I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang komunitas makroalga laut merupakan kumpulan berbagai jenis populasi alga laut yang menempati habitat tertentu. Populasi makroalga laut tersebut terdiri atas beberapa jenis alga laut makrobentik yang saling berinteraksi dan berasosiasi dengan organisme disekitar habitatnya. Jadi dapat diartikan bahwasanya struktur komunitas merupakan gambaran mengenai kondisi suatu komunitas pada suatu tempat yang mencakup komposisi jenis, dominansi jenis, dan indeks keanekaragaman jenis (Kadi 1988). Makroalga merupakan jenis alga yang ukurannya relatif besar sehingga dapat dilihat dengan menggunakan mata secara langsung tanpa perlu menggunakan alat bantu seperti mikroskop. Makroalga sebagian besar hidup pada perairan laut. Tumbuhan ini memerlukan substrat untuk tempat menempel agar dapat tumbuh. Makroalga sebagian besar hidup di perairan laut. Makroalga epifit pada benda-benda lain seperti, batu, batu berpasir, tanah berpasir, kayu, cangkang molluska, dan epifit pada tumbuhan lain atau makroalga jenis yang lain (Resky 2017). Makroalga pada ekosistem laut memiliki fungsi penting baik dari sisi ekologis maupun dari sisi ekonomi. Secara ekologis makroalga memiliki fungsi sebagai produsen primer dan habitat bagi beberapa biota laut seperti Moluscca, Crustaceae, Echinodermata maupun ikan karang. Hal tersebut dikarenakan bentuk dari makroalga yang rimbun sehingga mampu memberikan perlindungan dari terpaan ombak (Marianingsih et al 2013). Secara ekonomi makroalga sudah banyak dimanfaatkan, antara lain sebagai bahan makanan, obat, dan material penting pada berbagai industri. Substrat untuk tempat hidup makroalga harus memenehi beberapa kriteria. Ada dua tipe substrat utama yang digunakan makroalga sebagai tempat hidup yaitu substrat lunak meliputi lumpur, pasir, atau campuran pasir dan lumpur, serta substrat keras yang meliputi karang mati, karang hidup dan batuan (Ferawati et al 2014). Salah satu wilayah perairan yang memiliki kriteria tersebut adalah Teluk Prigi.
1
Teluk Prigi merupakan perairan yang terletak di pesisir Samudera Hindia yang berbentuk teluk serta dikelilingi oleh bentang alam tebing yang tinggi. Secara administrasi teluk prigi berada dalam wilayah Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur (Wibowo dan Adrim 2013). Perairan tersebut berpaparan terumbu karang (reef plats), berpunggung terumbu (ridge) dan bagian luar bertubir (reef slope). Tipe paparan terumbu karang ini merupakan habitat dari berbagai jenis makroalga (Kadi 2015). 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apa saja jenis makroalga yang terdapat di teluk Prigi ? 2. Bagaimana
struktur
komunitas
makroalga
yang
meliputi
kepadatan,
keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi pada perairan teluk prigi ? 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini yaitu data yang diambil berupa jenis makroalga yang ditemukan serta data kualitas perairan yang terdiri dari salinitas, pH, DO, kecerahan dan suhu. 1.4 Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi jenis makroalga yang ada di perairan teluk Prigi. 2. Menganalisa struktur komunitas makroalga di perairan teluk Prigi. 1.5 Manfaat Hasil yang diperoleh dari penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Acuan pemanfaatan potensi makroalga di teluk Prigi 2. Sebagai dasar pengelolaan makroalga di Teluk Prigi
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Komunitas adalah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi secara terorganisir dalam menjalankan fungsi-fungsi kehidupan yang saling mempengaruhi antar populasi. Salah satu contohnya yaitu komunitas makroalga laut merupakan kumpulan berbagai jenis populasi alga laut yang menempati habitat tertentu. Populasi makroalga laut tersebut terdiri atas beberapa jenis alga laut makrobentik yang saling berinteraksi dan berasosiasi dengan organisme disekitar habitatnya. Jadi dapat diartikan bahwasanya struktur komunitas merupakan gambaran mengenai kondisi suatu komunitas pada suatu tempat yang mencakup komposisi jenis, dominansi jenis, dan indeks keanekaragaman jenis (Kadi 1988). Struktur komunitas memiliki beberapa aspek untuk dipelajari antara lain dominansi jenis, keanekaragaman jenis, dan pola persebaran jenis. Dominansi jenis merupakan jenis suatu individu yang mempunyai jumlah paling banyak, memiliki biomasa tinggi, menduduki permukaan terluas, serta memberikan kontribusi terbesar dalam aliran energi dan siklus materi. Keanekaragaman jenis ditentukan oleh suatu indeks keanekaragaman jenis yang dinyatakan oleh kekayaan jenis dan kesamarataan distribusi individu. Peningkatan keanekaragaman jenis suatu individu berhubungan langsung dengan peningkatan jumlah dan distribusi individu dalam popolasi tersebut. Pola persebaran jenis menunjukan posisi relatif individu satu terhadap individu yang lain menurut ruang. Ada tiga pola persebaran populasi yaitu seragam, acak, dan mengelompok (Meifri 2017). Struktur komunitas dibedakan menjadi dua yaitu struktur fisik dan struktur biologi. Struktur fisik merupakan suatu komunitas tampak apabila diamati. Sedangkan struktur komunitas biologi meliputi komposisi spesies, kelimpahan individu dalam spesies, perubahan temporal dalam spesies, dan hubungan antara spesies dalam suatu komunitas. Struktur biologi dalam komunitas sebagian tergantung pada struktur fisik. Perubahan pada habitat akan berpengaruh terhadap
3
perubahan struktur komunitas, karena perubahan habitat akan berpengaruh pada tingkat spesies yang merupakan susunan terkecil penyusun komunitas. (Meifri 2017). 2.2 Makroalga Makroalga merupakan alga yang mempunyai bentuk dan ukuran tubuh yang makroskopik yang artinya dapat dilihat dengan mata langsung tanpa memerlukan alat bantu. Ukuran tubuh dari makroalgae berkisar mulai dari 10 mm sampai dengan 4 meter. Alga sendiri adalah organisme yang masuk ke dalam Kingdom Protista mirip dengan tumbuhan, dengan struktur tubuh berupa thallus. Alga mempunyai pigmen klorofil sehingga dapat berfotosintesis. Alga kebanyakan hidup di wilayah perairan, baik perairan tawar maupun perairan laut (Guillermo 2008). Makroalga yang dikenal juga sebagai rumput laut merupakan tumbuhan thallus (Thallophyta) dimana organ-organ berupa akar, batang dan daunnya belum terdiferensiasi dengan jelas (belum sejati). Sebagian besar makroalga di Indonesia bernilai ekonomis tinggi yang dapat digunakan sebagai makanan dan secara tradisional digunakan sebagai obat-obatan oleh masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari 8000 jenis Makroalga yang ditemukan di seluruh dunia. Berikut ini merupakan salah satu jenis makroalga dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Palallo 2013).
