BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar pencemaran dan perusakan lingkungan terus berlangsung sehingga kualitas lingkungan
semakin lama menjadi semakin buruk, demikian pula dengan keseimbangan ekosistem bumi sejak revolusi industri, pemakaian bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama, penemuan senyawa CFC dan sebagainya telah menyebabkan proses perubahan lingkungan bumi secara cepat dan besar besaran. ‘‘Banyaknya perencana bangunan yang sedikit sekali mengerti tentang ekologi dan biologi lingkungan, akibatnya pada proses membangun akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar’’. Hal inilah yang membuat pentingnya pemahaman yang lebih dekat terhadap konsep ekosistem sebelum menghubungkan suatu desain arsitektur dengan lingkungannya. Dampak negatif dari pembangunan konstruksi sangat beragam, antara lain adalah dieksploitasinya sumber daya alam secara berlebihan. Selain itu, pertambangan sumber daya alam yang dikeruk habis-habisan, penggundulan hutan tanpa penanaman kembali, dimana hal-hal semacam ini dapat menurunkan kualitas sumber daya alam lain di bumi. Tidak hanya itu, teknologi dan hasil teknologi yang digunakan manusia seperti kendaraan, alat-alat produksi dalam sistem produksi barang dan jasa (misalnya pabrik), peralatan rumah tangga dan sebagainya dapat menimbulkan dampak negatif akibat emisi gas buangan, limbah yang mencemari lingkungan. Tentunya tidak mungkin untuk melarang orang membangun, karena sudah menjadi kebutuhan manusia, sehingga yang dapat dilakukan adalah memasukkan konsep Arsitektur Berkelanjutan (Sustainable Architecture) dalam rangka meminimalkan dampak negatif konstruksi terhadap lingkungan. Pada dasarnya konsep Arsitektur Berkelanjutan menyerukan agar sumber daya alam dan potensi lahan tidak digunakan secara sembarangan, penggunaan potensi lahan untuk arsitektur yang hemat energi, dan sebagainya. Pembahasan ini berangkat dari kekhawatiran semakin parahnya perusakan lingkungan saat ini, apalagi masalah lingkungan yang rusak ini menjadi sangat kritis.
BAB II PEMBAHASAN 2.1
Strategi Arsitektur Berkelanjutan Dalam bukunya yang berjudul "The Philosophy of Sustainable Design",(2004, hal. 4), Mclennan, mengatakan bahwa, “Desain berkelanjutan adalah dasar filosofi dari gerakan yang berkembang dari individu dan organisasi yang benar-benar berusaha untuk mendefinisikan kembali bagaimana bangunan dirancang, dibangun dan digunakan agar
lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan responsif terhadap manusia.”
Ini
menunjukkan peran dan tanggung jawab perencana dan perancang bangunan atau arsitek dalam tahapan desain, konstruksi dan operasional bangunan sehingga lebih bertanggung jawab pada lingkungan dan manusia. Lebih lanjut Mclennan mengatakan, “Desain berkelanjutan adalah filosofi desain yang berusaha untuk memaksimalkan kualitas lingkungan binaan, dan meminimalkan atau menghilangkan dampak negatif terhadap lingkungan alam.” Tanggung jawab arsitek tidak semata menghasilkan sebuah karya arsitektur yang indah secara estetika, tetapi juga memiliki kualitas yang baik sebagai sebuah lingkungan binaan. Di sisi lain, lingkungan binaan yang dihasilkan harus mampu meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan pada lingkungan alam. Dalam aplikasi yang lebih dalam, menurut Mclennan(2004, hal. 8), “Desain berkelanjutan sering digunakan sebagai payung untuk menggambarkan satu strategi, komponen dan teknologi dalam mengurangi lingkungan sekaligus meningkatkan kenyamanan dan kualitas secara keseluruhan. Kategori ini termasuk di dalamnya tetapi tidak hanya sebatas ini:
daylighting
indoor air quality
passive solar heating
natural ventilation
energi efficiency
embodied energi
construction waste minimization
water conservation
commissioning
solid waste management
renewable energi
xeriscaping/natural landscaping
site preservation Kategori di atas dapat menjadi acuan dalam pembahasan atau pembuatan konsep
