Buang Air Kecil - Hotd

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Buang Air Kecil - Hotd as PDF for free.

More details

  • Words: 8,823
  • Pages: 37
Hadith of the Day [HOTD] buang aiR kecil ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun.” (QS. An Nisaa', 4 : 49) Hadist riwayat Bukhori, dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Dari Nabi saw. : Bahwasanya Nabi saw. Melewati dua kuburan lalu beliau bersabda : "Sesungguhnya kedua-duanya sedang disiksa, dan keduanya tidak disiksa dalam urusan yang berat (baginya) tetapi perkara itu cukup berat (dosanya). Adapun salah seorang dari keduanya, maka ia tidak mau membersihkan diri dari air kencingnya sedangkan yang lain selalu mengadu domba. Kemudian beliau mengambil pelepah daun kurma yang masih basah, terus dibelahnya menjadi dua bagian, kemudian setiap kubur dari kedua orang itu ditancapi yang separuh bagian dari pelepah kurma tersebut. Para sahabat lalu bertanya : "Untuk apakah engkau lakukan itu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda : "Barangkali akan diperingankan siksa kedua orang ini selama daun itu belum menjadi kering"." Links: [bOlehkah buang aiR kecil [kencing] sambil berdiRi ?] http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1783&bagian=0 [tidak cebOk setelah buang aiR kecil] http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=473&Ite mid=23 [kencing berdiRi, menghadap kiblat dan cebok pakai tissue, bolehkah?] http://eramuslim.com/ustadz/thr/44c61c47.htm [bolehkah kencing berdiri?] http://tausyiah275.blogsome.com/2007/02/28/bolehkah-kencing-berdiri/ [pakaian terkena najis] http://eramuslim.com/ustadz/thr/451017b0.htm [thaharah (bersuci)] http://www.akangaziz.com/content/view/17/34/ [bersuci dari air kencing bayi]

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=92&bagian=0 [apakah hadats itu kotoran kecil?] http://eramuslim.com/ustadz/thr/448fb418.htm

http://orido.wordpress.com

1

Hadith of the Day [istinja dan adab-adab buang hajat : buang hajat kecil atau hajat besar di jalan umum?]

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=685&bagian=0 [perbedaan antara air mani, air madi, air mazi]

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5001 [berbicara ketika buang hajat?] http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=645&bagian=0 [shalat di lantai tanpa alas dan najis hukmiyah]

http://eramuslim.com/ustadz/thr/44c52bcb.htm -perbanyakamalmanujusurga-

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1783&bagian=0 Rabu, 8 Maret 2006 19:35:12 WIB Kategori : Adab Dan Perilaku

BOLEHKAH BUANG AIR KECIL [KENCING] BERDIRI Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri, bagaimana mengkompromikannya ?" Jawaban. Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik riwayat Aisyah ataupun yang lain. Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Artinya : Janganlah engkau kencing berdiri". Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi http://orido.wordpress.com

2

Hadith of the Day wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Kata Aisyah Radhiyallahu 'anha. "Artinya : Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya)". Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau ketahui saja. Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air kecil sambil berdiri. Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : "Jika bertentangan dua nash ; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menafikan. Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ? Tidak ada aturan dalam syari'at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar'i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan. "Maksudnya : Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing". Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits

http://orido.wordpress.com

3

Hadith of the Day Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut. Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain. [Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

BOLEHKAH BUANG AIR KECIL SAMBIL BERDIRI? Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang buang air kecil sambil berdiri ? Perlu diketahui bahwa tidak ada bagian dari tubuh atau pakaian yang terkena najis tersebut ? Jawaban Boleh saja buang air kecil sambil berdiri, terutama sekali bila memang diperlukan, selama tempatnya tertetutup dan tidak ada orang yang dapat melihat auratnya, dan tidak ada bagian tubuhnya yang terciprati air seninya. Dasarnya adalah riwayat dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm pernah menuju sebuah tempat sampah milik sekelompok orang, lalu beliau buang air kecil sambil berdiri. Hadits ini http://orido.wordpress.com

4

Hadith of the Day disepakati keshahihannya. Akan tetapi yang afdhal tetap buang air kecil dengan duduk. Karena itulah yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain juga lebih dapat menutupi aurat dan lebih jarang terkena cipratan air seni. [Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baaz I, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdullah, Penerbit At-Tibyan – Solo] HUKUM TEMPAT KENCING YANG BERGANTUNG Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Pertanyaan. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Di tempat kami bekerja ada tempat kencing yang bergantung. Sebagian teman menggunakannya dengan memakai celana panjang dan kencing sambil berdiri yang tidak menjamin bahwa air urine tidak mengenai celana panjang. Pada suatu hari saya memberi nasehat kepadanya, ia menjawab “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang hal tersebut”. Saya mohon nasehat dan petunjuk. Jawaban Boleh bagi seseorang kencing sambil berdiri, apabila bisa terjaga dari percikan air kencing ke badan dan pakaiannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri si suatu saat [1]. Terutama apabila hal tersebut sangat dibutuhkan karena sempitnya pakaiannya atau karena ada penyakit di tubuhnya, namun hukumnya makruh kalau tidak ada kebutuhan. [Kitab Ad-Da’wah 8, Alu Fauzan 3/46] http://orido.wordpress.com

5

Hadith of the Day

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq] _________ Foote Note [1] Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ath-Thaharah 224 dan Muslim dalam AthThaharah 273

http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id= 473&Itemid=23 Tidak Cebok Setelah Buang Air Kecil Dikirim oleh Kontributor Special || Kamis, 15 Maret 2007 - Pukul: 06:09 WIB

MediaMuslim.Info - Saat ini, banyak umat Islam yang menyerupai orang-orang kafir dalam masalah kencing. Beberapa kamar kecil hanya dilengkapi dengan bejana air kencing permanen yang menempel di tembok dalam ruangan terbuka. Setiap yang kencing, dengan tanpa malu berdiri dengan disaksikan orang yang lalu lalang keluar kamar mandi. Selesai kencing ia mengangkat pakaiannya dan mengenakannya dalam keadaan najis. Orang tersebut telah melakukan dua perkara yang diharamkan, pertama ia tidak menjaga auratnya dari penglihatan manusia dan kedua, ia tidak cebok dan

membersihkan

diri

dari

kencingnya.

Islam datang dengan membawa peraturan yang semuanya demi kemaslahatan umat manusia. Diantaranya soal menghilangkan najis, Islam mensyari'atkan agar

umatnya

melakukan

istinja'

(cebok

dengan

air)

dan

istijmar

(membersihkan kotoran dengan batu), lalu menerangkan cara melakukannya

http://orido.wordpress.com

6

Hadith of the Day sehingga

tercapai

kebersihan

yang

dimaksud.

Sebagian orang menganggap enteng masalah menghilangkan najis. Akibatnya badan dan bajunya masih kotor. Dengan begitu, shalatnya menjadi tidak sah. Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut

salah

satu

sebab

dari

azab

kubur.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Suatu kali Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati salah satu kebun di Madinah. Tiba-tiba beliau mendengar suara dua orang yang sedang di siksa di alam kuburnya. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Keduanya diazab, tetapi tidak karena masalah besar (dalam anggapan keduanya) lalu bersabda - benar (dlm riwayat lain: Sesungguhnya ia masalah besar) salah satunya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan kencingnya dan yang satu lagi suka mengadu domba". (HR: Bukhari, lihat Fathul Baari :1/317) Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, yang artinya: "Kebanyakan azab kubur disebabkan oleh buang air kecil". (HR: Ahmad, Shahihul

Jami'

No.

1213)

Termasuk tidak cebok setelah buang air kecil adalah orang yang menyudahi hajatnya dengan tergesa-gesa sebelum kencingnya habis, atau sengaja kencing dengan posisi tertentu atau di suatu tempat yang menjadikan percikan air kencing itu mengenainya, atau sengaja meninggalkan istinja' dan istijmar tidak teliti

dalam

melakukannya.