Gambar 2.1 Makroalga jenis Caulerpa racemosa (Guillermo 2008). Bentuk tubuh dari makroalga bervariasi mulai dari berbentuk kerak sederhana, berdaun, dan bentuk berserabut dengan struktur percabangan yang sederhana, hingga
4
bentuk yang lebih kompleks dengan struktur tubuh yang ideal untuk menangkap cahaya, reproduksi, flotasi serta untuk menempel pada substrat. Makroalga memerlukan substrat yang keras untuk menempel seperti karang maupun batuan. Kebanyakan spesies makroalga tidak dapat tumbuh pada lumpur dan pasir karena tidak memiliki akar yang masuk kedalam sedimen. Ciri khas lain dari makroalga dibandingkan dengan tanaman yang tingkatannya lebih tinggi yaitu siklus kehidupan dari makroalga yang cukup kompleks dan berbagai macam mode reproduksi. Ratarata makroalga bereproduksi dengan cara melepaskan gamet atau spora yang diproduksi seksual atau aseksual kemuadian terjadi penyeberan secara vegetatif serta secara fragmentasi (Guilermo 2008). 2.3 Morfologi makroalga Rumput laut (makroalga) adalah ganggang berukuran besar yang merupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk ke dalam filum thallophyta. Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun, Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka. Bentuk thallus rumput laut ada bermacammacam, antara lain bulat, seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut (Kurniawan 2017). Bentuk thallus makroalga bermacam-macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Percabangan talus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada satu sisi talus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama dan adapula yang sederhana dan tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gelatin (gellatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongious). Tipe-tipe percabangan makroalga dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Aslan 1998).
5
Gambar 2.2 Tipe-tipe percabangan makroalga, (1) Tidak bercabang (2) dichotomous, (3) pinnate alternate, (4) pinnate distichous, (5) tetratichous, (6) ferticillate, (7) polystichous, (8) pectinate, (9) monopodial, (10) sympodial (Aslan 1998) Rumput laut memperoleh atau menyerap makanan melalui sel-sel yang terdapat pada thallusnya. Nutrisi terbawa oleh arus air yang menerpa rumput laut akan diserap sehingga rumput laut bisa tumbuh dan berkembang biak. Morfologi rumput laut dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Juneidi 2004).
Gambar 2.3 Morfologi makroalga (Afrianto dan Liviawati 1993 dalam Kurniawan 2017). Bagian-bagian rumput laut secara umum terdiri dari holdfast yaitu bagian dasar dari rumput laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat dan thallus yaitu bentuk-bentuk pertumbuhan rumput laut yang menyerupai percabangan mempunyai fungsi untuk menyerap zat makanan dari perairan dan melakukan fotosintesis. Perbedaan bentuk holdfast terjadi akibat proses adaptasi terhadap keadaan substrat
6
dan pengaruh lingkungan seperti gelombang dan arus yang kuat yang dapat mencabut holdfast tersebut. Holdfast pada substrat yang keras dan berbentuk stolon merambat pada substrat berpasir (Atmadja et al 1996). 2.4 Reproduksi Makroalga 2.4.1 Reproduksi seksual Perkembangbiakan secara seksual gametofit jantan yang disebut spermatia. Spermatia ini akan menghasilkan sel jantan melalui pori spermatangia akan menghasilkan sel jantan yang disebut spermatia. Spermatia ini akan membuahi sel betina pada cabang karpogonia dari gametofit betina. Hasil pembuahan ini akan keluar sebagai karpospora. Setelah terjadi proses germinasi akan menjadi tanaman yang tidak beralat kelamin atau disebut sporofit (Aslan 1998). 2.4.2 Reproduksi Aseksual Perkembangan secara aseksual terdiri dari penyebaran tetraspora, vegetatif dan konjugatif. Sporafit dewasa menghasilkan spora yang disebut tetraspora yang sesudah proses germinasi tumbuh menjadi tanaman beralat kelamin, yaitu gametofit jantan dan gametofit betina. Perkembangbiakan secara vegetatif adalah dengan cara stek. Potongan seluruh bagian thallus akan membentuk percabangan baru dan tumbuh berkembang menjadi tanaman dewasa. Konjugasi merupakan proses peleburan dinding sel dan percampuran protoplasma anatara dua thalus. Daur hidup makroalga dapat dilihat pada gambar 2.4 (Kurniawan 2017).
