STUDI TENTANG PROGRAM OPERASI DANAU JATILUHUR JERNIH UNTUK MENDUKUNG REVITALISASI WADUK JATILUHUR
OLEH RIZA RIZKIAH NPM.25012015014
TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Lingkungan (M.IL) Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Konsentrasi Pembangunan dan Konservasi Lingkungan Perdesaan
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2017
v
STUDI TENTANG PROGRAM OPERASI DANAU JATILUHUR JERNIH UNTUK MENDUKUNG REVITALISASI WADUK JATILUHUR
OLEH RIZA RIZKIAH NPM.250120150514
TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Lingkungan (M.IL) Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Konsentrasi Pembangunan dan Konservasi Lingkungan Perdesaan Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada Tanggal : 28 Februari 2017 Seperti Tertera dibawah ini
Bandung, 12 November 2017
Sunardi, M.Si., Ph.D.
Prof. Dr. Opan S. Suwartapradja, M.Si.
Ketua Tim Pembimbing
Anggota Tim Pembimbing
ABSTRAK Seiring dengan menurunnya fungsi dan manfaat Waduk Jatiluhur yang di sebabkan oleh pencemaran pada air waduk maka melalui SK Bupati Purwakarta No.523.31.05/ Kep.286-DLH/2017 dibuat suatu program yang diberi nama dengan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Program ini bertujuan untuk menertibkan sejumlah petak KJA di Waduk Jatiluhur yang menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas air waduk. Dalam penelitian ini dilakukan analisis mengenai keefektifan program dari tanggal 03 April - 24 Mei 2017 serta dampak yang ditimbulkan secara sosio- ekonomi dari program tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih memiliki skor rata-rata evektivitas yang cukup dengan perolehan nilai 60,37% artinya program ini berjalan cukup efeketif. Adapun Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih sudah mulai berdampak terhadap kondisi sosio-ekononomi diantaranya yaitu, menurunnya tingkat pendapatan petani KJA, sebagian besar petani mulai merasa kesulitan dalam membiayai kebutuhan hidup dan menurunnya produksi ikan di Waduk Jatiluhur.
Kata Kunci : Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, Jumlah KJA, Kualitas Air, Fungsi Manfaat Waduk, Revitalisasi.
i
ABSTRACT Along with declined of Jatiluhur Damβs function and benefit which caused by the pollution in reservoir water, then through Purwakarta Regent Decree No.523.31.05/Kep.286-DLH/2017 was made a program named with Operasi Danau Jatiluhur Jernih. This program had a purpose to curb a number of cageculture in Jatiluhur Dam which was one of the factors that causing decline the water quality of the dam. This study was to analyze the effectiveness of the program started from 03 April 2017 to 24 Mei 2017and the impact of the program to the sosio-economic condition. The methode that used in this study was quantitavie and qualitative. The result showed that Operasi Danau Jatiluhur Jernih Program has a sufficient score, with the value was 60.37%. It meaned that this program quietly effective. Beside that, Operasi Danau Jatiluhur Jernih Program has already impacted to the sosio-economic such as the reduction of the farmer income, almost all the farmers felt a difficulty to fund their daily life and decrease in fish productivity. Keywords : Operasi Danau Jatiluhur Program, The number of Cageculture, Water Quality, The function and Benefit of The Dam, Revitalization.
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Hanya berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul βStudi Tentang Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih Untuk Mendukung Revitalisasi Waduk Jatiluhurβ ini dengan baik. Dengan terselesaikannya Tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, dr., selaku Rektor Universitas Padjadjaran. 2. Prof. Dr. Ir. Hendarmawan, M.S., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Padjadjaran. 3. Sunardi, M.Si., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing atas bantuan, bimbingan serta arahan yang diberikan kepada penulis. 4. Prof. Dr. Opan S. Suwartapradja, M.Si.selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bantuan, bimbingan serta arahan yang diberikan kepada penulis. 5. Dr. Dadan Sumiarsa, MS. selaku penguji atas bantuan, bimbingan serta arahan yang diberikan kepada penulis. 6. Dr. Engkus Kusnadi Wikarta. M.SP selaku penguji atas bantuan, bimbingan serta arahan yang diberikan kepada penulis. 7. Beasiswa Unggulan - BPKLN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. iii
iv
8. Seluruh civitas akademika Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadajaran. 9. Ayahanda Asep M.H M.Si, Ibunda Koriah S.Pd.I, Adik M.Maftuh Ihsan & Miftahul Hasanah yang telah memberikan pengorbanan, kasih sayang, doa, restu dan dukungan kepada penulis. 10. Silvy, Nanda, ully, Tari, Aneu, Fannisa, Rina, Yeti, Ira, Surdiyah, Fathiya, Opi, Gesha, Firna, Fathiya, Silmi, Murni, Agus, Fikri, Lutfhan, Dafi, Odhil, Rustam, Abok, Chiko, Chiky, Sheyla dan semua rekan-rekan seperjuangan PSMIL yang selalu menjadi inspirasi bagi saya untuk selalu berbuat sesuatu yang lebih baik. 11. Seluruh pihak yang membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Proposal Usulan Penelitian Tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga Proposal Usulan Penelitian Tesis ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan semua pihak pada umumnya. Amin Bandung, 12 November 2017 Penulis
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK .............................................................................................................. i ABSTRACT ........................................................................................................... ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................ 8 2.1 Kajian Pustaka ......................................................................................................... 8 2.1.1 Sumber Daya Air dan Pengelolaan Air di Indonesia. ................................... 8 2.1.2 Kebijakan dan Implementasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Jatiluhur Khususnya sebagai Wadah Budidaya Ikan ................................. 11 2.1.3 Penurunan Fungsi dan Manfaat Waduk Jatiluhur ....................................... 13 2.1.4 Pengaruh Penurunan Kualitas Air Waduk Jatiluhur terhadap Budidaya KJA ................................................................................................................... 15 2.1.5 Pengendalian KJA sebagai Salah Satu Upaya untuk Mendukung Revitalisasi Waduk Jatiluhur ..................................................................... 16 2.1.6 Nilai Efektivitas Program ............................................................................ 21 2.1.7 Evaluasi Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ...................................... 24 2.2 Kerangka Pemikiran .............................................................................................. 27
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 30 3.1 Objek Penelitian..................................................................................................... 30 3.2 Metode Penelitian .................................................................................................. 30 3.2.1 Desain Penelitian......................................................................................... 30 3.2.2 Teknik Pengumpulan data ........................................................................... 30 3.2.3 Sumber Data dan Metode Analisis Data ..................................................... 31
v
vi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 39 4.1 Karakteristik dan Gambaran Umum Waduk Jatiluhur ........................................... 39 4.2 Kualitas Air Waduk Jatiluhur ................................................................................ 47 4.3 Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih sebagai Upaya untuk Mengembalikan Kondisi Waduk Jatiluhur...................................................................................... 55 4.4 Efektivitas Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ............................................. 60 4.4.1 Tingkat Kesiapan Program .......................................................................... 60 4.4.2 Proses Implementasi Program ..................................................................... 71 4.4.3 Capaian yang Diharapkan dari Program ..................................................... 83 4.4.4 Nilai Efektivitas Program Penertiban KJA ................................................. 89 4.5 Dampak Sosio-Ekonomi Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ....................... 95 4.5.1 Dampak Program terhadap Pendapatan Masyarakat ................................... 97 4.5.2 Dampak Program terhadap Pengurangan Tenaga Kerja ............................. 99 4.5.3 Dampak Program terhadap Perubahahan Orientasi Pekerjaan .................. 101 4.5.4 Dampak Program terhadap Pemenuhan Kebutuhan Hidup Petani ............ 103 4.5.4 Dampak Program terhadap Kebutuhan Ikan ............................................. 106 4.6 Skenario dan Tantangan Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ........... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 111 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 111 LAMPIRAN ....................................................................................................... 119
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Standar Ukuran Efektivitas Sesuai Acuan Interpretasi Nilai (%) ......... 22 Tabel 2.2 Tingkat Capaian Ukuran Efektivitas .................................................... 22 Tabel 3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Penertiban KJA di Waduk Jatiluhur. .......................................................................................... 32 Tabel 3.2 Operasionalisasi Parameter Dampak Penertiban KJA Terhadap Kondisi Sosio-Ekonomi. ........................................................................................... 35 Tabel 3.3 Penentuan Sistem Nilai Untuk Menentukan Status Mutu Air. ............. 37 Tabel 4.1 Informasi Fisik Waduk Jatiluhur ......................................................... 39 Tabel 4.2 Rekapitulasi Data Kualitas Air Di Daerah Pasir Kole Pada Tahun 20142017 ............................................................................................................. 53 Tabel 4.3 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Tujuan Program Penertiban KJA 63 Tabel 4.4 Jumlah Responden Yang Mengetahui Adanya Sosialisasi Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih.................................................................... 65 Tabel 4.5 Respon Responden Terhadap Ketepatan Sasaran Program Penertiban KJA .............................................................................................................. 69 Tabel 4.6 Rekapitulasi Data Jumlah Target Operasi Penertiban Dan Kondisi Real Penertiban .................................................................................................... 70 Tabel 4.7 Respon Responden Dalam Menyiapkan Petak KJA Yang Siap Untuk Diteribkan. ................................................................................................... 73 Tabel 4.8 Tingkat Kepuasan Responden Terhadapi Fasilitas Pendukung Program ..................................................................................................................... 76 Tabel 4.9 Tingkat Kesadaran Responden Dalam Menyelamatkan Kondisi Perairan Waduk Jatiluhur ......................................................................................... 78 Tabel 4.10 Jumlah Responden Yang Mengetahui Adanya Pemantauan Selama Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ..................................................... 80 Tabel 4.11 Respon Petani KJA Terhadap Pemberlakuan Sanksi ......................... 82 Tabel 4.12 Rekapitulasi Data Hasil Penertiban KJA ............................................ 84
vii
viii
Tabel 4.13 Jawaban Responden Mengenai Perbaikan Kualitas Air Waduk Jatiluhur. ...................................................................................................... 85 Tabel 4.14 Respon Responden Terhadap Peningkatan Produktivitas IKan .......... 87 Tabel 4.15 Respon Responden Mengenai Rasa Kepimilikan Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ................................................................................. 88 Tabel 4.16 Rekapitulasi Data Nilai Efeketivitas Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih............................................................................................................ 90 Tabel 4.17 Lama Waktu Pengalaman Usaha Petani KJA Di Waduk Jatiluhur .... 96 Tabel 4.18 Jenis Pekerjaan Petani KJA Di Waduk Jatiluhur ................................ 96 Tabel 4.19 Rentang Pendapatan Petani KJA Di Waduk Jatiluhur Sebelum dan Sesudah Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih....................................... 98 Tabel 4.20 Presentase Pengurangan Jumlah Pekerja Yang Dilakukan Oleh Pemilik KJA di Waduk Jatiluhur ............................................................................ 100
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 (a) Kondisi Eksisting Waduk Jatiluhur Pada Tahun 2015; (b) Kondisi Seharusnya. .................................................................................................. 15 Gambar 2.2 Kolam Keramba Jaring Apung Tampak Atas. .................................. 17 Gambar 2.3 Kolam KJA Tampak Samping .......................................................... 17 Gambar 2.4 Contoh KJA Yang Rusak Dan Ditinggakan Pemiliknya ................. 19 Gambar 2.5 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................. 29 Gambar 4.1 Salah Satu Wilayah Kerja PJT II....................................................... 41 Gambar 4.2 Peta Pengelolaan Waduk Jatiluhur Berdasarkan Tata Ruang .......... 42 Gambar 4.3 Wisata Teknologi Bendungan. .......................................................... 43 Gambar 4.4 Wahana Rekreasi Di Waduk Jatiluhur. ............................................. 43 Gambar 4.5 Gambar Pembagian Zona Budidaya KJA di Waduk Jatiluhur .......... 44 Gambar 4.6 Potensi Aktual Perikanan Di Kabupaten Purwakarta ........................ 45 Gambar 4.7 Tampak Atas Keramba Jaring Apung di Waduk Jatiluhur ............... 46 Gambar 4.8 Grafik Penurunan Jumlah KJA di Waduk Jatiluhur Dari Tahun 20142017 ............................................................................................................. 53 Gambar 4.9 Tim Satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih. ..................................... 58 Gambar 4.10 Penolakan Petani KJA terhadap Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih............................................................................................................ 59 Gambar 4.11 Sosialisasi Penetiban KJA di Desa desa Tanggul Kayat, Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta. .................................................................................. 66 Gambar 4.12 Sosialisasi Penetiban KJA di Desa Pasanggrahan, Purwakarta ...... 67 Gambar 4.13 Sosialisasi Penetiban KJA di Desa Kutamanah, Kecamatan Sukasari Purwakarta. .................................................................................................. 67 Gambar 4.14 Sosialisasi Penertiban KJA Saat Tim Satgas Saat Menentukan Target-Target Operasi Penertiban KJA ....................................................... 68 Gambar 4.15 Pemasangan/Penyerahan Tanda Siap Bongkar Bagi KJA Yang Terkena Target Operasi Pernertiban ........................................................... 74
ix
x
Gambar 4.16 Tugboat Untuk Menarik KJA Yang Diteribkan Dan Perahu Pol Air Untuk Pencarian Dan Penentuan Target-Target Operasi Penertiban KJA .. 75 Gambar 4.17 Posko Pengambilan Barang KJA yang Ditertibkan ........................ 75 Gambar 4.18 Pos Pengaduan................................................................................. 76 Gambar 4.19 Data Mengenai Tingkat Pendapatan Petani KJA Di Waduk Jatiluhur Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ........................................... 97 Gambar 4.20 Presentase Responden Yang Melakukan Pengurangan Jumlah Pekerja Di kolam Pasca Penertiban KJA ..................................................... 99 Gambar 4.21 Presentase
Petani KJA Yang Melakukan Perubahan Orientasi
Pekerjaan Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ........................ 102 Gambar 4.22 Persentase Tingkat Kesulitan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Petani KJA Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ................................ 104 Gambar 4.23 Tanggungan Keluarga Petani Ikan Di Waduk Jatiluhur ............... 105 Gambar 4.24 Presentase Jumlah Petani Yang Memiliki Tanggungan Biaya Pendidikan Anak ........................................................................................ 105 Gambar 4.25 Presentase Tingkat Pendidikan Anak Petani Ikan Di Waduk Jatiluhur ..................................................................................................... 105 Gambar 4.26 Presentase Jawaban Respponden Mengenai Tingkat Kesulitan Mereka Dalam Membiayai Sekolah Anak Pasca Pengurangan Petak KJA Di Waduk Jatiluhur ......................................................................................... 105 Gambar 4.27 Jumlah Produksi Ikan Yang Dihasilkan Dari Budidaya KJA di Waduk Jatiluhur Sebelum Dan Sesudah Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih.......................................................................................................... 106
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk Jatiluhur merupakan salah satu waduk buatan yang ada di Jawa Barat. Waduk ini digunakan untuk berbagai macam kebutuhan seperti irigasi, pasokan air baku, PLTA, Pariwisata dan bahkan untuk kegiatan budidaya perikanan dengan sistem KJA. Namun kondisi kualitas perairan waduk saat ini sudah menurun. Hamzah et al., 2016 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada periode Desember 2012-April 2014 kondisi perairan Waduk Jatiluhur sudah tercemar berat (D). Salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas air Waduk Jatiluhur adalah aktivitas KJA yang sudah tidak memenuhi daya dukung waduk. Sistem budidaya yang mengandalkan pakan buatan berupa pellet sebagai makanan utamanya ini, dapat menyebabkan terjadinya penumpukan limbah bahan organik dari sisa metabolisme dan sisa pakan pada dasar perairan waduk sehingga dapat menurunkan kualitas air Waduk Jatiluhur. Sutardjo (1997) dalam penelitiannya mengumakakan bahwa secara umum beban bahan organik di Waduk Jatiluhur berasal dari KJA dan riverin. Bahan organik yang berasal dari riverin Cilalawi yang masuk keperairan Waduk Jatiluhur tidak memberi sumbangan yang signifikan terhadap beban di waduk dibanding dengan bahan organik yang berasal dari KJA (Sutardjo 2000). Pakan yang terbuang ke perairan membentuk endapan di dasar perairan dan meningkatkan proses sedimentasi di Waduk Jatiluhur.
1
2
Usaha budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Jatiluhur sudah dilakukan sejak tahun 1974 dan secara intensif baru mulai dilakukan sejak tahun 1986. Kegiatan budidaya ikan dengan KJA cukup menguntungkan dan ikut membantu perekonomian masyarakat sekitar waduk yang tanah pertaniannya terendam oleh pembangunan waduk, meskipun pada akhirnya hanya sedikit dari mereka yang menjadi pemilik KJA, namun dengan menjadi buruh berarti mereka memiliki pendapatan bulanan yang tetap. Seiring dengan perkembangannya, usaha budidaya KJA di Waduk Jatiluhur semakin tidak terkendali. Hampir tiap tahunnya terdapat peningkatan jumlah petak KJA yang cukup signifikan. Pada tahun 2009 populasi KJA mencapai 19.279 petak dan mencapai 19.630 petak pada tahun 2010. Kemudian pada tahun 2011 jumlah KJA sempat menurun yaitu dari 21.579 petak menjadi 20.752 petak hal ini dikarenakan surat izin kepemilikan mulai digalakan pada tahun tersebut. Namun pada tahun pada tahun 2013-2014 terjadi peningkatan jumlah petak KJA kembali yaitu dari 23. 746 petak menjadi 25.951 petak KJA di Waduk Jatiluhur. Padahal menurut Surat Keputusan Bupati Purwakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang pemanfaatan waduk untuk kegiatan perikanan, jumlah KJA ideal yang beroperasi adalah 2.100 petak. Oleh karena itu, tidak heran jika KJA sudah mengganggu kepentingan fungsi utama waduk dengan menimbulkan pencemaran pada air waduk. Apabila setiap petak dalam waktu tiga bulan membutuhkan pakan sebanyak tiga ton maka dalam satu tahun, jumlah pakan yang dikeluarkan untuk budidaya KJA adalah sebanyak 12 ton. Maka jika terdapat 25.951 petak KJA, dalam satu tahun jumlah pakan yang ditebarkan adalah sebanyak 311.412 ton dan
3
apabila yang dieksresikan ke perairan sebesar 30%, maka jumlah pakan yang akan terbuang ke perairan Waduk Jatiluhur dalam satu tahun adalah 93.423,6 ton. Ditambah lagi dengan pembuangan limbah rumah tangga yang berasal dari rumah jaga KJA, hal ini tentunya akan semakin memperparah kondisi kualitas air Waduk Jatiluhur. Budidaya KJA menambah masukan unsur hara dari sisa pakan dan hasil ekskresi, sehingga semakin banyak karamba yang beroperasi maka unsur hara yang masuk akan semakin banyak. Keberadaan unsur hara yang berlimpah dapat mengindikasikan suatu perairan mengalami eutrofikasi karena keberadaannya mampu memicu pertumbuhan tanaman air terutama enceng gondok dan fitoplankton dengan sangat cepat sehingga mengakibatkan penurunan kualitas air waduk. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PJT II, selain menyebabkan penurunan kualitas air, limbah yang ditimbulkan dari kegiatan budidaya ini pun dapat mempercepat korosi (karat) pada turbin maupun jenis alat lainnya yang terbuat dari logam. Pakan ikan yang terbuang akan membentuk lapisan di dasar perairan waduk membentuk sedimen. Sedimentasi yang terbentuk selain pada akhirnya mengurangi kapasitas waduk, menurunkan umur waduk, juga mempengaruhi kualitas air Waduk Jatiluhur. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 7 Tahun 2011 tentang pengelolaan perikanan jumlah maksimal unit KJA yang dimiliki oleh satu pemilik adalah 20 petak KJA. Namun kodisinya saat ini banyak petani KJA yang memiliki jumlah petak KJA melebih batas yang diizinkan. Oleh karena itu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Perum Jasa Tirta II dan Dinas Perikanan setempat, program
4
penertiban KJA mulai dilakukan secara intensif sejak tahun 2015. Pada awal penertiban KJA dilakukan, belum ada SOP yang jelas terkait pengendalian KJA di Waduk Jatiluhur, pada saat itu belum ditetapkan jumlah unit KJA yang harus ditarik tiap kepemilikan, sehingga yang ditertibkan saat itu hanya KJA yang berlebih dan tidak terpakai sedangkan jumlahnya bergantung kepada kebijakan dari pemilik KJA itu sendiri. Adapun jumlah KJA yang berhasil ditertibkan pada tahun 2015 yaitu mencapai 1536 petak. Untuk itu pada tahun 2016 dilakukan penertiban kembali, dengan 2 tahap. Tahap pertama dilakukan pada bulan Januari-September 2016 dan tahap kedua dilakukan mulai bulan Oktober-Desember 2016. Pada tahap ini sudah ada target yang mulai jelas, adapun ketentuan jumlah KJA yang ditarik yaitu sebesar 10% dari tiap kepemilikan KJA diatas 20 petak. Pada tahap awal penertiban yaitu periode Januari-September 2016, target penertiban yang ingin dicapai sebesar 250-300 petak per 3 bulan. Adapun jumlah petak KJA yang berhasil ditertibkan yaitu sebesar 741 petak dalam waktu 9 bulan. Artinya jumlah KJA yang berhasil ditertibkan hampir mendekati target yang ditentukan. kedua yaitu pada bulan Oktober-Desember 2016,
Begitupun pada tahap
Jumlah petak KJA yang
berhasil ditertibkan mencapai 1056 petak dengan target operasi sebesar 1200 petak artinya pada tahap kedua pun program revitalisasi ini hampir mencapai target yang ditentukan. Oleh karena itu, pada tahun 2017 Bupati Purwakarta mulai mengeluarkan SK No.523.31.05/Kep.286-DLH/2017 pembentukan tim Satuan Petugas Operasi Danau Jatiluhur Jernih yang memiliki tugas pokok yaitu membantu terlaksananya
5
program penertiban KJA di Waduk Jatiluhur dengan harapan program ini dapat mengembalikan kualitas air waduk hingga memenuhi baku mutu air yang telah dtitetapkan untuk peruntukannnya. Adapun untuk target awal program Operasi Danau Jatiluhur Jernih pada tahun 2017, jumlah petak KJA yang harus ditertibkan pada akhir Desember 2017 adalah 15000 petak. Berdasarkan SK Bupati Purwakarta jumlah KJA yang harus ditertibkan tiap satu kepemilikan KJA yang diprioritaskan bagi penduduk dengan KTP non Purwakarta di Waduk Jatiluhur adalah 30% setiap satu kali periode penertiban yang dilakukan selang 2-3 bulan. Sehingga diharapkan pada akhir tahun, kepemilikan KJA non Purwakarta sudah tidak ada lagi dan pada awal tahun 2018 penertiban KJA baru akan difokuskan bagi penduduk asli Purwakarta. Namun, hal ini sepertinya akan sulit dilakukan, mengingat bahwa tentunya akan terjadi benturan kepentingan antara para pengusaha KJA di Waduk Jatiluhur dengan para petugas penertiban KJA. Upaya pengendalian jumlah KJA sebelumnya juga pernah dilakukan di Waduk Cirata. Kebijakan yang mengatur tentang keberadaan jumlah petak KJA di perairan Waduk Cirata diatur dalam SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002. Namun upaya ini tidak pernah berhasil, BPWC sebagai penanggung jawab Waduk Cirata menemukan berbagai kendala dalam melaksanakannya. salah satu faktor nya disebabkan karena jumlah KJA saat ini sudah sangat melebih batas yang ditentukan yaitu 12.000 petak. Meskipun saat ini BPWC telah mengambil kebijakan dengan tidak memberikan ijin baru dan membiarkan yang telah ada sebelumnya, namun penduduk sekitar waduk masih tetap membuat KJA baru
6
dengan jumlah petak sesuai pesanan investor dengan menggunakan nama penduduk sekitar tanpa diketahui oleh pihak BPWC dan bahkan BPWC tidak sanggup mencegahnya disebabkan dalam SK tidak diatur bagaimana upaya mengurangi jumlah dan bagaimana menghentikan kegiatan KJA yang tidak memenuhi syarat teknis. Petani merasakan kebijakan ini berada dalam status quo, sehingga dipandang oleh mereka bahwa kebijakan ini belum bisa diterapkan sepenuhnya, yakni jumlah KJA sebanyak 12.000 petak. Akibatnya KJA tetap saja makin bertambah (Rahmani, 2012).Oleh karena itu, apabila program pengendalian KJA di Waduk Jatiluhur dapat berhasil maka diharapkan program ini dapat dijadikan percontohan bagi daerah lainnya. Tentunya akan banyak hal menarik yang dapat diperhatikan seiring dengan berlangsungnya program penertiban KJA di Waduk Jatiluhur. Dari mulai tingkat kesiapan program hingga hasil dari program yang dilakukan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan evaluasi terkait keefektivan program yang dilakukan yang ditinjau dari berbagai faktor yang mempengaruhi keefektivan tersebut. Sehingga diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus masukan untuk perbaikan program agar berjalan lebih baik dimasa mendatang. Adapun yang menjadi fokus penelitian untuk evaluasi program penertiban yang dilakukan yaitu evaluasi terhadap program yang dilakukan pada awal bulan AprilMei 2017. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah dampak dari kebijakan karena setiap kebijakan yang ada tentunya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang terlibat dalam lingkup kebijakan tersebut. Berhasil atau tidaknya kebijakan tergantung dari banyaknya manfaat yang dapat dirasakan
7
oleh masyarakat yang ada didalamnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga dilakukan analisis mengenai dampak sosio-ekonomi dari program Operasi Danau Jatiluhur Jernih di Waduk Jatiluhur. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dari penelitian ini ditegaskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah program Operasi Danau Jatiluhur Jernih yang dilakukan sudah berjalan secara efeketif? 2. Bagaimanakah dampak secara sosio-ekonomi yang dapat ditimbulkan dari program program Operasi Danau Jatiluhur Jernih? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Memperoleh informasi mengenai keefektivan program operasi danau Jatiluhur Jernih yang ditinjau dari berbagai variabel. 2. Memperoleh informasi mengenai dampak secara sosio-ekonomi yang ditimbulkan dari program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. 1.4 Manfaat Penelitian a) Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang mampu mendorong keberhasilan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih dimasa mendatang. b) Secara Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan rujukan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengendalian KJA.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Sumber Daya Air dan Pengelolaan Air di Indonesia. Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya alam yang tergolong tidak hidup (non-hayati) yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan mempunyai daya regenerasi yang selalu berada dalam sirkulasinya dari suatu siklus yang disebut siklus air/siklus hidrologi. Oleh karena sifatnya yang dapat diperbaharui maka air tergolong kedalam sumber daya alam yang tersedia melimpah di alam dan apabila volumenya berkurang dapat dengan cepat tersedia melalui proses pembaharuan baik secara alami maupun melalui rekayasa manusia (Sallata, 2015). Penggunaan air diatur oleh pemerintah melalui UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, agar pendayagunaan Sumber Daya Air (SDA) dapat bermanfaat optimal dan berkelanjutan. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif sebagaimana diatur dalam pasal 33 Ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 sebagai dasar konstitusi pengelolaan sumber daya alam yang menyatakan bahwa pendayagunaan sumber daya alam termasuk air di dalamnya harus ditunjukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian yang terkandung di dalam amanat konstitusi tersebut adalah bahwa negara
8
9
bertanggung jawab terhadap ketersediaan dan pendistribusian potensi sumberdaya air bagi seluruh masyarakat Indonesia dan dengan demikian pemanfaatan potensi sumberdaya air harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsipprinsip kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan (Hamidah, 2015). Namun demikian searah dengan perkembangan populasi makhluk hidup yang cepat mendorong pemenuhan
kebutuhan air yang meningkat sehingga
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan persediaan air. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan dan sistem pengelolaan yang tepat sehingga dapat menghemat penggunaan air (Sallata, 2015). Menurut PP Tahun 2002 konsep pengelolaan air pada dasarnya mencakup upaya pengembangan pemanfaatan, pelestarian sumber daya air, berupa penyaluran (redistributing) air pada suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan makhluk hidup (Samidjo, 2015). Pengelolaan sumber daya air akan kacau apabila tidak diatur dengan baik. Asdak (2007) menyatakan bahwa memulai sistem pengelolaan sumber daya air tentu tidak terlepas dari pengetahuan tentang air dan permasalahannya meliputi: keberadaan (occurance), peredaran/ sirkulasinya (circulation) dan penyebarannya (distribution). Secara umum, sektor sumber daya air di Indonesia menghadapi permasalahan jangka panjang terkait dengan pengelolaan dan tantangan investasi yang akan mempengaruhi pembangunan ekonomi negara dan menyebabkan berkurangnya
keamanan
pangan,
kesehatan
masyarakat
dan
kerusakan
lingkungan. Pada tingkat kebijakan dan pelaksanaan, Indonesia menghadapi
10
beberapa permasalahan spesifik terkait pengelolaan sumber daya air seperti : ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan dalam perspektif ruang dan waktu, meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air, menurunnya kemampuan penyediaan air, meningkatnya potensi konflik air, kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi, makin meluasnya abrasi pantai, lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan, rendahnya kualitas pengelolaan data dan sistem informasi (Rullihandia, 2010). Melihat berbagai masalah yang dihadapi oleh Indonesia terkait pengelolaan sumber daya air maka dibutuhkan suatu terobosan-terobosan dalam upaya pengelolaan sumber daya air secara terpadu. Menurut Anshori (2004) keterpaduan pengelolaan SDA mencakup dua komponen besar yaitu sistem alami dan non alami. Keterpaduan pada komponen pengelolaan sistem alami, mencakup: 1) Kawasan hulu dengan kawasan hilir. 2) Kuantitas air dengan kualitas air. 3) Air hujan dengan air permukaan, dan air bawah tanah. 4) Penggunaan lahan (land use) dengan pendayagunaan air (water use). Sedangkan keterpaduan pada komponen pengelolaan sistem non alami, sekurang-kurangnya mencakup: 1) Keterpaduan antar sektor yang terkait dalam perumusan kebijakan, dan program di tingkat pusat dan daerah, keterpaduan dalam aspek ini diperlukan untuk menyelaraskan kebijakan pembangunan ekonomi dengan kebijakan pembangunan sosial serta lingkungan hidup.
