah ataupun medis dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipahami oleh masyarakat. Maka dalam hal ini perawat memiliki hal penting untuk mengajarkan tentang pencegahan dan pengendalian vektor penyakit. Perawat juga diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau ikut bekerja sama dalam mencegah penyebaran penyakit demam berdarah. B. Asuhan Keperawatan Komunitas Menurut Riasmini et al (2017) asuhan keperawatan komunitas merupakan bentuk pelayanan keperawatan yang ditujukan langsung kepada masyarakat dengan berfokus pada kelompok risiko tinggi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, mencegah penyebaran penyakit, serta pengobatan dan rehabilitasi. Proses asuhan keperawatan komunitas bersifat alamiah, sistematis, dinamis, kontinyu, dan berkesinambungan dalam memecahkan masalah kesehatan. Tahapan dalam asuhan keperawatan komunitas meliputi: 1. Pengkajian Dalam pengkajian komunitas ada beberapa data yang perlu dikumpulkan meliputi data: a. Data inti komunitas Data inti dapat meliputi riwayat sebuah penyakit di suatu wilayah atau komunitas, demografi, tipe keluarga, status perkawinan, statistik vital, 31
nilai dan keyakinan agama. Dalam kasus demam berdarah maka data inti yang dapat dikaji berupa sejarah atau riwayat wabah demam berdarah disuatu wilayah serta perubahan-perubahan yang telah terjadi. b. Data subsistem komunitas Data ini meliputi : 1) Lingkungan fisik seperti kualitas air, pembuangan limbah, kualitas udara,
flora,
atau kondisi
ruang terbuka,
penampungan-
penampungan, dan lain sebagainya. 2) Pelayanan kesehatan dan sosial seperti adanya puskesmas, klinik, rumah sakit, pengobatan tradisional, serta fasilitas kesehatan lainnya. 3) Ekonomi meliputi rata-rata sumber penghasilan, lokasi industri, kelompok yang tidak bekerja, dan sebagainya 4) Pendidikan yang meliputi adanya fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan disekolah, serta adanya sumber informasi kesehatan yang biasanya diperoleh oleh masyarakat. c. Data persepsi 1) Persepsi masyarakat yang perlu dikaji adalah bagaimana perasaan masyarakat terkait tempat tinggalnya, apa yang menjadi permasalahan, serta persepsi tentang sebuah penyakit. Dalam kasus demam berdarah maka dapat dikaji persepsi masyarakat terkait hubungan antara kondisi lingkungan dengan penyakit demam berdarah atau persepsi tentang penyakit demam berdarah itu sendiri. 2) Persepsi perawat yang meliputi pernyataan umum tentang kondisi kesehatan dari masyarakat atau potensial-potensial dari masyarakat yang dapat digunakan untuk meningkatkan derajat kesehatan.
32
d. Data sekunder Sumber data sekunder terkait permasalahan di suatu wilayah dapat diperoleh melalui pelayanan kesehatan, instansi pemerintah di wilayah tersebut, atau laporan-laporan terkait kondisi wilayah tersebut. 2. Penegakan diagnosa keperawatan komunitas Beberapa diagnosa yang dapat muncul pada kasus demam berdarah dapat meliputi: a. Defisiensi kesehatan komunitas b. Perilaku kesehatan cenderung berisiko c. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan d. Ketidakefektifan manajemen kesehatan
33
3. Penyusunan rencana asuhan keperawatan Diagnosa
NOC
NIC
Defisiensi
Prevensi Primer
Prevensi Primer
Kesehatan
Kompetensi masyarakat
Pengembangan program
Komunitas
Derajat kesehatan masyarakat
Manajemen perilaku
Modifikasi perilaku
Monitoring kebijakan kesehatan
Prevensi Sekunder
Kontrol terhadao kelompok berisiko
Efektivitas program masyarakat Prevensi tersier
Prevensi Sekunder
Skrining kesehatan
Program efektivitas komunitas
Surveilans komunitas
Perilaku pemeriksaan kesehatan pribadi
Menjaga konsultasi kesehatan
Tindak lanjut via telepon
Prevensi Tersier 34
Perilaku kesehatan cenderung berisiko
Konsultasi via telepon
Rujukan
Prevensi Primer
Prevensi Primer
Partisipasi dalam promosi kesehatan
Dukungan perlindungan
Perilaku promosi kesehatan
Panduan antisipasi
Perilaku mencari kesehatan
Promosi kesehatan
Perawatan diri sendiri
Dukungan pemberi asuhan
Kinerja pemberi asuhan keperawatan
Promosi integritas keluarga
Pemeliharaan proses keluarga
Dukungan keluarga
Peningkatan peran
Prevensi Sekunder
Kesehatan emosi pemberi asuhan
Kesejahteraan pengasuh
Koping keluarga
Prevensi Sekunder
Fungsi keluarga
Manajemen kasus
Status kesehatan keluarga
Pendidikan kesehatan
Program pengembangan 35
Partisipasi keluarga dalam perawatan
Manajemen penularan penyakit
secara professional
Manajemen lingkungan
Skrining kesehatan
Prevensi tersier
Partisipasi tim kesehatan dalam keluarga
Identifikasi risiko
Dukungan sosial
Surveilans komunitas
Perilaku pemeriksaan kesehatan pribadi Prevensi tersier
Ketidakefektifan
Membangun hubungan yang kompleks
Peningkatan sistem dukungan
Prevensi Primer
Prevensi Primer
pemeliharaan
Keyakinan kesehatan
Manajemen kasus
kesehatan
Keyakinan kesehatan : kemampuan
Pendidikan kesehatan
yang dirasakan untuk melakukan
Program pengembangan
Pemasaran sosial
36
Prevensi Sekunder
Keyakinan kesehatan : perceived untuk
Prevensi Sekunder
mengontrol
Manajemen penularan penyakit
Keyakinan kesehatan : sumber daya
Manajemen lingkungan
yang dirasakan
Skrining kesehatan
Keyakinan kesehatan : ancaman
Identifikasi risiko
Orientasi kesehatan
Surveilans komunitas
Derajat kesehatan masyarakat
Prevensi tersier Prevensi tersier
Partisipasi tim kesehatan dalam keluarga
Dukungan sosial
Dukungna terhadap caregiver
Dukungan keluarga
37
C. Asuhan Keperawatan Demam Berdarah pada individu Dalam menetapkan asuhan keperawatan pada klien dengan DBD maka perlu diperhatikan hal-hal yang meliputi: 1. Pengkajian a. Identitas yang dapat meliputi nama, tempat tanggal lahir, alamat, pendidikan, dan pekerjaan b. Keluhan utama yang umumnya dapat berupa keluhan terkait demam tinggi c. Riwayat penyakit sekarang yang dapat meliputi riwayat waktu awal demam tinggi, demam yang naik turun, menggigil, dan riwayat penurunan kesadaran. Riwayat penyakit lain yang dapat dikaji meliputi riwayat nyeri sendi atau nyeri ulu hati serta riwayat muntah darah atau perdarahan lainnya. d. Riwayat penyakit yang sebelumnya pernah di derita oleh klien e. Kondisi lingkungan tempat tinggal, sekolah, atau tempat kerja klien f. Pola kebiasaan sehari-hari klien yang meliputi pola BAB, BAK, tidur, makan, dan olahraga. 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi yang dilakukan secara head to toe. a. Pada kulit biasanya akan ditemukan pteki yang dapat muncul melalui tes rempelit. Selain itu turgor kulit juga dapat menurun yang dapat disertai keringat dingin. b. Pada bagian kepala biasanya akan tampak kemerahan karena demam, dengan konjungtiva anemis. Beberapa kasus juga menunjukkan adanya perdarahan gusi ataupun epistaksis. c. Pada beberapa kasus akan ditemukan nyeri tekan dibagian abdomen d. Pada bagian ekstremitas dapat ditemukan adanya akral dingin serta nyeri sendi, otot, maupun tulang. 38
3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan demam berdarah dapat berupa: a. Hb dan PCV yang meningkat b. Adanya trombositopenia c. Adanya leukopenia d. Ig. D positif e. Hipoproteinemia, hipokloremi, hiponatremia f. Peningkatan urium dan pH darah g. Asidosis metabolic h. SGOT/SGPT yang dapat meningkat pada beberapa kasus 4. Diagnosa Keperawatan Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat muncul dapat meliputi: a. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi b. Ketidakefektifan
perfusi
jaringan perifer
berhubungan dengan
kebocoran plasma darah c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskuler e. Keletihan b/d kelesuan fisik f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kurangnya asupan makan g. Risiko perdarahan h. Risiko syok
39
5. Rencana Asuhan Keperawatan
N
Diagnosa
Tujuan/ Sasaran
Intervensi
o
Keperawatan
(NOC)
(NIC)
.
(Nanda)
1
Nyeri
.
agen biologis
akut/bd Setelah perawatan selama 1x24 jam, nyeri cedera akut klien berkurang dari skala 4 ke skala
Manajemen Nyeri
2 dengan kriteria hasil:
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Observasi adanya petunjuk nonverbal
Kontrol Nyeri
terkait nyeri maupun ketidaknyamanan
Klien dapat mengenali kapan nyeri
terutama pada pasien yang tidak dapat
terjadi
berbicara
Klien mengetahui penyebab
Gunakan strategi komunkasi terapeutik
terjadinya nyeri
untuk mengetahui pengalaman klien
Klien mampu mengurangi rasa nyeri
terkait nyeri dan penerimaan klien
tanpa analgesik
terhadap nyeri
40
Klien melaporkan perubahan gejala
Gali bersama pasien faktor-faktor yang
nyeri
dapat memperberat maupun mengurang
Klien mengenali hal-hal yang
nyeri
berkaitan dengan nyeri.
Evaluasi bersama klien efektifitas tindakan pengurangan nyeri yang pernah dilakukan sebelumnya jika ada
Tingkat Nyeri
Klien mengatakan rasa nyeri telah
Kendalikan faktor lingkunan yang dapat
berkurang
mempengaruhi nyeri dan
Tanda-tanda vital dalam rentang
ketidaknyamanan
normal
Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam seperti farmakologis dan
Tidak mengalami gangguan tidur.
non farmakolois untuk memfasilitasi penurunan nyeri
Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri ketika memilih strategi penurunan nyeri sesuai dengan kebutuhan
Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
41
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis seperti relaksasi nafas dalam, aplikasi panas/dingin dan pijatan jika memungkinkan.
Kolaborasikan dengan tim kesehatan unntuk menggunakan teknik farmakologi jika memungkinkan
Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol nyeri selama pengkajian nyeri dilakukan
Mulai modifikasi tindakan pengontrolan nyeri berdasarkan respon klien
Informasikan dengan tim kesehatan lain dan keluarga tentang strategi nonfarmakologi yang sedang digunakan untuk mendorong preventif terkait dengan manajemen nyeri
42
Analgesic Administration Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
2
Hipertermi b/d
Setelah
perawatan
selama
.
gejala infeksi
1x24 jam, diperoleh kriteria hasil
Termoregulasi:
Klien tidak menggigil saat dingin
Monitoring vital sign
Perawatan Demam Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
Monitor warna kulit dan suhu
Kolaborasi pemberian terapi antipiretik, antibiotik atau agen anti menggigil
Tutup pasien dengan selimut atau pakaian ringan tergantung pada fase demam 43
Tidak ada peningkatan suhu kulit
Dorong konsumsi cairan
Tidak ada hipertermi
Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan
Klien melaporkan kenyamanan suhu
aktivitas: jika diperlukan
Mandikan pasien dengan spons hangat dengan hati-hati (yaitu: berikan pada
Tanda-tanda vital
pasien dengan suhu yang sangat tinggi,
Suhu tubuh klien berada pada rentang
tidak memberikannya selama fase dingin
normal
dan hindari agar pasien tidak menggigil)
Tekanan darah klien berada pada
rentang normal
dengan demam serta tanda dan gejala,
Frekuensi pernafasan klien berada pada rentang normal
Pantau komplikasi yang berhubungan
kondisi penyebab demam.
Nadi klien berada pada rentang
Lembabkan bibir dan mukosa hidung yang kering
normal Ketidakseimbangan 3 nutrsi
Setelah dilakukan tindakan
kurang .
keperawatan selama 3 x 24
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
nutrisi
untuk mengembangkan rencana
dari
kebutuhan
berhubungan
dengan
kurang asupan makanan
terpenuhi
dengan
Manajeman Gangguan Makan
kriteria hasil : 44
perawatan dengan melibatkan klien dan orang terdekat klien Status Nutrisi
Asupan Gizi tidak menyimpang
klien, serta orang terdekat klien terkait
dari rentang normal
Asupan makanan tidak
target pencapaian berat badan
menyimpang dari rentang normal
Rasio berat badan/tinggi badan
Rundingkan dengan ahli gizi mengenai asupan kalori harian yang ingin dicapai
tidak menyimpang dari rentang normal
Rundingkan dengan tim kesehatan lain,
Dorong klien untuk mendiskusikan makanan yang disukai
Monitor berat badan klien secara rutin
Monitor intake secara tepat
Nafsu makan
Keinginan untuk makan tidak terganggu
Klien menyenangi makanan
Klien mencari makanan
Intake makanan tidak terganggu
Intake nutrisi tidak terganggu
45
perfusi Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 perifer b/d jam, diperoleh kriteria hasil :
Ketidakefektifan 4
Perawatan sirkulasi: insufisiensi
jaringan .
vena
kebocoran plasma darah Perfusi jaringan perifer:
Tekanan dalam batas normal
Edema perifer berkurang dari derajat 2 ke derajat 1
Nyeri berkurang dari skala 2 ke skala
Keletihan 5 fisiologis .
b/d
Monitoring edema
Inspeksi kulit
Instruksikan pasien untuk meninggikan kaki setinggi 20o atau lebih dari jantung
Ajarkan klien untuk latihan ROM pasif ataupun aktif
0
Tidak ditemukan kerusakan kulit
kelesuan Setelah dilakukan intervensi, diagnosa dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Kolaborasi pemberian obat antikoagulan
Manajemen energi :
Kaji status fisiologis klien yang menyebabkan kelelahan
Tingkat kelelahan : 46
Tidak ada kelelahan
Monitor intake nutrisi untuk mengetahui sumber energi yang adekuat
Kelelahan
(efek
yang
mengganggu) :
Monitor sumber kegiatan dan kelelahan emosional yang dialami klien
Tidak ada penurunan energy (tangan
Monitor sister kardiorespirasi klien
dan kaki tidak tremor)
Bantu klien untuk memahami kebutuhan untuk membatasi aktivitas
Bantu klien memprioritaskan kegiatan untuk mengakomodasi energi yang diperlukan
Monitor respon oksigen klien
47
Kekurangan 6 volume cairan b/d . perpindahan
Manajemen hipovolemi
Tujuan :
cairan Setelah dilakukan tindakan
intravaskuler
keperawatan kebutuhan
1
x24
cairan
Monitor adanya tanda – tanda dehidrasi.
Monitor adanya sumber – sumber
jam, pasien
kehilangan cairan.
Jaga kepatenan IV.
menjadi adekuat dengan kriteri hasil :
Manajemen cairan/elektrolit
Keseimbangan cairan
Monitor TTV.
Berikan serat yang diresepkan untuk
TTV dalam batas normal.
Turgor kulit normal.
mengurangi kehilangan cairan dan
Keseimbangan intake dan output
elektrolit melalui diare,
dalam 24 jam.
pasien dengan selang makan untuk
Membran mukosa lembab.
Pastikan bahwa larutan IV yang mengandung elektrolit diberikan dengan aliran yang konstan.
Keparahan
kehilangan
darah
Tidak terdapat hematuria.
Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan (hematokrit, BUN, albumin, dll).
48
Kulit dan membran mukosa pucat.
Hb dan Hematokrit dalam batas normal.
49
BAB IV MODEL PROMOSI KESEHATAN
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
A. Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan
Konferensi internasional pertama tentang promosi kesehatan, yakni dilakukan di Ottawa pada tangga 21 November 1986. Pada konferensi itu, promosi kesehatan diberlakukan secara penuh melalui Piagam Ottawa atau Ottawa Charter untuk promosi kesehatan. Konferensi ini merupakan suatu tanggapan akan semakin bermunculannya masalah kesehatan dan kebutuhan untuk meningkatkan derajat kesehatan manusia di seluruh dunia. Konferensi ini banyak membahas tentang kesehatan yang juga merupakan pengembangan dari Deklarasi Alma Alta dimana merupakan sebua deklarasi yang menekankan perlunya tindakan segera oleh semua pihak baik pemerintah, para petugas kesehatan, dan masyarakat di seluruh dunia untuk mempromosikan kesehatan.
50
Piagam Ottawa menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan promosi kesehatan. Salah satunya yaitu faktor-faktor yang menjadi penentu kesehatan (determinants of health) seperti tempat tinggal, pendidikan, makanan dan pendapatan. Piagam Ottawa adalah suatu kerangka kerja global yang bertujuan menjadi panduan dalam pelaksanaan tindakan promosi kesehatan. Melalui upaya bersama yang melibatkan semua pihak, seperti institusi pendidikan, pemerintah, dan stakeholder lainya, promosi kesehatan telah berhasil beralih dari perubahan perilaku di tingkat individu (dengan orientasi pengangan penyakit) ke perilaku di tingkat masyarakat (dengan perilaku berorientasi pada kesehatan) serta pada faktor-faktor penentu lainnya seperti diet yang sehat, aktivitas fisik, kebersihan pribadi, dan pendidikan, melalui penerapan kombinasi dari lima Area Aksi Piagam Ottawa. Lima area aksi untuk promosi kesehatan yang diidentifikasi dalam piagam Ottawa adalah: 1. Membangun kebijakan publik yang sehat 2. Menciptakan lingkungan yang mendukung 3. Memperkuat aksi masyarakat 4. Mengembangkan keterampilan pribadi 5. Mengorientasikan kembali layanan perawatan kesehatan ke arah pencegahan penyakit dan promosi kesehatan Sebagai inti dari Piagam Ottawa, promosi kesehatan adalah tentang: a. Memberdayakan individu dan populasi untuk memiliki kontrol atas kesehatan mereka dan membuat keputusan tentang kesehatan mereka berdasarkan informasi yang diterimanya.
51
b. Menyediakan
lingkungan
sosial, ekonomi
dan fisik
mendukung melalui strategi yang beragam namun
yang saling
melengkapi c. Bekerja dalam kolaborasi dengan berbagai sektor d. Memungkinkan individu untuk mengambil kendali atas faktorfaktor penentu kesehatan e. Melengkapi sistem dan sektor untuk mengatasi faktor penentu sosial kesehatan. Adapun strategi dasar untuk promosi kesehatan adalah sebagai berikut: a
Advocate (Mengadvokasi): Kesehatan adalah sumber daya untuk sarana
sosial
dan
perkembangan,
sehingga
dimensi
yang
mempengaruhi faktor-faktor ini harus diubah untuk mendorong kesehatan. b
Enable (Mengaktifkan): Pemerataan kesehatan harus dicapai di mana individu harus diberdayakan untuk mengendalikan faktorfaktor penentu yang memengaruhi kesehatan mereka, sehingga mereka dapat mencapai kualitas hidup tertinggi yang dapat dicapai.
c
Mediate (Memediasi): Promosi kesehatan tidak dapat dicapai hanya oleh sektor kesehatan; melainkan keberhasilannya akan tergantung pada kolaborasi semua sektor pemerintah (sosial, ekonomi, dll.) serta organisasi independen (media, industri, dll.). Penjelasan terkait ketiga komponen ini akan dibahas selanjutnya. Area promosi kesehatan ini mencakup pada berbagai kelompok
umur dan populasi dalam lokasi atau wilayah yang berbeda seperti sekolah, tempat kerja dan masyarakat. Seiring dengan kemajuan kebijakan dan lingkungan pendukung kesehatan dapat diamati bahwa telah terjadi perubahan perilaku dan gaya hidup yang positif pada tingkat populasi yang mengarah pada penurunan beberapa penyakit, namun perubahannya masih 52
terbatas pada individu dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan latar belakang sosial ekonomi yang tinggi pula. Sehingga upaya baru sangat diperlukan untuk memngurangi kesenjangan yang ada.
B. Promosi kesehatan Promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan seseorang atau masyarakat untuk meningkatkan kontrol atas kesehatan dan meningkatkan kesehatan mereka. Untuk mencapai keadaan fisik, mental, dan sosial yang sehat, seorang individu atau kelompok harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kesehatan dan cara untuk memenuhi kebutuhan kesehatan yang diinginkan, dan untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan untuk terciptanya kesehatan yang diinginkan. Sehingga dalam hal ini kesehatan adalah konsep positif yang menekankan pada sumber daya sosial dan pribadi serta kapasitas fisik. Oleh karena itu, promosi kesehatan bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan, tetapi juga merupakan gaya hidup sehat oleh seorang individu hingga hingga mncapai kesejahteraan. Pengertian Promosi Kesehatan Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya dari masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2011). Promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan orang untuk meningkatkan kontrol atas kesehatan mereka dan faktor penentu. Hal ini dilakukan dengan memperkuat keterampilan dan kemampuan individu dan kapasitas kelompok untuk mengubah banyak kondisi, terutama penyebab sosial dan ekonomi, yang mempengaruhi kesehatan. Promosi kesehatan berfungsi sebagai dasar perawatan kesehatan primer.