(Sumber Rujukan: Dosa-dosa Yang Dianggap Biasa oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid)

http://eramuslim.com/ustadz/thr/44c61c47.htm

http://orido.wordpress.com

7

Hadith of the Day

Kencing Berdiri, Menghadap Kiblat dan Cebok Pakai Tissue, Bolehkah? Rabu, 26 Jul 06 10:55 WIB Assalamualaikum.waraahmatullahhi wabarakatuh Pak Ustadz yang dirahmati Allah, bagaimana dengan ketentuan atau aturan bagi kaum laki-laki dalam melakukan kencing, dengan berdiri atau dengan cara duduk (sepeti kaum wanita pada umumnya)? Adakah keharusan untuk melakukan dengan cara duduk? Saya pernah membaca hadist tentang keharusan dilakukannya dengan duduk. Apakah tidak terlalu menyulitkan, lebih lagi kebanyakan toilet pria mengharuskan kencing sambil berdiri? Apakah boleh menghadap ke arah manapun (asal ada pembatas sekedar tidak kelihatan aurat)? Apakah dalam hal membersihkan boleh memakai tissue? Demikian pertanyaan saya atas jawaban dari pak Ustadz saya haturkan terima kasih. Matur nuwun. Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh. Baskoro tensay at eramuslim.com

Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Kencing berdiri memang seringkali diperdebatkan oleh banyak ulama. Sebagian mengharamkannya, atau minimal memakruhkannya. Namun sebagian lainnya membolehkannya. Mengapa mereka berbeda pendapat? Tidak adakah riwayat yang shahih dari nabi SAW tentang masalah kencing berdiri? Jawabnya ada. Bahkan diriwayatkan oleh dua pakar ahli hadits, yaitu Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dengan sanad yang shahih. Isi haditsnya justru menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah kencing sambil berdiri. Teks haditsnya sebagai berikut: ‫ أتى رسول ال صلى ال عليه وسلم سباطة (مكان مرتفع يستتر به) قوم فبال قائما ثم دعا بماء فمسح‬:‫عن حذيفة قال‬ ‫ وهو حديث صحيح‬.‫ فذهبت أتباعد فدعاني حتى كنت عند عقبه البخاري ومسلم‬، ‫على خفيه‬

http://orido.wordpress.com

8

Hadith of the Day Dari Huzaifah ra. bahwa beliau berkata,"Rasulullah SAW mendatangi sabathah (sebuah tempat yang tinggi untuk bertabir di belakangnya) pada suatu kaum dan beliau kencing sambil berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air dan mengusap kedua khuff-nya (sepatu). Maka aku pergi menjauh namun beliau memanggilku hingga aku berada di belakang beliau. (HR Bukhari dan Muslim) Menurut para ulama yang mendukung pendapat yang membolehkan kencing sambil berdiri, hadits ini diriwayatkan oleh dua ahli hadits yang kitabnya merupakan kitab tershahih kedua dan ketiga di dunia, setelah Al-Quran AlKariem tentunya. Dan isinya secara nyata dan tegas sekali menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah melakukan kencing sambil berdiri. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolak kebolehan kencing sambil berdiri. Apalagi diriwayatkan banyak shahabat nabi yang kencing sambil berdiri. Di antaranya apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khatab ra., seorang yang pendapatnya seringkali mendahului turunnya Al-Quran. ‫عن زيد قال رأيت عمر بال قائما‬ Dari Zaid ra. berkata, "Aku telah melihat Umar bin Al-Khattab kencing sambi berdiri." (Hadits dengan sanad yang shahih) Kalau pun ada hadits lain yang menyebutkan bahwa nabi tidak pernah kencing sambil berdiri, maka harus digabungkan. Pendapat yang Mengharamkan Sebagian ulama lainnya secara tegas mengharamkan kencing sambil berdiri. Dan sebagiannya lagi memakruhkan. Dalil yang mereka pakai adalah hadits shahih berikut ini lewat jalur isteri beliau, Aisyah ra: .)‫(من حدثكم أن رسول ال ـ صلى ال عليه وسلم ـ بال قائما فل تصدقوه ما كان يبول إل جالسا‬:‫عن عائشة أنها قالت‬ ‫ وإسناده صحيح‬، ‫رواه الخمسة إل أبا داود‬ Dari Aisyah ra. berkata, "Siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW kencing berdiri, maka jangan dibenarkan. Beliau tidak pernah kencing sambil berdiri. (HR Khamsah kecuali Abu Daud dengan sanad yang shahih) ‫عنعائشة ما بال قائماً منذ أنزل عليه القرآن‬ Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW tidak pernah kencing sambil berdiri semenjak diturunkan kepadanya Al-Quran.

http://orido.wordpress.com

9

Hadith of the Day ‫من الخطأ أن يبول الرجل قائما‬ Adalah sebuah kesalahan ketika seseorang kencing sambil berdiri Kelompok ini mengatakan bahwa keberadaan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menyebutkan bahwa nabi SAW pernah kencing sambil berdiri sudah dihapuskan hukumnya (mansukh). Yaitu dihapus dengan adanya hadits-hadits ini. Bantahan Pihak yang Membolehkan Namun keberadaan hadits-hadits yang melarang kencing sambil berdiri ini dibantah oleh para ulama yang membolehknnya. Di antara mereka adalah penulis syarah Shahih Bukhari, yaitu Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar. Beliau menyebutkan menuliskan dalam syarahnya bahwa tidak ada hadits yang tsabit tentang larangan nabi untuk kencing berdiri. AL-Hafidz juga mengatakan bahwa hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW kencing berdiri tidak mansukh. Dan penasakhannya tidak benar. Sebab masih ada kemungkinan untuk menjama' (menggabung) antara kedua dalil yang sepintas kelihatan berbeda. Bentuk jama'-nya adalah bahwa mungkin saja Aisyah ra. memang tidak pernah melihat nabi SAW kencing sambil berdiri di rumahnya. Namun sudah barang tentu Aisyah ra. tidak pernah tahu apa yang pernah dilakukan suaminya itu di luar rumah. Sementara ada hadits lain yang shahih telah melaporkan bahwa Rasulullah SAW kencing sambil berdiri di luar rumah. Dan juga perbuatan Umar bin Al-Khattab ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Maka tidak mungkin menghukum mansukh kepada suatu hadits selama masih bisa dijama'. Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah juga sepakat tidak adanya larangan untuk kencing sambil berdiri. Beliau mengatakan bahwa hadits, "Janganlah kencing sambil berdiri" adalah hadits yang dhaif (lemah). Maka tidak ada larangan untuk kencing sambil berdiri, selama seseorang merasa aman dari terkena percikan najis air kencing pada pakaiannya. Al-Imam Al-Manawi dalam kitab Faidhul Qadir syarah Al-Jami'usshaghir menyebutkan bahwa larangan nabi untuk kencing berdiri bukan bermakna haram, melainkan tanzih. Dan perbuatan beliau kencing sambil berdiri untuk menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan dan tidak haram. Menghadap Kiblat dan Membelakanginya Adapun masalah menghadap kiblat atau membelakanginya, memang ada larangan pada saat buang air. http://orido.wordpress.com

