Blok 18 Makalah.docx

  • Uploaded by: mutiara
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Blok 18 Makalah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,909
  • Pages: 23
Penderita Tuberkulosis Putus Obat pada Dewasa Muda Ikhwanul Muslimin Idris (102016007) Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510 Email: [email protected] Abstrak Penderita Tuberculosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah diberikan, penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan mengkonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan terhadap obat tersebut. Akibatnya, obat yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita. Sehingga akan menimbulkan resistensi terhadap obat anti tuberculosis. Seperti Multi drugs resistance ,Extensive drug resistance, dan total drug resistance. Kata kunci: Tuberculosis, Multi drugs resistance ,Extensive drug resistance, dan total drug resistance. Abstract Patients with Tuberculosis (TB) is often non-adherent to spend drug that has been granted, the cause most is because I was lazy or forgot. But the drugs can lead to poor adherence to the drug immunity. As a result, the previously effective drugs will be effective at all in the patient's body. That will cause resistance to anti-tuberculosis drugs. Multi drugs such as resistance, Extensive drug resistance, and total drug resistance. Keywords: Tuberculosis, multi drugs resistance, Extensive drug resistance, and total drug resistance.

Pendahuluan Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang leh Micobacterium tuberculosis dan ditandai olch pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan olch hipersensitivitas yang diperantarai-sel (cell mediated hypersensi yakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian.1 TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia produktif. Kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan rendah. TB paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk di dunia dewasa ini. Satu orang akan memiliki potensi menularkan 10 hingga 15 orang dalam waktu setahun. Saat ini, masih terdapat berbagai tantangan dalam penanggulangan TB di Indonesia. Minimnya kesadaran masyarakat, ketersediaan informasi tentang penyakit TB, pelayanan TB yang berkualitas dan mudah dijangkau masyarakat, dan masalah ekonomi menyebabkan masih terdapat pasien yang putus dari pengobatan OAT. Untuk itu, makalah ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai TB paru putus obat dan cara penyembuhan, serta pencegahannya Anamnesis Anamnesis terbagi menjadi 2, yaitu auto-anamnesis dan allo-anamnesis. Pada umumnya, anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan secara langsung terhadap pasiennya dan pasiennya sendirilah yang menjawab dan menceritakan keluhannya kepada dokter. Inilah cara yang terbaik untuk melakukan anamnesis karena pasien bisa secara langsung menjelaskan apa yang sesungguhnya ia rasakan. Tetapi ada kalanya dimana dilakukan allo-anamnesis, seperti pada pasien yang tidak sadar, lemah, atau sangat kesakitan, pasien anak-anak, dan manula, maka perlu orang lain untuk menceritakan keluhan atau permasalahan pasien kepada dokter. Tidak jarang juga dalam praktek, auto dan allo-anamnesis dilakukan secara bersama-sama. Tujuan utama anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya. Kemudian dapat dibuat penilaian keadaan pasien. Prioritasnya adalah memberitahukan nama, jenis kelamin, dan

usia pasien, menjelaskan secara rinci keluhan utama, menjelaskan riwayat penyakit dahulu yang signifikan, riwayat keluarga, pengobatan dan alergi, temuan positif yang relevan dengan penyelidikan fungsional, dan menempatkan keadaan sekarang dalam konteksi situasi sosial pasien. Presentasi anamnesis harus mengarah pada keluhan atau masalah. Saat melakukan anamnesis, hindari penggunaan kata-kata medis yang tidak dimengerti oleh pasien.2 Anamnesis yang dilakukan pada kasus ini, yaitu: o Identitas pasien: Laki-laki, 35 tahun o Pekerjaan juga perlu ditanyakan. Apa pekerjaannya? Apakah gejala bertambah buruk saat bekerja dan membaik saat pulang? o Keluhan utama: Batuk sejak 3 bulan yang lalu o Riwayat penyakit sekarang ? o Obat-obatan: obat-obatan apa yang sedang dikonsumsi pasien? adakah baru-baru ini terdapat perubahan pemakaian obat? Bagaimana kepatuhannya mengikuti terapi dan apakah dilakukan pengawasan terapi? o Riwayat penyakit dahulu: apakah pasien pernah berkontak dengan pasien TB? Apakah mengalami immunosupresi (penggunaan kortikosteroid/HIV)? Adakah riwayat TB? o Riwayat keluarga: adakah riwayat TB di keluarga? o Riwayat personal dan sosial terkait: gaya hidup, pola makan, keadaan lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Apakah pasien mengkonsumsi alkohol? Pemeriksaan Fisik Setelah melakukan anamnesis harus dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV), inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada skenario/kasus hasilnya Pemeriksaan fisis penderita sering tidak menunjukkan suatu kelainan. Tempat kelainan yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas. Didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas yang bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. Pada tuberculosis yang lanjut dengan fibrosis yang luas

sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang menjadi lebih hiperinflasi bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru sehingga meningkatnya tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) lalu akan terjadi “corpulmonal” dan akan mengakibatkan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti : Tachipnoe, tachikardia, sianosis, tekanan vena jugularis meningkat, hepatomegali, asites dan edema. Bila tuberculosis mengenai pleura sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Hasil dari pemeriksaan pada kasus ini : o Tanda-tanda vital : NORMAL o Kelenjar getah bening (KGB) yang tidak membesar. o Jantung dalam batas normal. o Suara nafas Bronkovesikuler o Pada auskultasi, paru-parunya terdengar ronki basah halus apex paru kanan.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan sputum,tes tuberkulin, dan uji kepekaan obat. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan ini kurang mendapatkan perhatian, karena hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.

Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga, Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer, Gamma globulin meningkat,

Kadar natrium darah menurun.

Pemerisaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.3 Hasil pemeriksaan darah pasien 1 tahun yang lalu adalah hemoglobin 12 g/dl, hematokrit 36%, leukosit 9.900 l, trombosit 160.000 l, dan LED 70 mm/jam Pemeriksaan Radiologis Pada tuberkulosis primer, hal-hal berikut dapat terlihat pada sinar-X dada o Daerah konsolidasi pneumonik perifer (fokus Gohn) dengan pembesaran kelenjar hilus mediastinum. Keadaan ini biasanya dapat sembuh dengan gambaran kalsifikasi. o Daerah konsolidasi yang dapat berukuran kecil, lobaris, atau lebih luas hingga seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/pleura (pneumotoraks).4 Pemeriksaan Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukan kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing dan bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurangkurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.3 Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5TU (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5TU dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU (first strength). Kadangkadang bila dengan 5TU masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250TU (second strength). Bila dengan 250TU masih memberikan hasil negatif, berarti tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantoux dengan 5TU saja sudah cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculose atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi seluler pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibodi seluler. Bila pembentukan antibodi seluler cukup misalnya pada penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana pembentukan antibodi humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dengan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antobodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam: o Indurasi 0-5 mm (diameternya), hasil tes mantoux negative (golongan no sensitivity) o Indurasi 6-9 mm (diameternya), hasil tes mantoux meragukan (golongan low grade sensitivity) o Indurasi 10-15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif (golongan normal sensitivity) o Indurasi >15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif kuat (golongan hypersensitivity) Biasanya hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi Mantoux yang positif (99.8%). Kelemahan tes ini juga dapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu. Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni: o Pasien baru 2-10 minggu terpajan TB o Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE) o Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis o Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin) o Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosurpresi lainnya o Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux +5mm, dinilai positif.3 Uji Kepekaan Obat M. tuberculosis yang telah diasingkan harus diuji untuk kepekaan terhadap isoniazid dan rifampin untuk mendeteksi MDR-TB, terlebih jika satu atau lebih faktor resik teridentifikasi atau pasien pernah gagal dalam terapi atau terjadi kekambuhan setelah pengobatan selesai. Dan lagi, uji kepekaan lebih luas untuk obat anti-TB lini kedua wajib dilakukan ketika MDR-TB ditemukan. Uji kepekaan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung pada media padat maupun cair. Hasil didapatkan dengan cepat pada uji kepekaan secara langsung pada media cair, dengan rata-rata waktu laporan sekitar 3 minggu. Dengan cara tidak langsung pada media padat, hasil dapat tidak ada untuk lebih dari 8 minggu. Metode molekuler untuk identifikasi cepat pada

