FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT PANTI WILASA Dr ’CIPTO’ Tandatangan Nama : Bernadet Yulyanti NIM : 11.2017.250 Dr. Pembimbing/Penguji : dr. Hadi Kurniawan , Sp.KFR IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. SP Umur : 66 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Status Perkawinan : Menikah Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Margosari, Semarang No RM : 46**** Tanggal Periksa : 12 Maret 2019
...................................
SUBJEKTIF Autoanamnesis pada tanggal 12 Maret 2019, pukul 11.00 WIB 1. Keluhan Utama Tangan kiri lemas dan sulit diangkat sejak 8 bulan yang lalu. 2. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 8 bulan yang lalu pasien mengalami kesulitan untuk menggerakan tangan kirinya. Keluhan ini terjadi setelah pasien melakukan kemoterapi yang ke 3 kalinya. Beberapa hari setelah kemoterapi yang ke 3, tangan kiri pasien sulit untuk digerakan. Terasa lemas dan terkadang timbul nyeri seperti kesemutan. Tidak tampak ada bengkak dan deformitas ditangan kiri pasien. Pasien tidak mengalami keluhan lain seprti mual, muntah, pusing, dan lain lain. Tidak ada keluhan pada anggota gerak lainnya. Sehari-hari pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. 3. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, stroke, dan tumor.
1
4. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi (+) Riwayat ca mamae sinistra post mastektomi total Tidak ada riwayat diabetes melitus, penyakit jantung, stroke, trauma kepala, dan penyakit jantung pasien. Tidak ada riwayat asma dan alergi. 5. Riwayat Sosial Ekonomi Pribadi Keadaan sosial ekonomi pasien saat ini cukup. Pasien menggunakan BPJS. Tidak ada riwayat gangguan kepribadian. Pasien mengatakan tidak merokok, minum alkohol ataupun riwayat penggunaan obat-obatan terlarang. OBJEKTIF 1. Status Presens Keadaan Umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Suhu Respirasi Kepala Leher Jantung Paru Perut Alat kelamin
: Tampak sakit sedang : Compos mentis, E4V5M6, GCS 15 : 140/80 mmHg : 90x/menit : 36,3°c : 19x/menit : Normocephali, tidak tampak tanda trauma : Tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid : BJ I-II murni reguler, mur-mur (-), gallop (-) : Suara nafas vesikuler +/+, Wheezing -/-, Ronhki -/: Supel, Bising Usus (+) normoperistaltik, Nyeri tekan (-) : Tidak dilakukan
2. Status Psikikus Cara berpikir Perasaan hati Tingkah laku Ingatan Kecerdasan
: Baik : Baik : Baik : Baik : Baik
3. Status Neurologikus A. Kepala Bentuk
: Normocephali 2
Nyeri tekan : Tidak ada Simetris : Simetris Pulsasi : Tidak teraba B. Leher Sikap : Simetris Pergerakan : Normal Kaku kuduk : Tidak ada C. Nervus Cranialis: N I. (Olfaktorius) Kanan Subjektif Normosemia Dengan bahan N II. (Optikus) Kanan Tajam pengelihatan Tidak dilakukan Lapangan pengelihatan Tidak ada kelainan Melihat warna Tidak dilakukan Fundus okuli Tidak dilakukan N III. (Okulomotorius) Kanan Celah mata Ptosis (-) Pergerakan bulbus Baik Strabismus Tidak ada kelainan Nistagmus Tidak ada Eksoftalmus Tidak ada Pupil Besar pupil 3 mm Bentuk pupil Isokor Refleks terhadap sinar + Refleks konversi + Refleks konsensual + Diplopia N IV. (Troklearis) Kanan Pergerakan mata Baik, mulus ( kebawah-dalam ) Sikap bulbus Tidak ada kelainan Diplopia N V. (Trigeminus) Kanan Membuka mulut Baik Mengunyah Baik Menggigit Baik Refleks kornea Tidak dilakukan 3
Kiri Normosemia Kiri Tidak dilakukan Tidak ada kelainan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Kiri Ptosis (-) Baik Tidak ada kelainan Tidak ada Tidak ada 3 mm Isokor + + + Kiri Baik, mulus Tidak ada kelainan Kiri Baik Baik Baik Tidak dilakukan
Sensibilitas N VI. (Abduscens) Pergerakan mata ke lateral Sikap bulbus Diplopia N VII. (Facialis) Mengerutkan dahi Menutup mata Memperlihatkan gigi Menggembungkan pipi Perasaan lidah bagian 2/3 depan N VIII. (Vestibulokoklear) Suara berisik Tes Romberg Weber Rinne N IX. (Glossofaringeus) Perasaan bagian lidah belakang Sensibilitas Pharynx N X. (Vagus) Arcus pharynx Bicara Menelan
N XI. (Asesorius) Mengangkat bahu Memalingkan kepala N XII. (Hypoglossus) Pergerakan lidah Tremor lidah Artikulasi D. Badan dan Anggota Gerak a. Badan Motorik :
Baik Kanan Baik Di tengah Tidak ada kelainan Kanan + + + + Tidak dilakukan
Baik Kiri Baik Di tengah Tidak ada kelainan Kiri + + + + Tidak dilakukan
Kanan
Kiri
Tidak dilakukan (+) jatuh ke kiri Tidak dilakukan Tidak dilakukan Kanan Tidak dilakukan
Tidak dilakukan (+) jatuh ke kiri Tidak dilakukan Tidak dilakukan Kiri Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Di tengah Baik Baik
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Simetris Tidak ada Baik
4
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
o o o o
Respirasi Duduk Bentuk Kolumna Vertebralis Pergerakan Kolumna Vertebralis