10

Hadith of the Day ‫ إذا جلس أحدكم لحاجته فل يستقبل القبلة ول‬:‫عن أبي هريرة رضي ال عنه عن رسول ال صلى ال عليه وسلم قال‬ ‫يستدبره رواه أحمد ومسلم‬ Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila kamu mendatangi tempat buang air, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya." (HR Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat Abu Ayyub disebutkan, "Tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat." Posisi kiblat di Madinah adalah menghadap ke Selatan, sedangkan membelakangi kiblat berarti menghadap ke Utara. Sedangkan menghadap ke barat dan timur artinya tidak menghadap kiblat dan juga tidak membelakanginya. Tempat buang air di masa lalu bukan berbentuk kamar mandi yang tertutup melainkan tempat terbuka yang sepi tidak dilalui orang-orang. Sedangkan bila tempatnya tertutup seperti kamar mandi di zaman kita sekarang ini, tidak dilarang bila sampai menghadap kiblat atau membelakanginya. Dasarnya adalah hadits berikut ini. Dari Jabir ra. berkata bahwa Nabi SAW melarang kita menghadap kiblat saat kencing. Namun aku melihatnya setahun sebelum kematiannya menghadap kiblat. (H.Tirmizy)." Kemunginan saat itu beliau SAW buang air di ruang yang tertutup yang khusus dibuat untuk buang air. Istinja' Pakai Tissue Selain dengan menggunakan media air, istinja' (cebok) dibenarkan menggunakan media lain, seperti batu dan juga tissue atau apapun benda lain yang memenuhi kriteria para ulama. Dalilnya adalah hadits berikut ini: Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Siapa yang beristijmar (bersuci dengan batu) maka hendaklah berwitir (menggunakan batu sebanyak bilangan ganjil). Siapa yang melaksanakannya maka dia telah berbuat ihsan dan siapa yang tidak melakukannya tidak ada masalah`. (HR. Abu Daud, Ibju Majah, Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Hibban). Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Bila seorang kamu datang ke WC maka bawalah tiga buah batu, karena itu sudah cukup untuk menggantikannya.` (HR Abu Daud, Baihaqi dan Syafi`i) Sedangkan selain batu, yang bisa digunakan adalah semua benda yang memang memenuhi ketentuan dan tidak keluar dari batas yang disebutkan: http://orido.wordpress.com

11

Hadith of the Day 1. Benda itu bisa untuk membersihkan bekas najis. 2. Benda itu tidak kasar seperti batu bata dan juga tidak licin seperti batu akik, karena tujuannya agar bisa menghilangkan najis. 3. Benda itu bukan sesuatu yang bernilai atau terhormat seperti emas, perak atau permata. Juga termasuk tidak boleh menggunakan sutera atau bahan pakaian tertentu, karena tindakan itu merupakan pemborosan. 4. Benda itu bukan sesuatu yang bisa mengotori seperti arang, abu, debu atau pasir. 5. Benda itu tidak melukai manusia seperti potongan kaca beling, kawat, logam yang tajam, paku. 6. Jumhur ulama mensyaratkan harus benda yang padat bukan benda cair. Namun ulama Al-Hanafiyah membolehkan dengan benda cair lainnya selain air seperti air mawar atau cuka. 7. Benda itu harus suci, sehingga beristijmar dengan menggunakan tahi/ kotoran binatang tidak diperkenankan. Tidak boleh juga menggunakan tulang, makanan atau roti, kerena merupakan penghinaan. Bila mengacu kepada ketentuan para ulama, maka kertas tissue termasuk yang bisa digunakan untuk istijmar. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc.

http://tausyiah275.blogsome.com/2007/02/28/bolehkah-kencing-berdiri/

Bolehkah Kencing Berdiri? Masuk Kategori: HOT NEWS, Fiqh, Lain-lain Dalam kehidupan sehari-hari, (maaf) kencing, yang senantiasa disebut sebagai buang air kecil (BAK) merupakan kegiatan yg tidak bisa terelakkan dan dihindari oleh manusia dan hewan. Hal ini karena BAK merupakan FITRAH dari makhluk ALLOH SWT ini. (Nyaris) Tidak mungkin manusia dan hewan yg bisa hidup tanpa BAK. Bagi manusia sendiri, BAK merupakan konsekuensi dari aktivitas minum yang dia lakukan, selain itu karena tubuh sudah diprogram ALLOH SWT untuk membuang zat2 yang tidak berguna dalam air kencing. Dengan demikian, berdasar ilmu kesehatan…bagi manusia, salah satu manfaat kencing adalah membuang zat yang sudah tidak diperlukan tubuh..juga membuang racun yang ada dalam tubuh.

http://orido.wordpress.com

12

Hadith of the Day Menahan kencing bisa berakibat fatal, karena akan mengganggu kerja ginjal. Jika terlalu sering menahan kencing, bisa mengakibatkan penyakit lain, antara lain batu ginjal. Bahkan hal paling parah adalah gagal ginjal. Jika sudah mendapat penyakit seperti itu, barulah kita sadar betapa kita telah melupakan nikmat ALLOH SWT. Nah, saudaraku, dengan demikian janganlah kita suka menahan kencing. Untuk hal ’sepele’ seperti ini, Islam juga sudah mengaturnya. Jadi, jangankan bersin, urusan kencing pun Islam telah mengaturnya. Aku sempat diberitahu seorang temanku, bahwa posisi duduk (atau jongkok) merupakan posisi IDEAL untuk kencing. Aku sedikit lupa penjelasan detailnya, lebih kurang temanku itu bilang bahwa dengan jongkok, maka saluran kencing dan saluran lainnya (yang menunjang proses kencing) akan terbuka lebar serta mengoptimalkan air kencing yg keluar. Dengan kata lain, semua air kencing akan dikeluarkan. Sebaliknya, jika kencing berdiri, maka ada saluran yg tidak berfungsi optimal. Terus terang, aku tidak tahu persis…karena aku bukan orang yg mengerti mendalam mengenai ilmu kesehatan. Di sini aku akan bahas mengenai kencing berdiri dari sudut pandang agama. Anggapan/asumsi hanya posisi kencing jongkok yang diperbolehkan (baik bagi pria maupun wanita) sempat aku dengar juga dari beberapa orang ulama/ustad. Mereka menggunakan dalil berikut: Dari Aisyah ra. berkata, “Siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW kencing berdiri, maka jangan dibenarkan. Beliau tidak pernah kencing sambil berdiri.” (HR Khamsah kecuali Abu Daud dengan sanad yang shahih) Namun, melihat kondisi di lapangan, nampaknya sulit menemui/mendapatkan tempat untuk kencing jongkok di toilet-toilet pria. Yang seringkali kita temui adalah tempat kencing berdiri, dengan segala variasinya. Sedangkan tempat untuk kencing jongkok, nyaris tidak ada. Jika kita ingin kencing jongkok, maka kita mesti antri/masuk ke ruang buang air besar, baru kita bisa kencing jongkok/duduk. Berarti, kencing berdiri HARAM dong? Dan kita selama ini TIDAK MENCONTOH SUNNAH RASUL? Upss…tidak semudah itu menyatakan kencing berdiri sebagai sesuatu yg haram dan ‘mencap’ kita tidak mencontoh sunnah Rasul. Aku coba cari referensi, bagaimana Rasululloh SAW BAK, apakah jongkok/duduk saja, ataukah pernah melakukan sambil berdiri? Ternyata, KENCING BERDIRI ITU BOLEH…!!! Aku temukan dalil sebagai berikut: Dari Huzaifah ra. bahwa beliau berkata,“Rasulullah SAW mendatangi sabathah (sebuah tempat yang tinggi untuk bertabir di belakangnya) pada suatu kaum dan beliau kencing sambil http://orido.wordpress.com