7
Gambar 2.4 Daur hidup makroalga (Kurniawan 2017) 2.5 Klasifikasi Makroalga Makro alga secara taksonomi masuk kedalam kingdom protista karena bagian tubuhnya seperti akar, batang dan daunnya belum dapat teridentifaksi dengan jelas. Secara taksonomi makroalga dikelompokkan ke dalam Thallophyta karena tubuhnya terdiri dari thalus. Thallophyta terdapat tiga Phylum cukup besar yaitu Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga coklat), dan Rhodophyta (alga merah). Chlorophyta, Phaeophyta, dan Rhodophyta merupan filum yang banyak hidup dilingkungan laut dengan tubuh tersusun secara multiseluler.(Waryono 2001). Berikut ini merupakan sistem standart klasifikasi untuk makroalga menurut Robert (2008) adalah sebagai berikut : Phylum – phyta Class – phyceae Family – aceae Genus Species 2.5.1 Chlorophyta Alga ini merupakan kelompok terbesar dari vegetasi alga. Perbedaan dengan divisi lainnya karena memiliki warna hijau yang jelas seperti pada tumbuhan tingkat tinggi karena mengandung pigmen klorofik a dan b, karotin dan xantofil, violasantin,
8
dan lutein. Beberapa xanthofil jumlahnya melimpah ketika organisme tersebut masih muda dan sehat, xanthofil lainya akan tampak dengan bertambahnya umur. Pigmen selalu berada dalam plastida ini disebut kloropas. Dinding sel lapisan luar terbentuk dari bahan pektin sedangkan lapisan dalam dari selulosa. Alga hijau yang tumbuh di laut di sepanjang perairan yang dangkal serta melekat pada batuan dan sering kali muncul apabila air menjadi surut (Kurniawan 2017). Menurut Juana (2009) dalam Kurniawan (2017) tercatat setidaknya ada 12 genus makroalga hijau yang sering kali dijumpai diperairan Indonesia. Salah satu jenis dari Chlorophyta yaitu Halimeda Opuntia yang memiliki klasifikasi menurut Lamouroux (1758) dalam Hendrik et al (2017) adalah sebagai berikut : Kingdom : Protista Filum : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Ordo : Bryopsidales Famili : Halimedaceae Genus : Halimeda Spesies : Halimeda opuntia Thallus tegak, bersegmen dengan percabangan tidak teratur pada thallus. Mengandung pigmen a dan b. Alat pelekat berupa filamen yang keluar dari segman basal yang mencengkram substrat, blade bekapur, sangat kaku, bentuknya bertekuk tiga, susunannya tumpang tindih, tidak teratur dan tidak terletak pada suatu percabangan tidak beraturan sehingga thallus terletak tidak pada satu bidang. (Hendrik et al 2017).
9
Gambar 2.5 Halimeda opuntia (Hendrik et al 2017) 2.5.2 Phaeophyta Phaeophyta
adalah
ganggang
yang
berwarna
coklat/pirang.
Dalam
kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan xanthofil tetapi yang terutama adalah fikosantin yang menutupi warna lainnya dan menyebabkan ganggang itu kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangan tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 % dari berat keringnya terdiri atas laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan lebih dekat dengan selulosa daripada zat tepung. Selain laminarin, juga ditemukan manit, minyak dan zat-zat lainnya. Dinding selnya sebelah dalam terdiri atas selulosa, yang sebelah luar dari pektin dan di bawah pektin terdapat algin. Selselnya hanya mempunyai satu inti. Perkembangbiakannya dapat berupa zoospora dan gamet. Kebanyakan phaeophyceae hidup dalam air laut dan hanya beberapa jenis saja yang dapat hidup di air tawar. Thallusnya dapat mencapai ukuran yang amat besar dan sangat berbeda-beda bentuknya (Tjitrosoepomo 1994). Kelompok alga coklat memiliki bentuk yang bervariasi dan sebagian besar jenis-jenisnya berwarna coklat atau pirang. Warna tersebut tidak berubah walaupun alga ini mati atau kekeringan(Junaidi 2004). Ciri-ciri umum alga coklat adalah : 1. Thallus berbentuk lembaran (Padina australis), bulatan (sargassum duplicatum) atau batangan (Dictyota bartayresiana) yang bersifat lunak atau keras.
10
2. Berwarna pirang atau coklat. 3. Mengandung pigmen fotosintetik yaitu carotene, fucoxantin, klorofil a dan c Salah satu jenis dari Phaeophyta adalah Padina Australis yang memiliki klasifikasi menurut Hauck (1887) dalam Hendrik et al (2017) adalah sebagai berikut : Kingdom : Protista Phylum : Phaeophyta Class : Phaeophyceae Ordo : Dictyotales Family : Dictyotaceae Genus : Padina Spesies : Padina australis Bentuk thallus seperti kipas membentuk segmen-segmen lebaran tipis, tinggi thallus 10,2-10,4 cm. Berwarna coklat kekuningan karena mengandung pigmen fikosantin. Memiliki garis konsentris ganda pada permukaan bawah berjumlah 2. Perkapuran terjadi di bagian permukaan daun, memiliki holdfast rhizoid seperti cakram yang biasa digunakan untuk menempel pada substratnya, dengan panjang 1,12,1 cm. Padina dapat dilihat pada gambar 2.6 (Hendrik et al 2017).
