Bias Pelangi Senja

  • Uploaded by: Muhammad Ikhsan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bias Pelangi Senja as PDF for free.

More details

  • Words: 1,990
  • Pages: 6
Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Bias Pelangi Senja Desember 27th, 2008 by muzakki

Rintik-rintik hujan kembali membasahi bumi. Aku masih terdiam dalam keheningan di kamarku. Sesaat kemudian, gemuruh rinai hujan menyeruak lamunanku. Aku tersadar. Hujan telah turun. Aku memandang keadaan luar dari jendela kamarku. Riak-riak air berlompatan di jalanan beraspal. Dedaunan ikut melambai meramaikan suasana. Angin bergerak dengan lincahnya, berlari-larian bak anak kecil bermain layang-layang, menyibak udara senja yang semakin dingin. Awan-awan pekat bergelayut di lazuardi yang semakin kelam. Menutup semua kebiruan yang kini telah menghilang. Aku tersenyum tanpa menyiratkan suatu makna. Meringkuk dalam dekapan terhadap kedua lututku. Aku kedinginan. Hujan benar-benar bergairah kali ini. Radio di sisi tempat tidurku tak kubiarkan begitu saja. Aku menghidupkannya dan segera mencari gelombang yang berisikan nada lagu. Saluran favoritku. Untuk sejenak aku sibuk memutar-mutar tunning radio. Dan akhirnya aku mendapatkannya. Namun, sial benar aku kali ini. Lagu yang tidak ingin aku dengar, paling tidak untuk saat ini, ternyata sedang mengudara. Lagu ‘Pria Kesepian’ dari Sheila On 7. Sungguh menyebalkan. Tapi, aku tidak mengganti saluran itu. Biarlah aku mendengarkannya. Toh, lagu itu memang sedang mencerminkan keadaanku. Aku memang kesepian. Aku memang butuh perhatian. Aku memang perlu kasih sayang. Dan sekarang kalau aku bertanya, siapakah yang mau menemaniku, akankah turun malaikat detik ini juga di sampingku ? Tetap sambil mendekap kedua lututku, aku menatap butiran-butiran bening keperakan di luar sana, yang setia menjatuhkan diri ke tanah, memuaskan dahaga sang tanah yang telah lama mengendap. Hujan tidak berlangsung lama. Hanya empat puluh lima menit aku merasakan nyanyiannya. Nyanyian hujan yang begitu indahnya. Membahasakan suatu makna yang tidak bisa aku artikan. Dan kini, alam telah dilukis kembali oleh Pelukis Yang Agung. Terlukis dengan sangat rupawan guratan-guratan warna-warni yang membentang di atas sebuah sungai kecil. Pelangi senja telah muncul di sungai masa laluku. Aku terhenyak. Telah lama aku tidak berkunjung ke sana. Menikmati lagi pemandangan pelangi dengan teman kecilku. Tapi, entah di mana teman mungilku itu saat ini. Gadis kecil yang sepintas lalu aku lihat. Tidak lebih dari enam puluh detik aku melihatnya dulu, karena dia tiba-tiba menghilang dari hadapanku setelah aku memperkenalkan diriku. Gadis itu berlari-lari kecil menuju rerimbunan pohon yang ada di samping sungai. Aku sempat melihat semburat merah di wajahnya. Gadis kecil itu malu.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Sayangnya, aku tidak pernah tahu keberadaannya sekarang. Apakah dia tumbuh besar sepertiku saat ini ? Apakah dia masih menunggu turunnya hujan untuk memunculkan kembali pelangi senja ? Aku tersenyum lagi. Kali ini dengan penuh makna. Aku mencoba melukiskan gadis kecil itu yang kira-kira saat ini sebaya denganku, berusia dua puluh satu tahun. Aku berkhayal ada di sebelahnya. Melihat pelangi bersama-sama, lagi. Dan dia harus mengenalku, mengenal siapa sesungguhnya diriku. Seseorang yang sedang mengharapkan suatu pertemuan. Karena orang ini sudah benar-benar rindu akan kenangan itu. Kenangan yang tidak sengaja terlupakan sesaat. *** Hari ini telah aku putuskan untuk menyambangi sungai pelangi. Julukan yang aku berikan pada tempat itu, tanpa meminta persetujuan dari siapapun. Aku sangat berharap untuk bertemu dengan gadis itu sore nanti. Mencoba mengingat sepenggal kenangan yang membekas di hatiku. Ternyata tidak mudah melangkahkan kaki ke tempat itu. Walaupun jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah orang tuaku, aku benar-benar lupa jalan setapak mana yang harus aku lalui. Dan setelah bertanya kepada penduduk di sekitar, tibalah aku di hamparan pemandangan yang membuatku terperangah. Saat ini, terpampang di hadapanku suatu lukisan alam yang pasti membuat setiap orang takjub. Separuh surga. Riak air yang meliuk-liuk di sepanjang aliran sungai, ditambah dengan rimbunnya pepohonan hijau yang mengapit kedua sisi sungai, membuatku terpejam sejenak. Menghirup nafas, panjang dan dalam. Aku mengamati kembali alam nan indah itu. Ada satu yang nampak berbeda dari masa laluku. Sebuah pondok mungil, yang terbuat dari kayu jati dan bernuansa cokelat, berdiri dengan kokoh di ujung sungai. Tepat di samping sebuah batu besar yang tergeletak di tengah aliran sungai. Aku berusaha membuka memoar yang ada di kepalaku. Rasa-rasanya, aku belum pernah melihat pondok itu sebelumnya. Memang sudah beberapa tahun aku tidak ke sini. Aku lupa. Kiranya sudah begitu lama sampai-sampai dibangun sebuah pondok pun aku tidak tahu. Nafasku memburu ketika seseorang keluar dari bilik pondok itu. Aku hanya bisa menelisik dari kejauhan. Takut mengganggu ketenangan yang empunya rumah. Tidak begitu kentara siapa dia. Yang pasti, dia seorang perempuan berjilbab putih. Perempuan itu lalu duduk bertelekan batu besar yang ada di tengah aliran sungai. Terlihat agak susah payah dia mencapainya. Entah apa yang dilakukannya, seakan menunggu sesuatu datang. Dan benar saja, begitu rintik-rintik hujan telah menyelesaikan tugasnya, terlihatlah gambaran masa laluku di sana. Pelangi senja. Perempuan itu menengadah ke arah sang pelangi. Memberikan kedua uluran tangannya, kemudian membenamkannya ke palung hati. Benar-benar sangat menikmati pertemuan dengan pelangi. Laksana dua sejoli yang tengah asyik bercengkrama, terbius asmara yang tengah melanda. Aku terkesiap. Dia gadis kecil itu ! Tidak salah lagi, dia benar-benar teman mungilku dulu. Tapi,