13

Hadith of the Day berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air dan mengusap kedua khuffnya (sepatu). Maka aku pergi menjauh namun beliau memanggilku hingga aku berada di belakang beliau.” (HR Bukhari dan Muslim) Perbuatan Rasululloh SAW ini juga dicontoh oleh sahabatnya, Umar bin Khatab. Zaid ra. berkata, “Aku telah melihat Umar bin Al-Khattab kencing sambi berdiri.” (Hadits dengan sanad yang shahih) Lho, kok ada 2 dalil yg bertentangan? Jika begitu, ada pihak yg SALAH, dan ada yang BENAR? Lalu, siapa yg salah dan siapa yang benar? Sebagai umat Islam, mana yang mesti kita ikuti? Pertama-tama, kita mesti YAKINI bahwa ajaran yg dibawa Rasululloh SAW TIDAK BERTENTANGAN. Dengan kata lain, Islam adalah agama yg konsisten. Jika ada hadits/ayat yg MENURUT KITA bertentangan, maka kemungkinannya adalah kita yg kurang ilmu untuk mengerti (kita mesti cari referensi) atau ilmu manusia yg terbatas. Lantas, untuk kasus di atas, yg SEPINTAS nampak BERTENTANGAN….aku sempat cari penjelasan untuk hal ini. Salah satu jawaban yg aku dapatkan adalah: istri Rasululloh SAW, Aisyah, meriwayatkan hadits di atas karena sikap Rasululloh SAW selama di rumah TIDAK PERNAH KENCING BERDIRI. Sedangkan untuk hadits tentang Rasululloh SAW kencing berdiri, didapat dari kegiatan Rasululloh SAW di luar rumah. *jika ada informasi tambahan tentang hal ini, aku minta tolong dituliskan…* Ok…dari tulisanku di atas, berarti KENCING BERDIRI TIDAK DILARANG (untuk laki-laki). Adapun untuk perempuan, kencing berdiri nampaknya TIDAK MUNGKIN DILAKUKAN, karena struktur kelamin perempuan jelas berbeda. Jika perempuan kencing berdiri, maka kemungkinan besar air kencing, yg termasuk najis, akan **muncrat dan** terpercik ke pakaian. Namun, meski kencing berdiri tidak dilarang, ada beberapa hal yg mesti kita perhatikan apabila kita (kaum laki-laki) hendak kencing berdiri: 1. Tidak dilakukan di pinggir jalan, terutama di belakang pohon. Seringkali kita lihat, terutama di pinggir jalan, baik di kota besar ataupun kota kecil….banyak laki-laki yg kencing di pinggir jalan, di belakang pohon. Kenapa SEBAIKNYA TIDAK DILAKUKAN di pinggir jalan? Karena ada kemungkinan AURATNYA TERLIHAT. 2. Memperhatikan tempat kencingnya. Di kota-kota besar, terutama di gedunggedung perkantoran, sudah banyak tempat kencing (berdiri) yg sudah canggih dan bagus bentuknya. Pada umumnya, tempat kencing berdiri berbentuk porselen (keramik) menjorok ke dalam, yg memudahkan laki-laki untuk menuaikan hajatnya. Seperti aku tulis di bagian awal, tempat kencing seperti ini RISKAN percikan najis. Mengapa? Karena (maaf) aliran kencing yg terlalu http://orido.wordpress.com

14

Hadith of the Day deras bisa mengakibatkan percikan air kencing mengenai celana kita. Akibatnya pakaian kita menjadi terkena najis dan TIDAK BOLEH dipakai sholat. Karenanya, perhatikan bentuk tempat kencingnya. Di beberapa tempat, ada tempat kencing yg cukup ‘luas’ sehingga kemungkinannya kecil percikan air kencing memantul porselen dan mengenai pakaian kita. 3. Membasuh kemaluan. Salah satu kekurangan/hal yg terlupa apabila kita kencing adalah MEMBASUH KEMALUAN. Padahal biasanya masih ada air kencing yg tersisa di ujung kemaluan kita. Tidak sedikit diantara kita yg langsung memasukkan kemaluan kita ke dalam celana, segera setelah kencing. Walhasil celana dalam kita terembes air kencing. Akibatnya, otomatis celana dalam kita terkena najis. Sementara itu, di banyak tempat ruang kecil, lokasi wastafel ternyata cukup jauh. Tentu saja kita tidak mungkin ‘membawa-bawa’ dan ‘mempertontonkan’ kemaluan kita ke arah wastafel untuk dibasuh dg air dari wastafel, karena ini jelas mengumbar aurat. Solusinya, yg selama ini aku lakukan, adalah membasuh kemaluan dg air dari tempat kencing (yg tersedia untuk menyiram bekas kencing). Lakukan sebersih mungkin. Sementara untuk membasuh tangan, bisa dilakukan di wastafel. 4. Memperhatikan posisi tempat kencing. Terkait dengan no 2, kita mesti juga perhatikan posisi tempat kencing. Pada umumnya, posisi tempat kencing TIDAK ADA SEKAT. Tentu saja ini riskan, karena aurat bisa terlihat oleh orang di sebelah kita. Aku pernah baca di sebuah artikel, aku lupa apakah di koran atau mailing list, ada seorang laki-laki yg sedang di luar negeri, dia kencing berdiri di tempat yg kebetulan membuat auratnya bisa terlihat oleh orang sebelahnya. Ternyata laki-laki sebelahnya adalah seorang homoseksual. Ujung-ujungnya, selesai kencing…dia malah diikuti si laki-laki abnormal itu. 5. (sebaiknya) Jangan gunakan tangan kanan untuk memegang kemaluan. Bukan tidak boleh…tapi hukumnya makruh (lebih baik tidak dilakukan). Ini berdasar hadits yang bersumber dari Abi Qatadah Radhiallaahu ‘anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar (kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci dari buang air dengan tangan kanannya.” (Muttafaq’alaih). *maksudnya, gunakan tangan kiri untuk memegang kemaluan saat kencing dan membasuhnya setelah selesai* Sementara itu, jika kita merapatkan posisi badan ke bagian dalam tempat kencing, resiko terpercik air kencing jelas lebih besar.

http://orido.wordpress.com

15

Hadith of the Day Solusinya, yg aku lakukan, mencari tempat kencing di bagian ujung, kemudian posisi kencing (lebih) membelakangi orang2 lain, sehingga orang lain tidak bisa melihat auratku. Mudah-mudahan artikel ini berguna….

http://eramuslim.com/ustadz/thr/451017b0.htm

Pakaian Terkena Najis Rabu, 20 Sep 06 10:35 WIB Pak ustadz, apa masih suci atau bolehkah kita bersentuhan maupun memakai pakaian yang bekas kena air mazi maupun kencing yang lamanya sudah beberapa minggu? S

Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Memang benar apa yang anda tanyakan, bahwa pakaian yang pernah terkena najis, maka sebelum digunakan untuk melakukan shalat, wajib disucikan terlebih dahulu dari najis. Caranya dengan membasahinya dengan air suci hingga hilang warna, rasa dan aromanya. Termasuk juga tubuh kita ini, bila terkena najis, maka wajib dicuci terlebih dahulu, sebelum berwudhu dan shalat. Air mazi dan air kencing adalah dua jenis najis yang telah disepakati ulama. Sebab keduanya keluar dari tubuh manusia lewat kemaluan. Dan menurut para ulama, segala sesuatu yang keluar lewat kemaluan manusia, baik berbentuk cair maupun padat, semuanya najis. Kecuali satu saja yang bukan najis, yaitu air mani. Dan menurut para ulama, bayi yang keluar lewat kemaluan wanita, juga bukan termasuk najis, lantaran asalnya dari mani. Maka kalau mani dihukumi najis, otomatis bayi manusia pun seharusnya najis juga. Selain air mani, maka semua cairan dan benda apapun yang keluar lewat kemaluan manusia, baik laki-laki maupun wanita, hukumnya najis. Kalau http://orido.wordpress.com

16

Hadith of the Day terkena pakaian, maka pakaian itu harus dicuci terlebih dahulu, agar menjadi suci dan boleh dikenakan saat kita sedang shalat menghadap kepada Allah SWT. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishshwab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.

http://www.akangaziz.com/content/view/17/34/ THAHARAH Written by akangaziz Tuesday, 13 February 2007 Dalam hukum Islam soal bersuci (Taharah) dan segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting karena merupakan syarat sahnya sholat bahwa seseorang yang akan mengerjakan sholat, wajib suci dari hadasts dan suci pula badan, pakaian da tempatnya dari najis. Firman Allah s.w.t. “Sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang bertaubat dan Ia mencintai orang-orang yang suci (bersih, baik dari kotoran jasmani ataupun kotoran rokhani)” (QS. Al Baqarah : 222).