53
C. Tujuan Promosi kesehatan Promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan diri sendiri. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat serta sesuai dengan sosial budaya setempat. Demi mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik dari fisik, mental maupun sosial, masyarakat harus mampu mengenal dan mewujudkan 9 aspirasi dan kebutuhannya, serta mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (Kemenkes, 2011). Adapun beberapa tujuan promosi kesehatan yaitu: 1. Untuk mempromosikan ekuitas 2. Untuk memastikan keadilan sosial 3. Untuk mengadvokasi peningkatan hasil kesehatan masyarakat 4. Untuk bekerja dalam kemitraan 5. Untuk memastikan kolaborasi lintas sektoral 6. Untuk mempromosikan keterlibatan masyarakat 7. Untuk mendukung pemberdayaan 8. Untuk mempromosikan keberlanjutan 9. Untuk melakukan praktik berbasis bukti 10. Untuk menghargai pengetahuan kontekstual 11. Untuk menghargai pengetahuan dan perbedaan budaya 12. Untuk meningkatkan literasi kesehatan melalui perubahan tingkat sistem
D. Sasaran Promosi Kesehatan Menurut Maulana (2009), pelaksanaan promosi kesehatan dikenal memiliki 3 jenis sasaran yaitu sasaran primer, sekunder dan tersier. 1. Sasaran primer 54
Sasaran primer kesehatan adalah pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga) sebagai komponen dari masyarakat. Masyarakat diharapkan mengubah perilaku hidup mereka yang tidak bersih dan tidak sehat menjadi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Akan tetapi disadari bahwa mengubah perilaku bukanlah sesuatu yang mudah. Perubahan perilaku pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga) akan sulit dicapai jika tidak didukung oleh sistem nilai dan norma sosial serta norma hukum yang dapat diciptakan atau dikembangkan oleh para pemuka masyarakat, baik pemuka informal maupun pemuka formal. Keteladanan dari para pemuka masyarakat, baik pemuka informal maupun formal dalam 10 mempraktikkan PHBS. Suasana lingkungan sosial yang kondusif (social pressure) dari kelompokkelompok masyarakat dan pendapat umum (public opinion). Sumber daya dan atau sarana yang diperlukan bagi terciptanya PHBS, yang dapat diupayakan atau dibantu penyediaannya oleh mereka
yang
bertanggung
jawab
dan
berkepentingan
(stakeholders), khususnya perangkat pemerintahan dan dunia usaha (Maulana, 2009). 2. Sasaran Sekunder Sasaran sekunder adalah para pemuka masyarakat, baik pemuka informal (misalnya pemuka adat, pemuka agama dan lain-lain) maupun pemuka formal (misalnya petugas kesehatan, pejabat pemerintahan dan lain-lain), organisasi kemasyarakatan dan media massa. Mereka diharapkan dapat turut serta dalam upaya meningkatkan PHBS pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga)
dengan
cara:
berperan
sebagai
panutan
dalam
mempraktikkan PHBS. Turut menyebarluaskan informasi tentang PHBS dan menciptakan suasana yang kondusif bagi PHBS. 11 55
Berperan sebagai kelompok penekan (pressure group) guna mempercepat terbentuknya PHBS (Maulana, 2009). 3. Sasaran Tersier Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik yang berupa peraturan perundangundangan di bidang kesehatan dan bidang lain yang berkaitan serta mereka yang dapat memfasilitasi atau menyediakan sumber daya. Mereka diharapkan turut serta dalam upaya meningkatkan PHBS pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga) dengan cara: [1] Memberlakukan kebijakan/peraturan perundangundangan yang tidak merugikan kesehatan masyarakat dan bahkan mendukung terciptanya PHBS dan kesehatan masyarakat. [2] Membantu menyediakan sumber daya (dana, sarana dan lainlain) yang dapat mempercepat terciptanya PHBS di kalangan pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga) pada khususnya serta masyarakat luas pada umumnya (Maulana, 2009).
E. Ruang Lingkup Promosi Kesehatan Berdasarkan konferensi International Promosi Kesehatan di Ottawa Canada (1986) yang menghasilkan piagam Ottawa, promosi kesehatan dikelompokan menjadi lima area berikut: 1. Kebijakan pembangunan berwawasan kesehatan (Health Public Policy) kegiatan ditujukan pada para pembuat keputusan atau penentu
kebijakan.
Hal
ini
berarti
setiap
kebijakan
pembangunan dalam bidang apapun harus mempertimbangkan dampak kesehatan bagi masyarakat. 14 2. Mengembangkan jaringan kemitraan dan lingkungan yang mendukung (create partnership and supportive environmental). 56
Kegiatan ini bertujuan mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana yang mendukung terhadap kesehatan. Kegiatan ini ditujukan kepada pemimpin organisasi masyarakat serta pengelola tempat-tempat umum dan diharapkan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan non-fisik yang mendukung atau kondusif terhadap kesehatan masyarakat. 3. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health serice) adalah penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
yang
merupakan
tanggung jawab bersama antara pemberi dan penerima pelayanan orientasi pelayanan diarahkan dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek yang dapat memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya sendiri. Hal tersebut berarti pelayanan lebih diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat. 4. Meningkatkan keterampilan individu (increase individual skills). Kesehatan masyarakat adalah kesehatan yang terdiri atas kelompok, keluarga, dan individu. Kesehatan masyarakat terwujud apabila kesehatan kelompok, keluarga, dan individu terwujud. Oleh sebab itu, peningkatan keterampilan anggota masyarakat atau individu sangat penting untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat memelihara serta meningkatkan kualitas kesehatannya. 5. Memperkuat kegiatan masyarakat (strengthen community action), derajat kesehatan masyarakat akan terwujud secara efektif jika unsur-unsur yang terdapat di masyarakat tersebut bergerak sama-sama. Memperkuat kegiatan masyarakat berarti memberikan bantuan terhadap kegiatan yang sudah berjalan di masyarakat sehingga lebih dapat berkembang. Disamping itu, 57
tindakan
ini
memberi
kesempatan
masyarakat
untuk
berimprovisasi, yaitu melakukan kegiatan dan berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Pendekatan yang menyeluruh dalam pembangunan kesehatan dengan menggunakan lima ruang lingkup tersebut jauh lebih efektif dibanding dengan menggunakan pendekatan tunggal. Pendekatan melalui tatanan memudahkan
implementasi
penyelenggaraan
promosi
kesehatan. Peran serta masyarakat sangat penting untuk melestarikan berbagai upaya. Masyarakat harus menjadi subjek dalam promosi kesehatan dan pengambilan keputusan. Akses pendidikan dan informasi sangat penting untuk mendapatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat (Notoatmodjo, 2009).
F. Strategi Promosi Kesehatan Strategi
promosi
kesehatan
menurut
Notoatmodjo
(2005)
sebagaimana dikatakan bahwa perlu dilaksanakan strategi promosi kesehatan paripurna yang terdiri dari pemberdayaan, bina suasana, advokasi dan kemitraan.
1. Pemberdayaan Pemberdayaan
adalah
pemberian
informasi
dan
pendampingan dalam mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan, guna membantu individu, keluarga atau kelompokkelompok masyarakat menjalani tahap-tahap tahu, mau dan mampu mempraktikkan
PHBS.
Dalam
upaya
promosi
kesehatan,
pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang sangat penting dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan 58
mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice) (Notoatmodjo, 2005).
2. Bina suasana Bina suasana adalah pembentukan suasana lingkungan sosial yang kondusif dan mendorong dipraktikkannya PHBS serta penciptaan
panutanpanutan
dalam
mengadopsi
PHBS
dan
melestarikannya (Notoatmodjo, 2005). 3. Advokasi Advikasi adalah pendekatan dan motivasi terhadap pihakpihak tertentu yang diperhitungkan dapat mendukung keberhasilan pembinaan PHBS baik dari segi materi maupun non materi (Notoatmodjo, 2005).
Adapun strategi dasar untuk promosi kesehatan adalah sebagai berikut: 1. Advocate (Mengadvokasi) Kesehatan yang baik adalah sumber daya utama untuk pengembangan sosial, ekonomi dan pribadi dan dimensi penting kualitas hidup. Faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, perilaku dan biologis semuanya dapat mendukung kesehatan
atau
membahayakannya.
Tindakan
promosi
kesehatan bertujuan untuk membuat kondisi ini menguntungkan melalui advokasi untuk kesehatan. 2. Enabling (Mengaktifkan) Promosi
kesehatan
berfokus
pada
pencapaian
kesetaraan dalam kesehatan. Tindakan promosi kesehatan 59
bertujuan untuk mengurangi perbedaan dalam status kesehatan saat ini dan memastikan kesetaraan peluang dan sumber daya untuk memungkinkan semua orang mencapai potensi kesehatan sepenuhnya. Ini termasuk fondasi yang aman dalam lingkungan yang mendukung, akses ke informasi, keterampilan hidup dan peluang untuk membuat pilihan yang sehat. Orang tidak dapat mencapai potensi kesehatan sepenuhnya kecuali mereka mampu mengendalikan hal-hal yang menentukan kesehatan mereka. Ini harus berlaku sama untuk wanita dan pria. 3. Mediate (Menengahi) Prasyarat
dan
prospek
kesehatan
tidak
dapat
dipastikan oleh sektor kesehatan saja. Lebih penting lagi, promosi kesehatan menuntut tindakan terkoordinasi oleh semua pihak: oleh pemerintah, oleh kesehatan dan sektor sosial dan ekonomi lainnya, oleh organisasi non-pemerintah dan sukarela, oleh otoritas lokal, oleh industri dan oleh media. Orang-orang di semua lapisan masyarakat terlibat sebagai individu, keluarga, dan komunitas. Kelompok profesional dan sosial dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab besar untuk menengahi antara berbagai kepentingan dalam masyarakat untuk mencapai kesehatan. Strategi dan program promosi kesehatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemungkinan lokal masingmasing negara dan wilayah untuk memperhitungkan sistem sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda.
Selain itu, terdapat 3 elemen kunci promosi kesehatan (Kwok-Cho Tang, Robert Beaglehole, & Desmond O'Byrne): a.
Tata pemerintahan yang baik untuk kesehatan 60
Promosi kesehatan mensyaratkan para pembuat kebijakan di semua departemen pemerintah untuk menjadikan kesehatan sebagai garis pusat kebijakan pemerintah. Ini berarti mereka harus memasukkan implikasi kesehatan ke dalam semua keputusan yang mereka ambil, dan memprioritaskan kebijakan yang mencegah orang menjadi sakit dan melindungi mereka dari cedera. Kebijakan ini harus didukung oleh peraturan yang sesuai dengan insentif sektor swasta dengan tujuan kesehatan masyarakat. Misalnya, dengan menyelaraskan kebijakan pajak pada produk yang tidak sehat atau aktivitas yang mampu mendukung kesehatan yang optimal seperti olahraga, berjalan kaki dengan adanya trotoar, datau menciptakan area terbuka yang dapat digunakan oleh anak dan keluarga. b. Literasi kesehatan Orang-orang perlu memperoleh pengetahuan, keterampilan dan informasi untuk membuat pilihan yang sehat, misalnya tentang makanan yang mereka makan dan layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Mereka perlu memiliki kesempatan untuk membuat pilihan-pilihan itu. Masyarakat perlu diyakinkan tentang lingkungan di mana orang dapat menuntut tindakan kebijakan lebih lanjut untuk lebih meningkatkan kesehatan mereka. c. Kota sehat Kota-kota memiliki peran kunci dalam mempromosikan kesehatan yang baik. Kepemimpinan dan komitmen yang kuat di tingkat kota sangat penting untuk perencanaan kota yang sehat dan untuk membangun langkah-langkah pencegahan di masyarakat dan fasilitas perawatan kesehatan primer. Dari kota-kota sehat berkembanglah negara-negara sehat dan, pada akhirnya, dunia yang lebih sehat. 61
G. Upaya Promosi Kesehatan: a. Membangung Kebijakan Publik yang Sehat Promosi kesehatan melampaui perawatan kesehatan. Ini menempatkan kesehatan dalam agenda pembuat kebijakan di semua sektor dan di semua tingkatan, mengarahkan mereka untuk mengetahui konsekuensi kesehatan dari keputusan mereka dan untuk menerima tanggung jawab mereka terhadap kesehatan. Kebijakan
promosi
kesehatan
menggabungkan
beragam
pendekatan yang saling melengkapi termasuk perundang-undangan, langkah-langkah fiskal, perpajakan dan perubahan organisasi. Ini adalah tindakan terkoordinasi yang mengarah pada kebijakan kesehatan, pendapatan, dan sosial yang mendorong pemerataan. Aksi bersama berkontribusi untuk memastikan barang dan layanan yang lebih aman dan sehat, layanan publik yang lebih sehat, dan lingkungan yang lebih bersih dan menyenangkan. Kebijakan promosi kesehatan mensyaratkan identifikasi hambatan untuk adopsi kebijakan publik yang sehat di sektor non-kesehatan, dan cara menghilangkannya. Tujuannya harus membuat pilihan yang lebih sehat menjadi pilihan yang lebih mudah bagi pembuat kebijakan juga. b. Membuat Lingkungan yang Mendukung Masyarakat kita kompleks dan saling terkait. Kesehatan tidak dapat dipisahkan dari tujuan lain. Hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dan lingkungannya merupakan dasar bagi pendekatan sosioekologis terhadap kesehatan. Prinsip panduan keseluruhan untuk dunia, negara, wilayah dan komunitas sama, adalah kebutuhan untuk mendorong pemeliharaan timbal balik - untuk saling menjaga satu sama lain, komunitas kita dan lingkungan alam kita. Konservasi sumber daya alam di seluruh dunia harus ditekankan sebagai tanggung jawab global.
62
Mengubah pola hidup, bekerja dan bersantai memiliki dampak signifikan pada kesehatan. Pekerjaan dan liburan harus menjadi sumber kesehatan bagi orang-orang. Cara masyarakat mengatur pekerjaan harus membantu menciptakan masyarakat yang sehat. Promosi kesehatan menghasilkan kondisi hidup dan kerja yang aman, menstimulasi, memuaskan, dan menyenangkan. Penilaian sistematis terhadap dampak kesehatan dari lingkungan yang berubah dengan cepat - terutama di bidang teknologi, pekerjaan, produksi energi dan urbanisasi - sangat penting dan harus diikuti oleh tindakan untuk memastikan manfaat positif bagi kesehatan masyarakat. Perlindungan lingkungan alami dan buatan dan konservasi sumber daya alam harus diperhatikan dalam strategi promosi kesehatan apa pun.
c. Memperkuat Aksi Komunitas Promosi kesehatan bekerja melalui aksi masyarakat yang konkret dan efektif dalam menetapkan prioritas, membuat keputusan, merencanakan strategi, dan mengimplementasikannya untuk mencapai kesehatan yang lebih baik. Inti dari proses ini adalah pemberdayaan masyarakat - kepemilikan dan kendali mereka atas usaha dan nasib mereka sendiri. Pengembangan masyarakat mengacu pada sumber daya manusia dan material yang ada di masyarakat untuk meningkatkan swadaya dan dukungan sosial, dan untuk mengembangkan sistem yang fleksibel untuk memperkuat partisipasi publik dalam dan arah masalah kesehatan. Ini membutuhkan akses penuh dan berkelanjutan ke informasi, peluang belajar untuk kesehatan, serta dukungan pendanaan.
63
d. Mengembangkan Keterampilan Pribadi Promosi kesehatan mendukung pengembangan pribadi dan sosial melalui penyediaan informasi, pendidikan untuk kesehatan, dan peningkatan keterampilan hidup. Dengan melakukan hal itu, ia meningkatkan pilihan yang tersedia bagi orang untuk melakukan kontrol lebih besar atas kesehatan mereka sendiri dan atas lingkungan mereka, dan untuk membuat pilihan yang kondusif bagi kesehatan. Memungkinkan orang untuk belajar, sepanjang hidup, untuk mempersiapkan diri untuk semua tahapannya dan untuk mengatasi penyakit kronis dan cedera adalah penting. Ini harus difasilitasi dalam pengaturan sekolah, rumah, pekerjaan dan masyarakat. Diperlukan tindakan melalui badan pendidikan, profesional, komersial dan sukarela, dan di dalam lembaga itu sendiri. e. Reorientasi Pelayanan Kesehatan Tanggung jawab untuk promosi kesehatan dalam layanan kesehatan dibagi di antara individu, kelompok masyarakat, profesional kesehatan, lembaga layanan kesehatan dan pemerintah. Mereka harus bekerja bersama menuju sistem perawatan kesehatan yang berkontribusi untuk mengejar kesehatan. Peran sektor kesehatan harus semakin bergerak ke arah promosi kesehatan, di luar tanggung jawabnya untuk menyediakan layanan klinis dan kuratif. Layanan kesehatan perlu merangkul mandat yang diperluas yang peka dan menghormati kebutuhan budaya. Mandat ini harus mendukung kebutuhan individu dan masyarakat untuk kehidupan yang lebih sehat, dan membuka saluran antara sektor kesehatan dan komponen lingkungan sosial, politik, ekonomi dan fisik yang lebih luas. Reorientasi layanan kesehatan juga membutuhkan perhatian yang lebih kuat untuk penelitian kesehatan serta perubahan dalam pendidikan dan pelatihan profesional. Ini harus mengarah pada 64
perubahan sikap dan organisasi layanan kesehatan yang memfokuskan kembali pada total kebutuhan individu sebagai manusia seutuhnya.
f. Bersipa untuk berpindah ke masa depan Kesehatan diciptakan dan dijalani oleh orang-orang dalam lingkungan kehidupan sehari-hari mereka; tempat mereka belajar, bekerja, bermain, dan cinta. Kesehatan diciptakan dengan merawat diri sendiri dan orang lain, dengan mampu mengambil keputusan dan mengendalikan keadaan kehidupan seseorang, dan dengan memastikan bahwa masyarakat tempat tinggalnya menciptakan kondisi yang memungkinkan pencapaian kesehatan oleh semua anggotanya. Peduli, holisme dan ekologi adalah masalah penting dalam mengembangkan strategi untuk promosi kesehatan. Oleh karena itu, mereka yang terlibat harus mengambil prinsip panduan bahwa, dalam setiap tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi kegiatan promosi kesehatan, perempuan dan laki-laki harus menjadi mitra yang setara.
H. Penentu Kesehatan (Determinants of Health) Penentu kesehatan merupakan kondisi mendasar dan merupakan sumber daya untuk kesehatan manusia. Penentu kesehatan ini diantaranya adalah: perdamaian, berlindung, pendidikan, makanan, pendapatan, ekosistem yang stabil, sumber daya berkelanjutan, keadilan sosial, dan kesetaraan. Terdapat beberapa hal yang menentukan kesehatan mereka, dimana hal tersebut dapat berdampak baik atau buruk pada seorang individu. Individu tidak mungkin dapat langsung mengendalikan banyak faktor penentu kesehatan. Oleh karena itu dibutuhkan peran serta sejumlah stakeholder atau yang berkenpentingan untuk mencari solusi bersama. Selain itu, banyak faktor yang saling terkait satu sama lain yang untuk memengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Kondisi orang sehat atau 65
tidak, ditentukan oleh keadaan dan lingkungan mereka. Sebagian besar, faktor-faktor seperti di mana tempat tinggal, keadaan lingkungan, genetika, tingkat pendapatan dan pendidikan, dan hubungan personal sosial dengan teman dan keluarga semuanya memiliki dampak besar pada kesehatan. Faktor-faktor penentu kesehatan meliputi: a. lingkungan sosial dan ekonomi, b. lingkungan fisik, dan c. karakteristik dan perilaku individu orang tersebut. Berikut ini penjelasan terkait beberapa hal yang berhubungan dengan determinants of health: a. Pendapatan dan status sosial - pendapatan yang lebih tinggi dan status sosial terkait dengan kesehatan yang lebih baik. Semakin besar kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, semakin besar perbedaan dalam kesehatan. b. Pendidikan - tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kesehatan yang buruk, lebih banyak stres dan kepercayaan diri yang lebih rendah. c. Lingkungan fisik - air bersih dan udara bersih, tempat kerja yang sehat, rumah yang aman, masyarakat dan jalan semuanya berkontribusi terhadap kesehatan yang baik. Pekerjaan dan kondisi kerja - orang-orang dalam pekerjaan lebih sehat, terutama mereka yang memiliki kontrol lebih besar atas kondisi kerja mereka d. Jaringan dukungan sosial - dukungan yang lebih besar dari keluarga, teman, dan masyarakat terkait dengan kesehatan yang lebih baik. Budaya - adat dan tradisi, dan kepercayaan keluarga dan masyarakat semuanya memengaruhi kesehatan. e. Genetika - warisan berperan dalam menentukan umur, kesehatan, dan kemungkinan mengembangkan penyakit tertentu. Perilaku 66
pribadi dan keterampilan koping - makan seimbang, tetap aktif, merokok, minum, dan bagaimana kita menghadapi tekanan dan tantangan hidup, semuanya memengaruhi kesehatan. f. Layanan kesehatan - akses dan penggunaan layanan yang mencegah dan mengobati penyakit mempengaruhi kesehatan g. Gender (Jenis Kelamin). Terdpat beberapa pria atau wanita yang rentan menderita berbagai jenis penyakit tertentu pada usia yang berbeda
I. Tahapan Promosi Kesehatan a. Planning Tinjauan perencanaan dan evaluasi program Kit sumber daya promosi kesehatan terpadu departemen ini menjelaskan kerangka kerja perencanaan umum untuk program yang berhasil perencanaan dan evaluasi. Komponen-komponen ini adalah: • pengaturan visi • pengaturan prioritas dan definisi masalah • pembuatan solusi • pembangunan kapasitas (dukungan dan sumber daya) • perencanaan untuk evaluasi dan diseminasi Terdapat Enam langkah untuk merencanakan program promosi kesehatan: 1. LANGKAH 1: Mengelola Proses Perencanaan Tujuan: untuk mengembangkan rencana untuk mengelola partisipasi pemangku kepentingan, jadwal, sumber daya, dan
67
menentukan metode untuk pengumpulan data, interpretasi, dan pengambilan keputusan. Rencanakan untuk melibatkan pemangku kepentingan, termasuk klien dan staf, dengan cara yang berarti. Menetapkan garis waktu yang jelas untuk membuat rencana kerja. Rencanakan bagaimana Anda akan mengalokasikan sumber daya keuangan, material, dan manusia. Pertimbangkan data yang diperlukan untuk membuat keputusan pada setiap langkah
dan
sertakan
waktu
yang
memadai
untuk
pengumpulan dan interpretasi data. Menetapkan proses pengambilan keputusan yang jelas. (mis., melalui konsensus, oleh komite. 2. LANGKAH 2: Melakukan penilaian situasi Tujuan: untuk mempelajari lebih lanjut tentang populasi yang diminati, tren, dan isu-isu yang dapat memengaruhi implementasi, termasuk keinginan, kebutuhan, dan aset masyarakat. Langkah ini melibatkan identifikasi: apa situasinya; apa yang membuat situasi lebih baik dan apa yang membuatnya lebih buruk; dan tindakan apa yang dapat Anda ambil untuk mengatasi situasi tersebut. Gunakan beragam jenis data (mis. Indikator status kesehatan masyarakat, cerita / kesaksian; temuan evaluasi; pedoman "praktik terbaik"), sumber data (mis. Perusahaan polling; organisasi masyarakat / mitra; peneliti; pemerintah; sektor swasta); dan metode pengumpulan data (mis. wawancara pemangku kepentingan atau kelompok fokus; survei; tinjauan pustaka; tinjauan temuan evaluasi sebelumnya atau mandat / kebijakan pemangku kepentingan).
