“Berpuasa” Sepanjang Hayat Oleh: Agus Saputera
Puasa yang dalam Bahasa Arab disebut Shaum atau Shiyam (jamak) adalah suatu bentuk peribadatan di dalam Islam yang intinya adalah menahan atau mengendalikan diri juga disebut imsak yang artinya menahan, berhenti, dan tidak bergerak. Secara istilah atau terminologi fiqh, puasa artinya adalah menahan dari makan, minum, berhubungan seksual, dan dari segala perbuatan yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar (imsak) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Karena itu seorang muslim sudah dianggap sah (diterima) puasanya menurut pandangan ahli fiqh, asalkan ia mampu untuk tidak makan, minum, dan mengerjakan perbuatan yang membatalkan puasa. Namun hakikat atau esensi puasa itu tidak hanya sekedar menahan diri dari nafsu perut
dan
nafsu
syahwat
tersebut,
tetapi
ada
yang
lebih
substansial
yaitu
menahan/mengendalikan diri dari segala keinginan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan manusia kepada kerusakan dan kebinasaan. Ingat peristiwa nenek moyang kita Nabi Adam as yang terusir dari surga sebagai simbolisasi sifat manusia yang tidak bisa mengendalikan diri. Kemampuan untuk menahan dan mengendalikan diri ini tidaklah semata-mata diraih begitu saja, tetapi memerlukan waktu atau proses latihan/pendidikan secara terus menerus, teratur, mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Karena itu jangka waktu pelaksanaan puasa Ramadhan didesain selama satu bulan agar menimbulkan efek atau mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu taqwa. Sehingga Allah swt memastikan seseorang akan dapat mencapai derajat taqwa dengan syarat ia benar-benar menjalankan puasanya sesuai ketentuan (prosedural). Proses atau prosedur ini dalam hadits Rasulullah saw disebut dengan imaanan (dilakukan dengan penuh
1
kesadaran, taat, dan ikhlas karena Allah) wa-ihtisaban (memelihara puasa dari hal yang membatalkan dan merusak pahalanya). Itulah sebabnya orang yang dipanggil Allah atau syarat seseorang untuk menjalankan puasa Ramadhan adalah telah wujudnya iman dalam hati seseorang meskipun hanya sebesar zarah. Imanlah yang membuat seseorang yang berpuasa mampu tetap bertahan untuk tidak makan atau minum, padahal ia benar-benar lapar dan dahaga. Hal ini ia lakukan karena menyadari sepenuhnya akan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi dalam segenap aktifitasnya dimana dan kapan saja. Kondisi seperti inilah yang menjadi target pelaksanaan ibadah puasa, yaitu tercapainya derajat taqwa. Taqwa adalah sebuah kondisi jiwa seseorang yang penuh dengan kesadaran akan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi, dimana saja dan kapan saja, sehingga mendorong dirinya untuk selalu patuh dan taat dalam mengerjakan segala perintah dan menjauhi laranganNya. Taqwa berasal dari “dalam” diri, karena itu ia sangat bersifat pribadi (private). Jadi hanya yang bersangkutanlah yang dapat mengukur kadar taqwa dirinya. Dan tingkat taqwa antara masing-masing individu juga tidak ada yang sama. Karena itu puasa disebut juga sebagai ibadah yang sangat pribadi. Sebab hanya yang bersangkutan dan Allah sajalah yang mengetahui seseorang sedang menjalankan puasa dan Dialah yang langsung memberi pahala (menilai) puasa seseorang. Inilah yang dimaksud oleh hadits qudsi (Firman Allah melalui perkataan Nabi saw) yang berbunyi: “Puasa adalah milikKu (Tuhan), dan Akulah yang akan “menanggung pahalanya” (menilai kwalitas puasa seorang hamba). Oleh karena itu tidak ada ibadah di dalam Islam yang sarat dengan pendidikan atau latihan, yang lebih efektif, lebih komprehensif dan menyeluruh selain dari pada puasa (Ramadhan). 2