Gambar 2.6 Padina australis (Junaeidi 2004) 2.5.3 Rhodophyta Rhodophyta sebagian besar hidup dilaut, terutama dalam lapisan-lapisan air yang dalam, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya gelombang pendek. Hidupnya melekat pada suatu substrat dengan benang-benang pelekat. Hanya beberapa jenis
11
saja yang hidup di air tawar. Rhodophyta berwarna merah sampai ungu, beberapa juga berwarna pirang kemerah-merahan. Kromatofora berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid (Juana 2009). Salah satu jenis dari divisi Rhodophyta adalah Acanthopora muscoides yang memiliki klasifikasi menurut Boergesen (1802) dalam Hendrik et al (2017) adalah sebagai berikut : Kingdom : Protista Filum : Rhodophyta Class : Rhodophyceae Ordo : Ceramiales Famili : Ceramiceae Genus : Acanthophora Spesies : Acanthophora muscoides Bentuk thallus silindris, berduri tumpul seperti bulatan lonjong. Tumbuh melekat pada batu di daerah rataan terumbu karang. Acanthophora muscoides dapat dilihat pada gambar 2.7
Gambar 2.7 Acanthophora muscoides (Junaidi 2004) 2.6 Habitat Makroalga laut merupakan tumbuhan yang tidak berpembuluh yang tumbuh melekat pada substrat didasar laut. Penyebaran makroalga laut terdapat didaerah intertidal dan subtidal wilayah yang masih terkena sinar matahari yang cukup untuk
12
dapat melakukan proses fotosintesis. Habitat makroalga laut berada pada perairan paparan terumbu dan tubir dengan kedalaman 0,5-10m (Atmadja et al 1996). Makroalga laut akan tumbuh dengan baik didaerah yang cukup untuk melakukan fotosintesis, seperti pada daerah intertidal sampai daerah subtidal. Daerah intertidal merupakan daerah terbuka yang selalu tersinari cahaya matahari dan terendam oleh air secara bergantian saat terjadi pasang surut air laut, sedangkan daerah subtidal adalah bagian laut yang terletak antara batas surut terendah dengan paparan benua dengan kedalaman 200 m. Tubuh makroalga laut tidak memiliki akar sejati, sehingga untuk hidup akan menempel pada substrat dan seluruh bagian talus mengambil air dengan cara osmosis. Substrat tersebut dapat berupa lumpur, pasir, karang, karang mati, kulit kerang, dan batu (Atmadja 1999). 2.7 Parameter Kualitas Perairan 2.7.1 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme, karena itu suhu sangat mempengaruhi baik metabolisme maupun perkembangan organisme. Perairan tropis memiliki perbedaan atau variasi suhu air laut yang tidak terlalu besar disepanjang tahun yakni berkisar antara 27-32 ℃. Temperatur ideal untuk pertumbuhan makroalga diadaerah tropis yaitu 15-30 ℃ (Romimohtarto 1999). Perubahan suhu yang ekstrim akan mengakibatkan kematian bagi makroalga yakni terganggunya tahap-tahap reproduksi dan terhambatnya pertumbuhan. Secara fisiologis, suhu rendah mengakibatkan aktifias biokimia dalam tubuh thalus berhenti. Apabila suhu terlalu tinggi akan mengakibatkan rusaknya enzim dan hancurnya mekanisme biokimiawi dalam thalus makroalga (Chapman 1997). 2.7.2 Salinitas Salinitas merupakan ukuran bagi jumlah zat padat yang larut dalam suatu volume air dan dinyatakan dalam permil. Menurut Atmadja (1999) makroalga tumbuh pada perairan dengan salinitas antara 13-37 %/ Menurut Lunning (1990) dalam Meifri (2017) makroalga laut umumnya hidup dilaut dengan salinitas antara
13
30-32%, namun banyak jenis makroalga laut hidup pada kisaran salinitas yang lebih besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan alga laut, salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan proses fisiologis. 2.7.3 Cahaya Makroalga laut merupakan organisme fotosintetik yang membutuhkan cahaya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan perkembanganny. Setiap jenis makroalga mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap intensitas cahaya. Perairan dengan kondisi intensitas cahaya yang tinggi dapat mendukung makroalga untuk melangsungkan proses fotosintesis dengan baik (Kadi et al 1988). 2.7.4 pH Makroalga laut dapat tumbuh pada pH sekitar 6-9 sedangkan nilai pH 7,5-8 merupakan nilai pH yang optimal untuk makroalga dapat tumbuh dengan baik. Pertumbuhan makroalga akan terganggu apabila nilai pH tidak sesuai. Hal tersebut karena pH sangat berpengaruh terhadap aktifitas enzim (Meifri 2017). 2.7.5 Nutrisi Keberadaan nutrisi bagi makroalga laut diperoleh dan disediakan oleh air laut disekelilingnya. Makroalga laut memerlukan unsur makro/mikro dalam bentuk senyawa organik yang terlarut dalam perairan sehingga diperlukan gerakan air yang cukup. Kesuburan masa reproduksi makroalga laut dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dalam perairan, antara lain adalah unsur Nitrogen, Fosfor, Belerang, Magnesium dan Karbon (Meifri 2017). 2.8 Teluk Prigi Teluk Prigi adalah perairan di Pesisir Samudera Hindia yang berbentuk teluk yang dikelilingi oleh bentang alam tebing yang tinggi. Secara administratif Teluk Prigi berada dalam wilayah Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa timur. Sebagai bagian wilayah pesisir perairan selatan Jawa perairan Teluk Prigi sangat ditentukan iklim Samudera Hindia. Karakteristik gelombang laut berenergi tinggi dan pantai
14
berbatu terjal (rocky -shore) telah menjadikan ekosistem dan habitat yang unik. Wilayah perairan Teluk Prigi dapat dilihat pada gambar 2.8 (Wibowo 2013).
