PROPOSAL PENELITIAN PROGRAM SARJANA (S1)
I.
JUDUL PENULISAN HUKUM TINJAUAN
KRIMINOLOGIS
PENGEROYOKAN
OLEH
TINDAK
ANAK
YANG
PIDANA
MENYEBABKAN
KEMATIAN DI KABUPATEN WONOSOBO
II.
III.
IV.
PELAKSANAAN PENELITIAN Nama Mahasiswa
: Brigita Feby Florentina
NIM
: 11010115130544
Jumlah SKS
: 140
IP Kumulatif
: 3.46
Nilai Mata Kuliah MPPH
:A
DOSEN PEMBIMBING PENULISAN HUKUM Pembimbing I
: Dr. Umi Rozah, S.H., M.Hum.
Pembimbing II
: A.M. Endah Sri Astuti, S.H., M.Hum.
RUANG LINGKUP/BIDANG MINAT HukumPidana
1
V.
LATAR BELAKANG Negara Indonesia sekarang ini berada dalam masa tinggal landas pada
dunia globalisasi. Banyak perubahan-perubahan terjadi yang menyangkut berbagai bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dan lain-lain. Dalam pembangunan tersebut Indonesia banyak mengalami perubahan sosio-kultur yang pada hakikatnya tidak semata-mata perubahan fisik, akan tetapi sikap manusia dalam masyarakat. Perubahan sosio ada yang berasal dari luar dan ada yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Perkembangan teknologi yang sangat pesat membawa dampak dan pengaruh yang besar dalam masyarakat, tanpa terkecuali pada anak-anak. Berbagai dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Dalam penulisan hukum ini penulis akan membahas tentang kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh sekumpulan anak SMP yang berusia 16 tahun. Mereka menghabisi teman mereka sendiri dengan tangan kosong hingga menyebabkan kematian pada korban pengeroyokan. Negara Indonesia sekarang ini berada dalam masa tinggal landas pada dunia globalisasi. Banyak perubahan-perubahan terjadi yang menyangkut berbagai bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dan lain-lain. Dalam pembangunan tersebut Indonesia banyak mengalami perubahan sosio-kultur yang pada hakikatnya tidak semata-mata perubahan fisik, akan tetapi sikap manusia
2
dalam masyarakat. Perubahan sosio ada yang berasal dari luar dan ada yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Pada negara yang mengalami banyak perkembangan, tidak saja menimbulkan hal yang positif tetapi juga dapat menimbulkan hal yang negatif sehingga tidak menutup kemungkinan secara langsung maupun tiddak langsung akan banyak mempengaruhi gaya hidup di masyarakat. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Perbedaan hanya terdapat pada sifat atau tingkat perubahan itu. Perubahan dapat kentara dan menonjol atau tidak; dapat cepat atau lambat; dapat menyangkut soal-soal yang fundamental bagi masyarakat bersangkutan atau hanya perubahan yang kecil saja. Namun bagaimanapun sifat dan tingkat perubahan itu, masyarakat senantiasa mengalaminya. Masyarakat tidak hanya merupakan kumpulan sejumlah manusia, melainkan
ia
tersusun
pula
dalam
pengelompokan-pengelompokan
dan
pelembagaan-pelembagaan. Kepentingan para anggota masyarakat tidaklah senantiasa sama. Namun, kepentingan yang sama mendorong timbulnya pengelompokan diantara mereka itu. Di samping pengelompokan-pengelompokan itu timbul pula pelembagaan-pelembagaan yang menunjukan adanya suatu usaha bersama untuk menangani suatu bidang persoalan di masyarakat, seperti : ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Kita melihat, bahwa semakin berkembangnya
masyarakat
itu
semakin
banyak
pengelompokan
dan
pelembagaan yang terbentuk. Dengan demikian, maka susunan masyarakat itu
3
tidak hanya didukung oleh perorangan sebagai anggota msyarakat, tetapi juga oleh pengelompokan tersebut. Kenyataan tersebut menunjukkan, bahwa unsurunsur yang menentukan susunan maupun pola kehidupan masyarakat bukan hanya perorangan, melainkan juga kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga itu pula. Terbentuknya suatu kelompok baru atau bubarnya pengelompokan yang lama akan mempengaruhi susunan msyarakat yang bersangkutan.1 Masalah kenakalan remaja bukan masalah baru untuk diperbincangkan, masalah ini sudah ada sejak lama. Perbedaaan kenalakan remaja pada setiap masa berbeda dalam versinya karena pengaruh lingkungan kebudayaan dan sikap mental masyarakat pada masa itu. Tingkah laku yang baik pada masa sekarang mungkin dianggap nakal pada masyarakat terdahulu. Pada masyarakat yang nakal, mungkin suatu kenakalan dianggap tidak nakal. Problema remaja merupakan topik pembicaraan di negara mana pun di seluruh dunia, negara-negara super modern pun masih saja mempunyai persoalan dengan perkembangan remajanya. Pada kenyataannya negara-negara berkembang termasuk indonesia, problema yang dialami remaja cukup ruwet. Hal ini disebabkan banyak faktor, terutama para remaja di negara berkembang belum siap menerima perubahan yang begitu cepatnya. Sementara itu lingkungan budaya yang begitu kukuh berakar dalam pribadi telah menentukan sujao tertentu bagi perubahan tersebut. Akan tetapi keadaan jiwa remaja yang masih dalam keadaan transisi menunjukan sikap labil dan gampang sekali terpengaruh terhadap perubahan sesuatu yang datang pada dirinya, sehingga kadang-kadang timbullah 1
Satjipto , Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa 1980), halaman 95.