Puasa atau nilai-nilai puasa sesungguhnya terdapat hampir di seluruh bentuk ibadah mahdhah dalam Islam. Di dalam sholat kita menahan dari makan, minum, dan berbicara yang tidak baik apabila takbir sudah diucapkan. Dalam zakat atau sedekah kita diwajibkan untuk mengeluarkan atau memberikan dari yang baik-baik. Dalam haji kita dilarang berbantah, berkata kotor, dan menyakiti orang lain. Jadi unsur-unsur menahan atau mengendalikan diri seperti yang terdapat dalam ibadah-ibadah mahdah di atas sudah tercakup dalam pelaksanaan ibadah puasa. Pantaslah kalau dikatakan puasa adalah “jalan pintas” menuju taqwa. Ulama fikih menyimpulkan beberapa hikmah yang melatarbelakangi puasa, di antaranya adalah: (1) Menjadikan orang yang patuh dan taat kepada aturan yang benar dan baik, yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagai bukti orang yang bertaqwa. (2) Sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas berbagai nikmat yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya. (3) Melatih diri dalam mengendalikan nafsu syahwat, baik syahwat perut maupun syahwat seksual. Di dalam keadaan lapar berbagai nafsu bisa ditekan. Dalam kaitan inilah Rasulullah saw menyuruh para pemuda untuk memperbanyak puasa jika belum mampu melaksanakan perkawinan. (4) Menahan diri dari berbuat maksiat, karena maksiat muncul akibat nafsu yang tidak terkontrol. Dengan berpuasa, nafsu dapat dikontrol. (5) Dapat merasakan penderitaan orang-orang miskin yang pada akhirnya membawa seseorang untuk memikirkan nasib orang-orang miskin tersebut. Di dalam berpuasa seseorang merasakan lapar dan dahaga sebagaimana yang dirasakan setiap hari oleh fakir dan miskin. Perasaan ini akan dapat menyadarkan mereka untuk membantu fakir dan miskin, sehingga jurang yang memisahkan antara kaya dan miskin dapat dipersempit dan dapat menjalin hubungan kasih sayang antar sesama manusia. (6) Untuk melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan bagi orang-orang yang berpuasa, serta memperkuat tekad untuk melakukan suatu pekerjaan. (7) Menyehatkan diri, karena pekerjaan
3
perut tidak terlalu berat, sebagaimana pada hari-hari biasa. Di dalam sebuah hadits Rasulullah saw mengatakan: “Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat”. (H.R. Abu Dawud). (Dikutip dari Puasa dan Pendidikan, oleh H. M. Ma’rifat Iman tahun 2007). Demikianlah betapa besar dan banyaknya manfaat atau hikmah yang dapat diperoleh dari berpuasa khususnya di bulan Ramadhan. Semuanya tidak akan dapat tercapai kecuali melalui proses pendidikan dan latihan yang dilakukan secara teratur, terus-menerus melalui cara-cara yang benar (imaanan wa-ihtisaban). Dengan menjalankan puasa serta mengerjakaan amalan-amalan di bulan Ramadhan berarti kita sedang berupaya menggali nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa akan menjadikan orang yang berpuasa itu mampu menyucikan jiwa, raga, dan hartanya (tazkiyatun nafsi walbadani wal-amwali) sehingga ia menjadi orang yang bertaqwa. Oleh karena itu, jelaslah bahwa puasa merupakan personal obligation symbol (simbol kewajiban pribadi) dan zakat sebagai social obligatian symbol (simbol kewajiban sosial). Kedua kewajiban ini adalah sarana pensucian jiwa dan harta manusia. Dimana puasa kita di bulan Ramadan dan zakat yang dikeluarkan merupakan suatu training dan pendidikan saja, untuk diaplikasikan 11 bulan ke depan. Orang yang rajin berpuasa, baik yang dihukumkan wajib maupun sunnah akan terhindar atau mampu mengendalikan diri dari godaan nafsu syahwatnya, yang menjerumuskan ke jurang maksiat. Orang yang berpuasa dapat merasakan penderitaan orangorang yang miskin, karena ketika ia berpuasa terasa lapar dan dahaga, sementara orang-orang miskin merasakan kelaparan dan kedahagaan sepanjang hidupnya. Oleh karenanya, ia akan menaruh belas kasih dan selalu memberi pertolongan. Di samping itu, berkat bantuan orang yang berpuasa, para fakir miskin akan menghargai dan menghormatinya, maka terjalinlah persaudaraan di antara mereka. Selain itu, orang yang suka berpuasa akan terpelihara 4