desain yang berkelanjutan, bagaimana bangunan dirancang, dibangun dan digunakan. Pendekatan ini tentu dengan tetap memerhatikan dan bahkan meningkatkan kualitas bangunan, misalnya kenyamanan dan keamanan bangunan ketika dia digunakan. Sementara Brundtland (dalam Sassi (2006) mengatakan bahwa, “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. Hal ini menunjukkan bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk mewariskan lingkungan yang baik kepada generasi mendatang, agar generasi masa yang akan datang tetap memiliki
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam proses pembangunan, arsitektur memiliki peran yang besar, terutama dalam proses pembangunan lingkungan perkotaan maupun pedesaan. Bagaimana bangunan atau karya arsitektur dapat berperan dalam menciptakan lingkungan yang berkelanjutan? Menurut Sassi, “Bangunan, proses konstruksinya, penggunaan dan pembuangannya, memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan hidup dan kondisi sosial masyarakat kita. Arsitektur berkelanjutan dapat membantu mewujudkan dan bahkan mendorong cara hidup yang berkelanjutan. Ada dua tujuan utama untuk desain arsitektur berkelanjutan. - Pertama, bangunan berkelanjutan harus metaforis 'tapak ringan di bumi' dengan meminimalkan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh proses konstruksinya, pemakaiannya sampai pada akhir pemakaian. Bangunan berkelanjutan harus memiliki jejak kaki ekologis. -
Kedua, bangunan harus memberikan kontribusi positif dan sesuai dengan
lingkungan sosial mereka, dengan
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
sekaligus
meningkatkan kualitas lingkungan, psikologis dan fisik mereka.” Laporan U.S. General Services Administration tahun 2009 menemukan 12 bangunan yang dirancang secara berkelanjutan membutuhkan biaya yang lebih sedikit untuk beroperasi dan memiliki performa energi yang sangat baik. Selain itu, penghuni lebih puas dengan keseluruhan bangunan ini dibandingkan dengan di bangunan komersial biasa. Konsep Strategi Desain Berkelanjutan UIA dapat dijabarkan kedalam 9 point;
Dimulai dengan tahap awal pekerjaan proyek yang melibatkan seluruh pihak : klien, desainer, insinyur, pemerintah, kontraktor, pemilik, pengguna, dan komunitas;
Analisa dan Manajemen seluruhnya dari Daur Hidup Bangunan, yaitu mengintegrasikan semua aspek dalam konstruksi dan penggunaan dimasa depan;
Optimalisasi desain yang efisien, energi terbarukan, teknologi modern dan ramah lingkungan harus menjadi satu kesatuan;
Kesadaran bahwa proyek arsitektur dan konstruksi tersebut merupakan sistem interaktif yang kompleks dan terkait pada lingkungan sekitar yang lebih luas yang bisa mencakup warisan sejarah, kebudayaan, dan sosial masyarakat; Penerapan “material bangunan yang sehat”, yaitu untuk menciptakan bangunan yang sehat, tata guna lahan yang seimbang, kesan estetik dan inspiratif, serta memberikan keyakinan ke masyarakat;
Upaya untuk mengurangi “carbon imprint”, mengurangi penggunaan material berbahaya yang berdampak terhadap aktivitas pengguna;
Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup, kesetaraan baik lokal maupun global, memajukan kesejahteraan ekonomi, serta menyediakan kesempatan-kesempatan untuk kegiatan bersama masyarakat;
Populasi urban tergantung pada sistem desa-kota yang terintergrasi, saling terkait untuk keberlangsungan hidup seperti fasilitas publik (air, udara, rumah, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dll;
Mendukung pernyataan UNESCO mengenai keberagaman budaya umat manusia sebagai sumber pertukaran, penemuan, kreativitas yang sangat diperlukan oleh manusia.
Selanjutnya, konsep-konsep di atas dapat diterjemahkan bahwa pendekatan “Sustainable Architecture” perlu diterapkan secara menyeluruh dengan melihat seluruh daur hidup dari bangunan tersebut. Dan penerapannya harus secara komprehensif dari maerial, dan penghijauan lingkungan. (Dari berbagai sumber oleh: Iden Wildensyah)
2.2
Studi Kasus
a. BANGUNAN THE ROYAL PITA MAHA RESORT 1.