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

apakah dia masih mengenalku ? Aku menunda melangkahkan kaki menuju padanya. Mungkin, ini belum saatnya dia mengetahui keberadaanku. Aku tidak ingin membuatnya bingung dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Hati ini bergejolak. Seperti menentang arus ketakutanku untuk menemuinya. Aku tidak berdaya. Aku tidak boleh menemuinya saat ini. Belum boleh. Aku harus mencari tahu dulu siapa sebenarnya perempuan berjilbab itu, hanya untuk memastikan hatiku. Hati yang sebenarnya telah tertambat pada perempuan penyuka pelangi itu. Walau aku masih belum tahu, apakah dia gadis kecil itu ? *** Aku berlonjak girang di dalam kamarku. Aku sudah mengetahui namanya. Annisa, sebuah nama yang sangat cantik. Seperti orangnya. Dan yang lebih membuatku girang lagi, dia benar-benar gadis kecil masa laluku. Gadis penyuka pelangi senja yang kini menjelma menjadi perempuan berjilbab yang anggun. Asaku membumbung tinggi ke angkasa. Tidak sabar aku untuk menemuinya lagi. Ingin bercerita segalanya kepadanya. Mencurahkan rasa yang menggemuruh dalam hati. Kesungguhan hatiku yang teramat sangat. Besok, aku berjanji dalam hati untuk bertandang ke tempatnya. Tanpa ragu-ragu lagi. Tidak akan aku sia-siakan waktu yang masih ada. Selagi aku sanggup. Selagi dia masih sendiri, seperti aku. Menunggu keajaiban barangkali. Keajaiban yang harus aku wujudkan dengan sepucuk niat di hatiku. Dari balik jendela kamarku, siluet itu tercetak kembali. Bias pelangi senja dengan gambaran alam di sekelilingnya. Walau tampak kecil, aku masih bisa merasakan bahwa tempat itu memanggilku. Aku memiringkan kepalaku, bersandar pada satu lututku. Ingin mewartakan kalau aku juga ingin bergabung dengan alam. Tunggu saja. Sayup-sayup terdengar lagu ‘Hujan’ nya Utopia yang mengalun lirih di dalam kamarku. Sengaja aku menurunkan volume radio. Aku tidak ingin mengeraskan hatiku lagi, yang bisa membuat kelembutan hati yang tadi aku rasakan, beranjak meninggalkanku. Lagu yang sempurna untukku saat ini. Terimakasih, Utopia. *** Aku berdiri kikuk di belakangnya. Masih diam dalam derai air sungai yang tiada berhenti mengalir. Tenggorokanku seakan sesak untuk mengeluarkan sepatah kata. Aku menarik nafas sesaat, dan kemudian menghelanya dengan pelan. Aku mantapkan hatiku, saat ini juga. “Annisa…” panggilku menyebut namanya. Perempuan berjilbab putih, yang sedang duduk beralaskan batu besar di tengah aliran sungai, itu menoleh padaku. Dia sangat terkejut melihatku. Seorang lelaki yang tiba-tiba hadir dalam kehidupannya. Berdiri dengan mantap dalam pijakan batu-batu kecil. Aku mencoba tersenyum. Senyum termanisku untuknya. Tapi, sepertinya dia masih berusaha mengingatku. Keningnya berkerut. Tampak sedang sibuk memikirkan sesuatu.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

