A. PENGERTIAN BIOTEKNOLOGI Menurut Primrose (1987), bioteknologi merupakan eksploitasi komersial organisme hidup atau komponennya seperti: sel, enzim. REPLIKASI DNA PADA PROKARIOT DAN EUKARIOT a. Replikasi DNA Pada Prokariot Replikasi DNA terjadi dengan dua arah yang berbeda. Satu untai disintesis dengan arah 5’à3’ (untai disintesis secara kontinyu; untai maju) dan satu untai lainnya disintesis dengan arah 3’à5’ (untai disintesis dengan fragmen-fragmen pendek (fragmen okazaki) dengan arah 5’à3’; untai mundur). Pada untai maju, untai disintesis dengan bantuan DNA pol III. Sedangkan, pada untai mundur, replikasi dimulai dengan adanya RNA primer yang disintesis oleh DNA primase. Iniasiasi ini terjadi pada titik oriC dengan membentuk gelembung replikasi. Kemudian RNA primase mengalami pemanjangan, kemudian dilanjutkan dengan DNA pol III yang menginiasis sintesis DNA pada ujung bebas 3-OH RNA primer. Kemudian DNA pol I menyingkirkan RNA primer dan mensintesis DNA untuk mengantikannya, terakhir DNA ligase menyambungkan antar fragmen dengan mengkatalisis ikatan kovalen. Terdapat beberapa komponen yang bertanggung jawab pada proses replikasi. Enzim helikase berfungsi untuk membuka untai ganda DNA. Ketika terbuka, untai DNA dilapisi oleh SSB protein agar tetap terjaga dalam bentuk yang siap direplikasi (tidak membentuk hairpin). Selain itu, juga terdapat topoisomerase yang berfungsi untuk merusak DNA dan menggabungkan kembali. b. Replikasi DNA Pada Eukariot Proses replikasi DNA pada eukariot memiliki banyak kesamaan, namun ada beberapa hal yang membedakan. Perbedaan dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel Perbedaan Replikasi DNA pada eukariot dan prokariot
Aspek
Eukariot
Prokariot
Panjang RNA primer dan fragmen okazaki
Lebih pendek
Lebih panjang
Replikasi DNA
Hanya sebagian kecil pada siklus sel (fase S)
Terus-menerus selama siklus sel
Titik Ori dan Replicon
Lebih dari satu
Tunggal
RNA pol yang terlibat pada masingmasing replisom
3 DNA pol berbeda (Pol α, δ, ε)
DNA pol 1 jenis
Pada ujung kromosom eukariot terdapat strukur untik yang disebut telomer. Bagian ini tidak dapat direplikasi oleh DNA pol, dimana tidak ada untai DNA yang menyediakan ujung 3’ OH untuk polimerisasi deoxyribonukleotida setelah RNA primer disingkirkan, sehingga dalam replikasinya membutuhakn enim yang mengandung RNA yang disebut telomerase.
