PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-01
IMPROVE RESULT LEARNS BIOLOGY BY APPLYING STUDY NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) AT CLASS X1 STUDENT SMA MUHAMMADIYAH 3 OF SURAKARTA Hariyatmi Lecturer of Biology Education, FKIP Muhammadiyah University of Surakarta
ABSTRACT In conducting process of teacher study can select and use some method or strategy of teach. The aims of this research is to know result improvement learns student with study NHT at class student X1 SMA Muhammadiyah of Surakarta. This study applied classroom action research design through three circles. In each circles consist of: (1) planning, (2) action, (3) observation and evaluation, (4) reflection Result data learns biology is taken by using tes, observation. Data Analysis from this research by descriptive qualitative by analysis of student growth data from cycle I till cycle III. Research result indicates that happened activity improvement and result learn student. Strategy applying NHT at study have an effect on positive to the rising value early student as high as 0,31 points or 31%, and can be concluded that study with NHT improve result learns student biology as high as 0,31 points or 31%. Key words : strategy NHT, result learns biology PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan biologi adalah menggunakan pembelajaran aktif, dimana siswa melakukan sebagian besar pekerjaan yang harus dilakukan, siswa menggunakan otak untuk mempelajari berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, mendukung dan menarik hati dalam belajar. Untuk mempelajari suatu dengan baik. Belajar aktif membantu untuk mendengar, melihat, menyampaikan pertanyaan tentang pelajaran tertentu dan mendiskusikan dengan yang lain. Dalam belajar aktif yang paling penting siswa memecahkan masalah sendiri, menemukan contoh-contoh, mencoba ketrampilan dan melaksanakan tugas yang tergantung pada pengetahuan yang telah mereka miliki atau yang akan dicapai (Silberman, 2001). Dewasa ini para ahli pendidikan memandang bahwa siswa adalah seorang individu yang aktif, oleh karena itu peran guru bukan sebagai pengajar, tetapi sebagai pembimbing, fasilitator dan pengarah. Belajar memang besifat individual, oleh karena itu belajar berarti suatu keterlibatan langsung atau perolehan pengalaman individual yang unik. Belajar juga tak terjadi sekaligus tetapi akan berlangsung penuh perulangan berkali-kali, berkesinambungan tanpa henti (Dimyati, 1999). Menurut Johnson D. W dan Johnson P.T (1997), suasana pembelajaran aktif menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa. Dalam pembelajaran Biologi diharapkan siswa benar-benar aktif yang menyebabkan ingatan siswa mengenai apa yang dipelajarinya akan lebih lama dan pembelajaran akan lebih luas jika dibandingkan belajar secara pasif, disamping itu juga menumbuhkan sikap kreatif pada siswa. Berdasarkan observasi, proses belajar Biologi di kelas SMA Muhammadiyah 5 Surakartan di kelas XB SMA Muhammadiyah Surakarta tahun ajaran 2007/2008 masih bersifat teacher oriented dan terdapat beberapa kelemahan yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Kelemahan-kelemahan yang ditemukan yaitu : (1) siswa selalu ramai pada saat pembelajaran berlangsung, sehingga konsentrasi siswa tidak terfokus, (2) keberadaan guru pada waktu pembelajaran kurang mendapat perhatian siswa, (3) siswa 425
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
menjadi bosan dengan guru dalam menyampaikan materi (metode ceramah ) yang menunjukkan pola pembelajaran teacher oriented, (4) siswa tidak berani mengajukan pertanyaan maupun menjawab, (5) pembelajaran biologi menjadi tidak menarik. Kelemahan-kelemahan di atas merupakan masalah yang perlu adanya pola pembelajaran (strategi pembelajaran) yang memberikan motivasi kepada siswa agar pembelajaran biologi menjadi menarik, menantang dan menyenangkan. Salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan adalah pembelajaran aktif ( active learning), agar permasalahan tersebut dapat dipecahkan dapat digunakan pembelajaran Numbered Heads Together (NHT). NHT pada dasarnya merupakan sebuah varian diskusi kelompok, dengan ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk salah satu siswa yang dapat mewakili kelompoknya tanpa memberi tahu dahulu siapa yang akan mewakili kelompoknya. Cara ini menjamin keterlibatan otak semua siswa. Cara ini juga merupakan suatu upaya individual dalam diskusi kelompok. NHT merupakan salah satu pendekatan struktural dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan dalam Arends (1997) untuk lebih melibatkan siswa dari awal sampai materi pelajaran. Dalam memberikan pertanyaan atau soal pada siswa, guru menggunakan 4 tahap yang tersusun : 1) Numbering; 2) Questioning; 3) Heads Together; 4) Answering. Tahap 1 : Numbering Guru membagi siswa dalam kelompok yang terdiri dari 3-5 orang anggota dan masing-masing anggota dalam kelompok mendapatkan nomor antara satu sampai lima. Tahap 2 : Questioning Guru memberi sebuah pertanyaan atau tugas pada tiap-tiap kelompok. Pertanyaan bisa bervariasi dari mulai pertanyaan yang bersifat umum hingga yang bersifat spesifik. Tahap 3 : Heads Together Semua anggota kelompok mendiskusikan pertanyaan dari guru dan memastikan setiap anggota mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Tahap 4 : Answering Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil mengangkat tangan dan menjawab pertanyaan yang diberikan guru untuk seluruh kelas. Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka (Lie, 2004). Pembelajaran NHT merupakan salah satu strategi kooperatif yang dilakukan dengan cara mengelompokkan siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 siswa. Kesulitan pemahaman materi yang dialami dapat dipecahkan bersama dengan anggota kelompok dengan bimbingan guru. Untuk itu pembelajaran NHT menitik beratkan pada keaktifan siswa dan memerlukan interaksi sosial yang baik antara semua kelompok. Pembelajaran NHT memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, pembelajaran NHT juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama siswa. Pembelajaran ini dikembangkan untuk mencapai 3 tujuan yaitu; hasil belajar kognitif, penerimaan tentang keragaman pendapat dan pengembangan ketrampilan membaca, menjawab pertanyaan, menerima jawaban teman. Pembelajaran 426
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
dengan NHT mengutamakan kerja kelompok daripada individual, sehingga siswa bekerja dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk menyalurkan informasi dan meningkatkan ketrampilan berkomunikasi (Lie, 2004). Berkaitan dengan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian Aplikasi Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) untuk meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun Ajaran 2006/2007. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian tindakan kelas dengan mengaplikasikan pembelajaran NHT, yang dilakukan di kelas X1 (N: 29 siswayang tediri dari 26 putri dan 3 orang putra) SMA Muhammadiyah 5 Surakarta Tahun Ajaran 2007/2008. Pada peleksaanan NHT siswa dikelompokan dengan beranggotakan lima siswa. Penelitian ini berbasis kelas-kelas kolaboratif, kerja sama dengan guru bidang studi Biologi untuk memperoleh hasil yang optimal melalui cara dan prosedur paling efektif. Kerja sama dengan guru bidang studi Biologi, mulai dari 1) dialog awal, 2) perencanaan tindakan, 3) pelaksanaan tindakan, 4) pemantauan (observasi), 5) perenungan (refleksi) pada setiap tindakan yang dilakunan, 6) penyimpulan hasil berupa pengertian dan pemahaman dengan prosedur dirancang sebagai berikut
Disain Penelitian Tindakan Kelas Plan Reflection
Siklus 1
Action/ Observation
Revised Plan
Reflection Action/
Siklus 2
Observation Gambar 1. Desain Penelitian Tindakan Kelas Revised Plan Reflection Action/ Observation
Gambar 1 : Disain Penelitian Tindakan Kelas Siklus tindakan dilakukan sebanyak tiga kali, pada saat penelitian materi yang dibelajarkan adalah Keanekaragaman hayati. Data dikumpulkan menggunakan observasi dan catatan lapangan untuk memperoleh data aktivitas siswa selama proses pembelajaran, serta untuk melihat bagaimana hasil belajar siswa menggunakan NHT setelah pembelajaran setiap siklus dilakukan tes berupa post test. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara deskriptif dan regresi
427
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian yang mengungkap aktifitas belajar siswa setiap siklus diperlihatkan tabel 1. Setiap aktifitas siswa diberi skor dengan rentang skor antara 1-5, (skor nilai : 5 = Sangat Baik; 4 = Baik; 3 = Cukup; 2 = Kurang Baik; 1 = Tidak Baik). Menggunakan grafik ( gambar 2), diperlihatkan bahwa semua aktifitas belajar siswa mengalami peningkatan dari sklus I ke siklus III, dengan peningkatan yang berbeda. Aktifitas yang mengalami peningkatan pada setiap siklus ada pada aktifitas diskusi, menjawab pertanyaan, menghargai teman bicara, memperhatikan saat belajar. Maka dari delapan aktifitas belajar siswa yang diamati ada empat aktifitas yang meningkat dilakukan siswa ke arah yang lebih baik.
Membaca Buku
Berdiskusi
Menjawab Pertanyaan
Mengharga i Teman bicara
Memperhat ikan
Kerjasama
Kedisiplina n
Tanggung Jawab
Tabel 1 : Skor rata-rata aktifitas belajar siswa dengan mengaplikasikan pembelajaran NHT
Siklus I
4,04
3,85
3,19
3,07
3,19
4,22
4
3,81
Siklus II
3,81
4,08
4,04
3,62
3,85
3,73
3,69
3,73
Siklus III
4,39
4,79
4,71
4,29
4,5
4,14
4,11
4,07
Rata-rata
4,08
4,24
3,98
3,66
3,84
4,03
3,93
3,87
Maka, jika di perhatikan temuan ini, aktifitas belajar siswa yang ditemui pada observasi awal yaitu : (1) siswa selalu ramai pada saat pembelajaran berlangsung, sehingga konsentrasi siswa tidak terfokus, (2) keberadaan guru pada waktu pembelajaran kurang mendapat perhatian siswa, (3) siswa menjadi bosan dengan guru dalam menyampaikan materi (metode ceramah ) yang menunjukkan pola pembelajaran teacher oriented, (4) siswa tidak berani mengajukan pertanyaan maupun menjawab, (5) pembelajaran biologi menjadi tidak menarik. Pembelajaran dengan mengaplikasikan NHT memperlihatkan adanya : 1. Peningkatkan aktifitas siswa menjadi lebih konsentrasi, diperlihatkan dengan adanya peningkatan pada aktifitas siswa mau memperhatikan saat belajar ( 3,19; 3,85; 4,71) dan mau menghargai teman yang bicara saat diskusi mauun saat bertanya maupun menjawab pertanyaan. Hal ini diperlihatkan dengan adanya peningkatan skor dari tiap siklus ( 3,07; 3,62; 4,29) 2. Perubahan pola belajar siswa dari teacher oriented menjadi student oriented diperlihatkan dengan adanya peningkatan siswa yang terlibat diskusi (3,85; 4,08; 4,79) 3. Peningkatan keberanian menjawab pertanyaan, diperlihatkan dengan adanya peningkatan skor dari tiap siklus (3,19; 4,04; 4,71) Dengan demikian empat kelemahan pembelajaran yang selama ini berlangsung pada mata pelajaran Biologi, dengan mengaplikasikan NHT dpat diatasi.
428
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Skor rata‐rata
Skor rata-rata aktivitas belajar siswa menggunkan pembelajaran NHT 5
Membaca Buku
4
Berdiskusi Menjawab Pertanyaan
3
Menghargai Teman bicara
2
Memperhatikan
1
Kerjasama
0
Siklus I
Siklus II
Kedisiplinan
Siklus III
Tanggung Jawab
Gambar 2 : Grafik Skor rata-rata aktifitas siswa belajar dengan mengaplikasikan pembelajaran NHT Hasil belajar kognitif siswa setelah diaplikasikan pembelajaran menggunakan NHT, diperlihatkan tabel 2 dan gambar 3. Tabel 2 : Skor rata-rata hasil belajar kognitif siswa setelah diaplikasikan pembelajaran NHT
Hasil tes
Skor Awal
Siklus I
Siklus II
Siklus III
6,73
6,57
7,72
7,83
Rata‐rata Skor
Skor Rata-rata hasil belajar kognitif siswa 8 7.5 7 6.5 6 5.5 Skor awal
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Gambar 3 : Skor rata-rata hasil kognitif belajar siswa setelah diaplikasikan pembelajaran menggunakan NHT Berdasarkan data tabel 2, dapat dikemukakan bahwa ada peningkatan hasil belajar kognitif menggunkan NHT. Hal ini dibuktikan dengan analisis regresi skor siklus II dibandingkan dengan skor awal. Berdasarkan perhitungan persamaan regresi besarnya koefisien regresi pengaruh hasil belajar (kognitif) siklus III terhadap kognitif awal adalah sebagai berikut : 429
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Kognitif siklus III = a + b Kognitif awal Kognitif siklus III = 5,41 + 0,31 Kognitif awal Dari persamaan regresi diatas dapat diketahui : a. Nilai a (konstan) sebesar 5,41, menunjukan bahwa sebelum dilakukan pembelajaran dengan NHT pada siklus III, skor kognitif awal siswa sebesar 5,41point. b. Koefisien regresi sebesar 0,31, menunjukkan bahwa setelah dilakukan pembelajaran dengan NHT pada siklus III, berpengaruh positif terhadap peningkatan skor kognitif awal siswa sebesar 0,31 point atau 31%. Dari hasil uji regresi linier tersebut diperoleh hasil bahwa pembelajaran NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X1 SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun Ajaran 2007/2008 sebesar 0,31 point atau 31%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di duga peningkatan sebesar 31% adalah dari adanya peningkatan pada aktifitas belajar siswa pada aktifitas diskusi, menjawab pertanyaan, menghargai teman bicara, memperhatikan saat belajar. Aktifitas yang ditemukan adanya peningktan tidak lain adalah pembelajaran aktf yang dilakkan siswa, dimana pembelajaran aktif merupakan pembelajaran yang mengajak siswa belajar secara aktif. Belajar aktif berarti belajar untuk mendominasi aktivitas pembelajaran sehingga secara aktif menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa yang baru dipelajari. Dengan belajar aktif siswa diajak untuk turut serta dalam proses pembelajaran, siswa akan merasakan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan (Zaini, 2004) dan salah satu pembelajaran aktif yang daat dilaksanakan adalah pembelajaran NHT. PENUTUP Penerapan strategi NHT pada pembelajaran di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta berpengaruh positif terhadap peningkatan aktifitas siswa pada diskusi, menjawab pertanyaan, menghargai teman bicara, memperhatikan saat belajar. Peningkatan aktifitas belajar siswa tersebut dapat meningkatkan hasil belajar kognitif siswa sebesar 31%
DAFTAR PUSTAKA Arends, R. I. 1992. Classroom Instruction and Management. New Jersey: The Mc Graw Hill Companies Dimyati, Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Slavin, E.R. 1995. Cooperative Learning. Teory, Research and Practice. Seccond Edition. Boston: Allyn and bacon Silberman, Melvin. 2001. Active Learning :101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Yappendis. Zaini, Hisyam. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta
430
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-02
IMPLEMENTATION OF 5E LEARNING CYCLE TO INCREASE STUDENTS’ INQUIRY SKILLS AND BIOLOGY UNDERSTANDING Diah Aryulina (Universitas Bengkulu)
ABSTRACT Unsatisfying students’ biology concept understanding and inquiry skills have been a problem in biology teaching at SMPN 11 Bengkulu. The purpose of this classroom action research was to improve teaching strategy by implementing 5E Learning Cycle model at the school as an effort to increase the students’ biology competency. The subjects were three biology teachers and students of VIIB, VIIIC, and IXB classes. The study was carried out on three lesson topics, except in IXB class. Improvement of the model implementation was done on each lesson topic which was consisted of several lessons. In each lesson, planning, action, observation, and evaluation-reflection as steps of classroom action research were conducted. Students’ worksheets, teaching-learning observation guidance, and tests were used as instruments to collect data. The result of this study showed that the implementation of 5E Learning Cycle model was getting better after improvement action based on reflections. During the lesson planning, teachers generally faced challenges on the development of student worksheet which should have inquiry characteristics. Teachers also described facing some difficulties in the explanation and elaboration phase of the 5E Learning Cycle model, especially in the first implementation. Improvement in students’ concept understanding was not always showed in every consecutive cycle, especially on VIIIC students. However, students’ inquiry skills such as data collection skill, data analysis skill, and conclusion drawing skill were increased after several lessons. Keyword:
inquiry skill, concept understanding, learning cycle
PENDAHULUAN Pembelajaran IPA-Biologi yang dapat mengembangkan pemahaman konsep dan juga keterampilan inkuiri siswa merupakan harapan guru biologi SMPN 11 Kota Bengkulu. Kompetensi pemahaman konsep maupun kompetensi inkuiri perlu dikuasai agar siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman konsep IPA-Biologi dan keterampilan inkuiri siswa SMPN 11 masih belum memuaskan. Belum memuaskannya kompetensi pemahaman konsep siswa dan kompetensi kerja ilmiah dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Guru mengidentifikasi faktor penyebabnya adalah pasifnya siswa dan sulitnya guru mengaktifkan siswa. Berdasarkan diskusi lanjutan dengan guru, pasifnya siswa disebabkan karena siswa belum terbiasa belajar aktif seperti bertanya, mengemukakan pendapat, dan menemukan konsep sendiri melalui penyelidikan. Terbiasanya siswa pasif tampaknya terkait juga dengan strategi pembelajaran yang diterapkan guru. Seorang guru berpendapat strategi pembelajarannya masih berupa 50% guru aktif menyampaikan materi pelajaran ke siswa. Untuk itu perlu diterapkan upaya perbaikan pembelajaran dengan menerapkan strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa. Strategi pembelajaran yang sesuai untuk pelajaran IPA antara lain adalah model Siklus Belajar. Siklus Belajar adalah model pembelajaran yang berpusat pada kegiatan penyelidikan sebelum konsep ilmiah diperkenalkan kepada siswa (Tobin, Tippins, dan Gallard, 1994). Dalam model Siklus Belajar, siswa mengembangkan pemahaman konsep melalui pengalaman langsung yang bertahap dan bersiklus. Proses belajar dimulai dengan eksplorasi ‘penemuan konsep’ oleh siswa. Selanjutnya, berdasarkan hasil eksplorasi siswa, guru memperkenalkan konsep atau istilah ilmiah. Siswa kemudian memerkuat pemahaman konsepnya dengan menerapkan konsep tersebut untuk memecahkan masalah. Pemahaman 431
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
suatu konsep menjadi dasar untuk mengeksplorasi fenomena lain atau untuk ‘menemukan’ konsep baru. Demikian proses belajar berlanjut secara siklik. Dengan ciri pembelajaran demikian, menurut Abraham (1997), Siklus Belajar merupakan model pembelajaran berdasarkan inkuiri. Model Siklus Belajar terdiri atas tahap-tahap yang saling terkait. Siklus belajar 5E (SB-5E) yang dikembangkan oleh Roger Bybee (Bybee dkk, 2006; Collete dan Chiapetta, 1994; Songer dan Ho, 2005) terdiri atas lima tahap yang yaitu tahap engage (pelibatan), tahap explore (penyelidikan/eksplorasi), tahap explain (penjelasan/ pengenalan konsep), tahap elaborate (penggalian), dan tahap evaluate (penilaian). Hasil penelitian menunjukkan model Siklus Belajar dapat meningkatkan keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep. Implementasi Siklus Belajar oleh Wasih (1999) menunjukkan peningkatan pada pemahaman konsep siswa. Penelitian oleh Lawson (2001) dan Rehorek (2004) juga menunjukkan peningkatan keterampilan inkuiri di samping pemahaman konsep pada pembelajaran biologi yang menerapkan Siklus Belajar. Begitu pula hasil penelitian Songer dan Ho (2005) yang menunjukkan berkembangnya keterampilan bernalar siswa. Hasil penelitian yang dikutip Barbra (1998) menunjukkan bahwa siklus belajar terutama bermanfaat dalam pembelajaran sains untuk: (1) meningkatkan interaksi sosial antarsiswa, (2) memberi kesempatan pada siswa melakukan kegiatan secara langsung, (3) membimbing siswa mengembangkan kosakata ilmiah, (4) mendorong pengembangan keterampilan memecahkan masalah, (5) membantu pertumbuhan kognitif, (6) memerbaiki sikap terhadap sains, serta (7) membantu siswa membangun gambaran mental dari gagasan baru. Tujuan penelitian tindakan ini adalah memerbaiki strategi pembelajaran dengan menerapkan model SB-5E untuk meningkatkan keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa SMPN 11 Bengkulu. Penelitian bermanfaat tidak saja bagi siswa dan guru, namun juga pengelola sekolah, dosen, dan perguruan tinggi terkait. METODE PENELITIAN Penelitian tindakan ini dilaksanakan di SMPN 11 Kota Bengkulu pada semester ganjil tahun pelajaran 2007/2008. Subyek penelitian adalah tiga guru IPA-Biologi dan siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB. Penelitian dilaksanakan dalam tiga siklus berkesinambungan, kecuali di kelas IXB karena keterbatasan waktu. Setiap siklus tindakan terdiri atas empat langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan evaluasi-refleksi (Elliot, 1991). Pada siklus I, tindakan yang diterapkan adalah model SB-5E dengan bimbingan penuh dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penuntun selama tahap pengumpulan data/informasi, pembahasan, dan penarikan kesimpulan pada Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Pada siklus II, tindakan yang diterapkan berupa penghilangan pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk menarik kesimpulan pada LKS. Selanjutnya, pada siklus III, pertanyaan-pertanyaan penuntun pembahasan/analisis dan penarikan kesimpulan ditiadakan. Selain itu, pada siklus II dan III juga dilaksanakan perbaikan tahaptahap pembelajaran dengan model SB-5E berdasarkan refleksi pembelajaran di siklus sebelumnya. Pada tahap perencanaan di setiap siklus dilakukan penyiapan perangkat pembelajaran dan instrumen evaluasi. Perangkat pembelajaran yang disiapkan adalah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), LKS, dan media pembelajaran. Selain berfungsi memandu siswa melakukan kegiatan, LKS juga merupakan lembar evaluasi unjuk kerja keterampilan inkuiri secara kelompok. Keterampilan inkuiri yang dievaluasi adalah keterampilan mengumpulkan data, keterampilan menganalisis data, dan keterampilan menarik kesimpulan. Instrumen evaluasi yang dikembangkan adalah pedoman observasi pembelajaran model SB-5E, tes keterampilan inkuiri, tes pemahaman konsep. Pedoman observasi dikembangkan berdasarkan tahap-tahap pembelajaran model SB-5E dalam Collete dan Chiapetta (1994). Pedoman observasi mencakup pedoman observasi kegiatan guru dan pedoman observasi keterampilan ilmiah berupa
432
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah siswa yang diamati adalah bekerjasama, jujur terhadap fakta, bertanya, dan disiplin. Pelaksanaan tindakan dilakukan di kelas VIIB, VIIIC, dan IXB. Observasi dilaksanakan terhadap pelaksanaan pembelajaran model SB-5E dan sikap ilmiah siswa. Evaluasi kegiatan guru dan aspek sikap ilmiah dari keterampilan inkuiri siswa dilaksanakan selama pembelajaran. Evaluasi pemahaman konsep serta aspek kognitif dari keterampilan inkuri dilaksanakan pada akhir pembelajaran topik tertentu. Evaluasi berupa pemberian tugas rumah dan tes tulis. Hasil observasi dan evaluasi dianalisis secara deskriptif, kemudian digunakan sebagai bahan refleksi untuk didiskusikan oleh pengamat dan guru dalam menentukan tindakan perbaikan di siklus selanjutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Hasil penelitian tindakan kelas di kelas VIIB, kelas VIIIC, dan kelas XIB diuraikan berikut ini. 1. Hasil Penelitian di Kelas VIIB Siklus I di kelas VIIB dilaksanakan pada pembelajaran IPA-Biologi untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mengidentifikasi Ciri-Ciri Makhluk Hidup’. Proses pembelajaran oleh guru secara keseluruhan dikategorikan cukup dengan skor 10 dari skor maksimum 18. Tahap pembelajaran model SB-5E yang tampak perlu ditingkatkan adalah tahap pelibatan terutama saat membimbing siswa mengaitkan pengetahuan, tahap eksplorasi, tahap pengenalan konsep, dan tahap penggalian. Pada tahap pelibatan, guru tidak bertanya tentang pelajaran sebelumnya yang terkait dengan pelajaran yang akan dipelajari, meskipun guru telah mengaitkan dengan informasi yang dikenal siswa sehari-hari. Materi pelajaran dijelaskan dengan metode ceramah pada tahap ini. Pada tahap eksplorasi, guru kurang memonitor kegiatan seluruh kelompok siswa. Tahap pengenalan konsep dan tahap penggalian tidak dilaksanakan. Siklus II dilaksanakan masih untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mengidentifikasi ciri-ciri makhluk hidup’. Pada siklus ini, tindakan yang dilakukan selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian kesimpulan di LKS adalah dengan memerbaiki penerapan tahap pembelajaran model SB-5E yang masih lemah di siklus I Tindakan perbaikan Proses pembelajaran oleh guru secara keseluruhan dikategorikan baik dengan skor 17. Materi pelajaran sudah dijelaskan pada tahap pengenalan konsep. Namun penjelasannya masih berpola deduktif. Pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk pembahasan dan penarikan kesimpulan hasil pengamatan masih dilakukan secara lisan. Siklus III dilakukan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki’. Tindakan yang dilakukan di siklus II selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian pembahasan dan kesimpulan di LKS adalah dengan merancang secara tertulis penjelasan konsep yang berpola induktif pada RPP. Proses pembelajaran oleh guru secara keseluruhan dikategorikan baik dengan skor 17. Meskipun telah dirancang secara tertulis, pada siklus ini guru tampak masih memerkenalkan konsep baru secara deduktif. Hasil angket yang diberikan pada siswa pada akhir siklus III menunjukkan bahwa seluruh siswa (35 siswa) senang belajar dengan alasan banyak kegiatan (89%), banyak kesempatan diskusi (51%), banyak memeroleh kesempatan berbicara, mengeluarkan pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman (80%), dan menjadi aktif di kelas (70%). Nilai keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa pada siklus I, II, dan III dirangkum pada Tabel 1.
433
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 1: Perbandingan Rerata Nilai dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Inkuiri Siswa Kelas VIIB Aspek dan
Proporsi
Komponen Penilaian
Penilaian (%)
1. Pemahaman konsep a. Tugas b. Tes 2. Keterampilan Inkuiri a. LKS b. Observasi c. Tes
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Nilai
Ketuntasan (%)
Nilai
Ketuntasan (%)
Nilai
Ketuntasan (%)
92
86 91 80
100
90 99 81
100
50 50
80 85 75
86
84 89 94 77
100
84 96 98 81
100
30 20 50
77 83 87 70
2. Hasil Penelitian di Kelas VIIIC Siklus I di kelas VIIIC dilaksanakan pada pembelajaran dengan kompetensi dasar ‘Mendeskripsikan sistem gerak pada manusia dan hubungannya dengan kesehatan’. Proses pembelajaran oleh guru secara keseluruhan dikategorikan baik (rerata nilai 16). Semua tahap pembelajaran dilaksanakan sesuai rencana, kecuali tahap pengenalan konsep. Pada tahap pengenalan konsep, guru tidak menekan konsep yang dipelajari siswa melalui kegiatan. Siklus II dilaksanakan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mendeskipsikan sistem pencernaan pada manusia dan hubungannya dengan kesehatan’. Tindakan yang dilakukan pada siklus ini selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian kesimpulan di LKS adalah dengan merancang penjelasan konsep secara tertulis pada RPP. Proses perbaikan pembelajaran secara keseluruhan dikategorikan baik yaitu bernilai rerata 17. Meskipun penjelasan konsep sudah dirancang oada RPP, pada pelaksanaannya penjelasan guru pada tahap pengenalan konsep masih kembali ke pola deduktif. Siklus III dilaksanakan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mendeskripsikan bahan kimia alami dan bahan kimia buatan dalam kemasan yang terdapat dalam bahan makanan’. Tindakan yang dilakukan pada siklus III selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian pembahasan dan kesimpulan di LKS adalah dengan memerbaiki pola penjelasan pada tahap pengenalan konsep. Pembelajaran pada siklus III ini dinilai baik dengan mencapai nilai maksimum 18. Pada siklus ini, secara umum guru sudah menunjukkan penjelasan konsep berpola induktif. Hasil angket yang diberikan pada siswa di akhir siklus III menunjukkan bahwa 31 dari 37 siswa berpendapat senang belajar dengan alasan banyak kegiatan (55%), banyak kesempatan diskusi (55%), banyak memeroleh kesempatan berbicara, mengeluarkan pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman (71%), dan menjadi aktif di kelas (69%). Enam siswa berpendapat biasa-biasa saja terhadap pembelajaran. Nilai keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa pada siklus I, II, dan III ditunjukkan pada Tabel 2.
434
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 2 : Perbandingan Rerata Nilai dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Inkuiri Siswa Kelas VIIIC Aspek dan
Proporsi
Komponen Penilaian
Penilaian (%)
1. Pemahaman konsep a. Tugas b. Tes 2. Keterampilan Inkuiri a. LKS b. Observasi c. Tes
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Nilai
Ketuntasan (%)
Nilai
Ketuntasan (%)
Nilai
Ketuntasan (%)
89
75 73 78
81
79 80 79
89
50 50
80 77 83
84
73 76 86 67
62
75 79 85 68
73
30 20 50
79 75 81 80
3. Hasil Penelitian di Kelas IXB Siklus I di kelas IXB dilaksanakan pada pembelajaran dengan kompetensi dasar ‘Mendeskripsikan sistem reproduksi dan penyakit yang berhubungan dengan sistem reproduksi manusia’. Penerapan pembelajaran dengan model SB-5E rata-rata dikategorikan baik dengan nilai rerata 15. Berdasarkan hasil pengamatan, tahap pelibatan terutama pada tahap membimbing siswa mengaitkan dengan pelajaran sebelumnya tidak dilaksanakan. Pada tahap penggalian, guru sudah mengajukan pertanyaan namun pertanyaan yang diajukan bukan merupakan pertanyaan tingkat aplikasi. Siklus II dilaksanakan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mengidentifikasi kelangsungan makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan’. Tindakan yang dilakukan pada siklus ini selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian kesimpulan di LKS adalah dengan merancang pertanyaan aplikasi secara tertulis pada RPP. Proses perbaikan pembelajaran secara keseluruhan dikategorikan baik yaitu bernilai rerata 18. Pertanyaan lisan yang diajukan guru pada tahap penggalian sudah merupakan pertanyaan aplikasi. Penjelasan konsep sebagain besar sudah berpola induktif. Penelitian tindakan di kelas IXB ini hanya terlaksana hingga siklus II karena di samping kendala kondisi waktu pembelajaran, masing-masing materi di siklus I dan II memerlukan waktu pembelajaran lebih lama dibandingkan materi kelas VII dan VIII. Hasil angket yang diberikan pada siswa di akhir siklus II menunjukkan bahwa 24 dari 37 siswa kelas IXB berpendapat senang belajar dengan alasan banyak kegiatan (67%), banyak kesempatan diskusi (58%), banyak memeroleh kesempatan berbicara, mengeluarkan pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman (51%), dan menjadi aktif di kelas (51%). Tiga belas (35%) siswa berpendapat biasa-biasa saja terhadap pembelajaran. Nilai keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa pada siklus I dan siklus II ditunjukkan pada Tabel 3.