Sensibilitas : Taktil Nyeri Termi Diskriminasi Lokalisasi
Kanan + + + + +
Kiri + + + + +
Refleks : o Refleks bisep o Refleks trisep o Refleks Brachioradialis o Refleks Patella o Refleks Achiles
: ++ | + : ++ | + : ++ | + : ++ | ++ : ++ | ++
b. Anggota gerak atas Motorik : Kanan Pergerakan Normal Kekuatan 555 Tonus Normotonus Atrofi Tidak ada
Kiri Normal 222 Hipotonus Ada
Sensibilitas : Kanan Taktil + Nyeri + Termi Tidak dilakukan Diskriminasi Tidak dilakukan Lokalisasi Tidak dilakukan
: Baik : Baik : Tidak ada kelainan : Tidak ada kelainan
Kiri Menurun Menurun Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks : Biceps Triceps
Kanan ++ ++
Kiri + + 5
Radius Ulna Hoffman-Trommer
Tidak dilakukan Tidak dilakukan -
c. Anggota gerak bawah Motorik : Kanan Pergerakan Baik, aktif Kekuatan 5555 Normotonus Tonus Atrofi Tidak ada
Kiri Baik, aktif 5555 Normotonus Tidak ada
Sensibilitas : Taktil Nyeri Termi Diskriminasi Lokalisasi
Tidak dilakukan Tidak dilakukan -
Kanan + + Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kiri + + Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks : KPR (Patella) APR (Achilles) Babinski Chaddock Oppenheim Gordon Schaeffer
Kanan ++ ++ -
d. Koordinasi dan Keseimbangan Cara berjalan Test romberg Romberg Dipertajam Dix-Hallpike Finger to nose Past pointing Knee to Heel Disdiadokokinesis
Kiri ++ ++ -
: Dalam batas normal : (+) Jatuh ke sisi kiri pasien : (+) : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan 6
Ataksia Rebound phenomena Dismetria
: Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada
e. Gerakan-gerakan abnormal Tremor : Ada Miokloni : Tidak ada Korea : Tidak ada Atetose : Tidak ada VI. DIAGNOSIS Diagnosis klinik : Monoparase superior sinitra flaccid Diagnosis topik : Plexus brachialis sinistra segmen atas Diagnosis etiologik : Metastase Ca mammae pada plexus brachialis sinistra VII. RENCANA AWAL Non medika-mentosa Istirahat yang jika nyeri pada tangan kiri sangat mengganggu. Kompres air hangat pada daerah nyeri. Konsultasi rehabilitasi medik Medika mentosa Meloxicam 1 x 7,5mg Vit B1, B6, B12 1x1 Amlodipin 1x 5 mg PROGNOSIS Ad vitam Ad functionam Ad sanactionam
: ad bonam : ad malam : ad bonam
7
BAB I PENDAHULUAN Kelemahan pada tungkai anggota gerak dapat menurunkan produktifitas dan aktivitas pasien yang memiliki penyakit ini. Salah satu yang sangat mengganggu adalah kelainan fungsi dari pada saraf anggota gerak. Pada daerah lengan ada persarafan yang disebut dengan Plexus Brachialis / Brachialis Plexus. Brachial plexus adalah jaringan saraf yang bertugas mengirim sinyal dari tulang melakang ke bahu, lengan, dan tangan. Regangan, tekanan, atau cedera yang menyebabkan jaringan saraf ini rusak atau bahkan hingga sobek atau terputus dapat menyebabkan masalah. Cedera yang ringan umum terjadi pada kontak fisik saat olahraga, seperti sepak bola. Cedera saraf brachial plexus juga bisa terjadi saat persalinan. Kondisi kesehatan tertentu, misalnya peradangan atau tumor, dapat memengaruhi jaringan saraf ini. Otot yang lemah dan distribusi daerah kesemutan tergantung bagian pleksus brakhialis yang terlibat. Pemulihan pada lesi ini bervariasi dimana pada lesi yang ringan dapat terjadi pemulihan spontan dan tidak meninggalkan banyak masalah fungsional, namun lesi berat pemulihan fungsional sulit didapatkan. 2,3 Rehabilitasi medik memegang peranan penting dalam penatalaksanaan pasien dengan lesi pleksus brakhialis dimana tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, mengurangi nyeri serta mengembalikan fungsional. Pada pasien yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat memperburuk kondisinya dengan adanya kontraktur sendi, subluksasi sendi bahu, serta bertambahnya kelemahan dan atrofi otot akibat jarang digunakan. Program yang diberikan berupa pengurangan nyeri dengan peralatan fisis, latihan dan penyediaan alat ortotik. Tindakan lain yang dapat membantu mengatasi penyakit ini adalah cangkok otot atau saraf. BAB II ANATOMI PLEKSUS BRAKHIALIS Jika ditelusuri, dapat dilihat bahwa Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T1. C5 dan C6 bergabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior. Trunkus berjalan melewati klavikula dan disana membentuk divisi anterior dan posterior. Divisi posterior dari masing-masing dari trunkus tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus-trunkus superior dan media membentuk membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior dari trunkus inferior membentuk fasikulus medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk n. radialis dan n. axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang yang satu membentuk n. 8
muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan fasikulus media untuk membentuk n. medianus. Fasikulus media terbagi dua dimana cabang pertama ikut membentuk n. medianus dan cabang lainnya menjadi n. ulnaris. 2,4,5,6
