BUILD OPERATE TRANSFER (BOT) Peraturan Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang
Milik
Daerah
memberikan
kesempatan
untuk
pemerintah daerah melaksanakan pemanfaatan aset tetap milik daerah yang tidak digunakan untuk kegiatan operasional pemerintah daerah dengan tujuan untuk mengoptimalkan aset tetap milik daerah tanpa mengubah status kepemilikan atas aset tetap milik daerah. Pelaksanaan pemanfaatan aset tetap milik daerah memberikan peluang untuk masing-masing daerah menambah pendapatan asli daerah melalui aset tetap yang tidak digunakan dalam kegiatan operasional. Salah satu bentuk pemanfaatan yang diatur dalam Peraturan Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016
adalah terkait dengan Build Operate
Transfer(BOT) atau dalam isitilah Peraturan Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016
lebih
dikenal
dengan
isitilah
Bangun
Serah
Guna(BSG).
BOT merupakan pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Pelaksanaan BOT barang milik daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:
Pengguna
Barang
memerlukan
bangunan
dan
fasilitas
bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan
tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD untuk penyediaan bangunan dan fasilitas tersebut.
Pelaksanaan BOT pada Pemerintah Daerah sebagaimana diatur pada Peraturan Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Bangunan dan fasilitasnya yang menjadi bagian dari hasil pelaksanaan BOT harus dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama pemerintah daerah. 2. Biaya persiapan BOT yang dikeluarkan Pengelola Barang atau Pengguna Barang sampai dengan penunjukan mitra BOT dibebankan pada APBD. 3. Biaya persiapan BOT yang terjadi setelah ditetapkannya mitra BOT dan biaya pelaksanaan BOT menjadi beban mitra yang bersangkutan. 4. Penerimaan hasil pelaksanaan BOT merupakan penerimaan daerah yang wajib disetorkan seluruhnya ke rekening Kas Umum Daerah. 5. BOT barang milik daerah dilaksanakan oleh Pengelola Barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota. Bagi Pemerintah Daerah pelaksanaan BOT merupakan salah satu cara untuk melaksanakan Pemerintah
efisiensi
dapat
atas
pengeluaran
memperoleh
fasilitas
dana baik
dari
APBD,
dimana
dalam
bentuk
gedung
apartemen, hotel, pusat perbelanjaan dan lain sebagainya tanpa harus mengeluarkan dana dari APBD. Build Operate Transfer (BOT) pada pemerintah daerah didasarkan atas perjanjian BOT antara Pemerintah Daerah sebagai pemilik tanah dan Mitra BOT sebagai pihak ketiga yang menerima penguasaan atas tanah Pemerintah Derah. Perjanjian BOT menjadi dasar pembentukan hubungan hukum antara Pemda dengan Mitra BOT. Hak dan kewajiban pada pelaksanaan BOT timbul akibat perjanjian BOT. Perjanjian BOT menempatkan tanah sebagai objek perjanjian, dengan perjanjian BOT penggunaan atau pemanfaatan dan pengelolaan tanah dapat diserahkan kepada pihak lain selama jangka waktu tertentu. Dengan demikian perlu dipahami norma-norma hukum atas tanah selama perjanjian BOT berlangsung. A. Build Operate Transfer Ditinjau dari Aspek Perjanjian
Perjanjian BOT ini tidak dikenal dalam hukum perdata, munculnya perjanjian BOT dilatarbelakangi dengan adanya tuntutan kebutuhan masyarakat, khususnya bagi
para pelaku usaha yang menghendaki
terjalinnya hubungan kemitraan atau kerja sama dalam menjalankan usaha maupun melakukan ekspansi yang dituangkan dalam satu perjanjian tertulis dan lazimnya agar para pihak yang berkepentingan merasa terlindungi. Dengan demikian keberadaan BOT adalah untuk memenuhi kebutuhan praktik dilapangkan dimana di satu sisi pemilik lahan membutuhkan dana untuk membangun gedung sementara para pengusaha membutuhkan lahan untuk menjalankan kegiatan bisnisnya. Dua kebutuhan tersebut kemudian bertemu dan dituangkan dalam perjanjian
BOT yang didesain dengan
tunduk pada peraturan perundangan yang terkait dengan perjanjian. Secara umum terdapat tiga fungsi dari perjanjian BOT yaitu: 1. Sebagai surat penunjukan penggunaan tanah oleh pihak lain(Mitra BOT/penerima BOT) 2. sebagai dasar kesepakatan penggunaan tanah antara pemilik tanah dengan pengguna tanah; dan 3. menciptakan hubungan hukum yang konkret atas penguasaan tanah secara fisik oleh pihak yang menerima penyerahan tanah. Secara umum dasar hukum perjanjian BOT mengacu pada pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menjadi dasar atau tolak ukur sah atau tidaknya perjanjian-perjanjian yang ada di Indonesia. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa ada empat unsur yang harus dipenuhi supaya perjanjian (dalam hal ini perjanjian BOT) dapat dinyatakan sah, yaitu: 1. Adanya Kesepakatan Kedua Belah Pihak Kesepakatan dalam pengertian ini menunjukkan bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian BOT setuju atas pasal-pasal yang dijelaskan pada perjanjian. Pemaksaan atas kehendak salah satu pihak ke pihak yang lain tidak dibenarkan jika mengacu pada unsur ini.