435
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 3 : Perbandingan Rerata Nilai dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Inkuiri Siswa Kelas IXB Aspek dan
Proporsi
Komponen Penilaian
Penilaian (%)
1. Pemahaman konsep a. Tugas b. Tes 2. Keterampilan Inkuiri a. LKS b. Observasi c. Tes
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Nilai
Ketuntasan (%)
Nilai
Ketuntasan (%)
Nilai
Ketuntasan (%)
72
80 84 75
92
-
-
50 50
71 67 75
89
80 83 83 76
92
-
-
30 20 50
78 80 80 76
PEMBAHASAN Berikut ini diuraikan pembahasan hasil penelitian berdasarkan tiga aspek yaitu proses pembelajaran dengan model SB-5E, keterampilan inkuiri siswa, dan pemahaman konsep siswa. 1. Proses pembelajaran dengan SB-5E Proses pembelajaran dengan model SB-5E yang dilakukan guru kelas VII, VIII, dan IX secara umum menjadi lebih baik pada siklus akhir penerapannya. Perbaikan tampak pada tahap-tahap pembelajaran SB-5E yang sebelumnya masih belum optimal yaitu tahap pelibatan, tahap pengenalan konsep, dan tahap penggalian. Pada tahap pelibatan, guru mengaitkan informasi pengetahuan baru tidak saja dengan pengetahuan sehari-hari namun juga dengan pengetahuan dari pelajaran sebelumnya yang relevan. Contohnya, guru kelas VIIB mengajukan pertanyaan ‘Apa saja perbedaan ciri antara tumbuhan dengan hewan?’ untuk membantu siswa mengaitkan materi pelajaran sebelumnya yaitu ‘Ciri-ciri makhluk hidup’ dengan materi yang akan dipelajari yaitu ‘Klasifikasi makhluk hidup’. Pada tahap pengenalan konsep, guru sudah lebih sering menunjukkan pola induktif saat menjelaskan atau menekankan konsep baru yang dipelajari siswa. Contoh penjelasan atau penekanan konsep pada pembelajaran materi ‘Alat-alat pencernaan pada manusia’ yang dilakukan guru kelas VIIIC adalah “Organ seperti saluran yang berada memanjang dari bagian dalam leher hingga bawah dada disebut kerongkongan”. Pengenalan konsep dilakukan dengan lebih dahulu mengungkapkan apa yang dipelajari siswa pada kegiatannya dalam bentuk pengajuan pertanyaan-pertanyaan terkait pengamatan fenomena langsung atau gambar dan pertanyaan kesimpulan kegiatan. Sebagai contoh, pertanyaan terkait pengamatan gambar yang dilakukan guru kelas VIIIC adalah “Apakah bentuk alat-alat pencernaan sama?”, “Bagaimana letak dan bentuk masing-masing alat pencernaan pada manusia yang ditunjuk dengan angka pada gambar?”, “Apakah bentuk alat-alat pencernaan tersebut dapat terkait dengan fungsinya?” Pada tahap penggalian, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali sudah berupa pertanyaan tingkat aplikasi. Contohnya, pertanyaan penggalian yang dilakukan guru kelas VIIIC pada materi ‘Sistem gerak pada manusia’ adalah “Otot apakah yang digerakkan saat kalian mengangkat barbel? Otot manakah yang berelaksasi dan otot manakah yang berkontraksi?’ Pertanyaan penggalian yang diajukan guru kelas IXB pada materi ‘Kelangsungan hidup organisme’ adalah “Bagaimana cara tumbuhan di halaman rumahmu berkembang biak? 436
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Pembelajaran model SB-5E yang diterapkan guru menjadi lebih baik karena dilakukan tindakan perbaikan berdasarkan refleksi. Menurut Elliot (1991) dan Hopkins (1993), kemampuan guru berefleksi mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pembelajarannya diperlukan untuk melaksanakan tindakan perbaikan. Guru-guru menyadari belum terbiasanya menerapkan pembelajaran berpola induktif yang merupakan ciri model SB-5E seringkali mengakibatkan pembelajaran pada tahap-tahap awal dilaksanakan dengan pola deduktif yang biasa dilakukannya. Pola pembelajaran yang dilakukan guru dapat dikaitkan dengan struktur kognitif guru. Struktur kognitif ini, menurut Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog (1982) sulit diubah tanpa adanya empat kondisi diri yaitu 1) ketidakpuasan dengan pengetahuan yang dimiliki; 2) kemudahan pengetahuan baru untuk dapat dipahami; 3) kelogisan pengetahuan baru, 4) kebermanfaatan pengetahuan baru. 2. Keterampilan inkuiri siswa Keterampilan inkuiri siswa di kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus perbaikan pembelajaran berikutnya secara keseluruhan meningkat. Namun di kelas VIIIC, keterampilan inkuiri siswa fluktuatif. Peningkatan keterampilan proses di kelas VIIB tampak pada proses pembelajaran yang ditunjukkan dari LKS dan observasi sikap ilmiah siswa, serta produk pembelajaran yang ditunjukkan dari hasil tes tulis. Di kelas IXB, peningkatan keterampilan proses hanya pada hasil tes tulis, sedangkan pada proses pembelajaran yang ditunjukkan pada LKS dan observasi sikap ilmiah adalah tetap. Di kelas VIIIC, keterampilan inkuiri cenderung meningkat pada proses pembelajaran, namun menurun pada hasil tes tulis. Penurunan keterampilan ilmiah pada tes tulis yang terjadi pada siswa kelas VIIIC tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek. Aspek yang mungkin berperan adalah kondisi siswa saat tes dilaksanakan dan kejelasan butir tes. Peningkatan keterampilan inkuiri siswa selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran tampaknya terkait dengan strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa melatih keterampilan inkuirinya secara bertahap. Melakukan inkuiri itu sendiri, yang antara lain mencakup pengamatan, menganalisis dan mengevaluasi, merupakan cara mengembangkan keterampilan inkuiri (Collete dan Chiapetta, 1994). Pengajuan pertanyaan-pertanyaan selama pembelajaran sejalan dengan pendapat Poedjiadi (2005) bahwa bagian dari cara mengembangkan sikap selalu ‘berinkuiri’ adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan problematik. Penerapan model siklus belajar menurut Lawson (2001) dan Rehorek (2004) meningkatkan keterampilan inkuiri. Barbra (1998) yang mengutip berbagai hasil penelitian merinci keterampilan inkuiri yang dapat ditingkatkan melalui Siklus Belajar di antaranya adalah kemampuan melakukan pengamatan, kemampuan mengembangkan kosakata ilmiah, keterampilan memecahkan masalah, dan sikap ilmiah. Strategi pembelajaran yang diterapkan tersebut juga berperan memotivasi belajar siswa. Berdasarkan respon siswa terhadap angket yang diberikan, lebih dari 50% siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB senang karena pembelajaran banyak kegiatan, banyak kesempatan diskusi, dan banyak memeroleh kesempatan berbicara, mengeluarkan pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman. Kesenangan membangkitkan motivasi yang berperan dalam proses belajar (Elliot, Kratochwill, Cook, Travers, 2000). 3. Pemahaman konsep siswa Seperti pada keterampilan inkuiri, pemahaman konsep siswa kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus perbaikan pembelajaran berikutnya secara keseluruhan meningkat. Pemahaman konsep siswa kelas VIIIC secara keseluruhan menurun di siklus II dan meningkat sedikit di siklus III. Di kelas VIIB, kemampuan pemahaman konsep pada tugas dan tes meningkat. Di kelas IXB, pemahaman konsep pada tugas
437
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
meningkat, sedangkan pada tes tetap. Seperti kelas IXB, pemahaman konsep siswa kelas VIIIC pada tugas meningkat, namun pada tes menurun di siklus II dan relatif tetap di siklus III. Pemahaman konsep berhubungan dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru (Barbra, 1998; Collete dan Chiapetta, 1994). Pemahaman konsep siswa lebih tertanam kuat jika siswa aktif dalam belajarnya termasuk ‘menemukan’ konsep. Hal ini sesuai dengan pendapat siswa melalui angket yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB berpendapat mereka menjadi terdorong untuk aktif di kelas. Hasil penelitian ini yang sebagian menunjukkan peningkatan pada pemahaman konsep siswa sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lawson (2001), Rehorek (2004), Songer dan Ho (2005), serta Wasih (1999). Penelitian mereka menunjukkan bahwa selain meningkatkan keterampilan inkuiri, siklus belajar juga meningkatkan pemahaman konsep. Pemahaman konsep yang meningkat pada tugas dari siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB tampaknya terkait dengan pelaksanaannya. Tugas pemahaman konsep merupakan tugas individu, namun siswa masih memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan temannya. Berbeda dengan tes yang dilaksanakan siswa secara individual. Namun berdasarkan perbandingan nilai tugas dan tes, siswa yang memeroleh nilai baik pada tes umumnya juga baik pada nilai tugasnya. PENUTUP Penerapan model pembelajaran SB-5E menjadi lebih baik setelah dilakukan tindakan perbaikan berdasarkan refleksi. Keterampilan inkuiri siswa di kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus perbaikan II dan III secara keseluruhan meningkat. Namun di kelas VIIIC, keterampilan inkuiri siswa fluktuatif. Seperti pada keterampilan inkuiri, pemahaman konsep siswa kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus perbaikan pembelajaran berikutnya juga meningkat. Pemahaman konsep siswa kelas VIIIC secara keseluruhan menurun di siklus II dan meningkat sedikit di siklus III.
DAFTAR PUSTAKA Abraham, M.R. 1997. The Learning Cycle Approach to Science Instruction. Research Matters - to the Science Teacher: No. 9701, Jan. 2, 1997. Barbra, R.H. 1998. Science in the Multicultural Classroom: A Guide to Teaching and Learning. Needham Heights, M.A.: Allyn and Bacon.
Applications. Bybee, R.W. dkk. 2006. The BSCS 5E Instructional Model: Origins, Effectiveness, and Diakses pada tanggal 31 Juli 2007 di http://bscs.org/pdf/bscs5eexecsummary.pdf. Collette, A.T. dan E.L. Chiappetta. 1994. Science Instruction in the Middle and Secondary Schools, 3rd ed. New York: Merril. Elliot, J. 1991. Action Research for Educational Change. Philadelphia: Open University Press. Elliot, S.N., T.R. Kratochwill, J.L. Cook, J.F. Travers. 2000. Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning, 3th edition. Boston: McGraw Hill. Hopkins, D. 1993. A Teacher's Guide to Classroom Research, 2nd edition. Philadelphia : Open University Press. Lawson, A. E. 2001. Using The Learning Cycle to Teach Biology Concepts and Journal of Biological Education, 35(4): 165-169.
Reasoning
Patterns.
Poedjiadi, A., (2005). Sains Teknologi Masyarakat: Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung: Remaja Rosdakarya.
438
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Posner, G.J., K.A. Strike, P.W. Henson, dan W.A. Gertzoq. 1992. Accomodation of a scientific conception: Toward a theory of conceptual change. Dalam M.K. Pearsall (Ed.): Scope, Sequence, and Coordination of Secondary School Science, Vol. II: Relevant Research: 253-270. Washington, DC: The National Science Teachers Association. Rehorek, S.J. 2004. Inquiry-Based Teaching: An Example of Descriptive Science in Action. The American Biology Teacher, 66(7): 493-499. 2005. Guiding the “Explain”: A Modified Learning Cycle Approach Towards Evidence of the Development of Scientific Explanations. Diakses pada tanggal 1 Juli 2006 di
Songer, N.B. dan P.S. Ho.
http://www.biokids.umich.edu/about/papers/Guiding explainaera.pdf.
Tobin, K., D.J. Tippins, A.J. Gallard. 1994. Research on Instructional Strategies for Teaching Science. Dalam Handbook of Research on Science Teaching and Learning. D.L. Gabel (Ed.) 1994. New York: Macmillan Publishing Company. Wasih, D.S. 1999. Peningkatan Kemampuan Guru Membelajarkan Siswa dalam Matapelajaran IPA Melalui Pendekatan Daur Belajar. Ilmu Pendidikan, 26 (2): 144-153.
439
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-3
THE USE OF INTERACTIVE MULTIMEDIA IN LEARNING OF ANIMAL REPRODUCTION TO IMPROVE CONCEPT MASTERY AND CRITICAL THINKING OF 9TH GRADE STUDENT (1)
Gita Nurul Puspita (1), Ari Widodo (2), Topik Hidayat (2) SMP Negeri 2 Cimahi, (2) SPS Program Studi IPA UPI Bandung
ABSTRACT Research about the use of interactive multimedia (IMM) in learning of animal reproduction to improve concept mastery and critical thinking of 9th grade student has been done. As a background, the use of computer in biology instruction in Junior High School has not much drawn attention to teachers. The IMM Program used in this research include animation-video and static illustration. Quasi experimental method was used and involved 44 students who learned with animation and video illustration, whereas 44 students who learned with static one. Based on the pre and the post test data which were analyzed by Z two-tailed test, it was found that students who learned by using animation and video illustration was significantly superior in concept mastery and critical thinking. The calculation of statistical correlation indicates there was low correlation (r = 0,321) between concept mastery and critical thinking in experimental group and adequate high correlation (r= 0,677) in comparison group. Those school which has sufficient computer facilities should be consider to increase its used in various learning activities so that the students can be more familiar with the operation button, moreover learning activities individually by using computer program can work properly. Key word: Animation and video illustration, static illustration, concept mastery, critical thinking. PENDAHULUAN Berdasarkan studi pendahuluan di dua SMP di kota Cimahi, diketahui bahwa komputer jarang dipergunakan dalam pembelajaran biologi. Jarangnya penggunaan komputer dalam pembelajaran di kelas, dapat disebabkan oleh kekurangmampuan guru dalam mengoperasikan program-program komputer (Priyono, 2004). Padahal komputer memiliki kemampuan mengkombinasikan teks, suara, warna, gambar, grafik, dan video serta mampu menyajikan proses interaktif. Di sisi lain, guru sebagai fasilitator dan kreator kegiatan pembelajaran diamanatkan oleh Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 40 Ayat 2 untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. Suasana pembelajaran yang menyenangkan dapat diwujudkan dengan memanfaatkan multimedia komputer dalam pembelajaran (Universitas Negeri Jakarta, 2005). Multimedia merupakan gabungan teks, suara, gambar, warna, animasi, dan video dengan alat bantu (tool) dan koneksi (link) untuk dapat menyampaikan informasi sehingga pengguna dapat bernavigasi (The Florida Center for Instructional Technology University of South Florida, 2007). Satu jenis multimedia yang dianjurkan dipergunakan dalam pembelajaran adalah multimedia interaktif (MMI). MMI memungkinkan pengguna dapat memilih apa yang akan dikerjakan selanjutnya, bertanya atau mendapatkan jawaban yang mempengaruhi komputer untuk mengerjakan fungsi selanjutnya (Sutopo, 2003; Ariasdi, 2008). MMI setidaknya memiliki dua elemen penting. Keduanya adalah animasi dan video (Reiber, 1994 dalam Nurtjahjawilasa, 2004; Chia, 2003). Animasi merupakan kumpulan gambar yang diolah sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan bahwa gambar-gambar yang ditampilkan bergerak (Suheri, 2006; Utami, 2007). Di sisi lain, video ‘menangkap’ citra yang bergerak untuk selanjutnya disimpan dalam rangkaian foto yang diam dan diputar kembali menjadi gerak sesuai durasi yang dikehendaki (Ariasdi, 2008). Dengan karakteristik yang demikian, animasi dan video dapat menjadi media pembelajaran yang baik karena dapat memperlihatkan aspek-aspek yang dinamik. Keunggulan ini menyebabkan keduanya 440
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
lebih informatif, lebih jelas menampilkan materi subjek sehingga siswa mampu membuat interpretasi yang benar. Animasi dan video tidak memerlukan pemakaian simbol tambahan (tanda panah, garis putus-putus, dan lain-lain) seperti yang sering digunakan pada ilustrasi statis. Dengan demikian, siswa yang belajar dengan memanfaatkan animasi dan video tidak perlu melakukan proses dekoding untuk menginterpretasikan simbol agar dapat memahami materi. Selain itu tampilan keduanya yang memikat dapat menarik perhatian siswa karena pada dasarnya manusia lebih menyukai sesuatu yang dinamis daripada statis (Rieber 1990 dalam Chan dan Black, 2005; Park dan Gittelman 1992 dalam Chan dan Black, 2005; Lowe, 2001; Nurtjahjawilasa, 2004; Suheri, 2006; Utami 2007). Keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh animasi pada intinya diperlukan untuk memvisualisasikan konsep-konsep yang abstrak dan sulit untuk dipraktekkan di kelas (Tapilouw et al., 2007). Salah satu materi biologi yang tersusun atas konsep-konsep abstrak adalah reproduksi hewan. Konsep reproduksi hewan, tiga di antaranya adalah materi tentang reproduksi aseksual, ovulasi, dan fertilisasi, merupakan materi yang sulit dipahami oleh siswa SMP karena di dalamnya terkandung konsep yang bersifat abstrak dan sulit dijelaskan, sehingga tak ayal lagi pemahaman siswa terhadap konsep ini masih belum optimal. Walaupun anak yang berusia di atas 11 tahun berada pada tahap berpikir operasional formal (Piaget, 1950 dalam Setiono, 1983), namun siswa SMP seringkali masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak (Tapilouw et al., 2007). Ovulasi dan fertilisasi di dalam organ reproduksi wanita sulit untuk dieksplorasi secara detil karena tidak ada obyek langsung yang dapat dipelajari. Reproduksi aseksual hewan vertebrata sulit dipraktekkan di sekolah, sebab terkendala dengan sumber belajar yang terbatas dari lingkungan. Kondisi demikian dapat menyebabkan kesulitan bagi siswa untuk menguasai dan memahami konsep-konsep tersebut yang dapat memancing terjadinya miskonsepsi (Surbakti, 2000). Oleh sebab itu, pembelajaran konsep reproduksi pada hewan dianggap perlu dibantu dengan menggunakan ilustrasi animasi dan video. Akan tetapi, selama ini banyak program multimedia pembelajaran dengan ilustrasi animasi hanya dirancang untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa (Meranti et al., 2007). Padahal pembelajaran di sekolah diharapkan mampu membekali siswa dengan berbagai kemampuan yang dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupannya di masa depan, diantaranya adalah berpikir kritis yang termasuk kegiatan berpikir kompleks (Cohen 1971 dalam Costa, 1985). Berpikir kritis merupakan berpikir reflektif yang difokuskan pada membuat keputusan mengenai apa yang dipikirkan atau yang diyakini (Ennis, 1985 dalam Costa, 1985), melalui interpretasi, analisis, dan evaluasi, maupun pemaparan menggunakan suatu bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan kontekstual (Facione, 2006). METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di SMPN Y Kota Cimahi. Sebanyak dua kelas dipilih secara acak dari sepuluh kelas IX yang ada. Masing-masing kelas terdiri atas 44 orang siswa. Oleh karena itu jenis penelitian yang dilakukan tergolong quasi experiment. Siswa di kelas eksperimen belajar dengan memanfaatkan Program Multimedia Interaktif (MMI) Reproduksi Hewan dengan ilustrasi animasi dan video, sedangkan siswa di kelas pembanding memanfaatkan MMI dengan ilustrasi statis. Pengumpulan data utama dilakukan melalui pelaksanaan tes awal dan akhir penguasaan konsep berbentuk pilihan ganda, tes awal dan akhir berpikir kritis berbentuk pilihan ganda, sedangkan pengumpulan data pendukung dilakukan menggunakan angket, pedoman wawancara, dan lembar observasi.
441
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penguasaan Konsep Berikut ini ditampilkan statistik nilai penguasaan konsep siswa di kedua kelas. 80 68,75
Rerata Nilai Siswa
70
59,091
60 50
49,148 48,182 36,2
40
Eksperimen Pembanding
30 20,4 20 10 0 Tes Awal
Tes Akhir
Rerata N-Gain
Gambar 1 : Statistik Nilai Penguasaan Konsep Siswa di Kedua Kelas Nilai tes akhir siswa di kedua kelas selanjutnya diuji menggunakan uji Z dua pihak. Diperoleh hasil bahwa penguasaan konsep siswa di kelas pembanding unggul signifikan (α = 0,05). N-Gain siswa di kedua kelas juga diuji menggunakan uji Z satu pihak, disimpulkan bahwa ilustrasi animasi dan video efektif dan efisien untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa. Ilustrasi animasi dan video mampu membantu 54,550% siswa di kelas eksperimen untuk mencapai nilai 68 yang ditentukan sebagai Kriteria Ketuntasan Minimum. Siswa di kelas eksperimen unggul dalam semua jenjang berpikir kognitif (C1-C5) serta unggul dalam lima sub-konsep (definisi dan fungsi reproduksi, reproduksi aseksual, reproduksi seksual, reproduksi hewan vertebrata, dan reproduksi manusia), sedangkan siswa kelas pembanding unggul pada sub-konsep pengendalian kelahiran dan kontrasepsi serta penyakit menular seksual. Lebih unggulnya penguasaan konsep siswa di kelas eksperimen dikarenakan kemampuan animasi dan video sebagai gabungan media gambar dan suara (Chia, 2003) lebih informatif dan menarik (Lowe, 2001). Materi ajar di kelas eksperimen disajikan dengan didukung ilustrasi animasi mengenai reproduksi aseksual (meliputi proses pembelahan pada Anemon Laut, pertunasan pada Hydra, dan fragmentasi pada Planaria), ovulasi, perjalanan sperma, fertilisasi internal, dan menstruasi. Rieber (1990 dalam Chan dan Black, 2005), Park dan Gittelman (1992 dalam Chan dan Black, 2005), Lowe (2001), Nurtjahjawilasa (2004), Suheri, (2006), Utami (2007), dan Ariasdi (2008) mengemukakan bahwa animasi dan video dapat lebih jelas dan lebih dekat menampilkan materi subjek yang sebenarnya melalui penggambaran aspek-aspek dinamis. Belajar dengan ilustrasi animasi dan video memperkecil kemungkinan siswa merasa bosan menyimak materi. Demikian yang diungkapkan oleh 88,636 % siswa di kelas eksperimen dalam Angket. Sebenarnya pencapaian konsep siswa di kedua kelas belum menunjukkan hasil yang maksimal. Hanya 54,550 % siswa di kelas eksperimen yang mampu mencapai KKM. Persentase tersebut belum memenuhi kriteria ketuntasan klasikal yang ditetapkan oleh Depdiknas, yaitu sebesar 75 %. Akan tetapi persentase tersebut masih jauh lebih besar daripada persentase siswa yang mencapai KKM di kelas pembanding, yaitu sebesar 18,182%. Ada tiga faktor yang mengakibatkan diperolehnya hasil demikian di 442
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
kelas eksperimen. Pertama, pembelajaran secara mandiri menggunakan ilustrasi animasi dan video dalam format flash baru pertama kali dilaksanakan. Kedua, tidak semua materi ajar didukung ilustrasi animasi atau video. Ketiga, keterbatasan komputer dalam menyelesaikan permasalahan individual. 2. Berpikir Kritis Berikut disajikan statistik nilai berpikir kritis siswa di kedua kelas.
56,818
60
50,379 Rata-rata Nilai Siswa
50
45,265 42,614
40 Eksperimen
30
Pembanding 19,2
20 10
4,3
0 Tes Awal
Tes Akhir
N-Gain
Gambar 4 : Statistik Nilai Berpikir Kritis Siswa di Kedua Kelas Berdasarkan hasil uji Z dua pihak terhadap nilai tes akhir, diketahui bahwa rata-rata nilai berpikir kritis siswa di kelas eksperimen unggul signifikan (α = 0,05). Hasil uji Z satu pihak terhadap N-Gain, membuktikan ilustrasi animasi dan video efektif dan efisien meningkatkan berpikir kritis siswa (α = 0,05). Berikut ditampilkan rata-rata nilai tes akhir siswa pada setiap indikator berpikir kritis yang diadopsi dari Ennis (1085 dalam Costa, 1985). 73,295
80 60 50
59,091
61,364
59,091
56,818
47,727
59,659
40,909
40
28,409
30
Eksperimen Pembanding
23,864
20 10 Menganalisis argumen
Fokus pada sebuah pertanyaan
Berpikiran terbuka
Mencari alternatif
0 Mencari alasan
Rata-rata Nilai
70
Indikator Berpikir Kritis
Gambar 5 : Statistik Nilai Berpikir Kritis Siswa di Kedua Kelas
443
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Siswa di kelas eksperimen unggul dalam tiga indikator, yaitu mencari alternatid, berpikiran terbuka, fokus pada sebuah pertanyaan, dan menganalisis argumen. Lebih tingginya berpikir kritis siswa di kelas eksperimen yang belajar memakai ilustrasi animasi berformat DMA dan video ini sejalan dengan pendapat Uhlig (2002). Ia menyatakan bahwa berpikir kritis yang termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi memerlukan banyak sumber kognitif. Animasi dan video terdiri atas informasi audio dan gambar dinamik. Kedua komponen tersebut mampu menyediakan muatan kognitif lebih banyak kepada pembelajar. Animasi dapat lebih menjelaskan, karena animasi menyediakan multiple visual dan perspektif konseptual terhadap materi subjek. Karakteristik-karakteristik tersebut mampu memperluas cakrawala berpikir siswa yang penting untuk meningkatkan berpikir kritis siswa (Bittner dan Tobin, 1998 dalam Simpson dan Courtney, 2001). Kendala yang menyebabkan siswa di kelas eksperimen mencapai nilai yang rendah pada indikator mencari alasan dikarenakan sedikitnya waktu yang tersedia untuk belajar. 3. Korelasi antara Penguasaan Konsep dan Berpikir Kritis Siswa Berikut merupakan tabel korelasi dan penafsiran korelasi yang terjadi antara penguasaan konsep dan berpikir kritis. Tabel 1: Korelasi antara Penguasaan Konsep dan Berpikir Kritis Siswa di Kedua Kelas Korelasi (X-Y)
r
Kategori
Kelas Eksperimen PK-BK
0,321
Rendah
Kelas Pembanding PK-BK
0,677
Cukup tinggi
Berpikir kritis merupakan berpikir reflektif yang difokuskan pada membuat keputusan mengenai apa yang dipikirkan atau yang diyakini (Ennis, 1985 dalam Costa, 1985), melalui interpretasi, analisis, dan evaluasi, maupun pemaparan menggunakan suatu bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan kontekstual (Facione, 2006). Berpikir kritis juga merupakan proses berpikir kompleks (Cohen, 1985 dalam Costa, 1985). Jelaslah bahwa berpikir kritis termasuk berpikir tingkat tinggi, lebih tinggi daripada hanya sekedar menghapal (mengingat) atau memahami informasi. Menghapal dan memahami termasuk indikator penguasaan konsep menurut Bloom (Rustaman et al., 2003). Padahal lebih dari 50 % soal yang digunakan dalam penelitian dimaksudkan untuk menguji penguasaan konsep siswa pada kedua indikator tersebut. Korelasi yang cukup tinggi sebesar 0,677 terjadi antara penguasaan konsep dengan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan Program MMI dengan ilustrasi statis. Hasil demikian dapat diperoleh karena penguasaan konsep siswa yang rendah dimana hanya delapan orang siswa yang mencapai kriteria ketuntasan minimum juga diikuti dengan hasil tes akhir berpikir kritis siswa dengan rerata nilai 50,379 yang lebih rendah daripada nilai di kelas eksperimen. Rendahnya penguasaan konsep dan berpikir kritis siswa disebabkan ilustrasi statis kurang informatif dengan ketiadaan aspek dinamik, sehingga siswa perlu melakukan proses dekoding untuk menginterpretasikan gambar beserta simbol tambahan yang dipergunakan untuk memperjelas materi sehingga memungkinkan terjadinya miskonsepsi yang cukup 444
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
besar (Lowe, 2001). Padahal untuk berpikir kritis siswa memerlukan sumber informasi yang lengkap (Uhlig, 2002). PENUTUP Siswa yang mempelajari materi Reproduksi Hewan dengan memanfaatkan Program MMI ilustrasi animasi dan video unggul secara signifikan dalam penguasaan konsep dan berpikir kritis dibandingkan siswa yang belajar dengan menggunakan ilustrasi statis. Uji statistik korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang rendah antara penguasaan konsep dengan berpikir kritis di kelas eksperimen (r = 0,321) dan hubungan yang cukup tinggi antara keduanya di kelas pembanding (0,677). Sekolah yang memiliki sarana komputer yang memadai, hendaknya memaksimalkan pemanfaatannya dalam berbagai kegiatan pembelajaran agar siswa menjadi lebih akrab dengan tomboltombol pengoperasian sehingga kegiatan pembelajaran secara mandiri dengan menggunakan program komputer dapat berjalan lancar. PERNYATAAN TERIMA KASIH Prof. Dr. Liliasari, M. Pd., Ketua Program Studi Pendidikan IPA SPs UPI atas fasilitas yang diberikan dalam pengembangan Program MMI. Prof Dr. Hj. Sri Redjeki, Prof. Dr. Hj. Nuryani Y. Rustaman, Dra. Soesy Asiah MS., dan Drs. Dadang Machmudin, M. Si, atas pertimbangan yang diberikan dalam mengoreksi instrumen penelitian. Drs. H. Tonton Rustono, MM. dan Ni Nyoman Sitiari, S. Pd., selaku kepala sekolah dan guru bidang studi yang telah berkenan mengizinkan penelitian dilaksanakan di kelasnya.
DAFTAR PUSTAKA Ariasdi.
(2008). Panduan Pengembangan Multimedia Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://ariasdimultimedia.wordpress.com/2008/02/12/panduan-pengembangan-multimediapembelajaran.html. Download: 10 Mei 2008.
Chan, M. dan Black, J. (2005). When Can Animation Improve Learning? Some Implications for Human Computer Interaction and Learning. [Online]. Tersedia: http://www.ilt.columbia.edu. Download:10 Mei 2008. Chia, H. (2003). Perancangan dan Pembuatan Program Aplikasi Alkitab Multimedia. [Online]. Tersedia: http://digilib.petra.ac.id. Download: 4 Juni 2008. Costa, A. (1985). Developing Minds. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. Ena, O. (2006). Membuat Media Pembelajaran Interaktif dengan Piranti Lunak Presentasi. [Online]. Tersedia: www.ialf.edu. Download: 14 September 2007. Facione, P. (2006). Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. [Online]. Tersedia: www.aacu.org. Download: 26 Februari 2007. Lowe, R. (2001). Beyond “Eye-Candy”: Improving Learning with Animations. [Online]. Tersedia: http:// auc.uow.edu.au. Download: 10 Mei 2008. Meranti, D. et al. (2007). “The Use of Computer Animation in Learning Process of Electrolysis Topic for Supporting Practical Activity to Improve Conceptual Understanding and Basic Skill of Scientific Work (BSSW)”. Makalah pada Seminar Internasional Pendidikan IPA I SPs UPI, Bandung. Nurtjahjawilasa. (2004). Efektifitas Multimedia dalam Menunjang Pembelajaran. [Online]. Tersedia: www.pusdiklathut.com. Download: 26 Februari 2007. Priyono, E. (2004, 28 Agustus). Muh. Saefudin Guru Berprestasi Tingkat Nasional. Suara Merdeka [Online], halaman 1. Tersedia: http://www.suaramerdeka.com. Download: 14 September 2007. 445
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Rustaman, N. Et al. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Setiono, K. (1983). Teori Perkembangan Kognitif. Bandung: Fakultas Psikologi Unpad. Simpson, E. dan Courtney, M. (2001). Critical Thinking in Nursing Education: A literature review. [Online]. Tersedia: http://eprints.qut.edu.au. Download: 4 Juni 2008. Suheri, A. (2006). Animasi dalam Pembelajaran. Dalam Animasi dalam Pembelajaran [Online], Vol 2 (1), 7 halaman. Tersedia: http:// unsur.ac.id. Download: 2 Juni 2007. Surbakti, R. (2000). Analisis Miskonsepsi Siswa Madrasah Aliyah tentang Konsep Reproduksi Sel. Tesis IPA SPs UPI: Tidak diterbitkan. Sutopo, A. (2003). Multimedia Interaktif dengan Flash. Jakarta: Graha Ilmu. Tapilouw, F. et al. (2007). “Analisis Pembelajaran Biologi Berbasis Multimedia Interaktif Pada Berbagai Jenjang Pendidikan”. Makalah pada Seminar Internasional Pendidikan IPA I SPS UPI, Bandung. The Florida Center for Instructional Technology University of South Florida. (2007). Multimedia in The Classroom. [Online]. Tersedia: http://fcit.usf.edu/multimedia/overview/overviewa.html. Download: 22 Mei 2007. Uhlig,
Teaching Critical Thinking Online. G. (2002). http://www.freelibrary.com/2002/june.htm. Download: 28 Mei 2008.
[Online].
Tersedia:
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Negeri Jakarta. (2005). Multimedia dalam Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://www.unj.ac.id Download: 5 Juni 2008.
Universitas
Utami, D. (2007). Animasi dalam Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://www.uny.ac.id. Download: 14 September 2007.
446
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-04
KEMAMPUAN SISWA MENERAPKAN KERJA ILMIAH PADA TOPIK CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP MELALUI PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DI SMP NEGERI 14 PONTIANAK Reni Marlina, S.Pd (Tanjungpura University Pontianak)
ABSTRACT This Research is entittled ” The students’ ability in applying the scientific work with topic of creatures types by the process of tbe ability approach in the seventh grade of SMP 14 Pontianak”. The purpose of this research is to know the students’ ability in applying the scientific work with the topic of creatures types by the process of tbe ability approach in the seventh grade of SMP 14 Pontianak. This research is quasy experiment with the pre-test design and post test one group design.The subject in this research is the student of the seventh grade of SMP 14 Pontianak in the year of 2006/2007 who is learning the creature types topic. The object of this research is applying the scientific work by the approach of the ability process. The tools to collect data is the students’ ability test in essay. It consist of 10 questions. The test is validated by three validator. The result is valid and after the examination it requires 0,4995 medium of the reliability. The information that is required from this analysis result shows that the students’ ability in applying th creatures types by the process of the ability approach is good enough (66,47%). From the Wilcoxon accounting test, it required Zhitung (4.92) > Ztabel (1.64), therefore we can conclude that the aplication of the scientific work in the topic of creatures types by the process of tbe ability approach has influences to the students of grade seventh of SMP Negeri 14 Pontianak. Key words : The scientific work, the process of tbe ability approach
PENDAHULUAN Kemampuan dasar kerja ilmiah merupakan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa dalam setiap pembelajaran sains (IPA Biologi). Soetardjo (1998: 4) mengatakan bahwa dalam satuan pelajaran yang menggunakan pendekatan keterampilan proses siswa dibimbing menemukan sendiri produk dengan keterampilan prosesnya sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya pendekatan yang dapat membantu siswa untuk memahami konsep-konsep IPA Biologi. Salah satu pendekatan yang sesuai adalah pendekatan keterampilan proses. Kenderungan pembelajaran IPA Biologi saat ini adalah siswa hanya mempelajarinya sebagai produk, menghapalkan konsep dan teori. Hal ini belum sesuai dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengutamakan pembelajaran IPA Biologi pada empat unsur utama yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, produk ilmiah dan aplikasinya (Depdiknas, 2006: 4-5). Sehingga dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti dan memilih menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses di kelas VII SMP Negeri 14 Pontianak. A. Masalah Penelitian 1. Bagaimana kemampuan siswa menerapkan tahapan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses di kelas VII SMP Negeri 14 Pontianak? 2. Adakah pengaruh penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses terhadap kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri 14 Pontianak? B. Tujuan Penelitian 447
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan siswa menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses di kelas VII SMP Negeri 14 Pontianak. C. Manfaat penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai alternatif pembelajaran oleh guru IPA Biologi untuk mengetahui kemampuan siswa menerapkan kerja ilmiah. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai masukan bagi guru IPA Biologi untuk mengetahui pengaruh penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses terhadap kemampuan siswa.
METODE PENELITIAN A. Bentuk Penelitian. Bentuk penelitian yang dipandang cocok adalah penelitian semu (quasy eksperimen). dengan menggunakan model rancangan eksperimen semu yaitu Pre-test and Post-test One Group Design (Arikunto, 1998: 79). Pola dari rancangan penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 1 : Pola Rancangan Penelitian Pre-test
Perlakuan
Pos-test
O1
X
O2
Keterangan: O1 = Pre-test X = Penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses O2 = Post-test B. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan. 2. Tahap Pelaksanaan Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 : Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian No
Kegiatan
Tanggal
Waktu
1.
Pre-test
4 April 2007
60 menit (09.55-10.55)
2.
Pertemuan I
11 April 2007
80 menit (09.55-11.15)
3.
Pertemuan II
12 April 2007
80 menit (07.00-08.20)
4.
Pos-test
17 April 2007
60 menit (07.00-08.00)
C. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data berupa tes yang berbentuk esai sebanyak 10 soal. Langkah-langkah penyusunan tes adalah sebagai berikut: 448
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
1. 2. 3. 4. Rumus
ISBN: 978-979-98546-4-2
Penulisan Butir Soal Validitas Tes Uji Coba Tes Reliabilitas Tes yang digunakan untuk mengukur reliabilitas tes adalah rumus Alpha sebagai berikut: 2 k ∑ σ b 1 − r11 = σ t2 (k − 1)
Keterangan : r11 k
∑σ ∑
2 b
= Reliabilitas instrumen = Banyaknya butir pertanyaan atau soal. = Jumlah varians butir
2 t
= Varians total Selanjutnya dalam pemberian interpretasi terhadap koefisien reliabilitas tes (r) digunakan patokan menurut Arifin (1988: 124) sebagai berikut: 0,00 ≤ r < 0,20 sangat rendah 0.20 ≤ r < 0,40 rendah 0.40 ≤ r < 0,70 sedang 0.70 ≤ r < 0,90 tinggi 0.90 ≤ r < 1,00 sangat tinggi Dari hasil uji coba yang diberikan pada siswa kelas VII A SMP Negeri 14 Pontianak, diperoleh koefisien reliabilitas tes sebesar 0,4995 tergolong sedang. D. Analisis Data (Oi − Ei ) 2 1) Menghitung nilai chi-kuadrat χ2 = Ei 2) Menentukan χ 2 dari daftar statistik. Apabila data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji-t, a) Melakukan perbandingan antara thitung dengan ttabel dengan patokan sebagai berikut: o Jika thitung ≥ ttabel maka Ho ditolak, sebaliknya Ha diterima atau disetujui. Berarti antara kedua variabel yang sedang diteliti secara signifikan memang terdapat perbedaan. o Jika thitung < ttabel maka Ho diterima atau disetujui, sebaliknya Ha ditolak. Berarti perbedaan antara pre-test dan post-test bukanlah perbedaan yang berarti atau bukan perbedaan yang signifikan. b) Menarik kesimpulan hasil penelitian (Sudjana, 2000:132). Apabila data tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji statistik nonparametrik yaitu uji wilcoxon. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menerapkan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: • Menyajikan skor hasil pre-test dan post-test dalam bentuk tabel. • Menyatakan skor kemampuan tiap siswa dalam bentuk persentase dengan rumus:
∑
NP =
R x100% SM
Keterangan: 449
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
NP = Persentase kemampuan siswa R = Skor yang diperoleh siswa SM = Skor maksimum siswa (Purwanto, 1991:102). • Mencari persentase rata-rata kemampuan seluruh siswa dengan rumus: −
X = •
∑X N
i
(Arikunto, 1990: 271).