Efisiensi Energi di The Royal Pita Maha Resort The Royal Pita Maha Resort terletak diatas site berkontur dengan banyak variasi ketinggian transis jadi tata letak massanya menggunakan pola linear. Massa diletakkan secara linier mengikuti garis transis yang sudah diolah dengan menggunakan teknik Cut & Fill. Royal Villa diletakkan paling dekat dengan lobby dan restaurant. Karena lokasinya paling tinggi dari villa yang lainnya, jadi mendapatkan view paling baik.
Penempatan Massa Bangunan Selain pemanfaatan view, pemanfaatan sirkulasi udara dimaksimalkan dengan banyak menggunakan bukaan dan pada sekeliling site dikelilingi tanaman dan pohon- pohon unutuk meminimalkan panas dari matahari yang langsung masuk ke dalam bangunan selan itu juga terdapat sungai buatan yang difungsikan untuk menetralkan suhu panas yang diberikan oleh sinar matahari langsung. Orientasi bagunan cottage mengarah ke view yaitu kearah barat. Akses jalan menuju cottage melalui bagian samping atau belakang bangunan cottage. Peletakan pintu masuk dibagian samping atau belakang agar tidak menghalangi view kearah depan cottage.
Sungai Buatan yang Terletak pada The Royal Pita Maha Resort
Sistem pengolahan air bekas dan air hujan pada masing-masing bangunan memanfaatkan tanaman enceng gondok yang berada pada kolam di areal pinggir villa, dimana tanaman enceng gondok ini berfungsi untuk mengolah air bekas dan air hujan karena sifat alami enceng gondok ini mampu menyerap zat kimia yang mencemari air, sehingga air yang sudah diolah dapat digunakan kembali untuk menyiram tanaman dan sisanya dialirkan ke sungai Ayung. Penerapan sistem seperti ini sangat efektif karena tidak membutuhkan biaya yang besar apalagi tanaman enceng gondok sangat mudah ditemukan dan pertumbuhannya sangat cepat.
Tanaman Enceng Gondok di Sekitar Site 2. Efisiensi Lahan di The Royal Pita Maha Resort Dari segi pengolahan site, The Royal Pita Maha Resort lebih banyak menggunakan teknik cut and fill dalam setiap penempatan masa bangunannya. Namun menurut survey di lapangan teknik cut and fill yang dipakai terlalu banyak dan dalam. Galian tanah pada site rata-rata digali hampir sedalam 9 meter, dan area untuk pengurugan atau usaha untuk mendapatkan tanah datar diurug dengan luas maksimal 6 are. Teknik cut and fill yang diaplikasikan sebenernya berlebihan dalam sistem pengolahan site. Karena galian dan pengurugan sudah terlalu dalam sehingga potensi site tidak sepenuhnya masih utuh dalam keadaan alami. Menurut Narasumber di lapangan, tanah hasil galian kadang dibuang di pinggiran tebing.
Ketika tanah tersebut lebih dari yang diperlukan untuk keperluan pengurugan maka tanah sisa tersebut akan dibuang. Dengan pengaplikasian teknik yang sedemikian sebenernya site berpotensi rusak dan potensi site tidak dapat difungsikan secara optimal. Sehingga dalam The Royal Pita Maha Resort bangunan berdiri di lahan dengan keadaan kontur site yang tidak sepenuhnya alami. Jadi, pada efisiensi lahan pada The Royal Pita Maha Resort tidak menggunakan konsep Sustainable Architecture secara menyeluruh meski terdapat beberapa tanaman-tanaman yang menghiasi site, namun semua tanaman merupakan tanaman buatan dan tidak alami tumbuh pada site. Efisiensi Penggunaan Material The Royal Pita Maha Resort Jalan masuk menuju The Royal Pita Maha Resort kira-kira berukuran 4 meter, dengan elemen bawah terbuat dari paping yang memberikan suatu kesan alami pada arah sirkulasi. Suasana pada sirkulasi masuk menuju The Royal Pita Maha Resort dibuat menyerupai perkampungan tradisional penduduk Bali, hal ini terlihat dari bentuk angkul-angkul yang sama antar satu rumah untuk memberikan suasana asri dan rindang pada sirkulasi tersebut. Pada bagian dinding sirkulasi tersebut dibuat dari potongan batu padas yang dihiasi dengan tanaman yang memberikan kesan alami.