2. Kecakapan untuk Melakukan Perbuatan Hukum Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dapat diartikan bahwa para pihak yang menandatangani perjanjian harus lah subjek hukum yang sah. Apabila pihak yang melaksanakan perjanjian adalah orang per orang (person) maka setiap orang tersebut haruslah cakap melakukan perbuatan hukum sebagai yang telah ditentukan adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Terkait dengan pengertian dewasa, di Indonesia terdapat pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan dewasa, menurut KUH Perdata dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita namun jika mengacu
pada
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan, dewasa adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Secara umum pengertian dewasa sebagaimana dijelaskan pada KUH Perdata menjadi acuan dalam praktik-praktik hukum perjanjian di Indonesia. Dengan melihat karakteristik dan sifat dari perjanjian BOT, maka secara umum pihak yang melaksanakan perjanjian adalah pemerintah daerah dengan
perusahaan
swasta(rechtssubject),
dan
tidak
menutup
kemungkinan dilakukan oleh perusahaan swasta dengan perusahaan swasta lainnya atau perorangan dengan perusahaan swasta. Jika pihak yang melakukan perjanjian BOT adalah Pemerintah Daerah dengan Perusahaan swasta, maka yang menjadi perhatian adalah status badan hukum dari perusahaan swasta tersebut. Pemerintah Daerah harus memastikan bahwa status badan hukum sah secara hukum Indonesia, dengan demikian apabila pelaksanaan BOT yang sifatnya kompleks dan dengan nilai aset tanah yang menjadi objek perjanjian BOT besar maka legal audit ataupun Due diligence atas status badan hukum mitra BOT menjadi salah satu pilihan tepat untuk meminimalisir masalah-masalah yang timbul dikemudian hari akibat badan hukum yang tidak sah secara
hukum Indonesia diketahui setelah perjanjian ditandatangani oleh kedua belah pihak. Jika mengacu Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, pihak swasta yang menjadi pihak dalam perjanjian BOT disebut dengan istilah mitra BOT. Pemilihan mitra didasarkan pada prinsip-prinsip terbuka, sekurang-kurangnya diikuti oleh 3 (tiga) peserta, memperoleh manfaat yang optimal bagi daerah, dilaksanakan oleh panitia pemilihan yang memiliki integritas, andal dan kompeten, tertib administrasi, dan tertib pelaporan. Pelaksanaan pemilihan mitra BOT dilakukan dengan cara tender. Tender dilakukan untuk mengalokasikan hak pemanfaatan barang milik daerah berdasarkan spesifikasi teknis yang telah ditentukan oleh Pengelola Barang/Pengguna Barang kepada mitra BOT yang tepat dari peserta calon mitra yang lulus kualifikasi. Proses tender dilaksanakan sepanjang terdapat paling sedikit 3 (tiga) peserta calon mitra yang memasukkan penawaran, kemudian hasil tender dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh panitia pemilihan dan calon mitra selaku pemenang tender. 3. Adanya Obyek Objek Hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum. Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas, dalam kaitannya dengan perjanjian BOT maka yang menjadi objek perjanjian secara umum adalah Aset Berupa Tanah atau hak atas tanah. Dalam hal ini hak-hak atas tanah dari pemilik harus jelas secara hukum sebagaimana yang akan dijelaskan pada sub pembahasan angka 2 tulisan ini. 4. Adanya Kausa yang Halal
Kausa yang halal dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 1335 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Unsur ini tidak menutup kemungkinan bahwa isi perjanjian harus sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia di luar dari KUH Perdata itu sendiri. Dengan demikian Pemerintah Daerah dalam membuat perjanjian BOT harus memperhatikan ketentuan perundangan yang terkait dengan BOT, adapun ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan antara lain adalah:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah;
Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang perlakukan Pajak Penghasilan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerja sama dalam bentuk perjanjian bangun guna serah; dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Dibandingkan dengan jenis perjanjian lain terdapat karakteristik khusus yang melekat pada jenis perjanjian ini. Karakteristik yang secara khusus melekat pada perjanjian BOT adalah terkait dengan prestasi yang diperjanjikan. Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan bahwa prestasi
merupakan memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Klausa memberikan sesuatu pada perjanjian BOT adalah berupa pemberian hak oleh pemilik tanah/lahan kepada pihak swasta untuk membangun di atas tanah pemilik lahan dan pemberian hak konsesi kepada pihak swasta untuk menggunakan bangunan tersebut untuk waktu tertentu yang telah disepakati. Klausa berbuat sesuatu adalah adanya kewajiban dari pihak swasta untuk membuat atau mendirikan bangunan di atas hak pemilik lahan sesuai dengan gambar atau spesifikasi yang telah disepakati oleh pemilik lahan, kewajiban untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan(IMB) dan perizinan lainnya atas nama pemilik lahan, mengasuransikan bangunan gedung, membayar komensasi/royalty kepada pemilik lahan, dan penyerahan kembali aset berserta dengan segala fasilitasnya kepada pemilik. Klausa tidak berbuat sesuatu adalah berupa larangan yang ditujukan kepada pihak swasta untuk tidak melakukan sesuatu seperti larangan menjual, mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah kepada pihak ketiga. Pasal 221 ayat (1) Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 melarang mitra
BOT
untuk
menjaminkan,
menggadaikan,
atau
memindahtangankan atas:
tanah yang menjadi objek BOT/BOT;
hasil BOT yang digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah; dan/atau
hasil BOT.