Menafsirkan kemampuan seluruh siswa dengan kriteria: 86% - 100% Sangat Baik 76% - 85% Baik 60% - 75% Cukup 55% - 59% Kurang ≤ 54% Kurang Sekali (Purwanto, 1991: 103).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses dapat dilihat pada table di bawah ini: Tabel 3 : Persentase Kemampuan Seluruh Siswa Menerapkan Kerja Ilmiah Melalui Pendekatan Keterampilan Proses
No
Nama
Jumlah Skor
Persentase Kemampuan (%)
Kategori Kemampuan
1
Aina.R.
10
71,43
Cukup
2
Mukhsin
10
71,43
Cukup
3
Trisnawati
10
71,43
Cukup
4
Putri.A.N.
10
71,43
Cukup
5
Ahmad
8
57,14
Kurang
6
Yuniar.D.
6
42,86
Kurang Sekali
7
Aditya
6
42,86
Kurang Sekali
8
Evita Sari
9
64,29
Cukup
9
Irfan
10
71,43
Cukup
10
Fajar
8
57,14
Kurang
11
Angga.R.
8
57,14
Kurang
12
Herti.M.
9
64,29
Cukup
13
Fera.Y.
6
42,86
Kurang Sekali
14
Artia.R.
6
42,86
Kurang Sekali
15
Syf.Fahruri
9
64,29
Cukup
16
Kurnia
9
64,29
Cukup
17
Wandi
8
57,14
Kurang
18
Dede.S.
8
57,14
Kurang
19
Risky.W.
9
64,29
Cukup
20
Herianto
9
64,29
Cukup
21
Maman.B.
8
57,14
Kurang
450
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
22
Viky
11
78,57
Baik
23
Ririn.N.
9
64,29
Cukup
24
Sumelly
9
64,29
Cukup
25
Dede.A.
9
64,29
Cukup
26
Yuliana
9
64,29
Cukup
27
Fauziah
11
78,57
Baik
28
Rini.A.
9
64,29
Cukup
29
Dany.F.
11
78,57
Baik
30
Liliani
11
78,57
Baik
31
Lidia
11
78,57
Baik
32
Mahsun
11
78,57
Baik
33
Khifdatul.H.
12
85,71
Baik
34
Iin.D.
12
85,71
Baik
35
Dede.H.
12
85,71
Baik
36
Surahmawati
12
85,71
Baik
JUMLAH Rata-rata (%)
335
Cukup
66,47
Rata-rata kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses sebesar 66,47% dengan kategori cukup. Persentase kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses yang paling tinggi adalah 85,71% dengan kategori Baik. Sedangkan persentase kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses yang paling rendah adalah 42,86% dengan kategori kurang sekali. Setelah dilakukan uji statistic nonparametric dengan menggunakan uji wilcoxon dapat diketahui adanya pengaruh penerapan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses terhadap kemampuan siswa kelas VII B SMP Negeri 14 Pontianak. Rata-rata skor yang diperoleh seluruh siswa pada pre-test sebesar 19,69 dan post-test sebesar 29,67. Ini menunjukkan bahwa skor hasil kemampuan siswa dengan menerapkan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses meningkat sebanyak 9,98. Hal ini juga telah dibuktikan melalui perhitungan untuk mencari kesimpulan yang lebih akurat dengan menganalisis data menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji wilcoxon. Uji wilcoxon menunjukkan bahwa Zhitung (4.61) > Ztabel (1.64) maka dapat disimpulkan bahwa penerapan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses berpengaruh terhadap kemampuan siswa di kelas VII B SMP Negeri 14 pontianak. PENUTUP 1. Kemampuan siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses pada tahapan penulisan rancangan percobaan 76,85% dengan kategori cukup, penulisan cara kerja 72,22% dengan kategori cukup, penulisan hasil percobaan 88,89% dengan kategori sangat baik, penulisan pembahasan 49,44% dengan kategori kurang sekali dan penulisan hasil kesimpulan 69,44% dengan kategori cukup.
451
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
2. Adanya pengaruh penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses terhadap kemampuan siswa kelas VII B SMP Negeri 14 Pontianak. Pengaruh ini dilihat dari peningkatan skor rata-rata pos-test (29.67) sebanyak 9.98 (99,8%) dari pre-test (19.69) yang diuji secara statistik menunjukkan Zhitung (4.61) > Ztabel (1.64). Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses berpengaruh terhadap kemampuan siswa kelas VII B SMP Negeri 14 Pontianak.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainal. 1988. Evaluasi Instruksional. Remaja Rosdakarya: Bandung. Arikunto, S. 1993. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan (Cetakan Ke-10). Bumi Aksara: Yogyakarta. Arikunto, S. 1990. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta. Budikase. E dan Abdurrahman. 1993. Telaah Kurikulum IPA SMP 1. Depdikbud: Jakarta. Danapriana, D dan Rony Setiawan. 2004. Pengantar Statistika. Graha Ilmu: Bekasi. Depdiknas. 2006. Model Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran IPA Terpadu. Balitbang Depdiknas: Jakarta. Nugroho. G.W., 2007. Penerapan Pembagian Dengan Menjumlahkan Kembali Sebagai Alternatif Meningkatkan Kemampuan Pembagian Bilangan Pada Siswa SD. Skripsi, Pontianak: FKIP UNTAN. Haryati, M. 2006. Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi. Gaung Persada Press: Jakarta. Herawati, S. 2000. Kapita Selekta Pembelajaran Biologi. Pusat Penerbitan Universitas terbuka: Jakarta. Indrawati. 2000. Keterampilan Proses Sains: Tinjauan Kritis Dari Teori Ke Praktis. Depdikbud: Bandung. Nawawi, H. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Nazir, M. 1993. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta. Pratiwi, 2004. Buku Penuntun Biologi SMP 1. Erlangga: Jakarta. Prawironegoro, P. 1985. Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal Untuk Bidang Studi Matematika. Fortuna: Jakarta. Purwanto, M.N. 1991. Prinsip- Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. P.T. Remaja Rosdakarya: Bandung. Semiawan, C. 1986. Pendekatan Keterampilan Proses. P.T. Gramedia: Jakarta. Soetardjo. 1998. Proses Belajar Mengajar Dengan Metode Pendekatan Keterampilan Proses. SIC: Surabaya.. Sudjana. 2000. Metode Statistika. Tarsito: Bandung. Sudjana, N. dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Sinar Baru Argensindo: Bandung. Sugiarto, 2001. Teknik Sampling. P.T. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Sugiyono. 1999. Statistika Untuk penelitian. C.V. Alfabeta: Bandung. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta: Bandung. Sugiyanto. 2004. Analisis Statistika Sosial. Bayumedia: Malang. Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta. Sukmadinata, N.S., 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Remaja Rosdakarya: Bandung. Suryabrata, S. 1983. Metodologi Penelitian. P.T. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Susilo,S. 1993. Kapita Selekta Pembelajaran Biologi. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka: Jakarta. Winataputra, U. , 1994. Strategi Belajar Mengajar IPA. Depdikbud: Jakarta
http//id.Wikipedia.org/wiki/metode_ilmiah (20 oktober 2006). 452
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-05 TESTING EVOLUTIONARY HYPOTHESES IN THE CLASSROOM USING PHENETIC METHOD
Topik Hidayat
Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia JL. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154 Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Phenetic is one of method in systematic to reconstruct evolutionary relationships of groups of biological organism in order to understand the biodiversity. This paper described a novel and effective exercise that allows undergraduate biology majors to test a hypothesis about evolutionary relationships in higher plant. The exercise is derived from a real data set resulted from student observation of morphological characters. This provides students with opportunity to learn firsthand how scientists/taxonomists evaluate hypotheses about patterns of classification. The exercise can be modified to fit the needs of particular classes. In general, phenetic method offers the biology teacher a wide variety of instructional possibilities in order to improve student understanding on biological diversity and evolution as well. Key words : Biodiversity, Classification, Evolution, Phenetic analysis, Taxonomy
PENDAHULUAN Evolusi tidak diragukan lagi merupakan kerangka teoritik dan praktik yang terpenting dalam biologi modern (Brewer, 1996). Dalam taksonomi misalnya, sistem klasifikasi yang dipercaya memiliki tingkat kevalidan yang tinggi adalah sistem yang dibangun berdasarkan pada hubungan evolusi/kekerabatan. Melalui kajian evolusi ini, pola-pola alami dari obyek organisme yang sedang dipelajari akan muncul, yang mengarah kepada pemahaman yang komprehensif tentang status keanekaragaman organisme tersebut. Dalam dunia pendidikan kita, taksonomi dan evolusi telah menjadi bagian terpenting dalam kurikulum dari mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan berbagai modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan intelektual mereka. Meskipun belum ada data yang signifikan, perhatian mahasiswa biologi terhadap materi kuliah tentang taksonomi dan evolusi cenderung rendah. Mereka memandang kedua materi kuliah ini penuh dengan hapalan. Kebanyakan mahasiswa berpendapat bahwa taksonomi dan evolusi hanya bersifat teoritis sehingga membosankan. Tidak salah kalau mereka melihat kedua subyek kuliah ini bersifat deskriptif dan spekulatif, sulit untuk dibuktikan. Menurut Harvey dan Pagel (1991) inti permasalahan tidak terletak pada mahasiswa, tetapi lebih pada kurangnya penugasan (workable assignments) yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa selama berlangsungnya pembelajaran di kelas. Penugasan yang diberikan semestinya mengilustrasikan bagaimana para ilmuwan biologi atau ahli taksonomi bekerja untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis tentang 453
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
pola hubungan evolusi/kekerabatan dalam sebuah kelompok organisme biologi sebelum sebuah sistem klasifikasi diusulkan. Dalam makalah ini akan dibahas kemungkinan penggunaan metode fenetik sebagai bentuk penugasan untuk menguji hubungan evolusi/kekerabatan dalam kelompok tumbuhan berbiji.
SISTEMATIK DAN FENETIK Sistematik memiliki peran sentral di dalam Biologi dalam menyediakan sebuah perangkat pengetahuan untuk mengkarakterisasi organisme dan sekaligus merekognisinya dalam rangka memahami keanekaragaman. Secara fundamental, sistematik bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan keanekaragaman suatu organisme dan merekonstruksi hubungan kekerabatannya terhadap organisme lainnya (Gravendeel, 2000), dan juga mendokumentasikan perubahan-perubahan yang terjadi selama evolusinya dan merubahnya ke dalam sebuah sistem klasifikasi yang mencerminkan evolusinya tersebut (Systematics Agenda, 2000). Oleh karena itu, salah satu tugas yang penting dari sistematik adalah merekontruksi hubungan evolusi (evolutionary relationship) dari kelompok-kelompok organisme biologi. Sebuah hubungan evolusi yang direkontruksi dengan baik dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan penelitian-penelitian komparatif (comparative investigations) misalnya dalam bidang ekologi dan biogeografi. Ada dua metode untuk merekonstruksi hubungan evolusi dari sebuah kelompok organisme biologi, yaitu kladistik dan fenetik. Kalau metode pertama mendasari sebuah hubungan pada perjalanan evolusi karakter atau ciri dari setiap anggota suatu kelompok yang sedang dipelajari, maka yang kedua menaksir hubungan evolusi berdasarkan kepemilikan karakter atau ciri yang sama (overall similarity) dari anggotaanggota suatu kelompok. Terdapat lima langkah dalam melakukan analisis fenetik. Pertama, menyeleksi organisme yang akan dianalisis (disebut Taksa), karakter, dan ciri (character state). Taksa dimaksud bisa berupa divisi/filum, kelas, bangsa, famili, marga, jenis, varitas, dll. Karakter dan ciri dapat bersumber dari morfologi organ vegetatif dan generatif. Karakter biasanya meliputi hanya dua ciri, ada (diberi kode 1) dan tidak ada (diberi kode 0). Tetapi, karakter bisa memiliki banyak ciri (multistate characters).
Kedua, menentukan tingkat kesamaan antara pasangan taksa dengan menghitung koefisien kesamaan. Saat ini telah banyak formula untuk menghitung koefisien kesamaan, tetapi secara sederhana koefisien kesamaan dihitung berdasarkan hasil bagi antara jumlah karakter yang sama dengan total karakter yang digunakan. Langkah ketiga adalah menyusun koefisien kesamaan di atas ke dalam bentuk matriks kesamaan.
Keempat, nilai-nilai kesamaan dalam matriks kesamaan selanjutnya dibuat klastering. Langkah ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi pasangan taksa yang memiliki koefisien kesamaan tertinggi, selanjutnya disusun sampai pada pasangan taksa yang memiliki kesamaan terendah. Terakhir, menghitung kembali koefisien kesamaan pasangan taksa yang tersisa dan menyusun kembali matriks kesamaan yang baru.
Kelima, merekonstruksi pohon kekerabatan fenetik (biasa disebut Fenogram). Fenogram dibentuk berdasarkan klastering yang telah dilakukan. Pohon fenetik memiliki skala 0-1, yang mencerminkan jarak fenetik (phenetic distance).
454
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
LATIHAN UJI HIPOTESIS DI DALAM KELAS Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana mahasiswa yang mengambil mata kuliah Botani Phanerogame (Bophan) melakukan analisis fenetik terhadap beberapa marga tumbuhan dari subkelas Zingiberidae (kelas Magnoliopsida; divisi Magnoliophyta) berdasarkan karakter morfologi. Bophan, yang merupakan mata kuliah wajib di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung, memfokuskan diri pada sistematik, taksonomi, dan evolusi dari kelompok tumbuhan berbiji (divisi Pinophyta dan Magnoliophyta). Mahasiswa menyeleksi empat marga, yaitu Musa (A), Heliconia (B), Zingiber (C), Costus (D), dan menyeleksi lima karakter yaitu spata (1), aromatis (2), perbungaan jantung (3), perbungaan tegak (4), dan rizoma (5). Di bawah ini merupakan matriks taksa x karakter.
1
2
3
4
5
A
1
0
1
0
0
B
1
0
0
0
0
C
0
1
0
0
1
D
0
1
0
1
1
0 = tidak ada
1 = ada
Langkah selanjutnya mahasiswa menghitung koefisien kesamaan. Kesamaan AB = 4/5 = 0,8 Kesamaan AC = 1/5 = 0,2 Kesamaan AD = 0 Kesamaan BC = 2/5 = 0,4 Kesamaan BD = 1/5 = 0,2 Kesamaan CD = 4/5 = 0,8
Matriks kesamaan akan disusun menjadi: A
B
C
A
1
B
0,8
1
C
0,2
0,4
1
D
0
0,2
0,8
455
D
1
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Selanjutnya klastering dilakukan dengan mengidentifikasi pasangan taksa yang memiliki kesamaan yang tinggi. Klastering-1 adalah pasangan taksa AB, dan untuk memudahkan disebut P. P
C
D
P
1
C
?
1
D
?
0,8
1
Selanjutnya dihitung kembali koefisien kesamaan: Kesamaan PC = 0,2+0,4 = 0,6/2 = 0,3 Kesamaan PD = 0+0,2 = 0,2/2 = 0,1
Maka matriksnya menjadi: P
C
D
P
1
C
0,3
1
D
0,1
0,8
1
Klastering-2 adalah pasangan taksa CD, dan disebut Q. P P
1
Q
?
Q
1
Selanjutnya koefisien kesamaan PQ dihitung, dan diperoleh: Kesamaan PQ = 0,3+0,1 = 0,4/2 = 0,2
Maka matriksnya akan menjadi: P P
1
Q
0,2
Q
1
Langkah terakhir adalah merekonstruksi pohon finetik (fenogram), dan dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
456
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
A
B
C
ISBN: 978-979-98546-4-2
D
0,8
0,2
0
Gambar 1 : Rekonstruksi Pohon Finetik
Melalui latihan ini, mahasiswa dituntut untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa marga Musa dan Heliconia memiliki hubungan evolusi/kekerabatan yang sangat dekat, sehingga pada sistem klasifikasi yang lama keduanya ditempatkan dalam satu famili, yaitu Musaceae. Kondisi yang sama terjadi pada dua marga yang lain, yaitu Zingiber dan Costus. Pada sistem klasifikasi yang lama Zingiber dan Costus termasuk ke dalam famili Zingiberaceae. Dan hasilnya, mahasiswa dapat membuktikan hipotesis di atas melalui analisis fenetik yang dilakukannya. Karena ilmu dan pengetahuan manusia terus berkembang, saat ini keempat marga di atas terpisah ke dalam empat famili yang berbeda, berturut-turut adalah Musaceae, Heliconiaceae, Zingiberaceae, dan Costaceae. Pemanfaatan data molekuler (DNA) telah menguatkan entiti dari keempat famili di atas di dalam taksonomi kontemporer magnoliophyta.
STRATEGI EVALUASI Tingkat kepercayaan (reliability level) dari fenogram yang dihasilkan tergantung kepada jumlah spesimen yang terlibat, jumlah karakter yang digunakan, akurasi dan presisi dari pengamatan terhadap karakter yang dipilih, kerunutan langkah-langkah yang telah ditetapkan, dan jenis software komputer yang digunakan (kalau melibatkan data yang massif maka untuk memudahkan analisis sering digunakan software komputer). Tentu saja semakin banyak jumlah spesimen dan karakter yang digunakan, maka tingkat kepercayaan akan semakin tinggi. Dalam konteks pembelajaran di kelas, evaluasi dapat diterapkan dengan mengacu kepada informasi yang telah disebutkan di atas. Komponen evaluasi dapat meliputi: 457
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
1. Karakter yang dipilih (karakter hendaknya bersifat variatif; lihat kembali contoh di atas) 2. Akurasi pengamatan terhadap karakter yang dipilih (dosen hendaknya memonitor apakah pengamatan dilakukan dengan benar) 3. Kerunutan langkah-langkah yang telah ditetapkan (karena analisis fenetik merupakan sebuah proses yang satu sama lain saling berhubungan, maka kesalahan satu langkah akan menimbulkan efek domino) 4. Topologi fenogram yang dihasilkan (topologi fenogram yang terbentuk mengacu kepada hipotesis yang akan diuji) PENUTUP Meskipun contoh latihan analisis fenetik yang disampaikan dalam makalah singkat ini dilakukan oleh mahasiswa, tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan di lingkungan sekolah menengah, terutama SMA/sederajat. Metode fenetik diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pengajaran dan/atau penugasan khususnya pada materi keanekaragaman makhluk hidup. Pemberian metode pembelajaran yang bervariasi dapat membantu peserta didik untuk lebih memahami materi ajar (Topik dan Kusumawaty, 2008). Tentu saja guru harus melakukan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan tingkat intelektual dan kebutuhan siswanya. Modifikasi awal yang bisa diterapkan misalnya, guru melakukan sendiri analisis fenetik terhadap beberapa spesimen dan hasilnya dipresentasikan di dalam kelas. Pada gilirannya nanti, guru bisa menugaskan ke siswa untuk melakukan analisis fenetik, yang bisa dilakukan di luar jam pelajaran.
DAFTAR PUSTAKA Brewer S (1996) A problem-solving approach to the teaching of evolution. BIOSCENE, 22, 11-33 Harvey PH dan Pagel MD (1991) The comparative method in evolutionary biology. Oxford, UK: Oxford University Press Gravendeel B (2000) Reorganising the orchid genus Coelogyne: a phylogenetic classification based on morphology and molecules. National Herbarium Nederland Systematics Agenda (2000) Charting the Biosphere. Technical Report. Herbarium, New York Botanical Garden, USA Topik H dan Kusumawaty D (2008) Catatan kuliah online dosen: pentingkah bagi mahasiswa?. Mimbar Pendidikan, 4, 77-80
458
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-06
METAPHORIC METHOD AS AN ALTERNATIVE METHOD OF APERCEPTION IN LEARNING CELL BIOLOGY Yanti Herlanti Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT Apperception, a term to describe the process of understanding by which newly observed qualities of an object is related to experience. In learning and teaching apperception is used by teacher to recall what knowledge has known by students. Most of teacher in Indonesia use “answer question” method to recall student’s knowledge in the past. This method makes students bored and less participated. In this study, we used metaphoric method as an alternative to use in apperception activity. About 36 (in 2007) and 31 (in 2008) students teacher in department science education, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta involved of this research. All students teacher (100%) liked this method. They wrote and said, “this method was very effective and joyful to recall last knowledge especially function of cell organelles”. The most students teachers used nucleus and mitochondria to metaphor themselves. Key words : apperception, metaphoric method, answer question method PENDAHULUAN Apersepsi beperan penting dalam pembelajaran, Apersepsi adalah proses terasosiasinya gagasangagasan baru dengan gagasan lama yang sudah membentuk pikiran. Oleh karena itu pada setiap rencana pembelajaran yang dibuat guru, pada kegiatan pendahuluan atau kegiatan awal selalu mencantumkan apersepsi. Lama kegiatan apersepsi yang dilakukan oleh guru umumnya berlangsung kurang dari lima belas menit. Umumnya metode yang digunakan guru dalam kegiatan apersepsi adalah mengajukan pertanyaan dan menjelaskan. Hasil analisa terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sains: Biologi kelas 1 SMA Semester 2, yang dibuat oleh Riandari (2007), menunjukkan tiga metode yang ada pada kegiatan apersepsi yang dibuat untuk enam belas kali pertemuan. Metode tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 1 : Metode yang digunakan dalam Apersepsi oleh Riandari (2007)
No
Metode dalam kegiatan apressepsi
Jumlah (presentasi)
Contoh yang tertulis dalam RPP
10 (62,5%)
Kegiatan Awal (waktu: 10 menit) Apersepsi: Guru bertanya mengapa daging yang hendak dimakan harus dimasak terlebih dahulu.
5 (31.25%)
Kegiatan Awal (waktu: 10 menit) Apersepsi: Guru meminta siswa menyebutkan lima hewan langka yang terdapat di Indonesia beserta lingkungan tempat tinggalnya.
Meminta siswa menggambar
1 (6.25%)
Kegiatan Awal (waktu: 10 menit) Apersepsi: Guru meminta siswa menggambarkan beberapa organisme yang dapat ditemukan di Taman Laut Bunaken, Manado.
Jumlah pertemuan
16 (100%)
1.
2.
3.
Mengajukan pertanyaan
Meminta menyebutkan
459
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Hal yang sama ditunjukkan oleh Doroji dan Haryati (2007), ketika membuat RPP Sains Biologi untuk kelas 2 SMP. Lebih dari 60% mengajukan pertanyaan digunakan sebagai metode dalam apersepsi. Tabel 2 : Metode yang digunakan dalam Apersepsi oleh Doroji & Haryati (2007)
No
Metode dalam kegiatan apressepsi
Jumlah (presentasi)
Contoh yang tertulis dalam RPP
1.
Mengajukan pertanyaan
19 (67,86%)
Pendahuluan Guru memberi apersepsi dengan pertanyaan, misalnya, ”Makanan apakah yang paling sering kalian konsumsi?”
2.
Penjelasan dan pengajuan pertanyaan
5 (17.86%)
Pendahuluan Guru memberi apersepsi tentang pertumbuhan dan perkembangan pada manusia. Kemudian, guru bertanya, ”Berapa berat badan kalian ketika lahir? Berapa berat badan kalian saat ini? Berapa kalikah kenaikan berat badan kalian saat ini jika dibandingkan saat kalian lahir?”
3
Penjelasan
4 (`4,28%)
Pendahuluan Guru menyampaikan apersepsi tentang macam-macam otot.
Jumlah pertemuan
28 (100%)
Pada RPP yang termuat pada Tabel 1 dan 2, tampak bahwa aktifitas pembelajaran dalam apersepsi masih terpusat pada guru, dan kurang melibatkan siswa secara aktif untuk mengeluarkan dan mengaktifkan pengetahuan awalnya. Padahal dalam konteks paradigma konstruktivisme, apersepsi dianggap sebagai kegiatan awal untuk mengaktifkan pengetahuan awal siswa. Oleh karena itu beragam metode yang lahir dari basis paradigma konstruktivisme, sebenarnya tidak hanya ditempatkan pada kegiatan inti, tetapi dari sejak awal kegiatan pembelajaran, yaitu apersepsi. Untuk itu penelitian ini bertujuan memberikan gambaran, penggunaan metode metapora yang digunakan pada saat apersepsi, pada pembelajaran biologi sel. METODE PENELITIAN Penelitian bersipat penelitian kelas dan dilakukan secara deskriptif, dengan melibatkan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengambil mata kuliah biologi sel pada tahun 2007 dan 2008. Pada 2007 sebayak 36 mahasiswa calon guru terlibat dalam penelitian ini, dan pada tahun 2008 sebanyak 31 mahasiswa calon guru terlibat pada penelitian ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Metafora adalah mengkiaskan satu hal dalam terminologi yang lain (Rachel, 2005). Mark Johnson seorang filosof pun menyatakan, “The essence of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in terms of another” (Lawlwy & Tompkins, 2000). Pada pembelajaran di kelas biologi sel, para mahasiswa diintruksikan untuk membuat sebuah gambar organel dalam sel yang menggambarkan kondisi dirinya, kemudian menjelaskan mengapa dirinya tersebut dikiaskan dengan organel tersebut. Gambaran penggunaan metode metafora yang digunakan selama apersepasi adalah sebagai berikut: 460
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
1. Dosen menampilkan gambar bunga. Kemudian membagikan kertas pada mahasiswa, yang diibaratkan sebagai “bunga” . Setiap mahasiswa akan senang mendapatkan “bunga”, sehingga selembar kertas, yang dibagikan itu tidak dianggap sebagai “tugas” tetapi “hadiah”. Pengibaratan ini akan memberi motivasi awal dalam pembelajaran dan memberi kesan menyenangkan dalam belajar. 2. Mahsiswa menggambar sesuatu yang berkaitan dengan sel, yang sesuai dengan pribadinya. 3. Mahasiswa menuliskan alasan, mengapa mengibaratkan dirinya sebagai ”sesuatu” yang ada di dalam sel. 4. Mahasiswa membuat lingkaran besar, sambil membawa kertas yang berisi gambar dan tulisan yang telah dibuatnya. 5. Mahasiswa pertama menceritakan apa yang telah dibuat dan digambarnya, kemudian setelah selesai menunjuk mahasiswa lain, begitu seterusnya. Waktu yang dibutuhkan seorang mahasiswa untuk mengungkapkan apa yang tertera dikertas yang ditulis berkisar antara 20 – 48 detik, dengan rata-rata 29.5 detik. Adapun hal yang paling banyak diambil oleh mahasiswa untuk mengibaratkan dirinya terlihat pada Tabel 3. Pada kelas 2007, organel yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa untuk mengibaratkan dirinya adalah nukleus (39%) dan mitokondria (19%). Sedangkan pada kelas 2008, organel yang paling banyak digunakan adalah mitokondria (45%), ribosom (16%), dan nukleus (13%). Nukleus banyak digunakan untuk mengibaratkan diri mahasiswa karena metafora dengan fungsi “leadership”, sedangkan mitokondria banyak digunakan karena metafora dengan fungsi “social responsibility” sebagai manusia yang harus bermanfaat bagi manusia lain. Salah satu contoh yang diungkapkan mahasiswa adalah sebagai berikut: Saya ingin seperti mitokondria. Mitokondria menhasilkan energy (ATP), energi yang dialirkan ke organel lain. Saya pun ingin mengalirkan energy-energi positif bagi semua orang, sebagaimana hadits “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lain”
Saya mengibaratkan diri saya seperti nukleus sebagai pengatur sel, karena sebagai manusia kita ditentukan untuk menjadi pemimpin, minimalnya pemimpin bagi diri sendiri. Dan tidak bias dipungkiri bahwa sebagian besar manusia lebih suka berperan sebagai pengendali/sutradara. Paling tidak saya bias mengeluarkan ide-ide untuk dilakukan orang lain.
Tabel 3 : Bagian Sel/Sel yang Digunakan untuk Mengibaratkan Diri Mahasiswa
No
Bagian sel/sel yang digunakan untuk mengibaratkan diri mahasiswa
1.
Nukleus
2.
Jumlah Kelas 2007
Kelas 2008
14
4
Mitokondria
7
14
3.
Kloroplas
3
1
4.
Membran sel
3
-
461
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
5.
Kromosom
2
-
6.
Ribosom
2
5
7.
Sitosol
2
-
8.
Dinding sel
1
-
9.
DNA
1
-
10.
Lisosom
1
-
11.
RE
-
2
12.
Dinding sel
-
1
13.
Vakuola
-
1
14.
Badan sel syaraf
-
1
15.
Sel secara keseluruhan
-
1
16.
Organel sel secara keseluruhan
-
1
36
31
Jumlah
Penggunaan metafora dalam apersepsi selain menyenangkan bagi mahasiswa (100% mahasiswa menuliskan menyukai metode metafora), juga memudahkan bagi guru/dosen untuk mengukur pengetahuan awal siswa/mahasiswa dari ungkapan metafora yang dikemukan mahasiswa. Berdasarkan ungkapan metafora yang dikemukan mahasiswa, pada kelas 2008 diketahui sebanyak 32% mahasiswa mempunyai pengetahuan awal yang minum tentang sel, sehingga penjelasan terlalu dangkal, contoh ungkapannya adalah
Pengetahuan awal yang minim, Saya mengibaratkan diri saya sebagai organel sel karena hidup ini dinamis, tak bisa ditebak, misterius, ada kelebihan dan kekurangan. (Karena mahasiswa tidak begitu hapal, organel dan fungsi yang ada di dalamnya, maka ia mengibaratkan dirinya dengan organel secara umum dan metafora yang digunakan pun menjadi dangkal dan tidak tepat sasaran)
Penjelasan terlalu dangkal, Vakuola, saya ingin menyimpan sesuatu yang dapat saya gunakan untuk kelangsungan hidup nanti sebagai bekal diakherat. (Karena mahasiswa tidak terlalu paham fungsi vakuola secara detail, sehinggga ia mengambil fungsi umumnya saja, yaitu tempat menyimpan sesuatu) Ketika guru/dosen mengintruksikan membuat sebuah metafora organel sel dengan kondisi personal siswa/mahasiswa, maka proses kognitif yang terjadi pada mahasiswa/siswa melakukan adalah: 1. mengingat kembali (recalling) terhadap pengetahuan yang telah dimilikinya dalam konsep sel, 2. menyadari fakta dan harapan tentang dirinya (self awareness) 3. memilih (selecting) hasil recalling dan kondisi/harapan yang ingin ditampilkan 4. mengubungkan (connecting) antara pengetahuannya tentang sel dan kondisi/harapan dirinya. Jika dikembalikan fungsi engagement menurut Bybee (1997), maka apersepsi menggunakan metafora telah mampu: • Memfokuskan perhatian siswa pada topic yang akan dipelajari 462
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
• •
ISBN: 978-979-98546-4-2
Menilai pengetahuan awal siswa Memberikan masalah sebagai pemanasan untuk tahap pembelajaran selanjutnya yaitu eksplorasi
Urgensi penerapan metode metafora pada mahasiswa calon guru Menurut Mellando (1998), mahasiswa calon guru lebih banyak belajar dari bagaimana mereka diajar oleh para dosennya dan bukan dari apa yang dipaparkan dosen tentang cara mengajar yang baik. Penyataan yang sama juga dinyatakan oleh Hinduan (2005) program pendidikan dalam program pendidikan pra jabatan (pre-service training) yang telah ada memisahkan metode mengajar dengan materi. Pembahasan tentang metode biasanya kurang disertai dengan contoh nyata dan latihan sedangkan materi pelajaran yang dibahas sangat akademis dan lepas dari konteks pembelajaran. Kondisi ini menyebabkan calon guru kesulitan dalam menerapkan apa yang diperolehnya dalam pendidikan. Para calon guru memerlukan pemberian pengalaman belajar secara aktif. Itulah sebabnya metoda ini diterapkan pada pembelajaran biologi sel bagi mahasiswa keguaruan. Tujuannya, agar mereka memperoleh contoh dan pengalaman menerapkan metode ini, sehingga tidak akan mengalami kesulitan menerapkannya kelak pada para siswanya di SLTP/SLTA. PENUTUP Metode metafora adalah metode yang dapat digunakan guru dalam memberikan apersepsi pada siswa/mahasiswa. Sehingga apersepsi yang diberikan guru/dosen lebih bervariatif, tidak hanya tanya jawab atau penjelasan saja. Metode metafora pada apersepsi pembelajaran biologi sel, menyajikan empat proses kognitif yaitu recalling, self awareness, selecting, dan connecting. PEnggunaan metode metafora dalam apersepsi pun telah mampu memfokuskan perhatian siswa pada topic yang akan dipelajari, menilai pengetahuan awal siswa, dan memberikan masalah sebagai pemanasan untuk tahap pembelajaran selanjutnya yaitu eksplorasi. Pemberian contoh dan pengalaman menggunakan metode ini pada para calon guru memberikan efek domino, yaitu para calon guru ini akan menerapkan metode serupa pada para siswanya.
DAFTAR PUSTAKA Ausuble, D.P. (1960). “The Use of Advance Organizers in the Learning and Retention of Meaningful Verbal Material. Journal of Education Psycology, 51, 267-272 __________. (1963). The Psycology of Meaningful Verbal Learning. New York: Grund & Straton. Bybee. (1997). Constructivism is a DynamicaAnd Interactive Model of How Humans Learn. Tersedia on line di http://agpa.uakron.edu/p16/btp.php?id=learning-cycle Dahar. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: PT. Erlangga. Doroji & Haryati. (2007). Konsep dan Penerapan Sains Biologi 2 untuk Kelas VII SMP dan MTS. Solo: PT Tiga Serangkai. Hinduan, A. A.(2005). Meningkatkan Profesionalisme guru IPA di Sekolah. Makalah Disajikan dalamSeminar Nasional Pendidikan IPA II, Bandung, 23 Juli 2005. Lawlwy & Tompkins. (2000).
www.editlib.org
Metaphor and Online Learning Communities.
463
Tersedia online di
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Mellado, V. (1998). The classroom practice of preservice teachers and their conceptions of teaching and learning. Science Education, 82, 197-214. Posner, G. J., Strike, K. A., Hewson, P. W., & Gertzog, W. A. (1982). Accommodation of a scientific conception: Toward a theory of conceptual change. Science Education, 66(2), 211-227. Rachel, H.E. (2005). Evaluating a Virtual Learning Environment in Medical Education. Thesis. Edinburgh, Scotland: The University of Edinburgh. Tersedia on line di http://www.lts.mvm.ed.ac.uk. Riandari, H. (2007). Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sains: Biologi 2B untuk Kelas X SMA dan MA Semester 2. Solo: PT. Tiga Serangkai.