mutasi genetik diketahui terkait dengan resistensi terhadap rifampin dan isoniazid telah berkembang dan secara luas dijalankan untuk screening pasien dengan resiko TB resisten obat yang meningkat. 5 Diagnosis Pada kasus ini, sudah jelas sekali diagnosis kerja yang diambil adalah tuberculosis dalam pengobatan, hal ini didukung dengan datangnya pasien yang bertujuan untuk mengetahui kondisi penyakit TB parunya, dan sudah memilki riwayat pengobatan dua kali, yang pertama pasien hanya minum obat sekitar 1 bulan. Saat ini pasien menjalani pengobatan TB yang kedua kalinya, dan mendapat obat suntik yang sudah berjalan selama 6 bulan. MDR-TB (Multi Drug Resistant Tuberculosis) Multi drug resistance TB (MDR TB) disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB merupakan hasil dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul saat pasien sedang terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di antara obat-obat lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi terhadap golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius dibandingkan dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk menjadi XDR-TB, dan memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain. XDR-TB (Extensive Drug Resistant Tuberculosis) XDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti TBC. XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif, isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR-TB dan XDR-TB membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan membutuhkan kegunaan obat dari secon-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek samping yang lebih banyak dari firstline therapy.

TDR-TB (Total Drug Resistant Tuberculosis) Istilah 'tahan’ benar-benar obat belum jelas untuk TB. Sementara konsep 'resistensi obat total' mudah dimengerti secara umum, dalam prakteknya, in vitro tes kerentanan terhadap obat secara teknis menantang. XDR-TB sangat mengurangi pilihan untuk pengobatan meskipun mereka belum dipelajari dalam kohort besar. Pilihan pengobatan untuk pasien TB-XDR yang memiliki ketahanan terhadap lini kedua obat anti-TB tambahan bahkan lebih terbatas.5 Etiologi Penyebab tuberkulosis adalah mycobacterium tuberculosis merupakan anggota ordo Actinomisetales dan family Mycobacteriaseae. Basil tuberkel adalah batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak berspora, panjang sekitar 2-4um. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob, yang tumbuh pada media sintesis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-410C, menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibody dan komplemen. Tanda semua mikobakteria adalah ketahan asamnya—kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan seperti kristal violet, karbolfukhsin, auramin, dan rodamin. Mikobakterium tumbuh lambat, waktu pembentukannya adalah 12-24 jam. Isolasi dari specimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3-6 minggu, dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan. Namun pertumbuhan dapat dideteksi dalam 13 minggu pada medium cairan selektif dengan menggunakan nutrient radiolabel, dan kerentanan obat dapat ditentukan dalam 3-5 hari tambahan. Adanya M. tuberculosis dalam specimen klinik dapat dideteksi dalam beberapa jam dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (RRP) yang menggunakan probe DNA yang merupakan pelengkap terhadap DNA atau RNA mikobakteria.6 Epidemiologi Tuberculosis Paru masih merupakan problem kesehatan masyarakat terutama di negaranegara yang sedang berkembang. Angka kematian sejak awal abad ke 20 mulai berkurang. Sejak ditetapkannya prinsip pengobatan dengan perbaikan gizi dan tata cara kehidupan penderita. Keadaan

penderita

lebih

baik

sejak

ditemukannya

obat

streptomycin.

Penyakit Tuberculosis Paru sebagian besar menyerang usia produktif kerja yang di atas 25 tahun dengan ekonomi lemah dan sebagian besar orang yang telah terinfeksi (80 – 90). Pada umumnnya 2 atau 3 % dari mereka yang baru terkena infeksi akan timbul tuberkulosis paru-paru.7 Patofisiologi Daya penularan dari seorang penderita tuberkulosis ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam penderita, persebaran dari kuman-kuman tersebut dalam udara serta dikeluarkan bersama dahak berupa droplet dan berada di udara di sekitar penderita tuberculosis. Dan kuman dapat terlihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya penderita BTA positif adalah sangat menular. Penderita tuberkulosis eksterna paru tidak menular, kecuali penderita itu menderita tuberkulosis paru. Penderita tuberkulosis BTA positif mengeluarkan kuman-kuman ke udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis dan dapat tetap bertahan di udara selama beberapa jam. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, mereka mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadi infeksi, ini adalah cara bagaimana infeksi tersebut menyebar dari satu orang ke orang lain. Orang yang serumah dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif adalah orang yang besar kemungkinan terpapar dengan kuman tuberkulosis.8 Tuberkulosis Primer Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran

ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di

sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Respons lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial lalu dapat dibatukkan. Proses ini dapat berulang kembali di bagian lain paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring telinga tengah, atau usus. Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan perkijuan dapat mengental dan tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan TB milier; ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh. Berbeda dengan penyakit infeksi lain, pasien yang pernah terinfeksi tuberkulosis akan memilikinya seumur hidup, kecuali pernah mendapat pengobatan profilaksis dengan INH. Basil tuberkel ini menetap dalam paru dalam keadaan terbungkus; di katakan dalam keadaan tenang (dormant). Bila seseorang menghadapi stres fisik atau daya tahannya menurun, basil ini dapat menjadi aktif kembali dan berkembang biak. Bila tuberkulosis timbul beberapa tahun setelah infeksi primer, dikenal sebagai reaktivasi atau disebut juga infeksi sekunder.7,9

Manifestasi Klinis Keluhan yang di rasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatannya. Keluhan secara umum Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembut sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam hari, dan lain sebagainya. Gejala ini makin lama akan makin berat dan dapat hilang timbul secara tidak teratur. Berat badan turun. Biasanya pasien tidak merasakan berat badannya turun. Sebaiknya kita tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum pasien sakit. Pada pasien anak-anak biasa berat badannya sulit naik terutama dalam 2-3 bulan terakhir atau status gizinya kurang. Rasa lelah. Keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hampir tidak dirasakannya. Keluhan pada pernapasan Batuk/batuk darah. Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar dari saluran nafas bawah. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit TB berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan baru menjadi produktif (menghasilkan dahak). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah kecil yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. Batuk ini sering sulit

dibedakan dengan batuk karena sakit: pneumonia, asma, bronkitis, alergi, PPOK (penyakit paru obstruksi kronik) dll. Sesak nafas. Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tunbuh) belum dirasakan adanya sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB paru yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya. Sering terserang flu. Gejala batuk-batuk lama kadang disertai pilek sering terjadi karena daya tahan tubuh pasien yang rendah sehinga mudah terserang infeksi virus seperti influenza.10 Tata Laksana Medikamentosa Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan. Obat anti tuberculosis yang dipakai, yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol, yang merupakan lini pertama/obat utama. Sedangkan untuk obat tambahannya, yaitu Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, dan lain sebagainya.6 Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis yakni: -

Aktivitas bakterisid Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya

masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil negative (2 bulan dari permulaan pengobatan).

-

Aktivitas sterilisasi Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat

(metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Paduan Obat Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberculosis dahulu dipakai satu macam obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagia besar kuman tuberculosis memang dapat dimatikan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang dan menimbulkan efek resisten. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid. Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena: -

Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih

-

Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH

Tetapi belakangan ini di beberapa Negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin. Obat Primer Isoniazid Isoniazid merupakan obat utama untuk tuberculosis. Seluruh pasien dengan penyakit yang disebabkan oleh galur yang sensitive sebaiknya menerima obat ini jika mereka dapat mentoleransinya. Isoniazid bekerja dengan cara menghambat biosintesis asam mikolat Rifampisin Rifampisin (rifampisin, rifabutin, rifapentin) merupakan antibiotic makrosiklik. Rifampisin bersifat bakterisid untuk mikroorganisme intraseluler maupun ekstraseluler.

Pirazinamid Pirazinamid menunjukan aktivitas antibiotic secara in vitro hanya pada pH yang sedikit asam. Ini tidak menimbulkan masalah karena pirazinamida membunuh basilus tuberkulum yang terletak pada fagosom asam di dalam makrofag Streptomisin Streptomisin bersifat bakterisid untuk basilus tuberkulum secara in vitro. Mayoritas galur M. tuberculosis sensitif terhadap streptomisin. Streptomisin secara in vivo tidak mengeradikasi basilus tuberkulum, kemungkinan karena obat ini tidak mudah memasuki sel hidup sehingga tidak dapat membunuh mikroba intraseluler. Etambutol Etionamida menghambat pertumbuhan mikrobakteri dengan cara menghambat biosintesis asam mikolat dan mengakibatkan gangguan pada sintesis dinding sel. Obat Sekunder 1. Kanamisin