11
2) Keterpaduan antar semua pihak yang terkait (stakeholder) dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. 3) Keterpaduan antar wilayah administrasi baik secara horisontal maupun vertikal. Dalam rangka meningkatkan potensi pegelolaan sumber daya air di Indonesia maka masih banyak diperlukan pembangunan bendungan, waduk, dan sistem jaringan irigasi yang handal (Anshori, 2004). 2.1.2 Kebijakan dan Implementasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Jatiluhur Khususnya sebagai Wadah Budidaya Ikan Kebijakan pengelolaan lingkungan perairan Waduk Jatiluhur dimulai dengan adanya Konsep Tata Ruang Waduk Jatiluhur tahun 1993, berkaitan dengan fungsi waduk yang selain digunakan untuk irigasi dan air baku juga dimanfaatkan sebagai wadah budidaya KJA. Sebagai suatu sumber air, kualitas air waduk dipantau secara berkala bulanan pada tahun 1995 di sebelas lokasi dan hasil pemantauan menunjukkan bahwa secara umum air waduk masih memenuhi syarat baku mutu air minum (golongan B), kemudian dengan berkembangnya KJA, pemantauan dan analisis kualitas air dilakukan secara lebih komprehensif antara lain pengambilan air dari berbagai kedalaman lapisan air, pemantauan aktivitas biologi di air dan pemantauan parameter klimatologi yang mempengaruhi aktivitas biologi, kandungan oksigen terlarut dan lain-lain (Dasuki et aI., 1996). Kemudian telah dilakukan pula Penyusunan Konsepsi Rencana Pengembangan Budidaya Ikan di Kawasan Waduk Jatiluhur dengan pertimbangan optimasi pemanfaatan waduk tetapi tanpa mengganggu fungsi utama waduk. Penyusunan konsepsi ini dilakukan oleh Kelompok Kerja yang ditunjukkan berdasarkan SK
12
Direksi POJ NO.112881 KPTS/1995. Dalam SK tersebut dijelaskan semua aspek yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan perairan waduk dalam kaitannya dengan budidaya ikan sistem KJA seperti zonasi perairan untuk budidaya ikan jaring apung, kriteria jaring apung, tata nama jaring apung, perizinan dan pengendalian. Dalam hal perizinan, pembudidaya ikan dapat berupa perorangan atau badan hukum menyampaikan Surat Permohonan Lokasi (SPL) dan membayar izin lokasi berdasarkan Surat Izin Budidaya Ikan (SIBI). Kemudian setiap pembudidaya ikan membayar izin usaha berupa SIUP di Dinas Perikanan. Selanjutnya penempatan diatur sesuai dengan SIBI (Nasution, 2005). Pengelompokanpun dilakukan berdasarkan blok yang ditandai dengan penomoran atau warna cat tertentu. Hal ini bertujuan memudahkan pemantauan dan pengendalian perkembangan KJA yang melebihi izin. Pemantauan KJA dilakukan oleh suatu organisasi yang dibentuk oleh PJT II yang melibatkan Pemerintah Daerah, Pengelola Waduk, Dinas Perikanan dan Aparat Keamanan. Tim Pemantauan ini diperlukan untuk mengontrol dan mengawasi pelaksanaan budidaya ikan sistem KJA di lingkungan perairan waduk agar sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan, memberikan petunjuk/penyuluhan cara-cara bertani ikan yang baik dan mengamankan lingkungan perairan dari kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak manapun. Sehingga diharapkan fungsi utama dan manfaat waduk sebagai sumber irigasi dan air baku tidak terganggu (Nasution, 2005).
13
2.1.3 Penurunan Fungsi dan Manfaat Waduk Jatiluhur Waduk merupakan suatu bangunan air yang digunakan untuk menampung debit air berlebih pada saat musim hujan supaya kemudian dapat dimanfaatkan pada saat debit rendah saat musim kemarau. Waduk dibangun untuk beberapa kebutuhan diantaranya, untuk irigasi, PLTA, penyedia air minum, pengendali banjir, rekreasi, perikanan, dan transportasi (Ambarwati, 2014). Keberadaan waduk dan danau sangat penting dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Salah satu contoh waduk yang ada di Indonesia adalah Waduk Jatiluhur. Waduk Jatiluhur memiliki berbagai macam fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di pulau Jawa pada umumnya dan daerah Jawa Barat dan sekitarnya pada khususnya. Waduk Jatiluhur berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 187,5 MW yang berperan untuk pasokan listrik pulau Jawa-Bali, pengendalian banjir di Kabupaten Karawang dan Bekasi, irigasi untuk 242.000 ha lahan pertanian di Jawa Barat, pemasok air baku untuk rumah tangga di Jawa Barat dan DKI Jakarta, industri dan penggelontoran kota, budidaya perikanan air payau sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas 20.000 ha, serta juga dapat dimanfaatkan untuk kegiataan rekreasi dan pariwisata (Krisanti, 2004). Melihat betapa penting dan vitalnya peran Waduk Jatiluhur terhadap kehidupaan masyarakat, maka penting untuk memberikan perhatian khusus terhadap waduk ini dari ancaman - ancaman yang mampu untuk menurunkan atau bahkan meniadakan fungsionalitas Waduk Jatiluhur (Wibowo & Daruati, 2008).
14
Kebijaksanaan pengelolaan, pemanfaatan dan pengamanan waduk dan danau diatur melalui peraturan perundang-undangan PP No. 22 Tahun 1982 (Kutarga et al., 2008). Saat ini kondisi Waduk Jatiluhur perlu mendapatkan perhatian khusus berkaitan dengan pengelolaanya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa sumber menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan fungsi dan manfaat Waduk Jatiluhur. Hal ini disebabkan karena menurunnya kuantitas dan kualitas air waduk. Waduk Jatiluhur memiliki salah satu fungsi sebagai pemasok air baku khususnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Namun dengan bertambahnya bahan kimia atau biologi pencemar, yang bersumber dari pembuangan limbah rumah tangga, industri, pertanian, perikanan, peternakan, dan lain-lain baik secara langsung yang dibuang maupun secara tidak langsung menjadi ancaman utama terhadap keberlangsungan fungsi dari Waduk Jatiluhur ini (Wibowo & Daruati, 2008). Selain itu sedimentasi yang terjadi mengakibatkan berkurangnya kapasitas waduk sehingga menurunkan fungsinya sebagai penampung air. Waduk Jatiluhur dirancang untuk memiliki kapasitas tampungan sebesar 3 milyar m3, namun berdasarkan hasil pengukuran batimetri tahun 2000 yang dilakukan oleh Perum Jasa Tirta II, kapasitasnya berkurang menjadi 2,44 milyar m3 yang disebabkan karena proses pendangkalan atau sedimentasi (Wibowo & Daruati, 2008). Selain itu dari hasil pemeriksaan kualitas air setiap bulannya yang dilakukan oleh Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jailuhur, terjadi penurunan kualitas air khususnya disekitar daerah yang terdapat budidaya ikan KJA, seperti terlihat pada
15
trend penurunan kualitas air untuk kandungan BOD, SO4, dan H2S pada titik-titik pemantauan. Adanya gas H2S ini telah menyebabkan bau busuk seperti telur busuk terutama pada saat dibukanya hollow jet. Hal ini berpengaruh buruk pada estetika, usaha kepariwisataan dan penduduk sekitar (Krisanti, 2004).Oleh karena itu, saat ini Waduk Jatiluhur memerlukan perahatian yang lebih dalam upaya pengelolaanya untuk mengembalikan fungsi dan manfaat waduk seperti semula (Wibowo & Daruati, 2008). 2.1.4 Pengaruh Penurunan Kualitas Air Waduk Jatiluhur terhadap Budidaya KJA Saat ini jumlah KJA di Waduk Jatiluhur sudah melebihi kapasitas waduk yang seharusnya. Berdasarkan data time series kualitas air di Waduk Jatiluhur, terdapat peningkatan kandungan nutrien yang dihasilkan dari dekomposisi limbah organik yang berasal dari KJA. Berikut adalah kondisi eksisting Waduk Jatiluhur pada tahun 2015 dibandingkan dengan kondisi yang seharusnya menurut SK Bupati Purwakarta Tahun 2000 (PJT II, 2017) :
(a) (b) Gambar 2.1 (a) Kondisi Eksisting Waduk Jatiluhur pada Tahun 2015; (b) Kondisi Seharusnya (PJT II, 2017).
16
Peningkatan jumlah petak KJA tentunya diiringi dengan peningkatan nutrien yang berasal dari sisa pakan ikan dari KJA sehingga mengakibatkan peningkatan kesuburan perairan dan densitas fitoplankton. Pada malam hari kebutuhan oksigen akan meningkat. Pada kondisi populasi fitoplankton yang padat, kesuburan perairan yang meningkat dan padatnya ikan dalam KJA, menyebabkan terjadinya defisit oksigen dalam jumlah besar, akibatnya tidak heran jika terjadi peningkatan jumlah kematian ikan dalam KJA. Kematian ikan yang sering terjadi di Waduk Jatiluhur yang salah satu faktorya disebabkan oleh penurunan kualitas air waduk akan mengakibatkan penurunan produktivitas ikan di waduk sehingga tidak heran jika belakangan ini banyak petani ikan yang mengalami kerugian yang diakibatkan oleh kematian masal pada ikan (Sutardjo, 1997). 2.1.5 Pengendalian KJA sebagai Salah Satu Upaya untuk Mendukung Revitalisasi Waduk Jatiluhur Sejak tahun 1974 di Waduk Jatiluhur mulai dilakukan penelitian pemeliharaan ikan dalam Keramba. Namun budidaya ikan dalam keramba secara intensif baru mulai dilakukan pada tahun 1986, dan berkembang pesat sejak tahun 1988. Mulanya usaha KJA ini diperuntukan bagi warga yang terkena dampak pembangunan waduk, namun pada perkembangannya mulai banyak investor berdatangan untuk menanamkan modalnya. KJA adalah tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air dari dan ke perairan sekitarnya serta pembuangan limbah proses pemberian pakan dengan mudah. KJA terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut (Ardi, 2013):
17
Gambar 2.2 Kolam Keramba Jaring Apung Tampak Atas (Ardi, 2013). (Keterangan : a. Kolam/petak: nomor 1, 2, 3, 4 ukuran 7 m x 7 m masing-masing dinamakan 1 petak; b. Kolam/unit: nomor 1, 2, 3, dan 4 empat petak dinamakan 1 unit usaha; c. Kolam: nomor 6 untuk karantina ikan; d. Nomor 5 tempat pakan; e. Nomor 7 rumah jaga)
Gambar 2.3 Kolam KJA Tampak Samping (Ardi, 2013). (Keterangan : A. rangka; B. katong jaring lapis pertama yang diisi ikan mas atau bawal; C. kantong jaring lapis kedua yang diisi ikan nila)
Kegiatan perikanan di Waduk Jatiluhur pada awalnya hanya sebatas kegiatan penangkapan ikan usaha rakyat dengan menggunakan peralatan tradisional yang bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari. Namun semenjak diintroduksikannya teknik budidaya dalam keramba jaring apung, maka kegiatan budidaya berkembang dengan pesat. Pada tahun 1988 keramba jaring apung di Waduk Jatiluhur hanya berjumlah 15 unit, namun hingga akhir tahun 2009 telah berkembang lebih dari 7.000 unit. Kegiatan budidaya ikan yang berkembang pesat saat ini mengakibatkan
18
penurunan kualitas perairan waduk dan pada akhirnya menurunkan produktivitas usaha budidaya ikan di Waduk Jatiluhur (Koeshendrajana, 2011). Pada mulanya kegiatan budidaya ikan dalam keramba jaring apung merupakan salah satu primadona alternatif pekerjaan bagi masyarakat, namun pada kenyataanya saat ini menimbulkan efek boomerang bagi pembudidaya itu sendiri maupun pihak lain yang memanfaatkan Waduk Jatiluhur. Tidak jarang para pembudidaya yang mendirikan KJA di Waduk Jatiluhur tanpa surat ijin dan mendirikan KJA diluar wilayah zona yang telah ditentukan. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan keadaan tata ruang waduk dan tentu saja akan membahayakan bagi kelestarian lingkungan (Koeshendrajana, 2011). Melihat dampak yang ditimbulkan cukup beragam, oleh karena itu diperlukan suatu solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Berdasarkan peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 18/PRT/M/2010 tentang pedoman revitalisasi kawasan. Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Tujuan dari revitalisasi adalah menumbuhkan dan mengembangkan aktifitas ekonomi kawasan. Sebuah kawasan dapat direvitalisasi bila memiliki alasan-alasan di bawah ini (Martokusumo, 2008) : a. Matinya aktivitas ekonomi Salah satu permasalahan umum dalam kawasan yang perlu direvitalisasi adalah adanya kondisi kawasan yang aktivitas ekonominya tidak mampu berkembang atau cenderung memburuk. Jika dikaitkan dengan pengendalian KJA
19
di Waduk Jatiluhur, aktivitas ekonomi kawasan Waduk Jatiluhur cenderung menurun, hal ini terbukti dengan kematian ikan di Waduk Jatiluhur beberapa tahun lalu yang disebabkan karena kualitas air yang memburuk. b. Menurunnya kualitas spasial dan fisik bangunan. Permasalahan berikutnya adalah matinya aktivitas ekonomi kawasan akibat banyaknya bangunan-bangunan yang tidak pergunakan atau area-area yang dibiarkan terlantar. Hal ini juga terjadi di kawasan sekitar KJA, dimana kondisi bangunan rumah jaga ada beberapa yang sudah tidak terawat dan bahkan ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja. Berikut adalah contoh gambar unit usaha KJA di Waduk Jatiluhur yang sudah rusak dan bahkan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya :
Gambar 2.4 Contoh KJA yang Rusak dan Ditinggakan Pemiliknya (Dokumen Pribadi, 2017).
c. Buruknya citra kawasan Suatu kawasan seringkali ditinggalkan dan tidak diminati oleh para pelaku ekonomi dikarenakan citranya buruk sebagai sebuah kawasan. Citra buruk yang lazimnya terjadi dikarenakan oleh aktivitas sosial yang ekstrim seperti tingginya kriminalitas. Dalam beberapa waktu lalu di kawasan Waduk Jatiluhur tepatnya di
20
rumah jaga KJA, tertangkap beberapa teroris yang telah bersembunyi cukup lama. Hal ini mengakibatkan citra kawasan menjadi buruk, karena artinya kurangnya pemantauan sehingga siapa saja dapat memasuki dan bahkan tinggal dikawasan tersebut. d. Tidak memadainya/ memburuknya infrastruktur kawasan Masalah lainnya dalam konteks ini adalah tidak memadainya sistem infrastruktur. Kualitas sarana transportasi dan jaringan utilitas seperti air bersih, listrik dan telekomunikasi yang buruk sering menghambat aktivitas ekonomi yang terjadi sehingga mengakibatkan terjadinya efek high-cost economy. Hal ini menurunkan minat para pelaku ekonomi untuk beraktivitas di kawasan tersebut. Begitupun dengan yang terjadi di kawasan KJA di Waduk Jatiluhur, banyak petani KJA yang tinggal dirumah jaga tanpa adanya listrik sehingga pada saat malam hari akan sangat gelap. Apabila kondisi tersebut sudah terjadi, maka revitalisasi pun perlu dilakukan. Dalam rangka berbenah diri untuk memperbaiki kondisi lingkungan waduk, Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Purwakarta
melakukan
proses
penataan
lingkungan dengan melakukan kegiatan penertiban Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Jatiluhur. Adapun kriteria dari KJA yang ditertibkan dilihat dari beberapa parameter diantaranya yaitu: Kepemilikan SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SPPAP (Surat Pemanfaatan Penggunaan Area Perairan), SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan), unit KJA yang diizinkan, kondisi petak KJA, dan kondisi rumah jaga.
21
Hal ini dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Purwakarta Nomor 6 Tahun 2000 terkait pemanfaatan dan pengelolaan waduk. Dalam surat keputusan itu dituliskan bahwa usaha KJA ideal di Waduk Jatiluhur yaitu berjumlah 2100 Petak. Begitupun dengan kajian konsultan yang telah dilakukan pada tahun 2006, jumlah ideal petak KJA yang diperbolehkan untuk beroperasi adalah sebanyak 4.040 petak, sedangkan kini terdapat lebih dari 23.000 petak KJA. Artinya jumlah petak KJA di Waduk Jatiluhur sudah melebih batas yang ditentukan (Perum Jasa Tirta II, 2015). Dalam SK bupati Purwakarta No.6 tahun 2000 dijelaskan juga bahwa setiap usaha KJA diWaduk Jatiluhur harus memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan). Saat ini semua izin usaha KJA di Waduk Jatiluhur sudah habis dan tidak berlaku lagi dan belum ada lagi izin yang dikeluarkan untuk usaha KJA di Waduk Jatiluhur karena terkait dengan program pengendalian KJA yang sudah berlangsung sejak tahun 2015 (PJT II, 2017). Penertiban KJA dilakukan sesuai dengan target- target yang telah ditetapkan. Pengendalian KJA ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur, khususnya kualitas perairan waduk yang sudah menurun (Perum Jasa Tirta II, 2015). 2.1.6 Nilai Efektivitas Program Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran berarti makin tinggi efektivitas kerja pada organisasi baik swasta maupun pemerintah maka sasaranya tertuju pada proses pelaksanaan dan tingkat keberhasilan yang dilakukan oleh para pegawai itu sendiri (Misnawati, 2016).Efektivitas merupakan hasil membuat keputusan yang mengarahkan melakukan sesuatu yang benar, yang
22
membantu memenuhi misi atau pencapaian tujuan. Kemudian efektivitas ialah terkaitnya dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai (Misnawati, 2016). Dalam penelitian ini efektivitas akan terlihat dari pencapaian target jumlah KJA yang ditertibkan dan manfaat yang dapat dirasakan pasca penertiban KJA dilakukan.Kata efektif sering diartikan sama dengan efisien walaupun arti sesungguhnya berbeda jika efektif belum tentu efisien. Menurut pendapat Zahnd (2006) mendefinisikan efektivitas yaitu berfokus pada akibatnya, pengaruhnya atau efeknya, sedangkan efisiensi berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya.Sedangkan menurut Arikunto (1988), Efektivitas adalah kesesuaian antara output dengan tujuan yang ditetapkan. Efektivitas diukur dengan menggunakan standar, sesuai dengan acuan interpretasi nilai (%) seperti pada tabel berikut (Susiani, 2013) : Tabel 2.1 Standar Ukuran Efektivitas Sesuai Acuan Interpretasi Nilai (%) (Susiani, 2013).