68
3. Langkah 3: Identifikasi tujuan, populasi, hasil dan tujuan hasil Tujuan: untuk menggunakan hasil penilaian situasional untuk menentukan tujuan, populasi yang menarik, hasil dan tujuan hasil. Pastikan sasaran program, populasi yang menarik, dan sasaran hasil diselaraskan dengan arahan strategis organisasi atau kelompok Anda: -
goal: pernyataan luas yang memberikan arahan keseluruhan untuk suatu program selama periode waktu yang panjang.
-
populasi yang diminati: kelompok atau kelompok yang membutuhkan perhatian khusus untuk mencapai tujuan Anda
-
tujuan akhir: pernyataan singkat yang menetapkan perubahan yang diinginkan yang disebabkan oleh program.
Sebagian besar program promosi kesehatan akan memiliki satu tujuan, walaupun program yang lebih kompleks mungkin memiliki lebih dari satu. Tujuan menggambarkan cara-cara untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tunjuan menggambarkan apa yang berubah dan dan yang harus terjadi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dan apa yang ingin dicapai oleh program segera setelahnya sesuatu dilaksanakan. Oleh karena itu, penting agar tujuan dibuat dengan jelas dan singkat. Tujuan membahas faktor-faktor yang menyebabkan atau berkontribusi pada masalah kesehatan prioritas yang tercakup dalam tujuan. Analisis yang cermat terhadap faktor-faktor penentu prioritas masalah kesehatan adalah titik awal untuk mengembangkan tujuan. Tujuan program dievaluasi dengan 69
evaluasi dampak. Untuk mengembangkan tujuan yang baik yang akan memandu pengembangan dan evaluasi program adalah untuk memastikannya adalah SMART: a. Specific (Spesifik (jelas dan tepat)) b. Measureable (Terukur (dapat untuk dievaluasi)) c. Achievable ( dapat diraih/realistis) d. Relevant ( relevan dengan masalah kesehatan, kelompok populasi, individu target) e. Time (waktu (kerangka waktu untuk mencapai tujuan yang ingin diraih)
Menulis sasaran program Perencanaan untuk tindakan promosi kesehatan terpadu harus dimulai dengan memperjelas prioritas luas dan menggunakannya untuk mengembangkan sasaran dan sasaran program. Menulis sasaran dan sasaran adalah dasar untuk memandu proses evaluasi. Dalam mengukur dampak dan hasil program, penting untuk melihat kembali tujuan dan sasaran program semula yang sudah direncanakan. Sasaran program dievaluasi dalam evaluasi hasil. 4. Langkah 4: Identifikasi strategi, aktivitas, output, tujuan dan sumber daya proses Tujuan: untuk menggunakan hasil penilaian situasional untuk memilih strategi dan kegiatan, layak dengan sumber daya yang tersedia, yang akan berkontribusi pada sasaran dan sasaran hasil Anda. Strategi
curah
pendapat
(mis.
Pendidikan
kesehatan,
komunikasi kesehatan, perubahan organisasi, pengembangan kebijakan) untuk mencapai tujuan menggunakan satu atau 70
lebih kerangka kerja promosi kesehatan seperti Piagam Ottawa untuk
Promosi
Kesehatan
atau
model
sosioekologis.
Prioritaskan gagasan dengan menerapkan hasil penilaian situasional. Identifikasi kegiatan spesifik untuk setiap strategi, termasuk kegiatan yang ada untuk memulai, berhenti, dan melanjutkan. Pilih output dan kembangkan tujuan proses. Pertimbangkan sumber daya keuangan, manusia, dan natura yang tersedia.
5. Langkah 5: Mengembangkan indikator Tujuan: untuk mengembangkan daftar variabel yang dapat dilacak untuk menilai sejauh mana hasil dan tujuan proses telah dipenuhi. Untuk setiap hasil dan tujuan proses, pertimbangkan hasil yang diinginkan dan apakah: hasil yang diinginkan dapat dibagi menjadi komponen yang terpisah; hasil yang diinginkan dapat diukur; ada waktu yang tepat untuk mengamati hasil; sumber data yang diperlukan dapat diakses; dan sumber daya yang dibutuhkan untuk menilai hasilnya tersedia. Tetapkan indikator untuk mengukur setiap hasil dan proses objektif dan lakukan pemeriksaan kualitas pada indikator yang diusulkan memastikan mereka valid, dapat diandalkan, dan dapat diakses. Indikator digunakan untuk menentukan sejauh mana hasil dan tujuan proses dipenuhi.
6. Langkah 6: Review rencana program Tujuan: untuk mengklarifikasi kontribusi masing-masing komponen rencana dengan tujuannya, mengidentifikasi kesenjangan, memastikan sumber daya yang memadai, dan 71
memastikan konsistensi dengan temuan penilaian situasional. Model logika adalah penggambaran grafis dari hubungan antara semua bagian dari suatu program (yaitu, tujuan, sasaran, populasi, strategi, dan kegiatan) dan merupakan salah satu cara di mana gambaran umum program dapat dikomunikasikan. Tinjau
rencana
untuk
menentukan
apakah:
strategi
berkontribusi secara efektif terhadap sasaran dan sasaran; tujuan jangka pendek berkontribusi pada tujuan jangka panjang; kegiatan terbaik dipilih untuk memajukan strategi; kegiatan sesuai untuk audiens; dan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan kegiatan
Implementasi [1] Partnership/Kemitraan dan Cappacity Building Kemitraan memegang peran yang juga sangat penting untuk pelaksanaan promosi kesehatan, misalnya, mulai dari pendidikan pasien hingga perumusan bersama kebijakan nasional. Definisi kemitraan dapat berupa cara-cara bekerja bersama yang meliputi: aliansi, jaringan, kerjasama, kolaborasi, koalisi, multi-sektoral, antar-sektoral. Ada beberapa definisi kemitraan lainnya namun yang pasti adalah kemitraan dilakukan untuk kesehatan adalah bahwa dengan bermitra dapat memudahkan dalam pencapain tujuan dibandingkan dengan bekerja sendiri. Kemitraan ini perlu bekerja secara sinergi dimana berarti kemitraan menggabungkan kekuatan, perspektif, sumber daya, dan keterampilan semua mitra dalam mencari solusi yang lebih baik.
Membangun kapasitas orang lain, baik dalam peran memimpin atau mendukung, juga merupakan bagian penting dari 72
praktik promosi kesehatan dan memberikan kontribusi pada transformasi layanan dan perubahan sosial. Pendekatan kemitraan sebaiknya dilakukan melalui sejumlah bidang yang berbeda termasuk pelatihan dan pendidikan, kebijakan dan kerangka kerja, pemasaran
dan
advokasi
sosial,
penelitian
dan
evaluasi,
pengembangan dan implementasi program, dan kemitraan dengan sektor lain. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, promosi kesehatan difokuskan untuk mempengaruhi faktor-faktor penentu kesehatan dan mengurangi kesenjangan kesehatan. pendekatan antar-sektoral atau kemitraan yang melibatkan stakeholder perlu dilakukan karena faktor penentu kesehatan adalah sebagian banyak berasal di luar kesehatan. Perlunya kemitraan efektif yang bekerja untuk meningkatkan kesehatan dalam berbagai bentuk dan ukuran dan dapat bersifat formal atau informal. Pada satu sisi, kemitraan dapat memiliki hingga banyak anggota dan di sisi lain, kemitraan dapat melibatkan sedikit orang yang bekerja pada proyek peningkatan kesehatan. [3] Pelatihan dan Pendidikan Prioritas utama untuk promosi kesehatan adalah membangun kapasitas staf layanan kesehatan dan lainnya untuk meningkatkan kesehatan. Ini terjadi melalui program pelatihan dan pendidikan serta pengembangan dan dukungan yang berkelanjutan.Pelatihan dan pendidikan diberikan sebagai bagian dari rangkaian intervensi yang membahas berbasis individu, kelompok, dan populasi Tujuan dari intervensi ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, self-efficacy dan kapasitas individu untuk berubah. Selanjutnya, pendidikan dan proses pelatihan, dengan sendirinya,
berkontribusi
pada
pengembangan
pribadi
dan 73
profesional individu, masyarakat dan organisasi melalui keterlibatan berkelanjutan mereka selama beberapa hari, minggu atau bulan. Dampak maksimal dari pelatihan, pendidikan dan pengembangan berkelanjutan
dicapai
ketika
intervensi
relevan,
dihargai,
partisipatif, dan dapat dicapai untuk semua Peserta.
[4] Kebijakan Pendekatan kebijakan untuk promosi kesehatan telah terbukti menjadi salah satu cara paling efektif untuk mencapai perubahan. Untuk mengurangi ketidaksetaraan pada kesehatan, perubahan paling baik dilakukan dengan mengubah kebijakan dan lingkungan yang
memiliki
dampak
terbesar
pada
kehidupan
dengan
ketidaksetaraan kesehatan
[5] Social Marketing Social marketing adalah proses yang menerapkan prinsip dan teknik pemasaran untuk menciptakan, menyebarkan dan memberikan informasi, untuk mempengaruhi perilaku target audiens yang bermanfaat bagi masyarakat dalam promosi kesehatan berarti berkaitan dengan keseheatan individu, keluarga, dan masyarakat. Promosi kesehatan menggabungkan pendekatan pemasaran sosial untuk mempengaruhi dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Social marketing pada promosi kesehatan tidak hanya sekedar upaya untuk meningkatkan kesadaran, memberikan informasi atau perubahan tingkah laku. Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan kampanye dimana memilki tujuan terukur yang bertujuan untuk mendukung dan mendorong kelompok populasi 74
tertentu di dalamnya untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup mereka, dan untuk mengurangi kesenjangan kesehatan. Penting untuk mengkomunikasikan kampanye yang efektif dengan pesan yang jelas serta dengan tujuan dan metode yang jelas agar masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang gaya hidup kelompok populasi, lingkungan di mana mereka tinggal dan bekerja, yang akan mendukung dan memotivasi mereka untuk melakukan perubahan positif, bagi kesehatan mereka
[6] Advokasi Advokasi adalah upaya untuk mempengaruhi hasil, termasuk kebijakan publik dan keputusan alokasi sumber daya yang secara langsung memengaruhi kehidupan masyarakat saat ini. Faktorfaktor politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, perilaku dan biologis semuanya merupakan faktor penentu kesehatan. Penentu kesehatan, sebagian besar, diciptakan melalui keputusan dan tindakan yang diambil oleh Pemerintah, organisasi dan individu. Oleh karena itu, penting bagi praktisi yang ingin meningkatkan kesehatan, menemukan cara untuk mempengaruhi keputusan ini melintasi berbagai sektor, baik secara langsung atau secara tidak langsung melalui advokasi. Advokasi sangat berperan dalam mempengaruhi atau mendukung kebijakan publik serta dalam mengembangkan dan memfasilitasi kemitraan antara berbagai kepentingan dalam masyarakat untuk mendapatkan manfaat kesehatan, sehingga memungkinkan individu dan masyarakat untuk mencapai potensi penuh terhadap kesehatan mereka. Agar pelaksanaan avokasi berjalan secara fektif, advokasi kesehatan harus direncanakan, menggunakan strategi berdasarkan analisis yang sistematis. Harus 75
ada advokasi yang efektif dan yang berfokus hingga pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem pengambilan keputusan. Adapun metode
advokasi
yang
dapat
digunakan
mencakup
lobi,
pengembangan strategi, pembangunan kemitraan, serta advokasi media.
[7] Penelitian dan Evaluasi Dalam promosi kesehatan, penelitian diperlukan karena merupakan bukti yang diperoleh untuk mendukung, menolak atau memodifikasi
teori,
menjelaskan
pola
perilaku,
dan
mengembangkan intervensi yang sesuai berdasarkan data yang diperleh di lapangan. Tujuan utama dari semua penelitian kesehatan adalah untuk memahami dan kemudian meningkatkan kesehatan individu dan masyarakat. Sementara, evaluasi dalam promosi kesehatan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana sebuah program kesehatan berjalan, bagaiman keberhasilannya, apakah memerlukan umpan balik, dan untuk memaparkan laporan pertanngugngjawaban sebuha kegiatan yang tentunya disertai dengan bukti. Agar evaluasi yang efektif dapat berjalan maka diperlukan adanya pemaparan tujuan yang jelas dan metode yang tepat untuk mengukur keberhasilan program promosi kesehatan.
b.
Evaluasi Terdapat tiga jenis evaluasi: proses, dampak, dan hasil. 1. Evaluasi
proses
digunakan
untuk
menilai
unsur-unsur
pengembangan dan penyampaian program, yaitu kualitas, kesesuaian dan jangkauan program. Jenis evaluasi ini dapat digunakan selama masa program, mulai dari perencanaan 76
hingga akhir pelaksanaan. Selama tahap perencanaan dan uji coba, proses evaluasi akan fokus pada kualitas dan kesesuaian bahan dan pendekatan yang dikembangkan.
Setelah
program
berada
dalam
tahap
implementasi, proses evaluasi dapat dilakukan yang berguna untuk mengujur program dan tingkat implementasi semua aspek program, dan dalam mengidentifikasi potensi atau masalah yang muncul sehingga dapat dengan cepat diselesaikan dengan dampak minimal pada program. 2. Evaluasi dampak digunakan untuk mengukur dampak program langsung dan, oleh karena itu, dapat digunakan pada penyelesaian tahapan implementasi (yaitu, setelah sesi, pada interval bulanan dan / atau pada saat penyelesaian program). Jenis evaluasi ini menilai sejauh mana tujuan program dipenuhi. Karena itu, penting agar sasaran program dikembangkan dan ditulis dengan cara yang memungkinkan penilaian kemudian tentang apakah dan sejauh mana mereka telah dicapai. Dampak didefinisikan sebagai, efek langsung yang dihasilkan dari sebuah program promosi kesehatan terhadap manusia, pemangku kepentingan dan pengaturan untuk mempengaruhi faktor penentu kesehatan. Program promosi kesehatan mungkin memiliki kisaran efek langsung pada individu dan pada pengaturan sosial dan fisik. ’Programprogram promosi kesehatan terpadu harus menentukan indikator dampak, memberikan pernyataan yang lebih konkret tentang perubahan yang ingin dicapai dalam tujuan. Indikatorindikator ini harus menentukan jenis perubahan yang diharapkan dan persentase orang atau pengaturan dimana perubahan itu diantisipasi. 77
3. Evaluasi hasil digunakan untuk mengukur dampak jangka panjang dari program dan terkait dengan penilaian tentang apakah, atau sejauh mana, tujuan program telah tercapai. Efek jangka panjang mungkin termasuk pengurangan insiden atau prevalensi kondisi kesehatan, perubahan angka kematian, perubahan perilaku berkelanjutan, atau peningkatan kualitas hidup, keadilan atau keadaan lingkungan. Sumber daya ini berfokus pada proses (jangkauan) dan evaluasi dampak. Sedangkan agensi / organisasi / kemitraan tidak diperlukan untuk melakukan evaluasi hasil, mereka didorong untuk mendokumentasikan setiap temuan hasil yang relevan jika memungkinkan.
78
BAB V KONSEP DASAR KEPERAWATAN KOMUNITAS
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
A. Definisi Komunitas Menurut World Health Organization (1974) dalam Harnilawati (2013) komunitas sebagai suatu kelompok sosial yang ditentukan oleh batas-batas wilayah, nilai-nilai keyakinan dan minat yang sama, serta ada rasa saling mengenal dan interaksi antara anggota masyarakat yang satu dan yang lainnya. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2009) yang dikutip oleh Swarjana (2016) komunitas yang sehat didefinisikan sebagai salah satu yang terus-menerus menciptakan dan meningkatkan lingkungan fisik dan sosial, membantu orang-orang untuk mendukung satu sama lain dalam aspek kehidupan sehari-hari dan untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Laverack (2009) dalam (Sines, et al., 2013) mengemukakan empat karakteristik utama komunitas yang merangkum berbagai definisi yang ditemukan dalam beberapa literatur yaitu:
Dimensi spasial - mengacu pada tempat atau lokasi 79
Minat, isu atau identitas yang dimiliki kelompok heterogen
Interaksi sosial yang seringkali kuat di alam dan mengikat orang ke dalam hubungan atau ikatan yang kuat satu sama lain
Kebutuhan dan kepentingan bersama yang bisa ditangani secara kolektif dan tindakan kolaboratif.
Mengistu (2006) mengemukakan terdapat 3 (tiga) fitur utama dari keperawatan komunitas yaitu lokasi, populasi dan sosial sistem. Ketiga komponen itu saling terkait satu sama lain, dimana lokasi mempengaruhi suatu komunitas dalam melakukan aktifitas kesehariannya dalam hal ini bergantung pada kondisi geografis dan layanan kesehatan yang berada di tempat mereka tinggal. Selanjutnya populasi, dimana terdapat berbagai macam individu tetapi menjadi suatu kesatuan dalam konteks komunitas, dan sistem sosial yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan interkasi di masyarakat sistem kesehatan, sistem keluarga, sistem pendidikan dan sistem ekonomi. St John (1998: 63) dalam (Sines, et al., 2013) mewawancarai perawat masyarakat yang menjelaskan sifatnya komunitas tempat mereka bekerja dalam hal 'geografi; penyediaan sumber daya; jaringan dan kelompok sasaran. Beberapa perawat menggambarkan komunitas mereka sebagai 'klien', di mana anggota masyarakat terhubung. Jika sebuah populasi tidak terhubung, perawat mendefinisikan komunitas sebagai elemen terbesar berikutnya yang terhubung seperti kelompok atau keluarga. Akan terlihat bahwa definisi masyarakat sering mencakup dimensi orang, geografi atau ruang; elemen, hubungan atau kepentingan bersama; dan menggabungkan beberapa bentuk interaksi. Keperawatan kesehatan komunitas adalah area pelayanan keperawatan professional
yang
bersifat
holistic
(bio-psiko-sosial-spritual)
dan
difokuskan pada kelompok resiko tinggi yang bertujuan meningkatkan 80
derajat kesehatan melalui upaya promotif, preventif dan tidak mengabaikan kuratif, dan rehabilitative dengan melibatkan komunitas sebagai dalam menyelsaikan suatu masalah (Stanhope & Lancaster, 2016). Keperawatan kesehatan komunitas bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan serta memberikkan intervensi keperawatan sebagai dasar untuk membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalamh mengatasi masalah kesehatan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-sehari (Efendi & Makhfudli, 2009). Berbagai definisi keperawatan komunitas telah dikemukakan oleh organisasi-organisasi professional. Pada tahun 2004, American Nurses Association (ANA) mendefinisikan keperawatan komunitas sebagai upaya meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dari populasi dengan keterampilan dan pengetahuan berdasarkan keperawatan dan kesehatan masyarakat.
Praktik
keperawatan
komunitas
dilakukan
secara
komprehensif, umum (tidak terbatas pada kelompok tertentu), dan bersifat kontinyu atau berkelanjutan. Menururt American Public Health Association (2004) keperawatan kesehatan komunitas merupakan sintesis ilmu kesehatan masyarakat dan teori keperawatan professional yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan pada keseluruhan komunitas. Definisi keperawatan kesehatan masyarakat menurut Depkes (2006), yaitu suatu bidang dalam keperawatan kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatana masyarakat dengan dukungan serta peran aktif masyarakat yang menitikberatkan pada pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara holistic dan terpadu. Upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal dilakukan melalui tindakan promotif, preventif pada semua tingkat pencegahan dengan menjamin terjangkaunya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai mitra kerja dalam perencanaan, pelaksanaan, dan 81
evaluasi pelayanan keperawatan. Mengistu (2006) mendefinisikan bahwa perawat komunitas merupakan sintesis ilmu keperawatan dan kesehatan masyarakat yang diterapkan untuk mempromosikan dan melindungi kesehatan populasi dalam hal ini dengan menggabungkan semua elemen dasar profesional keperawatan, keperawatan klinis dan teori keperawatan dengan praktik kesehatan masyarakat untuk berperan serta dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Tujuan pelayanan perkesmas adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah perkesemas secara optimal, hal ini berbeda dengan pelayanan kesehatan dalam konteks perawatan akut yang lebih berfokus pada penyembuhan suatu penyakit dan bagaimana intervensi untuk mengurangi suatu gejala dari suatu penyakit. Pelayanan keperawatan diberikan secara langsung kepada seluruh masyarakat pada rentang sehatsakit dengan mempertimbangkan seberapa jauh masalah kesehatan tersebut mempengaruhi individu, keluarga, kelompok, amupun masyarakat. Adapun sasaran perkesmas yaitu seluruh komponen masyarakat yang terdiri atas individu, keluarga, dan kelompok yang berisiko tinggi termasuk kelompok atau penduduk di daerah kumuh, terisolasi, berkonflik dan daerah yang tidak terjangkau dari pelayanan kesehatan. (Efendi & Makhfudli, 2009). Tabel berikut menunjukkan perbedaan mendasar antara konteks perawatan akut dan konteks perawatan berbasis komunitas.