4
konflik pada dirinya dengan lingkungannya. Hal ini memancar kepada tingkah laku yang mengandung problema terhadap lingkungan dan terhadap dirinya sendiri.2 Perkembangan teknologi yang cepat dalam memberikan informasi dalam bentuk media massa elektronik, cetak, dan akses pada internet. Pengaruh tontonan yang kurang baik bagi perkembangan intelegensi anak, dimana sebuah tontonan tersebut menampilkan sebuah kekerasan yang dapat menimbulkan dampak tersendiri pada anak. Serta kurangnya contoh perilaku yang baik disekitar lingkungannya, sehingga anak tidak bisa menyerap hal-hal positif untuk diterapkan. Kebudayaan asing yang buruk membawa dampak buruk bagi masyarakat Indonesia, yaitu dapat menimbulkan tindak pidana dan lebih cepat berpengaruh terhadap anak-anak, sehingga tidak dapat dipungkiri telah banyak anak-anak yang belum memiliki pemahaman hukum yang cukup, tetapi telah melakukan tindak pidana. Selama 7 tahun terakhir, berdasarkan laporan pengaduan KPAI jumlah korban dan pelaku kekerasan usia anak mencapai 28.284 orang dengan jumlah korban dan pelaku berjenis kelamin laki-laki. Menurut Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, hal itu mengkonfirmasi berbagai temuan kementerian dan lembaga bahwa anak laki-laki memiliki kerentanan yang tinggi, baik sebagai pelaku
2
Yesmi Anwar Adang, Kriminologi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), halaman 374.
5
maupun korban. Pada tahun 2017, anak laki-laki sebanyak 1.234 atau 54 persen dan anak perempuan sebanyak 1064 (46 persen) sebagai korban dan pelaku.3 Pada sistem peradilan pidana umum, proses peradilan ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, sedangkan proses peradilan anak ditentukan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ( UU SPPA) Hak-hak anak dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Peubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diantaranya diatur pada Pasal 6 yang menyatakan : “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bmbingan Orang Tua atau Wali.” Tindak pidana yang dilakukan oleh anak selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas, karena di wilayah Kabupaten Wonosobo sendiri hal tersebut merupakan hal yang baru yakni tindak pidana pengeroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian. Biasanya tindak pidana yang dilakukan oleh anak hanya seputar pencurian dan pencabulan. Mengingat anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, merekalah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin hidup
3
Dedi Hedrian, Catatan Akhir Tahun-KPAI Meneropong Persoalan Anak, available from URL : http://www.kpai.go.id/berita/catatan-akhir-tahun-kpai-meneropong-persoalan-anak. Diakses Tangal 22 Oktober 2018.
6
bangsa pada masa mendatang. Sehingga problematika tentang anak penting untuk dibahas dan mencari solusi untuk mengatasinya. Masa pubertas pada remaja biasanya menimbulkan banyak perubahanperubahan besar. Perubahan yang dialami tersebut membawa pengaruh terhadap anak pada sikap dan tindakan ke arah yang lebih agresif sehingga pada periode ini banyak anak-anak dalam bertindak dapat digolongkan ke dalam tindakan yang menunjukan ke arah gejala kenalakan anak. Menurut Romli Atmasasmita (1983:46) menjelaskan tentang motifasi sering diartikan usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatan. Bentuk motivasi tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu motifasi instrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motifasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.4 Suatu kenyataan bahwa di dalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpanganpenyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidupnya, terutama terhadap norma yang dikenal sebagai norma hukum. Dalam pergaulan hidup manusia, penyimpangan terhadap norma hukum ini disebut sebagai kejahatan.
4
Wagiati Sutedjo, HUKUM PIDANA ANAK, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), halaman 17.
7
Sebagai salah satu perbuatan manusia yang menyimpang dari norma pergaulan hidup manusia, kejahatan adalah merupakan masalah sosial, yaitu masalah-masalah di tengah masyarakat, sebab pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga. Kejahatan akan terus bertambah dengan cara yang berbeda-beda bahkan dengan peralatan yang semakin canggih dan moderen sehingga kejahatan akan semakin meresahkan masyarakat saat ini. Masalah kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan umat manusia, karena ia berkembang sejalan dengan berkembangnya tingkat peradaban umat manusia yang semakin kompleks. Sejarah perkembangan manusia sampai saat ini telah ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya, dimana kekerasan sebagai salah satu fenomena dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perorangan untuk mempertahankan hidup tersebut. Berkaitan dengan kejahatan, maka kekerasan merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk menyajikan
penulisan
hukum/skripsi
dengan
judul
“TINJAUAN
KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN OLEH ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN DI KABUPATEN WONOSOBO”
8
VI.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan
uraian
latar
belakang
tersebut,
maka
dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penanganan atau penyelesaian hukum terhadap pengroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian di Kabupaten Wonosobo? 2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pengeroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian di Kabupaten Wonosobo? 3. Bagaimana upaya-upaya dalam menanggulangi tindak pidana pengeroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian di Kabupaten Wonosobo?
VII.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penulis mengadakan penelitian ini memiliki beberapa tujuan,
yaitu : 1. Untuk
mengetahui
bagaimanakah
penanganan
atau
penyelesaian hukum terhadap pengroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian di Kabupaten Wonosobo. 2. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pengeroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian di Kabupaten Wonosobo.
9
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak keluarga,
sekolah,
dan
lingkungan
sekitar
dalam
menanggulangi tindak pidana pengeroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian di Kabupaten Wonosobo.
VIII. MANFAAT PENELITIAN Perumusan dari manfaat penelitian mempunyai tujuan untuk menilai bagaimana manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini. Beberapa manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Pada penelitian ini penulis berharap nantinya penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan dan kemajuan ilmu hukum, khusunya dalam hukum pidana. Serta dapat dijadikan sebagai pedoman penelitian yang lain yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti. 2. Manfaat Praktis a. Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat atau praktisi hukum dan instansi yang terkait tentang tindak pidana penyalahgunaan naarkotika oleh anak. b. Dengan
dibuatnya
penulisan
ini
diharapkan
dapat
memberikan masukan kepada seluruh pihak yang terkait 10
dalam menanggulangi tindak pidana pengeroyokan oleh anak
yang
menyebabkan
kematian
di
Kabupaten
Wonosobo.
IX.
TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM ANAK DAN PERILAKU ANAK
1. Pengertian Anak Secara umum yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercross) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan. Anak juga diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjaring),
atau
orang
yang
keadaan
dibawah
umur
(minderjaringheid), atau orang yang dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij).5 Kemudian didalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero yang dikutip Tholib Setiadi, dinyatakan bahwa : “kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu dipandang pula sebagai wadah dimana semua harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang
5
Lilik Mulyadi, dalam Mukhlis R, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Kejahatan Pelecehan Seksual Di Pekanbaru Tahun 2014, Masalah – Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016, hlm. 276. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/13736/10450, diakses pada Tanggal 25 Oktober 2018 Pukul 10.18 WIB.
11
tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah”.6 Menurut Novie Amalia Nugraheni, anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut suami istri. Anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkwinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah. Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak haram jaddah.7 Berkaitan dengan anak dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tidak memberikan rumusan tentang pengertian anak (sebagai subyek) secara tegar, namun pembatasan usia naka sebagai subyek dapat dijumpai pada Pasal 45, Pasal 72 ayat (1), dan Pasal 283 ayat (1). Pasal 45 : Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (midejaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun ...atau menjatuhkan pidana. Pasal 72 :
6
Tholib Setiadi, Pokok-Pokok Hukum Penintensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010), halaman 173. 7 Novie Amalia Nugraheni, Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2009), halaman 16-17.
12
(1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau orang di bawah pengampuan... perkara perdata. Pasal 283 : (1) Diancam dengan pidana penjara ..., kepada seorang yang belum cukup umur... atau alat itu telah diketahuinya. Dari ketiga pengertian tersebut KUHP menggunakan istilah belum cukup umur untuk membedakan orang muda dengan orang dewasa.8 Pengertian anak dalam Konvensi Hak Anak diartikan sebagai : “For purpose of present Convention, a child means every human being below the age eighteen years, under the law applicable to the child; majority is attained earlier”. ( yang dimaksud dalam Konvensi ini, adalaha setiap orang yang berusia di bawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak, ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal). Dengan demikian batasan usia dewasa menurut Konvensi Hak-Hak Anak adalah 18 tahun dengan pengecualian bahwa kedewasaan tersebut dicapai lebih cepat.9 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan definisi tentang anak sebagai berikut : setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum pernah menikah termasuk anak yang masih dalam 8
AM. Endah Sri Astuti, PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP GEJALA KENAKALAN ANAK / REMAJA DAN PENANGGULANGANNYA (Studi Kasus Kenakalan Anak/Remaja di Kabupaten Semarang), (Tesis Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2004), halaman 37. 9 Loc. Cit
13
kandungan apabila hal tersebut adalah kepentingannya. Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khusunya Pasal 1 ayat 1 memberikan batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan demikian pengertian menurut kedua peraturan ini luas sekali, karena anak dalam kandunganpun diakui sebagai seorang anak dan tentunya jika kepentingan hukum itu menghendaki. Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring / person underage), orang yang dibawah umur / keadaan dibawah umur (minderjaring heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian anak jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbedda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua 14
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diatur mengenai batas usia minimum anak yaitu 12 tahun, terdapat perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang mengatur batas usia minimum anak adalah 8 tahun. Dengan demikian terdapat peningkatan usia anak nakal yang dapat diproses di pengadilan (anak yang berkonflik dengan hukum). Hal ini dilakukan mengingat usia anak yang terlalu kecil dianggap belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. 2. Perilaku Anak Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu : a. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah. b. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.10 Namun terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anakanak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi 10
Purnianti, Mamik Sri Supadmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen And Clifford E. Simmosen, dalam Correction in Amerika : An Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (UNICEF: Indonesia, 2003), halaman 2.
15
kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan. Berdasarkan prespektif sosiologis, menurut Bynum dan Thomson kenakalan anak sebenarnya dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu : 1. Definisi Hukum yang menekankan pada tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan norma yang diklasifikasi secara hukum sebagai kenakalan anak; 2. Definisi Peranan, dalam hal ini penekanannya adalah pada si pelaku, anak peranannya diidentifikasikan sebagai kenakalan; 3. Definisi Masyarakat, bahwa perilaku kenakalan anak adalah ditentukan oleh para anggota kelompok atau masyarakat.11 Ketiga kategori definisi di atas adalah mencerminkan perbedaan pendekatan terhadap kenakalan anak. Namun demikian ketiganya tidaklah disusun secara lengkap dan tuntas (mutualy exiusive). Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Perbedaannya, terutama terletak pada penekanan; dan mengingat masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan, maka ketiga definisi tersebut harus diperlakukan sebagai tiga dimensi pengertian yang terdapat dalam konsep pengertian anak. Hal ini penting jika ingin dicapai suatu definisi yang lengkap
11
Bynum Jack E. Dan Willian E. Thompson, dikutip dari Purnianti. Op. Cit.
16
mengenai gejala sosial yang komplek ini. Dengan demikian, konsep kenakalan anak adalah merujuk kepada sejumlah tindakan anak yang tidak sah secara hukum, yang menempatkan anak dalam peranan nakal, serta yang dipandang masyarakat sebagai penyimpangan.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.13 Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatanperbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.14 Dalam kamus hukum Black’s Law Dictionary yang disusun oleh Bryan A. Garner, adalah sebagai berikut : Delinquensy is a failure or mission; a violation of law or duty. Juvenile deliquency is intisocial behavior by a minor, behavior that would be criminally punishable if the actor were an adult, but instead is use punished by special laws pertainning only to minors-also termed delinquen minor. (perbuatan masyarakat yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi umur orang dewasa secara hukum. Khususnya perilaku yang merupakan kejahatan yang dikenakan hukuman
12
Ibid, halaman 4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), halaman 219. 14 Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), halaman 20. 13
17
bila dilakukan oleh orang dewasa. Tapi dilakukan dengan pengecualian hukum untuk yang belum dewasa).15 Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono, ialah perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.16 Dalam Negara Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 (dua puluh satu) tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 (dua puluh satu) tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency). Hal ini yang kemudian muncul sebuah teori oleh Sutherland (1966) yang disebut dengan teori Differential Association yang menyatakan bahwa anak menjadi Deliquency disebabkan oleh partisipasinya ditengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi semakin lama pada proses
15
Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, (Medan; USU Pers, 2010), halaman 37. 16 Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2) Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 7.