Besar Nilai Efektivitas
Nilai Interpretasi Efektivitas
80 - 100
Tinggi
60 - 79,9
Cukup
40 - 59,9
Agak Rendah
20 - 39,9
Rendah
0 - 19,9
Sangat Rendah
Tabel 2.2 Tingkat Capaian Ukuran Efektivitas (Budiani,2009)
Besar Nilai Efektivitas (%)
Tingkat Capaian
Dibawah 40
Sangat tidak Efefktif
40 - 59,9
Tidak Efektif
60 - 79,9
Cukup Efektif
Di atas 80
Sangat Efektif
23
Adapun cara yang dapat digunakan untuk menganalisis efektivitas program atau kegiatan yaitu dengan menggunakan teknik prosentase, dengan rumus (Subagyo, 2000) : πππππ‘ππ£ππ‘ππ = Realisasi
ππππππ ππ π Γ 100% ππππππ‘
: Pencapaian jumlah anggota kelompok yang melaksanakan program/kegiatan
Target
: Seluruh anggota kegiatan
Dengan variabel-variabel sebagai berikut: 1. Ketepatan sasaran program/kegiatan 2. Sosialisasi program/kegiatan 3. Tujuan program/kegiatan 4. Pemantauan program/kegiatan Adapun variabel-variabel diatas dapat dikembangkan dan dikelompokan menjadi (Budiani, 2009) : Variabel input : 1) Tujuan program/kegiatan 2) Tingkat sosialisasi program/kegiatan 3) Ketepatan sasaran program/kegiatan Variabel proses : 1) Respon terhadap program/kegiatan 2) Pemantauan Variabel Output : 1) Kondisi akhir yang diharapkan
24
Dari uraian diatas, maka konsep efektivitas merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensional, artinya dalam mendefinisikan efektivitas berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu yang dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektivitas adalah pencapaian tujuan (Susiani, 2013). 2.1.7 Evaluasi Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Ada beberapa pengertian tentang program sendiri. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan yang dilakukan dengan seksama. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan (Arikunto, 2003). Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu
membuat
keputusan,
membantu
pertanggung
jawaban
dan
meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan (Widyoko, 2016). Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan proses pengumpulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif kebijakan, evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk (Arikunto, 1993):
25
a. Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain. b. Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan. Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan menentukan langkah bagaimana melaksanakan penelitian. Menurut Arikunto (2003) terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program adalah sebagai berikut: a. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu, kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu. b. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program pelaksana ingin mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, dan apabila tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan, pelaksana ingin mengetahui letak kekurangan itu dan apa sebabnya. Dengan adanya uraian diatas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan penelitian evaluatif. Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari adanya
26
kebijakan, dalam rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan akhirnya adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Dalam pelaksanaan evaluasi ada tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu: penentuan fokus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation), 2) penyusunan desain evaluasi (designing the evaluation), 3) pengumpulan informasi (collecting information), 4) analsis dan intepretasi informasi (analyzing and interpreting), 5) pembuatan laporan (reporting information), 6) pengelolaan evaluasi (managing evaluation),
dan
7)
evaluasi
untuk
evaluasi
(evaluating
evaluation)
(Widoyoko,2016). Dalam pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, evaluator pada tahap awal harus menentukan fokus yang akan dievaluasi dan desain yang akan digunakan. Hal ini berarti harus ada kejelasan apa yang akan dievaluasi yang secara implisit menekankan adanya tujuan evaluasi, serta adanya perencanaan bagaimana melaksanakan evaluasi. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data, menganalisis dan membuat intepretasi terhadap data yang terkumpul serta membuat laporan. Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara keseluruhan. Weiss (1972:4) menyatakan bahwa tujuan evaluasi adalah: The purpose of evaluation research is to measure the effect of program against the goals it set out accomplish as a means of contributing to subsuquest decision making about the program and improving future programming. Ada empat hal yang ditekankan
27
pada rumusan tersebut, yaitu: 1) menunjuk pada penggunaan metode penelitian, 2) menekankan pada hasil suatu program, 3)penggunaan kriteria untuk menilai, dan 4) kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa mendatang (Widoyoko,2016). 2.2 Kerangka Pemikiran Waduk Jatiluhur memiliki fungsi utama sebagai sumber irigasi, namun seiring dengan perkembangannya Waduk Jatiluhur juga merupakan tempat lahan budidaya ikan melalui Keramba Jaring Apung (KJA), usaha budidaya ikan ini pada mulanya cukup menguntungkan dan mampu meningkatkan taraf perekonomian masyarakat sekitar waduk. Namun seiring dengan pertumbuhan usaha KJA yang semakin tidak terkendali hingga melebihi daya dukung waduk maka usaha KJA ini menimbulkan suatu permasalahan yang cukup serius terutama berkaitan dengan penurunan kualitas dan kuantitas air. Oleh Karena itu sesuai dengan SK Bupati Purwakarta maka dibuat tim satuan tugas Operasi Danau Jatiluhur Jernih dengan fungsi utama yaitu menertibkan sejumlah petak KJA sesuai dengan target-target yang telah ditentukan. Sehingga diharapkan kualitas air waduk dapat membaik dan fungsi utama dari pembangunan waduk dapat tercapai. Penertiban KJA ini dilakukan sejak Januari 2015. Hingga saat ini dalam tiap pencapaian target operasinya masih belum tercapai hingga 100%. Program penertiban KJA ini akan terus dilakukan hingga tahun 2018 dengan target pada tahun tersebut KJA di Waduk Jatiluhur sudah dikosongkan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan evaluasi terkait keefektivan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih yang ditinjau dari berbagai
28
variabel sehingga diharapkan dapat diketahui kekurangan dan kelebihan dari program yang dijalankan. Menurut Subagyo (2000) ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu program/ kegiatan yang diantaranya yaitu : a. efektivitas input (tingkat kesiapan program) dipengaruhi oleh fakto-faktor seperti: ketepatan sasaran program, tingkat sosialisasi program dan tujuan program; b. efektivitas Proses (proses implementasi program) yang dipengaruhi oleh respon terhadap program/kegiatan dan pemantauan; c. efektivitas output dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kondisi-kondisi akhir yang diharapkan seperti: pengurangan jumlah KJA, kualitas air membaik, program pengendalian KJA menjadi milik semua masyarakat, produktivitas ikan meningkat. Berdasarkan peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 18/PRT/M/2010 tentang pedoman revitalisasi kawasan. Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Tujuan dari revitalisasi adalah menumbuhkan dan mengembangkan aktifitas ekonomi kawasan. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga akan dilakukan analisis mengenai dampak yang ditimbulkan secara sosio-ekonomi dari program Operasi Danau Jatiluhur Jernih seperti pendapatan petani KJA, jumlah pekerja, perubahan orientasi pekerjaan, tingkat pemenuhan kebutuhan hidup dan dampak program kebutuhan ikan di Waduk Jatiluhur. Dengan menganilisis kefeektivan program serta dampak yang ditimbulkan dari program pengendalian KJA diharapkan dapat dijadikan evaluasi dan acauan untuk keberlanjutan program di masa yang akan datang. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap
29
pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa mendatang. Berdasarkan uraian diatas maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat dibuatkan melalui bagan alur sebagai berikut :
Jumlah KJA Yang Sudah Tidak Terkendali Dan Melebihi Daya Dukung Waduk Jatiluhur
Penurunan Fungsi dan Manfaat Waduk Jatiluhur
SK Bupati Purwakarta No.523.31.05/Kep.2 86-DLH/2017 tentang Pembentukan Tim Satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih Menertibkan Sejumlah KJA di Waduk Jatiluhur
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektivan Program Penertiban KJA Di Waduk Jatiluhur: 1.Tingkat Kesiapan Program (Variabel Input) 2. Proses Implementasi Program (Variabel Proses) 3.Capaian akhir Yang Diharapkan (Variabel Output)
Dampak Penertiban KJA Terhadap Kondisi Sosial-Ekonomi Diantaranya : 1. Pendapatan Petani Kja 2. Jumlah Pekerja di KJA 3. Perubahan orientasi Pekerjaan 4. Pemenuhan Kebutuhan Hidup 5. Kebutuhan Ikan
Gambar 2.5 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Dalam menentukan keefektivan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, Objek penelitian adalah Petani KJA. Sampel dilakukan pada petani KJA yang terkena program penertiban periode April-Mei 2017 dan tim Satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih sedangkan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari pengendalian KJA, objek penelitian dilakukan terhadap petani KJA yang terkena program revitalisasi periode April-Mei 2017.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Desain Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disebutkan, untuk mengetahui keefektivan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih dan dampak dari Pengendalian KJA terhadap kondisi sosio-ekonomi adalah dengan menggunakan metode pendekatan kuantitatif dan kualitatif. 3.2.2 Teknik Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik untuk pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara sedangkan untuk pengambilan data sekunder dilakukan dengan mengkaji berbagai data.
30
31
1) Wawancara terstruktur Wawancara
terstruktur
dilakukan
untuk
mengkaji
faktor-faktor
yang
mempengaruhi Pengendalian KJA serta dampak yang ditimbulkan dari upaya Pengendalian KJA di
Waduk Jatiluhur. Wawancara dilakukan dengan
memberikan lembar kuesioner kepada objek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Untuk menentukan jumlah repsonden menggunakan rumus lynch et.,al (1974) sebagai berikut : π=
π. π 2 . π(1 β π) π. π 2 + π 2 . π(1 β π)
Keterangan : n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi petani KJA Z = Nilai variabel normal (1,96) untuk tingkat reliabilitas 0,95 P = Kemungkinan besarnya proporsi (0,5) d = Tingkat kesalahan 10% Berdasarkan rumus Lynch, et al (1974) diatas, jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 69 petani, dengan perhitungan sebagai berikut : 236. (1,96)2 . 0,5(1 β 0,5) π= 236. (0,1)2 + (1,96)2 . 0,5 (1 β 0,5) π = 69 3.2.3 Sumber Data dan Metode Analisis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Adapun beberapa parameter yang dikaji adalah sebagai berikut:
32
Tabel 3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Penertiban KJA di Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
No 1.
Variabel Tingkat Kesiapan Program (Input)
Faktor-Faktor a. Ketepatan sasaran program /kegiatan
b. Tingkat sosialisasi
c. Tujuan program/
2.
Proses Implementasi Program (Proses)
a. Respon terhadap program/ kegiatan
b. Pemantauan
Data ο Jumlah responden yang menyatakan tepat sasaran ο Jumlah responden yang menyatakan tidak tepat sasaran ο Jumlah responden yang menyatakan ada sosialisasi ο Jumlah responden yang menyatakan tidak ada sosialisasi ο Jumlah responden yang mengetahui tujuan kegiatan ο Jumlah responden yang tidak mengetahui tujuan kegiatan ο Jumlah responden yang memberikan respon positif ο Jumlah responden yang memberikan respon negatif ο Jumlah responden yang menyatakan adanya pemantauan dan sanksi ο
Sumber Data & Pengumpulan Data Primer: Petani kja, stakeholder melalui wawancara
Primer : Petani KJA, Stakeholder melalui wawancara Sekunder: Berita acara sosialisasi
Primer : Petani KJA melalui wawancara
Primer : Petani Kja, stakeholder melalui wawancara
Primer: Petani KJA, Stakeholder melalui wawancara
33
ο Jumlah responden yang menyatakan tidak adanya pemantauan dan sanksi 3.
Capaian Akhir Yang Diharapkan Dari Program (Ouput)
a. Kondisi akhir yang diharapkan
ο Pengurangan jumlah KJA ο Kualitas Air yang membaik ο Program Pengendalian KJA menjadi milik semua masyarakat ο Masyarakat/ petani KJA merasa produktivitas ikan meningkat
Primer: Petani KJA, Stakeholder melalui wawancara Sekunder : Data kualitas air dan data mengenai pengurangan jumlah KJA
a. Metode analisis kuantitatif Data dikumpulkan dari hasil wawancara terstruktur yang dilakukan kepada petani KJA untuk mengetahui tingkat efektivitas dari setiap faktor dengan perhitungan sebagai berikut (Subagyo, 2000) : πππππ‘ππ£ππ‘ππ =
ππππππ ππ π Γ 100% ππππππ‘
Keterangan : Realisasi
: Pencapaian jumlah anggota kelompok yang melaksanakan program/kegiatan
Target
: Seluruh anggota kegiatan
34
Kemudian semua aspek tersebut akan dikaji sesuai dengan kondisi yang ada dilapangan. Untuk setiap pertanyaan dijumlahkan berapa orang petani yang menjawab untuk masing-masing alternatif jawaban kemudian dibandingkan dengan jumlah seluruh sampel dan dikalikan dengan 100% untuk mendapatkan presentase dari masing-masing alternatif jawaban. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan teknik prosentase. Realisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju dan targetnya adalah jumlah seluruh responden. Kemudian hasil analisis di interpretasikan berdasarkan ukuran efektivitas sesuai acuan interpretasi nilai seperti yang terdapat pada tabel 2.1. b. Metode analisis Kualitatif Analisis data dilakukan dari hasil wawancara dan data sekunder yang telah dikumpulkan. Dari data yang terkumpul kemudian di analisis dan kemudian dicocokan dengan wawancara informan lain serta data sekunder untuk mendapatkan bukti-bukti yang mendukung. Kemudian ditarik kesimpulan akhir yang valid dan dapat dipercaya. Hasil
analisis
data
selanjutnya
diinterpretasikan
untuk
membantu
menggambarkan pelaksanaan program revitalisasi yang dilengkapi dengan pembahasan menggunakan teori-teori dan hasil penelitian yang relevan. Selanjutnya untuk mengetahui dampak penertiban KJA secara kondisi sosioekonomi, dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel operasionalisasi paramater sebagai berikut :
35
Tabel 3.2 Operasionalisasi Parameter Dampak Penertiban KJA terhadap Kondisi Sosio-Ekonomi (Data Primer, 2017).
No
Parameter
1.
SosioEkonomi
Operasional Parameter a. Pendapatan
b. Jumlah pekerja
c. Perubahan Orientasi Pekerjaan
d. Biaya hidup perhari
e. Pemenuhan Kebutuhan Ikan
Data ο Jumlah responden yang menyatakan pendapatan meningkat ο Jumlah responden yang menyatakan pendapatan menurun ο Jumlah responden yang menyatakan pendapatan tetap
Sumber Data Primer: Petani KJA melalui wawancara
ο Jumlah responden yang menyatakan menambah jumlah pekerja ο Jumlah responden yang tidak menambah ataupun mengurangi jumlah pekerja ο Jumlah responden yang menyatakanmengurangi jumlah pekerja ο Jumlah responden yang menyatakan mata pencaharian berubah ο Jumlah responden yang menyatakan mata pencaharian tetap ο Jumlah responden yang tidak bekerja pasca revitalisasi
Primer: Petani KJA melalui wawancara
ο Jumlah responden yang merasa sedikit kesulitan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup pasca program ο Jumlah responden yang tidak merasa kesulitan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup pasca program Jumlah responden yang merasa sangat kesulitan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup pasca program Produksi ikan pasca program
Primer: Petani KJA melalui wawancara
Primer: Petani KJA melalui wawancara
Data sekunder
36
C. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui dampak Pengendalian KJA terhadap kondisi sosio-ekonomi masyarakat yaitu dengan menggunakan metode kombinasi atau mix method maka analisis data yang pertama dilakukan yaitu mengolah data-data yang diperoleh dari lokasi penelitian dengan menggunakan teknik analisis deskriptif secara kuantitatif dengan menggunakan skala acuan normatif. Hasil dari pengolahan setiap item instrumen yang menggunakan skala acuan normatif mempunyai gradasi dari tidak ada, sebagian kecil, hampir setengahnya, setengahnya, sebagian besar, pada umumnya, dan seluruhnya. Adapun rumus yang digunakan dalam menganalisis data melalui tabel frekuensi adalah (Winarno, 1998) : π=
Keterangan :
π π₯100 % π
P = Presentase f
= Frekuensi
N = Jumlah responden 100 = Angka Tetap Kemudian diberi gradiasi berdasarkan hasil persentase dengan kategori pesentase sebagai berikut (Ali, 1984) : 0%
: ditafsirkan tidak ada
1%-39%
: ditafsirkan sebagian kecil
40%-49%
: ditafsirkan hampir setengahnya
50%
: ditafsirkan setengahnya
37
51%-75%
: ditafsirkan sebagian besar
76%-99%
: ditafsirkan pada umumnya
100%
: ditafsirkan seluruhnya D. Metode Analisis Data STORET
Metode STORET merupakan salah satu metode yang biasa digunakan untuk menentukan status mutu air (Khairil, 2014). Adapun langkah-langkah penetuan status mutu air dengan metode STORET adalah sebagai berikut (Khairil, 2014): 1. Melakukan pengumpulan data kualitas dan debit air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data). 2. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air. 3. Jika hasil pengukuran memenuhi baku mutu air (hasil pengukuran β€ baku mutu) maka diberi skor 0. 4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu), maka diberi skor sesuai dengan tabel dibawah ini: Tabel 3.3 Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air (Khairil, 2014).
Jumlah Contoh <10 β₯10
Nilai Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Rerata
Parameter Fisika Kimia -1 -2 -1 -2 -3 -6 -2 -4 -2 -4 -6 -12
Biologi -3 -3 -9 -6 -6 -18
5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengn menggunakan sistem nilai.
38
Setelah mendapatkan nilai total dari seluruh parameter yang telah dijumlahkan, kemudian ditentukan status mutu airnya menggunakan sistem nilai dari βUS-EPA (Environmental protection Agency) yang mengklasifikasikan mutu air kedalam empat kelas, yaitu (Khairil, 2014) : a. Kelas A : baik sekali : skor = 0 β memenuhi baku mutu
b. Kelas B : baik : skor = -1 s/d -10 βcemar ringan c. Kelas C : sedang : skor = -11 s/d -30 β cemar sedang d. Kelas D : buruk : skor β₯ -31 βcemar berat Melalui perhitungan ini diharapkan dapat diketahui kondisi perairan waduk sebelum dan sesudah penertiban KJA dilakukan sekaligus diharapkan dapat diketahui parameter-parameter yang telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan tiap parameter dengan standar Baku Mutu Air Golongan B;C;D pada Perda Jawa Barat No.39 tahun 2000 (Khairil, 2014) . a. Golongan A
: Air yang dapat digunakan sebagi air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu
b. Golongan B
: Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum
c. Golongan C
: Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan
d. Golongan D
: Air yang dapat digunakan untuk pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan PLTA
e. Golongan B ; C; D
: Air yang memenuhi peruntukan Gol B, Gol C dan Gol D
f. Golongan C ; D
: Air yang memenuhi peruntukan Gol. C dan Gol.D
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik dan Gambaran Umum Waduk Jatiluhur Waduk Jatiluhur merupakan salah satu waduk yang ada di Provinsi Jawa Barat dan terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (Β±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Waduk ini merupakan waduk terendah namun terbesar diantara trilogi waduk buatan di Jawa Barat setelah Saguling dan Cirata (Ilosangi, 2001). Waduk Jatiluhur membendung sungai Citarum dibagian hilir, sehingga air yang mengalir dari sungai Citarum akan masuk terlebih dahulu ke Waduk Saguling dan Cirata dibagian hulu kemudian akan turun ke Waduk Jatiluhur sebagai hilirnya. Waduk yang luasnya 8.300 ha ini memiliki potensi air tersedia sebesar 12,9 milyar m3/tahun. Berikut adalah tabel informasi fisik Waduk Jatiluhur (Ilosangi, 2001): Tabel 4.1 Informasi Fisik Waduk Jatiluhur (Ilosangi, 2001).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Parameter (Satuan) Tahun Perencanaan Pembangunan Ketinggian (m dpl) Letak geografis Lokasi di Sungai Citarum Volume Air (km3) Luas Permukaan (km2) Luas catchment area (km2) Kedalaman rata-rata (m) Kedalaman maksimum (Zmax)(m) Tingkat fluktuasi muka air (m) Fungsi utama Sumber air Kesuburan Status pencemaran
39
Nilai 1957 111,115 107β¦13β30βBT, 6β¦30β LS Hilir 2,97 8,3 6590 35,8 90 25 Irigasi Sungai Citarum, Cilalawi, Cisomang Oligotrofik-mesotrofik Berat
40
Pada mulanya pembuatan Waduk Jatiluhur dibangun untuk mengairi daerah perkebunan yang ada di Pulau Jawa. Dalam perencanaanya, waduk ini dapat mengairi lahan perkebunan sampai daerah Kali Rambut, Pekalongan (Jawa Tengah). Namun karena waduk ini memiliki fungsi utama untuk mengairi lahan persawahan, maka air yang dibutuhkan sangat banyak sehingga daerah irigasi yang dapat dilayani hanya sampai daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta (Astari, 2000). Proyek pembangunan Waduk Jatiluhur dimulai sejak tahun 1957 yang meliputi pembangunan sarana sistem pengairan, waduk utama, dan PLTA. Proyek ini pada mulanya dikelola oleh organisasi bernama βProyek Serbaguna Jatiluhur (19571967)β dan merupakan tahap awal dari pengembangan sumber daya air di wilayah Sungai Citarum. Kemudian pemerintah merubah status organisasi Proyek Serbaguna Jatiluhur menjadi Perusahaan Negara (1967-1970) dengan tujuan agar dapat memaksimalkan proyek PLTA secara maksimal (Subagja,2008). Namun seiring dengan perkembangannya, perusahaan negara ini bersifat komersial, sehingga pengelolaan sumber daya air tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu pemerintah membentuk Perusahaan Umum dengan nama βOtorita Jatiluhurβ(1970-1998) atau sering dikenal dengan nama POJ dengan tujuan agar mampu memanfaatkan segala potensi yang ada di Waduk Jatiluhur namun tetap memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi yang dapat dipertanggung jawabkan pada masyarakat. Kemudian pada tahun 1998 Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur berganti nama menjadi Perusahaan Umum Jasa Tirta II dengan tugas utama yaitu menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan
41
umum dan sekaligus memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan (Subagja, 2008). Adapun wilayah kerja PJT II meliputi keseuluruhan wilayah Sungai Citarum, mulai dari hulu di daerah tangkapan, Waduk Jatiluhur hingga ke hilir dan muara-muara sungainya (Perum Jasa Tirta II, 2001).
Gambar 4.1 Salah Satu Wilayah Kerja PJT II (Dokumen Pribadi, 2017).
Waduk yang memiliki fungsi utama sebagai sumber irigasi ini memiliki 3 wilayah saluran induk irigasi, yaitu Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat. Wilayah Tarum Timur meliputi Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu bagian barat, wilayah Tarum Utara meliputi Kabupaten Karawang, sedangkan wilayah Tarum Barat meliputi DKI Jakarta, Kabupaten dan Kota Bekasi. Wilayah Tarum Barat berbeda dengan 2 wilayah lainnya wilayah itu berkembang mengarah menjadi pusat industri dan pemukiman. Kondisi ini sangat berbeda dengan wilayah Tarum Timur dan Utara yang merupakan wilayah sentra produksi pangan, tetapi ke depan diperkirakan penduduk dan industri pun akan berkembang pesat (Perum Jasa Tirta II, 2008).
42
Seiring dengan waktu, kebutuhan air akan semakin meningkat, air yang bersumber dari Waduk Jatiluhur ini banyak dibutuhkan oleh berbagai pihak dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, karena itu perlu dikelola dengan baik agar tidak terjadi konflik kepentingan. Berikut adalah peta pengelolaan waduk jatiluhur berdasarkan tata ruang (Diskanak, 2017) :
Gambar 4.2 Peta Pengelolaan Waduk Jatiluhur Berdasarkan Tata Ruang (Diskanak, 2017).
Salah satu peruntukan Waduk Jatiluhur adalah sebagai PLTA namun kebutuhannya tergantung kebutuhan air di hilir untuk irigasi dan air baku untuk perusahaan air minum dan industri. Di dalam Waduk Jatiluhur, terdapat 6 unit turbin dengan daya terpasang 187,5 MW dengan produksi tenaga listrik rata-rata 900 juta kWh setiap tahun. Produksi tenaga listrik yang dihasilkan ini kemudian dijual kepada PT PLN (Persero) dan merupakan salah satu penghasil listrik terbesar untuk daerah Jawa Barat. Keberadaan PLTA di Waduk Jatiluhur juga
43
mendatangkan manfaat tersendiri bagi sektor pariwisata. Banyak wisatawan yang datang ke Waduk Jatiluhur untuk melakukan wisata teknologi bendungan (Fitri, 2016).
Gambar 4.3 Wisata Teknologi Bendungan (Dokumen Pribadi, 2017).
Berbagai sarana rekreasi wisata dapat dinikmati di kawasan Waduk Jatiluhur. Grama Tirta Jatiluhur (objek wisata Jatiluhur) menempati peringkat pertama untuk objek daerah tujuan wisata di Kabupaten Purwakarta yang mampu mendatangkan wisatawan terbanyak. Berbagai aktivitas menarik dapat dilakukan oleh para wisatawan selain teknologi bendungan, diantaranya yaitu wahana rekreasi dan olahraga air, lapangan tenis outdoor, bungalow, hotel dan resort, kapal motor jambal dan patin dan tentunya panorama alam yang mempesona.
Gambar 4.4 Wahana Rekreasi di Waduk Jatiluhur (Dokumen Pribadi, 2017).
44
Di Waduk Jatiluhur juga terdapat usaha budidaya ikan (KJA) yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang gemar memancing. Mereka dapat langsung menikmati ikan hasil tangkapan mereka di tempat ataupun di rumah. Budidaya KJA di Waduk Jatiluhur tersebar di beberapa wilayah perairan waduk yang terbagi kedalam 5 zona yaitu zona I, zona II, zona III, zona IV, zona V. Namun saat ini zona III dan zona IV telah direlokasi ke zona lainnya, hal ini dikarenakan adanya proyek dari PJT II demi perkembangan pariwisata Jatiluhur (Fitri, 2016). Selain itu juga terdapat zona luar yang tidak termasuk ke dalam lima zona di Waduk Jatiluhur dan pada umumnya zona luar ini dimiliki oleh masyarakat Purwakarta asli. Berikut adalah peta pembagian zona untuk kegiatan budidaya KJA di Waduk Jatiluhur :
Gambar 4.5 Gambar Pembagian Zona Budidaya KJA di Waduk Jatiluhur (Diskanak, 2017).
