BAB I PENDAHULUAN Appendicitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis, yaitu divertikulum pada caecum yang menyerupai cacing, panjangnya bervariasi dari 7 sampai 15 cm, dan berdiameter sekitar 1 cm (Dorland, 2000), dan juga merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering (Arief Mansjoer, 2000), sedangkan batasan appendicitis akut adalah appendicitis yang terjadi dengan onset akut yang memerlukan intervensi bedah ditandai dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih, nyeri otot yang ada di atasnya, dan hiperestesia kulit (Dorland, 2000). Bila dibiarkan dapat menyebabkan komplikasi peritonitis umum, abses, dan komplikasi pasca operasi seperti fistula dan infeksi luka operasi. (Bagian Bedah Universitas Gajah Mada, 2008). Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Arif Mansjoer, 2000). Berdasarkan hasil survei, diketahui sebanyak 10% dari individu pernah menderita appendicitis selama hidupnya, paling sering dekade kedua dan ketiga dalam kehidupannya, namun menurut Peltokallio dan Tykka dengan alasan yang tidak jelas insiden keseluruhan tampak menurun sementara proporsi pasien menderita appendicitis pada usia lanjut meningkat (Soekamto Martoprawiro, 1995). Terdapat 12% laki-laki dan 25% wanita yang melakukan operasi apendektomi dan didapat 7% dari mereka adalah appendicitis akut. Dari penelitian lebih dari 10 tahun, dari tahun 1987-1997, rata-rata umur pasien yang melakukan apendektomi adalah 31,3 tahun dan nilai tengahnya 22 tahun dengan perbandingan laki-laki : perempuan = 1,2-1,3 : 1. Di Amerika Serikat ada penurunan jumlah kasus dari 100 kasus menjadi 52 kasus setiap 100 ribu penduduk dari tahun 1975 – 1991. Terdapat 15 – 30 persen (30 – 45 persen pada wanita) gambaran histopatologi yang normal pada hasil
1
apendektomi. Angka mortalitas yang tinggi dari appendicitis akut mengalami penurunan dalam beberapa dekade. Hawk et al, membandingkan kasus appendicitis akut pada periode 1933 – 1937 dengan 1943 – 1948. Angka mortalitas pasien appendicitis akut dengan peritonitis lokal menurun dari 5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien appendicitis akut dengan peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada tahun 1930, 15 kasus meninggal karena appendicitis dari 100 ribu populasi, sedangkan 30 tahun kemudian hanya 1 kasus meninggal dari 100 ribu polpulasi. Pada tahun 1977, mortalitas pasien dengan appendicitis akut tanpa perforasi 0,1% – 0,6% dan dengan perforasi 5% (Bagian Bedah Universitas Gajah Mada, 2008). Terdapat perbedaan di setiap daerah yang mempengaruhi prevalensi appendicitis akut seperti perbedaan gaya hidup termasuk jenis makanan yang dimakan, aktivitas, ras, kebiasaan sosial baik adat dan budaya, termasuk di Bandung tepatnya di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Perbedaan tersebut dipengaruhi pula oleh waktu yang semakin modern, semakin dibawa kepada sedentary life style.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI Apendiks vermiformis merupakan organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid dengan panjang bervariasi 8-13 cm. Dasar melekat pada caecum dan ujung lainnya bebas. Diliputi oleh peritoneum. Mempunyai mesenterium sendiri yang disebut mesoappendix yang berisi vena, arteri appendicularis dan saraf-saraf.
Gambar 2.1 Anatomi Caecum dan Apendiks Vermiformis (Snell, 2000)
3
1
Lokasi di region iliaca dextra dan pangkal diproyeksikan ke dinding anterior pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus yang disebut titik McBurney. Posisi ujung apendiks vermiformis yang umum (Snell, 2000): 1. tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis dekstra.(tersering) 2. melengkung di belakang caecum. (tersering) 3. menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum. 4. di depan atau dibelakang pars terminalis ileum.
