Kekayaan sumber daya alam Indonesia tidak diragukan lagi. Namun, nilai tambah yang dihasilkan masih jauh dari harapan. Kita perlu segera mengoptimalkan kekayaan sumber daya alam. Selain itu, republik ini menghadapi tekanan harga minyak mentah dunia cukup tinggi, di mana APBN menanggung subsidi BBM dan listrik. Gagasan new deal economy yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kongres Nasional Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Juli 2006 di Manado memacu kita semua untuk memberikan kontribusi yang optimal mewujudkan gagasan tersebut secara efektif. Tulisan ini sebagai sumbangsih terhadap gagasan new deal economy yang dikaitkan dengan sumber daya alam. Sungguh disayangkan apa yang terjadi di negeri ini, sekalipun data dan angka menyebutkan Indonesia memiliki sumber daya alam berlimpah, namun belum mampu menjadi andalan pendapatan negara. Yang terjadi justru adalah impor beras, illegal logging merajalela, dan berbagai kenyataan pahit yang menguras devisa negara. Sederet fakta menunjukan potensi pertanian Indonesia sangat kompetitif di pasar internasional. Seperti dikutip majalah The Economist dalam artikelnya bertajuk World in Figure, disebutkan bahwa produk pertanian, perkebunan, dan kehutanan (kelapa sawit dan karet alam) Indonesia menempati peringkat kedua dunia, sedangkan karet sintetis berada di urutan keempat. Secara keseluruhan perhitungan dari 11 komoditas pertanian, produk Indonesia menempati peringkat 10 besar dunia. Dalam konteks itu, selain diberdayakan sebagai penghasil devisa, akan menjadi lebih bermakna jika komoditas tersebut dioptimalkan dengan program bioenergi. Terbukti tanaman jarak bisa dikembangkan menjadi bahan bakar kendaraan pengganti solar. Desakan pengembangan bioenergi mencuat cukup lama. Ketergantungan impor dan kapasitas produksi bahan bakar dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan. Itu semakin dipersulit kondisi APBN yang menanggung subsidi BBM sebesar Rp54 triliun dan listrik Rp15 triliun, dengan asumsi harga minyak dunia US$57 per barel. Di sini dibutuhkan bahan bakar alternatif yang lebih murah. Apabila dana alokasi subsidi dimanfaatkan secara tepat guna, dana tersebut dapat dialokasikan untuk pembangunan jalan tol, perkeretaapian, jembatan, pelabuhan, irigasi, dan pencetakan lahan baru. Begitu pula pemerintah dapat memberikan insentif ke investor yang berniat membangun biodiesel mini. Sumber dana murah Untuk merealisasikan program bioenergi pemerintah harus mendukung sumber dana yang murah. Itu bisa diusahakan dari internal kelompok dan yayasan dana pensiun BUMN, serta melibatkan perbankan dan investor swasta nasional dan asing. Skema kepemilikan untuk mengembangkan industri bioenergi, pemerintah sebaiknya mengedepankan pola keterlibatan stakeholder pemda, masyarakat, BUMN dan swasta. Lalu proses produksi, sewajarnya dibuat model yang melibatkan petani dan masyarakat sebagai bagian dari proses produksi. Petani bukan semata-mata pemasok, namun bagian dari pengembangan bioenergi. Status lahan harus dipertegas untuk menghindari konflik masyarakat sekitar atau terkait dengan aparat penegak hukum akibat status lahan yang belum jelas. Untuk itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus dapat segera memetakan HGU lahan peruntukan yang siap pakai bagi pengembangan bioenergi . Pemerintah harus memberi insentif pembiayaan dengan bunga murah untuk pengembangan bioenergi yang didukung regulasi yang kuat.
Pemerintah telah menstimulus pengembangan bioenergi sebagai program mengurangi angka pengangguran. Dalam konteks ini, tanaman jarak pagar lebih realistis dibandingkan sawit yang butuh lahan luas. Sawit sulit terjangkau masyarakat, butuh investasi besar serta panen relatif lama. Dengan jarak pagar, lahan sempit pun jadi, pemeliharaan relatif mudah, teknologi sederhana, berbiaya murah, panen cepat dan kesempatan peluang usaha. Tanaman jarak memiliki karakteristik, yakni mencapai hasil optimal jika ditanam di lahan kering. Ini tantangan yang harus diselesaikan bagaimana mengoptimalkan tanaman jarak. Peneliti Jepang dengan sentuhan teknologi mampu menciptakan formula mempercepat dan memperbaiki kualitas mutiara di NTB. Kini saat tepat membangun biodiesel berbahan baku jarak, agar mampu menghentikan alokasi subsidi tanpa nilai tambah. Pengembangan energi alternatif merupakan produk substitusi bahan bakar minyak fosil untuk mengalihkan subsidi BBM ke sektor penciptaan lapangan kerja. Sementara upaya ke arah optimalisasi pembangunan bioenergi telah dilakukan sebagian daerah. Provinsi Bengkulu misalnya, telah menyiapkan sejumlah langkah konkret membangun energi biofuel berbasis jarak pagar dengan meningkatkan peran APBD. Pertama, menyusun tim pengembangan jarak pagar yang melibatkan sejumlah pihak mulai dari gubernur, bupati, camat, dan kepala desa termasuk kepala dinas terkait. Kedua, sosialisasi pengembangan jarak pagar kepada seluruh camat se-Provinsi Bengkulu. Ketiga, mengaktifkan penyuluh pertanian untuk bimbingan akan budidaya jarak pagar. Keempat, membagi tiga wilayah pengembangan tanaman jarak pagar yang dipimpin kepala dinas terkait. Kelima, mengalokasikan APBD guna pembelian bibit, biaya tanam bibit jarak pagar, dan dana mobilitas penyuluhan. Keenam, gubernur berinisiatif membuka lahan seluas 20.000 ha. Lahan itu dibagikan kepada petani masing-masing 2 ha untuk jangka waktu 10 tahun atau 20 tahun, dengan biaya tanam Rp300/bibit. Ketujuh, menanam jarak pagar sepanjang 500 km di jalan provinsi. Hasil panen sebagai bibit dan dibagikan ke masyarakat. Kedelapan, mengalokasikan APBD untuk membeli mesin pengolah biji jarak pagar tepat guna, sehingga panen segera dirasakan manfaatnya. Kesembilan, melibatkan masyarakat menanam bibit jarak secara massal. Kesepuluh, mengundang investor berinvestasi di biodiesel. Kesebelas, membuat gerakan tanam jarak di Provinsi Bengkulu menuju desa mandiri energi.