A. Macam-Macam Air Ditinjau diri segi hukumnya, air dapat dibagi menjadi 4 macam: Air Muthlak (air yang sewajarnya): yaitu air suci yang dapat mensucikan (thahir wa munthahhir lighiarih), artinya air itu dapat digunakan untuk bersuci, misalnya air hujan, air sumur, air laut, air salju dan air embun. Air muthlaq dapat menghilangkan najis konkret, seperti darah dan air seni, dan dapat pula mengangkat najis maknawi. Maksudnya ia dapat dipakai berwudu, mandi junub, mandi haid, dan memandikan mayat.

http://orido.wordpress.com

17

Hadith of the Day Inilah makna ungkapan fukaha,”Air muthlaq itu suci dengan sendirinya dan menyucikan benda lainnya dari khubts maupun hadas.” Khubts adalah najis konkret, dan hadas adalah najis maknawi Perbedaan antara khubts dan hadas adalah bahwa air yang sedikit akan hilang kesuciannya jika terkena khubts (seperti darah, air seni, dan bangkai), dan tetap suci walau disentuh orang yang berhadas kecil (misalnya mengeluarkan angin atau air seni) ataupun besar (seperti junub dan haid).Selain itu, dalam menyucikan sesuatu yang terkena khubts, seperti mencuci baju, tak perlu adanya niat taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), tetapi bersuci dari hadas, seperti mandi junub dan berwudu, harus dengan niat macam itu. Firman Allah swt.: ”Diturunkan-Nya air bagimu dari langit, supaya kamu bersuci dengannya.” (QS Al-Anfal:11)

Sabda Rasulullah saw: Dari Abu Hurairah r.a, berkata beliau: Telah bertanya seorang laki-laki kepada rasulullah saw. Kata laki-laki itu : ”Ya Rasulullah, kami berlayar di laut dan kami hanya membawa air sedikit, jika kami pakai air itu untuk berwudhu, maka kami akan kehausan; bolehkan kami berwudhu dengan air laut.?” Jawab Rasulullah saw.” ”Air laut itu suci lagi menyucikan, bangkainya halal dimakan.” (Riwayat lima ahli hadis)

Air makruh; yaitu air yang yang suci dan dapat mensucikan tetapi makruh digunakannya Seperti air musyammas (air yang terjemur oleh terik matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak kecuali air yang terjemur di tanah seperti air sawah, air kolam dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat) Rasullah s.a.w. bersabda : "Dari Aisyah sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari maka telah bersabda Rasullah s.a.w kepadanya janganlah engkau berbuat demikian wahai Aisyah sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak." (Riwayat Baihaqi)

http://orido.wordpress.com

18

Hadith of the Day

Air suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci (tharir wa ghairu muntharir lighairih); yaitu air yang boleh diminum tetapi tidak sah untuk bersuci. contohnya: a.

Air Musta'mal yaitu Air sedikit (kurang dari 2 kulah) yang telah dipakai untuk bersuci walaupun tidak berubah sifatnya.

b.

Air suci yang tercampur dengan benda suci, seperti air teh, air kopi dan lain sebagainya.

c.

Air pohon-pohonan atau air buah-buahan seperti air nira, air kelapa dan sebagainya.

Air Mutanajis, yaitu air yang terkena najis. Air mutanajis, apabila kurang dari dua kulah (kira-kira 60cm x 60cm kubig), maka tidak sah untuk bersuci. tetapi apabila lebih dari dua kulah dan tidak berubah sifatnya (bau, rupa dan rasanya), maka sah untuk bersuci. Sabda Rasulullah saw: “Air itu tidak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna atau baunya.” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi) “Apabila air cukup dua kulah tidaklah dinajisi oleh suatu apapun.” (Riwayat lima ahli hadis).

B. Menyucikan Air yang najis. Untuk menyucikan air yang najis, ada beberapa ketentuan :

http://orido.wordpress.com

19

Hadith of the Day

Air itu bersumber, dan telah berubah rasa, warna, atau baunya karena najis. Untuk sucinya, cukup dengan menghilangkan perubahan tersebut, baik airnya sedikit maupun banyak, baik hilang sendiri atau dengan perantara.

Air itu sedikit dan tak bersumber. Jika ia tak berubah karena najis, cara menyucikannya cukup dengan turunnya hujan atasnya, atau dengan menghubungkannya dengan air yang jumlahnya satu kur atau dengan air yang bersumber, di mana kedua air itu menjadi satu. Tetapi jika air itu berubah, pertama-tama harus dihilangkan perubahan itu, baru kemudian disucikan

dengan

cara

yang

telah

disebutkan,

atau

denga

mencampurkannya dengan air yang banyak sehingga tidak tampak lagi dan tak terlihat lagi bekasnya.

Air itu banyak tapi tak bersumber. Tidak ada keraguan bahwa ia tidak najis, kecuali jika berubah warna, rasa, atau baunya. Bila demikian ia tidak menjadi suci kecuali dengan hilangnya perubahan itu, turunnya hujan, bersambungan dengan air satu kur atau air yang bersumber dengan syarat kedua air itu menjadi satu.

C. Ragu dan Bimbang

Imam Ja’far Shadiq berkata, “Air itu semuanya suci sampai engkau tahu bahwa ia najis.”

http://orido.wordpress.com

20

Hadith of the Day Jika anda melihat air dan anda tidak tahu apakah ia suci atau najis, maka hukumnya suci, lebih-lebih lagi jika sebelumnya anda tahu air itu suci, kemudian ragu akan terjadinya kenajisan.

Namun jika sejak semula anda tahu air itu najis, kemudian ragu tentang terjadinya kesucian, maka air itu tetap najis.

D Macam-Macam Najis dan cara mensucikannya Najis Mughaladhah : yaitu najis yang berat yakni yang timbul dari najis anjing dan babi. Cara mensucikannya ialah lebih dahulu dihilangkan wujud benda najis itu, kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai tujuh kali dan salah satunya dicuci dengan air yang tercampur tanah. Rasulullah saw bersabda: "Cara memcuci brjana seorang dari kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim)

Najis Mukhaffafah : yaitu najis yang ringan, seperti air kencing bayi lakilaki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya. Cara mensucikan, cukup dengan memercikan air pada benda yang kena najis itu sampai bersih meskipun air itu tdk mengalir.Adapun kencing bayi perempuan yang belum makan selain susu hendaklah memcucinya dengan cara dibasuh dengan air yang mengalir diatas benda yang terkena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat -sifatnya ,sebagaimana mencuci kencing orang dewasa. “Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasulullah saw. Beserta anaknya lakilaki kecil yang belum makan makanan selain susu. Sesampainya didepan Rasulullah

http://orido.wordpress.com

21

Hadith of the Day beliau dudukan anak itu dipangkuan beliau, kemudian dikencinginnya, lalu beliau meminta air, lantas beliau percikan air itu pada kencing anak-anak tadi, tetapi beliau tidak membasuh kencing itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda : "barang yang terkena air kencing anak perempuan harus dicuci, sedangkan bila terkena air kencing anak laki-laki cukup dengan memercikan air padanya." (H.R Abu Daud dan Nasa'i)

Najis Mutawassithah : yaitu najis yang sedang, yaitu najis yang lain selain yang tersebut dalam najis ringan dan berat. Seperti: Kotoran manusia atau binatang, air kencing, nanah darah, bangkai (selain bangkai ikan, belalang dan mayat manusia). Najis Mutawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian : a.

Najis

'aniyah:

Yaitu

najis

yang

bendanya

berwujud.

Cara

mensucikannya dengan menghilangkan zat (bendanya) lebih dahulu hingga hilang rasa, bau, dan warnanya. kemudian menyiramnya dengan air sampai bersih. b.

Najis hukmiyah : yaitu najis tidak berwujud bendanya, seperti bekas kencing, arak yang sudah kering, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada benda yang terkena najis itu.

Najis yang dapat dimaafkan. Najis yang dapat dimaafkan antara lain: Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya., Najis yang sedikit sekali. Nanah atau darah dari kudis atau bisulnya sendiri yang belum sembuh., Debu yang tercampur najis dan lain-lain yang sukar dihindarkan.

http://orido.wordpress.com

22

Hadith of the Day E. Fadhillah Thaharah (Keutamaan Bersuci) Setelah kita mengerti tentang, maka perlu juga kita mengerti keutamaan thaharah di sisi Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Ta`ala. Kita dapati antara lain firman Allah di dalam AlQur’an:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri [137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci [138]. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. [137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh. [138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar”. (AlBaqarah: 222)

Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Berthaharah itu (yakni bersuci itu) adalah separoh dari iman.” (HR. Muslim

http://orido.wordpress.com

23

Hadith of the Day dalam Shahihnya, Kitabut Thaharah hadits ke 223 dari Abi Malik Al-Asy’ari radliyallahu `anhu). Dan Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Kuncinya shalat itu ialah berthaharah, dan pengharamannya (yakni mulai diharamkan berbicara dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan penghalalannya ialah salam (yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya dari Ali. Abu Isa (yakni At-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik dalam bab ini.”).