Gambar 2.2 Variasi letak Apendiks Vermiformis (Jaffe, Berger, 2005)
2.2 FISIOLOGI Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. 2.3 INSIDENSI Insidensi appendicitis akut di negara maju lebih tinggi dibanding negara berkembang. Pada negara maju, seperti negara di Eropa, sekitar 7% penduduk pernah mengalami appendicitis akut dan setiap tahun di Amerika 200.000 kasus appendicitis akut telah dilakukan apendektomi (Way, 2006) Namun tiga sampai empat dasawarsa terakhir insidensinya menurun secara bermakna. Appendicitis ditemukan pada semua umur, pada anak umur kurang dari 1 tahun jarang dilaporkan, tertinggi pada umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi laki-laki dan perempuan sebanding kecuali pada umur 20-30 tahun insidensi laki-laki lebih tinggi (R. Sjamsuhidajat,Wim de Jong, 2003). Jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun (Grace, Borley, 2006). Selama lebih dari 10 tahun operasi apendektomi menurunkan angka kejadian appendicitis akut. Rata-rata umur yang terjadi 31,3 tahun dengan median 22 tahun. Perbandingan laki-laki : perempuan = 1,2-1,3 : 1. Rata-rata kesalahan diagnosis, walaupun telah menggunakan pemeriksaan penunjang seperti USG, CT scan, dan laparoskopi adalah 15,3 % yang sebanding dengan angka terjadinya perforasi. Kesalahan diagnosis lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki (22,2 : 9,3). 2
Pada insidensi apendektomi negatif, pada wanita yang masih reproduktif ditemukan tertinggi pada usia 40-49 tahun, sedangkan insidensi apendektomi negatif tertinggi adalah pada wanita berusia lebih dari 80 tahun (Jaffe, Berger, 2005). 2.4 ETIOLOGI Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: 1. Hiperplasia folikel lymphoid 2. Carcinoid atau tumor lainnya 3. Benda asing (pin, biji-bijian) 4. Kadang parasit Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu: Bakteri aerob fakultatif Escherichia coli
Bakteri anaerob Bacteroides fragilis
Viridans streptococci
Peptostreptococcus micros
Pseudomonas aeruginosa
Bilophila species
Enterococcus
Lactobacillus species
2.5 PATOGENESIS Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3 hari. Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus 3
vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis. Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan 4
menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat konsekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis. 2.6 GAMBARAN KLINIS
5
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis. Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 Jika suhu tubuh diatas 38,6
0
0
C).
C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan
appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum
hingga isi Caecum berkurang atau
kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan. 6
Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter. Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut Frekuensi
Gejala Appendicitis Akut
(%)
Nyeri perut Anorexia Mual Muntah Nyeri berpindah Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah
100 100 90 75 50
kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu
50
tinggi) *-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam
2.7 PEMERIKSAAN FISIK Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik. Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada
7
otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.
Gambar 3 . Cara melakukan Psoas sign Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.
Gambar 4. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masingmasing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.
8
Gambar 5. Cara melakukan Obturator sign Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver ini.
Gambar 6. Dasar anatomis terjadinya Obturator sign
Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ)
Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.
Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis. 9
Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
Dunphy sign: nyeri ketika batuk.
Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan skor >6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis Gejala Tanda Laboratorium
Manifestasi Adanya migrasi nyeri Anoreksia Mual/muntah Nyeri RLQ Nyeri lepas Febris Leukositosis Shift to the left
Total poin Keterangan:
Skor 1 1 1 2 1 1 2 1 10
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-8 : kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan. 2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
10
1. Pemeriksaan Laboratorium Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terutama jika sudah terjadi komplikasi (R. Sjamsuhidajat,Wim de Jong, 2003). Pemeriksaan lain yang membantu adalah pemeriksaan CRP yang biasanya meningkat (Grace, Borley, 2006). 2. Pemeriksaan Radiologi Foto Barium Enema : kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan Laparoskopi : dapat meningkatkan akurasi diagnosis (R. Sjamsuhidajat,Wim de Jong, 2003). CT scan heliks pada usia lanjut pada diagnosis ragu-ragu dapat dilakukan (R. Sjamsuhidajat,Wim de Jong, 2003; Grace,Borley, 2006). 3. Gambaran Patologi Anatomi (Agus Purwadianto, Budi Sampurna, 2000; Grace, Borley, 2006). Obstruktif : gambaran infeksi yang tumpang tindih dengan obstruksi lumen Flegmon : infeksi virus, hyperplasia limfoid, ulserasi, invasi bakteri tanpa penyebab yang jelas.
Gambar 2.4 Gambaran Histopatologi Appendicitis (Damjanov, 1997)
2.9 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin. 11
Pada anak-anak balita intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. Pada anak-anak usia sekolah gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat teraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah Pada pria dewasa muda Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya. Pada wanita usia muda Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
12
Pada usia lanjut Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium. 2.10 KOMPLIKASI 1. Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar. 2. Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perforasi Peritonitis Syok septik Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar Gangguan peristaltik Ileus
2.11 PENATALAKSANAAN Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis : Puasakan
13
Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik. Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi. Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan Laparotomy Perawatan appendicitis tanpa operasi Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah. Antibiotika preoperative Pemberian
antibiotika
preoperative
efektif
untuk
menurunkan
terjadinya infeksi post opersi. Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
14
Teknik operasi Appendectomy A. Open Appendectomy 1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal
Oblique
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a.
Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan karena bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis.
15
sayatan M.rectus abd. 2 lapis
M.rectus abd. ditarik ke medial
b.
Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
16
Gambar 7. Lokasi insisi yang sering digunakan pada Appendectomy B. Laparoscopic Appendectomy Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta sangat mudah dengan menggunakan laparoskop.