45
Semua zona ini tersebar di perairan Waduk Jatiluhur dan merupakan penghasil ikan terbanyak jika dibandingkan dengan usaha budidaya lainnya di Kabupaten Purwakarta. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4.6 Potensi Aktual Perikanan di Kabupaten Purwakarta (Diskanak, 2005).
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan bahwa perairan umum seperti sungai, danau dan waduk, rawa dan genangan air lainnya yang berada dalam kedaulatan Republik Indonesia dapat diusahakan sebagai lahan pembudidayaan ikan dengan tetap memperhatikan daya dukung
dan
kelestariannya
untuk
dimanfaatkan
sebesar-besarnya
bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang tersebut maka setiap pelaku usaha KJA di Waduk Jatiluhur dapat memanfaatkan potensi yang ada di waduk namun dituntut untuk tetap memperhatikan kualitas dan daya dukung lingkungan (Fitri, 2016). Agar usaha budidaya KJA ini tetap berjalan dan memperhatikan kondisi lingkungan maka pada mulanya kebijakan pengelelolaan waduk di Jatiluhur dibatasi dengan pembuatan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) yang
46
direkomendasikan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta dengan tujuan agar jumlah petak KJA dapat terkontrol. Bagi pengusaha yang ingin membuat sejumlah petak KJA, maka mereka harus mendapatkan surat rekomendasi dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta dengan diketahui oleh Bupati Purwakarta. Kemudian surat rekomendasi SIUP tersebut diajukan ke Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Purwakarta untuk mendapatkan izin usaha yang nantinya dikoordinasikan dengan pihak PJT II. Adapun masa berlaku SIUP yaitu satu tahun. Pada awalnya jumlah KJA di Waduk Jatiluhur masih terkontrol dan sesuai dengan peruntukannya, namun dikarenakan banyaknya tumpang tindih kepentingan dari berbagai pihak maka jumlah KJA di Waduk Jatiluhur semakin tidak terkendali (PJT II, 2017).
Gambar 4.7 Tampak Atas Keramba Jaring Apung di Waduk Jatiluhur (Diskanak, 2017).
Oleh karena itu, sejak tahun 2015 pembuatan dan perpanjangan SIUP di Waduk Jatiluhur sudah ditiadakan seiring dengan mulai diberlakukannya program
47
penertiban KJA atau yang sering dikenal dengan Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. 4.2 Kualitas Air Waduk Jatiluhur Waduk Jatiluhur merupakan salah satu waduk terbesar di indonesia dan dikategorikan sebagai waduk multi guna karena memiliki berbagai macam fungsi. Waduk ini memiliki fungsi utama untuk memenuhi kebutuhan irigasi lahan persawahan sekitar 242.000 ha, pasokan air baku minum DKI Jakarta dan sekitarnya, pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 187,5 MW, pengendali banjir di Kabupaten Karawang, Bekasi dan Jakarta, pasokan air untuk industri dan untuk budidaya perikanan darat seluas 20.000 ha, untuk pariwisata dan olahraga air. Lebih dari sembilan juta penduduk di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memanfaatkan air ini untuk kehidupan, sebagian besar (87%) digunakan untuk irigasi sementara sisanya untuk kebutuhan domestik dan air industri. Bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai sumber pasokan air baku minum bagi PDAM dan PAM Jaya dengan sekitarnya 85% tergantung pada Waduk Jatiluhur (Hamzah et al, 2016). Menurut Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2000 tentang peuntukan air dan baku mutu air pada Sungai Citarum dan anak-anak sungainya di Jawa Barat. Seharusnya peruntukan air Waduk Jatiluhur harus memenuhi peuntukan air dan baku mutu air golongan B;C;D yaitu dapat digunakan untuk air minum, perikanan, irigasi, PLTA dan lain-lain. Namun saat ini, kondisi perairan Waduk Jatiluhur cenderung menurun. Berdasarkan data time series kualitas air di Waduk Jatiluhur, salah satu faktor yang mengakibatkan penurunan kualitas air di
48
waduk Jatiluhur adalah berasal dari hasil dekomposisi limbah organik yang berasal dari KJA. Sehingga dalam penelitian ini dilakukan analisis status mutu air dengan menggunakan metode STORET untuk mengetahui kondisi kualitas air di Waduk Jatiluhur. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data kualitas air di daerah Pasir Kole terhadap baku mutu air sesuai dengan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2000. Daerah Pasir Kole (zona V) ini merupakan salah satu daerah di Waduk Jatiluhur yang cukup banyak melakukan aktivitas KJA. Adapun beberapa parameter yang dianalisis diantaranya parameter fisika (suhu, zat padat terlarut, kekeruhan) dan kimia (pH, oksigen terlarut, besi (Fe), Mangan (Mn), seng (Zn), amoniak bebas (NH3-N), nitrat (NO2-N), Nitrit (NO2-N), sulfat (SO4), Khlorida (Cl), sulfida (H2S), kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand/BOD) dan Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD)). Hasil analisis data pada tahun 2014 menunjukan bahwa terdapat tujuh parameter kualitas air yang melebih baku mutu air golongan B;C;D yaitu pH, Zn, Amonia bebas, Nitrit, Sulfida, BOD dan COD. Kemudian pada tahun 2015 menunjukan bahwa terdapat 6 parameter yang melebihi baku mutu air golongan B;C;D yaitu parameter Zn, Amonia bebas, Nitrit, Sulfida, BOD dan COD. Begitupun dengan hasil analisis kualitas air tahun 2016 menunjukan bahwa terdapat 6 parameter yang melebihi baku mutu air golongan B;C;D yaitu parameter suhu, pH, Amonia bebas, Sulfida, BOD dan COD. Hasil parameter kualitas air pada tahun 2017 menunjukan bahwa terlihat masih terdapat 3
49
parameter yang melebihi baku mutu air golongan B;C;D yaitu parameter amonia bebas, sulfida, dan COD. Hasil data kualitas air dapat dilihat pada lampiran 4. Dari beberapa data yang dianalisis periode 2014-2017 terlihat terdapat beberapa parameter yang sudah di atas baku mutu air golongan B;C;D diantaranya suhu, pH, Seng (Zn), Amonia Bebas (NH3-N), Sulfida (H2S), Nitrit(NO2), BOD dan COD. Berdasarkan SK Gubernur No.39 Tahun 2000 tentang peruntukan air dan baku mutu air pada Sungai Citarum dan anak-anak sungainya di Jawa Barat, suhu air yang memenuhi peruntukan golongan B; C; dan D (Air Baku, Air minum, Perikanan dan Peternakan dan lain) yaitu 28Β±3ΒΊC. Hasil data yang dianalisis menunjukan bahwa suhu tertinggi terdapat pada tahun 2016 dengan kisaran suhu perairan maksimum mencapai 33ΒΊC. Effendi (2003) mengemukakan bahwa peningkatan ataupun penurunan suhu badan air ini dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan air laut, waktu, sirkulasi udara, penutupan vegetasi (kanopi), awan, serta kedalaman. Suhu merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi kondisi ekosistem perairan. Perubahan suhu akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi di perairan seperti kimia, fisika, dan biologi. Hasil analisis data pH menunjukan bahwa pH tertinggi terdapat pada tahun 2016 yaitu 9. Dalam perairan umum seperti danau, nilai pH sangat dipengaruhi oleh sifat bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan tersebut. Ketika perairan bersifat sangat asam maka akan mengganggu respirasi organisme. Sebagai contoh pada kondisi asam toksisitas H2S dalam perairan akan meningkat, Apabila konsentrasi H2S tinggi dapat berakibat pada ikan yang dibudidayakan diantaranya
50
yaitu rusaknya organ pernafasan (insang) dan lambatnya pertumbuhan ikan (Effendi, 2003). Sedangkan pada kondisi basa maka pembentukan senyawa logam berat akan semakin tinggi, sebagai contoh semakin besar pH sistem, logam Cd(II) dan Pb(II) yang teradsorb pada asam humat yang ada diperairan semakin besar. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya pH, ikatan hidrogen antar dan inter gugus-gugus fungsional asam humat semakin berkurang akibat proses deprotonasi gugus-gugus asam pada asam humat, sehingga logam yang teradsorp semakin besar (Rahmawati, 2011). pH basa memungkinkan logam berat yang ada pada air akan terendap ke dasar perairan. Kompleks logam akan mulai terbentuk pada kondisi basa, kompleks ini akan terendap ke dasar perairan waduk dan tentunya akan terakumulasi pada tubuh ikan yang mencari makan didasar perairan waduk dan akibatnya akan sangat berbahaya bagi pengonsumsinya (Apridayanti, 2008). Begitupun dengan kandungan Zn di daerah Pasir Kole pada tahun 2014 dan 2017 menunjukan angka tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya yaitu 0,1. Nilai ini melebihi baku mutu air golongan B;C;D yaitu 0,02 mg/L. Logam Zn merupakan suatu logam berat putih keperakan dan dapat larut dalam air. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa seiring dengan berjalannya waktu maka logam Zn ini juga akan terakumulasi di dalam tubuh biota yang hidup dan mencari makan di dalamnya. Pada konsentrasi yang tinggi logam berat Zn dapat bersifat racun bagi mikroorganisme. Kadar Zn sebesar 0,015 ppm dapat menurunkan aktivitas
51
fotosintesis tumbuhan perairan, jika fotosintesis terganggu maka kandungan oksigen dalam perairan pun akan berkurang sehingga dapat mengganggu pertumbuhan ikan maupun organisme lain yang hidup membutuhkan oksigen dalam perairan (Amriani et al., 2011). Begitupun dengan kadar amonia bebas di Waduk Jatiluhur menunjukan bahwa disetiap tahunnya selalu ditemukan kadar amonia yang telah melebih baku mutu air yang ditetapkan yaitu 0,02 mg/L. Nilai tertinggi yaitu 2 mg/L terdapat pada tahun 2016. Amonia di perairan berasal dari sisa metabolisme hewan dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Kadar amonia yang tinggi dapat mengindikasikan adanya pencemaran bahan organik. Toksisitas amonia takterionisasi berbahaya bagi organisme akuatik, khususnya bagi ikan (Effendi, 2003). Karena konsentrasi NH3 bebas yang tinggi di perairan dapat menyebabkan kerusakan insang pada ikan. Selain itu tingginya konsentrasi NH3 bebas dapat menyebabkan meningkatnya kadar amonia dalam darah dan jaringan tubuh ikan, sehingga dapat mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen serta mengganggu kesetabilan membran sel (Sihaloho, 2009). Parameter lainnya yang telah melebihi baku mutu air adalah kadar H2S. Pada tahun 2016 dan 2017 ditemukan kadar H2S maksimum sebesar 0,03 mg/L. Sedangkan baku mutu air yang telah ditetapkan untuk H2S adalah sebesar 0,02 mg/L. Terjadinya peningkatan konsentrasi senyawa anorganik beracun H2S, merupakan akibat dari perombakan bahan organik yang tertimbun di sedimen perairan. Penimbunan bahan organik terjadi karena akumulasi sisa hasil metabolisme, sisa pakan dan limbah lain, yang kemudian membusuk dan
52
tertumpuk di dasar perairan. H2S merupakan senyawa sulfur yang menjadi masalah di perairan karena dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Triani et al., 2005). Hal yang serupa terjadi pada tahun 2014 dan 2015, kadar nitrit maksimum pada tahun tersebut menunjukan angka yang melebihi baku mutu air yang ditetapkan yaitu 0,1 mg/L. Padahal baku mutu air kadar nitrit untuk golongan B;C;D adalah 0,06 mg/L. Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/l dapat bersifat racun bagi organisme perairan. Bagi manusia dan hewan, senyawa ini bersifat lebih beracun daripada nitrat (Ida, 2009). Begitupun dengan nilai BOD dan COD di Waduk Jatiluhur pada tahun 20142017 menunjukan angka yang telah melebih baku mutu air golongan B;C;D. BOD tertinggi terdapat pada tahun 2016 sebesar 9 mg/L. Padahal baku mutu air untuk BOD seharusnya 6 mg/L dan untuk nilai COD di Waduk Jatiluhur dari tahun 2014-2017 menunjukan angka-angka yang melebihi baku mutu air dengan nilai tertinggi terdapat pada tahun 2016 sebesar 27mg/L. Padahal syarat yaang diperuntukan adalah sebesar 10 mg/L. Semakin tinggi nilai BOD maupun COD maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawasenyawa organik yang terkandung dalam air dan artinya semakin tercemar perairan tersebut (Alam et al., 2016). Hasil analisis data kualitas air Waduk Jatiluhur baik secara fisika maupun kimia menunjukan beberapa parameter yang telah melebihi BMA dan berikut adalah rekapitulasi data kualitas air dari tahun 2014-2017 :
53
Tabel 4.2 Rekapitulasi Data Kualitas Air di Daerah Pasir Kole pada Tahun 2014-2017 (Data Primer, 2017).
Tahun
Skor
Keterangan
2014
-80
Cemar Berat
2015
-76
Cemar Berat
2016
-72
Cemar Berat
2017
-40
Cemar Berat
Keterangan
: 2014 (Sebelum Program Pengurangan Petak KJA) 2015-2017 (Setelah Program Pengurangan Petak KJA)
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kondisi kualitas air waduk Jatiluhur telah masuk kedalam kategori tercemar berat. Artinya air yang digunakan sudah tidak lagi memenuhi peruntukan baku mutu air golongan B;C;D yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2000. Sehingga air tersebut sudah tidak layak untuk dijadikan sumber air baku minum, irigasi, PLTA, maupun untuk aktivitas perikanan dan peternakan. Namun jika diperhatikan meskipun dari tahun 2014-2017 terlihat bahwa kondisi perairan waduk masih dalam kondisi tercemar berat namun terlihat bahwa sudah mulai terjadi peningkatan skor STORET setiap tahunnya seiring dengan adanya program pengurangan sejumlah petak KJA di Waduk Jatiluhur. Berikut adalah gambar grafik penurunan jumlah petak KJA di Waduk Jatiluhur :
40,000
25,951
24,415
20,000
22,618
21,083
0 2014
2015
2016
2017
Jumlah KJA
Gambar 4.8 Grafik Penurunan Jumlah KJA di Waduk Jatiluhur Dari Tahun 2014-2017
54
Dari gambar tersebut terlihat bahwa setiap tahun mulai terjadi penurunan jumlah KJA, meskipun saat ini belum telihat signifikan dan belum terjadi perubahan status mutu air namun dapat dipastikan bahwa limbah yang berasal dari sisa pakan yang terbuang ke perairan waduk mulai berkurang. Dari data STORET pun menunjukan bahwa skor status mutu air dari tiap tahun mulai membaik. Pangripta (2004) mengemukakan bahwa pengurangan jumlah petak KJA akan menurunkan kadar limbah yang berasal dari pakan yang tidak terakumulasi dari keramba jaring apung. Sebagai contoh sisa pakan yang terbuang untuk padat tebar 5 kg/m3 adalah 62,30 gram (24,92%) dari pakan yang diberikan sebanyak 250 gram dengan nilai P total 0,052% dan N total = 3,02%. Banyaknya limbah untuk 1 kg pakan adalah 249,2 gram (1 ton pakan=249,2 kg). Jika diumpamakan jumlah KJA di waduk 14000 petak maka untuk memproduksi 1 ton ikan diperlukan pakan sebanyak 1600 kg pakan, rata produksi per petak permusim adalah 1 ton, jika semua KJA beroperasi maka jumlah pakan yang diperlukan sebanyak 22.400 ton. Jumlah pakan yang terbuang = 24,92/100 X 22.400 ton = 5.582,08 ton atau dengan nilai Ptotal=0,052/100 X 5582,08=2,90 ton dan N total =3,02/100 X 5.582,08= 168,57 ton. Melalui pendekatan beban maksimum kandungan senyawa dari sisa pakan dan sisa metabolit yang tidak mengubah tingkat eutrofikasi perairan waduk, maka dapat diprediksi beban pencemaran yang dapat ditolerir suatu perairan. Sebagai contoh beban maksimum kandungan fosfor (P) adalah 0,367 kh P2O5/Ha/Hari yang dapat ditoleransi. Luas Waduk Jatiluhur adalah 8.300 ha (luas efektif pada elevasi 85dpl adalah 5.320 Ha). Maka beban P2O5 yang dapat ditolerir perhari
55
adalah 5320 x 0,367 = 1963.45 kg (Pangripta, 2004). Adapun beberapa parameter lain yang terkandung dalam pakan ikan yang dapat mempengaruhi kualitas air waduk diantaranya yaitu NO2, NO3, NH4, NH3 and P04. Jika jumlah petak KJA menurun, maka seharusnya beban pakan yang terbuang keperairan pun akan mulai menurun sehingga beban pencemaran diwaduk pun secara otomatis akan berkurang. Pangripta (2004) mengemukakan bahwa jika mengacu pada 0,30% dari luas perairan (status perairan waduk adalah pada tingkat eutrofik) dengan luas waduk pada elevasi 87,5 dpl (5.320 ha), maka jumlah KJA yang diijinkan adalah 0,30/100 x 5.320 = 15,96 ha (159.600 m2). Luas satu petak adalah 49 m2 (ukurab 7x7x3 m3), jadi jumlah KJA ideal yang diijinkan di Waduk Jatiluhur adalah 159.600 : 49= 3.257 petak, Apabila jumlah KJA memenuhi batas ideal yang ditentukan tentunya pencemaran di Waduk tidak akan seperti sekarang ini. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Pangripta (2004) bahwa pengurangan jumlah KJA akan mengurangi beban pencemaran air di Waduk Jatiluhur. 4.3 Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih sebagai Upaya untuk Mengembalikan Kondisi Waduk Jatiluhur Mengingat akan pentingnya fungsi dan manfaat dari air Waduk Jatiluhur maka diperlukan suatu upaya untuk menyelamatkan kondisi perairan waduk. Salah satunya yaitu dengan merevitalisasi kawasan tersebut guna mengembalikan dan meningkatkan fungsi waduk seperti sebelumnya. Revitalisasi lahir dari upaya untuk memberdayakan sebuah kawasan ketika fungsi dari kawasan tersebut sudah mulai menurun (Martokusumo, 2008).
56
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Purwakarta untuk mengembalikan kondisi Waduk Jatiluhur adalah dengan membuat suatu program yang diberinama dengan βOperasi Danau Jatiluhur Jernihβ. Program ini berfokus pada penertiban sejumlah petak KJA di Waduk Jatiluhur yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas perairan Waduk Jatiluhur. Kualitas air yang buruk berpotensi mengganggu fungsi utama suatu waduk dan mengancam keberlangsungan pengelolaan sumber daya air serta kerusakan lingkungan.
Gangguan
terhadap
fungsi-fungsi
Waduk
Jatiluhur
dapat
menimbulkan kerugian yang besar seperti terganggunya sistem irigasi, terganggunya pasokan air baku untuk DKI dan warga sekitar maupun industri, rusaknya turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA), tingginya biaya pemeliharaan, sejumlah pintu air bendungan tidak dapat dioperasikan otomatis dan turunnya umur ekonomis peralatan (life cycle) akibat korosi, dapat tidak tertanggulanginya banjir pada Kabupaten Karawang dan Bekasi, rusaknya budidaya perikanan dan terganggunya kegiatan pariwisata (Hamzah et al., 2016). Berbagai alasan inilah yang melatar belakangi dikeluarkannya SK Bupati Purwakarta
No.
523.31.05/Kep.286-DLH/2017
terkait
dengan
kebijakan
pembentukan tim Satuan Tugas Operasi Danau Jatiluhur Jernih yang memiliki tugas pokok yaitu merencanakan, merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan Operasi Danau Jatiluhur Jernih, melaksanakan kegiatan Operasi Danau Jatiluhur Jernih secara terencana, terpadu dan terkoordinasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
memberikan masukan dan
57
rekomendasi kepada Bupati mengenai kebijakan yang berkaitan Operasi Danau Jatiluhur Jernih (PJT II, 2017). Program ini melibatkan gabungan beberapa instansi pemerintah yang terdiri dari Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II, Kodim 0619 Purwakarta,
Polres Purwakarta, Kejaksaan Negeri Purwakarta,
Dinas Lingkungan Hidup Purwakarta, Dinas Peternakan dan Perikanan Purwakarta, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Dinas Perhubungan Kabupaten Purwakarta, Dinas Komunikasi dan Informatika, Pol PP Kabupaten Purwakarta, Pol Air Jatiluhur Polres Purwakarta, Koramil Jatiluhur, Kecamatan Jatiluhur (PJT II, 2017). Program penertiban ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2015 dan mulai intensif dilakukan kembali pada bulan April 2017. Adapun target operasi penertiban perhari yaitu sebanyak 100 petak yang dilakukan 4 kali dalam seminggu. Sehingga diharapkan pada bulan Desember 2017 jumlah petak KJA yang sudah ditertibkan adalah sebanyak Β±15000 petak (PJT II, 2017). Adapun wilayah yang menjadi target operasi penertiban pada tahap awal tahun 2017 adalah wilayah zona V, hal ini dikarenakan jumlah petak KJA di zona tersebut lebih banyak dibandingkan dengan zona lainnya dan mayoritas pemilik petak KJA merupakan petani dengan KTP non Purwakarta. Kemudian pada tahun 2018 pemerintah setempat merencanakan bahwa usaha KJA di Waduk Jatiluhur sudah dikosongkan.
58
Gambar 4.9 Tim Satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih (PJT II, 2017).
Adapun yang menjadi syarat KJA ditertibkan diantaranya yaitu (PJT II, 2017): a) KJA yang rusak, baik itu milik penduduk Purwakarta maupun milik penduduk diluar Purwakarta dengan kriteria : 1) Kerangka besi KJA mulai keropos atau melengkung tidak beraturan 2) Kayu/bambu pada kerangka KJA yang digunakan untuk pijakan sudah lapuk atau tidak terpasang sebagaimana mestinya 3) Drum/sterofoam pelampung mulai keropos dan atau tidak berfungsi dengan baik 4) Kerangka KJA sudah tidak memungkinkan untuk dipasang kantong jaring 5) Kontruksi KJA dapat membahayakan keselamatan pembudidaya ataupun orang lain yang beraktifitas di KJA 6) Kontruksi KJA sudah tidak stabil mengapung diperairan atau hampir tenggelam 7) KJA telah ditinggalkan cukup lama oleh pemilik/penjaganya sehingga tidak terawat dan terlihat kumuh b) KJA yang tidak produktif yaitu KJA yang tidak ditanam/ diisi ikan/ kosong dan KJA yang tidak jelas kepemilikannya
59
c) KJA yang kepemilikannya milik penduduk diluar Purwakrta akan ditertibkan sebanyak 30% dari jumlah KJA yang ada untuk tahap pengambilan awal dan akan ditertibkan kembali dalam jangka waktu maksimal 3 bulan kemudian, sehingga Desember 2017 KJA yang kepemilikannya non Purwakarta tidak ada lagi. Dalam pelaksanaanya cukup banyak hambatan yang dialami oleh tim satgas selama program dijalankan. Dari gambar berikut dapat dilihat bahwa terdapat berbagai aksi protes dari petani KJA dan para buruh (pekerja) terkait dengan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih.
Gambar 4.10 Penolakan Petani KJA terhadap Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (PJT II, 2017).
Berbagai respon yang dikemukakan oleh masyarakat akan menentukan keberhasilan dari program yang dijalankan. Sehingga selama program ini berlangsung akan banyak ditemukan berbagai variabel yang akan mempengaruhi keefeektivan program. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji mengenai berbagai variabel yang mempengaruhi keefektivan Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih.
60
4.4 Efektivitas Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih Dalam penelitian ini dilakukan penelitian evaluatif mengenai keefektivan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari adanya kebijakan, dalam
rangka
menentukan rekomendasi atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan akhirnya adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Evaluasi program dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan program yang dijalankan (Arikunto, 2003). Dalam hal ini yaitu tingkat keberhasilan atau keefektifan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan dari program. Budiani (2009) menyatakan bahwa ada 3 varibel yang mempengaruhi nilai kefektifan suatu program, diantaranya yaitu variabel input (tingkat kesiapan program), variabel proses (proses implementasi program) dam variabel output (capaian akhir yang di harapkan). Dari ketiga variabel yang tersedia maka dapat ditarik kesimpulan rata-rata mengenai program yang dilakukan sudah efektif atau tidak. Berikut adalah masing-masing nilai kefektifan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih yang ditinjau dari berbagai variabel : 4.4.1 Tingkat Kesiapan Program Salah satu variabel yang mempengaruhi keefektifan program adalah tingkat kesiapan segala hal yang berkaitan dengan implementasi program, variabel ini sering juga disebut dengan variabel input (Slamet, 2005). Dalam penelitian ini dilakukan analisis mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi variabel input diantaranya tujuan kegiatan, tingkat sosialisasi kegiatan dan ketetapan sasaran kegiatan.