18
berlangsungnya
asosiasi
deferential
tersebut
dan
semakin
bersar
pula
kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.17 B. TINJAUAN UMUM PIDANA ANAK 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidanaa adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diberikan definisi terhadap istilah tindak pidana atau strafbaar feit. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan bagi mereka yang melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Menurut Andi Hamzah bahwa tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan
17
Wagiati Soetodjo, Op. Cit., halaman 24.
19
perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.18 Tindak pidana adalah perilaku (conduct) yang oleh undang-undang pidana yang berlaku (hukum pidana positif) telah dekriminalisasi, oleh karena itu, pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana.19 Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai : perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.20 Simon memberikan pengertian dari pada “Strafbaar Feit” yaitu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.21 2. Tindak Pidana Anak Dalam Hukum Pidana berlaku saat ini di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur: a. Adanya perbuatan manusia
18
Andi Hamzah dalam Muhamad Mahrus S.W., Kontribusi Hukum Pidana Islam Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Cybersex Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2016), halaman 30. 19 Iza Fahri, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia, Jurnal Hukum No. 3, Vol. 17 Juli 2010: 430-455, halaman 346. 20 Moeljatno dalam Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), halaman 51. 21 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Aditama, 2014), halamn 98.
20
b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan umum c. Adanya kesalahan d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan.22 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakanalan yang dilakukan oleh anakanak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana pelaku harus
menyadari
akibat
dari
perbuatannya
itu
serta
pelaku
mampu
bertanggungjawab terhadap perbuatannya tersebut. Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency, Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan/ mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar aturan, dan lain-lain. C. TINJAUAN
UMUM
PENCEGAHAN
DAN
PENANGGULANGAN KEJAHATAN Berbicara penanggulangan sangat berkaitan dengan masalah pencegahan (kejahatan / kenakalan). Politik kriminal (criminal policy) merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan
22
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), halaman 47.
21
yang dimaksud disini yang berorientasi pada hukum pidana non-penal policy. Hal ini ditempuh karena ada perbuatan-perbuatan menyimpang tertentu dari pelaku anak yang hanya dapat dijatuhi dengan tindakan yang tidak berorientasi pada hukum pidana. Alasan mengapa seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat diperlakukan sama, tetapi harus ada keseimbangan dan tetap ada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa dalam strategi pencegahan kejahatan yang ada dalam tuntutan yaitu berupa pengurangan dan pengeliminasian kondisi yang dapat menjadi sebab-sebab terjadinya kejahatan. Langkah-langkah kebijakan melalui sarana penal rasanya tidak akan mampu menjangkau tuntunan dari strategi pencegahan kejahatan atau “prevention without punishment”. Langkah-langkah pendekatan dan peanggulangan kejahatan dengan sarana penal harus didampingi dan ditunjang oleh langkah-langkah penanggulangan kejahatan melalui sarana nonpenal. Apabila keseluruhan uraian di atas, dikaitkan dengan masalah perilaku delikuensi anak, maka secara umum permasalahannya tidaklah jauh berbeda. Hanya saja karena asas-asas mendasari kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda, termasuk perilaku delikuensi anak, itu berbeda dengan kejahatan orang dewasa.
22
Dari skema ini terlihat bahwa kebijakan kriminal (Criminal Policy) merupakan bagian dari politik sosial dan dalam pelaksanaannya politik kriminal ini dapat ditempuh dengan menggunakan sarana penal sekaligus sarana non-penal. Sarana non-penal ini nampaknya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, bahwa pemberian sanksi pidana terhadap anak sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan anak secara wajar. D. TINJAUAN UMUM KRIMINOLOGI 1. Pengertian Kriminologi Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Kriminologis merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan dan cara penanggulangannya. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan
23
“logos” yang berarti ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.23 Kriminologi sebagai ilmu bantu dalam hukum pidana yang memberikan pemahaman yang mendalam tentang fenomena kejahatan, sebab dilakukannya kejahatan dan upaya yang dapat menanggulangi kejahatan, yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan kejahatan. Seorang antropolog yang berasal dari Prancis, bernama Paul Topinard mengemukakan bahwa “Kriminologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan. Kata kriminologi itu sendiri etimologinya berdasar dari dua kata, “crimen” yang berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, sehingga secara sederhana kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan.24 Beberapa sarjana terkemuka memberikan definisi mengenai kriminologi sebagai berikut : 1. Edwin H. Sutherland : criiminology is the body of knowledge regarding deliquency and crime as social phenoena (kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membalas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial); 2. W.A. Bonger
: kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya;
23 24
I.S. Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), halaman 1. Topo Susanto dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), halaman 9.
24
3. J. Constant
: kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan menentukan faktor-faktor
yang menjadi sebab-musabab
terjadinya kejahatan dan penjahat; 4. WME. Noach
: kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab musabab serta akibat-akibatnya.25 Kriminologi juga merupakan ilmu yang mengkaji proses formal dan informal kriminalisasi dan dekriminalisasi kejahatan pelaku tindak pidana dan mereka yang terkait, sebab musabab kejahatan dan tanggapan baik resmi maupun tidak resmi terhadap kejahatan (studies the formal and informal processes of criminalization and decriminalization, crime, criminal and those related thereto, the cause of crime and the official and unofficialresponses to it) : kriminologi telah membawa hukum lebih membumi (has brought law back down to earth (vrij)) : kriminologi memiliki hubungan khusu dengan hukum, khususnya hukum pidana dan hukum peradilan anak (has a special relationship to the law, especially criminal law and juvenile court law).26 Dalam perkembangan kriminologi, pembahasan mengenai sebab-musabab kejahatan secara sistematis telah dibahas oleh banyak ahli kriminologi (kriminolog). Menurut Bonger, dikutip oleh Abintoro Prakoso, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya
25
A. S. Alam, Pengantar Kriminologi, (Makassar:Pustaka Refleksi Books, 2010), halaman 1. Muladi dan Diah Sulistyani R.S., Kompleksitas Perkembangan Tindak Pidana dan Kebijakan Kriminal, (Bandung: PT. Alummni, 2016), halaman 156. 26
25
(kriminilogi teoritis atau murni).27 Wolfgang, kutip oleh Wahju Muljono, membagi kriminologi sebagai perbuatan yang disebut sebagai kejatan, pelaku kejahatan, dan reaksi yang ditunjukkan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.28 Etiologi kriminal (criminal aetiology) adalah ilmu yang menyelidiki atau yang membahas asal-usul atau sebab-musabab kejahatan (kausa kejahatan).29 2. Teori Kriminologi Teori-teori yang memaparkan beberapa unsur yang turut menjadi penyebab terjadinya kejahatan atau membahas dimensi kejahatan, oleh Abintoro Prakoso dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu sebagai berikut :30 a. Teori Kriminologi Konvensional Teori Bonger, memaparkan ada 7 (tujuh) macam penyebab kejahatan, yaitu terlantarnya anak-anak, kesengsaraan, nafsu ingin memiliki, demoralisasi seksual, alkoholoisme, rendahnya budi pekerti, dan perang. b. Teori Kriminologi Modern Teori Kontrol Sosial (social control theory), merujuk kepada setiap prespektif yang membahas ikhwal pengendalian perilaku manusia, yaitu deliquency dan kejahatan terkait dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, yaitu struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.
