Agus Noor merupakan sastrawan yang lahir di Kecamatan Margasari, Tegal, Jawa Tengah 26 Juni 1968. Memiliki latar belakang pendidikan jurusan Teater, Institur Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Walaupun pendidikannya yang beraliran seni tapi kemampuannya dalam menulis berhasil membawa namanya tenar. Agus biasa menghasilkan karya berwujud cerpen, prosa, dan naskah panggung dengan gaya khas mengkritik. Salah satu karyanya yang menarik perhatian stasiun televise yaitu Metro TV hingga menjadi salah satu program tayang bernama Sentilan Sentilun. Karyanya ini di pilih dari berupa monolog yang berjudul Matinya Sang Kritikus. Yang sebelumnya penah dipentaskan di sejumlah kota oleh Butet Kertaradiasa. Agus Noor lahir dan dibesarkan di Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Berlatar belakang pendidikan Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Dia dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan naskah panggung dengan gaya parodi yang terkadang satir. Monolog Matinya Toekang Kritik adalah salah satu karyanya yang menertawakan keadaan Indonesia. Naskah ini, kemudian diusung sebagai program Sentilan Sentilun yang ditayangkan oleh stasiun televisi Metro TV. Bersama Ayu Utami, ia menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang Undang Anti-Pornografi. Selain menulis prosa, ia juga menulis cerpen. Karya cerpennya dimuat dalam Antologi Ambang (1992), Pagelaran (1993), Lukisan Matahari (1994). Sedangkan cerpencerpennya yang terhimpun dalam antologi bersama, di antaranya Lampor (Cerpen Pilihan Kompas, 1994), Jalan Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), dan Dari Pemburu ke Tapuetik (Majelis Sastra Asia Tenggara dan Pusat Bahasa, 2005).[4]
Buku-buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain, Memorabilia (Yayasan untuk Indonesia, 1999), Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000), Selingkuh Itu Indah (Galang Press, 2001), Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia (Galang Press, 2004), Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit Buku Kompas, 2006), Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang, Matinya Toekang Kritik (Lamalera, 2006), Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, 2010), Cerita Buat Para Kekasih (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Cerpen-cerpennya pernah dimasukkan oleh Korie Layun Rampan sebagai sastrawan angkatan 2000. Buku terbaru yang disusun berjudul Cerpen-cerpen Terbaik Indonesia, merangkum tentang penerbitan cerpen dari Idrus hingga Seno Gumira Ajidarma. Agus Noor dikenal sebagai penulis. Tetapi Ia tak pernah ingin disebut sebagai penulis dengan aliran tertentu dan tak pernah mau terpaku pada satu gaya penulisan. Namun pada setiap tulisan-tulisannya, Agus Noor seringkali berhasil menciptakan anomali dan romantisme yang menggiring pembacanya keluar dari batas-batas umum. Bagi Agus Noor, sastra yang baik adalah karya yang mampu memberi cara pandang baru terhadap dunia.