8. Kapreomisin

2. PAS (Para Amino Salicylic acid)

9. Amikasin

3. Tiasetazon

10. Ofloksasin

4. Etionamid

11. Siprofloksasin

5. Protionamid

12. Norfloksasin

6. Sikloserin

13. Klofazimin

7. Viomisin Dengan dikenalkannya asam para-aminosalicylic (PAS) pada praktek klinis dan isoniazid, ini menjadi jelas pada 1950 awal bahwa untuk menyembuhkan TB membutuhkan administrasi kontaminan dari paling tidak dua agen yang mana organisme tersebut rentan. Terlebih lagi, uji klinis awal mendemonstrasikan bahwa pengobatan jangka panjang, contohnya 12-24 bulan, dibutuhkan untuk mencegah kekambuhan. Pengenalan rifampin (rifampicin) di awal 1970 menjanjikan era dari kemoterapi jangka pendek yang efektif, dengan durasi pengobatan kurang dari 12 bulan. Penemuan dari pyrazinamide, yang mana digunakan

pertama kali pada 1950, menambah potensi regimen dari isoniazid/rifampin mengarah pada penggunaan 6 bulan dari regimen obat sebagai terapi standar. Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberculosis paru adalah dengan system jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan. Setelah rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH + Rifampisin + streptomisin atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau etambutol (fase lanjut). Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebaga fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan. Paduan obat yang di pakai di Indonesia dan di anjurkan juga oleh WHO adalah : 2RHZ/4RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/4R2H2, dll. Untuk tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll. Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan menjadi lebih hemat/efisien. Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat HRE/5 H2R2 (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang HSZ/11 H2Z2.(INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan). Terapi jangka pendek yang semula dianjurkan oleh WHO belakangan ini mendapat hambatan-hambatan antara lain karena obat rifampisin dan pirazinamid tidak dapat diterima pasien

karena harganya relatif mahal. Di negara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan ber-obat pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin banyak. Dosis Obat Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien. Dosis harian

Dosis berkala

Nama obat

BB < 50 kg

BB > 50 kg

3 x seminggu

Isoniazid

300 mg

400 mg

600 mg

Rifampisin

450 mg

600 mg

600 mg

Pirazinamid

1.500 mg

2.000 mg

2-3 g

Streptomisin

750 mg

1.000 mg

1.000 mg

Etambutol

750 mg

1.000 mg

1-1.5 g

Etionamid

500 mg

750 mg

-

PAS

99mg

10 g

-

Tabel1. Dosis obat

Efek Samping Obat Dalam pemakaian obat-obat antituberkulosis tidak jarang ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat antituberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat antituberkulosis yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang kadarnya berbeda-beda pada tiap-tiap individu. Adapun efek samping tiap-tiap obat tersebut ialah : o INH

: neuropati perifer (hal ini dapat dicegah dengan pemberian

vitamin B6) o hepatotoksik Rifampisin

: sindrom.flu,hepatotoksik

o Streptomisin

: nefrotoksik,gangguan nervus VIII kranial.

o Etambutol

: neuritis optika,nefrotoksik, skin rash/dermatitis.

o Etionamid

: hepatotoksik,gangguan pencernaan.

o PAS

: hepatotoksik, gangguan pencernaan

Kegagalan Pengobatan Sebab-sebab kegagalan pengobatan: Obat: - Paduan obat tidak adekuat. - Dosis obat tidak cukup. - Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan. - Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya. - Terjadi resistensi obat. - Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap OAT saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP {Polymerase Chain Reaction-Single Stranded Confinnation Polymorphism) dalam waktu 1 hari. Drop out: -

Kekurangan biaya pengobatan.

-

Merasa sudah sembuh.

-

Malas berobat / kurang motivasi.

Penyakit -

Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat.

-

Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme, dll.

-

Adanya gangguan imunologis. Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya

pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50% pada terapi

jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkulosis adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama dan biaya banyak.5,11 Non-Medikamentosa Plombage (operasi untuk menangani kavitasi yang terjadi pada tuberkulosis sekunder). Komplikasi Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini yaitu pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, Poncet’s arthropathy. Komplikasi lanjutnya seperti obstruksi jalan napas  SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkum berat  fibrosis paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB. Prognosis Tanpa pengobatan yang adekuat, tuberkulosis bisa menjadi fatal. Penyakit aktif yang tidak diobati ini biasanya menyerang paru-paru, namun dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui aliran darah, seperti tulang, otak, hati atau ginjal, jantung, dan rongga abdomen, sehingga prognosisnya bisa lebih buruk, apalagi pada pasien dengan resistensi obat.3