27
Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja, 2016), halaman 11. 28 Wahju Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), halaman 35. 29 Ibid, halaman 97. 30 Ibid, halaman 9.
26
Sedangkan Travis Hirschi memberikan gambaran mengenai konsep ikatan sosial (social bond), yaitu apabila seseorang terlepas atau terputus dari ikatan sosial dengan masyarakat, amak ia bebas untuk berprilaku menyimpang. Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa kriminologi klasik lebih menakankan pada sebab-musabab kejahatan itu terjadi karena terlantarnya anakanak, kesengsaraan, nafsu ingin memiliki, demoralisasi seksual, alkhoholoisme, rendahnya budi pekerti, dan perang. Di sisi lain Kriminologi modern mencoba menjelaskan sebab musabab kejahatan yang senantiasa terkait dengan variabelvariabel yang bersifat sosiologis dan juga muncul karena lepas atau putusnya ikatan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Ilmu kriminologi dalam mempelajari kejatan memunculkan teori-teori yang dapat digunakan untuk menganalisis studi kejahatan yang telah dikemukakan para ahli kriminologis yang berkitan dengan anak antara lain : 1. Teori Differential Association Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland, seorang ahli sosiologi Amerika dalam bukunya Principles of Criminology (1943). Terdapat 2 (dua) versi teori association differential. Versi pertamanya terdapat dalam buku Principle of Criminology edisi ketiga. Dalam karya tersebut perhatian Sutherland setuju pada soal konflik budaya (cultural conflict), keberantakan sosial (social disorganization), serta differential
27
association.31 Itulah sebabnya ia menurunkan 3 (tiga) pokok soal sebagai intisari teorinya :32 1. Any person can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute. (tiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan). 2. Failure it follow a prescribed patternn of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the individual. (kegagalan mengikuti pola tingkah laku (yang sehaarusnya) akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan). 3. The conflict of cultures is therefore the fundamental principle in the explanation of crime. (konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan). Kemudian pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential Association dan untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan 9 jalan proses terjadinya kejahatan :33 1. Tingkah laku jahat itu dipelajarai. Sutherland menyatakan bahwa tingkah laku itu tidak diwarisi sehingga tidak mungkin ada orang jahat secara mekanis; 2. Tingkah laku jahat itu dipelajari dari orang-orang lain dalam suatu proses interaksi;
31
Indah Sri Utari, Aliran dan Teori dalam Kriminologi, (Yogyakarta: Thafa Media, 2012) halaman 90. 32 Indah Sri Utari, Loc. Cit. 33 Indah Sri Utari, Ibid, halaman 91-93.
28
3. Bagian yang terpenting dari tingkah laku jahat yang dipelajari, diperoleh dalam kelompok pergaulan yang akrab; dengan demikian, komunikasi interpersonal yang sifatnya sesaaat dan isedental, tidak mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran kejahatan tersebut; 4. Ketika perilaku jahat itu dipelajari, maka yang dipelajari adalah : a. Cara melakukan kejahatan itu baik yang sulit maupun yang sederhana, b. Bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif, rasionalisasi, serangan dan sikap; 5. Bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif dan serangan itu dipelajari dari penafsiran terhadap undang-undang; dalam suatu masyarakat kadang seseorang dikellilingi orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diaturdalam peraturan hukum sebagai suatu yang perlu diperhatikan dan perlu dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan; 6. Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan dari pada melihat hukum sebagai suatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi; 7. Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya;
29
8. Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dalam mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum; 9. Sekalipun perilaku jahat merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, namun tingkah laku kriminal tersebut tiddak dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai dimaksud, sebab tingkah laku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama. Pada intinya teori Differential Association di atas, menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, poa perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. 2. Teori Kontrol Sosial Teori Kontrol Sosial, salah satu ahli yang mengembangkan teori ini adalah Travis Hirschi. Dia mengajukan beberapa proposisi, yaitu : a. Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasi individu untuk bertindak konform / konformitas terhadap aturan atau tata tertib yang ada; b. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas, merupakan bukti kegagalan kelompok sosial konvensional untuk mengikuti individu agar tetap konform, seperti : keluarga, sekolah atau institusi pendidikan dan kelompok dominan lainnya;
30
c. Setiap individu seharusnya belajar untuk konform dan tidak melakukan tindakan menyimpang atau kriminal; d. Kontrol internal lebih berpengaruh dari pada kontrol eksternal.34 Travis Hirchi, sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”.35 Ada 3 (tiga) komponen dari kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar selama masih anak-anak, hilangnya kontrol tersebut dan adanya norma-norma sosial atau konflik norma-norma yang dimaksud. Ada 2 (dua) macam kontrol yaitu personal control dan social control. Personal control (internal control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control (external control) adalah kemampuan
kelompok
sosial
atau
lembaga
dalam
masyarakat
untuk
melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif. Kontrol sosial baik personal kontrol maupun sosial kontrol menentukan seseorang dapat melakukan penyimpangan atau tidak, karena pada keluarga atau masyarakat yang mempunyai sosial kontrol dan disiplin maka kemungkinan terjadinya suatu penyimpangan akan kecil, begitu juga sebaliknya, suatu keluarga atau masyarakat yang tidak mempunyai kontrol yang kuat maka penyimpangan
34
Frank E. Hagan, Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal, Diterjemahkan dari buku aslinya Introduction to Criminology: Theory, Method, and Criminal Behavior, oleh Noor Cholis, (Jakarta: Kencana, 2013), halaman 236. 35 Yesmil Anwar Adang, Op. Cit., halaman 102.