Sirkulasi Utama The Royal Pita Maha Resort Untuk transportasi mekanis di The Royal Pita Maha Resort terdapat Lift, lift pertama terletak di daerah setelah melewati lobby, terdapat dua buah lift yang saling berhadapan di daerah ini, pada eksteriornya lift ini menggunakan gaya arsitektur Bali dengan detail-detail ornamen. Untuk lift lainnya terletak di bawah restaurant, lift ini menghubungkan antara lantai 1 (daerah restaurant paling dasar) dan lantai 2 (daerah bangunan / The Royal Pita Maha Resort bagian bawah). Lift ini dapat menampung maksimal 8 orang dalam sekali pengangkutan.
Material Paras pada Eksterior Lift Tipologi bangunan di The Royal Pita Maha Resort memiliki ciri khas bangunan Arsitektur Bali. Dimana yang paling menonjol adalah penggunaan atap alang-alang dan batu Paras Taro yang kini diperkirakan sudah langka. Dari segi struktur atap, bangunan dan unit-unit villa cenderung menggunakan Struktur Rangka Bidang dengan ditopang oleh kolom-kolom khas Bali atau yang disebut saka. Rangka struktur berbahan kayu dan bambu yang menopang penutup atap alang-alang agar setiap unit bangunan di dalam resort memiliki kesan alami dan menyatu dengan alam.
Struktur Atap pada The Royal Pita Maha Resort
a. ArsitekturTradisionalsebagaiArsitekturyangBerkelanj utan
Sebagaimana kesimpulan
studi
literatur
yang
telah
dilakukan
sebelumnya,
dapat
diambil
satu
bahwa arsitektur tradisional telah dirancang, dibangun dan digunakan dengan
pendekatan arsitektur berkelanjutan. Dari sisi struktur dan konstruksi, dapat kita lihat contoh arsitektur tradisional yang telah mempertimbangkan sistem struktur yang berkelanjutan, misalnya
sistem struktur pada rumah Nias yang dikenal dengan sebutan Omo Hada yang merespon gaya gempa dengan menciptakan struktur diagonal sebagai perkuatan struktur rangka kaku dan berfungsi untuk menahan gaya lateral dari samping (gambar 1). Secara konstruksi, sistem struktur ini tidak melukai bumi sebagaimana sistem struktur tiang pancang pada bangunan modern. Struktur bangunan diletakkan di atas pondasi umpak dan mengurangi dampak yang ditimbulkan pada struktur tanah. Demikian halnya pada rumah Tongkonan di Toraja, Sulawesi Selatan, rumah Joglo di Jawa, dan rumah tradisional lainnya yang menggunakan pondasi umpak dalam menopang sistem struktur bangunan. Material yang digunakan pun tidak melalui proses pabrikasi yang tidak ramah lingkungan.
Gambar Pondasi umpak dan sistem struktur pada rumah Nias
Demikian halnya pada sistem struktur atap, sebagai contoh sistem struktur atap pada rumah Tongkonan yang memiliki dua variasi material atap yaitu, atap bambu dan atap batu. Atap bambu menggunakan material bambu yang disusun sedemikian rupa agar air hujan tidak dapat masuk ke dalam bangunan. Bambu yang membusuk justru akan menghaasilkan lumut yang akan menutupi permukaan atap dan berperan sebagai pelapis yang mencegah air masuk ke dalam bangunan (gambar 2). Sedangkan atap batu (gambar 3) dibuat dari batu yang dipahat dengan ukuran sekitar 50 x 30 cm dengan ketebalan sekitar 2-3 cm. Material batu tersebut kemudian diletakkan pada struktur atap dengan menggunakan kulit bambu sebagai pengikatnya. Dengan sistem pengikatan, maka atap batu tidak akan jatuh walaupun terjadi gempa, hal ini berbeda dengan sistem atap genteng yang hanya dikaitkan pada struktur atap. Kedua material ini menunjukkan bahwa konsep keberlanjutan telah dipertimbangkan dalam desain sistem struktur sampai pada material yang digunakan.