Promotif dan Preventif Program-program kesehatan masyarakat sengaja dirancang untuk deteksi dini dan pengobatan kasus dan sumber infeksi secara dini. Menurut hukum, semua orang dengan TB tingkat 3 atau tingkat 5 harus dilaporkan ke departemen kesehatan. Penapisan kelompok berisiko tinggi adalah tugas penting departemen kesehatan lokal. Tujuan deteksi dini seseorang dengan infeksi TB adalah untuk mengidentifikasikan siapa saja yang memperoleh keuntungan dari terapi pencegahan untuk menghentikan perkembangan TB yang aktif secara klinis. Program pencegahan ini memberikan keuntungan tidak saja untuk seseorang yang telah terinfeksi namun juga untuk masyarakat pada umumnya. Karena itu, penduduk yang sangat berisiko terkena TB harus dapat diidentifikasi dan prioritas untuk menentukan program terapi obat harus menjelaskan risiko versus manfaat terapi.

Vaksinasi BCG Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberculosis yang virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. Kemoprofilaksis Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgBB/- hari selama 1 tahun. Kemoprofilaksis primer diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan kontak tuberculosis dan uji tuberculin masih negative yang berarti masih belum terkena infeksi atau masih dalam masa inkubasi. Kemoprofilaksis sekunder diberikan untuk mencegah berkembangnya infeksi menjadi penyakit, misalnya pada anak berumur kurang dari 5 tahun dengan uji tuberculin positif tanpa kelainan radiologis paru dan pada anak dengan konversi uji tuberculin tanpa kelainan radiologis paru. Selain itu juga diberikan pada anak dengan uji tuberculin positif tanpa kelainan radiologis paru atau yang telah sembuh dari tuberculosis tetapi mendapat pengobatan dengan kortikisteroid yang lama, menderita penyakit morbili dan pertusis, mendapat vaksin virus misalnya vaksin morbili atau pada masa akhir balik (adolesen). Selanjutnya juga diberikan pada konversi uji tuberculin dari negative menjadi positif dalam 12 bulan terakhir tanpa kelainan klinis dan radiologis. Pada dewasa, beberapa peneliti pada IUAT (International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan 90%. Pada pasien yang tidak teratur minum obat (intermittent), efekvitasnya masih cukup baik. Lama profilaksis yang optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 bulan terhadap tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10 mm. Sedangkan yang mendapat profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada. Kontak tuberkulosis dan lain sebagainya cukup melakukan kemoprofilaksis selama 6 bulan saja. Pada negara-negara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua pasien HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi.12,13

Kesimpulan Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium tuberculosis. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi, sehingga sebagian besar manifestasinya adalah di paru. Diagnosis TB paru meliputi pemeriksaan mikroskopik sputum, pemeriksaan radiologis, dan uji tuberkulin. Penatalaksanaan farmakologis TB sangat bergantung pada status pasien, apakah pasien merupakan kasus TB baru, pernah memiliki riwayat pengobatan, dan sebagainya. Bakteri patogen penyebab TB paru ada yang bermutasi sehingga melahirkan strain-strain yang resisten terhadap pengobatan, yaitu MDR, XDR, dan TDR. Penatalaksanaan TBC yang seksama dan tepat dapat meminimalkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap obat. Jadi, berdasarkan kasus di atas, kita bisa simpulkan bahwa pria tersebut mengalami TB paru putus obat. Daftar Pustaka 1. Isselbacher.KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci SA, Kasper DL, Editor Asdie AH. Horrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi-13.Vol 2. Jakarta: Penerbit EGC Jakarta; 2017.Hal. 799 2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005,h.155,191 3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 2196-9, 2230-47, 2256-7. 4. Patel PR. Lecture notes: radiologi. Jakarta: Erlangga; 2006. h.32-9. 5. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine ed.18. USA: McGraw Hill Professional; 2011.h.1340-53. 6. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, etall. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2008.h.473-6. 7. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine).Edisi-2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran (EGC) ; 2012. Hal. 145-62 8. Tambayong J. Patofisiologi. Jakarta : Penerbit buku kedokteran (EGC) ; 2000.h.127. 9. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6 Jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2014. hlm.867-72 10. Tanto Chris, Liwang Frans, Hanifati Sonia, Pradipta Eka Adip. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius; 2014.h.830.

11. Soematri ES, Uyainah A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 3. Jakarta: FK UI. 2003.h.33-881 12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed6. Jakarta: EGC; 2006. h.852-61. 13. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta: Percetakan Infomedika Jakarta; 2007.h. 573-83.

Related Documents


More Documents from "Gian Kalalembang"