“Kamu…” ucapnya tertahan. Sepatah kata itu yang baru terucap dari mulutnya. Lembut sekali. Annisa tertunduk, menyembunyikan senyum kecilnya yang telah merekah. Aku lega. Benar-benar lega. Dia, Annisa, masih mengingatku. Walau kini semuanya telah berubah. Tapi, satu hal yang tidak akan berubah selamanya. Kami menyukai bias pelangi senja. Pendaran tujuh warna yang begitu elok. Ternyata Annisa bukan perempuan biasa. Bukan perempuan yang terpaut dengan hedonisme dan materialisme dunia. Bukan perempuan yang hanya nampak cantik di luarnya saja. Tapi juga, kalbunya sungguh-sungguh kokoh mempertahankan prinsip keyakinannya. Aku salut. Annisa tidak mengizinkanku duduk di sebelahnya. Bukan mahram, ucapnya tadi. Aku tidak tersinggung. Sama sekali. Aku menghargainya sebagai seorang perempuan berjilbab. Bukan hanya sebatas menghargainya saja. Detik ini juga aku sudah menyayanginya. Bahkan, mungkin mencintainya. Terlalu cepatkah itu, ya Rabbi ? Rintik-rintik hujan kini menyisakan aroma kesegaran. Hujan telah reda. Aku, yang berdiri kurang lebih tiga meter darinya, bersiap-siap menunggu kehadiran sang pelangi senja. Tentu saja, bersama Annisa. Pelangi itu telah muncul. Hati kami terpaut dengan keelokan biasnya. Menyadari akan kebesaran Allah. Jika ciptaan-Nya saja sebegitu indahnya, apalagi dengan Penciptanya ? “Subhanallah…” bisik Annisa pelan, yang masih tertangkap di telingaku. Aku menatapnya lurus-lurus. Benar. Dialah pilihanku. Pilihan hatiku. Ya Rabbi, izinkan aku untuk bersamanya. Izinkan aku mencintainya. Tanpa mengurangi sedikitpun rasa cintaku pada-Mu. Sore ini akan menjadi salah satu kenangan terindahku. Meskipun tidak banyak kata keluar dari bibir manis Annisa, tapi aku tahu, ada sesuatu yang tersirat dari sorot matanya. Perasaan yang sama seperti perasaanku. Aku yakin itu. *** Hanya sesaat kebahagiaanku. Padahal aku pikir ini akan berakhir dengan happy ending. Entahlah. Aku tidak bisa mereka-reka kehendak-Nya. Sama sekali di luar kuasaku, manusia yang lemah dan tanpa daya. Annisa menderita radang hati. Sudah sangat akut. Dia tidak ingin berobat. Baginya, jika Yang di Atas telah menentukan waktunya, maka tidak akan ada yang bisa memajukan ataupun memundurkan saat itu. Saat jiwa harus berpisah dari raga. Saat harus meninggalkan semua yang ada di dunia fana ini. Kematian. Begitulah yang dikatakan orang tuanya, ketika pada suatu hari aku mengunjungi pondok kecilnya. Annisa tinggal dengan kedua orang tuanya yang sudah renta. Mereka ingin menghabiskan sisa-sisa waktu yang ada di tempat itu. Sesuai keinginan Annisa. Dan yang lebih merajam hatiku sampai ke dasarnya, Annisa menunggu kedatanganku. Bukan sehari atau dua hari. Bertahun-tahun ! Dengan ikhlas dan tanpa pamrih apa-apa.