464
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-08
THE EFFECTS OF GROUP INVESTIGATION AND PROBLEM BASED LEARNING MODEL TO THE STUDENT THINKING ABILITY OF JUNIOR HIGH SCHOOL IN SIDOARJO Raharjo (Surabaya State University)
ABSTRACT This research purpose is explaining the impact of implementation of student-centered learning model (Group Investigation and Problem Based Learning model) to the students thinking ability at Sidoarjo’s Junior High Schools in class VII. Based on result of data analysis and the discussion, it can be conclude as follow (1) There is a difference thinking ability of the students in each chapter/ subject matter. (2) There is thinking ability differences between students which learn using the Problem Based Instruction (PBI) model and student which learn with the Group Investigation Co-operative Learning model (GI). (3) There are students thinking ability differences as effects of interaction between school category and kind of chapter. (4) There are students thinking ability differences as being an effect of interaction between kinds of chapter. (5) There is a tendency that any chapter, conducted with the model of GI have higher learning outcomes than PBI model. (6) There is students thinking ability differences as a result of an interaction between school category and the constructivistic model (PBI and GI model). (7) There is students thinking ability difference as a result of an interaction among three factors, i.e, school categorize and kinds of chapter. Key words : group investigation, problem based learning, thinking ability
PENDAHULUAN Di era globalisasi manusia Indonesia perlu meningkatkan keterampilan berpikir, agar mampu memecahkan masalah-masalah yang ada di sekitarnya. Pengembangan keterampilan berpikir sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi, karena tuntutan dunia menghendaki demikian. Costa (1985) menyatakan bahwa sumber daya terbesar bangsa adalah pemikiran anak-anak. Abad milenium adalah abad pengetahuan (Galbreath 1999). Pada abad ini diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi, memiliki keahlian, mampu bekerjasama dengan orang lain, terbiasa berpikir kritis, terampil, kreatif, memahami berbagai budaya, memiliki kemampuan komunikasi, dan komputer, serta mampu belajar mandiri (Trilling dan Hood, 1999). Pada abad pengetahuan kecakapan berpikir merupakan kebutuhan utama sebagai tenaga kerja. Kemampuan intelektual diwujudkan dalam kemampuan berpikir seseorang merupakan modal dasar di abad pengetahuan (Galbreath, 1999). Berpikir sangat berperan dalam menentukan prestasi belajar, penalaran formal, keberhasilan belajar, dan kreativitas karena berpikir merupakan inti pengatur tindakan siswa. Jadi apabila masalah berpikir tidak dipecahkan dapat dipastikan siswa akan bermasalah dengan hal-hal di atas (Tindangen, 2006). Makin baik kemampuan berpikir siswa, makin baik pula kemampuannya dalam menyusun strategi dan taktik untuk meraih peluang menang dalam persaingan global. Dengan demikian saat ini mutlak diperlukan pemberdayaan kemampuan berpikir siswa agar memiliki ketangguhan menghadapi persaingan. Pengembangan kemampuan atau pemberdayaan berpikir adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Bila tidak dikembangkan maka lambat laun Indonesia akan kalah bersaing dan makin terpuruk kualitas lulusan di dunia pendidikan internasional. Di samping itu, siswa-siswa akan menjadi generasi yang kurang peka terhadap keadaan sekitarnya, kurang cerdas dalam menyelesaikan masalah-masalah nyata yang dihadapi 465
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
sehari-hari, yang pada skala yang besar dapat berdampak keterpurukan bangsa Indonesia di masa mendatang. Terdapat beberapa model pembelajaran berpusat pada siswa berbasis konstruktivis yang dapat digunakan untuk melatih keterampilan berpikir, antara lain Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok dan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Slavin, 2000). Kategori sekolah diduga berhubungan langsung dengan tingkat kemampuan akademik siswa dan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Materi pelajaran diduga berkaitan dengan minat dan motivasi siswa, dan akan diuji pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir siswa. Untuk mengetahui keunggulan-keunggulan komparatif tiap-tiap perangkat model tersebut terhadap pemberdayaan berpikir dilakukan pembandingan antara dua model tersebut. Rumusan masalah umum adalah “Apakah implementasi model pembelajaran berpusat pada siswa berpengaruh terhadap kemampuan berpikir pada siswa Sekolah Menengah Pertama? Sedangkan tujuan umum penelitian ini adalah menjelaskan dampak implementasi strategi pembelajaran berpusat pada siswa terhadap kemampuan berpikir pada siswa Sekolah Menengah Pertama.
METODE PENELITIAN Penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu penelitian pengembangan perangkat dan penelitian eksperimen untuk mengetahui pengaruh penggunaan perangkat pembelajaran biologi model Pembelajaran Berdasarkan Masalah, dan Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi kelompok terhadap kemampuan berpikir. Pengembangan ini dilakukan mengikuti model 4-D (Define, Design, Develop, and Dessiminate) oleh Thiagarajan, et al., 1974 atau diadaptasi menjadi model 4-P, yaitu Penetapan, Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran. Perangkat yang dikembangkan meliputi Buku Siswa, Lembar Kegiatan Siswa, Rencana Pelajaran, dan Evaluasi untuk Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama. Perangkat pembelajaran hasil pengembangan ini divalidasi pada pakar dan diujicobakan secara terbatas di sekolah melalui simulasi dan real teaching. Tahap eksperimen adalah implementasi perangkat pembelajaran serta merupakan kelanjutan dari pengembangan perangkat. Pada tahap ini diharapkan guru sudah tepat dalam mengimplementasikan perangkat pembelajaran. Penelitian ini menggunakan teknik pengukuran 3 faktor dalam versi faktorial 2 X 3 X 4. Dalam rancangan penelitian the nonequivalent control group design (Tuckman, 1999). Rancangan ini merupakan quasi experiment yang bertujuan untuk menyelidiki tingkat kesamaan antar kelompok dan skor-skor prates postes berfungsi Populasi penelitian adalah semua siswa SMP klelas VIII di Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo mempunyai 44 SMP Negeri yang tersebar di 18 kecamatan. Dari sejumlah SMPN tersebut diambil 6 sampel sekolah untuk penelitian. Unit analisis penelitian ini adalah siswa yang belajar biologi di SMP. Sampel penelitian adalah siswa-siswi kelas VIII di semester 1 dan 2 SMPN 3 Sidoarjo, SMPN 1 Candi, SMPN 1 Porong, SMPN 2 Tanggulangin, SMPN 2 Buduran dan SMPN 2 Jabon. Guru mitra adalah 6 orang guru biologi kelas masing-masing sekolah. Keenam sekolah tersebut diambil sebagai sampel dari SMPN di Kabupaten Sidoarjo. Untuk mendapatkan hasil yang representative, dilakukan pengambilan sample berstrata. Dasar strata yang digunakan adalah peringkat sekolah berdasarkan ranking yang sudah disusun oleh Diknas Propinsi Jawa Timur tahun 2002. Sekolah berkategori baik, diwakili oleh SMPN 3 Sidoarjo dan SMPN 1 Candi, sekolah berkategori sedang diwakili oleh SMPN Porong 1 dan SMPN 2 Tanggulangin, dan sekolah berkategori kurang diwakili oleh SMPN 2 Buduran dan SMPN 2 Jabon. 466
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Pengumpulan data dilakukan melalui tes awal dan tes akhir untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat rendah dan tinggi setelah menyelesaikan pokok bahasan tertentu, observasi kelas untuk mendapatkan data aktivitas guru dan siswa, pengumpulan hasil kinerja baik berupa laporan praktikum maupun poster, dan angket respon siswa dan guru untuk mengetahui tanggapan terhadap pembelajaran yang dilaksanakan. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan statistik inferensial dan kualitatif. Teknik analisis statistik inferensial digunakan adalah ANACOVA dalam program SPSS versi 12,0 for Windows.yang kemudian dilanjutkan dengan uji beda LSD (Sujana, 1994; Sastrosupadi, 1994). Uji prasyarat yang digunakan adalah uji normalitas dan homogenitas varian menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test dan uji Leven’s Test of Equality of Error Variances. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pengembangan menghasilkan perangkat pembelajaran model Kooperatif tipe Investigasi Kelompok dan model Pembelajaran Berbasis Masalah. Perangkat yang telah dikembangkan meliputi silabus, Rencana Pengajaran, Buku Siswa, Lembar Kegiatan Siswa, Panduan Lembar Kegiatan Siswa, Evaluasi, dan Panduan Evaluasi. Hasil penelaahan isi oleh ahli kependidikan biologi dan keterbacaan oleh guru menunjukkan bahwa perangkat yang dikembangkan layak digunakan dalam penelitian setelah dilakukan revisi sesuai dengan saran dari penilai tersebut. Uji Anacova faktorial 2 X 3 X 4 dilakukan untuk menguji pengaruh variabel model pembelajaran (PBM dan Kooperatif tipe IK), kategori sekolah (baik, sedang, kurang), dan materi pokok bahasan (Sistem Pencernaan, Pernapasan, Transportasi, dan Eksresi) terhadap kemampuan berpikir disajikan dalam Tabel 1 Tabel 1 : Ringkasan Hasil Uji Anacova Pengaruh Materi Pokok Bahasan, Kategori Sekolah, dan Model Pembelajaran terhadap Kemampuan Berpikir Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Nilai pasca tes total Source Corrected Model Intercept PRETOT MATERI KAT MODEL MATERI * KAT MATERI * MODEL KAT * MODEL MATERI * KAT * MODEL Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 122808,353a 63184,488 11615,833 1176,125 5009,277 12949,630 42338,838 3596,633 571,049 7101,756 82504,875 2908822,131 205313,228
df 24 1 1 3 2 1 6 3 2 6 874 899 898
Mean Square 5117,015 63184,488 11615,833 392,042 2504,638 12949,630 7056,473 1198,878 285,524 1183,626 94,399
F 54,206 669,333 123,050 4,153 26,532 137,179 74,751 12,700 3,025 12,539
Sig. ,000 ,000 ,000 ,006 ,000 ,000 ,000 ,000 ,049 ,000
a. R Squared = ,598 (Adjusted R Squared = ,587)
Hasil analisis data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa macam materi pokok bahasan berpengaruh terhadap kemampuan kemampuan berpikir siswa. Selanjutnya, untuk mengetahui materi pokok bahasan manakah yang mempunyai pengaruh paling besar, maka dilakukan uji lanjut dengan uji LSD, yang hasilna disajikan pada Tabel 2.
467
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 2 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Materi Pokok Bahasan terhadap Kemampuan berpikir
MATERI
AWALTOT
AKHIRTOT
SELISIH
MEAN TERKOREKSI
Notasi LSD0.01
PERNAPASAN
53,5708
57,2946
3,7238
52,8762
a
TRASPORTASI
39,8122
53,0710
13,2588
53,9646
a b
PENCERNAAN
32,1648
51,8605
19,6957
55,7066
a b
EKSKRESI
40,8546
55,6001
14,7455
56,0912
b
Berdasarkan Tabel 2 terungkap bahwa antara materi Sistem Ekskresi dengan Pencernaan tidak terdapat perbedaan signifikan, demikian pula antara materi Sistem Pencernaan dan Transportasi. Perbedaan yang signifikan terdapat antara mean Sistem Ekskresi dengan Sistem Pernapasan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kategori sekolah berpengaruh terhadap kemampuan berpikir siswa. Selanjutnya, untuk mengetahui kategori sekolah manakah yang mempunyai pengaruh paling besar, maka dilakukan uji LSD yang hasilnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Kategori Sekolah terhadap Kemampuan Berpikir
KATEGORI
AWALTOT
AKHIRTOT
SELISIH
MEAN TERKOREKSI
SEDANG
35,6023
49,0756
13,4734
51,5946
KURANG
37,8026
52,1846
14,3819
53,8540
BAIK
51,3968
62,1094
10,7126
58,5304
Notasi LSD0.01 a b c
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh selisih nilai mean terkoreksi antara sekolah berkategori baik dan yang kurang sebesar 4,68. Dalam hal ini sekolah berkategori baik mempunyai mean 8,68% lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berkategori kurang. Di lain pihak antara sekolah berkategori kurang dengan yang sedang terdapat selisih 2,26. Hal ini memperlihatkan bahwa sekolah berkategori kurang mempunyai nilai 4,38 % lebih baik daripada yang berkategori sedang. Hasil analisis data menunjukkan bahwa model pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan berpikir siswa. Untuk mengetahui model pembelajaran manakah yang mempunyai pengaruh lebih besar, maka dilakukan perbandingan antara mean yang telah terkoreksi seperti pada Tabel 4. Tabel 4 : Perbedaan Mean Model Pembelajaran terhadap Kemampuan Berpikir
MODEL
AWALTOT
AKHIRTOT
SELISIH
MEAN TERKOREKSI
PBM IK
39,0109 44,1902
49,4983 59,4148
10,4873 15,2246
50,7012 58,6181
468
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 4 menunjukkan ada perbedaan mean terkoreksi sebesar 7,92 yang memperlihatkan bahwa model pembelajaran Kooperatif tipe IK memiliki nilai 15,61%. lebih tinggi dibanding model pembelajaran PBM. Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi antara materi pokok bahasan dan kategori sekolah berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Hasil analisis lanjut untuk mengetahui perbedaan mean interaksi antar materi pokok bahasan dengan kategori sekolah disajikan dalam ringkasan hasil analisis LSD pada Tabel 5 Berdasar hasil uji lanjut pada Tabel 5 nilai kemampuan berpikir yang tertinggi adalah pada kombinasi materi Sistem Ekskresi dengan sekolah berkategori baik, sedangkan yang terendah pada kombinasi materi Sistem Pernapasan dengan sekolah berkategori sedang. Selanjutnya untuk melihat ada tidaknya pola-pola atau kecenderungan tertentu dari hasil Tabel 5 maka dilakukan modifikasi berdasar macam materi pelajaran seperti pada Tabel 6. Setelah dilakukan modifikasi pada pokok bahasan dan Sistem Ekskresi dan Sistem Pernapasan tampak ada pola tertentu; sekolah berkategori baik selalu terlihat memiliki kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Di lain pihak pada pokok bahasan Sistem transportasi dan Sistem Pencernaan tidak terlihat ada pola tertentu. Dalam hubungan ini terlihat juga bahwa kategori sekolah, terutama yang sedang dan kurang tidak konsisten. Tabel 5 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Materi dan Kategori terhadap Kemampuan berpikir
MATERI
KATEGO RI
CODE
AWAL
AKHIR
SELISIH
MEAN
Notasi
TERKOREKSI
LSD0.01
PERNAPASAN
SEDANG
8
45,9717
48,3441
2,3724
46,8596
a
PENCERNAAN
KURANG
3
29,5219
42,0834
12,5615
46,9499
a
EKSRESI
SEDANG
11
39,0161
46,0205
7,0044
47,2214
a
TRANSPORTASI
SEDANG
5
31,2929
43,4101
12,1173
47,5929
a
TRANSPORTASI
BAIK
4
52,3120
54,4022
2,0902
50,4699
ab ab
EKSRESI
KURANG
12
33,2992
47,4007
14,1015
50,8088
RESPIRASI
KURANG
9
52,5578
57,8535
5,2957
53,8263
PENCERNAAN
BAIK
1
40,8440
54,9704
14,1264
55,4656
cd
RESPIRASI
BAIK
7
62,1827
65,6861
3,5034
57,9428
d
KURANG
6
35,8317
61,4007
25,5691
63,8311
e e
TRANSPORTASI PENCERNAAN
SEDANG
2
26,1284
58,5277
32,3993
64,7044
EKSRESI
BAIK
10
50,2485
73,3790
23,1305
70,2433
bc
f
Tabel 6 : Hasil Modifikasi Berdasar Variabel Urutan Materi
KATEGORI
CODE
AWAL
AKHIR
SELISIH
MEAN TERKOREKSI
PENCERNAAN PENCERNAAN PENCERNAAN
KURANG BAIK SEDANG
3 1 2
29,5219 40,8440 26,1284
42,0834 54,9704 58,5277
12,5615 14,1264 32,3993
46,9499 55,4656 64,7044
a
TRANPORTASI
SEDANG
5
31,2929
43,4101
12,1173
47,5929
a
MATERI
469
Notasi LSD0.01 b c
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
TRANPORTASI TRANPORTASI
BAIK KURANG
4 6
52,3120 35,8317
54,4022 61,4007
2,0902 25,5691
50,4699 63,8311
a
PERNAPASAN PERNAPASAN PERNAPASAN
SEDANG KURANG BAIK
8 9 7
45,9717 52,5578 62,1827
48,3441 57,8535 65,6861
2,3724 5,2957 3,5034
46,8596 53,8263 57,9428
a
EKSKRESI EKSKRESI EKSKRESI
SEDANG KURANG BAIK
11 12 10
39,0161 33,2992 50,2485
46,0205 47,4007 73,3790
7,0044 14,1015 23,1305
47,2214 50,8088 70,2433
a a
b b c
b
Hasil analisis data menunjukkan bahwa interaksi antara materi pokok bahasan dan model pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Hasil analisis lanjut untuk mengetahui perbedaan mean interaksi antar materi pokok bahasan dengan model pembelajaran disajikan dalam ringkasan hasil analisis LSD pada Tabel 7. Tabel 7 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Materi dan Model terhadap Kemampuan berpikir.
MATERI EKSKRESI TRANSPORTASI PERNAPASAN PENCERNAAN PERNAPASAN PENCERNAAN TRANSPORTASI EKSKRESI
MODEL
CODE
AWAL
AKHIR
SELISIH
MEAN TERKOREKSI
PBM PBM PBM PBM IK IK IK IK
7 3 5 1 6 2 4 8
38,5281 38,4191 53,5643 25,5322 53,5772 38,7973 41,2052 43,1810
47,6113 48,2907 55,1923 46,8989 59,3968 56,8221 57,8514 63,5889
9,0831 9,8716 1,6280 21,3667 5,8197 18,0248 16,6461 20,4078
49,0006 49,7221 50,7765 53,3057 54,9760 58,1075 58,2071 63,1818
Notasi LSD0.01 a a a b bc cd d d e
Berdasar hasil uji lanjut pada Tabel 7 nilai kemampuan berpikir tertinggi terdapat pada kombinasi materi pokok bahasan Sistem Ekskresi dengan model Kooperatif IK, sedangkan terendah pada kombinasi materi Sistem Ekskresi dengan model PBM. Secara umum tampak bahwa semua materi pokok bahasan yang dilakukan dengan model Kooperatif tipe Investigasi Kelompok mempunyai mean yang lebih tinggi dibanding model PBM. Dalam hubungan ini terlihat jelas bahwa untuk semua materi kamampuan berpikir siswa yang mengalami pembelajaran dengan model Kooperatif IK selalu lebih tinggi dibanding yang menjalani dengan model PBM. Selanjutnya, untuk melihat ada tidaknya pola-pola tertentu dari hasil Tabel 7 dilakukan modifikasi berdasarkan macam materi pelajaran. Setelah dilakukan modifikasi tampak ada pola tertentu dari variabel materi dan model pembelajaran. Dapat diinterpretasikan bahwa skor kemampuan berpikir pada pokok bahasan Sistem Ekskresi dengan model Kooperatif IK 28,94% lebih tinggi bila dibanding model PBM. Skor kemampuan kemampuan berpikir pada pokok bahasan Pernapasan dengan model Kooperatif IK lebih tinggi 8,27% dibanding model PBM. dan pada Sistem Transportasi dengan model kooperatif IK 17,06% lebih tinggi bila dibanding model PBM. Skor kemampuan berpikir pada pokok bahasan Sistem Pencernaan dengan model kooperatif IK lebih tinggi 9% lebih tinggi dibanding model PBM. Secara keseluruhan juga terlihat bahwa untuk tiap materi pokok bahasan kemampuan berpikir siswa mengalami 470
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
pembelajaran dengan model Kooperatif IK selalu lebih tinggi dibanding yang menjalani pembelajaran dengan model PBM. Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi antara kategori sekolah dan model pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan berpikir Hasil analisis lanjut untuk mengetahui perbedaan mean interaksi antar kategori sekolah dengan model pembelajaran disajikan dalam ringkasan hasil analisis LSD pada Tabel 9 Tabel 9 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Kategori dan Model terhadap Kemampuan berpikir.
KATEGORI SEDANG KURANG SEDANG BAIK KURANG BAIK
MODEL PBM PBM IK PBM IK IK
CODE
AWAL
AKHIR
SELISIH
MEAN TERKOREKSI
3 5 4 1 6 2
35,3775 36,1269 35,8270 45,5284 39,4784 57,2652
45,9016 46,4831 52,2496 56,1102 57,8861 68,1087
10,5241 10,3562 16,4226 10,5817 18,4077 10,8435
48,5073 48,7995 54,6818 54,7968 58,9085 62,2640
Notasi LSD0.05 a a b b c d
Berdasar hasil uji lanjut pada Tabel 9 nilai kemampuan berpikir tertinggi terdapat pada kombinasi sekolah berkategori baik dengan model Kooperatif tipe IK, sedangkan yang terendah pada kombinasi sekolah berkategori sedang dengan model pembelajaran PBM. Secara umum tampak pada berbagai ketagoari sekolah, model pembelajaran IK lebih berpengaruh dalam menentukan kemampuan berpikir. Selanjutnya untuk melihat ada tidaknya pola-pola tertentu dilakukan modifikasi berdasar urutan kategori sekolah. Setelah dilakukan modifikasi tabel terlihat bahwa skor kemampuan berpikir pada siswa di sekolah berkategori kurang dengan model IK menunjukkan hasil 20,72% lebih baik dibanding model PBM. Skor kemampuan berpikir dari siswa di sekolah berkategori sedang dengan model pembelajaran Kooperatif IK menunjukkan hasil 12,73% lebih baik dibanding PBM, sedangkan skor sekolah berkategori baik dengan model Kooperatif IK menunjukkan hasil 13,63% lebih baik dibanding dengan PBM. Hasil analisis data menunjukkan bahwa interaksi antara materi pokok bahasan, kategori sekolah dengan model pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Hasil analisis lanjut untuk mengetahui perbedaan mean interaksi antara materi, kategori sekolah dengan model pembelajaran disajikan dalam ringkasan hasil analisis LSD pada Tabel 10. Berdasarkan data hasil uji lanjut pada Tabel 10 diketahui bahwa nilai kemampuan berpikir tertinggi pada kombinasi materi Sistem Ekskresi, kategori sekolah baik dengan model pembelajaran Kooperatif tipe IK, sedangkan nilai terendah pada kombinasi materi pokok bahasan Sistem Ekskresi, sekolah berkategori kurang, dan model PBM. Secara umum tampak bahwa sebagian besar nilai mean rendah diperoleh oleh sekolah kategori kurang dan sedang, kecuali untuk materi Sistem Transportasi, Ekskresi. Disamping itu juga tampak bahwa model IK secara umum mempunyai nilai mean lebih tinggi bila dibanding PBM. Selanjutnya untuk dapat melihat lebih jelas ada tidaknya pola-pola tertentu dari hasil di atas, maka dilakukan modifikasi tabel berdasarkan urutan variabel yang lain Berdasarkan hasil modifikasi tampak ada pola khusus pada materi pokok bahasan Sistem Pencernaan. Sebagian besar data menunjukkan bahwa nilai kemampuan berpikir yang diperoleh melalui model PBM lebih rendah dari IK, namun pola tersebut tidak diikuti oleh teraturnya pola pada kategori
471
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
sekolah. Urutan skor tertinggi hingga terendah kemampuan berpikir pokok bahasan Sistem Pencernaan yang dilakukan dengan model PBM dan IK mempunyai urutan kategori sekolah sedang, baik, dan kurang. Tabel 10 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Materi, Kategori dan Model terhadap Kemampuan berpikir.
MATERI
KATE GORI
MODEL
CO DE
AWAL
SELI-
AKHIR
SIH
MEAN TERKO-
LSD0,01
REKSI
23
29,8686
34,5451
4,6765
39,2777
a
PBM
15
46,6369
43,2750
-3,3619
41,5337
ab
SDNG
PBM
9
31,0624
39,3595
8,2971
43,6312
abc
PENCERNAAN
KRNG
PBM
5
20,2474
36,2963
16,0489
44,7435
abc
TRANSPORTASI
BAIK
PBM
7
43,6384
46,8119
3,1735
46,2282
bcd
EKSKRESI
SDNG
IK
22
39,3732
46,0187
6,6455
47,0818
bcde
EKSKRESI
SDNG
PBM
21
38,6590
46,0223
7,3633
47,3611
cde
PENCERNAAN
KRNG
IK
6
38,7964
47,8706
9,0742
49,1563
cdef
TRANSPORTASI
SDNG
IK
10
31,5233
47,4608
15,9374
51,5545
defg
PERNAPASAN
KRNG
PBM
17
53,8349
56,3903
2,5554
51,8700
defg
PERNAPASAN
SDNG
IK
16
45,3065
53,4132
8,1068
52,1856
efg
PENCERNAAN
BAIK
PBM
1
31,1974
49,4508
18,2533
53,6703
TRANSPORTASI
BAIK
IK
8
60,9856
61,9926
1,0069
54,7115
PERNAPASAN
KRNG
IK
18
51,2808
59,3168
8,0359
55,7825
ghij
PERNAPASAN
BAIK
IK
14
64,1443
65,4605
1,3162
56,9599
ghijk
PENCERNAAN
BAIK
IK
2
50,4906
60,4900
9,9994
57,2609
ghijk
PERNAPASAN
BAIK
PBM
13
60,2212
65,9116
5,6905
58,9257
hijk
TRANSPORTASI
KRNG
PBM
11
40,5566
58,7006
18,1441
59,3068
hijk
PBM
19
47,0568
62,2664
15,2095
60,3629
ijk
3
25,1518
54,9497
29,7979
61,5034
j k
EKSKRESI
KRNG
PERNAPASAN
SDNG
TRANSPORTASI
PBM
fgh
fghi
EKSKRESI
BAIK
PENCERNAAN
SDNG
EKSKRESI
KRNG
IK
24
36,7297
60,2562
23,5265
62,399
PENCERNAAN
SEDANG
IK
4
27,1050
62,1058
35,0008
67,9054
lm
TRANSPORTASI
KURANG
IK
12
31,1068
64,1008
32,9941
68,3554
m
EKSKRESI
BAIK
IK
20
53,4402
84,4917
31,0515
80,1238
n
PBM
kl
Strategi kooperatif IK secara signifikan memberikan pengaruh lebih baik dibanding PBM, sekalipun kedua model tersebut memiliki dasar filosofi konstruktivisme. Pada proses pembelajaran yang didasari filosofi tersebut siswa membangun sendiri pengetahuannya dan peranan guru hanya sebagai fasilitator saja. Dalam kooperatif IK kelompok siswa dihadapkan pada masalah, menentukan sendiri masalah yang akan dibahas, merancang investigasi, melakukan investigasi, menganalisis data investigasi dan akhirnya menarik kesimpulan. Siswa terlibat aktif dalam model IK baik secara mental maupun jasmani sehingga pemahaman siswa akan materi pelajaran diharapkan dapat menjadi lebih baik.
472
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Dalam model pembelajaran Kooperatif tipe IK ternyata kemampuan berpikir siswa tinggi, hal ini sesuai dengan pendapat Slavin (1995) yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran kooperatif tipe IK terjadi peningkatan kemampuan untuk melakukan analisis dan sintesis terhadap segala informasi sehingga penguasaan akan materi menjadi lebih baik. Proses belajar seperti itu membuat siswa membangun sendiri pengetahuannya secara langsung menggunakan pengetahuannya untuk membahas permasalahan yang diangkat, sehingga pembelajaran menjadi sangat bermakna. Model kooperatif IK dapat menggunakan masalah otentik maupun akademik untuk diangkat sebagai bahan diskusi atau proyek (Nur dan Ibrahim 200). Kelebihan dari model Kooperati IK dalam meningkatkan hasil belajar diutarakan oleh Lord, 2001, Kooperatif IK dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Hal ini didukung oleh pendapat Lord 2001 yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar akademik siswa. Pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan bagi semua siswa baik yang pandai maupun yang kurang pandai. Siswa yang pandai akan menjadi tutor sebaya bagi siswa yang kurang pandai. Sebagai tutor siswa akan bertambah mantap pengetahuannya, dan sebagai siswa yang mendapat bantuan akan memperoleh informasi dengan bahasa yang mudah dimengerti. Model Kooperatif tipe IK mendorong terjadinya kerjasama yang sangat intensif antar anggota kelompok maupun antar kelompok. Bentuk interaksi ini dapat menumbuhkan hubungan sosial diantara anggota kelompok sehingga terjalin hubungan yang erat diantara mereka. Keadaan tersebut mendukung pendapat Slavin, 1995 yang mengemukakan bahwa kegiatan pembelajaran dengan model Kooperif IK dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kemampuan akademis siswa. Dengan meningkatnya keterampilan tersebut akan memicu terjadinya komunikasi yang lebih baik antar anggota kelompok, akibatnya akan terjadi pertukaran pengetahuan yang berdampak pada meningkatnya penguasan materi yang dipelajari. Dalam penerapan model Kooperatif IK guru membagi kelas menjadi kelompok-kelomok dengan anggota 5-6 siswa yang heterogen. Namun bisa juga mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Topik yang diangkat dapat berupa topik yang akademik maupun otentik. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, kemudian melakukan penyelidikan atas topik yang dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas (Sharan dalam Arends 1997). Model pembelajaran Kooperatif IK dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan berpikir, menurut (Nur 2000) mempunyai manfaat antara lain: (a) mengurangi sifat apatis, (b) Meningkatkan pemahaman siswa, (c) meningkatkan motivasi, (d) meningkatkan hasil belajar dan (e) menambah retensi. Nilai kemampuan berpikir tertinggi terdapat pada kombinasi materi pokok bahasan Sistem Ekskresi dengan model Kooperatif IK, sedangkan terendah pada kombinasi materi Sistem Ekskresi dengan model PBM. Secara umum tampak bahwa semua materi pokok bahasan yang dilakukan dengan model Kooperatif tipe Investigasi Kelompok mempunyai mean yang lebih tinggi dibanding model PBM. Untuk semua model pembelajaran, materi Sistem Ekskresi dianggap paling mudah diikuti kemudian dengan materi Sistem Pernapasan, Sistem Transportasi, dan Sistem Pencernaan. Kegiatan dalam Sistem Ekskresi meliputi merancang percobaan untuk mengetahui perbandingan kepadatan kelenjar keringat (kelas Kooperatif IK) dan menghitung kepadatan kelenjar keringat pada daerah-daerah yang telah ditentukan, dengan menggunakan alat bantu sederhana berupa cairan betadin dan kertas saring. Dengan menggunakan alat tersebut mayoritas siswa tertarik karena tidak menduga sebelumnya bahwa alat yang sudah mereka ketahui sehari-hari dapat digunakan untuk keperluan lain yang menurut siswa cukup mengagumkan, yaitu sebagai alat yang mampu memetakan titik-titik kelenjar keringat pada permukaan kulit. Kegiatan pada Pokok Bahasan Sistem Pernapasan cukup menarik karena 473
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
siswa diajak untuk membuat poster ( kelas PBM) dan merancang alat ukur volume udara pernapasan (Kooperatif IK). Saat ini telah ada Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2005 tentang Ujian Akhir Nasional. Dalam peraturan itu, bisa diketahui hakikat UAN itu sesungguhnya untuk mencapai standar minimun yang harus dicapai oleh setiap sekolah di Indonesia dan bisa digunakan untuk meningkatkan mutu, meskipun tidak secara langsung. Dikatakan secara langsung karena guru akan termotivasi meningkatkan kualitas diri dan siswanya setelah mendapat masukan dari hasi UAN secara umum di sekolah tersebut. Ada beberapa hal yang menyebabkan hasil rerata mean sekolah berturut-turut dari nilai tinggi ke rendah adalah Sekolah Kategori Baik, Kurang, dan Sedang. Alasan yang pertama, ada kemungkinan bahwa asumsi nilai UAN tinggi mencerminkan kemampuan yang tinggi pula untuk mata pelajaran yang lain (selain Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris) adalah salah. Hal tersebut ditandai dengan berubahnya urutan kategori sekolah bila yang digunakan adalah nilai dari mata pelajaran IPA Biologi. Alasan yang kedua, perubahan urutan kategori mencerminkan keberhasilan model pembelajaran berbasis konstruktivis dalam membangkitkan kemampuan berpikir pada siswa sekolah kategori kurang, sehingga kenaikan nilai yang didapatkan bisa lebih besar dari sekolah berkategori sedang. Keberhasilan ini ditandai dengan beradanya sekolah berkategori kurang pada urutan kedua. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Corebima (2007) yang menemukan bahwa dari 10 penelitian yang dibimbingnya terdapat 21 macam kombinasi strategi pembelajaran yang berpotensi meningkatkan kemampuan berpikir siswa, terungkapn bahwa penerapan model pembelajaran berbasis konstruktivis akan lebih berhasil bila diterapkan pada siswa dengan kemampuan akademis rendah. Siswa dengan kategori akademis rendah memperoleh kenaikan hasil belajar yang lebih besar bila dibanding siswa berkategori kemampuan akademis tinggi. Kemampuan berpikir siswa pada kelompok akademik rendah akan tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok akademis yang lebih tinggi. Ada kecenderungan bahwa kemampuan berpikir berkait dengan urutan materi pokok bahasan dengan tingkat kategori sekolah. Materi Sistem Pernapasan dan Ekskresi terkait dengan kategori sekolah dapat diinterpretasikan bahwa skor kemampuan berpikir pada pokok bahasan Sistem Ekskresi dengan kategori sekolah baik lebih tinggi bila dibanding kategori kurang, sedangkan antara sekolah berkategori kurang dengan sedang tidak ada perbedaan mean yang cukup signifikan. Skor kemampuan berpikir tingkat tinggi pada pokok bahasan Pernapasan dengan kategori sekolah baik lebih tinggi dibanding kategori kurang, dan sekolah kategori kurang lebih baik daripada kategori sedang, sedangkan untuk materi pokok bahasan Transportasi dan Pencernaan dikaitkan dengan kategori sekolah tidak menunjukkan pola tertentu. Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu, sehingga dia akan menyerap dan mengendapkan materi itu lebih baik (Slavin 1995, Nur 2000). Berdasarkan data tampak bahwa siswa menganggap materi pokok bahasan Sistem Eksresi relatif lebih disukai dibanding Sistem Pernapasan. Menurut siswa materi Sistem Ekskresi dianggap lebih menarik dan familier dibandingkan Sistem Pernapasan. Faktor ketertarikan dan kesukaan pada materi Sistem Ekskresi dapat membuat siswa termotivasi secara internal (Slavin, 1995) sehingga ia mau belajar dengan tingkat kognitif yang lebih tinggi. Ketertarikan siswa salah satu disebabkan oleh adanya pengetahuan baru bahwa Betadin yang biasa dikenal oleh siswa sebagai obat luka, bisa digunakan pula untuk mengetahui letak kelenjar keringat. Dengan mengetahui letak kelenjar siswa antusias untuk mengetahui apakah kepadatan kelenjar keringat merata pada seluruh tubuh. Adanya pengetahuan baru disertai model pembelajaran yang ”berbeda” dengan yang biasa siswa ikuti menjadikan pembelajaran lebih dinamis. Berbeda dengan kegiatan dalam pokok bahasan Sistem Pernapasan yang diisi dengan kegiatan
474
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
merancang alat untuk mengukur volume udara pernapasan untuk IK dan menyusun poster anti rokok untuk PBM siswa tidak menemukan pengetahuan praktis baru seperti penggunaan betadin di atas. Pengajaran Berdasarkan Masalah (PBM) adalah pengajaran yang dirancang berdasarkan masalah riil kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-defined), terbuka, dan mendua. Masalah yang tidak tentu adalah masalah yang kabur, tidak jelas, atau belum didefenisikan. PBM dapat membangkitkan minat siswa, nyata, dan sesuai untuk mengembangkan intelektual serta memberikan kesempatan agar siswa belajar dalam situasi kehidupan nyata (Fogarty 1997, Jones 1996). Ada perbedaan utama pada model pembelajaran PBM dan Kooperatif KI, yakni sifat masalah yang diangkat untuk dipecahkan. Pada PBM masalah yang diangkat harus masalah otentik yang sedang terjadi di sekitar siswa, sedangkan pada Kooperatif IK masalah bisa bersifat otentik, maupun akademik yang langsung berkaitan dengan konsep-konsep pokok pada suatu pokok bahasan tertentu. Dalam model Pembelajaran PBM cenderung mengangkat masalah otentik yang hanya merupakan satu bagian kecil dari bagian yang harus dituntaskan dalam pembelajaran satu topik/pokok bahasan tertentu, sehingga memerlukan waktu khusus untuk memberikan penjelasan kaitan antara masalah otentik tersebut dengan prinsip maupun konsep yang terdapat dalam pokok bahasan tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya pelatihan kemampuan berpikir tampaknya masih memerlukan tambahan waktu lagi untuk mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Setelah itu guru masih harus bekerja keras untuk memberikan informasi tentang kaitan antara kegiatan pada LKS dengan konsep-konsep yang terkait dengan pokok bahasan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa waktu yang tersedia bagi satu pokok bahasan sekitar 3 kali tatap muka termasuk pretes dan postes, sehingga setelah dilakukan penerapan PBM cenderung guru kehabisan waktu untuk memberikan kaitan-kaitan dengan konsep-konsep essensial pada pokok bahasan tersebut. Akibatnya ketika siswa diberikan tes tentang materi pokok bahasan, ia kurang menguasai konsep-konsep essensial tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Arends, 1997 yang menyatakan kelemahan PBM karena tidak mencakup sejumlah informasi besar atau pengetahuan dasar, apalagi bila sekolah bertarget pada ketuntasan materi. Walaupun dalam PBM juga terjadi elaborasi kognitif dimana siswa pintar akan memberikan penjelasan kepada siswa kurang pintar, akibatnya penguasaan materi pelajaran pada siswa pintar maupun kurang keduanya akan meningkat. (Slavin, 1995) namun fokus dari pembicaraan siswa hanya diarahkan pada masalah otentik yang sedang dipecahkan dalam diskusi tersebut. Untuk menambah wawasan siswa tentang konsep-konsep pokok yang terkait dengan masalah yang dipecahkan siswa pada suatu bahasan tertentu, guru harus memberikan waktu khusus diluar kegiatan PBM tersebut. Apa bila hal ini tidak dilakukan maka siswa akan terbatas sekali pemahan konsep-konsepnya. PBM diterapkan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan masalah , mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi, guru melakukan scaffolding, yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual siswa. PBM tidak dapat terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. PBM terdiri dari penyajian masalah kepada siswa situasi yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri (Ibrahim dan Nur 2000). PBM mempunyai beberapa keunggulan menurut Arends (1997) adalah (a) Pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan, (b) Membiasakan siswa menghadapi masalah dan terampil memecahkannya, apabila ia menghadapi permasalahan di kehidupan keluarga, masyarakat dan di dunia kerja kelak dan (c) Merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan menyeluruh karena
475
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
siswa banyak melakukan kerja mental dengan melihat permasalahan dari berbagai segi dlam rangka mencari pemecahan. Menurut Arends (1997) PBM juga mempunyai kelemahan apabila diaplikasikan di : (a) sekolah yang kurang memiliki perpustakaan dan sumber-sumber teknologi untuk mendukung penyelidikan, (b) memberlakukan standar waktu 1 jam pelajaran 45 menit, sehingga tidak memberi cukup waktu kepada siswa untuk terlibat secara penuh dalam aktivitas di luar sekolah dan (c) karena tidak mencakup sejumlah informasi besar atau pengetahuan dasar, beberapa sekolah yang mentarget materi harus selesai tidak mendukung penggunaan model ini. Berdasarkan pendapat Arends tersebut tampaknya proses agar PBM menjadi salah satu bentuk model pembelajaran inovatif di sekolah harus terkendala oleh keterbatasan waktu, apalagi bila sekolah mentargetkan pada ketuntasan materi. Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan PBM secara tuntas sampai siswa memahami konsep-konsep terkait dengan masalah otentik yang sedang dipecahkan harus cukup, tidak bisa terselesaikan pada 2-3 kali tatap muka, dimana waktu tatap muka tersebut masih dikurangi dengan waktu untuk pretes dan postes. Tidak demikian halnya bila menggunakan model Pembelajaran Kooperatif IK dimana konsep-konsep akan mudah dipahami oleh siswa seiring dengan kerja siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas proyek dengan menggunakan masalahmasalah akademik yang dikerjakannya baik di dalam kelas maupun di luar jam pelajaran (Slavin, 1995, Nur 2001). Sehingga kesempatan untuk memantapkan konsep-konsep akademik suatu pokok bahasan menjadi relatif lebih banyak bila dibanding dengan model PBM. Hal senada juga disampaikan oleh Ibrahim dan Nur 2000 yang menyatakan bahwa PBM tidak dapat terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Berdasarkan pendapat Arends (1997) PBM menjadi salah satu bentuk model pembelajaran inovatif di sekolah harus terkendala oleh keterbatasan waktu, apalagi bila sekolah mentargetkan pada ketuntasan materi. Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan PBM secara tuntas sampai siswa memahami konsepkonsep terkait dengan masalah otentik yang sedang dipecahkan harus cukup, tidak bisa terselesaikan pada 2-3 kali tatap muka, dimana waktu tatap muka tersebut masih dikurangi dengan waktu untuk pretes dan postes. Tidak demikian halnya bila menggunakan model Pembelajaran Kooperatif IK dimana konsepkonsep akan mudah dipahami oleh siswa seiring dengan kerja siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas proyek dengan menggunakan masalah-masalah akademik yang dikerjakannya baik di dalam kelas maupun di luar jam pelajaran (Slavin, 1995, Nur 2001). PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian maka disimpulkan bahwa (1) Siswa yang belajar dengan menggunakan model IK mempunyai kemampuan berpikir yang lebih baik daripada siwa yang belajar dengan menggunakan model PBM. (2) Hasil belajar kognitif yang tertinggi adalah kombinasi Sistem Ekskresi dengan sekolah kategori kurang, sedangkan terendah adalah kombinasi pokok bahasan Sistem Pernapasan dengan sekolah berkategori sedang. (3) Jenis materi berpengaruh sangat signifikan terhadap kemampuan berpikir rendah. (4) Ada perbedaan kemampuan berpikir siswa sebagai akibat interaksi antara macam pokok bahasan (Sistem Pencernaan, Sistem Transportasi, Sistem Pernapasan, dan Sistem Ekskresi) dengan model pembelajaran konstruktivis (Pengajaran Berdasarkan Masalah dan Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok). (5) Ada kecenderungan bahwa semua materi pelajaran Pencernaan, Transportasi, Pernapasan, dan Ekskresi yang dilakukan dengan model pembelajaran Investigasi Kelompok mempunyai hasil yang lebih tinggi daripada model PBM. (6) Ada perbedaan kemampuan berpikir siswa sebagai interaksi akibat antara kategori sekolah (baik, sedang, kurang) dengan model pembelajaran konstruktivis (Pengajaran Berdasarkan Masalah dan Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok). (7) Sebagian besar menunjukkan ada kecenderungan bahwa nilai kemampuan berpikir yang 476
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
diperoleh melalui model PBM lebih rendah dari IK, namun pola tersebut tidak diikuti oleh teraturnya pola pada kategori sekolah. Di samping itu terdapat temuan bahwa pembejaran berbasis konstruktivis memberikan hasil yang lebih baik bila diterapkan pada sekolah yang berkategori kurang. Hal ini ditunjang fakta bahwa penambahan nilai kemampuan berpikir yang diperoleh oleh sekolah kategori kurang lebih besar dari pada sekolah berkategori sedang dan baik.
