Blok-22-meningitis-tuberkulosis Fakhrurrozi Pratama.docx

  • Uploaded by: Fakhrurrozi Pratama
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Blok-22-meningitis-tuberkulosis Fakhrurrozi Pratama.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,893
  • Pages: 16
Meningitis Tuberkulosa dan Penatalaksanaannya Fakhrurrozi Pratama/102014129 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi : Jalan Way Besay No.8, Jakarta Barat [email protected] Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11510

Abstract Tuberculous meningitis is inflammation of the lining of the brain or meninges caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis. Tuberculous meningitis is the result of the spread of hematogenous and lymphogenous bacteria Mycobacterium tuberculosis from primary infection in the lung. Tuberculous meningitis remains a major problem and is an important cause of death in several countries. TB meningitis should be considered in patients with mental confusion, especially if there is a history of pulmonary tuberculosis, alcoholism, corticosteroid treatment, HIV infection, or other conditions associated with a decreased immune response. Some diseases that have similarities with TB meningitis include: bacterial meningitis and viral meningitis. This condition can be diagnosed with appropriate staining, culture, and serological and cytologic tests. This disease is mostly found in people with low socio-economic conditions. The developing predisposing factors for TB infection are malnutrition, corticosteroid use, malignancy, head injury, HIV infection and diabetes mellitus. management of TB meningitis is done by controlling the TB infection first. Prevention can be done by maintaining personal hygiene, maintaining distance from TB patients. The patient's prognosis is directly proportional to the clinical stage when the patient is diagnosed and treated. The further the clinical stage, the worse the prognosis. Keywords: TB meningitis, bacterial meningitis, meningitis virus, tuberculosis, meninges. Abstrak Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru. Meningitis tuberkulosis tetap merupakan masalah utama dan merupakan penyebab kematian penting di beberapa negara. Meningitis TB harus dipertimbangkan pada pasien dengan kebingungan mental, terutama jika ada riwayat tuberkulosis paru, akoholism, pengobatan kortikosteroid, infeksi HIV, atau kondisi lain yang berhubungan dengan respon imun menurun. Beberapa penyakit yang memiliki kemiripan dengan meningitis TB antara lain: meningitis bakterialis dan meningitis viral. Keadaan ini dapat didiagnosis dengan pewarnaan yang tepat, kultur, dan pemeriksaan serologik serta sitologik. Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio-ekonomi rendah, Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan,cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus. tatalaksana Meningitis TB dilakukan dengan mengendalikan infeksi TB nya terlebih dahulu. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri, menjaga jarak dengan pasien TB. Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Kata Kunci : Meningitis TB, Meningitis Bacterialis, Meningitis Virus, Tuberculosis, Meninges.

1

Pendahuluan Meningitis merupakan inflamasi pada meningen (membran yang melapisi otak dan medula spinalis). Peradangan yang terjadi dapat disebabkan organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak. Tipe meningitis termasuk aseptik, septik dan tuberkulosis. Meningitis aseptik mengacu pada meningitis virus atau iritasi meningeal. Meningitis septik mengacu pada meningitis yang disebabkan oleh bakteri. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh basilus tuberkel. Infeksi meningeal dapat terjadi melalui hematogen dari infeksi lain, perkontinuitatum atau implantasi langsung.1 Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak yang disertai cairan otak yang jernih, penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosa, penyebab lainnya seperti virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia. Sedangkan meningitis purulenta adalah radang bernanah pada selaput otak, penyebabnya antara lain, Diplococcus pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus group A, Staphylococcus aureus, Haemophillus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa. Meningitis tuberkulosis merupakan salah satu manifestasi klinis TB diluar paru, yaitu di sususan saraf pusat (SSP). Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut, maka perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.1,2 Anatomi Lapisan Meningen Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh meningen. Selain melapisi otak dan medulla spinalis , meningen juga berfungsi yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan mensekresi cairan serebrospinal (CSS). Selaput meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu: Duramater, secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural), dimana sering dijumpai terjadinya pendarahan. Arakhnoid, merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang, terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini 2

dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh CSS. Pendarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cidera kepala. Piamater, melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membran vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam otak juga diliputi oleh piamater. Anamnesis Merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri yang disebut auto anamnesa apabila pasien dalam kondisi sadar dan baik, bisa juga melalui keluarga terdekat atau orang yang bersama pasien selama ia sakit apabila pasien dalam kondisi tidak sadar atau kesulitan berbicara disebut dengan allo anamnesa. Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Hal yang perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis antara lain: o Identitas: Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, agama, dan suku bangsa. o Riwayat penyakit sekarang: Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat beserta dengan onset, lokasi, kronologis, kualitas, kuantitas, gejela penyerta, keluhan lain, dan faktor pemberat atau memperingan penyakit dari pasien. o Riwayat penyakit dahulu: Keluhan seputar apakah dahulu pernah mengalami sakit yang sama seperti saat ini, apakah ada penyakit lain sebelumnya? Adakah obat yang pernah dikonsumsi sebelumnya? (tanyakan penyakit atau keluhan yang serupa, darah tinggi, kencing manis, asam urat, kolesterol tinggi dan pernah pengobatan apa saja). Adakah riwayat gangguan neurologis sebelumnya? Adakah riwayat penyakit sistemik, khususnya kelainan kardiovaskular? Adakah riwayat penyakit TBC? o Riwayat penyakit keluarga: Apakah ada keluarga atau kerabat dekat yang pernah mengalami gangguan yang sama. Adakah riwayat gangguan neurologis dalam keluarga? Adakah riwayat penyakit TBC pada keluarga? Ada kontak? o Riwayat sosial dan lingkungan: Pekerjaan, aktivitas sehari-hari, makan asin, makan masakan tinggi lemak, merokok, minum alkohol, berolahraga rutin berapa kali. Ditanyakan pula bagaimana kondisi lingkungan di sekitar rumah.4

3

Pada anamnesis didapatkan seorang laki-laki usia 68 tahun datang ke rumah sakit diantar oleh keluarganya dengan keluhan sakit kepala yang semakin berat dan demam sejak 2 minggu yang lalu. Keluarga pasien juga mengeluh pasien menjadi sering mengantuk dan tidak nafsu makan. Pasien mempunyai riwayat batuk lama selama 3 bulan dan tidak rutin minum obat. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum untuk mengetahui bagaimana keadaan umum pasien apakah tampak sakit ringan, sedang, atau berat. Kesadaran Untuk mengetahui bagaimana tingkat kesadaran pasien. TTV (Tanda–tanda Vital) Untuk mengetahui keadaan tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi. Tujuan utama pemeriksaan fisik saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit fungsi serta untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot. Berikut beberapa hal yang perlu di periksa, yaitu: Tingkat kesadaran: Pemeriksaan tingkat kesadaran yang sekarang dipakai adalah skala dari Glasgow (Glasgow coma scale) yang lebih praktis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan sistematik. Cara pemeriksaan Glasgow coma scale (GCS), didasarkan pada respon dari mata, pembicaraan, dan motorik. Dimana masing-masing mempunyai nilai/score tertentu, mulai dari yang paling baik (normal) sampai dengan yang paling jelek. Jumlah/total scoring paling buruk adalah 3, sedangkan yang paling baik (normal) adalah 15. Koma : GCS < 7. Pemeriksaan tanda rangsangan meningeal a. Kaku kuduk Cara: Pasien tidur telentang tanpa bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Hasil pemeriksaan:  Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi leher  normal/kaku kuduk negatif.  Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk positif. b. Brudzinski

4

Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Hasil Pemeriksaan : Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. c. Kernig Cara: Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90o. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135o terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 o maka dikatakan kernig sign positif. d. Laseque Cara: Pasien berbaring terlentang. Angkat satu tungkai pasien dengan fleksi di sendi panggul sampai membentuk sudut 70o, sedangkan tungkai lain dalam keadaan lurus. Hasil Pemeriksaan : Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 70o, maka dikatakan laseque sign positif. Pemeriksaan refleks patologis Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal. Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas. a. Refleks Klonus kaki Cara pemeriksaan: sanggah lutut pada posisi fleksi ringan. Lalu dengan tangan yang lain lakukan dorsofleksi tiba-tiba dan pertahankan beberapa saat. b. Babinsky sign Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks. Reaksi: Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya. Intepretasi: normal (-)5 Dalam skenario terdapat pemeriksaan fisik dengan tekanan darah 110/70, Heart rate 90 kali/menit, respirasi 20kali/menit dan suhu 37,4oC. GCS: 12. Pemeriksaan Penunjang 5