Gambar 2.8 Perairan Teluk Prigi (Kadi 2015) Teluk Prigi meliputi Pantai Popoh, Pasir-Putih, Damas, dan Cengkrong termasuk wilayah Kabupaten Trenggalek, Sedangkan Pantai Popoh sebagian perairannya masuk dalam wilayah Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Perairan Teluk Prigi secara umum mempunyai paparan terumbu karang dan Pantai termasuk berpaparan sempit, mulai dari arah Pantai Popoh sampai ke Pantai Cengkrong panjang mencapai 7-8 kilometer. Lebar paparan terumbu dari garis pantai sampai ke arah tubir mencapai 50-150 meter, ujung tubir langsung dalam dan daratan tepi pantai berpasir atau berbatu. Paparan terumbu dari garis pantai terbagi atas substrat pasir, batu karang daerah tubir karang hidup. Perairan tersebut berpaparan berpaparan terumbu karang (reef plats), berpunggung terumbu (ridge) dan bagian luar bertubir (reef slope). Tipe paparan terumbu karang tersebut merupakan habitat dari berbagai jenis makroalga (Kadi 2015). 2.9 Risalah Penelitian Berikut ini merupakan penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang makroalga ini dapat dilihat pada Tabel 2.1:
15
Tabel 2.1 Risalah Penelitian Nama Judul Rosi Struktur Noviyanti.2017 Komunitas Makroalga di Perairan Pulau Giliyang, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Madura
Sumber Skripsi. Universitas Trunojoyo Madura
Yumima Sinyo dan Nurito Somadayo. 2013
Jurnal Bioedukasi 1(2):120-132
Studi keanekaragaman Jenis Makroalga di Perairan Pantai Pulau Dofamuel Sidangoli Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat
Hasil Ditemukan 14 jenis makroalga yaitu Halimeda oputunia, Caulerpa recemosa, Udotea orintalis, Caulerpa serrulata, Caulerpa lentilifera, Halimeda macroloba, Padina australis, Sargassum polycystum, Sargassum oligocystum, Harmophysa cuneiformis, Turbinaria ornata, Dictyota cevicornis, Galaxaura apiculata dan Laurencia nidfica. Indeks keanekaragaman (H’) = 2,197 . Indeks keseragaman (E)= 0,893. Indeks Dominasi (D) = 0,116. Ditemukan 9 jenis makroalga yaitu Halimeda incrasta, Halimeda macrolaba, Halimeda opuntia, Halimeda Selendrica, Ceratodictyon spongiosum, Padina australis, Eucheuma sp dan Crytonemia cramulata. Jenis Halimeda makrolaba dikatagorikan memiliki nilai keanekaragaman tinggi (0,357), jenis Halimeda opuntia dikatagorikan memiliki nilai keanekaragaman rendah (0,344), jenis Cryptonemia cramulata
16
Ridho Kurniawan. 2017
Keanekaragaman Jenis Makroalga di Perairan Laut Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Kepulauan Riau
Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang
Hendrik Victor Ayhuan, Neviaty Putri Zamani, Dedi Soedharma. 2017
Anailisis Struktur Komunitas Makroalga Ekonomis Penting di Intertidal Manokwari Papua Barat.
Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 8(1) : 19-38
dikatagorikan memiliki nilai keanekaragaman rendah (0,030). Hasil penelitian ditemukan 9 jenis ergesenia forbesii, halimeda discoides, caulerpa racemosa, turbinaria conoides, dictyopteris polypodioides, padina australis, sargassum polycarpum, amphiroa fragilissima dan eucheuma spinosum. Nilai Keanekaragaman jenis makroaga di perairan laut Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan dikategorikan “Sedang” dengan nilai 2, Keseragaman jenis dengan kategori “Tinggi” dengan nilai 0,88, dominansi jenis dengan kategori “stabil” dengan nilai 0,18 dan kelimpahan jenis sargassum polycarpum lebih melimpah jumlahnya di banding jenis lain. . Komposisi spesies makroalga ditemukan 28 spesies yang diklasifikasikan ke dalam 3 divisi, 3 kelas, 11 ordo, 16 famili, dan 19 genus. Spesies alga yang di temukan tersebut dikelompokkan dalam 3 divisi utama yaitu alga hijau (Chlorophyta) 14 spesies, alga merah
17
Meifri Fafurit. 2018
Struktur Komunitas Alga Laut Makrobentik (Seaweed) di Zona Intertidal Pantai Bama Taman Nasional Baluran
Skripsi. Universitas Jember
(Rhodophyta) 8 spesies dan alga coklat (Phaeophyta) 6 spesies. Jenis alga makrobentik yang ditemukan tergolong dalam tiga divisi yaitu Chlorophyta, phaeophyta, dan rodhophyta terdiri atas 11 suku dan 17 jenis. Jenis yang paling mendominasi adalah Sargassum polycystum, dan INP sebesar 41,15%. Jenis Halimeda macrolaba dengan INP sebesar 39,89% dan jenis Udotea sp. Sebesar 0,79%/
18
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian ini berlokasi di Teluk Prigi, tepatnya di Kabupaten Trenggalek. Kegiatan penelitian untuk pengambilan data dilapang dilaksanakan selama 5 hari mulai ta nggal 01 November 2018 sampai dengan tanggal 05 November 2018. Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Pengambilan sampel makroalga menggunakan 3 stasiun pengamatan. Guna mempermudah proses penelitian pengamatan dan pengambilan sampel dilaksanakan pada saat pantai mengalami surut terendah. Titik lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.