PCR Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular. PRINSIP-PRINSIP UMUM PCR Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang
komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA. PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target DNA yang diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier seperti tampak pada bagan di atas (Newton and Graham, 1994). PELAKSANAAN PCR Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti yang telah disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari masing-masing komponen tersebut. 1. Templat DNA Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan
dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada. Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung dari tujuan eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat dan sederhana untuk pendedahan DNA kromosom ataupun DNA plasmid. Prinsip metode lisis adalah perusakan dinding sel tanpa harus merusak DNA yang diinginkan. Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis. Komposisi buffer lisis yang digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa digunakan mempunyai komposisi sebagai berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1 mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya digunakan untuk jenis sampel yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut. Contoh lain dari buffer lisis adalah buffer lisis K yang mempunyai komposisi sebagai berikut: buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2); 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K ini biasanya digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan virus.Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengancara mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode standar yang tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari komponenkomponen lain. Dengan demikian akan diperoleh kualitas DNA yang lebih baik dan murni. 2. Primer
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmenDNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari databaseGenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang terdekat. Dalam melakukan perancangan primer harus dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: a. Panjang primer Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan ini akan menyebabkan lebih mahal. b. Komposisi primer. Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas primer yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (% jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3’
sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan spesifisitas primer. c. Melting temperature (Tm) Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 – 65o C. d. Interaksi primerprimer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di samping itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan berpengaruh pada efisiensi proses PCR. 3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates) dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan. 4. Buffer PCR dan MgCl2 Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari berasal MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas
DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan. Tetapi disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan. 5. Enzim Polimerase DNA Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat termostabil sampai temperatur 95 o C. Aktivitas polimerase DNA bergantung dari jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi . Sebagai contoh adalah enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas spesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polimerase (diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA berkaitan erat dengan buffer PCR yang dipakai. Dengan menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai 35 kilo basa. Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga kilo basa) memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah diperlukan polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan kapasitas tinggi (High-salt buffer). OPTIMASI PCR Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang
digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA, suhu, konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu. 1. Jenis polimerase DNA Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi. 2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2, polimerase DNA. Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi. 3. Suhu Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95oC, ini semua tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan
dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan adalah 94oC. Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar antara 37 – 60oC. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm– 5)oC sampai dengan (Tm + 5)oC. Dalam menentukan suhu annealing yang digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan nontarget, dan keberhasilan suatu proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen. Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72oC karena suhu tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan untuk proses PCR. 4. Buffer PCR Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffernya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer” (pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt buffer”. 5. Waktu Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat umumnya dilakukan selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan merusak templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas
polimerase DNA. Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang primer. Untuk panjang primer 18 – 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik. Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negatif untuk menghindari kesalahan positif semu. Prinsip Dasar Teknologi DNA Rekombinan Teknik dalam manipulasi gen sangat kompleks dan beragam. Namun prinsip-prinsip dasar dalam teknologi DNA rekombinan cukup sederhana yang meliputi tahapan sebagai berikut (Chakrapani dan Satyanarayana, 2007). 1. Generasi fragmen DNA dan pemilihan bagian yang diinginkan dari DNA (misalnya gen manusia). 2. Memasukkan atau menyisipkan DNA yang terpilih ke dalam kloning vektor untuk membuat DNA rekombinan. 3. Pengenalan vektor rekombinan ke sel inang (misalnya bakteri). 4. Perbanyakan dan seleksi klon yang mengandung molekul rekombinan. 5. Ekspresi gen untuk menghasilkan produk yang diinginkan. B. Aspek-aspek dalam Teknologi DNA Rekombinan Teknologi DNA rekombinan secara khusus mengacu pada aspek-aspek diantaranya bahan molekuler rekayasa genetika, sel inang, vektor, metode transfer gen, dan strategi dalam kloning gen (Chakrapani dan Satyanarayana, 2007). 1.
Bahan Molekuler dalam Rekayasa Genetika Perangkat rekayasa genetika atau bahan molekuler yang umum digunakan dalam penelitian teknologi DNA rekombinan adalah enzim. Enzim yang berperan penting dalam teknologi DNA rekombinan adalah enzim restriksi dan enzim DNA ligase. Enzim restriksi merupakan suatu endonuklease yang memiliki kemampuan mengenal dan memotong urutan nukleotida pada basabasa secara spesifik (DNA sekuens spesifik yang panjangnya empat sampai dengan enam pasang basa), sehingga pemotongannya bersifat terarah (Chakrapani dan Satyanarayana, 2007). Enzim restriksi juga dikenal dengan nama enzim endonuklease restriksi yang ditemukan oleh Werner Arber dan Hamilton Smith tahun 1960 dari mikroba yang memotong DNA untai ganda. Enzim restriksi memotong DNA pada tempat yang tepat (bukan sembarang tempat). Bagian yang dipotong oleh enzim ini dinamakan sekuens pengenal. Suatu sekuens pengenal adalah urutan nukleotida (urutan basa) tertentu yang dikenal oleh enzim restriksi sebagai tempat atau bagian yang akan dipotongnya. Enzim DNA ligase digunakan untuk menyambung atau menyisipkan DNA. Pada tahun 1972, David Jackson, Robert Simon, dan Paul Berg berhasil membuat molekul DNA rekombinan. Mereka
menggabungkan fragmen-fragmen DNA dengan cara memasangkan (anneal) ujung sticky ends dari satu fragmen dengan ujung sticky ends fragmen lainnya, kemudian menyambungkan kedua ujung fragmen tersebut secara kovalen dengan menggunakan enzim DNA ligase. Keberadaan enzim DNA ligase sangat diperlukan untuk menangkap potongan DNA asing. Selain kedua enzim tersebut enzim (restriksi dan enzim DNA ligase), 2.