Pemeriksaan Batang Tahan Asam (Ziehl Neelsen): Sputum yang diambil harus berasal dari trakea atau bronkus, bukan saliva (air liur). Atau melalui LCS. Pemeriksaan darah, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan hitung jenis leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, kultur. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada meningitis TB didapatkan juga peningkatan LED. Pada meningitis purulenta/bakterialis didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Pemeriksaan radiologi: a. Foto toraks: dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.  Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah: Komplek primer dengan atau tanpa perkapuran.  Pembesaran kelenjar paratrakeal.  Penyebaran milier.  Penyebaran bronkogen.  Atelektasis.  Pleuritis dengan efusi. b. CT-scan kepala, dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI pada pasien meningitis TB adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran sering ditemukan adanya enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau thalamus. Pengambilan cairan serebrospinal: Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi, Sisternal Punksi, atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedur neuro diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral cervical punksi hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli. Indikasi Lumbal Punksi: a. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksaan sel, kimia, dan bakteriologi. b. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotik, anti tumor, dan spinal anastesi.

6

c. Untuk membantu diagnosis dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi, dan zat kontras pada myelografi. Kontra indikasi Lumbal Pungsi: a. Ada peninggian tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil edema. b. Penyakit kardiopulmonal yang berat. c. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi. Persiapan Lumbal Punksi: a. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP. b. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga terutama pada LP dengan resiko tinggi. Teknik Lumbal Punksi: a. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala atau lutut. b. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L3-4, yaitu setinggi crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau ke bawah. Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5. c. Bersihkan dengan yodium dan alkohol daerah yang akan dipungsi. d. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL. e. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang miring menghadap ke kepala. f. Dilakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer dan test Queckenstedt bila diperlukan. Kemudian ambil sampel untuk pemeriksaan jumlah dan jenis sel, kadar gula, protein, kultur bakteri dan sebagainya. Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan memperhatikan: a. Warna: Normal cairan serebrospinal warnanya jernih dan patologis bila berwarna kuning, xantokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari protein. Peningkatan protein yang penting dan bermakna dalam perubahan warna adalah bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna kemerahan berasal dari darah dengan jumlah sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang 7

utuh akan memberikan warna merah segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam dan akan memberikan warna cucian daging di dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit lebih dari 1000 sel/ml. b. Tekanan: Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan CSS tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20 cmH2O pada daerah lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30 cmH2O. Kalau tidak ada sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah pada penekanan abdomen dan waktu batuk. c. Jumlah sel: Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel polimorfonuklear saja. Sel leukosit jumlahnya akan meningkat pada proses inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis, pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi ruptur dari abses serebri atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberkulosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing. d. Glukosa: Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbal. Rasio normal kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa 8

serum adalah >0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derajat yang bervariasi, dan paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma. e. Protein: Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. Pada sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 mg%. Kadar gamma globulin normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood brain barrier), reabsorbsi yang lambat

atau peningkatan sintesis

immunoglobulin lokal. f. Elektrolit: Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130 mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdapat penurunan kadar Cl pada meningitis tapi tidak spesifik. g. Osmolaritas: Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L). Bila terdapat perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS. h. pH: Keseimbangan asam basa harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan metabolik alkalosis. pH cairan serebrospinal lebih rendah dari pH darah, sedangkan PCO2 lebih tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). pH CSS relatif tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik, dan akan berubah bila metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat. Pemeriksaan lumbal punksi pada meningitis TB memperlihatkan CSS yang jernih, kadang-kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan maka akan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-500/ml dan kebanyakan limfosit. Kadang-kadang oleh reaksi tuberculin yang hebat terdapat peningkatan jumlah sel, lebih dari 1000/ml. Kadar glukosa rendah, antara 20-40 mg%, kadar