19
Tabel 3.1 Titik lokasi penelitian Stasiun pengamatan Stasiun 1 Desa karanggandu Stasiun 2 Desa Tasikmadu Stasiun 3 Desa Karanggongso
Titik 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Titik koordinat Latitude Longitude S 08⁰20’02.52” E 111⁰41’21.99” S 08⁰19’59.56” E 111⁰41’21.99” S 08⁰19’54.32” E 111⁰41’22.74” S 08⁰17’20.64” E 111⁰43’03.01” S 08⁰17’18.74” E 111⁰43’08.94” S 08⁰17’17.45” E 111⁰43’16.14” S 08⁰18’21.52” E 111⁰44’45.63” S 08⁰18’22.65” E 111⁰44’47.11” S 08⁰18’24.52” E 111⁰44’48.59”
Kondisi Dekat tempat wisata Dekat pelabuhan Dekat pemukiman
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk pengukuran kualitas perairan dan identifikasi jenis-jenis makro alga di Teluk Prigi dapat dilihat pada tabel 3.2 Tabel 3.2 Alat dan Bahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Alat dan Bahan DO meter pH meter GPS Refraktometer Alat tulis Tissu Roll meter Transek kuadran 1 x 1 m Buku identifikasi Seccchi Disk Box Sterofoam Es Batu Alkohol 70%
Kegunaan Mengukur kandungan oksigen terlarut Mengukur pH perairan Mengukur titik koordinat Mengukur salinitas perairan Mencatat hasil pengamatan Mengeringkan alat Mengukur panjang garis transek Batasan lokasi pengamatan makroalga Panduan dalam mengidentifikasi makroalga Mengukur kecerahan perairan Tempat menampung sampel makroalga Mengawetkan sampel makroalga Mengawetkan sampel makroalga
3.3 Tahapan Pelaksanaan Penelitian 3.3.1 Persiapan alat dan bahan Persiapan alat dan bahan merupakan tahapan pertama yang dilaksanakan dalam penelitian ini. Alat yang digunakan berupa alat untuk pengambilan data makroalga
20
serta alat pengukur parameter kualitas perairan. Alat-alat untuk mengukur kualitas perairan terdiri dari, GPS yang berfungsi untuk mengetahui titik koordinat lokasi pengambilan data, DO meter digunakan untuk mengukur kadar oksigen terlarut dan suhu perairan, pH meter untuk mengukur derajat keasaman, refraktometer untuk mengukur salinitas perairan, secci disk untuk mengukur kecerahan perairan. Sedangkan untuk pengambilan data makroalga alat yang digunakan yaitu rol meter sepanjang 50 m dan transek kuadran 1 x 1 m, serta buku identifikasi untuk mengetahui jenis makroalga yang ditemukan, dan juga kamera serta alat tulis untuk dokomentasi dan mencatat data. 3.3.2 Penentuan Lokasi Penentuan titik sampling dilakukan pada daerah pasang surut perairan teluk Prigi. Penentuan titik lokasi pengambilan data yang dipilih dengan pertimbangan lokasi dimana ditemukan makroalga pada keadaan lingkungan yang berbeda. Yaitu pada pada lokasi pelabuhan yang terletak di desa Tasikmadu tepatnya disekitar Pelabuhan Perikanan Nasional Prigi. Lokasi ke 2 berada pada desa Karanggandu yang merupakan stasiun dengan katagori dekat dengan tempat wisata tepatnya Pantai Cengkrong. Lokasi ke 3 berada di desa Karanggongso yang merukan stasiun dengan katagori dekat dengan tempat pemukiman. 3.3.3 Pengambilan Data 3.3.3.1 Data makro alga Metode pengambilan sampel menggunakan metode transek (line transect) dengan tekhnik sampling kuadran (English et al 1997 dalam Hendrik et al 2017). Pengambilan sampel dilakukan pada 3 stasiun dengan masing-masing 3 titik lokasi penelitian dimana penempatan transek diletakan tegak lurus (vertikal) terhadap garis pantai sepanjang 50 m dengan 5 transek kuadran (1x1m) jarak antar kuadran dalam satu garis transek adalah 10m serta jarak antar transek 50 m. Pencatatan data jenis makroalga dilakukan disetiap plot dengan cara mencatat karekteristik morfologi setiap jenis makroalga yang ditemukan didalam plot. Persen penutupan dicatat
21
dengan cara membatasi plot ukuran 1x1m2 menjadi 25 bagian yang sama sehingga setiap batasan plot mewakili 4 % penutupan, hal tersebut berdasarkan estimasi % penutupan makroalga laut oleh McKenzle et al (2001) dalam Meifri (2016). Pengamatan basah dari setiap spesimen dibuat untuk kepentingan identifikasi jenis. Pengawetan dilakukan dengan cara merendam alga laut kedalam alkohol 70%. Sebelum dibuat awetan, dilakukan pengambilan gambar untuk mendokumentasikan warna dan morfologi karena umumnya makroalga laut berubah warna (Atmadja et al 1996). 3.3.3.2 Data kualitas perairan Pengukuran kualitas perairan dilakukan dengan cara mengambil sampel air dan mengukur secara insitu di perairan teluk Prigi kabupaten Trenggalek. Parameter kualitas perairan yang diukur yaitu: Salinitas, pH, Oksigen terlarut, suhu dan kecerahan. 1.