31
bisa saja mudah terjadi akibat tidak disiplinnya suatu kontrol tersebut. Teori-teori kontrol sosial membahas isu-isu tentang bagaimana masyarakat memelihara atau menumbuhkan kontrol sosial dan cara memperoleh konformitas atau kegagalan meraihnya dalam bentuk penyimpangan.36 Salah satu Social Control Theory sebagaimana disebutkan oleh Travis Hirschi dalam “Social Bond Theory”, sebagai berikut :37 1. Attachment Adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Attachment dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu : a. Attachment total, adalah keadaan dimana seorang individu melepas rasa yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu mentaati aturan-aturan. b. Attachment partial, adalah suatu hubungan antara seorang individu dengan lainnya, dimana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dnegn ego yang lain tetapi karena hadirnya orang lain yang mengawasi. 2. Commitment Adalah keterikatan seseorang pada sub sistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Commitment merupakan
36
Loc. Cit. Travis Hirschi dalam Titi Andriyani, Upaya Pencegahan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya, Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis: 20851375, Edisi Ke-VI, November 2011, halaman 116. 37
32
aspek rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan individu seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa benda, reputasi, masa depan dan sebagainya. 3. Involvement Adalah merupakan
aktivitas
seseorang dalam
sub
sistem
konvensional, jika seseorang aktif dalam organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan deviasi. Logika dari pengertian tersebut adalah bila orang aktif disegala kegiatan tersebut akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut sehingga dia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
4. Beliefs Merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial dan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan itu akan menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut yang tentunya akan mengurangi hasrat seseorang untuk melanggar. Travis Hirschi (1969) dalam Causes of Delinquency menampilkan teori ikatan sosial yang pada dasarnya menyatakan bahwa delikuensi terjadi ketika ikatan seseorang dengan masyarakat melemah atau putus, dengan demikian mengurangi resiko personal dalan konformitas. Individu mempertahankan konformitas karena khawatir pelanggaran akan merusak hubungan mereka (menyebabkan mereka “kehilangan muka”) dengan
33
keluarga, teman, tetangga, pekerjaan, sekolah, dan lain sebagainya. Intinya, individual menyesuaikan diri bukan karena takut pada hukuman yang ditetapkan dalam hukum pidana, tetapi lebih karena khawatir melanggar tata kelakuan kelompok mereka dan citra personal mereka dimata kelompok. Ikatan-ikatan ini terdiri atas empat komponen : keterikatan, komitmen, keterlibatan, dan kepercayaan.38 Keterikatan menunjuk pada ikatan pada pihak lain (seperti keluarga teman sebaya) dan lembaga-lembaga penting (seperti komunitas non formal
dan
formal).
Kaitan
keterikatan
(attachment)
dengan
penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan. Keterikatan yang lemah dengan orang tua dan keluarga bisa saja mengganggu perkembangan kepribadian, sedangkan buruk dengan sekolah dipandang sangat penting dalam delikuensi. Komitmen
berhubungan
dengan
sejauh
mana
seseorang
mempertahankan kepentingan dalam sistem sosial dan ekonomi. Jika individu beresiko kehilangan banyak sehubungan dengan status, pekerjaan, dan kedudukan dalam masyarakat, kecil kemungkinannya dia akan melanggar hukum. Bentuk komitmen ini, antara lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang.
38
Frank E. Hagan, Op. Cit., halaman 238.
34
Kepercayaan, kesetiaan, dan pasti kepatuha terhadap norma-norma sosial atau aturan masyarakat akhirya akan tertanam kuat di dalam diri seseorang atau aturan masyarakat akhirnya akan tertanam kuat di dalam diri seseorang dan itu berarti aturan sosial telah self-enforcing dan eksistensinya (bagi setiap individu) juga semakin kokoh dalam normanorma konvensional dan sistem nilai dan hukum berfungsi sebagai pengikat masyarakat.39 Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma norma maka lebih besar kemungkinan melakukan pelanggaran. Teori kontrol sosial juga dipergunakan sebagai istilah umum untuk menggambarkan proses-proses yang menghasilkan dan melestarikan kehidupan sosial yang teratur. Oleh sebab itu teori kontrol sosial sangat cocok untuk menjelaskan latar belakang terjadinya tindak pidana pengeroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian saat ini khsusunya di wilayah Kabupaten Wonosobo. Menurut prespektif ini kejahatan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang secara normal belum dipaksakan melalui institusi-institusi sosial seperti keluarga, agama, pendidikan, nilai-nilai dan norma-normaa dalam suatu komunitas.
39
Muhammad Mustofa, Kriminologi, (Jakarta: Fisip UI Press, 2007), halaman 238.