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Aku tertunduk di hadapan orang tua Annisa, menutup mukaku dengan kedua tangan. Air mataku sudah mengambang di pelupuk mata. Aku bodoh ! Benar-benar bodoh. Mengapa aku tak pernah menyadarinya ? Mengapa baru sekarang ? Annisa tersenyum di sudut ruang. Duduk bersama sang Ibu. Dia bilang, dia baik-baik saja. Tidak perlu mengkhawatirkannya. Bagaimana mungkin aku tidak mengkhawatirkannya. Dia menahan rasa sakit yang luar biasa, menutupinya dengan keindahan senyum lembutnya. Sementara aku, hanya bisa menatapnya iba. Bergeming tak bermakna. Tanpa bisa menyentuhnya. Tanpa bisa memeluknya. Tanpa bisa menghibur hatinya. Batinku tersiksa. Perih sekali. Aku sadar, aku belum halal untuknya. Dan hanya ada satu jalan untuk menghalalkan hubunganku dengannya. Aku harus menikahinya. Ya, pernikahan. *** Hari ini aku tidak sedang bermimpi. Aku menikahi Annisa, setelah mendapatkan restu kedua orang tua kami. Dan sekarang, aku bisa terus menemaninya. Menggenggam erat tangannya, tanpa ada keinginan untuk sedetikpun melepaskannya. Sampai Dia sendiri yang memutuskan waktu perpisahan kami. Tujuh hari ini terasa begitu cepat. Hanya sekejap aku merengkuh kebahagiaan itu, ketika waktu yang telah ditentukan-Nya ternyata telah datang, membawa pesan dari surga. Senja ini, seperti hari-hari sebelumnya, aku dan Annisa bersegera menunggu kemunculan pelangi. Kali ini terasa berbeda. Annisa berpamitan kepada kedua orang tuanya, mencium kedua tangan mereka dengan hangat. Hal yang tidak biasa dia lakukan pada hari-hari sebelum hari ini. Entah kenapa langkahku terasa berat menuju batu besar itu, tempat kami biasa menanti sang pelangi. Rintik hujan belum sepenuhnya reda, tapi tak mengapa, kata Annisa. Lebih cepat lebih baik. Sebelum waktunya tiba. Aku tertegun. Bingung. Di atas batu besar di tengah aliran sungai, di bawah gerimis kecil yang hampir mereda, Annisa menggenggam tanganku erat. Sangat erat. Detik berikutnya, sang pelangi senja muncul dengan bias indahnya. Kami menengadah ke arah pelangi. Tanpa aku sadari, hanya ada satu jiwa sekarang. Hanya jiwaku. Genggaman Annisa terlepas. Aku mencoba menatap wajah sendunya. Kedua matanya terpejam. Tubuhnya tak bergerak. Wajahnya membeku, dengan senyum kecil yang masih tergambar di bibirnya. Aku limbung. Tubuhku berguncang hebat, menyadari ‘sesuatu’ itu telah menjemputnya. Aku memeluk Annisa erat, yang kini tinggal raga, tanpa jiwa. Air mataku tak terbendung lagi. Di sudut mataku, aku bisa melihat kedua orang tua Annisa yang berdiri tabah di depan pondok. Seakan telah mengetahui kepergian anaknya. Aku merangkul tubuhnya, menghadapkannya ke arah sang pelangi yang sesaat teracuhkan. Derai air

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

mataku belum lenyap. Terasa sakit di dasar hati yang paling dalam. Aku menengadahkan kembali kepalaku. Berat sekali rasanya. “Pergilah bersama bias pelangi senja itu…” ucapku terbata-bata, menahan isak tangis atas kepergian perempuan terindahku. Merelakannya menempuh perjalanan bersama bias pelangi senja. Perjalanan abadi menuju pangkuan Ilahi. *** SELESAI

Related Documents

Bias Pelangi Senja
April 2020 8
Bias
April 2020 35
Pedang Pelangi
November 2019 34
Lasykar Pelangi
May 2020 27
Pelangi Petang
November 2019 30
Bias 1
June 2020 20

More Documents from ""