DAFTAR PUSTAKA Arends L. R., 1997 Classroom Instruction and Management, New York: Mc.Graw-Hill Book Co. Corebima, 1999. Proses dan Hasil Pembelajaran IPA di SD, SLTP, dan SMU: Perkembangan Penalaran Siswa Tidak Dikelola Secara Terencana. Proceeding Seminar Quality Improvement of Mathematics and Science Education in Indonesia (JICA). Bandung, Agust 11. Corebima, 2002. Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan (PBMP) Sebagai Alat Pembelajaran IPA-Biologi Konstruktivistik Untuk Meningkatkan Penalaran Siswa SLTP di Jawa Timur. Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII Bidang Dinamika Sosial, Ekonomi dan Budaya. Malang: Lemlit Universitas Negeri Malang. Corebima, A.D., Susilo, H., Hedi Sutomo. 2004. Pengembangan Model Pembelajaran IPA Biologi SMP
Konstruktivistik Kontekstual Berorientasi Life Skill dengan Pola PBMP di Kota dan Kabupaten Malang. Laporan Penelitian Akhir Tahun 2004. Kementrian Riset dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Alam.
Corebima, A.D., Susilo, H., Hedi Sutomo. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran IPA Biologi SMP
Konstruktivistik Kontekstual Berorientasi Life Skill dengan Pola PBMP di Kota dan Kabupaten Malang. Laporan Penelitian Akhir Tahun 2006. Kementrian Riset dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Alam.
Corebima, A.D., 2007. Review on Learning Strategies Having Bigger Potency to Empower Thinking Skill and Concept Gaining of Lower Academic Students. Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional di Singapura, tidak dipublikasikan. Costa, L. Arthur, 1985, Developing Minds, Resource Book For Teaching Thinking., Virginia: Association for Supervision and Curriculum Developments.. Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skills Sets. Educational Technology/ November December. Howe, A.C., & Jones, L. 1993. Engaging Children in Science. New York: Macmillan Publishing Company. Ibrahim, M. 1999. “Pelatihan Pemandu Bidang Studi BIOLOGI Melalui Penerapan Prinsip Modelling.” Jurnal Riset. No. 10/Th. V, pp. 55 – 67. Ibrahim, M., dan Nur, M., 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah, Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Program Pascasarjana Unesa. Liliasari. 2000. Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi calon Guru IPA. Proseding Seminar Nasional 23 Pebruari 2000, Malang: Dirjen Dikti DepdiknasJICA – IMSTEP . h. 135-140. .Santoso, Singgih, 2004, SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Jakarta: Elexmedia Komputindo. Sastrosupadi, A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis untuk Bidang Pertanian, Yogyakarta:Penerbit Kanisius. Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: Theory and Practice. (4th Ed.). Massachutssets: Allyn and Bacon Publishers. 477
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. 2nd Ed. Boston: Allyn Bacon. Sudjana, 1991, Desain dan Analisis Eksperimen, Edisi ke-3, Bandung: Tarsito Thiagarajan, S. D., Semmel, S. & Semmel. M.L., 1974. Instructional Development for Training Teacher of Exceptional Children, A Source Book Bloomington: Center for Innovation on Teaching the Handicapp. Trilling, B. dan Paul Hood 1999. Learning Technology and Education Reform in the Knowledge Age or “ We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What?” Educational Technology/ May-June: 5-18 Tindangen, Makrina. 2006. Implementasi Pembelajaran Kontekstual Peta Konsep Biologi SMP pada Siswa
Berkemampuan Awal Berbeda di Kota Malang dan Pengaruhnya terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi dan Kemampuan berpikir. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Tuckman, B. W. 1999. Conducting Educational Research, 5th edition, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher.
478
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-09
THE ABILITY OF ELEMENTARY SCHOOL PRESERVICE TEACHER IN ENVIRONMENTAL EDUCATION Risda Amini1), Nuryani Y. Rustaman2), Mulyati Arifin2), A. Munandar2) (1) State University of Padang, 2) Indonesia University of Education)
ABSTRAK Pentingnya melestarikan lingkungan hidup menunjukkan bahwa manusia harus menyelamatkan lingkungan hidup secara berkesinambungan. Pendidikan lingkungan hidup harus diberikan sejak dini dan berkelanjutan agar generasi muda memiliki pemahaman tentang lingkungan hidup. Untuk itu calon guru SD harus dibekali dengan pendidikan lingkungan. Salah satu bentuk pembelajaran pendidikan lingkungan adalah melalui pembelajaran berbasis outdoor. Setelah mengikuti pembelajaran berbasis outdoor dalam penelitian ini, calon guru SD memiliki penguasaan konsep pendidikan lingkungan yang termasuk kategori baik. Terdapat peningkatan kemampuan calon guru SD dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan. Evaluasi proses pembelajaran menunjukkan bahwa kemampuan calon guru SD dalam: 1) menjaga kebersihan tempat kegiatan/ percobaan termasuk kategori baik, 2) bekerjasama dalam kelompok termasuk kategori baik, 3) melakukan pengamatan termasuk kategori baik, 4) menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan termasuk kategori sangat baik, dan 5) menjelaskan hasil percobaan termasuk kategori baik. Kata kunci : kemampuan calon guru SD, pendidikan lingkungan hidup, pembelajaran outdoor.
berbasis
PENDAHULUAN Kemajuan teknologi dan industri, serta pertambahan penduduk membawa dampak yang besar terhadap kondisi udara. Penipisan lapisan ozon, pemanasan global, terkurasnya sumber daya hayati merupakan bencana besar yang disebabkan oleh tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak memperhatikan lingkungan. Penggunaan CFC atau freon dalam berbagai peralatan pendingin (lemari es, air conditioner) menyebabkan menipisnya lapisan ozon di stratosfer. Akibat yang ditimbulkan karena menipisnya lapisan ozon adalah sinar ultraviolet lebih banyak menembus permukaan bumi sehingga dapat mengakibatkan kanker kulit, katarak, dan menurun daya tahan tubuh (Choesin, 2004). Ancaman serius lain dari aktivitas manusia berkaitan dengan kondisi udara adalah pemanasan global. Gas yang paling banyak berperan dalam pemanasan global adalah CO2 yang banyak dikeluarkan oleh asap dari industri, kendaraan motor, dan pembakaran hutan. Menumpuknya CO2 dapat menimbulkan efek rumah kaca (green-house effect) yang menyebabkan lapisan atmosfer menjadi bertambah panas. Apabila panas lapisan atmosfer semakin meningkat akan mengakibatkan melelehnya lapisan es di kutub. Hal ini akan mengganggu keseimbangan kehidupan ekosistem, diantaranya terjadi peningkatan permukaan air laut. Permukaan air laut terus meningkat hingga tahun 2100 (Choesin, 2004). Menurut Sugandhi (2007) dampak pemanasan global adalah muncul penyakit seperti malaria dan TBC di daratan Eropa (Irlandia, Norwegia, Polandia). Kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia, jika diidentifikasi umumnya disebabkan oleh: 1) Ketidaktahuan masyarakat terhadap akibat dari tindakannya, misalnya kebiasaan membuang sampah ke sungai atau sembarang tempat yang tidak disadari akan menyebabkan pencemaran. 2) Desakan kebutuhan hidup sehingga tanpa disadari kegiatan merusak lingkungan terus berlangsung, seperti penebangan kayu untuk pembakaran batu bata yang telah menjadi pekerjaan dan penghasilan keluarga. 3) Kurangnya pengetahuan tentang keseimbangan ekosistem, misalnya penggunaan pestisida yang tanpa disadari mengakibatkan musnahnya organisme lain. 4) Kepedulian yang rendah terhadap kelestarian 479
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
lingkungan, misalnya industri membuang limbahnya tanpa mempertimbangkan akibat pada lingkungan. 5) Kurang memasyarakatnya ketentuan hukum tentang lingkungan hidup dan kurang tegasnya penerapan sangsi hukum bagi pelanggar (Suranto, 1993). Ditinjau dari penyebab kerusakan lingkungan sebagai langkah antisipasi dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup, perlu dilakukan pembinaan yang berkelanjutan. Pembinaan ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal (Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi), pendidikan informal, dan nonformal. Sehubungan dengan hal ini, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan tentang pendidikan lingkungan hidup. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (menengah umum dan kejuruan), pelajaran tentang kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan materi kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Pada tanggal 21 Mei 1996, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No. Kep. 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup. Sejalan dengan diterbitkannya memorandum ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud terus berupaya mengembangkan dan memantapkan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah antara lain melalui penataran guru, bulan bakti lingkungan, menyiapkan buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk guru SD, SLTP, SMU, SMK, dan program sekolah asri. Selanjutnya pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama No. Kep.07/MenLH/06/2005 dan No. 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara terintegrasi dengan mata pelajaran yang telah ada (Timpakul, 2007). Schatz (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan lingkungan berguna untuk meningkatkan kesadaran siswa terhadap lingkungan dan mengembangkan keterampilan berekreasi. Pendidikan lingkungan bermanfaat untuk memberikan kesempatan pada siswa belajar lingkungan. Dengan memasukkan rekreasi ke dalam pendidikan lingkungan, dapat membantu siswa untuk menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya sehingga proses belajar lebih menyenangkan. Lingkungan sekolah dapat memberikan kesempatan belajar lingkungan dengan baik. Siswa dapat memperoleh pengalaman praktis sehubungan dengan konservasi lingkungan (Miller, 1998). Swartland (Coyle, 2004) menggunakan istilah pendidikan lingkungan berbasis sekolah. Tujuannya adalah untuk merangsang minat siswa dan mendorong keingintahuan mereka terhadap lingkungan. Neal (1995) menyatakan untuk meningkatkan kesadaran siswa terhadap lingkungan maka siswa perlu dimotivasi untuk tertarik, kemudian dibimbing untuk melakukan observasi. Kerusakan lingkungan fisik sekolah sudah mencapai kategori memprihatinkan. Atap sekolah yang bocor dibiarkan saja hingga bocorannya melebar, tiang bangunan sekolah yang goyah tidak diperbaiki hingga patah, meja dan kursi yang rusak dibiarkan saja, WC sekolah kotor dan berbau. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru SD terungkap bahwa guru kurang tertarik melakukan pembenahan kebersihan sekolah karena hal itu bukan tugas mereka. Tugas mereka adalah mengajar setiap harinya, sehingga tidak ada waktu untuk melakukan pekerjaan lain. Pendidikan lingkungan adalah sebuah proses yang komprehensif untuk menolong manusia memahami lingkungannya dan isu yang terkait (NAAEE, 2001). Lieberman (1998) berpendapat lingkungan sebagai konteks terpadu dalam pembelajaran memiliki strategi sebagai berikut: 1) memberikan pengalaman belajar hands-on melalui pemecahan masalah dan kegiatan berbasis proyek, 2) percaya pada pengajar, 3) mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi untuk komunitas lingkungan dan alam sekitar. Sementara itu Dumouchel (2003) menyatakan bahwa pendidikan di luar kelas (outdoor) bertujuan 480
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
untuk meningkatkan kesadaran siswa terhadap: 1) diri melalui masalah sehari-hari yang ditemui, 2) orang lain melalui permasalahan kelompok dan dalam pengambilan keputusan, 3) alam melalui pengamatan secara langsung. Penanaman fondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus dilakukan, agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan diharapkan mampu mendidik siswa agar berperilaku bijak. Hal ini diperkuat Waryono (Putri, 2006) yang menyatakan bahwa masa anak-anak merupakan perjalanan yang kritis, sebagai generasi bangsa di masa mendatang. Dengan demikian sangatlah strategis pembekalan pengetahuan dasar tentang lingkungan hidup sejak dini, karena generasi muda sebagai aset pelaku pembangunan di masa datang perlu mendapat prioritas dalam memperoleh pendidikan lingkungan agar mereka peduli dan berperilaku ramah pada lingkungannya. Rendahnya sikap dan kepedulian siswa terhadap lingkungan tentu mengundang keprihatinan, karena melalui pendidikan di sekolah semestinya tindakan dan sikap positif terhadap lingkungan hidup telah ditanamkan. Kenyataannya, meskipun mata pelajaran IPA diberikan sejak sekolah dasar, tetapi belum mampu membekali siswa dengan pengetahuan dan sikap yang positif terhadap lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut, calon guru SD perlu memahami pengetahuan pendidikan lingkungan dan pengelolaan pembelajaran pendidikan lingkungan, agar mereka dapat mengajarkan pengetahuan lingkungan, menanamkan sikap, dan mampu melakukan tindakan peduli terhadap lingkungan. Melalui mata kuliah Basic Pendidikan Lingkungan, calon guru SD (mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar/PGSD) diberi bekal pengetahuan tentang konsep dasar lingkungan. Untuk dapat mengajarkan konsep dasar lingkungan kepada siswa SD, calon guru SD dilatih dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan untuk SD. Di jurusan PGSD, kedua mata kuliah ini disajikan dalam dua semester yang berbeda (semester IV dan V). Walaupun sudah mengikuti kedua mata kuliah ini, kenyataannya setelah menjadi guru, mereka belum mampu untuk menanamkan sikap dan tindakan peduli terhadap lingkungan kepada siswa. Permasalahan ini mungkin disebabkan oleh kurangnya penguasaan calon guru SD terhadap konsep dasar pendidikan lingkungan, kurangnya kemampuan calon guru SD dalam menguasai metode pembelajaran pendidikan lingkungan, kurangnya motivasi calon guru SD dalam mengelola pembelajaran pendidikan lingkungan, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah dalam dilakukan penelitian ini, yaitu: Bagaimana kemampuan calon guru SD dalam pendidikan lingkungan? Masalah dalam penelitian ini dijabarkan menjadi tiga pertanyaan penelitian, yaitu: 1) Bagaimana kemampuan calon guru SD dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan? 2) Bagaimana peningkatan penguasaan konsep pendidikan lingkungan bagi calon guru SD? 3) Bagaimana kemampuan calon guru SD dalam proses pembelajaran pendidikan lingkungan? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kemampuan calon guru SD dalam pendidikan lingkungan.
METODE PENELITIAN Penelitian merupakan penelitian eksperimen kuasi dengan desain satu grup pre-test post-test (Creswell, 1994). Penelitian dilakukan terhadap 27 mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan yang mengikuti kuliah basic pendidikan lingkungan. Pre-test dan post-test diberikan pada kelas eksperimen dengan menggunakan soal yang sama. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes penguasaan konsep pendidikan lingkungan. Materi pendidikan lingkungan yang diujikan adalah pencemaran air, udara, tanah, dan penghematan energi listrik. Sebelum digunakan, instrumen penelitian
481
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
diujicobakan. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa semua item soal adalah valid dan reliabel. Data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan gains score dinormalisasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Instrumen untuk mengungkapkan penguasaan konsep pendidikan lingkungan bagi calon guru SD berupa tes tertulis yang diberikan sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran berbasis outdoor. Tes tertulis yang dimaksud adalah tes penguasaan konsep pendidikan lingkungan yang lebih menekankan pada pemecahan masalah lingkungan hidup. Pembelajaran dilaksanakan sebanyak empat kali pertemuan (empat pokok bahasan). Data penelitian dan hasil analisis data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Peningkatan Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Subyek
Pre-test
Post-test
NG
Mhs 1
57.9
70.2
0.29
Mhs 2
56.7
73.9
0.40
Mhs 3
63.3
76.3
0.35
Mhs 4
50.7
60.9
0.21
Mhs 5
63.4
70.6
0.20
Mhs 6
50.7
58.9
0.17
Mhs 7
80.1
94.5
0.72
Mhs 8
64.7
76.8
0.34
Mhs 9
63.3
74.3
0.30
Mhs 10
60
72.1
0.30
Mhs 11
62.9
61.3
-0.04
Mhs 12
75.6
87.1
0.47
Mhs 13
70
78.3
0.28
Mhs 14
81.2
92.8
0.62
Mhs 15
68.7
79.1
0.33
Mhs 16
57.4
66.5
0.21
Mhs 17
76.8
83.8
0.30
Mhs 18
74.8
90
0.60
Mhs 19
81.5
87.2
0.31
Mhs 20
70
75.6
0.19
Mhs 21
67.3
78.5
0.34
Mhs 22
80.4
84.4
0.20
Mhs 23
81.2
95
0.73
Mhs 24
57.6
65
0.17
Mhs 25
67.6
75.2
0.23
Mhs 26
68.3
75.4
0.22
Mhs 27
75.3
87.5
0.49
Rata-rata
67.68
77.45
0.33
Std deviasi
9.38
10.18
0.18
482
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Pada Tabel 1 dapat dilihat hasil analisis data pre-test dan post-test untuk calon guru SD. Calon guru memperoleh rata-rata skor pre-test sebesar 67,68 dengan standar deviasi 9,38 dan rata-rata skor post-test sebesar 77,45 dengan standar deviasi 10,18. Berdasarkan kategori penilaian dalam buku pedoman Universitas Pendidikan Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kemampuan calon guru SD dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan termasuk kategori baik. Peningkatan penguasaan konsep pendidikan lingkungan dapat diketahui dengan menghitung ratarata skor gain dinormalisasi (NG) dari skor pre-test dan post-test. Setelah melalui proses analisis data seperti pada Tabel 1 diperoleh rata-rata skor NG sebesar 0,33. Peningkatan penguasaan konsep pendidikan lingkungan bagi calon guru SD termasuk kategori sedang. Rata-rata skor peningkatan penguasaan konsep pendidikan lingkungan dalam Tabel 1 dapat divisualisasikan dengan grafik seperti terlihat pada gambar 1.
100 90 80 Rata-rata Skor
70 60 50 40 30 20 10 0 Pre-test
Post-test
Gambar 1 : Grafik Peningkatan Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Berdasarkan hasil analisis data dalam Tabel 1 dan grafik dalam gambar 1 dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan kemampuan calon guru dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan, setelah mengikuti pembelajaran pendidikan lingkungan berbasis outdoor. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan hasil penelitian American Institutes for Research (2005) yang meneliti pengaruh program pendidikan outdoor bagi siswa sekolah menengah di California. Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis outdoor dilakukan evaluasi proses pembelajaran. Instrumen untuk mengungkapkan kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran berupa format penilaian proses pembelajaran. Data yang diperoleh melalui format penilaian ini dikelompokkan berdasarkan pada kategori kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran. Rata-rata skor kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 : Kemampuan Calon Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran Subyek
Rata-rata Skor Kemampuan 1
2
3
4
5
Mhs 1
78
79
67
70
65
Mhs 2
68
85
70
85
65
Mhs 3
75
88
85
70
70
483
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
Subyek
ISBN: 978-979-98546-4-2
Rata-rata Skor Kemampuan 1
2
3
4
5
Mhs 4
61
65
62
75
64
Mhs 5
60
80
80
80
65
Mhs 6
50
65
60
74
62
Mhs 7
89
84
92
95
85
Mhs 8
80
75
75
80
70
Mhs 9
77
80
85
73
55
Mhs 10
45
73
55
91
78
Mhs 11
65
85
77
65
55
Mhs 12
87
75
84
90
86
Mhs 13
64
83
71
79
70
Mhs 14
90
85
86
90
87
Mhs 15
54
80
65
95
90
Mhs 16
73
86
54
70
62
Mhs 17
70
82
78
82
85
Mhs 18
95
84
79
88
85
Mhs 19
80
87
85
76
79
Mhs 20
77
75
75
70
68
Mhs 21
70
86
60
85
85
Mhs 22
83
79
75
79
80
Mhs 23
95
84
92
95
85
Mhs 24
66
64
75
73
64
Mhs 25
68
82
64
82
67
Mhs 26
70
71
76
80
75
Mhs 27
80
78
81
85
80
Rata-rata
72.96
79.26
74.37
80.63
73.41
Std deviasi
12.82
6.87
10.65
8.63
10.50
Keterangan: 1 = menjaga kebersihan tempat percobaan 2 = bekerjasama dalam kelompok 3 = melakukan pengamatan 4 = menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan 5 = menjelaskan hasil percobaan Merujuk pada Tabel 2 dan kategori penilaian dalam buku pedoman Universitas Pendidikan Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kemampuan calon guru dalam : 1) menjaga kebersihan tempat percobaan termasuk kategori baik, 2) bekerjasama dalam kelompok termasuk kategori baik, 3) melakukan pengamatan termasuk kategori baik, 4) menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan termasuk kategori sangat baik, dan 5) menjelaskan hasil percobaan termasuk kategori baik. Rata-rata skor kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran dalam Tabel 2 dapat divisualisasikan dengan grafik seperti yang terlihat pada gambar 2.
484
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
100 90
Rata-rata Skor
80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
Kategori Kem am puan
Gambar 2 : Grafik Kemampuan Calon Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran PENUTUP Hasil penelitian yang dilakukan terhadap calon guru SD menunjukkan bahwa kemampuan calon guru SD dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan termasuk kategori baik. Berdasarkan skor pretest dan post-test penguasaan konsep pendidikan lingkungan dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan calon guru SD dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan, setelah mengikuti pembelajaran pendidikan lingkungan berbasis outdoor. Evaluasi proses pembelajaran menunjukkan bahwa kemampuan calon guru SD dalam: 1) menjaga kebersihan tempat kegiatan/ percobaan termasuk kategori baik, 2) bekerjasama dalam kelompok termasuk kategori baik, 3) melakukan pengamatan termasuk kategori baik, 4) menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan termasuk kategori sangat baik, dan 5) menjelaskan hasil percobaan termasuk kategori baik.
DAFTAR PUSTAKA Agenda 21 Indonesia (1997). Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. American Institutes for Research (2005). Effects of Outdoor Education Programs for Children in California., Sacramento: The California Department of Education. Choesin, D, Taufikurahman, & Esyanti, R.R. (2004). Pengetahuan Lingkungan. Bandung: Penerbit ITB. Coyle, K. J. D. (2004). Understanding Environmental Literacy in America: And Making it a Reality. Washington: National Environmental Education & Training Foundation Creswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. New Delhi: Sage Publications. Dumouchel (2003). Seattle WA, New Horizons for Learning. Tersedia: http://www.newhorizons.org. [Online]. Evans, M. M. K. (2000). Children
Can Make a Difference Using a Problem Solving, Action Oriented Approach to Environmental Education.
Ganjar, A. & Arief, A. (2001). Pedoman Pembinaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Sekolah. Jilid VI. Jakarta: Depdiknas Dikdasmen. 485
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Kementerian Lingkungan Hidup (2005). Sejarah Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia. Tersedia: www.menlh.go.id [Online]. Lieberman & Hoody (1998). Closing the Achievement Gap. Using the Environment as an Integrating Context for Learning. State Edu. And Envi. Roundtable. Lubis, L., Ramlan A., dan Arief A. (2001). Pedoman Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup; Untuk Guru SMU. Jakarta: Depdiknas. Dikdasmen. Mastrilli, T. (2005). Environmental Education in Pennsylavania’s Elementary Teacher Preparation Program: The Fight to Legitimize EE. Journal of Environmental Education September 2005. New England. Miller, G, Jr. (1998). Living in the Environment: Principles, Connections, and Solutions. Tenth Edision. Washington DC: Wadsworth Publishing Company. Neal, L. H. O. (1995) Using Wetlands to Teach Ecology and Environmental Awareness in General Biology dalam The American Biology Teacher. New York: The National Association of Biology Teachers Vol 57 No 3. North American Association for Environmental Education (2001). Using Environment-Based Education to Advance Learning Skills and Character Development. A Report, Annotated Bibliography, and Research. Washington: NEE & Training Foundation. Putri, V., S., I., S. (2006). Mendidik Generasi Muda dengan Pendidikan Lingkungan. Online Library, WWF – Indonesia, Samarinda. Schatz , C. (2000). When Bambi Meets Godzilla: Bringing Environmental Education and Outdoor Recreation Together. New York: Suny college at Cortland. Sugandhi, A. & Hakim, R. (2007). Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Suranto & Kusrahmadi, S.D. (1993). Upaya Pembinaan Pendidikan. Edisi khusus dies natalis.
Kepedulian Lingkungan Hidup. Cakrawala
Timpakul (2007). http://timpakul.hijaubiru.org/plh-4. [Online]. Tersedia [Januari, 2007].
486
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-10
TEACHER EFFORT IN FORMING HABITS OF MIND ON HIGH ORDER THINKING HABITUATION Chaerun Anwar PPPPTK IPA (The Centre for Development and Empowerment of Teacher and Education Personnel), Ministry of National Education of Indonesia, Diponegoro 12 Bandung 40115, West Java, Indonesia; Tel. +62-22-4231191, Fax. +62-22-4207922 Email adresses:
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRACT The objective of this study to disclose Habits of Mind teacher through making instrument of assessment which is done to Biology teacher of junior high school participant trainee from Riau Province and Riau islands. Result of study indicates that: through making instrument of learning outcome assessment, in general factor habits of mind disclosed from teacher about 10 factors out of 15 factors habits of mind. Result of calculation correlation test between fifth of learning dimension indicates that fifth of the learning dimension has positive correlation, causing affirms that relation between learning dimension 1 with learning dimension 2, 3, 4, and 5 is not linear connection or causality. It is the relation of correlation and works like concert, where one dimensions is basis for other dimension and supports or pursues other learning dimension. Based on research finding, inferential analysis and discussion in general that making of assessment instrument could establish, strengthens and exploration of thinking habituation ( habits of mind). Keywords : habits of mind, High Thinking order, Habituation
INTRODUCTION Result Of TIMSS the year 2003 if compared to result of study at 1999, indicates that mastery of science for Junior high student in Indonesia, have decreased of score out from 488 to 474. For the science area, none of junior high student in Indonesia reached very high predicate, and only around 4 percent got high predicate. The rest, 25 % was having moderate predicate, and 61% low predicate. Based on test result, survey participant student PISA 2006 of Indonesia about 50,5% below level 1, 27,6% resided in level 1, and none that resides in level 6. Based on the result above, conclude that Indonesia student has not trained yet in Higher order thinking habituation. According to Costa ( 2000), A "Habit of Mind” means having a disposition toward behaving intelligently when confronted with problems, the answers to which are not immediately known. When humans experience dichotomies, are confused by dilemmas, or come face to face with uncertainties--our most effective actions require drawing forth certain patterns of intellectual behavior. When we draw upon these intellectual resources, the results that are produced through are more powerful, of higher quality and greater significance than if we fail to employ those patterns of intellectual behaviors. The depiction usually became very extraordinary, and influences significantly. Teacher as facilitator in class must have competence in forming habits of mind student. For that reason, it is need to be done study about teacher competence in forming habits of mind student to accustom transformation of student positive behavior toward higher order thinking.
487
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
DESIGN AND METHOD The statement of the problem is “How Teacher forming habits of mind student in high order thinking habituation?". The importance of fractions problem can be viewed, as follow: What teacher Component habits of mind competence in assist student high order thinking? This study carried out by using descriptive method ( ex post facto). Subject in this study is 27 Biology teacher of Junior High from Riau Province and Riau islands. The data collected by pre-test and pos-test, interview, questionnaire, observation and anecdotal record. Study conducted through three phases. First phase is done pre-test, interview, observation, and dispersion of questionnaire to obtain information about learning dimension profile as well as teacher response. Second phase is done by making assessment instrument of learning outcome, observation, and anecdotal record to obtain description of habits of mind. Third phase is done pos-tes, interview, and questionnair to express training participant of magnification of habits of and their response after this study.