Sel Inang Sel inang merupakan sistem kehidupan atau sel yang membawa molekul DNA rekombinan. Jenis sel inang pada prokariotik (bakteri) berbeda dengan sel inang pada eukariotik (jamur, hewan dan tumbuhan). Selain efektif menggabungkan materi genetik vektor, sel inang juga mudah dibudidayakan di laboratorium untuk menghasilkan produk. Secara umum, mikroorganisme lebih banyak dimanfaatkan sebagai sel inang karena kemampuan berkembang biaknya lebih cepat dibandingkan dengan sel-sel dari organisme tingkat tinggi (Chakrapani dan Satyanarayana, 2007). Sel inang prokariotik. Escherichia coli merupakan mikroorganisme pertama yang digunakan dalam teknologi DNA rekombinan dan terus menjadi inang pilihan oleh para ilmuwan. Bacillus subtilis adalah bakteri non-patogen berbentuk batang. Bakteri ini telah digunakan sebagai sel inang dalam bidang industri untuk memproduksi enzim, antibiotik, insektisida dan lain-lain. Beberapa ilmuwan menggunakan Bacillus subtilis sebagai pengganti Escherichia coli (Chakrapani dan Satyanarayana, 2007). Sel inang eukariotik. Organisme eukariotik merupakan sel inang yang banyak digunakan untuk memproduksi protein manusia karena memiliki struktur yang komplek sehingga cocok untuk mensintesis protein komplek. Organisme eukariotik yang sering digunakan adalah ragi (Saccharomyces cerevisiae). Selain ragi, sel inang yang dapat digunakan dalam teknologi DNA rekombinan adalah sel mamalia (seperti sel-sel tikus). Keuntungan menggunakan sel mamalia sebagai sel inang adalah beberapa protein komplek yang tidak dapat disintesis oleh bakteri dapat diproduksi oleh sel mamalia seperti jaringan aktivator plasminogen. Hal ini karena sel-sel mamalia memiliki mekanisme untuk memodifikasi protein ke bentuk aktif (modifikasi setelah proses translasi). 3. Vektor/Pembawa Vektor dalam DNA rekombinan adalah molekul DNA yang membawa fragmen DNA asing yang akan dikloning. a. Plasmid Plasmid merupakan DNA bakteri yang ekstrakromosomal karena terpisah dari kromosom bakteri. DNA plasmid dapat berbentuk double-stranded (untai ganda) dan sirkular serta memiliki kemampuan mereplikasi diri. Hampir semua bakteri memiliki plasmid baik dalam jumlah yang sedikit (1-4 per sel) bahkan memiliki jumlah yang banyak (10-100 per sel). Ukurannya bervariasi antara 10500 kb. Plasmid menyumbang 0,5-5% dari jumlah DNA bakteri. b.