35
3. Teori Netralisasi Pada dasarnya teori Netralisasi ini beranggapan bahwa aktivitas manusia selalu dikendalikan oleh pikirannya. Dengan demikian pertanyaan dasar yang dilontarkan teori ini ialah : Pola pikir yang bagaimanakah yang terdapat di dalam benak orang-orang baik, dalam hal tertentu berubah menjadi jahat?. Pertanyaan itu sekaligus mencerminkan suatu anggapan bahwa kebanyakan orang dalam berbuat sesuatu selalu dikendalikan oleh pikiran nya yang baik. Teori netralisasi juga beranggapan bahwa di masyarakat selalu terdapat persamaan pendapat tentang, “hal-hal yang baik di dalam kehidupan masyarakat” dan “Jalan yang layak untuk mencapai hal tersebut”. Sykes dan Matza berhasil mengamati di dalam studinya bahwa di kalangan anak-anak delikuen pun recognizes both the legitimacy of the dominant social order and its moral rightness. (Sykes & Matza, 1957: 655)40 Hal yang menarik dari teori ini ialah terletak pada cara menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah prosesnya sehingga seseorang yang pada umunya berpikiran baik sampai melakukan kejahatan atau berperilaku menyimpang. Menurut teori ini orang-orang tersebut berperilaku jahat atau menyimpang disebabkan adanya kecenderungan di kalangan mereka untuk merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai (yang seharusnya berfungsi sebagai pencegah perilaku jahat) menurut presepsi dan kepentingan mereka sendiri. 40
Paulus Hadisuprapto, DELIKUENSI ANAK Pemahaman dan Penanggulangannya, (Malang: Selaras, 2010), halaman 21.
36
Lebih jauh Sykes dan Matza memerinci bentuk-bentuk atau kecederungan-kecenderungan penetralisasian di kalangan para pelaku kejahatan itu menjadi lima kecenderungan, yaitu :41 a. the Denial of Responsibility, mereka menganggap dirinya sebagai korban tekanan-tekanan sosial, misalnya kurangnya kasih sayang, pergaulan serta lingkungan kurang baik dan sebagainya. b. the Denial of Injury, mereka biasanya berpandangan bahwa perbuatannya tidak mengakibatkan kerugian besar di masyarakat. Hal ini tampak dari bahasa ungkapan yang sering digunakan dalam hal mereka melakukan perbuatan penyimpangan, misalnya pencurian mobil diungkapkan dengan istilah “pinjam mobil” dan “numpang pakai” dan sebagainya. c. the Denial of the Victims, mereka biasanya menyebut diri mereka sebagai “pahlawan”, atau “the avenger” dan menganggap diri seperti “Si Pitung”, “Robin Hood” dan sebagainya. d. condemnation of the condemners, mereka beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka itu sebagai orang-orang yang munafik, hipokrit atau pelaku kejahatan terselubung dan sebagainya. e. appeal to higher loyality, mereka merasa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat luas dan hukumnya dengan kebutuhan kelompok kecil atau minoritas dari mana mereka berasal atau tergabung, misalnya kelompok “geng” atau “saudara kandung”.
41
Ibid, halaman 22.
37
X.
SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dalam Penulisan Hukum yang akan ditulis ini
mengacu pada buku Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi) Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Penulisan Hukum ini terbagi menjadi 5 (lima) bab yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjauan Pustaka, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Pembahasan dan Bab V Penutup. Dimana masing-masing bab ada keterkaitannya antara satu dengan yang lainnya. Adapun gambaran yang jelas mengenai bagianbagian bab penulisan hukum ini akan diuraikan dalam sistematika sebagai berikut: Bab I. Pendahuluan Dalam
Bab
Pendahuluan
menggambarkan
mengenai
latar
belakang, perumusan masalah yang membatasi uraian serta ruang lingkup yang diteliti, tujuan dan kegunaan penelitian agar dapat diketahui mengenai apa yang hendak di capai dalam penelitian, serta sistematika penulisan untuk memberi alur dan gambaran dalam penulisan hukum ini. Bab II. Tinjauan Pustaka Selanjutnya dalam Bab II Tinjauan Pustaka berisi tentang landasan teori serta perundang-undangan yang mendasari analisis masalah yang dibahas. Tinjauan Pustaka dalam penulisan skripsi ini meliputi: a. Pengertian Anak b. Tindak Pidana: Pengertian dan Ruang Lingkupnya
38
c. Tindak Pidana Anak d. Teori-Teori Kriminologi Yang Berkaitan Dengan Kenakalan Anak Bab III. Metode Penelitian Pada bab ini disajikan lebih rinci tentang metode penelitian yang dilakukan. Disamping itu dalam bab ini juga merupakan penjelasan lebih lanjut tentang apa yang telah disinggung dalam bab pendahuluan, serta alasan-alasan ditempuhnya metode penelitian tersebut. Metode penelitian ini berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Bab IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan Kemudian dalam Bab IV ini memaparkan dan menjelaskan atas uraian hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. Di dalam bab ini, dan atau informasi hasil penelitian diolah atau dianalisis, ditafsirkn dan dikaitkan dengan kerangka teoritis atau kerangka analisis yang telah dituangkan dalam Bab II, sehingga tampak jelas bagaimana data hasil penelitian itu dikaitkan dengan permasalahan dan tujuan pembahasan dalam kerangka teoritis atau kerangka analisis yang telah dikemukakakn dalam bab II. Sehingga menjadi terarah pada pengujian kerangka teoritis atau penjelasan kontekstual masalah hukum yang menjadi permasalah dan tujuan pembahasan penulisan hukum ini, yaitu tinjauan krimologis tindak pidana pengeroyokan oleh anak yang menyebabkan kematian.
39
Bab V. Penutup Adapun dalam Bab V ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan kristalisasi dari semua yang telah dicapai dalam masingmasing bab sebelumnya, setelah menganalisis data dengan menggunakan teori-teori yang berhubungan dengan tema penulisan hukum. Serta berisi saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya serta bagi perkembangan ilmu hukum pidana dan masyarakat pada khususnya DAFTAR PUSTAKA Dalam Daftar Pustaka memuat daftar buku, referensi, sumber informasi serta perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar hukum, landasan teori dan dasar pelaksanaan.
XI.
METODE PENELITIAN Penelitian merupakan suatu proses kegiatan ilmiah yang terdiri dari suatu
rangkaian dan langkah-langkah yang dilakukan secara terencana sistematis untuk memperoleh pemecahan suatu permasalahan. Agar penelitian mempunyai nilai ilmiah dan menghasilkan kesimpulan yang tidak diragukan, maka langkah yang satu dengan langkah yang lain harus saling mendukung.
