Berapa Bayaran Seorang Masinis? KERETA api Indonesia tak henti-hentinya menghajar dirinya dengan aneka kecelakaan. Tapi kecelakaan yang beraneka macam itu sebagian besar disebabkan oleh satu macam soal saja: pelanggaran sinyal. Untuk mencegah tingkat kecelakaan seperti ini tak cukup hanya dengan menyeret si masinis menjadi tersangka. Tak cukup cuma dengan gerakan pengunduran diri para direksi. Ada penyebab lain yang jauh lebih serius yang sampai saat ini masih lupa diapresiasi. Jika diamati berbagai kecelakaan itu tidak disebabkan oleh keteledoran para direksi, oleh persoalan manajemen atau oleh keterbelakangan teknologi. Setidaknya sepur di Indonesia telah dilengkapi dengan standar pengaman yang dipakai oleh semua kereta api di dunia. Setiap lokomotof telah dilengkapi dengan deadman pedal, di setiap jalur telah disediakan sistem pensinyalan. Memang, di beberapa negara, pedal itu tak lagi berbentuk pedal melainkan berbentuk lingkaran (kedua) di dalam lingkar kemudi. Tapi hampir tak pernah terdengar bahwa perbedaan pedal dan lingkaran itu begitu gawat hingga harus menyebabkan kereta gampang bertabrakan. Kecelakaan itu lebih sering terjadi karena masinis lalai atau penjaga lintasan ngantuk. Masalahnya kenapa para masinis itu begitu gampang lalai dan para penjaga begitu mudah ngantuk. Mari berangkat dari pertanyaan mendasar: berapa mereka dibayar? Kepada para pelayan hotel, para room boy, para satpam dan pelayan restoran kita cuma menuntut keramahan. Jika kita tengah repot parkir, satpam harus sigap mencarikan lokasi, harus siap melayani dengan kepatuhan seorang ajudan. Jika ia gagal memainkan peran ini, bahwa yang ia peragakan tak lebih dari ekspresi seorang tukang pukul, akan kita layangkan surat makian pada perusahaan sebagai lembaga amatiran. Kepada para pelayan restoran kita cukup menjentikan jari untuk membuat mereka berlarian. Mereka harus tersenyum dengan muka terang, harus menyuguhkan tampang malaikat yang damai dan tenteram. Sedikit saja mereka bermuka masam dan berbuat kesalahan, cukup untuk membuat kita murka dan menganggap restoran ini sebagai warung murahan. Kepada para resepsionis dan operator telepon, kita hanya tahu bahwa mereka harus selalu siaga dalam posisi, harus bersuara semerdu peri. Jika kita sedang bertelpon, mereka harus menyambut kita sebagai juragan. Jika mereka gagal berlaku sopan, tempat kerja mereka akan kita anggap sebagai kantor pekerja jalanan. Masih ada banyak lagi jenis profesi yang besar penghargaanya tidak sepadan dengan kebesaran fungsinya. Sehebat-hebat kereta api Indonesia membenahi manajemennya, memajukan teknologinya, nasib mereka toh tergantung masinisnya juga. Para pengusaha travel dan biro-biro perjalanan boleh memodernisir sistemnya, mempermewah fasiltas armadanya, tapi nasib mereka tergantung sopir juga. Padahal kita tak pernah bertanya kelalaian oleh sebab apa yang biasa melanda para masisnis dan sopir-sopir itu? Bisa jadi mereka tidak mengantuk tapi sedang gundah lantaran berpikir soal angsuran sepeda motor, soal rencana rehab rumah dan biaya anak-anak kuliah. Mereka adalah ornag-orang yang bisa jadi tak pernah bisa memikirkan pekerjaannya dengan tenang karena soal kesejahteraan. Ya, siapa tahu, karena kita memang tak pernah bertanya tentang hal-hal semacam itu. (cn01) (PrieGS/)