Gambar Sistem struktur dan material atap bambu pada rumah Tongkonan di Toraja, Sulawesi Selatan
Gambar Sistem struktur dan material atap batu pada rumah Tongkonan di Toraja, Sulawesi Selatan
Pertimbangan struktur bukan satu-satunya pertimbangan desain rumah tradisional yang mengakomodasi konsep keberlanjutan. Pertimbangan teknis lain seperti kenyamanan termal dengan mengoptimalkan penghawaan alami, kualitas pencahayaan alami dengan memasukkan cahaya alami, dilakukan untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuni rumah. Bukaan yang cukup besar pada bagian fasade rumah Nias (gambar 4) misalnya, berperan dalam memasukkan cahaya dan penghawaan alami ke dalam bangunan. Sementara konsep rumah panggung pada rumah Dayak (gambar 5) dan rumah Banjar (gambar 6), serta arsitektur tradisional lainnya di tanah air, menunjukkan suatu keputusan desain yang ramah lingkungan. Bangunan panggung dipertimbangkan untuk mensiasati kelembaban tanah dan menciptakan kenyamanan di dalamnya. Di sisi lain, konsep bangunan panggung juga mengurangi atau menghilangkan dampak yang timbul pada lingkungan. Konsep rumah panggung memungkinkan bumi tetap dapat bernafas, dan terciptanya area resapan air. Dengan konsep ini, alam tetap dapat terjaga kelestariannya, hal yang sangat berbeda dengan apa yang dilakukan dalam proses pembangunan bangunan modern yang menggunakan pondasi tiang pancang, dan bangunan yang menutupi permukaan bumi.
Gambar Bukaan pada rumah Nias berperan dalam mengoptimalkan pencahayaan alami dan penghawaan alami, sebuah pendekatan arsitektur hemat energi dan berkelanjutan
Gambar Rumah Dayak dengan konsep rumah panggung, mensiasati kondisi tepian sungai yang lembab.
Gambar Rumah Banjar mengakomodasi konsep arsitektur kolong atau rumah panggung.
Dari berbagai bahasan di atas, terlihat bahwa arsitektur tradisional di Indonesia telah dirancang, dibangunan dan digunakan dengan konsep arsitektur berkelanjutan. Hal ini terlihat dari sisi desain, sistem struktur serta material yang digunakan serta proses konstruksi yang tetap mempertimbangkan keberlanjutan dan alam sebagai konteksnya.
BAB III PENUTUP Kesimpulan Bangunan sejak tahap perancangan, pelaksanaan, penggunaan sampai pada akhir dari „hidup‟ bangunan tersebut, harus mempertimbangkan konsep keberlanjutan. Hal ini dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan dampak yang ditimbulkan sebuah bangunan pada lingkungannya. Dan bila seluruh bangunan telah menjadi bangunan yang berkelanjutan, maka dalam skala besar akan terwujud lingkungan yang berkelanjutan. Arsitektur tradisional di tanah air telah dirancang dibangun dan dihuni dengan konsep berkelanjutan. Penggunaan material alam yang tidak melalui proses pabrikasi yang tidak ramah lingkungan, pengawetan material seperti bambu yang dilakukan secara alami, merupakan satu contoh pendekatan keberlanjutan yang digunakan. Sistem struktur yang merespon gempa, kondisi tanah, dan faktor alam lainnya, menunjukkan pendekatan yang kontekstual dan responsif. Demikian halnya dalam upaya menciptakan kenyamanan di dalam bangunan, desain yang mengoptimalkan masuknya cahaya alami dan penghawaan alami menujukkan pendekatan desain hemat energi dan penggunaan energi terbarukan.
DAFTAR PUSTAKA http://indomondayharyadi.blogspot.com/2015/11/arsitektur-berkelanjutan.html, tanggal 26 Maret 2019.
diakses
pada
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/5398/9.Parmonangan%20Manurung.pd f?sequence=1, diakses pada tanggal 26 Maret 2019.