Salinitas Pengukuran salinitas mengunakan alat refraktometer yang terlebih dahulu
dikalibrasi dengan menggunakan aquades, bertujuan agar alat yang dgunakan dalam keadaan standart. Sampel air laut diambil dengan menggunakan pipet tetes untuk diteteskan pada lensa yang terdapat pada refraktometer, setelah itu dilakukan pembacaan skala pada lensa yang terdapat pada refraktometer mengenai nilai salinitas dari sampel air yang diambil dengan satuan ‰ (SNI 06-2412-1991 dalam Kurniawan 2017). 2.
pH Nilai pH pada perairan diukur dengan menggunakan pH meter. Sampel yang
akan diuji diambil dengan menggunakan wadah plastik. Prosedur pengujian pH dengan menggunakan meter diawali dengan melaukan kalibrasi alat pH meter dengan larutan penyangga sesuai instruksi kerja alat setiap kali akan melakukan pengukuran. Keringkan dengan kertas tisu selanjutnya bilas elektoda dengan air suling. Celupkan elektroda kedalam contoh uji sampai pH meter menunjukan nilai pembacaan yang
22
tetap. Catat hasil pembacaan skala atau angka tampilan dari pH meter (SNI 066989.11-2004 dalam Kurniawan 2017). 3.
Oksigen Terlarut Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan alat DO meter.
Prosedur pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan cara probe oksigen terlarut disiapkan dan dimasukan kedalam socket DO pada alat dengan benar dan pada posisi yang tepat, tombol “power” ditekan untuk menghidupkan alat. Tombol “mode” pada alat ditekan, hingga layar alat menunjukan tampilan “% O2”. Dibiarkan selama 5 menit hingga angka stabil dan tidak berubah. Kalibrasi alat dilakukan sebelum melakukan pengukuran, dengan cara menekan tombol “rec” dan “hold” secara bersamaan. Tombol “enter” ditekan, tunggu selama 30 detik, hingga pada layar menunjukan tampilan “%O2” menunjukan angka 20.9 tombol “func” ditekan hingga menunjukan tampilan “mg/L” kemudian alat dapat digunakan untuk pengukuran oksigen terlarut dengan cara dicelupkan kedalam sampel air yang akan diuji ditunggu sampai nilai nya tetap dan tidak berubah untuk selanjutnya dapat dicatat hasilnya (Lutron CO.LTD.ISO 9001 dalam Kurniawan 2017). 4.
Suhu Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan multi tester, pengujian
suhu dilakukan bersamaan dengan pengukuran oksigen terlarut. Pengukuran suhu dilakukan dengan menghidupkan multi tester dengan menekan tombol “on” kemudian probe dimasukan untuk pengukuran suhu. Selanjutnya probe pada alat tersebut dicelupkan ke perairan yang akan diukur dengan seluruh bagian probe harus tercelup didalam air. Setelah itu didiamkan beberapa menit sampai dapat dipasitkan angka yang ditunjukan pada layar berada dalam kondisi tidak bergerak (stabil). Kemudian nilai suhu yang ditunjukan pada layar sebelah kiri bawah tersebut dicatat hasilnya (Lutron.CO.LTD.ISO 9001 dalam Kurniawan 2017).
23
5.
Kecerahan Pengukruan kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk dengan
cara dimasukan kedalam perairan sampai untuk pertama kalinya tidak tampak lagi, kemudian ditarik secara perlahan sehingga untuk pertama kalinya secchi disk nampak. Berikut ini merupakan rumus yang digunakan untuk menghitung kecerahan (SNI 06-2412-1991 dalam kurniawan 2017) : 𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑎ℎ𝑎𝑛 =
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 (𝑚) + 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘 (𝑚) 2
3.3.4 Perhitungan Data 1. Indeks Keanekaragaman Keanekaragaman jenis biota perairan dapat diketahui dengan menggunakan indeks shannon-Wienner (H’). Kisaran nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada tabel 3.2. Berikut ini merupakan rumus indeks keanekaragaman menurut Ludwig dan Reynolds (1988) dalam Hendrik et al (2017) yaitu : 𝑠
𝑛𝑖 𝑛𝑖 𝐻 = ∑ ( ) 𝑙𝑛 ( ) 𝑁 𝑁 ′
𝑡=1
Keterangan : H’ ni N
: Indeks keanekaragaman : Jumlah individu setiap jenis i : Jumlah total individu
Tabel 3.3 Kisaran nilai indeks keanekaragaman No. Keanekaragaman 1. H’<2,0 2. 2,03 Sumber : (Palalo 2013).