BAB III LAPORAN KASUS 17
3.1. Identifikasi Nama
: Suryani Binti Magan
TTL
: Kertapati, 31 Desember 1965
Jenis Kelamin
: perempuan
Alamat
: Lrg. Timbunan No. 20 RT 59 RW 10 Ogan Baru, Kertapati, Palembang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: IRT
Tanggal MRS
: 23 Maret 2019
No. RM
: 10.54.82
Anamnesis 3.2.
Keluhan Utama Nyeri perut kanan bawah.
3.3.
Riwayat Perjalan Penyakit Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Keluhan nyeri awalnya dirasakan didaerah uluh hati dan
hilang timbul. Nyeri kemudian
menjalar dan dirasakan diperut kanan bawah terus – menerus. Terdapat riwayat demam, mual, muntah sebanyak dua kali berisi makanan. Pasien juga mengeluh nafsu makan menurun. Buang air kecil tidak ada keluhan pada pasien, pasien belum buang air besar sejak nyeri dirasakan dan kemudian pasien berobat ke RSUD Palembang BARI.
3.4.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi (+) sejak 10 tahun tidak terkontrol Riwayat keluhan serupa, DM, asma, sakit jantung, dan operasi sebelumnya disangkal.
3.5.
Riwayat Penyakit Keluarga 18
Tidak ada riwayat penyakit seperti ini pada keluarga pasien. 3.6.
Riwayat Alergi Alergi terhadap makanan, minuman, obat-obatan dan lain lain disangkal.
3.7.
Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum: 1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang 2. Kesadaran : Compos mentis 3. Berat Badan : 60 kg 4. Tinggi badan : 158 cm 5. Tekanan darah : 150/90 mmHg 6. Nadi - Frekuensi : 92 kali per menit - Irama : Reguler - Isi : Cukup - Tegangan : Kuat - Kualitas : Baik 7. Pernafasan - Frekuensi : 22 kali per menit - Irama : Reguler 8. Temperature : 37,8°C Nyeri berdasarkan SOCRATES Site (Lokasi)
: Nyeri pada perut kanan bawah
Onset (Mulai timbul)
: 2 hari SMRS
Character (Sifat)
: nyeri terus menerus, nyeri berpindah
Radiation (Penjalaran)
:nyeri menjalar dari ulu hati ke perut kanan bawah
Association (Hubungan)
: mual (+), muntah (+)
Timing (Saat terjadinya)
:nyeri saat mual, muntah, dan bergerak
Exacerbating and relieving factor: nyeri dirasakan berkurang saat diberi analgetik Severity (Tingkat keparahan) : nyeri semakin lama semakin hebat b.Keadaan Spesifik: 19
1. Pemeriksaan Kepala: - Bentuk : Normocepali - Rambut : Hitam, lebat, tidak mudah dicabut - Simetris Muka : Simetris - Wajah : Sawo matang 2. Pemeriksaan Mata: - Eksophtalmus : Tidak ada - Endophtalmus : Tidak ada - Palpebra : Tidak ada edema - Konjungtiva : Tidak anemis - Sklera : Tidak ikterik - Pupil : Isokor, refleks cahaya ada kiri dan kanan - Pergerakan mata : Kesegala arah baik 3. Pemeriksaan Telinga : - Liang Telinga : Lapang - Serumen : Tidak ada - Sekret : Tidak ada - Nyeri Tekan Tragus : Tidak ada - Gangguan Pendengaran: Tidak ada 4. Pemeriksaan Hidung : - Deforrmitas : Tidak ada - Sekret : Tidak ada - Epitaksis : Tidak ada - Mukosa Hiperemis : Tidak - Septum Deviasi : Tidak ada 5. Pemeriksaan Mulut dan Tengorokan: - Bibir : Sianosis tidak ada, normal - Gigi –geligi : Lengkap - Gusi : Normal - Lidah : Sariawan tidak ada, atrofi papil lidah tidak ada, bercak putih atau kuning tidak ada. - Tonsil : T1/T1 tenang - Faring : Merah muda 6. Pemeriksaan Leher - Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan - Palpasi : Pembesaran Tiroid tidak ada, Pembesaran KGB tidak ada - JVP : 5-2 cm H2O 7. Kulit - Hiperpigmentasi : Tidak ditemukan - Ikterik : Tidak ada - Ptekhie : Tidak ada - Sianosis : Tidak ada 20
- Pucat pada telapak tangan - Pucat pada telapak kaki - Turgor 8. Thorax : Paru-paru:
: Tidak ada : Tidak ada : Kembali cepat
Inspeksi
: Simetris, tidak ada retraksi
Palpasi
: Fremitus raba normal
Perkusi
: Sonor (+/+)
Auskultasi
: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS IV linea midclavicularis sinistra
Perkusi
: Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
: HR: 92x/menit reguler, bunyi jantung S1- S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada.