9

Cl dibawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat diperiksa untuk pembiakan atau kultur menurut pewarnaan Ziehl-Nielsen.2,3 Working Diangnosis Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosisdari infeksi primer pada paru. Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis dan meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik spektrum luas. World Health Organization (WHO) Pada tahun 2009 menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru. Meningitis tuberkulosis tetap merupakan masalah utama dan merupakan penyebab kematian penting di beberapa negara. Meningitis TB harus dipertimbangkan pada pasien dengan kebingungan mental, terutama jika ada riwayat tuberkulosis paru, akoholism, pengobatan kortikosteroid, infeksi HIV, atau kondisi lain yang berhubungan dengan respon imun menurun. Meningitis TB juga harus dipertimbangkan pada pasien dari daerah atau grup dengan insidens tinggi TB.5,6 Differential Diagnosis Beberapa penyakit yang memiliki kemiripan dengan meningitis TB antara lain: meningitis bakterialis dan meningitis viral. Keadaan ini dapat didiagnosis dengan pewarnaan yang tepat, kultur, dan pemeriksaan serologik serta sitologik. Meningitis bakterialis sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia, hipotensi, atau syok), diperberat oleh koagulasi intravaskular diseminata, yang dinduksi oleh septikemia. Meningitis biasanya terjadi karena bakterinemia yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis, walaupun Steptococcus pneumonia dapat muncul pada orang-orang dengan pneumonia pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alcohol) atau kerusakan dura (fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus). Bila dicurigai 10

bakterialis, maka antibiotik spektrum luas (misalnya sefotaksin dosis tinggi) harus segera diberikan. Diagnosis dipastikan dengan mengidentifikasi organisme (kultur darah, pemeriksaan mikroskopik LCS, kultur, dan polymerase chain reaction (PCR) atau serologi darah). Prognosis bervariasi. Pada meningitis meningokokus, 5-10% meninggal, dan sebagian besar mempunyai gejala sisa permanen, termasuk kehilangan jari (infark akibat hipotensi), tuli, buta, dan gangguan intelektual. Imunisasi terhadap meningokokus serotype A dan C efektif (tetapi serotype B, dimana tidak ada vaksin terhadapnya, mendasari ±50% kasus). Meningitis Viral. Sebagian besar kasus meningitis limfositik akut disebabkan oleh virus. Karena biakan rutin negatif, meningitis virus juga disebut sebagai meningitis aseptik. Banyak jenis virus yang diduga terlibat, di antaranya enterovirus (coxsackie A dan B, echovirus, poliovirus), herpesvirus (virus herpes simpleks-1 (HSV-1), HSV-2, virus EpsteinBarr, virus varisela zoster), gondongan, campak, dan adenovirus. LCS jernih dengan kandungan protein normal atau meningkat, dan glukosa normal. Bisa ditemukan sel-sel mononuklear, namun tak ditemukan organisme. Gejala nyeri kepala dan meningismus bisa sembuh sendiri. Apus tenggorok, spesimen LCS, dan feses harus dikirim untuk kultur virus dan uji serologis. Tata laksana bersifat simtomatik dengan rehidrasi dan analgesia karena sebagian besar pasien sembuh tanpa sisa defisit dalam beberapa hari.5,6 Etiologi Mycobacterium tuberculosis tipe human sekarang merupakan penyebab dari sebagian besar meningitis tuberkulosis, tetapi mikobakteria oportunistik mungkin menjadi penyebab penyakit ini pada pasien AIDS.5 Epidemiologi Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio-ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari–hari, perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur berdesakan, kekurangan gizi, higiene yang buruk, faktor suku atau ras, kurang atau tidak mendapat fasilitas imunisasi. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan,cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarangditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidakpernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan.6 Paling sering terjadi di bawah umur 2 tahun, yaitu antara 9 sampai 15 bulan. Risiko tinggi khususnya pada pasien immunocompromised dan 11