61
1) Tujuan Program/Kegiatan Permasalahan KJA di Waduk Jatiluhur merupakan suatu permasalahan serius yang harus segera diselesaikan. Limbah organik yang sebagian besar dihasilkan dari aktivitas KJA berdampak luas terhadap penurunan fungsi dan manfaat dari Waduk Jatiluhur. Waduk Jatiluhur memiliki fungsi utama sebagai sumber irigasi yang aliran airnya dipakai untuk mengairi 242.000 ha persawahan. Dampak penggunaan air yang sudah tercemar pada bidang pertanian khususnya sawah dapat menyebabkan padi - padi tumbuh tidak optimal hingga kematian. Selain untuk pengairan sawah aliran air irigasi dari Waduk Jatiluhur juga digunakan untuk kegitan pertanian lainnya, kualitas air yang tercemar berat bahan kimia atau logam tertentu dapat menurunkan jumlah hasil panen, air yang tercemar bahan beracun (toksik) tidak dapat dipakai untuk membersihkan hasil panen seperti sayuran atau buah-buahan karena dapat membahayakan yang mengkonsumsinya (Hamzah et al., 2016). Dampak lain yang dirasakan langsung oleh pemukiman penduduk di sekitar aliran sungai dan anak sungai/saluran irigasi, kualitas air yang tercemar membuat masyarakat tidak dapat menggunakannya untuk mandi cuci dan kakus serta kebutuhan lainnya. Keresahan masyarakat ini dapat mengganggu tingkat kesejahteraan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (Hamzah et al., 2016). Begitupun dampak penurunan kualitas air Waduk Jatiluhur bagi kondisi fisik bendungan, diperlukan tambahan anggaran operasional terhadap pemeliharaan infrastruktur dan fisik bangunan waduk setiap tahun. Pengaruh kualitas air yang terus memburuk berakibat pada sifat korosif sehingga merusak turbin pembangkit
62
listrik dan pintu-pintu pengalih air atau spill way bahkan juga berakibat terjadinya kerusakan pada dinding-dinding dam (korosi beton) yang secara kebetulan usianya telah mencapai separuh lifetime-nya. Akibat adanya korosi pada pintu air menyebabkan menurunnya umur ekonomis (life cycle) dari 10 tahun menjadi 4 tahun, hal tersebut berdampak signifikan pada meningkatnya biaya pemeliharaan (Hamzah et al., 2016). Bagi sektor pariwisata, pencemaran air menyebabkan berkurangnya nilai estetika waduk. Berbagai aktivitas menarik yang mengandalkan pesona air waduk Jatiluhur mulai terganggu. Seperti wahana kampung air, wahana olahraga air, wahana rekreasi ikan kolam jaring terapung saat ini fungsinya sudah mulai menurun karena kondisi kualitas air yang semakin memburuk. Dampak lain yang mulai dirasakan yaitu bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM dan PAM Jaya) memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk melakukan proses pengolahan air yang tercemar. Selain itu pada pipa distribusi air baku, bahan organik secara tidak langsung dapat menimbulkan kerak yang dapat mengakibatkan pemampatan, mempengaruhi aliran air, menaikkan faktor kekasaran dan mengakibatkan debit turun (Hamzah et al., 2016). Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ini memiliki tujuan utama yaitu mengembalikan fungsi utama waduk seperti fungsinya semula, yaitu sebagai sumber irigasi, PLTA, air minum, rekreasi yang fungsinya sudah mulai terganggu salah satunya diakibatkan oleh jumlah KJA di waduk yang sudah melebihi batas yang telah ditentukan. Siagian (1987) mengemukakan bahwa ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau
63
tidak, beberapa diantaranya yaitu: kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan agar implementer dalam pelaksanaan kegiatannya dapat terarah dan tujuan kegiatan pun dapat tercapai. Kemudian, kejelasan strategi pencapaian tujuan, strategi ini merupakan berbagai upaya dalam mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan kegiatan. Tujuan merupakan pedoman dalam pencapaian program dan aktivitas serta memungkinkan untuk terukurnya efektivitas dan efisiensi program (Wahyu, 2011). Dalam penelitian ini nilai keefektifan tujuan suatu program, dihitung dengan cara mengetahui jumlah responden yang memahami tujuan program yang dilakukan. Berdasarkan jawaban responden terkait dengan pengetahuan mereka terhadap tujuan program penertiban KJA didapat sebaran data seperti tampak dalam tabel berikut : Tabel 4.3 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Tujuan Program Penertiban KJA (Data Primer, 2017).
No
Jawaban Responden
Persentase (%)
1
Sangat Tidak Setuju
1,45
2
Tidak Setuju
28,99
3
Ragu-Ragu
4,35
4
Setuju
60,87
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
4,35 Cukup
Sebagian besar responden mengetahui tujuan dari program yang dilaksanakan dengan jumlah presentase sebesar 65,22 % dan yang menjawab tidak mengetahui yaitu sebesar 30,43%, sedangkan responden yang menjawab ragu-ragu sebesar
64
4,35%. Berdasarkan jawaban responden mengenai tujuan program penertiban KJA diperoleh jumlah realisasi sebesar 45 orang dengan jumlah target 69, maka nilai efektivitas yang didapat adalah 65,22% . Jika disesuaikan dengan tabel interpretasi Arikunto (1988) maka angka 65,22% mengahasilkan nilai yang cukup dan menandakan bahwa 65,22% responden (petani KJA) mengetahui tujuan dari program, sehingga diharapkan program penertiban KJA ini akan sesuai dengan apa yang telah ditargetkan. Ketidaktahuan responden mengenai tujuan program penertiban KJA kemungkinan disebabkan karena responden tidak hadir pada saat sosialisasi program karena dalam sosialisasi tersebut dijelaskan mengenai manfaaat serta tujuan dari program yang dilakukan. Dalam program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ternyata jumlah responden yang mengetahui tujuan dan strategi pencapaian tujuan program sudah cukup banyak. Selanjutnya bergantung kepada sikap kooperatif petani dalam mendukung target yang hendak dicapai. 2) Tingkat Sosialisasi Program/Kegiatan Sosialisasi merupakan aktivitas untuk mentransfer informasi dari seseorang kepada orang lain atau dari kelompok kepada kelompok lain yang bertujuan agar suatu program atau kebijakan dapat diketahui, dipahami, dihayati serta dapat diimplementasikan (Ikasari, 2015). Sosialisasi itu sendiri sangat penting adanya, karena bila tidak ada sosialisasi maka bisa dipastikan apapun tujuan yang kita maksudkan untuk diri kita sendiri ataupun untuk orang lain tidak akan tercapai. Sosialisasi merupakan titik awal yang menentukan keberhasilan program/kegiatan dalam mencapai tujuannya (Susiani, 2013). Dalam penelitian ini, nilai efektifitas
65
sosialisasi dihitung dengan mengetahui jumlah responden yang mengetahui adanya sosilisasi program. Berikut adalah sebaran data dari jawaban responden mengenai sosialisasi yang dilakukan : Tabel 4.4 Jumlah Responden yang Mengetahui Adanya Sosialisasi Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
No 1
Jawaban Responden Sangat Tidak Setuju
Persentase (%) 1,45
2
Tidak Setuju
26,09
3
Ragu-Ragu
4,35
4
Setuju
63,77
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
4,35 Cukup
Mayoritas reponden menjawab yang mengetahui adanya sosialisasi yang dilakukan oleh tim satgas dengan nilai presentase sebesar 68,12%. Jumlah responden yang menjawab tidak setuju dan ragu-ragu adalah sebesar 27,54% dan 4,35%. Mandagi (2009) mengemukakan bahwa upaya mewujudkan efektivitas sosialisasi tidak pernah lepas dari sebuah koordinasi dan kerjasama antara penyelenggara dan partisipan. Jika dilihat dari jumlah kehadiran responden yang mengetahui adanya sosialisasi, dari 69 orang yang diwawancara, terdapat 47 responden yang menghadiri sosialisasi program penertiban KJA, sisanya tidak dapat mengahadiri sosialisasi dikarenakan berbagai kepentingan. Sehingga nilai efektivitas yang didapat dari sosialisasi program adalah 68,12%. Nilai ini menunjukan angka yang cukup jika mengikuti standar acuan nilai efektivitas yang dikemukakan oleh Arikunto (1988).
66
Selain itu menurut Mandagi (2009), adapun faktor lain yang mempengaruhi efektivitas sosialisasi diantaranya yaitu : media yang digunakan untuk sosialisasi, sistem yang digunakan untuk sosialisasi dan ketersediaan waktu dan tempat sosialisasi. Sosialisasi yang dilakukan dalam program ini, berupa penyuluhan kepada masyarakat yang disampaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat di tiga tempat yang berbeda. Di desa Tanggul Kayat, Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta sosialisasi dilakukan pada tanggal 23 Maret 2017 dengan pembicaranya langsung disampaikan oleh ketua tim Satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih yaitu bapak Dandim 0619/Purwakarta yang dihadiri oleh Β±400 orang peserta (petani KJA).
Gambar 4.11 Sosialisasi Penertiban KJA di Desa desa Tanggul Kayat, Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta (PJT II, 2017).
Di desa Pasanggrahan Kp.Cilangohar, Kecamatan Tegal Waru sosialisasi dilakukan yang dilakukan pada tanggal 24 Maret 2017 oleh Diskanak Kabupaten Purwakarta, Bagian hukum Pemda Purwakarta, dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta.
67
Gambar 4.12 Sosialisasi Penetiban KJA di Desa Pasanggrahan, Purwakarta (PJT II, 2017).
Di Desa Kutamanah, Kecamatan Sukasari Sosialisasi dilakukan pada 25 Maret 2017 dengan pembicara dari Diskanak Kabupaten Purwakarta, Bagian Hukum Pemda Purwakarta, dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta.
Gambar 4.13 Sosialisasi Penetiban KJA di Desa Kutamanah, Kecamatan Sukasari Purwakarta (PJT, 2017).
Dalam pelaksanaanya, sosialisasi penertiban KJA tidak hanya dilakukan saat sosialisasi saja, sosialisasi dilakukan secara terus menerus saat penertiban KJA dilakukan baik saat pendataan ulang (registrasi ulang) untuk mengetahui jumlah KJA yang real dilapangan ataupun saat petugas menentukan target-target operasi penertiban. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kesalahpahaman.
68
Dalam situasi seperti ini sering kali masyarakat mudah terprovokasi dikarenakan berbagai kepentingan tertentu. Dengan adanya sosialisasi diharapkan dapat membuat petani KJA mengerti tentang tujuan dan manfaat dari penertiban KJA sekaligus dapat merubah pola pikir dan membuat mereka mau untuk kooperatif dalam ikut mendukung terlaksananya program penertiban KJA di Waduk Jatiluhur. Meskipun nilai keefektivan sosialisasi sudah cukup baik namun masih perlu dilakukan beberapa perbaikan dalam melakukan sosialisasi agar tujuan program dapat tercapai lebih optimal dan dapat diterima oleh seluruh petani KJA di Waduk Jatiluhur.
Gambar 4.14 Sosialisasi Penertiban KJA Saat Tim Satgas Saat Menentukan Target-Target Operasi Penertiban KJA (Dokumen Pribadi, 2017).
3) Ketepatan sasaran program/kegiatan Ketepatan sasaran program merupakan sesuatu yang menentukan apakah hasil (tujuan) yang diinginkan dari program benar-benar bernilai atau tidak (Dunn, 2003). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketepatan sasaran suatu program diantaranya meliputi tahun ditetapkannya sasaran, pihak yang menetapkan sasaran program, ukuran atau pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan sasaran,
69
ketepatan ukuran yang digunakan dalam menetapkan sasaran dampak negatif yang dirasakan (Marpaung, 2013). Dalam penelitian ini nilai ketepatan sasaran program dilihat dari ukuran atau pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan sasaran. Nilai efektivitas dapat diketahui dengan menghitung jumlah responden yang menyetujui bahwa program yang dilakukan sudah tepat sasaran atau tidak yang didasarkan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Data
mengenai
persebaran
jawaban
responden mengenai ketepatan sasaran program dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.5 Respon Responden terhadap Ketepatan Sasaran Program Penertiban KJA (Data Primer,2017).
No 1
Jawaban Responden Sangat Tidak Setuju
2
Tidak Setuju
50,72
3
Ragu-Ragu
5,80
4
Setuju
40,58
5
Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
Persentase (%) 1,45
1,45 Agak Rendah
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hanya 42,03% responden yang menjawab setuju bahwa program penertiban KJA merupakan sasaran yang tepat guna memperbaiki kualitas perairan Waduk Jatiluhur. Sisanya yaitu 52,17% menjawab tidak setuju dan 5,80% menjawab ragu-ragu. Berdasarkan jawaban dari responden diperoleh hasil nilai efektivitas sebesar 42,03%. Jika disesuaikan dengan standar acuan efektivitas menurut Arikunto (1988), maka nilai efektivitas untuk ketepatan sasaran agak rendah. Sebagian besar petani beranggapan bahwa dampak negatif yang akan dirasakan oleh masyarakat akan lebih banyak jika dibandingkan dengan dampak positifnya terutama berkaitan
70
dengan kondisi sosio-ekonomi petani pasca penertiban dilakukan. Seperti hilangnya mata pencaharian masyarakat Jatiluhur, tidak hanya petani ikan saja yang terancam kehilangan mata pencahariaannya, namun usaha-usaha lain seperti warung, kuli pakan, kuli angkut, bandar pakan, bandar ikan semua unit usaha yang bergantung pada KJA akan terancam gulung tikar. Menurut Makmur (2011) penentuan sasaran yang tepat, baik yang ditetapkan secara individu maupun secara organisasi sangat menentukan keberhasilan aktivitas kegiatan.
Jika sebagian
masyarakat beranggapan bahwa program yang dijalankan kurang tepat sasaran, maka akan menghambat proses pelaksanaan program. Namun meskipun jawaban responden terhadap ketepatan sasaran program agak rendah namun hasil dari target operasi penertiban cukup baik. Berikut adalah rekapitulasi data perbandingan antara target operasi penertiban dengan jumlah KJA yang berhasil ditertibkan pada tahun 2014-2017 : Tabel 4.6 Rekapitulasi Data Jumlah Target Operasi Penertiban dan Kondisi Real Penertiban
Tahun
Target Penertiban (Petak)
Jumlah KJA yang Ditertibkan (Petak)
Jumlah KJA Setelah Ditertibkan (Petak)
2015
-
1.536
24.415
2016 2017
2000
1797 1.535/18 hari
22.618 21.083
100 petak/hari
Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah total KJA yang sudah berkurang di Waduk Jatiluhur adalah sebanyak 4.686 atau 18,05% dari jumlah total KJA di Waduk Jatiluhur. Pada awal tahun 2015 tidak ada target operasi penertiban dikarenakan pada saat itu proyek ini masih dalam masa percobaan. Berpacu pada
71
hasil penertiban yang didapatkan pada tahun 2015, maka target sasaran operasi penetiban pada tahun 2016 mulai ditingkatkan menjadi 2000 petak dalam satu tahun. Adapun jumlah KJA yang berhasil ditertibkan adalah 1.797 petak, artinya 89,85% target tercapai. Sedangkan untuk tahun 2017 target pertahun berubah menjadi 15.000 petak dengan target perhari sebanyak 100 petak. Adapun jumlah KJA yang behasil ditertibkan selama 18 hari adalah 1.535 petak. Angka ini pun cukup baik karna jika dihitung nilai keefektifannya adalah sebesar 85,27%. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim satgas, pada awal masa penertiban memang masyarakat cukup lunak dalam memberikan petak KJA untuk ditertibkan, namun seiring dengan semakin berkurangnya jumlah petak KJA di waduk, masyarakat justru semakin was-was dan tim satgas semakin kesulitan dalam melakukan tugas-tugas penertiban. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Makmur (2011), jika bagi masyarakat sasaran yang ditetapkan itu kurang tepat, maka akan menghambat pelaksanaan berbagai kegiatan itu sendiri dikedepannya. Oleh karena itu untuk dapat mempertahankan proyek ini terus berjalan, maka diperlukan suatu pemahaman dan konsep yang sama antara masyarakat dan pemerintah mengenai manfaat dan keuntungan dari program yang dilakukan. 4.4.2 Proses Implementasi Program Variabel proses merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi keefektifan suatu program yang dilihat dari bagaimana proses dari suatu program berlangsung (Susiani, 2013). Dalam penelitian ini nilai variabel proses ini ditentukan dengan mengetahui jawaban dari responden terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi
72
proses berlangsungnya kegiatan seperti respon masyarakat terhadap program dan pemantauan yang dilakukan. Berikut adalah jawaban responden mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi kefeektivan program dilihat dari variabel proses : 1. Respon Responden terhadap Program Efektif atau tidaknya suatu program atau kegiatan dapat dilihat dari respon masyarakat terhadap program/kegiatan yang diselenggarakan. Respon berasal dari kata response, yang berarti jawaban, balasan, atau tanggapan (reaction). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga dijelaskan definisi respon adalah berupa tanggapan, reaksi, dan jawaban. Respon seseorang atau kelompok terhadap suatu program mencakup tiga hal, yaitu: persepsi berupa tindakan penilaian (dalam benak seseorang) terhadap baik buruknya program berdasarkan faktor keuntungan dan kerugian yang akan diterima dari adanya program tersebut, kemudian sikap berupa ucapan secara lisan atau pendapat untuk menerima atau menolak program yang dipersiapkan dan juga tindakan dalam melakukan kegiatan nyata untuk peran serta atau tindakan terhadap suatu kegiatan yang terkait dengan program. Berikut adalah respon petani KJA terhadap program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Lubis et al., 2014): a) Respon responden dalam menyiapkan/menyediakan petak KJA yang siap untuk ditarik oleh tim Satgas. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganisasikan dalam seluruh tahapan pembangunan, sejak tahap sosialisai, persiapan, perencanaan,
pelaksanaan,
pemahaman,
pengendalian,
evaluasi
sehingga
73
pengembangan atau perluasannya (Suprapto, 2007). Salah satu bentuk respon masyarakat dalam mendukung keberhasilan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih adalah dengan ikut berpartisipasi dalam menyiapkan petak/kolam yang siap untuk ditertibkan. Distribusi
jawaban
responden
mengenai
kesadaran
untuk
menyiapkan/menyediakan petak KJA yang siap ditarik oleh tim satgas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.7 Respon Responden dalam Menyiapkan Petak KJA yang Siap untuk Diteribkan (Data Primer, 2017).
No 1
Jawaban Responden Sangat Tidak Setuju
2
Tidak Setuju
1,45
3
Ragu-Ragu
1,45
4
Setuju
89,86
5
Persentase (%) 0
Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
7,25 Tinggi
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah responden yang setuju untuk menyiapkan/menyediakan petak KJA yang siap untuk ditarik oleh tim satgas adalah sebesar 97,10%, sedangkan jumlah responden yang tidak setuju untuk menyiapkan petak KJA sebelum ditarik oleh tim satgas hanya 1,45%, begitupun dengan jumlah petani yang menjawab ragu-ragu hanya sebesar 1,45%. Maka untuk respon responden dalam menyediakan petak KJA sebelum penertiban dilakukan, diperoleh nilai efektivitas sebesar 97,10% Angka 97,10% jika disesuaikan dengan standar interpretasi nilai menurut Arikunto (1988) menyatakan bahwa nilai ini sangat baik (tinggi) artinya mayoritas petani KJA mau ikut kooperatif dalam mendukung program tersebut karena jika
74
petani sudah menyiapkan petak KJA yang siap untuk ditarik, maka akan memudahkan kinerja tim satgas saat pelaksaan program penertiban KJA. Begitupun sebaliknya jika ada petani yang tidak mau menyedikan petak KJA untuk ditarik oleh tim satgas, maka akan menghambat proses penertiban KJA yang sedang berlangsung.
Gambar 4.15 Pemasangan/Penyerahan Tanda Siap Bongkar Bagi KJA yang Terkena Target Operasi Pernertiban (Dokumen Pribadi, 2017).
b) Respon responden terhadap berbagai fasilitas pendukung program penertiban KJA Fasilitas adalah sumber daya fisik yang harus ada sebelum suatu jasa dapat ditawarkan kepada konsumen. Salah satu ciri suatu program berjalan efektif atau tidak, dapat dilihat dari berbagai fasilitas yang menunjang keberhasilan program tersebut (Putranto,2016). Kirk Patrick (1998) dalam Mathis & Jackson (2006) mengemukakan bahwa ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengevalusi suatu program berjalan efektif atau tidak, salah satunya dapat dilihat dari reaksi masyarakat terhadap kepuasan dari berbagai fasilitas program. Maka untuk menentukan nilai efektivitas program Operasi Danau Jatiluhur Jernih,
75
dilakukan analisis mengenai respon petani KJA terhadap kepuasan berbagai fasilitas yang disediakan oleh tim satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Adapun fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk mendukung terlaksananya program penertiban KJA diantaranya yaitu tugboat, perahu kecil, perahu pol air, petugas khusus untuk penertiban, pos pengaduan, pos pengambilan barang-barang (seperti drum dan besi) dan juga disediakan tempat bagi petani yang ingin menjual besibesi ataupun drum yang sudah tidak akan dipakai kembali. Berbagai fasilitas ini diberikan kepada masyarakat sebagai bentuk pelayanan dari pemerintah atas program yang dijalankan. Sehingga diharapkan dengan tersedianya berbagai fasilitas ini kegiatan penertiban petak KJA dapat berjalan lebih optimal.
A
Gambar 4.16 Tugboat untuk Menarik KJA yang Diteribkan dan Perahu Pol Air untuk Pencarian dan Penentuan Target-Target Operasi Penertiban KJA (Dokumen Pribadi, 2017).
Gambar 4.17 Posko Pengambilan Barang KJA yang Ditertibkan (Dokumen Pribadi, 2017).
76
Gambar 4.18 Pos Pengaduan (Dokumen Pribadi, 2017).
Dari berbagai fasilitas yang disediakan untuk mendukung keefektivan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, maka berikut adalah distribusi jawaban responden terhadap tingkat kepuasan masyarakat terhadap berbagai fasilitas pendukung program Operasi Danau Jatiluhur Jernih : Tabel 4.8 Tingkat Kepuasan Responden terhadap Fasilitas Pendukung Program (Data Primer, 2017).