Gambar 1. Anatomi pleksus brakhialis Menurut letaknya terhadap clavicula percabangan plexus brachialis dibagi menjadi pars supraclavicularis dan pars infraclavicularis. Yang termasuk percabangan pars supraclavicularis adalah :1 N.thoracalis posterior. N.subclavius N.supraclavicularis
9
Pars infraclavicularis mempercabangkan: Nn.thoracalis anterior Nn.subscapularis N.thoraco dorsalis N.axillaris, disebut n.circumflexus N.cutaneus brachii medialis N.cutaneus antebrachii medialis Cabang terminal plexus brachialis adalah : 1. N.musculocutaneus 2. N.medianus 3. N.ulnaris 4. N.radialis Secara skematis percabangan terminal plexus brachialis adalah sebagai berikut : Fasciculus lateralis mempercabangkan : 1. N.musculocutaneus 2. Radix superior nervus medianus Fasciculus medialis mempercabangkan : 1. N.ulnaris 2. N.cutaneus brachii medialis 3. N.cutaneus antebrachii medialis 4. Radix inferior nervus medianus Fasciculus posterior mempercabangkan : 1. N.axillaris 2. N.radialis
BAB III LESI PLEKSUS BRAKHIALIS I. Definisi Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal. Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic pada ekstremitas atas. Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis 2,3,4,7
10
Gambar 2. Pleksus brakhialis II. Penyebab Penyebab lesi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya : 1. Trauma 4,8,9 Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic. 2. Tumor 1,9 Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kanker mammae dan kanker paru) 3. Radiation-induced 5 Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru. 4. Entrapment 8 Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung dengan hilangnya gejala setelah operasi mammoplasti reduksi. Implantasi mammae juga dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakhialis karena dapat nmeningkatkan tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskuler. 5. Idiopatik 3 Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan kelemahan otot timbul
11
lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun. III. Patofisiologi Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus. Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.4
Gambar 2. Patofisiologi lesi pleksus brakhialis
IV. Derajat Kerusakan Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951). Klasifikasi Sheddon, yaitu : 2,6 a. Neuropraksia Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan. b. Aksonotmesis Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik. c. Neurotmesis Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat.
12
V. Gambaran Klinis Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai banyak variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis dapat dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular. 2,7
Gambar 4. Pleksus supraclavikular dan infraklavikular Pleksopati supraklavikuler Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi infraklavikuler.2 1. Lesi tingkat radiks Pada lesi pleksus brakhialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi partial paralisis dan hilangnya sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersyarafi oleh beberapa radiks. 5,7,8 Presentasi klinis pada lesi radiks : 5 Radiks saraf Penurunan Refleks Kelemahan Hipestesi/kesemutan C5 Biseps brakhii Fleksi siku Lateral lengan atas C6 Brakhioradiialis Ekstensi pergelangan tangan Lateral lengan bawah C7 Triceps brakhii Ekstensi siku Jari tengah C8 Fleksi jari2 tangan Medial lengan bawah T1 Abduksi jari2 tangan Medial siku
13
Presentasi klinis diatas adalah untuk membantu penentuan level lesi radiks, sedangkan kelemahan otot yang lebih lengkap terjadi sesuai miotom servikal berikut ini : 5 C5 : Rhomboideus, deltoid, biseps brachii, supraspinatus, infraspinatus, brachialis, brachioradialis, supinator dan paraspinal C6 : Deltoid, biseps brachii, brachioradialis, supraspinatus, infraspinatus, supinator, pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis dan paraspinal C7 : Pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis, triceps brachii dan paraspinal C8/T1 : Triceps brachii, fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum profundus, abduktor digiti minimi, pronator kuardatus, abduktor pollicis brevis dan parapinal
Gambar 5. Gambar miotom servikal 2. Sindroma Erb-Duchenne Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi karena penarikan kepala saat proses kelahiran dengan penyulit distokia bahu, sedangkan pada orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping. Presentasi klinis pasien berupa waiter’s tip position dimana lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis) dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis). Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.2,5,7 3. Sindroma Klumpke’s Paralysis 14
4.