B. Build Operate Transfer (BOT) Ditinjau dari Aspek Hukum Pertanahan Berkaitan dengan aspek hukum pada perjanjian BOT maka perjanjian BOT dapat ditinjau dari aspek hukum pertanahan, mengingat dalam perjanjian
BOT yang menjadi objek perjanjian adalah tanah maka dianggap perlu bahwa perjanjian BOT dikaji dari aspek hukum pertanahan. Pada prinsipnya pada perjanjian BOT tidak terjadi peralihan hak atas tanah kepada mitra BOT melainkan mitra BOT hanya memperoleh penguasaan fisik atas tanah untuk dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian BOT. Setelah perjanjian berakhir maka mitra BOT harus mengembalikan kembali penguasaan fisik atas tanah beserta dengan sarana dan prasarana yang timbul atas pelaksaan perjanjian BOT. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) mengenal beberapa hak atas tanah yang antara lain meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Dalam perkembangan hukum tanah nasional dikenal pula Hak Pengelolaan. Dari lima hak tanah tersebut atas tanah dengan Hak Guna Usaha tidak dapat dijadikan objek BOT karena pada Hak Guna Usaha tidak diberikan izin untuk membangun gedung di atas tanah melainkan hanya untuk mengusahakan saja. 1. Build Operate Transfer di atas Tanah Hak Milik Pengertian hak milik menurut ketentuan Pasal 6 UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA. Hak Milik bersifat turun-menurun diartikan bahwa Hak Milik atas tanah tersebut tidak hanya berlangsung selama hidup pemegang Hak milik atas tanah, tetapi dapat juga dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pewaris meninggal dunia, oleh karena itu Hak Milik jangka waktunya tidak terbatas. Hak Milik bersifat terkuat maksudnya bahwa Hak Milik merupakan induk dari macam hak atas tanah lainnya dan dapat dibebani oleh hak atas tanah lainnya, seperti Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Hak Milik bersifat terpenuh maksudnya Hak Milik menunjuk luas wewenang yang diberikan kepada pemegang Hak Milik dalam menggunakan tanahnya baik untuk usaha pertanian maupun untuk mendirikan bangunan. Hak Milik
bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh bukan berarti bahwa Hak Milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan Hak Milik dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu. Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial termasuk tanah dengan hak milik. Fungsi sosial tersebut dapat diartikan sebagai:
Dalam aktivitas penggunaannya atau pemanfaatan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak lain;
penggunaan tanah wajib disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana tata ruang;
penggunaan
atau
pemanfaatan
tanah
wajib
memperhatikan
kepentingan umum selain kepentingan pribadi;
tanah digunakan tidak boleh ditelantarkan sehingga menimbulkan kerugian atas tanah tersebut, baik dari sisi kesuburan, penggunaan, dan kemanfaatanatan tanah tersebut.