Bakteriofag Bakteriofag adalah virus yang bereplikasi di dalam tubuh bakteri. DNA bakteriofag menyatu dan tinggal secara permanen di dalam kromosom bakteri. Fag sebagai vektor mampu menerima fragmen DNA asing ke dalam genomnya. Penggunaan fag sebagai vektor menguntungkan sebab memiliki kemampuan membawa DNA yang lebih besar daripada plasmid. Oleh karena itu, fag lebih disukai untuk rekayasa genom sel manusia. Jenis fag yang sering dipakai adalahbacteriophage λ (phage λ) dan bachteriophage (M13). c. Cosmid Cosmid merupakan vektor yang memiliki karakteristik campuran antara plasmid dan bacteriophage λ. Nama cosmid terdiri atas dua kata yaitu “cos” yang menunjukkan bahwa cosmid
mengandung ujung kohesif (kompak/lengket) atau cossite (wadahcos). Bagian ujung tersebut perlu untuk mengemas DNA ke dalam kepala fag. Kata yang kedua adalah “mid” menunjukkan bahwa cosmid membawa sifat plasmid yang bisa bereplikasi. Cosmid dibentuk dengan menambahkan fragmen DNA phage λtermasuk cos site ke dalam plasmid. DNA asing dapat disisipkan ke dalam cosmid DNA menjadi DNA rekombinan yang bisa dikemas dalam bentuk fag. Kemudian fag tersebut diinjeksikan ke dalam E.coli.Perilaku fag seperti plasmid membuat fag tersebut memiliki kemampuan bereplikasi.
Teknik DNA Rekombinan Teknologi DNA rekombinan telah mungkinkan untuk mengisolasi DNA dari berbagai organisme, menggabungkan DNA yang berasal dari organisme yang berbeda sehingga terbentuk DNA rekombinan, memasukkan DNA rekombinan ke dalam sel organisme prokariot maupun eukariot hingga DNA rekombinan dapat berepilkasi dan bahkan dapat diekspresikan. Jadi, Teknologi DNA Rekombinan merupakan kumpulan teknik atau metoda yang digunakan untuk mengkombinasikan gen-gen di dalam tabung reaksi. Teknik-teknik tersebut meliputi: -
Teknik untuk mengisolasi DNA
-
Teknik untuk memotong DNA
-
Teknik untuk menggabung atu menyambung DNA
-
Teknuk untuk memasukkan DNA ke dalam sel hidup Perangkat yang digunakan dalam teknologi DNA rekombinan adalah perangkatperangkat yang ada pada bakteri. Perangkat tersebut antara lain adalah enzim restriksi, enzim DNA
ligase,
plasmid,
transposon,
pustaka
genom,
enzim
transkripsi
balik,
pelacak DNA/RNA. A. Isolasi DNA DNA adalah molekul yang terdapat pada semua mahluk hidup. Molekul ini sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata. Tetapi DNA dapat diekstrak dari ribuan sel sehingga DNA dapat terlihat karena jumlahnya yang sangat banyak. Tahapan dalam ekstraksi
DNA
adalah
pemecahan
sel,
keluarnya
DNA
dari
nukleus
dan
pengendapan/presipitasi DNA. Ekstraksi DNA memiliki banyak aplikasi praktis, diantaranya adalah untuk tujuan pemuliaan, evolusi, sitematik, konservasi, dll. Dalam ekstraksi DNA tumbuhan, metode ekstraksi yang sering digunakan adalah berdasarkan Doyle dan Doyle 1989). Metode ini menggunakan buffer ekstraksi yang terdiri dari: a. Elektroforesis DNA Pemisahan DNA dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel. Molekul DNA terpisah berdasarkan ukuran ketika dilewatkan pada matriks gel dengan aliran listrik. DNA