5.
6.
7.
Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan kepala,sedangkan pada orang dewasa biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang sesuatu kemudian bahu tertarik. Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris. Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan.2,5,7 Lesi di trunkus superior Gejala klinisnya sama dengan sindroma Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid, seratus anterior, levator scapula dan saraf supra - & infraspinatus. Trdapat gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan.2,7,8 Lesi di trunkus media Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior dan/atau trunkus inferior) Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps dan otot-otot yang dipersyarafi n. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi pada dorsal lengan dan tangan.2,8 Lesi di trunkus inferior Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks. Terdapat kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi, selain itu juga kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan. Gangguan sensorik terjadi pada aspek medial dari lengan dan tangan.2,8 Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus) Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. Otot rhomboid, seratus anterior dan otototot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus).2
Pleksopati Infraklavikuler Pada pleksopati infraklavikuler terjadi lesi ditingkat fasikulus dan/atau saraf terminal. Lesi infraklavikuler ini jarang terjadi dibanding supraklavikuler namun umumnya mempunyai prognosis lebih baik. Penyebab utama terjadi pleksopati infraklavikuler biasanya adalah trauma dapat tertutup (kecelakaan lalu lintas) maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur didekatnya (dislokasi kaput humerus, fraktur klavikula, scapula atau humerus). Gambaran klinis sesuai dengan lesinya : 2,7 1. Lesi di fasikulus lateral Dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus. Gejala klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah, sedangkan otot15
otot intrinsik tangan tidak terkena. Kelainan sensorik terjadi di lateral lengan bawah dan jari 1 – III tangan.2,4,8 2. Lesi di fasikulus medial Disebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus. Kelemahan dan gejala sensorik terjadi dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris. Lesi disini akan mengenai seluruh fungsi otot intrinsik tangan seperti fleksor, ekstensor dan abduktor jari-jari tangan, juga fleksor ulnar pergelangan tangan. Secara keseluruhan kelaianan hampir menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan sensorik terlihat pada lengan atas dan bawah medial, tangan dan 2 jari tangan bagian medial.2,4,8 3. Lesi di fasikulus posterior Lesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit sensorik dikawasan n. Radialis. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot ekstensor lengan, tangan dan jari-jari tangan mengalami kelemahan. Defisit sensorik terjadi pada daerah posterior dan lateral deltoid, juga aspek dorsal lengan, tangan dan jari-jari tangan.2,4,7
VI. Pemeriksaan Penunjang Radiografi Adanya cedera saraf tepi biasanya disertai dengan cedera tulang dan jaringan iikat sekitar yang dapat dinilai dengan pemeriksaan radiografi. Pada kasus cedera traumatik, penggunaan X-foto dapat membantu menilai adanya dislokasi, subluksasi atau fraktur yang dapat berhubungan dengan cedera pleksus tersebut. Pemeriksaan radiografi : 4 1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal 2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus. 3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada kasus paralisa saraf phrenicus.2,3,4 Elektrofisiologi Hasil pemeriksaan kecepatan hantar syaraf untuk Compound Muscle Action Potentials (CMAP) didapatkan amplitudo yang rendah setelah hari ke-9.1 SNAPs (Sensory Nerve Action Potentials) berguna untuk membedakan lesi preganglionic atau lesi postganglionic. Pada lesi postganglionic, SNAPs tidak didapatkan tetapi positif pada lesi preganglionic. EMG (Elektromiografi) dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi, positive sharp wave (pada lesi axonal), amplitudo dan durasi. Dimana denervasi terlihat setelah minggu ke-2.9 VII.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pleksus brakhialis menjadi tantangan, terutama karena beberapa penyebab tidak ada terapi yg spesifik. Penatalaksanaan suportif, dengan berfokus 16