kelompok etnis tertentu serta populasi imigran (di Inggris).11 Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual (9). Angka kejadian TB paru di Indonesia dilaporkan terus meningkat setiap tahun dan sejauh ini.6 Patofisiologi Meningitis TB biasanya berasal dari reaktivasi dari infeksi laten Mycobacterium tuberculosis. Infeksi primer, dapat dihubungkan dengan metastase diseminata melalui darah dari paru atau tempat lain ke meningen dan permukaan otak. Kadang-kadang juga dapat masuk ke dalam tulang tengkorak atau tulang belakang. Disini organisme akan menjadi dorman dalam bentuk tuberkel yang dapat ruptur ke dalam ruang subarakhnoid ( basil dan antigen masuk) sewaktu-waktu dan menyebabkan meningitis TB misal dengan faktor pencetus trauma atau faktor imunologis yang menurun. Pembentukan massa kelabu berbentuk agar-agar di dasar otak, dan peradangan serta penyempitan arteri yang menuju otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak secara lokal, ketiga proses ini menyebabkan timbulnya gejala klinis. Penemuan utama adalah eksudat pada basal meningen yang mengandung sebagian besar sel mononuklear. Tuberkel dapat dilihat pada meningen dan permukaan otak. Ventrikel dapat membesar karena adanya hidrosefalus, dan pada permukaan ventrikel dapat terlihat eksudat. Arteritis dapat mengakibatkan infark serebral, dan inflamasi basal serta fibrosis dapat menekan saraf kranial.4,5 Manifestasi Klinis4 Manifestasi meningitis TB umumnya bersifat kurang akut daripada meningitis bakterial purulen dan diagnosis klinisnya sulit. Gejala biasanya telah timbul setidaknya selama kurang dari 4 minggu, termasuk demam, letargi atau kebingungan, dan sakit kepala. Penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, muntah, kaku kuduk, gangguan penglihatan, diplopia, kelemahan fokal, dan kejang juga dapat muncul. Riwayat dari kontak dengan kasus TB biasanya tidak ada. Demam, tanda-tanda iritasi meningen, dan kebingungan mental merupakan penemuan tersering pada pemeriksaan fisik, tapi semuanya dapat juga tidak ada. Kemudian sebagai akibat dari: (1) meningitis, akan terjadi sakit kepala, muntah, dan kaku kuduk; (2) eksudat abu-abu pada dasar otak dapat mengenai saraf-saraf otak dan menimbulkan gejala-gejala: penurunan penglihatan, lumpuhnya salah satu kelopak mata, 12

juling, anisokor, dan ketulian. Edema papil terdapat pada 40% pasien; (3) terkenanya arteri yang menuju otak dapat menimbulkan kejang-kejang, afasia atau kelemahan otot lengan atau tungkai. Akan tetapi, setiap bagian otak dapat terkena; (4) hidrosefalus umum terjadi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya sumbatan eksudat pada beberapa saluran cairan serebrospinal di otak. Hidrosefalus merupakan penyebab utama dari menurunnya kesadaran. Kerusakan yang diakibatkan mungkin akan menetap dan penyebab prognosis yang buruk pada pasien yang baru terdiagnosis setelah kesadarannya menurun; (5) sumbatan spinal oleh eksudat dapat menyebabkan kelemahan upper motor neuron atau kelumpuhan tungkai; dan (6) karena penyakit TB di bagian lain dari tubuh sering kali terjadi, carilah TB pada kelenjar getah bening, paru (khususnya TB milier), pembesaran hati atau limpa, dan tuberkel pada koroid yang terlihat pada pemeriksaan retina.5,6 Komplikasi Meningitis serosa merupakan komplikasi serius dari tuberkulosis terutama pada anakanak. Sarang infeksi tuberkulosis di luar susunan saraf, pada umumnya di paru akan melepaskan spora Mycobacterium tuberculosa. Melalui lintasan hematogen ia tiba di korteks serebri dan akhirnya mati atau dapat berkembang biak dan membentuk eksudat kaseosa. Leptomeningens yang menutupi sarang infeksi di korteks dapat ikut terkena dan menimbulkan meningitis sirkumkripta. Eksudat kaseosa dapat pula pecah dan masuk serta membawa kuman tuberkulosis ke dalam ruang subarachnoid. Meningitis yang menyeluruh akan berkembang secara berangsur-angsur dan membentuk tuberkuloma. Meningitis tuberkulosis dapat berkembang juga sebagai penjalaran infeksi tuberkulosis di mastoid atau spondilitis tuberkulosa. Meningens yang paling berat terkena radang adalah bagian basal. Di bagian basal terdapat sisterna, sehingga berbagai komplikasi umum sering dijumpai hidrosefalus. Saraf otak juga dapat tertekan oleh reorganisasi eksudat di bagian basal. Hemiplegia, afasia dan lain–lain merupakan manifestasi ensefalomalasia regional dapat timbul sebagai komplikasi dari radang tuberkulosis pembuluh darah. Jika pleksus koroideus terkena radang tuberkulosis, maka produksi liquor sangat besar dan hidrosefalus komunikans akan berkembang. Karena itu atrofi jaringan otak akan cepat terjadi dan dapat menyebabkan gejala sisa berupa demensia dan perubahan watak. Penatalaksanaan Meningitis TB merupakan penyakit yang paling mengancam nyawa pasien dibandingkan dengan bentuk TB lainnya. Terutama karena meningitis TB paling sering 13