No 1
Jawaban Responden Sangat Tidak Setuju
Persentase (%) 0,00
2
Tidak Setuju
1,45
3
Ragu-Ragu
1,45
4
Setuju
92,75
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
4,35 Tinggi
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas petani KJA merasa puas dengan disediakannnya berbagai fasilitas untuk mendukung terlaksananya program penertiban KJA. Adapun jawaban responden yang menyatakatan setuju adalah sebesar 97,10%, responden yang menjawab ragu-ragu sebanyak 1,45% dan
77
yang menjawab tidak setuju sebesar 1,45%. Analisis dari respon responden terhadap ketersediaan berbagai fasilitas yang disediakan adalah 97,10%. Nilai ini jika diinterpretasikan sesuai dengan acuan standar nilai yang dikemukakan oleh Arikunto (1988) maka nilai ini merupakan nilai yang tinggi yang menunjukan bahwa mayoritas petani KJA merasa puas dengan disediakannya berbagai fasilitas pendukung yang menunjang keberhasilan program KJA. Namun, berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dengan tim satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih dan beberapa petani KJA masih dibutuhkan beberapa perbaikan terhadap fasilitas-fasilitas yang diberikan. Terbatasnya tugboat dan dana operasional bahan bakar untuk perahu menjadi penghambat saat kegiatan dilakukan, sehingga terkadang perahu angkut membutuhkan waktu yang lama untuk menarik petak KJA dari air hingga ke darat. Begitupun dengan fasilitas posko pengaduan maupun posko pengambilan barang-barang yang ditertibkan. Beberapa responden mengeluhkan, bahwa terkadang barang-barang yang terkena penertiban seperti besi ataupun drum yang disimpan diposko pengambilan barang, jumlahnya tidak sesuai atau berkurang, artinya masih diperlukan peningkatan pengawasan terhadap penjagaan barang-barang bukti penertiban sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan. Begitupun dengan fasilitas pengaduan, sebaiknya disedikan form resmi pengaduan sehingga bagi para petani yang hendak melakukan pengaduan, dapat langsung menuliskan pengaduan mereka, dan petugas pun memiliki data mengenai pengaduan-pengaduan tersebut,
78
sehingga saat dilakukan evaluasi kerja, petugas dapat segera memperbaiki ataupun memberikan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Jika perbaikan berbagai fasilitas ini dapat lebih ditingkatkan, maka nilai efektivitas program pun akan lebih meningkat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Putranto (2016) bahwa ketersediaan fasilitas menjadi salah satu faktor penunjang keberhasilan program. c) Tingkat kesadaran petani menyelamatkan kondisi perairan waduk Millar dan Rein dalam Rachadian (2009) mengemukakan bahwa alasan pengikutsertaan
masyarakat
kedalam
suatu
program,
akan
menentukan
keefektivan program yang dilaksanakan. Suatu rencana atau keputusan yang telah disiapkan oleh pemerintah, namun masyarakat hanya mendapatkan kesempatan untuk menyatakan setuju biasanya tidak akan mendatangkan hasil yang diharapkan pada program yang dilaksanakan. Tidak jarang ditemukan petani KJA yang terpaksa mengikuti program/aturan yang diberikan tanpa ada niat/kesadaran untuk ikut serta menyelamatkan kondisi perairan Waduk Jatiluhur. Berikut adalah hasil wawancara mengenai alasan responden mengikuti kegiatan penertiban KJA di Waduk Jatiluhur karena ingin menyelamatkan lingkungan tercantum pada tabel berikut : Tabel 4.9 Tingkat Kesadaran Responden dalam Menyelamatkan Kondisi Perairan Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
No 1
Jawaban Responden Sangat Tidak Setuju
Persentase (%) 0,00
2
Tidak Setuju
53,62
3
Ragu-Ragu
21,74
4
Setuju
24,64
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
0,00 Rendah
79
Dari tabel tersebut, maka dapat dilihat bahwa mayoritas responden dengan jumlah 53,62% tidak setuju bahwa mereka mengikuti program karena ingin menyelamatkan kondisi perairan waduk. Keikutsertaan mereka dalam program hanya karena menaati peraturan yang berlaku saja. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalului wawancara dengan beberapa orang responden, sebagian besar dari mereka kurang memahami kondisi perairan Waduk Jatiluhur saat ini. Mereka kurang paham mengenai kondisi status mutu air, bahaya, maupun resiko pengunaan air waduk yang sudah tercemar berat. Sehingga nilai efektivitas untuk alasan petani mengikuti program untuk menyelamatkan lingkungan hanya 24,64%. Jika disesuaikan dengan standar acuan interpretasi nilai yang dikemukakan oleh Arikunto (1988) maka nilai efektivitas untuk tingkat kesadaran petani mengikuti program dengan niat ingin menyelamatkan kondisi perairan waduk jatiluhur bernilai rendah. Lubis et al., (2014) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah tinggi atau rendahnya pengetahuan orang tersebut terhadap manfaat dan resiko yang diterima dari apa yang dilakukan. Oleh karena itu, sebaiknya penyebaran informasi mengenai manfaat program maupun resiko peggunaan air Waduk Jatiluhur yang sudah tercemar lebih ditingkatkan lagi, sehingga masyarakat dapat lebih memahami tujuan dari program yang dilakukan. 2. Pemantauan Program/Kegiatan Calyton dan Petry dalam Soekartawi (1995) yang menyatakan bahwa pemantauan merupakan suatu proses mengukur, mencatat, mengumpulkan,
80
memproses, dan mengkomunikasikan informasi untuk membantu pengambilan keputusan manajemen program. Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa program yang sedang berlangsung dapat terlaksana dengan baik. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tim Satgas Operasai Danau Jatiluhur Jernih, pemantauan petak KJA terus dilakukan untuk memastikan bahwa jumlah petak KJA betul-betul berkurang, tidak ada lagi petani yang melakukan kecurangan, seperti menambah petak KJA pasca pembongkaran/penertiban petak KJA. a) Monitoring Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Terhitung tanggal 25 April 2017 setiap petani diwajibkan untuk melakukan registrasi ulang dengan tujuan untuk memantau jumlah real petak KJA yang tersisa di Waduk Jatiluhur. Berikut adalah data mengenai jumlah responden yang mengetahui adanya pemantauan selama program dilakukan : Tabel 4.10 Jumlah Responden yang Mengetahui Adanya Pemantauan selama Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer ,2017).
No
Jawaban Responden
Persentase (%)
1
Sangat Tidak Setuju
0,00
2
Tidak Setuju
31,88
3
Ragu-Ragu
10,14
4
Setuju
57,97
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
0,00 Agak Rendah
Dari tabel tersebut, jumlah responden yang mengetahui adanya pemantauan yang dilakukan oleh Tim Satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih adalah sebesar 57,97%, sedangkan yang tidak mengetahui adanya pemantauan sebesar 31,88% dan yang menjawab ragu-ragu sebesar 10,14%. Sehingga nilai efektivitas yang
81
diperoleh adalah 57,97% dan artinya nilai efektivitas pemantauan ini berarti agak rendah. Agak rendahnya nilai efektivitas ini disebabkan karena sering kali surat edaran mengenai registrasi ulang (monitoring) yang diberikan oleh tim satgas kepada semua pemilik KJA di Waduk Jatiluhur tidak sampai kepada para pemilik KJA, baik dikarenakan pemiliknya tidak ada ditempat ataupun karena pegawainya lupa untuk menyampaikan surat tersebut kepada pemiliknya. Sehingga informasi mengenai adanya monitoring program ini pun tidak sampai kepada beberapa pemilik KJA di Waduk Jatiluhur. Oleh karena itu, sebaiknya informasi mengenai adanya monitoring perlu ditingkatkan lagi untuk meminimalisir tingkat kecurangan selama program dijalankan, sehingga nilai efektivitas program pun akan lebih baik. b) Respon terhadap sanksi yang diberikan Sanksi merupakan tindakan, hukuman yang memaksa seseorang atau kelompok untuk menepati perjanjian atau menaati ketentuan. Sanksi sangat penting untuk mengefektifitaskan suatu peraturan, karena sanksi dianggap sebagai suatu cara yang sampai sekarang masih dianggap efektif untuk memberikan efek jera bagi pelanggar hukum (Pahlevi, 2016). Berkaitan dengan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, hingga saat ini masih banyak ditemukan berbagai macam pelanggaran selama proses penertiban KJA berlangsung. Sebagai contoh, ada saja petani yang berusaha memindahkan KJA nya ke zona lain untuk menghindari target operasi penertiban. Tidak jarang juga ditemukan beberapa petani yang membuat kolam KJA baru setelah terkena
82
penertiban, sehingga saat tim satgas melakukan target operasi kembali, seolah petugas hanya akan memotong petak KJA yang sama tanpa mengurangi jumlah petak KJA yang dimiliki oleh petani. Selain itu juga banyak petani yang sengaja mengisi penuh kolamnya dengan benih ikan dengan tujuan untuk menunda waktu penertiban, karena biasanya saat kolam petani masih terisi ikan, petugas akan memberikan kelonggaran waktu untuk penertiban dilakukan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih hingga saat ini belum ada sanksi yang tegas terhadap para pelanggar peraturan. Kurangnya sanksi yang tegas membuat program penertiban ini menjadi terhambat. Sanksi sebaiknya tidak hanya diberlakukan untuk petani yang melanggar peraturan saja, namun sebaiknya sanksi juga dibuat tegas bagi para petugas penertiban KJA yang lalai melakukan tugas-tugasnya. Sehingga dengan adanya sanksi diharapkan program penertiban ini dapat berjalan lebih efektif. Berikut adalah respon petani KJA terhadap pemberian sanksi bagi para pelanggar peraturan : Tabel 4.11 Respon Petani KJA terhadap Pemberlakuan Sanksi (Data Primer, 2017).
No 1
Jawaban Responden Sangat Tidak Setuju
Persentase (%) 1,45
2
Tidak Setuju
14,49
3
Ragu-Ragu
17,39
4
Setuju
63,77
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
Berdasarkan
tabel
tersebut
mayoritas
2,90 Cukup
responden
yang
menyetujui
diberlakukannya sanksi berjumlah 66,67%, sedangkan yang tidak setuju
83
berjumlah 15,94% dan yang menjawab ragu-ragu berjumlah 17,39%. Berdasarkan jawaban responden mengenai respon responden dalam diberlakukannya sanksi diperoleh jumlah realisasi sebesar 46 orang dengan jumlah target 69, maka nilai efektivitas yang didapat adalah 66,67%. Nilai efektivitas 66,67% merupakan nilai efektivitas yang cukup jika disesuaikan dengan standar acuan interpretasi nilai Arikunto (1988). Artinya maryoritas petani KJA mendukung diberlakukannya sanksi bagi para pelanggar peraturan dengan tujuan agar program penertiban KJA berlaku adil, tidak tebang pilih. 4.4.3 Capaian yang Diharapkan dari Program Capaian program merupakan variabel output yang diharapkan dari suatu program (Susiani, 2013). Output adalah produk atau jasa tertentu yang diharapkan dapat dihasilkan oleh suatu kegiatan dari input yang tersedia untuk mencapai tujuan program (Hendrawan, 2009). Adapun capaian akhir yang diharapkan dari Program Operasi Danau Jatalihur Jernih diantaranya yaitu : jumlah KJA di Waduk Jatiluhur berkurang 15000 petak hingga akhir Desember 2017, perbaikan kualitas air, peningkatan produktivitas ikan, serta program penertiban ini menjadi milik semua masyarakat khususnya petani KJA. a) Pengurangan Jumlah KJA Sebelum program penertiban Operasi Danau Jatiluhur Jernih dilakukan berbagai upaya penyebaran informasi mengenai program yang akan dilakukan telah diberikan kepada petani KJA di Waduk Jatiluhur, seperti sosialisasi yang dilakukan pada bulan Maret 2017, surat edaran yang disebarkan kepada tiap
84
pemilik KJA di Waduk Jatiluhur, dan berbagai upaya lainnya baik secara lisan maupun tulisan. Untuk melihat keefektivan dari berbagai aksi yang dilakukan dalam medukung program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, maka dapat dilihat dari capaian program yang dilakukan, yang salah satunya adalah dengan menghitung besarnya pengurangan jumlah petak KJA setelah berbagai sosialisasi program dilakukan. Berikut adalah data hasil penertiban bulan April-Mei 2017: Tabel 4.12 Rekapitulasi Data Hasil Penertiban KJA (PJT II, 2017).
No
Tanggal Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
03 April 2017 04 April 2017 05 April 2017 06 April 2017 10 April 2017 11 April 2017 12 April 2017 17 April 2017 18 April 2017 19 April 2017 20 April 2017 25 April 2017 26 April 2017 03 Mei 2017 04 Mei 2017 10 Mei 2017 17 Mei 2017 24 Mei 2017 Total
Jumlah KJA Yang Ditertibkan 88 100 70 88 86 106 62 104 104 82 90 66 76 102 42 97 76 96 1.535
Jumlah Petani 12 9 10 12 16 10 16 16 21 10 17 13 3 12 6 17 16 20 236
Target operasi penertiban adalah 100 petak/hari. Sedangkan jumlah petak KJA yang berhasil ditertibkan oleh tim satgas pada bulan April-Mei 2017 selama 18 hari jumlahnya adalah sebesar 1535 petak. Jika dihitung nilai efektivitasnya maka diperoleh nilai sebesar 85,28%. Menurut standar acuan nilai efektivitas yang dikemukakan oleh Arikunto (1988)
85
maka nilai ini masuk kedalam kategori tinggi. Artinya sosialisasi yang dilakukan cukup efektif melihat dari jumlah petak KJA yang berhasil ditertibkan hampir mendekati target yang ditentukan. b) Jumlah responden yang merasakan kualitas air membaik Perubahan kualitas air menjadi salah satu variabel output yang diharapkan dari keberhasilan program βOperasi Danau Jatiluhur Jernihβ dengan berkurangnya jumlah KJA di Waduk Jatiluhur maka diharapkan kualitas air waduk pun akan membaik dan manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat yang tinggal disekitar waduk. Berikut adalah persebaran distribusi jawaban responden tentang perbaikan kualitas air di Waduk Jatiluhur : Tabel 4.13 Jawaban Responden Mengenai Perbaikan Kualitas Air Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
No
Jawaban Responden
Persentase (%)
1
Sangat Tidak Setuju
0,00
2
Tidak Setuju
56,52
3
Ragu-Ragu
18,84
4
Setuju
24,64
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
0,00 Rendah
Mayoritas responden tidak setuju bahwa terjadi perbaikan kualitas air pasca penertiban KJA, adapun jumlah responden yang menyatakan tidak setuju adalah sebanyak 56,52% dan yang menjawab setuju hanya 24,64% sedangkan 18,84% menjawab ragu-ragu. Sehingga nilai efektivitas untuk jawaban responden yang merasa kualitas air membaik adalah 24,64 %. Nilai efektivitas 24,64% merupakan nilai yang rendah berdasarkan standar interpretasi nilai Arikunto (1988). Sebagian besar petani belum dapat merasakan
86
perbaikan kualitas air di Waduk Jatiluhur, karena menurut mereka jumlah petak KJA di Waduk Jatiluhur masih terlampau banyak jika dibandingkan dengan jumlah petak KJA yang ditertibkan. Meskipun dari analisis STORET sudah terlihat mulai ada peningkatan skor kualitas air, namun status mutu air Waduk Jatiluhur masih dalam kondisi tercemar berat. Sehingga hal yang wajar jika perubahan kualitas air belum dapat dirasakan secara kasat mata. Namun dari 69 responden, ada 17 orang yang menyatakan bahwa mereka mulai merasakan kualitas air Waduk Jatiluhur membaik, berdasarkan wawancara dari beberapa informan, kondisi Waduk Jatiluhur saat ini cukup berbeda dari sebelumnya. Jarak antar petak KJA terlihat lebih rapih, petak KJA yang sebelumnya kosong dan sudah rusak sekarang sudah mulai berkurang, dan mereka setuju bahwa hal ini akan berdampak baik bagi perbaikan kualitas air waduk untuk ke depan. Beberapa petani menyebutkan bahwa produktivitas ikan cukup mulai membaik, meski kematian ikan masih terjadi, namun tidak sesering sebelum penertiban KJA dilakukan. b) Peningkatan Produktivitas Ikan Peningkatan produktivitas ikan merupakan salah satu variabel output yang diharapkan dari program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Zahidah et al., (2015) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas ikan di dalam kolam adalah kualitas air yang digunakan. Berdasarkan data analisis STORET, meskipun terjadi peningkatan skor dari tiap tahun, namun kondisi perairan Waduk Jatiluhur masih dalam kondisi tercemar berat. Sehingga ada kemungkinan bahwa peningkatan produktivitas ikan pun belum dapat dirasakan
87
pasca program dilakukan. Sehingga untuk memastikannya maka dilakukan wawancara kepada petani ikan di Waduk Jatiluhur. Berikut adalah jawaban responden mengenai pengaruh program Operasi Danau Jatiluhur Jernih terhadap produktivitas ikan pasca penertiban KJA : Tabel 4.14 Jawaban Responden Mengenai Peningkatan Produktivitas Ikan (Data Primer, 2017).
No
Jawaban Responden
Persentase (%)
1
Sangat Tidak Setuju
0,00
2
Tidak Setuju
60,87
3
Ragu-Ragu
7,25
4
Setuju
31,88
5 Sangat Setuju Intrepetasi Nilai Efektivitas
0,00 Rendah
Sebanyak 60,87% petani KJA belum merasakan perubahan terhadap produktivitas ikan di Waduk Jatiluhur pasca penertiban KJA. Sedangkan hanya 31,88% saja yang merasa bahwa kualitas air mulai membaik pasca penertiban KJA dan 7,25% petani menjawab ragu-ragu. Sehingga nilai efektivitas untuk peningkatan produktivitas ikan adalah 31,88 %. Berdasarkan standar interpretasi nilai Arikunto (1988) nilai tersebut memiliki makna nilai efektivitas yang rendah. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh kepada petani KJA di Waduk Jatiluhur, nilai produktivitas ikan dari sebelum dan sesudah program dilakukan masih terlihat sama saja, belum ada perubahan significant yang dirasakan, hal ini dikarenakan meskipun jumlah petak KJA di Waduk Jatiluhur sudah mulai berkurang namun masih belum sebanding dengan jumlah KJA yang ada sekarang. Sehingga peningkatan produktivitas ikan pun belum terlihat jelas.
88
c) Program penertiban KJA menjadi milik semua petani KJA Udoji (1981) menyatakan bahwa suatu program/kegiatan yang dibuat oleh pemerintah tentunya selain akan melibatkan pemerintah didalamnya baik dalam segi pembuatan, pelaksanaan ataupun evaluasinya dilapangan, kegiatan-kegiatan tersebut mengikat dan berlaku bagi semua warga masyarakat nya guna memberikan kesejahteraan yang lebih baik. Oleh karena itu, suatu program akan berjalan lebih efektif apabila mendapat dukungan penuh dari masyarakatnya. Usaha pemerintah Kabupaten Purwakarta untuk menjadikan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih menjadi milik semua masyarakat mendapatkan respon yang cukup positif dari para petani KJA. Hal ini terbukti dengan persebaran distribusi jawaban responden yang tercantum pada tabel berikut : Tabel 4.15 Respon Responden Mengenai Rasa Kepimilikan Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
No 1 2 3 4 5
Jawaban Responden Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Ragu-Ragu Setuju Sangat Setuju
Intrepetasi Nilai Efektivitas
Persentase (%) 0,00 27,54 8,70 63,77 0,00 Cukup
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang menyatakan setuju bahwa program ini merupakan milik semua masyarakat khususnya petani KJA berjumlah 63,77%. Jika disesuaikan dengan standar nilai Arikunto (1988) nilai ini merupakan nilai yang cukup. Selama ini dalam pelaksanaan program penertiban KJA, target operasi diutamakan bagi masyarakat/petani dengan KTP
89
non Purwakarta. Sedangkan untuk masyarakat Purwakarta sendiri, program penertiban lebih diintensifkan untuk tahun depan. Sehingga sering kali ada kecemberuan antar petani KJA karena merasa diperlakukan tidak adil. Tidak jarang, ditemukan unit KJA yang panjang dan sudah rusak namun dibiarkan begitu saja oleh tim satgas, mereka lebih memprioritaskan target awal yaitu petani dengan KTP non Purwakarta. Sehingga, sering kali menimbulkan kecemburuan sosial antar petani KJA. Padahal sebenarnya sebagian besar petani mendukung terlaksananya program, asalkan program ini berjalan secara adil dan merata. 4.4.4 Nilai Efektivitas Program Penertiban KJA Analisis jawaban responden dilakukan terhadap variabel-variabel indikator efektivitas program penertiban KJA yang meliputi : a) Tingkat kesiapan program (variabel input), yang terdiri dari tujuan kegiatan, tingkat sosialisasi, dan ketepatan sasaran. b) Proses implementasi program (variabel proses) yang terdiri dari respon terhadap kegiatan (respon responden dalam menyediakan petak KJA yang siap ditertibkan, respon responden terhadap fasilitas yang disediakan, tingkat kesadaran responden untuk menyelamatkan kondisi perairan waduk) dan pemantauan (monitoring dan sanksi). c) Capaian yang diharapkan dari program (Variabel output) terdiri dari hasil akhir yang diharapkan (pengurangan jumlah KJA,
kualitas air membaik,
produktivitas ikan meningkat dan program menjadi milik semua petani KJA). Dari berbagai variabel yang mempengaruhi nilai keefektivan program, maka dapat dilihat secara kesuluruhan apakah program yang dijalankan sudah efektif atau
90
tidak. Berikut adalah rekapitulasi nilai efektivitas untuk masing-masing variabel tersebut: Tabel 4.16 Rekapitulasi Data Nilai Efeketivitas Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
Persentase (%)
Interpretasi Nilai Efektivitas Kegiatan
1) Tujuan kegiatan
65,22
Cukup
2) Sosialisasi
68,12
Cukup
3) Ketepatan sasaran
42,03
Agak Rendah
Rata-Rata Proses Implementasi Program (Proses)
58,46
Agak Rendah
a) Menyediakan kolam yang siap ditertibkan
97,10
Tinggi
b) Ketersediaan fasilitas pendukung c) Kesadaran ingin menyelamatkan kondisi perairan waduk 2) Pemantauan
97,10
Tinggi
24,64
Rendah
a) Adanya monitoring
57,97
Agak Rendah
b) Adanya sanksi
66,67
Cukup
Rata-Rata
68,70
Cukup
1) Pengurangan jumlah KJA
85,28
Tinggi
2) Respon terhadap perbaikan kualitas air
24,64
Rendah
3) Respon terhadap peningkatan produktivitas ikan
31,88
Rendah
4) Rasa memiliki kegiatan
63,77
Cukup
Rata-Rata
51,39 60,37
Agak Rendah Cukup efektif
Variabel Tingkat Kesiapan Program (Input)
1) Respon terhadap kegiatan
Capaian yang Diharapkan dari Program (Output)
Total Rata-Rata
Dari data tersebut dapat dilihat berbagai kelebihan maupun kekurangan dari program yang dilakukan. Nilai variabel proses implementasi program memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 68,70%. Sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada variabel capaian akhir yang diharapkan dengan nilai rata-rata sebesar
91
51,39%. Dari tiap variabel yang di analisis dari mulai tingkat kesiapan program hingga capaian akhir program yang diharapkan, masing-masing variabel memiliki indikator-indikator nilai yang memiliki bobot tersendiri. Dalam variabel tingkat kesiapan program, indikator tingkat ketepatan sasaran program memiliki bobot nilai yang agak rendah yaitu 42,03%. Ketepatan sasaran program merupakan sesuatu yang menentukan apakah tujuan yang diinginkan dari program benar-benar bernilai atau tidak (Dunn, 2003). Sebagian masyarakat beranggapan bahwa jika ditinjau dari segi perbaikan kualitas lingkungan tentunya akan sangat bernilai dan bermanfaat khususnya bagi perbaikan kualitas air Waduk Jatiluhur. Sehingga sebagian responden beranggapan bahwa program ini cukup tepat sasaran, namun sebagian besar dari responden beranggapan bahwa dampak negatif yang akan dirasakan akan jauh lebih banyak, sehingga mereka menyatakan bahwa program ini kurang tepat sasaran khususnya bagi dampak yang akan dirasakan terhadap kondisi sosio-ekonomi petani KJA pasca program selesei dilakukan. Dengan adanya program ini mereka khawatir akan meningkatnya angka kemiskinan di Kabupaten Purwakarta, pengangguran, resiko anak putus sekolah dan lain sebagainya. Makmur (2011) mengemukakan bahwa ketepatan sasaran program harus lebih diperhatikan karena jika sasaran yang ditetapkan itu dianggap oleh masyarakat kurang tepat, maka akan menghambat pelaksanaan berbagai program itu sendiri. Sehingga diharapkan pemerintah setempat segera memberikan solusi guna meminimalisir kekhawatiran mengenai dampak negatif yang akan ditimbulkan seperti yang dikhawatirkan oleh para petani KJA di Waduk Jatiluhur.