pada kontrol nyeri dan disertai dengan penatalaksanaan aspek rehabilitasi dan tindakan operasi, operasi diindikasikan pada lesi pleksus brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal. Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah : 1. Pembedahan primer 4 Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi. Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf Neuroma excision: Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik end-to-end atau nerve grafts Nerve grafting : Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus avulsi pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal nerve, spinal accessory nerve, phrenic nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve. Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi. Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda tajam. 2. Pembedahan sekunder 4 Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies. Perbaikan operatif sekunder setelah 2-4 minggu secara umum direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan primer atau grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis satu saraf dengan yang lain dapat menjadi pilihan lainnya. VIII. Prognosis Prognosis lesi pleksus brakhialis bervariasi tergantung pada patofisiologi yang mendasari, meliputi tempat dan derajat kerusakan saraf dan kecepatan mendapat terapi. Proses regenerasi saraf terjadi kira-kira 1-2 mm/hari atau 1 inci/bulan, sehingga mungkin diperlukan beberapa bulan sebelum tanda pemulihan dapat dilihat.1,2,4,5
17
Neuropraksia merupakan tipe kerusakan yang paling ringan dan mempunyai prognosis yang paling baik, dimana perbaikan spontan dapat terjadi beberapa minggu hingga bulan (3-4 bulan setelah cedera).4,16 Pada tipe aksonotmesis, perbaikan diharapkan dapat terjadi dalam beberapa bulan dan biasanya komplit kecuali terjadi atrofi motor endplate dan reseptor sensorik sebelum pertumbuhan akson mencapai organ-organ ini. Perbaikan fungsi sensorik mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan motorik karena reseptor sensorik dapat bertahan lebih lama dibandingkan motor endplate (kira-kira 18 bulan). Sedangkan neurotmesis, regenerasi dapat terjadi namun fungsional sulit kembali sempurna. Faktor-faktor yang mempengaruhi keluaran yaitu luasnya lesi jaringan saraf, usia (dimana usia tua mengurangi proses pertumbuhan akson), status medis pasien, kepatuhan dan motivasi pasien dalam menjalani terapi.4,5,6 BAB IV PENANGANAN REHABILITASI MEDIK PADA LESI PLEKSUS BRAKHIALIS Rehabilitasi medik (WHO,1981) adalah segala upaya yang bertujuan untuk mengurangi dampak dari semua keadaan yang dapat menimbulkan disabilitas dan handicap serta memungkinkan penderita cacat berpartisipasi serta secara aktif dalam lingkuangan keluarga dan masyarakat. Pada pasien dengan cedera pleksus brakhialis dapat terjadi impairment kelumpuhan otot-otot ekstremitas atas yang bervariasi dan disabilitas berupa ketidakmampuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lagi, berakibat handicap pada penderita dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya.2,5 Program rehabilitasi secara individual meliputi modifikasi dari faktor resiko, perubahan gaya hidup, dan edukasi pada kesadaran tentang kesehatan dan kebugaran, juga pendekatan yang mengkombinasi teknik restorasi dan adaptasi. Pendekatan restorasi mencoba untuk mempengaruhi selama proses perbaikan dan memperoleh kembali fungsi yang hilang, meliputi therapeutic exercise (terapi latihan), aplikasi stimulasi elektrik (ES: electrical stimulation), atau pasien menyelesaikan gerakan tanpa gravitasi dengan atau tanpa bantuan terapis. Tenik adaptasi meliputi pembelajaran cara baru dalam melakukan tugas, penggunaan brace untuk menyokong otot yang lemah atau memberikan posisi yang benar, serta peralatan khusus untuk memungkinkan seseorang melakukan tugas dengan adanya defisit.5 Fisioterapi 1. Fase akut RICE (rest, ice, compression and elevation)1,5 a. Istirahat b. Terapi dingin : digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan dengan modalitas sederhana seperti cold pack atau dengan cryojet air yang mengluarkan uap air dingin bersuhu -40oC selama 20 menit dan dapat diulang tiap 2 jam. c. Kompresi : dilakukan pada ekstremitas yang edema.