Katagori Rendah Sedang Tinggi
24
2. Indeks Keseragaman Keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan yaitu komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Kisaran nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada tabel 3.3. Berikut ini merupakan rumus untuk mengetahui indeks keseragaman menurut Krebs (1989) dalam Hendrik (2017)yaitu : 𝐸=
𝐻′ 𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑘𝑠
= ln 𝑆
Keterangan : H’maks = ln S : Jumlah Individu E : Indeks Keseragaman H’ : Indeks Keanekaragaman Tabel 3.4 Kisaran nilai indeks keanekaragaman No. Keseragaman 1. 0,00<E<0,50 2. 0,50<E<0,75 3. 0,75<E<1,00 Sumber : Palalo (2013)
Katagori Rendah Sedang Tinggi
3. Dominasi Dominasi jenis tertentu di perairan dapat diketahui dengan menggunakan indeks dominansi Simpson. Kisaran nilai indeks dominasi dapat dilihat pada tabel 3.4. Berikut ini merupakan rumus indeks dominsi menurut Krebs (1989) dalam Hendrik (2017) yaitu : 𝑠
𝑛𝑖 2 𝐷 = ∑( ) 𝑁 𝑡=1
Keterangan : D ni N
: Indeks Dominansi Simpson : Jumlah individu jenis i : Jumlah total individu seluruh jenis
25
Tabel 3.5 Kisaran nilai dominasi No. Dominasi (D) 1. D=0 2. D=1 Sumber : Hendrik (2017)
Katagori Stabil Labil
D = 0, Berarti tidak terdapat sspesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. D = 1, Berarti terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena tekanan ekologis (stress). Semakin besar nilai indeks dominasi semakain besar kecenderungan salah satu spesies mendominansi populasi. Suatu komunitas mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu tersusun oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies yang sama. Sebaliknya jika komunitas itu tersusun oleh sangat sedikit spesies dan jika hanya sedikit saja spesies yang mendominansi, maka keanekaragamannya renda (Fachrul 2007). 4. Kepadatan Jenis Kelimpahan diartikan sebagai jumlah individu yang ditemukan persatuan luas. Berikut ini merupakan rumus kelimpahan menurut Krebs (1989) dalam Hendrik (2017) yaitu : 𝐾=
𝑛𝑖 𝐴
Keterangan : K ni A
: Kelimpahan jenis (individu/m2) : Jumlah individu dari spesies ke i (individu) : Luas area pengamatan (m2)
26
3.3.5 Analisis Data Analisis secara deskriptif merupakan tipe analisis data yang digunakan pada penelitian ini. Data yang dideskripsikan yaitu data mengenai jenis Makroalga yang ditemukan setelah melalui proses identifikasi untuk mengetahui jenis-jenis yang tersebar, komposisi jenis dan keanekaragam jenis makroalga dengan mencari nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dominansi dan kelimpahan jenis makroalga. Form identifikasi jenis makroalga dapa dilihat pada Tabel 3.6 . Tabel 3.6 Form identifikasi jenis makroalga No.
Ciri-ciri
Gambar lapang
Gambar literatur
Spesies
Data hasil pengukuran parameter lingkungan perairan akan dibandingkan dengan standar baku mutu Kepmen-LH No.51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut dapat dilihat pada (Tabel 3.7). Data yang diperoleh dilapangan akan dianalisis secara tabulasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Tabel 3.7 Parameter perairan Parameter Perairan Suhu Kecerahan pH Salinitas Oksigen terlarut
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Standart Baku Mutu
27
DAFTAR PUSTAKA Antonius, p.,Rumengan., Desy, A., Billy, J., dan Rene, C, K. 2014. Kajian anti piretik dan anti oksidan dari ekstrak alga hijau boergesenia forbesii. Jurnal Rumengan. 1(1): 1-12 Aslan, L. M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. 97 Halaman. Atmadja, W.S., Kadi, A., dan Subagdja, W.1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta:Puslitbang Oseanologi, LIPI Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 198 Halaman. Ferawati, E., Dwi, S.W., dan Insan, I. 2014. Studi komunitas lamun pada berbagai substrat diperairan pantai permisan kabupaten cilacap. Scripta Biologica, 1(1): 55-60 Guilermo, D,P., dan Laurence, J,M. 2008. Environmental status of the Great Barier Reef:Macroalgae (Seaweds). Great Barrier Reef Marine Park Authority Hendrik, V, A,. Neviaty, P, Z,. Dan Dedi, S. 2017. Analisis struktur komunitas makroalga ekonomis penting di perairan intertidal manokwari, Papua Barat. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 8(1):19-38 Isdradjad, S., Edy, S., Ucun, J., Bahtiar., dan Harmin, H . 2009. Seri Biota Laut Rumput Laut Indonesia. Kendari. UNHALU Press Junaedi, W. A. 2004. Rumput Laut, Jenis dan Morfologinya. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Nabire. Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta 71 halaman. Kadi, A. 2015. Stok rumput laut alami diperairan di perairan Teluk Prigi Kabupaten Trenggalek. Jurnal Biosfera. 32(3) : 176-184 Kurniawan, A. 2017. KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROALGA DI PERAIRAN LAUT DESA TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU. Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang. Marianingsih, P., Evi, A., Teguh, S. 2013. Inventarisasi dan identifikasi makroalga diperairan pulau untung jawa. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Negeri Lampung 28
Meifri, F. 2016. Struktur komunitas alga laut makrobentik (seaweed) di zona intertidal pantai Bama Taman Nasional Baluran. Skripsi. Universitas Negeri Jember Nurhadi ., dan Sumarsono. 2017. Analisis dampak pelabuhan ikan - ppn prigi terhadap peningkatan pendapatan wilayah Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek dengan metode input- output analisis. Jurnal Kelautan. 10(2) : 185-191 Palallo A. Distribusi Makroalga Pada Ekonomis Lamun Dan Terumbu Karang Di Pulau Bonebatang Kecamatan Ujung Tanah Kelurahan Barang Lompo. Makasar: Universitas Hasanuddin Makasar, 2013. Resky, A. 2017. Biodiversitas Makroalga Di Pantai Puntondo Kecamatan Mangara’bombang Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Sains Dan Teknologi Uin Alauddin Makassar Robert, E,L. 2008. Phycologi :Fourth edition. Colorado. Cambridge University Press Sukiman ., Aida, M., Sri, P.A., Hilman, A., dan Evy, A. 2014. Keanekaragaman dan distribusi spesies makroalga diwilayah sekotong lombok barat. Jurnal Penelitian UNRAM. 18(2) :71-81 Wibowo, K., dan Adrim, M. 2013. Komunitas ikan-ikan karang di teluk prigi trenggalek, jawa timur. Jurnal zoo Indonesia. 22(2): 29-38
29