memiliki muatan negatif, dan saat berada dalam aliran listrik, akan bermigrasi melalui gel menuju kutub positif. Molekul yang berukuran besar, memiliki kesulitan melewati pori-pori gel sehingga bermigrasi lebih lambat melalui gel dibandingkan DNA yang berukuran lebih kecil. Setelah elektroforesis selesai, molekul DNA divisualisasi dengan pewarna fluorescent seperti ethidium yang berikatan dengan DNA dan berada di antara basa-basa DNA. Dua alternatif macam gel adalah poliakrilamida dan agarosa. Poliakrilamida memiliki kapasitas resolusi yang lebih tinggi, tetapi gel poliakrilamida dapat memisahkan DNA hanya dalam rentang ukuran DNA yang sempit. Jadi gel poliakrilamida dapat memisahkan DNA satu sama lainnya yang berbeda ukurannya hanya beberapa atau bahkan satu pasang basa saja tetapi pada molekul yang berukuran beberapa ratus pasang basa saja (dibawah 1000 pasang basa). Gel agarosa memiliki resolusi yang lebih rendah tetapi dapat memisahkan DNA yang berukuran sampai puluhan kilo pasang basa. DNA yang berukuran sangat panjang tidak dapat melewati pori gel bahkan pori gel agarosa. DNA yang sangat besar melewati matriks dengan satu ujung bergerak lebih dulu sedang ujung lainnya mengikuti. Akibatnya DNA diatas ukuran tertentu (30 -50 kb) bermigrasi dengan jarak yang sama sehingga tidak dapat diamati pemisahannya. DNA yang sangat panjang ini dapat dipisahkan satu sama lainnya dengan jika daerah listrik diaplikasikan dalam ‘pulses’ yang berasal secara orthogonal satu sama lainnya. Teknik ini disebut pulsedfield gel electrophoresis (PFGE). Elektroforesis juga digunakan untuk memisahkan RNA. Seperti juga DNA, RNA memiliki muatan negative, tetapi molekul RNA merupakan molekul utas tunggal dan memiliki struktur sekunder atau tersier. Untuk mengatasinya, RNA diberi perlakuan dengan glyoxal yang bereaksi dengan RNA sehingga menghalangi pembentukan pasangan basa. RNA yang ter-glyoxylasi tidak dapat membentuk struktur sekunder atau tersier sehingga
dapat
bermigrasi
dengan
mobilitas
yang
proporsional
terhadap
ukurannya. Elektroforesis juga digunakan untuk memisahkan protein dengan prinsip yang sama. b. Pemotongan DNA dengan Enzim Restriksi Enzim restriksi yang digunakan dalam biologi molekuler umumnya mengenali urutan basa yang pendek (4-8 bp) dan memotong pada posisi tertentu yang telah ditentukan dalam urutan sekuens DNA tersebut. Contohnya adalah enzim EcoRI yang ditemukan pada strainEscherichia coli dan merupakan enzim restriksi yang pertama (I) ditemukan pada spesies ini. Enzim ini mengenali urutan DNA 5′-GAATTC-3′.
Jika molekul DNA yang sama dipotong dengan enzim restriksi yang berbeda, misalnya oleh HindIII yang mengenali urutan 6pb (5′-AAGCTT-3′), atau dipotong dengan EcoRI, maka molekul DNA dipotong pada posisi yang berbeda dan menghasilkan fragmen dengan ukuran yang berbeda. Jadi sebuah molekul akan menghasilkan sebuah seri karakteristik pola pemotongan DNA saat dipotong dengan satu set enzim restriksi yang berbeda.