40
Penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.42 Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragukan kebenarannya. Sebelum seseorang melakukan penelitian ia dituntut untuk bisa menguasai dan menerapkan metodologi dengan baik. Adapun peranan metodologi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut : 1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap. 2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner. 3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui. 4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat. Metodologi berasal dari kata metodos dan logos yang berarti kejalan dan ilmu. Seorang peneliti yang tidak menggunakan metodologi tidak akan mungkin untuk menemukan, merumuskan dan menganalisa suatu masalah tertentu untuk mengungkapkan suatu kebenaran.
42
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), halaman 15.
41
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan socio-legal. Menurut Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa Penelitian sosio legal hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dalam hal demikian, hukum dipandang dari segi luarnya saja. Oleh karena itu dalam penelitian sosio legal, hukum selali dikaitkan dengan masalah sosial. Penelitian-penelitian demikian, merupakan penelitian yang menitikberatkan pada perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.43 Definisi yang dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki dititikberatkan pada perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum. Perilaku individu atau masyarakat, yaitu tanggapan atau reaksi individu atau masyarakat yang terwujud dalam gerakan (sikap), baik sikap badan maupun ucapan nyata tentang hukum.44 Satjipto Rahardjo juga menyatakan bahwa apabila orang yang memahami hukum sebagai alat mengatur masyarakat, daia akan memilih penggunaan metode sosiologis. Metode ini mengaitkan hukum pada usaha untuk mencapai tujuan serta memenuhi kebutuhan konkret dalam masyarakat. Oleh karena itu, pusat perhatian metode sosiologis adalah pada efektivitas hukum.45
43
Peter Mahmud Marzuki, dalam Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbani, PENERAPAN TEORI HUKUM PADA PENELITIAN TESIS DAN DISERTASI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), halaman 20. 44 Loc.cit. 45 Satjipto Rahardjo, dalam Abdulkadir Muhammad, HUKUM DAN PENELITIAN HUKUM, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), halaman 37.
42
Penelitian socio-legal tetap mendahulukan pembahasan norma-norma hukum, kemudian mengupasnya dengan komprehensif dari kajian ilmu nonhukum/faktor-faktor diluar hukum, seperti sejarah, ekonomi, social, politik, budaya dan lainnya. Sosio legal merupakan konsep payung, yaitu memayungi semua pendekatan terhadap hukum, proses hukum maupun sistem hukum. Studi hukum demikian ini disebut sosiologi hukum, yaitu apabila sasaran studinya adalah hukum sebagai variabel akibat (dependent variable) atau merupakan apa yang disebut studi hukum dan masyarakat, yaitu apabila sasaran studinya ditujukan pada hukum sebagai variabel penyebab (independent variable).46 Perbedaan antara penelitian hukum yang normatif dan penelitian hukum yang sosiologis mengakibatkan perbedaan pada langkah-langkah teknis penelitian yang harus dilakukan dan pada disain-disain penelitian yang harus dibuat. Penelitian hukum yang normatif menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif, sedangkan penelitian hukum yang sosiologis memberikan arti penting pada langkah-langkah observasi dan analisis yang bersifat empiris-kuantitatif. Sehingga langkahlangkah dan disain-disain teknis penelitian hukum yang sosiologis mengikuti pola penelitian ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi, oleh karena itu penelitian hukum ini disebut penelitian hukum yang sosiologis atau sociolegal research. Dengan mengikuti pola penelitian ilmu-ilmu sosial penelitian
46
Ronny Hanitijo Soemitro, PENELITIAN HUKUM DAN JURIMETRI, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), halaman 34-35.
43
hukum yang sosiologis dimulai dengan perumusan permasalahan dan perumusan hipotesis, melalui penetapan sampel, pengukuran variabel, pengumpulan data dan pembuatan disain analisis, sedangkan seluruh proses berakhir dengan penarikan kesimpulan.47 B. Metode Pengambilan Data Dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah penelitian yang bersifat deskriptif, sehingga data yang diusahakan adalah : 1. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dilokasi penelitian atau dari sumbernya ; berupa sejumlah informasi dan keterangan
yang
dibutuhkan
oleh
peneliti
menggunakan
wawancara. Mengumpulkan data dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung dengan narasumber dan responden. Wawancara ini dilakukan dengan : a. Keluarga Terdakwa b. Sekolah Terdakwa c. Lingkungan tempat tinggal Terdakwa d. Kepolisian wilayah Kabupaten Wonosobo e. Kejaksaan wilayah Kabupaten Wonosobo 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan guna mendapatkan landasan teori yang diperoleh 47
Loc. Cit.
44
dari pendapat-pendapat para ahli dalam bentuk buku literature atau data karya ilmiah, mengenai hal yang sama berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Data sekunder dapat dibedakan menjadi : a. Bahan-bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat
dan
berkaitan
dengan
tindak
pidana
pengeroyokan, yang terdiri atas : 1. b. Bahan-bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa karya para sarjana baik yang telah dipublikasikan maupun belum, yang memberikan penjelasn tentang bahan hukum primer, antara lain : 1. 2. 3. Situs internet, majalah, surat kabar yang berkaitan dengan penulisan hukum ini tentang Tindak Pidana Pengeroyokan oleh Anak yang menyebabkan Kematian di Kabupaten Wonosobo. c. Bahan-bahan Hukum Tersier Selain itu, untuk memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
45
dipergunakan bahn hukum tersier yang berupa kamus hukum, ensiklopedia, kamus serta website yang terkait dengan Tindak Pidana Pengeroyokan oleh Anak yang menyebabkan Kematian di Kabupaten Wonosobo.
C. Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Data yang diperoleh dianalisis untuk mencari kejelasan dari masalah yang dibahas. Dalam menganalisis data pada penelitin ini dipergunakan analisis data kualitatif terhadap data yang telah dikumpulkan. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi suatu kesatuan yang dapat dikelola, mensintesakannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dana pa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain atau yang mendiskripsikannya. Analisis data yang dilakukan secara kualitatif untuk menarik simpulan tidak hanya bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga bertujuan untuk memahami gejala-gejala yang timbul dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum mengenai pengaturan Tindak Pidana Pengeroyokan oleh Anak yang menyebabkan Kematian di Kabupaten Wonosobo.
46