Tabel 1: Perbandingan antara perawatan akut dan perawatan berbasis komunitas (Mengistu, 2006) Konsep
Perawatan akut
Perawatan komunitas
Perawatan Klien
Klien atau pasien
Klien terlihat di dalam
terpisah dari keluarga
konteks keluarga dan masyarakat
82
Lingkungan
Ditandai
dengan Lingkungan
lingkungan
berbagi
ruang bersama
perawatan,
dengan
Kamar keluarga dan
terstandarisasi,
masyarakat. Klien
akses keluarga dan tidak terlepas klien
dibatasi
oleh dari
oleh
lingkungan
sekitarnya
fasilitas/pihak
yang
terkait Kesehatan
Fokus
kesehatan Fokus kesehatan yaitu
adalah
untuk untuk
memaksimalkan
menghilangkan/meng
fungsi
obati
dan kualitas hidup.
penyakit.
Perawat
Perawata
menerima Praktek otonomi
kegiatan
yang dengan intervensi
sebagian besar didelegasikan
yang diputuskan secara oleh terpisah
dokter,
bergantung pada nilai-
berpusat pada
nilai
pengobatan penyakit,
atau di pegang oleh klien
yang
dipercayai
dan intervensi dapat diprediksi.
Perawat komunitas berperan dalam mempromosikan dn melindungi kesehatan populasi melalui upaya pencegahan penyakit dan terjadinya cedera, peningkatan disabilitas dan upaya promosi kesehatan di komunitas. Dalam menjalankan perannya tersebut, perawat komunitas memiliki beberapa elemen praktik (WHO, 2017) diantaranya:
83
1. Mengkaji kebutuhan pada populasi/komunitas secara keseluruhan dimana dalam proses pegkajian ini dilakukan secara sistematis. Pengkajian tidak hanya dilakukan pada komunitas, tetapi juga kepada ke keluarga dan individu yang secara tidak langsung akan mendapatkan manfaat dari program promosi kesehatan, atau pada mereka yang berisiko terkena penyakit, cedera atau bahkan kematian. 2. Mengidentifikasi dan mengartikulasi sejumlah hal dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan di komunitas 3. Memberikan solusi atau membantu pemcahan masalah kesehatan yang terkait dengan bio-psiko-sosio-spiritual pada keluarga, individu melalui program kesehatan melalui kolaborasi antar sesama petugas kesehatan dan menggali dan mengidentifikasi sejumlah sumber daya yang dapat membantu peningkatan kesehatan 4. Mengimplementasikan segala perencanaan dan kebijakan secara efektif 5. Mengevaluasi
program
keperawatan
komunitas
yag
sudah
dijalankan dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan individu, keluarga dan komunitas 6. Menjalankan riset keperawatan, memberikan pelayanan secara maksimal berdasarkan dari hasil evaluasi yang telah dijalankan. B. Komponen Keperawatan Komunitas Transisi di bidang kesehatan perawatan dan partisipasi konsumen telah membawa beberapa perubahan arah pelayanan kesehatan. Komponen keperawatan berbasis komunitas yaitu perawatan diri, perawatan kesehatan preventif,
berkaitan
dengan
konteks
masyarakat,
perawatan
kesinambungan, dan perawatan kolaboratif (Hunt, 2009). 1. Self-Care : Tanggung Jawab Klien dan Keluarga 84
Gerakan konsumen dalam beberapa dekade terakhir telah meningkatkan kesadaran pentingnya perawatan diri. Nilai merawat diri untuk tetap sehat, daripada mengabaikan kesehatan, dengan konsekuensi sakit atau cedera, telah menjadi gagasan yang lebih diterima.
Program
penanganan
stres,
gizi,
olahraga
dan kebugaran, serta penghentian merokok dan pencegahan dan pengobatan penyalahgunaan zat, adalah contoh bagaimana perilaku pencarian kesehatan mengambil peran yang lebih menonjol dalam perawatan kesehatan. Self-care juga terlihat dalam penanganan penyakit. Program pengelolaan penyakit mulai mencakup pelayanan di seluruh rangkaian perawatan. Self-care membebankan klien individual dan keluarga dengan tanggung jawab utama untuk keputusan dan tindakan perawatan kesehatan. Karena perawatan kesehatan semakin banyak dilakukan di luar perawatan akut, dengan merancang klien, keluarga, atau pengasuh lainnya, seperti teman atau tetangga, lebih peduli daripada profesional perawatan kesehatan. Memberdayakan individu untuk membuat keputusan perawatan kesehatan yang tepat merupakan komponen penting self-care. Salah satu contohnya adalah arahan awal yang memungkinkan klien berpartisipasi dalam keputusan tentang perawatan mereka, termasuk hak untuk menolak perawatan. Salah satunya yaitu kehendak hidup, yang merupakan pernyataan klien mengenai perawatan medis yang dia gunakan untuk menghilangkan atau menolak jika klien tidak dapat mengambil keputusan tersebut untuk dirinya sendiri. Perawat memainkan peran penting dalam memastikan bahwa klien dan keluarga diberi tahu tentang masalah penting ini. Meskipun keperawatan berbasis komunitas memberi kesempatan untuk melakukan intervensi langsung, namun juga memerlukan pengajaran 85
perawatan mandiri untuk klien dan perawat. Peran perawat dalam memfasilitasi self-care atau perawatan diri memerlukan proses keperawatan. 2. Asuhan keperawatan berfokus pada pencegahan. Dalam praktik kesehatan komunitas, pencegahan adalah hal utama. Pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan. Pencegahan mengandung makna antisipasi dan mencegah terjadinya masalah atau menemukan masalah sedini mungkin, untuk dapat meminimalkan potensi kecacatan dan kelemahan. Hal ini juga berarti bahwa pencegahan ditujukan untuk menghentikan dan mengendalikan penyakit sebelum suatu penyakit muncul atau sebelum suatu penyakit memperburuk suatu kondisi yang sudah ada (Mengistu, 2006). Tindakan pencegahan dapat dibagi menjadi tiga level, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer adalah pencegahan untuk orang-orang yang masih sehat. Pencegahan sekunder dilakukan ketika telah ditemukan sakit atau pencegahan bagi orang yang telah didiagnosis sakit dan diberikan treatment atau pengobatan. Diagnosis dini atau early diagnosis adalah salah satu kuncinya, sehingga lebih awal dapat diberikan tindakan yang tepat. Pencegahan tersier adalah pencegahan berupa pemulihan atau sering dikenal dengan tindakan rehabilitatif. Lebih lanjut ketiga level pencegahan ini berikut contohnya sebagai berikut:
Pencegahan primer: pencegahan suatu penyakit sebelum berkesempatan untu muncul dan berkembang, misalnya melalui vaksinasi atau imunisasi, makan makanan yang bergizi, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari
rokok
dan
alkohol,
manajemen
stress,
menggunakan semprotan nyamuk, dan sebagainya. 86
Pencegahan sekunder: pencegahan dengan melakukan deteksi dini terhadap masalah kesehatan aktual atau potensial misalmya skrining diabetes, skrining kanker payudara, pap smear, aktivitas SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) dan sebagainya
Pencegahan tersier: mencegah memburuknya suatu kondisi kesehatan yang sudah ada misalnya rehabilitasi setelah amputasi. Contoh lain misalnya, perawat di ruang gawat darurat tidak hanya mempertimbangkan dampak keracunan anak, tapi intervensi pencegahan keperawatan mana yang akan memaksimalkan pemulihan dan mencegah terulangnya kejadian tersebut. Pengajaran tentang perawatan luka untuk menghindari infeksi merupakan intervensi pencegahan penting bagi klien yang mengalami laserasi.
C. Caring dalam Konteks Komunitas Isu kesehatan dan sosial bersifat interaktif. Asuhan keperawatan diberikan saat mempertimbangkan budaya, nilai, dan sumber daya klien, keluarga, dan masyarakat. Dalam situasi dimana anggota keluarga ingin berpartisipasi dalam perawatan klien tetapi keterampilan psikomotor mereka membatasi kemampuan mereka untuk melakukannya, perawat akan mengakomodasi hal tersebut dalam batasan waktu dan perawatan yang aman. Caring dalam konteks klien, keluarga, dan masyarakat dipengaruhi oleh lokasi dan sistem sosial masing-masing masyarakat. Lokasi sering menentukan kelayakan layanan kesehatan. Akibatnya, akses dan ketersediaan layanan mempengaruhi kesehatan masyarakat.
87
D. Kontinuitas Perawatan Fragmentasi perawatan telah lama menjadi perhatian profesional perawatan kesehatan. Misalnya, klien dengan berbagai masalah dapat dilihat oleh beberapa dokter: dokter keluarga, ahli jantung, ahli endokrinologi, konsultan, dan ahli bedah. Berbagai penyedia layanan kesehatan lainnya juga terlibat dalam perawatan klien. Continuity of care adalah jembatan untuk perawatan berkualitas. Kontinuitas memungkinkan kualitas perawatan untuk dipelihara dalam sistem perawatan kesehatan yang berubah. Jika semua penyedia layanan kesehatan
mengikuti
prinsip
dasar
kontuinitas
perawatan,
maka
kemungkinan dampak yang merugikan dari penurunan lamanya perawatan akut dimana perawatan dikoordinasikan ke lingkungan masyarakat, dimana asuhan
disediakan
melalui
berbagai
variasi
individu bisa diminimalisir. E. Perawatan kolaboratif Perawatan kolaboratif berkitn erat dengan kontinuitas perawatan. Perawatan kolaboratif di antara profesional perawatan kesehatan adalah bagian penting dari perawatan berbasis masyarakat karena tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan kesehatan dan memulihkan kesehatan. Perawatan berbasis masyarakat bekerja dengan berbagai profesional karena perawatan untuk klien dikaji, direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi. Dokter bertanggung jawab terutama untuk mendiagnosis penyakit dan memulai perawatan medis atau bedah. Dokter memiliki wewenang untuk memasukkan klien dalam rangkaian layanan kesehatan yang spesifik dan mengeluarkannya dari setting tersebut ke setting lain. Selanjutnya, dokter menentukan rencana perawatan untuk kebutuhan medis klien dengan masukan dari pengasuh profesional lainnya. Berbagai terapis (fisik, pekerjaan, pernafasan, ucapan) mungkin terlibat dalam perawatan klien, 88
memberikan terapi di tempat perawatan akut, pengaturan rehabilitasi, perawatan di tempat tinggal, atau di rumah. Klien dapat mengunjungi fasilitas tersebut, atau terapis dapat mengunjungi rumah tersebut. Seorang ahli gizi dapat menyesuaikan diet khusus dengan individu dan keluarga tertentu atau untuk menasihati dan mendidik klien dan keluarga mereka. Pekerja sosial membantu klien dan keluarga membuat keputusan terkait penggunaan sumber daya masyarakat, perawatan yang mendukung kehidupan, dan perawatan jangka panjang. Seorang pendeta atau penasihat spiritual klien juga akan menasihati klien dan keluarga dan memberikan dukungan spiritual. Apoteker mengeluarkan obat-obatan sesuai petunjuk dokter. Meskipun masing-masing profesional bertanggung jawab untuk perhatian khusus, masing-masing juga bertanggung jawab untuk berbagi informasi dengan orang lain atau untuk mengevaluasi bagaimana perawatan berlanjut. Jika satu orang dalam rantai gagal berkomunikasi, jembatan kontinuitas melemah. Biasanya satu orang ditunjuk sebagai koordinator komunikasi ini. Dalam banyak kasus koordinator ini adalah perawat. Dalam praktik kesehatan komunitas, kita mengenal dua komponen dasar (two basic components) yang mencakup promosi kesehatan dan pencegahan terhadap masalah kesehatan. Level dari pencegahan adalah kunci dari praktik kesehatan komunitas (Allender et al., 2014). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing komponen praktik kesehatan komunitas (Swarjana, 2016). F. Promosi Kesehatan Dalam bidang public health, public/community health nursing, serta dalam community health practice, promosi kesehatan adalah bagian yang sangat penting. Health promotion menyangkut semua upaya yang dilakukan untuk membantu orang-orang agar lebih dekat dengan kesehatan yang optimal atau level tertinggi dari keadaan yang sejahtera. Dalam keperawatan, program dan aktivitas promosi kesehatan dilaksanakan dalam 89
berbagai bentuk pendidikan kesehatan. Tujuan akhir dari promosi kesehatan adalah untuk meningkatkan levels of wellness untuk individu, keluarga, populasi, dan komunitas. Upaya kesehatan komunitas yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu : 1. Meningkatkan rentang hidup bagi semua warga. 2. Menurunkan kesenjangan kesehatan bagi populasi. 3. Mendapatkan akses terhadap pelayanan pencegahan bagi semua orang
90
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
Asuhan
keperawatan
komunitas
adalah
suatu
bentuk
pelayanan
keperawatan professional yang merupakan bagian dari proses keperawatan yang dtujukan langsung kepada masyarakat dengan menekankan pada kelompok yang berisiko tinggi melalui upaya peningkatan derajat kesehatan, pencegahan penyakit, serta pengobatan dan rehabilitasi sebagai upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal (Riasmini, et al., 2017). Proses asuhan keperawatan komunitas merupakan metode asuhan keperawatan yang bersifat alamiah, sistematis, dinamis, kontiyu, dan berkesinambungan dalam hal pemecahan masalah kesehatan dari klien individu, keluarga, serta kelompok melalui pengkajian, penentuan diagnosis, perencanaan, pelaksanaan intervensi dan evaluasi keperawatan (Stanhope & Lancaster, 2016). A. Pengkajian Keperawatan Komunitas Pengkajian komunitas bertujuan untuk mengidentifikasi factorfaktor ysng dspat mempengaruhi status kesehatan masyarakat (Anderson & MC. Farlane, 2011). Penkajian komunitas dilakukan 91
dengan mengaplikasikan beberapa teori dan konsep model keperawatan yang relevan. Informasi atau data ini dapat diperoleh secara langsung atau tidak langsung di komunitas (Riasmini, et al., 2017). Dalam pengkajian komunitas menurut (Riasmini, et al., 2017) ada beberapa data yang perlu dikumpulkan meliputi data : 1. Data Inti Komunitas Data inti komunitas terdiri dari : a) Riwayat (riwayat daerah, perubahan daerah) b) Demografi (usia, jenis kelamin, ras, dan etnis) c) Tipe keluarga (keluarga/bukan keluarga, kelompok) d) Status perkawinan (kawin, /janda/duda, belum kawin) e) Statistic vital (kelahiran, kematian kelompok usia dan penyebab kematian) f) Nilai-nilai kepercayaan dan agama
2. Data Subsistem Komunitas Data subsistem yang diperlukan dalam pengkajian komunitas meliputi: a) Lingkungan fisik Lingkungan
fisik
yang
terdiri
dari
kualitas
air,
pembuangan limbah, kualitas udara, flora, ruang terbuka, perumahan, daerah hijau, musim, hewan, kualitas makanan dan akses. b) Pelayanan kesehatan dan sosial Pelayanan kesehatan dan social yang dikaji meliputi puskesmas, klinik, rumah sakit, pengobatan tradisional, pelayanan kesehatan di rumah, pusat emergensi, rumah perawatan, fasilitas pelayanan social, pelayanan kesehatan jiwa, penyakit kronis dan akut yang dialami. 92
c) Ekonomi Data yang perlu dikaji meliputi karakteristik keuangan keluarga, dan individu, status pekerjaan, kategori pekerjaan dan jumlah penduduk yang tidak bekerja, lokasi perindustrian, pasar, pusat bisnis. d) Transportasi dan keamanan Data yang perlu dikumpulkan meliputi alat trasportasi penduduk datang dna keluar wilayah, transportasi umum (bus, taksi, angkot dan transportasi privat). Layanan perlindung kebakaran, polisi, sanitasi dan kualitas udara. e) Politik dan pemerintahan Data yang perlu dikaji meliputi pemerintahan (RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan dan lain-lain), kelompok pelayanan msyarakat (posyandu, PKK, karang taruna, posbindu, poskesdes, panti, dan sebagainya), kegiatan politik di wilayah tersebut dan peran serta partai politik dalam pelayanan kesehatan. f) Komunikasi Data yang perlu dikumpulkan terkait dengan komunikasi terbagi menjadi dua yaitu : a) komunikasi formal meliputi surat kabar, radio, dan televise, telepon, dan internet; b) komunikasi informal meliputi papan pengumuman, poster, brosur, pengeras dari masjid dan sebagainya. g) Pendidikan Data yang perlu dikaji meliputi sekolah yang di daerah tersebut, tipe pendidikan, perpustakaan, pendidikan khusus, pelayanan kesehatan yang ada di sekolah, program makan siang di sekolah, akses pendidikan yang lebih tinggi. 93
h) Rekreasi Data yang dikumpulkan terkait dengan rekreasi meliputi taman, area bermain, perpustakaan rekreasi umum dan privat dan fasilitas khusus.
3. Data Persepsi Data persepsi yang perlu dikumpulkan meliputi: a) Persepsi masyarakat Persepsi masyarakat yang dikaji terkait tempat tinggal tentng bagaimana persepsi masyarakat tentang kehidupan bermasyarakat yang dirasakan di lingkungan tempat tinggal mereka, apa yang menjadi kekuatan mereka, permasalahan, tanyakan pada kelompok yang berbeda (misalnya remaja, lansia, pekerja, ibu rumah tangga, dan sebagainya). b) Persepsi perawat Persepsi perawat yang dimaksud yaitu peryataan umum tentang kondisi kesehatan dari masyarkat yang menjadi kekuatan, masalah atau potensial masalah yang dapat diidentifikasi.
Sumber data pada data primer berasal dari masyarakat langsung yang didapat dengan cara: 1) survey epidemiologi; 2) pengamatan epidemiologi; 3) skrinning kesehatan. Sedangkan data sekunder, data didapatkan dari data yang sudah ada sebelumnya. Sumber data sekunder didapat dari : 1. Sarana pelayanan kesehatan, misalnya rumah sakit dan puskesmas.
94
2. Instansi yang berhubungan dengan kesehatan, misalnya kementrian kesehatanm dinas kesehatan atau biro pusat statistic. 3. Absensi sekolah, industry dan perusahaan 4. Secara internasional, data dapat diperoleh dari data WHO, seperti data laporan populasi. Data yang dikumpulkan dalam pengkajian keperawatan dapat diperoleh dengan metode wawancara, observasi, kuisoner dan pemeriksaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan beberapa tahap yaitu kategorisasi, ringkasan, perbandingan dan kesimpulan. a) Kategorisasi Data dapat dikategorikan dengan beberapa cara diantaranya: a) karakteristik demografi (komposisi keluarga, usia, jenis kelamin, etnis dan ras); b) karaterikstik geografis (batas wilayah, jumlah dan besarnya kepala keluarga (KK), ruang public dan jalan); c) karakeristik social-ekonomi (pekerjaan dan jenis pekerjaan), tingkat pendidikan, dan pola kepemilikan rumah; d) sumber dan pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, klinik, balai kesehatan dan pusat kesehatan mental dan lain-lain). b) Ringkasan Setelah melakukan kategorisasi data, maka tugas berikutnya adalah meringkas data dalam setiap kategori. Pernyataan ringkasan disajikan dalam bentuk ukuran seperti jumlah, bagan dan grafik. c) Perbandingan Perbandingan merupakan analisis data yang meliputi identifikasi kesejangan
data
dan
ketidaksesuaian.
Data
pembandingan
diperlukan untuk menetapkan pola atau kecenderungan yang ada atau jika data tidak benar dan perlu revalidasi yang membutuhkan
95
data asli. Perbedaan data dapat terjadi karena adanya kesalahan pencatat data.
d) Membuat kesimpulan Membuat kesimpulan merupakan tahap akhir yang dilakukan setelah data dikumpulkan dan dikategorikan, ringkasan dan dibandingkan. Kesimpulan dibuat secara logis dari peristiwa yang kemudian dibuatkan peryataan penegakan diagnosis keperawatan komunitas. B. Diagnosis Keperawatan Komunitas Berdasarkan hasil Munas IPKKI II di Yogyakarta ditetapkan formulasi
diagnosis
keperawatan
menggunakan
ketentuan
diagnosis keperaawatan NANDA (2015-2017) dari ICNP dengan formulasi tanpa menuliskan etiologi. Penulisan tersebut sesuai dengan label diagnosis NANDA (2015-2017) mencakup diagnosis aktual, promos kesehatan/sejahtera atau risiko.