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa keutamaan thaharah adalah: Dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya Sebagai usaha dalam mempertebal dan meningkatkan keimanan. Shalat menjadi lebih tenang dan terjaga. Menyehatkan tubuh, karena thaharah dapat membersihkan dan menghindarkan tubuh dari kotoran dan bakteri.

Artikel Fatwa : Bersuci dari Air Kencing Bayi Senin, 29 Maret 04 Tanya : Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta' ditanya: Ketika seorang wanita melahirkan bayi http://orido.wordpress.com

24

Hadith of the Day laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, hingga terkadang pakaiannya terkena air kencing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih? Inti pertanyaan ini adalah tentang bersuci dan shalat serta tentang kerepotan untuk mengganti pakaian setiap waktu. Jawab : Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan, jika bayi lelaki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci, sedangkan jika bayi itu adalah perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik dia sudah mengkonsumsi makanan ataupun belum. Ketetapan ini bersumber dari hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lainnya, sedangkan lafazhnya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah mengeluarkan hadits ini dalam kitab sunan-nya dengan sanadnya dari Ummu Qubais bintu Muhshan: "Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum mengkonsumsi makanan datang kepada Rasulullah , kemudian Rasulullah mendudukkan bayi itu di dalam pangkuannya, lalu bayi itu kencing pada pakaian beliau, maka Rasulullah meminta diambilkan air lalu memerciki pakaian itu dengan air tanpa mencucinya." Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Rasulullah , beliau bersabda: " Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki cukup diperciki dengan air." Dalam riwayat lain menurut Abu Daud: "Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci,sedangkan kain yang terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika belum mengkonsumsi makanan."

http://eramuslim.com/ustadz/thr/448fb418.htm

Apakah Hadats itu Kotoran Kecil? Senin, 19 Jun 06 09:08 WIB Assalamualaikum wr. wb. Pak Ustadz yang dimuliakan Allah, saya ingin penjelasan beberapa hal di bawah ini:

http://orido.wordpress.com

25

Hadith of the Day Pada waktu wudhu niat kita adalah menghilangkan hadats. Apakah sebenarnya yang dimaksud hadats ini? Sementara ini saya mengira-ngira bahwa hadats adalah kotoran kecil? Petanyaan kedua, ketika sholat kita akhiri dengan salam. Kepada siapakah salam ini kita peruntukkan? Wassalamu'alaikum wr. wb. Gunawan Gunawan

Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh, Hadats bukanlah benda najis yang terlihat secara fisik. Hadats adalah status hukum yang dialami seseorang akibat terjadi suatu hal lain pada dirinya. Sebagian ulama fiqih ada yang menyebutkan bahwa hadats itu adalah najis secara hukmi (hukum), bukan najis secara fisik (hakiki). Hadats atau najis secara hukum artinya tidak ada benda najis yang terdapat pada tubuh kita, atau pakaian atau tempat shalat, namun seolah-olah secara hukum najis itu ada. Buktinya, ketika berhadats kita tidak boleh masuk masjid, tidak boleh shalat, tidak boleh menyentuh mushaf Al-Quran atau melafadzkannya. Sedangkan najis hakiki adalah najis yang selama ini kita pahami, yaitu najis yang berbentuk benda yang hukumnya najis. Misalnya darah, kencing, tahi (kotoran manusia), daging babi. Dalam bab tentang najasah, biasanya najis jenis inilah yang kita bahas, bukan najis hukmi. Adapun najis hukmi itu maksudnya adalah hadats yang dialami oleh seseorang. Misalnya, seorang yang tidak punya air wudhu itu sering disebut dengan dalam keadaan hadats kecil. Dan orang yang dalam keadaan haidh, nifas atau keluar mani serta setelah berhubungan suami isteri, disebut dengan berhadats besar. Kepada Siapa Salam dalam Shalat? Untuk menjawab pertanyaan anda, mari kita bukan salah satu rujukan. Kami memilih membuka kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam AnNawawi rahimahulah. Di dalamnya ada terdapat beberapa nash dari hadits nabawi yang menjelaskan jawaban atas pertanyaan anda. Yaitu salam yang kita ucapkan di akhir shalat itu ditujukan untuk beberapa kemungkinan, antara lain untuk diri kita sendiri, atau untuk sesama yang shalat jamaah, atau untuk para malaikat dan juga para nabi. http://orido.wordpress.com

26

Hadith of the Day ٍ‫ضنَا عَلَى َبعْض‬ ُ ْ‫ن يُسَلّ َم َبع‬ ْ َ‫سنَا وَأ‬ ِ ‫ن نُسَلّمَ عَلَى َأنْ ُف‬ ْ َ‫ َأمَ َرنَا رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ أ‬:َ‫عنْ ُه قَال‬ َ ُّ‫ضيَ ال‬ ِ َ‫س ُمرَةُ ر‬ َ ‫رَوَى‬ Samurah ra meriwayatkan, "Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk memberi salam (dalam shalat) kepada diri kami dan juga kepada sesama kami." ، ِ‫ َو َبعْدَهَا َر ْك َع َتيْن‬، ‫ظهْرِ أَ ْر َبعًا‬ ّ ‫ن يُصَلّي َقبْلَ ال‬ َ ‫سلّ َم كَا‬ َ َ‫صلّى الُّ عََليْهِ و‬ َ ّ‫جهَهُ أَنّ ال ّنبِي‬ ْ َ‫عنْ ُه كَرّمَ الُّ و‬ َ ُّ‫ضيَ ال‬ ِ َ‫عَِليّ ر‬ َ‫ن َمعَ ُه مِنْ ا ْلمُ ْؤمِنِين‬ ْ َ‫ َوم‬، َ‫ل ِئكَةِ ا ْلمُقَ ّربِينَ وَال ّنبِيّين‬ َ َ‫ن بِالتّسْلِيمِ عَلَى ا ْلم‬ ِ ْ‫ل كُلّ َر ْك َعتَي‬ ُ‫ص‬ ِ ْ‫ يَف‬:‫صرِ أَ ْر َبعًا‬ ْ َ‫صلّي َقبْلَ ا ْلع‬ َ ُ‫َوي‬ Dari Ali ra. bahwa Nabi SAW shalat Dzhuhur 4 rakaat dan setelahnya shalat 2 rakaat dan shalat sebelum Ashar 4 rakaat. Beliau memisahkan antara 2 rakaat dengan salam kepada para malaikat al-muqarrabin, para nabi dan orang mukmin yang bersamanya. Semoga kutipan pendek ini cukup untuk menjelaskan jawaban pertanyaan anda. Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=685&bagian=0

Selasa, 4 Mei 2004 10:10:30 WIB Kategori : Fiqih Ibadah Istinja Dan Adab-Adab Buang Hajat : Buang Hajat Kecil Atau Hajat Besar Di Jalan Umum? Oleh Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3] Pertanyaan. Bagaimana hukum buang hajat kecil atau buang hajat besar di jalan umum (manusia) atau di perteduhan (seperti bawah pohon atau di halte bus) dan apa dalilnya ? Jelaskan dan sertakan dalil tentang itu ! Dan apakah boleh dilakukan dalam kondisi tertentu ? Jawaban Hukumnya adalah haram berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Jauhilah dua (perbuatan) yang menyebabkan laknat, yaitu buang http://orido.wordpress.com