9. Pemeriksaan Abdomen Status lokalis: Regio Abdomen - Inspeksi
:datar, venektasi tidak ada, caput medusa tidak ada, spider
- Perkusi
naevi tidak ada, benjolan tidak ada :Tympani di seluruh kuadran abdomen, shifting dullness
tidak ada, nyeri ketok ada - Auskultasi : Bising usus normal, frekuensi 3x/menit, bruit tidak ada.
Palpasi Titik Mc Burney: Nyeri tekan (+) Rovsing sign (+) Blumberg sign (+) Defans muskular lokal (+) di kuadran kanan bawah Psoas sign (+) Obturator sign (+)
Obturator sign (+)
21
10. Pemeriksaan Ekstremitas Superior
: Eutoni, eutropi, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi tidak ada, palmar eritem tidak ada, edema pada kedua lengan dan tangan ada, teraba lembab.
Inferior
: Eutoni, eutropi, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi tidak ada, palmar eritem tidak ada, edema pada kedua tungkai tidak ada.
3.8.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaa Laboratorium Tanggal 23 Maret 2019 Hematologi Darah Rutin Parameter Hemoglobin Eritrosit Leukosit Trombosit Hematokrit Eosinofil Basofil Neutrofil Batang Neutrofil Segmen Limfosit Monosit
Hasil 13,5 4.270.000 18.400 306.000 40 0 1 1 75 18 5
USG Abdomen
22
Nilai Normal 14-16 g/dl 4.000.000-4.500.000/ul 4.500-10.000/ul 150.000-400.000/ul 40-48% 0-1 1-3 2-6 50-70 20-40 2-8
23
Skor Alvarado Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis Gejala
Tanda Laboratorium
Manifestasi Adanya migrasi nyeri Anoreksia Mual/muntah Nyeri RLQ Nyeri lepas Febris Leukositosis Shift to the left
Total poin Keterangan: 10 : hampir pasti menderita Appendicitis 3.9. Diagnosa Banding 1. Appendisitis akut 2. Kista ovarium 3. Diverkulitis 24
Skor 1 1 1 2 1 1 2 1 10
4.
Ureterolithiasis
3.10. Diagnosa Kerja Appendisitis akut 3.11. Penatalaksanaan Medikamentosa: IVFD Ringer Laktat gtt 20x/m Ceftriaxone 2 x 1 g Ketorolac 3 x 30 mg Non-medikamentosa: 1. Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg) 2. Diet rendah serat 3. Monitor : Tanda-tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam Tindakan: Appendiktomi Post operasi: IVFD RL gtt 20 x/m Ketorolac 3 x 30 mg Ceftriaxon 2x1 gr 3.12. Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanactionam 3.13 Komplikasi 1. Appendicular infiltrat 2. Appendicular abscess 3. Perforasi 4. Peritonitis
: Dubia ad bonam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam
25
DAFTAR PUSTAKA Agus Purwadianto, Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Bina Rupa Aksara. p.122-6. Arif Mansjoer,Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.307-313. Bagian Bedah Universitas Gajah Mada. 2008. Appendicitis Akut. http://www.bedahugm.net/Bedah-Digesti/Appendicitis-akut.html. August 1st, 2009 Damjanov Ivan. 1997. Histopathology a Color Atlas & Textbook. Terjemahan : Brahm U. Pendit. Jakarta : Penerbit Widya Medika. p.202-3. Dorland W.A. Newman. 2000. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 29th ed. Terjemahan : Huriawati Hartanto. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.142. 26
Grace Pierce A, Borley Neil R. 2006. Surgery at a Glance. 3th ed. Terjemahan Vidhia Umami. Jakarta : Penerbit Erlangga. p.106-7. Jaffe Bernard M., Berger David H. 2005. The Appendix In : Brunicardi F. Charles, Andersen Dana K., Billiar Timothy R, Dunn David L, Hunter John G, Pollock Raphael E. Schwartz’s Principles Of Surgery. 8th ed. New York : The Mc GrawHill Companies. p.1119-1137. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 642-5. Snell Richard S. 2000. Clinical Anatomy For Medical Student. 6th ed. Terjemahan Liliana Sugiharto. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 230-1. S Soekamto Martoprawiro, Soeparman, Rahmad Gunawan. 1995. Traktus Gastrointestinal dalam : Robbins Stanley L., Kumar Vinay. Basic Pathology. 4th ed. Terjemahan : Staf Pengajar Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.293-4. Way Lawrence W. 2006. Appendix In : Doherty Gerard M., Way Lawrence W. Current Surgical Diagnosis & Treatment. 12th ed. New York : The Mc Graw-Hill Companies. p.648-652.
27