96
Tabel 2. Daftar Diagnosis Keperawatan Komunitas Sasaran
Domain
Kelas
Kode
Rumusan diagnosis keperawatn
Komunitas
Domain 1 :
Kelas 1 :
00168
Gaya hidup monoton
Promosi
Kesadaran
Kesehatan
Kesehatan
(NANDA)
Kelas
2 :
00257
Sindrom kelelehan lansia
Manajemen
00231
Risiko sindrom kelelahan lansia
Kesehatan
00215
Defesiensi kesehatan komunitas
00188
Perilaku kesehatan cenderung berisiko
00099
Ketidakefektifan pemeliharan kesehatan
00078
Ketidakefektifan manajemen kesehatan
00162
Kesiapan meningkatkan manajemen kesehatan diri Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik keluarga
00080 Manajemen
10029684
Krisis kesehatan akut
10023452
Kemampuan mempertahankan performa kesehtatan
perawatan (ICNP) Promosi kesehatan
Penyalahgunaan alcohol
97
(ICNP)
10022234
Penyalahgunaan obat-obatan
10022425
Perlaku seksual efektif
10028187
Ketidakmampuan manajemen regimen diet
10022592
Ketidakmampuan manajemen regimen latihan
10022603
Ketidakmampuan mempertahankan kesehatan Defisit pengetahuan tentang latihan
10000918
Kurang pengetauan tentang regimen diet Kurang pengetahuan tentang perilaku seksual
10022585
Ketidakmampuan meningkatkan keamanan
10021939
Masalah perilaku seksual
10029991
Resiko terjadinya penyakit Resiko cidera lingkungan
10022140
Penyalahgunaan rokok
10001274 10032386 10032355 10022247 Manajemen
10029286
Kurang pengetahuan tentang penyakit
perawatan jangka panjang (ICNP)
98
Manajemen
10029744
Kekerasan pada anak
risiko
10029825
Kekerasan lansia
(ICNP)
10029856
Keamanan lingkungan yang efektif
10032289
Risiko kekerasan
10032301
Risiko kekerasan anak
10033489
Risiko pengabaian anak
10032340
Risiko kekerasan lansia
10033489
Risiko pengabaian lansia
10015122
Risiko jatuh
10033436
Risiko pengobatan
99
C. Perencanaan Keperawatan Komunitas Perencanaan pada keperawatan komunitas berorientasi pada promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan, dan manajemen krisis. Penyusunan perencanaan keperawatan kesehatan komunitas melalui langkah-langkah berikut : 1. Menetapkan prioritas Penetapan prioritas masalah perlu melibatkan masyarakat dalam suatu pertemuan musyawarah masyarakat. Masyarakat akan memprioritaskan masalah yang ada dengan bimbingan atau arahan
perawat
kesehatan
komunitas.
Perawat
dalam
menentukan prioritas masalah perlu memperhatikan enam kriteria, yaitu kesadaran masyarakat akan masalah, motivasi masyarakat untuk menyelesaikan masalah, kemampuan perawat dalam memengaruhi penyelesaian masalah, ketersediaan pihak terkait terhadap solusi masalah, beratnya konsekuensi jika masalah tidak terselesaikan, memperepat penyelesaian masalah dengan resolusi yang dapat dicapai.
2. Menetapkan sasaran (goal) Setelah menetapkan prioritas masalah kesehatan, langkah selanjutnya adalah menetapkan sasaran. Sasaran merupakan hasil yang diharapkan. Dalam pelayanan kesehatan sasaran merupakan pernyataan situasi kedepan, kondisi atau status jangka panjang dan belum bisa diukur. Contoh dari penulisan sasaran yaitu meningkatkan cakupan imunisasi pada bayi, memperbaiki
komunikasi
antara
orang
tua
dan
guru,
100
meningkatkan proporsi individu yang memiliki tekanan darah, serta menurunkan kejadian penyakit kardiovaskuler. 3. Menetapkan tujuan (objective) Tujuan adalah pernyataan hasil yang diharapkan dan dapat diukur, dibatasi waktu berorientasi pada kegiatan. Untuk menetapkan tujuan sebaiknya berdasarkan metode SMART yaitu spesific, measurable, achievable, relevant dan time bound (Mengistu, 2006). Hal ini membantu perawat untuk membuat tujuan yang realistis, yang secara mampu dicapai oleh perawat yang disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia, serta membantu perawat untuk tidak secara berlebihan menetapkan tujuan yang sulit diraih nantinya. Idealnya segala tujuan yang ingin dicapai harus mampu diukur untuk menilai tingkat keberhasilannya berikut juga dengan tjangka waktunya sehingga pelaksanaan suatu program dapat lebih terarah dan berjalan secara efektif dan efisien. Karakteristik dalam penulisan tujuan yaitu menggunakan kata kerja, menggambarkan tingkah laku akhir,
kualitas
penampilan,
kuantitas
penampilan,
cara
mengukur penampilan, berhubungan dengan sasaran, adanya batasan waktu. 4. Menetapkan rencana intervensi Dalam menetapkan rencana intervensi keperawatan kesehatan komunitas maka yang perlu diperhatikan adalah hal apa yang akan dilaksanakan, waktu pelaksanaan, jumlah, target atau sasaran, tempat atau lokasi. Adapun hal yang perlu diperhatikan saat
menetapkan
rencana
intervensi
meliputi
program
pemerintah terkait dengan masalah kesehatan yang ada, kondisi atau situasi yang ada, sumber daya yang ada di dalam dan di luar komunitas yang dapat dimanfaatkan, program yang sudah 101
pernah
dijalankan,
menekankan
pada
pemberdayaan
masyarakat, penggunaan teknologi tepat guna, mengedepankan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. D. Pelaksanaan (Implementasi) keperawatan komunitas Implementasi merupakan tahap kegiatan selanjutnya setelah perencanaan
kegiatan
keperawatan
komunitas
dalam
proses
keperawatan komunitas. Fokus pada tahap implementasi adalah bagaimana mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal yang sangat penting dalam implementasi keperawatan kesehatan komunitas adalah melakukan berbagai tindakan yang berupa promosi kesehatan, memelihara kesehatan/mengatasi kondisi tidak sehat, mencegah penyakit dan dampak pemulihan. Program kesehatan masyarakat yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan. Tahap implementasi keperawatan komunitas memiliki beberapa strategi implementasi diantaranya proses kelompok, promosi kesehatan dan kemitraan (partnership) (Riasmini et al, 2017). E. Evaluasi keperawatan komunitas Evaluasi perbandingan antara status kesehatan klien dengan hasil yang diharapkan. Evaluasi terdiri dari tiga unsur yaitu evaluasi struktur, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Tugas dari evaluator adalah melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai dengan kriteria evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi untuk membuat keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan (Nurhayati, 2011). Evaluasi adalah suatu proses untuk membuat penilaian secara sistematis mengenai suatu kebijakan, program dan kegiatan berdasarkan informasi dan hasil analisis dibandingkan terhadap relevansi, keefektifan biaya, 102
dan keberhasilannya untuk keperluan pemangku kepentingan (Riasmini et al, 2017). Jenis-jenis evaluasi menurut waktu pelaksanaan: 1. Evaluasi formatif. Evaluasi ini dilaksanakan pada waktu pelaksanaan program yang bertujuan memperbaiki pelaksanaan program dan kemungkinan adanya temuan utama berupa berbagi masalah dalam pelaksanaan program. 2. Evaluasi
sumatif.
Evaluasi
ini
dilaksanakan
pada
saat
pelaksanaan program selesai, yang bertujuan untuk menilai hasil pelaksanaan program dan temuan berupa pencapaian apa saja dari pelaksanaan program. Prinsip-prinsip evaluasi yaitu penguatan program, menggunakan berbagai pendekatan, desain evaluasi untuk kriteria penting di komunitas, menciptakan proses partisipasi, diharapkan lebih fleksibel, dan membangun kapasitas. Proses evaluasi yaitu menentukan tujuan evaluasi, menyusun desain evaluasi yang kredibel, mendiskusikan rencana evaluasi, menentukan pelaku evaluasi, melaksanakan evaluasi, mendeseminasikan hasil evaluasi, serta menggunakan hasil evaluasi. Kriteria penilaian dalam evaluasi terdiri dari: a) Relevansi (relevance): apakah tujuan program mendukung tujuan kebijakan? b) Keefektifan (effectiveness): apakah tujuan program dapat tercapai? c) Efisiensi (efficiency): apakah tujuan program tercapai dengan biaya paling rendah? d) Hasil (outcomes): apakah indikator tujuan program membaik? e) Dampak (impact): apakah indikator tujuan kebijakan membaik?
103
f) Keberlanjutan (sustainability): apakah perbaikan indikator terus berlanjut setelah program selesai?
104
BAB V Aplikasi Asuhan Keperawatan Komunitas DBD
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
A. Pengkajian 1. Lingkungan Fisik Adapun data yang perlu dikaji pada masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu: a) Tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dan lainlain). Pengurasan TPA (Tempat Pennampungan Air) perlu dilakukan dengan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak ditempat itu. b) Pembuangan limbah. Limbah seperti kaleng, ban, dan barang bekas lainnya harus dkubur atau dimusnahkan c) Ruang Terbuka. Ruang terbuka pada rumah perlu diperhatikan salah satunya ventilasi. Ventilasi rumah adalah lubang tempat udara keluar masuk secara bebas. Ventilasi biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk untuk keluar maupun masuk ke dalam rumah. 105
Penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah adalah salah satu pengendalian penyakit DBD secara mekanik. Pemakaian kawat kasa pada setiap lubang ventilasi yang ada di dalam rumah bertujuan agar nyamuk tidak masuk ke dalam rumah dan menggigit manusia (host/pejamu) (Anwar & Adi, 2015). d) Kebiasaan
menggantung pakaian dalam kamar. Kebiasaan
mengantung pakaian memiliki peluang bisa terkena penyakit DBD. Pakaian yang tergantung di balik lemari atau di balik pintu sebaiknya di lipat dan disimpan dalam lemari karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap dan beristirahat di tempat-tempat gelap dan kain tergantung (Anwar & Adi, 2015). e) Pencahayaan. Hasil penelitian Nugroho dalam Anwar & Rahmat (2015) adalah adanya hubungan yang bermakna antara intesitas pencahayaan alam kurang 50 lux dengan infeksi dengue. Pada lokasi penelitian yang didapatkan kondisi rumah responden yang saling berdekatan sehingga menghalangi sinar/cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Pada umumnya jentik dari nyamuk Ae. Aegypti dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam kontainer yang gelap dan menarik nyamuk betina untuk meletakkakn telurnya. Di dalam kontainer yang berintensitas cahaya rendah atau gelap rata-rata berisi larva lebih banyak dari kontainer yang intensitas cahayanya besar atau terang. f) Pemakaian obat anti nyamuk atau lotion. Obat anti nyamuk atau lotion merupakan penolak serangga atau perlindungan diri yang umum
digunakan
masyarakat
terhadap
nyamuk.
Dapat
disimpulkan bahwa orang yang menggunakan obat anti nyamuk atau lotion tidak memiliki peluang untuk terkena penyakit DBD, sebaliknya orang yang tidak pernah menggunakan obat anti
106
nyamuk atau lotion akan berpeluang untuk terkena penyakit DBD (Wati, Astuti, & Sari, 2016).
107
B. Diagnosis dan Perencanaan Tabel 3. Contoh diagnosis keperawatan pada masalah DBD
Data
Diagnosis
NOC
NIC
Kode Hasil
Kode Intervensi
Keperawatan Data pendukung
Kode
Diagnosis
Studi dokumentasi :
00188
Perilaku
Hasil rekap kejadian kasus
kesehatan
DBD periode Januari hingga
cenderung
Juni, RW “X” tertinggi dengan
berisiko
1844
1803
18 kasus dan disusul RW”Y” dengan 14 kasus dengan 1
1805
1823 “X”
atau
RW
“Y”
terlokalisir pada RT 1 dengan
Pengetahuan; manajemen 5510
Pendidikan kesehatan
sakit akut
Memfasiilitasi pembelajaran
Pengetahuan;
5520 proses
Pengetahuan;
Pengetahuan;
Pengajaran kelompok 5604
perilaku 5618
sehat
Secara spesifik DBD baik di RW
Prevensi Primer
penyakit
kasus meninggal pada awal Juni.
Prevensi Primer
6366
Pengajaran prosedur/tindakan Triase;telepon Manajemen kasus
promosi 7320
kesehatan 1855
Pengetahuan; gaya hidup sehat
108
rata-rata dengan
kasus range
4-7
kasus
Prevensi sekunder
1-2
1600 Kepatuhan perilaku
waktu
minggu.
1602 Perilaku
Hasil angket :
Prevensi sekunder 4350
promosi 4360 6650
Surveilans
6550
Proteksi infeksi
1603
Pencarian perilaku sehat
dalam mengenali secara dini
1606
Partisipasi
dalam 7400
penyakit DBD kurang baik
pengambilan
52% kemampuan penduduk
perawatan kesehatn
keputusan
dalam mencegah atau merawat
1608
anggota
1908 Deteksi faktor resiko
dari
penyakit DBD kurang baik.
mnderita DBD tidak pernah
lingkungan
oleh tenaga Puskesmas.
2700
Kompetensi komunitas
45% warga yang menderita
2701
Status
penuyuluhan
tentang DBD. 42 % wrga menyatakan bahwa
Respon
manfaat melakukan tindakan
Efektifitas
Skrinning kesehatan
6489
8880 komunitas
terhadap disaster/KLB 2807
Manajemen lingkungan; komunitas
kesehatan
komunitas 2806
Manajemen penyakit menular
Proteksi resiko lingkungan 8820
Status kesehatan keluarga
mendapatkan
7620
perawatan
2606
pernah
Pengontrolan berkala Transportasi;antar fasilitas kesehatan
dilakukan kunjungan rumah
tidak
7560
1934 Keamanan dan kesehatan 7890 serta
Panduan sistem kesehatan Fasilitas kunjungan rumah
Kontrol gejala
46% penduduk yang pernah
DBD
Modifikasi perilaku
kesehatan
74% kemampuan penduduk
keluarganya
Manajemen perilaku
6520
skrining
kesehatan komunitas 2808
Prevensi Tersier
109
pencegahan 3M hanya sebatas lingkungan rumah agar bersih
Efektiifitas 2802
60% hambatan yang dirasakan dalam
melakukan
program
Dukungan teraddap caregiver
komunitas
Dukungan keluarga
Kontrol resiko komunitas
Mobilissi keluarga
tindakan
Konsultasi
pencegahan karena tidak ada
Dokumentasi
sanksi
7040
Angka bebas jentik di rumah tangga
sebesar
59%
2605
yang
berarti ada 41% rumah tangga
2108
Prevensi Tersier
Rujukan
Partsispasi tim kesehatan 7140
Konsultasi telepon
dalam keluarga
Pengembangan kesehatan masyarakat
7120
positif jentik.
Penggunaan sumber yang 7910
18% warga menyatakan yang
ada di komunitas
paling efektif untuk mencegah
Pecacatan insidensi kasus
Pengembangan program
7920 7980
DBD adalah dilakukan fogging atau menabur bubuk abate.
8100
Hasil observasi :
8180
Karakteristik
lingkungan
pemukiman
penduduk
khususnya di RW “X” dan RW
8500
8750
“Y” padat dengan SPAL yang kurang baik. Hasil Wawancara
110
Kegiatan PSN melalui gerakan 3M tidak secara rutin dilakukan hanya kalau terjadi banyak kasus. Menggerakkan
masyarakat
untuk melakukan gerakan 3M dirasakan adil
111
BAB VI Asuhan Keperawataan pada Pasien dengan DHF
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
A. Analisa Data Analisis Data/ Faktor Risiko
Etiologi
1. Peningkatan suhu tubuh Infeksi virus dengue
Diagnosa Keperawatan
Hipertermia
diatas normal 2. Kulit terasa hangat 3. Kulit kemerahan 4. Takikardia 5. Takipnea 6. Hipotensi
112
7. Vasodilatasi 8. Kejang 9. Apnea 1. Penurunan tekanan darah
kegagalan mekanisme Kekurangan
2. Penurunan haluaran urine
regulasi
3. Haus
(ketidakseimbangan
4. Kelemahan
input
5. Peningkatan frekuensi nadi
cairan)
Volume
Cairan
dan
output
6. Penurunan turgor kulit 7. Perubahan status mental 8. Peningkatan suhu tubuh 9. Membran mukosa kering 10. Kulit kering 1. Perubahan tekanan darah di Penurunan ekstremitas 2. Perubahan
darah
sirkulasi Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
karakteristik
kulit 3. Warna kulit pucat Koagulapati inheren -
Risiko Perdarahan
(trombositopenia)
1. Hipotensi
-
Risiko Syok
2. Hipovolemia
113
3. Sepsis Kekurangan
1. kelelahan
volume Intoleransi aktifitas
cairan dan kegagalan 2. dispnea mekanisme regulasi 1. Dispnea
Edema
Paru Gangguan
2. pH Arteri abnormal
(perubahan membran gas
3. Gas darah arteri abnormal
alveolar-kapiler)
pertukaran
4. Hipoksia 5. Pernapasan cuping hidung 6. Takikardia
B. Diagnosis Keperawatan 1. Hipertermia berhubungan dengan sepsis (Infeksi virus dengue). 2. Kekurangan
Volume
Cairan
berhubungan
dengan
kegagalan
mekanisme regulasi (ketidakseimbangan input dan output cairan). 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah. 4. Risiko Perdarahan : koagulapati inheren (trombositopenia). 5. Risiko Syok : hipotensi, hipovolemia, dan sepsis 6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan volume cairan dan kegagalan mekanisme regulasi (Herdman & Kamitsuru, 2015). C. Tujuan Intervensi 1. Hipertermia berhubungan dengan sepsis (infeksi virus dengue). 114
a. Termoregulasi 1) Suhu tubuh dalam ambang batas normal 2) Terbebas dari demam 3) Frekuensi pernapasan dalam batas normal 2. Kekurangan
Volume
Cairan
berhubungan
dengan
kegagalan
mekanisme regulasi (ketidakseimbangan input dan output cairan). a. Keseimbangan cairan 1) Tekanan darah dalam batas normal 2) Membran mukosa oral dalam keadaan normal b. Hidrasi 1) Turgor kulit dalam batas normal 2) Intake cairan adekuat 3) Output urine dalam batas normal 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah. a. Perfusi jaringan : perifer 1) Pengisian kapiler jari dalam batas normal 2) Suhu kulit ujung kaki dan tangan normal 3) Kekuatan denyut nadi perifer dalam batas normal b. Integritas jaringan : kulit dan membran mukosa 1) Dapat merasakan sensasi kulit 2) Elastisitas kulit dan membran mukosa dalam batas normal 3) Tidak ada pigmentasi abnormal pada kulit
115
4) Wajah tidak pucat 4. Risiko Perdarahan : koagulapati inheren (trombositopenia). a. Status sirkulasi 1) Tekanan darah dalam batas normal 2) Saturasi oksigen dalam batas normal b. Keparahan kehilangan darah 1) Tidak ada kehilangan darah yang terlihat 2) Tidak ada hematuria 3) Tidak ada hematemsis c. Koagulasi darah 1) Waktu protrombin dalam batas normal 2) Waktu parsial tromboplastine dalam batas normal 3) Hemoglobin dalam keadaan normal 4) Hasil pemriksaan darah dalam batas normal 5. Risiko Syok : hipotensi, hipovolemia, dan sepsis a. Keparahan syok : hipovolemik 1) Tanda-tanda vital dalam batas normal 2) Hasil pemeriksaan Analisa Gas Darah dalam batas normal 3) Urine output dalam batas normal b. Kontrol risiko : proses infeksi 1) Mengidentifikasi faktor risiko infeksi 2) Mengidentifikasi faktor di lingkungan yang berhubungan dengan infeksi
116
3) Penggunaan alat pelindung diri 4) Mempraktikkan strategi untuk mengontrol infeksi 5) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2015). 6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan volume cairan dan kegagalan mekanisme regulasi a. Toleransi terhadap aktifitas 1) Mampu melakukan Aktifitas Hidup sehari-hari (Activities of Daily Living/ADL) 7. Gangguan Pertukaran Gas 1. Respon ventilasi mekanik a. Frekuensi pernapasan dalam batas normal b. Irama pernapasan reguler c. Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan d. Volume tidal normal e. Kapasitas vital normal f. Tidak ada gangguan perfusi jaringan perifer g. Keseimbangan ventilasi perfusi 2. Status pernafasan : pertukaran gas a. PH darah arteri dalam batas normal b. PaCO2 dalam batas normal c. Pa O2 dalam batas normal d. Saturasi oksigen dalam batas normal
117
D. Intervensi Keperawatan 1. Hipertermia berhubungan dengan sepsis (Infeksi virus dengue). a. Perawatan hipertermia 1) Monitor tanda-tanda vital 2) Batasi aktivitas fisik 3) Jauhkan pasien dari sumber panas, pindahkan ke lingkungan yang lebih dingin. 4) Longgarkan atau lepaskan pakaian 5) Berikan metode pendinginan eksternal (kompres dingin pada leher, abdomen, kulit kepala, ketiak dan selangkanan serta berikan selimut dingin) 6) Basahi permukaan tubuh dan kipas pasien 7) Kolaborasikan cairan IV, sesuai kebutuhan 8) Kolaborasikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan 9) Kolaborasikan penggunaan obat antipiretik dan antibiotik sesuai kebutuhan. 10) Berikan pendinginan metode internal (lavement lambung dengan es, lavement kandung kemih, peritoneal atau torak sesuai kebutuhan) 11) Instruksikan
pasien
mengenai
tindakan-tindakan
untuk
mencegah kondisi sakit yang berhubungan dengan panas (suhu lingkungan yang panas, dehidrasi dan aktifitas fisik) b. Pengaturan suhu
118
1) Monitor suhu setiap 2 jam, sesuai kebutuhan 2) Pasang alat monitor suhu tubuh 3) Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi, sesuai kebutuhan 4) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi yang adekuat 5) Instruksikan pasien bagaimana mencegah keluarnya panas dan serangan panas 6) Informasikan pasien mengenai indikasi adanya hipotermia dan penanganan emergensi yang tepat. 7) Pastikan penggunaan obat antipiretik 2. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme regulasi (ketidakseimbangan input dan output cairan). a. Monitor cairan 1) Tentukan jumlah dan jenis intake/asupan cairan serta kebiasaan eleminasi 2) Tentukan faktor-faktor risiko yang mungkin menyebabkan ketidakseimbangan