Dalam rangka BOT, Tanah dengan status hak milik akan diserahkan penggunaannya kepada mitra BOT dengan maksud untuk membangun gedung yang berada di atas tanah hak milik. Maka dalam rangka pelaksanaan BOT tersebut maka kepada mitra BOT dapat diberikan hak baru berupa hak guna bangunan atau hak pakai. Pemberian HGB atau Hak Pakai kepada Mitra BOT dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Pemegang Hak Milik dan Mitra BOT membuat dan menandatangani Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Hak Milik melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); 2. Kemudian Akta Tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan sesuai dengan wilayah hukumnya;
3. Kantor Pertanahan melakukan penelitian dan verifikasi atas berkas permohonan hak; 4. Kantor Pertanahan membuat buku tanah HGB atau Hak Pakai dan kemudian menerbitkan Sertifikat HGB atau Hak Pakai di atas hak milik, Dengan demikian, dalam proses BOT tanah dengan status hak milik dapat membentuk dua instrumen hukum yaitu perjanjian BOT dan Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Hak Milik dalam rangka menerbitkan sertifikat HGB atau Hak Pakai. 2. BOT di atas Tanah dengan alas Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai Pasal 35 ayat (1) UUPA menjelaskan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 Tahun, sementara Hak Pakai sesuai dengan Pasal 41 ayat (1) UUPA diartikan sebagai hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Kedua Hak atas tanah ini merupakan hak atas tanah sekunder yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah yang dikuasai oleh pihak lain, sehingga tanah yang dibebani dengan HGB dan Hak Pakai tidak dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya. Pelaksanaan BOT di atas dengan alas HGB atas Hak Pakai hanya membutuhkan satu instrumen hukum saja yaitu perjanjian BOT. Mitra BOT hanya dapat menggunakan, mengelola dan mengambil keuntungan ekonomis secara wajar dari pemanfaatan tanah dalam jangka waktu tertentu. Perjanjian BOT di atas Tanah HGB dan Hak Pakai kurang menguntungkan bagi mitra BOT dalam hal aspek komersialnya. Mitra BOT tidak dapat menjaminkan tanah yang dikelolanya kepada lembaga keuangan karena mitra BOT tidak memiliki Hak atas Tanah yang
Dikuasainya. Hal ini berbeda dengan BOT di atas Hak Milik dimana mitra BOT dapat menjaminkan tanah yang dikelolanya kepada bank. 3. BOT di atas Tanah Hak Pengelolaan(HPL) Hak Pengelolaan(HPL) merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaannya
sebagian
dilimpahkan
kepada
pemegangnya. Seperti halnya dengan perjanjian BOT di atas tanah Hak Milik, penyerahan penggunaan tanah HPL kepada Investor juga dapat disertai dengan pemberian hak atas tanah baru, baik dengan HGB atau dengan Hak Pakai. Namun yang membedakan adalah pemberian HGB dan Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan tidak membutuhkan akta PPAT, melainkan cukup hanya dengan menandatangani perjanjian BOT dan persetujuan prinsip atau rekomendasi dari pemegang HPL. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan dan penandatanganan perjanjian BOT antara Pemegang HPL dengan Mitra BOT; 2. Pemegang HPL menerbitkan Surat Rekomendasi kepada Mitra BOT untuk digunakan sebagai salah satu syarat bagi perolehan hak guna bangunan; 3. Mitra BOT mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah HPL ke Kantor Pertanahan setempat; 4. Apabila syarat dalam permohonan pemberian Hak Guna Bangunan telah lengkap maka Kantor Pertanahan setempat menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH); 5. SKPH didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk dibuatkan buku tanah yang menjadi dasar penerbitan Sertifikat Hak Guna bangunan. Kerja sama dengan sistem BOT di atas tanah HPL merupakan praktik yang paling sering dijumpai pada pemerintah daerah.
C. Pihak Pihak dalam Build Operate Transfer
Pihak yang dapat melakukan BOT adalah Pengelola Barang. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab melakukan koordinasi pengelolaan barang milik daerah. Pihak yang dapat menjadi mitra BOT meliputi: a.
Badan Usaha Milik Negara;
b.
Badan Usaha Milik Daerah;
c.
Swasta kecuali perorangan; dan/atau
d.
Badan Hukum lainnya.
Dalam hal mitra BOT membentuk konsorsium, mitra BOT harus membentuk badan hukum Indonesia sebagai pihak yang bertindak untuk dan atas nama mitra BOT dalam perjanjian BOT. Pemilihan mitra BOT ini dilakukan melalui Tender.
D. Kesimpulan Berdasarkan kajian atas BOT yang ditinjau dari aspek hukum perjanjian dan hukum pertanahan diketahui bahwa inti dari perjanjian BOT adalah pemberian hak untuk menguasai dan menggunakan atau memanfaatkan tanah untuk didirikan baik untuk kepentingan komersial. Ketika tanah tersebut telah diserahkan penggunaan dan/atau penguasaan fisiknya kepada mitra BOT membawa dampak terhadap hak-hak dan kewajiban pemilik tanah. Hak pemilik tanah yang semula bebas untuk mengelola dan menggunakan tanah, maka dengan perjanjian BOT dibatasi karena sebagian haknya telah diserahkan kepada mitra BOT.
DAFTAR PUSTAKA Kamila, A. (2014). Kedudukan perjanjian bangun guna serah (build operate
and transfer/bot) dalam hukum tanah nasional. Jurnal ilmu hukum litigasi. HukumOnline. (2017). Dasar Hukum Pembangunan dengan Skema Build Operate Transfer (BOT). Retrieved from Hukumonline.com