RESULT AND DISCUSSION Result of finding analysis indicate that thinking behavior in learning, showed that mind aspects involving in learning, works like music concert. All learning occurs within a set of attitudes and perceptions that either promote or inhibit learning (dimension 1). Learning is also affected by the extend to which a learner uses the productive habits of mind (dimension 5). Dimension 1 and 5, then form the backdrop for learning; thus, they are in the background of figure 1. They are always factors to consider in the learning process.
Figure1 : Dimension of learning interact ( Marzano, 1992:16) Given that a learner has attitudes and perceptions conducive to learning and is using effective habits of mind, the learner’s first job is to acquire and integrate new knowledge (dimension 2); that is, the learner must assimilate new knowledge and skills with what she already knows. As we have seen, this is a subjective process of interaction between old and new information. Then, over time, the learner develops new knowledge through activities that help her/him extend and refine her/him current knowledge (dimension 3). The ultimate purpose of learning, though, is to use knowledge in meaningful ways (dimension 4). As figure 1 indicates, dimension 2,3, and 4 work in concert. As a learner acquires and integrates knowledge (dimension 2), she/he also extends and refines it (dimension 3). And using knowledge meaningfully (dimension 4) involves extending and refining knowledge. 488
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
The result shows that relation between each learning dimension has positive correlation. Its Mean there is a real tightly behavior between one learning dimensions with other learning dimension in study. So by disclose one learning dimensions can know other learning dimension at learner.
Figure 2 : Thinking behavior in dimension of learning LKS (Student Work Sheet) which is made by teacher, according to result of study effective in forming habits of mind. Because teacher can determine target of study at what which able to reached, or transformation of behavior at what which able to expressed, mental attitude at what which able to formed through the study. Table 1 : Teacher’s Habits of Mind revealed Factor
Description
Yes (%)
No (%)
I
Being aware of own thinking
71.6
28.4
II
Planning
83.8
16.2
III
Being aware of necessary resources
2.7
97.3
IV
Being sensitive to feedback
78.4
2.4
V
Evaluating the effectiveness of your actions
95.6
4.1
VI
Being accurate and seeking accuracy
33.8
66.2
VII
Being clear and seeking clarity
55.4
44.6
VIII
Being open-minded
83.8
16.2
IX
Resisting impulsivity
75.7
24.3
X
Taking and Defending a position
94.6
5.4
XI
Being sensitive to others
82.4
17.6
XII
Engaging intensely in tasks even when answers or solutions are not immediately apparent
89.2
18.8
XIII
Pushing the limits of your knowledge and ability
6.8
93.2
XIV
Generating, trusting, and maintaining your own standards of evaluation
67.6
32.4
XV
Generating new ways of viewing situations outside the boundaries of standar convention
20.3
79.7
489
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Teacher habits of mind revealed are: I. Being aware of own thinking; II. Planning; IV. Being sensitive to feedback; V. Evaluating the effectiveness of your actions; VI. Being accurate and seeking accuracy; VII. Being clear and seeking clarity; VIII. Being open-minded; IX. Resisting impulsivity; X. Taking and Defending a position; XI. Being sensitive to others; XII. Engaging intensely in tasks even when answers or solutions are not immediately apparent; XIV. Generating, trusting, and maintaining your own standards of evaluation. Female teacher habits of mind revealed are: I.Being aware of own thinking; II. Planning; IV. Being sensitive to feedback; V. Evaluating the effectiveness of your actions; X. Taking and Defending a position; XI. Being sensitive to others. Male teacher habits of mind revealed are: I. Being aware of own thinking; II. Planning; IV. Being sensitive to feedback; V. Evaluating the effectiveness of your actions; VI. Being accurate and seeking accuracy; VII. Being clear and seeking clarity; VIII. Being open-minded; IX. Resisting impulsivity; X. Taking and Defending a position; XI. Being sensitive to others; XII. Engaging intensely in tasks even when answers or solutions are not immediately apparent; XIV. Generating, trusting, and maintaining your own standards of evaluation.
CONCLUSIONS Based on research finding, inferential analysis and discussion in general that making of assessment instrument could establish, strengthens and exploration of thinking habituation ( habits of mind). Teacher gives positive response to assessment instrument because it is useful reveal habit to student thinking habituation which is not expressed by the way of other assessment. By means of assessment instrument made of learning outcomes, in general factor habits of mind revealed at male teacher is more completely from female teacher. Relation between learning dimension 1 with learning dimension 2, 3, 4, and 5 is not linear connection or causality, but correlation working like concert. The recommendation as implication from result of study as follows: 1). For Teacher, assessment instrument is better made by teacher, or teacher modify it and adapt subject matter or experimental object for the disclosure of mental habituation. Assessment done by teacher not only for student report but can be applied as data to facilitate teacher in expressing target of study which able to be reached, or transformation of student behavior which able to be revealed, mental attitude which able to be formed in classroom; 2). For Other researcher, the study habits of mind disclosure can be done through one of learning dimension ( dimension 1,2,3,4,5), because by expressing at one of the learning dimension 490
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
could also reveal habits of mind formed in classroom; 3). For school management, researcher recommended school management to open an opportunity widely for the teacher improvisation and innovation in applying, and explore habits of mind in classroom to establish student thinking skill; 4). For teacher training centre, researcher recommended that thinking need to be trained to the teacher through Training by paying attention to teacher habits of mind factor which has not been revealed.
REFERENCES Blosser,
P. (2000). Arlington, VA.
How to …Ask the right questions.
National Science teachers Association:
Carter C., Bishop J., Block J., and Kravits SL. (2007). Keys to Effective Learning: Developing Powerful Habits of Mind (5th Edition). Alexandria: VA Chaerun Anwar. (2005). Panduan Pengungkapan dan Pembentukan Habits of Mind (Untuk Guru Biologi) (Produk tesis): Bandung PPS, UPI. Chaerun Anwar. (2005). Penerapan Penilaian Kinerja (Performance Assessment) dalam Membentuk Habits of Mind Siswa pada Pembelajaran Konsep Lingkungan ( Master Tesis): Bandung Program Pascasarjana, UPI. Costa A. (2001). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking (3rd Edition). Alexandria: VA Costa A.L, and Kallick B. (2000). Assessing and Reporting on Habits of Mind. Alexandria: VA Costa A.L, and Kallick B. (2000). Discovering and Exploring Habits of Mind. Alexandria: VA Costa, A., et.al. (2000). Describing Sixteen Habits of Mind. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curiculum Development. Harlen, W.
(2001). Primary science: Taking the plunge. Heinemann: Portsmouth, NH.
Inquire within: Llewellyn, D. (2002). Corwin Press:Thousand Oaks, CA.
Implementing
inquiry-based
science
standards.
Marzano, Robert J., et.al. (1994). Assessing Student Outcomes: Performance Assessment Using the Dimensions of Learning Model. Pittsburgh: ASCD Perkins D., Costa A.L, and Kallick B. (2000). Activating & Engaging Habits of Mind. Alexandria: VA Perkins D., Costa A.L, and Kallick B. (2000). Integrating & Sustaining Habits of Mind. Alexandria: VA Saul,
Science workshop: W. (2002). Heinemann: Portsmouth, NH.
Reading,
writing,
and
thinking
like
Zainul, A. (2001). Alternative Assesment. Jakarta: PAU-PPAI Departemen Pendidikan Nasional.
491
a
scientist.
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-13
THE EFFECTIVENESS OF BIOLOGY MATERIAL RESOURCES USING METACOGNITIVE STRATEGY ON COGNITIVE ACHIEVEMENT Endang Susantini*, Yuni Sri Rahayu*, Sifak Indana*, Duran Corebima** * Biology Deparment - Universitas Negeri Surabaya ** Biology Department – Universitas Negeri Malang
ABSTRACT The aim of this research was to know the biology material resources developed effectiveness using metacognitive strategy on cognitive achievement. Metacognitive strategy was implemented by using Self Understanding Evaluation Sheet (SUES). These material resources were Virus, Endocrine System, and Genetic Materials. Limited tryout was implemented in SMA 6 Surabaya for Grade X (39 students), Grade XI (38 students) and Grade XII (40 students). Experiment design was one group pretestposttest design with considering the influence of students’ ability, i.e. high ability and low ability. The data was analyzed by ancova. The result showed that there was significant difference between the cognitive achievement of high ability and low ability in three kinds of material resources implemented. Biology material resources using metacognitive stategy on low ability students showed more effective than high ability students on Virus and Endocrine System. On the other hand, high ability students showed more effective than low ability students on Genetic Materials. The results can be concluded that material resources developed using metacognitive strategy can improve cognitive achievement. Key words : metacognitive strategy, cognitive achievement, students’ability
PENDAHULUAN Penetapan pemerintah tentang nilai minimal yang harus diperoleh siswa pada saat UAN tahun 2008 adalah 5,25 dapat dijadikan salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan kita. Belum lagi berkembangnya isu konversi nilai hasil UAN, hal tersebut menambah buramnya wajah pendidikan kita. Informasi lain yang juga menggambarkan hal yang sama adalah berasal dari The Third International Mathematics and Science Study Repeat (TIMSS-R, 1999). Ia melaporkan bahwa peserta didik Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika di antara 38 negara yang disurvei di Asia, Australia, serta Afrika (Tim BBE Depdiknas, 2002). Hasil belajar siswa yang rendah (khususnya IPA) dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang mereka alami sebelumnya. Dari fakta di atas, pertanyaan yang muncul adalah “Bagaimanakah sebaiknya proses pembelajaran IPA/Biologi yang terjadi di kelas?” Biologi merupakan salah satu bagian dari sains yang mempelajari tentang makhluk hidup, alam, dan lingkungan serta berhubungan erat dengan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran biologi diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat”, sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Adakalanya materi biologi tidak dapat diarahkan dengan “berbuat” atau praktikum karena banyak memuat konsep abstrak, seperti pada materi pokok virus, sisstem endokrin, dan substansi genetika. Oleh karena itu, diperlukan strategi khusus yang dapat mengatasi masalah tersebut. Salah satu strategi yang ditawarkan adalah metakognitif. Definisi yang sederhana tentang strategi metakognitif adalah pengetahuan tentang proses-proses berpikir kita sendiri (Flavel dalam Arends, 2004). Lebih lanjut Marzano (1998) menyebutkan manfaat strategi metakognif bagi guru dan siswa adalah menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri merupakan kecakapan berpikir tinggi). Anak akan dapat meregulasi diri sendiri dengan melakukan perencanaan, pengarahan, dan evaluasi. Seorang anak yang sudah memiliki strategi 492
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
metakognitif akan akan lebih cepat menjadi anak mandiri. Hal senada didukung oleh Susantini (2004, 2005) menyatakan bahwa melalui metakognif siswa mampu menjadi pebelajar mandiri, menumbuhkan sikap jujur, berani mengakui kesalahan, dan akan dapat meningkatkan hasil belajar secara nyata. Dewasa ini kemampuan metakognitif dan berpikir tingkat tinggi lainnya belum banyak diberdayakan secara sengaja dalam proses pembelajaran di sekolah. Indikasinya banyak ditemukan anak mengalami kesulitan belajar. Guru tidak menyadari bahwa hal ini dapat mempengaruhi proses belajar anak. Jika hal ini tidak diintervensi secepat mungkin, akan menyulitkan anak pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Menurut Royanto (2006), ada perbedaan mendasar antara strategi metakognitif dengan kognitif. Strategi kognitif membantu anak mencapai sasaran melalui aktivitas yang dilakukan. Kemampuan metakognitif membantu anak memberikan informasi mengenai aktivitas atau kemajuan yang dicapai. Di sini, strategi kognitif membantu pencapaian kemajuan, sedangkan strategi metakognitif memonitor kemajuan yang dicapai. Pemantauan metakognitif dan regulasi diri sangat membantu anak dalam aktivitas kognitif. Dengan memiliki pemantauan dan regulasi diri, seorang anak akan tahu di mana ia berada sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, maka anak dapat mengatur diri sendiri, lebih aktif berusaha mengembangkan diri, mampu memotivasi diri sendiri, menentukan tujuan, dan berusaha mencapai tujuannya. Karenanya dengan kemandirian yang dimilikinya niscaya keberhasilan akan lebih mudah diraih. Anak yang memiliki strategi metakognitif akan segera sadar bahwa dia tidak mengerti persoalan dan mencoba mencari jalan keluar. Menurut Eggen & Kauchak (1996) dalam Corebima (2007), pengembangan kecakapan metakognitif pada siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat membantu mereka menjadi self-regulated learner. Self-regulated learner bertanggung jawab terhadap kemajuan belajar diri sendiri dan adaptasi strategi belajar untuk mencapai tuntutan tugas. Kemampuan akademik siswa merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pembelajaran (Winkel, 1996). Kemampuan akademik siswa berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Apabila dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, maka ada kelompok siswa berkemampuan atas, berkemampuan menengah, dan berkemampuan bawah (Nasution, 1988). Keberadaan siswa berkemampuan atas, menengah, dan bawah di suatu kelas merupakan bentuk keanekaragaman. Lebih lanjut Nasution (1988) menjelaskan, apabila siswa dengan tingkat kemampuan akademik berbeda diberikan pengajaran yang sama, maka hasil yang diperoleh juga akan berbeda sesuai dengan kemampuan akademik yang dimilikinya. Kelompok kemampuan atas dan kelompok siswa kemampuan bawah mempunyai kemampuan merespons proses pembelajaran yang berbeda. Siswa dengan kemampuan atas, akan lebih mudah mengikuti pembelajaran sehingga lebih mudah dan lebih banyak memperoleh pengalaman belajar. Menurut Usman (1996), perolehan kognitif berhubungan dengan kemampuan siswa dalam mencari dan memahami materi pelajaran yang dipelajarinya. Temuan lain dari hasil penelitian (Corebima, 2005), siswa dengan kemampuan atas dapat mencapai academic life skill lebih dibanding siswa dengan kemampuan akademik bawah. Dalam penelitian ini juga diperhatikan kelompok siswa dengan kemampuan atas dan siswa kemampuan bawah. Kelompok siswa dengan kemampuan tengah tidak diperhatikan agar diperoleh kelompok dengan perbedaan tegas. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh kemampuan siswa terhadap perolehan kognitif pada materi biologi dengan menggunakan strategi metakognitif (2) mengukur efektivitas perangkat pembelajaran biologi dengan menggunakan strategi metakognitif. Efektivitas perangkat pembelajaran ditinjau dari perolehan kognitif siswa kemampuan atas dan bawah.
493
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
METODE PENELITIAN Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan diuji coba secara terbatas di SMAN 6 Surabaya. Populasi kelas X adalah 304 siswa (8 kelas), Kelas XI IPA 240 siswa (6 kelas) dan Kelas XII IPA adalah 200 siswa (5 kelas). Sedangkan yang menjadi sampel penelitian adalah 39 siswa kelas X-7, 38 siswa Kelas XI IPA-2, dan 40 siswa kelas XII IPA-5, yang dipilih secara random assignment. Dari ketiga kelas tersebut masing-masing ditentukan 15 siswa kemampuan atas dan 15 siswa kemampuan bawah. Jadi, yang menjadi subjek penelitian ini (N) = 120 siswa. Rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pretest-posttest design (Fraenkel and Wallen, 1993) dengan memperhatikan aspek kemampuan siswa. Data yang dikumpulkan adalah perolehan kognitif diambil melalui tes. Analisis data yang digunakan adalah Ancova (SPSS Release 11) untuk melihat pengaruh kemampuan siswa terhadap perolehan kognitif dari ketiga set perangkat pembelajaran. Pretes siswa sebagai kovariat, variabel yang dikendalikan dalam penelitian ini. Sebelum dilakukan analisis data, dilakukan uji asumsi homogenitas terlebih dahulu. Uji asumsi homogenitas menggunakan Levene’s Test. Jika asumsi terpenuhi dilanjutkan dengan analisis kovariat. Jika asumsi tidak terpenuhi, maka menggunakan analisis nonparametric Kruskal-Wallis Test. Efektivitas perangkat pembelajaran terhadap perolehan kognitif dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Rerata Postes – Rerata Pretes x 100% Rerata Pretes Hasil perhitungan yang diperoleh dibandingkan antara kelompok kemampuan atas dengan kemampuan bawah pada setiap perangkat. Jika persentase yang diperoleh lebih besar kemampuan bawah daripada kemampuan atas, maka dapat diartikan perangkat pembelajaran lebih efektif pada kelompok kemampuan bawah. Demikian pula sebaliknya. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada materi pokok Virus, rerata perolehan kognitif untuk siswa kemampuan atas adalah 81,43 dengan SD 3,61, sedangkan rerata kemampuan bawah 66,05 dengan SD 8,29. Hal ini menunjukkan sebaran perolehan kognitif pada siswa kemampuan atas lebih homogen daripada kemampuan bawah. Uji homogenitas tentang perolehan kognitif dengan menggunakan Levene’s Test diperoleh nilai F = 3,883 dengan taraf signifikansi 0,059 sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan varian dalam setiap kelompok, artinya nilai varian dalam setiap kelompok bersifat homogen. Kemudian dilakukan penghitungan analisis data lebih lanjut, hasilnya adalah kemampuan siswa sangat berpengaruh terhadap perolehan kognitif. Perolehan kognitif pada siiswa kemampuan atas lebih tinggi dibanding dengan siswa kemampuan bawah. Pada materi pokok Sistem Endokrin, rerata perolehan kognitif untuk siswa kemampuan atas adalah 76,60 dengan SD 8,31, sedangkan rerata kemampuan bawah 61,17 dengan SD 5,29. Hal ini menunjukkan sebaran perolehan kognitif pada siswa kemampuan bawah lebih homogen daripada kemampuan atas. Uji homogenitas tentang perolehan kognitif dengan menggunakan Levene’s Test diperoleh nilai F = 7,66 dengan taraf signifikansi 0,389 sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan varian dalam setiap kelompok, artinya nilai varian dalam setiap kelompok bersifat homogen. Kemudian dilakukan penghitungan analisis data lebih lanjut, hasilnya adalah kemampuan siswa sangat berpengaruh terhadap perolehan
494
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
kognitif. Perolehan kognitif pada siswa kemampuan atas lebih tinggi dibanding dengan siswa kemampuan bawah. Pada materi pokok Substansi Genetika, rerata perolehan kognitif untuk siswa kemampuan atas adalah 82,70 dengan SD 5,51, sedangkan rerata kemampuan bawah 43,97 dengan SD 12,72. Hal ini menunjukkan sebaran perolehan kognitif pada siswa kemampuan atas lebih homogen daripada kemampuan bawah. Rentangan perolehan kognitif pada siswa kemampuan bawah sangat lebar. Uji homogenitas tentang perolehan kognitif dengan menggunakan Levene’s Test diperoleh nilai F = 5,296 dengan taraf signifikansi 0,029 sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan varian dalam setiap kelompok, artinya nilai varian dalam setiap kelompok bersifat tidak homogen. Oleh karena itu, dilakukan analisis nonparametric Kruskal-Wallis Test, hasilnya adalah kemampuan siswa sangat berpengaruh terhadap perolehan kognitif. Perolehan kognitif pada siiswa kemampuan atas lebih tinggi dibanding dengan siswa kemampuan bawah. Untuk mengetahui lebih jelas hasil analisis kovariat dari ketiga perangkat pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 : Rekapitulasi analisis kovariat Hasil analisis
Nilai test Signifikansi kemampuan siswa
Perangkat Pembelajaran Biologi Virus
Sistem Endokrin
Substansi Genetika
F = 42.151
F = 35,273
chi² = 21,891
0,000
0,000
0,000
Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Osborn (1999) yang menyatakan bahwa siswa kemampuan atas cenderung menggunakan lebih banyak strategi metakognitif daripada siswa kemampuan bawah. Pernyataan tersebut didukung oleh Lawson (1992) yang membuktikan ada hubungan yang signifikan antara tingkat berpikir formal dengan skor hasil ujian. Siswa yang memiliki tingkat berpikir formal, dalam hal ini kemampuan atas memperoleh skor hasil ujian yang lebih tinggi daripada siswa yang mempunyai tingkat berpikir konkrit, dalam hal ini siswa kemampuan bawah. Pernyataan Osborn (1999) dan Lawson (1992) tersebut dapat sebagai penjelasan terhadap fenomena penelitian ini, bahwa perolehan kognitif siswa kemampuan atas lebih tinggi daripada siswa kemampuan bawah. Hasil perhitungan efektivitas perangkat pembelajaran dengan memperhatikan aspek kemampuan siswa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 : Efektivitas Perangkat Pembelajaran dengan Strategi Metakognitif Kemapuan Siswa
Efektivitas Perangkat Pembelajaran (%) Virus
Sistem Endokrin
Substansi Genetika
Kemampuan Atas
260,79
233,04
266,42
Kemampuan Bawah
261,71
269,16
104,04
495
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Perangkat pembelajaran dengan strategi metakognitif pada Virus dan Sistem Endokrin lebih efektif bagi siswa kemampuan bawah, sedangkan pada Substansi Genetika lebih efektif pada kemampuan atas. Mengapa penerapan perangkat pembelajaran Substansi Genetika dengan strategi metakognitif menguntungkan siswa kemampuan atas? Karena konsep yang terdapat pada substansi genetika lebih sulit dibandingkan virus dan sistem endokrin. Wilcoxson, Romanek & Wivagg (1999); Malacinski & Zell (1996); Cavallo (1996) menyatakan materi pokok genetika kebanyakan memiliki konsep abstrak. Bahkan, banyak bukti yang menunjukkan bahwa banyak siswa lemah dalam genetika (Esiobu & Soyibo, 1995). Pada pembelajaran materi Virus dan Sistem Endokrin membuktikan strategi metakognitif dapat mempersempit gap perolehan kognitif pada siswa kemampuan bawah. Dengan kata lain, strategi metakognitif dapat membantu siswa kemampuan bawah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Corebima (2007) bahwa strategi metakognitif dapat menguntungkan siswa kemampuan bawah. Penelitian sebelumnya yang menguji metakognitif dalam pendidikan menyatakan bahwa pengajaran proses metakognitif dapat meningkatkan pembelajaran menuju kesempurnaan, yaitu pebelajar menjadi mengenal diri mereka sendiri sebagai insan yang dapat mengatur diri sendiri yang dapat mencapai tujuan secara sadar dan sengaja (Kluwe dalam Hacker, 2000). Pada halaman yang sama Paris & Winograd menyatakan secara umum teori metakognitif memfokuskan antara lain pada: peranan kesadaran berpikir seseorang, dan perbedaan individual pada pengenalan diri serta pengaturan pengembangan dan pembelajaran kognitif. Jadi strategi metakognitif dapat membantu siswa secara sadar mengenali proses berpikirnya dan dapat memberi sumbangan ke pengenalan diri siswa serta pemahaman menjadi insan yang dapat mengatur diri sendiri, akhirnya dapat menjadi agen pemikiran mereka sendiri sesuai dengan pemikiran pembelajaran sepanjang hayat. Dalam penelitian ini, tahap-tahap strategi metakognitif yang diterapkan di kelas adalah: (1) menggali pengetahuan awal, (2) mengorganisasi siswa dalam kelompok kooperatif, (3) membandingkan pengetahuan awal siswa, (4) menjelaskan konsep-konsep penting, (5) membimbing diskusi kelas/mencek pemahaman, (6) siswa menilai sendiri hasil pemahamannnya (Susantini, dkk., 2007). Tahap-tahap tersebut menunjukkan pembelajaran yang berpusat pada siswa, kecuali tahap menjelaskan konsep penting. Tahapan strategi metakognitif tersebut sejalan dengan teori belajar konstruktivis, guru tidak dapat begitu saja memberikan pengetahuan ke siswa-siswanya. Agar pengetahuan yang diberikan kepadanya dapat bermakna, maka siswa sendirilah yang harus memproses informasi yang diterimanya, menstrukturkannya kembali dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki (Slavin, 2000) PENUTUP Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan: 1. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kemampuan atas dan kemampuan bawah terhadap perolehan kognitif pada materi Virus, Sistem Endokrin, dan Substansi Genetika dengan menerapkan strategi metakognitif. 2. Perangkat pembelajaran Virus dan Sistem Endokrin lebih efektif pada siswa kemampuan bawah, sedangkan pada Substansi Genetika lebih efektif pada kemampuan atas.
496
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I. 2004. Learning to Teach. Six Edition. New York: McGraw Hill Companies. Cavallo. A.M.L. 1996. Meaningful Learning, Reasoning Ability, and Students’s Understanding and Problem Solving of Topics in Genetics. Journal of Research in Science Teaching. 33 (6): 625 -656 Corebima, A.D. 2005. Pemberdayaan Berpikir Siswa pada Pembelajaran Biologi: Satu Penggalakkan Penelitian Payung di Jurusan Biologi UM. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya. FMIPA UM. Malang: 3 Desember 2005. Corebima, A.D. 2007. Metakognisi: Suatu Ringkasan Kajian. Makalah Disajikan dalam Diklat Guru Matapelajaran Biologi di Yogyakarta. Esiobu, G.O., & Soyibo, K. 1995. Effects of Concept and Vee Mappings under Three Learning Mode on Student’ Cognitive Achivement in Ecology and Genetics. Journal of Research in Science Teaching.
32 (9): 971 -994.
Fraenkel, J.R. & Wallen, N.E. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education.New York: McGrawHill Inc. Hacker,
D.J. 2000. Metacognition: Definitions and Emperical Foundations, (http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htm, diakses 21 Nopember 2000).
(Online),
Lawson, A.E. 1992. The Development of Reasoning Among College Biology Students – A Review of Research Journal of College Science Teaching. XXI (6): 338-344. Malacinski, G.M. & Zell, P.W. 1996. Manipulating the “Invisible” Learning Molecular Biology Using Inexpensive Models. American Biology Teacher. 58 (7): 428 – 432. Marzano, R.J. 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria, Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. Nasution, S. 1988. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Osborne, J.W. 1999. Metacognition and Teaching for Learning, (Online), Ou.edu/O/JasonW.Osborne-1/Metahome.html, diakses 21 Nopember 2000).
(http://facultystaff.
Royanto, L. 2006. Waspadai Kesulitan Belajar pada Anak. Kompas (12 Februari 2006). Slavin, R. 2000. Educational Psychology Theory and Practice. Boston: Allyn Bacon. Susantini, E. 2004. Memperbaiki Kualitas Proses Belajar Genetika melalui Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Kooperatif pada Siswa SMU. Disertasi. Tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Susantini, E. 2005. Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Genetika di SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan. Februari 2005, Jilid 12, (1): 62-75. Susantini, E. dkk., 2007. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Dengan Strategi Metakognitif untuk Memberdayakan Kecakapan Berpikir Siswa SMA. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Negeri Surabaya. Tim Broad Based Education. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas Broad Based Education (BBE). Jakarta: Depdiknas. Usman, U.M. 1996. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Gramedia. Wilcoxson, C., Romanek, D., & Wivagg, D. 1999. Setting The Stage for Understanding DNA. The American
Biology Teacher. 61 (9): 680 -683.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia.
497
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-14
THE EFFECT OF INTEGRATING FIELD TRIPS INTO SCIENCE LEARNING IN HIGHER EDUCATION; THE CASE OF ZOOLOGY INVERTEBRATE LEARNING ON BIOLOGY DEPARTMENT, STATE UNIVERSITY OF JAKARTA Hanum Isfaeni & Ade Suryanda (FMIPA State University of Jakarta)
ABSTRACT The research conducted for making improvement the zoology of invertebrate learning. The aim of research was to know correlate “a filed trip“ to learning outcome. The field trip held on May 2008, before the examination. The field trip conducted in the Pari Island, Kepulauan Seribu, Jakarta. The field trip approach correlates to learning outcome significantly. The its learning outcome of zoology of invertebrate done which went to the field trip more better than the other class. Field trips can be a valuable method of learning, providing students with important cognitive and affective benefits. So that, the field trip in some biology higher education courses is recommended as a model learning. INTRODUCTION Zoology is the study of animal which one of the broadest fields in all of science because of the immense variety of animals and complexity of the processes occurring within animal. Zoology is a core course in the curricula of biology department that divides in zoology invertebrate and zoology vertebrate. The course of zoology invertebrate in Biology Department, Math and Science Faculty sets up in second semester. This course needs a pre-request on the general biology course. Unfortunately, The students who take this course be suggested a think way as pedagogic learning. They tend to depend on learning from a course handout which accept from the lecturer. They do not improve the knowledge from the other learning resources. The other hand, This learning of this course still conducts on a discussion method regularly. The learning method is which conducts in this course do not improve leaning process it. So, the learning outcome of this course is not good year by year in each class. The result of the mid and final exam of this course is average 61.45. This result usually occur same as year by year. Based on the fact, it needs some approach or learning methods that can solve this problem. One of the ways is a filed trip method or learning activities. Field trips are vital components of zoology learning. The goal of field trips is to involve and improve the students to learning variety animals of invertebrate in the nature. Field trips are ideal vehicles to aid development of knowledge in invertebrate. For field trips to be successful, students must actively exercise their skills in observation, collecting, preservation, and identification, in integration of diverse knowledge and experiences (Sezen et al, 2006). This method also pushes the learning process with the others method such as cooperative learning, constructivism, active learning. Cooperative learning is a successful teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of a subject. Each member of a team is responsible not only for learning what is taught but also for helping teammates learn, thus creating an atmosphere of achievement. Students work through the assignment until all group members successfully understand and complete it (Cruickshank et al, 2006). In the field trip, the learning has designed in some activities. First, student divided on some groups. Each group will arrange some activities that consist of collection, preservation, and identification. All activities 498
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
done and discuss within member of group. So, overall, their activities are an implementation of the cooperative learning. In field trip, zoology invertebrate was learned by constructivism method also. Formalization of the theory of constructivism is generally attributed to Jean Piaget, who articulated mechanisms by which knowledge is internalized by learners. He suggested that through processes of accommodation and assimilation, individuals construct new knowledge from their experiences. When individuals assimilate, they incorporate the new experience into an already existing framework without changing that framework. In both cases, the theory of constructivism suggests that learners construct knowledge. Constructivism as a description of human cognition is often associated with pedagogic approaches that promote active learning by doing. Lecturer must emphasize the critical role that experiences--or interactions with the surrounding environment--play in student learning. RESEARCH METHODS This research was conducted by a descriptive research. The research conducted in Pari Island, Kepulauan Seribu Jakarta. The sampling in this research are two classes of zoology invertebrate courses. The course consist of the student in biology education class and the student in biology (non education) class. The biology education class was arranged as field trip learning class. Meanwhile, the biology class was as control class. The study arrange into some steps that consist of: • Students in the class divided into eight groups which were randomly selected. In each of Group were taught zoology invertebrate by taking them to phyla of invertebrates. • Each group might collect some animals that represented of the phylum of invertebrate. • Each group identified the specimen which colleted in the location. • Each group presented and discussed the specimen that is collected in location (Pari Island). This research was analyzed by descriptive and Mann Whitney test and Spearman correlation test. RESULT AND DISCUSSION Based on Mann-Whitney U test, so that it show distinguish result examination in alpha 0.05 between the class-filed trip with the class-non field trip. Based on Spearman correlation test show that there is a correlation between field trip learning with learning outcome in alpha 0.05. This result explains how to field trip improves and ensure the learning process of zoology invertebrate. Table1: Descriptive statistic analyses Minimum score examination
Maximum score examination
34
30
79
61.09
1.819
10.606
32
21
61
42.50
1.731
9.730
N Field tripclass Control class
Mean
Std. Error Mean
Standard Deviation
Students in each group (field trip) were thus able to perform highest because of their opportunity of having first-hand experience of organisms in their natural habitat. They stated that they learn more clear about animal diversity directly in natural habitat than in the class. They also can conduct to collecting, preservation, and identification.