cairan
(misalnya
kehilangan
albumin,
trombosit, infeksi, muntah dan diare) 3) Tentukan apakah pasien mengalami kehausan atau gejala perubahan cairan 4) Periksa isi ulang kapiler dengan memegang tangan pasien pada tinggi yang sama seperti jantung dan menekan jari tengah selama lima detik,lalu lepaskan tekanan dan hitung waktu sampai cairan kembali merah
119
5) Periksa turgor kulit dengan memegang jaringan sekitar tulang seperti tangan atau tulang kering, mencubit kulit dengan lembut, pegang kedua tangan dan lepaskan 6) Catat dengan tepat asupan dan keluaran (asupan oral, asupan pipa makanan, asupan IV, atibiotik, muntah, dan urine) 7) Monitor membran mukosa, turgor kulit dan respon haus 8) Monitor warna, kuantitas, dan berat jenis urine b. Manajemen hipovolemia 1) Timbang berat badan di waktu yang sama 2) Monitor status hemodinamik meliputi nadi, tekanan darah dan hemodinamik lain jika terpasang alat 3) Monitor adanya tanda tanda dehidrasi 4) Monitor adanya sumber-sumber kehilangan cairan 5) Monitor adanya hipotensi ortostatik dan pusing saat berdiri 6) Kolaborasikan cairan IV isotonik dan hipotonik sesuai kebutuhan
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah. a. Manajemen sensasi perifer 1) Monitor sensasi tumpul atau tajam dan panas atau dingin (yang dirasakan pasien)
120
2) Monitor adanya parasthesia dengan tepat (misalnya mati rasa, tingling, hipertesia, hipotesia dan tingkat nyeri) 3) Monitor adanya penekanan dari gelang, alat-alat medis, sepatu dan baju 4) Hindari dan selalu monitor penggunaan terapi kompres panas atau dingin seperti penggunaan bantalan panas, permukaan berbahaya, atau benda lainyang berpotensi menyebabkan kerusakan 5) Lindungi tubuh terhadap perubahan suhu yang ekstrem 6) Kolaborasikan obat analgesik, kortikostreoid, antikonvulsan, atau anestesi lokal sesuai kebutuhan 7) Instruksikan pasien untuk selalu mengamati posisi tubuh jika propriosepsi terganggu b. Pengecekan kulit 1) Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan, kehangatan ekstrem, atau drainase 2) Monitor kulit adanya ruam dan lecet 3) Periksa pakaian yang terlalu ketat 4) Dokumentasikan perubahan membran mukosa c. Perawatan sirkulasi : infusiensi vena 1) Lakukan penilaian sirkulasi perifer secara komprehensif (misalnya mengecek nadi perifer, edema, waktu pengisian kapiler, warna dan suhu) 2) Nilai nadi perifer dan bandingkan dengan detak jantung
121
3) Monitor level ketidaknyamanan atau nyeri 4) Instruksikan pasien mengenai terapi modalitas/penekanan 5) Dukung latihan ROM pasif dan aktif, terutama pada ekstremitas bawah selama beristirahat 6) Berikan obat antiplatelet atau antikoagulan sesuai indikasi 7) Pertahankan hidrasi yang cukup untuk menurunkan viskositas darah. 4. Risiko Perdarahan : koagulapati inheren (trombositopenia). a. Pencegahan perdarahan 1) Monitor dengan ketat terjadinya perdarahan pada pasien 2) Catat nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum dan setelah pasien kehilangan darah sesuai indikasi 3) Monitor tanda dan gejala perdarahan yang menetap (cek semua sekresi darah yang terlihat jelas maupun tersembunyi/for frank or occult blood) 4) Monitor komponen koagulasi darah ( protrombin time/PT, partial thromboplastine time/PTT, dan trombosit hitung secara akurat 5) Pertahankan agar pasien tetap tirah baring 6) Kolaborasikan produk-produk darah (trombosit dan plasma beku segar/FFP) 7) Lakukan prosedur invasif bersamaan dengan pemberian transfusi trombosit/Tc, atau plasma segar beku/FFP
122
8) Instruksikan pasien dan keluarga untuk memonitor tanda-tanda perdarahan dan mengambil tindakan pencegahan yang sesuai 5. Risiko Syok : hipotensi, hipovolemia, dan sepsis a. Pencegahan syok 1) Monitor terhadap adanya mekanisme awal kompensasi syok (hipertensi ortostatik ringan, tekanan nadi melemah, perlambatan pengisian kapiler, takpinea, mual dan muntah, penuingkatan haus dan kelemahan) 2) Monitopr terhadap adanya tanda tanda respon inflamasi sistemik (peningkatan suhu, takikardia , takipnea, leukopenia, leukositosis) 3) Monitor tanda awal adanya tanda awal dari penurunan fungsi jantung 4) Monitor kemungkinan penyebab kehilanagn cairan 5) Monitor status sirkulasi 6) Monitor tekanan oksimetri 7) Monitor suhu dan status respirasi 8) Posisikan pasien dalam posisi supine, dengan posisi kaki ditinggikan sesuai kebutuhan 9) Anjurkan pasien dan keluarga mengenai tanda/gejala syok yang mengancam jiwa 6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan volume cairan dan kegagalan mekanisme regulasi a. Manajemen Energi
123
1) Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan 2) Monitor intake/asupan nutrisi untuk mengetahui sumber energi yang adekuat 3) Monitor waktu dan lama istirahat 4) Ajarkan pasien mengenai pengelolaaan kegiatan dan teknik manajemen waktu untuk mencegah kelelahan 5) Tingkatkan tirah baring dan jelaskan pentingnya tirah baring A. Intervensi Keperawatan
1. Manajemen Asam basa a. Pertahankan kepatenan jalan Napas b. Posisikan klien untuk mendapatkan ventilasi yang adekuat c. Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2, PaO2 dan HCO3 dalam rangka mempertimbangkan jenis ketidakseimbangan yang terjadi d. Monitor gas darah arteri, level serum serta urine elketrolit jika diperlukan e. Kolaborasikan
penggunaan
cairan
IV
sesuai
dengan
ketidakseimbangan yang terjadi f. Kolaborasikan
penggunaan
terapi
oksigen
sesuai
dengan
ketidakseimbangan yang terjadi g. Kolaborassikan penggunaan obat obat antinyeri jika diperlukan h. Monitoring status pernafasan
124
2. Manajemen jalan nafas a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi sesuai indikasi jika diperlukan b. Identifikasi kebutuhan aktual /potensial pasien untuk membuka jalan napas c. Lakukan pemasangan oksimeter jika diperlukan d. Kolaborasikan penggunaan bronkodilator jika diperlukan e. Kolaborasikan penggunaan aerosol dan nebulizer jika diperlukan f. Posisikan untuk meringankan sesak g. Monitor status pernapasan dan oksigenasi
125
BABVI Gambaran Pelaksanaan Juru Pemantau Jentik DBD
Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :
Menjelaskan
A. Latar Belakang Kegiatan Penyakit demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini masih menjadi problem utama di Indonesia. Sekalipun angka kematian DBD dapat ditekan hingga di bawah 1 per 100 orang penderita, namun jumlah dan sebaran kasusnya semakin meningkat. Tahun 2013 jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dengan area penyebaran hingga 498 Kabupaten/Kota (Kemenkes, 2014). Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Dit PPBB) Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) telah menetapkan tujuh kegiatan pokok dalam pengendalian DBD antara lain pengobatan
dan
tatalaksana
penderita,
pengendalian
vektor,
peningkatan peran serta masyarakat, jejaring kemitraan, pendidikan dan
126
pelatihan, monitoring dan evaluasi serta penelitian dan pengembangan (Kemenkes, 2014). Dalam mewujudkan tujuh kegiatan pokok pengendalian DBD, ditentukan
lima
rencana
pengembangan
program
antara
lain
meningkatkan peran serta masyarakat, mengaktifkan kembali kelompok kerja operasional (Pokjanal) DBD diberbagai tingkat administrasi, mendorong kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh anak sekolah dan Pramuka, mendukung pengembangan vaksin serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) pengendalian penyakit bersumber arbovirosis (Kemenkes, 2014). Peran serta masyarakat merupakan komponen utama dalam pengendalian DBD, mengingat vektor DBD nyamuk Aedes aegypti jentiknya ada di sekitar permukiman dan tempat istirahat nyamuk dewasa sebagian besar ada di dalam rumah. Peran serta masyarakat dalam hal ini adalah peran serta dalam pelaksanaan PSN secara rutin seminggu sekali. PSN secara rutin dapat membantu menurunkan kepadatan vektor, berdampak pada menurunnya kontak antara manusia dengan vektor, akhirnya terjadinya penurunan kasus DBD (Kemenkes, 2014). Hingga saat ini peran serta masyarakat dalam pelaksanaan PSN belum optimal, masih banyak masyarakat yang belum melakukan PSN secara rutin. Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya peran masyarakat dalam PSN, di antaranya adalah terbatasnya biaya kampanye PSN. Langkah awal dari kegiatan kampanye PSN adalah penyusunan pentunjuk teknis (Juknis) tentang pelaksanaan PSN, salah satunya adalah Juknis Jumantik-PSN Anak Sekolah (Kemenkes, 2014). Kelompok anak sekolah merupakan bagian kelompok masyarakat yang dapat berperan strategis, mengingat jumlahnya sangat banyak 127
sekitar 20% dari jumlah penduduk Indonesia adalah anak sekolah SD, SLTP dan SLTA. Anak sekolah tersebar di semua wilayah Indonesia, baik daerah perkotaan maupun pedesaan. Pemahaman PSN bagi anak sekolah berperan untuk menanamkan perilaku PSN pada usia sedini mungkin, yang akan digunakan sebagai dasar pemikiran dan perilakunya dimasa yang akan datang. Selain itu, menggerakan anak sekolah lebih mudah dibandingkan dengan orang dewasa dalam pelaksanaan PSN (Kemenkes, 2014). B. Tujuan Kegiatan 1. Meningkatkan peran serta anak sekolah sebagai Jumantik dalam pelaksanaan PSN\ 2. Sebagai salah satu upaya pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sejak usia dini. 3. Sebagai panduan bagi pengelola program kesehatan/ petugas kesehatan dan tenaga pendidik (guru) dalam membentuk/ menggerakan Jumantik-PSN anak sekolah. 4. Mendukung upaya penurunan kasus DBD di Indonesia C. Sasaran Kegiatan 1. Pengelola program kesehatan/ petugas kesehatan 2. Kepala sekolah dan guru-guru 3. Para pembina gerakan pramuka 4. Anak
sekolah
dari
SD/sederajat,
SLTP/sederajat,
SLTA/sederajat 5. Pramuka
D. Pengorganisasian Kegiatan 1. Struktur Jumantik anak sekolah adalah anak sekolah yang telah diberi pembekalan
terkait
pemantauan
jentik
di
sekolahnya. 128
Pembentukan dan pelaksanaan Jumantik PSN anak sekolah dimaksudkan agar para anak sekolah ikut serta dalam mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) selain itu melalui pembinaan ini merupakan salah satu bentuk upaya pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sejak usia dini. Pembentukan Jumantik ini serta pengawasan dan pembinaannya menjadi hak dan tanggung jawab pemerintah kabupaten Takalar dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Pendidikan Kabupaten Takalar. Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut :
Gambar 4: Struktur organisasi Jumantik
Dari struktur diatas dapat dilihat bahwa dinas kesehatan dan dinas pendidikan saling berkoordinasi bekerjasama membentuk kelompok kerja (Pokja) PSN Anak Sekolah. Kemenkes (2014) juga menjelaskan bahwa peran dan tanggungjawab Pokja Jumantik PSN Anak sekolah antara lain yaitu: a) Membentuk kegiatan PSN/ Jumantik anak sekolah di tiap-tiap sekolah di wilayahnya. 129
b) Memberikan dukungan operasional dalam rangka pelaksanaan PSN anak sekolah. c) Menjalin koordinasi antara puskesmas dan sekolah dalam upaya pembentukan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan PSN anak sekolah di wilayahnya. d) Memastikan bahwa pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan PSN/ Jumantik anak sekolah di wilayahnya berjalan dengan baik dalam rangka mencapai usaha kesehatan sekolah (UKS) yang optimal dan mewujudkan “Sekolah Bebas Jentik”. e) Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan PSN anak sekolah di wilayahnya. f) Memberikan penghargaan terhadap sekolah, madrasah dan pondok pesantren yang memiliki kinerja dan prestasi yang baik dalam pelaksanaan PSN anak sekolah dan berhasil mewujudkan “Sekolah Bebas Jentik”. g) Memberikan laporan pelaksanaan PSN anak sekolah kepada Pokjanal DBD tingkat provinsi (jika Pokjanal DBD tingkat provinsi belum terbentuk, maka laporan ditujukan kepada Gubernur dengan tembusan kepada kepala dinas kesehatan provinsi).
2. Tata Kerja/Koordinasi di Lapangan Tata kerja/koordinasi Jumantik-PSN Anak Sekolah di lapangan adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2014):: a) Tata kerja PSN/Jumantik anak sekolah mengacu pada petunjuk teknis PSN-Jumantik b) Anak Sekolah dan ketentuan-ketentuan lainnya yang berlaku di wilayah setempat. c) Jumantik anak sekolah berperan dalam kegiatan usaha kesehatan sekolah (UKS) dalam rangka menciptakan “Sekolah Bebas Jentik”.
130
d) Puskesmas
berkewajiban
melaksanakan
pembinaan/
penyuluhan teknis kepada para guru dan para kader jumantik anak sekolah secara berkala. e) Kepala sekolah bersama dengan para guru dan petugas puskesmas memantau dan menilai pelaksanaan PSN di sekolahnya. f) Kepala sekolah melalui guru penanggungjawab PSN sekolah memberikan laporan rutin perbulan kepada puskesmas berdasarkan hasil rekap pelaksanaan PSN/Jumantik Anak sekolah setiap minggunya.
3. Kriteria dan Perekrutan Jumantik Anak Sekolah dan Guru Penanggung Jawab PSN a. Kriteria Jumantik Anak Sekolah Kader Jumantik adalah siswa-siswi sekolah dengan kriteria sebagai berikut :
Mampu membaca dan menulis
Mampu dan mau melaksanakan tugas dan bertanggung jawab
Mampu dan mau menjadi motivator bagi rekan-rekan siswasiswi yang lain.
Mampu dan mau bekerjasama dengan petugas puskesmas, guru dan petugas kebersihan sekolah lainnya.
b. Kriteria Guru Penanggung Jawab Jumantik-PSN Sekolah Penunjukan Guru Penanggung Jawab Jumantik PSN Sekolah menjadi kewenangan kepala sekolah yang bersangkutan, dengan kriteria antara lain :
Sudah mengabdi sebagai guru di sekolah bersangkutan minimal selama 1 tahun.
Mampu
dan
mau
melaksanakan
tugas
dan
bertanggungjawab 131
Mampu dan mau menjadi motivator bagi rekan-rekan guru dan kader jumantik sekolah yang menjadi binaannya.
Mampu dan mau bekerjasama/ berkoordinasi yang baik dengan petugas puskesmas, tim Pokja Jumantik-PSN Anak Sekolah dan masyarakat.
4. Perekrutan Perekrutan kader jumantik anak sekolah dan penunjukan guru penanggungjawab dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah diatur oleh masing-masing sekolah. Semakin banyak anak sekolah yang dilibatkan akan semakin baik, bila perlu seluruh anak sekolah dilibatkan sebagai Jumantik-PSN Anak Sekolah.
5. Peran dan Tanggung Jawab Peran dan tanggung jawab pelaksanaan Jumantik-PSN disesuaikan dengan fungsi masing-masing (Kemenkes, 2014) yaitu: a. Jumantik Anak Sekolah 1. Melakukan kegiatan pemantauan jentik dan PSN di lingkungan sekolah secara rutin seminggu sekali. 2. Melakukan kegiatan pemantauan jentik dan PSN di lingkungan tempat tinggalnya secara rutin seminggu sekali. 3. Membuat catatan/laporan hasil pemantauan jentik dan PSN di sekolah dan tempat tinggalnya. 4. Melaporkan hasil pemantauan jentik kepada Guru Penanggung Jawab Jumantik-PSN sekolah seminggu sekali menggunakan Formulir
Hasil
Pemantauan
Jentik
Mingguan
di
Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) dan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah (lampiran 2) 5. Melakukan sosialisasi PSN 3M dan pengenalan DBD kepada rekan-rekan siswa-siswi lainnya.
132
6. Berperan sebagai penggerak dan motivator siswa-siswi lainnya agar mau melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk terutama di lingkungan sekolah dan tempat tinggalnya. 7. Berperan sebagai penggerak dan motivator bagi keluarga dan masyarakat agar mau melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk terutama di lingkungan tempat tinggalnya.
b.
Guru Penanggung Jawab PSN Anak Sekolah 1. Membuat rekapitulasi laporan mingguan hasil JumantikPSN di masing-masing rumah siswa dan sekolahnya yang telah disahkan/
ditandatangani
oleh
kepala
sekolah
(lampiran 3) untuk diserahkan kepada kepala puskesmas setempat selaku pembina UKS wilayahnya. 2. Memeriksa dan mengarahkan kegiatan Jumantik anak sekolah. 3. Mengawasi/memberikan bimbingan teknis kepada Jumantik anak sekolah.
c. Kepala Puskesmas 1. Membina dan memantau pelaksanaan kegiatan PSN anak sekolah serta melaksanakan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat (Pokja PSN Anak Sekolah). 2. Memberikan pembinaan teknis kepada guru-guru dan Jumantik anak sekolah. 3. Menganalisa laporan hasil pemantauan jentik oleh Jumantik anak sekolah. 4. Melaporkan rekapitulasi hasil pemantauan jentik oleh Jumantik anak sekolah di wilayah kerjanya kepada Pokja PSN Anak Sekolah melalui kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. 133
d. Dukungan Operasional Agar Jumantik-PSN Anak Sekolah dapat bertugas dan berfungsi sebagaimana yang diharapkan maka diperlukan dukungan biaya operasional. Dukungan dana tersebut dapat berasal dari beberapa sumber misalnya APBD, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dan lain sebagainya (Kemenkes, 2014). Adapun komponen pembiayaan yang diperlukan antara lain adalah:
Transport/insentif bagi petugas pembina teknis di lapangan.
Penyediaan PSN kit berupa topi, rompi, tas kerja, formulir hasil pemeriksaan jentik, alat
tulis, senter, pipet dan plastik tempat jentik dan larvasida.
Penyediaan alat lainnya misalnya media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) seperti leaflet, stiker, lembar balik (flipchart), buku saku, juknis/juklak dll.
Biaya
pelatihan/pembinaan
guru-guru
sekolah/
guru
penanggung jawab PSN anak sekolah oleh Pokja PSN anak sekolah.
Biaya pelatihan bagi jumantik anak sekolah oleh puskesmas/ dinas kesehatan/ Pokja PSN anak sekolah.
Biaya monitoring dan evaluasi.
134
Gambar: PSN Kit berupa topi, tas kerja, senter, dan sebagainya
Gambar: Perlengkapan PSN jumantik kit E. Pelaksanaan PSN adalah tindakan pemberantasan sarang nyamuk melalui kegiatan menutup, menguras dan memanfaatkan barang bekas yang masih berniai (yang dikenal dengan istiah 3M). Kegiatan PSN anak sekolah meliputi pengamatan jentik dan kegiatan 3M (menutup, menguras, memanfaatkan barang-barang bekas yang masih bernilai ekonomis). PSN 3M merupakan kegiatan terencana secara terus menerus dan berkesinambungan. Gerakan ini merupakan kegiatan yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penyakit DBD serta mewujudkan kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat.
1. Mekanisme pelaksanaan a. Dinas Kesehatan bersama Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dalam wadah Pokja
135
PSN
anak
sekolah
memberikan
pembinaan/pelatihan
Jumantik-PSN anak sekolah kepada guru-guru di sekolah. b. Kepala Sekolah membuat tim pelaksana Jumantik-PSN anak sekolah dan menunjuk seorang guru penanggung jawab PSN anak sekolah. c. Guru penanggungjawab PSN anak sekolah menyusun program kerja/kegiatan Jumantik-PSN anak sekolah. d. Guru yg sudah dilatih mengajarkan Jumantik-PSN kepada anak sekolah e. Setiap minggu siswa melakukan pemantauan jentik dan PSN di sekolah dan rumah/ tempat tinggalnya masing-masing dan melakukan pencatatan hari dan tanggal pelaksanaan, jenis tempat perkembangbiakan nyamuk, ada tidaknya jentik dan kegiatan PSN 3M yang dilakukan (sebagaimana form 1 dan 2). f. Formulir pencatatan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) dan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah (lampiran 2) dilaporkan setiap minggu ke guru penanggung jawab dan diparaf oleh guru penanggung jawab. g. Guru penanggungjawab memeriksa formulir tersebut, apabila laporan ditemukan jentik maka guru wajib memberikan arahan kepada siswa untuk meningkatkan kegiatan PSN 3M, serta membuat rekap laporan ke Puskesmas terdekat untuk ditindaklanjuti. h. Dinas Kesehatan/ Pokja PSN anak sekolah melalui Puskesmas setempat melakukan pembinaan ke sekolah dalam rangka keberlangsungan kegiatan Jumantik-PSN anak sekolah.