18
d. Elevation : pada cedera pleksus brakhialis berat (adanya avulsi radiks), dapat terjadi edema yang signifikan pada ekstremitas yang terkena. Ini dikarenakan oleh pompa aliran darah balik abnormal yang biasanya dilakukan oleh otot yang lumpuh diatas batas jantung. Pada malam hari dapat dilakukan dengan cara diganjal dengan bantal dan pada beberapa kasus dimodifikasi menggunakan splint.1,5 Preventatif 5 Dilakukan untuk mempertahankan ROM dan mencegah kelemahan lebih lanjut,meliputi : - Proper positioning - Splinting - Latihan ROM - Latihan penguatan pada otot yang terkena - Pemeriksaan rutin dan perlindungan terhadap daerah yang mengalami gangguan sensorik. 2. Fase subakut dan kronik Manajemen Nyeri - Ultrasound : merupakan modalitas thermal (diathermy: deep heating modalities) dengan frekuensi 1-3MHz, diberikan selama 5-10 menit dilakukan 1-2 kali per hari selama 6-8 hari atau 14 kali pemberian. Penggunaannya dalam mengurangi nyeri menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan pembuangan metabolit yang menyebabkan nyeri sehingga menurunkan spasme otot dan meningkatkan ambang nyeri.2,3 - Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : merupakan stimulasi listrik yang telah digunakan untuk mengelola nyeri lebih dari 2 dekade, berdasarkan teori gate control menurut Melzack dan Wall (1965). TENS mengaktivasi serabut saraf diameter besar (A-beta) yang menginhibisi interneuron (substantia gelatinosa) pada medulla spinalis. Pada giliranya menghasilkan inhibisi pada serabut saraf diameter kecil (Adelta) dan C (serabut saraf nyeri), bersama dengan inhibisi presinaps dari T-cells untuk menutup gerbang dan mengatur nyeri. TENS diberikan dengan implus frekuensi tinggi (50-100Hz) selama 30 menit sampai 1 jam per sesi, maksimal 2 jam per sesi, dengan total 8 jam perhari. Terapi dilanjutkan selama 3 minggu dan dikurangi bertahap setelah 8 – 12 minggu.9 Latihan - Latihan pada ekstremitas yang lumpuh pada awal terapi bertujuan untuk memelihara lingkup gerak sendi (LGS) dan mencegah atrofi otot, dimana umumnya sering menjadi masalah pada masa penyembuhan. Latihan LGS yang diberikan dapat pasif, aktif maupun aktif dibantu (active assited). Latihan peninkatan kekuatan/ stregthening exercise dapat diberikan bilamana terdapat kontraksi otot secara aktif. 5 - Latihan penguatan otot leher, diberikan secara isometrik dimana penderita diintruksikan untuk mengkontraksikan otot leher tanpa menggerakan sendi. Pasien meletakkan tangannya ddikepala untuk menahan gerakan leher. Kontraksi 19
dipertahankan selama lima hitungan (lima detik) diikuti relaksasi selama tiga hitungan dan kemudian diulang lagi, umumnya sebanyak tiga kali. Latihan ini diulangi untuk semua arah gerak. Alternatif lain adalah pasien berbaring terlentang/telungkup dengan kepala beralaskan bantal kemudian menekan kepala kearah bantal. Dalam melakukan latihan ini harus diperhatikan agar tidak terjadi gerakan leher. Cedera pleksus brakhialis menyebabkan kelemahan dan immobilisasi yang membatasi perenggangan normal dari otot dan jaringan penyokong. Kontraktur berakibat, perubahan biomekanik dan peningkatan usaha yang diperlukan untuk pergerakan lebih lanjut membatasi aktivitas. Saat istirahat/tidak aktif keterbatasan kontraksi otot kurang dari 20% dari tegangan maksimal, terjadi disuse atrofi, yang berlanjut dengan perburukan dari kelemahan.
Gambar 7. Latihan fisik pada cedera pleksus brakhialis
Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) : merupakan stimulasi listrik yang lebih kuat dari pada TENS. Alat ini digunakan untuk menambah kekuatan dan memelihara massa otot walaupun tanpa usaha volunter dari subyek. Pada penderita cedera pleksus brakhialis berat dengan adanya denervasi otot, terapi NMES berguna untuk mencegah terjadinya atrofi otot.5 Diberikan minimal 10 kontraksi/repetisi sebanyak 3 set per hari dengan waktu istirahat antar set selama 2 menit, 3 kali per minggu. 1,5
Okupasi Terapi Setelah kekuatan dan ROM yang cukup pada lengan, terapi okupasi dimulai untuk meningkatkan koordinasi dan ketahanan melalui repetisi dari gerakan-gerakan stereotipik dasar yang meliputi pergerakan yang diperlukan untuk menullis, makan, berhias. Pada tahap rehabilitasi 20