Enzim
restriksi
jenis
lain
seperti
Sau3A1
yang
ditemukan
pada
bakteriStaphylococcus aureus mengenali sekuens teramerik (4bp) dengan urutan 5′-GATC-3′ sehingga enzim ini memiliki frekuensi yang lebih tinggi dalam memotong DNA, kira-kira satu kali dalam 250bp. Di sisi lain terdapat enzim retriksi yang mengenali sekuens oktamerik (8 bp) yaitu enzim NotI yang mengenali uruta 5′-GCGGCCGC-3′ dan rata-rata memotong hanya sekali dalam 65 kb. Enzim restriksi tidk hanya berbeda dalam urutan basa yang dikenali, tetapi juga pada pada struktur hasil produk pemotongannya. Beberapa enzim seperti HpaI menghasilkan produk dengan ujung tumpul, enzim lain seperti EcoRI, HindIII dan PstI menghasilkan ujung lengket . Kloning DNA Kemampuan molekul DNA membentuk rekombinan dan menjaganya dalam sel disebut kloning DNA. Proses ini melibatkan vektor yang menjadi sarana DNA untuk memperbanyak klon DNA dalam sel dan ‘insert DNA’ yang disisipkan di dalam vector. Kunci untuk menghasilkan molekul DNa rekombinan adalah enzim restriksi yang memotong DNA pada tempat spesifik dan enzim lain yang yang menyambung DNA yang terpotong dengan DNA lain. Dengan menghasilkan molekul DNA rekombinan yang dapat diperbanyak pada organisme inang, fragmen DNA tertentu dapat dimurnikan dan diamplifikasi untuk menghasilkan produk dalam jumlah besar. Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai bentukcovalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.
Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA. DNA plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih tinggi daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan. 1. Kloning DNA dalam plasmid vektor DNa dipotong dengan enzim restriksi, kemudian dimasukkan ke dalam vektor untuk diperbanyak. Inang (host) yang umum digunakan untuk memperbanyak DNA adalah bakteri E. coli. Vektor DNA memiliki tiga karakteristik yaitu: a. Mengandung asal replikasi (origin of replication) yang memungkinkan DNA bereplikasi secara independen/bebas dari kromosom inang. b. Mengandung marker selektif yang menyebabkan sel yang membawa vektor (termasuk DNA yang dibawa) dapat diidentifikasi. c. Memiliki situs yang unik/khas untuk satu atau lebih enzim restriksi. Hal ini menyebabkan fragmen DNA dapat disisipkan pada tempat tertentu dalam vector sehingga penyisipan tidak mengganggu kedua fungsi lainnya. Vektor yang paling umum berukuran kecil (kira-kira 3 kb) merupakan molekul DNA sirkular disebut plasmid. Molekul ini biasanya ditemukan pada banyak bakteri. Pada banyak kasus, DNA plasmid membawa gen resistensi terhadap antibiotika. Memasukkan fragmen DNA ke dalam vector pada dasarnya merupakan proses yang mudah. Misalnya plasmid memiliki situs pengenalan untuk EcoRI, maka vector disiapkan dengan memotongnya dengan Eco RI. Potongan DNA yang akan diklon kemudian disambungkan dengan bantuan DNA ligase. b. Vektor dapat dimasukkan ke organism inang melalui transformasi Transformasi merupakan proses dimana organisme inang mengambil DNA dari lingkungan. Beberapa bakteri, tetapi bukan E. coli dapat mengambil DNA secara alami dan dikatakan memiliki kompetensi genetik. E. coli dapat bersifat kompeten mengambil DNA melalui perlakuan dengan ion kalsium. Antibiotika kemudian ditambahkan dalam medium untuk menyeleksi pertumbuhan sel yang mengambil DNA plasmid - sell ini disebut transforman. Sel yang membawa plasmid akan dapat tumbuh pada medium, sedang yang tidak membawa plasmid, tidak dapat tumbuh.
c. Perpustakaan molekul DNA (DNA library) dapat dihasilkan melalui cloning
Perpustakaan DNA merupakan populasi vector identik yang masing-masing berisi insert yang berbeda. Untuk membuat perpustakaan DNA, DNA target dipotong dengan enzim restriksi yang memberikan ukuran rata-rata insert yang diinginkan. Ukuran insert dapat berkisar kurang dari 100 bp sampai lebih dari satu megabase. DNA yang telah terpotong selanjutnya dicampurkan dengan vector yang sesuai (yang dipotong dengan enzim restriksi yang sama) dan ditambah ligase. Hal ini menghasilkan koleksi vector dengan insert DNA yang berbeda. Berbagai perpustakaan DNA dapat dihasilkan dengan menggunakan insert dari berbagai sumber. Perpustakaan DNA yang paling sederhana dihasilkan dari DNA genomik total yang disebut dengan ‘genomic libraries’.‘cDNA library’ dikembangkan untuk memperkaya ‘coding sequences’ dalam library. cDNA library dibuat dengan menggunakan mRNA yang dikonversi menjadi DNA. Proses ini disebut reverse transcription yang dilakukan oleh enzim reverse transcriptase.