136
Gambar 5: Pelaksanaan pendidikan kesehatan tentang DBD di depan para siswa
2. Pemantauan jentik Mencari semua tempat perkembangbiakan jentik nyamuk yang ada di dalam maupun di lingkungan rumah. Setelah didapatkan, maka dilakukan penyenteran untuk mengetahui ada tidaknya jentik Mencatat ada tidaknya jentik dan jenis kontainer yang diperiksa pada
Formulir
Hasil
Pemantauan
Jentik
Mingguan
di
Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) dan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah (lampiran 2)
3. Menguras 137
Menguras tempat penampungan air secara rutin dan terus menerus. Menguras harus dilakukan setiap minggu dengan pertimbangan nyamuk harus dibunuh sebelum menjadi nyamuk dewasa, karena periode pertumbuhan telur, jentik dan kepompong selama 8-12 hari, sehingga sebelum 8 hari harus sudah dikuras supaya mati sebelum menjadi nyamuk dewasa. 4. Menutup Menutup adalah kegiatan menutup semua tempat penyimpanan air yang diperkirakan air akan disimpan dalam waktu lama (lebih dari satu minggu). Namun apabila tetap ditemukan jentik, maka air harus dikuras dan dapat diisi kembali kemudian ditutup rapat. 5. Mengubur Mengubur adalah kegiatan penimbunan barang-barang dari kaleng atau plastik agar tidak menjadi tempat tertampungnya air. Air yang tertampung dalam sampah kaleng atau plastik dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk penyebab demam berdarah. Oleh karena itu kegiatan mengubur barang bekas dapat menjadi alternatif umtuk mengatasi masalah tersebut
6. Memanfaatkan kembali barang bekas menjadi barang yang bernilai ekonomis Pada tahapan kegiatan ini siswa diajarkan tentang bagaimana mampu mendaur ulang sejumlah barang yang biasanya dijadikan tempat bersarangnya nyamuk seperti pengelolaan botol bekas, kaleng minuman, kaleng cat dan sebagainya. Daur ulang ini diharapkan para siswa dapat menghasilkan barang yang dapat dimanfaatkan untuk pribadi atau di keluarganya atau bahkan untuk dijual.
138
Gambar 7: Edukasi mendaur ulang barang-barang
a. Pot Hidroponik Pot hidroponik adalah pot bunga yang terbuat dari olahan barang bekas yang di ubah menjadi suatu pot yang dapat menyimpan air sehingga pemilik bunga tidak perlu di sibukkan lagi untuk menyiram tanamannya (Ina, 2016) 1. Alat dan bahan:
Botol bekas
Sumbu kompor
Gunting
Cutter
Air secukupnya
2. Cara pembuatan
Potong botol plastik dengan cutter pada bagian batas atas botol
Bagian badan botol di bentuk menjadi daun atau anyaman sesuai keinginan pembuat
Lepaskan tutup botol dari bagian kepala botol yang telah potong
Bagian tutup botol di lubangi sedikit untuk tempat masuknya sumbu 139
Masukkan sumbu kompor di lubang pada penutup botol yang sudah di buat
Tutup kembali kepala botol dengan tutup botol yang telah kita modifikasi
Letakkan kepala botol dengan posisi terbalik pada bagian atas badan botol
Pot hidroponik siap di gunakan
140
Gambar 6: Tahapan pembuatan pot hidroponik b. Dompet pernak-pernik Dompet pernak-pernik adalah tempat penyimpanan eksesoris seperti jam tangan, bros jilbab, koin, dan berbagai pernak pernik yang terbuat dari botol plastik bekas yang di gabungkan dengan resleting untuk membuka dompet (Humaira, 2015) 1. Alat dan bahan: 141
buah botol bekas dengan bentuk dan warna yang sama
Resleting
Benang dan jarum
Cutter
2. Cara pembuatan
Potong bagian bawah kedua botol tersebut dengan menggunakan cutter
Setelah itu, satukan bagian bawah kedua botol yang telah di potong dengan cara menjahit resleting pada sisi kedua botol tersebut.
Untuk membuat tampilannya lebih lucu dan menarik, Anda bisa menempelkannya mata boneka pada sisi atasnya.
Anda juga dapat menambahkan aksesoris sesuai kreativitas anda untuk lebih mempercantik tampilan
c. Celengan dari Kaleng Bekas
142
Merupakan tempat penimpanan uang yang ingin di tabung untuk digunakan dimasa depan (Sugeng, 2015) 1. Alat dan bahan :
Kaleng susu bekas
Cat Warna, bisa pilox atau cat cair
Kuas
Cutter
Koran bekas
2. Tutorial Memebuat Celengan dari Kaleng Susu Bekas
Kaleng susu bekas dicuci hingga bersih, kemudian dijemur sampai kering.
Kaleng bekas yang sudah kering selanjutnya dicat menggunakan cat pilox atau cat cair sebagai warna dasar gunakan warna putih.
Semprotkan cat secukupnya saja (tidak perlu tebal) tapi rata kesemua permukaan kaleng. Gunakan koran bekas sebagai alas.
Selanjutnya jemur kaleng yang sudah dicat hingga kering dengan beralasankan koran bekas.
Setelah kaleng sudah kering kemudian kita lukis / gambar dengan menggunakan kuas. misalnya gambar pemandangan, binatang, atau tokoh kartun hello kitty.
Jemur kembali calon celengan kaleng yang sudah digambar hingga kering.
Untuk membuat celengan kaleng lubangi tutup kaleng dengan cuter, dengan bentuk lubang lurus sepanjang kirakira 4 cm.
Pasang tutup kaleng yang sudah dilubangi tadi sebagai penutup celengan kaleng.
143
d. Kotak pesan Merupakan kotak tempat penimpanan surat yang terbuat dari kotak susu yang sudah tidak dipergunakan (Lestari, 2012) 1. Alat dan bahan
Kardus susu bekas ukuran 400 gr
Kertas warna warni
Lem kertas
Gunting/cutter
Penggaris
Tali
Boneka hias
2. Cara pembuatan
Potong kardus susu sesuai yang diinginkan dengan salah satu sisinya membentuk cela untuk menyelipkan pesan
144
Untuk memperoleh struktur yang berbeda, remas kertas warna warni kemudian tempelkan ke kardus hingga leseluruhan terbungkus rapi
Lubangi ujung bagian atas kardus yang telah diberi cela untuk menyelipkan kertas
Ikatkan tali untuk menggantung kertas
Tempel boneka hias sebagai pemanis
Dapat juga dikreasikan sesuai dengan kreatifitas pembuat
e. Pot bunga cantik Merupakan pot bunga hiasan yang terbuat dari kertas. Pot ini biasa digunakan untuk mempercantik meja belajar kita (Lestari, 2012). 1. Alat dan bahan
Gelas kertas bekas
Karton warna warni
Kertas krep warna warni
Tusuk sate
145
Lem
Gunting cutter
2. Cara pembuatan
Bersihkan gelas kertas bekas. Potong kertas karton warna hijau dengan ukuran yang diinginkan (lebar kurang lebih 1-2 cm), kemudian lipat-lipat dan masukkan ke dalam gelas hingga penuh
Buat pola bunga dan daun dari kertas karton dengan warna berbeda.
Tempelkan tusuk sate yang sudah dilapisi kertas krep ke bagian belakang pola bunga
Atur bunga-bunga yang telah jadi ke dalam gelas kertas
f. Tempat Tissu Kaleng Bekas Tempat Tissu Kaleng Bekas merupakan tempat tissu yang terbuat dari kaleng bekas yang dimodifikasi karena terbuat dari kaleng membuat
146
tempat tissu ini kuat dan tahan terhadap air yang dapat merusak tissue (Budi, 2016) 1. Alat dan Bahan:
Kaleng Bekas Susu ukuran besar
Gunting
Pisau Cutter
Cat (warna sesuai dengan keinginan kita) 2. Cara Pembuatan
Pada bagian tutup kaleng buatlah lubang bulat yang berfungsi sebagai tempat untuk keluarnya tissu
Kaleng tinggal dicat dan diwarnai agar lebih menarik
g. Penutup Lampu Hias Merupakan kerajinan tangan dari barang bekas yang terbuat dari sendok plastik yang disusun menjadi penutup lampu (LoeXie, 2012) 1. Alat dan Bahan:
Sendok bekas
Botol Bekas 147
Lem
2. Cara Pembuatan
Botol bekas yang sudah disiapkan dipotong bagian ujungnya yang kecil
Sendok plastik bekas dipotong dan dipisahkan dari gagangnya
Ujung
sendok
kemudian
ditempelkan
dengan
menggunakan lem pada potongan botol bekas satu persatu hingga keseluruhan botol bekas tertutupi oleh potongan sendok
Berikan hiasan tambahan untuk lebih mempercantik
148
h. Wadah Lampu Merupakan kreasi wadah lampu yang terbuat dari kaleng yang sudah tidak terpakai (Tiwi, 2017) 1. Alat dan Bahan:
Kaleng bekas susu ukuran kecil
Pisau
Paku
Cat
2. Cara Pembuatan
Kaleng bekas dilubangi pada kedua sisinya sebagai tempat masuknya lampu
Dibagian sisi kaleng bentuklah pola dengan menggunakan paku membuat lubang-lubang kecil sesuai dengan kreasi kita
Kaleng tinggal dicat dan diwarnai agar lebih menarik
149
7. Pencatatan dan pelaporan a. Kegiatan pencatatan dan pelaporan berfungsi untuk menilai keberhasilan PSN 3M oleh anak sekolah, serta sebagai informasi penting dalam rangka menghadapi terjadi serangan DBD. Pencatatan dan pelaporan PSN anak sekolah dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pencatatan dilakukan sesuai dengan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) dan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah (lampiran 2). b. Seminggu sekali siswa melakukan pemantauan jentik dan PSN di rumahnya masingmasing melakukan pencatatan hasil pemantauan jentik, jenis tempat perkembangbiakan nyamuk/ penampungan air (kontainer), ada tidaknya jentik dan kegiatan PSN 3M yang dilakukan dengan menggunakan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) c. Seminggu sekali siswa juga melakukan pemantauan jentik dan PSN di lingkungan sekolahnya, melakukan pencatatan hasil pemantauan jentik, jenis ruangan yang dipantau, jenis tempat perkembangbiakan nyamuk/ penampungan air (kontainer), ada tidaknya jentik dan kegiatan PSN 3M yang dilakukan Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah (lampiran 2). d. Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan Anak Sekolah dilaporkan setiap minggu ke guru penanggung jawab dan diparaf oleh guru penanggung jawab. e. Guru penanggungjawab memeriksa Formulir Hasil Pemantauan Jentik dan PSN Sekolah dan Formulir Hasil Pemantauan Jentik dan PSN Rumah, apabila laporan ditemukan jentik maka guru wajib
150
memberikan arahan kepada siwa untuk meningkatkan kegiatan PSN 3M, serta diharapkan dapat melaporkan ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan pengendalian lebih lanjut. f. Guru Penanggung jawab merekap hasil pemantauan siswa di rumah dan di sekolah ke dalam form Rekapitulasi Laporan Mingguan Jumantik-PSN Anak Sekolah (lampiran 3) kepada kepala puskesmas setempat selaku pembina UKS wilayah.
151
Daftar Pustaka
Anderson, E., & MC. Farlane, J. (2011). Community as partner : Theory and practice in nursing. Philadelphia: Lippincott Willims & Wilkins. Anwar, A., & Adi. (2015). Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan PSN dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda. Jurnal Ilmiah Manuntung, 23. Anwar, A., & Rahmat, A. (2015). Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik dan Tindakan PSN Masyarakat dengan Container Index Jentik Ae. aegypti di wilayah. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informasi Kesehatan, 118-120. Budi, R. (2016, November 30). Cara Membuat Kerajinan Tangan dari Kaleng Bekas Berbentuk Tempat Tissue. Diambil kembali dari https://rivanibudi.wordpress.com/2016/11/30/ Chakraborty, T., & Alcamo, I. E. (2008). Dengue fever and other hemorrhagic viruses. Infobase Publishing. Candra, A. (2010). Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. ASPIRATOR-Journal of Vector-borne Disease Studies, 2(2). Centers for Disease Control and Prevention. 1997. Retrieved from: https://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/casedef.html Centers for Disease Control and Prevention. 2014. Clinical guidance. Retrieved
from:
https://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html Djati, AP, Rahayujati, B&Raharto, S. 2010. Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi
Diy.
Retrieved
from:
http://kesmas.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileunggah/Anggun%20Pramita3.pdf Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan praktik dalam keperawatan . Jakarta: Salemba Medika. Fried, J. R., Gibbons, R. V., Kalayanarooj, S., Thomas, S. J., Srikiatkhachorn, A., Yoon, I. K., ... & Cummings, D. A. (2010). Serotype-specific differences in the risk of dengue hemorrhagic fever: an analysis of data collected in Bangkok, Thailand from 1994 to 2006. PLoS neglected tropical diseases, 4(3), e617. Harnilawati. (2013). Pengantar ilmu keperawatan komunitas. Sulawesi Selatan: Pustaka As Salam. Humaera, A. (2015, April 19). Macam-macam Kerajinan Tangan Mudah
di
Buat.
Diambil
kembali
dari
community-based
nursing.
http://myannisahumaira.blogspot.co.id. Hunt,
R.
(2009).
Introduction
to
Philadelphia: Wolters Kluwer. Ina, N. H. (2016, Desember 23). Fun With Hydroponics. Diambil kembali dari http://blog.umy.ac.id/nurhadaina Kemenkes. (2014). Petunjuk Teknis Jumantik - PSN Anak Sekolah. 137. Lestari, S. D. (2012). Kreasi Barang Bekas. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero). LoeXie. (2012, September 29). Membuat sendiri kap lampu futuristik keren
dari
sendok
plastik.
Diambil
kembali
dari
https://loexie.wordpress.com/2012/09/29/ Mengistu, D, & Misganaw, E. Community health nursing. Retrieved from: https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/health/ephti/library/lec ture_notes/nursing_students/comm_hlth_nsg_final.pdf Nurhayati. (2011). Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Komunitas. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Queensland
Health.
2017.
Dengue.
Retrieved
from:
http://conditions.health.qld.gov.au/HealthCondition/media/pdf/14/2 17/284/dengue-v5 Riasmini, N. m., Permatasari, H., Chairani, R., Puji, A. N., Ria, R. T., & Handayani, T. W. (2017). Panduan asuhan keperawatan individu, keluarga, kelompok, dan komunitas dengan modifikasi NANDA, ICNP, NOC dan NIC di puskesmas dan masyarakat. Jakarta: UIPress. Sines, D., Aldridgr-Bent, S., Fanning, A., Farrelly, P., Potter, K., & Wright, J. (2013). Community and public health nursing. United Kingdom: Wiley Blackwell. Stanhope, & Lancaster. (2016). Public health nursing ; Population centered health care in the community. USA: Mosby. Sugeng. (2015, Maret 31). Diambil kembali dari Tutorial Blogku: http://caraaslan.blogspot.co.id/2015/03/cara-membuat-celengandari-kaleng-bekas.html Swarjana, I. K. (2016). Keperawatan kesehatan komunitas. Yogyakarta: Andi Offset. Swarjana, I. K. (2016). Keperawatan Kesehatan Komunitas. Yogyakarta: ANDI OFFSET. Tiwi. (2017, Juni 16). Contoh Kerajinan Tangan dari Barang Bekas. Diambil kembali dari https://ilmuseni.com/seni-rupa/kerajinantangan/contoh-kerajinan-tangan Wati, N. K., Astuti, S., & Sari, L. K. (2016). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orang Tua tentang Upaya Pencegahan dengan Kejadian DBD pada Anak di RSUD Banjarbaru Tahun 2015. Jurkessia, 2425. Whitehorn, J & Farrar, J. 2010. Dengue. British Medical Bulletin, 95(1), 161–173, https://doi.org/10.1093/bmb/ldq019 World Health Organization. 2017. Retrieved from Dengue and severe dengue http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
World Health Organization. 2017.Enhancing the role of community health nursing for universal health coverage. Retrieved from: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/255047/1/9789241511896eng.pdf
Arellano, C., Casttro, L., Caravantes, E.D., Ernst, K.C., Hayden, M., & Castro, P.R. (2015). Knowledge and beliefs about dengue transmission and their relationship with prevention practice in Hermosillo, Sonora, Emergent Public Health Issues In The US-Mexico Border Region, Vol. 3 (142), p. 1522. Asmadi. (2005). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC Audain, G & Maher, C. (2017). Prevention and control of worldwide mosquitoborne illnesses: nurse as a teacher, The Online Journal of Issues in Nursing. Vol. 22(1), p. 1-14 Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing Interventions Classification (NOC). Indonesia: Elsevier. Conyer, R..T., Galvan, J.M., Zuniga, P.B. (2012). Community participation in the prevention and control of dengue: the patio limpio strategy in Mexico, Pediatrics and International Child Health, Vol. 32, p. 10-13. Efendi, F & Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Ginanjar, G. (2009). Demam berdarah. Jakarta: PT. Mizan Publika Hastuti, O. (2008). Demam berdarah dengue. Yogyakarta: Kanisius Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2016). Diagnosis Keperawatan Defenisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Kemenkes optimalkan PSN cegah DBD: memperingati asean dengue day. Diakses tanggal 29 Januari 2019. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=17061500001.
Lin, H., Liu, T., Song, T., Lin, L., Xiao, J., Lin, J., He, J., Zhong, H., Hu, W., Deng, A., Peng, Z., Ma, W., & Zhang, Y. (2016). Community involvement in dengue outbreak control: an integrated rigorous intervention strategy, PLOS Neglected Tropical Disease, p. 1-10 Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nurisng Outcomes Classification (NOC) Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: Elsevier. Riasmini, N.M., Permatasari, H., Chairani, R., Astuti, N.P., Ria, R.T.T.M., Handayani, T.W. (2017). Panduan asuhan keperawatan individu, keluarga, kelompok, dan komunitas dengan modifikasi Nanda, ICNP, NOC, dan NIC di puskesmas dan masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia World Health Organization. (2002). Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah: panduan lengkap. Jakarta: EGC World Health Organization. (2012). Global strategy for dengue prevention and control. France World Health Organization and Asian Development Bank. (2013). Managing regional public goods for health: community-based dengue vector control. Philippines Kwok-Cho Tang, Robert Beaglehole, & Desmond O'Byrne. Kebijakan dan kemitraan untuk tindakan promosi kesehatan - menangani faktor-faktor penentu kesehatan Ontario Agency for Health Protection and Promotion (Public Health Ontario). At a glance: The six steps for planning a health promotion program. Toronto, On: Quuen’s Printer for Ontario:2015
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, M. J., & Wagner, C. M. (2015). Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore: ELSEVIER. Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2015). Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Edition. Singapore: ELSEVIER.