92
Dalam variabel proses implementasi program, nilai indikator kesadaran petani mengikuti program dengan niat ingin menyelamatkan kondisi perairan waduk memiliki nilai yang rendah yaitu 24,64%. Mayoritas petani menyatakan bahwa mereka mengikuti program penertiban KJA ini dikarenakan terpaksa dan sudah menjadi ketentuan, jarang sekali petani yang memiliki niat betul-betul ingin ikut serta menyelamatkan kondisi perairan Waduk Jatiluhur, hal ini dikarenakan mereka merasa sudah lama tinggal diperairan Waduk Jatiluhur dan merasa baikbaik saja hidup bergantung pada air Waduk Jatiluhur. Hal seperti ini sangat disayangkan, karena artinya mereka belum menyadari bahaya maupun resiko menggunakan air yang sudah tercemar untuk kebetuhan hidup mereka. Minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai kualitas air menjadi salah satu faktor yang membuat rendahnya nilai efektivitas pada indikator ini. Oleh karena itu sebaiknya penyebaran data informasi mengenai kualitas air Waduk Jatiluhur perlu disampaikan kepada masyarakat secara lebih rinci kepada petani KJA. Sehingga diharapkan jika petani mulai merasa aware dengan kondisi perairan Waduk Jatiluhur, maka program yang akan dijalankanpun akan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat setempat dan nilai efektivitas program pun akan meningkat. Selain faktor alasan yang memiliki nilai efektivitas yang rendah dalam variabel proses implementasi program, indikator monitoring pun mendapatkan skor yang agak rendah. Bentuk monitoring yang dilakukan oleh tim satgas adalah dengan mewajibkan para petani untuk melakukan registrasi ulang mengenai kepemilikan jumlah KJA. Pemberitahuan mengenai registrasi ulang ini dilakukan dengan
93
memberikan surat edaran kepada seluruh pemilik KJA, namun sering kali surat edaran ini tidak sampai kepada pemilik KJA baik disebabkan karena para pemilik tidak ada di kolam atau disebabkan karena pegawai mereka tidak memberitahu adanya surat edaran tersebut. Sehingga sebaiknya pemberitahuan mengenai adanya monitoring program Operasi Danau Jatiluhur Jernih ini perlu lebih ditingkatkan lagi. Supriyatno (2014) mengemukakan bahwa pemantauan merupakan salah satu fungsi manajemen yang bertujuan untuk memungkinkan berkurangnya penyimpanganpenyimpangan, serta kelalaian dalam pelaksanaan program. Artinya melalui pemantauan maka diharapkan efektivitas program akan meningkat karena melalui pemantauan maka dapat meminimalisir berbagai kecurangan yang terjadi selama program berlangsung. Selain itu sebaiknya sanksi juga diberikan terhadap para pelaku penyimpangan jika selama monitoring dilakukan ditemukan berbagai kecurangan maupun kelalaian. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari 69 responden, sebesar 66,67% responden pun setuju bahwa sebaiknya diberlakukan sanksi yang tegas bagi para pelanggar peraturan sehingga diharapkan program yang dijalankan akan berlaku adil bagi seluruh petani KJA. Sedangkan untuk variabel lainnya yaitu variabel output, rata-rata nilai efektivitasnya menunjukan angka 51,39%. Nilai ini memiliki nilai interpretasi yang agak rendah dengan presentase terendah terdapat pada indikator perubahan kualitas air yang dirasakan oleh responden. Hanya 24,64% responden yang merasakan kualitas air waduk mulai membaik pasca penertiban KJA. Jika
94
disesuaikan dengan data analisis STORET, meskipun sudah terjadi peningkatan skor yang berkaitan dengan pengurangan jumlah petak KJA, namun kondisi perairan waduk masih dalam kondisi tercemar berat, sehingga hal yang wajar jika masyarakat belum dapat merasakan perubahan kualitas air secara kasat mata. Begitupun jawaban responden terhadap peningkatan produktivitas ikan, hanya 31,88% petani saja yang mulai merasakan peningkatan produktivitas ikan di Waduk Jatiluhur. Mungkin kedepannya jika jumlah petak KJA yang ada di Waduk Jatiluhur sudah mulai banyak berkurang, maka perbaikan kondisi perairan waduk pun akan mulai dapat dirasakan oleh masyarakat. Jika ditinjau dari segi ketercapaian target pengurangan petak KJA pada bulan April-Mei 2017, hasilnya cukup tinggi yaitu sebesar 85,22%. Namun sangat disayangkan berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh sebagian masyarakat menyatakan bahwa mereka mengikuti program karna terpaksa dan hanya menaati peraturan saja. Berbagai
respon
dari masyarakat
inilah yang nantinya
akan
terus
mempengaruhi nilai keefektivan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Jika masyarakat mendukung, maka keberhasilan program pun akan semakin baik, namun sebaliknya jika masyarakat kurang mendukung program, maka kedepannya dikhawatirkan justru akan menghambat keberhasilan dari program yang dilakukan. Dari uraian tersebut maka dapat dilihat beberapa hal yang perlu ditingkatkan demi keberhasilan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, sehingga kedepannya efektivitas program ini akan berjalan lebih baik. Maka jika disimpulkan dari semua variabel yang mempengaruhi keefetivan program maka
95
program ini berjalan cukup efektif dengan perolehan rata-rata nilai sebesar 60,37%. 4.5 Dampak Sosio-Ekonomi Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih Setiap perubahan membawa konsekuensi tersendiri bagi masyarakat. Setiap proses perubahan yang direncanakan, seiring berjalannya waktu tentu tidak terlepas dari dampak yang menyertainya. Dampak-dampak yang muncul tersebut dapat ditarik sebuah benang merah yakni adanya intervensi yang datang dari decision-making yang berpengaruh atas kondisi sebelum dan sesudahnya (Parsons,2006). Waduk Jatiluhur merupakan tempat tinggal bagi 3500 orang pekerja sekaligus merupakan tempat mata pencaharian mereka (Hamzah et al., 2016). Sebagian besar dari mereka sudah lama bergantung pada usaha ini. Sehingga dampakdampak yang ditimbulkan pasca program dilaksanakan, tidak bisa diacuhkan begitu saja, karena menyangkut kehidupan masyarakat didalamnya. Dalam menganalisis dampak program terhadap kondisi sosio-ekonomi petani KJA, pada penilitian ini wawancara dilakukan terdahap petani baik yang berasal dari Kabupaten Purwakarta maupun dari luar Kabupaten Purwakarta. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari 69 responden, rata-rata memiliki KJA di atas 20 petak dan pada umumnya mereka sudah cukup lama bergantung pada usaha KJA di Waduk Jatiluhur. Berikut adalah tabel mengenai lama waktu pengalaman usaha petani KJA:
96
Tabel 4.17 Lama Waktu Pengalaman Usaha Petani KJA di Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
No
Pengalaman Usaha
Persentase (%)
1
<1 Tahun
4,35
2
2-5 Tahun
21,74
3
6-9 Tahun
21,74
4
>10 Tahun
52,17
Total
100
Artinya jika di tafsirkan sesuai dengan standar acuan interpretasi nilai Ali (1984), maka dapat dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani ikan di Waduk Jatiluhur sudah lama melakukan usaha KJA. Kehilangan mata pencaharian menjadi ancaman utama bagi para petani ikan di Waduk Jatiluhur pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Berikut adalah berbagai jenis pekerjaan petani ikan di Waduk Jatiluhur : Tabel 4.18 Jenis Pekerjaan Petani KJA di Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
No
Jenis Pekerjaan
Persentase (%)
1
Petani KJA
75,36
2
PNS
5,80
3
Wirausaha
18,84
4
Pegawai Swasta/BUMN
0,00
Total
100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa 75,36% petani ikan hanya mengandalkan usaha KJA untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan usaha ini merupakan usaha tetap bagi mereka dan sisanya yaitu 5,80% merupakan PNS dan 18,84% bewirausaha yang lain. Jika disesuaikan dengan standar interpretasi nilai Ali (1984) maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya petani ikan di Waduk Jatiluhur hanya berprofesi sebagai petani ikan dan artinya mereka tidak memiliki usaha sampingan lain di luar. Jika pengurangan petak KJA terus dilakukan maka
97
tentunya akan berdampak besar bagi petani-petani ikan ini. Dalam penelitian ini dilakukan analisis mengenai dampak program terhadap kondisi sosio-ekonomi petani KJA. Menurut Gibson et al., (1996) tingkat sosial ekonomi adalah suatu gambaran tentang masyarakat dalam keadaan baik secara keseluruhan maupun sebagian dari masing-masing kelompoknya yang dapat dilihat melalui tingkat pendapatan, pendidikan, mata pencaharian. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga dilakukan analisis mengenai beberapa dampak sosial ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Gibson et al., (1996) dan beberapa dampak tambahan lainnya. 4.5.1 Dampak Program terhadap Pendapatan Masyarakat Jika dilihat dari angka pendapatan, pada umumnya petani ikan di Waduk Jatiluhur termasuk kedalam kategori masyarakat kelas menengah ke atas dengan penghasilan lebih dari 6 juta rupiah/bulan, penduduk dengan kategori ini cenderung lebih stabil secara finansial jika dibandingkan dengan orang lain. Namun seiring dengan berkurangnya jumlah petak KJA mereka, maka ada indikasi bahwa terjadi perubahan pendapatan petani KJA di Waduk Jatiluhur.
Tingkat Pendapatan Petani KJA Pasca Program 0% 4,35% Meningkat Tetap 95,65%
Menurun
Gambar 4.19 Data Mengenai Tingkat Pendapatan Petani KJA di Waduk Jatiluhur Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
98
Tabel 4.19 Rentang Pendapatan Petani KJA di Waduk Jatiluhur sebelum dan sesudah Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
Sebelum Jumlah Pesentase Petani (%) 2 2,90
Sesudah Jumlah Pesentase Petani (%) 7 10,14
Jumlah Pendapatan
Rata-Rata Kepemilikan KJA (Petak)
1 juta-5 juta
<8
5,1 juta- 10 juta
8-20
9
13,04
15
21,74
>10 Juta
>20
58
84,06
47
68,12
69
100,00
69
100,00
Total
Dari gambar 4.19 terlihat bahwa pada umumnya pendapatan petani KJA di Waduk Jatiluhur mulai menurun pasca program penertiban KJA dilakukan dan dari tabel 4.19 tersebut terlihat bahwa sebelum program Operasi Danau Jatiluhur Jernih dilakukan dari 69 orang responden terdapat 58 orang yang memiliki pendapatan diatas Rp.10.000.000 dan ada 11 orang responden dengan penghasilan semula diatas Rp.10.000.000 saat ini pengahasilannya mulai terlihat menurun secara signifikan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, saat ini pengahasilan mereka berkisar Rp.5000.000-10.000.000/bulan. Sedangkan sisanya sebanyak 47 orang responden menyatakan bahwa meskipun pengahasilan mereka saat ini masih diatas Rp.10.000.000 namun berdasarkan informasi yang diperoleh dapat dipastikan bahwa pendapatan mereka pun mulai berkurang. Begitupun
dengan
9
orang
responden
dengan
penghasilan
semula
Rp.5000.000-10.000.000/bulan, sebanyak 5 orang dari mereka penghasilannya mulai menurun berkisar Rp.1000.000 - 5.000.000. Sedangkan sisanya meskipun kisaran pendapatan mereka masih masuk kedalam rentang Rp.5000.00010.000.000/bulan namun dapat dipastikan juga bahwa pendapatan mereka saat inipun mulai berkurang. Pengurangan angka pendapatan ini akan terus terjadi
99
sampai program ini selesai dilakukan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa orang responden, turunnya pendapatan petani ikan ini tidak hanya disebabkan karena jumlah petak KJA yang mulai berkurang, namun disebabkan karena para petani ikan mulai merasa khawatir untuk menanam ikan di KJA karena takut ditertibkan oleh tim satgas Operasi Danau Jatiluhur Jernih, sehingga terkadang mereka membiarkan beberapa kolam mereka kosong tidak ditanami ikan. 4.5.2 Dampak Program terhadap Pengurangan Tenaga Kerja Pada usaha budidaya KJA di Waduk Jatiluhur, tenaga kerja dibutuhkan terutama untuk proses pemberian pakan dan penjagaan kolam. Setiap orang diberi tugas untuk mengelola satu unit (empat kolam). Tarif upah yang berlaku untuk setiap orang adalah Rp 750.000 per bulan (Ridwan, 2014). Pengurangan petak KJA yang diikuti dengan pengurangan pendapatan petani (pemilik) KJA tentunya akan berpengaruh terhadap jumlah pegawai/tenaga kerja dikolam. Berikut adalah data mengenai pengurangan jumlah pekerja di Waduk Jatiluhur :
Presentase Petani Yang Melakukan Pengurangan Pekerja Pasca Program
34,78% 65,22%
Petani Yang Mengurangi Jumlah Pekerja Petani yang Tidak Mengurangi Jumlah Pekerja
Gambar 4.20 Presentase Responden yang Melakukan Pengurangan Jumlah Pekerja di kolam Pasca Penertiban KJA (Data Primer, 2017).
100
Tabel 4.20 Presentase Pengurangan Jumlah Pekerja yang Dilakukan Oleh Pemilik KJA di Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017)
1
Pengurangan Jumlah Pekerja 0
2
1β2
27,53
3
>3
7,25
No
Total
Persentase (%) 65,22
100
Dari Gambar 4.20 telihat bahwa sebagian besar petani tidak mengurangi jumlah pekerja dikolam pasca penertiban dilakukan. Dari 69 orang, 45 orang responden tidak mengurangi jumlah pekerja, 7 diantaranya tidak memiliki pekerja melainkan mengurus usaha KJA mereka sendiri dan hanya terdapat 34,78% petani yang melakukan pengurangan jumlah pekerja. Artinya hanya sebagian kecil petani saja yang mengurangi pekerja dikolamnya. 27,53% petani mengurangi 1-2 orang pekerja dan 7,25% orang petani lainnya mengurangi lebih dari 3 orang pekerja dikolamnya. Dari 69 orang yang diwawancara jumlah total pekerja sebelum penarikan adalah 283 orang. Sedangkan setelah penarikan dilakukan, jumlah total pekerja berkurang menjadi 183 orang. Sehingga jika dihitung maka telah terjadi pengurangan jumlah pekerja sekitar 35,33%. Sebagian besar petani KJA yang melakukan pengurangan jumlah pekerja adalah petani dengan penghasilan ratarata diatas Rp.10.000.000/bulan Adapun jumlah responden yang melakukan pengurangan jumlah pekerja pasca program dilakukakan adalah sebanyak 24 orang dari 69 orang yang dijadikan sampel penelitian. 22 orang diantaranya adalah petani dengan penghasilan rata-rata diatas Rp.10.000.000/bulan dengan jumlah petak KJA sebelum dan sesudah penertiban masih diatas 20 petak, dan 2
101
diantaranya adalah petani dengan penghasilan rata-rata sebelum penertiban sebesar Rp.8000.000-10.000.000/bulan dengan jumlah petak KJA dibawah 20 petak. Pada umumnya petani dengan jumlah petak KJA >20 petak memiliki pekerja dikolam sebanyak 2-17 orang. Sedangkan yang memiliki jumlah petak KJA dibawah 20 petak biasanya mengurus kolamnya sendiri tanpa pekerja. Berdasarkan informasi yang diperoleh pengurangan jumlah pekerja ini dilakukan untuk memperkecil biaya pengeluaran. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap orang mengelola satu unit KJA, artinya jika jumlah unit KJA berkurang maka secara otomatis akan ada pekerja yang menganggur, dengan pendapatan usaha KJA yang menurun maka pemilik KJA pada umumnya akan memangkas biaya pengeluaran, salah satunya dengan cara mengurangi jumlah pekerja. 4.5.3 Dampak Program terhadap Perubahahan Orientasi Pekerjaan Kondisi lingkungan sangat berperan penting dalam menentukan pola kehidupan manusia, termasuk pekerjaan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap kondisi fisik dan perubahan yang terjadi pada lingkungan akan berpengaruh terhadap pekerjaan di suatu wilayah karena manusia melakukan penyesuaian dalam menentukan pekerjaan dengan memperhatikan sumber daya dan kondisi geografi wilayah tersebut. Apabila kondisi lingkungan sudah tidak nyaman pada umumnya mereka akan melakukan perubahan orientasi pekerjaan sebagai upaya adaptasi (Meidayanti,2014). dan memperoleh penghasilan untuk dapat tetap memenuhi kebutuhan hidupnya . Berikut adalah distribusi jawaban
102
responden mengenai perubahan orientasi pekerjaan pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih dilakukan : Presentase Petani KJA Yang Melakukan Perubahan Orientasi Pekerjaan 8,7% Melakukan Perubahan Orientasi Pekerjaan 91,3%
Tidak Melakukan Perubahan Orientasi Pekerjaan
Gambar 4.21 Presentase Petani KJA yang Melakukan Perubahan Orientasi Pekerjaan Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
Dari tabel tersebut telihat bahwa pada umumnya petani KJA di Waduk Jatiluhur belum memiliki keinginan untuk mengganti mata pencaharian mereka, hanya 8,70% petani saja yang sudah memiliki keinginan untuk mengganti mata pencaharian ke bidang usaha yang lain, seperti berdagang ataupun berternak baik itu diluar kota Purwakarta maupun masih di daerah Purwakarta. Kondisi lingkungan yang sudah tidak nyaman pada umumnya menjadi alasan utama bagi beberapa petani yang mulai melakukan perubahan orientasi pekerjaan. Hal ini dilakukan sebagai upaya adaptasi dan memperoleh penghasilan untuk dapat tetap memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi sebagian besar petani meskipun keadaan kondisi lingkungan saat ini sudah tidak nyaman, namun mereka beranggapan bahwa tidak ada jaminan bahwa usaha mereka akan jauh lebih berhasil jika merubah mata pencaharian mereka.
103
Besaranya keuntungan yang dihasilkan dari budidaya KJA di Waduk Jatiluhur membuat para petani masih bertahan pada usaha ini. Perubahan orientasi pekerjaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor yang beragam yang mana salah satunya adalah tingkat pendapatan. Pendapatan erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan seseorang. Manusia yang memiliki pendapatan yang dianggap cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya akan bertahan menjalani pekerjaan tersebut. Sedangkan orang yang memiliki pendapatan yang dianggap kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, akan berupaya untuk merubah orientasi pekerjaan untuk mencari pekerjaan lain yang menawarkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik (Meidayanti, 2014). Dari data mengenai pendapatan petani KJA di Waduk Jatiluhur, meskipun dikatakan bahwa pendapatan petani mulai menurun pasca penertiban KJA, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dari 69 orang responden 47 orang diantaranya masih memiliki pendapatan diatas Rp.10.000.000/bulan dengan kepemilikan KJA diatas 20 petak. Oleh karena itu, sangat jarang ditemukan petani yang saat ini sudah mulai merubah orientasi pekerjaan mereka. 4.5.4 Dampak Program terhadap Pemenuhan Kebutuhan Hidup Petani Setiap individu dalam pemenuhan kebutuhannya tidak pernah terlepas dari aktivitas ekonomi, salah satunya konsumsi barang dan jasa. Konsumsi merupakan kegiatan belanja barang dan jasa yang dilakukan oleh individu maupun rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut atau juga pendapatan yang dibelanjakan (Dumairy, 1996).
104
Besar atau kecilnya pendapatan tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi setiap individu. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pengurangan petak KJA cukup berdampak terhadap tingkat pendapatan petani KJA di Waduk Jatiluhur. Sehingga tidak jarang petani yang mulai mengeluh dan merasa terbebani dengan diberlakukannya program pengurangan petak KJA tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari 69 responden, berikut adalah data mengenai jawaban responden terkait tingkat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup pasca program Operasi Danau Jatiluhur Jernih dilakukan:
Tingkat Kesulitan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Petani Pasca Program 26,09%
39,13% Sedikit Kesulitan
34,78%
Tetap/Biasa Saja Sangat Kesulitan
Gambar 4.22 Persentase Tingkat Kesulitan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Petani KJA Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa 65,22% petani mulai merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hanya 34,78% responden saja yang tidak merasakan adanya perubahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup pasca program Operasi Danau Jatiluhur Jernih. Menurut beberapa orang responden tingkat kesulitan untuk pemenuhan kebutuhan hidup bisa diatur dengan mengontrol gaya hidup, sehingga pengurangan pendapatan tidak terlalu berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
105
Sedangkan bagi 65,22% petani yang merasa sedikit kesulitan maupun sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup pasca program Operasi Danau Jatiluhur Jernih pada umumnya disebabkan karena dua faktor yaitu banyaknya jumlah tanggungan keluarga dan adanya tanggungan untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak. Berikut adalah sebaran data mengenai jumlah rata-rata tanggungan keluarga dan tanggungan biaya pendidikan anak bagi petani ikan di Waduk Jatiluhur :
Presentase Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Ikan di Waduk Jatiluhur
Presentase Jumlah Petani yang Memiliki Tanggungan Biaya Pendidikan Anak 15,94%
17,39% 10,14% 0-2 Orang 3-5 Orang
72,46%
Gambar 4.23 Tanggungan Keluarga Petani Ikan di Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
17.58%
Sedikit Kesulitan
SMA
16,48%
SMP
34,48% 29,21%
21,98%
SD TK
Gambar 4.24 Presentase Jumlah Petani yang Memiliki Tanggungan Biaya Pendidikan Anak (Data Primer, 2017). Tingkat Kesulitan Petani KJA dalam Membiayai Sekolah Anak
Tingkat Pendidikan Anak Petani Ikan di Waduk Jatiluhur Kuliah
84,06%
β₯6 Orang
Memiliki Tanggungan Biaya Pendidikan Anak Tidak Memiliki Tanggungan Biaya Pendidkan Anak
36,21%
Tetap/Biasa Saja Sangat Kesulitan
34,07% 9,89%
Gambar 4.25 Presentase Tingkat Pendidikan
Anak Petani Ikan di Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
Gambar 4.26 Presentase Jawaban Respponden Mengenai Tingkat Kesulitan Mereka dalam Membiayai Sekolah Anak Pasca Pengurangan Petak KJA di Waduk Jatiluhur (Data Primer, 2017).
106
Dari gambar tersebut terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki tanggungan antara 3-5 orang. Pada umumnya mereka memiliki tanggungan untuk membiayai sekolah anak yang sebagian besar masih TK-SMP. Meskipun pada umumnya pendapatan mereka masuk kedalam kategori yang tinggi, namun jumlah tanggungan keluarga mereka pun cukup banyak dan harus menyekolahkan anakanak mereka. Sehingga mereka harus cukup cerdik dalam memangkas biaya kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan bagi 63,69% responden pengurangan petak KJA ini tidak hanya berpengaruh terhadap tingkat kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup namun berpengaruh juga dalam membiyai sekolah anak mereka. 4.5.4 Dampak Program terhadap Kebutuhan Ikan Seiring dengan diberlakukannya program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, tentunya akan mempengaruhi pasokan ikan yang ada di Waduk Jatiluhur. Berikut adalah data mengenai produksi ikan di waduk sebelum dan sesudah program Operasi Danau Jatiluhur Jernih :
Jumlah Produksi Ikan yang Dihasilkan dari Budidaya KJA di Waduk Jatiluhur 92,165
2014
78,165
2016
Gambar 4.27 Jumlah Produksi Ikan yang Dihasilkan dari Budidaya KJA di Waduk Jatiluhur sebelum dan sesudah Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih (Data Primer, 2017).
107
Waduk Jatiluhur merupakan salah satu sentra pembudidayaan ikan khususnya ikan mas terbesar di pulau Jawa. Adapun jenis ikan yang dibudidayakan yaitu mas, nila, patin dan bawal (Tim Penelitian dan Pengembangan Perkreditan dan UMKM, 2008). Dari gambar 4.27 terlihat bahwa setelah satu tahun program operasi danau jatiluhur jernih berlangsung, dengan pengurangan petak KJA dari tahun 2014-2016 sebesar 3.333 petak terlihat mulai terjadi penurunan produksi ikan di Waduk Jatiluhur sebesar 14.000 ton. Berdasarkan data yang diperoleh dari dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, 98,55% pasokan ikan di Purwakarta berasal dari usaha KJA di Waduk Jatiluhur. Pada tahun 2014 Purwakarta menghasilkan pasokan ikan untuk Jawa Barat sebesar 93.523,37 ton dan 92.165 ton nya berasal dari KJA di Purwakarta. Jika dihitung kontribusi budidaya KJA untuk kebutuhan ikan di Jawa Barat pada tahun 2014 adalah sebesar 7,52% dari jumlah total kebutuhan ikan sebesar 1.225.021,81 ton. Sedangkan secara nasional, usaha KJA di Waduk Jatiluhur memberikan kontribusi sebesar 0,44% dengan kebutuhan ikan nasional sebesar 20.842.475 ton (Sulistiyo, 2015). Namun seiring dengan berlangsungnya program Operasi Danau Jatiluhur Jernih dengan pengurangan petak KJA sebesar 14.000 ton atau 15% tentunya selain akan mempengaruhi pasokan ikan untuk Purwakarta juga akan mempengaruhi pasokan ikan untuk Jawa Barat dan nasional karena hampir 90% ikan di waduk Jatiluhur dipasarkan ke luar daerah Purwakarta seperti Jakarta, Pandeglang dan Semarang.