499
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
This fact explains how to maximize learning during the field trip to ensure that cognitive and affective benefits are gained. The cognitive domains occur in outcome learning which it is implemented with examination result. The mean of examination result the class was which went ‘filed trips” are 61.09. Meanwhile, the class “non-filed trips” are 42.50. It showed that examination result of the class with filed trip was better than the class without field trip (a control class). The whole benefit of field trip in biology learning are: 1) The field trip as soft skill learning The field trip should be integrated into the broader learning program and be used only when it is the most effective and efficient procedure for fulfilling the learning objectives. While science standards may be most readily met on natural resource field trips, it is possible to develop a field program that also helps lecturers or teachers meet standards in science learning. For example, a trip to a nature for students that includes an exploration of the animal and its ecosystem, collecting impressions to write a story, and calculating how many animal might be in a rotting log could address the following standards: a) The student understands the competitive, interdependent, cyclic nature of living things in the environment. b) The student writes to communicate ideas and information. c) The student uses estimation in problem solving and computation. 2) Integrate the field trip into a learning unit
Orion (in Athman and Monroe, 2008) offers a three-part model that can be used for integrating field trips into the curriculum or leaning unit. Each part is a structured independent learning unit, yet each serves as a bridge to the next part of the model. The first part, the preparatory unit, uses concrete learning activities to prepare students for the field trip. Students might work with materials and equipment that will be used during the field trip and gain the basic concepts and skills necessary for the completion of field activities. The field trip is the second and central part of the model. It serves as a concrete bridge toward more abstract learning levels. Using field trips as the central part of the learning program, rather than as a summary or enrichment activity, aids in the concretization necessary for higher levels of cognitive learning following the field trip. The third part, the summary unit, includes more complex and abstract concepts, aiming toward the application and transfer of field trip learning. While this does not appear to be profound, this model advocates a significant difference from the typical stand-alone field trip. By including pre- and post-trip elements, the lecturer or teacher becomes involved in the learning of the field trip concepts and connections to other topics in the curriculum are more likely. 3) Familiarize students with the field trip site (a nature) The relative novelty or familiarity of the field trip setting affects learning. Settings that are too novel cause fear and nervousness. Learning is maximized when the field trip setting is of moderate novelty. Lecturer at the field trip site can provide educator with pre-trip materials, maps, and resources that can help lecturer introduce and prepare students for the field experience. In addition to suggesting content-based activities that would introduce topics, vocabulary, and concepts, staff can provide a map of the route the bus will take and a map of the facility's trails that will orient students to the site. Lecturer may be able to provide a slide show of last year's field trip, or readings from those student's reports. A letter to parents is another strategy to prepare youth for the upcoming field trip. It alerts parents to the event and encourages them to make sure students have appropriate clothing and
500
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
necessary equipment. If the bus route passes an area of interest – a river, a former wildfire site, or a wetland – teachers may be able to point out these landmarks as students make observations. 4) Design the field trip as a learning experience based on educational theory
The main learning strategy of the field trip should be hands-on experience, focusing on activities that cannot be conducted in the classroom or laboratory. Rather than passively absorbing information through guided tours or participating in simulations, students need to be actively constructing knowledge through concrete interactions with the environment. This involves the use of a processoriented rather than a content-oriented approach, incorporating activities such as observing, identifying, measuring, and comparing. This also involves building in opportunities for structured exploration, such as scavenger hunts or sensory awareness activities. Further, the actual site of the field trip should be conducive to learning. Terrain that is too difficult, learning stations separated by great distances, extreme weather conditions, and constant pestering by mosquitoes makes learning difficult. 5) Provide students with multiple exposures to and experience in natural settings
Some students, often from urban backgrounds, arrive at the park or natural area with negative preconceptions and fears that interfere with the effectiveness of the field trip program. Repeated positive exposures to natural settings are needed to lower the novelty of these settings and aid in the unlearning of misconceptions. Direct experiences can be planned to counter perceived threats, such as save field activities, dangerous animals. With the rising cost of bus transportation for field trips, it can be difficult for lecturer or teachers to make multiple trips to natural settings. It may be wise to help teachers develop natural areas on their school sites. Also called “outdoor classroom” and “nature lab,” these nearby locations can give lecturers a place to conduct a variety of environmental activities. Similarly, a city park or cemetery can also provide areas to explore Coelenterates, insects, echinoderms, marine ecosystem, and mangroves. They become comfortable with these familiar nearby locations, the better they will be able to appreciate more wild environments. Field trips can be a valuable method of learning, providing students with important cognitive and affective benefits. To help ensure that students actually gain these potential benefits, factors that influence the educational effectiveness of field trips must be considered: integrate the field trip into the curriculum using pre-and post-visit activities. The field trip on solid educational theory; and provide students with multiple experiences in natural settings. Lecturers can collectively plan and implement field trips that achieve optimal cognitive and affect results, as well as provide youth with the opportunities to enjoy and explore an outdoor environment SUMMARY The field trip approach correlates to learning outcome significantly. The its learning outcome of zoology of invertebrate done which went to the field trip more better than the other class. Field trips can be a valuable method of learning, providing students with important cognitive and affective benefits. REFERENCES Cruickshank, D. R., D. B. Jenkins, & K. Metcalf, 2006. The Act of teaching. Fourth ed. McGraw-Hill, New York: xvii+510 Julie Athman and Martha C. Monroe. 2008. Enhancing Natural Resource Programs with Field Trip, diunduh dari http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/FR/FR13500.pdf Sezen, Asli, Esra Akgül, Dilan Bayindir, K. Seda Çevik, Zahit Kisa, Semaküçükmert, Miray Tekkumru. 2008. Http://Www.Bgci.Org/Educationcongress/Proceedings/Authors/Sezen%20asli%20-%20rp.Pdf. 501
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-15
JIGSAW AND ENHANCING GROUP-ACTIVITIES QUALITY; AN INSTRUCTIONAL INNOVATION THROUGH CLASSROOM ACTION RESEARCH Agung W. Subiantoro *, Bahrudin Fatkurohman ** * Biology Education Dept., Yogyakarta State University ** SMP PIRI Ngaglik Sleman, DIY
Abstract This Classroom Action Research was conducted to enhancing group-activities quality on biology teaching-learning through two-cycles action jigsaw method applied on first semester 2007/2008 academic year. Research subjects were 32-second-grade students. Data were collected through observation for group activities and test for concept attainment. Indicator of action achievment is that if each student’s activity or performance reach at least 70% on well-criteria from all of performances or activities. The result of this study showed that jigsaw method could improve group activities quality which can be seen by well-criteria achievment increasing from the 1st cycle to the 2nd one. Whereas, this method could enhancing student’s concept understanding so. Keywords : group activities, jigsaw method PENDAHULUAN Selain kemampuan penguasaan konsep, proses interaksi yang terjadi dalam pembelajaran IPA biologi diupayakan dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar proses sains, sikap ilmiah, serta keterampilan interaksi sosial. Keterampilan interaksi sosial dalam pembelajaran yang dilakukan melalui kegiatan kelompok, sangat penting guna mengembangkan kecakapan pribadi siswa dan mendukung pencapaian hasil belajarnya (Felder & Brent, 1994; Deibel, 2005). Aspek-aspek sosial seperti keterampilan menerima pendapat atau kritik orang lain, kemauan saling berbagi gagasan, pengalaman dan keterampilan, mengembangkan rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri, atau keterampilan menyampaikan pendapat atau gagasan secara ilmiah, merupakan contoh-contoh keterampilan interaksi sosial yang dapat mendukung keterampilan berpikir kritis dan ilmiah siswa sehingga dapat mengoptimalkan pencapaian hasil belajarnya. Hasil observasi proses pembelajaran biologi di SMP PIRI Ngaglik, Sleman, DIY, ditemukan beberapa persoalan antara lain: 1. Guru jarang sekali merancang dan melakukan pembelajaran melalui kegiatan kelompok bagi siswanya. 2. Sebagian siswa (± 57%, n=35) tidak begitu senang belajar dalam kelompok. 3. Apabila belajar dalam kelompok, sebagian siswa (± 57%, n=35) lebih senang menyerahkan tugasnya kepada temannya yang lain dalam kelompok. 4. Pembelajaran melalui kegiatan kelompok yang dilakukan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti untuk pencapaian hasil belajar siswa dibanding dengan pembelajaran klasikal/konvensional seperti yang biasa dilakukan. Diskusi lebih lanjut dengan guru yang bersangkutan berhasil menganalisis dan mengidentifikasi beberapa fakta serta akar penyebab munculnya masalah-masalah di atas, yaitu: 1. Pada dasarnya, guru telah berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran kelompok. Tetapi, pola pembelajaran kelompok yang dilakukan belum bervariasi, hanya untuk tujuan diskusi kelompok terbatas seperti mengerjakan LKS atau menjawab latihan soal. Faktor terbatasnya waktu dan 502
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
banyaknya materi juga mempengaruhi. Hal ini membuat guru ragu untuk mencoba menerapakan pembelajaran kelompok karena khawatir waktunya akan tersita tetapi materinya tidak akan selesai. 2. Tidak bervariasinya model pembelajaran kelompok yang diterapkan berpengaruh pada motivasi siswa, sehingga sebagian siswa tidak senang dengan kegiatan kelompok. Hal ini dikarenakan aktivitas dalam kegiatan kelompok yang dilakukan monoton, tidak menantang dan mendorong siswa untuk aktif. 3. Meski sebagian siswa tidak senang dengan kegiatan kelompok, guru berpendapat bahwa pada dasarnya tidak ada masalah tentang motivasi belajar siswa dalam pembelajaran biologi. Selain itu, beberapa siswa menunjukkan ketertarikan untuk bisa tampil dalam kegiatan presentasi. Dari analisis situasi dan identifikasi masalah yang ada, masalah yang dihadapi guru dan akan dipecahkan adalah: “Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk dapat meningkatkan kualitas kegiatan kelompok dalam pembelajaran biologi?” Pengembangan inovasi pembelajaran ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kegiatan kelompok dalam pembelajaran biologi dengan menerapkan metode jigsaw. Hasil diskusi dengan guru memunculkan gagasan untuk mencari, merancang dan melakukan inovasi pembelajaran kelompok sebagai upaya mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi di atas, yaitu dengan mencoba menerapkan metode jigsaw dalam pembelajaran. Pemilihan metode jigsaw ini didasarkan pada hasil kajian bersama dengan guru. Jigsaw diartikan sebagai pembagian materi, sumber atau tugas, sehingga tugas kelompok tidak akan dikerjakan oleh satu atau sebagin kecil angota kelompok, tetapi masing-masing anggota kelompok punya bagian yang penting dan dibutuhkan oleh seluruh anggota kelompok. Dengan demikian, tujuan utama dari penerapan metode jigsaw adalah membuat masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab atas tugas atau bagian khusus yang lantas harus dibagikan kepada teman-teman kelompoknya. Jigsaw juga efektif dilakukan untuk menekankan keterpaduan dan tanggung jawab siswa (Doolittle, 2002). Doolittle (2002) menjabarkan tiga model metode jigsaw yang dapat diterapkan, yaitu: a. Within Group Jigsaw. Pada model ini, masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari satu bagian persoalan yang harus dipecahkan kelompok tersebut. Setelah mempelajarinya, maing-masing harus mengajarkan kepada anggota kelompok lainnya. b. Expert Group Jigsaw. Pada model expert group ini anggota kelompok dari semua kelompok yang mendapat bagian persoalan yang sama berkumpul menjadi ‘kelompok ahli’ untuk bersama-sama mempelajari dan memecahkan persoalan tersebut. Setelah selesai mempelajarinya, masing-masing kembali ke kelompok asalnya dan mengajarkan apa yang telah mereka pelajari pada ‘kelompok ahli’ tadi. c. Whole Group Jigsaw. Pada whole group ini kelompok yang terbentuk pertama kali sudah langsung menjadi ‘kelompok ahli’ yang masing-masing mempelajari persoalan yang berbeda dengan kelompok lainnya. Setelah itu masing-masing kelompok mengajarkan bagian persoalannya kepada kelompok lain melalui diskusi kelas atau presentasi. METODE PENELITIAN Pengembangan inovasi ini dilaksanakan dalam bentuk penelitian tindakan kelas yang didesain menurut model Kemis dan Taggart, sesuai buku panduan penelitian tindakan kelas (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999). Penelitian ini dirancang untuk dua siklus tindakan yang masing-masing terdiri atas tiga kegiatan siklik: 1) perencanaan, 2) pelaksanaan tindakan dan observasi, dan 3) refleksi. Subjek pengembangan inovasi ini adalah siswa kelas VIII D SMP PIRI Ngaglik, Sleman, DIY, yang berjumlah 32 orang siswa dan terbagi dalam enam kelompok. Penelitian ini dilaksanakan pada awal semester ganjil tahun ajaran 2007/2008. 503
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Secara rinci, langkah-langkah yang dilakukan dalam setiap siklus tindakan adalah: a. Siklus I 1) Tahap Perencanaan, meliputi kegiatan: a). memilih materi pelajaran, yaitu materi sistem pernapasan pada manusia, menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran, LKS dan media pembelajaran. b). menyusun instrumen observasi dan monitoring pelaksanaan pembelajaran, c). mensosialisasikan rencana dan tujuan tindakan sekaligus mengarahkan siswa untuk persiapan pembelajaran. 2) Tahap pelaksanaan tindakan dan observasi, yaitu guru melaksanakan rencana tindakan. Pada tahap ini, guru membagi dan menjelaskan persoalan yang harus diselesaikan masing-masing anggota kelompok, membimbing siswa untuk mempelajari dan menyelesaikan persoalan, mengarahkan diskusi kelompok, mengarahkan diskusi kelas untuk klarifikasi pemecahan masalah, dan melakukan evaluasi. Selain itu, peneliti bersama guru teman sejawat melakukan observasi dan monitoring aktivitas siswa dalam kegiatan kelompok dengan menggunakan instrumen yang telah disiapkan. 3) Tahap refleksi, dilakukan untuk mengevaluasi apakah rencana tindakan sudah dilaksanakan sesuai program,, mengetahui kekurangan dan kendala-kendala apa saja yang muncul selama siklus I, dan mengetahui respon siswa. Kegiatan refleksi ini dilanjutkan dengan diskusi untuk mencari solusi perbaikan atas kekurangan dan masalah yang muncul pada siklus II. b. Siklus II Peneliti dan guru membuat rencana perbaikan tindakan untuk siklus II dengan materi pokok sistem pencernaan makanan pada manusia. Dalam membuat rencana perbaikan, respon siswa dijadikan pertimbangan untuk mengakomodasi situasi dan kebutuhan siswa sehingga proses pelaksanaan tindakan nantinya berjalan dengan baik. Refleksi siklus II menunjukkan bahwa hasil pembelajaran siklus II telah mencapai indikator keberhasilan tindakan dalam penelitian ini. Sehingga tim peneliti memutuskan untuk tidak melanjutkan ke siklus III. Metode jigsaw yang diterapkan dalam penelitian pengembangan inovasi ini adalah model Wholegroup jigsaw yang dimodifikasi. Modifikasi ini dilakukan untuk tetap mengupayakan proses pembelajaran yang sesuai dengan prinsip pembelajaran biologi sebagai sains, yaitu melalui penerapan proses sains. Modifikasi yang dilakukan adalah meski masalah keahlian yang harus dikaji dan dikuasai oleh masingmasing kelompok jigsaw berbeda, namun semua kelompok tetap melakukan kegiatan praktik atau pengamatan secara bergiliran agar tetap memperoleh pengalaman menerapkan proses sains sekaligus memiliki orientasi gejala atas persoalan yang sedang mereka pelajari bersama. Indikator kinerja untuk menunjukkan keberhasilan tindakan adalah apabila kriteria yang tergolong baik (perolehan skor 3 dan 4) yang dicapai siswa untuk masing-masing aktivitas mencapai frekuensi minimal 70% dari seluruh aktivitas/kinerja yang muncul dalam kelas. Selain itu, juga dilihat dari perbandingan nilai pretes dan postes pada masing-masing siklus. HASIL DAN PEMBAHASAN Materi pembelajaran yang dipilih pada siklus I adalah sistem pernapasan pada manusia yang dibagi menjadi enam persoalan pokok, yaitu: 1) Struktur fungsi organ pernapasan, 2) Perbedaan proses inspirasi dan ekspirasi, 3) Bukti bahwa pernapasan menghasilkan CO2, 4) Pengaruh rokok terhadap paru-paru, 5) Perbedaan pernapasan dada dan perut, dan 6) Kapasitas udara paru-paru. Berdasarkan indikator aktivitas atau kinerja yang telah dibuat, frekuensi macam aktivitas atau kinerja yang muncul atau dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran siklus I ini, beserta kriterianya adalah seperti pada tabel 1 berikut.
504
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 1 : Frekuensi macam aktivitas yang muncul atau dilakukan siswa selama pembelajaran siklus I.
No.
Frekuensi (%) dengan kriteria
Macam Aktivitas
4
3
2
1
1.
Melakukan praktik/percobaan
7,5
53,75
27,5
11,25
2.
Melakukan pengamatan (observasi)
6,7
55
30
8,3
3.
Mengumpulkan data
6,7
68,8
24,5
-
4.
Mengajukan pertanyaan
-
52,5
37,5
10
5.
Menyampaikan jawaban
5
54
26
15
6.
Merumuskan hasil pekerjaan kelompok
3
45,5
33
18,5
Keterangan skor dan kriteria: 4: Baik s, 3: Cukup baik, 2: Kurang, 1: Tidak muncul/tidak melakukan sekali Selain data frekuensi macam aktivitas berdasarkan kriteria di atas, selama proses pembelajaran juga diamati aspek-aspek pembelajaran jigsaw yang dilakukan siswa. Data frekuensi aspek-aspek pembelajaran jigsaw yang muncul/dilakukan siswa berdasarkan kriteria penelitian adalah seperti yang tertuang dalam tabel 2 berikut. Tabel 2 : Frekuensi macam aspek kegiatan kelompok jigsaw yang muncul selama pembelajaran siklus I. Frekuensi (%) dengan kriteria
Macam Aspek Kegiatan Kelompok Jigsaw
No.
4
3
2
1
1.
Partisipasi (termasuk aspirasi & antusiasme)
7,5
17,5
48
27
2.
Kerja sama
12
37
46
5
3.
Tanggung jawab
31,25
8,5
36,75
23,5
Hasil evaluasi pembelajaran pretes dan postes) pada siklus I disajikan pada tabel 3 berikut. Tabel 3 : Hasil pretes dan postes pada siklus I Tes
Nilai terendah
Nilai tertinggi
Rata-rata
Pretes
2,2
6,4
4,8
Postes
2,7
7,7
6,7
Gain (selisih)
0,5
1,3
1,9
Dari tabel 1 dan 2 di atas, terlihat bahwa frekuensi macam aktivitas atau kinerja yang dilakukan siswa, serta aspek kegiatan kelompok jigsaw yang muncul dengan kriteria tergolong baik (cukup baik dan baik), selama pembelajaran siklus I belum mencapai indikator keberhasilan tindakan, yaitu minimal 70% (kecuali untuk aktivitas/kinerja mengumpulkan data). Sebaliknya, kriteria yang banyak muncul adalah kriteria kurang baik. Hasil analisis bersama tim peneliti memperoleh gambaran hal-hal yang dianggap menghambat belum tercapainya indikator keberhasilan tindakan pada siklus I adalah: 505
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
1) Siswa belum terbiasa dengan pengelolaan kegiatan belajar kelompok ahli (kelompok jigsaw). Hal ini tampak dari kesulitan mereka untuk berbagi tanggung jawab dalam satu kelompok. 2) Orientasi tujuan dan hasil belajar pembelajaran kelompok ahli yang masih terbatas pada diri siswa. Siswa sepertinya menganggap bahwa kegiatan pembelajaran kelompok jigsaw sama seperti kegiatan kelompok seperti yang mereka lakukan biasanya. 3) Siswa belum sepenuhnya jelas tentang aktivitas/kegiatan apa yang harus mereka lakukan dalam kelompok. 4) Kelompok siswa mengalami kebingungan untuk menyelesaikan persoalan bidang keahliannya. 5) LKS yang dibuat untuk siklus I cenderung bersifat tertutup, di mana persoalan apa saja yang harus dipelajari oleh siswa dituliskan secara detil. Selain itu, tiap kelompok memperoleh satu paket LKS yang sama untuk enam pokok persoalan dalam siklus I. LKS ini berpengaruh pada kecenderungan siswa untuk menyelesaikan sendiri LKS tersebut di luar jam pelajaran. Materi pembelajaran siklus II adalah sistem pencernaan makanan pada manusia, yang dibagi menjadi enam persoalan pokok, yaitu: 1) Struktur organ sistem pencernaan makanan, 2) Proses pencernaan, 3) Uji karbohidrat makanan, 4) Uji protein, 5) Uji saliva, dan 6) Struktur gigi manusia. Jika pada siklus I semua kelompok tetap melakukan praktik atau pengamatan pada obyek yang bukan termasuk bidang keahliannya, maka pada siklus II ini tiap-tiap kelompok hanya melakukan praktik atau pengamatan atas persoalan keahliannya sendiri di awal kegiatan. Kesempatan untuk melakukan praktik atau pengamatan terhadap persoalan selain bidang keahlian kelompok, dilakukan pada saat sesi diskusi sharing keahlian antar kelompok. Selain itu, LKS pada siklus II ini disusun berorientasi pada LKS semi-terbuka, dalam arti persoalan-persoalan yang harus dikaji kelompok dan antar kelompok tidak banyak dituliskan/dirumuskan dalam LKS, tetapi diupayakan dirumuskan sendiri oleh kelompok. Hasil pengamatan aktivitas/kinerja siswa selama pembelajaran pada siklus II menunjukkan frekuensi aktivitas/kinerja dan aspek-aspek pembelajaran jigsaw yang muncul/dilakukan siswa berdasarkan kriteria penelitian seperti ditunjukkan pada tabel 4 dan 5 berikut. Tabel 4 : Frekuensi macam aktivitas yang muncul atau dilakukan siswa selama pembelajaran siklus II.
No.
Frekuensi (%) dengan kriteria
Macam Aktivitas
4
3
2
1
23,5
52,75
18,5
5,25
22
60
14,7
3,3
28,4
52,9
13,7
5
53,7
15
3,3
1.
Melakukan praktik/percobaan
2.
Melakukan pengamatan (observasi)
3.
Mengumpulkan data
4.
Mengajukan pertanyaan
28
5.
Menyampaikan jawaban
22,5
54
16
12
6.
Merumuskan hasil pekerjaan kelompok
24
53,5
12,5
10
506
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 5 : Frekuensi macam aspek kegiatan kelompok jigsaw yang muncul selama pembelajaran siklus II. Frekuensi (%) dengan kriteria
Macam Aspek Kegiatan Kelompok Jigsaw
No.
4
3
2
1
1.
Partisipasi (termasuk aspirasi & antusiasme)
34,5
46,5
12,3
6,7
2.
Kerja sama
48,3
37,5
10,5
3,7
3.
Tanggung jawab
34,5
44,5
13,3
7,7
Untuk hasil pretes dan postes pada siklus II disajikan dalam tabel 6 berikut. Tabel 6 : Hasil pretes dan postes pada siklus II Tes
Nilai terendah
Nilai tertinggi
Rata-rata
Pretes
2,3
6,6
5,6
Postes
2,6
7,4
6,8
Gain (selisih)
0,3
0,8
1,2
Berdasarkan hasil dari siklus I dan II, tampak terjadi peningkatan kualitas aktivitas/kinerja siswa dalam kelompok, yang ditunjukkan oleh naiknya frekuensi perolehan kriteria yang tergolong baik (kriteria cukup baik dan baik sekali) untuk setiap macam aktivitas. Perbandingan frekuensi kriteria yang tergolong baik antara siklus I dan siklus II ini seperti tersaji dalam tabel 7 berikut. Tabel 7 : Perbandingan frekuensi kriteria yang tergolong baik antara siklus I dan siklus II untuk kemunculan macam aktivitas/kinerja siswa dalam kelompok.
No.
∑ Frekuensi (%) kriteria baik antar siklus
Macam Aktivitas
Siklus I
Siklus II
1.
Melakukan praktik/percobaan
61,25
76,25
2.
Melakukan pengamatan (observasi)
61,7
82
3.
Mengumpulkan data
75,5
81,3
4.
Mengajukan pertanyaan
52,5
81,7
5.
Menyampaikan jawaban
59
76,5
6.
Merumuskan hasil pekerjaan kelompok
48,5
77,5
Selain kualitas aktivitas/kinerja kelompok, peningkatan kualitas ini juga tampak pada perbandingan frekuensi kriteria yang tergolong baik (cukup baik dan baik sekali) untuk kemunculan aspek kegiatan kelompok jigsaw antara siklus I dan siklus II yang juga meningkat, seperti tersaji pada tabel 8 berikut.
507
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Tabel 8 : Perbandingan frekuensi kriteria yang tergolong baik antar siklus I dan siklus II untuk kemunculan macam aspek kegiatan kelompok jigsaw. No.
∑ Frekuensi (%) kriteria baik antar siklus
Macam Aspek Kegiatan Kelompok Jigsaw
Siklus I
Siklus II
1.
Partisipasi (termasuk aspirasi & antusiasme)
25
81
2.
Kerja sama
49
85,8
3.
Tanggung jawab
39,75
79
Frekuensi kategori baik yang muncul untuk aktivitas/kinerja maupun aspek kegiatan kelompok jigsaw yang muncul pada siklus II, selain menun-jukkan peningkatan dibandingkan dengan siklus I, juga menunjukkan per-olehan yang optimal dalam penelitian ini, karena telah memenuhi indikator keberhasilan tindakan, di mana masing-masing mencapai lebih dari 70%. Dengan hasil ini, tim peneliti melihat bahwa pemberian tindakan berupa pembelajaran kelompok jigsaw mampu meningkatkan kualitas kegiatan kelompok. Pembelajaran kelompok jigsaw memberi inisiasi pada siswa untuk lebih fokus pada orientasi kegiatan kelompoknya, karena masing-masing dibebani tanggung jawab untuk menjadi ahli pada bidang tertentu yang keahliannya ini harus mereka bagikan pada siswa yang lain. Tanggung jawab ini memberi pengaruh pada persepsi tanggung jawab mereka, baik secara pribadi maupun kelompok. Penghargaan atas kelompok yang diperoleh dari siswa atau kelompok lain, menjadi dasar motivasi siswa dalam kelompok untuk lebih berpartisipasi aktif menyelesaikan tugas kelompoknya. Di samping itu, persepsi terhadap hasil belajar yang akan diraih juga menjadi dasar orientasi yang kuat bagi mereka untuk lebih termotivasi dalam berinteraksi satu sama lain dan saling berbagi pengalaman belajar dan pengetahuan. Sebagaimana diungkapkan Aronson (2006), yang paling penting dari metode jigsaw adalah dapat mendorong keterampilan mendengarkan, mengelola waktu dan berempati dengan memberi masing-masing anggota kelompok bagian penting bagi tujuan bersama dalam aktivitas pembelajaran. Orientasi tujuan kelompok tadi juga memberi dampak pada perolehan hasil belajar secara individual. Ini dapat dilihat dari perolehan hasil belajar sebelum dan setelah pembelajaran kelompok, sebagaimana hasil pretes dan postes pada tiap siklus seperti yang disajikan pada tabel 3 dan 6. PENUTUP Pembelajaran dengan metode jigsaw dalam penelitian ini dapat meningkatkan kualitas kegiatan kelompok dan juga meningkatkan hasil belajar biologi siswa. Namun demikian, hasil penelitian ini masih memiliki implikasi terbatas karena subyek dan skup penelitian yang digunakan, sehingga diperlukan penelitian-penelitian lain yang serupa agar dapat dilakukan perbandingan dan memperkuat generalisasi hasilnya.
508
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
DAFTAR PUSTAKA Aronson. 2006. The Basic of Jigsaw (revised ed.). http://www.jigsaw.org (Online, diakses 20 Juni 2006) Blosser, Patricia. E. 1992. Using Cooperative Learning in Science Education. http://www.stemworks.org/ (Online, diakses 19 Juni 2006).
Cara, Bafile. 2005. The Jigsaw Approach Brings Lessons to Life. http://www.educationworld.com/ (Online, diakses 19 Juni 2006). Chafe,
Allison. 1998. Cooperative Learning and the Second http://www.cdli.ca/~achafe/cooplang.html (Online, diakses 3 Juli 2006).
Language
Classroom.
Colosi, Joseph C., Charlotte R. Zalles. 1998. Jigsaw Cooperative Learning Improves Biology Lab Courses. Bioscience Journal vol. 48, p. 118-125. Deibel, Katherine. 2005. Team Formation Methods for Increasing Interaction During In-Class Group Work. http://www.cs.washington.edu/ (diakses 19 Juni 2006). Doolittle, Peter. E. 2002. Cooperative Learning: The Jigsaw Method. The Mind, An Owner’s Manual for Teachers and Students: Activity Strategies (p. 17-20). http://edpsycherver.ed.vt.edu/ (Online, diakses 3 Juli 2006) Felder, Richard. M., & Rebecca Brent. 1994. Cooperative Learning in Technical Courses: Procedurs, Pitfalls and Payoffs. http://www.ncsu.edu/felder-public/Papers/Coopreport.html (Online, diakses 19 Februari 2006). Felder, Richard. M., & Rebecca Brent. 2001. Effective Strategies for Cooperative Learning. Journal of Cooperation & Collaboration in College Teaching. Felder, Richard. M., & Deborah. B. Kaufman. 2000. Accounting for Individual Effort In Cooperative Learning Teams. Journal of Engineering Education. Koprowski, John L., Nan Perigo. 2000. Cooperative Learning as a Tool to Teach Vertebrate Anatomy. The American Biology Teacher Journal vol. 62, p. 283-285. Oakley, et.al. 2004. Turning Student Groups into Effective Teams. Journal of Student Centered Learning. Sadler, Troy. D., Dana L. Zadler. 2004. Negotiating Gene Therapy Controversies. The American Biology Teacher Journal vol. 66, p. 428-434. Sherman, Lawrence. W. 1996. Cooperative Learning in Post Secondary Education: Implications from Social Psychology for Active Learning Experiences. http://www.users.muohio.edu/ (Online, diakses 19 Juni 2006) Smith, Julia I, Lena Chang. 2005. Teaching Community Ecology as a Jigsaw. The American Biology Teacher Journal vol. 67, p. 31-37. Stanne., M. Beth, David W. Johnson, Roger T. Johnson. 2000. Cooperative Learning Methods: A MetaAnalysis. http://www.co-operation.org/ (Online, diakses 19 Juni 2006). Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta; Depdiknas.
509
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-16
ALTERNATIVE ASSESSMENT ITS BENEFITS ON BOTANIC PHANEROGAMAE LECTURE DEPARTEMENT OF BIOLOGY EDUCATION FPMIPA UPI Siti Sriyati (Departement of Biology Education FPMIPA UPI)
ABSTRACT The study about alternative assessment on Botanic Phanerogamae lecture has been done to get information about alternative assessment that has been developed to this lecture and how far it’s giving a benefit to the student and giving an information about alternative assessment that has not been developed to this lecture. Data collecting method is done with analyzing the alternative assessment that has been developed, distributing a questionnaire to student to know the benefit of alternative assessment and identity the student ability that has not been assessed. The result of the study shows that tasks given in Botanic Phanerogamae lecture including : drawing book, herbarium, perikehidupan, and practical reports. All of its are alternative assessment that has been successfully developed because it has a clear task and rubric. The tasks have given many benefits to the students and comply with five assessment target (knowledge, reasoning, skills, product, affective) by Stiggins (1994). Performance assessment in the practical activity has not been done and need to be developed to achieve description target on Botanical Phanerogamae lecture. Key word : Alternative assessment, Botanic Phanerogamae, Task and Rubric
PENDAHULUAN Secara sederhana asesmen alternatif diartikan sebagai pemanfaatan pendekatan non-tradisional untuk memberi penilaian kinerja atau hasil belajar mahasiswa (Zainul, 2001). Istilah non-tradional yang digunakan dalam konteks ini adalah tes kertas dan pensil (pencil and paper test) atau tes baku yang menggunakan perangkat tes objektif. Asesmen alternatif dianggap sebagai upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran hasil belajar dengan keseluruhan proses pembelajaran. Melalui asesmen alternatif ini proses pengukuran hasil belajar tidak lagi dianggap bagian terpisah dari proses pembelajaran. Atau dengan kata lain asesmen alternatif merupakan proses yang menyertai seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran (Zainul, 2001). Mata kuliah Botani Phanerogamae merupakan mata kuliah wajib (untuk mahasiswa Pendidikan dan Non Pendidikan) di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung. Mata kuliah ini terdiri dari 3 SKS (2 teori dan 1 praktikum). Deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae adalah mengembangkan pemahaman, keterampilan, dan kemampuan bernalar mahasiswa melalui penjelasan, diskusi, presentasi, observasi, interpretasi, identifikasi, membuat dendrogram dan tugas-tugas diantaranya membaca, merangkum, mengoleksi dan membuat herbarium, menggambar, menulis laporan ilmiah popular (perikehidupan) dari Pinophyta dan Magnoliophyta terpilih. Mencermati deskripsi mata kuliah di atas, diperlukan berbagai asesmen yang dapat mengases semua kemampuan yang dideskripsikan pada deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae di atas. Beberapa bentuk dari asesmen alternatif telah lama diterapkan pada mata kuliah ini dalam upaya mengases kemampuan mahasiswa, diantaranya: membuat laporan praktikum, membuat herbarium, membuat perikehidupan dan menggambar. Banyaknya tugas-tugas yang diberikan pada mata kuliah ini seringkali menimbulkan keluhan dari mahasiswa pada saat mengerjakannya. Akan tetapi sejauhmana tugas ini memberi manfaat untuk mahasiswa setelah mengerjakan tugas-tugas tersebut belum ada informasi, melalui penelitian ini informasi tersebut akan digali. Hal-hal yang ingin diungkap dari penelitian 510
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
ini adalah: asesmen alternatif apa saja yang telah dikembangkan pada mata kuliah ini dan sejauhmana asesmen alternatif yang telah dikerjakan mahasiswa memberikan manfaat bagi dirinya serta asesmen alternatif apa saja yang belum dikembangkan yang sesuai dengan deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae seperti yang telah disebutkan di atas. METODE PENELITIAN Observasi dilakukan pada dokumen asesmen alternatif berupa tugas-tugas mahasiswa pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang terdiri dari laporan praktikum, herbarium, perikehidupan dan buku gambar. Dilakukan juga analisis terhadap petunjuk praktikum Botani Phanerogamae. Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara : 1. Menganalisis dokkumen tugas-tugas mahasiswa pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang berupa laporan praktikum, herbarium, perikehidupan dan buku gambar 2. Menyebarkan angket kepada mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah ini (pada penelitian ini subjek penelitian adalah mahasiswa kelas C yang mengambil mata kuliah ini pada semester genap 2007) 3. Mengikuti kuliah dan praktikum Botani Phanerogamae untuk menggali asesmen yang berlum dikembangkan pada mata kuliah Botani Phanerogamae sesuai dengan deskripsi mata kuliah ini HASIL DAN PEMBAHASAN A. Asesmen Alternatif Pada Botani Phanerogamae. Asesmen alternatif yang telah diterapkan pada mata kuliah Botani Phanerogamae berupa : buku gambar, laporan praktikum, herbarium, dan perikehidupan. Di bawah ini akan dipaparkan apa yang diases dari masing-masing tugas tersebut dan apa kriteria penilaian (task dan rubric) dari masing-masing tugas tersebut yang diacu dari buku petunjuk praktikum Botani Phanerogamae: 1. Buku Gambar Mahasiswa diminta menggambar tumbuhan yang tidak diamati pada waktu praktikum. Dari satu famili yang diamati dan dibahas pada waktu praktikum minimal harus digambar satu species tumbuhan disertai dengan pertelaannya. Gambar harus menonjolkan ciri khas famili, misalnya ”staminal column” pada Malvaceae atau kuncup bunga yang terpuntir pada famili Apocynaceae. Menuliskan klasifikasi pada sudut kiri atas (Divisio, Class, Subclass, Ordo, Famili, Genus dan Spcies). Lebih dianjurkan bila gambar diwarnai dengan pencil warna. Kriteria penilaian dari tugas kinerja buku gambar ini adalah : a. Format (5) b. Kebenaran klasifikasi (10) c. Keakuratan gambar (proporsi gambar, penonjolan ciri familia dan kelengkapan bagian (30) d. Pilihan specimen pada familia yanga dipelajari (15) e. Keterangan gambar (15) f. Ketepatan penyerahan buku gambar (5) Skor Total (80)
511
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Gambar 1 : Contoh gambar yang dibuat oleh mahasiswa menonjolkan cirri khas famili Canaceae. Pada sudut kiri atas dituliskan klasifikasi dari tumbuhan yang digambar 2. Laporan Praktikum Selama mengikuti kegiatan praktikum (1 semester) Botani Phanerogamae mahasiswa dituntut membuat laporan kelompok tentang hasil pengamatan selama praktikum. Ada tiga buah laporan besar yang harus dibuat mahasiswa secara berkelompok yaitu : Laporan praktikum Pinophyta, Magnoliopsida dan Liliopsida. Laporan dibuat dengan cara-cara yang telah ditentukan berkaitan dengan sistematika penulisan, tata bahasa, pengetikan, kelengkapan dan keakuratan data hasil pengamatan dan diskusi atau hasil pembahasan hasil pengamatan. Kriteria penilaian laporan praktikum adalah sebagai berikut : a. Sistematika laporan (20) b. Kelengkapan dan keakuratan dari hasil pengamatan (25) c. Dikusi atau pembahasan hasil pengamatan (30) d. Ketepatan penyerahan laporan ( 5) Skor total (80)
Gambar 2 : Contoh laporan praktikum Magnoliopsida 3. Herbarium Selama mengikuti kuliah Botani Phanerogamae, mahasiswa dituntut membuat sebuah herbarium dengan tumbuhan yang ditentukan oleh pembimbing praktikum (ditentukan untuk menghindari dibuatnya herbarium dari tumbuhan yang sama). Biasanya tumbuhan yang dibuat herbarium sama dengan yang dibuat perikehidupannya. Kriteria penilaian dari herbarium adalah : 512
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
a. Kelengkapan specimen (batang, daun, bunga, buah, dll) b. Kadar kekeringan specimen c. Penataaan specimen pada kertas manila d. Ketepatan ukuran kertas e. Kelengkapan dan ketepatan pengisian label f. Ketepatan penyerahan tugas Skor total
ISBN: 978-979-98546-4-2
(20) (20) (10) (10) (10) (10) (80)
Gambar 3 : Contoh Herbarium Karya Mahasiswa 4. Perikehidupan Selama mengikuti kuliah Botani Phanerogamae mahasiswa dituntut untuk berlatih melakukan penelitian kecil , dengan menanam satu jenis tanaman (ditentukan), kemudian diamati perkembangannya sejak mulai kecambah sampai tumbuh menjadi tumbuhan muda. Setiap perkembangan yang terjadi pada tumbuhan tersebut dari waktu ke waktu. Mahasiswa juga harus mengamati tumbuhan dewasanya agar dapat mendeskripsikan tumbuhan dewasa tersebut. Deskripsi harus dilakukan terhadap habitat, habitus,daun, bunga, buah , biji dll. Manfaat tumbuhan juga dideskripsikan terutama manfaat dalam kehidupan sehari-hari maupun kepentingan ilmu pengetahuan. Dilaporkan dalam bentuk tulisan ilmiah populer. Kriteria penilaian perikehidupan adalah : a. Sistematika penulisan (15) b. Kualitas hasil pengamatan (20) c. Kelengkapan bukti pengamatan (specimen asli, foto) (20) d. Diskusi atau pembahasan hasil pengamatan (20) e. Ketepatan penyerahan laporan (5) Skor Total (80)
513
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Gambar 4 : Contoh perikehidupan yang dibuat mahasiswa
Gambar 5 : Perikehidupan dari tanaman Gloxinia
B. Manfaat Asesmen Alternatif Bagi Mahasiswa Dalam rangka mengetahui sejauhmana manfaat tugas-tugas yang diberikan bermanfaat bagi mahasiswa, telah disebarkan angket kepada mahasiswa kelas C angkatan 2005. Hasil analisis angket secara lengkap tercantum dalam tabel di bawah ini : Tabel 1 : Manfaat Tugas-tugas (Asesmen Alternatif) pada Mata Kuliah Botani Phanerogamae No.