meninggalkan gejala-gejala serius secara permanen. Oleh karena itu, pengobatan harus dimulai seawal mungkin, tidak boleh ditahan sampai hasil kultur keluar. Keputusan diambil berdasarkan hasil pemeriksaan LCS, pleositosis dan berkurangnya glukosa cukup meyakinkan, walaupun pewarnaan tahan asam negatif. Empat macam obat digunakan untuk terapi awal, sampai kultur dan tes kepekaan diketahui. Obat-obat ini adalah 300 mg isoniazid, 600 mg rifampisin, 25 mg/kg pirazinamid, 15 mg/kg etambutol, masing-masing diberikan oral sekali sehari. Untuk strain yang peka, etambutol dapat dihentikan, dan obat lainnya dilanjutkan selama 2 bulan, diikuti dengan 4-10 bulan terapi isoniazid dan rifampisin. Piridoksin 50 mg/hari dapat diberikan untuk mengurangi polineuropati yang diinduksi isoniazid. Kortikosteroid (prednison, 60 mg/hari secara oral pada dewasa atau 1-3 mg/kg/hari secara oral pada anak, dikurangi secara bertahap selama 3-4 minggu) diindikasikan sebagai terapi adjuvan pada pasien dengan spinal subarakhnoid block. Dapat juga diindikasikan pada pasien dengan penyakit yang parah dengan tanda neurologis fokal atau dengan peningkatan tekanan intrakranial dari edema cerebral. Kortikosteroid diberikan untuk menghambat reaksi inflamasi, menurunkan edema serebri, dan mencegah perlengketan meningens. Bagi pasien yang memakai rifampisin, dosis rifampisin perlu ditambah dengan setengahnya (mis. Menjadi 45 mg untuk dewasa dan 1,5 mg/kg untuk anak). Resiko penggunaan kortikosteroid mungkin tinggi, terutama bila meningitis jamur salah didiagnosis menjadi meningitis TB. Oleh karena itu, jika meningitis jamur belum dapat dipastikan, terapi antijamur harus ditambahkan. Jika tersedia fasilitas, tindakan bedah mungkin bisa diperlukan untuk mengurangi tekanan intrakranial atau untuk mencegah pengurangan penglihatan dengan cepat.7,8 Prognosis Kematian sudah pasti bila penyakit TB tidak diobati: makin dini penyakit ini didiagnosis dan diobati, makin besar kemungkinan pasien sembuh tanpa kerusakan serius yang menetap. Makin baik kesadaran pasien ketika pengobatan dimulai, makin baik prognosisnya. Bila pasien dalam keadaan koma, prognosis untuk sembuh sempurna sangat buruk. Usia penderita juga mempengaruhi prognosis, anak dibawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun mempunyai prognosis yang buruk. Sayangnya pada 10-30% pasien yang dapat bertahan hidup terdapat beberapa kerusakan menetap. Oleh karena akibat dari penyakit ini sangat fatal bila tidak terdiagnosis, obatilah bila diagnosis sudah sangat mungkin.7 Pencegahan 14

Pencegahan Primer Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis. Pencegahan Tertier Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.8 Kesimpulan Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.

15

Daftar Pustaka 1. Smeltzer, Suzanne C , Brenda G. Keperawatan Medikal Bedah 2, Edisi 8. Jakarta; EGC, 2001.h.60-3.

2. Rachmayati S, Parwati I, Rizal A, Oktavia D. Meningitis tuberculosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 17, No.3, Juli 2011: 159162. 3. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.h.161-3, 183-8. 4. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007.h.379. 5. Juwono T. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakata: EGC, 2000.h.1-9, 17-20 6. Dhamija RM, Bansal J. Bacterial meningitis (meningoencephalitis): a review. JIACM 2006; 7(3): 255-35. 7. Wilson, Martin, Fauci, etc. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.h.44-7. 8. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.76-8.

16

Related Documents


More Documents from "Fakhrurrozi Pratama"