DAFTAR INDEX
A
A
Antiplatelet, 122 Apnea, 112
C C
Abdomen, 38, 118
Apoteker, 89
Abiotik, 13
Arbovirus, 2
Cairan, 4, 39, 44, 48, 113
Abnormal, 114
Arteri, 114, 124
Cairan intravena, 8
Absensi, 95
Arthropoda, 2
Cappacity building, 72
Achievable, 70
Artralgia, 1
Caring, 3, 87
Activities of daily living, 117
Asam basa, 124
CDC, 1, 13
Adaptif, 14
Asian development bank, 29,
Cedera biologis, 39
ADL, 117
156
Administratif, 19
Asidosis, 7
Advocate, 52, 59
Asidosis metabolic, 39
Advokasi, 17, 22, 59, 75
Asites, 4
Aedes aegypti, 3, 8, 20, 106,
Aspek attitude, 59
127
Aspek knowledge, 59
Aedes albopictus, 14
Aspek practice, 59
Afektif, 18
Asuhan keperawatan, 1, 31
Agen pengendali biologis, 8
105, 153
Agensi, 78
Asupan gizi, 44
Agent, 11, 19
Asupan makan, 39
Ahli bedah, 88
Asymptomatic dengue
Ahli gizi, 45, 89
infection or dengue
Akral dingin, 38
without symptoms, 14
Akumulasi cairan, 5
Auskultasi, 38
Alamiah, 31, 91 Alkohol, 86
BB
American public health association, 81 Analgesic, 43
Bacillus thuringiensis israelensis, 18, 30
Celengan, 142 Cenderung berisiko, 33, 97, 108 Center for disease control and prevention, 1 Community health practice, 89 Continuity of care, 88 Copepoda, 18
DD Data inti komunitas, 92 Data persepsi, 94 Data sekunder, 33 Data subsistem komunitas, 92 DBD, 1, 29, 38, 105, 126, 150 Definisi, 2, 72, 79, 156 Definisi masalah, 67
Analgesik, 40, 121
Bahan kimia, 8, 19
Defisiensi kesehatan, 33
Analisa gas darah, 116
Bak mandi, 23
Deklarasi alma alta, 50
Anemis, 38
Ban bekas, 14, 23
Demam, 1, 44, 115, 126, 138,
Angka kejadian, 21
Berkembang biak, 3, 14, 105
Anti nyamuk, 8, 106
Bertelur, 4, 9, 15, 18
Antibiotik, 43, 118
Biotik, 13
Antikonvulsan, 121
Bubuk abate, 27, 108
Demam mendadak, 4
Antipiretik, 43, 118
Budaya, 53, 59, 64, 75, 87
Demografi, 31, 95
156 Demam berdarah dengue, 1, 105, 152
Demonstrasi, 19
Ekonomi, 32, 93
Gas darah, 114
DEN-2, 2, 13
Ekonomis, 135, 138
Gatal, 4
DEN-4, 2, 13
Ektremitas, 8
Gejala infeksi, 13
DEN-1, 2, 13
Ekuitas, 54
Gejala utama, 2
DEN-3, 2, 13
Elketrolit, 124
Gender, 67
Dengue shock syndrome, 2, 6
Enable, 52
Genetika, 66
Dengvaxia, 9
Endokrinologi, 88
Geografi, 80
Derajat kesehatan, 31, 32, 50,
Environment, 11
Gigitan nyamuk, 3, 5, 8, 13,
54, 57, 81, 91 Derajat kesehatan masyarakat, 34, 36 Determinants of health, 51, 66 Diagnosa keperawatan, 39,
Epidemi, 10, 17 Epidemiologi, 11, 94
15 Goal, 69, 100
Epidemiologic triangle, 11 Epistaksis, 1, 38
H H
Evaluasi, 23, 65, 91, 102, 127, 130
Habitat, 24
Evaluasi, 3, 41, 76, 102
Head to toe, 38
Diare, 4, 48, 119
Evaluasi formatif, 103
Health promotion, 89
Dimensi spasial, 79
Evaluasi sumatif, 103
Health public policy, 56
Dinamis, 31, 91
Extrinsic incubation period, 3
Hematemsis, 116
112
Hematokrit, 4, 48, 122
Disfungsi organ, 6 Dispnea, 114
F F
Dokter, 88
Hematokrit, 48 Hematuria, 48, 116
Donor, 13
Faktor lingkungan, 11, 12
Hemodinamik, 120
DSS, 2
Farmakologis, 41
Hemoglobin, 116
Dukungan sosial, 35, 36
Fase demam, 5, 43
Hemokonsentrasi, 4
Fase febrile, 5
Hemoragik, 2
Fase kritis, 5, 6
Hepatomegali, 2
Fase pemulihan, 5, 7
Hidrasi, 115
Early diagnosis, 86
Fasilitas kesehatan, 32, 109
Hidroponik, 139
Edukasi, 19, 28, 31, 134
Flafivirus, 2, 13
Hipertermi, 43
Efektif, 12, 17, 19, 20, 57, 63,
Flaviviridae, 2, 13
Hipertermia, 39, 112, 114,
E
72, 73, 74, 75, 76, 84, 98,
Flipchart, 134
99, 101, 108, 135
Flora, 32, 92
Hipertesia, 121
Efektifitas, 22, 23, 41
Focus group disccussion, 26
Hipokloremi, 39
Efektivitas program
Fragmentasi, 88
Hipoksia, 114
Fungsi keluarga, 35
Hiponatremia, 39
masyarakat, 34 Efisiensi, 14, 23 Efisiensi, 103
118
Hipoproteinemia, 4
G G
Efusi pleura, 4
Hipoproteinemia, 39 Hipotensi, 112, 113
Ekimosis, 1
Gangguan makan, 44
Hipotesia, 121
Ekologi, 65
Gangguan organ, 5
Hipovolemia, 114, 116, 120,
Ekonomi, 11, 52, 53, 59, 60,
Gangguan pernapasan, 5
64, 66, 75, 80, 95
Gangguan tidur, 40
123 Hipovolemia, 113
Hipovolemik, 116 Historis, 17
J
J
Kehilangan nafsu makan, 4 Kejang, 112
Holisme, 65
Jalan napas, 124
Kelambu, 8, 25
Host, 11, 13, 106
Jantung, 46, 88, 119, 121,
Kelelahan, 4, 5, 46, 47, 97,
123
II
114, 124
Jenis kelamin, 67
Keletihan, 39, 46
Jentik, 16, 28, 29, 106, 108,
Kelompok profesional, 60
Identitas, 38
128, 132, 133, 134, 135,
Keluhan utama, 38
Ikan guppy, 18, 28
136, 137, 138, 150
Kemitraan, 22, 54, 56, 58, 72,
Ikan nila merah, 28
Juknis, 127
Iklim, 12, 17
Jumantik, 127, 128, 129, 130,
Impact, 103
131, 132, 133, 134, 136,
34, 35, 38, 39, 44, 48, 80,
Implementasi, 19, 58, 65, 68,
151, 153
81, 82, 84, 85, 86, 87, 89,
73, 77, 102
Juru pemantau jentik, 3, 126
Imunisasi, 86, 100 Imunitas, 12
K K Kader jumantik, 131, 132
Indikator, 68, 71, 77
Kaleng bekas, 142, 146, 147,
14, 15, 16, 19, 39, 43, 87, 106, 109, 114, 116, 117, 119
152 Kampanye, 24, 25, 28, 74, 75, 127 Kapasitas, 17, 18, 23, 53, 67, 72, 73, 103
Infeksi awal, 4
Kapasitas, 117
Informasi kesehatan, 32
Kapiler, 6, 114, 115, 119,
Inkubasi virus, 3 Insektisida, 8, 9, 18 Inspeksi, 38
121, 123 Karakteristik, 12, 43, 66, 79, 93, 95, 113
Instansi, 33
Kategorisasi, 95
Instansi, 95
Kategorisasi, 95
Institusi pendidikan, 51
Keadaan fisik, 53
Intake makanan, 44
Keadilan sosial, 54, 65
Integritas, 115
Kebiasaan, 106
Interaksi, 11, 17, 79, 80
Kebijakan, 56, 61, 62, 74,
Intervensi, 17, 46, 73, 76, 81,
156
82, 83, 85, 87, 91, 101
Kebijakan kesehatan, 34, 62
Intervensi keperawatan, 118,
Kebocoran plasma, 2, 4, 5, 6,
124 Intravaskuler, 39, 48 Iritasi lambung, 7 Ivm, 29
91, 92, 95, 96, 100, 101,
156 Keringat dingin, 38
Increase individual skills, 57
Infeksi, 2, 4, 6, 7, 9, 12, 13,
Keperawatan, 1, 3, 30, 31, 33,
102, 108, 153, 154, 155,
Imunitas, 12
Individual, 57, 85
73, 75, 78, 102, 126, 156
7, 39, 46 Kebocoran plasma darah, 2, 39, 46 Keefektifan, 103
Kesadaran kesehatan, 97 Kesadaran masyarakat, 24 Kesehatan keluarga, 35, 109 Kesenjangan, 53, 66, 71, 73, 75, 90 Kesimpulan, 95, 96 Keterampilan pribadi, 64 Ketidakefektifan, 33, 36, 39, 46, 97, 113, 114, 115, 120 Keyakinan agama, 32 Keyakinan kesehatan, 36 Klinik, 32, 92, 95 Koagulapati inheren, 114, 116, 122 Koagulapati inheren, 113 Kolaborasi, 22, 27, 52, 54, 72, 84 Kolaborasi, 17, 43, 44, 46 Kolaps, 5 Kombinasi, 10, 51 Kompetensi masyarakat, 34 Komplikasi, 2, 5
Komponen, 11, 52, 55, 64, 67, 71, 80, 82, 85, 89, 122, 127, 134 Komunikasi, 22, 93 Komunitas, 1, 3, 28, 30, 31,
L L
Mediate, 52, 60 Medis, 5, 31, 85, 88, 121
Lansia, 94, 97, 99
Mematikan, 5
Larva, 4, 18, 19, 24, 27, 28,
Menetapkan prioritas, 100
29, 30, 106
Menetapkan tujuan, 101
32, 33, 34, 36, 37, 60, 62,
Larvaciding, 28
Mengubur, 24, 138
79, 80, 81, 82, 83, 84, 85,
Layanan kesehatan, 64, 67
Mengubur, 138
86, 89, 90, 91, 92, 96, 97,
Leaflet, 134
Menguras, 137, 138
100, 101, 102, 103, 109,
Leukopenia, 1, 2, 39, 123
Mental, 53, 54, 95, 113
153, 154, 155, 156
Levels of wellness, 90
Menutup, 138
Kondisi lingkungan, 38
Lima area aksi, 51
Mesocyclops, 18
Kondisi ruang terbuka, 32
Limbah, 9, 19, 105
Metode utama, 8
Konjungtiva, 38
Limbah padat, 9, 19
Mialgia, 1
Konseling, 30
Lingkungan, 2, 8, 9, 14, 15,
Migrasi, 1, 10
Konsep perawatan, 82
16, 18, 19, 20, 23, 24, 31,
Minat, 80
Konsultan, 88
32, 51, 52, 53, 55, 56, 59,
Mobilisasi, 16, 17, 22
Konsultasi kesehatan, 34
60, 61, 62, 63, 64, 65, 66,
Mobilitas, 10
Konsumen, 84, 85
74, 75, 78, 79, 83, 88, 94,
Modifikasi, 9, 42, 140, 154,
Kontainer, 14, 18, 19, 106,
98, 99, 108, 109, 116,
137, 150 Kontekstual, 54 Kontinuitas, 3, 88
156
118, 132, 133, 135, 137,
Modifikasi lingkungan, 9
150
Modifikasi perilaku, 34, 109
Lingkungan, 2, 16, 17, 23,
Monitor, 43, 45, 47, 48, 118,
Kontinuitas perawatan, 3, 88
32, 62, 66, 83, 92, 105,
119, 120, 121, 122, 123,
Kontinyu, 31, 81
126, 152
124, 125
Kontrol nyeri, 40
Lintas sektoral, 54
Monitoring, 127, 130, 134
Koordinasi, 22, 130, 133
Literasi kesehatan, 61
Monitoring, 23, 34, 43, 46,
Koordinator, 30, 89
Logika, 72
Koping keluarga, 35
Lokasi industri, 32
Morbiditas, 22
Korelasi, 17
Lotion, 106
Mortalitas, 22
Kortikostreoid, 121 Kota sehat, 61
Mosquite-borne disease, 1
M M
Kotak pesan, 144 Kualitas, 32, 43, 52, 57, 59, 71, 75, 76, 77, 78, 83, 88, 92, 93, 101 Kualitas air, 32, 92 Kualitas udara, 32, 92, 93 Kuisoner, 95 Kulit memerah, 4, 6 Kulit mengelupas, 4
124
Mual dan muntah, 4, 123 Multi-sektoral, 27, 72
Manajemen kesehatan, 33, 97
Muntah, 4, 5, 38, 119, 120
Manajemen lingkungan, 36, 37, 109 Manajemen perilaku, 34, 109
N N
Manajemen stress, 86
Nanda, 40, 156
Manifestasi hemoragik, 1, 4
NIC, 1, 34, 40, 108, 154, 156
Masa depan, 65
Nilai, 32, 55, 79, 83, 87, 92,
Masa inkubasi ekstrinsik, 16 Masker, 20 Measureable, 70
122 NOC, 1, 34, 40, 108, 154, 155, 156, 157
Nonverbal, 40
Patogenesis, 5, 6
Nutrisi, 39, 44, 47, 119, 124
Pejamu, 12, 106
Nyamuk, 1, 2, 3, 4, 8, 9, 12,
Pelaksanaan, 3, 27, 102, 126,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,
135, 137
20, 23, 27, 28, 29, 30, 86,
Pemberdayaan, 24, 25, 58
105, 106, 127, 129, 133,
Pemberdayaan masyarakat,
135, 136, 137, 138, 150
25
Pengembangan program, 34, 110 Pengendalian biologis, 18, 28 Pengendalian mekanis, 18 Pengkajian, 3, 31, 38, 84, 91, 105 Pengobatan tradisional, 32,
Nyeri akut, 39, 40
Pembiakan nyamuk, 8
Nyeri di belakang mata, 5
Pembuangan limbah, 32, 92
Pengusir serangga, 8
Nyeri otot, 2, 4, 5
Pembuluh darah, 6
Penilaian situasi, 68
Nyeri sendi, 4, 38
Pemeliharaan kesehatan, 33,
Penipisan cairan, 6
Nyeri tekan, 38 Nyeri tulang, 2, 4
36, 100 Pemeriksaan, 34, 35, 71, 87, 95, 116, 134
OO Obat, 8, 43, 46, 89, 98, 106, 118, 119, 121, 122, 124 Observasi, 95, 108 Observasi, 40
92
Penularan, 2, 3, 13, 16, 26, 36, 37 Penutup lampu, 147
Pemeriksaan fisik, 38
Penyemprotan, 8, 9, 20
Pemeriksaan kesehatan, 34,
Penyuluh, 30
35 Pemeriksaan payudara sendiri, 87 Pemerintah, 21, 25, 28, 33,
Peptisida, 27 Perawat, 30, 31, 32, 80, 82, 83, 86, 87, 89, 94, 100, 101
Okular, 1
50, 51, 52, 60, 61, 64, 68,
Perawatan akut, 82
Organisasi masyarakat, 57,
101, 129, 133
Perawatan kolaboratif, 3, 88
68
Pemuka formal, 55
Perbandingan, 82, 95
Ottawa, 50, 51, 56, 71
Pemuka informal, 55
Perdarahan, 1, 4, 5, 6, 7, 8,
Ottawa charter, 50
Pemuka masyarakat, 55
Outcomes, 103
Penampungan air, 8, 16, 23,
Output urine, 115 Overload cairan intravaskuler, 7
PP Pajanan penyakit, 12 Palpasi, 38 Pap smear, 87 Paracetamol, 7 Parasthesia, 121 Parsial tromboplastine, 116 Partisipasi, 9, 23, 25, 28, 58, 63, 67, 84, 103 Partnership, 72 Patio limpio, 25, 26, 27
24, 105, 138, 150
38, 39, 122, 123 Perdarahan kulit, 4 Perdarahan ringan, 5
Pencahayaan, 106
Perekrutan, 131, 132
Pencegahan dbd, 21, 26, 28
Perifer, 39, 46, 113, 114, 115,
Pencegahan primer, 86 Pencegahan primer, 86 Pendarahan hebat, 5, 6 Pendidikan, 32, 35, 36, 66, 70, 73, 93, 108, 129, 135 Pendidikan kesehatan, 12, 27, 90, 137 Penelitian, 12, 23, 26, 64, 73, 76, 106, 127
117, 120, 121 Perilaku hidup bersih dan sehat, 55 Perilaku kesehatan, 33, 35, 97, 108 Periode menstruasi, 5 Perkesmas, 82 Perkusi, 38 Pernak-pernik, 141
Pengaturan prioritas, 67
Pernapasan, 5, 115, 117, 125
Pengaturan visi, 67
Persepsi, 26, 32, 94 Persepsi masyarakat, 32, 94
Petechiae, 6
Promosi kesehatan, 35, 52,
Rehabilitasi, 31, 87, 89, 91
Petekia, 1
53, 54, 59, 61, 62, 63, 64,
Rekreasi, 94
Ph darah, 39
74, 97
Relevansi, 103
Phbs, 55, 56, 58, 59, 128, 129
Promosi kesehatan, 50, 53,
Relevant, 70
Piagam ottawa, 56
54, 56, 58, 62, 67, 71, 89,
Reorient health serice, 57
Piagam ottawa, 50, 51
97
Reorientasi, 57, 64
Planning, 67
Propely, 18
Reproduksi, 16
Pokjanal, 127, 130
Prosedur invasif, 122
Reservoir, 12
Pola hidup, 63
Proses keluarga, 35
Resleting, 142
Pola kebiasaan sehari-hari, 38
Proses perencanaan, 67
Retroorbital, 1
Politik, 19, 59, 64, 75, 93
Protrombin, 116, 122
Reuse, 19
Politik dan pemerintahan, 93
Psn, 108, 127, 128, 129, 130,
Review rencana program, 71
Polynesiensis, 14, 15
131, 132, 133, 134, 135,
Ringkasan, 95, 96
Populasi, 8, 17, 51, 52, 68,
136, 150, 151, 152, 153,
Ringkasan, 95
155
Risiko tinggi, 31
Psurpura, 1
Riwayat, 38, 92
Pot bunga, 145
Pteki, 38
Riwayat penyakit sekarang,
Potensi, 60, 75, 77, 79, 86
Public health, 89, 154
Potensi kesehatan, 60
Public opinion, 55
Pramuka, 127, 128
Public/community health
69, 70, 72, 73, 74, 75, 80, 81, 82, 83, 84, 90, 95
Predisposisi, 11
nursing, 89
38 Riwayat penyakit yang sebelumnya, 38 Rna berantai tunggal, 2, 13
Presipitasi, 16
Publik yang sehat, 51, 62
Role model, 30
Pressure group, 56
Publik yang sehat, 62
Rom, 46, 122
Prevensi sekunder, 34, 35,
Pupa, 18, 29
Rongga perut, 6
Puskesmas, 32, 92, 94, 95,
Ruam, 1, 2, 4, 5, 121
36, 37 Prevensi tersier, 34, 35, 36, 37 Prioritas, 73 Program, 17, 19, 34, 60, 67,
130, 131, 132, 133, 134,
Ruang terbuka, 105
151, 154, 156
Rumah sakit, 2, 8, 22, 28, 32,
Puskesmas, 108, 131, 133, 136, 151
S
69, 70, 72, 73, 76, 77, 78, 84, 89, 93, 101, 102, 103,
92, 94, 95
RR Sadari, 87
104, 109, 127, 128, 129, Rambut rontok, 5
Sakit kepala, 1, 2, 4, 5
Ras, 12, 92, 95
Sakit perut, 4, 5
53, 54, 56, 58, 59, 60, 62,
Rawat inap, 10
Salisilat, 7
63, 64, 65, 67, 69, 70, 71,
Reabsorbsi, 7
Saluran cerna, 6
72, 73, 74, 76, 77, 83, 84,
Recycle, 19
Sampah, 19, 25, 138
89, 100, 102, 108, 109,
Recyclin, 19
Sanitasi, 17, 93
156
Reduce, 19
Sasaran primer, 54, 55
Regulasi, 113, 114, 115, 117,
Sasaran sekunder, 55
136, 156 Promosi, 11, 35, 50, 51, 52,
119, 123 Regulator epidemi, 17
Sasaran tersier, 56 Saturasi oksigen, 116, 117
Scutellaris, 14, 15
Status perkawinan, 92
Sekolah, 28, 38, 52, 64, 93,
Stegomyia, 15
Tim kesehatan, 35, 36, 42, 44, 45, 109
95, 127, 128, 129, 130,
Stiker, 134
Tingkat nyeri, 40
131, 132, 133, 134, 135,
Strategi, 22, 23, 25, 26, 27,
Tingling, 121
136, 150, 151 Sektor kesehatan, 17, 27, 52, 53, 60, 64 Sekunder, 6, 33, 54, 55, 86, 87, 94, 109 Self-care, 84
28, 40, 41, 42, 52, 58, 59,
Tipe keluarga, 31
63, 65, 70, 71, 72, 75,
Tipe keluarga, 92
102, 117
Tirai, 8
Strategi ivm, 29
Transfusi darah, 13
Strengthen community
Transimisi, 12
action, 57
Transmisi, 12, 17
Self-efficacy, 73
Subtropik, 15
Transplantasi, 13
Sepsis, 113
Suhu, 16, 43, 115
Transport, 134
Serotipe, 2, 6, 13, 17
Suhu tubuh, 4, 5, 6, 8, 112,
Transportasi dan keamanan,
Sgot, 39
113, 119
93
Sgpt, 39
Sumber air terbuka, 8
Treatment, 86
Sirkulasi, 6, 46, 113, 114,
Sumber penghasilan, 32
Trombositopenia, 4, 39, 113,
115, 116, 120, 121, 123 Sistematis, 31, 63, 75, 84, 91, 102
Supine, 123 Suplai darah, 6
Tropik, 15
Sustainability, 104
Turgor kulit, 38, 113, 120
Skrining diabetes, 87
Swadaya, 63
Skrining kanker payudara, 87
Syok, 2, 5, 39, 116, 123
Skrining kesehatan, 34, 36,
Syok hopovolemik, 2
U U Urbanisasi, 10, 17, 63
37 Smart, 70, 101
114, 116, 122
TT
Urium, 39
Social marketing, 74 Social pressure, 55
Tahap kritis, 5
Sosial, 11, 17, 32, 36, 52, 53,
Takikardia, 112, 114
V
Takipnea, 112
Vaksinasi, 86
54, 55, 59, 60, 62, 63, 64,
Tanda peringatan, 5
Variabel, 12, 71
66, 73, 74, 75, 77, 79, 80,
Tanda-tanda vital, 7, 43, 118
Variabilitas, 17
87, 89, 92
Tata pemerintahan, 60
Vasodilatasi, 112
Sosial ekonomi, 53
Telur, 4
Vektor, 3, 8, 9, 10, 12, 14, 15,
Specific, 70
Tempat tissu, 146
18, 19, 21, 23, 25, 29, 30,
Spesies, 12, 13, 14, 15
Terapi rehidrasi oral, 7
31, 126, 127
Spesies primata, 12
Terapis, 88
Ventilasi, 105
Stabilisasi, 7
Terinfeksi, 2, 3, 4, 5, 6, 13
Viremia, 3
Stakeholder, 51, 65, 73
Termoregulasi, 43, 115
Virus dengue, 2, 3, 6, 12, 13,
Stakeholders, 55
Tersier, 54, 56, 86, 87
14, 15, 112, 114, 118
Statistic vital, 92
Tes rempelit, 38
Vital sign, 43
Statistik vital, 31
Tes tourniquet, 1, 4
Volume, 113, 114, 115, 117,
Status gizi, 12 Status perkawinan, 31
The symptomatic dengue, 14
119
Volume cairan, 39, 48, 114, 117, 123
Wadah lampu, 149
Wewenang, 88
W W
Who, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 22,
Wabah, 9, 12, 20, 32 Wadah, 4, 9, 14, 15, 18, 25, 28, 135, 149
'
Wawancara, 68, 95
23, 24, 29, 83, 95 World health organization, 2, 22, 29, 79, 154, 155, 156
'Wrigglers, 4