Saat diberi perlakuan dengan reverse
transcriptase, mRNA dikonversi menjadi kopi DNA utas ganda yang disebut cDNA (copy DNA). Selanjutnya, proses pembentukan library sama dengan pembentukan library pada DNA genomic. cDNA dan vector diberi perlakuan dengan enzim restriksi yang sama dan fragmen-fragmen hasilnya disambungkan ke dalam vektor. d. Hibridisasi digunakan untuk mengidentifikasi klon spesifik dari sebuah library Identifikasi fragmen dari sebuah gen di antara klon-kon dapat dilakukan dengan menggunakan DNA probe yang urutan DNAnya sesuai dengan sebagian dari urutan DNA gen yang diinginkan. Proses penggunaan probe dengan DNA yang dilabel digunakan untuk melakukan screening terhadap library disebut colony hybridization. cDNA library akan memiliki ribuan insert yang berbeda dan masing-masing terdapat dalam vektot umum. Setelah transformasi ke dalam bakteri khusus yang cocok sebagai inang, sel ditumbuhkan dalam cawan petri dalam media agar. Tiap sel akan tumbuh menjadi koloni dan tiap sel dalam koloni mengandung vector yang sama dan insert dari library, membrane filter dengan positive charge digunakan untuk probing. Membran ditekan di atas koloni dan cetakan koloni aakan berada pada membrane. Selanjutnya dilakukan probing terhadap filter. Filter yang mengandung sel diberi perlakuan yang memecah sel dan mengeluarkan DNA yang kemudian terikat pada filter pada lokasi yang sama dengan sel. Filter selajutnya diinkubasi dengan probe. e. PCR (polymerase chain reaction)
PCR adalah sebuah teknik biologi molekuler untuk mereplikasikan DNA dengan menggunakan enzim Taq polimerase. PCR digunakan untuk mengamplifikasi bagian DNA yang pendek (sampai 10 kb). Sejak ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1983, teknik ini telah melahirkan teknik PCR-based marker teknik lainnya yang sangat bervariasi. Protokol dasar PCR adalah: 1.
DNA utas ganda didenaturasi pada suhu 95C sehingga membentuj DNA utas yang berfungsi sebagai cetakan.
2.
DNA utas tunggal yang pendek (disebut primer) berikatan dengan DNA cetakan pada temperature rendah. Ikatan preimer terjadi pada utas yang komplementer dengan cetakan pada daerah ujung batas sekuen DNA target.
3.
Suhu ditingkatkan menjadi 72C sehingga enzim DNA polymerase dapat melakukan sintesis DNA membentuk utas ganda DNA baru.
4.
Utas ganda DNA yang baru disintesis, didenaturasi pada suhu tinggi dan siklus berulang. Produk PCR diamati dengan gel elektroforesis dengan menggunakan gel agarose ataupun gel poliakrilamida dan diamati dengan uv-transiluminator.