ini, pasien dievaluasi seputar kemampuannya untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Bila pasien direpkan ortosis, maka diberikan latihan dengan menggunakan orthosis tersebut yang disesuaikan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) pasien. Strategi lain dalam meningkatkan AKS termasuk latihan penggunaan satu tangan pada penderita dengan monoplegia serta edukasi penggunaan alat-alat bantu dirumah. Latihan yang diberikan sehubungan dengan AKS vokasional adalah peningkatan kemampuan penderita dalam menulis atau mengetik bila terganggu. Pada penderita dengan defisit sensorik, dapat diberikan latihan sensibilitas dengan obyek material yang bervariasi.1,4 Psikologis Masalah psikologis pada penderita lesi pleksus brachialis dapat muncul terutama pada penderita dengan disabilitas yang berat. Subbagian psikologi dari rehabilitasi medik berupaya memberikan dukungan mental kepada penderita dalam menghadapi keterbatasannya dan memberikan motivasi dalam menjalankan terapi. Sosial Worker Sosial medik membantu penyelesaian masalah sosial-ekonomi yang dapat timbul, diantaranya masalah biaya dalam menjalani terapi atau penderita tidak dapat melanjutkan pekerjaannya sehubungan dengan kecacatannya. Petugas sosial medik mengevaluasi kemungkinan alih pekerjaan sesuai dengan keahlian yang dimiliki penderita. Pembedahan Pembedahan merupakan terapi yang paling awal dikenal untuk pengobatan kanker payudara. Terapi pembedahan dikenal sebagai berikut :10 Terapi atas masalah lokal dan regional : Mastektomi, breast conserving surgery, diseksi aksila dan terapi terhadap rekurensi lokal/regional. Terapi pembedahan dengan tujuan terapi hormonal : ovariektomi, adrenalektomi, dsb. Terapi terhadap tumor residif dan metastase. Terapi rekonstruksi, terapi memperbaiki kosmetik atas terapi lokal/regional, dapat dilakukan pada saat bersamaan (immediate) atau setelah beberapa waktu (delay). Jenis pembedahan pada kanker payudara: Mastektomi Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM) MRM adalah tindakan pengangkatan tumor payudara dan seluruh payudara termasuk kompleks puting-areola, disertai diseksi kelenjar getah bening aksilaris level I sampai II secara en bloc. Indikasi: Kanker payudara stadium I, II, IIIA dan IIIB. Bila diperlukan pada stadium IIIb, dapat dilakukan setelah terapi neoajuvan untuk pengecilan tumor. Mastektomi Radikal Klasik (Classic Radical Mastectomy) 21
Mastektomi radikal adalah tindakan pengangkatan payudara, kompleks puting-areola, otot pektoralis mayor dan minor, serta kelenjar getah bening aksilaris level I, II, III secara en bloc. Jenis tindakan ini merupakan tindakan operasi yang pertama kali dikenal oleh Halsted untuk kanker payudara, namun dengan makin meningkatnya pengetahuan biologis dan makin kecilnya tumor yang ditemukan maka makin berkembang operasi operasi yang lebih minimal Indikasi: - Kanker payudara stadium IIIb yang masih operable - Tumor dengan infiltrasi ke muskulus pectoralis major Mastektomi dengan teknik onkoplasti Rekonstruksi bedah dapat dipertimbangkan pada institusi yang mampu ataupun ahli bedah yang kompeten dalam hal rekonstruksi payudara tanpa meninggalkan prinsip bedah onkologi. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan jaringan 1 autolog seperti latissimus dorsi (LD) flap atau transverse rectus abdominis myocutaneous (TRAM) flap; atau dengan prosthesis seperti silikon. Rekonstruksi dapat dikerjakan satu tahap ataupun dua tahap, misal dengan menggunakan tissue expander sebelumnya. Mastektomi Simpel Mastektomi simpel adalah pengangkatan seluruh payudara beserta kompleks putingareolar,tanpa diseksi kelenjar getah bening aksila. Indikasi: - Tumor phyllodes besar - Keganasan payudara stadium lanjut dengan tujuan paliatif menghilangkan tumor. - Penyakit Paget tanpa massa tumor - DCIS Mastektomi Subkutan (Nipple-skin-sparing mastectomy) Mastektomi subkutan adalah pengangkatan seluruh jaringan payudara, dengan preservasi kulit dan kompleks puting-areola, dengan atau tanpa diseksi kelenjar getah bening aksila Indikasi: - Mastektomi profilaktik - Prosedur onkoplasti Breast Conserving Therapy (BCT) Pengertian BCT secara klasik meliputi : BCS (=Breast Conserving Surgery), dan Radioterapi (whole breast dan tumor sit). BCS adalah pembedahan atas tumor payudara dengan mempertahankan bentuk (cosmetic) payudara, dibarengi atau tanpa dibarengi dengan rekonstruksi. Tindakan yang dilakukan adalah lumpektomi atau kuadrantektomi disertai diseksi kelenjar getah bening aksila level 1 dan level 2. Tujuan utama dari BCT adalah eradikasi tumor secara onkologis dengan mempertahankan bentuk payudara dan fungsi sensasi. BCT merupakan salah satu pilihan terapi lokal kanker payudara stadium awal. Beberapa penelitian RCT menunjukkan DFS dan OS yang sama antara BCT dan mastektomi. Namun pada follow up 20 tahun rekurensi lokal pada BCT lebih tinggi 22