108
4.6 Skenario dan Tantangan Pasca Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih Apabila Waduk Jatiluhur sudah benar-benar dikosongkan dari budidaya KJA dan kondisi kualitas air waduk sudah mulai membaik, maka selanjutnya diperlukan suatu solusi lain agar pasokan ikan dari Waduk Jatiluhur tidak hilang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PJT II, kedepannya di Waduk Jatiluhur akan dikembangkan pengelolaan perikanan berbasis budidaya atau yang sering dikenal dengan culture based fisheries yang merupakan pengelolaan perikanan tangkap diperairan umum oleh kelompok masyarakat setempat dengan dukungan pembenihan dari kegiatan budidaya. Bahkan Menteri Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) telah berkomitmen untuk bersedia menyumbangkan benih ikan untuk terlaksananya program tersebut. Jika proyek ini berjalan sebaiknya pengelolaan waduk kedepannya lebih ditingkatkan. Tidak hanya berfokus pada sentra kegiatan perikanan saja melainkan dibentuk suatu pengembangan perikanan budidaya yang rekreatif dan edukatif yang dapat menarik wisatawan untuk datang ke Waduk Jatiluhur. Sebagai contoh, selain disediakan berbagai wahana wisata air seperti jetsky, banana boat, swimming pool sebaiknya juga disediakan berbagai sarana wisata edukatif bagi yang ingin belajar mengenai budidaya ikan dari mulai pemijahan, penyebaran bibit ikan, pemberian pakan, hingga pemanenan ikan. Kemudian pada saat panen ikan tiba masyarakat /wisatawan diperkenankan untuk menangkap ikan dengan batas tertentu di Waduk Jatiluhur dengan tetap membayar biaya masuk yang nantinya uangnya dikumpulkan untuk pembenihan selanjutnya sehingga pasokan ikan dari Waduk Jatiluhur tetap terjaga, selain itu juga pemerintah setempat dapat
109
membangun sentra produksi pengelolaan ikan di Waduk Jatiluhur dan wisatawan pun dapat langsung ikut belajar mengenai pengelolaan ikan hingga pemasaran dan yang terakhir pemerintah setempat dapat membangun museum yang berisi pengenalan tentang Waduk Jatiluhur dan berbagai jenis ikan endemik yang ada di Waduk Jatiluhur ataupun di Purwakarta. Sehingga dengan adanya pola pengembangan ikan budidaya yang rekreatif dan edukatif diharapkan tidak hanya pasokan ikan saja yang dapat terpenuhi, melainkan berbagai lapangan pekerjaan baru pun dapat terbuka khususnya bagi para petani yang sebelumnya sempat kehilangan mata pencahariannya. Namun untuk mewujudkannya, tentunya akan ditemukan berbagai macam tantangan seperti, perlunya pendanaan yang cukup besar, perlunya koordinasi yang solid, perlunya konsep yang matang, dan perlunya menyatukan visi dan misi yang sama antara pemerintah dan masyarakat setempat agar tidak ada lagi tarik menarik kepentingan antara berbagai pihak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1) Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih rata-rata memiliki nilai efektivitas yang cukup yaitu dengan perolehan nilai 60,37% artinya program ini berjalan cukup efektif. 2) Dampak Program Operasi Danau Jatiluhur Jernih secara sosio-ekonomi yang mulai terlihat diantaranya yaitu menurunnya tingkat pendapatan petani KJA, sebagian besar petani mulai merasa kesulitan dalam membiayai kebutuhan hidup dan menurunnya produksi ikan di Waduk Jatiluhur. 5.2 Saaran Sebaiknya pengurangan petak KJA di Waduk Jatiluhur dibatasi sampai memenuhi daya dukung waduk saja. Rencana program pengurangan petak KJA di Waduk Jatiluhur hingga nol KJA sepertinya akan sangat sulit dilakukan mengingat banyaknya kendala terutama berkaitan dengan adanya tarik menarik kepentingan antara berbagai pihak. Salah satu alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan pencemaran air Waduk Jatiluhur yang diakibatkan oleh aktivitas KJA dapat dilakukan dengan membatasi berbagai sumber daya yang berasal dari luar, baik dari mulai izin suplai pakan, benih, kantong oksigen dan lain sebagainya. Sebaiknya semua kegiatan KJA di Waduk dilakukan betul-betul dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada. Sehingga diharapkan akan meminimalisir kemungkinan masuknya investor dari luar karena pada dasarnya pada awal diizinkannya usaha KJA ini hanya diperutukan bagi masyarakat lokal saja.
111
112
DAFTAR PUSTAKA Ali, M. 1984. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa. Alam, O. Anik, S. Winardi, D. 2016. Pengaruh Waduk Jatibarang Terhadap Kualitas Air Sungai Garang Di Intake PDAM Semarang Ambarwati, P. 2014. Kajian Kualitas Air Tanah Di Sekitar Kawasan Budidaya Ikan Pada Keramba Jaring Apung Di Waduk Jatiluhur Kabupaten Purwakarta. Universitas Pendidikan Indonesia. Anshori, I. 2004. Kebijakan Pengelolaan SDA di Indonesia. LIPI. ISBN-97998014-4-3. Ardi, I. 2013. Budidaya Ikan Sistem Keramba Jaring Apung Guna Menjaga Keberlanjutan Lingkungan Perairan Waduk Cirata. Apridayanti, E. 2008. Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lahor Kabupaten Malang Jawa Timur. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Kesembilan, Rineka Cipta: Jakarta. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi kesembilan, Rineka Cipta : Jakarta. Arikunto, S. 2003. Prosedur Penelitian, Suatu Praktek. Jakarta: Bina
Aksara.
Astari, L. D. 2000. Pemanfaatan Air di Perum Jasa Tirta II Jatiluhur; Laporan Praktek Lapangan FATETA. IPB: Bogor. Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
113
Amriani., Boedi, H., Agus,H. 2011. Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) Dan Seng (Zn) Pada Kerang Darah (Anadara Granosa L.) Dan Kerang Bakau (Polymesoda Bengalensis L.) Di Perairan Teluk Kendari. Julrnal Imu Lingkungan. Vol (9) : 45-50. Budiani, N. 2009. Efektivitas program penanggulan Pengangguran Karang Taruna βEka Taruna Bhaktiβ Desa Sumerta Kelod Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar. Input Jurnal Ekonomi dan Sosial, Vol 1. No.2. Dasuki. R.A. Suhanda dan Supangat. 1996. Pengelolaan dan Pemanfaatan Waduk Serbaguna Ir. H. Juanda Jatiluhur. Perurn Otorita Jatiluhur. Jatiluhur. 49 hal. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga. Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta : Kanisius. Fitri, N. 2016. Analisis Daya Dukung Dan Kelembagaan Usaha Keramba Jaring Apung (KJA) Di Waduk Jatiluhur.Skripsi. IPB Bogor. Gibson, Ivan Cevich, Donnelly. 1996. Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Hamzah. M.Syamsul. Marimim. Etty, R. 2016. Status Mutu Air Waduk Jatiluhur Dan Ancaman Terhadap Proses Bisnis Vital. Jurnal Sumber Daya Aie Vol.12 No.1 : 47-60.
114
Hendrawan, M. 2009. Evaluasi Program Jakarta Green And Clean Di Cipinang Melayu Sebagai Implementasi Corporate Social Responsibility/CSR PT. Unilever Indonesia Tbk. Hamidah, U. 2015. Pengaturan Pengelolaan Sumber Daya Air Di Kota Bandar Lampung. Vol. II No,2 : 2536-1440. Ida, Y.2009. Penentuan Kadar Nitrit Pada Beberapa Air Sungai Di Kota Medan Dengan Metode Spektrofotometri (Visible). Ikasari,
O.
2015.
Efektivitas
Sosialisasi
Tentang Dekriminalisasi
Dan
Depenalisasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahguna Narkotika Oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Ilosangi, E.S. 2001. Evaluasi Kualitas Air Waduk Jatiluhur Selama Periode 19962000. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Bogor. Khairil, S. 2014. Kajian Penentuan Status Mutu Air Di Kali Kloang Kabupaten Pamekasan (Metode Storet, Metode Indeks Pencemaran, Metode Ccme Wqi, Dan Metode Owqi). Kutarga, Z. Nasution, Z. Tarigan, R. Sirojuzilam. 2008. Kebijakan Pengelolaan Danau dan Waduk Ditinjau Dari Aspek Tata Ruang. Koeshendrajana, S., Apriliani, T., Firdaus, M., Nasution, Z., Nurfiarini, A. 2011. Penebaran Ikan Bandeng Di Waduk Jatiluhur: Analisis Dampak Dan Kebijakan Pengembangan. J. Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 1.
115
Krisanti, M. 2004. Permasalahan dan Strategi Pengolahan Perairan Waduk: Contoh Kasus Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata, Jawa Barat. Skripsi IPB. Bogor. Lubis, S. Supriana, T. Emalisa. 2014. Respon Masyarakat Penerima Raskin Terhadap Program Beras Bagi Keluarga Miskin (Raskin). Makmur. 2011. Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan. Bandung : Refika Aditama Marpaung, D. 2013. Efektivitas Pelaksanaan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT.Pertamina Persero Unit Pemasaran I Medan Di Lingkungan XII Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat. Skripsi. Mandagi, S. Wuysang. Johnly. 2009. Efektivitas Sosialisasi Pemberian dan Penghitungan Suara Pada Pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif (PILEG) Tahun 2009 di Kecamatan Tomohon Utara Kota Tomohon. Martokusumo. 2008. Revitalisasi, Sebuah Pendekatan Salam Peremajaan Kawasan. Jurnal Pencemaran Wilayah dan Kota. 19(3) : 57-73. Marpaung, D. M. 2013. Efektivitas Pelaksanaan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pt. Pertamina Persero Unit Pemasaran I Medan Di Lingkungan Xii Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Mathis, Robert l., & Jackson, John H. (2006). Human Resource Management edisi Kesepuluh. Jakarta : Salemba empat.
116
Meidayanti, E. 2014. Perubahan Orientasi Pekerjaan Sebagai Dampak Alih Fungsi Lahan (Studi Kasus Di Desa Padaasih Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat). Misnawati. 2016. Efektivitas Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Kantor Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara.4(1) :2592-2604. Nasution, Z. 2005. Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk (Studi Kasus di Perairan Waduk Jatiluhur, Jawa Barat). Buletin Ekonomi Perikanan Vol. VI. No.1 Tahun 2005. Pangripta. 2004. Penyusunan Feasibility Study (studi kelayakan) IPAL Gabungan Industri di Wilayah Bandung Timur. Laporan Akhir. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Pahlevi, A. 2016. Efektivitas Penerapan Sanksi Mengenai Larangan Parkir Dibahu Jalan Di Kota Makassar. Parsons, Wayne. 2006. Publik Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Perum Jasa Tirta II. 2015. Penertiban KJA diWaduk Jatiluhur. Buletin PJT II, Edisi 44 - 2015/ 44 Edition β 2015. Perum Jasa Tirta II. 2001. Selayang Pandang Waduk Serba Guna Ir. H. Djuanda. Jatiluhur. PJT II: Purwakarta. Perum Jasa Tirta II. 2008. Organisasi dan Tata Kerja Perum Jasa Tirta II; Keputusan Direksi Nomor 1/27/KPTS/2008. PJT II: Purwakarta. Putranto, T. 2016. Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Fasilitas Terhadap Kepuasan Konsumen. Skripsi. Universitas Sanata Dharma.
117
Rachadian, R. 2009. Partisipasi Dan Persepsi Masyarakat Terhadap Efektivitas Kebijakan Pubik Peraturan Gubernur No.75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok. Tesis. Universitas Indonesia Esa Unggul. Rahmani, U. 2012. Optimal Management of Floating Net Cage Culture in Cirata Lake West Java Province. Rahmawati, A. 2011. Pengaruh Derajad Keasaman Terhadap Adsorpsi Logam Kadmium(Ii) Dan Timbal(Ii) Pada Asam Humat Ridwan, A. 2014. Analisis Perbandingan Tingkat Pendapatan Dan Faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Sistem Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung (Studi Kasus Waduk Jatiluhur Kabupaten Purwakarta). Rullihandia, N. 2010. Pengelolaan Sumber Daya Air Yang Berkelanjutan. Edisi 03/ Tahun XVI. Sallata, M. 2015. Konservasi Dan Pengelolaan Sumber Daya Air Berdasarkan Keberadaannya Sebagai Sumber Daya Alam. Vol.12 No.1 : 75-86. Suprapto. 2007. Ekonomi Partisipasi. Jakarta: Konrad Adnaeuer Stiftung. Samidjo, 2015. Pengelolaan Air dan Sumber Air Terpadu Yang berkelanjutan. Vl XXII, No : 2. Slamet, S. 2005. Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Hikayat Publishing) Subagja, R. 2008. Laporan Kerja Praktek Lgpg 111 βDigital Integrated Generator Protection Relay βDi Perum Jasa Tirta Ii Jatiluhur Purwakarta Jawa Barat. Subagyo, Ahmad Wito. 2000. Efektivitas Program Penanggulangan Masyarakat Perdesaan. Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.
118
Sumardi, M., Evers, H. 1982. Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Perilaku Menyimpang. Jakarta:CV Rajawali Citra Press. Sulistiyo, B. 2015. Kelautan Dan Perikanan Dalam Angka 2015. Sihaloho, W. 2009. Analisa Kandungan Amonia Dari Limbah Cair Inlet Dan Outlet Dari Beberapa Industri Kelapa Sawit. Supriyatno. 2014. Pengaruh Pengawasan Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Di Pt Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 2 Bandung. Sutardjo. 1997. Pengaruh budidaya ikan pada kualitas air waduk : studi kasus pada budidaya ikan dalam keranba jaring apung di Ciganea, Waduk Jatiluhur Purwakarta Jawa Barat Tesis Universitas Indonesia. Depok. Susiani, I. 2013. Kajian Gerakan Penanggulangan Botol Air Minum Untuk Mereduksi Volume Sampah Botol Kemasan Plastik Di Lingkungan Sekolah (Studi Kasus di SMA Trinitas). Skripsi. Soekartawi. 1995. Monitoring dan Evaluasi Proyek Pendidikan. Jakarta: PT Dunia Pustaka. S.P. Siagian, Manajemen, Yogyakarta: Liberty, 1978. Tim Penelitian dan Pengembangan Perkreditan dan UMKM.2008. Budidaya Pembesaran Ikan Mas. Triani, Wiwik. Artini P. Okid P.A. 2005. Populasi Bakteri Pengoksidasi Sulfur Anorganik dan Kadar H2S di Tambak Udang Putih Sistem Intensif.
119
Udoji, Chief J. O., (1981), The African Public Servant As A Pubic Policy In Africa. Addis Abeba: African Association For Public Administration And Management. Wahyu, I. 2011. Efektivitas Program Pemberdayaan Pemuda Pada Organisasi Kepemudaan Fatih Ibadurrohman Kota Bekasi. Jakarta : Universitas Indonesia. Widyoko. 2016. Evaluasi Program Pelatihan (Training Program Evaluation). Winardi. 2010. Asas-Asas Manajemen, Bandung : Mandar Maju Winarno, S. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar. Bandung : Tarsito. Wurangian, F. Engka, D.Sumual, J. 2015. Analisis Pola Konsumsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Sam Ratulangi Yang Kost Di Kota Manado Weiss, C.H. 1972. Evaluation research: Methods for assessing program effectiveness. Toronto: Englewood Cliff. Zahidah., Masjamsir., Iskandar. 2015. Pemanfaatan Teknologi Aerasi Berbasis Energi Surya Untuk Memperbaiki Kualitas Air dan Meningkatkan Pertumbuhan Ikan Nila di KJA Waduk Cirata. Zahnd, Markus.2006. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta : Kanisius.
LAMPIRAN
Lampiran 1 : KUISIONER Nama Responden : No. Hp : Alamat : Jawab Pertanyaan dibawah ini dengan memberi tanda (β ) pada jawaban yang dianggap tepat. STS = Sangat Tidak Setuju TS= Tidak Setuju SS= Sangat Setuju R = Ragu-Ragu S= Setuju No 1 2 3
Pernyataan STS Saudara mengetahui tujuan diterapkannya program penertiban KJA. Saudara mengetahui adanya sosialisasi yang dilakukan oleh PJT II dan Dinas Perikanan tentang program penertiban KJA. Penertiban KJA merupakan cara yang tepat guna memperbaiki kualitas perairan waduk.
5
Fasitilitas pendukung program Operasi Danau Jatiluhur Jernih cukup memadai
6
Jika petak KJA saudara terkena target operasi penertiban, saudara akan menaati peraturan dengan langsung menyiapkan petak KJA saudara sendiri tanpa menunda-nunda/mengulur waktu Alasan yang membuat saudara mengikuti program penertiban KJA adalah : ο· Saudara ingin turut serta menyelamatkan kondisi lingkungan khususnya perairan Waduk Jatiluhur ο· Saudara hanya sekedar menaati peraturan yang berlaku Saudara mengetahui adanya monitoring yang dilakukan oleh pihak PJT II dan Dinas Perikanan guna menunjang keberhasilan program penertiban KJA Demi menunjang keberhasilan program KJA, sanksi diberikan kepada petani yang melanggar peraturan penertiban KJA Setelah pengurangan petak KJA petani merasakan kualitas perairan waduk membaik Setelah Pengendalian KJA Produktivitas ikan meningkat Program Pengendalian KJA adalah milik semua masyarakat
7
8
9 10 11 12
119
TS
R
S
SS
120
Lampiran 2
: KUISIONER
Informan Kunci
: Pejabat PJT II, Pejabat PEMDA Purwakarta, Pejabat
Dinas Peternakan dan Perikanan Purwakarta, Bupati Purwakarta. 1. Apakah sebelum dilakukan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih masyarakat khususnya petani KJA diberikan sosialisasi perihal tujuan dan manfaat Pengendalian KJA terlebih dahulu? 2. Dalam mendukung program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, apakah tersedia fasitiltas pendukung seperti perahu, alat pengangkut dan lain-lain untuk mendukung keberhasilan program? 4. Dalam pelaksanaan program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, apakah mayoritas petani KJA mendukung program tersebut? Bagaimana cara mereka mendukung program tersebut? 5. Adakah sanksi yang diberikan kepada petani KJA yang melanggar peraturan dalam program Operasi Danau Jatiluhur Jernih? Jika ada, berupa apakah sanksi tersebut? 6. Dalam proses implementasi program Operasi Danau Jatiluhur Jernih, apakah selalu diadakan monitoring/pemantauan rutin untuk menunjang keberhasilan Pengendalian KJA?
121
Lampiran 3
: KUISIONER
Nama Responden
:
No. Hp
:
Alamat
:
Jawab Pertanyaan dibawah ini dengan memberi tanda (β ) pada jawaban yang dianggap tepat. 1. Apakah usaha KJA merupakan pekerjaan tetap bagi saudara? β‘ Ya β‘ Tidak 2. Apakah pekerjaan anda saat ini ? β‘ Petani KJA β‘ PNS β‘ Wirausaha β‘ lain-lain ......... 3. Bagaimana pendapatan saudara pasca penertiban KJA? β‘ Meningkat β‘ Tetap β‘ Menurun Sebelum ......... Sesudah ......... 4. Apakah saudara berencana mengganti pekerjaan anda? β‘ Ya β‘ Tidak 6. Apakah saudara mengurangi jumlah pekerja pasca penertiban KJA? β‘ Ya β‘ Tidak Sebelum ......... Sesudah ......... 7. Berapa jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan saudara? β‘1 β‘2 β‘3 β‘4 β‘5 β‘ β₯5 8. Apakah saudara mempunyai anak yang masih bersekolah? β‘ Ya β‘ Tidak Jumlah ......... Tingkat......... 9. Bagaimanakah tingkat kesulitan anda membiayai sekolah anak pasca revitalisasi? Alasannya..... β‘ Sedikit Kesulitan β‘ Tetap/Biasa Saja β‘ Sangat Kesulitan 10. Bagaimanakah tingkat kesulitan anda membiayai biaya kebutuhan sehari-hari pasca revitalisasi? Alasannya..... β‘ Sedikit Kesulitan β‘ Tetap/Biasa Saja β‘ Sangat Kesulitan
122
Lampiran 4 : Data Perhitungan Kualitas Air Dengan Metode STORET Tabel Hasil Penilaiain Storet Pada Bulan Januari-Desember 2014 Di Daerah Pasir Kole (Data Primer, 2017).
Baku Parameter Satuan Mutu Fisika Suhu Zat Padat Terlarut Kekeruhan
Max
Min
RataRata
Skor Max
Skor Min
Skor ratarata
Skor Total
β
Normal
30
27
28,36
0
0
0
0
mg/l
1000
350
40
164,55
0
0
0
0
NTU
β»
3
0,3
1,28
pH Oksigen Terlarut Besi (Fe) Mangan (Mn) Seng (Zn) Amonia Bebas Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3-N) Sulfat (SO4) Khlorida (Cl) Sulfida (H2S) BOD
mg/l
6-9
8,4
5
6,47
0
-4
0
-4
mg/l
>3
8
5
6,47
0
0
0
0
mg/l
5
0,3
0,12
0,14
0
0
0
0
mg/l
0,5
0,1
0,04
0,05
0
0
0
0
mg/l
0,02
0,1
0,02
0,04
-4
0
-12
-16
mg/l
0,02
0,3
0,001
0,03
-4
0
-12
-16
mg/l
0,06
0,1
0,004
0,01
-4
0
0
-4
mg/l
10
0,2
0,001
0,05
0
0
0
0
mg/l
400
43
22
26,09
0
0
0
0
mg/l
600
13
10
11,36
0
0
0
0
mg/l
0,002
0,1
0,04
0,05
-4
-4
-12
-20
mg/l
6
7
2
4,22
-4
0
0
-4
COD
mg/l
10
19
5
12,36
-4
0
-12
-16
Kimia
Total
-80
123
Tabel Hasil Penilaiain STORET Pada Bulan Januari-Desember 2015 Di Daerah Pasir Kole (Data Sekunder, 2017).
Parameter Satuan
Baku Mutu
Skor Skor RataTotal Rata
Max
Min
RataRata
Skor Max
Skor Min
Normal
30
28
28,75
0
0
0
0
1000
530
10
261,67
0
0
0
0
Fisika β
Suhu Zat Padat Terlarut
mg/l
Kekeruhan
NTU
β»
2
0,3
0,98
pH Oksigen Terlarut
mg/l
6-9
8,5
6
7,62
0
0
0
0
>3
6
4
4,73
0
0
0
0
Besi (Fe) Mangan (Mn)
mg/l
5
1
0,1
0,20
0
0
0
0
0,5
0,1
0,04
0,05
0
0
0
0
Seng (Zn) Amonia Bebas Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3-N) Sulfat (SO4) Khlorida (Cl) Sulfida (H2S)
mg/l
0,02
0,1
0,01
0,03
-4
0
-12
-16
0,02
0,5
0,001
0,12
-4
0
-12
-16
0,06
0,1
0,004
0,01
-4
0
0
-4
10
0,4
0,004
0,12
0
0
0
0
400
32
20
25,50
0
0
0
0
600
15
12
13,50
0
0
0
0
0,002
0,04
0,03
0,04
-4
-4
-12
-20
BOD
mg/l
6
8
3
5,47
-4
0
0
-4
COD
mg/l
10
25
6
16,42
-4
0
-12
-16
Kimia
Total
mg/l
mg/l
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
-76
124
Tabel Hasil Penilaiain STORET Pada Bulan Januari-Desember 2016 Di Daerah Pasir Kole (Data Sekunder, 2017).
Parameter Satuan
Baku Mutu
Max
Min
RataRata
Skor Max
Skor Min
Skor Skor RataTotal Rata
Fisika β
Normal
33
29
31,64
-2
0
-6
-8
mg/l
1000
395
90
184,09
0
0
0
0
NTU
β»
3
1
1,45
pH Oksigen Terlarut
mg/l
6-9
12
8
9
-4
0
0
-4
mg/l
>3
10
4
5,18
0
0
0
0
Besi (Fe) Mangan (Mn)
mg/l
5
0,1
0,01
0,09
0
0
0
0
mg/l
0,5
0,05
0,03
0,04
0
0
0
0
Seng (Zn) Amonia Bebas Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3-N) Sulfat (SO4) Khlorida (Cl) Sulfida (H2S)
mg/l
0,02
0,02
0,01
0,01
0
0
0
0
mg/l
0,02
2
0,1
0,55
-4
-4
-12
-20
mg/l
0,06
0,03
0,004
0,01
0
0
0
0
mg/l
10
0,04
0,004
0,01
0
0
0
0
mg/l
400
33
15
26,91
0
0
0
0
mg/l
600
16
10
13,27
0
0
0
0
mg/l
0,002
0,03
0,03
0,03
-4
-4
-12
-20
BOD
mg/l
6
9
2,9
6
-4
0
0
-4
COD
mg/l
10
27
7
15,91
-4
0
-12
-16
Suhu Zat Padat Terlarut Kekeruhan Kimia
Total
-72
125
Tabel Hasil Penilaiain STORET Air Waduk Jatiluhur Pada Bulan Januari-Desember 2017 Di Daerah Pasir Kole (Data Sekunder, 2017).
Parameter Satuan
Baku Mutu
Max
Min
RataRata
Skor Max
Skor Min
Skor Skor RataTotal Rata
Fisika Suhu β Zat Padat Terlarut mg/l
Normal 31
30
30,50
0
0
0
0
1000
325
20
172,50 0
0
0
0
Kekeruhan
NTU
β»
3
2
2,50
pH Oksigen Terlarut
mg/l
6-9
7,8
7,1
7,45
0
0
0
0
mg/l
>3
5
4
4,50
0
0
0
0
Besi (Fe) Mangan (Mn)
mg/l
5
0,1
0,1
0,10
0
0
0
0
mg/l
0,5
0,03
0,03
0,03
0
0
0
0
Seng (Zn) Amonia Bebas Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3-N) Sulfat (SO4) Khlorida (Cl) Sulfida (H2S)
mg/l
0,02
0,01
0,01
0,01
0
0
0
0
mg/l
0,02
0,1
0,02
0,06
-4
0
0
-4
mg/l
0,06
0,04
0,004 0,02
0
0
0
0
mg/l
10
0,1
0,01
0,06
0
0
0
0
mg/l
400
25
19
22,00
0
0
0
0
mg/l
600
12
10
11,00
0
0
0
0
mg/l
0,002
0,03
0,03
0,03
-4
-12
-20
BOD
mg/l
6
5
3
4,00
0
0
0
0
COD
mg/l
10
18
7
12,50
-4
0
-12
-16
Kimia
Total
-4
-40