Antibodi Monoklonal (MAb) Penemuan-penemuan baru dibidang immunologi (ilmu yang mempelajari sistem kekebalan tubuh) telah berhasil diproduksi MAb secara massal. Penemuan MAb dengan metode hibridoma dan kloning memiliki kelebihan antara lain: peka (sensitivitas), khas (spesifitas), dan akurat. Kontribusi pengaplikasian MAb telah dapat dirasakan manfaatnya khususnya dalam dunia riset (research) seperti: enzymeimmunoassay (EIA) dan immunositokimia (immunocytochemistry). Selain itu, MAb dapat pula digunakan untuk memberikan jasa pelayanan dalam berbagai hal seperti: diagnosis suatu penyakit dengan akurat dan cepat. Antibodi atau antiserum atau disebut juga sebagai immunoglobulin (Ig) merupakan molekul glikoprotein yang tersusun atas asam amino dan karbohidrat dan banyak dijumpai dalam serum atau plasma darah. Molekul Ig dapat digambarkan menyerupai huruf Y dengan engsel (hinge). Molekul immunoglobulin dapat dipecah oleh enzim papain atau pepsin (protease) menjadi 2 bagian yakni Fab (fragment antigen binding) yaitu bagian yang
menentukan spesifitas antibodi karena berfungsi untuk mengikat antigen, dan Fc (fragment crystalizable) yang menentukan aktivitas biologisnya dan yang akan berikatan dengan komplemen. Sifat biokimiawi molekul Antibodi adalah memiliki spesifitas yang tinggi sehingga menjadi keunggulan yang kemudian dimanfaatkan menjadi suatu teknik untuk mendeteksi, mengukur, dan mengkarakterisasi molekul antigen spesifiknya (Shupnik, 1999: 4). Ada 2 macam antibodi yaitu antibodi poliklonal dan monoclonal. Antibodi polioklonal yaitu Ab yang dihasilkan oleh berbagai sel limfosit sehingga kurang spesifik karena memiliki immunokimia berbeda dan bereaksi dengan berbagai jenis epitope pada berbagai antigen. Sejak lama telah dikenal teknik pembuatan Ab poliklonal secara konvensional yaitu dengan memasukkan antigen ke tubuh organisme, maka akan merangsang pembentukan Ab yang sering dikenal dengan istilah vaksinasi (immunisasi). Antibodi yang dihasilkan secara konvensional mempunyai sifat poliklonal yakni mempunyai beberapa sifat yang disebabkan antigen yang digunakan belum dimurnikan, sehingga kurang spesifik untuk tujuan tertentu seperti riset dan terapi. Antibodi monoklonal yaitu Ab yang dihasilkan oleh sel limfosit (klone sel plasma) yang terpilih dan memiliki sifat sangat spesifik. Produksi molekul Ab merupakan tanggungjawab dari klone-klone sel limfosit B (sel plasma) yang masing-masing spesifik terhadap antigen. Menurut teori klonal, adanya interaksi antara antigen dengan klone limfosit B akan merangsang sel tersebut untukberdiferensiasi dan berproliferasi sehingga diperoleh sel yang mempunyai ekspresi klonal untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi monoklonal merupakan gabungan penerapan teknik hibridoma dan kloning. Pada hakekatnya produksi antibodi monoklonal tetap mengikuti prinsip teori seleksi klonal (Artama, 1990: 165). Antibodi monoklonal memiliki spesifitas dan sensitivitas yang sangat tinggi. Berdasarkan ikatan antigen-anibodi (Ag-Ab). MAb banyak digunakan untuk kepentingan
penelitian misalnya dalam teknik: radioimmunoassay (RIA), enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA), dan immunositokimia. Prospek ke depan, ada indikasi bahwa perkembangan pemanfaatan MAb dalam penelitian akan semakin meningkat dengan didukung oleh penemuan-penemuan reseptor hormon baru dengan teknik kloning cDNA untuk produksi reseptor spesifik hormon yang sangat murni dalam jumlah besar dan tetap konsisten sehingga tetap memiliki keunggulan spesifitas dan sensitivitas. Teknik tersebut akan sangat berarti terutama jika dihadapkan pada jumlah material yang sangat sedikit (extremly small amount) seperti: kadar hormon yang diproduksi oleh kultur sel granulosa folikel ovarium setelah diberi kurkumin (Heru Nurcahyo & Soejono, 2001: 9).