Pertanyaan
Respon Phanerogamae
Tidak (%)
1.
Mahasiswa menyenangi mengikuti mata kuliah ini
setelah
92
8
2.
Tugas-tugas (laporan praktikum, buku gambar, perikehidupan dan herbarium) yang diberikan pada mata kuliah ini memberatkan mahasiswa
8
92
100
0
3.
Botani
Ya (%)
Mahasiswa merasakan memperoleh manfaat mengerjakan tugas membuat laporan praktikum Ya, dengan alasan :
a. berlatih membuat laporan praktikum b. berlatih menganalisis data 514
setelah
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
c. berlatih keterampilan seriasi d. berlatih mencari buku sumber dan internet untuk melengkapi pustaka e. berlatih mencari/ mengamati tumbuhan berbunga f. dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari g. tahu lebih banyak tentang tanaman h. menambah pemahaman materi 4.
Mahasiswa mendapat manfaat dengan mengerjakan tugas membuat gambar tumbuhan dengan menonjolkan ciri khas
92
8
100
0
100
0
Ya, dengan alasan :
a. berlatih melakukan observasi tumbuhan b. berlatih menganalisis dan menyimpulkan ciri khas tumbuhan c.berlatih menggambar ilmiah d. Berlatih sambil belajar mengaplikasikan e. Lebih mengingat tanaman tersebut f. belajar mendeskripsikan tanaman sesuai aslinya 5.
Mahasiswa mendapat manfaat setelah mengerjakan tugas membuat herbarium Ya, dengan alasan ;
a. Melatih ketempilan membuat herbarium b. jadi tahu cara-cara membuat herbarium c. melatih kesabaran dalam mengerjakannya d. ada kebanggaan melihat hasilnya dan di simpan di jurusan e. bisa membantu orang lain mengenal tumbuhan tertentu 6.
Mahasiswa mendapat menfaat setelah mengerjakan tugas membuat perikehidupan Ya, dengan alasan :
a. Berlatih melakukan penelitian kecil b. berlatih menentukan hal-hal yang penting diamati dari pertumbuhan tanaman terpilih c. berlatih membuat karya ilmiah d. ada kebanggaan melihat hasilnya dan disimpan di jurusan e. berlatih menulis/skripsi 7.
Praktikum yang mahasiswa
dilakukan
memberikan
manfaat
pada
100
0
8.
Kuliah lapangan ke Kebun Raya Bogor dan Taman Bunga Nusantara menambah wawasan terhadap keanekaragaman tumbuhan
100
0
515
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
C. Asesmen Alternatif Yang Belum Dikembangkan Mencermati pelaksanaan kegiatan praktikum Botani Phanerogamae yang selama ini berlangsung, observer melihat bahwa keterampilan mahasiswa secara individu ketika melaksanakan praktikum belum diases. Padahal pada saat mahasiswa melakukan proses praktikum banyak keterampilan (misalnya : observasi, interpretasi, identifikasi klasifikasi, kategorisasi dan seriasi) yang ditunjukkan oleh mahasiswa secara individu yang pasti berbeda dengan individu mahasiswa yang lain. Dan secara jelas keterampilan ini tercantum dalam deskripsi mata kuliah. Hal ini berarti bahwa keterampilan-keterampilan yang disebutkan di atas harus dimiliki mahasiswa setelah menempuh mata kuliah ini. Pembahasan Terdapat beberapa istilah yang digunakan berkaitan dengan asesmen yaitu performance assessment, asesmen alternatif dan asesmen otentik. Beberapa ahli (Marzano, 1994; Popham, 1995; Bookhart, 2001 dalam Wulan, A.R, 2007) menyatakan istilah asesmen otentik kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan performance assessment karena tugas-tugas asesmennya yang lebih dekat dengan kehidupan nyata. Istilah asesmen alternatif digunakan untuk performance assessment karena merupakan alternatif untuk asesmen tradisional paper and pencil test. Zainul (2001) lebih menyetujui istilah asesmen alternative daripada asesmen otentik. Penggunaan istilah otentik tidak tepat karena istilah tersebut tidak netral. Terdapat konotasi makna bahwa semua asesmen lain atau tes yang telah digunakan sejak lama adalah tidak otentik. Dengan mengacu pada beberapa pendapat tentang asesmen otentik menurut beberapa ahli (Marzano, 1994; Popham, 1995; Bookhart, 2001 dalam Wulan, A.R, 2007) dan pendapat berbeda menurut ahli lainnya (Zainul, 2001), dua peristilahan yaitu performance assessment dan asesmen alternatif lebih tepat digunakan sebagai padanan istilah. Metode-metode yang dapat digunakan untuk asesmen alternatif atau performance assessment adalah : 1) observasi, 2) interviu, 3) portofolio, 4) penilaian essay, 5) ujian praktek, 6) paper, 7) investigasi kegiatan (proyek), 8) kuesioner, 9) inventori, 10) daftar cek, 11) penilaian sebaya, 12) diskusi, 13) peta konsep, 14) jurnal kerja ilmiah siswa, 15) kegiatan bermain peran, 16) Kinerja siswa, 17) tugas kinerja (Doran, et al., 1994; Kumano, 2001 dalam Wulan, A.R. 2007) dan NSES (1996). Mencermati tugas-tugas yang diberikan pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang meliputi : buku gambar, herbarium, perikehidupan, laporan pratikum, tugas-tugas ini termasuk asesmen alternatif yang meliputi : buku gambar, herbarium dan deskripsi merupakan asesmen alternatif dengan metode tugas kinerja. Sedangkan laporan praktikum termasuk metode jurnal kerja ilmiah siswa dan perikehidupan merupakan asesmen alternatif yang termasuk metode investigasi kegiatan (proyek). Asesmen alternatif yang dikembangkan pada mata kuliah Botani Phanerogamae dapat dikatakan sudah sangat baik karena sudah memuat unsur task (tugas) dan rubric yang jelas. Asesmen alternatif atau performance assessment harus dilengkapi dengan task dan rubric. Task merupakan perangkat tugas yang menuntut siswa untuk menunjukkan suatu performance tertentu. Sedangkan rubric dapat dinyatakan sebagai panduan pemberian skor yang menunjukkan sejumlah kriteria performance pada proses atau hasil yang diharapkan (Airasian, 1991; Popham, 1995; Zainul, 2001 dalam Wulan, A.R. 2007). Menurut Stiggins (1994) target asesmen ada 5 yaitu : (1). Menguasai pengetahuan (knowledge), (2). Mengembangkan penalaran (reasoning), (3). Memanfaatkan keterampilan (skills), (4). Menghasilkan karya (product) dan (5). Afektif (Affective). Berdasarkan target asesmen yang dikemukakan di atas, asesmen alternatif yang dikembangkan pada mata kuliah Botani Phanerogamae telah memenuhi kelima target asesmen tersebut. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis angket yang disebarkan kepada mahasiswa. Mahasiswa menyebutkan melalui tugas516
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
tugas yang diberikan dapat meningkatkan pengetahuan mereka terhadap keanekaragaman tumbuhan dan semua tugas yang diberikan membuat mereka lebih kreatif dan menambah pengetahuan. Manfaat lain yang dirasakan mahasiswa adalah : berlatih membuat laporan praktikum, berlatih menganalisis data, berlatih keterampilan seriasi, berlatih mencari buku sumber dan internet, berlatih mengobservasi tumbuhan, menambah pemahaman materi, berlatih menganalisis dan menyimpulkan ciri khas tumbuhan tersebut, berlatih membuat herbarium, berlatih melakukan penelitian kecil, berlatih membuat karya ilmiah, melatih kerjasama dengan teman kelompok, melatih kemampuan berkomunikasi. Bila dicermati manfaatmanfaat yang dirasakan mahasiswa melalui asemen alternatif yang ditugaskan ternyata memenuhi ke 5 target asesmen yanga dikemukan oleh Stiggin (1994). Temuan hasil observasi pada kegiatan praktukum Botani Phanerogamae menunjukkan bahwa belum dikembangkannya asesmen kinerja pada saat kegiatan praktikum berlangsung. Seperti kita ketahui, keterampilan setiap individu dalam melakukan observasi, interpretasi, identifikasi klasifikasi, kategorisasi dan seriasi (keterampilan proses sains) berbeda-beda. Dalam upaya merealisasikan ketercapaian deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae, asesmen kinerja perlu diterapkan pada saat praktikum berlangsung. PENUTUP Tugas-tugas yang diberikan pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang meliputi : buku gambar, herbarium, perikehidupan, laporan praktikum dan deskripsi tumbuhan hasil kuliah lapangan merupakan asesmen alternatif yang telah dikembangkan dengan sangat baik berkaitan dengan komponen task dan rubric yang lengkap dan jelas. Tugas-tugas tersebut memberikan banyak manfaat kepada mahasiswa dan memenuhi lima target asesten (knowledge, reasoning, skills, product, affective) menurut Stiggins (1994). Asesmen kinerja ketika kegiatan praktikum berlangsung belum dilaksanakan dan perlu dikembangkan dalam rangka mencapai target deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae.
DAFTAR PUSTAKA Marzano, RJ. et al. 1992. Assessing Student Outcomes: Performance Assessment Using the Dimensions of Learning Model. Alexandra; Association for Supervision and Curriculum Development. NSES. 1996. National Science Education Standard. Washington DC: National Academy Press. Stiggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assessment. New York; McMillan College Publishing Company. Tim Dosen Botani Phanerogamae. 2002. Petunjuk Praktikum Botani Phanerogamae. Bandung; Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Wulan, AR. 2007. Pembekalan Kemampuan Performance Assessment Kepada Calon Guru Biologi Dalam menilai Kemampuan Inquiry. Disertasi SPS UPI; Bandung; Tidak diterbitkan. Zainul, A. 2001. Assessment Alternative. Jakarta; Depdiknas.
517
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
BIO-17
PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN DASAR BEKERJA ILMIAH (KDBI) DAN BERPIKIR KREATIF PADA KONSEP BIOTEKNOLOGI (INQUIRY INSTRUCTION IN DEVELOPING BASIC SCIENCIFIC INQUIRY AND CREATIVE THINKING ON BIOTECHNOLOGY ) Anny Muljatiningrum (SMAN I Samarang Garut) Nuryani Y. Rustaman; Adi Rahmat (SPS UPI)
ABSTRACT A study was carried out to investigate students abilities in basic scientific inquiry (BSI) and creative thinking on biotechnology. The two treatments of this experimental study used fieldtrip method and multimedia-based discussion method. Two classes of twelfth high school students were involved as research subject (n=80). Results indicated that inquiry instruction was effective in developing BSI and creative thinking. Analysis of BSI test using t test revealed significant differences between the two classess. Fieldtrip class effective in developing the ability to raise question, hypothesize, and the ability to plan. Multimedia-based discussion class was effective in developing the ability to collect relevant facts and the ability to change the form of data presentation. The result of t-test indicated there was no significant differences in creative thinking between the two classes. Based on the indicator of creative thinking fieldtrip class students perform better in fluency thinking, original thinking and evaluation skill, whereas the class of multimedia based discussion students perform better in elaboration skill.
PENDAHULUAN Hasil survei nasional pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa sistem pendidikan formal di Indonesia pada umumnya masih kurang memberi peluang bagi pengembangan kreativitas (Tridjata, 2002). Hal senada dikemukakan oleh Munandar (1999) bahwa kreativitas atau berpikir kreatif, sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian. Rendahnya pengembangan kreativitas disebabkan pembelajaran di sekolah yang terutama dilatih adalah pengetahuan, ingatan, kemampuan berpikir logis atau berpikir konvergen yaitu kemampuan menemukan satu jawaban yang paling tepat terhadap masalah yang diberikan berdasarkan informasi yang tersedia. Menurut Munandar (1999) pengajaran di sekolah pada umumnya terbatas pada penalaran verbal dan pemikiran logis, pada tugastugas yang hanya menuntut pemikiran konvergen yaitu pemikiran menuju satu jawaban tunggal. Dengan demikian setiap siswa akan terbiasa berpikir konvergen sehingga bila dihadapkan pada suatu masalah siswa mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah atau memberikan beberapa alternatif pemecahan masalah. Setiap guru diharapkan untuk melengkapi pembelajaran dengan menerapkan keterampilan berpikir kreatif untuk setiap konsep yang diajarkan. Seperti yang dikemukakan oleh Munandar (1999:54) bahwa keterampilan berpikir kreatif dapat dilakukan sewaktu mengajar, tidak perlu disisihkan waktu khusus untuk itu. Selain keterampilan berpikir kreatif, yang perlu dikembangkan pada pembelajaran di sekolah adalah kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI). Kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) terdiri atas kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual (Rustaman, 2007). Pembelajaran di sekolah selama ini lebih mengedepankan pengembangan kecerdasan intelektual sehingga kecerdasan emosional dan berpikir 518
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
kreatif kurang dikembangkan. Menurut Achir (2004:158) kecerdasan intelektual tinggi dianggap masih kurang, disarankan agar diperkaya dengan kecerdasan emosional. Lebih lengkap lagi Achir (2004:153) mengemukakan bila aspek intelektif seperti kecerdasan intelektual (IQ) dan kreativitas (CQ) kita anggap penting untuk dikembangkan secara integral dan optimal, tantangan yang cukup mendesak dewasa ini adalah pembinaan kesehatan sosial-emosional yang lebih dikenal sebagai kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan emosional ini sangat penting dikembangkan terutama dalam menghadapi kemajuan ilmu dan teknologi. Salah satu konsep Biologi yang sangat erat kaitannya dengan kemajuan ilmu dan teknologi adalah Bioteknologi. Perkembangan Bioteknologi pada dasawarsa terakhir ini telah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Konsep Bioteknologi merupakan salah satu konsep yang diberikan di kelas XII. Bioteknologi adalah cabang ilmu tentang pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, jamur, virus dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa (Dephut, 2007). Konsep Bioteknologi berkembang karena didukung oleh media informasi yang beragam, sehingga konsep-konsep Bioteknologi tidak hanya diperoleh siswa di sekolah tetapi dapat juga dari media informasi yang lain seperti koran, televisi dan internet. Bioteknologi adalah salah satu konsep Biologi yang pembelajarannya dapat dilaksanakan dengan berbagai pengalaman belajar dan dapat memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Dalam pembelajaran bioteknologi lingkungan sekitar dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar misalnya pada konsep biogas dengan cara memanfaatkan reaktor biogas yang ada di sekitar lingkungan siswa. Pemanfaatan reaktor biogas dalam pembelajaran bioteknologi dapat memberikan pengetahuan keterampilan kepada siswa, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan kotoran ternak menjadi sumber energi alternatif pengganti minyak tanah, pemecahan masalah pencemaran, sanitasi dan kesehatan lingkungan terutama di daerah sekitar peternakan. Hal ini sesuai dengan prinsip pelaksanaan kurikulum bahwa kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar (BSNP, 2006). Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran biologi SMA ada enam salah satunya adalah memahami prinsip-prinsip dasar bioteknologi serta implikasinya pada sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat (BSNP, 2006). Dengan demikian guru sebagai fasilitator diharapkan dapat membelajarkan siswanya pada konsep Bioteknologi dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar sehingga Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dapat tercapai dengan cara mengembangkan kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) dan berpikir kreatif . Untuk mengembangkan KDBI dan berpikir kreatif pada konsep Bioteknologi diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang sesuai. Melalui pendekatan pembelajaran yang diterapkan pada siswa kelas XII diharapkan siswa dapat membangun konsep-konsep Bioteknologi dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di sekolah dan lingkungan sekitar. Di dalam Kurikulum 2006 dijelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu (inkuiri) tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya sebagai penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Biologi sebagai salah satu bidang IPA dalam pembelajarannya dapat menggunakan pendekatan pembelajaran seperti yang disarankan dalam kurikulum 2006 yaitu pendekatan inkuiri. Trowbridge et al. (1981) mengungkapkan eratnya hubungan inkuiri dengan bertanya dan kemungkinan pelaksanaan pembelajarannya dengan berbagai metode. Diantara metode-metode yang sering digunakan dalam pembelajaran IPA, metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran konsep Bioteknologi yaitu metode karyawisata/widyawisata dan diskusi. Menurut Rustaman et al. (2005) metode karyawisata/widyawisata adalah cara penyajian dengan membawa 519
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
siswa mempelajari materi pelajaran di luar kelas. Melalui karyawisata ini suatu kunjungan direncanakan kepada suatu objek tertentu untuk dipelajari atau untuk memperoleh informasi yang diperlukan sedangkan metode diskusi adalah cara pembelajaran dengan memunculkan masalah, dalam diskusi terjadi tukar menukar gagasan atau pendapat. Menurut Rahadi (2003:23) seorang guru sebaiknya mengikuti perkembangan teknologi yang berkaitan dengan media pembelajaran. Gagne (Rahadi, 2003) mengartikan media sebagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Dengan demikian media sebagai bagian integral dalam proses pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi saat ini dapat mempengaruhi media pembelajaran yang digunakan oleh guru. Jenis media yang akan digunakan, sangat tergantung dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di lapangan. Teknologi komputer merupakan sebagian dari teknologi informasi yang dapat digunakan untuk membuat berbagai macam media pembelajaran. Menurut Rahadi (2003:36) media komputer memiliki hampir semua kelebihan yang dimiliki media lain. Selain mampu menampilkan teks, gerak, suara dan gambar, komputer juga dapat digunakan secara interaktif, bukan hanya searah. Bahkan komputer yang disambung dengan internet dapat memberikan keleluasaan belajar menembus ruang dan waktu serta menyediakan sumber belajar yang hampir tanpa batas. Oleh karena itu media komputer dapat dimasukkan dalam kelompok multimedia. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di salah satu SMA Negeri di kabupaten Garut dan metode yang digunakan adalah Quasi-experimental research (Wiersma, W. 1995). Sebanyak dua kelas dipilih secara acak dari tujuh kelas XII yang ada. Tiap kelas terdiri atas 40 orang siswa. Siswa di kelas eksperimen 1 menggunakan metode karyawisata sedangkan siswa di kelas eksperimen 2 menggunakan metode diskusi berbasis multimedia komputer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes penguasaan konsep, tes kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI), tes keterampilan berpikir kreatif, Self and Peer Assessment. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah Rata-rata nilai KDBI/ kecerdasan intelektual yang diperoleh kelas karyawisata dan kelas multimedia termasuk kategori baik sekali. KDBI/ kecerdasan intelektual dengan kategori baik sekali diperoleh siswa di kedua kelas perlakuan disebabkan siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran yang mengembangkan keterampilan proses. Untuk mata pelajaran Biologi kelas XII dipegang oleh dua orang guru, satu guru teori dan satu guru praktikum. Dengan kegiatan praktikum maka siswa dapat mengembangkan keterampilan proses, seperti dikemukakan Harlen (1992:28) keterampilan proses adalah berbagai aktivitas siswa yang dilakukan dalam belajar untuk mencapai tujuan tertentu, dan seluruh kegiatan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah misalnya dalam kegiatan penyelidikan mulai dari pengamatan, menafsirkan hasil pengamatan dan keterampilan-keterampilan selanjutnya, secara keseluruhan masing-masing keterampilan proses yang terlibat menjadi bagian dari seluruh keterampilan dalam proses penyelidikan Praktikum Biologi di kelas XII terjadwal setiap minggu sehingga kegiatan praktikum sudah menjadi bagian dalam proses belajar mengajar Biologi, hal ini menjadikan penanaman keterampilan proses terhadap siswa menjadi continue, seperti yang dikemukakan Thorndike (Suryabrata, 2006) hubunganhubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan (law of use) Dengan demikian ketika siswa dikondisikan dalam pembelajaran selain praktikum, seperti kegiatan karyawisata dan diskusi berbasis multimedia maka siswa tetap dapat menerapkan keterampilan proses yang sudah
520
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
dimilikinya sehingga sebagian besar kelompok siswa dapat menyelesaikan tes KDBI/kecerdasan intelektual dan memperoleh rata-rata nilai diatas 80. Kelas karyawisata memiliki rata-rata 85,18 dan kelas multimedia 82,58 digambarkan dengan grafik pada Gambar 1.
Rata-Rata Nilai KDBI
Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Karyawisata
Multimedia Kelas
Gambar 1: Rerata Nilai KDBI di Kedua Kelas Dari gambar 1 dapat dilihat rata-rata KDBI kelas karyawisata lebih baik dibandingkan kelas multimedia. Secara statistika hasil uji perbedaan KDBI/kecerdasan intelektual antara kelas karyawisata dan kelas multimedia menunjukkan nilai t hitung = 2,950 dan sig.(2-tailed) = 0,004 < α = 0,05 sehingga KDBI/ kecerdasan intelektual kedua kelas berbeda secara signifikan. Kelas karyawisata pada beberapa indikator menunjukkan kemampuan yang lebih baik dibandingkan kelas multimedia. Untuk membandingkan KDBI berdasarkan indikator antara kelas karyawisata dengan kelas multimedia dapat dilihat dari Gambar 2. KDBI Berdasarkan Indikator
Rata-Rata Nilai KDBI
12.00 10.00 8.00
Karyawisata Multimedia
6.00 4.00 2.00
M
M
em bu a e tp M ngu ert a en gi mpu nya a de nt l kan n if M i ka fak ta en si en va r tu M ka i abe en n l en tu Be tuj u ka a n rhi p n a M en l at otes en da is n tu M kan bah em pr an o bu a t sed u ra nc r M ang er an M Me am a en ny lk a je la im p n ul M s ka en n p kan gk e om rist un iwa ik as ik an
0.00
Indikator KDBI
Gambar 2: Rerata Nilai KDBI Berdasarkan Indikator Dari Gambar 2 ternyata kelas karyawisata lebih baik dalam tiga indikator KDBI yaitu membuat pertanyaan, berhipotesis dan membuat rancangan/desain. Untuk kelas multimedia ada dua indikator yang lebih baik dibandingkan kelas karyawisata mengumpulkan fakta yang relevan dan mengkomunikasikan. Untuk indikator KDBI lainnya kemampuan karyawisata sama dengan multimedia. Berpikir Kreatif Berikut ini ditampilkan rata-rata nilai berpikir kreatif siswa di kedua kelas:
521
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Berpikir Kreatif
Rata-Rata Nilai Siswa
80 70 60 50
Karyawisata
40
Multimedia
30 20 10 0 Pretest
Posttest
Gain
Gambar 3: Rata-Rata Nilai Berpikir Kreatif Dari gambar 3 dapat dilihat rata-rata pretest dan posttest berpikir kreatif kelas karyawisata lebih baik dibandingkan kelas multimedia. Jika dilihat dari uji perbedaan peningkatan/gain berfikir kreatif antara kelas karyawisata dan kelas multimedia diperoleh nilai t hitung = -0,096 dan sig.(2-tailed) = 0,924 > α = 0,05 sehingga peningkatan berfikir kreatif kedua kelas adalah sama. Jadi tidak ada perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara kelas karyawisata dan kelas diskusi berbasis multimedia. Dengan demikian karyawisata dan diskusi berbasis multimedia dapat mengembangkan keterampilan berpikir kreatif. Hal ini sesuai seperti yang dikemukakan Michalko (2005) bahwa lingkungan mempengaruhi kreativitas dan kreativitas timbul dari pembelajaran. Singgih Salim (2004), mengemukakan bahwa bakat kreatif perlu selalu dirangsang agar dapat berfungsi secara optimal Untuk membandingkan keterampilan berpikir kreatif berdasarkan indikator antara kelas karyawisata dengan kelas multimedia dapat dilihat dari Gambar 4. Berpikir Kreatif Berdasarkan Indikator 20.00
Rata-Rata Nilai Posttest
18.00 16.00 14.00 12.00
Karyawisata Multimedia
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 Lancar
Luwes
Asli
Merinci
Menilai
Indikator Berpikir Kreatif
Gambar 4: Rata-Rata Posttest Berpikir Kreatif Berdasarkan Indikator Dari grafik posttes tersebut dapat dilihat keterampilan berpikir kreatif berdasarkan indikator, kelas karyawisata pada umumnya lebih baik dibandingkan kelas multimedia, tetapi bila dilihat secara statistika dengan uji t, uji gain/peningkatan berfikir kreatif berdasarkan indikator, kelas karyawisata lebih baik dalam dua indikator berpikir kreatif yaitu berpikir lancar dan keterampilan menilai dan kelas multimedia lebih baik dalam keterampilan merinci. Untuk keterampilan berpikir asli/orisinal walaupun secara statistika peningkatan berfikir kreatif indikator ke 3 dari kedua kelas sama, dengan nilai t hitung = 0,576 dan sig.(2-tailed) = 0,566 > α = 0,05, tetapi apabila dilihat dari soal no 7 saja yaitu merancang suatu reaktor/instalasi biogas dalam skala RT (Rukun Tetangga) diperoleh nilai t hitung = 5,222 dan sig.(2-tailed) = 0,000 < α = 0,05 sehingga Ho ditolak, kemampuan merancang reaktor biogas antara kelas karyawisata dan multimedia berbeda secara signifikan. Dengan demikian siswa kelas karyawisata pada umumnya dapat merancang reaktor biogas untuk mengatasi permasalahan yang ada di reaktor biogas. 522
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari pengukuran kecerdasan emosional berdasarkan indikator. Terdapat perbedaan pada indikator ke 7 dari kecerdasan emosional yaitu pemecahan masalah antara kelas karyawisata dan kelas multimedia. Menurut Matlin (2003) kreativitas termasuk area problem solving, kreativitas adalah menemukan solusi yang baru dan bermanfaat. Menurut Redjeki (1985) belajar di luar kelas akan memperkaya anak dengan sejumlah pengalaman. Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional siswa yang berkaitan dengan konsep diri (dijaring dengan self assessment) antara kelas karyawisata dan kelas multimedia menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan nilai t hitung = 1,728 dan sig.(2-tailed) = 0,088 > α = 0,05 sehingga kecerdasan emosional dari kedua kelas sama. Konsep diri terbentuk atas dua komponen yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Gambaran diri (self picture) tersebut akan membentuk citra diri (self image). Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta harga diri (self esteem) (Pudjijogyanti,1993). Jadi konsep diri merupakan sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya. Dengan menggunakan self assessment siswa dapat menilai dirinya sendiri sehingga dapat dilihat gambaran diri, citra diri, penerimaan terhadap diri serta harga diri dan semua itu dapat memberikan sebagian dari gambaran kecerdasan emosional siswa. Menurut Goleman (Akbar-Hawadi dan Mulyawati, 2004), kecerdasan emosional meliputi lima keterampilan yang terdiri dari: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, empati, membina hubungan. Jadi kecerdasan emosional lebih berkaitan dengan kondisi emosi serta sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang terutama kehidupan sosialnya. Kecerdasan emosional berdasarkan indikator, kelas karyawisata dan kelas multimedia tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar, tetapi bila dilihat secara statistika dengan uji t diperoleh nilai t hitung = 2,434 dan sig.(2-tailed) = 0,017 < α = 0,05 sehingga kecerdasan emosional pada indikator 7 (pemecahan masalah) berbeda antara kelas karyawisata dan kelas multimedia. Seperti kita ketahui kelas karyawisata dalam membentuk konsep biogas menggali langsung informasinya dari reaktor biogas, hal ini tentu akan lebih banyak melibatkan indera dalam mengobservasi, lebih mampu melihat atau sensitif pada masalah-masalah yang ada di reaktor biogas. Menurut Singgih Salim (2004), semakin tinggi kepekaan terhadap masalah, semakin besar peluangnya untuk dapat menemukan cara dalam mengatasi masalah tersebut. Kecerdasan emosional siswa yang dijaring dengan peer assessment menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelas keryawisata dan kelas multimedia dengan nilai thitung = 1,728 dan sig.(2-tailed) = 0,088 > α = 0,05 sehingga kecerdasan emosional dari kedua kelas sama. Penguasaan Konsep Berikut ini ditampilkan rata-rata nilai penguasaan konsep siswa di kedua kelas:
523
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
90
Rata-Rata Nilai Siswa
80 70 60 50
Karyawisata
40
Multimedia
30 20 10 0 Pretest
Posttest
Gain
Gambar 5: Rata-Rata Nilai Penguasaan Konsep Dari grafik tersebut dapat dilihat rata-rata pretest dan posttest penguasaan konsep kelas karyawisata lebih baik dibandingkan kelas diskusi berbasis multimedia tetapi jika dilihat dari uji perbedaan peningkatan/gain penguasaan konsep antara kelas karyawisata dan kelas multimedia diperoleh nilai thitung = -1,036 dan sig.(2-tailed) = 0,304 > α = 0,05 sehingga peningkatan penguasaan konsep kedua kelas sama. Jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas karyawisata dan kelas multimedia dalam hal penguasaan konsep Bioteknologi. KESIMPULAN 1. Pembelajaran inkuiri pada konsep Bioteknologi menggunakan metode karyawisata dan diskusi berbasis multimedia dapat mengembangkan kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) dan berpikir kreatif pada aspek-aspek yang berbeda. Dengan demikian bila dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Bila semua aspek KDBI dan berfikir kreatif ingin dikembangkan maka kedua metode (karyawisata dan diskusi berbasis multimedia) sebaiknya diterapkan. Apabila karyawisata tidak dapat dilaksanakan berkaitan dengan padatnya jadwal persiapan ujian nasional maka dapat diberikan penugasan yang dilengkapi dengan LKS. 2. Kemampuan dasar bekerja ilmiah kelas karyawisata lebih baik dibandingkan kelas multimedia. Kelas karyawisata dapat mengembangkan kemampuan bertanya, berhipotesis, dan kemampuan merancang. Kelas diskusi berbasis multimedia dapat mengembangkan kemampuan mengumpulkan fakta relevan dan mengubah bentuk penyajian data. 3. Kemampuan berpikir kreatif antara kelas karyawisata dan kelas multimedia tidak berbeda secara signifikan. Berdasarkan indikator kemampuan berpikir kreatif kelas karyawisata dapat mengembangkan keterampilan berpikir lancar, keterampilan menilai dan keterampilan merancang (keterampilan berpikir asli) sedangkan kelas multimedia dapat mengembangkan keterampilan merinci. 4. Pembelajaran inkuiri dengan menggunakan metode karyawisata dan multimedia selain dapat mengembangkan kemampuan dasar bekerja ilmiah dan berpikir kreatif juga menunjukkan terjadinya peningkatan yang signifikan pada penguasaan konsep Bioteknologi. 5. Hasil pengukuran kecerdasan emosional menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas karyawisata dan kelas multimedia PERNYATAAN TERIMA KASIH Prof. Dr. Nuryani Y. Rustaman, M.Pd, pembimbing I atas fasilitas (dana hibah Pasca) yang diberikan dalam penelitian ini. dan Dr. rer. nat. Adi Rahmat, M.Si selaku pembimbing II. Drs. Achdiat Kusdani, M.Pd dan Ellin Darliana, selaku kepala sekolah dan guru bidang studi yang telah berkenan mengizinkan penelitian dilaksanakan di kelasnya. H. Encur, selaku pemilik Biogas di Cisurupan Garut, dan Programer multimedia Fadil Hidayat. 524
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education “Current Issues on Research and Teaching in Science Education”
ISBN: 978-979-98546-4-2
DAFTAR PUSTAKA Achir, Y. C. A. (2004). „Proses Tumbuh Kembang Anak Berbakat dalam Keluarga“, dalam Akselerasi. Jakarta: Grasindo. Akbar-Hawadi dan Mulyawati. (2004). ”Kiat-Kiat Mengasah Kecerdasan Emosional Siswa” dalam Akselerasi. Jakarta: Grasindo. BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Dephut.
(2007). Bioteknologi. [Online]. Tersedia: http://www.Dephut.go.id/ INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info510604/isiII.Html. Download 6 juni 2007.
Harlen, W. (1992). The Teaching of Science Studies I Primary Education. Great Britain: BPCC Wheaton LTD. Matlin, M.W. (2003). Cognition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Michalko, M. (2005). CQ: Apakah Anda Kreatif? Cara Ampuh Meningkatkan Kecerdasan Anda. Jakarta: Prestasi Pustaka Munandar, S. C. U. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : Gramedia Pudjijogyanti. (1993). Konsep Diri Dalam Pendidikan. Jakarta: Arcan. Rahadi, A. (2003). Media Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Redjeki, S. (1985). Studi Perbandingan tentang Pengajaran IPA dengan menggunakan Lingkungan sebagai
Sumber Belajar dengan Pengajaran Tradisional Di Sekolah Dasar Daerah Sawah, Palawija dan Padat. Tesis Program Magister pada FPS IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.
Rustaman. et al. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang. Rustaman, N.Y. (2007). Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah dalam Pendidikan Sains dan Asesmennya. Makalah disajikan dalam The First International Seminar of Science Education on ”Science Education Facing Against The Challenges of The 21 st Century”. SPS UPI. 27 Oktober 2007, Bandung. Singgih Salim. (2004). „Kreativitas dan Sikap Kreatif dari Siswa Berbakat Akademik“, dalam Akselerasi. Jakarta: Grasindo. Suryabrata, S. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Tridjata, S. (2002). Mainan Pendidikan sebagai Media Ekspresi Kemampuan Kreatif Anak. ITB Central Library. Download 15 Juni 2007. Trowbridge, L.W., Sund, R.B. (1981). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. 3 Columbus, Ohio: Charles E. Merril.
rd
. Ed.
Wiersma, W. (1995). Research Methods In Education. Massachusetts: A Simon and Schuster Company.
525