27

Hadith of the Day hajat (besar/kecil) di jalan umum atau diperteduhan mereka” [Hadits Riwayat Muslim 269] Dan dari Abu Sa’id Al-Himyari dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Jauhilah tiga tempat penyebab laknat ; buang hajat besar di saluran-saluran air, di jalan-jalan umum, dan di perteduhan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 26, dan Ibnu Majah 328] Ibnu Majah berkata : “Hadits ini mursal [1] dan tidak diharamkan buang hajat (besar dan kecil) di tempat berkumpulnya manusia untuk perkara-perkara yang haram seperti tempat ghibah, judi, minum-muniman keras, tempat mendengarkan alat-alat musik dan tempat-tempat maksiat lainnya” Pertanyaan. Jelaskan tentang hukum kencing di lubang, di air yang mengalir, di tanah yang merekah, di air yang tenang, dan di tempat mandi, dan sebutkan dalilnya ! Jawaban. Hukumnya makruh. Dalilnya adalah hadits dari Qatadah Radhiyallahu ‘anhu dari Abdullah bin Sarjas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata. “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang kencing di suatu lubang, “Mereka bertanya kepada Qatadah, ‘Apa yang menyebabkan dilarang kencing di lobang ?’ Beliau berkata, ‘Dikatakan lobang itu merupakan tempat tinggal jin” [Hadits Riwayat Ahmad V/82, Abu Dawud 29 dan Nasa’i 34] Adapun dalil tentang makruhnya kencing di air yang tidak mengalir dan di tempat mandi adalah hadits riwayat dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah melarang seseorang itu kencing di air yang tenang. [Hadits Riwayat Ahmad II/288,532, III/341,350, Muslim 281, Nasa’i 35,221 dan 339 dan Ibnu Majah 343 dan 344] Dan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Janganlah salah seorang diantara kamu kencing di tempat mandinya kemudian mandi atau wudhu di tempat tersebut karena sesungguhnya umumnya ganguan (was-was) itu dari situ” [Hadits riwayat Abu Daud 27, Tirmidzi 21 dan Nasa’i 36, Akan tetapi Tirmidzi dan Nasa’i tidak menyebutkan lafal : “Kemudian mandi atau wudhu di tempat tersebut] Pertanyaan.

http://orido.wordpress.com

28

Hadith of the Day Bagaimana hukum mempersiapkan batu untuk ber-istinja dan mencari tempat yang lunak untuk kencing ? Jawaban. Hukumnya adalah sunnah berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Apabila salah seorang di antara kalian pergi buang hajat maka hendaklah dia bersuci dengan tiga batu itu karena sesungguhnya (bersuci dengan tiga batu itu) sudah bersih” [Hadits Riwayat Ahmad VI/108. Abu Dawud no. 40, Nasa’i 44 dan Daruquthni I/54. Dan asal perintah menggunakan tiga batu ada dalam riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu hadits no. 155. Daruquthni berkata, “Sanadnya Hasan Shahih”] Dan dari Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada suatu hari kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau hendak buang hajat maka beliaupun menuju asas (fondasi) dinding lalu kencing (di situ). Setelah

itu

beliau

bersabda,

“Artinya : Apabila salah seorang di antara kamu kencing, maka hendaknya dia menghindari air kencingnya” [Hadits Riwayat Ahmad IV/396,399 dan 414, dan Abu Dawud 3] Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda. “Artinya : Barangsiapa yang hendak buang hajat maka hendaklah berlindung (bertabir). Kalau dia tidak mendapatkan tabir (tutup) kecuali dengan cara mengumpulkan pasir (untuk dijadikan tabir), maka hendaknya (dia melakukan itu dan) membelakanginya, karena sesungguhnya syaitan akan main-main http://orido.wordpress.com

29

Hadith of the Day dengan tempat duduk Bani Adam. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka itulah yang utama. Sedang barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, maka tidak mengapa” [Hadits Riwayat Ahmad II/371, Abu Dawud 35, Ibnu Majah 337] [Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi AlAdillah

Asy-Syar’iyyah

jilid

I,

Disalin

ulang

dari

Majalah

Fatawa

03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M] _________ Foote Note. [1] Apabila seorang tabi’in, yang tentunya tidak bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba, …..” maka yang ia riwayatkan itu dinamakan hadits mursal, yaitu yang dilangsungkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak memakai perantara sahabat. http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5001

Konsultasi : Ibadah Perbedaan Antara Air Mani, Air Madi, Air Mazi Pertanyaan: pak ust. saya masih bingung memebedakan antara airmani,air madi, air mazi. kalau kita pelukan dan ciuman sama isteri kita tapi tidak jima' lantas keluar air kita. air tsb dinamakan air apa. saya tunggu jawaban pak ustad Hamba Allah Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

http://orido.wordpress.com

30

Hadith of the Day 1. Mani / sperma Mani secara bahasa artinya adalah air laki-laki dan perempuan. Sedangkan secara istilah, mani adalah cairan kental yang keluar akibat kuatnya dorongan syahwat. (lihat AL-Muhgni karya Ibnu Qudamah jiid 1 hal 199). Mani itu bentuknya cairan putih kental karena berisi sperma dan bila keluar selalu dengan keadaan memancar. 2. Mazi Mazi adalah cairan bening yang keluar akibat percumbuan atau hayalan. dari kemaluan laki-laki biasa. Berbeda, bentuk mazi itu bening dan biasa keluar sesaat sebelum mani keluar. Dan keluarnya tidak deras/ tidak memancar. Mani dan mazi juga bisa dibedakan yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan lazzah atau kenikmatan (ejakulasi/orgasme) sedangkan mazi tidak. 3. Wadi Wadi adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air kencing. Hukum Mani : Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah mani itu termasuk najis atau tidak. 1. Yang mengatakan najis. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa mani itu termasuk najis. Dalil yang mereka gunakan untuk mencapai pendapat ini adalah : o Bahwa Aisyah ra mencuci mani dari pakaian Rasulullah SAW. Dan Rasulullah SAW pun mengetahui hal itu dan tidak mengatakan bahwa mani itu tidak najis. o Hadits Abu Hurairah tentang mani yang mengenai pakaian,�Kalautahu bagian yang terkena, maka cucilah pada bagian yang terkena itu, tapi bila tidak maka cucilah baju itu seluruhnya. o Imam Malik mengatakan bahwa mai itu najis karena mani adalah darah yang rusak. Juga karena mani itu keluar dari tempat keluarnya kencing yang najis juga.

http://orido.wordpress.com

31

Hadith of the Day 2. Yang mengatakan tidak najis. Imam As-Syafi`i mbependapat bahwa mani manusia itu tidak najis, baik mani laki-laki atau mani perempuan. Dalil yang beliau gunakan adalah : o Hadits aisyah yang menerangkan bahwa Aisyah mengerik (mengerok) mani dari pakaian Rasulullah SAW kemudian beliau shalat dengan pakaian itu. (HR Muslim I 238). o Hadits Ibnu abbas ra bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mani yang mengenai pakaian. Maka beliau menjawab,�Mani itu hukumnya sama dengan ludah, karena itu cukup dihilangkan dengan mengeroknya dari pakaian. (HR Baihaqi). o Hadits Saad bin abi Waqash bahwa Rasulullah SAW bila pakaiannya terkena mani, dibasuhnya dengan air bila masih basah dan bila sudah kering dikeroknya kemudian shalat dengan pakaian itu. (Diriwayatkan oleh As-Syafi`i dalam al-musnad 1 � 26). o Selain itu, mani adalah cairan pembentuk manusia, bila najis, maka manusia pun menjadi najis. sehingga bila terkena pakaian, tidak membuatnya menjadi najis.