kesehatan fisik dan jiwanya, yang akan dapat meningkatkan kecerdasan akal dan ketajaman pemikiran. Orang yang berpuasa melalui pendidikan dan latihan yang dilakukannya insya Allah akan tumbuh dan muncul dalam dirinya nilai-nilai dan sifat-sifat utama dalam kehidupan seperti amanah dan jujur, sabar, tabah, berkepedulian sosial, disiplin, adil, serta bersungguhsungguh dan konsisten dalam melakukan setiap pekerjaan. Semua sifat terpuji tersebut merefleksikan sebuah ketinggian moral, rasa solidaritas kemanusiaan dan persaudaraan yang amat dalam, dan kematangan spiritual yang amat tinggi. Kalau kita bercermin pada kehidupan Rasulullah, maka selama hidup beliau di luar bulan Ramadan juga berpuasa seperti puasa Senin Kamis, puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari buka), puasa tiga hari pertengahan bulan, puasa enam hari bulan Syawal, puasa hari Arafah, puasa hari Asyura (10 Muharam), dan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Dan beliau senantiasa bersifat dermawan dan gemar bersedekah di bulan-bulan yang lain di luar Ramadhan. (Al-Habsyi,1999). Karena itu nilai-nilai pendidikan ibadah puasa bukan untuk diwujudkan dalam Ramadan saja, melainkan untuk diterapkan dalam bulan-bulan lainnya sepanjang tahun, bahkan untuk sepanjang hayat. Dengan demikian, ibadah puasa Ramadan merupakan metode yang paling tepat untuk pendidikan akhlak manusia. Semangat dan kebiasaan dalam bulan suci Ramadhan, membentuk karakter dan mental untuk tetap konsisten dan istiqomah dalam sebelas bulan berikutnya. Sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan bahwa bulan Ramadan adalah bulan pendidikan, bulan latihan (training), untuk diaplikasikan terus setelah bulan Ramadan usai. Puasa di bulan Ramadan dan amal-amal yang terdapat di dalamnya seperti bersedekah, membayarkan zakat, berinfaq, berderma, menyantuni kaum miskin dan dhuafa’, berbuat baik
5
kepada orang lain adalah sebuah simbol, motto, slogan atau komitmen yang harus dipegang erat dan dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen (istiqomah) di luar bulan Ramadhan. Pendek kata, puasa bukan hanya di bulan Ramadan tetapi sepanjang tahun dalam arti meninggalkan segala apa yang dilarang dalam berpuasa, namun tetap melakukan aktivitasaktivitas lain seperti sholat tarawih di bulan puasa diganti dengan tahajjud, zakat diganti dengan sedekah, puasa satu bulan diganti dengan puasa-puasa sunnah. Menjaga perkataan, pikiran, hati, dan perbuatan di luar Ramadhan agar senantiasa berkata baik, benar, tidah bohong, tidak bersumpah palsu, tidak menyakiti orang lain, tidak mengganggu ketentraman orang lain, tidak mengumpat, mencaci-maki, memfitnah, mengadu domba, dan sebagainya. Itulah sebenarnya makna puasa sebagai bentuk pendidikan seumur hidup dan pelatihan sepanjang hayat. Sebab derajat taqwa yang dengan susah payah diraih selama bulan Ramadhan merupakan hasil pendidikan dan pelatihan (training) yang harus senantiasa dipertahankan agar mewarnai sebelas bulan yang lain, bahkan sepanjang hayat kita. Taqwa adalah modal, sebaik-baik bekal yang senantiasa harus kita bawa dimana saja dan kapan saja. Tepatlah seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi: Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, serta berakhlaq mulialah terhadap sesama”. Dan dalam Q. S. Al-Baqarah (2): 197 dikatakan, “Berbekallah kamu sebanyak-banyaknya, karena sebaik-baik bekal adalah taqwa”. Prediket taqwa yang diperoleh seseorang bukanlah bersifat pasif, tetapi bersifat aktif dan fungsional. Sebab ia adalah kondisi jiwa yang meliputi diri seseorang yang mendorong dirinya untuk senantiasa mematuhi segala perintah Allah swt. Taqwa bukanlah sebuah hadiah karena suatu prestasi, tetapi adalah titel atau prediket yang senantiasa harus dibawa oleh seseorang untuk mengontrol segenap perbuatannya dimana saja dan kapan saja. Orang bertaqwa adalah orang yang “mempuasakan”, menahan dan mengendalikan dirinya sepanjang hayat. 6