dibandingkan mastektomi tanpa ada perbedaan dalam OS. Sehingga pilihan BCT harus didiskusikan terutama pada pasien kanker payudara usia muda. Secara umum, BCT merupakan pilihan pembedahan yang aman pada pasien kanker payudara stadium awal dengan syarat tertentu. Tambahan radioterapi pada BCS dikatakan memberikan hasil yang lebih baik. Indikasi : - Kanker payudara stadium I dan II. - Kanker payudara stadium III dengan respon parsial setelah terapi neoajuvan. Kontra indikasi : - Kanker payudara yang multisentris, terutama multisentris yang lebih dari 1 kwadran dari payudara. - Kanker payudara dengan kehamilan - Penyakit vaskuler dan kolagen (relatif) - Tumor di kuadran sentral (relatif) Syarat : - Terjangkaunya sarana mamografi, potong beku, dan radioterapi. - Proporsi antara ukuran tumor dan ukuran payudara yang memadai. - Pilihan pasien dan sudah dilakukan diskusi yang mendalam. - Dilakukan oleh dokter bedah yang kompeten dan mempunyai timyang berpengalaman.( Spesialis bedah konsultan onkologi). BAB III PENUTUP Pleksus brakhialis dibentuk oleh bagian anterior 4 nervus servikalis yang terakhir dan oleh nervus thorakalis pertama. Radiks pleksus brakhialis terdiri atas C5 dan C6 yang bersatu membentuk truncus bagian atas (upper trunk), C7 yang menjadi truncus bagian tengah (middle trunk), C8 serta T1 yang bergabung membentuk truncus bagian bawah (lower trunk). Pleksus brakhialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang berasal dari medulla spinalis yang mempersarafi ekstremitas superior. Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T1. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab trauma pleksus brakhialis pada kebanyakan kasus iaitu (80,7%).Selain itu, Kejadian trauma pleksus brakhialis juga sering terjadi pada bayi makrosomia dengan shoulder dystocia.Trauma yang bisa menyebabkan plexopati brakialis adalah luka tembus,luka tembak,cedera iatrogonik,cedera pleksus brakialis traksi, kepala dan leher serta cedera supraclavicular. Secara klinis trauma pleksus brakhialis dibagisesuai lokasi trauma yaitu pleksus brakhialis tipe upper (Erb`sPalsy) dan pleksus brakhialis tipe lower (Klumpke`s palsy). Pada trauma supraklavukula akan menjadi pronasi siku dimana pada trauma nervus nervus supraskapul akan terjadi kelemahan otot saat abduksi bahu, dan eksternal rotasi. Trauma pada tingkat infraklavikula menyebabkan rupturnya arteri aksilaris. Nervus aksilaris, supraskapular, dan muskulokutaneus akan terpengaruh pada trauma tersebut.Pemeriksaan penunjang pada trauma plexuas brakialis 23
adalah pemeriksaan imaging,tes histamin, elektrodiagnostik. Seterusnya penalataksanaan pada lesi pleksus brakhialis adalah terapi kosnservatif dan terapi pembedahan.Faktor-faktor yang menpengaruhi prognosis cedera pleksus brakhialis adalah mekanisme trauma, usia, tipe nervus, level trauma, nyeri, durasi pembedahan dan faktor lain.
DAFTAR PUSTAKA 1. Hein, H.A., Brachial Plexus Palsy : A Perspective on C urrent Management, available from: www.virtualhospital.com, di akses 20 Maret 19 2. Leffert, Robert. The Anatomy of the Brachial Plexus. Brachial Plexus Injuries. New York, NY: Churchill Livingstone; 2015. 3. Sandi Putra N, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis Injury Di Rs Orthopedi Prof Dr Soeharso 2015;52 4. Kaiser R, Waldauf P, Haninec P. Types and severity of operated supraclavicular brachial plexus injuries caused by traffic accidents. Acta Neurochirurgica. 2012;154(7):1293-1297. 5. Sakellariou VI, Badilas NK, Mazis GA, Stavropoulos NA, Kotoulas HK, Kyriakopoulos S, et al. Brachial Plexus Injuries in Adults : Evaluation and Diagnostic Approach. Hindawi Publishing Corporation; 2014;2014. 6. Sabapathy S, Jain D, Bhardwaj P, Venkataramani H. An epidemiological study of traumatic brachial plexus injury patients treated at an Indian centre. Indian Journal of Plastic Surgery. 2012;45(3):498. 7. Khadilkar S, Khade S. Brachial plexopathy. Annals of Indian Academy of Neurology. 2013;16(1):12. 8. Sakellariou VI, Badilas NK, Stavropoulos NA, Mazis G, Kotoulas HK, Kyriakopoulos S, et al. Treatment Options for Brachial Plexus Injuries. Hindawi Publishing Corporation; 2014;2014. 9. Thatte MR, Babhulkar S, Hiremath A. Brachial plexus injury in adults : Diagnosis and surgical treatment strategies. 2013;16(1):26–33 10. Sidharta, Priguna, dan Mardjono, Mahar 2004 Neurologis Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat. 2014; H,322-9.
24