Sedangkan mazi termasuk najis dan harus disucikan dengan cara mencucinya dengan air hingga hilang bau, warna dan rasa. Bila seseorang keluar maninya, maka dia harus mandi janabah. Sedangkan bila keluar mazi, maka dia hanya berhadats kecil, cukup wudhu tidak perlu mandi. Hadaanallahu

Wa

Iyyakum

Ajma`in,

Wallahu

A`lam

Bish-shawab,

Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=645&bagian=0

Selasa, 20 April 2004 08:25:08 WIB Kategori : Fiqih Ibadah

http://orido.wordpress.com

32

Hadith of the Day

Berbicara Ketika Buang Hajat? Oleh Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

Pertanyaan. Bagaimana hukum berbicara ketika kondisi buang hajat dan apa dalilnya? Jawaban. Hukumnya adalah sangat makruh (dibenci) kalau tidak terpaksa atau tidak ada keperluan. Adapun dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu dia berkata. “Artinya : Bahwasanya ada seorang laki-laki lewat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat kecil, lalu laki-laki itu memberi salam kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetapi beliau tidak menjawab salam tersebut”[Hadits Riwayat Muslim no.370, Abu Dawud no.16, Tirmidzi no. 2720. Nasa’i no. 37 dan Ibnu Majah no. 353] Dan riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Tidaklah dua orang laki-laki keluar bersama untuk buang hajat lalu mereka membuka aurat mereka dan bercakap-cakap, maka sungguh Allah murka atas hal itu” [Hadits Riwayat Ahmad II/36, Abu Dawud 15, dan kami belum

menukan

di

Sunnan

Ibnu

Majah]

Pertanyaan. http://orido.wordpress.com

33

Hadith of the Day Bagaimana hukum masuk WC dengan membawa sesuatu yang padanya tertulis nama Allah dan apa dalilnya? Jawaban. Hukumnya adalah makruh kecuali karena ada hajat. Adapun mushhaf (AlQur’an) adalah haram kecuali dalam keadaan terpaksa berdasarkan hadits riwayat dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata. “Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan masuk WC beliau melepas cincinnya” [Hadits Riwayat Tirmidzi 1746, Nasa’i 5213, Abu Dawud 19 dan Ibnu Majah 303, dan telah dishahihkan oleh Tirmidzi] Dan telah shahih bahwa pada cincin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpahat kalimat Muhammad Rasulullah. Pertanyaan. Bagaimana hukumnya memegang kemaluan dengan tangan kanan dan sebutkan dalilnya

?

Jawaban. Hukumnya makruh kecuali terpaksa atau karena suatu hajat. Dalilnya adalah hadits marfu’ dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu. “Artinya : Janganlah salah seorang dari kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika kencing dan janganlah cebok dengan tangan kanannya” [Hadits Riwayat Bukhari 152 dan Muslim 267] Dan Muslim meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata. “Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah http://orido.wordpress.com

34

Hadith of the Day melarang kita menghadap kiblat ketika buang hajat besar atau buang hajat kecil, beristinja (cebok) dengan tangan kanan, beristinja dengan batu yang kurang dari tiga, atau beristinja dengan kotoran binatang (walaupun sudah kering

dan

bisa

meresap)

atau

tulang”

[Muslim

no.

262]

Pertanyaan. Jelaskan hukum bertabir (berlindung) dan menjauh ke tempat yang sunyi bagi orang yang hendak buang hajat dan sertakan dalilnya ! Jawaban. Hukumnya adalah mustahab (sunnah), sedang dalilnya adalah hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata. “Artinya : Kami keluar dalam satu safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak buang hajat kecuali bersembunyi dan tidak terlihat” [Hadits Riwayat Ibnu Majah no 335] Dan dari Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu berkata. “Artinya : Sesuatu yang paling disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dipakai bertabir (berlindung) ketika buang hajat adalah (di balik) bukit/gundukan tanah yang tinggi dan pelepah korma” [Hadits Riwayat Muslim 342, Ahmad I/204, dan Ibnu Majah 340]

[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi AlAdillah

Asy-Syar’iyyah

jilid

I,

Disalin

ulang

dari

Majalah

Fatawa

03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M]

http://orido.wordpress.com

35

Hadith of the Day

Shalat di Lantai tanpa Alas dan Najis Hukmiyah Rabu, 26 Jul 06 06:33 WIB Bapak Ustadz, Assalaamu'alaium wr. wb. Saya pernah membaca dalam uraian Bapak tentang dibolehkannya shalat di lantai rumah atau kantor tanpa alas/sajadah asalkan tidak kelihatan ada benda najis yang tampak. (Cara Pemecahan Shalat Dikarenakan Pekerjaan) Saya menjumpai kasus sebagai berikut: Di rumah saya ada seorang bayi berumur lebih dari 1 tahun dan sudah memakan makanan lain selain ASI. Kadang-kadang, air kencing bayi tersebut membasahi lantai rumah kami, dan kami hanya mengelapnya dengan kain pel basah. Setahu saya, ini bukan cara bersuci yang benar, karena seharusnya menggunakan air yang mengalir, bukan dengan lap basah. Guru mengaji saya mengatakan hukum dari lantai rumah tersebut adalah najis hukmiyah meskipun bekas kencing bayi sudah tidak kelihatan. Karena itu, menurut guru mengaji saya, tidak sah shalat di atas lantai rumah saya tanpa alas yang suci. Pertanyaan saya: 1. Apakah ada pendapat ulama' terdahulu tentang najis hukmiyah? 2. Sah atau tidak, shalat di lantai rumah yang kadang-kadang terkena kencing bayi tanpa disucikan dan bekas air kencing sudah kering/tidak tampak. Terima kasih atas jawaban dari Ustadz, Wassalaam, Noval Alif rmnoval00 at eramuslim.com

Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Menghilangkan najis itu memang dilakukan dengan air sebagai media untuk mensucikan. Namun bukan berarti air harus dialirkan sehingga membanjiri benda yang kena najis. http://orido.wordpress.com

36

Hadith of the Day Yang dimaksud dengan penggunaan air adalah bahwa sebuah najis dihilangkan dengan menggunakan media air. Dan lap yang basah itu pada hakikatnya merupakan air juga. Sehingga najis yang ada dilantai bisa dihilangkan setelah hilang baunya, rasanya atau warnanya. Baik dengan menggunakan media air atau pun media lainnya. Sebab inti masalahnya bukan pada airnya, melainkan semata-mata pada hilangnya najisnya itu, apapun medianya. Yang sedikit lebih detail dalam masalah najis adalah mazhab Asy-Syafi'i. Di dalam mazhab Asy-Syafi'i sebagaimana yang tertuang dalam kitab KasyifatusSaja, disebutkan bahwa memang ada dua jenis najis. Pertama adalah najis yang kelihatan kenajisannya. Najis ini disebut najis 'ainiyah. Asal katanya dari kata 'ain yang berarti mata, karena najis itu kelihatan dengan mata telanjang. Yang menjadi ukuran adalah warna, rasa dan aroma. Najis jenis ini dihilangkan dengan menghilangkan ketiganya. Kedua adalah najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak nampak oleh mata. Lantaran sudah tidak ada lagi rasa, warna atau aroma. Najis jenis ini dihilangkan hanya dengan mengalirkan air di atasnya sekali saja. Maka cara membersihkan lantai yang diketahui pasti pernah ada najisnya tapi sudah tidak kelihatan lagi adalah dengan cara menuangkan air di atasnya lalu dilap dan dikeringkan. Tentu saja bukan dengan membanjiri seluruh lantai, cukup pada bagian yang diyakini pernah ada najisnya saja. Jadi cukup dengan sedikit air saja lalu diseka dan sucilah lantai itu. Perlu diingat bahwa najis hukmi itu tidak boleh dibuat-buat dengan berandaiandai. Tapi hanya ada manakala kita tahu pasti bahwa di lantai itu memang pernah ada najisnya. Kita tahu dengan mata kepala kita, bukan dengan menebak-nebak atau menduga-duga. Sebab asal segala sesuatu adalah suci. Dan tidak pernah menjadi najis kecuali ada sebuah fakta nyata bahwa memang ada najis secara hakiki. Lalu bila najis itu tiba-tiba tidak nampak lagi, maka jadilah lantai itu najis hukmi. Maka tidak mungkin terjadi tiba-tiba ada lantai yang najisnya menjadi hukmi. Tetapi pasti melewati proses najis 'aini terlebih dahulu. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.

http://orido.wordpress.com

37

Related Documents